Anda di halaman 1dari 126

Dharma Setyawan & Mustika Edi Santosa

GENDER & EKONOMI


Kutipan Pasal 72
Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Hak Cipta (UU Nomor 19 Tahun 2000)

1.Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau mem-
per banyak suatu Ciptaan atau memberikan izin untuk itu, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2.Barang siapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan,


mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil
pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau
denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Gender & Ekonomi
Copyright ©Dharma Setyawan & Mustika Edi Santosa, 2023
All rights reserved

Penulis : Dharma Setyawan & Mustika Edi Santosa


Editor : Dwi Nugroho
Layout : Dwi Nugroho
Sampul : Mustika Edi Santosa

Diterbitkan oleh:
Inoffast Publishing
Jl. Jemurwonosari Lebar 111 Wonocolo, Surabaya
E-Mail : inoffastindonesia@gmail.com
Phone : 081314256167
Website : www.inoffast.com
Instagram : @inoffast_publishing

Gender & Ekonomi


Surabaya: Inoffast Publishing, 2023 (xi + 111hlm)
ISBN: 978-623-5791-49-4
Cetakan pertama, Mei 2023
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................viii
Dinamika Feminisme ..................................................................................... xi
Candu Kekerasan Terhadap Perempuan ................................................. 6
Kerja-Kerja Kaum Feminis .......................................................................... 10
Kapitalisme dan Ruang Kerja Bagi Perempuan ................................. 14
Perempuan Dalam Belenggu Kebudayaan.......................................... 18
Perempuan dan Stigma di Ruang Sosial .............................................. 21
Perempuan dan Gerakan Lingkungan .................................................. 24
Perempuan, Kampus dan Pemberdayaan............................................ 27
Perempuan Tanpa Batas............................................................................. 30
Merayakan Kemandirian Perempuan .................................................... 34
Inovasi Perempuan ....................................................................................... 37
Bangun Kolektivitas...................................................................................... 39
Sekolah Penggerak Perempuan .............................................................. 41
Pulang ke Masa Depan ............................................................................... 44
Ekonomi dan Pendidikan Transformatif ............................................... 47
Tanah dan Perempuan? .............................................................................. 50
Mereka Rentan?............................................................................................. 53
Ekonomi dan Perlindungan Perempuan .............................................. 56
Desa, Perempuan dan Lingkungan Hidup........................................... 59
Gender dan Ekonomi Desa?...................................................................... 61
Pintu Efektif ..................................................................................................... 63
WES Payungi ................................................................................................... 65
Skala ................................................................................................................... 67

ii
Kemandirian Desa ......................................................................................... 70
Gerakan Branding ......................................................................................... 73
Basis Pemberdayaan Era Gig Economy ................................................ 76
Pemulihan ........................................................................................................ 79
Ruang Interaksi .............................................................................................. 82
Perempuan, Penggerak dan Kepemimpinan Lokal

Daftar Pustaka

Tentang Penulis

Catatan

iii
KATA PENGANTAR
Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si., Ph.D

Perempuan setidaknya diperdebatkan dalam wacana seputar


status, tubuh, peran, dan pemikirannya. Status perempuan sering
dipahami sebagai makhluk atau jenis kelamin nomor dua (second sex).
Tubuh perempuan, sering dihubungkan dengan simbol kesucian,
kesuburan, pemuas, hingga disebut sebagai sumber mala petaka.
Adapun, peran perempuan, dianggap mengurusi wilayah dapur, sumur,
kasur, mendidik anak, hingga sebagai penentu masa depan bangsa.
Sehingga, partisipasi perempuan dalam peran-peran tersebut, pada
gilirannya juga dikait-kaitkan dengan preferensi pemikiran perempuan
yang membagi perempuan dalam berbagai kelompok pemikiran.
Pemikiran dan pengalaman perempuan dalam menggerakan ekonomi
juga hal yang sangat penting untuk dinarasikan dan disebarluaskan
sebagai amal jariyah.
Ketidaksetaraan gender merupakan situasi hukum, sosial, dan
kebudayaan, keagamaan, dan aspek lainnya dimana jenis kelamin
menjadi salah satu penentu hak dan martabat. Kondisi ini tercermin
dari akses yang tidak setara, dan ketidak seimbangan dalam
berpartisipasi, pembuat keputusan dan merasakan manfaat.
Pperempuan tidak memiliki akses yang sama dengan laki-laki dalam
banyak bidang, misal politik, pendidikan, sosial, ekonomi, dan
keagamaan. Fakta sosial ini menjadi isu yang krusial untuk diselesaikan
dengan berbagai macam kebijakan, program dan kativitas nyata.
diskusi, dialog, dan praktik dengan mengambil fokus pada ekonomi
dan gender.
Ketidaksetaraan gender, yang umum terjadi terhadap perempuan
dengan berbagai latar belakang, merupakan suatu bentuk
ketidaksetaraan sosial yang sering terjadi di seluruh dunia.
iv
Penggambaran-penggambaran yang digunakan dalam mendefinisikan
laki-laki dan perempuan pun cenderung memperlihatkan bahwa
perempuan merupakan objek yang penurut dan tergantung. Beberapa
ilmuan seperti (Mckee & Sheriffs, 1957) menggambarkan maskulinitas
sebagai sebuah karakter yang berkaitan dengan kompetensi yang tidak
berbatas dan memiliki kemampuan yang rasional. Sementara itu
perempuan didefinisikan sebagai pribadi yang komunikatif, dan
sosialis, memiliki dukungan dan kehangatan secara emosional
(Goffman, 1979). Konstruksi-konstruksi yang demikian membuat
perempuan memiliki ruang yang terbatas untuk berakselerasi.
Konstruksi yang timpang secara sosial-kebudayaan, sejarah,
keadaan geografis, kondisi politik yang tidak berpihak, dan yang
banyak menjadi perbincangan saat ini adalah konstruksi atas norma-
norma Agama membuat keberadaan perempuan semakin tersudut.
Bahkan dalam konstruksi sosial-keagamaan, perempuan banyak
dijadikan sebagai objek. Banyak tafsir-tafsir atas norma agama yang
bertebaran yang bertendensi pada kepentingan belah pihak (laki-laki),
sehingga melemahkan posisi perempuan.
Ketidaksetaraan ini pada akhirnya menjadi sebab melambatnya
pembangunan ekonomi suatu negara yang ditandai dengan rendahnya
kapabilitas perempuan, terbatasnya akses perempuan dalam
pendidikan, terdiskriminasinya perempuan dalam sektor domestik, dan
terbatasnya ruang-ruang yang representatif bagi perempuan di dalam
dunia kerja. Fenomena ini yang kemudian menjadi isu yang
diperbincangkan. Bahwa perempuan tidak mendapatkan hak-hak
sebagaimana yang laki-laki dapatkan.
Isu terkait ketidaksetaraan gender menjadi isu yang penting di
beberapa negara maju. Teks-teks hukum yang banyak digunakan
sebagai landasan kebijakan, misalnya di Prancis dan beberapa negara
Uni Eropa tidak mampu mendefinisikan secara tepat apa yang
dimaksud dengan kesetaraan gender, khususnya di tempat-tempat
kerja. Situasi ini menggambarkan bahwa banyak kebijakan-kebijakan
yang didasarkan pada sudut pandang patriarki sehingga menempatkan
perempuan sebagai objek. Itu sebabnya di beberapa negara maju
konsep kesetaraan gender masih menjadi suatu konsep polisemi.
v
Di dalam dunia kerja konsep ini masih diperbincangkanm yang
mana masih ada kesenjangan konsep kesetaraan gender antara praktik
dan kebijakan. Hal ini tentu banyak bergantung pada individualitas
manajer dalam membuat sebuah kebijakan. Banyak manajer dan
karyawan tidak melihat isu ini sebagai isu yang penting sehingga tidak
ada tindakan-tindakan yang dilakukan untuk melawan kebijakan.
Kemungkinan manajer dan karyawan berupaya untuk memeuhi aspek-
aspek lain yang dianggap lebih penting.
Perempuan dan ekonomi pada prinsipnya memiliki
keterhubungan yang erat. Oleh sebab itu penting kiranya memberi
ruang dan posisi yang setara. Kesetaraan gender menjadi satu indikator
penting dalam peningkatan kapabilitas modal manusia dan
berpengaruh pada pembangunan ekonomi. Di sisi lain Keterlibatan
perempuan dalam aktivitas ekonomi juga dapat menekan angka
kesenjangan antara laki-laki dan perempuan.
Isu-isu sosial tentang ketimpangan gender ini pada dasarnya
telah menjadi perhatian dan secara ekstensif dipelajari dalam berbagai
disiplin keilmuan. Khususnya dalam bidang ekonomi, banyak ilmuan
yang menjadikan topik ketidaksetaraan gender menjadi kajian dalam
dunia kerja. Perhatian ini secara ringkasnya mampu mendorong
perempuan untuk survive, menciptakan kebijakan-kebijakan yang
setara di dalam dunia kerja, pendidikan, dan ruang-ruang sosial,
mendorong perempuan untuk berdaya, berani berbicara di depan
publik, dan bahkan menjadi policy-maker dalam beberapa hal.
Lain dari hal itu, buku ―Gender dan Ekonomi‖ ini memiliki
kontribusi yang sangat luar biasa. Selain memberi pengayaan wawasan
tentang perempuan dan ekonomi, kajian dan analisis dalam buku ini
menjadi satu literatur yang padat dan komprehensif. Terutama adanya
penggambaran-penggambaran atau pembenturan-pembenturan
dengan realitas sosial yang memberi kedekatan secara emosionalitas.
Pertama, mampu menggambarkan bagaimana perempuan terus
mendapatkan posisi yang tidak setara dalam beberapa sektor, baik
domestik maupun publik. Sekaligus, memberi gambaran bagaiamana
perempuan harus memulai untuk berdaya dalam sosial-ekonomi secara
kolektif.
vi
Kedua, hasil analisis-analisis dalam buku ini memberikan
perspektif baru – khususnya, adanya efek ekonomi dari kesetaraan
gender dalam kondisi ekonomi yang kompleks hari ini. Hal ini
memperlihatkan bahwa perempuan memiliki peran yang sama
pentingnya dengan laki-laki dalam pembangunan ekonomi. Secara
tidak langsung buku ini mampu menghubungkan dua literatur penting,
yaitu kesetaraan gender yang terus diperjuangkan dan kompleksitas
ekonomi yang sedang terjadi.
Dalam hal ini buku yang diterbitkan ini memberi kontribusi pada
literatur yang didasarkan pada analisis yang inklusif dan komprehensif
tentang ekonomi dan perempuan (gender). Di samping itu kondisi-
kondisi sosial yang digambarkan sangat terang dan dekat dengan
berbagai latar kondisi sosial yang ada di daerah-daerah, dimana
perempuan mendapatkan posisi yang tidak menguntungkan.
Buku yang ada di tangan pembaca ini disuguhkan secara apik
dan menginspirasi dalam melakukan Langkah nyata pemberdayaan
ekonomi, membangun pengetahuan bersama, menghidupkan nilai-
nilai intergritas dan berjejaring tanpa batas. Kehadiran penggerak,
pemimpin lokal yang tanpa Lelah menerobos keterbatasn sangat
berhak untuk diapresiasi, semoga akan banyak lagi muncul Payungi-
payungi lain di negri ibu pertiwi ini, aamin.

vii
KATA PENGANTAR
I Gusti Ayu Bintang Darmawati, S.E., M.Si (Menteri PPPA)

Perempuan menjadi motor penggerak yang sangat penting


dalam mendorong peningkatan perekonomian Nasional. Peran
perempuan melalui berbagai kegiatan ekonomi kreatif mampu
memberikan kontribusi yang signifikan bagi sektor usaha. Melalui
kegiatan produktif tersebut, kini para perempuan tidak hanya mampu
mandiri dan membantu perekonomian keluarga, namun mereka juga
menjadi penggerak ekonomi di masyarakat, menciptakan lapangan
pekerjaan, dan berkontribusi dalam pembangunan negara.
Sejauh ini, menurut data Badan Pusat Statistik pada tahun 2021
sebanyak 64,5 persen dari total UMKM (Usaha Mikro Kecil dan
Menengah) dikelola oleh perempuan. Artinya, perempuan punya andil
yang besar dalam menggerakan roda perekonomian di daerah. Melalui
kreativitas dan kerja kolaboratif yang mereka lakukan secara konsisten
telah memberikan peluang ekonomi bagi mereka untuk
mengoptimalkan bisnis pada sektor usaha kreatif. Dari 17 subsektor
ekonomi kreatif, Kuliner dan Fashion menjadi subsektor yang paling
banyak digerakkan oleh kaum perempuan. Subsektor ini juga
merupakan dua dari 17 subsektor ekonomi kreatif yang mampu
memberikan sumbangsih paling besar bagi devisa negara.
Kontribusi besar yang diberikan oleh para perempuan penggerak
pada sektor ekonomi sejauh ini tentu tidak lepas dari adanya dukungan
bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah melalui
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA)
terus berupaya memberikan perlindungan, pembinaan dan akses luas
bagi perempuan untuk berkarya. Melalui kebijakan dan program kerja
berbasis pemberdayaan, kini perempuan memiliki kesempatan yang
setara untuk mengakses potensi ekonomi dan peluang-peluang pada
viii
dunia usaha. Hal tersebut juga turut terbantu dengan adanya
dukungan dari masyarakat yang semakin melek dengan isu-isu
kesetaraan gender, di mana mereka dapat memahami dengan baik
peran dan hak-hak kaum perempuan.
Buku Gender dan Ekonomi ini menjadi salah satu bacaan penting
bagi kita untuk menggali peran dan kontribusi perempuan dalam
pembangunan. Bahwa adanya diskriminasi dan tindak kekerasan
seksual tidak menjadi hambatan bagi mereka untuk terus
memperjuangkan hak-hak kesetaraan gender melalui kegiatan
ekonomi kreatif yang produktif. Dalam buku ini, kita akan melihat
bagaimana potret kaum perempuan dalam menggerakkan potensi
ekonomi lokal dan sumbangsing mereka pada perubahan sosial-
ekonomi di masyarakat. Saya berharap, dengan hadirnya buku ini akan
memberikan inspirasi bagi kita semua untuk terus bergerak kreatif,
menciptakan kemandirian ekonomi, mendorong kesetaraan, dan
memberikan manfaat seluas-luasnya bagi masyarakat.

ix
KATA PENGANTAR

Isu gender hingga saat ini masih menjadi isu yang banyak
diperbincangkan baik dikalangan akademisi, komunitas, maupun
pemerintah. Hal ini tidak terlepas dari dinamika dan realitas sosial yang
terjadi, di mana ada relasi yang timpang antara perempuan dan laki-
laki. Pada satu sisi laki-laki dianggap sebagai kaum superior sedangkan
di sisi lain perempuan dilabeli sebagai kaum inferior. Adanya hubungan
asimetris inilah membuat relasi di antara mereka tidak pernah setara.
Munculnya ketimpangan gender secara konsisten telah membuat
perempuan menjadi rentan mengalami tindak kekerasan, diskriminasi
dan eksploitasi. Dalam ranah personal maupun publik, mereka banyak
mengalami kekerasan sesksual, psikis hingga kekerasan yang
berlatarbelakang ekonomi. Seakan-akan terdapat banyak sekali celah
untuk melegitimasi tindak kekerasan kepada kaum perempuan yang
dilakukan oleh pelakunya. Terutama di dalam ruang keluarga, kasus
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) menjadi masalah pelik yang
mudah dijumpai dan masalah ekonomi menjadi salah satu alasannya.
Tidak bisa kita dipungkiri bahwa kondisi ekonomi turut menjadi
pendorong semakin masifnya tindak kekerasan yang menyasar kepada
kaum perempuan. Secara umum, keluarga yang memiliki
perekonomian lemah lebih rentan mengalami KDRT dan perceraian
dini ketimbang keluarga dengan tingkat ekonomi yang lebih mapan.
Hal inilah yang selanjutnya menjadi benih tumbuhnya beban ganda
yang melekat pada perempuan jika rumah tangga mereka berujung
pada perceraian. Pasalnya, mereka tidak hanya akan menanggung
beban kebutuhan hidupnya, namun juga beban keberlangsungan
hidup dari anak-anaknya. Berangkat dari sinilah, nantinya akan memicu
munculnya masalah-masalah yang lebih pelik lagi, seperti kebutuhan
hidup yang tidak bisa dicukupi, kesulitan dalam mengakses lapangan
pekerjaan yang layak, masalah gizi buruk, kelaparan hingga bisa
berujung pada kematian.
Tindak kekerasan terhadap perempuan pada dasarnya
memberikan efek domino. Tidak hanya akan merugikan perempuan
x
secara individu, namun juga akan berdampak pada pihak lain seperti
anak dan anggota keluarga. Tidak sedikit, anak dari korban KDRT yang
harus hidup terlantar, bahkan ada yang terjerumus di dalam dunia
prostitusi. Karena himpitan ekonomi yang tidak bisa dibendung dan
akses dunia kerja yang semakin sulit bagi mereka. Sehingga mereka
memilih jalan yang instan demi keberlangsungan hidupnya dan
keluarganya.
Oleh sebab itu, isu gender harus terus digelorakan agar budaya
patriarki bisa dipatahkan. Di samping, kaum perempuan juga harus
berjuang mewujudkan kemandirian secara ekonomi agar kebutuhan
mereka dapat tercukupi. Berbagai gerakan kreatif kaum perempuan
telah dibangun di berbagai daerah dan mampu memberikan ruang
bagi perempuan untuk tumbuh mandiri. Seperti Pasar Yosomulyo
Pelangi (Payungi) menjadi contoh konkrit bagaimana gerakan gotong
royong kaum perempuan dapat mendorong terciptanya ekosistem
ekonomi bagi mereka. Sehingga, mereka dapat mencukupi kebutuhan
hidupnya secara pribadi dan keluarganya.
Gerakan kolektif kaum perempuan dalam membangun
kemandirian ekonomi menjadi upaya yang harus direplikasi keberbagai
daerah. Supaya semakin banyak perempuan yang mampu berdaya
dengan kemandirian yang mereka ciptakan sendiri. Sehingga nantinya,
perempuan mampu membawa kelompok mereka setara dengan laki-
laki dan tindak kekerasan tidak lagi terjadi.

Penulis

xi
1
Dinamika Feminisme

Fenomena kekerasan terhadap perempuan (violence against


women)1 menjadi isu publik yang sering dikulik di berbagai ruang, baik
ruang akademisi (kampus), pemerhati perempuan (komunitas) maupun
media-media arus utama.2 Bahkan isu ini sudah menjadi wacana dan
gerakan transnasional. Pasalnya, isu terkait kekerasan terhadap
perempuan merupakan pokok perjuangan dari gerakan feminisme
internasional. Apalagi, perjuangan para aktivis feminisme internasional
tersebut telah memperoleh dukungan dari PBB (Persatuan Bangsa-
Bangsa) melalui Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination against Women (CEDAW) pada tahun 1979. Sehingga,
perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan kesetaraan di
ruang-ruang sosial kian menemukan titik terang.

Perjuangan kaum feminis semakin mendapatkan dukungan


setalah PBB juga mengeluarkan dekelarasi tentang penghapusan
kekerasan terhadap perempuan (United Nations Declaration on the
Elimination of Violence against Women) pada tanggal 20 Desember
1993. Melalui deklarasi tersebut, PBB mengakui bahwa setiap
perempuan berhak untuk menikmati kesetaraan dan perlindungan
sebagai bagian dari hak asasinya sebagai manusia serta berhak untuk
memperoleh kemerdekaan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,
hak-hak sipil, dan bidang-bidang lainnya.

1
Margarita Poteyeva and Gabriela Wasileski, ‗Domestic Violence against Albanian
Immigrant Women in Greece: Facing Patriarchy‘, Social Sciences, 5.3 (2016)
<https://doi.org/10.3390/socsci5030037>; Wonchul Shin, ‗Mama, Keep Walking for Peace and
Justice: Gender Violence and Liberian Mothers‘ Interreligious Peace Movement‘, Religions, 2020
<https://doi.org/10.3390/rel11070323>.
2
See, Urther Rwafa, ‗Culture and Religion as Sources of Gender Inequality: Rethinking
Challenges Women Face in Contemporary Africa‘, Journal of Literary Studies, 32.1 (2016)
<https://doi.org/10.1080/02564718.2016.1158983>; Cathrine Norberg and Maria Johansson,
‗―Women and ‗Ideal‘ Women‖: The Representation of Women in the Construction Industry‘,
Gender Issues, 38.1 (2021) <https://doi.org/10.1007/s12147-020-09257-0>.
2
Robin Morgan berpendapat bahwa sejarah (history) adalah
kontruksi laki-laki sedangkan yang dibutuhkan perempuan adalah
herstory. Menurutnya, herstory sebagai sejarah yang terpisah dan di
luar tidak hanya menyerahkan seluruh sejarah dunia kepada laki-laki,
namun berpotensi menyiratkan bahwa perempuan secara universal
telah ditipu, dibungkam, dan dirampok dari semua agensi. Sedangkan
Jerome Skolnick mendefinisikan tindak kekerasan terhadap perempuan
adalah sebuah makna yang ambigu, yang dibangun melalui proses
politik. Artinya, kekerasan terhadap perempuan merupakan
ketimpangan historis hubungan kekuasaan di antara perempuan dan
laki-laki yang mengakibatkan subordinasi, alienasi, marginalisasi dan
diskriminasi terhadap mereka − kaum perzempuan – sehingga upaya-
upaya tersebut harus dihapuskan.

Keberadaan perempuan yang sering digolongkan sebagai second


class citizens3 di berbagai negara harus diubah. Hak-hak mereka
sebagai manusia untuk hidup setara harus ditegakkan, di mana pada
ruang-ruang sosial kehadiran kaum perempuan harus diterima dengan
keberagaman latar belakang yang dimilikinya (ras, kelas, agama,
budaya, dan negara). Hal yang tidak kalah penting yaitu bagaimana
mentransformasi narasi-narasi terkait isu kesetaraan gender menjadi
sebuah gerakan aplikatif. Artinya, upaya untuk mewujudkan kesetaraan
antara perempuan dan laki-laki tidak hanya berhenti pada wacana saja,
namun juga harus bersifat aplikatif − bisa dibumikan atau direalisasikan
dalam kehidupan sosial masyarakat. Sehingga, berbagai macam
diskriminasi, kekerasan (fisik, psikis, ekonomi, dan seksual), dan
eksploitasi terhadap perempuan di dunia bisa dihapuskan.

Kekerasan terhadap perempuan notabene telah menjadi isu


global4 yang sejak lama mengakar menjadi permasalahan mendasar
dihampir setiap negara di dunia. Perbedaan ras, budaya, agama, kelas
hingga pilihan politik kerap mendasari terjadinya tindak kekerasan ini.
Jane Roberts Chapman mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap
perempuan telah terjadi pada lintas budaya dan negara.' Dari sembilan

3
Marhumah Marhumah, ‗The Roots of Gender Bias: Misogynist Hadiths in Pesantrens‘,
Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, 2015 <https://doi.org/10.18326/ijims.v5i2.283-
304>.
4
Lisa N. Sacco, ‗The Violence Against Women Act: Overview, Legislation, and Federal
Funding‘, in Federal Action on Rape, Sexual Assault, and Domestic Violence, 2015.
3
puiuh negara yang ia teliti, selalu ditemukan family violence (kekerasan
dalam keluarga) yang menimpa perempuan sebagai korbannya.
Meskipun berbagai deklarasi telah digelorakan di berbagai negara,
seperti Vienna Declaration, Convention on the Elimination of All Forms
of Discrimination Against Women (1979), Declaration on the
Elimination of Violence Against Women (1994), dan Beijing Declaration
and Platform for Action (1995), namun sejauh ini praktik rasisme,
diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum feminis masih kerap terjadi.
Bahkan, tidak hanya di belahan bumi Selatan (negara Dunia Ketiga),
namun juga di bumi Utara (negara-negara maju – Amerika Serikat dan
Eropa).

Merefleksikan gerakan para aktivis feminis yang


memperjuangkan hak-hak kesetaraan gender lintasnegara harus terus
dilakukan oleh kaum perempuan di dunia. Mereka harus menyadari
bahwa perjuangan dalam mencabut akar patriarki,5 mengentikan
maskulinitas para kapitalis,6 menumbangkan hegemonik ras kulit putih,
dan praktik imperialisme perlu adanya konsistensi gerakan. Di mana
upaya-upaya tersebut bisa dilakukan mulai dari grass root (akar
rumput), agar suara kaum perempuan yang ada di bawah dapat di
dengar dan hak-haknya bisa direalisasikan. Sehingga, narasi-narasi
global yang selama ini digelorakan tidak hanya sekedar menjadi
wacana di tingkat atas (negara), namun juga harapannya bisa
digerakkan di tingkat bawah (Desa/Distrik). Terlebih, sejak abad ke-20
telah terjadi dekolonisasi pada negara-negara Dunia Ketiga yang
menjadikan ide-ide dan gerakan feminis semakin tumbuh dan matang.

Selanjutnya, yang menjadi tantangan besar yaitu realitas bahwa


kaum perempuan dari negara-negara berkembang dan miskinlah
(Dunia Ketiga) yang sering menerima berbagai bentuk diskriminasi dan
kekerasan.7 Pada satu sisi, secara gender mereka dinomorduakan dan

5
Siti Ruhaini Dzuhayatin, ‗Gender Glass Ceiling in Indonesia: Manifestation, Roots and
Theological Breakthrough‘, Al-Jami‘ah, 58.1 (2020), 209–40
<https://doi.org/10.14421/AJIS.2020.581.209-240>.
6
Suzanne Reimer, ‗―It‘s Just a Very Male Industry‖: Gender and Work in UK Design
Agencies‘, Gender, Place & Culture, 23.7 (2016)
<https://doi.org/10.1080/0966369x.2015.1073704>.
7
Giuseppina Maria Cardella, Brizeida Raquel Hernández-Sánchez, and José Carlos
Sánchez-García, ‗Women Entrepreneurship: A Systematic Review to Outline the Boundaries of
4
di sisi lain secara kelas (ekonomi) perempuan di negara-negara ini
mengalami ekploitasi, rasisme, seksisme, misoginis, dan
heteroseksisme. Di mana sumber daya alam mereka dikeruk oleh
korporasi, tenaga mereka dieksploitasi melalui sistem kapitalisme, dan
kebebasan mereka dipolitisasi. Sehingga tidak ada celah lagi bagi
mereka untuk mendapatkan keadilan baik secara sosial maupun
ekonomi. Sebaliknya, yang seharusnya permasalahan ini harus segera
dituntaskan, namun mereka (kaum perempuan Dunia Ketiga) terus
mengalami penindasan dan keterbelakangan.8

Kesadaran kolektif menjadi hal yang harus didorong dan


diakumulasikan sebagai kekuatan bagi kaum perempuan di dunia
untuk mengambil kembali hak-hak mereka yang selamai ini telah
direnggut oleh hegemonik maskulinitas laki-laki.9 Seperti yang
dikatakan oleh Robin Morgan, bahwa melalui sejarah perempuan telah
ditipu, dibungkam, dan dirampok. Oleh sebab itu, kaum perempuan
harus berani mengubahnya melalui gerakan-gerakan feminis kolektif
yang aplikatif dan prograsif dari bawah.

Scientific Literature‘, Frontiers in Psychology, 11 (2020)


<https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.01557>.
8
Sagnik Dutta, ‗Becoming Equals: The Meaning and Practice of Gender Equality in an
Islamic Feminist Movement in India‘, Feminist Theory, 2021
<https://doi.org/10.1177/14647001211023641>; Rosa Belén Castro Núñez, Pablo Bandeira, and
Rosa Santero-Sánchez, ‗The Social Economy, Gender Equality Atwork and the 2030 Agenda:
Theory and Evidence from Spain‘, Sustainability (Switzerland), 12.12 (2020)
<https://doi.org/10.3390/su12125192>.
9
Annamagriet de Wet and Glynis Parker, ‗Communities in Conversation: Opportunities
for Women and Girls‘ Self-Empowerment‘, Gender and Development, 22.1 (2014)
<https://doi.org/10.1080/13552074.2014.889341>; Norberg and Johansson.
5
Candu Kekerasan Terhadap Perempuan

Perempuan menjadi pihak yang paling terdindas dari praktik


kekerasan yang marak terjadi di masyarakat.10 Tidak hanya sekedar
kekerasan fisik, namun mereka juga mengalami kekerasan psikis,
ekonomi hingga seksual. Kondisi ini diperparah dengan minimnya
upaya preventif dari aparat penegak hukum (rasa aman bagi mereka –
perempuan), ruang pengaduan yang minim, penegakan hukum yang
kurang efektif (cenderung kurang berpihak kepada korban), hingga
rasa traumatik yang membuat korban takut untuk melapor. Sehingga,
mengakibatkan berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan sukar
untuk dideteksi sejak dini dan dalam penyelesaiannya kerap menemui
jalan buntu.

Secara garis besar, kekerasan yang dialami oleh perempuan


sebenarnya tidak hanya disebabkan karena kuasa nafsu seksual dari
maskulinitas laki-laki, namun kondisi ekonomi yang lemah dalam
keluarga juga menjadi penyebab perempuan rentan mengalami
eksploitasi.11 Kondisi ekonomi keluarga yang cenderung serba
kekurangan (miskin) inilah kemudian turut menjadi alasan utama tindak
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) sering menimpa perempuan,12
bahkan dalam beberapa kasus harus berujung pada perceraian.
10
Cristiano Perugini and Marko Vladisavljević, ‗Gender Inequality and the Gender-Job
Satisfaction Paradox in Europe‘, Labour Economics, 60 (2019)
<https://doi.org/10.1016/j.labeco.2019.06.006>; Rosa Santero-Sanchez and others, ‗Gender
Differences in the Hospitality Industry: A Job Quality Index‘, Tourism Management, 2015
<https://doi.org/10.1016/j.tourman.2015.05.025>; Jinyoung Kim, Jong Wha Lee, and Kwanho Shin,
‗Gender Inequality and Economic Growth in Korea‘, Pacific Economic Review, 23.4 (2018)
<https://doi.org/10.1111/1468-0106.12181>; Justyna Stypinska and Konrad Turek, ‗Hard and Soft
Age Discrimination: The Dual Nature of Workplace Discrimination‘, European Journal of Ageing,
14.1 (2017) <https://doi.org/10.1007/s10433-016-0407-y>.
11
(see, Kim, Lee, and Shin 2018)
12
Ömer Alkan, Senay Özar, and Seyda Ünver, ‗Economic Violence against Women: A
Case in Turkey‘, PLoS ONE, 16.3 March (2021) <https://doi.org/10.1371/journal.pone.0248630>;
Poteyeva and Wasileski.
6
Mirisnya, kasus KDRT yang berujung pada perceraian ini berimbas pada
tanggung jawab mantan istri, di mana ia akan memikul beban ganda.
Mereka akan menjadi kepala keluarga dan memikul beban untuk
menafkahi diri mereka dan anaknya.

Komnas Perempuan mencatat sepanjang tahun 2021 terdapat


338.506 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terbagi dalam tiga
ranah yaitu ranah personal, ranah publik dan ranah negara (CATAHU;
2022). Ranah personal menjadi ranah kekerasan paling tinggi
mencapai 99,09 persen atau sebanyak 335.399 kasus, di mana korban
mengalami berbagai macam bentuk kekerasan, baik fisik, psikis,
seksual, maupun ekonomi. Untuk kasus KDRT khususnya, kerap
dilakukan oleh suami, pasangan, atau anggota keluarga lainnya −
sebagai pelakunya. Sedangkan mereka yang menjadi korban KDRT
mengalami kekerasan berlapis, mulai dari kekerasan psikis (berbentuk
ancaman, termasuk ancaman pembunuhan, pemaksaan untuk
meneken akte cerai di bawah tangan yang merupakan kejahatan dalam
perkawinan, dan perselingkuhan), kekerasan fisik (pukulan dan
tamparan), hingga penelantaran. Menurut Kurnia Muhajarah, kasus
KDRT tidak hanya dialami oleh Ibu rumah tangga (istri) sebagai
korbannya, tetapi juga menyasar kepada anak perempuan yang juga
kerap mengalami kekerasan dari orang tuanya – baik dari Ayahnya
maupun Ibunya. Artinya, kasus KDRT dengan korban anak, perempuan
tidak hanya ditempatkan pada posisi sebagai korban, terkadang
mereka juga bisa menjadi pelaku.

Dalam CATAHU (Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap


Perempuan) 2022, Komnas Perempuan melaporkan bahwa telah
menerima 2.527 aduan kasus kekerasan di ranah personal yang terbagi
dalam 3 isu utama, meliputi KTI (Kekerasan Terhadap Isteri), KDRT
Berlanjut (dilakukan oleh mantan suami), dan KDP (Kekerasan Dalam
Pacaran). Dari laporan Komnas Perempuan tersebut terlihat bahwa
perempuan kerap mendapatkan pelecehan dari laki-laki. Hal ini
menjadi sinyal bahwa rasa aman bagi kaum perempuan sejauh ini
masih sangat minim, pasalnya kekerasan berbasis gender masih sering
terjadi di ranah apapun.

Pernikahan dini menjadi salah satu faktor besar yang menjadi titik
awal kekerasan yang terjadi kepada perempuan dalam rumah tangga
7
(domestic violence).13 Keadaan mental (psikologis) yang belum matang
dan ekonomi yang belum kuat akhirnya menciptakan benih KDRT yang
berujung pada perceraian dini. Selanjutnya, yang sangat
mengkhawatirkan yakni ketika seseorang perempuan menjadi kepala
keluarga14 dengan kondisi ekonomi yang cukup sulit, biasanya anak-
anaknya cenderung mengalami kondisi kesehatan yang kurang
(stunting dan gizi buruk), terlantar, mengalami gangguan mental,
kesulitan mengakses pendidikan, dan yang paling parah banyak dari
mereka yang terjerumus dalam dunia prostitusi. Keadaan inilah yang
pada akhirnya menyebabkan kemiskinan struktural melekat dalam
kehidupan sosial mereka. Pasalnya, mereka tidak memiliki kesempatan
untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak, tertutupnya akses
terhadap sumber daya, tekanan mental dari hegemonik kelas sosial
menengah atas, hingga akhirnya mereka mengambil jalur instan
bekerja sebagai tunasusila agar tercukupi kebutuhan hidupnya dan
keluarga (Ibu dan adik-adiknya).

Kasus di Indramayu bisa dijadikan contoh bagaimana kondisi


ekonomi turut menjerumuskan perempuan dalam dunia prostitusi dan
human trafficking. Indramayu menjadi salah satu kabupaten yang
menjadi lokus prostitusi di Jawa Barat, dan banyak anak-anak di bawah
umur menjadi tunasusila – PSK (Pekerja Seks Komersil). Mereka
terpaksa melakukan pekerjaan tersebut karena kondisi ekonomi
keluarga yang lemah dan kebutuhan hidup keluarga yang terus
mendesak mereka. Mirisnya, pekerjaan sebagai tunasusila sangat
beresiko bagi kesehatan mereka, selain karena mereka masih di bawah
umur dan adanya tuntutan dari mucikari (mereka dipaksa untuk
mengahabiskan voucher melayani pelanggan dan wajib memberikan
uang setoran), mereka juga sangat rawan tertular penyakit kelamin dan

13
Erensu Baysak and others, ‗Is Early Marriage Practice a Problem for Women Living in
Istanbul? A Qualitative Study‘, Archives of Women‘s Mental Health, 24.2 (2021)
<https://doi.org/10.1007/s00737-020-01067-3>; Mavra Qamar, M. Anne Harris, and Jordan L.
Tustin, ‗The Association Between Child Marriage and Domestic Violence in Afghanistan‘, Journal of
Interpersonal Violence, 37.5–6 (2022) <https://doi.org/10.1177/0886260520951310>; Ramesh
Adhikari, ‗Child Marriage and Physical Violence: Results from a Nationally Representative Study in
Nepal‘, Journal of Health Promotion, 6 (2018) <https://doi.org/10.3126/jhp.v6i0.21804>.
14
Yiyoon Chung and Seohee Son, ‗No Good Choices: Concealing or Disclosing Single
Motherhood in Korea‘, Social Work Research, 46.2 (2022) <https://doi.org/10.1093/swr/svac002>;
Roberta G. Sands and Kathleen E. Nuccio, ‗Mother-Headed Single-Parent Families: A Feminist
Perspective‘, Affilia, 4.3 (1989) <https://doi.org/10.1177/088610998900400303>.
8
HIV/AIDS. Asisten Administrasi Pembangunan dan Kesra Setda
kabupaten Indramayu, Maman Koestaman mengungkapkan hingga
tahun 2020 penderita HIV/AIDS di Indramayu mencapai 3.920 orang.
Ditambah dengan maraknya perdagangan anak di bawah umur ke luar
daerah untuk dijadikan tunasusila. Seperti yang dialami salah satu anak
perempuan berumur 14 tahun di Indramayu yang menjadi korban
perdagangan orang yang dikirim ke Papua. Kondisi inilah yang sangat
mengkhawatirkan bagi anak-anak muda di sana, sehingga perlu
adanya penanganan sedini mungkin agar kasus yang serupa tidak
terulang kembali, baik di Indramayu maupun di daerah lain.

Meskipun UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 telah direvisi


menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019, namun tetap saja angka
pernikahan dini di Indonesia masih cukup tinggi. Tercatat sekitar
1.220.900 anak Indonesia melakukan perkawinan dini (Laporan
Puskapa; 2020). Kasus ini tentu perlu mendapatkan perhatian khusus
dari pemerintah agar kebijakan ataupun regulasi yang dibuat bisa
berlaku secara efektif. Mengingat sejauh ini, undang-undang tersebut
masih memiliki celah bagi mereka untuk melakukan pernikahan dini.
Padahal, pernikahan dini inilah yang menjadi penyebab rawannya
terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya, pernikahan dini berpotensi mengahadirkan keadaan
ekonomi keluarga yang tidak stabil (lemah) sehingga mengakibatkan
tindak KDRT dan perceraian dini. Jika tidak ada upaya serius dari
pemerintah dan masyarakat secara tepat, maka kasus kekerasan
terhadap perempuan akan terus merajalela.

9
Kerja-Kerja Kaum Feminis

Suburnya budaya patriarki15 di masyarakat telah memicu


tumbuhnya relasi asimetris antara perempuan dan laki-laki. Perempuan
selalu menjadi pihak yang dirugikan dari relasi ini, karena mereka terus
mengalami domestifikasi, stereotip negatif di masyarakat, opresi,
kekerasan, alienasi, pemarginalisasian, dan subordinasi di ranah kerja.
Perlakuan yang kerap dialami oleh mereka inilah kemudian
membangkitkan upaya solidaritas kaum feminis untuk meminta
kembali hak-haknya yang telah terserabut dari kehidupan sosial.16

Mengakarnya paradigma masyarakat yang patriarkis telah


menjadi pondasi atas diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan.
Selain itu juga, didorong oleh kebijakan negara yang cenderung
melegitimasi bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pemahaman
agama yang keliru. Hal inilah yang kemudian memicu konflik dan
kekerasan terhadap perempuan di berbagai daerah. Seperti konflik
hutan adat Pubabu NTT, kasus pembangunan Makassar New Port,
Penggusuran Tamansari Bandung, penggusuran warga Alang-alang

15
Dzuhayatin; Saher Selod, ‗Citizenship Denied: The Racialization of Muslim American
Men and Women Post-9/11‘, Critical Sociology, 2015
<https://doi.org/10.1177/0896920513516022>; Abeda Sultana, ‗Patriarchy and Women‘s
Subordination: A Theoretical Analysis‘, Arts Faculty Journal, 2012
<https://doi.org/10.3329/afj.v4i0.12929>; Yetunde A. Aluko, ‗Patriarchy and Property Rights
among Yoruba Women in Nigeria‘, Feminist Economics, 21.3 (2015)
<https://doi.org/10.1080/13545701.2015.1015591>; Toyin Ajibade Adisa, Issa Abdulraheem, and
Sulu Babaita Isiaka, ‗Patriarchal Hegemony: Investigating the Impact of Patriarchy on Women‘s
Work-Life Balance‘, Gender in Management, 34.1 (2019), 19–33 <https://doi.org/10.1108/GM-07-
2018-0095>.
16
Shin; Laura Suski, ‗The Global Women‘s Movement: Origins, Issues and Strategies‘,
Canadian Journal of Development Studies / Revue Canadienne d‘études Du Développement, 2007
<https://doi.org/10.1080/02255189.2007.9669195>; Andik Wahyun Muqoyyidin, ‗WACANA
KESETARAAN GENDER : PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER TENTANG GERAKAN FEMINISME
ISLAM‘, Al-Ulum, 13.2 (2013), 491–512; Fadlan, ‗Islâm , Feminisme , Dan Konsep Kesetaraan
Gender Dalam Al-Qur ‘ Ân‘, Jurnal Karsa, 2011.
10
Lebar Labi-Labi Kota Palembang, dan kasus pertambangan di
Kabupaten Dairi Sumut. Dalam kasus tersebut, banyak perempuan
yang mengalami kekerasan dari aparat negara dan anggota masyarakat
yang bersebrangan. Bahkan beberapa diantaranya harus menghadapi
kriminalisasi dan menjalani masa tahanan.

Melihat kekerasan yang terus dialami oleh kaum perempuan


akhirnya mendorong lahirnya gerakan feminisme yang berusaha
mengubah pandangan masyarakat yang selama ini cenderung
patriarkis.17 Untuk mengubah pandangan tersebut, kaum feminis
berupaya menggaungkan wacana dan isu-isu mengenai gender, baik
melalui tulisan, dialog, maupun aksi turun ke jalan. Pasalnya,
munculnya paradigma patriarkis tidak lepas dari pemahaman
masyarakat yang kurang tepat dalam memaknai arti gender dan seks.
Bahkan, sebagian besar mereka memahami gender adalah jenis
kelamin (seks), padahal keduanya sangat berbeda.

Secara sederhana, seks dapat didefinisikan sebagai pembagian


jenis kelamin manusia secara biologis, di mana laki-laki memiliki penis
yang bisa memproduksi sperma sedangkan perempuan memiliki rahim,
vagina, dan payudara yang bisa memproduksi ASI. Sedangkan, gender
lebih mengerah pada perbedaan fungsi, peran, status, dan tanggung
jawab antara laki-laki dan perempuan yang dihasilkan dari proses
konstruksi sosial budaya masyarakat. Isu gender dan seks inilah yang
kemudian menjadi narasi kaum feminis untuk meluruskan paradigma
masyarakat yang selama ini keliru. Perempuan yang seringkali
dipandang lemah dan dianggap hanya sebagai konco wingking atau
simah (isi omah) perlu diubah bahwa sejatinya mereka setara dengan
laki-laki.

Gerakan feminisme merupakan bentuk kesadaran dari kaum


perempuan yang selama ini terpinggirkan. Mereka sadar bahwa ruang
bagi perempuan selama ini telah dibatasi dan dikapitalisasi oleh

17
Louise Lamphere, ‗Feminism in Anthropology‘, in International Encyclopedia of the
Social & Behavioral Sciences: Second Edition, 2015 <https://doi.org/10.1016/B978-0-08-097086-
8.12192-0>; AMIN BENDAR, ‗FEMINISME DAN GERAKAN SOSIAL‘, AL-WARDAH, 13.1 (2020)
<https://doi.org/10.46339/al-wardah.v13i1.156>; Nafsiyatul Luthfiyah, ‗FEMINISME ISLAM DI
INDONESIA‘, ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 2015
<https://doi.org/10.14421/esensia.v16i1.988>; L. Stone, ‗Feminism‘, in International Encyclopedia
of Education, 2010 <https://doi.org/10.1016/B978-0-08-044894-7.00558-3>; Fadlan.
11
maskulinitas laki-laki. Di mana seolah laki-laki diistimewakan dengan
sifat maskulinitasnya daripada feminitas perempuan yang dianggap
sebagai makhluk inferior. Sehingga membentuk realitas sosial di
masyarakat bahwa laki-laki lebih memiliki kekuatan dalam bidang
ekonomi dan politik ketimbang perempuan. Munculnya hierarki
gender, sistem masyarakat yang patriarki, dan eksploitasi terhadap
perempuan di berbagai negara, pada akhirnya membuat gerakan
feminisme ini semakin masif.

Secara etimologi, feminisme berasal dari bahasa latin ‗femina‘


dan dalam bahasa inggris disebut sebagai ‗feminine‘ yang berarti sifat-
sifat keperempuanan. Selanjutnya menjadi paham feminism yang
bergerak menyuarakan isu kesetaraan gender. Pada tahun 1895, ketika
kampanye persamaan gender disuarakan, munculah istilah feminisme
yang hingga saat ini akrap dijadikan simbol gerakan-gerakan kaum
perempuan yang menuntut keadilan dan kesetaraan.18 Lahirnya
gerakan feminisme inilah yang kemudian memberikan ruang bagi
perempuan untuk bersuara.

Munculnya gerakan feminisme yang dipelopori oleh kaum


feminis juga turut mendorong kesetaraan gender.19 Eksploitasi dan
beban ganda yang seringkali dialami oleh perempuan menjadi isu
serius yang terus disuarakan oleh mereka. Pasalnya, banyak ditemukan
pelanggaran maternitas (haid, kehamilan, dan kesehatan) yang dialami
oleh kaum pekerja perempuan. Bahkan, tidak sedikit yang mengalami
kekerasan, pelecehan seksual dan kerja overtime tanpa gaji. Di
samping mereka juga dituntut untuk mengerjakan pekerjaan rumah
tangga (memasak, mencuci dan mengurus anak). Di mana beban kerja
rumah tangga inilah yang kerap tidak dihitung dan lihat
pengorbanannya oleh laki-laki, bahkan dianggap hanya sebatas
kewajiban seorang istri terhadap suami.

18
(see, Stone 2010; Lamphere 2015)
19
Anne Cova, ‗Women‘s Activism and ―Second Wave‖ Feminism: Transnational
Histories‘, Cultural and Social History, 15.2 (2018)
<https://doi.org/10.1080/14780038.2018.1451079>; Rekha Pande, ‗The History of Feminism and
Doing Gender in India‘, Revista Estudos Feministas, 26.3 (2018) <https://doi.org/10.1590/1806-
9584-2018v26n358567>; Miri Rozmarin, ‗Feminism, Time, and Nonlinear History‘, European
Journal of Cultural and Political Sociology, 5.4 (2018)
<https://doi.org/10.1080/23254823.2018.1446777>.
12
Lembaga seperti Women and Environment Studies (WES), Rumah
KitaB dan Mubadalah yang konsisten mengangkat isu terkait gender
kini menjadi wajah gerakan feminisme di Indonesia. Upaya-upaya
mereka dalam menarasikan isu-isu gender, tindak kekerasan yang
dialami oleh perempuan, dan memberikan edukasi kepada masyarakat
merupakan langkah konkrit untuk mengubah paradigma patriarkis
yang telah lama tertanam. Selain juga ingin memperjelas hak-hak
kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, baik di ruang sosial, politik
maupun ruang kerja yang selama ini terburamkan.

13
Kapitalisme dan Ruang Kerja Bagi Perempuan

Kaum perempuan menjadi salah satu kelompok yang rentan


mangalami eksploitasi dan kekerasan di ruang kerja.20 Mereka kerap
dijadikan obyek peyorasi, intimidasi, rasisme, seksisme, dan
heteroseksisme sehingga legalitas mereka sebagai perempuan terus
mengalami peminggiran. Bahkan, perempuan juga mendapatkan
beban yang lebih berat ketimbang laki-laki akibat adanya relasi kuasa
yang timpang tindih – gender, ras, dan kelas – di ruang kerja.21
Sehingga, banyak dari mereka yang tidak mendapatkan kesempatan
untuk bisa mengakses pekerjaan yang layak.

Apalagi adanya desakan dari sistem kapitalisme yang turut


menindas posisi perempuan pada ruang-ruang kerja.22 Kepentingan
para kapitalis untuk meraup laba, akumulasi dan eksploitasi besar-
besaran sulit untuk ditawar agar degradasi peran pekerja perempuan
bisa dihentikan. Sebaliknya, kapitalisme semakin melanggengkan
praktik patriarki dan terus memobilisasi dominasi laki-laki terhadap
perempuan. Maria Mies dalam studinya tentang pembuatan renda di
Narsapur India menemukan realitas bahwa maskulinisasi telah
menyapu semua kerja non-produksi (perdagangan), sedangkan
feminisasi seluruhnya hanya diberikan hak untuk mengerjakan proses-

20
Dorota Węziak-Białowolska, Piotr Białowolski, and Eileen McNeely, ‗The Impact of
Workplace Harassment and Domestic Violence on Work Outcomes in the Developing World‘,
World Development, 126 (2020) <https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2019.104732>.
21
Nurul Hidayati, ‗BEBAN GANDA PEREMPUAN BEKERJA (Antara Domestik Dan Publik)‘,
Muwazah, 2015.
22
Nahla Samargandi and others, ‗Women at Work in Saudi Arabia: Impact of ICT
Diffusion and Financial Development‘, Technology in Society, 59 (2019)
<https://doi.org/10.1016/j.techsoc.2019.101187>; Mónica Segovia-Pérez and others,
‗Incorporating a Gender Approach in the Hospitality Industry: Female Executives‘ Perceptions‘,
International Journal of Hospitality Management, 76 (2019)
<https://doi.org/10.1016/j.ijhm.2018.05.008>.
14
proses produksi. Jadi, laki-laki (didefinisikan sebagai pengusaha dan
eksportir) hanya bertugas menjual barang yang diproduksi oleh
perempuan (sebagai tenaga kerja) dan hidup dari laba hasil kerja kaum
perempuan. Artinya, di ruang kerja, kaum perempuan hanya menjadi
obyek eksploitasi, di mana mereka selalu diposisikan pada kerja-kerja
berat dan beresiko tinggi.

Selanjutnya, perempuan juga semakin tersudutkan akibat adanya


desakan kebutuhan ekonomi yang terus meningkat, namun tidak
diimbangi dengan peluang lapangan pekerjaan yang cukup untuk bisa
diakses. Sehingga, banyak dari kelompok mereka tidak mampu
mempertahankan eksistensinya sebagai manusia yang sejahtera
(berkecukupan) hingga akhirnya mereka masuk ke dalam jurang
kemiskinan. Menurut Mohanty, perempuan dan anak perempuan
membentuk 70 persen dari kaum miskin dunia sekaligus menjadi
mayoritas pengungsi dunia. Hampir 80 persen dari mereka merupakan
orang-orang terlantar dari Dunia Ketiga/Selatan di Afrika, Asia, dan
Amerika Latin. Ditambah, perempuan Dunia Ketiga menjadi kelompok
faminis yang seringkali mendapatkan diskriminasi (ras, kelas, budaya,
agama, dan negara) dan tindak rasisme dari hegemonik kaum laki-laki
Dunia Pertama. Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kaum
pemilik modal (borjuis) untuk menerapkan praktik patriarki kapitalis
rasial – konsep kerja perburuhan – dengan upah rendah dan tanpa
adanya jaminan keadilan sosial. Seperti tren saat ini, di banyak
korporasi telah menerapkan sistem kerja paruh waktu dan kerja dari
rumah, di mana mereka (kaum perempuan pekerja) tidak mendapatkan
jaminan kesehatan, harus menanggung beban kerja (listrik, makan,
kerusakan alat kerja) sendiri dan diupah rendah.

Zillah Eisenstein dalam tulisannya ―Global Obscenities: Patriarchy,


Capitalism, and The Lure of Cyberfantasy‖ mengungkapkan bahwa
kapitalis korporat telah mendefinisikan ulang warga negara sebagai
konsumen, dan menjadikan pasar global sebagai pengganti komitmen
terhadap kesetaraan ekonomi, gender (seksualitas), dan ras. Akibatnya
perempuan harus mengerjakan dua pertiga dari pekerjaan dunia dan
mendapatkan upah (penghasilan) kurang dari sepersepuluh dari
pendapatan global. Hal ini juga yang kemudian menjadi penyebab
kaum perempuan semakin jauh dari kesejahteraan. Pasalnya mereka

15
tidak mendapatkan keadilan di ruang kerja dan selalu mengalami
pemarginalisasian oleh superioritas kaum maskulin.

Selain kemiskinan akibat tekanan dari sistem kapitalisme, akses


pendidikan juga menjadi permasalahan mendasar yang menjadi alasan
mengapa perempuan terus masuk ke dalam kerja-kerja eksploitatif.23
Sulitnya akses pendidikan karena keterbatasan ekonomi dan tidak
adanya tanggung jawab negara dalam memberikan pelayanan
pendidikan gratis bagi warganya berdampak pada kurangnya
wawasan/pengetahuan, terutama skill (keahlian) yang mereka miliki.
Hal inilah yang selanjutnya menyebabkan polarisasi antara kaum
perempuan dan korporasi, di mana kebutuhuan korporasi terhadap
tenaga terampil tidak mampu dipenuhi oleh mereka (perempuan).
Hingga akhirnya, banyak perempuan menjadi budak korporasi dengan
upah murah. Kondisi seperti ini, menjadi masalah yang terus-menurus
terulang dan muncul sebagai penyebab terjadinya kemiskinan
struktural, di mana yang miskin menjadi semakin miskin karena tidak
punya kesempatan akses terhadap alat-alat produksi.

Hegemonik kapitalisme dalam menguasai perekonomian global


pada dasarnya tidak terlepas dari peran-peran negara yang cenderung
bertindak lebih otoritatif untuk melindungi sistem ini. Negara melalui
kekuasaannya (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), kerap menjadi pihak
yang membelot dalam memperjuangkan kepentingan rakyat kecil
(proletariat) dan cenderung membela kepentingan kapitalis. Di sisi lain,
mereka menekan, mendisiplinkan dan menentang para kelas pekerja
yang ingin menuntut hak-haknya untuk dipenuhi dengan
menggunakan militerisasi/aparat penegak hukum. Seperti kasus di
Indonesia, satu persen penduduknya (Borjuis) telah mengangkangi 49
persen asset negara melalui berbagai bentuk konsesi, seperti
eksploitasi hutan (illegal logging), alih fungsi lahan (perkebunan sawit),
pertambangan skala besar, dan property sepaket dengan korupsinya
yang kronis. Kasus ini memperlihatkan bahwa kapitalisme tidak hanya
melakukan perampasan terhadap hak-hak perempuan, namun juga
pada ekosistem alam. Jika hal tersebut terus terjadi, maka

23
Suaad El Abani and Mansour Pourmehdi, ‗Gender and Educational Differences in
Perception of Domestic Violence Against Women Among Libyan Migrants in Manchester‘, Journal
of Interpersonal Violence, 36.5–6 (2021) <https://doi.org/10.1177/0886260518760006>.
16
keseimbangan alam akan rusak dan dapat menimbulkan berbagai
macam bencana.

Berdasarkan Laporan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA)


mencatat bahwa sepanjang tahun 2021 telah terjadi 207 konflik yang
bersifat struktural. Konflik ini merujuk pada konflik yang diakibatkan
oleh kebijakan atau keputusan pejabat publik dan melibatkan banyak
korban serta menimbulkan dampak yang meluas – mencakup dimensi
sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Salah satu contoh kasus yang
ramai yakni terkait tindak represif aparat penegak hukum terhadap
warga Wadas yang mempertahankan tanahnya dari praktik
pertambangan. Pasalnya, warga Wadas sebagian besar
menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian dan perkebunan, jika
upaya melakukan penambangan di tanah Wadas dapat berpotensi
menciptakan kerusakan ekologis, hilangnya sumber perekonomian
warga, relasi sosial yang telah terbentuk, dan menimbulkan bentuk
eksploitasi baru. Dalam kasus ini, kaum perempuan menjadi kelompok
yang paling dirugikan, mengingat mereka menggantungkan hidupnya
dari kekayaan alam desa.

Eksplotasi yang dialami oleh kaum perempuan oleh sistem


kapitalis menjadi wacana besar yang harus dikulik dan diperjuangkan.24
Penindasan terhadap mereka harus dihentikan agar hak-hak
perempuan dalam ruang kerja dapat dipenuhi secara adil.25 Sehingga,
mereka tidak lagi mengalami domestifikasi dan beban ganda dalam
ruang kerja.

Tawaran terhadap sistem ekonomi yang adil tentu menjadi


wacana selanjutnya yang harus terus digali dan diperluas. Supaya peran
perempuan tidak lagi bias di dalam kehidupan sosial, terutama
perannya di dalam aktivitas ekonomi. Dengan adanya sistem ekonomi
yang adil dan merata diharapkan kesejahteraan bersama bisa diraih
tanpa harus melakukan penindasan terhadap sesama manusia maupun
alam.

24
Segovia-Pérez and others.
25
Sheriff F Folarin, Associate Prof Oluwakemi, and D Udoh, ‗BEIJING DECLARATION AND
WOMEN‘S PROPERTY RIGHTS IN NIGERIA‘, European Scientific Journal, 10.34 (2014).
17
Perempuan Dalam Belenggu Kebudayaan

Gender-based Violence26 atau kekerasan berbasis gender yang


dialami oleh perempuan sebenarnya punya berbagai macam bentuk.
Pada dasarnya, tidak hanya kekerasan yang berbentuk fisik atau psikis
saja, namun meluas hingga kekerasan yang melibatkan budaya atau
adat istiadat dan kekerasan berbentuk struktural. Isu kekerasan yang
menimpa kaum perempuan akibat dari kebudayaan atau adat istiadat
yang berlaku di suatu daerah ini,27 kini semakin mencuat ke
permukaan. Sebab, perempuan kerap menjadi pihak yang sangat
dirugikan dari hukum-hukum adat yang berlaku.

Melenggangnya kekerasan mengatasnamakan budaya


merupakan bentuk pembengkokan terhadap warisan nenek moyang,
kontruksi lama dari kolonialisme, dan penafsiran teks-teks agama
secara dangkal. Akibatnya, perempuan menjadi kelompok yang paling
tersudutkan dengan aturan-aturan adat yang sifatnya patriarkal. Seperti
budaya khitan perempuan di Afrika dan Timur Tengah yang dijadikan
sebagai praktik mutilasi kenikmatan seksual dan kepuasan perempuan
(pengendalian seksualitas perempuan). Fran Hosken dalam tulisannya
yang berjudul ‖Female Genital Mutilation and Human Right‖
menjelaskan bahwa telah terjadi ‗politik seksual pria‘ di Afrika dan di
seluruh dunia yang bertujuan untuk menciptakan ketergantungan dan
kepatuhan perempuan kepada laki-laki. Melalui hukum-hukum adat
yang telah mengakar tersebutlah, perempuan mengalami berbagai
diskriminasi dan penundukan paksa.

26
Claudia Garcia-Moreno and Heidi Stöckl, ‗Violence against Women‘, in International
Encyclopedia of Public Health, 2016 <https://doi.org/10.1016/B978-0-12-803678-5.00483-5>;
Gillian K. SteelFisher and others, ‗Gender Discrimination in the United States: Experiences of
Women‘, Health Services Research, 54.S2 (2019) <https://doi.org/10.1111/1475-6773.13217>;
Jacob Zenn and Elizabeth Pearson, ‗Women, Gender and the Evolving Tactics of Boko Haram‘,
Journal of Terrorism Research, 2014 <https://doi.org/10.15664/jtr.828>.
27
Rwafa.
18
Eksploitasi perempuan secara universal dan lintas budaya sebagai
bentuk kontrol terhadap perempuan semakin nyata. Segregasi seksual
juga menjadi problem negara-negara di dunia, terutama di beberapa
negara Islam. Contoh di Pakistan, kaum perempuan di sana harus
menerima penaklukan, diskriminasi, hingga kekerasan sebagai bentuk
penyalahgunaan adat-istiadat dan norma budaya tradisional Pakistan
yang sebenarnya berbahaya dan melanggengkan pola pikir superioritas
laki-laki Pakistan.

Beberapa adat budaya Pakistan yang sangat membahayakan


perempuan yaitu Kala-Kali (honour killing bagi perempuan yang
melakukan hubungan terlarang), Karo-Kari (honour killing yang telah
direncanakan secara budaya terhadap laki-laki ataupun perempuan
yang melakukan hubungan terlarang atau pemberontakan, Swara
(pernikahan paksa bagi anak-anak perempuan), Vanni (pernikahan
anak yang dilakukan untuk menyelesaikan permusuhan antar
suku/klan), dan Watta Satta (pertukaran pengantin antara dua
keluarga). Rentannya kekerasan yang dialami oleh perempuan di
Pakistan membuat negara ini menempati peringkat 153 dari 156
negara dengan kesetaraan gender terendah dan peringkat 7 dari 8
negara di Asia Selatan dalam survei Global Gender Gap 2021.

Kekerasan berbasis gender akibat tebang pilih hukum adat juga


terjadi di Indonesia.28 Apalagi Indonesia merupakan salah satu negara
yang punya keragaman suku dan budaya. Sehingga, di setiap daerah
punya hukum adat yang diakui atau masih dipraktikkan secara
signifikan oleh masyarakat setempat. Tidak mengherankan jika
mekanisme non-formal − melalui tetua adat − juga kerap menjadi
forum penyelesaian beberapa kasus (terutama kasus kekerasan
terhadap perempuan) di daerah. Misalnya, masyarakat adat di NTT
(Nusa Tenggara Timur), khususnya di Kupang, Atambua, dan Waingapu
menjadi salah satu komunitas yang hingga kini masih memilih lembaga
adat dalam menyelesaikan kasus kekerasan terhadap perempuan.

Terdapat salah satu budaya yang masih dipraktikkan hingga saat


ini oleh masyarakat adat di NTT, yaitu belis. Tradisi belis merupakan

28
Novi Diah Haryanti, ‗Konstruksi Gender Pada Novel Perempuan Berkalung Sorban
Karya Abidah El Khalieqi‘, Dialektika: Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pendidikan Bahasa Dan Sastra
Indonesia, 2.2 (2016) <https://doi.org/10.15408/dialektika.v2i2.3629>.
19
pemberian mahar untuk meminang perempuan di sana dan sekaligus
sebagai simbol penghargaan dan pengakuan kepada harkat dan
martabat seorang perempuan. Bentuk belis yang ditetapkan itu terdiri
dari mata uang logam (terbuat dari emas, perak, maupun tembaga),
ternak (kerbau dan babi), dan kain tenun. Mirisnya, praktik belis di NTT
telah mengalami pergeseran makna. Kini, tradisi ini seolah
menempatkan perempuan tidak ubahnya sebagai komoditas dagang.
Karena praktik belis yang terjadi sekarang ini disalahartikan sebagai
simbol penyerahan penuh hak-hak perempuan kepada pihak laki-laki,
sehingga dibanyak kasus, terdapat sikap sewenang-wenang dari pihak
suami terhadap istri melalui berbagai tindak kekerasan. Bahkan tidak
sedikit, suami melakukan perselingkuhan lantaran tubuh istrinya tidak
sebagus dulunya ¬ karena adanya perubahan fisik seperti gemuk, lusuh
dan hitam.

Disamping itu, adanya permintaan mahar yang besar dari praktik


balis, turut mendorong terjadinya kawin lari. Tidak sedikit, pihak laki-
laki di NTT yang tidak sanggup melaksanakan tradisi belis kemudian
mengajak perempuan (yang akan dinikahinya) untuk kawin lari hingga
hamil di luar nikah. Karena di banyak praktiknya, belis sengaja
digunakan untuk menaikkan mahar yang melampaui batas
kemampuan pihak laki-laki dengan mengatasnamakan adat serta
dikaitkan dengan masalah harga diri dan prestise. Menurut Rubenson
A. Banfatin karena adanya pergeseran tradisi belis akibat dari
masukkanya misionaris bangsa Portugis. Sejak itu, benda belis yang
dulunya berupa sirih pinang diganti dengan gading gajah sebagai
simbol kekuasaan dan laluhur. Kemudian berjalannya waktu benda
belis diganti dengan uang.

Dalam realitasnya, terdapat banyak celah untuk melakukan tindak


kekerasan berbasis gender, khususnya kekerasan kepada kaum
perempuan. Ruang-ruang budaya atau adat istiadat pun kerap
disalahgunakan untuk melegitimasi kekerasan terhadap mereka.29
Tentu, upaya-upaya ini harus segera dihentikan karena terus
mengeliminasi perempuan dan tidak memosisikan mereka pada
struktur yang setara dalam kehidupan sosial. Terutama terhadap kasus
kekerasan yang mengatasnamakan kepentingan adat atau kelompok.

29
Rwafa; Adisa, Abdulraheem, and Isiaka.
20
Perempuan dan Stigma di Ruang Sosial

Tumbuhnya berbagai stigma negatif terdapat kaum perempuan


seperti benalu yang terus menggerogoti tubuh inangnya. Sebab,
eksistensi kaum perempuan acapkali disudutkan oleh pandangan
miring yang membuat mereka semakin termarginalkan dari ruang
sosial.30 Sehingga, mereka pun kehilangan ruang untuk berekspresi dan
mengembangkan potensi yang dimilikinya.

Dalam kehidupan sosial, perempuan kerap diposisikan pada


posisi kedua setelah laki-laki.31 Sehingga, ketidaksetaraan seolah
menjadi keniscayaan yang akan terus menemui jalan terjal. Kekerasan
verbal/non-verbal, opresi, alienasi, subordinasi dan domestifikasi kerja
akan terus melekat pada diri kaum perempuan jika tidak ada
perubahan stigma terhadap mereka di dalam ruang sosial. Oleh sebab
itu, upaya-upaya untuk menumbuhkan kesadaran dan gerakan kolektif
sesama kaum perempuan menjadi pilihan yang tidak bisa ditolak.

Amartha Sen melalui karyanya yang berjudul ‗Kekerasan dan


Identitas‘ memberikan pandangan mendasar bahwa kepentingan
identitas bisa menjadi penyulut api kekerasan. Ia menyoroti kehidupan
masyarakat di India, terutama antara kaum pemeluk agama mayoritas
(Hindu) dengan minoritas (Islam) yang kerap bersitegang karena terlalu
fanatik untuk melindungi eksistensi intensitas dari masing-masing

30
Caroline Essers and Deirdre Tedmanson, ‗Upsetting ―Others‖ in the Netherlands:
Narratives of Muslim Turkish Migrant Businesswomen at the Crossroads of Ethnicity, Gender and
Religion‘, Gender, Work and Organization, 21.4 (2014) <https://doi.org/10.1111/gwao.12041>;
Mayola Andika, ‗Reinterpretasi Ayat Gender Dalam Memahami Relasi Laki-Laki Dan Perempuan
(Sebuah Kajian Kontekstual Dalam Penafsiran)‘, Musãwa Jurnal Studi Gender Dan Islam, 17.2
(2019), 137 <https://doi.org/10.14421/musawa.2018.172.137-152>.
31
Marhumah; Adisa, Abdulraheem, and Isiaka.
21
kubu.32 Konflik yang terjadi pun terus berlarut-larut hingga banyak
kaum perempuan mengalami ancama, kekerasan bahkan kehilangan
ruang untuk mengekspresikan ajaran agama yang mereka anut. Seperti
baru-baru ini yang terjadi, Pengadilan Tinggi Karnataka, India
memutuskan larangan menggunakan hijab di sekolah. Di samping itu,
tidak sedikit juga kasus perempuan Muslim di India mengalami
ancaman dan kekerasan baik di ruang ibadah maupun di ruang publik.

Potret kekerasan terhadap perempuan Muslim di India menjadi


salah satu gambaran masih minimnya ruang berekspresi bagi mereka.
Sebaliknya, hak-hak mereka semakin hari semakin tercerabut sehingga
setigma maupun kekerasan terdapat mereka seolah dilegitimasi secara
sah tanpa ada proses hukum yang serius.

Tidak hanya di India saja, kaum perempuan di belahan dunia lain,


terutama di Indonesia juga seringkali mengalami tindak kekerasan.
Absennya perlindungan dari negara dan belum efektifnya lembaga
hukum yang ada menjadi beberapa alasan mengapa tindak kekerasan
terhadap perempuan terus terjadi setiap tahunnya. Bahkan, karena
minimnya lembaga pengaduan yang bersifat privat bagi kaum
perempuan mengakibatkan banyak dari mereka yang mengurungkan
niat untuk melaporkan pelaku. Hal ini karena mereka merasa tidak
mendapatkan keamanan, perlindungan dan adanya keraguan terhadap
lembaga hukum yang ada.

Tantangan yang dihadapi oleh mereka (kaum perempuan)


tidaklah mudah, terlebih sekarang kekerasan berbasis gender juga bisa
terjadi di ruang internet atau dunia maya.33 Hal inilah yang kemudian
membuat mereka harus semakin waspada dan berhati-hati dalam
berjejaring. Namun hal tersebut juga semakin membuat mereka sadar

32
Amos Y. Luka, ‗Hindu-Muslim Relations in Kashmir: A Critical Evaluation‘, HTS
Teologiese Studies / Theological Studies, 77.4 (2021) <https://doi.org/10.4102/HTS.V77I4.6227>;
Amit Singh, ‗Conflict between Freedom of Expression and Religion in India-A Case Study‘, Social
Sciences, 7.7 (2018) <https://doi.org/10.3390/socsci7070108>; Alka Jauhari, ‗India-Pakistan
Relations: International Implications‘, Asian Social Science, 9.1 (2012)
<https://doi.org/10.5539/ass.v9n1p42>.
33
Maja Brandt Andreasen, ‗―Rapeable‖ and ―Unrapeable‖ Women: The Portrayal of
Sexual Violence in Internet Memes about #MeToo‘, Journal of Gender Studies, 30.1 (2021)
<https://doi.org/10.1080/09589236.2020.1833185>; Ana Valentina Medeiros de Araújo and
others, ‗Technology-Facilitated Sexual Violence: A Review of Virtual Violence against Women‘,
Research, Society and Development, 11.2 (2022) <https://doi.org/10.33448/rsd-v11i2.25757>.
22
akan pentingnya menguatkan barisan kaum perempuan dalam
melawan ketidakadilan gender, kekerasan yang mereka alami dan
menyuarakan isu-isu perempuan. Sehingga, secara tidak langsung
ancaman, stigma dan kekerasan yang mereka alami telah menjadi imun
bagi mereka untuk melakukan perlawanan.

23
Perempuan dan Gerakan Lingkungan

Seringkali isu-isu lingkungan disandingkan dengan isu


perempuan.34 Mengingat, keduanya mengalami nasib yang sama, di
mana mereka mengalami eksploitasi, degradasi, termarginalkan,
tersubordinat dan tidak jarang juga mengalami opresi. Perlakuan inilah
kemudian mendorong lahirnya gerakan ekofeminsime yang memiliki
agenda utama yaitu menuntut terpenuhinya hak-hak lingkungan dan
perempuan sebagai makhluk hidup.35

Lahirnya gerakan ekofeminsime tidak lepas dari jasa Francoise


d‘Eaubonne yang mengenalkan Revolusi Ekologis. Ia sangat meyakini
bahwa perempuanlah yang memiliki potensi untuk melakukan revolusi
tersebut, sebab kedekatannya dengan konsep Ibu Bumi (Mother‘s
Nature).36 Kerusakan ekologis yang disebabkan oleh desforestasi,
pemanasan global, perubahan iklim, alih fungsi lahan dan punahnya
keanekaragaman hayati menjadi akibat dari munculnya dominasi
maskulinitas laki-laki. Sehingga ia pun lebih memilih memberikan
kepercayaan kepada perempuan untuk melakukan Revolusi Ekologis.

Namun, mengakarnya budaya patriarki, pemikiran antropologis


dan endrosentris seringkali menjadi hambatan bagi perempuan dalam
menyelamatkan alam dan hak-haknya sebagai makhluk hidup yang
setara di bumi. Munculnya pola pikir maskulin yang sejauh ini masih
tertanam membuat hak-hak perempuan dan alam menjadi
termarginalkan. Padahal, perempuan dan alam memiliki kesempatan
34
Susan Buckingham, ‗Ecofeminism in the Twenty-First Century‘, Geographical Journal,
170.2 (2004) <https://doi.org/10.1111/j.0016-7398.2004.00116.x>; Greta Gaard, ‗Ecofeminism and
Climate Change‘, Women‘s Studies International Forum, 49 (2015)
<https://doi.org/10.1016/j.wsif.2015.02.004>.
35
Karen Warren, ‗Feminism and Ecology: Making Connections‘, Environmental Ethics,
1987 <https://doi.org/10.5840/enviroethics19879113>.
36
(Liu et al. 2019)
24
untuk sama-sama eksis dan berkontribusi bagi keberlanjutan ekosistem
kehidupan yang ada. Karen J. Warren mengungkapkan bahwa cara pikir
hierarkis, dualistik dan menindas adalah pola pikir maskulin yang telah
mengancam keselamatan perempuan dan alam. Pola pikir inilah yang
seharusnya diubah dengan pola pikir yang lebih etis, di mana lebih
mengedepankan keseimbangan dan kesetaraan dalam hidup.

Tidak sedikit, potret para perempuan dalam menyelamatkan


lingkungan mengalami hambatan. Beberapa contoh gerakan
perempuan dalam upaya penyelamatan alam yang sangat heroik yakni
seperti gerakan Chipko di India dan Green Belt Movement di Kenya.
Gerakan Chipko37 merupakan gerakan yang diinisiasi oleh Vandana
Shiva bersama para perempuan dari organisasi akar rumput di India.
Mereka sepakat untuk mengehentikan penebangan hutan yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar dengan cara memeluk
erat pohon-pohon yang hendak ditebang dengan mesin. Upaya yang
mereka lakukan tersebut selain untuk melindungi hutan (hutan bagi
orang India memiliki makna sakral atau disebut Aranya Sanskrit),
namun juga demi menjaga keberlangsungan hidup mereka.
Mengingat, pohon memberikan empat kebutuhan bagi rumah tangga,
yaitu makanan, bahan bakar, kebutuhan rumah dan penghaasil
ekonomi rumah tangga. Sehingga, musnahnya pohon akan
menyulitkan para perempuan, terutama mereka yang tinggal di desa
dan bergantung pada hasil hutan.

Selanjutnya, Green Belt Movement atau Gerakan Sabuk Hijau,


merupakan gerakan yang dipelopori oleh konservasionis Kenya
bernama Wangari Maathai.38 Gerakan ini muncul akibat adanya

37
Trent Brown, ‗Chipko Legacies: Sustaining an Ecological Ethic in the Context of
Agrarian Change‘, Asian Studies Review, 38.4 (2014)
<https://doi.org/10.1080/10357823.2014.956686>; V. Shiva and J. Bandyopadhyay, ‗The Evolution,
Structure, and Impact of the Chipko Movement.‘, Mountain Research & Development, 6.2 (1986)
<https://doi.org/10.2307/3673267>; Ambika Aiyadurai and others, ‗The Chipko Movement: A
People‘s History‘, Conservation and Society, 20.1 (2022) <https://doi.org/10.4103/cs.cs_150_21>.
38
Marc Michaelson, ‗Wangari Maathai and Kenya‘s Green Belt Movement: Exploring the
Evolution and Potentialities of Consensus Movement Mobilization‘, Social Problems, 41.4 (1994)
<https://doi.org/10.1525/sp.1994.41.4.03x0271k>; Bethany Boyer-Rechlin, ‗Women in Forestry: A
Study of Kenya‘s Green Belt Movement and Nepal‘s Community Forestry Program‘, Scandinavian
Journal of Forest Research, 25.SUPPL. 9 (2010) <https://doi.org/10.1080/02827581.2010.506768>;
Sharon Smulders, ‗―Information and Inspiration‖: Wangari Maathai, the Green Belt Movement and
Children‘s Eco-Literature‘, International Research in Children‘s Literature, 2016
25
desforestasi dan diskrimiminasi terhadap perempuan di Kenya.
Wangari Maathai bersama para perempuan di Kenya melakukan
gerakan penanaman pohon (reboisasi) untuk memulihkan kembali
kondisi hutan yang rusak. Menurutnya, apa yang telah diambil dari
alam harus dikembalikan kepada alam. Meskipun gerakan yang
dilakukan oleh Wangari Maathai bertentangan dengan pembangunan
rezim pemerintahan pada saat itu, tapi pada akhirnya Green Belt
Movement mampu menghadirkan reformasi lingkungan di Kenya.
Gerakan ekofeminisme yang dipelopori oleh para perempuan
tidak berhenti hanya pada perjuangan yang dilakukan oleh Vandana
Shiva dan Wangari Maathai saja. Masih banyak contoh perjuangan para
perempuan dalam menyelamatkan alam dan hak-hak mereka yang
hingga saat ini masih berjalan. Seperti perjuangan Mama Aleta Baun
yang memperjuangkan lingkungan sekitar Gunung Mutis dari
penambangan marmer dan Gunarti bersama para perempuan di
Kendeng melawan operasi industri ekstraktif pabrik semen yang
megancam sumber air, ekosistem dan mata pencaharian para petani.
Perjuangan mereka menjadi bentuk keseriusan para perempuan dalam
mewujudkan keadilan dan usaha mengembalikan kembali
keseimbangan alam. Mengingat penindasan yang dialami oleh para
perempuan juga di alami oleh alam.

Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh para perempuan


menyakinkan bahwa perempuan menjadi penggerak yang akan terus
memperjuangkan hak-haknya dan berupaya melawan penindasan
terhadap alam. Perjuangan yang mereka lakukan menjadi bentuk
kesadaran mereka terhadap pentingnya menjaga keseimbangan
ekosistem kehidupan yang ada di bumi, di mana manusia, alam dan
mahkluk hidup lainnya harus terpenuhi hak-haknya secara adil.
Sehingga, dapat terwujud ekosistem kehidupan yang setara, adil, dan
berkelanjutan.

<https://doi.org/10.3366/ircl.2016.0180>; Kathleen P. Hunt, ‗―It‘s More Than Planting Trees, It‘s


Planting Ideas‖: Ecofeminist Praxis in the Green Belt Movement‘, Southern Communication Journal,
79.3 (2014) <https://doi.org/10.1080/1041794X.2014.890245>; Kayleigh Q. DeLap, ‗From Root to
Tree: Wangari Maathai‘s Green Belt Movement-The Grassroots Approach to Addressing Human
Rights Violations‘, Environmental Claims Journal, 25.2 (2013)
<https://doi.org/10.1080/10406026.2013.782251>; Wangari Maathai, Green Belt Movement:
Sharing the Approach and the Experience, Book, 2004, IV.
26
Perempuan, Kampus dan Pemberdayaan

―Kebebasan tidak bisa dicapai kecuali perempuan telah dibebaskan dari


segala bentuk penindasan.‖ – Nelson Mandela

Selalu ada peran perempuan dalam setiap gerakan pembebasan.


Sangat penting perempuan punya kolektifitas yang solid saat
penindasan terjadi dalam berbagai bentuk. Karena kekerasan juga
berulang dalam varian yang berbeda dan selalu selalu ada cerita
perjuangan perempuan yang menarik untuk dituliskan. Bukan hanya
sebagai inspirasi tapi bagaimana mereka punya daya kreatif untuk
mencapai kebebasan yang tidak diraih dengan mudah.

Perempuan era hari ini seperti wanita listrik Tri Mumpuni, Mama
Aleta Baun aktivis lingkungan untuk hak-hak masyarakat adat
penentang penambangan marmer di Nusa Tenggara Timur, Gunarti
perempuan samin yang mengorganisir perempuan melawan pabrik
semen dan masih banyak lagi. Kekerasan terhadap perempuan di
bidang ekonomi39 seperti lahan pertanian direbut, hutan dibakar untuk
kepentingan oligarki, lingkungan tercemar, kualitas air dan tanah
menurun, dan hak-hak perempuan untuk tumbuh setara banyak
mengalami hambatan.

39
Alkan, Özar, and Ünver; Ömer Alkan and Hasan Hüseyin Tekmanlı, ‗Determination of
the Factors Affecting Sexual Violence against Women in Turkey: A Population-Based Analysis‘,
BMC Women‘s Health, 21.1 (2021) <https://doi.org/10.1186/s12905-021-01333-1>; Dusadee
Ayuwat and Somsouk Sananikone, ‗Influential Factors Among Male Population, Which Associated
with the Economic Violence Against Women in Laos‘, Gender Issues, 35.4 (2018)
<https://doi.org/10.1007/s12147-018-9213-5>; Tatjana Đurić Kuzmanović and Ana Pajvančić-
Cizelj, ‗Economic Violence against Women: Testimonies from the Women‘s Court in Sarajevo‘,
European Journal of Women‘s Studies, 27.1 (2020) <https://doi.org/10.1177/1350506818802425>.
27
Bagaimana mendorong kaum terdidik lebih sensitif terhadap isu
perempuan? Bagaimana Perguruan Tinggi merespon isu kekerasan
yang menimpa pada mayoritas perempuan baik terkait gender,
lingkungan hidup, ekonomi, politik, ruang publik dan lainnya?
Bagaimana peran organisasi perempuan selama ini dalam
mengadvokasi kepentingan kedaulatan perempuan itu sendiri? Saya
tidak perlu merilis organisasi perempuan mana saja, tapi data
menunjukkan kekerasan terhadap perempuan masih masif bahkan di
beberapa daerah terus meningkat.40

Belum lama seorang gadis berumur 16 tahun diajak sholawatan


oleh seorang laki-laki umur 27 tahun. Kemudian diajak ke rumahnya
dan diperkosa. Tidak perlu dilanjutkan banyaknya berita di pelosok-
pelosok desa orang tua abai terhadap pergaulan anak perempuannya.

Ketika kekerasan terhadap perempuan diabaikan, tidak ada ada


cara lain kecuali membangkitkan kesadaran kaum perempuan itu
sendiri. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, persentase
penduduk perempuan berusia 15 tahun ke atas yang memiliki ijazah
perguruan tinggi lebih banyak daripada penduduk laki-laki. Persentase
perempuan yang pernah menamatkan perguruan tinggi mencapai
10,06% pada 2021, sedangkan laki-laki 9,28%.

Kesadaran untuk mengorganisir perempuan juga bukan semata


kepentingan citra lembaga, politik, dan indeks penghargaan dari
lembaga-lembaga negara. Tapi kesadaran untuk melindungi
perempuan dan menempatkan mereka sebagai makhluk intelektual
dan spiriutual. Jika data menunjukkan jumlah perempuan di kampus
sudah melampaui laki-laki, selayaknya ada gerakan pemberdayaan
perempuan yang bertujuan untuk membebaskan masa depan mereka
dari persoalan yang mereka hadapi.41

Perempuan bukan hanya jadi leader pada struktur yang


membangun hirarki atau jarak bagi kepentingan mereka sendiri.
Perempuan lebih dari itu harus menjadi penggerak-penggerak yang
militan di lapangan sosial. Kekerasan seksual misalnya harus di lawan

40
(Watts and Zimmerman 2002; Freedman 2016)
41
(Suminar, Budiartati, and Anggraeni 2019; Nadim and Nurlukman 2017; Mahjoub
2016)
28
dengan melibatkan para perempuan itu sendiri untuk mencegah,
menghukum dan melindungi kepentingan perempuan di ruang publik.
Terus memberi ruang bagi para perempuan untuk bicara, menentukan
arah perjuangan mereka dan membuka akses seluas-luasnya untuk
mereka menjadi manusia pejuang.42

Perguruan Tinggi harus tegas dan tangkas dalam membangun


arah gerak pemberdayaan perempuan. Dengan jumlah perempuan
yang tidak sedikit, para mahasiswa dapat dibekali dengan skill yang
mumpuni untuk menjadi modal mereka dapat mengadvokasi
kepentingan mereka di ruang publik, pendidikan, ekonomi, politik,
budaya dan wilayah lainnya. Bukan hanya para perempuan tapi juga
para laki-laki harus memahami reposisi gender. Menghormati
perempuan sebagaimana mereka menghormati ibu mereka sendiri.
Namanya pemberdayaan maka mereka harus punya daya punya power
untuk menentukan arah kolektif kepentingan kaum yang di sebut tiang
negara.

42
R Scheyvens, ‗Promoting Women‘s Empowerment through Involvement in
Ecotourism: Experiences from the Third World‘, Journal of Sustainable Tourism, 8.3 (2000), 232–49
<https://doi.org/10.1080/09669580008667360>; Zuraidah Kamaruddin, ‗Involvement of Women in
Economy: An Explication from the Islamic Perspective‘, Revista Gestão Inovação e Tecnologias,
11.2 (2021) <https://doi.org/10.47059/revistageintec.v11i2.1729>.
29
Perempuan Tanpa Batas

Ruang sosial yang tidak memihak pada hak-hak perempuan telah


menjadi pemicu tumbuhnya kontruksi gerakan kaum feminis akar
rumput.43 Ditambah lagi dengan keterasingan yang semakin jelas
terlihat melabeli kaum perempuan di dalam ranah sosial akibat dari
maskulinitas laki-laki, terutama kepada mereka yang mengalami
kesulitan ekonomi, keterbelakangan mental, berasal dari ras minoritas
(kulit hitam), dan punya kecenderungan homoseksual ataupun
lesbianisme. Adanya upaya pengasingan inilah yang kemudian menjadi
akar dari suburnya budaya patriarkal, rasisme, seksisme, dan
diskriminasi terhadap perempuan di masyarakat.

Tekanan yang dialami oleh perempuan semakin bertambah


ketika mereka dianggap sebagai makhluk inferior. Mereka senantiasa
ditempatkan pada struktur kedua − subordinasi (konco wingking
dalam istilah jawa) − setelah laki-laki yang dipandang maskulin dan
dianggap superior.44 Hal tersebut dapat dilihat dari domestifikasi pada
perempuan dalam kehidupan sosial masyarakat, di mana ruang kerja
mereka dibatasi hanya pada teritori (lingkup) rumah tangga saja.
Sedangkan di ruang publik, perempuan cenderung dianggap kurang
mumpuni sehingga sulit bagi mereka untuk mengakses peluang kerja
yang ada di sana. Adanya batas inilah yang secara tidak langsung telah
mengucilkan kaum perempuan dari kehidupan sosial dan membuat

43
Catherine So Kum Tang, Day Wong, and Fanny Mui Ching Cheung, ‗Social
Construction of Women as Legitimate Victims of Violence in Chinese Societies‘, Violence Against
Woman, 8.8 (2002) <https://doi.org/10.1177/107780102400447096>.
44
Sultana; Ahmad Ridwan and Emy Susanti, ‗Subordination of Women and Patriarchal
Gender Relations at Islamic Poor Community‘, Masyarakat, Kebudayaan Dan Politik, 2019
<https://doi.org/10.20473/mkp.v32i22019.159-167>; Erwait Aziz, Irwan Abdullah, and Zaenuddin
Hudi Prasojo, ‗Why Are Women Subordinated? The Misrepresentation of the Qur‘an in Indonesian
Discourse and Practice‘, Journal of International Women‘s Studies, 21.6 (2020), 235–48.
30
mereka terkungkung pada aktivitas rumah tangga – sumur, dapur, dan
kasur.

Sudah tidak menjadi rahasia umum, jika pekerjaan di sektor


publik lebih didominasi oleh laki-laki ketimbang perempuan.
Perempuan hanya bisa mengakses pekerjaan di sektor jasa seperti
perawat dan pekerja sosial, sedangkan jenis pekerjaan pada sektor
lainnya banyak diduduki dan didominasi oleh laki-laki. Secara global,
tercatat TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) perempuan cukup
rendah hanya berada di angka rata-rata 47 persen sedangkan laki-laki
di angka 72 persen. Fenomena ini menjadi indikasi awal bahwa
pembagian kerja secara seksual terlihat nyata dalam ranah sosial.
Perempuan cenderung menjadi kelompok yang tidak berdaya dan laki-
laki muncul sebagai kelompok yang berkuasa. Apalagi perempuan
kerap didefinisikan sebagai arketipe korban kontrol dari maskulinitas –
sebagai objek yang tertindas secara seksual.

Adanya pembiaran pada budaya patriarki yang mengakar sejak


lama secara tidak langsung telah berakibat vatal bagi eksistensi kaum
perempuan. Pasalnya mereka semakin terisolasi dalam kehidupan
sosial. Bahkan di beberapa negara Dunia Ketiga/Selatan (negara-
negara berkembang dan miskin), perempuan tidak hanya sulit dalam
mendapatkan kesempatan kerja yang setara, namun juga kerap
mengalami tindak kekerasan seperti pemerkosaan, prostitusi paksa,
poligami, mutilasi alat kelamin (Afrika), infibulasi, dan paksaan
melaksanakan purdah − segregasi perempuan. Dalam kasus ini,
kebudayaan turut andil dalam membentuk kontruksi kekerasan
terhadap perempuan, di samping adanya sikap superior dari kaum laki-
laki.

Minimnya akses perempuan pada ruang-ruang sosial, terutama


dalam mendapatkan kesempatan kerja pada akhirnya berimbas pada
melemahnya kedaulatan ekonomi mereka.45 Perempuan miskin

45
Baoubadi Atozou, Radjabu Mayuto, and Alexis Abodohoui, ‗Review on Gender and
Poverty, Gender Inequality in Land Tenure, Violence Against Woman and Women Empowerment
Analysis: Evidence in Benin with Survey Data‘, Journal of Sustainable Development, 2017
<https://doi.org/10.5539/jsd.v10n6p137>; Pâmela Rocha Vieira, Leila Posenato Garcia, and Ethel
Leonor Noia Maciel, ‗The Increase in Domestic Violence during the Social Isolation: What Does It
Reveals?‘, Revista Brasileira de Epidemiologia, 23 (2020) <https://doi.org/10.1590/1980-
549720200033>.
31
semakin banyak ditemukan, bahkan sebagian dari mereka secara
terpaksa harus menanggung beban sebagai kepala keluarga lantaran
ditinggal oleh suaminya. Khususnya di Indonesia, menurut data dari
Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik pada 2020,
terdapat 11,44 juta keluarga dikepalai oleh perempuan. Mereka
merupakan kelompok yang rentan baik secara sosial maupun ekonomi.
Pasalnya 95 persen perempuan kepala keluarga ini bekerja pada sektor
informal seperti pedagang, buruh, petani, atau buruh tani dengan
pendapatan kurang dari Rp500 ribu tiap bulan. Kondisi inilah yang
kemudian semakin menambah beban mereka, di satu sisi kesempatan
kerja bagi mereka sangat minim, sedangkan di sisi lain ada tanggung
jawab keluarga yang harus dipikul sendiri. Vatalnya, kemiskinan yang
menerpa perempuan kian menjebloskan mereka pada lubang patriarkal
paling dasar yakni hilangnya eksistensi mereka sebagai manusia.

Menuntaskan masalah ketimpangan (ketidakadilan) gender tentu


bukan pekerjaan mudah. Apalagi, adanya ambisi para kapitalis untuk
memperkuat hegemoninya melalui eksploitasi, kolonialisasi, praktik
imperialisme, dan proletarianisasi massal perempuan yang semakin
mengaburkan gerakan kaum fiminis. Terlebih mereka yang berasal dari
Dunia Ketiga yang secara langsung mengalami praktik apartheid,
rasisme dan pengasingan, dan proletarinisasi oleh kapital korporat
yang berbasis di negara-negara Dunia Pertama. Tentu beban mereka
lebih berat dibandingan dengan perempuan yang terlahir di negara-
negara maju − Dunia Pertama/Utara (Amerika Serikat dan Eropa).

Selanjutnya, posisi perempuan semakin dipojokkan oleh


pandangan eurosentrisme yang seringkali membelokkan arah narasi
feminis menjadi bertolak belakangan terhadap tujuan awal
(menghadirkan kesetaraan/persamaan hak). Sebaliknya, mereka yang
berkulit putih malah menindas yang berkulit hitam, dan yang kaya
menindas yang miskin.46 Dalam kasus ini, privilese (keluarga, budaya,
ras, dan kelas) menjadi tolak ukur. Sehingga, tindakan ini menciptakan
jarak dan perbedaan argumen antara kaum perempuan Dunia Pertama
dan Dunia Ketiga. Bahkan, beban ganda yang dialami oleh kaum

46
Gisel Lorena Fattore and others, ‗Experiences of Discrimination and Skin Color Among
Women in Urban Brazil: A Latent Class Analysis‘, Journal of Black Psychology, 46.2–3 (2020)
<https://doi.org/10.1177/0095798420928204>.
32
perempuan kulit hitam (utamanya terkait dengan rasisme dan
seksisme) tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki, namun juga oleh
perempuan kulit putih. Padahal secara universal, mereka sama-sama
mengalami dampak dari budaya patriarki dan endrosentrisme laki-laki.

Stella Rose Que dalam artikelnya ―Black Feminist Spirit Against


Racism and Sexism as Reflected in Sula‖, ia menganalisis tentang
kondisi sosial kaum wanita kulit hitam di Amerika awal abad 20 yang
harus menghadapi dua bentuk diskriminasi sekaligus, yaitu diskriminasi
rasial dan diskriminasi seksual dalam karya Toni Morrison yang
berjudul Sula. Ia menyimpulkan bahwa diskriminasi rasial telah
membuat masyarakat kulit hitam mengalami penderitaan selama
berabad-abad. Bahkan mereka tidak bisa keluar dari dominasi kaum
kulit putih. Sedangkan diskriminasi seksual dalam bentuk nilai-nilai
patriarkal telah membuat kaum perempuan kulit hitam berada dalam
kepasrahan, selalu bergantung pada pria. Bentuk rasisme yang dialami
oleh perempuan kulit hitam ini merupakan sikap diskriminatif yang
menciderai eksistensi kaum perempuan secara kolektif. Secara
solidaritas, seharusnya ada perlawanan masif dari mereka. Tanpa harus
memandang perbedaan ras, budaya, agama, dan tempat tinggal yang
acapkali membelah solidaritas gerakan kaum feminis.

Narasi dan konflik yang mengisi pergerakan perempuan dalam


memperjuangkan hak-haknya pada dasarnya tidak akan pernah
memiliki batas. Perbedaan, ketakuan, dan pengekangan yang mengisi
pergumulan gerakan kaum feminis dalam melawan praktik patriarki di
masyarakat akan selalu menemui babak baru. Di mana perjuangan
kaum perempuan akan senantiasa diuji dan mendapatkan perlawan
dari dinamikan sosial yang terus menghimpit eksistensi mereka.
Sehingga, kolektivitas dan kesadaran bersama atas penindasan yang
mereka alami mesti dipupuk agar mampu menjadi power untuk
mewujudkan kehidupan yang setara dan adil.

33
Merayakan Kemandirian Perempuan

Menuju 4 tahun Payungi, perempuan punya ruang spesial dalam


gerakan pemberdayaan ekonomi.47 Ibu rumah tangga yang awalnya
tidak yakin tentang rencana gelaran pasar minggu pagi, kini tumbuh
menakjubkan dengan banyak kreativitas. Pengetahuan, spiritual,
gotong royong, komitmen, kerja keras dan tentu banyak indikator yang
membuat saya pribadi merasa beruntung belajar banyak dari
pemberdayaan perempuan.

Beberapa point saya mencatat; pertama, perempuan lebih solid


dan punya komitmen tinggi dari pada spesies laki-laki. Solidaritas
gotong royong lebih bisa diandalkan perempuan dan jika ada
pelanggaran, mereka punya mekanisme "raja tega menghukum" jika
ada perempuan lain tidak mentaati aturan yang sudah disepakati.
Kedua, urusan dapur mengepul para perempuan akan mati-matian
memperjuangkan. Jika ada pihak eksternal yang coba mengganggu
gerakan perempuan, sepertinya akan menghadapi masalah panjang.
Apalagi urusan Payungi ini bukan lagi sekadar menambah dapur
mengepul, tapi menjadikan mereka semakin mandiri bahkan
pendapatan dari berjualan sudah melampaui laki-laki meskipun banyak
yang memilih kesalingan atau saling mambantu berjualan.

Ketiga, budaya belajar perempuan lebih militan. Secara subjektif


saya pribadi, mungkin karena selama ini dalam sejarah, khususnya
perempuan selalu dipinggirkan. Jadi budaya perempuan belajar
dimana saja (sekolah, masyarakat dan dunia kerja) memberi fakta baru
bahwa yang di perguruan tinggi jumlah perempuan mendominasi.
Banyak sekali ruang pendidikan pemberdayaan yang Payungi
University sediakan (Sekolah Desa, Sekolah Penggerak Perempuan,

47
(Ridwanullah and Herdiana 2018; Sen 2019; Smulders 2016)
34
Sekolah Seni Payungi, Pesantren Wirausaha dan forum lainnya) hampir
semua di dominasi oleh kaum perempuan.

Menuju ulang tahun ke 4 Payungi, kami ingin merayakan


kemandirian perempuan Payungi dengan International Women Festival
dengan tema "Eco-feminisme." Tema ulang tahun ke 1 yaitu ramah,
ramai & resik. Tema ke 2 "Dari Payungi Untuk Indonesia" dan ke 3
"Gotong Royong Untuk Negeri." Perempuan dalam perjalanan Payungi
adalah subjek, mereka adalah pelaku, tokoh utama, penggerak, dan
sebuah bukti nyata perempuan ada dan berdaya. Meskipun di lain
tempat ada banyak kasus, seperti kekerasan seksual terhadap
perempuan di Perguruan Tinggi, di pesantren, di gereja, di sekolah, dan
juga di tengah masyarakat.

Berdirinya Women & Environment Studies (WES) Payungi adalah


komitmen kami di Payungi untuk mawas diri bahwa kami harus
memberi tempat yang aman dan nyaman bagi semua gender terutama
perempuan. Payungi berupaya memberikan tempat yang mulia bagi
perempuan & anak. Jangan sampai ada kekerasan apalagi dari para
penggerak internal. Di sinilah semakin relevan setiap pemberdayaan
tidak boleh berhenti memberi energi pada pendidikan transformatif
dengan wujud peningkatan kualitas SDM.48 Pendidikan pemberdayaan
adalah kewajiban, bukan hanya daya ekonominya yang tumbuh, tapi
daya spiritualitas dan daya pikir yang juga harus semakin baik.

International Women Festival (IWF) adalah gelaran 1 bulan dari


tanggal 1-30 Oktober. Payungi punya kegiatan full 1 bulan dengan
melibatkan banyak elemen. Dari mulai Sekolah Desa Payungi
University, launching Buku WES, diskusi berseri perempuan, nobar film
perempuan, Live YouTube tafsir quran dan hadist tema perempuan,
pameran lukisan feminisme, lomba anak, fashion show, musik, tari,
pidato kebudayaan dari Dr Mufliha Wijayati , dan yang menarik kami

48
Dawiyatun Dawiyatun, ‗PENDIDIKAN TRANSFORMATIF‘, Islamuna: Jurnal Studi Islam,
2017 <https://doi.org/10.19105/islamuna.v4i2.1592>; Elizabeth A. Lange, ‗Transformative and
Restorative Learning: A Vital Dialectic for Sustainable Societies‘, Adult Education Quarterly, 2004
<https://doi.org/10.1177/0741713603260276>; L. A. Paul and John Quiggin, ‗Transformative
Education‘, Educational Theory, 2020 <https://doi.org/10.1111/edth.12444>; Molly den Heyer, Eric
Smith, and Catherine Irving, ‗Tracing the Link Between Transformative Education and Social Action
Through Stories of Change‘, Journal of Transformative Education, 19.4 (2021)
<https://doi.org/10.1177/15413446211045165>.
35
mencoba berjejaring dengan beberapa pegiat gender & feminisme di
berbagai negara. Yang sudah bersedia yaitu Valeriana dari Colombia.
Semoga sampai Oktober kami mendapat peluang kebaikan dari banyak
tokoh nasional dan senior yang bersedia menemani perayaan
kemandirian perempuan seperti Kiai Faqih Abdul Kodir, Buk Lies
Marcoes, om Taufik Rinaldi Buk Linda Soedibyo Prof Ahmad Rizky
Mardhatillah Umar Mas Muhammad Khoirul Huda Mas Wahyu Hidayat
dan tokoh-tokoh senior lainnya. Salam hormat selalu dan berkah untuk
semua. Salam Payungi.

36
Inovasi Perempuan

Pak @mister_gugun memberi kabar bahwa gerakan beliau yaitu


@gubuktiwul_ngerangan saat ini telah melibatkan 64 perempuan. Saya
ingin sekali melihat bagaimana perubahan ekonomi terjadi di sebuah
kampung di Klaten Jawa Tengah atas inisiatif Pak Gugun karena
terinspirasi Payungi. Bahwa kebaikan memang itu menular dan terus
akan menular.

Para perempuan jika menyangkut urusan dapur mengepul,


mereka akan melakukan banyak hal untuk membuat gerakan semakin
maju. Maka kita sebagai penggerak harus selesai dengan diri kita.
Untuk menemani emak-emak ini, kita harus punya banyak hati lapang,
jangan minteri istilah jawanya atau malah cari untung pribadi atas apa
yang kita gerakan. Kalau kita terus berbuat baik maka kebaikan itu
yang sejatinya membuat orang percaya dan gerakan makin solid dan
bertambah banyak dukungan. Kalau kita culas maka orang akan
menolak membantu gerakan.

Pak Gugun sejak awal saya sampaikan point penting


pemberdayaan adalah terus gotong royong.49 Setelah itu kita bicara
inovasi gerakan.50 Media sosial dari Instagram, Facebook, Youtube,
Website bahkan jika mungkin harus penuh dengan konten yang asyik
dan lucu.51 Jika media sosial tidak dikerjakan, bagaimana orang lain

49
Tadjudin Noer Effendi, ‗Budaya Gotong Royong Masyarakat Dalam Perubahan Sosial
Saat Ini‘, Jurnal Pemikiran Sosiologi, 2016 <https://doi.org/10.22146/jps.v2i1.23403>.
50
Adrian Smith, Mariano Fressoli, and Hernán Thomas, ‗Grassroots Innovation
Movements: Challenges and Contributions‘, Journal of Cleaner Production, 63 (2014)
<https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2012.12.025>.
51
Jörn Messeter, ‗Social Media Use as Urban Acupuncture for Empowering Socially
Challenged Communities‘, Journal of Urban Technology, 22.3 (2015)
<https://doi.org/10.1080/10630732.2015.1040291>; Carmen Leong and others, ‗Social Media
Empowerment in Social Movements: Power Activation and Power Accrual in Digital Activism‘,
37
akan tahu dan tertarik untuk berkunjung. Hanya dengan Media lah
banyak orang akan melihat dan penasaran dengan pemberdayaan
ekonomi yang terus dikerjakan.

Inovasi selanjutnya adalah seni. Jika kita punya gerakan, maka


insting seni harus terus diasah. Dengan mengasah seni penggerak akan
punya kepekaan, keresahan, dan berusaha menyajikan keindahan terus
menerus. Dan perempuan punya modal itu semua. Gerakan perempuan
jika penggerak sabar akan banyak sekali inovasi terkait dengan estetika
seni.

Inovasi perempuan tidak sampai di sini. Jika kita menyajikan


ruang belajar bagi perempuan, mereka akan tumbuh lebih cepat
seiring dengan bertambahnya pengetahuan. Kuncinya ada pada
kesabaran menemani mereka dalam menggali potensi masing-masing.
Jika frekuensi sama tidak perlu banyak kata. Perempuan akan terus
melakukan inovasi dan menjaga atas apa yang sudah dimulai.

European Journal of Information Systems, 28.2 (2019)


<https://doi.org/10.1080/0960085X.2018.1512944>.
38
Bangun Kolektivitas

Pemberdayaan merupakan kerja-kerja kolektif masyarakat


membangun kemandirian.52 Di mana semua sumber daya yang ada
digali dan dimanfaatkan secara bersama-sama untuk kepentingan
bersama. Dalam pemberdayaan, partisipasi seluruh elemen masyarakat
menjadi kunci penting dari keberhasilan gerakan ini.53 Di samping juga,
adanya pengetahuan yang terus ditumbuhkan, konsistensi gerakan,
dan jejaring yang senantiasa dibangun dengan baik.

Untuk menciptakan kerja kolektif − gotong royong − setidaknya


ada tiga pendekatan yang bisa dibangun. Pertama, pendekatan melalui
jalan spiritual, yaitu mengoptimalkan ruang-ruang ibadah sebagai
tempat untuk berkumpul dan berdiskusi serta mengisinya dengan
kegiatan-kegiatan sosial-ekonomi. Dalam masyarakat desa, rutinitas
seperti sholat berjamaah di masjid dan yasinan atau kendurin dapat
dimanfaatkan untuk membangun solidaritas antar warga.

Kedua, pendekatan melalui kegiatan sosial. Salah satu


membangun kedekatan emosional antar warga adalah melalui aktivitas

52
Monika Arnez, ‗Empowering Women through Islam: Fatayat NU between Tradition
and Change‘, Journal of Islamic Studies, 21.1 (2010) <https://doi.org/10.1093/jis/etp025>; Nor
Hafizah Selamat and Noraida Endut, ‗―Bargaining with Patriarchy‖ and Entrepreneurship:
Narratives of Malay Muslim Women Entrepreneurs in Malaysia‘, Kajian Malaysia, 38 (2020)
<https://doi.org/10.21315/KM2020.38.S1.2>; Ismail Ruslan, ‗Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Berbasis Masjid Di Pontianak‘, Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies, 2012; Aliya Bushra**
and Nasra Wajiha***, ‗Assessing Ther Determinants of Women Empwerment in Pakistan: A Case of
Two Colleges of Lahore‘, Pakistan Journal of Applied Economics, 2013; Chanel Emily McCall and
Kevin Frank Mearns, ‗EMPOWERING WOMEN THROUGH COMMUNITY-BASED TOURISM IN THE
WESTERN CAPE, SOUTH AFRICA‘, Tourism Review International, 45.2–3 (2021)
<https://doi.org/10.3727/154427221X16098837279967>.
53
Bezabih Emana, Cooperatives: A Path to Economic and Social Empowerment in
Ethiopia, International Organization, 2009; Muhammad Shakil Ahmad and Noraini Bt Abu Talib,
‗Empowering Local Communities: Decentralization, Empowerment and Community Driven
Development‘, Quality and Quantity, 49.2 (2015) <https://doi.org/10.1007/s11135-014-0025-8>.
39
sosial. Seperti menjenguk tetangga yang sedang sakit, membantu
mereka yang mengalami kesusahan, saling toleransi, dan gugur
gunung (gotong rotong) saat panen. Semakin banyak aktivitas sosial
yang mampu kita kerjakan, maka akan semakin banyak masyarakat
yang bisa kita rangkul bersama. Sehingga, nantinya untuk mengajak
mereka bergerak melakukan kerja pemberdayaan pun akan lebih
mudah.

Kemudian, yang ketiga yaitu sense (kepekaan). Kepekaan ini


merupakan kesadaran individu terhadap masalah yang ada di
sekitarnya. Kepekaan ini lahir karena karakter peduli yang dilatih.
Seseorang yang punya kepekaan tinggi, ia akan selalu siap
memberikan bantuan, bahkan jauh-jauh hari sebelum dimintai
bantuan. Orang-orang seperti inilah yang biasanya jarang kita temui,
namun selalu ada saat dibutuhkan. Misalnya, secara tiba-tiba ia datang
memberi bantuan uang, sembako, membangunkan gedung untuk
kepentingan masyarakat, memberikan beasiswa pendidikan dan
lainnya. Bantuan yang ia berikan ini tentu tidak lain hanya untuk
memberikan manfaat luas bagi masyarakat.

Menciptakan kolektivitas dalam pemberdayaan tentu bukan hal


yang mudah.54 Sehingga, perlu adanya efforts (usaha) yang konsisten
dan sabar. Apalagi, setiap masyarakat punya pikiran dan kebutuhan
yang majemuk, di mana semuanya harus bisa kita pahami. Supaya
ketika membangun kerja kolektif semua kepentingan dapat diorganisir
dengan baik.

54
(see, Knight and Cottrell 2016)
40
Sekolah Penggerak Perempuan

Seberapa jauh kita bisa mengukur keberdayaan perempuan?


Data menunjukkan Kekerasan terhadap perempuan makin hari makin
meningkat dan akses keadilan bagi perempuan tentu harus terus
diperjuangkan. Kedatangan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Ibu Bintang Puspayoga penting untuk direfleksi
antara serimonial dan substansi dialog.

Women & Environment Studies (WES) Payungi melaunching


Sekolah Penggerak Perempuan sebagai poin penting. Sudah 3 tahun
ini perempuan Payungi, menunjukkan perannya dalam membangun
peluang ekonomi secara kolektif. Sudah 3 tahun mereka berinteraksi
saling belajar dan bergotong-royong dalam wujud kampung kreatif.
Dari omset 16 juta per gelaran sampai 60 juta per gelaran mereka
semakin kreatif dan inovatif. WES Payungi juga setiap Sabtu jam 09.00
rutin mengadakan diskusi, bedah buku dan talkshow tentang tema
perempuan dan lingkungan hidup.

Kemana arah sekolah penggerak perempuan? Kekuatan


perempuan ada pada solidaritas.55 Mereka sejatinya militan, apalagi
menyangkut persoalan dapur agar terus mengepul. Jika birokrasi yang
belum transformatif, perguruan tinggi yang masih asyik di dalam
kampus, maka komunitas lah yang harus berani memulainya menata
diri dengan baik. Kolaborasi suatu saat akan terjadi saat komunitas
masyarakat menyadari potensinya.56 Creative-Hub seharusnya memang

55
Roksana Bahramitash, ‗Low-Income Islamic Women, Poverty and the Solidarity
Economy in Iran‘, Middle East Critique, 23.3 (2014)
<https://doi.org/10.1080/19436149.2014.959796>; Paul Agu Igwe and others, ‗Solidarity and
Social Behaviour: How Did This Help Communities to Manage COVID-19 Pandemic?‘, International
Journal of Sociology and Social Policy, 40.9–10 (2020) <https://doi.org/10.1108/IJSSP-07-2020-
0276>.
56
Amare WONDIRAD, Denis Tolkach, and Brian King, ‗Stakeholder Collaboration as a
Major Factor for Sustainable Ecotourism Development in Developing Countries‘, Tourism
41
dimulai dari Toleransi (masyarakat), Talenta (perguruan tinggi) dan
terakhir teknologi (pemerintah).

Inisiatif muncul secara genuin dari warga kreatif dan fokus pada
capaian gagasan dan gerakan. Jika gerakan ini sustainable secara
otomatis akan dilihat sebagai inspirasi kecil yang sangat mungkin akan
menginspirasi banyak orang dan meluas. Integrasi kegiatan
menyambut Menteri misalnya, komunitas punya daya imajinasi yang
bisa melampui birokrasi dari seni rupa lukisan feminisme, penghargaan
perempuan penggerak, launching Buku pemberdayaan ekonomi
perempuan, launching Sekolah Penggerak Perempuan, pameran kriya
komunitas, mural tembok pahlawan perempuan sampai lukisan Ibu
Menteri dari Anggi Sidiq yang menarik perhatian.

Gerakan perempuan harus kuat imajinasi,57 setelah itu terus


berupaya melakukan inovasi,58 dan terakhir gerakan perempuan dapat
membentuk destinasi.59 Yang bisa melihat kemampuan diri gerakan
perempuan adalah kader penggerak di dalamnya. Kolaborasi dengan
perguruan tinggi dan pemerintah dibutuhkan untuk mengokohkan
transformasi gagasan ke level yang luas. Dari inspirasi kecil meluas ke
banyak wilayah. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak (PPPA), Pusat Studi Gender & Anak (PSGA) Perguruan Tinggi dan
lembaga transformatif maayarakat seperti WES Payungi dan lembaga

Management, 78 (2020) <https://doi.org/10.1016/j.tourman.2019.104024>; Tomas M. Koontz,


‗Collaboration for Sustainability? A Framework for Analyzing Government Impacts in
Collaborative-Environmental Management‘, Sustainability: Science, Practice and Policy, 2.1 (2006)
<https://doi.org/10.1080/15487733.2006.11907974>.
57
Titus Hjelm, ‗Empowering Discourse: Discourse Analysis as Method and Practice in the
Sociology Classroom‘, Teaching in Higher Education, 18.8 (2013)
<https://doi.org/10.1080/13562517.2013.795940>.
58
Smith, Fressoli, and Thomas; Flor Avelino, Julia M. Wittmayer, and others,
‗Transformative Social Innovation and (Dis)Empowerment‘, Technological Forecasting and Social
Change, 145 (2019) <https://doi.org/10.1016/j.techfore.2017.05.002>; Flor Avelino, Adina Dumitru,
and others, ‗Translocal Empowerment in Transformative Social Innovation Networks‘, European
Planning Studies, 28.5 (2020) <https://doi.org/10.1080/09654313.2019.1578339>.
59
K. C. Anup, Sanjeet Ghimire, and Ankit Dhakal, ‗Ecotourism and Its Impact on
Indigenous People and Their Local Environment: Case of Ghalegaun and Golaghat of Nepal‘,
GeoJournal, 86.6 (2021) <https://doi.org/10.1007/s10708-020-10222-3>; Dönüş Çiçek, Ebru
Zencir, and Nazmi Kozak, ‗Women in Turkish Tourism‘, Journal of Hospitality and Tourism
Management, 2017 <https://doi.org/10.1016/j.jhtm.2017.03.006>; Mohamed A. Abou-Shouk,
Maryam Taha Mannaa, and Ahmed Mohamed Elbaz, ‗Women‘s Empowerment and Tourism
Development: A Cross-Country Study‘, Tourism Management Perspectives, 37 (2021), 100782
<https://doi.org/10.1016/J.TMP.2020.100782>.
42
lainnya dapat membangun gerakan-gerakan pemberdayaan
perempuan yang lebih luas dan masif. Sebagai mana tagline kegiatan
hari ini,"Perempuan ada dan Berdaya." Tabik.

43
Pulang ke Masa Depan

Pembangunan daerah60 menjadi aspek penting dalam


mendorong kemajuan di masa depan. Sehingga, pembangunan harus
mampu dikerjakan secara inklusif dan holistik. Artinya, pembangunan
yang dikerjakan tidak hanya terbatas pada ruang infrastruktur yang
terlihat secara nyata, namun juga pada hal-hal yang bersifat non-
materiil seperti pengetahuan, nilai/falsafah, mentalitas dan etika.

Kini, kita bisa melihat setiap daerah semakin gencjar melakukan


pembangunan infrastruktur. Gedung, jalan, jembatan dan waduk
menjadi yang cukup banyak dikerjakan. Apalagi pembangunan
infrastruktur tersebut muncul sebagai indikator penanda bahwa sebuah
daerah sedang bergerak. Di sisi lain, latahnya terhadap modernisasi
pembangunan tanpa disadari terus mengikis nilai-nilai luhur kehidupan
yang sejak dulu telah dipegang oleh para leluhur. Sikap latah dan
terlalu gelap mata pada pembangunan modern inilah pada akhirnya
menyerabut pondasi falsafah dasar kehidupan masyarakat lokal yang
menjadi cikal bakal lahirnya peradaban di setiap daerah.

Namun, Tulang Bawang Barat menjadi salah satu daerah yang


enggan terjebak pada modernisasi pembangunan. Sebagai kabupaten
yang baru berusia 13 tahun, Tulang Bawang Barat memilih untuk

60
Tessa Talitha, Tommy Firman, and Delik Hudalah, ‗Welcoming Two Decades of
Decentralization in Indonesia: A Regional Development Perspective‘, Territory, Politics,
Governance, 8.5 (2020) <https://doi.org/10.1080/21622671.2019.1601595>; Teis Hansen, ‗The
Foundational Economy and Regional Development‘, Regional Studies, 56.6 (2022)
<https://doi.org/10.1080/00343404.2021.1939860>; Henrieta Pavolová and others, ‗Model of
Sustainable Regional Development with Implementation of Brownfield Areas‘, Entrepreneurship
and Sustainability Issues, 6.3 (2019) <https://doi.org/10.9770/jesi.2019.6.3(2)>; Adriana Anamaria
Davidescu and others, ‗Romania‘s South-Muntenia Region, towards Sustainable Regional
Development. Implications for Regional Development Strategies‘, Sustainability (Switzerland),
12.14 (2020) <https://doi.org/10.3390/su12145799>.
44
berupaya menanamkan nilai-nilai luhur dan lokalitas masyarakat
Lampung di setiap sendi pembangunannya. Tidak hanya sebatas pada
infrastruktur semata, namun pembangunan yang dikerjakan juga
berfokus pada membangun kualitas masyarakatnya.61 Sebab,
masyarakat merupakan asset vital yang harus terus diedukasi agar
tumbuh pengetahuan, nilai, dan etikanya dalam berkehidupan.

Nenemo (Nemen, Nedes, Narimo) merupakan nilai yang


dibangun dan dilekatkan kepada masyarakat Tubaba. Tidak hanya
masyarakat yang tinggal di Tulang Bawang Barat saja yang bisa
menjadi masyarakat Tubaba, siapapun dan dimanapun kita tinggal
selagi memegang nilai tersebut, mereka berhak menjadi masyarakat
Tubaba. Nenemo menjadi cermin karakter masyarakat Tubaba yang
pekerja keras, konsisten dan ikhlas. Di mana kerja-kerja mereka dalam
membangun karakter dirinya dan lingkungannya dilakukan penuh
kesadaran, mengedepankan keseimbangan dan kesederhanaan.

Lahirnya Sekolah Seni Tubaba, Tubaba Cerdas, Tubaba Camp dan


gerakan pedagogig lainnya yang digerakkan oleh Bapak Umar Ahmad
bersama komunitas menjadi upaya menanamkan nilai Nenemo dalam
diri masyarakat sejak dini. Langkah ini sekaligus menjadi upaya
mengangkat kembali nilai-nilai/falsafah kehidupan masyarakat
Lampung yang mulai terkikis. Di samping juga tetap melakukan
pembangunan infrastruktur yang holistik, seperti Islamic Center, Relief
Megou Pak, Rumah Baduy dan Las Sengok, supaya dapat
mengakomodir kebutuhan masyarakat Tulang Bawang Barat.

Pembangunan yang dilakukan oleh kabupaten Tulang Bawang


Barat menjadi contoh pembangunan daerah yang tidak hanya
mengedepankan pada pembangunan infrastruktur, namun juga pada
nilai-nilai/falsafah masyarakat lokal. Hadirnya perubahan dan
munculnya modernisasi pembangunan mampu ditepis dengan
melakukan pembangunan infrastruktur yang menonjolkan arsitektur
lokal, memadukan unsur batu, kayu, tanah dan air yang lebih eco-
friendly dan tidak lupa tetap mengangkat nilai-nilai lokalitas. Model
pembangunan seperti ini juga banyak dilakukan di beberapa negara

61
Alexandre Apsan Frediani, Alejandra Boni, and Des Gasper, ‗Approaching
Development Projects from a Human Development and Capability Perspective‘, Journal of Human
Development and Capabilities, 2014 <https://doi.org/10.1080/19452829.2013.879014>.
45
yang lebih mengedepankan lokalitas sebagai nilai-nilai fundamental.62
Sehingga, masyarakat dapat tetap teguh mendekap erat falsafah
hidupnya, mengajarkannya kepada para generasi muda, melestarikan
budaya dan lingkungan serta semakin terbukanya harapan untuk
mengembalikan kemajuan di masa lalu.

62
Mohammad Arif Kamal, ‗Assessment of Traditional Architecture of Lucknow with
Reference to Climatic Responsiveness‘, Architecture and Engineering, 6.1 (2021)
<https://doi.org/10.23968/2500-0055-2021-6-1-19-31>; I. Gede Mugi Raharja, ‗Ethics and
Responsibilities Preserving Traditional Balinese Architectural Values in the Global Era‘, Cultura.
International Journal of Philosophy of Culture and Axiology, 18.2 (2021); Małgorzata Zdon-
Korzeniowska and Monika Noviello, ‗The Wooden Architecture Route as an Example of a Regional
Tourism Product in Poland‘, Sustainability (Switzerland), 11.18 (2019)
<https://doi.org/10.3390/su11185128>.
46
Ekonomi dan Pendidikan Transformatif

Pendidikan menjadi salah satu indikator penting dalam


mendukung tercapainya pembangunan ekonomi yang inklusif.63
Mengingat, masyarakat sebagai penggerak roda pembangunan
ekonomi baik secara personality maupun communal perlu
mendapatkan asupan pengetahuan yang cukup. Apalagi, disrupsi yang
terjadi sangat cepat pada lintas sektoral mengharuskan mereka lebih
adaktif dan inovatif agar tidak tertinggal.

Dalam menggerakkan roda ekonomi, lini pendidikan tetap


membutuhkan dorong dari lini lainnya. Kolaborasi menjadi yang
terdepan agar capaian pembangunan ekonomi daerah dapat diraih
seoptimal mungkin. Dan, sejauh ini kolaborasi pentahelix menjadi yang
paling sering dipraktikkan, di mana dalam kolaborasi ini melibatkan
pelaku academia (pendidikan), business (bisnis/usaha), community
(komunitas/masyarakat), government (pemerintah), dan media.64
Namun, seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat yang semakin
kompleks dan hadirnya tantangan baru di dunia ekonomi, turut

63
Kwabena Gyimah-Brempong, ‗Education and Economic Development in Africa‘,
African Development Review, 23.2 (2011) <https://doi.org/10.1111/j.1467-8268.2011.00282.x>;
Stephan Klasen, ‗Low Schooling for Girls, Slower Growth for All? Cross-Country Evidence on the
Effect of Gender Inequality in Education on Economic Development‘, World Bank Economic
Review, 16.3 (2002) <https://doi.org/10.1093/wber/lhf004>; Helen Kopnina, ‗Education for the
Future? Critical Evaluation of Education for Sustainable Development Goals‘, Journal of
Environmental Education, 51.4 (2020) <https://doi.org/10.1080/00958964.2019.1710444>.
64
Rumsari Hadi Sumarto and others, ‗Penta-Helix and Quintuple-Helix in the
Management of Tourism Villages in Yogyakarta City‘, Australasian Accounting, Business and
Finance Journal, 14.1 Special Issue (2020) <https://doi.org/10.14453/aabfj.v14i1.5>; Willy Tri
Hardianto and others, ‗PentaHelix Synergy on Tourism Development in Batu, East Java‘,
International Journal of Innovation, Creativity and Change, 10.6 (2019); Trisna Putra, ‗A Review on
Penta Helix Actors In Village Tourism Development and Management‘, Journal of Business on
Hospitality and Tourism, 5.1 (2019) <https://doi.org/10.22334/jbhost.v5i1.150>.
47
melahirkan kolaborasi baru yakni hexahelix yang menambahkan peran
aggregator di dalamnya. Aggegator ini secara sederhana berperan
sebagai pemandu akselerator kolaborasi, pendampingan, inkubator
dan off taker.

Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat, terutama pada


literasi ekonomi dibutuhkan para pengajar dan ruang-ruang belajar
yang cukup. Di samping juga, membutuhkan kurikulum transformatif,
di mana kurikulum tersebut mampu mendorong masyarakat tumbuh
secara kreatif, inovatif dan adaptif terhadap perubahan. Hadirnya
ruang-ruang belajar formal seperti sekolahan dan perguruan tinggi
tentu tidak cukup jika kita ingin mengejar pertumbuhan ekonomi
secara bottom-up. Kearifan lokal setiap daerah sebenarnya lebih
dipahami oleh masyarakat setempat ketimbang mereka yang ada di
luar daerah. Oleh sebab itu, ruang belajar berbasis lokalitas atau
komunitas di setiap daerah harus dihadirkan. Ruang ini sekaligus
sebagai perpanjangan tangan dari ruang belajar formal yang akan
bertugas mentransfer pengetahuan dengan menggunakan pendekatan
lokalitas.

Pesantren Wirausaha yang digerakkan secara kolektif oleh


masyarakat, khususnya Emak-Emak Payungi (Pasar Yosomulyo Pelangi)
menjadi salah satu langkah kongkrit untuk menyediakan ruang belajar
transformatif.65 Pendidikan Transformatif sebuah proses yang dapat
digunakan untuk mentransfer pengetahuan dengan mengajak berpikir
kritis yang mengarah pada penciptaan kerangka intelektual baru.66
Pesantren yang dijalankan sejak tiga tahun yang lalu di dalam Mushola
Sabilil Mustaqim ini fokus dalam menumbuhkan pengetahuan literasi
masyarakat lokal. Mereka tidak hanya diajarkan secara teoritik, namun
secara praktik mereka diberikan ruang untuk menciptakan kemandirian
ekonomi melalui kegiatan dagang. Selama tiga tahun ini tentu banyak
perkembangan signifikan yang bisa dilihat, mulai dari semakin
tumbuhnya literasi masyarakat, kokohnya spritual, kolaborasi yang
semakin sempurna hingga hadirnya kontribusi bagi pergerakan
perekonomian lokal. Dan capaian ini tentu ingin ditingkatkan lagi

65
(Dawiyatun 2017; Suparta 2014; den Heyer, Smith, and Irving 2021; Lange 2004; Paul
and Quiggin 2020)
66
Paul and Quiggin.
48
dengan adanya ruang belajar yang lebih nyaman dan punya daya
tampung lebih besar seperti saat ini.

Ruang belajar seperti Pesantren Wirausaha cenderung lebih


efektif dalam mentransfer pengetahuan dengan basis lokalitas.
Pengetahuan yang diajarkan langsung berfokus pada upaya
pengembangan potensi lokal yang ada. Terutama pada potensi-potensi
yang dapat dioptimalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
masyarakat. Model pendidikan ini secara sosial akan mempersiapkan
peserta didik untuk mampu mengidentifikasi dan menyelesaikan
permasalahan sosial.67 Selain itu, kolaborasi dengan para stakeholder di
tingkat lokal akan semakin kontributif, terutama dalam upayanya
menggeliatkan perekonomian daerah, pasal ruang cakupannya tidak
terlalu luas.

Gerakan serupa juga telah banyak dibentuk di daerah lain.


Muncul sekolah transformatif seperti Does University, Sekolah Seni
Tubaba, Payungi University, Sekolah Alam dan lainnya menjadi gerakan
pedagogig yang ingin memberikan sumbangsih pengetahuan bagi
masyarakat lokal. Sekaligus menepis keterbatasan ruang belajar yang
sering kali menjadi masalah mendasar bagi masyarakat (marginal)
untuk bisa mengakses pendidikan. Kita berharap, hadirnya sekolah-
sekolah transformatif di tingkat grassroot bisa mendorong tumbuh
kembangnya potensi daerah. Serta mampu mendorong para
kolaborator untuk secara aktif berpartisipasi dalam meningkatkan
perekonomian masyarakat lokal.

67
Virginie Servant-Miklos and Liesbeth Noordegraaf-Eelens, ‗Toward Social-
Transformative Education: An Ontological Critique of Self-Directed Learning‘, Critical Studies in
Education, 62.2 (2021) <https://doi.org/10.1080/17508487.2019.1577284>.
49
Tanah dan Perempuan?

Mempertahankan tanah adalah salah satu bentuk eksistensi


kuasa manusia. Berbagai bentuk penguasaan tanah melalui konsep
ideologi seperti nasionalisme negara, hukum adat, kepentingan
korporat hingga memandang tanah dalam problem kapitalistik.
Manusia dan perebutan tanah adalah sejarah panjang peradaban
homo sapien. Meskipun secara hakikat tidak ada manusia yang benar-
benar dapat memiliki tanah secara kekal. Dari pandangan teologi
manusia berasal dari tanah sampai pada konflik agraria paling modern,
menunjukkan bahwa tanah menjadi satu dari tiga unsur peradaban
menurut Malek Bennabi selain unsur manusia dan waktu.

Tata cara negara, pemerintah, adat, dan kepentingan manusia


bebas ingin menguasai tanah adalah perjalanan panjang negosiasi.
Peradaban manusia berdiri, tumbang dan berganti tidak lepas dari
persoalan penguasaan tanah. "Bumi menyediakan hal yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak untuk orang-
orang yang serakah." Ucap Mahatma Gandhi. Bagaimana tanah
dikuasai, dan diperebutkan maka muncul istilah "tanah wutah darah
(tanah tumpah darah)" karena konflik yang paling banyak membunuh
manusia adalah sejarah tanah.

Mempertahankan tanah (harta) dalam Islam juga bagian dari


jihad. Secara hukum pelanggaran penguasaan tanah yang
meminggirkan manusia lain jelas tidak dapat dibenarkan. Namun
melihat tanah tidak hanya dilihat dari kacamata hukum saja, ada
system keadilan palsu yang membuat manusia mengalami kegagalan
memberikan akses tanah pada manusia. Bahkan negara yang berdiri
atas landasan cinta tanah air sering gagal membangun kebersamaan
untuk mengambil manfaat tanah secara adil bahkan bijak.

50
Di luar hukum, tanah harus dipandang sebagai modal nature
(alam) ada filosofi besar bahwa tanah harus dimaknai secara
berkelanjutan (sustainable). MDGs sampai SDGs menitipkan pesan
bahwa manusia menempatkan bumi sebagai objek yang terus dirusak.
Mereka yang memiliki akses lebih pada tanah merusaknya dengan cara
kapitalistik, destruktif dan ekspolitatif. Revolusi paradigma terhadap
tanah sebagai modal berkelanjutan sama halnya menyelamatkan
manusia atas persoalaan klasik yaitu ketimpangan. Negara bersama
bangunan struktur manusia di dalamnya bukankah terus berlomba-
loma menguasai tanah dan sekaligus mengingkari pembangunan
keberlanjutan?

Tanah juga sering disebut dengan kata Ibu Bumi.68 Ibu bumi yang
disimbolkan dengan perempuan. Dari sana manusia bisa terus survive
dan menikmati tumbuhan yang hidup dari dalam tanah dan hewan
yang hidup di atas tanah. Tanah sangat erat dengan perempuan yang
perlu dirawat, dijaga dan dilindungi.69 Merusak tanah sama halnya
merusak ibu bumi, dengan kata lain merusak manusia itu sendiri.
Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi Ditohi Pati (satu sentuhan kening, satu
jari luas-nya bumi bertaruh nyawa). Merusak tanah juga bagian dari
pengingkaran terhadap perempuan. Bahwa manusia lahir dari rahim
perempuan. Laki-laki sanggup bertaruh nyawa mempertahankan tanah
dan juga perempuan.

Maka Bung Hatta mati-matian mempertahankan UUD 1945 Pasal


33 tentang, "Bumi, air dan seluruh kekayaan di dalamnya dikuasai oleh
negara dan digunakan untuk kepentingan rakyat". Terlalu banyak
pengingkaran elit bangsa kita saat ini atas mimpi founding fathers kita
tentang keadilan dan kesejahteraan di atas tanah. Individu-individu
yang menguasai tanah ratusan ribu hektar bukan hanya merusak alam

68
Paola Villavicencio Calzadilla and Louis J. Kotzé, ‗Living in Harmony with Nature? A
Critical Appraisal of the Rights of Mother Earth in Bolivia‘, Transnational Environmental Law, 2018
<https://doi.org/10.1017/S2047102518000201>.
69
Adeoye O. Akinola, ‗Women, Culture and Africa‘s Land Reform Agenda‘, Frontiers in
Psychology, 9.NOV (2018) <https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.02234>; Atozou, Mayuto, and
Abodohoui; Bina Agarwal, Pervesh Anthwal, and Malvika Mahesh, ‗How Many and Which Women
Own Land in India? Inter-Gender and Intra-Gender Gaps‘, Journal of Development Studies, 57.11
(2021) <https://doi.org/10.1080/00220388.2021.1887478>; Neelam Jabeen, ‗Women, Land,
Embodiment: A Case of Postcolonial Ecofeminism‘, Interventions, 22.8 (2020)
<https://doi.org/10.1080/1369801X.2020.1753556>.
51
tapi merusak kepentingan manusia atas filsafat tanah. Tanah dan
perempuan adalah simbol kejayaan sekaligus watak kejahatan manusia.
Tanpa kesadaran untuk merawat, hakikat tanah dan perempuan bukan
malah dijaga tapi sama-sama dirusak oleh kepentingan-kepentingan
nir keberlanjutan.

52
Mereka Rentan?

Tidak ada yang mau di stigma rentan, meskipun kenyataan hidup


manusia memang tidak ada yang utuh sempurna. Sore tadi saya
mendengar banyak obrolan emak-emak Payungi bercanda di sela
gotong royong sore pasca gelaran. Rentan untuk kalangan disabilitas
masih menjadi persoalan yang sulit, karena secara fisik memiliki
kekurangan. Tapi bagi perempuan single fighter bahkan lansia ada
cerita lain.

"Eh si A mau lamaran lo, Alhamdulillah dia menolak balikan


dengan suami lama yang dulu sudah tega selingkuh, dan memilih
menerima lamaran laki-laki yang benar-benar serius." Kata-kata ini
diucapkan oleh emak-emak yang juga janda karena suami sudah
meninggal.

Kita melihat perempuan yang cerai, atau suami meninggal adalah


potret perubahan status bukan hanya dalam sisi perkawinan tapi
statusnya berubah menjadi kepala rumah tangga.70 Sebagai ibu
sekaligus ayah, kepala keluarga, yang hari demi hari mencari
pendapatan ekonomi. Rentan dalam pandangan komunikasi sosial bisa
luntur jika ada solidaritas ekonomi dan kebersamaan bagi mereka yang
melihat kenyataan sebagai sesuatu yang harus dijalani.

Melihat lebih dalam, menjalani hari-hari bersama mereka, pada


akhirnya akan melupakan status hidup satu sama lain. Bahkan guyonan
untuk menertawai nasib masing-masing jadi candaan mereka yang kita
ikut senyum jika mendengar. "Aku Lo janda sudah lama, nggak pengen
lah menikah lagi, kapok, enak sendiri." Guyonan ini tidak muncul sekali
dua kali.

70
Sands and Nuccio; Chung and Son.
53
Ada yang berprinsip hidup sendiri, mandiri dan tidak harus
bergantung pada laki-laki yang tidak bertanggungjawab. Karena
persoalan selingkuh, kekerasan rumah tangga, atau masalah rumah
tangga yang tidak hanya disaksikan dalam sinetron televisi. Ketika
pertemuan antar warga pada tingkat RT, Ibu ini juga berposisi sebagai
pengganti laki-laki dan setara dengan bapak-bapak lain.

Jam 16.30 sore tadi Mbah Iluk lewat dan mampir sejenak di
depan rumah Pak Ahmad Tsauban. Beliau hidup sendiri, karena suami
sudah meninggal. Sehari-hari Mbah Iluk membuat berbagai makanan
dan dititipkan ke warung-warung. Di ajak berdagang di Payungi tapi
Mbak Iluk memilih menitip makanan saja ke pedagang lain. Beliau
memang tidak bisa diam, selalu saja ada yang dikerjakan untuk terus
melanjutkan hidup.

Di Yosomulyo ada tradisi sedekah warga kaya berbagi makanan


setiap hari Jumat. Ada ibu-ibu yang biasa menjadi relawan
membagikan berkat nasi untuk warga yang mau menerima. "Mbah X
dikasih nasi kadang nggak dimakan, kalau tahu gitu tak kasih yang
mau makan." Ujar Mbah Iluk. Ini adalah contoh bahwa sedekah tanpa
pemetaan oleh orang kaya, kadang menjadi mubadzir atau kurang
efektif dan efisien. Tulisan ini bukan hendak membincangkan lebih
dalam program karikatif dan pemberdayaan.

Kembali ke kelompok rentan, kita perlu menyelam lebih dalam.


Merasakan lebih peka apa yang selama ini kita diskusikan. Apakah kita
benar-benar ingin hidup bersama mereka, menjadi kawan meraka atau
hanya sekadar mengeluarkan kewajiban zakat dari rizki yang kita
terima. Lansia, Janda, Anak Yatim, dan lainnya adalah manusia yang
dinamis. Mereka bukan objek, mereka adalah manusia utuh yang dapat
berkembang dengan sentuhan proses sosial yang kreatif.

Mbah Iluk misalnya, sebagai orang yang sendiri pada masa lansia,
tidak ada keinginan berpangku tangan. Adanya ruang seperti Pasar
Yosomulyo Pelangi, membuat apa yang dikerjakan Mbah Iluk terus
menambah kemuliaan. Hakikat manusia bermuamalah satu sama lain.
Payungi menjadi surga kuliner dan terus mengajak kalangan yang
sering kita sebut rentan ini untuk kreatif berkarya dalam kuliner. Pernah
suatu ketika uang Mbah Iluk dijambret orang, direbut dompetnya.

54
Alhamdulillah kas Mushola mengganti uang beliau untuk modal
berjualan kembali.

Bahwa yang dapat mengurangi, sekali lagi saya sebut


mengurangi bukan menyelesaikan persoalan mereka, bukan proses
bantuan, bantuan dan bantuan karikatif. Politisi dan aparatus negara
perlu lebih dalam menyelami dan ikut memahami kelompok rentan
yang ada. Cara-cara kekeluargaan seperti pendekatan sosial,
pemberdayaan, ekonomi kreatif, kebudayaan, gotong royong,
kebersamaan, canda tawa dan siklus hubungan bertetangga,
menjadikan kita semua setara dan perlahan stigma rentan itu hanya
ada digaris nalar akademis, pada ruang sosial yang cair dan
berkembang dinamis kita berusaha untuk membuang jauh pikiran
rentan. Bahkan mereka yang menjalani hidup demikian, tidak minta
dikasihani, tapi bagaimana kita sama sama berjuang menciptakan
ruang atau medan juang. Kita harus tahu, para Ibu dan lansia di sekitar
kita banyak yang kuat dan hebat.

55
Ekonomi dan Perlindungan Perempuan

Data-data kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat


silahkan lihat di Komnas Perempuan dan lainnya. Selain pelecehan,71
pemerkosaan,72 hak perempuan73 juga semakin tergerus oleh dominasi
laki-laki di sektor publik. Belum perempuan memainkan peran ganda,
dalam pekerjaan, menjadi single parent saat ditinggal suami meninggal
atau cerai.

Tentu sudah banyak kajian, seminar, buku riset dan sosialisasi


bahwa perempuan harus mendapat tempat yang layak. Dari mulai
tingkat anak-anak sampai perguruan tinggi upaya ini terus dilakukan.
Memandang perempuan sebagai makhluk biologis adalah salah satu
penyebab. Seharusnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan

71
Marika A. Pitot and others, ‗The Current State of Gender Discrimination and Sexual
Harassment in the Radiology Workplace: A Survey‘, Academic Radiology, 29.3 (2022)
<https://doi.org/10.1016/j.acra.2021.01.002>; Araújo and others; Emma Daltone, ‗Sexual
Harassment of Women Politicians in Japan‘, Journal of Gender-Based Violence, 1.2 (2017)
<https://doi.org/10.1332/239868017X15099566627749>; Richard Rego, ‗Changing Forms and
Platforms of Misogyny: Sexual Harassment of Women Journalists on Twitter‘, Media Watch, 9.3
(2018) <https://doi.org/10.15655/mw/2018/v9i3/49480>; Olle Folke and others, ‗Sexual
Harassment of Women Leaders‘, Daedalus, 149.1 (2020)
<https://doi.org/10.1162/DAED_a_01781>; Heather McLaughlin, Christopher Uggen, and Amy
Blackstone, ‗The Economic and Career Effects of Sexual Harassment on Working Women‘, Gender
and Society, 31.3 (2017) <https://doi.org/10.1177/0891243217704631>; Adetutu Deborah Aina-
Pelemo, M. C. Mehanathan, and Pradeep Kulshrestha, ‗Indian Legal Profession and the Sexual
Harassment of Women at Workplace Act‘, Sexuality and Culture, 24.1 (2020)
<https://doi.org/10.1007/s12119-019-09637-z>.
72
Sarah Jane Lilley Walker and others, ‗Rape, Inequality and the Criminal Justice
Response in England: The Importance of Age and Gender‘, Criminology and Criminal Justice, 21.3
(2021) <https://doi.org/10.1177/1748895819863095>.
73
Nur Hidayah, ‗Reinterpretasi Hak-Hak Ekonomi Perempuan Dalam Islam‘, AHKAM :
Jurnal Ilmu Syariah, 17.1 (2014), 85–96 <https://doi.org/10.15408/ajis.v17i1.1245>; Oluwakemi D.
Udoh, Sheriff F. Folarin, and Victor A. Isumonah, ‗The Influence of Religion and Culture on
Women‘s Rights to Property in Nigeria‘, Cogent Arts and Humanities, 7.1 (2020)
<https://doi.org/10.1080/23311983.2020.1750244>; Sultana.
56
harus ditempatkan dalam iklim spiritual.74 Jadi perempuan adalah
sama, bukan manusia ke dua setelah laki-laki. Mereka layak muncul
dipublik dalam kontribusi gagasan dan gerakan.

Pemberdayaan perempuan75 bagi saya pribadi harus masuk pada


gerakan, bukan sosialisasi gagasan. Pengalaman gerakan Payungi
pertama, memberi ruang atau kanal pada perempuan untuk
membangun kolektifitas. Di sanalah perempuan ternyata semakin
dinamis dan pengetahuannya semakin berkembang. Pesantren
wirausaha hampir 2 tahun ini terbukti semakin membuat dinamis para
ibu-ibu untuk mendapat pengetahuan. Mengundang pemateri yang
kompeten, menonton film, mendiskusikan ide untuk dikerjakan tiap
minggu dan menumbuhkan potensi lainnya.

Kedua, praktik ekonomi secara gotong royong. Kita tidak bisa


remehkan peran perempuan dalam menyumbang peningkatan
ekonomi . Kolektifitas para perempuan dibanyak tempat cukup
meyakinkan bahwa mereka bukan makhluk lemah. Selain sebagai ibu
rumah tangga yang lelah mengurus wilayah domestik, mereka juga
mengerjakan apa yang dikerjakan para laki-laki. Bekerja di sawah,
buruh pabrik, berjualan makanan, buruh rumahan dan lainnya. Dalam
gotong royong mengubah ruang kreatif, Ibu-ibu terbukti militan dalam
gotong-royong mempercantik ruang. Mereka selalu bisa untuk mandiri
dan kompak dalam gerakan.

Ketiga, perempuan sadar media sosial. Ibu-ibu Payungi ditahun


pertama kami ajak mengunakan Facebook untuk mempromosikan
dagangan. Tahun ke dua mereka sudah pandai mendayagunakan
Instagram mereka untuk promosi berjualan di Payungi. Ke depan akan
kita tingkatkan dalam promosi video dan tulisan.

74
Dzuhayatin; Andika; Hamid Yeganeh, ‗A Cross-National Investigation into the Effects
of Religion on Gender Equality‘, International Journal of Sociology and Social Policy, 2021
<https://doi.org/10.1108/IJSSP-10-2020-0479>; Saskia Glas, Niels Spierings, and Peer Scheepers,
‗Re-Understanding Religion and Support for Gender Equality in Arab Countries‘, Gender and
Society, 32.5 (2018) <https://doi.org/10.1177/0891243218783670>.
75
Ahmad Arif Widianto, ‗Islam Dan Praktik Pemberdayaan Perempuan: Studi Terhadap
Implementasi Nilai-Nilai Islam Dalam Pemberdayaan Perempuan Oleh Yayasan Sahabat Ibu Di
Yogyakarta)‘, Asketik, 1.2 (2018), 69–78 <https://doi.org/10.30762/ask.v1i2.519>; Suminar,
Budiartati, and Anggraeni; April Mackey and Pammla Petrucka, ‗Technology as the Key to
Women‘s Empowerment: A Scoping Review‘, BMC Women‘s Health, 21.1 (2021)
<https://doi.org/10.1186/s12905-021-01225-4>; Mahjoub.
57
Jadi kekerasan terhadap perempuan dapat dikikis dengan cara
melibatkan perempuan dalam gotong royong ekonomi. Mereka bukan
hanya bekerja disektor publik tapi malah tereksploitasi secara ekonomi.
Ekonomi gotong royong inilah yang akan membuat mereka
menemukan pemaknaan hidup dalam ruang pengembangan
pengetahuan. Mereka berkelompok, berserikat, berkumpul dan
menunjukkan potensinya masing-masing. Jadi menikmati proses
dengan sosial preneurship membuat mereka tetap bahagia, terhibur
dari rutinitas domestik yang menjenuhkan, dan paling penting mereka
punya ruang belajar mandiri dalam contoh Payungi yaitu pesantren
wirausaha.

Ketika para ibu-ibu ini dengan tegas mengatakan, "kami


mandiri." Ada harapan besar bahwa kita semua menginginkan
ekosistem hidup yang ramah pada semua. Bukan hanya pada
perempuan, tapi ramah anak, ramah disabilitas, bahkan ramah
terhadap laki-laki yang punya kesadaran untuk bergandengan tangan
membangun perubahan pada wilayah-wilayah kecil di lingkungan
sekitar. Sudah banyak kita mendengar kabar kekerasan perempuan,
sudah saatnya kita melibatkan peran perempuan dalam perlawanan
dan tentu kreatif dalam gerakan.

58
Desa, Perempuan dan Lingkungan Hidup

Kajian tentang Desa76 saat ini menjadi fokus penting bagi


Payungi University. Setelah membuat program Sekolah Desa, D-IKEPO,
dan buku tentang desa, kemudian muncul gagasan tentang The Center
of Desa Studies (CDS) Payungi University. Dikomandoi oleh Mahasiswa
S2 UGM Dwi Nugroho Pusat Studi Desa ini ingin lebih banyak
mengumpulkan literatur desa, film, seni, publikasi riset dan contoh
gerakan pemberdayaan desa. SDGs Desa juga penting menjadi sasaran
gerakan.

Payungi University memang belum mengejar legalitas, kami


fokus pada substansi sebuah tempat belajar yang punya daya cipta dan
perubahan sosial. Co-Working Space, Internet, perpustakaan,

76
Istiqomah and others, ‗Promoting Local Potential as a Strategy to Develop Tourism
Village‘, Geojournal of Tourism and Geosites, 31.3 (2020) <https://doi.org/10.30892/gtg.31324-
547>; S P Putro, ‗Ecotourism Development Strategy at Minapolitan Area of Menayu Village,
Magelang District, Central Java, Indonesia‘, Journal of Physics: Conference Series, 2019
<https://doi.org/10.1088/1742-6596/1217/1/012139>; Bondi Arifin and others, ‗Village Fund,
Village-Owned-Enterprises, and Employment: Evidence from Indonesia‘, Journal of Rural Studies,
79 (2020) <https://doi.org/10.1016/j.jrurstud.2020.08.052>; Singgih Purnomo and others,
‗Empowerment Model for Sustainable Tourism Village in an Emerging Country‘, Journal of Asian
Finance, Economics and Business, 7.2 (2020) <https://doi.org/10.13106/jafeb.2020.vol7.no2.261>;
Jianchun Yang and others, ‗How to Promote Ethnic Village Residents‘ Behavior Participating in
Tourism Poverty Alleviation: A Tourism Empowerment Perspective‘, Frontiers in Psychology, 11
(2020) <https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.02064>; Vilma Atkočiuniene and Gintare Vaznoniene,
‗Smart Village Development Principles and Driving Forces: The Case of Lithuania‘, European
Countryside, 11.4 (2019) <https://doi.org/10.2478/euco-2019-0028>; Yurui Li, Pengcan Fan, and
Yansui Liu, ‗What Makes Better Village Development in Traditional Agricultural Areas of China?
Evidence from Long-Term Observation of Typical Villages‘, Habitat International, 83 (2019)
<https://doi.org/10.1016/j.habitatint.2018.11.006>; Arintoko Arintoko and others, ‗Community-
Based Tourism Village Development Strategies: A Case of Borobudur Tourism Village Area,
Indonesia‘, Geojournal of Tourism and Geosites, 29.2 (2020) <https://doi.org/10.30892/gtg.29202-
477>; Xiaofei Qin and others, ‗What Makes Better Village Economic Development in Traditional
Agricultural Areas of China? Evidence from 338 Villages‘, Habitat International, 106 (2020)
<https://doi.org/10.1016/j.habitatint.2020.102286>.
59
penerbitan buku menjadi point utama selain gerakan di lapangan
sosial. Semua ini kami kerjakan dengan cara-cara pemberdayaan.
Alhamdulilah Payungi sebagai pasar sudah berjalan tersistem dan
menumbuhkan banyak inovasi lain.

Selain kajian desa ada hal yang penting yang kami mulai
kembangkan. Co-Working space menjadi tempat khusus berkumpulnya
perempuan mengembangkan Women & Environment Studies (WES)
Payungi University. Hifni Septina Carolina, Wahyu Puji dan lainnya
menjadi penggeraknya. Kajian perempuan dan lingkungan hidup
sejalan dengan semangat pedagang perempuan Payungi dalam
menjaga lingkungan hidup. Mengelola Bank Sampah, EcoBrick,
pertanian Organik, Ketahanan Pangan Keluarga, Pupuk Organik dan
lainnya.

WES Payungi University juga dapat berkolaborasi dengan


komunitas lain seperti Mubadalah.id Kiai Faqih Abdul Kodir, Yayasan
Rumah Kitab Ibu Lies Marcoes , PSGA IAIN Metro Dr. Mufliha Wijayati
dan komunitas lainnya. Desa menjadi cara berpikir, sebagai tempat
pulang ke masa depan. Membangun gerakan desa juga menimbang
ide-ide yang harus dikonsolidasikan secara utuh. Dua pusat studi di
atas diharapkan dapat menopang dan menguatkan gagasan dan
gerakan di lapangan.

Legalitas Pesantren Wirausaha Payungi yang digagas ketua pasar


Haji Ahmad Tsauban juga menjadi target selanjutnya.77 Mimpi kita
banyak, waktu dan tenaga kita terbatas, maka terus yakin dan
berjamaah dalam solidaritas sosial, sebagaimana kita hidup berjamaah
dalam ibadah. Saya pribadi punya mimpi anak-anak muda ada yang
gratis belajar di pesantren ini tapi punya syarat praktik kewirausahaan
yang dilakukannya dapat diukur dan terstruktur.

77
(Sulaiman, Chusmeru, and Masrukin 2018; Hannan 2019; Indra 2019; Widayanti and
Muawanah 2021; Bawono 2019; Fauroni and Quraisy 2019)
60
Gender dan Ekonomi Desa?

Namanya Siti Rohani mahasiswa Ekonomi Syariah angkatan 2013


yang sudah lulus dan pulang ke Mesuji. Dulu panggilannya adalah
Sitek, saya mengingatnya karena satu kelas dengan Bung Dwi Nugroho
pengajar www.sekolahdesa.payungi.org. Jika Siti terpilih maka dia
adalah kepala desa ke 2 setelah Pak Sehono alumni yang lebih dahulu
jadi kepala desa di Lampung Timur.

Mata kuliah baru di S-1 Ekonomi Syariah IAIN Metro tahun 2021
ada Gender dan Ekonomi. Ini menggambarkan bahwa prodi kami
responsif terhadap persoalan kesetaraan di ruang publik dan melihat
ekonomi dalam posisi kesalingan.78 Jika dilihat dari calon yang ada Siti
adalah calon paling muda dan dia perempuan sendiri. Siti dan suami
memiliki kebun karet dan cerita kawan-kawan alumni cukup sukses
mengelola kebunnya.

Saya tentu berharap besar Siti akan menang, alumni perguruan


tinggi harus berani tampil mengubah keadaan ekonomi masyarakat
melalui banyak jalan. Pemberdayaan ekonomi desa79 sangat efektif jika
geopolitik desa dipimpin oleh anak-anak muda yang mau belajar
tentang desa dan segala permasalahan yang terjadi. Seperti namanya
Desa Sumber Makmur mudah-mudahan banyak potensi yang bisa
digali, untuk membangun desa tersebut dalam program

78
Hidayah; Cardella, Hernández-Sánchez, and Sánchez-García; Shova Thapa Karki and
Mirela Xheneti, ‗Formalizing Women Entrepreneurs in Kathmandu, Nepal: Pathway towards
Empowerment?‘, International Journal of Sociology and Social Policy, 38.7–8 (2018)
<https://doi.org/10.1108/IJSSP-12-2017-0166>.
79
Badaruddin Badaruddin and others, ‗Village Community Empowerment through
Village Owned Enterprise Based on Social Capital in North Sumatera‘, Asia Pacific Journal of Social
Work and Development, 31.3 (2021) <https://doi.org/10.1080/02185385.2020.1765855>;
Kushandajani Kushandajani, ‗Social and Economic Empowerment for Village Women as a Strategy
of Village Development‘, The Indonesian Journal of Planning and Development, 4.1 (2019)
<https://doi.org/10.14710/ijpd.4.1.1-6>.
61
pemberdayaan ekonomi. Selamat bertarung Siti, panjang umur
perjuangan.

62
Pintu Efektif

Kalau kita hadir di sebuah masyarakat, kita dihadapkan pada


ruang yang kompleks. Membawa arus kesetaraan gender, anti
radikalisme, pendidikan alternatif dan gagasan ideal lainnya, sebaiknya
kita perlu berhati-hati. Bisa jadi masyarakat tidak memahami atau
memang belum siap memahami. Pintu masuk pada sebuah gagasan
yang ideal adalah membuat mereka tertarik memulai dengan
kepentingan materi.

Seolah seperti kepentingan pragmatis diawal, seakan ekonomi


minded, tapi dari sana kita bisa menyisipkan gagasan-gagasan kecil
tentang komitmen, solidaritas, pendidikan transformatif, imajinasi,
perubahan sosial. Pemberdayaan yang lebih sustainable memang
dimulai dengan menguatkan ekonomi satu sama lain,80 baru kita bicara
persoalan lain yang sebenarnya jelas menguras energi. Sosial
preneurship81 pada dasarnya sebuah pendekatan mengentaskan
ketimpangan sosial melakui jalur ekonomi. Tidak murni melulu
bertujuan untung, karena memang tujuan utama adalah merekatkan
kembali relasi sosial sebuah lingkungan masyarakat. Dari sana
kebahagiaan hidup sejatinya ditimbang-timbang.

80
Shahrukh Khalid and others, ‗Community Empowerment and Sustainable Tourism
Development: The Mediating Role of Community Support for Tourism‘, Sustainability
(Switzerland), 11.22 (2019) <https://doi.org/10.3390/su11226248>; Purnomo and others.
81
Mohammed Faiz Kamaludin, Jesrina Ann Xavier, and Muslim Amin, ‗Social
Entrepreneurship and Sustainability: A Conceptual Framework‘, Journal of Social Entrepreneurship,
2021 <https://doi.org/10.1080/19420676.2021.1900339>; David Littlewood and Diane Holt, ‗Social
Entrepreneurship in South Africa: Exploring the Influence of Environment‘, Business and Society,
57.3 (2018) <https://doi.org/10.1177/0007650315613293>; Scott Weller and Bing Ran, ‗Social
Entrepreneurship: The Logic of Paradox‘, Sustainability (Switzerland), 12.24 (2020)
<https://doi.org/10.3390/su122410642>; Hardi Utomo and others, ‗Developing Social
Entrepreneurship: A Study of Community Perception in Indonesia‘, Entrepreneurship and
Sustainability Issues, 7.1 (2019) <https://doi.org/10.9770/jesi.2019.7.1(18)>.
63
Pendekatan ekonomi menarik perhatian banyak orang, apalagi
dikerjakan dengan sukarela. Jangka panjangnya membangun
kesadaran banyak orang. Maka dalam menuju kesadaran butuh
pendidikan transformatif.82 Selalu pemberdayaan menuntut adanya
pendidikan mandiri berbasis warga. Satu sama lain belajar dengan hal-
hal sederhana, mingguan dan to the point pada penyelesaian teknis di
lapangan. Ekonomi seperti pintu efektif untuk kita masuk ke rumah
besar pemberdayaan, kita akan menemukan banyak pintu lain untuk
masuk ke kamar-kamar unik dan membuat rumah pemberdayaan
semakin berwarna.

82
Paul and Quiggin; Servant-Miklos and Noordegraaf-Eelens.
64
WES Payungi

Pada awalnya saya datar melihat gerakan ini. Payungi University


cukup memberi ruang untuk bicara gender dan kepedulian lingkungan
hidup. Tapi akhir-akhir ini antusias peserta diskusi meningkat bahkan
anak muda kota Metro yang kuliah di Jawa terus merapat, membuat
saya harus memutar otak, apa saja inovasi gerakan untuk mendukung
WES?

Wahyu Puji sudah membuat desain untuk WEStore sebuah usaha


untuk mendukung kajian diskusi mingguan. Barang yang dijual
berupaya mendorong produk organik mulai dari beras, madu, pupuk,
totebag, kopi, dan produk lain yang juga mendorong kelestarian
lingkungan hidup.83

Selain itu merchendise WES juga harus diproduksi mulai dari


kaos, topi, gantungan kunci, tas dan lainnya. Karena Puji punya toko
Alas Buku, saya mengajak pula Pak Sidik M Purnomo untuk membuka
toko buku di Payungi. Setidaknya ada 2 toko buku untuk menopang
ekosistem pengetahuan di dalam Payungi.

Bagi saya yang paling penting dari sebuah gerakan adalah


produksi pengetahuan.84 Selain Sekolah Desa, WES punya keunikan
mengumpulkan para penggiat perempuan yang selama ini
bersembunyi di dalam rumah. Pandemi membawa kebosanan dan
mereka berani keluar rumah dan berani menunjukkan eksistensi.

83
(see, Selamat and Endut 2020b; Saner and Yiu 2019; Norberg and Johansson 2021; de
Wet and Parker 2014)
84
Dongoh Joo and others, ‗Knowledge, Empowerment, and Action: Testing the
Empowerment Theory in a Tourism Context‘, Journal of Sustainable Tourism, 28.1 (2020)
<https://doi.org/10.1080/09669582.2019.1675673>.
65
Women & Environment Studies Payungi mendirikan usaha
WEStore bukan hanya untuk komersil. Helping & Sharing diinisiasi oleh
Hifni Septina Carolina sebagai bentuk Berbagi dan Peduli. Semoga
terus tumbuh dan memberi dampak baik bagi gerakan perempuan di
masa depan.

66
Skala

Perempuan mandiri itu sudah banyak. Tapi jika ada perempuan


memperjuangkan perempuan lain itu baru menarik. Jika kita dapati di
ruang publik perempuan berdandan cantik, menggunakan pakaian
mahal, mungkin juga berkendara mobil dan ngobrol memenuhi ruang
cafe, itu adalah kemewahan yang biasa kita lihat di kota-kota besar.
Ibu-ibu pejabat atau jamak disebut perempuan sosialita memiliki tas
ratusan juta juga menjadi perhatian media massa. Tapi dari manakah
ibu sosialita memiliki kemewahan itu? Apakah ada sistem kapital yang
menghidupi mereka secara struktur?

Jadi saat perempuan menikmati segala fasilitas dari suaminya,


anak perempuan dari ayah seorang pengusaha atau juga mungkin hasil
kerjanya sendiri merupakan kemewahan langka. Fenomena ini yang
disebut dengan sistem sosial non-meritokrasi, dimana kekayaan dan
kekuasaan didapatkan dari keluarga, kekayaan dan background
individu.85 Tapi saat kita singgah di desa, di kampung, atau sebuah
wilayah kecil RT atau RW, banyak perempuan hidup sendiri,
membanting tulang tanpa suami, bekerja serabutan, dan dia tetap
happy menikmati hidup dengan kenyataan-kenyataan yang ada.

Pada kondisi itu kita melihat perempuan diposisi ini mencoba


membangun semangat agar terus hidup. Upaya-upaya ini yang disebut

85
Chang Hee Kim and Yong Beom Choi, ‗How Meritocracy Is Defined Today?:
Contemporary Aspects of Meritocracy‘, Economics and Sociology, 10.1 (2017)
<https://doi.org/10.14254/2071-789X.2017/10-1/8>; Ana Filipa Madeira and others, ‗Primes and
Consequences: A Systematic Review of Meritocracy in Intergroup Relations‘, Frontiers in
Psychology, 10 (2019) <https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.02007>; Zhibin Zhang, ‗Crowding Out
Meritocracy? - Cultural Constraints in Chinese Public Human Resource Management‘, in Australian
Journal of Public Administration, 2015, LXXIV <https://doi.org/10.1111/1467-8500.12146>.
67
Michael Young sebagai Meritokrasi. Bahwa semua orang memiliki
kesempatan yang sama untuk sukses yang didasarkan pada bakat dan
upaya keras. Meritokrasi pada akhirnya tidak melihat nilai kelas, jenis
kelamin, ras, maupun faktor-faktor prediktor lainnya,86 melainkan pada
upaya kerja keras, berdasarkan pada inisiatif, dan kapabilitas yang
kontras dengan keberuntungan, koneksi, kekayaan keluarga, dan etnis
jika ingin menjadi sukses.87

Saya percaya sepenuhnya bahwa marginalisasi, peminggiran,


alienasi, subordinat, kapitalisasi, dan sistem terpusat itu karena ada
kesalahan pada cara pandang skala. Meskipun idenya perlawanan, tapi
kalau menyangkut "skala" itu akan membuat ketergantungan hanya
berpindah ruang. Maka jika ada gerakan kecil konsisten, ada upaya
untuk mandiri, tidak ikut arus, dan memiliki gerakan unik, biasanya
perlawanan itu akan berkelanjutan.

Dalam ruang ekonomi saya melihat skala sebagai musuh itu


sendiri. Ketika sawit ditanam individu tidak jadi masalah. Saat sistem
industri kapitalisme yang menanam, maka hak orang lain jadi
terganggu, apalagi skala negara dan para oligarki. Mereka menganggu
fauna dan flora dan tentu sampai pada masalah perempuan. Mereka
hanya berorientasi pada capaian untung yang berlipat-lipat. Kerusakan
lingkungan seolah bukan tanggung-jawab mereka.

Kekerasan, pemiskinan secara struktur, hancurnya sistem sosial,


dan masifnya industri perusak lingkungan membuat kaum perempuan
menjadi korban utama. Jadi kalau negara mengundang investasi besar-
besaran dan berakhir pada meluasnya skala, negara sedang
menghancurkan masa depan manusia terutama para perempuan.

Dalam gender saya berpandangan, perjuangan kaum perempuan


membebaskan diri dari ketidakberdayaan adalah dengan fokus gerakan

86
Emilio J. Castilla and Stephen Benard, ‗The Paradox of Meritocracy in Organizations‘,
Administrative Science Quarterly, 55.4 (2010) <https://doi.org/10.2189/asqu.2010.55.4.543>.
87
Benjamin J. Newman, Christopher D. Johnston, and Patrick L. Lown, ‗False
Consciousness or Class Awareness? Local Income Inequality, Personal Economic Position, and
Belief in American Meritocracy‘, American Journal of Political Science, 59.2 (2015)
<https://doi.org/10.1111/ajps.12153>; Jeremy Reynolds and He Xian, ‗Perceptions of Meritocracy
in the Land of Opportunity‘, Research in Social Stratification and Mobility, 36 (2014)
<https://doi.org/10.1016/j.rssm.2014.03.001>.
68
ekonomi mandiri tapi berorientasi pada kualitas hidup bukan karena
ingin menjadi kapitalis baru. Pilihannya tentu banyak, melalui
pendidikan alternatif, ekonomi kreatif, budaya gotong royong dan
memberi mereka ruang ekspresi. Tapi yang paling penting bagaimana
perempuan menolak industri yang semakin melebarkan sayapnya pada
skala yang lebih luas.

Gunarti Samin, Mama Alleta Baun NTT, Vandana Shiva India,


adalah contoh nyata mereka menolak "skala" dalam industri. Jadi pada
hidup yang homogen dan ruang yang semakin tidak mengakomodir
keunikan, alienasi itu akan terus terjadi. Kata kunci untuk membuat
multi perspektif tentu tidak dengan ideologi seragam, mengapa?
Jawaban saya proses domestifikasi lahir karena perempuan harus diam
tak boleh berkarya.88

Kalau kita mau memulai, kita harus mengumpulkan kata yang


dekat dengan proses kreatif yang harus diambil kembali dari tradisi
leluhur. Tentu tidak untuk membenturkan perempuan pada cara
pandang agama yang dianggap masih terus mengekang. Misal kita
mulai melihat semua hasil kebudayaan yang pernah ada itu dihasilkan
dari tangan para perempuan. Sebut saja yang mudah olahan kuliner,
kain tenun dan tarian. Perjuangan gender harus memangkas habis cara
berpikir skala yang terus masif, karena di sanalah semua proses
peminggiran terus terjadi.

88
(Ibrahim 2013; Brenner 2012)
69
Kemandirian Desa

Berkali-kali sharing tentang pengembangan desa rasanya tidak


cukup kita bicara pembangunan fisik dan capaian ekonomi desa. Tentu
capaian yang dilihat nyata adalah jalan desa bagus dan geliat ekonomi
tumbuh. Melihat kenyataan infrastruktur jalan tentu kita sering kecewa,
jalan jelek dan jembatan penghubung bahkan putus. Contoh nyata ada
di Sendang Baru Lampung Tengah, ada surga Telogo Rejo di dalam
kampung, ada danau, kopi berlimpah, gula 500 kg dihasilkan setiap
hari, dan hasil pertanian yang kalau dibandingkan di kota harganya
jauh lebih murah.

Mereka sejahtera secara kebutuhan pangan bahkan berlimpah,


tapi memang desa kehilangan narasi dan gerakan kebudayaaan.
Pemerintah bukannya tidak peduli, jalur masuk 18 km sudah dibangun
cor meskipun pintu masuk bukan dari kecamatan Kalirejo jarak yang
lebih dekat, tapi dari Gunung Sugih yang harus berputar 2 jam.
Pemerintah juga sudah membangun aula, panggung, mushola, WC,
gazebo dan lokasi berdagang di Wisata Danau Telogo Rejo. Ternyata
semua fasilitas yang dibangun itu tidak akan pernah menjamin adanya
pergerakan.

Pengetahuan atau pendidikan pemberdayaan89 yang pelan


namun pasti akan membuat orang-orang sadar bergerak, bergotong-
royong sampai pada level menjadi inovator desa. Apakah sejauh ini
tidak ada orang yang punya gagasan-gagasan menarik? Sudah ada
tapi baru dalam tahapan wacana sepihak, idenya baru disampaikan dan
kurang menarik perhatian publik. Problem bergerak di lapangan jelas
lebih kompleks dari proses membangun gagasan. Dana desa yang

89
Joo and others; Wei Ta Fang and others, ‗Environmental Literacy on Ecotourism: A
Study on Student Knowledge, Attitude, and Behavioral Intentions in China and Taiwan‘,
Sustainability (Switzerland), 10.6 (2018) <https://doi.org/10.3390/su10061886>.
70
habis untuk bantuan langsung tunai (BLT) dimasa pandemi ditambah
problem desa yang semakin birokratis. Menggaji perangkat desa dan
kegiatan pengganggaran rutin yang membuat narasi gotong-royong
makin terkikis.

Jika saya tarik garis benang merah proses perjuangan panjang


kemandirian desa yaitu Pertama, dimulai dengan mendidik kader-kader
muda desa langsung ke ruang kreatif desa untuk belajar manajemen
Bumdes, wisata desa, kampung tematik, pengelolaan produk ekonomi
yang dihasilkan desa.90 Kedua, Anak-anak muda harus belajar
bagaimana marketing produk desa melalui kanal-kanal media apapun
yang bisa digunakan oleh desa tersebut.91

Selanjutnya, siapa yang menemani anak-anak muda ini untuk


memulai? Di sinilah kita harus akui mencari keder penggerak yang
tulus menemani anak-anak muda ini jelas tidak banyak. Jika ada yang
sanggup menemani maka kelak tokoh ini akan jadi bagian dari local
champion di desa tersebut. Memberi pemahaman tentang arti penting
gotong royong, tidak hanya pandai memotivasi tapi juga pandai untuk
menggerakkan perubahan secara gotong royong. Kemandirian desa
jangan selalu diukur dari penyerapan anggaran desa untuk
infrastruktur, tapi bagaimana SDM desa mulai sadar untuk
menciptakan ekosistem ekonomi baru yang bisa menyerap banyak
tenaga kerja. Semakin banyak SDM kreatif yang menghargai
pengetahuan, terus punya tradisional belajar, maka kemandirian desa
dalam capaian infrastruktur pelan namun pasti akan dipikirkan
bersama-sama oleh warga desa bukan hanya birokrasi desa.

Local champion harus dilahirkan, dia mungkin bisa lahir karena


keresahan atas kondisi desa yang stagnan. Tapi tidak ada perubahan
yang hadir tiba-tiba. Menjembatani lahirnya local champion bukan
proses singkat. Bisa jadi local champion sedang belajar di sekolah, anak
kecil yang sedang membaca buku di perpustakaan desa, pemuda yang
masih kuliah di perguruan tinggi, santri yang sedang membaca Al-
Quran. Para calon local champion desa dilahirkan dengan proses
kepedulian desa untuk mengurus generasi desa agar terus belajar dan

90
(Fang et al. 2018; Kopnina 2020)
91
(Organisation for Economic Co‑operation & Development 2016; Chai-Arayalert 2020)
71
belajar. Bukan desa yang membiarkan generasinya bebas melakukan
apapun dan setelah mereka tua baru menyadari desanya tertinggal
jauh dengan desa yang lainnya.

72
Gerakan Branding

Kini, pasar kreatif telah banyak tumbuh di berbagai daerah,


khususnya di kabupaten/kota di Lampung. Seperti di Kota Metro,
Lampung Tengah, Lampung Timur, Way Kanan, Kota Bandarlampung,
Lampung Selatan dan beberapa daerah lainnya yang sedang dalam
tahap pembangunan. Menjamurnya pasar kreatif setidaknya dapat
memberikan harapan bagi warga sekitar (daerah) membangun
kemandirian berfikir, bergerak, berkreativitas, berinovasi dan
menumbuhkan kegiatan ekonomi.

Namun, gerakan pasar kreatif yang progresif tersebut berjalan


bukan tanpa ada kendala. Pasang surut ternyata juga dialami oleh
mereka, apalagi ombak pandemi memaksa para penggeraknya untuk
memutar otak karena dihadapkan dengan situasi yang tidak menentu.
Diawal pandemi, banyak pasar kreatif harus menutup sementara
aktivitasnya. Penutupan sementara ini tidak hanya menghentikan
aktivitas mereka, namun juga memberi konsekuensi mendalam bagi
penggerak dan warga, pasalnya mereka harus kehilangan income
(tambahan) dari gelaran pasar. Diskursus tentang ekonomi dan
pandemi ini telah menjadi fokus mendalam para ahli untuk melihat dan
menganalis dampak-dampak secara sosial-ekonomi, local maupun
global.92

92
Ahmad Ulil Albab Al Umar and others, ‗The Economic Impact of the Covid-19
Outbreak : Evidence from Indonesia‘, Jurnal Inovasi Ekonomi, 5.3 (2020)
<https://doi.org/10.22219/jiko.v5i3.11889>; Asep Suryahadi, Ridho Al Izzati, and Daniel
Suryadarma, ‗Estimating the Impact of Covid-19 on Poverty in Indonesia*‘, Bulletin of Indonesian
Economic Studies, 2020 <https://doi.org/10.1080/00074918.2020.1779390>; Asian Development
Bank, ‗The Economic Impact of the COVID-19 Outbreak on Developing Asia‘, 9.128 (2020)
<https://doi.org/10.22617/BRF200096>; Andy Sumner, Chris Hoy, and Eduardo Ortiz-Juarez,
‗Estimates of the Impact of COVID-19 on Global Poverty‘, UNU WIDER Working Paper 2020/43,
2020.
73
Kabar baiknya, bagi penggerak pasar kreatif yang berani
memukul keadaan, pandemi bukan alasan untuk tidak mengerjakan
hal-hal kreatif. Sebaliknya, sebagai dari mereka melakukan lompatan
yang signifikan dengan mengerjakan hal-hal baru untuk
menghidupkan ekonomi warga. Dalam masa ini (pandemi), ada yang
mengalihkan kegiatan ke kegiatan menanam sayuran, menambah
ruang permainan, mengalihkan transaksi penjualan dari offline ke
online melalui media sosial dan market place dan membangun ruang-
ruang kreatif di alam terbuka. Dengan adanya kegiatan tersebut,
setidaknya warga bisa bertahan di tengah situasi pandemi.

Upaya-upaya yang dikerjakan selama pandemi tersebut juga


yang kemudian memberi dorong bagi mereka ketika pandemi sudah
mereda, recovery pasar kreatif bisa dilakukan lebih cepat. Dalam 3-4
kali gelaran saja, omset mereka sudah kembali seperti sebelum
pandemi, bahkan mencatatkan pencapaian positif.

Tetap eksisnya pasar kreatif setelah penutupan sementara tentu


tidak lepas juga dari branding yang mereka bangun sejak awal.
Munculnya branding yang baik telah menanamkan pola positif di
mindset pengunjung. Sehingga, pengunjung tidak ragu untuk
berkunjung kembali ke gelaran pasar kreatif yang dibuka setelah
beberapa bulan ditutup. Adanya branding yang berjalan baik inilah,
juga memudahkan bagi penggerak pasar kreatif untuk mengembalikan
roda ekonomi di pasar kreatif yang sempat mandek seperti
sebelumnya.

Logo, packaging, kuliner, flyer, promosi di media sosial dan


jargon merupakan inventory brand atau stimulan yang menciptakan
branding bagi pasar kreatif.93 Di sinilah persepsi dan kepercayaan
warga terhadap pasar kreatif terbentuk, hingga akhirnya berubah
menjadi sebuah ekspektasi, rekasi dan aksi mereka datang menikmati
hiburan di pasar kreatif. Bahkan, mereka tidak hanya menjadi
pengunjung yang hanya ingin coba-coba, tapi menjadi pelanggan
untuk membeli produk-produk yang disediakan di pasar kreatif.

Stave Jobs mengatakan, "Brand is Simply Trust". Artinya, sebagai


penggerak pasar kreatif harus mampu membangun kepercayaan ke
93
(Mastika and Nimran 2020)
74
warga. Membangun kepercayaan ini dimulai dengan menciptakan
karya-karya yang bermanfaat secara konsisten. Disamping mereka juga
harus bisa membuat karya-karya yang inovatif yang mampu
memberikan pengalaman unik bagi pengunjung. Dari sini, hal yang
perlu digaris bawahi adalah setiap pasar kreatif perlu tumbuh dengan
karakternya sendiri. Ia punya keunikan, sehingga bisa memberikan
pengalaman berbeda dengan pasar kreatif di tempat lain bagi
pengunjung.

Kita tidak bisa mengelak, bahwa ada juga beberapa pasar kreatif
yang surut akibat pandemi kerena branding yang dilakukan belum
optimal. Kemungkinan, karena masih terkesan 'copy paste' dari pasar
kreatif lainnya. Jadi tidak ada ide-ide dan kreativitas yang genuine dari
penggeraknya. Sehingga hal ini yang sesungguhnya harus bisa
ditangani bersama oleh semua penggerak pasar kreatif dengan saling
dukung, memberikan masukan, ide dan inovasinya untuk mengangkat
kembali pasar kreatif yang redup. Supaya brand-nya bisa terbentuk
secara baik dan kepercayaan pengunjung terus tumbuh.

Gerakan branding bagi pasar kreatif pada dasarnya adalah


langkah awal yang harus dipikirkan. Pasalnya, pasar kreatif bukan
hanya sekedar produk, baik itu ide atau gerakan/bangunan, namun
sebuah ruang interaksi dan transaksi yang harus dihidupkan agar bisa
memberikan pengalaman bagi siapa pun yang datang. Terlebih di
dalamnya juga ada harapan besar dari warga yakni terciptanya
kegiatan ekonomi yang akan memberikan manfaat bagi mereka. Selain
manfaat lainnya -- relasi, akulturasi dan lainnya.

75
Basis Pemberdayaan Era Gig Economy

Terciptanya pemerataan dan keadilan ekonomi merupakan tolak


ukur paling vital dalam merealisasikan sistem pembangunan yang baik.
Apalagi, di tengah keterbukaan informasi dan kemudahan dalam
berkomunikasi atau berjejaring turut membuka lebar peluang untuk
mewujudkannya. Disamping, adanya sumber daya muda para kaum
milenial yang juga menjadi potensi besar sebagai motor penggerak
bagi roda pembangunan ekonomi yang setara berkeadilan.

Upaya-upaya dalam mewujudkan pemerataan dan keadilan


ekonomi pada dasarnya menuntut sebuah sistem yang mampu
menggerakkan berbagai elemen masyarakat hingga di tingkat grass
root. Supaya, distribusi ekonomi dapat mengalir dari hulu ke hilir tanpa
ada distorsi di tengah-tengah. Pemberdayaan menjadi salah satu basis
sistem yang dapat men-support langkah ini. Di mana, melalui sistem
pemberdayaan, ekosistem ekonomi dapat dibentuk dan digerakkan
secara komunal oleh masyarakat yang tinggal di Kota hingga pelosok
Desa.

Dalam menjalankan roda gerakan pemberdayaan, kolektivitas


menjadi bahan bakar penting di dalamnya.94 Sehingga, kolektivitas
harus terisi dan tumbuh di dalam pemberdayaan agar masyarakat
dengan berbagai latar belakang (status sosial, ekonomi, pekerjaan,
potensi) punya satu tujuan bersama untuk membangun kesejahteraan
kolektif. Selain itu, konsisten dan inovasi juga perlu dijaga supaya
akselerasi dalam gerakan pemberdayaan bisa dicapai. Jika sistem
pemberdayaan yang dilakukan tersebut dijalankan dengan tepat, maka

94
Knight and Cottrell; Igwe and others; Zhongxuan Lin and Liu Yang, ‗Individual and
Collective Empowerment: Women‘s Voices in the #MeToo Movement in China‘, Asian Journal of
Women‘s Studies, 25.1 (2019) <https://doi.org/10.1080/12259276.2019.1573002>.
76
ia akan membentuk kemandirian masyarakat baik dalam bidang sosial,
politik, pendidikan, dan terutama ekonomi.

Gerakan pemberdayaan ekonomi pada dasarnya dapat


dikomparasikan dengan tren Gig Economy saat ini. Lahirnya era Gig
Economy95 kini telah mendorong pola baru dalam upaya mewujudkan
pemerataan dan keadilan ekonomi. Gig Economy menjadi tanda
mulainya transformasi kerja yang lebih longgar dan fleksibel. Terutama
bagi generasi milenial (dan generasi selanjutnya), mereka bisa bekerja
sebagai freelancer dengan pengaturan waktu dan tempat kerja secara
bebas. Maka tidak mengherankan jika kini banyak dari mereka
mengambil bidang pekerjaan sebagai desain web, UX writer, content
writer, resume writer, copywriter, virtual assistant, network analyst,
office manager dan lainnya dengan sistem kontrak.

Kemunculan era Gig Economy ini menjadi kesempatan besar


untuk menggenjot akselerasi upaya-upaya pemberdayaan ekonomi.
Terlebih, akumulasi anak muda saat ini mendominasi penduduk di
Indonesia. Artinya, ada lebih banyak anak-anak muda yang dapat
diberdayakan sebagai penggerak untuk melanggengkan proses
pemberdayaan ekonomi yang dibangun. Secara tidak langsung, Gig
Economy telah memberikan mereka keleluasaan untuk berinovasi dan
bergerak dalam menciptakan ekosistem ekonomi di tengah masyarakat
urban maupun Desa. Karena mereka punya waktu lebih untuk bisa
intensif bersinggungan dengan masyarakat, di samping mereka juga
punya skill yang bisa ditularkan dan dimanfaatkan.

Namun, di sisi lain juga terdapat sisi buruk dari Gig Economy.
Mereka yang masuk ke dalam sistem ini terkadang rentan dieksploitasi,
bekerja secara overtime tanpa ada asuransi dan harus menanggung
sendiri jika ada kecelakaan kerja. Selain itu, mereka juga rentan
kehilangan pekerjaan karena pekerjaan yang diambil menggunakan

95
Mohammad Amir Anwar and Mark Graham, ‗Hidden Transcripts of the Gig Economy:
Labour Agency and the New Art of Resistance among African Gig Workers‘, Environment and
Planning A, 52.7 (2020) <https://doi.org/10.1177/0308518X19894584>; Radosław Malik, Anna
Visvizi, and Małgorzata Skrzek‑lubasińska, ‗The Gig Economy: Current Issues, the Debate, and the
New Avenues of Research‘, Sustainability (Switzerland), 13.9 (2021)
<https://doi.org/10.3390/su13095023>; Nilanjan Banik and Milind Padalkar, ‗The Spread of Gig
Economy: Trends and Effects‘, Foresight and STI Governance, 15.1 (2021)
<https://doi.org/10.17323/2500-2597.2021.1.19.29>.
77
kontrak sementara (pekerja lepas). Resiko-resiko inilah yang terkadang
membuat mereka harus lebih kreatif dalam mengalokasikan
pendapatnya agar mereka bisa menciptakan kantong-kantong income
lainnya.

Era Gig Economy sebenarnya telah memberikan pilihan baru bagi


kita (khususnya anak muda) dalam dunia kerja. Hadirnya era ini di satu
sisi memberikan kita keleluasaan dalam memilih dan mengatur waktu
kerja sehingga lebih fleksibel sedangkan di sisi lain juga ada resiko
besar yang harus berani ditanggung. Tapi, setidaknya Gig Economy
telah mendorong anak muda untuk terangsang mengasah skill-skill
baru yang dibutuhkan dunia kerja saat ini dan memberikan waktu lebih
longgar bagi mereka untuk bisa berkontribusi dalam mengerjakan
gerakan-gerakan pemberdayaan bersama masyarakat. Sehingga,
mereka juga punya kesempatan untuk memberikan kontribusi bagi
terbentuknya pemerataan dan terciptanya keadilan ekonomi.

78
Pemulihan

Degradasi alam menjadi ancaman serius bagi eksistensi semua


makhluk hidup, terutama manusia di masa depan. Pasalnya, alam
sebagai ibu bumi terus dinodai melalui eksploitasi kapital yang
merusak keseimbangan di dalamnya. Aktivitas ekstraktif, deforestasi,
desertifikasi, penggunaan bahan kimia berbahaya dan pembuangan
limbah pabrik yang menyebabkan polusi merupakan sedikit contoh
pemerasan terhadap alam yang memiliki dampak negatif dalam jangka
panjang bagi makhluk hidup.

Munculnya ambisi mewujudkan kesejahteraan ekonomi


terkadang dimaknai melalui upaya-upaya memeras alam tanpa
menimbang kapasitasnya sebagai sebuah ekosistem kehidupan. Alam
sebagai satu kesatuan kehidupan dari berbagai macam makhluk hidup
tentu punya tataran keseimbangannya sendiri yang jika dieksploitasi
berlebihan akan terganggu. Padahal, manusia sebagai salah satu
makhluk hidup yang bergantung pada alam bisa memanfaatkannya
secara arif (secukupnya) tanpa harus menundukkan alam melalui
kegiatan eksploitatif dengan dalih kesejahteraan.

Tentu, menjaga keseimbangan alam bukanlah hal yang mudah


bahkan terbilang sangat sukar di tengah era industrialisasi saat ini.
Melihat, kini proses produksi berbagai kebutuhan manusia (sandang,
pangan dan papan) kebanyakan diproses menggunakan mesin yang
notabene menghasilkan zat pemicu polusi (baik polusi udara, air dan
suara). Hal ini yang kemudian memaksa alam harus bekerja lebih keras
menetralisir zat-zat berbahaya tersebut agar ekosistem kehidupan
tetap seimbang.

Namun sayangnya alam lambat laun mulai kehilangan daya


keseimbangannya sehingga ekosistem kehidupan di dalamnya
79
terganggu. Hal ini dapat dilihat dari hancurnya ekologis, menurunnya
keanekaragaman hayati, hilangnya sumber air, kebakaran hutan,
longsor, munculnya berbagai penyakit zoonosis dan mulai adanya
konflik antara satwa liar dan manusia. Tentu, ini cukup memberi
gambaran bahwa pada dasarnya alam telah keluar dari batas
kemampuannya untuk menjaga ekosistem kehidupan yang ada karena
terus diperas.

Eksploitasi terhadap alam pada dasarnya menjadi hulu dari


permasalahan hilangnya keseimbangan ekosistem kehidupan yang
ditunggangi oleh kepentingan kapitalis.96 Fenomena ini juga secara
prinsipal akan mencederai hubungan antara manusia dan alam.97

Bahkan, kini seolah mereka diberikan karpet merah oleh


pemerintah melalui UU Cita Kerja (Omnibus Law) untuk memeras alam
semaksimal mungkin dengan dalih percepatan pembangunan nasional
untuk mencapai kesejahteraan. Padahal, jika dilihat lebih dalam,
terdapat banyak masyarakat yang dirugikan. Seperti, masyarakat adat
Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah yang harus
berkonflik dengan korporasi kebun sawit karena hutan yang menjadi
sumber kehidupan mereka dirusak dan berusaha dicaplok untuk
dialihfungsikan. Selanjutnya muncul acaman bagi warga pesisir Jakarta,
Bekasi, Pekalongan, Semarang, hingga Gresik yang rumah tinggalnya
mulai terendam air laut akibat dari perubahan iklim secara masif. Hal ini
disebabkan karena adanya polusi yang dihasilkan oleh aktivitas pabrik,
penggundulan hutan, naiknya suhu bumi dan erosi. Ini hanyalah
beberapa contoh dampak dari eksploitasi alam yang merugikan banyak
masyarakat, khusus masyarakat lokal yang hidupnya bergantung
dengan hasil hutan atau laut. Masih terdapat masyarakat di daerah lain

96
Richard Walker, ‗Value and Nature: Rethinking Capitalist Exploitation and Expansion‘,
Capitalism, Nature, Socialism, 28.1 (2017) <https://doi.org/10.1080/10455752.2016.1263674>.
97
Lotta C. Kluger and others, ‗Studying Human–Nature Relationships through a Network
Lens: A Systematic Review‘, People and Nature, 2.4 (2020) <https://doi.org/10.1002/pan3.10136>;
Courtney G. Flint and others, ‗Exploring Empirical Typologies of Human-Nature Relationships and
Linkages to the Ecosystem Services Concept‘, Landscape and Urban Planning, 120 (2013)
<https://doi.org/10.1016/j.landurbplan.2013.09.002>; Michael Thomas Braito and others, ‗Human-
Nature Relationships and Linkages to Environmental Behaviour‘, Environmental Values, 26.3 (2017)
<https://doi.org/10.3197/096327117X14913285800706>; Yuan Pan, ‗Human–Nature Relationships
in East Asian Animated Films‘, Societies, 10.2 (2020) <https://doi.org/10.3390/soc10020035>;
Valentine Seymour, ‗The Human-Nature Relationship and Its Impact on Health: A Critical Review‘,
Frontiers in Public Health, 2016 <https://doi.org/10.3389/FPUBH.2016.00260>.
80
yang harus menanggung kepayahan akibat eksploitasi alam secara
berlebihan.

Untuk mengatasinya, kita perlu melakukan recovery terhadap


alam. Upaya-upaya seperti penghijauan, manajemen sampah,
mengurangi/menghentikan penggunaan zat-zat kimia berbahaya,
menghentikan deforestasi/alihfungsi lahan dan berkompromi dengan
masyarakat lokal atau adat untuk mengelola alam bisa dilakukan secara
kolektif oleh pemerintah dan stakeholder yang ada. Upaya ini perlu
dilakukan agar pembangunan yang dilakukan tidak merusak alam dan
tidak meminggirkan masyarakat lokal.98 Sebaliknya, pembangunan
yang dilakukan dapat menciptakan kesejahteraan dengan melibatkan
semua elemen masyarakat untuk ikut berpartisipasi sesuai dengan
potensi atau kapasitas yang dimiliki. Sehingga tidak ada lagi man-made
disaster yang muncul akibat dari eksplorasi yang salah kaprah.

98
Partha Dasgupta, ‗The Nature of Economic Development and the Economic
Development of Nature‘, Economic and Political Weekly, 48.51 (2013)
<https://doi.org/10.2139/ssrn.2352914>.
81
Ruang Interaksi

Upaya dalam mendorong percepatan pembangunan Desa tidak


bisa disederhanakan hanya sebatas pada penggunaan Dana Desa.
Disisi lain, ada instrumen penting yang kerap luput dari sudut
kacamata pembangunan, yaitu heterogenitas (keberagaman)
masyarakat lokal sebagai pendobrak. Munculnya masyarakat dengan
berbagai macam background (status sosial, ekonomi maupun
kreativitas) merupakan modal vital bagi Desa yang sebenarnya akan
menjadi motor penggerak Dana Desa untuk pembangunan di Desa.

Dana Desa yang diguyur ke Desa setiap tahunnya oleh


pemerintah tentu menjadi potensi yang harus dioptimalkan bagi
pengembangan leading sector yang ada di Desa. Beberapa leading
sector ini meliputi agrikultur (pertanian dan perkebunan), pariwisata
dan ekonomi kreatif. Dengan besaran Dana Desa sekitar 700 juta - 1
Miliar, bahkan beberapa Desa besar mendapatkan lebih dari 2 Miliar,
tentu potensi leading sector Desa dapat lebih didongkrak dan
dioptimalkan manfaatnya bagi masyarakat. Terlebih, kini mulai
bermunculan Kepala Desa muda yang digadang-gadang memiliki
langkah progresif, inovasi dan kreasi kekinian dalam mewarnai
percepatan pembangunan di Desa.

Namun, juga tidak bisa dikesampingkan bahwa heterogenitas


masyarakat Desa punya andil dalam memperkeruh keadaan sosial-
ekonomi lokal. Tidak sedikit, kaum borjuis Desa (pemilik mayoritas
tanah di Desa) memanfaatkan statusnya untuk mengambil kesempatan
dari Dana Desa untuk kepentingan kelompoknya. Hal ini dapat
ditemukan di beberapa tempat, jabatan Kepala Desa cenderung
dipegang oleh mereka, di mana mereka bisa mengambil kendali
penggunaan Dana Desa untuk memperkokoh status sosial-
ekonominya. Sehingga, bagi masyarakat dari kelas proletariat, mereka
82
tidak bisa merasakan adanya Dana Desa secara signifikan. Pada
umumnya, mereka tetap menjadi masyarakat penggarap tanah orang
lain atau buruh yang diupah cukup rendah.

Oleh sebab itu, untuk mengatasi distorsi dalam pembangunan


Desa, perlu adanya ruang-ruang terbuka bagi masyarakat untuk saling
berinteraksi.99 Melalui ruang-ruang inilah mereka dapat dengan mudah
berekspresi, mengemukakan pendapat, meminta transparansi
anggaran Dana Desa dan mengawal pembangunan para pemangku
kebijakan di Desa. Dan ruang seperti ini tidak hanya sebatas pada
ruang-ruang formal seperti Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrembang) atau sosialisasi-sosialisasi yang diadakan oleh perangkat
Desa, namun juga harus ada ruang non-formal di mana masyarakat
bisa leluasa melontarkan berbagai isu secara terbuka. Artinya, mereka
tidak terkungkung oleh batasan yang biasanya muncul dalam forum-
forum formal (biasanya dalam forum formal ada tema-tema tertentu
yang disepakati sepihak oleh panitia).

Selain itu, ruang-ruang interaksi tersebut juga bisa


direpresentasikan melalui penyediaan fasilitas umum maupun kegiatan
kolektif bagi masyarakat. Seperti pusat olahraga, pasar, pameran,
turnamen dan lain sebagainya. Hadirnya fasilitas dan kegiatan seperti
ini bisa merangsang masyarakat untuk ikut andil dalam mengisi dan
memanfaatkan buah dari hasil penggunaan Dana Desa. Sembari
mereka juga mengawal progres dari upaya pembangunan yang
dilakukan oleh pemerintah Desa.

Pemerintah Desa pun, perlu secara aktif mengajak masyarakat


untuk ikut andil di dalam pembangunan.100 Di mana, mereka diberikan
ruang untuk bisa mengejawantahkan potensi yang mereka miliki. Bagi

99
Pauline van den Berg, Theo Arentze, and Harry Timmermans, ‗A Multilevel Analysis of
Factors Influencing Local Social Interaction‘, Transportation, 42.5 (2015)
<https://doi.org/10.1007/s11116-015-9648-4>; Avelino, Wittmayer, and others; Ed Tronick and
others, ‗Social Interaction‘, in The Curated Reference Collection in Neuroscience and Biobehavioral
Psychology, 2016 <https://doi.org/10.1016/B978-0-12-809324-5.23629-8>.
100
Dimitrios Stylidis and others, ‗Residents‘ Support for Tourism Development: The Role
of Residents‘ Place Image and Perceived Tourism Impacts‘, Tourism Management, 45 (2014)
<https://doi.org/10.1016/j.tourman.2014.05.006>; Chia Pin Yu, Shu Tian Cole, and Charles
Chancellor, ‗Resident Support for Tourism Development in Rural Midwestern (USA) Communities:
Perceived Tourism Impacts and Community Quality of Life Perspective‘, Sustainability
(Switzerland), 10.3 (2018) <https://doi.org/10.3390/su10030802>.
83
mereka yang punya keahlian dibidang seni, mereka dapat menggelar
pentas seni atau mewarnai Desa dengan upaya lain yang dimiliki.
Kemudian, bagi mereka yang punya bakat dibidang olahraga, mereka
bisa mendirikan akademik olahraga untuk mendorong lahirnya bibit-
bibit muda unggul. Selanjutnya, mereka yang punya inovasi dibidang
pertanian atau perkebunan bisa mengembangkan sektor agrikultur
secara modern dan terintegrasi baik dengan pasar.

Dengan adanya upaya mendorong masyarakat ikut berpartisipasi


tersebut,101 maka pembangunan di Desa tidak akan berhenti hanya
sekedar pada pemanfaatan Dana Desa yang sangat terbatas. Melalui
kerja kolektif bersama masyarakat inilah, bisa menjadi salah satu solusi
bagi percepatan pembangunan di Desa, terutama pada sektor
pertanian, perkebunan, pariwisata atau ekonomi kreatif Desa.

Melakukan percepatan pembangunan Desa tentu bukan hal


mudah, apalagi jika pemerintah masih menggeneralisasi kebutuhan
Desa. Pasalnya, setiap Desa punya kearifan lokalnya masing-masing
dan juga memiliki keadaan sosial-ekonomi masyarakatnya yang
berbeda-beda. Sehingga, cukup diperlukan dalam upaya ini,
pembangunan yang dilakukan menggunakan basis lokalitas, di mana
berlandaskan pada potensi-potensi yang ada di setiap Desa.

101
Zakia Kia, ‗Ecotourism in Indonesia: Local Community Involvement and The Affecting
Factors‘, Journal of Governance and Public Policy, 8.2 (2021)
<https://doi.org/10.18196/jgpp.v8i2.10789>; K Vannelli, ‗Community Participation in Ecotourism
and Its Effect on Local Perceptions of Snow Leopard (Panthera Uncia) Conservation‘, Human
Dimensions of Wildlife, 2019, 180–93 <https://doi.org/10.1080/10871209.2019.1563929>; Anup,
Ghimire, and Dhakal.
84
Perempuan, Penggerak
dan Kepemimpinan Lokal

Lahirnya relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan memperjelas


ketimpangan gender yang terjadi di dalam kehidupan sosial
masyarakat. Perempuan menjadi pihak yang sangat dirugikan akibat
adanya relasi ini, di mana mereka mengalami alienasi, subordinasi,
diskriminasi, seksisme, dan tindak kekerasan. Mirisnya, dalam ruang
kerja kaum perempuan seringkali tidak mendapatkan kesetaraan dan
kesempatan yang sama seperti laki-laki, sehingga akses mereka untuk
mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak sangatlat minim. Kondisi
inilah yang kemudian membuat mereka semakin terdomestifikasi dan
sulit untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik.

Ketidaksetaraan gender dan diskriminasi yang selalu dialami oleh


kaum perempuan mendorong mereka untuk menuntut hak-haknya
sebagai manusia. Dengan terus mengakomodir kelompoknya dalam
berbagai wadah pergerakan perempuan, mereka berupaya agar suara
dan hak mereka dapat dipenuhi secara adil. Disamping mereka juga
terus menciptakan peluang-peluang usaha agar mereka mampu hidup
mandiri. Mengingat lapangan pekerjaan yang tersedia tidak
memberikan akses yang mudah bagi mereka. Melalui cara inilah,
mereka ingin membuktikan bahwa perempuan ada dan mampu
berdaya, terutama dalam kemandirian ekonomi.

Terbukti, menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2021


sebanyak 64,5 persen dari total UMKM (Usaha Mikro Kecil dan
Menengah) dikelola oleh perempuan di Indonesia.102 Peran mereka
dalam sektor ekonomi melalui berbagai jenis usaha tidak hanya

102
Badan Pusat Statistik (BPS), https://www.bps.go.id/, diakses pada 17 September 2022.
85
sekedar membantu perekonomian keluarga, namun mereka juga hadir
sebagai penggerak sosial dan ekonomi di tengah masyarakat,
membantu mengurangi pengangguran, menciptakan lapangan
pekerjaan baru, menyumbang devisa negara, mendorong
pengarusutamaan gender, dan berusaha menekan tindak KDRT
(Kekerasan Dalam Rumah Tangga).

Kemandirian ekonomi menjadi kunci penting bagi perempuan


untuk mengikis budaya patriarki yang seringkali menyudutkan mereka.
Gerakan kolektif perempuan melalui usaha-usaha kreatif seperti
pengembangan UMKM, industri kreatif, serta pemberdayaan pasar dan
kampung kreatif mampu menjawab berbagai stigma negatif yang
selama ini melakat pada diri perempuan − perempuan sebagai kaum
faminis (lemah) dan inferior, makhluk misoginis, serta tidak terdidik,
lemah, dan miskin.103 Hal ini sekaligus menegaskan bahwa dunia tidak
hanya disedikan bagi eksistensi laki-laki, namun juga dimiliki oleh
perempuan untuk dimanfaatkan secara optimal potensinya.

Tokoh penggerak seperti Vandana Shiva dan Wangari Maathai


menjadi teladan bagi perjuangan kaum perempuan global dalam
mengikis hegemonik kaum laki-laki atas eksploitasi sumber daya yang
mereka lakukan. Vandana Shiva bersama para perempuan dari
organisasi akar rumput di India melalui Gerakan Chipko untuk
menghentikan penebangan hutan yang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan besar dengan cara memeluk erat-erat pohon-pohon yang
hendak ditebang dengan mesin. Karena bagi mereka pohon telah
memberikan empat kebutuhan bagi rumah tangga, yaitu makanan,
bahan bakar, kebutuhan rumah dan penghaasil ekonomi rumah
tangga. Sehingga, musnahnya pohon akan menyulitkan para
perempuan, terutama mereka yang tinggal di desa dan bergantung
pada hasil hutan. Sedangkan Wangari Maathai melalui Gerakan Sabuk
Hijau atau Green Belt Movement berupaya menangani desforestasi dan
diskrimiminasi terhadap perempuan di Kenya. Wangari Maathai

103
Mustika Edi Santosa, Pembangunan Ekonomi Desa: Esai-Esai Pemberdayaan, Potensi,
dan Gerakan Masyarakat di Desa, (Bandar Lampung: AURA, 2020), h. 79.
86
bersama para perempuan di Kenya melakukan gerakan penanaman
pohon (reboisasi) untuk memulihkan kembali kondisi hutan yang rusak.
Menurutnya, apa yang telah diambil dari alam harus dikembalikan
kepada alam.104

Kemudian potret perjuangan kaum perempuan di Indonesia salah


satunya dapat dilihat dari perjuangan Gunarti bersama para
perempuan Samin Desa Sukolilo, Pati, Jawa Tengah . Perjuangan
mereka dalam menyelamatkan Desanya dari ancaman ekspansi
korporasi merupakan contoh perlawanan epik kaum perempuan untuk
mempertahankan hak-haknya. Mereka melawan perusahaan semen
yang ingin melakukan perluasan di atas lahan pertanian warga. Mereka
belajar dari kecamatan Gunem, yang telah merasakan dampak buruk
dari pembangunan pabrik semen. Gunarti menyakini bahwa alam telah
menyediakan segala kebutuhan hidupnya, sehingga bila alam
diganggu keseimbaangannya, maka kehidupannya juga akan
terganggu.105

Selain itu, gerakan kaum perempuan juga dilakukan untuk


menolak ancaman kemiskinan. Hal ini seperti yang dilakukan oleh para
Emak-Emak di Kelurahan Yosomulyo, Kecamatan Metro Pusat, Kota
Metro. Melalui gerakan kolektif Pasar Yosomulyo Pelangi (Payungi),
mereka berupaya menciptakan ekosistem ekonomi kreatif untuk
mendorong tumbuhnya prekonomian lokal yang kuat dan mandiri.
Payungi menjadi ruang bagi warga setempat untuk melakukan
kegiatan ekonomi melalui pasar kreatif yang dibuka setiap hari
Minggu, di mana selama tiga tahun terakhir telah mencatatkan omset
sebesar 6 miliar lebih.106 Mereka juga memiliki kegiatan Pesantren
Wirausaha yang dilaksanakan sekali dalam seminggu guna menambah
pengetahuan warga setempat.

104
Mustika Edi Santosa dkk, Titik Awal Women and Environment Studies (WES) Payungi:
Kompilasi Catatan Tentang Perempuan, (Bandar Lampung: AURA, 2021), h. 102.
105
Dandhy Dwi Laksono, ―Samin vs Semen (Full Movie)‖, dalam film Watchdoc Image,
https://youtu.be/1fJuJ28WZ_Q, ditonton pada tanggal 9 Juli 2020.
106
Payungi didirkan pada 28 Oktober 2018. Dalam setiap gelarannya di hari Minggu jam
06.00-11.00, saat ini ada transaksi masuk sebesar 60-70 juta.
87
Gerakan yang dilakukan oleh kaum perempuan sejauh ini telah
menjadi bukti nyata bahwa mereka memiliki kekuatan dan kemampuan
untuk mandiri. Hal ini sekaligus menjadi kritik keras atas diskriminasi
dan kekerasan yang selama ini sering mereka alami akibat budaya
patriarki (dominasi laki-laki) yang mengakar di kehidupan sosial
masyarakat. Melalui berbagai potret gerakan kaum perempuan
penggerak dalam memperjuangkan kesetaraan atas hak-haknya,
diharapkan akan mampu terus memupuk semangat para perempuan
muda untuk terus bergerak aktif dan kreatif. Apalagi di tengah era
digitalisasi saat ini, celah untuk terjadinya tindak kekerasan terhadap
perempuan semakin luas, sehingga perlu adanya tindakan preventif
dan kehati-hatian. Di mana kaum perempuan harus tetap waspada,
kompak (bergerak kolektif), kreatif, berdikari, serta konsisten dalam
menyuarakan isu-isu gender.

88
Daftar Pustaka

El Abani, Suaad, and Mansour Pourmehdi, ‗Gender and Educational


Differences in Perception of Domestic Violence Against Women
Among Libyan Migrants in Manchester‘, Journal of Interpersonal
Violence, 36.5–6 (2021)
<https://doi.org/10.1177/0886260518760006>
Abou-Shouk, Mohamed A., Maryam Taha Mannaa, and Ahmed
Mohamed Elbaz, ‗Women‘s Empowerment and Tourism
Development: A Cross-Country Study‘, Tourism Management
Perspectives, 37 (2021), 100782
<https://doi.org/10.1016/J.TMP.2020.100782>
Adhikari, Ramesh, ‗Child Marriage and Physical Violence: Results from a
Nationally Representative Study in Nepal‘, Journal of Health
Promotion, 6 (2018) <https://doi.org/10.3126/jhp.v6i0.21804>
Adisa, Toyin Ajibade, Issa Abdulraheem, and Sulu Babaita Isiaka,
‗Patriarchal Hegemony: Investigating the Impact of Patriarchy on
Women‘s Work-Life Balance‘, Gender in Management, 34.1 (2019),
19–33 <https://doi.org/10.1108/GM-07-2018-0095>
Agarwal, Bina, Pervesh Anthwal, and Malvika Mahesh, ‗How Many and
Which Women Own Land in India? Inter-Gender and Intra-Gender
Gaps‘, Journal of Development Studies, 57.11 (2021)
<https://doi.org/10.1080/00220388.2021.1887478>
Ahmad, Muhammad Shakil, and Noraini Bt Abu Talib, ‗Empowering
Local Communities: Decentralization, Empowerment and
Community Driven Development‘, Quality and Quantity, 49.2
(2015) <https://doi.org/10.1007/s11135-014-0025-8>
Aina-Pelemo, Adetutu Deborah, M. C. Mehanathan, and Pradeep
Kulshrestha, ‗Indian Legal Profession and the Sexual Harassment
of Women at Workplace Act‘, Sexuality and Culture, 24.1 (2020)
<https://doi.org/10.1007/s12119-019-09637-z>
Aiyadurai, Ambika, Haripriya Rangan, Amita Baviskar, Sunita Narain,
and Vasudha Pande, ‗The Chipko Movement: A People‘s History‘,
Conservation and Society, 20.1 (2022)
<https://doi.org/10.4103/cs.cs_150_21>
Akinola, Adeoye O., ‗Women, Culture and Africa‘s Land Reform

89
Agenda‘, Frontiers in Psychology, 9.NOV (2018)
<https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.02234>
Albab Al Umar, Ahmad Ulil, Herninda Pitaloka, Eka Resmi Hartati, and
Dessy Fitria, ‗The Economic Impact of the Covid-19 Outbreak :
Evidence from Indonesia‘, Jurnal Inovasi Ekonomi, 5.3 (2020)
<https://doi.org/10.22219/jiko.v5i3.11889>
Alkan, Ömer, Senay Özar, and Seyda Ünver, ‗Economic Violence against
Women: A Case in Turkey‘, PLoS ONE, 16.3 March (2021)
<https://doi.org/10.1371/journal.pone.0248630>
Alkan, Ömer, and Hasan Hüseyin Tekmanlı, ‗Determination of the
Factors Affecting Sexual Violence against Women in Turkey: A
Population-Based Analysis‘, BMC Women‘s Health, 21.1 (2021)
<https://doi.org/10.1186/s12905-021-01333-1>
Aluko, Yetunde A., ‗Patriarchy and Property Rights among Yoruba
Women in Nigeria‘, Feminist Economics, 21.3 (2015)
<https://doi.org/10.1080/13545701.2015.1015591>
Andik Wahyun Muqoyyidin, ‗WACANA KESETARAAN GENDER :
PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER TENTANG GERAKAN
FEMINISME ISLAM‘, Al-Ulum, 13.2 (2013), 491–512
Andika, Mayola, ‗Reinterpretasi Ayat Gender Dalam Memahami Relasi
Laki-Laki Dan Perempuan (Sebuah Kajian Kontekstual Dalam
Penafsiran)‘, Musãwa Jurnal Studi Gender Dan Islam, 17.2 (2019),
137 <https://doi.org/10.14421/musawa.2018.172.137-152>
Andreasen, Maja Brandt, ‗―Rapeable‖ and ―Unrapeable‖ Women: The
Portrayal of Sexual Violence in Internet Memes about #MeToo‘,
Journal of Gender Studies, 30.1 (2021)
<https://doi.org/10.1080/09589236.2020.1833185>
Anup, K. C., Sanjeet Ghimire, and Ankit Dhakal, ‗Ecotourism and Its
Impact on Indigenous People and Their Local Environment: Case
of Ghalegaun and Golaghat of Nepal‘, GeoJournal, 86.6 (2021)
<https://doi.org/10.1007/s10708-020-10222-3>
Anwar, Mohammad Amir, and Mark Graham, ‗Hidden Transcripts of the
Gig Economy: Labour Agency and the New Art of Resistance
among African Gig Workers‘, Environment and Planning A, 52.7
(2020) <https://doi.org/10.1177/0308518X19894584>
Apsan Frediani, Alexandre, Alejandra Boni, and Des Gasper,
‗Approaching Development Projects from a Human Development

90
and Capability Perspective‘, Journal of Human Development and
Capabilities, 2014
<https://doi.org/10.1080/19452829.2013.879014>
Araújo, Ana Valentina Medeiros de, Cristine Vieira do Bonfim, Magaly
Bushatsky, and Betise Mery Alencar Furtado, ‗Technology-
Facilitated Sexual Violence: A Review of Virtual Violence against
Women‘, Research, Society and Development, 11.2 (2022)
<https://doi.org/10.33448/rsd-v11i2.25757>
Arifin, Bondi, Eko Wicaksono, Rita Helbra Tenrini, Irwanda Wisnu
Wardhana, Hadi Setiawan, Sofia Arie Damayanty, and others,
‗Village Fund, Village-Owned-Enterprises, and Employment:
Evidence from Indonesia‘, Journal of Rural Studies, 79 (2020)
<https://doi.org/10.1016/j.jrurstud.2020.08.052>
Arintoko, Arintoko, Abdul Aziz Ahmad, Diah Setyorini Gunawan, and
Supadi Supadi, ‗Community-Based Tourism Village Development
Strategies: A Case of Borobudur Tourism Village Area, Indonesia‘,
Geojournal of Tourism and Geosites, 29.2 (2020)
<https://doi.org/10.30892/gtg.29202-477>
Arnez, Monika, ‗Empowering Women through Islam: Fatayat NU
between Tradition and Change‘, Journal of Islamic Studies, 21.1
(2010) <https://doi.org/10.1093/jis/etp025>
Atkočiuniene, Vilma, and Gintare Vaznoniene, ‗Smart Village
Development Principles and Driving Forces: The Case of Lithuania‘,
European Countryside, 11.4 (2019) <https://doi.org/10.2478/euco-
2019-0028>
Atozou, Baoubadi, Radjabu Mayuto, and Alexis Abodohoui, ‗Review on
Gender and Poverty, Gender Inequality in Land Tenure, Violence
Against Woman and Women Empowerment Analysis: Evidence in
Benin with Survey Data‘, Journal of Sustainable Development,
2017 <https://doi.org/10.5539/jsd.v10n6p137>
Avelino, Flor, Adina Dumitru, Carla Cipolla, Iris Kunze, and Julia
Wittmayer, ‗Translocal Empowerment in Transformative Social
Innovation Networks‘, European Planning Studies, 28.5 (2020)
<https://doi.org/10.1080/09654313.2019.1578339>
Avelino, Flor, Julia M. Wittmayer, Bonno Pel, Paul Weaver, Adina
Dumitru, Alex Haxeltine, and others, ‗Transformative Social
Innovation and (Dis)Empowerment‘, Technological Forecasting

91
and Social Change, 145 (2019)
<https://doi.org/10.1016/j.techfore.2017.05.002>
Ayuwat, Dusadee, and Somsouk Sananikone, ‗Influential Factors Among
Male Population, Which Associated with the Economic Violence
Against Women in Laos‘, Gender Issues, 35.4 (2018)
<https://doi.org/10.1007/s12147-018-9213-5>
Aziz, Erwait, Irwan Abdullah, and Zaenuddin Hudi Prasojo, ‗Why Are
Women Subordinated? The Misrepresentation of the Qur‘an in
Indonesian Discourse and Practice‘, Journal of International
Women‘s Studies, 21.6 (2020), 235–48
Badan Pusat Statistik (BPS), https://www.bps.go.id/, diakses pada 17
September 2022.
Badaruddin, Badaruddin, Kariono Kariono, Ermansyah Ermansyah, and
Lina Sudarwati, ‗Village Community Empowerment through Village
Owned Enterprise Based on Social Capital in North Sumatera‘, Asia
Pacific Journal of Social Work and Development, 31.3 (2021)
<https://doi.org/10.1080/02185385.2020.1765855>
Bahramitash, Roksana, ‗Low-Income Islamic Women, Poverty and the
Solidarity Economy in Iran‘, Middle East Critique, 23.3 (2014)
<https://doi.org/10.1080/19436149.2014.959796>
Banik, Nilanjan, and Milind Padalkar, ‗The Spread of Gig Economy:
Trends and Effects‘, Foresight and STI Governance, 15.1 (2021)
<https://doi.org/10.17323/2500-2597.2021.1.19.29>
Bawono, Anton, ‗Creative Economic Development of Pesantren‘,
Shirkah: Journal of Economics and Business, 3.1 (2019)
<https://doi.org/10.22515/shirkah.v3i1.180>
Baysak, Erensu, Neşe Yorguner, Güler Kandemir, Işık Akyollu Denizman,
and Yıldız Akvardar, ‗Is Early Marriage Practice a Problem for
Women Living in Istanbul? A Qualitative Study‘, Archives of
Women‘s Mental Health, 24.2 (2021)
<https://doi.org/10.1007/s00737-020-01067-3>
BENDAR, AMIN, ‗FEMINISME DAN GERAKAN SOSIAL‘, AL-WARDAH,
13.1 (2020) <https://doi.org/10.46339/al-wardah.v13i1.156>
van den Berg, Pauline, Theo Arentze, and Harry Timmermans, ‗A
Multilevel Analysis of Factors Influencing Local Social Interaction‘,
Transportation, 42.5 (2015) <https://doi.org/10.1007/s11116-015-
9648-4>

92
Boyer-Rechlin, Bethany, ‗Women in Forestry: A Study of Kenya‘s Green
Belt Movement and Nepal‘s Community Forestry Program‘,
Scandinavian Journal of Forest Research, 25.SUPPL. 9 (2010)
<https://doi.org/10.1080/02827581.2010.506768>
Braito, Michael Thomas, Kerstin Böck, Courtney Flint, Andreas Muhar,
Susanne Muhar, and Marianne Penker, ‗Human-Nature
Relationships and Linkages to Environmental Behaviour‘,
Environmental Values, 26.3 (2017)
<https://doi.org/10.3197/096327117X14913285800706>
Brenner, Suzanne April, The Domestication of Desire: Women, Wealth,
and Modernity in Java, The Domestication of Desire: Women,
Wealth, and Modernity in Java, 2012
<https://doi.org/10.2307/2672214>
Brown, Trent, ‗Chipko Legacies: Sustaining an Ecological Ethic in the
Context of Agrarian Change‘, Asian Studies Review, 38.4 (2014)
<https://doi.org/10.1080/10357823.2014.956686>
Buckingham, Susan, ‗Ecofeminism in the Twenty-First Century‘,
Geographical Journal, 170.2 (2004)
<https://doi.org/10.1111/j.0016-7398.2004.00116.x>
Bushra**, Aliya, and Nasra Wajiha***, ‗Assessing Ther Determinants of
Women Empwerment in Pakistan: A Case of Two Colleges of
Lahore‘, Pakistan Journal of Applied Economics, 2013
Cardella, Giuseppina Maria, Brizeida Raquel Hernández-Sánchez, and
José Carlos Sánchez-García, ‗Women Entrepreneurship: A
Systematic Review to Outline the Boundaries of Scientific
Literature‘, Frontiers in Psychology, 11 (2020)
<https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.01557>
Castilla, Emilio J., and Stephen Benard, ‗The Paradox of Meritocracy in
Organizations‘, Administrative Science Quarterly, 55.4 (2010)
<https://doi.org/10.2189/asqu.2010.55.4.543>
Chai-Arayalert, Supaporn, ‗Smart Application of Learning Ecotourism
for Young Eco-Tourists‘, Cogent Social Sciences, 6.1 (2020)
<https://doi.org/10.1080/23311886.2020.1772558>
Chung, Yiyoon, and Seohee Son, ‗No Good Choices: Concealing or
Disclosing Single Motherhood in Korea‘, Social Work Research,
46.2 (2022) <https://doi.org/10.1093/swr/svac002>
Çiçek, Dönüş, Ebru Zencir, and Nazmi Kozak, ‗Women in Turkish

93
Tourism‘, Journal of Hospitality and Tourism Management, 2017
<https://doi.org/10.1016/j.jhtm.2017.03.006>
Cova, Anne, ‗Women‘s Activism and ―Second Wave‖ Feminism:
Transnational Histories‘, Cultural and Social History, 15.2 (2018)
<https://doi.org/10.1080/14780038.2018.1451079>
Daltone, Emma, ‗Sexual Harassment of Women Politicians in Japan‘,
Journal of Gender-Based Violence, 1.2 (2017)
<https://doi.org/10.1332/239868017X15099566627749>
Dandhy Dwi Laksono, ―Samin vs Semen (Full Movie)‖, dalam film
Watchdoc Image, https://youtu.be/1fJuJ28WZ_Q, ditonton pada
tanggal 9 Juli 2020.
Dasgupta, Partha, ‗The Nature of Economic Development and the
Economic Development of Nature‘, Economic and Political Weekly,
48.51 (2013) <https://doi.org/10.2139/ssrn.2352914>
Davidescu, Adriana Anamaria, Simona Andreea Apostu, Andra
Madalina Pantilie, and Bogdan Florian Amzuica, ‗Romania‘s South-
Muntenia Region, towards Sustainable Regional Development.
Implications for Regional Development Strategies‘, Sustainability
(Switzerland), 12.14 (2020) <https://doi.org/10.3390/su12145799>
Dawiyatun, Dawiyatun, ‗PENDIDIKAN TRANSFORMATIF‘, Islamuna:
Jurnal Studi Islam, 2017
<https://doi.org/10.19105/islamuna.v4i2.1592>
DeLap, Kayleigh Q., ‗From Root to Tree: Wangari Maathai‘s Green Belt
Movement-The Grassroots Approach to Addressing Human Rights
Violations‘, Environmental Claims Journal, 25.2 (2013)
<https://doi.org/10.1080/10406026.2013.782251>
Development Bank, Asian, ‗The Economic Impact of the COVID-19
Outbreak on Developing Asia‘, 9.128 (2020)
<https://doi.org/10.22617/BRF200096>
Đurić Kuzmanović, Tatjana, and Ana Pajvančić-Cizelj, ‗Economic
Violence against Women: Testimonies from the Women‘s Court in
Sarajevo‘, European Journal of Women‘s Studies, 27.1 (2020)
<https://doi.org/10.1177/1350506818802425>
Dutta, Sagnik, ‗Becoming Equals: The Meaning and Practice of Gender
Equality in an Islamic Feminist Movement in India‘, Feminist
Theory, 2021 <https://doi.org/10.1177/14647001211023641>
Dzuhayatin, Siti Ruhaini, ‗Gender Glass Ceiling in Indonesia:

94
Manifestation, Roots and Theological Breakthrough‘, Al-Jami‘ah,
58.1 (2020), 209–40 <https://doi.org/10.14421/AJIS.2020.581.209-
240>
Effendi, Tadjudin Noer, ‗Budaya Gotong Royong Masyarakat Dalam
Perubahan Sosial Saat Ini‘, Jurnal Pemikiran Sosiologi, 2016
<https://doi.org/10.22146/jps.v2i1.23403>
Emana, Bezabih, Cooperatives: A Path to Economic and Social
Empowerment in Ethiopia, International Organization, 2009
Essers, Caroline, and Deirdre Tedmanson, ‗Upsetting ―Others‖ in the
Netherlands: Narratives of Muslim Turkish Migrant
Businesswomen at the Crossroads of Ethnicity, Gender and
Religion‘, Gender, Work and Organization, 21.4 (2014)
<https://doi.org/10.1111/gwao.12041>
Fadlan, ‗Islâm , Feminisme , Dan Konsep Kesetaraan Gender Dalam Al-
Qur ‘ Ân‘, Jurnal Karsa, 2011
Fang, Wei Ta, Ching Yu Lien, Yueh Wen Huang, Guosheng Han, Guey
Shin Shyu, Jui Yu Chou, and others, ‗Environmental Literacy on
Ecotourism: A Study on Student Knowledge, Attitude, and
Behavioral Intentions in China and Taiwan‘, Sustainability
(Switzerland), 10.6 (2018) <https://doi.org/10.3390/su10061886>
Fattore, Gisel Lorena, Leila D. Amorim, Letícia Marques dos Santos,
Darci Neves dos Santos, and Mauricio Lima Barreto, ‗Experiences
of Discrimination and Skin Color Among Women in Urban Brazil: A
Latent Class Analysis‘, Journal of Black Psychology, 46.2–3 (2020)
<https://doi.org/10.1177/0095798420928204>
Fauroni, R Lukman, and Mujahid Quraisy, ‗Pesantren Agility in
Community Economic Development‘, Muqtasid: Jurnal Ekonomi
Dan Perbankan Syariah, 10.2 (2019)
<https://doi.org/10.18326/muqtasid.v10i2.155-168>
Flint, Courtney G., Iris Kunze, Andreas Muhar, Yuki Yoshida, and
Marianne Penker, ‗Exploring Empirical Typologies of Human-
Nature Relationships and Linkages to the Ecosystem Services
Concept‘, Landscape and Urban Planning, 120 (2013)
<https://doi.org/10.1016/j.landurbplan.2013.09.002>
Folarin, Sheriff F, Associate Prof Oluwakemi, and D Udoh, ‗BEIJING
DECLARATION AND WOMEN‘S PROPERTY RIGHTS IN NIGERIA‘,
European Scientific Journal, 10.34 (2014)

95
Folke, Olle, Johanna Rickne, Seiki Tanaka, and Yasuka Tateishi, ‗Sexual
Harassment of Women Leaders‘, Daedalus, 149.1 (2020)
<https://doi.org/10.1162/DAED_a_01781>
Freedman, Jane, ‗Sexual and Gender-Based Violence against Refugee
Women: A Hidden Aspect of the Refugee ―Crisis‖‘, Reproductive
Health Matters, 24.47 (2016)
<https://doi.org/10.1016/j.rhm.2016.05.003>
Gaard, Greta, ‗Ecofeminism and Climate Change‘, Women‘s Studies
International Forum, 49 (2015)
<https://doi.org/10.1016/j.wsif.2015.02.004>
Garcia-Moreno, Claudia, and Heidi Stöckl, ‗Violence against Women‘, in
International Encyclopedia of Public Health, 2016
<https://doi.org/10.1016/B978-0-12-803678-5.00483-5>
Glas, Saskia, Niels Spierings, and Peer Scheepers, ‗Re-Understanding
Religion and Support for Gender Equality in Arab Countries‘,
Gender and Society, 32.5 (2018)
<https://doi.org/10.1177/0891243218783670>
Gyimah-Brempong, Kwabena, ‗Education and Economic Development
in Africa‘, African Development Review, 23.2 (2011)
<https://doi.org/10.1111/j.1467-8268.2011.00282.x>
Hannan, Abd, ‗Santripreneurship and Local Wisdom: Economic Creative
of Pesantren Miftahul Ulum‘, Shirkah: Journal of Economics and
Business, 4.2 (2019) <https://doi.org/10.22515/shirkah.v4i2.267>
Hansen, Teis, ‗The Foundational Economy and Regional Development‘,
Regional Studies, 56.6 (2022)
<https://doi.org/10.1080/00343404.2021.1939860>
Hardianto, Willy Tri, Sumartono, M. R.Khairul Muluk, and Fefta Wijaya,
‗PentaHelix Synergy on Tourism Development in Batu, East Java‘,
International Journal of Innovation, Creativity and Change, 10.6
(2019)
Haryanti, Novi Diah, ‗KONSTRUKSI GENDER PADA NOVEL PEREMPUAN
BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQI‘, Dialektika:
Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pendidikan Bahasa Dan Sastra
Indonesia, 2.2 (2016)
<https://doi.org/10.15408/dialektika.v2i2.3629>
den Heyer, Molly, Eric Smith, and Catherine Irving, ‗Tracing the Link
Between Transformative Education and Social Action Through

96
Stories of Change‘, Journal of Transformative Education, 19.4
(2021) <https://doi.org/10.1177/15413446211045165>
Hidayah, Nur, ‗Reinterpretasi Hak-Hak Ekonomi Perempuan Dalam
Islam‘, AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah, 17.1 (2014), 85–96
<https://doi.org/10.15408/ajis.v17i1.1245>
Hidayati, Nurul, ‗BEBAN GANDA PEREMPUAN BEKERJA (Antara
Domestik Dan Publik)‘, Muwazah, 2015
Hjelm, Titus, ‗Empowering Discourse: Discourse Analysis as Method and
Practice in the Sociology Classroom‘, Teaching in Higher
Education, 18.8 (2013)
<https://doi.org/10.1080/13562517.2013.795940>
Hunt, Kathleen P., ‗―It‘s More Than Planting Trees, It‘s Planting Ideas‖:
Ecofeminist Praxis in the Green Belt Movement‘, Southern
Communication Journal, 79.3 (2014)
<https://doi.org/10.1080/1041794X.2014.890245>
Ibrahim, Sulaiman, ‗Hukum Domestikasi Dan Kepemimpinan
Perempuan Dalam Keluarga‘, Al-Ulum, 2013
Igwe, Paul Agu, Chinedu Ochinanwata, Nonso Ochinanwata, Jonathan
Olufemi Adeyeye, Isaac Monday Ikpor, Sanita Ekwutosi Nwakpu,
and others, ‗Solidarity and Social Behaviour: How Did This Help
Communities to Manage COVID-19 Pandemic?‘, International
Journal of Sociology and Social Policy, 40.9–10 (2020)
<https://doi.org/10.1108/IJSSP-07-2020-0276>
Indra, Hasbi, ‗Pesantren and Entrepreneurship Education‘, EDUKASI:
Jurnal Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan, 17.2 (2019)
<https://doi.org/10.32729/edukasi.v17i2.600>
Istiqomah, Wiwiek Rabiatul Adawiyah, Agung Praptapa, Poppy Dian
Indira Kusuma, and Zahrotush Sholikhah, ‗Promoting Local
Potential as a Strategy to Develop Tourism Village‘, Geojournal of
Tourism and Geosites, 31.3 (2020)
<https://doi.org/10.30892/gtg.31324-547>
Jabeen, Neelam, ‗Women, Land, Embodiment: A Case of Postcolonial
Ecofeminism‘, Interventions, 22.8 (2020)
<https://doi.org/10.1080/1369801X.2020.1753556>
Jauhari, Alka, ‗India-Pakistan Relations: International Implications‘, Asian
Social Science, 9.1 (2012) <https://doi.org/10.5539/ass.v9n1p42>
Joo, Dongoh, Kyle Maurice Woosnam, Marianna Strzelecka, and B.

97
Bynum Boley, ‗Knowledge, Empowerment, and Action: Testing the
Empowerment Theory in a Tourism Context‘, Journal of
Sustainable Tourism, 28.1 (2020)
<https://doi.org/10.1080/09669582.2019.1675673>
Kamal, Mohammad Arif, ‗Assessment of Traditional Architecture of
Lucknow with Reference to Climatic Responsiveness‘, Architecture
and Engineering, 6.1 (2021) <https://doi.org/10.23968/2500-0055-
2021-6-1-19-31>
Kamaludin, Mohammed Faiz, Jesrina Ann Xavier, and Muslim Amin,
‗Social Entrepreneurship and Sustainability: A Conceptual
Framework‘, Journal of Social Entrepreneurship, 2021
<https://doi.org/10.1080/19420676.2021.1900339>
Kamaruddin, Zuraidah, ‗Involvement of Women in Economy: An
Explication from the Islamic Perspective‘, Revista Gestão Inovação
e Tecnologias, 11.2 (2021)
<https://doi.org/10.47059/revistageintec.v11i2.1729>
Khalid, Shahrukh, Muhammad Shakil Ahmad, T. Ramayah, Jinsoo
Hwang, and Insin Kim, ‗Community Empowerment and Sustainable
Tourism Development: The Mediating Role of Community Support
for Tourism‘, Sustainability (Switzerland), 11.22 (2019)
<https://doi.org/10.3390/su11226248>
Kia, Zakia, ‗Ecotourism in Indonesia: Local Community Involvement and
The Affecting Factors‘, Journal of Governance and Public Policy,
8.2 (2021) <https://doi.org/10.18196/jgpp.v8i2.10789>
Kim, Chang Hee, and Yong Beom Choi, ‗How Meritocracy Is Defined
Today?: Contemporary Aspects of Meritocracy‘, Economics and
Sociology, 10.1 (2017) <https://doi.org/10.14254/2071-
789X.2017/10-1/8>
Kim, Jinyoung, Jong Wha Lee, and Kwanho Shin, ‗Gender Inequality and
Economic Growth in Korea‘, Pacific Economic Review, 23.4 (2018)
<https://doi.org/10.1111/1468-0106.12181>
Klasen, Stephan, ‗Low Schooling for Girls, Slower Growth for All? Cross-
Country Evidence on the Effect of Gender Inequality in Education
on Economic Development‘, World Bank Economic Review, 16.3
(2002) <https://doi.org/10.1093/wber/lhf004>
Kluger, Lotta C., Philipp Gorris, Sophia Kochalski, Miriam S. Mueller, and
Giovanni Romagnoni, ‗Studying Human–Nature Relationships

98
through a Network Lens: A Systematic Review‘, People and Nature,
2.4 (2020) <https://doi.org/10.1002/pan3.10136>
Knight, David W., and Stuart P. Cottrell, ‗Evaluating Tourism-Linked
Empowerment in Cuzco, Peru‘, Annals of Tourism Research, 2016
<https://doi.org/10.1016/j.annals.2015.11.007>
Koontz, Tomas M., ‗Collaboration for Sustainability? A Framework for
Analyzing Government Impacts in Collaborative-Environmental
Management‘, Sustainability: Science, Practice and Policy, 2.1
(2006) <https://doi.org/10.1080/15487733.2006.11907974>
Kopnina, Helen, ‗Education for the Future? Critical Evaluation of
Education for Sustainable Development Goals‘, Journal of
Environmental Education, 51.4 (2020)
<https://doi.org/10.1080/00958964.2019.1710444>
Kushandajani, Kushandajani, ‗Social and Economic Empowerment for
Village Women as a Strategy of Village Development‘, The
Indonesian Journal of Planning and Development, 4.1 (2019)
<https://doi.org/10.14710/ijpd.4.1.1-6>
Lamphere, Louise, ‗Feminism in Anthropology‘, in International
Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences: Second Edition,
2015 <https://doi.org/10.1016/B978-0-08-097086-8.12192-0>
Lange, Elizabeth A., ‗Transformative and Restorative Learning: A Vital
Dialectic for Sustainable Societies‘, Adult Education Quarterly,
2004 <https://doi.org/10.1177/0741713603260276>
Leong, Carmen, Shan L. Pan, Shamshul Bahri, and Ali Fauzi, ‗Social
Media Empowerment in Social Movements: Power Activation and
Power Accrual in Digital Activism‘, European Journal of
Information Systems, 28.2 (2019)
<https://doi.org/10.1080/0960085X.2018.1512944>
Li, Yurui, Pengcan Fan, and Yansui Liu, ‗What Makes Better Village
Development in Traditional Agricultural Areas of China? Evidence
from Long-Term Observation of Typical Villages‘, Habitat
International, 83 (2019)
<https://doi.org/10.1016/j.habitatint.2018.11.006>
Lin, Zhongxuan, and Liu Yang, ‗Individual and Collective Empowerment:
Women‘s Voices in the #MeToo Movement in China‘, Asian
Journal of Women‘s Studies, 25.1 (2019)
<https://doi.org/10.1080/12259276.2019.1573002>

99
Littlewood, David, and Diane Holt, ‗Social Entrepreneurship in South
Africa: Exploring the Influence of Environment‘, Business and
Society, 57.3 (2018)
<https://doi.org/10.1177/0007650315613293>
Liu, Ting, Liuna Geng, Lijuan Ye, and Kexin Zhou, ‗―Mother Nature‖
Enhances Connectedness to Nature and pro-Environmental
Behavior‘, Journal of Environmental Psychology, 61 (2019)
<https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2018.12.003>
Luka, Amos Y., ‗Hindu-Muslim Relations in Kashmir: A Critical
Evaluation‘, HTS Teologiese Studies / Theological Studies, 77.4
(2021) <https://doi.org/10.4102/HTS.V77I4.6227>
Luthfiyah, Nafsiyatul, ‗FEMINISME ISLAM DI INDONESIA‘, ESENSIA:
Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 2015
<https://doi.org/10.14421/esensia.v16i1.988>
Maathai, Wangari, Green Belt Movement: Sharing the Approach and
the Experience, Book, 2004, IV
Mackey, April, and Pammla Petrucka, ‗Technology as the Key to
Women‘s Empowerment: A Scoping Review‘, BMC Women‘s
Health, 21.1 (2021) <https://doi.org/10.1186/s12905-021-01225-
4>
Madeira, Ana Filipa, Rui Costa-Lopes, John F. Dovidio, Gonçalo Freitas,
and Mafalda F. Mascarenhas, ‗Primes and Consequences: A
Systematic Review of Meritocracy in Intergroup Relations‘,
Frontiers in Psychology, 10 (2019)
<https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.02007>
Mahjoub, Nabeela Husni, ‗Women ‘ s Empowerment‘, Saudi Gazette,
2016
Malik, Radosław, Anna Visvizi, and Małgorzata Skrzek‑lubasińska, ‗The
Gig Economy: Current Issues, the Debate, and the New Avenues of
Research‘, Sustainability (Switzerland), 13.9 (2021)
<https://doi.org/10.3390/su13095023>
Marhumah, Marhumah, ‗The Roots of Gender Bias: Misogynist Hadiths
in Pesantrens‘, Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies,
2015 <https://doi.org/10.18326/ijims.v5i2.283-304>
Mastika, I. Ketut, and Umar Nimran, ‗Destination Branding Model of an
Ecological Tourism Village in Bali, Indonesia‘, Geojournal of
Tourism and Geosites, 31.3 (2020)

100
<https://doi.org/10.30892/gtg.31319-542>
McCall, Chanel Emily, and Kevin Frank Mearns, ‗EMPOWERING WOMEN
THROUGH COMMUNITY-BASED TOURISM IN THE WESTERN
CAPE, SOUTH AFRICA‘, Tourism Review International, 45.2–3
(2021) <https://doi.org/10.3727/154427221X16098837279967>
McLaughlin, Heather, Christopher Uggen, and Amy Blackstone, ‗The
Economic and Career Effects of Sexual Harassment on Working
Women‘, Gender and Society, 31.3 (2017)
<https://doi.org/10.1177/0891243217704631>
Messeter, Jörn, ‗Social Media Use as Urban Acupuncture for
Empowering Socially Challenged Communities‘, Journal of Urban
Technology, 22.3 (2015)
<https://doi.org/10.1080/10630732.2015.1040291>
Michaelson, Marc, ‗Wangari Maathai and Kenya‘s Green Belt
Movement: Exploring the Evolution and Potentialities of
Consensus Movement Mobilization‘, Social Problems, 41.4 (1994)
<https://doi.org/10.1525/sp.1994.41.4.03x0271k>
Mustika Edi Santosa, Pembangunan Ekonomi Desa: Esai-Esai
Pemberdayaan, Potensi, dan Gerakan Masyarakat di Desa, (Bandar
Lampung: AURA, 2020), h. 79.
Mustika Edi Santosa dkk, Titik Awal Women and Environment Studies
(WES) Payungi: Kompilasi Catatan Tentang Perempuan, (Bandar
Lampung: AURA, 2021), h. 102.
Nadim, Showkot Jahan, and Adie Dwiyanto Nurlukman, ‗The Impact of
Women Empowerment on Poverty Reduction in Rural Area of
Bangladesh: Focusing on Village Development Program‘, Journal
of Government and Civil Society, 2017
Newman, Benjamin J., Christopher D. Johnston, and Patrick L. Lown,
‗False Consciousness or Class Awareness? Local Income Inequality,
Personal Economic Position, and Belief in American Meritocracy‘,
American Journal of Political Science, 59.2 (2015)
<https://doi.org/10.1111/ajps.12153>
Norberg, Cathrine, and Maria Johansson, ‗―Women and ‗Ideal‘ Women‖:
The Representation of Women in the Construction Industry‘,
Gender Issues, 38.1 (2021) <https://doi.org/10.1007/s12147-020-
09257-0>
Núñez, Rosa Belén Castro, Pablo Bandeira, and Rosa Santero-Sánchez,

101
‗The Social Economy, Gender Equality Atwork and the 2030
Agenda: Theory and Evidence from Spain‘, Sustainability
(Switzerland), 12.12 (2020) <https://doi.org/10.3390/su12125192>
Organisation for Economic Co‑operation & Development, Skills for a
Digital World, Policy Brief on the Future of Work, 2016
<https://doi.org/10.1787/5jlwz83z3wnw-en>
Pan, Yuan, ‗Human–Nature Relationships in East Asian Animated Films‘,
Societies, 10.2 (2020) <https://doi.org/10.3390/soc10020035>
Pande, Rekha, ‗The History of Feminism and Doing Gender in India‘,
Revista Estudos Feministas, 26.3 (2018)
<https://doi.org/10.1590/1806-9584-2018v26n358567>
Paul, L. A., and John Quiggin, ‗Transformative Education‘, Educational
Theory, 2020 <https://doi.org/10.1111/edth.12444>
Pavolová, Henrieta, Tomáš Bakalár, Elsanosi Mohamed Abdelhafiez
Emhemed, Zuzana Hajduová, and Martin Pafčo, ‗Model of
Sustainable Regional Development with Implementation of
Brownfield Areas‘, Entrepreneurship and Sustainability Issues, 6.3
(2019) <https://doi.org/10.9770/jesi.2019.6.3(2)>
Perugini, Cristiano, and Marko Vladisavljević, ‗Gender Inequality and
the Gender-Job Satisfaction Paradox in Europe‘, Labour
Economics, 60 (2019)
<https://doi.org/10.1016/j.labeco.2019.06.006>
Pitot, Marika A., Marney A. White, Elizabeth Edney, Monique A.
Mogensen, Agnieszka Solberg, Taj Kattapuram, and others, ‗The
Current State of Gender Discrimination and Sexual Harassment in
the Radiology Workplace: A Survey‘, Academic Radiology, 29.3
(2022) <https://doi.org/10.1016/j.acra.2021.01.002>
Poteyeva, Margarita, and Gabriela Wasileski, ‗Domestic Violence against
Albanian Immigrant Women in Greece: Facing Patriarchy‘, Social
Sciences, 5.3 (2016) <https://doi.org/10.3390/socsci5030037>
Purnomo, Singgih, Endang Siti Rahayu, Asri Laksmi Riani, Suminah
Suminah, and Udin Udin, ‗Empowerment Model for Sustainable
Tourism Village in an Emerging Country‘, Journal of Asian Finance,
Economics and Business, 7.2 (2020)
<https://doi.org/10.13106/jafeb.2020.vol7.no2.261>
Putra, Trisna, ‗A REVIEW ON PENTA HELIX ACTORS IN VILLAGE
TOURISM DEVELOPMENT AND MANAGEMENT‘, Journal of

102
Business on Hospitality and Tourism, 5.1 (2019)
<https://doi.org/10.22334/jbhost.v5i1.150>
Putro, S P, ‗Ecotourism Development Strategy at Minapolitan Area of
Menayu Village, Magelang District, Central Java, Indonesia‘,
Journal of Physics: Conference Series, 2019
<https://doi.org/10.1088/1742-6596/1217/1/012139>
Qamar, Mavra, M. Anne Harris, and Jordan L. Tustin, ‗The Association
Between Child Marriage and Domestic Violence in Afghanistan‘,
Journal of Interpersonal Violence, 37.5–6 (2022)
<https://doi.org/10.1177/0886260520951310>
Qin, Xiaofei, Yurui Li, Zhi Lu, and Wei Pan, ‗What Makes Better Village
Economic Development in Traditional Agricultural Areas of China?
Evidence from 338 Villages‘, Habitat International, 106 (2020)
<https://doi.org/10.1016/j.habitatint.2020.102286>
Raharja, I. Gede Mugi, ‗Ethics and Responsibilities Preserving
Traditional Balinese Architectural Values in the Global Era‘, Cultura.
International Journal of Philosophy of Culture and Axiology, 18.2
(2021)
Rego, Richard, ‗Changing Forms and Platforms of Misogyny: Sexual
Harassment of Women Journalists on Twitter‘, Media Watch, 9.3
(2018) <https://doi.org/10.15655/mw/2018/v9i3/49480>
Reimer, Suzanne, ‗―It‘s Just a Very Male Industry‖: Gender and Work in
UK Design Agencies‘, Gender, Place & Culture, 23.7 (2016)
<https://doi.org/10.1080/0966369x.2015.1073704>
Reynolds, Jeremy, and He Xian, ‗Perceptions of Meritocracy in the Land
of Opportunity‘, Research in Social Stratification and Mobility, 36
(2014) <https://doi.org/10.1016/j.rssm.2014.03.001>
Ridwan, Ahmad, and Emy Susanti, ‗Subordination of Women and
Patriarchal Gender Relations at Islamic Poor Community‘,
Masyarakat, Kebudayaan Dan Politik, 2019
<https://doi.org/10.20473/mkp.v32i22019.159-167>
Ridwanullah, Ade Iwan, and Dedi Herdiana, ‗Optimalisasi
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Masjid‘, Ilmu Dakwah:
Academic Journal for Homiletic Studies, 2018
<https://doi.org/10.15575/idajhs.v12i1.2396>
Rozmarin, Miri, ‗Feminism, Time, and Nonlinear History‘, European
Journal of Cultural and Political Sociology, 5.4 (2018)

103
<https://doi.org/10.1080/23254823.2018.1446777>
Ruslan, Ismail, ‗Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Berbasis Masjid Di
Pontianak‘, Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies, 2012
Rwafa, Urther, ‗Culture and Religion as Sources of Gender Inequality:
Rethinking Challenges Women Face in Contemporary Africa‘,
Journal of Literary Studies, 32.1 (2016)
<https://doi.org/10.1080/02564718.2016.1158983>
Sacco, Lisa N., ‗The Violence Against Women Act: Overview, Legislation,
and Federal Funding‘, in Federal Action on Rape, Sexual Assault,
and Domestic Violence, 2015
Samargandi, Nahla, Md Al Mamun, Kazi Sohag, and Maha Alandejani,
‗Women at Work in Saudi Arabia: Impact of ICT Diffusion and
Financial Development‘, Technology in Society, 59 (2019)
<https://doi.org/10.1016/j.techsoc.2019.101187>
Sands, Roberta G., and Kathleen E. Nuccio, ‗Mother-Headed Single-
Parent Families: A Feminist Perspective‘, Affilia, 4.3 (1989)
<https://doi.org/10.1177/088610998900400303>
Saner, Raymond, and Lichia Yiu, ‗Jamaica‘s Development of Women
Entrepreneurship: Challenges and Opportunities‘, Public
Administration and Policy, 22.2 (2019)
<https://doi.org/10.1108/pap-09-2019-0023>
Santero-Sanchez, Rosa, Mónica Segovia-Pérez, Belen Castro-Nuñez,
Cristina Figueroa-Domecq, and Pilar Talón-Ballestero, ‗Gender
Differences in the Hospitality Industry: A Job Quality Index‘,
Tourism Management, 2015
<https://doi.org/10.1016/j.tourman.2015.05.025>
Scheyvens, R, ‗Promoting Women‘s Empowerment through
Involvement in Ecotourism: Experiences from the Third World‘,
Journal of Sustainable Tourism, 8.3 (2000), 232–49
<https://doi.org/10.1080/09669580008667360>
Segovia-Pérez, Mónica, Cristina Figueroa-Domecq, Laura Fuentes-
Moraleda, and Ana Muñoz-Mazón, ‗Incorporating a Gender
Approach in the Hospitality Industry: Female Executives‘
Perceptions‘, International Journal of Hospitality Management, 76
(2019) <https://doi.org/10.1016/j.ijhm.2018.05.008>
Selamat, Nor Hafizah, and Noraida Endut, ‗―Bargaining with Patriarchy‖
and Entrepreneurship: Narratives of Malay Muslim Women

104
Entrepreneurs in Malaysia‘, Kajian Malaysia, 38 (2020)
<https://doi.org/10.21315/KM2020.38.S1.2>
———, ‗―Bargaining with Patriarchy‖ and Entrepreneurship: Narratives
of Malay Muslim Women Entrepreneurs in Malaysia‘, Kajian
Malaysia, 38 (2020), 11–31
<https://doi.org/10.21315/KM2020.38.S1.2>
Selod, Saher, ‗Citizenship Denied: The Racialization of Muslim American
Men and Women Post-9/11‘, Critical Sociology, 2015
<https://doi.org/10.1177/0896920513516022>
Sen, Gita, ‗Gender Equality and Women‘s Empowerment: Feminist
Mobilization for the SDGs‘, Global Policy, 10 (2019)
<https://doi.org/10.1111/1758-5899.12593>
Servant-Miklos, Virginie, and Liesbeth Noordegraaf-Eelens, ‗Toward
Social-Transformative Education: An Ontological Critique of Self-
Directed Learning‘, Critical Studies in Education, 62.2 (2021)
<https://doi.org/10.1080/17508487.2019.1577284>
Seymour, Valentine, ‗The Human-Nature Relationship and Its Impact on
Health: A Critical Review‘, Frontiers in Public Health, 2016
<https://doi.org/10.3389/FPUBH.2016.00260>
Shin, Wonchul, ‗Mama, Keep Walking for Peace and Justice: Gender
Violence and Liberian Mothers‘ Interreligious Peace Movement‘,
Religions, 2020 <https://doi.org/10.3390/rel11070323>
Shiva, V., and J. Bandyopadhyay, ‗The Evolution, Structure, and Impact
of the Chipko Movement.‘, Mountain Research & Development,
6.2 (1986) <https://doi.org/10.2307/3673267>
Singh, Amit, ‗Conflict between Freedom of Expression and Religion in
India-A Case Study‘, Social Sciences, 7.7 (2018)
<https://doi.org/10.3390/socsci7070108>
Smith, Adrian, Mariano Fressoli, and Hernán Thomas, ‗Grassroots
Innovation Movements: Challenges and Contributions‘, Journal of
Cleaner Production, 63 (2014)
<https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2012.12.025>
Smulders, Sharon, ‗―Information and Inspiration‖: Wangari Maathai, the
Green Belt Movement and Children‘s Eco-Literature‘, International
Research in Children‘s Literature, 2016
<https://doi.org/10.3366/ircl.2016.0180>
SteelFisher, Gillian K., Mary G. Findling, Sara N. Bleich, Logan S. Casey,

105
Robert J. Blendon, John M. Benson, and others, ‗Gender
Discrimination in the United States: Experiences of Women‘,
Health Services Research, 54.S2 (2019)
<https://doi.org/10.1111/1475-6773.13217>
Stone, L., ‗Feminism‘, in International Encyclopedia of Education, 2010
<https://doi.org/10.1016/B978-0-08-044894-7.00558-3>
Stylidis, Dimitrios, Avital Biran, Jason Sit, and Edith M. Szivas, ‗Residents‘
Support for Tourism Development: The Role of Residents‘ Place
Image and Perceived Tourism Impacts‘, Tourism Management, 45
(2014) <https://doi.org/10.1016/j.tourman.2014.05.006>
Stypinska, Justyna, and Konrad Turek, ‗Hard and Soft Age
Discrimination: The Dual Nature of Workplace Discrimination‘,
European Journal of Ageing, 14.1 (2017)
<https://doi.org/10.1007/s10433-016-0407-y>
Sulaiman, Adhi Iman, Chusmeru Chusmeru, and Masrukin Masrukin,
‗Strategy of Cooperative Islamic Boarding School As Economic
Empowerment Community‘, INFERENSI: Jurnal Penelitian Sosial
Keagamaan, 12.1 (2018) <https://doi.org/10.18326/infsl3.v12i1.25-
44>
Sultana, Abeda, ‗Patriarchy and Women‘s Subordination: A Theoretical
Analysis‘, Arts Faculty Journal, 2012
<https://doi.org/10.3329/afj.v4i0.12929>
Sumarto, Rumsari Hadi, Sumartono, Khairul R.K. Muluk, and
Muhammad Nuh, ‗Penta-Helix and Quintuple-Helix in the
Management of Tourism Villages in Yogyakarta City‘, Australasian
Accounting, Business and Finance Journal, 14.1 Special Issue
(2020) <https://doi.org/10.14453/aabfj.v14i1.5>
Suminar, Tri, Emmy Budiartati, and Dewi Anggraeni, ‗The Effectiveness
of a Women‘s Empowerment Model through Social
Entrepreneurship Training to Strengthen a Tourism Village
Program‘, International Journal of Innovation, Creativity and
Change, 5.5 (2019), 324–38
Sumner, Andy, Chris Hoy, and Eduardo Ortiz-Juarez, ‗Estimates of the
Impact of COVID-19 on Global Poverty‘, UNU WIDER Working
Paper 2020/43, 2020
Suparta, Mundzier, ‗Pendidikan Transformatif Menuju Masyarakat
Demokratis‘, ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman, 2014

106
<https://doi.org/10.15642/islamica.2013.7.2.406-425>
Suryahadi, Asep, Ridho Al Izzati, and Daniel Suryadarma, ‗Estimating
the Impact of Covid-19 on Poverty in Indonesia*‘, Bulletin of
Indonesian Economic Studies, 2020
<https://doi.org/10.1080/00074918.2020.1779390>
Suski, Laura, ‗The Global Women‘s Movement: Origins, Issues and
Strategies‘, Canadian Journal of Development Studies / Revue
Canadienne d‘études Du Développement, 2007
<https://doi.org/10.1080/02255189.2007.9669195>
Talitha, Tessa, Tommy Firman, and Delik Hudalah, ‗Welcoming Two
Decades of Decentralization in Indonesia: A Regional
Development Perspective‘, Territory, Politics, Governance, 8.5
(2020) <https://doi.org/10.1080/21622671.2019.1601595>
Tang, Catherine So Kum, Day Wong, and Fanny Mui Ching Cheung,
‗Social Construction of Women as Legitimate Victims of Violence
in Chinese Societies‘, Violence Against Woman, 8.8 (2002)
<https://doi.org/10.1177/107780102400447096>
Thapa Karki, Shova, and Mirela Xheneti, ‗Formalizing Women
Entrepreneurs in Kathmandu, Nepal: Pathway towards
Empowerment?‘, International Journal of Sociology and Social
Policy, 38.7–8 (2018) <https://doi.org/10.1108/IJSSP-12-2017-
0166>
Tronick, Ed, Miguel Barbosa, Marina Fuertes, and Marjorie Beeghly,
‗Social Interaction‘, in The Curated Reference Collection in
Neuroscience and Biobehavioral Psychology, 2016
<https://doi.org/10.1016/B978-0-12-809324-5.23629-8>
Udoh, Oluwakemi D., Sheriff F. Folarin, and Victor A. Isumonah, ‗The
Influence of Religion and Culture on Women‘s Rights to Property
in Nigeria‘, Cogent Arts and Humanities, 7.1 (2020)
<https://doi.org/10.1080/23311983.2020.1750244>
Utomo, Hardi, Sony Heru Priyanto, Lieli Suharti, and Gatot Sasongko,
‗Developing Social Entrepreneurship: A Study of Community
Perception in Indonesia‘, Entrepreneurship and Sustainability
Issues, 7.1 (2019) <https://doi.org/10.9770/jesi.2019.7.1(18)>
Vannelli, K, ‗Community Participation in Ecotourism and Its Effect on
Local Perceptions of Snow Leopard (Panthera Uncia)
Conservation‘, Human Dimensions of Wildlife, 2019, 180–93

107
<https://doi.org/10.1080/10871209.2019.1563929>
Vieira, Pâmela Rocha, Leila Posenato Garcia, and Ethel Leonor Noia
Maciel, ‗The Increase in Domestic Violence during the Social
Isolation: What Does It Reveals?‘, Revista Brasileira de
Epidemiologia, 23 (2020) <https://doi.org/10.1590/1980-
549720200033>
Villavicencio Calzadilla, Paola, and Louis J. Kotzé, ‗Living in Harmony
with Nature? A Critical Appraisal of the Rights of Mother Earth in
Bolivia‘, Transnational Environmental Law, 2018
<https://doi.org/10.1017/S2047102518000201>
Walker, Richard, ‗Value and Nature: Rethinking Capitalist Exploitation
and Expansion‘, Capitalism, Nature, Socialism, 28.1 (2017)
<https://doi.org/10.1080/10455752.2016.1263674>
Walker, Sarah Jane Lilley, Marianne Hester, Duncan McPhee, Demi
Patsios, Anneleise Williams, Lis Bates, and others, ‗Rape, Inequality
and the Criminal Justice Response in England: The Importance of
Age and Gender‘, Criminology and Criminal Justice, 21.3 (2021)
<https://doi.org/10.1177/1748895819863095>
Warren, Karen, ‗Feminism and Ecology: Making Connections‘,
Environmental Ethics, 1987
<https://doi.org/10.5840/enviroethics19879113>
Watts, Charlotte, and Cathy Zimmerman, ‗Violence against Women:
Global Scope and Magnitude‘, Lancet, 2002
<https://doi.org/10.1016/S0140-6736(02)08221-1>
Weller, Scott, and Bing Ran, ‗Social Entrepreneurship: The Logic of
Paradox‘, Sustainability (Switzerland), 12.24 (2020)
<https://doi.org/10.3390/su122410642>
de Wet, Annamagriet, and Glynis Parker, ‗Communities in Conversation:
Opportunities for Women and Girls‘ Self-Empowerment‘, Gender
and Development, 22.1 (2014)
<https://doi.org/10.1080/13552074.2014.889341>
Węziak-Białowolska, Dorota, Piotr Białowolski, and Eileen McNeely,
‗The Impact of Workplace Harassment and Domestic Violence on
Work Outcomes in the Developing World‘, World Development,
126 (2020) <https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2019.104732>
Widayanti, Sri, and Siti Muawanah, ‗PESANTREN AND SOCIAL
EMPOWERMENT: A STUDY OF ITS IMPLEMENTATION PROCESS‘,

108
Al-Qalam, 2021 <https://doi.org/10.31969/alq.v27i1.943>
Widianto, Ahmad Arif, ‗Islam Dan Praktik Pemberdayaan Perempuan:
Studi Terhadap Implementasi Nilai-Nilai Islam Dalam
Pemberdayaan Perempuan Oleh Yayasan Sahabat Ibu Di
Yogyakarta)‘, Asketik, 1.2 (2018), 69–78
<https://doi.org/10.30762/ask.v1i2.519>
WONDIRAD, Amare, Denis Tolkach, and Brian King, ‗Stakeholder
Collaboration as a Major Factor for Sustainable Ecotourism
Development in Developing Countries‘, Tourism Management, 78
(2020) <https://doi.org/10.1016/j.tourman.2019.104024>
Yang, Jianchun, Jialian Wang, Lei Zhang, and Xiaohong Xiao, ‗How to
Promote Ethnic Village Residents‘ Behavior Participating in
Tourism Poverty Alleviation: A Tourism Empowerment
Perspective‘, Frontiers in Psychology, 11 (2020)
<https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.02064>
Yeganeh, Hamid, ‗A Cross-National Investigation into the Effects of
Religion on Gender Equality‘, International Journal of Sociology
and Social Policy, 2021 <https://doi.org/10.1108/IJSSP-10-2020-
0479>
Yu, Chia Pin, Shu Tian Cole, and Charles Chancellor, ‗Resident Support
for Tourism Development in Rural Midwestern (USA)
Communities: Perceived Tourism Impacts and Community Quality
of Life Perspective‘, Sustainability (Switzerland), 10.3 (2018)
<https://doi.org/10.3390/su10030802>
Zdon-Korzeniowska, Małgorzata, and Monika Noviello, ‗The Wooden
Architecture Route as an Example of a Regional Tourism Product
in Poland‘, Sustainability (Switzerland), 11.18 (2019)
<https://doi.org/10.3390/su11185128>
Zenn, Jacob, and Elizabeth Pearson, ‗Women, Gender and the Evolving
Tactics of Boko Haram‘, Journal of Terrorism Research, 2014
<https://doi.org/10.15664/jtr.828>
Zhang, Zhibin, ‗Crowding Out Meritocracy? - Cultural Constraints in
Chinese Public Human Resource Management‘, in Australian
Journal of Public Administration, 2015, LXXIV
<https://doi.org/10.1111/1467-8500.12146>

109
TENTANG PENULIS

Dharma Setyawan, Lahir di Lampung 29 Mei


1988. Founder Payungi.org yang bergerak dalam
pemberdayaan masyarakat dan sosial
entrepreneurship yaitu Pasar Yosomulyo Pelangi
(Payungi), Payungi University, Pesantren
Wirausaha, Sekolah Desa, Women &
Environment Studies, Kampung Bahasa,
Kampung Kopi dan lainnya. Dharma juga aktif
sebagai Dosen di FEBI IAIN Metro.

Mustika Edi Santosa, Lahir di Lampung 23 April


1996. Ia merupakan Sekretaris GenPI (Generasi
Pesona Indonesia) provinsi Lampung serta aktif
menjadi Penggerak Pasar Yosomulyo Pelangi
(Payungi) dan Payungi University. Ia juga
produktif dalam menulis beberapa buku seperti
Buku Saku Sekolah Desa, Pembangunan
Ekonomi Desa, Pemberdayaan Ekonomi
Perempuan, Buku Saku Penggerak Ekonomi
Wisata, dan Titik Awal.

110
CATATAN

…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………..

111

Anda mungkin juga menyukai