Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

Hospital by Laws: Proses Pembuatan dan Implementasi dalam Organisasi Rumah Sakit

Disusun Oleh:

Kelompok 4 Kelas 12F


I WAYAN TUNJUNG (71231038)
RIFI MARLINDA (71231044)
ROLLES SAGALA (71231045)
TRI AJI PUJO SEMBODO (71231048)
WINDY ARI WIJAYA (71231049)

MAGISTER MANAJEMEN KONSENTRASI MANAJEMEN RUMAH SAKIT


ADHIRAJASA RESWARA SANJAYA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat
serta hidayah-Nya, sehingga makalah tentang “ Hospital by Laws: Proses Pembuatan dan
Implementasi dalam Organisasi Rumah Sakit” ini bisa diselesaikan dengan lancar.
Adapun tujuan daripada pembuatan makalah ini adalah untuk menambah wawasan,
kreatifitas, ilmu pengetahuan mahasiswa dan untuk mempelajari lebih dalam lagi tentang tujuan
serta pelaksanaan Hospital by Laws: Proses Pembuatan dan Implementasi dalam Organisasi
Rumah Sakit yang ada di Indonesia.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh untuk dikatakan sempurna baik isi maupun
penyajiannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
bagi perbaikan laporan di masa yang akan datang. Akhir kata semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan .

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................... 5
2.1 Definisi dan Fungsi Hospital by Laws ...................................................................... 5
2.2 Proses Penyusunan Hospital by Laws ....................................................................... 13
2.3 Implementasi Hospital by Laws ................................................................................ 14
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Implementasi Hospital by Laws 16
2.4.1 Faktor Yuridis .................................................................................................. 16
2.4.2 Faktor Teknis ................................................................................................... 17
BAB III PENUTUP ............................................................................................................. 23
Kesimpulan ..................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 24

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyediaan layanan yang berkualitas tinggi menjadi syarat mutlak untuk mencapai
keberhasilan sebuah organisasi pelayanan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh kualitas layanan
terhadap nilai yang dirasakan oleh pasien, tingkat kepuasan, dan loyalitas mereka. 1 Salah satu
faktor penting yang dapat signifikan memengaruhi kualitas dan efektivitas kesehatan masyarakat
adalah mutu layanan kesehatan.2
Pasal 28 Huruf (h) Undang-Undang Dasar 1945 juga menyatakan bahwa setiap individu
berhak menikmati kehidupan yang sejahtera secara fisik dan mental, memiliki tempat tinggal,
lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Pemerintah perlu melaksanakan hak-hak ini agar dapat diakses oleh semua individu. Tanggung
jawab negara terkait hal ini dijelaskan dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa "Negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang memadai". Hak
yang sama ini harus diberikan kepada seluruh masyarakat Indonesia.3
Salah satu upaya penting untuk meningkatkan daya saing sektor kesehatan di Indonesia
adalah dengan meningkatkan kualitas layanan kesehatan. Kualitas layanan kesehatan telah lama
menjadi perhatian bagi penyedia layanan kesehatan baik yang bersifat swasta maupun publik di
seluruh dunia.4 Meningkatkan kualitas layanan kesehatan tidaklah mudah karena fasilitas
kesehatan melibatkan beberapa tingkat pelayanan, mulai dari puskesmas hingga pusat kesehatan

1
Azar Izadi and others, ‘Evaluating Health Service Quality: Using Importance Performance Analysis’,
International Journal of Health Care Quality Assurance, 30.7 (2019), 656–63
<https://doi.org/https://doi.org/10.1108/IJHCQA-02-2017-0030>.
2
Rizky Ardilla Lubis and others, ‘Hubungan Mutu Pelayanan Kesehatan Dengan Kepuasan Pasien Rawat Jalan Di
Puskesmas Sei Mencirim Medan Tahun 2020’, Jurnal Keperawatan Dan Fisioterapi (Jkf), 3.1 (2020), 13–20
<https://doi.org/10.35451/jkf.v3i1.467>.
3
Wan Agusti, ‘Perlindungan Hukum Terhadap Layanan Kesehatan Masyarakat Kota Pekanbaru Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan’, Jurnal Hukum Respublica, 19.2 (2020), 111–32
<https://doi.org/10.31849/respublica.v19i2.5678>.
4
Mushtaq Ahmad Darzi and others, ‘Service Quality in the Healthcare Sector: A Systematic Review and Meta-
Analysis’, LBS Journal of Management & Research, 21.1 (2023), 13–29 <https://doi.org/10.1108/lbsjmr-06-
2022-0025>.
1
primer dan layanan kesehatan di rumah sakit. Semua tingkat layanan kesehatan diwajibkan untuk
memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.5
Peningkatan kualitas layanan telah menjadi prioritas dalam agenda manajemen. Dalam
konteks pertumbuhan permintaan terhadap layanan kesehatan, peningkatan biaya, keterbatasan
sumber daya, dan keragaman intervensi klinis, banyak sistem kesehatan di seluruh dunia berfokus
pada upaya mengukur dan meningkatkan kualitas layanan mereka. Langkah awal untuk mencapai
tujuan ini adalah dengan mendefinisikan konsep kualitas, yang telah lama menjadi subjek
kontroversi.6 Dalam konteks pelayanan kesehatan, konsep kualitas melibatkan dua aspek utama,
yaitu mutu teknis (klinis) dan kualitas fungsional (non-klinis). Mutu teknis fokus pada
keterampilan, akurasi prosedur, dan diagnosis medis, sementara kualitas fungsional mengacu
pada pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien.7
Pasien secara umum mendapatkan perlindungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen8, dan secara khusus, mereka juga dilindungi oleh
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 9 Pasien, yang dalam konteks ini
dianggap sebagai konsumen, didefinisikan sebagai "setiap pemakai atau pengguna barang
dan/atau jasa baik untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan." Oleh karena itu, hak-hak pasien sebagai konsumen harus
diperhatikan oleh semua pihak penyelenggara layanan kesehatan.
Hukum kesehatan termasuk dalam kategori "lex specialis" yang secara khusus melindungi
tugas profesi kesehatan (penyedia layanan) dalam rangka mencapai tujuan deklarasi "health for
all" dan juga memberikan perlindungan khusus terhadap pasien sebagai penerima layanan untuk
mencapai pelayanan kesehatan yang optimal. Dengan demikian, hukum kesehatan mengatur hak
dan kewajiban bagi setiap penyelenggara layanan dan penerima layanan, baik sebagai individu
(pasien) maupun sebagai kelompok masyarakat.10

5
Mela Aryati and others, ‘Outpatient’s Satisfaction Analysis of Pharmaceutical Service in Pharmacy Installation
in Reksodiwiryo Hospital Padang’, Disease Prevention and Public Health Journal, 16.2 (2022), 147–58
<https://doi.org/10.12928/dpphj.v16i2.6176>.
6
Mohammad Ali Abbasi-Moghaddam and others, ‘Evaluation of Service Quality from Patients’ Viewpoint’, BMC
Health Services Research, 19.1 (2019), 1–7 <https://doi.org/10.1186/s12913-019-3998-0>.
7
Robert Kaba Alhassan and others, ‘Comparison of Perceived and Technical Healthcare Quality in Primary
Health Facilities: Implications for a Sustainable National Health Insurance Scheme in Ghana’, PLoS ONE, 10.10
(2018), 1–19 <https://doi.org/10.1371/journal.pone.0140109>.
8
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
9
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
10
Cecep Triwibowo, Etika dan Hukum Kesehatan, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014), hlm.16
2
Pasal 1 ayat 10 Undang-Undang Praktek Medis menyatakan, “Pasien adalah orang yang
melakukan konsultasi mengenai masalah kesehatannya untuk mendapatkan layanan kesehatan
yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.”
Hubungan antara dokter dan pasien dikenal sebagai hubungan kontrak layanan medis, hubungan
hukum.11 Menurut Bahder Johan Nasution, hubungan antara dokter dan pasien adalah transaksi
terapeutik. Secara hukum, kesepakatan antara dokter dan pasien telah menciptakan hak dan
kewajiban dan harus diterapkan seperti yang disepakati. Berdasarkan hak dan kewajiban pasien,
hubungan hukum dokter dan pasien dalam layanan kesehatan ini akan memiliki dampak hukum. 12
Dampak hukum yang terjadi adalah tanggung jawab hukum dokter terhadap pasien karena
pelanggaran hukum, etika, dan disiplin.13
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 8 menyatakan, “Setiap
orang memiliki hak untuk memperoleh informasi tentang data kesehatannya, termasuk tindakan
dan obat-obatan dari petugas kesehatan.” Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Pekerja
Kesehatan Pasal 68, Pasal 1 menyatakan bahwa “Setiap tindakan pelayanan kesehatan individual
yang dilakukan oleh pekerja kesehatan harus mendapatkan persetujuan”. Pasien juga memiliki
hak untuk memilih fasilitas kesehatan yang ada dan mendapatkan layanan kesehatan yang baik. 14
Rumah sakit, sebagai penyedia layanan kesehatan, memiliki peran krusial dalam
memberikan pelayanan kepada pasien yang merupakan penerima jasa. Untuk menjaga
keharmonisan hubungan antara tenaga kesehatan, rumah sakit, dan pasien, diperlukan peraturan
yang mengatur dinamika tersebut.15 Aturan main ini, yang juga dikenal sebagai Hospital by Laws,
menjadi kepentingan rumah sakit dan diwajibkan oleh Undang-Undang No 44 Tentang Rumah
Sakit. Undang-Undang ini menegaskan bahwa rumah sakit harus menyusun dan melaksanakan
Hospital by Laws sebagai dasar hukum untuk implementasi peraturan internal.

11
M Zamroni, Hukum Kesehatan : Tanggung Gugat Dokter Dan Rumah Sakit Dalam Praktik Pelayanan Medis
(Surabaya: Scopindo Media Pustaka, 2022).
12
Hastarini Dwi Atmanti and Maal Naylah, ‘The Efficiency of Healthcare System in Indonesia in 2014-2018’, 7.6
(2019), 644–51.
13
Yussy A Mannas, ‘Hubungan Hukum Dokter Dan Pasien Serta Tanggung Jawab Dokter Dalam Penyelenggaran
Pelayanan Kesehatan (Legal Relations Between Doctors and Patients and The Accountability of Doctors in
Organizing Health Services)’, Cita Hukum, 6.1 (2018), 163–82.
14
I Ketut Agus Prasetyo, ‘Telemedicine Sebagai Alternatif Konsultasi Medis Di Masa Pandemi Covid-19’,
MERDEKA.COM, 2020.
15
Murniati, Lucia and Yustina, Endang Wahyati and Santoso, Siswo Putranto (2016) Implementasi Hospital
Bylaws Di Rumah Sakit Santo Antonio Baturaja Setelah Berlakunya Permenkes Nomor: 755/Menkes/Per/Iv/2011
Tentang Penyelenggaraan Komite Medik Di Rumah Sakit. SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan, 2 (2). pp. 143-
153.
3
Penyusunan Hospital by Laws diatur dalam “Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 772/MENKES/SK/VI.2002” yang mengatur pedoman peraturan internal rumah
sakit. Hospital by Laws menjadi penting karena mengubah status rumah sakit dari lembaga sosial
yang kebal hukum menjadi lembaga yang dapat menjadi subjek hukum. Oleh karena itu,
peraturan internal ini diperlukan untuk mengatur peran dan fungsi pemilik, pengelola, dan staf
medis, menjadikan rumah sakit lebih terstruktur dan akuntabel.
Hospital by Laws, atau peraturan rumah sakit, bukan hanya menjadi dasar hukum tetapi
juga fondasi untuk meningkatkan tata kelola yang efektif di rumah sakit. Tata kelola yang baik
dapat memberikan kontribusi positif terhadap mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut.
Pentingnya menciptakan tata kelola yang baik menuntut keselarasan antara pemilik rumah sakit,
pengelola, dan staf medis sebagai pelaksana layanan medis kepada pasien. Hospital by Laws
memiliki peran sentral karena memberikan landasan hukum yang jelas untuk mengatur
operasional organisasi di rumah sakit.
Pembentukan Hospital by Laws bertujuan untuk mengatasi kompleksitas hubungan antara
pemilik, pengelola, dan staf medis, sehingga dapat meminimalisir potensi kesalahan dan
permasalahan di masa mendatang. Hospital by Laws menjadi pijakan penting untuk memastikan
implementasi Hospital by Laws sebagai suatu peraturan internal yang efektif pada rumah sakit.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana implementasi hospital by law dalam organisasi rumah rakit berkualitas tinggi?

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definis dan Fungsi Hospital by Laws


Hospital by laws merupakan peraturan internal rumah sakit yang mengatur tata cara
penyelenggaraan rumah sakit, baik dari segi tata kelola korporasi maupun tata kelola klinis 16.
Penyusunan hospital by laws harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing
rumah sakit sepanjang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku serta berpedoman
pada Pedoman Penyusunan Hospital By Law yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.
Pedoman peraturan internal rumah sakit (Hospital by Laws) diatur dalam Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 772/Menkes/SK/VI/2002 tentang Pedoman
Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital By Laws). Peraturan internal rumah sakit adalah suatu
produk hukum yang merupakan anggaran rumah tangga rumah sakit yang ditetapkan oleh
pemilik rumah sakit atau yang mewakili. Peraturan rumah sakit bukan merupakan kumpulan
peraturan teknis administratif ataupun klinis sebuah rumah sakit, oleh karena itu SOP atau protap,
uraian tugas, surat keputusan direktur dan lain sebagainya bukan peraturan internal rumah sakit
tetapi lebih merupakan kebijakan teknis operasional. Peraturan internal rumah sakit mengatur:
- Organisasi pemilik atau yang mewakili
- Peran, tugas dan kewenangan pemilik atau yang mewakili
- Peran, tugas dan kewenangan direktur rumah sakit
- Organisasi staf medis
- Peran, tugas dan kewenangan staf medis
Fungsi peraturan internal rumah sakit adalah:
1. Sebagai acuan bagi pemilik rumah sakit dalam melakukan pengawasan rumah sakitnya.
2. Sebagai acuan bagi direktur rumah sakit dalam mengelola rumah sakit dan menyusun
kebijakan yang bersifat teknis operasional.
3. Sarana untuk menjamin efektifitas, efisiensi dan mutu.
4. Sarana perlindungan hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan rumah sakit
5. Sebagai acuan bagi penyelesaian konflik di rumah sakit antara pemilik, direktur rumah
sakit dan staf medis

16
Fira, A., 2019, Hospital By Laws Sebagai Pedoman Tata Kelola Rumah Sakit, SIP Law Firm
5
6. Untuk memenuhi persyaratan akreditasi rumah sakit.
Tujuan dan Manfaat peraturan internal rumah sakit:
1. Tujuan Peraturan Internal Rumah Sakit
a. Umum
Dimilikinya suatu tatanan peraturan dasar yang mengatur pemilik rumah sakit atau
yang mewakili, direktur rumah sakit dan tenaga medis sehingga penyelenggaraan
rumah sakit dapat efektif, efisien dan berkualitas
b. Khusus
1) Dimilikinya pedoman oleh rumah sakit dalam hubungannya dengan pemilik atau
yang mewakili, direktur rumah sakit dan staf medis
2) Dimilikinya pedoman dalam pembuatan kebijakan teknis operasional rumah sakit
3) Dimilikinya pedoman dalampengaturan saf medis
2. Manfaat peraturan internal rumah sakit
a. Untuk rumah sakit
1) Rumah sakit memiliki acuan hukum dalam bentuk anggaran rumah tangga
2) Rumah sakit memiliki kepastian hukum dalam pembagian kewenangan dan
tanggung jawab baik eksternal maupun internak yang dapat menjadi alat/sarana
perlindungan hukum bagi RS atas tuntutan/gugatan
3) Menunjang persyaratan akreditasi RS
4) Memiliki sarana /alat untuk meningkatkan mutu pelayanan RS
5) RS memiliki kejelasan arah dan tujuan dalam melaksanakan kegiatannya.
b. Untuk pengelola rumah sakit
1) Memiliki acuan tentang batas kewenangan, hak, kewajiban dan tanggung jawab
yang jelas sehingga memudahkan dalam menyelesaikan masalah yang timbul serta
dapat menjaga hubungan serasi dan selaras
2) Mempunyai pedoman resmi untuk menyusun kebijakan teknis operasional
c. Untuk pemerintah
1) Mengetahui arah dan tujuan rumah sakit tersebut didirikan
2) Acuan dalam menyelesaikan konflik di rumah sakit
d. Untuk pemilik
1) Mengetahui tugas dan kewajibannya
6
2) Acuan dalam menyelesaikan konflik internal
3) Acuan dalam menilai kinerja direktur rumah sakit
e. Untuk Masyarakat
1) Mengetahui visi, misi dan tujuan rumah sakit
2) Mengetahui hak dan kewajiban pasien.
Ciri dan Substansi Peraturan Internal Rumah Sakit
1. Peraturan internal rumah sakit adalah “tailor made”, ini berarti peraturan internal rumah
sakit dari satu rumah sakit berbeda dengan rumah sakit lainnya. Hal ini disebabkan karena
faktor-faktor internal rumah sakit seperti misalnya Sejarah, pendirian, kepemilikan,
situasi, dan kondisinya berlainan di setiap rumah sakit
2. Peraturan internal rumah sakit pada intinya mengatur hal-hal yang merupakan konsitusi
rumah sakit atau peraturan-peraturan dasar rumah sakit.
3. Peraturan ingternal rumah sakit pada prinsipnya adalah peraturan yang ditetapkan oleh
pemilik atau yang mewakili
4. Peraturan internal rumah sakit mengatur hubungan pemilik atau yang mewakili, direktur
rumah sakit dan staf medis
5. Uraian di dalam peraturan internal rumah sakit harus tegas, jelas dan terperinci
6. Karena rumusnya sudah jelas, maka peraturan internal rumah sakit tidak dapat ditafsirkan
lagi secara individual, sehingga tertutup kemungkinan untuk mengadakan penafsiran yang
berbeda.
7. Peraturan internal rumah sakit harus diterima, yang mempunyai otoritas dan ditaati oleh
pihak-pihak yang terkait.
8. Agar tetap up to date, maka peraturan internal rumah sakit harus di evaluasi secara
berkala.
Peraturan internal rumah sakit terdiri dari 2, yaitu:
1. Peraturan internal yang mengatur hubungan pemilik atau yang mewakili dengan direktur
RS (pengelola RS) yang disebut peraturan internal korporate (Corporate Bylaws).
2. Peraturan internal yang mengatur staf medis yang disebut peraturan internal staf medis
(Medical Staff Bylaws)17.

17
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik & Direktorat Pelayanan Medik
dan Gigi Spesialistik. (2002). Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital By Laws). Jakarta
7
Secara rinci akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Peraturan Internal Corporate (Peraturan Internal Institusi)
Istilah korporate biasa digunakan untuk badan hukum swasta, sedangkan untuk rumah
sakit pemerintah bisa digunakan istilah peraturan internal institusi. Sebelum menyusun
peraturan internal korporate ada hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Bentuk badan hukum pemilik rumah sakit
Bentuk badan hukum pemilik rumah sakit akan mempengaruhi organisasi pemilik
atau yang mewakili. Oleh karena itu peraturan yang mengatur badan hukum dan akte
badan hukum dari pemilik rumah sakit menjadi acuan utama dalam menyusun
peraturan internal korporate. Untuk mengetahui bentuk badan hukum pemilik rumah
sakit maka perlu mengetahui macam kepemilikan rumah sakit di Indonesia:
1) Rumah sakit milik pemerintah
a) Departemen Kesehatan
b) Departemen Kesehatan dan Departemen Keuangan (bentuk bdan hukumnya
adalah Perusahaan Jawatan)
c) Pemerintah Daerah Propinsi
d) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
e) Departemen Hankam dan Polri
f) Badan Usaha Milik Negara
g) Departemen lain
2) Rumah sakit milik swasta
a) Yayasan
b) Perseroan Terbatas (PT)
c) Badan hukum lainnya.
Perbedaan kepemilikan tersebut diatas, akan mempengaruhi organisasi badan
hukum pemilik, siapa yang dimaksud yang mewakili serta peran dan tugasnya.
b. Bentuk format peraturan internal korporate

8
Peraturan internal korporate adalah “tailor made”, maka bentuk format peraturan
internal korporate diserahkan ke masing-masing rumah sakit, dengan alternatif-
alternatif sebagai berikut18:
1) Merupakan surat keputusan dari pemilik atau yang mewakili dimana materi yang
diatur dikelompokkan menjadi bab dan pasal-pasal
2) Merupakan buku yang kemudian dilampiri dengan surat keputusan dari pemilik
atau yang mewakili untuk pemberlakuan buku tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, materi yang perlu diatur (dicantumkan) pada peraturan
internal korporate adalah:
1) Nama, Tujuan, Filosofi
a) Nama adalah nama badan hukum pemilik rumah sakit
b) Tujuan adalah tujuan rumah sakit didirikan
c) Filosofi adalah filosofi organisasi rumah sakit, merupakan organisasi laba atau
nirlaba.
2) Pengaturan tentang Governing Body
Pada peraturan internal korporate ini diharapkan ada kejelasan pengaturan
mengenai pemilik atau yang mewakili tersebut yaitu antara lain mengenai:
a) Komposisi atau keanggotaan
b) Kewenangan dan tanggung jawab
c) Peran terhadap staf medis
d) Pengaturan rapat
Pada umumnya tanggung jawab pemilik atau yang mewakili adalah :
- Menetapkan tujuan rumah sakit
- Mengawasi mutu pelayanan rumah sakit
- Mengawasi keterjangkauan pelayanan
- Meningkatkan peran masyarakat
- Melakukan integrasi dan koordinasi

18
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 772/Menkes/SK/VI/2002 tentang Pedoman Peraturan
Internal Rumah Sakit (Hospital By Laws).

9
Agar dapat menyusun peraturan mengenai komposisi atau keanggotaan,
kewenangan dan tanggung jawab yang lebih rinci serta pengaturan rapat maka
rumah sakit harus mengetahui mana yang disebut pemilik atau yang mewakili di
dalam badan hukum rumah sakit tersebut. Oleh karena itu bentuk badan hukum
perlu diketahui.
3) Pengorganisasian
Pengorganisasian pemilik atau yang mewakili yang diatur pada peraturan
internal rumah sakit ini antara lain meliputi:
a) Sebutan ketua, wakil ketua (bila ada), sekretaris dan tugas masing-masing
b) Jumlah anggota
c) Persyaratan menjadi anggota
d) Tata cara pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian
e) Lama tugas/mas kerja
4) Mekanisme pengawasan
Pemilik atau yang mewakili perlu melakukan pengawasan terhadap
kegiatan rumah sakit. Oleh karen itu pemilik atau yang mewakili perlu
mempunyaimekanisme pengawasan dan komite atau tim untuk melakukan
pengawasan. Pembentukan komite tentunya tergantung kebutuhan rumah sakit dan
bentuk badan hukum pemilik rumah sakit. Walaupun pembentukan komite
tergantung kebutuhan, namun ada empat komite dasar yang disarankan dimiliki
oleh governing body, yaitu:
a) Komite yang melakukan review pelayanan pasien (patient care review
committee)
b) Komite yang melakukan pengawasan keuangan dan anggaran (finance and
budget committee)
c) Komite yang melakukan pengawasan bangunan dan pekerjaan (house and
work committee)
d) Komite yang memberikan saran gterhadap penetapan staf medis (medical
appointment advisory committee)
Mengingat di rumah sakit sudah ada komite-komite maka untuk efisiensi pemilik
rumah sakit atau yang mewakili dapat mengoptimalkan komite-komite yang sudah
10
ada di dalam rumah sakit agar dibuat mekanisme hubungan kerja antara pemilik
rumah sakit atau yang mewakili dengan komite-komite yang ada di dalam rumah
sakit.
5) Direktur Rumah Sakit
Pengaturan yang terkait dengan direktur rumah sakit antara lain:
a) Sebutan pimpinan tertinggi di rumah sakit, diman masing-masing rumah sakit
berbeda. Ada yang menyebut direktur utama, direktur, kepala rumah sakit dll
b) Jumlah direksi
c) Persyaratan menjadi direksi
d) Tugas dan wewenang
e) Tata cara pengangkatan dan pemberhentian
f) Lama tugas atau masa kerja
g) Hubungan dengan pemilik rumah sakit atau yang mewakili
h) Hubungan dengan staf medis
6) Mekanisme review dan revisi
Perlu disusun aturan bagaimana melakukan review dan revisi peraturan
internal korporate dan siapa yang berwenang melakukannya.
7) Peraturan rumah sakit
Perlu ditekankan pada peraturan korporate ini bahwa kebijakan teknis
operasional rumah sakit tidak boleh bertentangan dengan peraturan internal
korporate.

2. Peraturan Internal Staf Medis (Medical Staff Bylaws)


Peraturan internal staf medis adalah peraturan internal rumah sakit yang mengatur
staf medis. Yang dimaksaud staf medis disini adalah dokter dan dokter gigi. Peraturan
tentang internal staf medis yaitu terdapat pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 631/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Peraturan Internal Staf
Medis (Medical Staff Bylaws) di Rumah Sakit.
Tujuan disusunnya peraturan internal staf medis adalah:
a. Agar ada kerjasama yang baik antara staf medis, pemilik atau yang mewakili dan
pimpinan administrative rumah sakit
11
b. Agar tejadi adapatasi kepentingan dokter dan kepentingan rumah sakit
c. Agar staf medis bertanggung jawab atas mutu pelayanan medik rumah sakit.
Fungsi disusunnya peraturan internal staf medis yaitu:
a. Menggambarkan pengorganisasian staf medis di rumah sakit
b. Memuat prosedur dan persyaratan penerimaan tenaga medis di rumah sakit
c. Mengatur mekanisme peer-review, re-appoinment, privileges dan pendisiplinan.
d. Memuat prosedur pengajuan permohonan sebagai staf medis
e. Sebagai acuan pemberian pelayanan berdasarkan standar pelayanan profesi dan kode
etik.
Rumah sakit diharapkan dapat menyusun peraturan internal satf medis dengan
format minimal sebagai berikut:
1. Nama organisasi : Rumah Sakit ….. ( sebutkan nama rumah sakit)
2. Pendahuluan
3. Bab I (Ketentuan Umum) : memuat penjelasan tentang istilah-istilah dan konsep-
konsep yang digunakan dalam medical staff bylaws.
4. Bab II ( Nama, tujuan, tanggung jawab)
5. Bab III ( Pengangkatan staf medis dan pengangkatan kembali)
6. Bab IV ( Kategori staf medis)
7. Bab V (Kewenangan Klinis/ Clinical Privileges)
8. Bab VI (Pembinaan)
9. Bab VII (Pengorganisasian staf medis dan komite medis)
10. Bab VIII (Rapat)
11. Bab IX (Kerahasiaan dan informasi medis)
12. Bab X (Pengawasan)
13. Bab XI (Ketentuan perubahan)
14. Bab XII (Penutup)

2.2 Proses Penyusunan Hospital by Laws

12
Pembuatan Hospital By Laws (peraturan rumah sakit) melibatkan beberapa langkah
penting. Berikut adalah penjelasan tahapan-tahapan mengenai cara pembuatan Hospital By
Laws:19 20 21 22
1. Pemahaman tentang Peraturan dan Kebijakan yang Berlaku.
Langkah pertama adalah memahami peraturan dan kebijakan yang berlaku di wilayah atau
negara di mana rumah sakit akan beroperasi. Ini termasuk peraturan kesehatan, kode etik
medis, dan undang-undang terkait lainnya yang mengatur pengelolaan rumah sakit.
2. Identifikasi Tujuan dan Kebutuhan.
Setelah memahami peraturan dan kebijakan yang berlaku, langkah selanjutnya adalah
mengidentifikasi tujuan dan kebutuhan rumah sakit yang akan diatur oleh Hospital By
Laws. Ini melibatkan penentuan misi dan visi rumah sakit, serta menentukan struktur
organisasi, tanggung jawab, dan prosedur operasional yang relevan.
3. Pembentukan Komite Penyusunan.
Rumah sakit perlu membentuk komite khusus untuk menyusun Hospital By Laws. Ini
dapat melibatkan pengurus rumah sakit, direktur medis, dokter, perawat, dan wakil staf
lainnya yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang relevan dalam pengelolaan
rumah sakit.
4. Penelitian dan Analisis.
Komite penyusunan akan melakukan penelitian dan analisis untuk mengidentifikasi
praktek terbaik dan standar industri yang relevan yang akan diadopsi dalam Hospital By
Laws. Ini mencakup penelitian terhadap literatur, konsultasi ahli, dan studi kasus dari
rumah sakit lain yang serupa.
5. Drafting By Laws.
Setelah melakukan penelitian dan analisis, komite penyusunan akan mulai menyusun draf
Hospital By Laws. Draf ini harus mencakup ketentuan-ketentuan yang mencerminkan

19
Fira, A., 2019, Hospital By Laws Sebagai Pedoman Tata Kelola Rumah Sakit, SIP Law Firm.
20
Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 Tentang Rumah Sakit.
21
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 772/Menkes/SK/VI/2002 tentang Pedoman Peraturan
Internal Rumah Sakit (Hospital By Laws).
22
Keputusan Menteri Kesehatan No. 631/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Peraturan Internal Staf Medis
(Medical Staff By Laws).

13
tujuan dan kebutuhan rumah sakit, serta mempertimbangkan peraturan dan kebijakan
yang berlaku.
6. Konsultasi dan Review.
Setelah draft Hospital By Laws disusun, langkah selanjutnya adalah melakukan konsultasi
dan review dengan berbagai pihak terkait, seperti pengurus rumah sakit, staf medis, dan
tenaga profesional lainnya. Masukan dari pihak-pihak ini akan membantu memperbaiki
dan memperkaya isi Hospital By Laws.
7. Pembahasan dan Persetujuan.
Setelah melakukan konsultasi dan review, draft Hospital By Laws akan dibahas dalam
rapat pengurus rumah sakit dan rapat dewan direksi. Setelah mencapai kesepakatan,
Hospital By Laws harus disahkan dan disetujui secara resmi oleh pihak berwenang, seperti
dewan pengawas rumah sakit atau badan regulasi kesehatan yang berlaku di negara atau
wilayah tersebut.
8. Implementasi dan Penyusunan Panduan.
Setelah Hospital By Laws disahkan, langkah akhir adalah implementasi dan penyusunan
panduan operasional yang terkait dengan setiap ketentuan Hospital By Laws. Panduan ini
akan membantu staf rumah sakit untuk memahami dan mengikuti prosedur yang
ditetapkan dalam Hospital By Laws.
Dalam pembuatan Hospital By Laws, penting untuk melibatkan berbagai pihak yang terkait,
memperhatikan peraturan dan kebijakan yang berlaku, serta memastikan bahwa Hospital By
Laws mencerminkan tujuan dan kebutuhan rumah sakit serta memenuhi standar industri yang
relevan.

2.3 Implementasi Hospital by Laws


Secara Yuridis, Hospital by Laws tidak dapat dicampur dengan aturan lain yang
ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit, kekeliruan utama dalam memahami Hospital by Laws
adalah ketika menganggap bahwa Hospital by Laws sebagai seperangkat Standar Operasional
Prosedur (SOP) rumah sakit, kebijakan tertulis rumah sakit, job description tenaga kesehatan dan
petugas rumah sakit sehingga dengan kekeliruan pemahaman tersebut rumah sakit menganggap
telah memiliki Hospital by Laws padahal Hospital by Laws bukan mengatur kebijakan teknis
operasional rumah sakit melainkan mengatur hal-hal, sebagai berikut:
14
1. Organisasi pemilik Rumah Sakit atau yang mewakili.
2. Peran, tugas, dan kewenangan pemilik Rumah Sakit atau yang mewakili.
3. Peran, tugas, dan kewenangan Direktur Rumah Sakit.
4. Organisasi Staf Medis.
5. Peran, tugas dan kewenangan Staf Medis.
Implementasi Hospital By Laws di rumah sakit melibatkan beberapa langkah penting. Langkah-
langkah tersebut adalah:
1. Sosialisasi dan Pelatihan.
Langkah pertama dalam implementasi Hospital By Laws adalah melakukan sosialisasi dan
pelatihan kepada seluruh personel rumah sakit. Langkah ini meliputi penyampaian
informasi tentang tujuan, isi dan implikasi Hospital By Laws kepada staf rumah sakit.
Pelatihan juga harus diberikan kepada personel mengenai prosedur operasional baru yang
diperkenalkan oleh Hospital By Laws.
2. Pengorganisasian dan Penugasan.
Setelah personel rumah sakit memiliki pemahaman dasar tentang Hospital By Laws,
langkah selanjutnya adalah mengorganisasikan dan menugaskan mereka sesuai dengan
struktur organisasi baru yang ditetapkan oleh Hospital By Laws. Ini mencakup
penyerahan tanggung jawab, tugas dan wewenang kepada staf sesuai dengan peran dan
hierarki baru yang didefinisikan dalam Hospital By Laws.
3. Pengembangan Proses Kerja.
Dalam implementasi Hospital By Laws, penting untuk mengembangkan dan
menyesuaikan proses kerja dengan ketentuan yang diatur dalam Hospital By Laws. Ini
mencakup adopsi prosedur baru, pembentukan kebijakan dan panduan operasional yang
sesuai dengan Hospital By Laws dan pemantauan performa untuk memastikan kepatuhan
terhadap ketentuan-ketentuan yang ditetapkan.
4. Pelaksanaan Audit dan Pemantauan.
Untuk memastikan keberhasilan implementasi Hospital By Laws, penting untuk
melaksanakan audit dan pemantauan secara berkala. Audit tersebut bertujuan untuk
memverifikasi kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan Hospital By Laws, mendeteksi
dan menangani pelanggaran dan mengidentifikasi potensi perbaikan atau penyempurnaan
yang diperlukan dalam pelaksanaan Hospital By Laws.
15
5. Komunikasi dan Konsultasi.
Selama implementasi Hospital By Laws, penting untuk menjaga komunikasi dan
konsultasi yang terbuka dengan semua pihak terkait, termasuk staf rumah sakit,
manajemen, departemen terkait, dan pemangku kepentingan lainnya. Langkah ini penting
untuk membantu memecahkan masalah yang muncul, menyampaikan perubahan atau
revisi yang perlu dilakukan pada Hospital By Laws serta membangun keterlibatan dan
dukungan dalam pengimplementasian Hospital By Laws.
6. Evaluasi dan Perbaikan.
Setelah jangka waktu tertentu, evaluasi harus dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas
dan efisiensi implementasi Hospital By Laws. Evaluasi ini dapat melibatkan analisis data,
umpan balik dari staf dan pemangku kepentingan lainnya serta penilaian terhadap tujuan
yang ditetapkan dalam Hospital By Laws. Jika diperlukan, perbaikan atau penyempurnaan
dapat dilakukan untuk meningkatkan implementasi Hospital By Laws.

2.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Implementasi Hospital by Laws


2.4.1 Faktor Yuridis
Menurut “Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2019 tentang Klasifikasi dan
Perizinan Rumah Sakit,” rumah sakit didefinisikan sebagai institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dengan menyediakan layanan rawat
inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah sakit pada umumnya dianggap sebagai suatu
organisasi, walaupun memiliki perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan organisasi
institusi lainnya. Keunikan rumah sakit terletak pada kompleksitasnya, karena mengatur
kebijakan dan kegiatan yang melibatkan sistem kerja yang berbeda, termasuk perbedaan dalam
tugas, peran, dan tanggung jawab. Hal ini membuat organisasi rumah sakit dianggap sulit untuk
dikelola karena menghadapi tantangan yang unik dalam menjalankan fungsinya sebagai
penyelenggara pelayanan kesehatan yang komprehensif.23
Berdasarkan “Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 755/MENKES/PER/IV/2011 tentang
Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit,” Komite Medik diidentifikasi sebagai suatu
elemen penting dalam struktur rumah sakit. Tugas utama Komite Medik adalah menerapkan tata
23
Ahid Nur Hidayati, Bagus Aprianto, and Novita Dwi Istanti, ‘Studi Literatur Faktor Keberhasilan Tata Kelola
Organisasi Berdasarkan Peraturan Internal Rumah Sakit’, PREPOTIF : Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6.1
(2022), 309–15 <https://doi.org/10.31004/prepotif.v6i1.2868>.
16
kelola klinis yang baik, memastikan keprofesionalan staf medis melalui mekanisme kredensial,
peningkatan mutu profesi medis, dan pemeliharaan etika serta disiplin profesi medis. Meskipun
Komite Medik ini tidak memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan lainnya,
peranannya sangat vital dalam melindungi berbagai pihak di dalam rumah sakit melalui regulasi
internal.
Dalam konteks akreditasi rumah sakit, keberadaan dokumen Hospital by Laws rumah
sakit menjadi krusial. Tanpa Hospital by Laws, suatu rumah sakit dapat gagal dalam pengajuan
akreditasi. Hospital by Laws tidak hanya menjadi syarat formal untuk izin rumah sakit, tetapi
juga memainkan peran kunci dalam memastikan kualitas dan keberlanjutan operasional rumah
sakit. Untuk menjaga kualitas layanan kesehatan, komitmen terhadap Hospital by Laws dan
upaya meningkatkan budaya mutu organisasi menjadi krusial. Hanya dengan keterlibatan penuh
dan dukungan terhadap Hospital by Laws, rumah sakit dapat mencapai peningkatan mutu layanan
kesehatan yang berkelanjutan.

2.4.2 Faktor Teknis


Faktor teknis melibatkan penggunaan sumber daya untuk meningkatkan kinerja organisasi,
dan dalam konteks tata kelola organisasi, faktor teknis tersebut mencakup hal-hal, sebagai
berikut:
1. Budaya Organisasi
Budaya organisasi juga dipandang sebagai suatu sistem makna bersama yang dipegang
24
oleh anggotanya dan membedakan suatu organisasi dari organisasi lainnya. Setiap rumah sakit
memiliki budaya organisasi yang unik, terutama rumah sakit badan layanan umum yang
cenderung memiliki budaya organisasi yang mandiri. Pembentukan budaya organisasi yang
mendukung strategi organisasi dapat menjadi alat superior kompetitif. Budaya organisasi
digunakan sebagai alat strategis dalam menghadapi perubahan dan menjadi salah satu pilar
keunggulan kompetitif bagi rumah sakit yang mengarahkan mereka memiliki sumber daya yang
berkualitas.
Budaya organisasi memiliki potensi untuk meningkatkan prospek masa depan organisasi
dari perspektif manajerial.25 Budaya organisasi yang kuat dan sehat dapat berfungsi sebagai
24
Robbin and Judge, Perilaku Organisasi (Jakarta: Salemba Empat, 2015).
25
Salaheddine Bendak, Amir Moued Shikhli, and Refaat H. Abdel-Razek, ‘How Changing Organizational Culture
Can Enhance Innovation? Development of the Innovative Culture Enhancement Framework’, Cogent Business
17
tuntutan yang mengikat pegawai karena secara resmi dirumuskan dalam berbagai peraturan dan
regulasi organisasi. Budaya organisasi akan menciptakan peningkatan produktivitas dan kinerja,
serta dapat memengaruhi efektivitas organisasi. Hal ini karena untuk mencapai efektivitas,
diperlukan budaya organisasi, strategi, lingkungan, dan teknologi yang sesuai. 26 Dengan
memberikan prioritas pada kesehatan personil di tempat kerja, rumah sakit dapat memberikan
layanan berkualitas tinggi kepada pasien dan meningkatkan kepuasan pasien terhadap
organisasi.27
Sebagai organisasi dinamis, rumah sakit memperhatikan hal-hal yang baik. Namun, jika
budaya organisasi yang dominan di rumah sakit tidak berupaya untuk meningkatkan kesehatan
personelnya, rumah sakit tidak dapat mencapai tujuannya untuk memberikan kepuasan kerja,
layanan berkualitas tinggi kepada pasien, dan masyarakat. 28 Budaya organisasi mengacu pada
nilai-nilai bersama, keyakinan, sikap, adat istiadat, dan perilaku yang menggambarkan suatu
organisasi. Hal ini adalah konsep yang kompleks yang mencakup berbagai aspek kehidupan
organisasi, seperti pola komunikasi, proses pengambilan keputusan, gaya kepemimpinan, dan
perilaku karyawan.29
Dalam konteks implementasi manajemen kualitas layanan medis berdasarkan perspektif
Hospital By Law, budaya organisasi memainkan peran sentral yang memengaruhi kesuksesan
proses tersebut. Budaya organisasi yang kuat dan sehat cenderung mendukung kepatuhan
terhadap aturan dan regulasi yang diatur oleh Hospital By Law. Sebaliknya, budaya organisasi
yang kurang mendukung atau tidak konsisten dengan prinsip-prinsip Hospital By Law dapat
menghambat implementasi manajemen kualitas layanan medis. Oleh karena itu, pembentukan
dan pemeliharaan budaya organisasi yang sesuai dengan tuntutan Hospital By Law menjadi
krusial untuk mencapai tujuan kualitas layanan medis yang optimal di lingkungan rumah sakit.
2. Manajemen Sumber Daya Manusia

and Management, 7.1 (2020) <https://doi.org/10.1080/23311975.2020.1712125>.


26
Johanna Loporto, ‘Competency Development and Implementation among Direct Support Professionals in New
York State’, Walden University (Walden University, 2019).
27
Haeba Abdul Ramli, ‘Patient Service and Satisfaction Systems’, Business and Entrepreneurial Review, 15.2
(2019), 189–200.
28
Y Hamidi, Hazavehei, and A Karimi-Shahanjarini, ‘Health Promoting Hospitals in Iran: A Review of the Current
Status, Challenges, and Future Prospects.’, Medical Journal of Islam Republic Iran, 33 (2019), 47.
29
Juan Meng and Bruce K Berger, ‘The Impact of Organizational Culture and Leadership Performance on PR
Professionals ’ Job Satisfaction: Testing the Joint Mediating e Ff Ects of Engagement and Trust’, Public
Relations Review, 45.1 (2019), 64–75 <https://doi.org/10.1016/j.pubrev.2018.11.002>.
18
Manajemen sumber daya manusia telah menjadi fokus perhatian yang meningkat dalam
sistem kesehatan di seluruh dunia. Sumber daya manusia adalah salah satu dari tiga elemen utama
dalam sistem kesehatan, bersama dengan modal fisik dan barang habis pakai. 30 Dalam konteks
perawatan kesehatan, sumber daya manusia mencakup berbagai staf klinis dan non-klinis yang
bertanggung jawab terhadap kesehatan individu dan masyarakat. Kinerja dan efektivitas sistem
kesehatan sangat bergantung pada pengetahuan, keterampilan, dan motivasi individu yang
menyediakan layanan kesehatan.31
Manajemen sumber daya manusia di sektor perawatan kesehatan adalah bagian penting dari
manajemen yang menerapkan prinsip-prinsip ilmiah. Departemen personil di sektor perawatan
kesehatan memiliki peran krusial dalam menyediakan layanan kesehatan, selain sumber daya
keuangan dan fisik. Manajemen sumber daya manusia memungkinkan penyampaian layanan
kesehatan yang efisien dan mencapai kepuasan pasien. Keberhasilan organisasi sangat
bergantung pada penerapan praktik manajemen sumber daya manusia yang efektif.32
Manajemen tingkat atas di rumah sakit harus memiliki visi yang jelas dan merumuskan
strategi. Tujuan organisasi harus dijelaskan kepada semua karyawan. Menekankan tinjauan
kinerja rutin, pelatihan, dan pengembangan untuk dokter, perawat, dan paramedis akan
meningkatkan kualitas layanan kesehatan. Selain itu, ada berbagai cara untuk memastikan kinerja
sumber daya manusia dalam organisasi, salah satunya melalui pengembangan sistem pengukuran
kinerja manajemen sumber daya manusia.33
Dapat disimpulkan bahwa Manajemen SDM memainkan peran kritis dalam implementasi
manajemen kualitas layanan medis, khususnya dalam kerangka Hospital By Law. Kualitas
layanan medis yang optimal memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas, terampil, dan
termotivasi di sektor kesehatan. Dengan penerapan prinsip-prinsip Manajemen SDM yang
efektif, termasuk pengembangan staf, pelatihan, dan penilaian kinerja yang teratur, rumah sakit
30
S. C. Jacob, J. Manalel, and M. C. Minimol, ‘Service Quality in the Healthcare Sector: Do Human Resource
Management Practices Matter?’, British Journal of Health Care Management, 26.2 (2020), 1–9
<https://doi.org/10.12968/bjhc.2019.0009>.
31
Baigireyeva, Z., Beisengaliyev, B., Kicha, D., Niyazbekova, S., & Maisigova, L. (2021). Analysis of the
influence of ecology on human resources management in the healthcare system. Journal of Environmental
Management and Tourism, 12(7), 1980–1996. Scopus. https://doi.org/10.14505/jemt.v12.7(55).23
32
Currie, G., & Spyridonidis, D. (2022). From what we know to what we do: Human resource management
intervention to support mode 2 healthcare research. Human Resource Management Journal. Scopus.
https://doi.org/10.1111/1748-8583.12484
33
Suriyankietkaew, S., & Kungwanpongpun, P. (2022). Strategic leadership and management factors driving
sustainability in health-care organizations in Thailand. Journal of Health Organization and Management,
36(4), 448–468. Scopus. https://doi.org/10.1108/JHOM-05-2021-0165
19
dapat meningkatkan kualitas layanan medis sesuai dengan ketentuan Hospital By Law. Oleh
karena itu, strategi manajemen SDM yang terencana dengan baik merupakan elemen penting
dalam memastikan keberhasilan implementasi standar layanan medis yang diatur oleh peraturan
tersebut.
3. Pengukuran Kualitas Layanan
Pengukuran rutin terhadap kualitas layanan kesehatan adalah prinsip pokok dalam
program perbaikan kualitas yang telah diperkenalkan dalam beberapa pengaturan dengan sumber
daya terbatas sebagai cara utama untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan. Ini mencakup
sejauh mana layanan kesehatan untuk individu dan populasi bersifat efektif, aman, dan berfokus
pada kebutuhan individu.34
Perkembangan teknologi informasi selama beberapa dekade terakhir, bersama dengan
tuntutan pertanggungjawaban dan pengukuran berkala terhadap kualitas perawatan yang semakin
meningkat, telah menghasilkan peningkatan indikator, alat, dan pendekatan untuk mengukur
kinerja sistem kesehatan.35 Sistem informasi kesehatan rutin (Routine Health Information
Systems/RHIS) yang mengumpulkan data berkualitas tinggi untuk memfasilitasi penggunaan data
secara teratur dalam pemantauan tren waktu nyata dalam proses dan hasil perawatan kesehatan
sangat penting.36
Pengukuran berkala tidak akan meningkatkan layanan kesehatan dengan sendirinya.
Pengukuran harus dikaitkan dengan tindakan khusus untuk meningkatkan perawatan, termasuk
proses manajemen perubahan untuk mencapai dan mempertahankan perbaikan layanan kesehatan
dalam skala besar. Penyesuaian ini memerlukan pemahaman terhadap tantangan yang terkait
dengan model saat ini dalam layanan kesehatan, terutama di pengaturan sumber daya rendah. 37
Dalam konteks implementasi manajemen kualitas layanan medis berdasarkan perspektif
Hospital By Law, pengukuran kualitas layanan memegang peran sentral. Pengukuran kualitas
layanan tidak hanya menjadi prinsip inti dari program perbaikan kualitas, tetapi juga menjadi
kunci untuk memastikan efektivitas, keselamatan, dan pelayanan yang berorientasi pada pasien.
34
World Health Organization. Handbook for national quality policy and strategy – a practical approach for
developing policy and strategy to improve quality of care. World Health Organization, 2018
35
Hysong SJ, Arredondo K, Hughes AM, et al. An evidence-based, structured, expert approach to selecting
essential indicators of primary care quality. PLoS One 2022;17:e0261263. doi:10.1371/ journal.pone.0261263
36
Perić N, Hofmarcher MM, Simon J. Headline indicators for monitoring the performance of health systems:
findings from the European health systems indicator (euHS_I) survey. Arch Public Health 2018;76:32.
doi:10.1186/s13690-018-0278-0
37
Ambrose Agweyu and others, ‘Regular Measurement Is Essential but Insufficient to Improve Quality of
Healthcare’, BMJ Global Health, 1.1 (2023), 1–4 <https://doi.org/10.1136/bmj-2022-073412>.
20
Perkembangan teknologi informasi dan tuntutan akuntabilitas telah menghasilkan berbagai
indikator, alat, dan pendekatan untuk mengukur kinerja sistem kesehatan. Namun, pengukuran
kualitas layanan perlu diimbangi dengan tindakan konkret untuk meningkatkan perawatan,
termasuk proses manajemen perubahan agar dapat mencapai dan menjaga perbaikan kesehatan
berskala besar. Penyesuaian ini memerlukan pemahaman atas tantangan yang terkait dengan
model kesehatan saat ini, terutama di lingkungan sumber daya terbatas.
4. Struktur Birokrasi
Akibat kecenderungan birokratis, sebagian besar pekerja kesehatan memiliki sikap kerja
yang buruk, dan ini memiliki dampak negatif yang mendalam pada kualitas layanan kepada
pasien dan sistem kesehatan mereka. Secara serupa, proses birokratis dan sikap kerja yang kurang
baik telah meresahkan seluruh sektor publik dalam ekonomi nasional kita. Dari pengamatan,
tidak hanya sektor kesehatan, tetapi hampir semua badan usaha umum, kementerian, dan lembaga
publik identik dengan perhatian yang tertunda dan lambat ketika berbicara tentang penyampaian
layanan yang berkualitas dan efisien.38
Tantangan dari proses birokratis yang menunda pasien yang membutuhkan perhatian segera
terlihat dalam penelitian Segel (2019)39, yang mendukung penjelasan di atas, dan berpendapat
bahwa birokrasi menghambat perbaikan dalam pelayanan kesehatan. Tantangan yang dirasakan di
seluruh rumah sakit yang didirikan oleh pemerintah dan fasilitas perawatan kesehatan adalah
kesulitan mendapatkan respons dan perhatian yang memadai selama kunjungan ke rumah sakit,
yang telah menyebabkan kerugian besar pada sistem kesehatan warga. Beberapa pasien telah
sengaja atau tidak disengaja menjadi korban dalam proses penundaan pemberian perhatian yang
cepat kepada pasien dengan alasan pola kerja birokratis. Sebagian besar waktu, sifat birokratis ini
berlangsung lebih lama dari biasanya dan telah berubah menjadi pengabaian dan penyalahgunaan
profesi serta etika bisnis oleh pekerja kesehatan. 40
Pelayanan buruk dari birokrasi publik kadang-kadang dikritik berdasarkan prinsip
ketidakterlibatan personal, namun demikian, menciptakan kesenjangan antara organisasi
birokratis dan masyarakat. Selain itu, penelitian telah mengungkapkan bahwa proses birokratis
memakan waktu terlalu lama dan tidak produktif, menghambat ide inovatif dan perbaikan,
38
Owolabi Lateef Kuye and Olusegun Emmanuel Akinwale, ‘Conundrum of Bureaucratic Processes and
Healthcare Service Delivery in Government Hospitals in Nigeria’, Journal of Humanities and Applied Social
Sciences, 3.1 (2021), 25–48 <https://doi.org/10.1108/JHASS-12-2019-0081>.
39
Kenneth T Segel, Bureaucratic Is Keeping Health Care from Getting Better (Harvard Business Review, 2019).
40
Kuye and Akinwale.
21
bersifat dingin dan tidak peduli, menghambat kontrol hierarkis, dipenuhi dengan red-tapism, dan
rentan terhadap pergeseran tujuan yang signifikan yang disebut sebagai "disfungsi birokratis". 41
Struktur operasional yang sangat rutin ini seringkali secara negatif mempengaruhi penyampaian
layanan kesehatan berkualitas di rumah sakit milik pemerintah dan pusat kesehatan institusi
terkemuka yang sedang dievaluasi dalam penelitian ini sejalan dengan opini dan persepsi
masyarakat terhadap para pekerja kesehatan di rumah sakit.
Dapat disimpulkan bahwa struktur birokrasi memiliki dampak signifikan terhadap
implementasi manajemen kualitas layanan medis, khususnya dalam konteks Hospital By Law.
Kecondongan birokratis yang lambat dan berbelit-belit dapat menghambat efektivitas layanan
kesehatan di rumah sakit, memperpanjang waktu respons terhadap pasien, dan menghambat
inovasi serta peningkatan. Fenomena "disfungsi birokratis" yang mencakup berbagai kendala,
seperti lambannya proses, kurangnya perhatian, dan red-tapism, dapat mempengaruhi negatif
upaya penyediaan layanan kesehatan yang berkualitas. Peningkatan struktur birokrasi perlu
menjadi fokus dalam upaya meningkatkan manajemen kualitas layanan medis sesuai dengan
perspektif Hospital By Law.

41
J. Chewa, D. Minja, and J. G. Njoroge, ‘Moderating Effect of Working Environment on Government
Bureaucracy and Service Delivery in State Owned Enterprises in the Energy Sector in Kenya’, Strategic Journal
of Business & Change Management, 10.1 (2023) <https://doi.org/10.61426/sjbcm.v10i1.2524>.
22
BAB IV
KESIMPULAN

Hospital by laws merupakan peraturan internal rumah sakit yang mengatur tata cara
penyelenggaraan rumah sakit, baik dari segi tata kelola korporasi maupun tata kelola klinis.
Penyusunan hospital by laws harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing
rumah sakit sepanjang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku serta berpedoman
pada Pedoman Penyusunan Hospital By Law yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.
Hospital By Laws, penting untuk melibatkan berbagai pihak yang terkait, memperhatikan
peraturan dan kebijakan yang berlaku, serta memastikan bahwa Hospital By Laws mencerminkan
tujuan dan kebutuhan rumah sakit serta memenuhi standar industri yang relevan
Faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan implementasi manajemen kualitas layanan
medis berdasarkan perspektif hospital by law, dapat dibedakan menjadi faktor yuridis dan faktor
teknis. Faktor yuridis melibatkan kebijakan hukum dan peraturan pemerintah terkait rumah sakit,
sementara faktor teknis mencakup budaya, sumber daya manusia yang terbatas, komunikasi,
pengawasan, dan struktur birokrasi. Faktor yuridis memegang peranan penting dalam
menentukan kerangka hukum dan kepatuhan rumah sakit terhadap regulasi yang berlaku. Di sisi
lain, faktor teknis mencakup aspek-aspek manajerial seperti budaya organisasi, pengelolaan
sumber daya manusia, komunikasi, pengawasan, dan struktur birokrasi. Rumah sakit yang
berhasil menerapkan manajemen kualitas layanan dianggap menganut prinsip tata kelola yang
baik, tidak hanya dalam hal pertanggungjawaban di depan hukum, tetapi juga dari perspektif
manajemen yang efektif. Dengan demikian, integrasi baik faktor yuridis maupun teknis menjadi
kunci dalam mencapai tata kelola organisasi yang optimal dalam konteks pelayanan kesehatan

23
DAFTAR PUSTAKA
Abbasi-Moghaddam, Mohammad Ali, Ehsan Zarei, Rafat Bagherzadeh, Hossein Dargahi, and
Pouria Farrokhi, ‘Evaluation of Service Quality from Patients’ Viewpoint’, BMC Health
Services Research, 19.1 (2019), 1–7 https://doi.org/10.1186/s12913-019-3998-0
Agusti, Wan ‘Perlindungan Hukum Terhadap Layanan Kesehatan Masyarakat Kota Pekanbaru
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan’, Jurnal Hukum
Respublica, 19.2 (2020), 111–32 https://doi.org/10.31849/respublica.v19i2.5678
Agweyu, Ambrose, Kathleen Hill, Theresa Diaz, Debra Jackson, Binyam G. Hailu, and Moise
Muzigaba, ‘Regular Measurement Is Essential but Insufficient to Improve Quality of
Healthcare’, BMJ Global Health, 1.1 (2023), 1–4 https://doi.org/10.1136/bmj-2022-073412
Alhassan, Robert Kaba, Stephen Opoku Duku, Wendy Janssens, Edward Nketiah-Amponsah,
Nicole Spieker, Paul Van Ostenberg, and others, ‘Comparison of Perceived and Technical
Healthcare Quality in Primary Health Facilities: Implications for a Sustainable National
Health Insurance Scheme in Ghana’, PLoS ONE, 10.10 (2018), 1–19
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0140109
Aryati, Mela, Deddy Almasdy, Husna Yetti, and Aldino Desra, ‘Outpatient’s Satisfaction
Analysis of Pharmaceutical Service in Pharmacy Installation in Reksodiwiryo Hospital
Padang’, Disease Prevention and Public Health Journal, 16.2 (2022), 147–58
https://doi.org/10.12928/dpphj.v16i2.6176
Atmanti, Hastarini Dwi, and Maal Naylah, ‘The Efficiency of Healthcare System in Indonesia in
2014-2018’, 7.6 (2019), 644–51
Baigireyeva, Z., Beisengaliyev, B., Kicha, D., Niyazbekova, S., & Maisigova, L. (2021).
Analysis of the influence of ecology on human resources management in the healthcare
system. Journal of Environmental Management and Tourism, 12(7), 1980–1996.
Scopus. https://doi.org/10.14505/jemt.v12.7(55).23
Bendak, Salaheddine, Amir Moued Shikhli, and Refaat H. Abdel-Razek, ‘How Changing
Organizational Culture Can Enhance Innovation? Development of the Innovative Culture
Enhancement Framework’, Cogent Business and Management, 7.1 (2020)
https://doi.org/10.1080/23311975.2020.1712125
Chewa, J., D. Minja, and J. G. Njoroge, ‘Moderating Effect of Working Environment on
Government Bureaucracy and Service Delivery in State Owned Enterprises in the Energy
Sector in Kenya’, Strategic Journal of Business & Change Management, 10.1 (2023)
https://doi.org/10.61426/sjbcm.v10i1.2524
Currie, G., & Spyridonidis, D. (2022). From what we know to what we do: Human resource
management intervention to support mode 2 healthcare research. Human Resource
Management Journal. Scopus. https://doi.org/10.1111/1748-8583.12484
Darzi, Mushtaq Ahmad, Sheikh Basharul Islam, Syed Owais Khursheed, and Suhail Ahmad
Bhat, ‘Service Quality in the Healthcare Sector: A Systematic Review and Meta-Analysis’,
LBS Journal of Management & Research, 21.1 (2023), 13–29
https://doi.org/10.1108/lbsjmr-06-2022-0025
Hamidi, Y, Hazavehei, and A Karimi-Shahanjarini, ‘Health Promoting Hospitals in Iran: A
Review of the Current Status, Challenges, and Future Prospects.’, Medical Journal of
Islam Republic Iran, 33 (2019), 47
Hidayati, Ahid Nur, Bagus Aprianto, and Novita Dwi Istanti, ‘Studi Literatur Faktor
Keberhasilan Tata Kelola Organisasi Berdasarkan Peraturan Internal Rumah Sakit’,
PREPOTIF : Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6.1 (2022), 309–15
https://doi.org/10.31004/prepotif.v6i1.2868
Hysong SJ, Arredondo K, Hughes AM, et al. An evidence-based, structured, expert approach to
selecting essential indicators of primary care quality. PLoS One 2022;17:e0261263.
https://doi:10.1371/ journal.pone.0261263
Izadi, Azar, Younes Jahani, Sima Rafiei, Ali Masoud, and Leila Vali, ‘Evaluating Health Service
Quality: Using Importance Performance Analysis’, International Journal of Health Care
Quality Assurance, 30.7 (2019), 656–63 https://doi.org/https://doi.org/10.1108/IJHCQA-
02-2017-0030
Jacob, S. C., J. Manalel, and M. C. Minimol, ‘Service Quality in the Healthcare Sector: Do
Human Resource Management Practices Matter?’, British Journal of Health Care
Management, 26.2 (2020), 1–9 https://doi.org/10.12968/bjhc.2019.0009
Kuye, Owolabi Lateef, and Olusegun Emmanuel Akinwale, ‘Conundrum of Bureaucratic
Processes and Healthcare Service Delivery in Government Hospitals in Nigeria’, Journal
of Humanities and Applied Social Sciences, 3.1 (2021), 25–48
https://doi.org/10.1108/JHASS-12-2019-0081
Loporto, Johanna, ‘Competency Development and Implementation among Direct Support
Professionals in New York State’, Walden University (Walden University, 2019)
Lubis, Rizky Ardilla, Annisa Dewi Putri, Tarianna Ginting, and . Dameria, ‘Hubungan Mutu
Pelayanan Kesehatan Dengan Kepuasan Pasien Rawat Jalan Di Puskesmas Sei Mencirim
Medan Tahun 2020’, Jurnal Keperawatan Dan Fisioterapi (JKF), 3.1 (2020), 13–20
https://doi.org/10.35451/jkf.v3i1.467
Mannas, Yussy A, ‘Hubungan Hukum Dokter Dan Pasien Serta Tanggung Jawab Dokter Dalam
Penyelenggaran Pelayanan Kesehatan (Legal Relations Between Doctors and Patients and
The Accountability of Doctors in Organizing Health Services)’, Cita Hukum, 6.1 (2018),
163–82
Meng, Juan, and Bruce K Berger, ‘The Impact of Organizational Culture and Leadership
Performance on PR Professionals ’ Job Satisfaction: Testing the Joint Mediating e Ff Ects
of Engagement and Trust’, Public Relations Review, 45.1 (2019), 64–75
https://doi.org/10.1016/j.pubrev.2018.11.002
Murniati, Lucia and Yustina, Endang Wahyati and Santoso, Siswo Putranto (2016) Implementasi
Hospital Bylaws Di Rumah Sakit Santo Antonio Baturaja Setelah Berlakunya Permenkes
Nomor: 755/Menkes/Per/Iv/2011 Tentang Penyelenggaraan Komite Medik Di Rumah
Sakit. SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan, 2 (2). pp. 143-153.
Perić N, Hofmarcher MM, Simon J. Headline indicators for monitoring the performance of
health systems: findings from the European health systems indicator (euHS_I) survey.
Arch Public Health 2018;76:32. https://doi:10.1186/s13690-018-0278-0
Prasetyo, I Ketut Agus, ‘Telemedicine Sebagai Alternatif Konsultasi Medis Di Masa Pandemi
Covid-19’, MERDEKA.COM, 2020
Ramli, Haeba Abdul, ‘Patient Service and Satisfaction Systems’, Business and Entrepreneurial
Review, 15.2 (2019), 189–200
Robbin and Judge, Perilaku Organisasi (Jakarta: Salemba Empat, 2015).
Segel, Kenneth T, Bureaucratic Is Keeping Health Care from Getting Better (Harvard Business
Review, 2019)
Suriyankietkaew, S., & Kungwanpongpun, P. (2022). Strategic leadership and management
factors driving sustainability in health-care organizations in Thailand. Journal of
Health Organization and Management, 36(4), 448–468. Scopus.
https://doi.org/10.1108/JHOM-05-2021-0165
Triwibowo, Cecep. Etika dan Hukum Kesehatan, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014)
World Health Organization. Handbook for national quality policy and strategy – a practical
approach for developing policy and strategy to improve quality of care. World Health
Organization, 2018
Zamroni, M, Hukum Kesehatan: Tanggung Gugat Dokter Dan Rumah Sakit Dalam Praktik
Pelayanan Medis (Surabaya: Scopindo Media Pustaka, 2022)

Anda mungkin juga menyukai