Penyusun:
FAKULTAS KEDOKTERAN
MEDAN
2023
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………………………...1
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….......22
BAB I
PENDAHULUAN
1
Pengendalian TB di Indonesia menerapkan strategi Directly Observed Treatment
Short Course (DOTS) yang dilakukan dengan mengawasi dan mendukung pasien
untuk minum obat antituberkulosis (OAT) sehingga mencapai target keberhasilan
pengobatan4.
Terapi OAT membutuhkan waktu yang relatif panjang dengan dua tahap
pengobatan, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. Pengobatan harus adekuat dan
umumnya obat diberikan dalam bentuk paduan OAT yang mengandung 4 jenis
obat. OAT lini pertama terdiri dari isoniazid (H), rifampisin (R), etambutol (E),
pirazinamid (Z), dan streptomisin (S). Kategori I terdiri dari dua bulan kombinasi
dosis tetap (KDT) HRZE dan empat bulan KDT HR+S yang diberikan pada
pasien baru1. Sedangkan pengobatan pada TB RO (Tuberkulosis Resisten Obat)
membutuhkan lebih banyak jenis obat serta jangka waktu yang lebih lama5.
Morbiditas dan mortalitas penyakit TB merupakan permasalahan yang serius,
terutama akibat munculnya efek samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 6.
Sebanyak 69,01 penderita mengalami efek samping OAT. Pengobatan dengan
kombinasi obat dapat mencegah resistensi namun dapat meningkatkan terjadinya
efek samping obat (ESO)7. Efek samping yang terjadi dapat berupa efek samping
Mayor seperti kemerahan pada kulit, tuli, pusing, hepatitis, gangguan penglihatan
dan syok. Sedangkan efek samping minor dapat berupa tidak nafsu makan, nyeri
sendi, rasa terbakar, kebas atau kesemutan, mengantuk warna kemerahan pada
urine5.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamdouni menunjukkan dari 2532
pasien TB yang diobati rata-rata usia 16-37 tahun. 10% mengalami efek samping,
diantaranya adalah gastrointestinal (7,4%), kulit (3,7%), hati (2%), articular
(1,14%), imunoalergi (1,07%), neuropsikiatri (0,7%) dan ocular (0,1%) 8. Efek
samping yang dialami tersebut akan berdampak pada kepatuhan berobat pasien
dan bahkan dapat berakibat putus berobat (loss to follow-up) dari pengobatan.
Pada karya tulis ilmiah ini akan membahas tentang tatalaksana efek samping
pengobatan TB.
2
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan dan penyusunan karya tulis ilmiah adalah untuk
menambah ilmu dan lebih memahami mengenai tatalaksana efek samping
pengobatan TB. Tujuan penulisan lainnya yaitu memenuhi persyaratan
pelaksanaan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Jenis-jenis OAT lini pertama yang digunakan di Indonesia adalah sebagai
berikut:
Tabel 1.1 Jenis OAT5
5
imun host. Oleh karena itu sangat penting memilih asam mikolat sebagai target
obat5.
Mekanisme kerja obat
Mekanisme kerja utama dari isoniazid adalah dengan berfokus pada
pembentukan berbagai senyawa reaktif yaitu Reactive Oxygen Species (ROS).
Setelah isoniazid beredar dalam aliran darah, isoniazid akan berdifusi secara pasif
masuk ke dalam tubuh bakteri, yang mana bentuk tidak aktif dari isoniazid akan
diaktifkan oleh MnCl2 dan enzim katalase-peroksidase. Enzim ini juga berfungsi
untuk melawan kadar pH rendah ketika terjadi proses oksidatf yang mengubah
radikal bebas oksigen menjadi H2O2 di dalam fagosom. Proses ini juga mengubah
isoniazid menjadi bentuk aktifnya, dimana bentuk aktifnya ini akan berikatan
dengan NADH di sisi aktif protein InhA. Kompleks ini akan mengahmbat
elongasi dari rantai terakhir asam lemak dan karenanya pembentukan asam
mikolat dan dinding sel pun terhambat, sehingga juga menyebabkan
deoksiribonucleotida acid (DNA) bakteri rusak, dan kemudian bakteri tersebut
akan mati. Kerja dari isoniazid sangat penting di minggu pertama pengobatan
terutama pada bakteri yang cepat membelah. Pada bakteri yang lambat tumbuh,
obat ini bekerja sebagai bakterisidal5.
Farmakokinetik
Isoniazid diabsorbsi di traktus gastrointestinal, setelah diminum oral.
Konsentrasi plasma tertinggi dicapai 1-2 jam setelah konsumsi. Jika dikonsumsi
bersama makanan, maka bioavailabilitasnya akan berkurang. Sebagian besar
beredar di dalam cairan, termasuk serebrospinal, kulit, sputum, paru, saliva, dan
otot. Metabolisme utamanya adalah mengalami asetilasi di hepar, melewati
beberapa proses dan diubah menjadi zat aktif oleh enzim mikrosomal hepatik.
Metabolit aktif ini dapat menyebabkan hepatotoksisitas 10. Isoniazid diekskresikan
dalam bentuk utuh dan metabolit melalui ginjal, dan juga lewat air susu ibu.
Selain itu sebagian kecil diekskresi melalui saliva, sputum, dan feses. Asetilator
cepat: 30-100 menit. Asetilator lambat: 2-5 jam. Waktu puncak konsentrasi
serum, secara oral dalam 1-2 jam. Eliminasi 75% sampai 95% diekskresikan
6
dalam urin sebagai obat. Waktu paruh isoniazid bervariasi dari 1-4 jam pada
orang normal, dan memanjang pada gagal ginjal atau gagal hati5.
Indikasi
B. Rifampisin
Rifampisin adalah salah satu OAT yang paling efektif, bersama dengan
isoniazid, merupakan regimen dasar dari pengobatan tuberkulosis. Rifampisin ini
aktif melawan bakteri yang tumbuh dengan cepat maupun yang tumbuh dengan
lambat5.
Mekanisme kerja obat
Rifampisin dapat dengan mudah berdifusi masuk menyebrangi membran
sel karena karakteristik lipofiliknya. Aktivitas bakterisidal obat ini bergantung
pada kemampuan obat ini untuk menghambat transkripsi ribonucleotida acid
(RNA). Mekanisme kerja obat ini adalah dengan berikatan pada beta subunit dari
DNA dependent –RNA Polimerase (RNAP) yang bergantung pada DNA sehingga
menghambat transkripsi messenger RNA (mRNA). Komplek ikatan enzim dan
obat ini menghambat inisiasi pembentukan rantai RNA dan juga elongasinya 9.
Dosis 10 mg\kgBB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3
kali seminggu12.
Farmakokinetik
Bioavailabilitas rifampisin diperkirakan mencapai 90-95% karena
bentuknya yang siap diabsorbsi lewat traktus gastrointestinal. Kadar plasma
7
tertinggi dari rifampisin dicapai setelah 2-4 jam sejak masuk lewat oral.
Konsumsinya bersama makanan akan memperlambat tetapi tidak menurunkan
absorbsi obat. Waktu paruh dari rifampisin adalah 1,5-5 jam dan memanjang pada
kerusakan hati. Sekitar 60-90% obat berikatan dengan protein plasma dan
didistribusikan ke organ-organ dan cairan tubuh seperti ke paru, hepar, empedu,
dan urin. Dan sebanyak 60-80% obat ini dimetabolisme di hepar. Sebagian kecil
dari obat ini dimetabolisme menjadi formilrifampin yang memiliki efek
bakterisidal 10%. Sekitar 15-30% obat dikeluarkan melalui ginjal dan hanya 7%
dari obat ini yang dibuang lewat urin dalam bentuk aslinya. Sekitar 60-65% dari
obat ini dibuang melalui empedu dan feses9.
Indikasi
C. Pirazinamid
Pirazinamid adalah analog nikotamid yang penting diberikan sebagai OAT
lini pertama bersama isoniazid dan rifampisin untuk pengobatan tuberkulosis.
Pirazinamid membunuh 95% populasi dari mikroorganisme semi dormant yang
hanya aktif pada suasana asam5.
Mekanisme kerja obat
Pirazinamid bekerja secara bakteriostatik. Pirazinamid dalam bentuk
prodrug akan dikonversi menjadi asam pirazinoat oleh enzim piramidase bakteri.
Asam pirazinoat dan analognya 5-kloro-pirazinamid dapat menghambat sintesis
asam lemak dari bakteri (FAS I). FAS I adalah terlibat dalam sintesis asam
mycolic rantai pendek merupakan komponen struktural penting dari dinding sel
mikobakteri dan melekat ke lapisan arabinogalactan. Pirazinamid mengganggu
lalu lintas energi dan transport di membran bakteri. Akumulasi dari asam
8
pirazinoat di dalam kondisi asam akan mengasamkan sitoplasma dan merusak sel
bakteri. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg\kg BB, sedangkan untuk pengobatan
intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg\kg BB13.
Farmakokinetik
Pirazinamid dapat diabsorbsi dengan baik di traktus gastrointestinal. Rata-
rata waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar maksimal di darah adalah 1,6
jam. Sedangkan waktu paruhnya adalah sekitar 10-20 jam. Pirazinamid dapat
didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan, termasuk hepatobilier, paru,
dan ginjal. Pirazinamid juga dapat masuk secara sempurna ke dalam cairan
serebrospinal. Volume total distribusi di tubuh obat ini mencapai 1,57- 1,84l/kg.
Kadar obat yang berikatan dengan plasma rendah. Pirazinamid ini dihidrolisa oleh
enzim deamidase mikrosomal menjadi asam pirazinoat, sebuah metabolit aktif,
dan kemudian dihidroksilasi oleh enzim xanthine oksidase menjadi asam 5-
hidropirazinoat. Ekskresi pirazinamid sebagian besar dalam bentuk metabolit.
Dalam 72 jam, sekitar 3% dalam bentuk pirazinamid yang tetap, 33% asam
pirazinoat, dan 36% dalam bentuk metabolit lain diekskresikan melalui urin 9.
Indikasi
D. Etambutol
Etambutol adalah agen antimycobacterial yang termasuk dalam
ethylaminobutan. Etambutol efektif bekerja melawan Mycobacterium tuberculosis
tetapi tidak efektif melawan jamur, virus, dan bakteri lain5.
Mekanisme kerja obat
9
Etambutol bekerja sebagai bakteriostatik melawan bakteri tuberkulosis dan
bakteri yang resisten terhadap agen antimycobacterial lainnya. Mekanisme kerja
dari etambutol adalah menghambat sintesis metabolit penting dari metabolisme
sel dan multiplikasi bakteri dengan menghambat pembentukan asam mikolat dan
dinding sel. Penghambatan sintesis dinding sel dilakukan dengan menghambat
arabinosyl transferases yang terlibat dalam sintesis arabinogalactan merupakan
komponen struktural penting dari dinding sel mikobakteri. Hal ini kemudian
mengakibatkan permeabilitas dinding sel bakteri meningkat sehingga
menyebabkan kematian sel 4. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg\kgBB
sedangkan untuk pengobatan untuk intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis
30 mg\kgBB12.
Farmakokinetik
Etambutol dapat diabsrobsi dengan baik secara oral. Kadar dalam plasma
tertinggi dapat mencapai 4mg/l dan dicapai dalam 2-4 jam setelah konsumsi
sebanyak 15mg/kgBB. Volume distribusi dapat mencapai 39% dan berikatan
dengan protein plasma sebanyak 25%. Distribusinya luas ke seluruh tubuh kecuali
sistem saraf pusat. Penggunaan bersama dengan makanan akan mempengaruhi
absorpsinya di traktus gastrointestinal. Kadar dalam darah pada anak-anak lebih
rendah dari pada orang dewasa. Metabolisme obat ini terjadi di hepar, dimana
obat ini diubah menjadi bentuk metabolit aldehida tidak aktif dan asam
karboksilat. Ekskresi dari etambutol sebanyak 50-70% melalui ginjal, sehingga
ekskresi obat ini akan lebih lambat pada orang dengan gangguan ginjal9.
Indikasi
10
E. Streptomisin
Streptomisin berasal dari isolasi Streptomyces griseus. Antibiotik ini
termasuk ke dalam kelompok obat aminoglikosida. Penggunaan streptomisin
seringkali diganti dengan penggunaan etambutol, sebab absorbsi oral dan
toksisitas streptomisin lebih buruk daripada etambutol5.
Mekanisme kerja obat
Streptomisin adalah aminoglikosida yang aktif melawan basil aktif yang
sedang tumbuh, terutama basil tuberkel ekstraseluler. Cara kerja dari antibiotik
ini adalah dengan menghambat inisiasi dari translasi untuk sintesis protein. Lebih
spesifik, streptomisin bekerja dengan mengikat subunit 30S dari ribosom pada
protein ribosomal S12 dan rantai rRNA 16 yang dikode gen rpsL dan rrs. Kedua
kode gen yang sering menimbulkan resistensi. Ikatan streptomisin inilah yang
kemudian menghambat pembentukan polipeptida sehingga proses translasi pun
terhambat5.
Farmakokinetik
Streptomisin didistribusikan keseluruh jaringan dan cairan tubuh kecuali
otak, hanya sejumlah kecil yang masuk kedalam cairan serebrospinal, dan
biasanya penetrasinya ke cairan serebrospinal akan meningkat jika terjadi
inflamasi pada selaput otak. Streptomisin juga dapat melintasi plasenta dan
sejumlah kecil muncul di ASI5.
Waktu paruh dari streptomicin pada dewasa 2-3 jam, sedangkan pada bayi
baru lahir, orangtua maupun pasien dengan gagal ginjal waktu paruh akan
memanjag. Waktu puncak konsentrasi serum, secara IM dalam 1-2 jam. Eliminasi
streptomisin mencapai 30%-90% dari dosis dan diekskresikan dalam bentuk utuh
dan dikeluarkan melalui urin dengan sejumlah kecil (1%) diekskresikan melalui
empedu, saliva, keringat dan air mata 16.
Indikasi
11
Sebagai kombinasi pada pengobatan TB bersama isoniazid, rifampisin,
dan pirazinamid, atau untuk penderita yang dikontraindikasi dengan 2 atau lebih
obat kombinasi tersebut17.
Kontraindikasi
12
bersamaan dengan isoniazid dapat mencegah defisiensi piridoksin dan karenanya
mencegah neuropati yang diinduksi isoniazid18.
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simptomatis adalah19 :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil, dan nyeri tulang.
- Sindrom dispepsia berupa sakit perut, mual, penurunan nafsu makan,
muntah, diare.
Gejala ini muncul tergantung pada dosis, tetapi patofisiologi munculnya gejala ini
masih belum dapat dijelaskan secara pasti19.
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi adalah :
- Hepatitis imbas dari metabolisme obat dan ikterik, bila terjadi maka OAT
harus diberhentikan sementara.
- Purpura, anemia hemolitik akut.
Trombositopenia yang diinduksi rifampisin disebabkan oleh adanya antibodi anti-
rifampisin. Antibodi ini memperbaiki komplemen pada trombosit adanya
rifampisin yang mengakibatkan kerusakan trombosit20.
- Gagal ginjal.
Mekanisme gagal ginja,l terkait rifampisin tidak diketahui dengan baik. Beberapa
penelitian menunjukkan reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III yang diinduksi
oleh antigen rifampisin di mana antibodi anti-rifampisin membentuk kompleks
imun yang tersimpan di pembuluh ginjal, endotelium glomerulus, dan area
interstisial21.
Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan
jangan diberikan lagi meskipun gejala telah menghilang.
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas.
- Rifampisin dapat menyebabkan warna kemerahan pada air seni, keringat,
air mata, dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses
metabolisme obat dan tidak berbahaya9.
13
3. Pirazinamid
Efek samping berat yang dapat terjadi adalah hepatitis imbas obat
(penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga
dapat terjadi dan dapat diatasi dengan pemberian antinyeri, misalnya aspirin.
Terkadang dapat terjadi serangan artritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan
penurunan ekskresi dan penimbunan asam urat. Terkadang terjadi reaksi demam,
mual, kemerahan, dan reaksi kulit yang lain5.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa penurunan
ketajaman penglihatan dan buta warna merah dan hijau. Namun gangguan
penglihatan tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, sangat jarang terjadi
pada penggunaan dosis 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam
beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan
pada anak karena risiko kerusakan saraf okuler sulit untuk dideteksi, terutama
pada anak yang kurang kooperatif5.
Sementara mekanisme pasti dari efek neurotoksik Etambutol pada saraf optik
tidak diketahui, diyakini bahwa efek pengkelat logam dari obat ini mungkin
bertanggung jawab. Satu teori mengatakan bahwa khelasi tembaga mengganggu
fosforilasi oksidatif, karena tembaga lebih sedikit tersedia di mitokondria
manusia. Teori lain adalah bahwa khelasi seng menghambat aktivasi lisosom.
Selain itu, dalam penelitian pada hewan pada saraf optik tikus, defisiensi seng
telah dikaitkan dengan kerusakan proliferasi sel mielin dan glial, menunjukkan
bahwa mungkin ada efek serupa pada manusia. Selain itu, penggunaan Etambutol
yang lama telah terbukti berhubungan dengan defisiensi vitamin E dan vitamin B1
yang dapat memperburuk neuropati optik22.
14
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Streptomisin secara selektif akan
menghancurkan sel-sel rambut yang berada di membran basilar, yang diperlukan
untuk pendengaran frekuensi tinggi. Oleh karena itu pasien yang menggunakan
streptomisin biasanya dimulai dengan kehilangan pendengaran frekuensi tinggi
terlebih dahulu, kemudian berkembang menjadi frekuensi lebih rendah yang
berkaitan dengan pengucapan saat berkomunikasi23.
Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan
dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada
pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang dapat
dirasakan adalah telinga berdenging (tinitus), pusing, dan kehilangan
keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau
dosisnya dikurangi. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan dapat berlanjut
dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli) .Reaksi hipersensitivitas kadang
terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah, dan
eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti
kesemutan sekitar mulut dan telinga berdenging dapat terjadi segera setelah
suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gram.
Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada
perempuan hamil karena dapat merusak fungsi pendengaran janin5.
15
2.2 Pendekatan berdasarkan gejala untuk penatalaksanaan efek samping
OAT
Pendekatan berdasarkan gejala digunakan untuk penatalaksanaan efek
samping umum, yaitu efek samping mayor dan minor. Pada umumnya, pasien
yang mengalami efek samping minor sebaiknya tetap melanjutkan pengobatan TB
dan diberikan pengobatan simptomatis. Apabila pasien mengalami efek samping
berat (mayor), OAT penyebab dapat dihentikan dan pasien segera dirujuk ke pusat
kesehatan yang lebih besar atau dokter paru untuk mendapatkan tatalaksana
selanjutnya5.
16
Tatalaksana: Hentikan Rifampisin
- Penurunan jumlah urin
Obat penyebab: Streptomisin
Tatalaksana: Hentikan Streptomisin5
17
2.3 Tatalaksana Reaksi Kutaneus dan Alergi
Apabila terjadi reaksi gatal tanpa kemerahan dan tidak ada penyebab lain,
maka pengobatan yang direkomendasikan adalah obat simptomatis seperti
menggunakan antihistamin. Pengobatan dengan OAT dapat diteruskan dengan
mengobservasi pasien. Apabila terjadi kemerahan pada kulit maka OAT harus
dihentikan. Jika reaksi tersebut sudah berkurang dan sembuh maka OAT dapat
dicoba satu per satu, dimulai dengan OAT yang jarang menimbulkan reaksi
alergi5.
Urutan OAT dan dosis yang dianjurkan sesuai dengan peluang menimbulkan
reaksi alergi adalah:
1. Isoniazid
a. Hari ke-1: 50 mg
b. Hari ke-2: 300 mg
c. Hari ke-3 dan seterusnya: 300 mg
2. Rifampisin
a. Hari ke-4: 75 mg
b. Hari ke-5: 300 mg
c. Hari ke-6 dan seterusnya: dosis penuh
3. Pirazinamid
a. Hari ke-7: 250 mg
b. Hari ke-8: 1000 mg
c. Hari ke-9 dan seterusnya: dosis penuh
4. Etambutol
a. Hari ke-10: 100 mg
b. Hari ke-11: 500 mg
c. Hari ke-12 dan seterusnya: dosis penuh
Jika pada proses reintroduksi ditemukan obat yang menyebabkan alergi, maka
obat tersebut harus dihentikan5.
Proses desensitisasi obat merupakan pilihan yang dapat diambil terutama jika
pasien alergi terhadap obat lini pertama dan lini kedua atau jika tidak ada pilihan
18
lain yang lebih baik. Desensitisasi obat dikontraindikasikan pada reaksi
hipersentivitas yang tidak dimediasi oleh IgE, misalnya pada reaksi Sindrom
Steven-Johnson5.
Proses desensitisasi obat dilakukan tergantung pada derajat berat-ringannya
reaksi alergi yang terjadi. Jika reaksi alergi yang terjadi derajat ringan, maka dapat
dilakukan desensitisasi dengan eskalasi dosis per hari (single step daily dose
escalation) 5. Misalnya:
1. Hari ke-1: Rifampisin 150 mg
2. Hari ke-2: Rifampisin 150 mg
3. Hari ke-3: Rifampisin 300 mg
4. Hari ke-4: Rifampisin 600 mg
5. Hari ke-5: Rifampisin 600 mg + Isoniazid 100 mg
6. Hari ke-6: Rifampisin 600 mg + Isoniazid 100 mg
7. Hari ke-7: Rifampisin 600 mg + Isoniazid 200 mg
8. Hari ke-8: Rifampisin 600 mg + Isoniazid 300 mg
9. Dan seterusnya hingga didapatkan regimen yang diinginkan5
Jika reaksi alergi yang dialami berat, maka dapat dimulai dengan dosis yang
jauh lebih kecil dan dinaikkan bertahap beberapa kali dalam satu hari (multi-step
daily dose escalation) 5.
Tabel 2.1. Contoh dosis desensitisasi Rifampisin5
19
2.4 Tatalaksana Hepatitis Imbas Obat
Sangat penting untuk mencari penyebab lain hepatitis sebelum
memutuskan terjadi diagnosis hepatitis imbas obat. Informasi medis yang perlu
digali sebelum menegakkan diagnosis hepatitis imbas obat adalah5:
Riwayat konsumsi alkohol
Riwayat penyakit liver sebelumnya
Uji laboratorium untuk menyingkirkan adanya hepatitis A, B, dan C
Ultrasonografi abdomen untuk menyingkirkan adanya gangguan di sistem
bilier
Tatalaksana hepatitis imbas obat tergantung pada:
Fase pengobatan TB (tahap awal atau lanjutan)
Beratnya gangguan pada hepar
Beratnya penyakit TB
Kemampuan atau kapasitas pelayanan kesehatan dalam tatalaksana efek
samping akibat OAT
Pengobatan TB dihentikan sampai fungsi hepar kembali normal (ditandai
dengan kembalinya nilai SGPT hingga kurang dari dua kali batas atas nilai
normal) dan gejala klinis (mual atau nyeri perut) menghilang. Apabila tidak
memungkinkan untuk melakukan tes fungsi hepar, maka sebaiknya menunggu 2
minggu setelah kuning atau jaundice dan nyeri/tegang perut menghilang sebelum
diberikan OAT kembali5.
Apabila hepatitis imbas obat telah teratasi maka dapat dilakukan
reintroduksi OAT beruturan satu persatu sesuai dengan rekomendasi American
Thoracic Society5.
1. Pemberian obat sebaiknya dimulai dengan Rifampisin dengan atau tanpa
etambutol.
2. Setelah 3-7 hari dan dibuktikan tidak terdapat peningkatan SGPT, maka
Isoniazid dapat diberikan.
20
3. Jika pada proses reintroduksi terdapat peningkatan SGPT, maka obat
terakhir yang direintroduksi merupakan penyebab hepatitis imbas obat dan
harus dihentikan.
4. Pada pasien dengan riwayat hepatitis imbas obat yang berat dan dapat
menoleransi Rifampisin dan Isoniazid, Pirazinamid tidak perlu dicoba
untuk direintroduksi.
Regimen alternatif tergantung pada OAT yang tidak dapat digunakan
karena menyebabkan hepatitis pada pasien tersebut.
Beberapa pilihan regimen non hepatotoksik:
Diberikan 9 bulan Isoniazid dan Rifampisin dengan tambahan Etambutol
hingga uji kepekaan obat Rifampisin dan Isoniazid dipastikan sensitif.
Diberikan bulan Isoniazid, Rifampisin, Streptomisin, dan Etambutol
dilanjutkan dengan 6 bulan Rifampisin dan Isoniazid
Diberikan 6 – 9 bulan Rifampisin, Pirazinamid,dan Etambutol
Diberikan 2 bulan Isoniazid, Etambutol, dan Streptomisin. Dilanjutkan
dengan 20 bulan Isoniazid + Etambutol
Diberikan 18 – 24 bulan Streptomisin, Etambutol, dan Florokuinolon
21
BAB III
KESIMPULAN
22
DAFTAR PUSTAKA
23
10. LiverTox:Clinical and Research Information on Drug-Induced Liver
Injury [Internet]. Bethesda (MD): National Institute of Diabetes and
Digestive and Kidney Diseases; 2012-. Isotretinoin. [Updated 2020 Nov
10].
11. MARLINAE, Lenie, et al. Desain Kemandirian Pola Perilaku Kepatuhan
Minum Obat Pada Penderita TB Anak Berbasis Android. 2019.
12. Utami, sri; pratiwi, rosaria ika; santoso, joko. Evaluasi penggunaan obat
anti tuberkulosis paru rawat jalan di rsud dr. M. Ashari pemalang. 2021.
PhD Thesis. Politeknik Harapan Bersama Tegal.
13. Tri, fendi. Pengetahuan keluarga dalam pelaksanaan fungsi keluarga
pada penderita tb paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Babadan Kabupaten
Ponorogo. 2019. PhD Thesis. Universitas Muhammadiyah Ponorogo
14. SENIANTARA, I. Kadek; IVANA, Theresia; ADANG, Yohana
Gabrilinda. Pengaruh efek samping OAT (obat anti tuberculosis) terhadap
kepatuhan minum obat pada pasien TBC di puskesmas. Jurnal
Keperawatan Suaka Insan (JKSI), 2018, 3.2: 1-12
15. SUPIT, Fabiola. Tuberkulosis Okular. MEDICINUS, 2022, 35.2: 54-61
16. Mohan A, Bhatnagar A, Gupta T, Ujjalkumar D, Kanswal S, Velpandian
T, Guleria R, Singh U B. 2022. Early pharmacokinetic evaluation of anti-
tubercular treatment as a good indicator of treatment success in pulmonary
tuberculosis patients on a retreatment regimen. Journal of Pharmaceutical
Investigation. 52, 489-499
17. FITRIA, Anggraini Dwi Ayu. Hubungan polifarmasi dengan interaksi
obat pada pasien tuberkulosis. 2022. Phd thesis. Universitas dr. Soebandi.
18. Snider DE. Pyridoxine supplementation during isoniazid therapy. Tubercle
(1980). 61:191-196
19. Calaquian LL, De A. Rifampin-Associated Flu-Like Syndrome in a Patient
Undergoing Treatment for a Device-Related Infection. Cureus. 2020 Dec
28;12(12):e12336. doi: 10.7759/cureus.12336. PMID: 33520532; PMCID:
PMC7837647
24
20. Dixit R, George J, Sharma AK. Thrombocytopenia due to rifampicin.
Lung India. 2012 Jan;29(1):90-2. doi: 10.4103/0970-2113.92380. PMID:
22345930; PMCID: PMC3276051
21. Ata, F, Magboul, HMB, Toba, HAA, et al. Rifampin-induced acute kidney
injury and hemolysis: A case report and literature review of a rare
condition. Clin Case Rep. 2022; 10:e06780. doi:10.1002/ccr3.6780
22. Berry, S., & Lee, A. G. (2017). Ethambutol optic neuropathy. Current
Opinion in Ophthalmology, 28(6), 545-551.
doi:10.1097/ICU.0000000000000416
23. Seddon J A, Godfrey-Faussett P, Jacobs K, Ebrahim A, Hesseling A C,
Schaaf H S. 2012. Hearing loss in patients on treatment for drug-resistant
tuberculosis. European Respiratory Journal. 40(5), 1277-1286
24. Ata, F, Magboul, HMB, Toba, HAA, et al. Rifampin-induced acute kidney
injury and hemolysis: A case report and literature review of a rare
condition. Clin Case Rep. 2022; 10:e06780. doi:10.1002/ccr3.6780
25