Anda di halaman 1dari 42

KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya panjatkan ucapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang telah melimpahkan rahmat serta karunianya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan laporan lapangan prinsip stratigrafi. Terima kasih juga saya ucapkan
kepada Bpk Harly Hamad, ST.MT selaku dosen pengampu dan seluruh asisten dosen
yang telah memberikan bimbingan selama dilapangan.
Adapun laporan ini disusun sebagai syarat dalam menyelesaikan mata kuliah
praktikum prinsip sratigrafi. Pentingnya kegiatan praktikum lapangan ini untuk
mahasiswa geologi adalah agar kita dapat membangun kesigapan, ketelitian,
ketepatan, dan keahlian dalam mengidentifikasi setiap lapisan dilapangan.
Demikian laporan ini dibuat, akhir kata saya mohon maaf jika terdapat kesalahan
dan kekurangan dalam Menyusun laporan ini, semoga laporan ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak.

Palu, 30 Januari 2025

GIAN PRATAMA. P

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu stratigrafi memudahkan peneliti untuk mengetahui kondisi geologi suatu


daerah dengan cepat, ringkas dan sederhana, serta mendorong untuk mengungkap
lebih banyak informasi geologi lainnya, seperti keberadaan struktur, umur geologi,
lingkungan pengendapan dan kronologi serta evolusi daerah tersebut.
Daerah Poso merupakan salah satu daerah yang terletak di Provinsi Sulawesi
Tengah, Indonesia. Daerah ini memiliki luas wilayah sekitar 11.265,80 km² dan
terletak di antara 0°51’LU – 1°26’LU dan 121°26’BT – 122°36’BT. Daerah Poso
sendiri memiliki sejarah geologi yang kompleks, dimana Daerah ini terbentuk
pada periode Kapur hingga Tersier. Pada periode Kapur, daerah ini merupakan
bagian dari laut dangkal yang kemudian terisi oleh sedimen yang terendapkan
berupa batugamping, batupasir, dan serpih, sedangkan pada periode Tersier,
kegiatan tektonik di daerah Poso semakin intensif. Hal ini menyebabkan terjadinya
sedimentasi yang lebih cepat dan beragam. Sedimen yang terendapkan pada
periode Tersier ini terdiri dari batugamping, batupasir, batulempung, dan batubara.
Daerah ini mempunyai lapisan batuan sedimen yang cukup tebal, namun
belum ada penelitian terdahulu yang membahas secara detail mengenai lapisan
batuan sedimen di daerah tersebut, sehingga penulis yang juga selaku praktikan
dalam praktikum Prinsip Stratigrafi ini melakukan pengamatan dan pengukuran
secara detail pada lokasi yang ada di lapangan serta melakukan analisis untuk
mengetahui satuan-satuan stratigrafi yang hasilnya telah dimuat dalam laporan ini.

2
1.2 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dalam praktikum kali ini yaitu:
1. Sebagai syarat kelulusan dalam mata kuliah prinsip stratigrafi.
2. Untuk menentukan satuan batuan dan untuk menjelaskan proses terjadinya
satuan batuan didaerah penelitian.
1.3 Letak, Waktu Dan Kesampaian
Praktikum prinsip stratigrafi ini dilaksanakan di daerah Desa Sulewana,
Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Dimana
pada hari jumat tanggal 12 januari 2024, perjalanan dimulai dari Kota Palu
menuju daerah penelitian menggunakan Bus yang membutuhkan waktu sekitar 6-
7 jam.

Gambar 1.1 Jalur perjalanan dari palu ke sulewana

Pada daerah penelitian kami mengamati 2 stasiun pengukuran, dimana


pada stasiun pengukuran 1 ditempuh dengan berjalan kaki yang membutuhkan
waktu sekitar 45 menit dari basecamp, sedangkan untuk stasiun pengukuran 2

3
ditempuh dengan berjalan kaki, yang membutuhkan waktu sekitar 1 jam dari
basecamp.

4
Basecamp
Poso Stasiun 2
Stasiun 1

Basecamp

Stasiun 1
Stasiun 2

Gambar 1.2 Peta lokasi

5
Praktikum prinsip stratigrafi dilakukan pada hari jumat tanggal 12 januari
2024, yang terletak di daerah Desa Sulewana Kecamatan Pamona Utara Kabupaten
Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Perjalanan untuk sampai pada lokasi Fieltrib Prinsip
Stratigrafi yaitu sekitar 6-7 jam. Dari stasiun 1 menuju stasiun 2 dengan berjalan kaki
menempuh waktu 1 jam dan kegiatan ini berlangsung sampai stasiun 2. Setelah
sampai distasiun 2 kita melakukan pengukuran stratigrafi dan kita mengambil data
serta menyampling singkapan batuan untuk mengambil sampel.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional Daerah Penelitian

Gambar 2.1 Mandala Tektonik Sulawesi (Hall & Wilson, 2000)

7
Pulau Sulawesi dibagi menjadi empat mandala tektonik yaitu Mandala Barat,
Mandala Tengah, Mandala Timur, dan Blok Benua Banggai Sula - Tukang Besi
(Sukamto, 1978; Hamilton, 1979) (Gambar 2.1). Mandala Barat (West Sulawesi
Pluton Volcanic Arc) tersusun dari sedimen berumur Kenozoikum, sekuen
vulkanik yang menimpa sedimen berumur pra-Kenozoikum, sedimen laut, batuan
metamorf, dan batuan beku ultrabasa (Sukamto, 1978). Mandala tengah (Central
Sulawesi Metamorphic Belt) tersusun dari kompleks mélange dan batuan
metamorf (Sukamto, 1978; Hamilton, 1979). Mandala Timur (East Sulawesi
Ophiolite Belt) tersusun dari ofiolit dan sedimen berumur Mesozoikum dan
Kenozoikum (Hall dan Wilson, 2000). Blok Benua Banggai Sula-Tukang Besi
tersusun dari batuan metamorf, batuan beku, dan batuan sedimen laut berumur
Paleozoikum dan Mesozoikum (Hall dan Wilson, 2000).

Keterangan :

Aluvium dan Endapan Pantai

Formasi Puna
Formasi Poso

Formasi Poso
Formasi Batugamping Malih

Kompleks Pompangeo

Gambar 2.2 Peta Geologi Regional


Lembar Poso dan Sekitarnya
(Hemisphere WGS ,1984)

8
Stratigrafi Regional Berdasarkan tatananama batuan daerah dalam lembar
Poso disusun oleh Batuan Sedimen, Mendala Geologi Sulawesi Barat, Mendala
Geologi Sulawesi Timur dan Pelataran (Platform) Banggai Sula. TQpm Formasi
PUNA terdiri atas batupasir, konglomerat, batulanau dengan sisipan lempung dan
gambut. Umur formasi ini berdasarkan kandungan fosil adalah Pliosen Plistosen
yang terendapkan di lingkungan laut dangkal sampai payau. Tebal formasi ini
diperkirakan sekitar 1000 m. Satuan ini diduga menjemari dengan Formasi Puna
dan ditindih tak selaras oleh Endapan Danau.
Berikut beberapa tatananama batuan daerah dalam lembar Poso :
 Qal ALUVIUM dan ENDAPAN PANTAI terdiri atas pasir, lempung, lumpur
kerikil dan kerakal.
 Tpps FORMASI PUNA terdiri atas konglomerat, batupasir, lanau, serpih,
batulempung gampingan dan batugamping. Konglomerat tersusun oleh
komponen batugamping terdaunkan, sekis, geneis dan kuarsa susu, semen
berupa karbonat yang padat dan keras. Batupasir berwarna coklat kehijauan
sampai kehitaman, padat, keras dan berlapis baik, tebal lapisan sekitar 30 200
cm. Lanau berwarna kelabu kehitaman, agak keras, dan berlapis baik, tebal
lapisan sekitar 10 30 cm. Serpih berwarna kelabu, agak keras, padat, dan
berlapis baik. Batulempung gampingan berwarna kuning kecoklatan sampai
kelabu, kurang padat. Batugamping umumnya berupa batugamping koral.
Fosil foraminifera dalam lempung gampingan menunjukkan umur Pliosen
dengan lingkungan pengendapan laut dangkal. Tebal Formasi ini sekitar 800
m. Formasi ini menindih tak selaras Formasi Pompangeo.
 Tppl FORMASI POSO terdiri atas batugamping, napal, batupasir tufaan dan
konglomerat. Kandungan fosil foraminifera menunjukkan umur Pliosen
dengan lingkungan pengendapan pada laut dangkal. Tebal Formasi mencapai
800 m.

9
 MTmm BATUGAMPING MALIH terdiri atas pualam dan batugamping
terdaunkan; berwarna kelabu muda sampai kelabu kehijauan, coklat sampai
merah kecoklatan. Satuan ini diduga berasal dari sedimen pelagos laut dalam
dengan umur lebih tua dari Kapur."
 "MTmp KOMPLEKS POMPANGEO terdiri atas sekis, grafit, batusabak,
gneis, serpentinit, kuarsit, batugamping malih dan setempat breksi. Sekis
terdiri atas sekis mika, sekis mika yakut, sekis serisit, sekis muskovit, sekis
klorit serisit, sekis hijau, sekis glaukopan, sekis purripelit dan sekis amfibolit.
Gneis terdiri atas gneis albit muskovit, gneis kuarsa biotit dan gneis epidot
muskovit plagioklas. Umur satuan diduga lebih tua dari kapur dan tebalnya
diduga ribuan meter.
2.2 Pengertian Ilmu Stratigrafi
Stratigrafi adalah studi mengenai sejarah, komposisi dan umur relatif serta
distribusi perlapisan batuan dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk
menjelaskan sejarah bumi. Dari hasil perbandingan atau korelasi antar lapisan
yang berbeda dapat dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi
(litostratigrafi), kandungan fosil (biostratigrafi), dan umur relatif maupun
absolutnya (kronostratigrafi). stratigrafi kita pelajari untuk mengetahui luas
penyebaran lapisan batuan.
Berdasarkan dari asal katanya, stratigrafi tersusun dari 2 (dua) suku kata,
yaitu kata “ strati “ berasal dari kata “stratos“, yang artinya perlapisan dan kata
“grafi” yang berasal dari kata “graphic/graphos”, yang artinya gambar atau
lukisan. Dengan demikian stratigrafi dalam arti sempit dapat di nyatakan sebagai
ilmu pemerian lapisan-lapisan batuan. Dalam arti yang lebih luas, stratigrafi
dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang aturan, hubungan,
dan pembentukan (genesa) macam-macam batuan di alam dalam ruang dan
waktu (SSI, 1996).

10
 Aturan: Tatanama stratigrafi diatur dalam “Sandi Stratigrafi”. Sandi stratigrafi
adalah aturan penamaan satuan-satuan stratigrafi, baik resmi ataupun tidak
resmi, sehingga terdapat keseragaman dalam nama maupun pengertian nama-
nama tersebut seperti misalnya: Formasi/formasi, Zona/zona, Sistem dan
sebagainya.
 Hubungan: Pengertian hubungan dalam stratigrafi adalah bahwa setiap lapis
batuan dengan batuan lainnya, baik diatas ataupun dibawah lapisan batuan
tersebut. Hubungan antara satu lapis batuan dengan lapisan lainnya adalah
“selaras” (conformity) atau “tidak selaras” (unconformity).
 Pembentukan (Genesa): Mempunyai pengertian bahwa setiap lapis batuan
memiliki genesa pembentukan batuan tersendiri. Sebagai contoh, facies
sedimen marin, facies sedimen fluvial, facies sedimen delta, dsb.
 Ruang: Mempunyai pengertian tempat, yaitu setiap batuan terbentuk atau
diendapkan pada lingkungan geologi tertentu. Sebagai contoh, genesa batuan
sedimen: Darat (Fluviatil, Gurun, GlaSial), Transisi (Pasang-surut/Tides,
Lagoon, Delta), atau Laut (Marine: Lithoral, Neritik, Bathyal, atau Hadal)
 Waktu: Memiliki pengertian tentang umur pembentukan batuan tersebut dan
biasanya berdasarkan Skala Umur Geologi. Contoh: Batugamping formasi
Rajamandala terbentuk pada kala Miosen Awal; Batupasir kuarsa formasi
Bayah terbentuk pada kala Eosen Akhir
Sandi stratigrafi dimaksudkan untuk memberikan pengarahan kepada para
ahli geologi yang bekerja mempunyai persepsi yang sama dalam cara
penggolongan stratigrafi. Sandi stratigrafi memberikan kemungkinan untuk
tercapainya keseragaman dalam tatanama satuan-satuan stratigrafi. Pada
dasarnya, Sandi Stratigrafi mengakui adanya satuan lithostratigrafi, satuan
litodemik, satuan biostratigrafi, satuan sekuen stratigrafi, satuan kronostratigrafi
dan satuan geokronologi. Sandi ini dapat dipakai untuk semua macam batuan
(SSI, 1996).

11
Berikut ini pengertian pengertian mengenai Sandi Stratigrafi sebagai berikut:
 Penggolongan Stratigrafi ialah pengelompokan bersistem batuan menurut
berbagai cara, untuk mempermudah pemerian, aturan dan hubungan batuan
yang satu terhadap lainnya. Kelompok bersistem tersebut diatas dikenal
sebagai satuan stratigrafi.
 Batas Satuan Stratigrafi ditentukan sesuai dengan batas penyebaran ciri
satuan tersebut sebagaimana didefinisikan. Batas satuan Stratigrafi jenis
tertentu tidak harus berimpit dengan batas Satuan Stratigrafi jenis lain,
bahkan dapat memotong satu sama lain.
 Tatanama Stratigrafi ialah aturan penamaan satuan-satuan stratigrafi, baik
resmi maupun tak resmi, sehingga terdapat keseragaman dalam nama
maupun pengertian nama nama tersebut seperti misalnya: Formasi/formasi,
Zona/zona, Sistem dan sebagainya.
 Tatanama Satuan Stratigrafi Resmi dan Tak Resmi. Dalam Sandi Stratigrafi
diakui nama resmi dan tak resmi. Aturan pemakaian satuan resmi dan tak
resmi masing-masing satuan stratigrafi, menganut batasan satuan yang
bersangkutan. Penamaan satuan tak resmi hendaknya jangan mengacaukan
yang resmi.
 Stratotipe atau Pelapisan Jenis adalah tipe perwujudan alamiah satuan
stratigrafi yang memberikan gambaran ciri umum dan batas-batas satuan
stratigrafi. Tipe ini merupakan sayatan pangkal suatu satuan stratigrafi.
Stratotipe hendaknya memberikan kemungkinan penyelidikan lebih lanjut.
1. Stratotipe Gabungan ialah satuan stratotipe yang dibentuk oleh kombinasi
beberapa sayatan komponen
2. Hipostratotipe ialah sayatan tambahan (stratotipe sekunder) untuk
memperluas keterangan pada stratotipe;
3. Lokasitipe ialah letak geografi suatu stratotipe atau tempat mula-mula
ditentukannya satuan stratigrafi.

12
 Korelasi adalah penghubungan titik-titik kesamaan waktu atau
penghubungan satuan satuan stratigrafi dengan mempertimbangkan
kesamaan waktu.
 Horison ialah suatu bidang (dalam praktek, lapisan tipis di muka bumi atau
dibawah permukaan) yang menghubungkan titik-titik kesamaan waktu.
Horison dapat berupa: horison listrik, horison seismik, horison batuan,
horison fosil dan sebagainya. Istilah istilah seperti : datum, marker, lapisan
pandu sebagai padanannya dan sering dipakai dalam keperluan korelasi.
 Facies adalah aspek fisika, kimia, atau biologi suatu endapan dalam
kesamaan waktu. Dua tubuh batuan yang diendapkan pada waktu yang sama
dikatakan berbeda facies, kalau kedua batuan tersebut berbeda ciri fisik,
kimia atau biologinya.
2.3 Satuan Lithostratigrafi
 Azas Tujuan:
Pembagian litostratigrafi dimaksudkan untuk menggolongkan batuan di
bumi secara bersistem menjadi satuan-satuan bernama yang bersendi pada ciri-
ciri litologi. Pada satuan litostratigrafi penentuan satuan didasarkan pada ciri-
ciri batuan yang dapat di-amati di lapangan, sedangkan batas penyebarannya
tidak tergantung kepada batas waktu (SSI, 1996).
 Satuan Resmi dan Tak Resmi:
Satuan litostratigrafi resmi ialah satuan yang memenuhi persyaratan Sandi,
sedangkan satuan litostratigrafi tak resmmi ialah satuan yang tidak seluruhnya
memenuhi persyaratan Sandi (SSI, 1996).
 Batas dan Penyebaran Satuan Satuan Litostratigrafi :
1. Batas satuan litostratigrafi ialah sentuhan antara dua satuan yang berlainan
ciri litologi, yang dijadikan dasar pembeda kedua satuan tersebut.

13
2. Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata perubahan litologinya atau
dalam hal perubahan tersebut tidak nyata, batasnya merupakan bidang yang
diperkirakan kedudukannya (batas arbiter).
3. Satuan satuan yang berangsur berubah atau menjemari, peralihannya dapat
dipisahkan sebagai satuan tersendiri apabila memenuhi persyaratan Sandi.
4. Penyebaran satuan satuan litostratigrafi semata mata ditentukan oleh
kelanjutan ciri ciri litologi yang menjadi ciri penentunya.
5. Dari segi praktis, penyebarasan suatu satuan litostratigrafi dibatasi oleh batas
cekungan pengendapan atau aspek geologi lain.
6. Batas batas daerah hukum (geografi) tidak boleh dipergunakan sebagai
alasan berakhirnya penyebaran lateral (pelamparan) suatu satuan (SSI,
1996).
 Tingkat-tingkat Satuan Litostratigrafi:
1. Urutan tingkat satuan litostratigrafi resmi dari besar sampai kecil adalah:
Kelompok, Formasi dan Anggota.
2. Formasi adalah satuan dasar dalam pembagian satuan litostratigrafi (SSI,
1996).
 Stratotipe atau Pelapisan Jenis:
1. Suatu stratotipe merupakan perwujudan alamiah satuan litostratigrafi resmi
di lokasi tipe yang dapat dijadikan pedoman umum.
2. Letak suatu stratotipe dinyatakan dengan kedudukan koordinat geografi.
3. Apabila pemerian stratotipe suatu satuan litostratigrafi di lokasi tipenya tidak
memungkinkan, maka sebagai gantinya cukup dinyatakan lokasi tipenya
(SSI, 1996).
 Tatanama Satuan Litostratigrafi
Tatanama satuan litostratigrafi resmi ialah dwinama (binomial). Untuk
tingkat Kelompok, Formasi dan Anggota dipakai istilah tingkatnya dan diikuti
nama geografinya (SSI, 1996).

14
2.4 Satuan Biostartigrafi
 Azas Tujuan:
1. Pembagian biostratigrafi dimaksud untuk menggolongkan lapisan-lapisan
batuan di bumi secara bersistem menjadi satuan satuan bernama berdasar
kandungan dan penyebaran fosil.
2. Satuan biostratigrafi ialah tubuh lapisan batuan yang dipersatukan berdasar
kandungan fosil atau ciri-ciri paleontologi sebagai sendi pembeda terhadap
tubuh batuan sekitarnya.
 Satuan Resmi dan Tak Resmi:
Satuan biostratigrafi resmi ialah satuan yang memenuhi persyaratan Sandi
sedangkan satuan biostratigrafi tak resmi adalah satuan yang tidak seluruhnya
memenuhi persyaratan Sandi.
 Kelanjutan Satuan
Kelanjutan satuan biostratigrafi ditentukan oleh penyebaran kandungan
fosil yang mencirikannnya.
 Tingkat dan Jenis Satuan Biostratigrafi
1. Zona ialah satuan dasar biostratigrafi
2. Zona adalah suatu lapisan atau tubuh batuan yang dicirikan oleh satu takson
fosil atau lebih.
3. Urutan tingkat satuan biostratigrafi resmi, masing-masing dari besar sampai
kecil ialah: Super-Zona, Zona, Sub-Zona, dan Zenula,
4. Berdasarkan ciri paleontologi yang dijadikan sendi satuan biostratigrafi,
dibedakan: Zona Kumpulan, Zona Kisaran, Zona Puncak, dan Zona Selang
 Zona Kumpulan :

15
Gambar 2.3 Zona kumpulan
1. Zona Kumpulan ialah kesatuan sejumpah lapisan yang terdiri oleh kumpulan
alamiah fosil yang hkas atau kumpulan sesuatu jenis fosil.
2. Kegunaan Zona Kumpulan, selain sebagai penunjuk lingkungan kehidupan
purba dapat juga dipakai sebagai penciri waktu.
3. Batas dan kelanjutan zona Kumpulan ditentukan oleh batas terdapat
bersamaannya (kemasyarakatan) unsur-unsur utama dalam kesinambungan
yang wajar.
4. Nama Zona Kisaran harus diambil dari satu unsur fosil atau lebih yang
menjadi penciri utama kumpulannya.
 Zona Kisaran :

Gambar 2.4 Zona kisaran


1. Zona Kisaran ialah tubuh lapisan batuan yang mencakup kisaran stratigrafi
untur terpilih dari kumpulan seluruh fosil yang ada.

16
2. Kegunaan Zona Kisaran terutama ialah untuk korelasi tubuh-tubuh lapisan
batuan dan sebagai dasar untuk penempatan batuan batuan dalam skala
waktu geologi
3. Batas dan Kelanjutan Zona Kisaran ditentukan oleh penyebaran tegak dan
mendatar takson (takson-takson) yang mencirikannya.
4. Nama Zona Kisaran diambil dari satu jenis atau lebih yang menjadi ciri
utama Zona.

 Zona Kelimpahan :

Gambar 2.5 Zona kelimpahan


1. Zona kelimpahan ialah tubuh lapisan batuan yang menunjukkan
perkembangan maksimum suatu takson tertentu.
2. Kegunaan Zona kelimpahan dalam hal tertentu ialah untuk menunjukkan
kedudukan kronostratigrafi tubuh lapisan batuan dan dapat dipakai sebagai
petunjuk lingkungan pengendapan purba, iklim purba
3. Batas vertikal dan lateral Zona kelimpahan sedapat mungkin bersifat
obyektif

17
4. Nama-nama Zona kelimpahan diambil dari nama takson yang berkembang
secara maksimum dalam Zona tersebut.
 Zona Selang :

Gambar 2.6 Zona Selang


1. Zona Selang ialah selang stratigrafi antara pemunculan awal/akhir dari dua
takson penciri.
2. Kegunaan Zona Selang pada umumnya ialah untuk korelasi tubuh-tubuh
lapisan batuan
3. Batas atas atau bawah suatu Zona Selang ditentukan oleh pemunculan awal
atau akhir dari takson-takson penciri.
4. Nama Zona Selang diambil dari nama-nama takson penciri yang merupakan
batas atas dan bawah zona tersebut.
2.5 Seismik Stratigrafi

Seismik stratigrafi merupakan salah satu metode yang digunakan untuk


mempelajari struktur dan susunan batuan di bawah permukaan bumi. Metode ini
menggunakan gelombang seismik untuk mendeteksi adanya perubahan kecepatan
gelombang seismik di dalam batuan. Perubahan kecepatan gelombang seismik
tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perubahan litologi,
struktur geologi, dan fluida yang terkandung dalam batuan.
Salah satu aspek penting dalam seismik stratigrafi adalah interpretasi bidang-
bidang diskontinuitas. Bidang-bidang diskontinuitas adalah bidang-bidang yang
memisahkan dua lapisan batuan yang berbeda sifatnya. Bidang-bidang

18
diskontinuitas ini dapat digunakan untuk mendefinisikan satuan stratigrafi,
seperti formasi, lapisan, dan kontak (SSI, 1996).
Berikut ini adalah beberapa jenis bidang diskontinuitas yang dapat
diidentifikasi dalam seismik stratigrafi:
1. Toplap
Toplap adalah suatu terminasi discordance up dip dari perlapisan
miring/menyudut terhadap suatu bidang permukaan diatasnya yang terjadi
karena adanya sedimen bypassing (terdeposisi) atau pengendapan sangat
tereduksi. Kenampakan toplap ini mirip dengan foreset beds suatu
pengendapan yang biasa. Terjadinya toplap biasa dijumpai pada
lingkungan pengendapan laut dangkal

Gambar 2.7 Toplap

2. Erotional Truncation
Erotional truncation adalah terminasi top discordant yang dihasilkan
dari suatu hubungan angularity suatu permukaan erosi terhadap perlapisan
dibawahnya. Erosional Truncation sering sulit dibedakan dengan Toplap
dimana permukaan uncounformitynya sub parallel terhapap permukaan
pengendapan dibawahnya.

Gambar 2.8 Erosional Truncation


3. Apperent Truncation

19
Suatu hubungan top diskordan yang terlihat terpotong akibat
penipisan. Terjadi karena pengendapan downdip bila suplay sedimen
kedalam cekungan yang luas menjadi berkurang. Apabila terjadi pada Up
dip biasanya karena pengendapan kearah daratan pada back stepping
parasequence yang terletak dibawah maximum floading surface
(Transgresif System Tract).

Gambar 2.9 Apperent truncation


4. Onlap
Adalah suatu terminasi diskordan perlapisan lebih muda yang lap out
secara progresif keatas terhadap suatu permukaan yang miring. On Lap
bias di interpretasi sebagai penunjuk hiatus non deposisi dalam jangka
waktu bertambah (arah updip/keatas) ketika perlapisan lebih muda lap out
terhadap suatu permukaan yang sudah ada sebelumnya.

Gambar 2.10 Onlap


5. Downlap
Adalah terminasi downdip yang base diskordan dari suatu perlapisan
yang awalnya miring terhadap suatu permukaan yang lebih tua dengan
kemiringan lapisan yang lebih kecil. Downlap bisa diinterpretasikan
sebagai penunjuk suatu hiatus nondepositional dalam jangka waktu
bertambah (arah down dip) dimana perlapisan yang lebih muda lap out
terhadap permukaan yang sudah ada sebelumnya.

20
Gambar 2.11 Downlap
6. Baselap
Istilah hubungan base-diskordan yang umum digunakan apabila on lap
tidak dapat dibedakan dengnan downlap terutama disebabkan oleh
deformasi sesudah pengendapan.

Gambar 2.12 Baselap

7. Internal Convergence
Terminasi non sistematik yang diakibatkan oleh penipisan perlapisan
karena refleksi seismik

Gambar 2.13 Internal Convergence


8. Offlap
Adalah suatu hubungan top diskordan yang mana lapisan tua terpotong
oleh lapisan yang muda contohnya pada on lap dan erosional truncation

21
tetapi dapat dapat pula diartikan sebagai suatu permukaan refleksi pada
suatu lingkungan progradation biasa disebut dengan clinoform, Hubungan
keatas perlapisan offlapping yang jauh lebih muda terhadap lapisan
lapisan lebih tua yang berada dibawahnya berupa (paralel atau diskordan)
begitupula dengan kebawah atau sebaliknya.

Gambar 2.14 Offlap


Offlap break yaitu adalah titik pada suatu permukaan lapisan yang off lap
dimana kecepatan slopenya maksimum titik ini bisa berimpit dengan shelf
break atau depositional shore line break.

22
Gambar 2.15 Offlap Break

2.6 Satuan Kronostartigrafi


Satuan kronostratigrafi adalah Penggolongan lapisan batuan secara bersistem
menjadi satuan bernama berdasarkan interval waktu geologi. Interval waktu
geologi ini dapat ditentukan berdasarkan geokronologi atau metode lain yang
menunjukkan kesamaan waktu. Pembagian kronostratigrafi ialah penggolongan
lapisan batuan secara bersistem menjadi satuan bernama berdasarkan interval
waktu geologi. Interval waktu geologi ini dapat ditentukan berdasarkan
geokronologi atau metode lain yang menunjukkan kesamaan waktu. Pembagian
ini merupakan kerangka untuk menyusun urutan peristiwa geologi secara lokal,
regional dan global.

Stratotipe Satuan adalah sayatan (penampang) selang stratigrafi yang dibatasi


oleh stratotipe batas atas dan bawah di tempat asal nama satuan Stratotipe Batas
ialah tipe batas bawah dan atas satuan.

Gambar 2.16 Perbedaan satuan kronostartigrafi

23
2.7 Satuan Sikuen Stratigrafi
Pembagian sikuenstratigrafi ialah penggolongan lapisan batuan secara
bersistem menjadi satuan bernama berdasarkan satuan genesa yang dibatasi, di
bagian bawah dan atasnya oleh bidang ketidakselarasan atau keselarasan
padanannya. Pembagian ini merupakan kerangka untuk menyusun urutan
peristiwa geologi. Satuan sikuenstratigrafi ialah suatu tubuh lapisan batuan yang
terbentuk dalam satuan waktu pada satu daur perubahan muka-laut relatif.
Tujuannya untuk menjelaskan dan menafsirkan kejadian, pelamparan dan
geometri facies sedimenter. Kegunaannya sebagai alat bantu dalam pengenalan
dan penafsiran fasies reservoir, batuan tudung dan batuan induk yang akhirnya
akan mengurangi resiko eksplorasi dan memperbaiki korelasi satuan-satuan
reservoir untuk eksploitasi

24
Gambar 2.17 Sikuen Stratigrafi

BAB III
METODOLOGI
3.1 Alat & Bahan
Adapun alat dan bahan pada praktrikum kali ini yaitu sebagai berikut:
No. Alat dan Bahan Kegunaan
1. Kompas Geologi Untuk mengambil arah perlapisan, arah
sungai, arah singkapan
2. Palu Geologi Untuk mengambil sampel batuan
3. GPS Untuk menentukan posisi
4. Peta Untuk mengetahui posisi pada peta
5. Kamera Sebagai alat dokumentasi dilapangan
6. Buku Lapangan Sebagai tempat mencatat data

25
dilapangan
7. ATK Lengkap Untuk menulis data lapangan
8. Pensil Warna Digunakan dalam pewarnaan simbol
litologi dan sketsa
9. Kantong Sampel dan Spidol Tempat penyimpanan sampel batuan
dan menulis keterangan dikantong
sampel
10. Komperator Untuk mengecek ukuran butir
11. HCL Untuk mengidentifikasi sampel batuan
12. Lup Untuk mengidentifikasi sampel batuan
13. Kertas A4 Sebagai bahan pencatatan data dan
sketsa saat dilapangan.
14. Roll Meter Digunakan dalam pengukuran lintasan
distasiun.
15. Pita Ukur Untuk mengukur ketebalan batuan
/lapisan.
Tabel 3.1 Alat Dan Bahan Serta Kegunaan
3.2 Langkah Kerja
Adapun langkah kerja yang kita lakukan dilapangan dilapangan yaitu :
1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini ditempuh dalam dua bagian yaitu studi literatur dan studi
pustaka, administrasi persuratan dan persiapan perbekalan, perlengkapan dan
peralatan. Studi pustaka dan literatur dilakukan para peserta, untuk
mempersiapkan dan membekali diri dengan teori, data penelitian terdahulu,
interpretasi peta dasar dan sebagainya, yang berhubungan dengan daerah
penelitian dan dapat mendukung praktek lapangan ini. Bagian adininistrasi
dan persuratan dilakukan untuk melengkapi segala persuratan dan perizinan
yang ada hubungannya dengan penelitian lapangan, agar tidak memperoleh

26
hambatan pada saat penlitian. Selanjutnya persiapan perbekalan,
perlengkapan dan peralatan ke lapangan.
2. Tahap Pengumpulan Data
Tahapan penelitian yaitu proses pengambilan data di lapangan yang dapat
dituangkan dalam tabel Measuring Section dengan tahapan-tahapan sebagai
berikut:
1. Plotting peta, merupakan langkah paling awal pada saat berada di
lapangan agar kita mengetahui lokasi tepat kita berdiri dan daerah tempat
kita melakukan pengambilan data-data (stasiun).
2. Mengamati, prosedur pengamatan singkapan yang baik diawali dengan
memperhatikan singkapan dari jarak jauh sehingga seluruh singkapan
dapat teramati dengan pandangan luas. Hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui gambaran struktur secara lebih utuh dan yang terpenting
adalah untuk menentukan pada singkapan mana yang perlu mendapat
perlakuan khusus. Langkah pengamatan yang kedua adalah mengamati
singkapan dari jarak dekat. Pengamatan singkapan dari jarak dekat ini
dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran struktur yang lebih detail.
3. Melakukan pengamatan Litologi secara Litostratigrafi dengan melihat dan
memperhatikan bentuk perlapisan, ukuran butir, dan komposisi mineral
4. Melaksanakan pengukuran strike/dip dan slope.
5. Mencatat, merupakan tahapan dimana mahasiswa/praktikan mencatat
data-data yang mereka jumpai pada daerah tertentu terutama pada
singkapannya. Data yang dicatat berupa data singkapan, data litologi, data
geomorfologi, dan data struktur, selain data-data tersebut
mahasiswa/praktikan juga mencatat data-data measuring section berupa
arah, slope, strike/dip, kandungan fosil (jika ada) serta keterangan apakah
litologi-litologi pada daerah penelitian bereaksi atau tidak dengan larutan
HCI.

27
6. Mengambil sampel, setelah mencatat setiap data-data yang kita butuhkan,
selanjutnya kita mengambil sampel sebagai hal utama dalam penelitian
ini.
7. Pembuatan sketsa/pengambilan foto, untuk memudahkan dalam analisis
perlu kiranya kita membuat sketsa singkapan. Kelebihan dari membuat
sketsa ini adalah dapat menggambarkan sesuatu yang sifatnya detail dan
secara langsung memberikan keterangan gambarnya. Foto diperlukan
sebagai bahan analisis dan untuk dokumentasi dalam pembuatan laporan.
3. Tahap Pengolahan Data
Setelah melaksanakan pengukuran dan mengambil data-data yang
cukup di lapangan, maka tahap selanjutnya adalah pengolahan data-data
tersebut, untuk dijadikan sebagai dasar dalam pembuatan MS dan kolom
stratigrafi.
4. Tahap Analisis Data
Analisis sementara, setelah dilakukan observasi singkapan dan
membuat sketsa singkapan, selanjutnya dilakukan analisis sementara khusus
di lokasi tersebut. Analisis ini berupa penentuan nama batuan, pemecahan
masalah, serta menyimpulkan pembentukannya, sehingga memudahkan untuk
analisis selanjutnya.

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Data Singkapan
Berdasarkan hasi pengamatan dan pengukuran dengan menggunakan
metode Measuring section yang kami lakukan dilapangan berlokasi Desa
Sulewana, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso, pada tanaggal 12-14
Januari 2024 terdapat 2 stasiun pengamatan.
1. Stasiun 01

28
 Data singkapan

Gambar 4.1 Lintasan Pengukuran MS di Singkapan Gunung Puna


Dengan koordinat 1°38.538’ S, 120º39.130’E, arah singkapan N150ºE,
azimuth 60º, slope 12º arah penyebaran timur ke barat dimensi P x L 40 x 6 m
yang merupakan singkapan ebaikksitu memiliki hubungan berupa perlapisan dan
ditumbuhi berupa vegetasi.

o Data litologi

Keterangan :
Laminasi

Ripple Beds

Wavy Beds
Cross Beds

Graded Bedding

29
Gambar 4.2 Sketsa struktur sedimen Pengukuran MS di Singkapan Gunung Puna
 Batupasir dengan warna segar kehitaman, warna lapuk abu-abu ukuran
butir 1/8-1/16, sortasi baik, kemas terbuka, permeabilitas baik, porositas.

Gambar 4.3 Litologi batupasir


 Batulanau dengan warna segar hitam, warna lapuk abu-abu, ukuran butir
1/16-1/156, sortasi baik, kemas tertutup, permeabilitas baik, dan porositas
buruk.

30
Gambar 4.4 Litologi batulanau
 Batulempung dengan warna segar abu-abu kehitaman, warna lapuk hitam,
ukuran butir 1/256 mm, sortasi terpilah buruk, kemas tertutup,
permeabilitas buruk, porositas baik.

Gambar 4.5 Litologi batulempung


 Konglomerat dengan warna segar coklat, warna lapuk coklat keabuan
ukuran butir 2-64 mm, kemas tertutup, sortasi baik, fragmen
ultrabasa,matriks batupasir sedang.

31
Gambar 4.6 Litologi konglomerat

 Data geomorfologi
Memiliki relief, tipe morfologi perbukitan tinggi, kemiringan lereng 20º
tingkat pelapukan tinggi, tipe erosi land slid, soil berwarna coklat, tata guna
lahan jalan tradisional dan perkebunan, stadia daerah dewasa
 Data struktur
Memiliki struktur sedimen ripple beds, laminasi, wavy beds, cross beds
dan graded bedding.

2. Stasiun 02
 Data Singkapan

32
Gambar 4.7 Lintasan Pengukuran MS di Sungai
Dengan koordinat 1°39.278’ S, 120º37.968’E, arah singkapan N280ºE,
azimuth 180º, slope 5º arah penyebaran timur ke barat dimensi P x L 60 x 2 m
yang merupakan singkapan eksitu memiliki hubungan berupa perlapisan dan
ditumbuhi berupa vegetasi.

o Data litologi
Keterangan :

Laminasi

Graded Bedding
33
Gambar 4.8 Sketsa Struktrur Sedimen Pengukuran MS
di Sungai

 Batupasir dengan warna segar abu-abu kehitaman, warna lapuk abu-abu,


ukuran butir 1/2-1/16 mm sortasi baik, kemas terbuka, permeabilitas
sedang, porositas buruk, dan mengandung fosil planktonik.

Gambar 4.9 Litologi


batupasir
 Batulanau dengan warna segar hitam, warna lapuk abu-abu, ukuran butir
1/6-1/256 mm, sortasi buruk, kemas tertutup, porositas buruk, terdapar

34
struktur sedimen berlapis dengan kedudukan N170ºE mengandung fosil
bentonik.
Gambar 4.10 Litologi batulanau
 Batulempung dengan warna segar abu-abu kehitaman, warna lapuk hitam,
ukuran butir 1/256 mm sortasi terpilah buruk, kemas tertutup,
permeabilitas buruk, porositas baik.

Gambar 4.11 Litologi batulempung


 Konglomerat dengan warna segar coklat, warna lapuk coklat keabuan
ukuran butir 2-64 mm, kemas tertutup, sortasi baik, fragmen
ultrabasa,matriks batupasir sedang.

Gambar 4.12 Litologi Konglomerat

35
 Data geomorfologi
Relief perbukitan, tipe morfologi perbukitan rendah, kemiringan
lereng 4º, tingkat pelapukan sedang – tinggi, sungai permanen, soil abu
kehitaman, tata guna lahan semak belukar, stadia daerah dewasa
 Data struktur
Memiliki struktur sedimen laminasi dan garaded bedding dengan
kedudukan N170ºE

36
Gambar 4.13 Struktur Sedimen Lapisan Batuan

37
4.2 Penentuan Satuan Batuan
Pembagian dan penamaan satuan batuan di daerah penelitian dilakukan
berdasarkan ciri-ciri litologinya meliputi jenis, kombinasi, dan ciri fisik batuan
yang diamati di lapangan. Identifikasi satuan batuan dilakukan secara
megaskopis pada batuan yang tersingkap di lapangan. Stratigrafi daerah
penelitian dibagi menjadi 2 satuan batuan yaitu:

1. Satuan Batulanau
Penamaan satuan ini didasarkan pada litologi Batulanau sebagai
litologi dominan pembentuk satuan yang ada di daerah penelitian. Satuan
Batulanau di susun oleh litologi batupasir sedang, batulanau dan batulempung.
Ketebalan satuan litologi berdasarkan hasil pengukuran dilapangan adalah
50,73 meter dan tersebar sepanjang sungai poso dengan arah penyebaran dari
Timur ke Barat. Adapun ciri litologi dari Satuan Batulanau terdiri dari :
a. Batupasir sedang memiliki warna abu-abu kehitaman, ukuran butir 1/2 -
1/16 mm, sortasi baik, kemas terbuka, permabilitas baik, porositas baik,
terdapat kandungan cangkang fosil (tidak utuh). Satuan ini berumur pliosen
dengan lingkungan pengendapan lower fan.
b. Batulanau memiliki warna hitam,ukuran butir 1/16-1/256 mm, sortasi
buruk, kemas tertutup, permabilitas baik dengan kedudukan N 70° E.
c. Batulempung memiliki warna hitam, ukuran butir <1/256 mm, sortasi
buruk, kemas tertutip, dengan permabilitas kedap air.
Satuan Batulanau berumur pliosen bawah dengan lingkungan pengendapan
lower fan. Dapat ditinjau bahwa tidak adanya selang waktu antara umur
satuan ini dengan umur satuan batuan diatasnya. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa hubungan stratigrafi antara Satuan Batulanau dengan
Satuan Batupasir yang ada diatasnya yaitu selaras.

38
2. Satuan Batupasir
Penamaan satuan ini didasarkan pada litologi Batupasir sebagai litologi
dominan pembentuk satuan yang ada di daerah penelitian. Satuan Batupasir di
susun oleh litologi batupasir, batulanau, batulempung, konglomerat dan
sisipan batubara. Ketebalan satuan litologi berdasarkan hasil pengukuran
dilapangan adalah 94,35 meter dan tersebar sepanjang sungai poso dari arah
penyebaran Timur ke Barat. Adapun ciri litologi dari Satuan Batulanau terdiri
dari :
a. Konglomerat memiliki warna coklat kekuningan, ukuran butir 2-64 mm,
kemas terbuka, fragmen batuan beku ultramafic, matriks batupasir
sedang, semen silika.
b. Batupasir sangat kasar memiliki warna coklat kekuningan ,ukuran butir 2-
1/256 mm, sortasi baik, kemas terbuka, permabilitas sedang, porositas
buruk.
c. Batulanau memiliki warna coklat kehitaman, ukuran butir 1/16-1/256
mm, sortasi baik, kemas tertutip, permabilitas baik, dan porositas buruk.
d. Batulempung memiliki warna hitam, ukuran butir <1/25 6mm, sortasi
buruk, kemas tertutup, dan permabilitas kedap air
Satuan Batupasir berumur pliosen atas dengan lingkungan pengendapan
upper fan. Berdasarkan pengamatan di lokasi, dapat ditinjau bahwa satuan
batuan ini memiliki kedudukan yang relatif sama dengan satuan batuan di
bawanya dan tidak adanya selang waktu antara umur satuan batuan ini
dengan satuan batuan yang ada di bawahnya. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa hubungan stratigrafi antara Satuan Batupasir dengan
Satuan Batulanau yang ada dibawahnya yaitu selaras.

39
4.3 Sejarah Pembentukan Cekungan Sedimen
Cekungan sedimen di desa Sulewana, Poso, Cekungan sedimen
Sulewana-Poso merupakan cekungan sedimen yang terletak di bagian timur
Pulau Sulawesi terbentuk pada zaman Eosen hingga Oligosen, pada periode
Kapur hingga Tersier. Pada periode Tersier, kegiatan tektonik di Cekungan
Sulewana-Poso semakin intensif. Hal ini menyebabkan terjadinya sedimentasi
yang lebih cepat dan beragam. Sedimen yang terendapkan pada periode
Tersier ini terdiri dari batugamping, batupasir, batulempung, dan batubara.
Sekitar 56-33 juta tahun yang lalu. Pembentukan Cekungan Sulewana-
Poso dimulai pada periode Kapur Akhir, cekungan ini terbentuk akibat
aktivitas tektonik, yaitu pergerakan lempeng bumi, Pergerakan lempeng bumi
menyebabkan terjadinya cekungan di kerak bumi, ketika terjadi subduksi
lempeng Laut Maluku di bawah lempeng Sunda. Subduksi ini menyebabkan
terbentuknya palung laut yang kemudian terisi oleh sedimen.
Pada zaman Eosen, periode Tersier, cekungan ini masih berupa
cekungan dangkal yang terisi oleh sedimen fluvial. Sedimen fluvial ini berupa
pasir, lumpur, dan batu gamping. Pada zaman Oligosen, cekungan ini
mengalami penurunan sehingga menjadi cekungan yang lebih dalam.
Cekungan yang lebih dalam ini kemudian terisi oleh sedimen marin. Sedimen
marin ini berupa batugamping, serpih, dan batupasir.
Sedimen yang terisi di cekungan ini berada pada zaman pliosen
dengan proses diagenesis, yaitu proses perubahan batuan sedimen menjadi
batuan yang lebih keras. Proses diagenesis ini terjadi akibat adanya tekanan
dan temperatur yang tinggi. Kegiatan tektonik di Cekungan Sulewana-Poso
semakin intensif. Hal ini menyebabkan terjadinya sedimentasi yang lebih
cepat dan beragam. Sedimen yang terendapkan pada periode Tersier ini terdiri
dari batugamping, batupasir, batulempung, dan batubara.

40
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan praktikum yang telah dilakukan antara lain :

1. Berdasarkan hasi pengamatan dan pengukuran dengan menggunakan metode


Measuring Section yang di lakukan dilapangan berlokasi di Desa Sulewana,
Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso, pada tanaggal 12-14 Januari
2024 terdapat 2 stasiun pengamatan dan litologi batuan yang dijumpai yaitu
berupa jenis batuan sedimen Batupasir, Konglomerat, Batulanau, Batulempung
dan
Batubara (sisipan).
2. Berdasarkan analisis pola pengendapan sedimen terdapat dua
lingkungan pengendapan yaitu upper fan dan lower fan, dimana upper fan
ditandai dengan pola pengendapan Tipe 1, dimana CU (mengkasar ke atas),
terjadi penurunan muka air laut dan daerah lower fan dimana proses
pengendapan sedimen pola (menghalus kea atas atas) termasuk
golongan pengendapan Tipe 2 dan terjadi kenaikan muka air laut.
5.2 Saran
Agar Sekiranya penambahan ruangan lab agar kegiatan mahasiswa dan dosen
lebih leluasa dan tidak saling bertabrakan waktu antar dosen atau mahasiswa
yang ingin menggunakan lab.

41
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. Jakarta: Ikatan Ahli Geologi Indonesia
(IAGI). 34 hal.

Carlile, J. and Mitchell, A., 1994. Magmatic arcs and associated gold and copper
mineralization in Indonesia. Journal of Geochemical Exploration, 50(1-3),
pp.91- 142.

Corbett, G., & Leach, T. 1997. Southwest Pacific Rim Gold-Copper Systems :
Structure, Alteration, and Mineralization. Australia.

Davies, A.G., Cooke, D.R., Gemmell, J.B., van Leeuwen, T., Cesare, P. and
Hartshorn, G., 2008. Hydrothermal breccias and veins at the Kelian gold mine,
Kalimantan, Indonesia: Genesis of a large epithermal gold deposit. Economic
Geology, 103(4), pp.717-757.

Fossen, H., 2016. Structural geology. Cambridge University Press.

Koesoemadinata, R.P. Prinsip-Prinsip Sedimentasi, ITB, Bandung.

Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia IAGI.

Novianty, Rika. 2016. Laporan Resmi Prinsip Prinsip Stratigrafi. Pekanbaru.

42

Anda mungkin juga menyukai