Masa remaja merupakan salah satu tahapan perkembangan yang sangat penting. Menurut
Erikson, pada masa remaja seseorang menghadapi krisis mencari identitas diri sehingga di
akhir masa ini seseorang diharapkan dapat menemukan identitas dirinya (Feist & Feist, 2010).
Di sisi lain, pada masa remaja, seseorang cenderung memiliki egosentrisme yang tinggi.
Karakteristik egosentrisme inilah yang membuat remaja merasa tertantang untuk melakukan
perilaku yang secara tidak sadar dapat membahayakan diri mereka sendiri (Albert, Elkind, &
Ginsberg, 2007). Perilaku membahayakan diri dan orang lain yang banyak dilakukan oleh
remaja antara lain aksi tawuran, bullying, minum-minuman beralkohol, menggunakan obat-
obatan terlarang, atau seks bebas.
Egosentrisme adalah ketidakmampuan membedakan sudut pandang diri sendiri dan sudut
pandang orang lain (Santrock, 2011). Menurut David Elkin (dalam Santrock, 2011), ada dua
kunci utama dalam egosentrisme remaja yaitu imaginary audience dan personal fabel. Lebih
lanjut, dijelaskan bahwa imaginary audience adalah ciri khas remaja yang merasa menjadi pusat
perhatian, merasa orang lain tertarik pada sesuatu (sama seperti dirinya), dan biasanya muncul
perilaku mencari perhatian. Contohnya, saat berkendara atau berjalan, remaja merasa orang-
orang di sekitar memperhatikan mereka. Tidak jarang ada pula remaja yang berperilaku
tertentu bertujuan untuk menarik perhatian orang di sekitar. Sementara, personal fabel adalah
ciri khas remaja merasa dirinya unik, merasa tidak ada yang memahami, dan merasa dirinya
kebal atau tidak terkalahkan. Penelitian yang dilakukan oleh Azhari, Dahlan, dan Mustofa (2019)
pada 395 remaja berusia 13-18 tahun yang bersekolah di SMP dan SMA di Kota Bandung
menunjukkan bahwa imaginary audience dan personal fabel dapat mempengaruhi perilaku
agresi pada remaja.
Tingginya agresi pada remaja ternyata terkait erat dengan rendahnya kecerdasan emosional
yang dimiliki. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siu (2009) di Cina, tingginya
perilaku depresi, cemas, stres, agresi, dan kenakalan remaja berhubungan dengan rendahnya
kecerdasan emosional yang dimiliki. Hasil serupa juga diperoleh oleh Moskat dan Sorenson
(2012) dalam penelitiannya pada remaja usia 12-17 tahun di Washington, tingginya agresivitas
berhubungan dengan rendahnya kecerdasan emosional pada remaja. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Kawamoto, Kubota, Sakakibara, Muto, Tonegawa, Komatsu, dan Endo (2021)
pada anak dan remaja di Jepang, ditemukan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional pada
anak/remaja maka permasalahan mereka dengan teman sebaya dan kesulitan lain yang
dihadapi cenderung semakin rendah, serta perilaku prososial (tolong-menolong) cenderung
tinggi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Masithah, Soedirham, dan Triyoga (2019) pada
mahasiswa berusia 18-24 tahun di Indonesia juga menunjukkan bahwa kecerdasan emosional
mempengaruhi kontrol perilaku seseorang, pada penelitian ini mempengaruhi pada intensi
untuk berhenti merokok. Mengacu pada beberapa hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa diperlukan kecerdasan emosional yang tinggi bagi remaja untuk membantu mereka
mengelola emosi dan mengurangi perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri maupun
orang lain.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengelola diri, seperti
kemampuan: memotivasi diri, bertahan terhadap stres, mengelola emosi, bersosialisasi, dan
hubungannya dengan Tuhan (Goleman, 2009). Orang yang memiliki kecerdasan emosional
yang tinggi akan cenderung memiliki kemampuan emosional yang lebih bisa membantu
menghadapi permasalahan sehari-hari dan cenderung tidak merugikan diri sendiri maupun
orang lain. Cerdas secara akademis saja ternyata tidak cukup untuk seseorang bisa mengontrol
diri dan bersosialisasi dengan lingkungan, dibutuhkan kecerdasan emosional untuk
menyeimbangkannya.
Kecerdasan emosional dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama faktor eksternal, yaitu:
1. Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama kali bagi anak dalam mempelajari kecerdasan
emosional, salah satunya melalui interaksi dengan orangtua. Orangtua dapat
membantu anak mengenali emosi, memberi label pada emosi, menghargai emosi yang
dirasakan, dan menempatkan emosi pada situasi sosial yang relevan (Mayer & Salovey,
1997). Anak memiliki kecenderungan meniru perilaku orang dewasa, termasuk saat
mengekspresikan emosi. Oleh karena itu, perlu bagi kita sebagai anggota keluarga
untuk sama-sama saling mengenali dan menghargai emosi satu sama lain, serta
mengekspresikan emosi dengan cara yang tepat (tidak merugikan diri dan anggota
keluarga lain) agar hubungan dalam keluarga bisa terjalin dengan nyaman dan terbuka.
2. Lingkungan (teman sebaya, pendidikan, dan budaya)
Baik kita sadari maupun tidak, lingkungan turut berperan dalam kecerdasan emosional
kita dan hal ini dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan perkembangan
sosioemosional anak sehingga dapat memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.
Contohnya dapat kita temui pada saat kita berinteraksi dengan teman, guru, ataupun
tetangga sebelah rumah kita. Ada proses pembelajaran baik dari segi budaya ataupun
kebiasaan yang kita ambil dari interaksi tersebut.
Kecerdasan emosional bukan sesuatu yang diturunkan, melainkan dapat dilatih atau dipelajari
dari lingkungan (Saphiro, 2003). Berikut, tips-tips yang bisa dilakukan remaja untuk
meningkatkan kecerdasan emosional: