Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

Tatalaksana Efek Samping Pengobatan TB

Penyusun:

Alfred Johnatan Panjaitan (220131005)

Asima Rodiarta Sirait (220131189)

Oktaviani Karo Sekali (220131201)

KEPANITERAAN KLINIK RS PENDIDIKAN USU

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2023
Daftar Isi

BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………………………...1

1.1 Latar Belakang………………………………………………………….. 1

1.2 Tujuan Penulisan………………………………………………………... 3

1.3 Manfaat Penulisan……………………………………………………….3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………...5

2.1 Pengobatan Tuberkulosis dan Efek Samping……………………………4

2.1.1 Prinsip Pengobatan Tuberkulosis…………………………………...4

2.1.2 Karakteristik OAT Lini Pertama……………………………………6

2.1.3 Efek Samping OAT………………………………………………..10

2.2 Pendekatan Berdasarkan Gejala Untuk Penatalaksanaan Efek Samping


OAT……………………………………………………………………13

2.2.1 Efek Samping Mayor…………..………………………………….13

2.2.2 Efek Samping Minor………………………………………………15

2.3 Tatalaksana Reaksi Kutaneus dan Alergi………………………………...16

2.4 Tatalaksana Hepatitis Imbas Obat………………………………………..18

BAB III KESIMPULAN………………………………………………………..21

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….......22
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat
tahan asam sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian
besar kuman TB sering ditemukan menginfeksi parenkim paru dan menyebabkan
TB paru, namun bakteri ini juga memiliki kemampuan menginfeksi organ tubuh
lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra
paru lainnya. Transmisi terjadi ketika penderita melepaskan bakteri ke udara saat
batuk, bersin ataupun meludah yang kemudian akan menyerang organ paru-paru
dan dapat menyerang organ lainnya. Gejala umum TB paru-paru aktif adalah batu
berdahak dan terkadang batuk bercampur darah, sesak nafas, nyeri dada,
penurunan berat badan, demam dan berkeringat pada malam hari. Berdasarkan
data WHO 2020 secara global diperkirakan ada sekitar 10 juta orang yang jatuh
sakit dan total 1,5 juta orang meninggal dunia karena TB. Jumlah kasus terbanyak
adalah pada regio Asia Tenggara (44%), Afrika (25%) dan regio Pasifik Barat
(18%)1. Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus TB terbanyak kedua
(8,5%) setelah India (26%).
Berdasarkan data Global Tuberculosis Report tahun 2021, estimasi kasus TB
di Indonesia sekitar 824.000 kasus dan kasus TB termotifikasi sebesar 568.987, 67
masuk dalam cakupan pengobatan. Terdapat 70.341 kasus TB anak, 12.015 kasus
TB HIV, 11.463 orang terkonfirmasi TB MDR/RR, sekitar 83% tingkat
keberhasilan pengobatan serta 12.469 orang meninggal akibat TB 2. Secara global
insiden TB menurun sekitar 2% per tahun dan secara kumulatif berkurang
sebanyak 11% antara tahun 2015-2020. Indonesia termasuk negara yang
berkontribusi besar kedua setelah India terhadap penurunan kasus global yakni
sebanyak 14% antara tahun 2019-20203.
Pengendalian TB oleh WHO menerapkan End TB Strategy dengan tujuan
penurunan 90% kematian dan penurunan 80% tingkat kejadian TB di tahun 2030.

1
Pengendalian TB di Indonesia menerapkan strategi Directly Observed Treatment
Short Course (DOTS) yang dilakukan dengan mengawasi dan mendukung pasien
untuk minum obat antituberkulosis (OAT) sehingga mencapai target keberhasilan
pengobatan4.
Terapi OAT membutuhkan waktu yang relatif panjang dengan dua tahap
pengobatan, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. Pengobatan harus adekuat dan
umumnya obat diberikan dalam bentuk paduan OAT yang mengandung 4 jenis
obat. OAT lini pertama terdiri dari isoniazid (H), rifampisin (R), etambutol (E),
pirazinamid (Z), dan streptomisin (S). Kategori I terdiri dari dua bulan kombinasi
dosis tetap (KDT) HRZE dan empat bulan KDT HR+S yang diberikan pada
pasien baru1. Sedangkan pengobatan pada TB RO (Tuberkulosis Resisten Obat)
membutuhkan lebih banyak jenis obat serta jangka waktu yang lebih lama5.
Morbiditas dan mortalitas penyakit TB merupakan permasalahan yang serius,
terutama akibat munculnya efek samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 6.
Sebanyak 69,01 penderita mengalami efek samping OAT. Pengobatan dengan
kombinasi obat dapat mencegah resistensi namun dapat meningkatkan terjadinya
efek samping obat (ESO)7. Efek samping yang terjadi dapat berupa efek samping
Mayor seperti kemerahan pada kulit, tuli, pusing, hepatitis, gangguan penglihatan
dan syok. Sedangkan efek samping minor dapat berupa tidak nafsu makan, nyeri
sendi, rasa terbakar, kebas atau kesemutan, mengantuk warna kemerahan pada
urine5.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamdouni menunjukkan dari 2532
pasien TB yang diobati rata-rata usia 16-37 tahun. 10% mengalami efek samping,
diantaranya adalah gastrointestinal (7,4%), kulit (3,7%), hati (2%), articular
(1,14%), imunoalergi (1,07%), neuropsikiatri (0,7%) dan ocular (0,1%) 8. Efek
samping yang dialami tersebut akan berdampak pada kepatuhan berobat pasien
dan bahkan dapat berakibat putus berobat (loss to follow-up) dari pengobatan.
Pada karya tulis ilmiah ini akan membahas tentang tatalaksana efek samping
pengobatan TB.

2
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan dan penyusunan karya tulis ilmiah adalah untuk
menambah ilmu dan lebih memahami mengenai tatalaksana efek samping
pengobatan TB. Tujuan penulisan lainnya yaitu memenuhi persyaratan
pelaksanaan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.

1.3 Manfaat Penulisan


Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada
pembaca dan penulis agar lebih dapat memahami efek samping pengobatan TB
sehingga dapat mengenali dan melakukan tatalaksana dengan lebih tepat.
Diharapkan juga dapat memberikan pengingat tentang efek samping pengobatan
TB dan tatalaksananya kepada pasien yang sedang menjalani pengobatan TB.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengobatan Tuberkulosis dan Efek Samping

2.1.1 Prinsip Pengobatan Tuberkulosis


Komponen terpenting dalam pengobatan tuberkulosis adalah obat anti
tuberkulosis (OAT). Pengobatan tuberkulosis merupakan salah satu upaya paling
efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman tuberkulosis 6.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip yaitu5 :
1) Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat yang mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah resistensi.
2) Diberikan dalam dosis yang tepat.
3) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh Pengawas Menelan
Obat (PMO) sampai selesai pengobatan
4) Pengobatan diberikan dalam jangkat waktu yang cukup terbagi dalam tahap
awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan
Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap
lanjutan dengan maksud4 :
1) Tahap awal : Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap
ini dimaksudkan untuk secara elektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam
tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.
Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan.
Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya
penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu5.
2) Tahap Lanjutan : Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting
untuk membunuh sisa kuman yang masih ada di dalam tubuh khususnya kuman
persisten sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan5.

4
Jenis-jenis OAT lini pertama yang digunakan di Indonesia adalah sebagai
berikut:
Tabel 1.1 Jenis OAT5

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian


Tuberkulosis di Indonesia sesuai rekomendasi World Health Organization (WHO)
adalah1 :
1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/5(HR)3E3
3) Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR
4) Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di Indoneisa
terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin,
Etionamide, Sikloserin, Moksfiloksasin, dan PAS< serta OAT lini-1 yaitu
pirazinamid dan etambutol5.

2.1.2 Karakteristik OAT Lini Pertama


A. Isoniazid
Isoniazid adalah salah satu obat pilihan untuk obat lini pertama
tuberkulosis. Fungsinya adalah untuk menghambat produksi dari asam mikolat,
komponen dinding sel penting pada bakteri. Asam mikolat ini menyebabkan
bakteri menjadi resisten terhadap kerusakan kimia dan dehidrasi, sehingga
mencegah aktifitas efektif dari antibiotik hidrofobik. Selain itu, asam mikolat
membuat bakteri mampu tumbuh didalam makrofag, bersembunyi dari sistem

5
imun host. Oleh karena itu sangat penting memilih asam mikolat sebagai target
obat5.
 Mekanisme kerja obat
Mekanisme kerja utama dari isoniazid adalah dengan berfokus pada
pembentukan berbagai senyawa reaktif yaitu Reactive Oxygen Species (ROS).
Setelah isoniazid beredar dalam aliran darah, isoniazid akan berdifusi secara pasif
masuk ke dalam tubuh bakteri, yang mana bentuk tidak aktif dari isoniazid akan
diaktifkan oleh MnCl2 dan enzim katalase-peroksidase. Enzim ini juga berfungsi
untuk melawan kadar pH rendah ketika terjadi proses oksidatf yang mengubah
radikal bebas oksigen menjadi H2O2 di dalam fagosom. Proses ini juga mengubah
isoniazid menjadi bentuk aktifnya, dimana bentuk aktifnya ini akan berikatan
dengan NADH di sisi aktif protein InhA. Kompleks ini akan mengahmbat
elongasi dari rantai terakhir asam lemak dan karenanya pembentukan asam
mikolat dan dinding sel pun terhambat, sehingga juga menyebabkan
deoksiribonucleotida acid (DNA) bakteri rusak, dan kemudian bakteri tersebut
akan mati. Kerja dari isoniazid sangat penting di minggu pertama pengobatan
terutama pada bakteri yang cepat membelah. Pada bakteri yang lambat tumbuh,
obat ini bekerja sebagai bakterisidal5.
 Farmakokinetik
Isoniazid diabsorbsi di traktus gastrointestinal, setelah diminum oral.
Konsentrasi plasma tertinggi dicapai 1-2 jam setelah konsumsi. Jika dikonsumsi
bersama makanan, maka bioavailabilitasnya akan berkurang. Sebagian besar
beredar di dalam cairan, termasuk serebrospinal, kulit, sputum, paru, saliva, dan
otot. Metabolisme utamanya adalah mengalami asetilasi di hepar, melewati
beberapa proses dan diubah menjadi zat aktif oleh enzim mikrosomal hepatik.
Metabolit aktif ini dapat menyebabkan hepatotoksisitas 10. Isoniazid diekskresikan
dalam bentuk utuh dan metabolit melalui ginjal, dan juga lewat air susu ibu.
Selain itu sebagian kecil diekskresi melalui saliva, sputum, dan feses. Asetilator
cepat: 30-100 menit. Asetilator lambat: 2-5 jam. Waktu puncak konsentrasi
serum, secara oral dalam 1-2 jam. Eliminasi 75% sampai 95% diekskresikan

6
dalam urin sebagai obat. Waktu paruh isoniazid bervariasi dari 1-4 jam pada
orang normal, dan memanjang pada gagal ginjal atau gagal hati5.
 Indikasi

Obat ini diindikasikan untuk terapi semua bentuk tuberkulosis aktif,


disebabkan kuman yang peka dan untuk profilaksis orang beresiko tinggi
mendapatkan infeksi. Dapat digunakan tunggal atau bersama-sama dengan anti
tuberkulosis lain11.
 Kontraindikasi

Riwayat hipersensitivitas atau reaksi adversus, termasuk demam, artritis,


cedera hati, kerusakan hati akut, kehamilan11.

B. Rifampisin

Rifampisin adalah salah satu OAT yang paling efektif, bersama dengan
isoniazid, merupakan regimen dasar dari pengobatan tuberkulosis. Rifampisin ini
aktif melawan bakteri yang tumbuh dengan cepat maupun yang tumbuh dengan
lambat5.
 Mekanisme kerja obat
Rifampisin dapat dengan mudah berdifusi masuk menyebrangi membran
sel karena karakteristik lipofiliknya. Aktivitas bakterisidal obat ini bergantung
pada kemampuan obat ini untuk menghambat transkripsi ribonucleotida acid
(RNA). Mekanisme kerja obat ini adalah dengan berikatan pada beta subunit dari
DNA dependent –RNA Polimerase (RNAP) yang bergantung pada DNA sehingga
menghambat transkripsi messenger RNA (mRNA). Komplek ikatan enzim dan
obat ini menghambat inisiasi pembentukan rantai RNA dan juga elongasinya 9.
Dosis 10 mg\kgBB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3
kali seminggu12.
 Farmakokinetik
Bioavailabilitas rifampisin diperkirakan mencapai 90-95% karena
bentuknya yang siap diabsorbsi lewat traktus gastrointestinal. Kadar plasma

7
tertinggi dari rifampisin dicapai setelah 2-4 jam sejak masuk lewat oral.
Konsumsinya bersama makanan akan memperlambat tetapi tidak menurunkan
absorbsi obat. Waktu paruh dari rifampisin adalah 1,5-5 jam dan memanjang pada
kerusakan hati. Sekitar 60-90% obat berikatan dengan protein plasma dan
didistribusikan ke organ-organ dan cairan tubuh seperti ke paru, hepar, empedu,
dan urin. Dan sebanyak 60-80% obat ini dimetabolisme di hepar. Sebagian kecil
dari obat ini dimetabolisme menjadi formilrifampin yang memiliki efek
bakterisidal 10%. Sekitar 15-30% obat dikeluarkan melalui ginjal dan hanya 7%
dari obat ini yang dibuang lewat urin dalam bentuk aslinya. Sekitar 60-65% dari
obat ini dibuang melalui empedu dan feses9.
 Indikasi

Diindikasikan untuk obat anti tuberkulosis yang dikombinasikan dengan


anti tuberkulosis lain untuk terapi awal maupun ulang11.
 Kontraindikasi

Sindrom syok, anemia hemolitik akut, dan gangguan hati.


penderita gangguan ginjal11.

C. Pirazinamid
Pirazinamid adalah analog nikotamid yang penting diberikan sebagai OAT
lini pertama bersama isoniazid dan rifampisin untuk pengobatan tuberkulosis.
Pirazinamid membunuh 95% populasi dari mikroorganisme semi dormant yang
hanya aktif pada suasana asam5.
 Mekanisme kerja obat
Pirazinamid bekerja secara bakteriostatik. Pirazinamid dalam bentuk
prodrug akan dikonversi menjadi asam pirazinoat oleh enzim piramidase bakteri.
Asam pirazinoat dan analognya 5-kloro-pirazinamid dapat menghambat sintesis
asam lemak dari bakteri (FAS I). FAS I adalah terlibat dalam sintesis asam
mycolic rantai pendek merupakan komponen struktural penting dari dinding sel
mikobakteri dan melekat ke lapisan arabinogalactan. Pirazinamid mengganggu
lalu lintas energi dan transport di membran bakteri. Akumulasi dari asam

8
pirazinoat di dalam kondisi asam akan mengasamkan sitoplasma dan merusak sel
bakteri. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg\kg BB, sedangkan untuk pengobatan
intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg\kg BB13.
 Farmakokinetik
Pirazinamid dapat diabsorbsi dengan baik di traktus gastrointestinal. Rata-
rata waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar maksimal di darah adalah 1,6
jam. Sedangkan waktu paruhnya adalah sekitar 10-20 jam. Pirazinamid dapat
didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan, termasuk hepatobilier, paru,
dan ginjal. Pirazinamid juga dapat masuk secara sempurna ke dalam cairan
serebrospinal. Volume total distribusi di tubuh obat ini mencapai 1,57- 1,84l/kg.
Kadar obat yang berikatan dengan plasma rendah. Pirazinamid ini dihidrolisa oleh
enzim deamidase mikrosomal menjadi asam pirazinoat, sebuah metabolit aktif,
dan kemudian dihidroksilasi oleh enzim xanthine oksidase menjadi asam 5-
hidropirazinoat. Ekskresi pirazinamid sebagian besar dalam bentuk metabolit.
Dalam 72 jam, sekitar 3% dalam bentuk pirazinamid yang tetap, 33% asam
pirazinoat, dan 36% dalam bentuk metabolit lain diekskresikan melalui urin 9.
 Indikasi

Digunakan untuk terapi tuberkulosis dalam kombinasi dengan anti


tuberkulosis lain11.
 Kontraindikasi

Kontraindikasi terhadap gangguan fungsi hati parah, porfiria,


Hipersensitivitas11.

D. Etambutol
Etambutol adalah agen antimycobacterial yang termasuk dalam
ethylaminobutan. Etambutol efektif bekerja melawan Mycobacterium tuberculosis
tetapi tidak efektif melawan jamur, virus, dan bakteri lain5.
 Mekanisme kerja obat

9
Etambutol bekerja sebagai bakteriostatik melawan bakteri tuberkulosis dan
bakteri yang resisten terhadap agen antimycobacterial lainnya. Mekanisme kerja
dari etambutol adalah menghambat sintesis metabolit penting dari metabolisme
sel dan multiplikasi bakteri dengan menghambat pembentukan asam mikolat dan
dinding sel. Penghambatan sintesis dinding sel dilakukan dengan menghambat
arabinosyl transferases yang terlibat dalam sintesis arabinogalactan merupakan
komponen struktural penting dari dinding sel mikobakteri. Hal ini kemudian
mengakibatkan permeabilitas dinding sel bakteri meningkat sehingga
menyebabkan kematian sel 4. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg\kgBB
sedangkan untuk pengobatan untuk intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis
30 mg\kgBB12.
 Farmakokinetik
Etambutol dapat diabsrobsi dengan baik secara oral. Kadar dalam plasma
tertinggi dapat mencapai 4mg/l dan dicapai dalam 2-4 jam setelah konsumsi
sebanyak 15mg/kgBB. Volume distribusi dapat mencapai 39% dan berikatan
dengan protein plasma sebanyak 25%. Distribusinya luas ke seluruh tubuh kecuali
sistem saraf pusat. Penggunaan bersama dengan makanan akan mempengaruhi
absorpsinya di traktus gastrointestinal. Kadar dalam darah pada anak-anak lebih
rendah dari pada orang dewasa. Metabolisme obat ini terjadi di hepar, dimana
obat ini diubah menjadi bentuk metabolit aldehida tidak aktif dan asam
karboksilat. Ekskresi dari etambutol sebanyak 50-70% melalui ginjal, sehingga
ekskresi obat ini akan lebih lambat pada orang dengan gangguan ginjal9.
 Indikasi

Etambutol digunakan sebagai terapi kombinasi tuberkulosis dengan obat


lain, sesuai regimen pengobatan jika diduga ada resistensi. Jika resiko resistensi
rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak
usia kurang 6 tahun, neuritis optik, gangguan visual14.
 Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap etambutol seperti neuritis optik15.

10
E. Streptomisin
Streptomisin berasal dari isolasi Streptomyces griseus. Antibiotik ini
termasuk ke dalam kelompok obat aminoglikosida. Penggunaan streptomisin
seringkali diganti dengan penggunaan etambutol, sebab absorbsi oral dan
toksisitas streptomisin lebih buruk daripada etambutol5.
 Mekanisme kerja obat
Streptomisin adalah aminoglikosida yang aktif melawan basil aktif yang
sedang tumbuh, terutama basil tuberkel ekstraseluler. Cara kerja dari antibiotik
ini adalah dengan menghambat inisiasi dari translasi untuk sintesis protein. Lebih
spesifik, streptomisin bekerja dengan mengikat subunit 30S dari ribosom pada
protein ribosomal S12 dan rantai rRNA 16 yang dikode gen rpsL dan rrs. Kedua
kode gen yang sering menimbulkan resistensi. Ikatan streptomisin inilah yang
kemudian menghambat pembentukan polipeptida sehingga proses translasi pun
terhambat5.
 Farmakokinetik
Streptomisin didistribusikan keseluruh jaringan dan cairan tubuh kecuali
otak, hanya sejumlah kecil yang masuk kedalam cairan serebrospinal, dan
biasanya penetrasinya ke cairan serebrospinal akan meningkat jika terjadi
inflamasi pada selaput otak. Streptomisin juga dapat melintasi plasenta dan
sejumlah kecil muncul di ASI5.
Waktu paruh dari streptomicin pada dewasa 2-3 jam, sedangkan pada bayi
baru lahir, orangtua maupun pasien dengan gagal ginjal waktu paruh akan
memanjag. Waktu puncak konsentrasi serum, secara IM dalam 1-2 jam. Eliminasi
streptomisin mencapai 30%-90% dari dosis dan diekskresikan dalam bentuk utuh
dan dikeluarkan melalui urin dengan sejumlah kecil (1%) diekskresikan melalui
empedu, saliva, keringat dan air mata 16.

 Indikasi

11
Sebagai kombinasi pada pengobatan TB bersama isoniazid, rifampisin,
dan pirazinamid, atau untuk penderita yang dikontraindikasi dengan 2 atau lebih
obat kombinasi tersebut17.
 Kontraindikasi

Hipersensitivitas terhadap streptomisin sulfat atau aminoglikosida lain17.

2.1.3 Efek Samping OAT


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping sehingga
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat. Jika efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatis, maka pemberian OAT
dapat dilanjutkan5.
1. Isoniazid
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda gangguan pada syaraf tepi
berupa kesemutan, rasa terbakar di kaki tangan, dan nyeri otot. Efek ini dapat
dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan
vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan.
Kelainan lain yang dapat terjadi adalah gejala defisiensi piridoksin (sindrom
pellagra). Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul
pada kurang lebih 0,5% pasien10.
Isoniazid menyebabkan neuropati perifer melalui gangguan metabolisme
piridoksin, juga dikenal sebagai vitamin B6. Piridoksin sangat penting untuk
fungsi sistem saraf pusat karena digunakan dalam produksi neurotransmiter.
Ketika piridoksin memasuki tubuh, itu diaktifkan oleh serangkaian enzim tertentu.
Isoniazid bersaing untuk mendapatkan enzim yang sama ini, yang mengurangi
jumlah bentuk aktif piridoksin dalam tubuh. Metabolit isoniazid juga bereaksi
dengan piridoksin untuk menonaktifkannya. Mengambil isoniazid dengan
demikian mengurangi jumlah piridoksin yang dimiliki tubuh secara efektif, dan
kekurangan ini menyebabkan neuropati. Mengambil piridoksin tambahan

12
bersamaan dengan isoniazid dapat mencegah defisiensi piridoksin dan karenanya
mencegah neuropati yang diinduksi isoniazid18.

2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simptomatis adalah19 :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil, dan nyeri tulang.
- Sindrom dispepsia berupa sakit perut, mual, penurunan nafsu makan,
muntah, diare.
Gejala ini muncul tergantung pada dosis, tetapi patofisiologi munculnya gejala ini
masih belum dapat dijelaskan secara pasti19.
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi adalah :
- Hepatitis imbas dari metabolisme obat dan ikterik, bila terjadi maka OAT
harus diberhentikan sementara.
- Purpura, anemia hemolitik akut.
Trombositopenia yang diinduksi rifampisin disebabkan oleh adanya antibodi anti-
rifampisin. Antibodi ini memperbaiki komplemen pada trombosit adanya
rifampisin yang mengakibatkan kerusakan trombosit20.
- Gagal ginjal.
Mekanisme gagal ginja,l terkait rifampisin tidak diketahui dengan baik. Beberapa
penelitian menunjukkan reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III yang diinduksi
oleh antigen rifampisin di mana antibodi anti-rifampisin membentuk kompleks
imun yang tersimpan di pembuluh ginjal, endotelium glomerulus, dan area
interstisial21.
Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan
jangan diberikan lagi meskipun gejala telah menghilang.
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas.
- Rifampisin dapat menyebabkan warna kemerahan pada air seni, keringat,
air mata, dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses
metabolisme obat dan tidak berbahaya9.

13
3. Pirazinamid
Efek samping berat yang dapat terjadi adalah hepatitis imbas obat
(penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga
dapat terjadi dan dapat diatasi dengan pemberian antinyeri, misalnya aspirin.
Terkadang dapat terjadi serangan artritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan
penurunan ekskresi dan penimbunan asam urat. Terkadang terjadi reaksi demam,
mual, kemerahan, dan reaksi kulit yang lain5.

4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa penurunan
ketajaman penglihatan dan buta warna merah dan hijau. Namun gangguan
penglihatan tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, sangat jarang terjadi
pada penggunaan dosis 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam
beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan
pada anak karena risiko kerusakan saraf okuler sulit untuk dideteksi, terutama
pada anak yang kurang kooperatif5.
Sementara mekanisme pasti dari efek neurotoksik Etambutol pada saraf optik
tidak diketahui, diyakini bahwa efek pengkelat logam dari obat ini mungkin
bertanggung jawab. Satu teori mengatakan bahwa khelasi tembaga mengganggu
fosforilasi oksidatif, karena tembaga lebih sedikit tersedia di mitokondria
manusia. Teori lain adalah bahwa khelasi seng menghambat aktivasi lisosom.
Selain itu, dalam penelitian pada hewan pada saraf optik tikus, defisiensi seng
telah dikaitkan dengan kerusakan proliferasi sel mielin dan glial, menunjukkan
bahwa mungkin ada efek serupa pada manusia. Selain itu, penggunaan Etambutol
yang lama telah terbukti berhubungan dengan defisiensi vitamin E dan vitamin B1
yang dapat memperburuk neuropati optik22.

14
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Streptomisin secara selektif akan
menghancurkan sel-sel rambut yang berada di membran basilar, yang diperlukan
untuk pendengaran frekuensi tinggi. Oleh karena itu pasien yang menggunakan
streptomisin biasanya dimulai dengan kehilangan pendengaran frekuensi tinggi
terlebih dahulu, kemudian berkembang menjadi frekuensi lebih rendah yang
berkaitan dengan pengucapan saat berkomunikasi23.
Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan
dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada
pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang dapat
dirasakan adalah telinga berdenging (tinitus), pusing, dan kehilangan
keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau
dosisnya dikurangi. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan dapat berlanjut
dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli) .Reaksi hipersensitivitas kadang
terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah, dan
eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti
kesemutan sekitar mulut dan telinga berdenging dapat terjadi segera setelah
suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gram.
Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada
perempuan hamil karena dapat merusak fungsi pendengaran janin5.

15
2.2 Pendekatan berdasarkan gejala untuk penatalaksanaan efek samping
OAT
Pendekatan berdasarkan gejala digunakan untuk penatalaksanaan efek
samping umum, yaitu efek samping mayor dan minor. Pada umumnya, pasien
yang mengalami efek samping minor sebaiknya tetap melanjutkan pengobatan TB
dan diberikan pengobatan simptomatis. Apabila pasien mengalami efek samping
berat (mayor), OAT penyebab dapat dihentikan dan pasien segera dirujuk ke pusat
kesehatan yang lebih besar atau dokter paru untuk mendapatkan tatalaksana
selanjutnya5.

2.2.1 Efek Samping Mayor


- Kemerahan kulit dengan atau tanpa gatal
Obat penyebab: Streptomisin, isoniazid, rifampisin, pirazinamid
Tatalaksana: Hentikan OAT
- Tuli (bukan karena kotoran)
Obat penyebab: Streptomisin
Tatalaksana: Hentikan Streptomisin
- Pusing (vertigo dan nistagmus)
Obat penyebab: Streptomisin
Tatalaksana: Hentikan Streptomisin
- Kuning (setelah penyebab lain disingkirkan), Hepatitis
Obat penyebab: isoniazid, rifampisin, pirazinamid
Tatalaksana: Hentikan Pengobatan TB
- Bingung (diduga gangguan hepar berat bila bersamaan dengan kuning)
Obat penyebab: Sebagian besar OAT
Tatalaksana: Hentikan pengobatan TB
- Gangguan penglihatan (setelah gangguan lain disingkirkan)
Obat penyebab: Etambutol
Tatalaksana: Hentikan Etambutol
- Syok, purpura, gagal ginjal akut
Obat penyebab: Rifampisin

16
Tatalaksana: Hentikan Rifampisin
- Penurunan jumlah urin
Obat penyebab: Streptomisin
Tatalaksana: Hentikan Streptomisin5

2.2.2 Efek Samping Minor


- Tidak Nafsu Makan, mual, nyeri perut
Obat penyebab: isoniazid, rifampisin, pirazinamid
Tatalaksana: Berikan obat bersamaan dengan makanan ringan atau sebelum
tidur dan anjurkan pasien untuk minum obat dengan air sedikit demi sedikit.
Apabila terjadi muntah yang terus menerus, atau ada tanda perdarahan segera
pikirkan sebagai efek samping mayor dan segera rujuk5
- Nyeri sendi
Obat penyebab: Pirazinamid
Tatalaksana: Aspirin atau NSAID atau Paracetamol
Aspirin : 300-900 mg tiap 4-6 jam. Maksimal 4000 mg/hari
Paracetamol: 500-1000 mg tiap 4-6 jam. Maksimal 4000 mg/hari
- Rasa terbakar, kebas atau kesemutan pada tangan atau kaki
Obat penyebab: isoniazid
Tatalaksana: Piridoksin dosis 100-200 mg/hari selama 3 minggu. Sebagai
profilaksis 25-100 mg/hari
- Mengantuk
Obat penyebab: isoniazid
Tatalaksana: Yakinkan kembali, berikan obat sebelum tidur
- Urin berwarna kemerahan atau oranye
Obat penyebab: Rifampisin
Tatalaksana: yakinkan pasien dan sebaiknya pasien diberi tahu sebelum mulai
pengobatan.
- Sindrom flu (Demam,menggigil, malaise, sakit kepala, nyeri tulang)
Obat penyebab: Dosis rifampisin intermitten
Tatalaksana: Ubah pemberian dari intermitten ke pemberian harian5

17
2.3 Tatalaksana Reaksi Kutaneus dan Alergi
Apabila terjadi reaksi gatal tanpa kemerahan dan tidak ada penyebab lain,
maka pengobatan yang direkomendasikan adalah obat simptomatis seperti
menggunakan antihistamin. Pengobatan dengan OAT dapat diteruskan dengan
mengobservasi pasien. Apabila terjadi kemerahan pada kulit maka OAT harus
dihentikan. Jika reaksi tersebut sudah berkurang dan sembuh maka OAT dapat
dicoba satu per satu, dimulai dengan OAT yang jarang menimbulkan reaksi
alergi5.
Urutan OAT dan dosis yang dianjurkan sesuai dengan peluang menimbulkan
reaksi alergi adalah:
1. Isoniazid
a. Hari ke-1: 50 mg
b. Hari ke-2: 300 mg
c. Hari ke-3 dan seterusnya: 300 mg
2. Rifampisin
a. Hari ke-4: 75 mg
b. Hari ke-5: 300 mg
c. Hari ke-6 dan seterusnya: dosis penuh
3. Pirazinamid
a. Hari ke-7: 250 mg
b. Hari ke-8: 1000 mg
c. Hari ke-9 dan seterusnya: dosis penuh
4. Etambutol
a. Hari ke-10: 100 mg
b. Hari ke-11: 500 mg
c. Hari ke-12 dan seterusnya: dosis penuh
Jika pada proses reintroduksi ditemukan obat yang menyebabkan alergi, maka
obat tersebut harus dihentikan5.
Proses desensitisasi obat merupakan pilihan yang dapat diambil terutama jika
pasien alergi terhadap obat lini pertama dan lini kedua atau jika tidak ada pilihan

18
lain yang lebih baik. Desensitisasi obat dikontraindikasikan pada reaksi
hipersentivitas yang tidak dimediasi oleh IgE, misalnya pada reaksi Sindrom
Steven-Johnson5.
Proses desensitisasi obat dilakukan tergantung pada derajat berat-ringannya
reaksi alergi yang terjadi. Jika reaksi alergi yang terjadi derajat ringan, maka dapat
dilakukan desensitisasi dengan eskalasi dosis per hari (single step daily dose
escalation) 5. Misalnya:
1. Hari ke-1: Rifampisin 150 mg
2. Hari ke-2: Rifampisin 150 mg
3. Hari ke-3: Rifampisin 300 mg
4. Hari ke-4: Rifampisin 600 mg
5. Hari ke-5: Rifampisin 600 mg + Isoniazid 100 mg
6. Hari ke-6: Rifampisin 600 mg + Isoniazid 100 mg
7. Hari ke-7: Rifampisin 600 mg + Isoniazid 200 mg
8. Hari ke-8: Rifampisin 600 mg + Isoniazid 300 mg
9. Dan seterusnya hingga didapatkan regimen yang diinginkan5
Jika reaksi alergi yang dialami berat, maka dapat dimulai dengan dosis yang
jauh lebih kecil dan dinaikkan bertahap beberapa kali dalam satu hari (multi-step
daily dose escalation) 5.
Tabel 2.1. Contoh dosis desensitisasi Rifampisin5

19
2.4 Tatalaksana Hepatitis Imbas Obat
Sangat penting untuk mencari penyebab lain hepatitis sebelum
memutuskan terjadi diagnosis hepatitis imbas obat. Informasi medis yang perlu
digali sebelum menegakkan diagnosis hepatitis imbas obat adalah5:
 Riwayat konsumsi alkohol
 Riwayat penyakit liver sebelumnya
 Uji laboratorium untuk menyingkirkan adanya hepatitis A, B, dan C
 Ultrasonografi abdomen untuk menyingkirkan adanya gangguan di sistem
bilier
Tatalaksana hepatitis imbas obat tergantung pada:
 Fase pengobatan TB (tahap awal atau lanjutan)
 Beratnya gangguan pada hepar
 Beratnya penyakit TB
 Kemampuan atau kapasitas pelayanan kesehatan dalam tatalaksana efek
samping akibat OAT
Pengobatan TB dihentikan sampai fungsi hepar kembali normal (ditandai
dengan kembalinya nilai SGPT hingga kurang dari dua kali batas atas nilai
normal) dan gejala klinis (mual atau nyeri perut) menghilang. Apabila tidak
memungkinkan untuk melakukan tes fungsi hepar, maka sebaiknya menunggu 2
minggu setelah kuning atau jaundice dan nyeri/tegang perut menghilang sebelum
diberikan OAT kembali5.
Apabila hepatitis imbas obat telah teratasi maka dapat dilakukan
reintroduksi OAT beruturan satu persatu sesuai dengan rekomendasi American
Thoracic Society5.
1. Pemberian obat sebaiknya dimulai dengan Rifampisin dengan atau tanpa
etambutol.
2. Setelah 3-7 hari dan dibuktikan tidak terdapat peningkatan SGPT, maka
Isoniazid dapat diberikan.

20
3. Jika pada proses reintroduksi terdapat peningkatan SGPT, maka obat
terakhir yang direintroduksi merupakan penyebab hepatitis imbas obat dan
harus dihentikan.
4. Pada pasien dengan riwayat hepatitis imbas obat yang berat dan dapat
menoleransi Rifampisin dan Isoniazid, Pirazinamid tidak perlu dicoba
untuk direintroduksi.
Regimen alternatif tergantung pada OAT yang tidak dapat digunakan
karena menyebabkan hepatitis pada pasien tersebut.
Beberapa pilihan regimen non hepatotoksik:
 Diberikan 9 bulan Isoniazid dan Rifampisin dengan tambahan Etambutol
hingga uji kepekaan obat Rifampisin dan Isoniazid dipastikan sensitif.
 Diberikan bulan Isoniazid, Rifampisin, Streptomisin, dan Etambutol
dilanjutkan dengan 6 bulan Rifampisin dan Isoniazid
 Diberikan 6 – 9 bulan Rifampisin, Pirazinamid,dan Etambutol
 Diberikan 2 bulan Isoniazid, Etambutol, dan Streptomisin. Dilanjutkan
dengan 20 bulan Isoniazid + Etambutol
 Diberikan 18 – 24 bulan Streptomisin, Etambutol, dan Florokuinolon

21
BAB III

KESIMPULAN

TB disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang menyebar ketika


penderita melepaskan bakteri ke udara saat batuk, bersin ataupun meludah yang
kemudian akan menyerang organ paru-paru dan dapat menyerang organ lainnya.
Gejala umum TB paru-paru aktif adalah batu berdahak dan terkadang batuk
bercampur darah, sesak nafas, nyeri dada, penurunan berat badan, demam dan
berkeringat pada malam hari. Berdasarkan data WHO 2020 secara global
diperkirakan ada sekitar 10 juta orang yang jatuh sakit dan total 1,5 juta orang
meninggal dunia karena TB.

Banyak variasi pengendalian penyakit TB seperti End TB Strategy dari


WHO dan Pengendalian TB di Indonesia yang menerapkan strategi Directly
Observed Treatment Short Course (DOTS). Bentuk paduan OAT yang
mengandung 5 jenis obat terdiri dari isoniazid (H), rifampisin (R), etambutol (E),
pirazinamid (Z), dan streptomisin (S). Namun, pengobatan TB memiliki efek
samping bagi pasien TB terdiri dari efek samping mayor seperti kemerahan pada
kulit, tuli, pusing, hepatitis, gangguan penglihatan dan syok. Sedangkan efek
samping minor dapat berupa tidak nafsu makan, nyeri sendi, rasa terbakar, kebas
atau kesemutan, mengantuk warna kemerahan pada urine. Efek samping yang
dialami tersebut akan berdampak pada kepatuhan berobat pasien dan bahkan dapat
berakibat putus berobat (loss to follow-up) dari pengobatan, sehingga, terdapat
dosis OAT yang dianjurkan sesuai dengan peluang menimbulkan reaksi alergi
seperti penambahan dosis secara perlahan pada tiap OAT. Jika terdapat adanya
alergi pada salah satu OAT, maka obat harus dihentikan. Pengobatan juga harus
melihat adanya kemungkinan kerusakan organ pasien akibat efek samping OAT
terlebih organ hati pasien.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization (WHO). Tuberkulosis. TB Day; 2022.


2. Depkes RI; 2021, Situasi TBC di Indonesia.
https://tbindonesia.or.id/pustaka-tbc/dashboardtb/ [Accessed 23 March
2021].
3. World Health Organization (WHO). Global Tuberculosis Report
2021.Geneva: World Health Organization, 2021. [Online]. Available:
http://apps.who.int/bookorders..
4. Kementerian Kesehatan RI. “Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor HK. 01.07/MENKES/755/2019 tentang Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis.”
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, Dec. 02, 2019.
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Tuberkulosis : Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksaan di Indonesia; 2019
6. Musdalipah, Nurhikma E, Karmilah, Fakhrurazi M. 2018. Efek Samping
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan Penanganannya pada Pasien
Tuberkulosis (TB) di Puskesmas Perumnas Kota Kediri. Jurnal Ilmiah
Manuntung. 2018;4(1):67-73.
7. Sinha K, Marak ITR, and Singh WA. 2013. Adverse Drug Reactions in
Tuberculosis Patients Due to Directly Observed Treatment Strategy
Therapy: Experience at an Outpatient Clinic of a Teaching Hospital in
The City of Imphal, Manipur, India. The Journal of Association of Chest
Physicians. 2013;1(2):50-53
8. Hamdouni M E, Ahid S, Bourkadi J E, Benamor J, Hassar M, Cherrah Y.
Incidence of adverse reactions caused by first-line anti-tuberculosis drugs
and treatment outcome of pulmonary tuberculosis patients in Morocco.
Infection 48; 2019. 43-50
9. OLIVIERA, Ivona; KHOLIS, Fathur Nur; NGESTININGSIH, Dwi. Pola
Kejadian Penyakit Komorbid Dan Efek Samping Oat Pada Pasien
Tuberkulosis Di Rsup Dr. Kariadi. Diponegoro Medical Journal (Jurnal
Kedokteran Diponegoro), 2016, 5.4: 1081-1091

23
10. LiverTox:Clinical and Research Information on Drug-Induced Liver
Injury [Internet]. Bethesda (MD): National Institute of Diabetes and
Digestive and Kidney Diseases; 2012-. Isotretinoin. [Updated 2020 Nov
10].
11. MARLINAE, Lenie, et al. Desain Kemandirian Pola Perilaku Kepatuhan
Minum Obat Pada Penderita TB Anak Berbasis Android. 2019.
12. Utami, sri; pratiwi, rosaria ika; santoso, joko. Evaluasi penggunaan obat
anti tuberkulosis paru rawat jalan di rsud dr. M. Ashari pemalang. 2021.
PhD Thesis. Politeknik Harapan Bersama Tegal.
13. Tri, fendi. Pengetahuan keluarga dalam pelaksanaan fungsi keluarga
pada penderita tb paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Babadan Kabupaten
Ponorogo. 2019. PhD Thesis. Universitas Muhammadiyah Ponorogo
14. SENIANTARA, I. Kadek; IVANA, Theresia; ADANG, Yohana
Gabrilinda. Pengaruh efek samping OAT (obat anti tuberculosis) terhadap
kepatuhan minum obat pada pasien TBC di puskesmas. Jurnal
Keperawatan Suaka Insan (JKSI), 2018, 3.2: 1-12
15. SUPIT, Fabiola. Tuberkulosis Okular. MEDICINUS, 2022, 35.2: 54-61
16. Mohan A, Bhatnagar A, Gupta T, Ujjalkumar D, Kanswal S, Velpandian
T, Guleria R, Singh U B. 2022. Early pharmacokinetic evaluation of anti-
tubercular treatment as a good indicator of treatment success in pulmonary
tuberculosis patients on a retreatment regimen. Journal of Pharmaceutical
Investigation. 52, 489-499
17. FITRIA, Anggraini Dwi Ayu. Hubungan polifarmasi dengan interaksi
obat pada pasien tuberkulosis. 2022. Phd thesis. Universitas dr. Soebandi.
18. Snider DE. Pyridoxine supplementation during isoniazid therapy. Tubercle
(1980). 61:191-196
19. Calaquian LL, De A. Rifampin-Associated Flu-Like Syndrome in a Patient
Undergoing Treatment for a Device-Related Infection. Cureus. 2020 Dec
28;12(12):e12336. doi: 10.7759/cureus.12336. PMID: 33520532; PMCID:
PMC7837647

24
20. Dixit R, George J, Sharma AK. Thrombocytopenia due to rifampicin.
Lung India. 2012 Jan;29(1):90-2. doi: 10.4103/0970-2113.92380. PMID:
22345930; PMCID: PMC3276051
21. Ata, F, Magboul, HMB, Toba, HAA, et al. Rifampin-induced acute kidney
injury and hemolysis: A case report and literature review of a rare
condition. Clin Case Rep. 2022; 10:e06780. doi:10.1002/ccr3.6780
22. Berry, S., & Lee, A. G. (2017). Ethambutol optic neuropathy. Current
Opinion in Ophthalmology, 28(6), 545-551.
doi:10.1097/ICU.0000000000000416
23. Seddon J A, Godfrey-Faussett P, Jacobs K, Ebrahim A, Hesseling A C,
Schaaf H S. 2012. Hearing loss in patients on treatment for drug-resistant
tuberculosis. European Respiratory Journal. 40(5), 1277-1286
24. Ata, F, Magboul, HMB, Toba, HAA, et al. Rifampin-induced acute kidney
injury and hemolysis: A case report and literature review of a rare
condition. Clin Case Rep. 2022; 10:e06780. doi:10.1002/ccr3.6780

25

Anda mungkin juga menyukai