Anak
Oleh:
NIM. 2230912310017
Pembimbing:
Desember, 2023
DAFTAR ISI
Halaman
B. Protein ............................................................................................ 7
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Kesenjangan antara kebutuhan bayi usia 6 bulan keatas dan kecukupan
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
perkembangan anak.1
asal hewan dalam menu MPASI anak, seperti daging, ikan, telur, dan produk susu.
Langkah ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan protein anak, tetapi juga
untuk menyediakan beragam nutrisi penting, termasuk zat besi, seng, vitamin B12,
dan omega-3 asam lemak, yang tidak selalu mudah diperoleh dari sumber protein
nabati.2
beberapa aspek. Pertama, protein hewani merupakan sumber asam amino esensial
yang diperlukan untuk pembentukan jaringan tubuh, pertumbuhan otot, dan fungsi
organ. Kedua, nutrisi kritis seperti zat besi dalam bentuk heme lebih mudah diserap
tubuh dari sumber protein hewani, meminimalkan risiko kekurangan zat besi pada
anak. Ketiga, asam lemak omega-3 yang melimpah dalam ikan memberikan
Dalam konteks ini, penting bagi orang tua dan penyedia perawatan anak untuk
MPASI. Dengan demikian, upaya diversifikasi ini dapat menjadi kunci untuk
memberikan fondasi nutrisi yang kokoh bagi pertumbuhan dan perkembangan anak
yang optimal.3
hewani dalam MPASI, kita dapat membantu menciptakan generasi yang sehat dan
tangguh.4
TINJAUAN PUSTAKA
makanan sebagai tambahan disamping konsumsi Air Susu Ibu (ASI). MPASI
diberikan untuk mencukupi kebutuhan gizi anak yang sudah tidak mampu terpenuhi
Gambar 2.1. Kesenjangan antara kebutuhan bayi usia 6 bulan keatas dan
kecukupan energi dari ASI
a. Usia: Usia pemberian MPASI harus tepat 6 bulan, pemberian makan sebelum
usia 6 bulan atau lebih dari 6 bulan akan memberikan resiko kesehatan bagi anak.
usia. Pada usia 6-8 bulan frekuensi makan 2-3x/hari, lalu ditingkatkan 3-4x per
3
Universitas Lambung Mangkurat
4
hari mulai usia 9-24 bulan. Untuk snack bisa diberikan 1-2x/hari atau sesuai
keinginan.
c. Jumlah: Berikan MPASI yang diberikan sesuai usia bayi. Usia 6-8 bulan = 200
kalori (+/- 2-3 sdm bertahap hingga 125 ml); 9-12 bulan = 300 kalori (125 ml
bertahap hingga 200 ml); 12-24 bulan = 550 kalori (200 ml hingga 250 ml++).
d. Tekstur: Pemberian tekstur MPASI bertahap. Usia 6-8 bulan berikan MPASI
dengan tesktur lumat kental (tidak mudah jatuh dari sendok jika dibalik dalam
e. Variasi: Kecukupan kandugan gizi MPASI dipenuhi dari berbagai jenis bahan
makanan. Satu jenis bahan makanan, meskipun dianggap bergizi tinggi, tidak
ibu harus aktif dan responsive dengan cara menyuapi bayi secara langsung atau
membantu makan sendiri apabila anak sudah mampu, sensitive terhadap rasa
lapar dan kenyang bayi, menyuapi anak dengan sabar dan mendorong anak untuk
berbicara dan kontak mata dengan anak saat makan juga termasuk responsive
feeding.
MPASI agar terhindar dari bakteri. Simpan makanan dengan aman, wadah
tertutup, dan segera berikan setelah persiapan. Hindari meletakkan bahan pangan
> 2 jam ada danger zone (10-60 derajat celcius). Apabila memilih MPASI
Pemberian MPASI yang aman dan bergizi pada usia anak sekitar 6 bulan
Tanda dapat dimulainya pemberian MPASI dapat ditandai dengan bayi akan
siap makan ketika memasuki usianya yang ke 6 bulan. Selain patokan usia, berikut
ini terdapat 3 tanda lain yang menunjukkan bayi siap makan: 1,5
b. Memiliki koordinasi mata, kepala, dan mulut yang baik sehingga mereka dapat
secara mandiri.
Ketiga tanda ini umumnya muncul secara lengkap (bersamaan) ketika bayi
berusia 6 bulan. Jadi berikan MPASI tetap pada usia 6 bulan meskipun bayi telah
menunjukkan 1 atau lebih tanda bayi siap makan. Tanda lain seperti menghisap jari,
terbangun dimalam hari meskipun sudah menyusu, atau lebih sering menyusu
bukan merupakan tanda bayi siap untuk makan makanan padat. 1,5
B. Protein
tersusun atas 20 jenis asam asam amino berbeda yang saling berikatan. Protein juga
menyuplai energi dalam keadaan energi terbatas dari karbohidrat dan lemak.
Protein merupakan salah satu zat gizi utama yang berperan dalam proses tumbuh
kembang anak balita. Kenaikan asupan protein kurang lebih 15%, sejalan dengan
didominasi oleh serealia, dimana konsumsi pangan hewani masih sangat rendah.
Sedangkan makanan asal hewani mengandung zat gizi penting untuk tumbuh
kembang anak di bawah usia lima tahun. Secara umum jika ditinjau dari kulitas
nabati, yaitu: (1) mempunyai komposisi asam amino yang lebih lengkap, (2)
mengandung zat besi (haem) yang mudah diserap, (3) nilai cerna protein lebih baik
Kontribusi energi dari protein hewani terhadap total energi di Indonesia relatif
rendah yaitu 4%, yang menurut Food and Agriculture Organization (FAO)
Regional Office for Asia and the Pacific (RAPA) tahun sebaiknya sekitar 15% dari
total energi.8
Seorang balita memiliki kapasitas lambung yang kecil. Sebagai contoh, kapasitas
lambung anak usia 1 tahun sekitar 400 ml atau sekitar 1,5 gelas saja. Untuk itu diperlukan
pemilihan makanan yang padat gizi yang terdiri dari sumber energi, protein bermutu tinggi,
Asupan protein pada masa balita diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan
pada anak terutama pada anak bawah lima tahun karena protein memiliki fungsi utama
sebagai zat yang berperan dalam pembangun. Tingkat kecukupan protein rata-rata di
Indonesia berdasarkan Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) tahun 2014 telah
mencapai 105,3 persen dan tingkat kecukupan tertinggi terdapat pada kelompok anak
bawah lima tahun (balita) yaitu sebesar 134,5 %. Namun demikian, kecukupan protein
masyarakat Indonesia masih didominasi oleh jenis protein nabati seperti kacang-kacangan
dan serealia dengan rata-rata konsumsi sebesar 56,7 gram dan 257,7 gram per hari
Asupan protein sangat dipengaruhi oleh mutu protein sedangkan mutu protein
ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungmya. Sumber protein bisa
diperoleh dari bahan makanan hewani dan bahan makanan nabati yang berasal dari
tumbuhan. Protein yang bersumber dari hewani merupakan protein lengkap atau protein
dengan nilai biologi tinggi karena mengandung semua jenis asam amino esensial dengan
jumlah yang sesuai untuk pertumbuhan. Sedangkan protein nabati kecuali kacang kedelai
dan kacang kacangan lain merupakan protein tidak lengkap atau protein bermutu rendah
tidak mengandung semua jenis asam amino esensial yang dibutuhkan dalam proses
pertumbuhan.10
Bahan pangan sumber protein dari hewani seperti daging, ikan, ayam, telur dan susu
mengandung tingkat protein yang relatif tinggi (lebih dari 40% bahan kering) dibandingkan
dengan protein nabati (kecuali kacangkacangan) memiliki kadar protein kurang dari 15
persen (basis bahan kering). Bahan pangan sumber protein hewani memiliki asam amino
esensial lengkap dan dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan tubuh. Asam amino
esensial adalah asam amino yang tidak dapat dibentuk oleh tubuh dan harus diperoleh dari
bahan makanan, asam amino yang diperlukan anak balita, yaitu lisin, leusin, isoleusin,
valin, treonin, fenilalanin, tirosin, metionin, sistin, triptopan, histidine dan arginine.10
terjadi bila satu atau lebih asam amino tidak diberikan pada bahan makanan yang
dikonsumsi hewan tersebut. Dengan demikian, untuk mencapai tumbuh optimal, anak
memerlukan asupan protein dalam kuantitas dan kualitas yang baik. Protein yang
berkualitas tinggi, yaitu mengandung asam amino esensial yang lengkap yang dibutuhkan
untuk sintesis sel atau jaringan baru untuk pertumbuhan dan mengganti jaringan yang
rusak.10
Selain sebagai sumber protein, bahan makanan hewani juga mengandung berbagai
zat gizi mikro yang penting bagi pertumbuhan balita, seperti vitamin A, B12, C, dan
vitamin D serta mineral-mineral seperti kalsium dan zink dengan bentuk yang mudah untuk
diserap oleh tubuh. Sehingga konsumsi bahan makanan hewani yang rendah pada anak
balita pendek maupun gizi kurang, menyebabkan kekurangan protein, zat gizi mikro lain
Grasgruber dkk. mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi rata-rata tinggi badan laki-
laki dewasa di 105 negara Eropa, Asia, Afrika dan Oceania. Penelitian menemukan bahwa
kualitas protein yang dikonsumsi berhubungan dengan tinggi badan laki-laki dewasa. Di
negara-negara maju dimana rata-rata asupan protein tercukupi, kelompok individu yang
mengkonsumsi protein kualitas tinggi akan memiliki tinggi badan yang lebih daripada
Moughan dkk meneliti tentang mutu protein dan prosentase asam amino yang dapat
digunakan pada populasi di 205 negara. Populasi yang memiliki komposisi protein hewani:
protein nabati 45:55, diperkirakan nilai DIAAS (digestible indispensable amino acid score
atau skor asam amino esensial yang dapat dicerna) lebih dari 90%. Nilai DIAAS akan
semakin menurun ketika proporsi protein nabati ditingkatkan. Nilai DIAAS untuk pola
pangan vegetarian sekitar 61%. Sebagian besar negara di dunia memiliki rata-rata asupan
yang melebihi rata-rata kebutuhan protein sehari (50 g). Namun Ketika memperhitungkan
protein sehari untuk orang dewasa ini sebenarnya mengacu kepada protein berkualitas
tinggi yang dapat diserap dan dimanfaatkan dengan baik. Untuk itu, membandingkan total
memberikan kesimpulan yang salah. Untuk itu, penilaian asupan protein perlu
mempertimbangkan nilai DIAAS dan memperhitungkan jumlah asam amino yang diserap
berdasarkan asam amino pembatas dari kombinasi makanan sumber protein yang
dikonsumsi.12,13
meningkatkan keanekaragaman makanan dan asupan sumber protein hewani pada balita.
Penelitian Gibson menemukan bahwa bahwa konsumsi protein hewani terutama ikan dan
makanan yang beragam dapat meningkatkan meningkatkan massa otot balita stunting, akan
tetapi belum berhasil meningkatkan tinggi badan dan berat badan secara signifikan.
Intervensi ini juga dapat meningkatkan tingkat konsumsi protein, kalsium, zink, dan
vitamin B12, akan tetapi tidak dapat meningkatkan tingkat konsumsi zat besi. Hal ini
dikarenakan mayoritas sumber protein yang dikonsumsi adalah dari ikan, yang memiliki
Dalton dkk memberikan intervensi berupa pemberian roti dengan selai seafood yang
kadar EPA dan DHA serta fungsi kognitif (daya ingat dan kemampuan verbal) pada
kelompok intervensi bila dibandingkan dengan kontrol. Penelitian serupa yang dilakukan
oleh McLean dkk di Kenya menunjukkan bahwa intervensi susu UHT dan daging giling
selama 2,25 th dapat meningkatkan kadar vitamin B12 dan berat badan anak dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Lebih jauh lagi, kelompok yang diberi daging memiliki
kemampuan aritmatika dan aktivitas fisik tertinggi dibandingkan dengan kelompok susu
dan kontrol. Lebih lanjut lagi, penelitian lain oleh Hoppe dkk menunjukkan bahwa
pemberian susu skim 1500 ml setiap hari selama 7 hari pada anak 7 th dapat meningkatkan
kadar IGF-1 dan rasio IGF-1:IGFBP-3. Peningkatan ini tidak terjadi pada kelompok
daging. Pada kelompok susu, peningkatan asupan protein diikuti dengan penurunan
prosentase lemak sehingga asupan makan setelah 7 hari meningkat sebanyak 13%. Adapun
pada kelompok daging, peningkatan intake protein diikuti dengan penurunan konsumsi
karbohidrat sehingga total asupan energi tidak terlalu berbeda dengan sebelum intervensi.
Penelitian ini mendukung dugaan bahwa asupan protein hewani yang dapat meningkatkan
pertumbuhan linear adalah asupan dari produk susu yang mengandung faktor pendukung
Sebuah kajian literatur yang dilakukan oleh Drod dkk meneliti hubungan konsumsi
susu dan protein hewani terhadap tumbuh kembang anak di negara-negara berkembang
melaporkan bahwa konsumsi susu secara konsisten dapat meningkatkan tinggi badan anak
bila dibandingkan dengan protein hewani jenis lain. Penelitian di New Guinea, Vietnam
dan China menunjukkan bahwa konsumsi susu berpengaruh terhadap peningkatan tinggi
badan yang signifikan bagi anak. Penelitian di New Guinea menemukan bahwa pemberian
tepung susu skim 25 g, 5 kali seminggu selama 10 minggu pada anak usia 5-15 tahun dapat
meningkatkan rata-rata tinggi badan anak sebesar +2,32 cm bila dibandingkan dengan
Penelitian Du dkk di Cina, serta penelitian Lien dkk dan Hall dkk di Vietnam
dibandingkan dengan kontrol. Pemberian 500 ml susu UHT dengan dan tanpa fortifikasi
Zn, Fe, vitamin A, vitamin E dan vitamin C selama 6 bulan dapat meningkatkan tinggi
badan dan berat badan anak bila dibandingkan kontrol (20). Pemberian 330 ml susu dengan
fortifikasi setiap hari sekolah selama 2 tahun dapat meningkatkan tinggi badan (≥0.6%)
serta kandungan dan kepadatan mineral tulang bila dibandingkan dengan kontrol.
Pemberian susu dengan fortifikasi vitamin A dan D selama 142 hari, ditambah biscuit
dengan fortifikasi vitamin A, Fe dan Zink selama 143 hari dalam kurun waktu 1,5 th, dapat
meningkatkan tinggi badan (+8.15 cm) dan berat badan (3.19 kg) bila dibandingkan dengan
Hubungan antara konsumsi susu dan pertumbuhan linear pada anak ini dikaitkan
dengan kandungan hormon IGF-1 yang terdapat pada susu. Hormon IGF-1 merupakan
hormon penting yang berperan dalam myogenesis tulang rangka, proliferasi sel otot,
kekuatan dan massa otot. IGF-1 terdapat dalam ASI dan produk susu. IGF-1 membantu
proses pertumbuhan, perkembangan dan regenerasi sel tulang. Penelitian oleh Hoppe dkk
menunjukkan bahwa pemberian susu skim 1500 ml setiap hari selama 7 hari pada anak 7
th dapat meningkatkan kadar IGF-1 dan rasio IGF-1:IGFBP-3. Peningkatan ini tidak terjadi
pada kelompok daging. Pada kelompok susu, peningkatan asupan protein diikuti dengan
penurunan prosentase lemak sehingga asupan makan setelah 7 hari meningkat sebanyak
13%. Adapun pada kelompok daging, peningkatan intake protein diikuti dengan penurunan
konsumsi karbohidrat sehingga total asupan energi tidak terlalu berbeda dengan sebelum
intervensi. Wiley, Joshi melakukan penelitian kohort pada 112 bayi baru lahir yang diikuti
hingga usia 2 tahun. Penelitian Wiley menemukan bahwa baduta yang banyak
mengkonsumsi susu (>500 ml/hari) memiliki kandungan IGF-1 yang lebih tinggi
dibandingkan baduta yang mengkonsumsi susu (250 ml/hari). Konsumsi susu oleh ibu
hamil saat kehamilan juga berhubungan terhadap peningkatan kadar IGF-1 dan rasio IGF-
1:IGFBP-3 pada anak usia 2 tahun. Kandungan IGF-1 pada usia 2 tahun berhubungan
dengan peningkatan pertumbuhan linear dan peningkatan panjang badan anak pada 2 tahun
pertama. Akan tetapi di sisi lain, konsumsi susu pada balita juga dapat meningkatkan risiko
diare, terutama pada balita pada keluarga dengan sosioekonomi rendah yang kurang
memiliki fasilitas hygiene dan sanitasi yang memadai. Untuk itu, konsumsi produk susu
harus diimbangi dengan praktik hygiene dan sanitasi yang baik agar terhindar dari risiko
menyebutkan bahwa dalam rangka mengatasi beban gizi ganda, masyarakat perlu
mengonsumsi makanan dengan prinsip gizi seimbang. Prinsip gizi seimbang yaitu
dalam konsumsi makanan sehari-hari harus mengandung zat gizi dalam jumlah dan
jenis yang sesuai dengan kebutuhan setiap orang atau kelompok umur. Prinsip Gizi
Seimbang memiliki 4 pilar, yang salah satu nya adalah keanekaragaman pangan.
terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah-buahan serta air.24
variabel proksi yang cukup mudah untuk mengukur asupan gizi anak. Organisasi
Jenis bahan makanan yang paling banyak dikonsumsi oleh anak balita di
Indonesia adalah serealia, akar, dan umbi-umbian, dimana hampir semua baduta
bahwa jenis kelompok bahan makanan yang paling sedikit dikonsumsi oleh anak
balita yaitu buah-buahan serta kacang-kacangan. Hal ini sejalan dengan sebuah
analisis yang dilakukan pada 7 negara di Asia tenggara termasuk didalamnya yaitu
menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas konsumsi makanan balita di Asia masih
masih rendah kandungan gizi mikro nya (terutama daging dan protein hewani serta
menghambat penyerapan zat gizi penting seperti besi dan seng. Diet monoton yang
didominasi oleh serealia seperti nasi juga dianggap menjadi faktor penyumbang
terjadi nya defisiensi zat gizi mikro di Asia. Pola konsumsi dominasi sereal dan
umbi-umbian sama dengan pola pada balita di Afrika (Ethiopia, Nigeria), dengan
terutama yang mengandung vitamin A (pepaya dan mangga). Dengan dapat terjadi
yang terjadi secara global. Sebanyak 144 juta balita di seluruh dunia mengalami
stunting. Sejumlah 13,9 juta atau 24,7% diantaranya terjadi di Asia Tenggara (1) .
Tingkat keparahan stunting di Indonesia tidak jauh berbeda yaitu sebesar 30,8%
pada balita dan 29,9% pada baduta. Prevalensi stunting di Jawa Barat juga cukup
tinggi yaitu 29,2% pada balita dan mendekati angka nasional pada baduta (29,9%)
(2). Oleh karena angka stunting yang cukup tinggi sehingga menjadi prioritas
merupakan kondisi gagal tumbuh yang menjadi tanda adanya kelainan patologis,
dan mortalitas. Proses terjadinya stunting dapat dimulai sejak janin dalam
pertumbuhan pada masa ini disebabkan karena kondisi kesehatan yang tidak
tumbuh kembang yang pesat. MP-ASI yang diberikan setelah usia 6 bulan bertujuan
agar anak dapat mencapai catch up yang optimal. Kualitas makanan yang diberikan
merupakan salah satu determinan dari stunting. Keragaman pangan adalah salah
konsumsi jenis pangan maka status gizi anak juga semakin baik Pola konsumsi
makanan yang beranekaragam pada anak merupakan masalah yang masih terjadi di
beragam pada anak 6-23 bulan di Indonesia sebesar 46,6%. Makanan beragam
tersebut diukur berdasarkan 4 atau lebih jenis makanan yang dimakan dari 7 jenis
kelompok makanan. Hal ini menunjukkan bahwa kurang dari setengah anak yang
berusia 6-23 bulan di Indonesia belum memiliki pola konsumsi yang beraneka
ragam.29
Pemilihan makanan yang baik memberikan segala jenis zat gizi yang
diperlukan untuk menjalankan fungsi tubuh secara normal. Jika pemilihan makanan
tidak baik, dapat menyebabkan kekurangan gizi esensial dimana zat gizi tersebut
hanya diperoleh melalui makanan. Kekurangan gizi yang diakibatkan salah satu
kualitas makanan tidak baik memiliki dampak terhadap produksi tenaga, gangguan
proses pertumbuhan, sistem pertahanan tubuh, fungsi dan struktur otak, serta
signifikan dengan kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan. Baduta dengan
keragaman pangan yang rendah berpeluang 16,67 kali lebih besar mengalami
Sejalan dengan penelitian lain yang pernah dilakukan yaitu keragaman konsumsi
pangan terbukti memiliki hubungan dengan stunting pada balita usia 6-24 bulan
Adapun gizi yang buruk akibat kekurangan micronutrient sebagai efek dari
Stunting memiliki risiko serius untuk jangka pendek maupun jangka panjang, seperti
kognitif, penurunan produktivitas, serta peningkatan risiko penyakit degeneratif pada masa
yang akan datang. Pada akhirnya, masalah stunting dapat menyebabkan berlanjutnya siklus
diversifikasi protein hewani pada Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang sesuai
daging unggas, ikan, telur, dan produk susu. Metode ini dapat dilakukan diawali
dengan mulai 1 jenis protein terlebih dahulu, misal pemberian daging ayam, daging
sapi, ikan, atau telur yang merupakan sumber protein paling umum mulailah dari
yang paling mudah dicerna, saat memberikan protein pastikan pada tekstur yang
sesuai, mulailah dari makanan yang dihaluskan, pemberian makanan juga dapat
menggunakan metode rebus atau steam yang berguna untuk melunakkan makanan,
menggunakan garpu dengan mudah, dalam fase ini guna melihat apakah ada reaksi
stunting dan gizi kurang banyak mengonsumsi sumber protein dari serealia namun
kurang mengonsumsi dari bahan hewani seperti ikan, dan susu serta hasil
olahannya. Bahan pangan sumber protein hewani memiliki asam amino esensial
lengkap dan dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan tubuh. Merotasi jenis
protein yang diberikan perlu dilakukan untuk membantu meningkatkan variasi dari
asam amino yang dibutuhkan tubuh. Misalnya, jika hari ini diberikan ikan, besok
Selain jenis protein yang divariasikan, dapat dilakukan rotasi cara memasak,
seperti rebus, kukus, steam, goreng, bakar, dan lain-lain. Berikan anak dengan
metode yang dia suka, dan lakukan pendekatan dengan memberikan hiasan ataupun
dengan membentuk makanan dengan bentuk-bentuk yang anak sukai seperti daging
ayam yang dikemas dalam bentuk nugget, ataupun sosis ayam yang dibentuk seperti
Kapasitas perut dari balita berbeda dengan orang dewasa. Sedangkan balita
sayuran dan karbohidrat, dapat memberikan rasa dan tekstur yang berbeda pada
makanan. Ini juga dapat meningkatkan asupan serat dan nutrisi lainnya. 5
dapat juga dengan menyajikan camilan sehat yang mengandung protein hewani,
misalnya, potongan keju, telur rebus, atau yogurt. Camilan ini dapat menjadi cara
yang baik untuk memastikan asupan protein tambahan. Pastikan camilan yang
disediakan memiliki kadar gizi yang cukup, dan sesuai dengan usia pemberian,
seringkali camilan memiliki kadar gula yang terlalu tinggi dan tidak baik untuk
anak. 5
5. Pengenalan Bergradasi
Pada anak perlu dilakukan penyesuaian, terlebih dari tekstur makanan, sistem
pencernaan bayi sangat sensitif dalam mencerna makaan yang baru, seringkali anak
yang langsung diberikan makanan yang bertekstur dan keras akan menyebabkan
jenis protein secara bertahap. Mulailah dengan jenis makanan yang lebih halus dan
mudah dicerna, dan secara perlahan tambahkan variasi makanan seiring dengan
dengan bahan-bahan lain, seperti sereal dengan tambahan protein, untuk menambah
untuk kesehatan fisik anak tetapi juga membentuk kebiasaan makan yang baik di
masa mendatang. Dengan memberikan variasi makanan sejak dini, anak dapat
beragam. 5
KESIMPULAN
pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Semakin tinggi kualitas protein yang
mendukung proses tumbuh kembang anak. Protein yang berasal dari susu terkait
dengan peningkatan kadar IGF-1 dan akselerasi pertumbuhan tinggi badan anak jika
dibandingkan dengan jenis protein hewani lainnya. Meskipun konsumsi ikan tidak
kombinasi protein hewani dan nabati, makanan pokok, serta sayur dan buah sebagai
peluang untuk memenuhi kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan.
yang berperan penting dalam proses pencernaan dan kesehatan balita. Hasil
asupan pangan yang beragam, terutama yang kaya akan sumber protein hewani.
22
DAFTAR PUSTAKA
23
14. KEMENKES. Tabel Komposisi Pangan Indonesia 2017. Jakarta: Direktorat
Gizi Masyarakat, KEMENKES; 2018.
15. Dalton A, Wolmarans P, Witthuhn RC, van Stuijvenberg ME, Swanevelder
SA, Smuts CM. A randomised control trial in schoolchildren showed
improvement in cognitive function after consuming a bread spread,
containing fish flour from a marine source. Prostaglandins Leukot Essent
Fatty Acids. 2009;80(2-3):143-9.
16. Hoppe C, Molgaard C, Juul A, Michaelsen KF. High intakes of skimmed
milk, but not meat, increase serum IGF-I and IGFBP-3 in eight-year-old boys.
Eur J Clin Nutr. 2004;58(9):1211-6
17. Dror DK, Allen LH. The importance of milk and other animal-source foods
for children in lowincome countries. Food and Nutrition Bulletin.
2011;32(3):227-34.
18. Malcolm LA. Growth retardation in a New Guinea boarding school and its
response to supplementary feeding. British Journal of Nutrition.
1970;24(1):297-305.
19. Lien DTK, Nhung BT, Khan NC, Hop LT, Nga NTQ, Hung NT, et al. Impact
of milk consumption on performance and health of primary school children
in rural Vietnam. Asia Pac J Clin Nutr. 2009;18(3):326-34.
20. Hanh TTM, Farley K, Quynh TPN, Valdivia F. An evaluation of the impact
of a school nutrition programme in Vietnam. Public Health Nutrition.
2007;10(8):819-26.
21. Du X, Zhu K, Trube A, Zhang Q, Ma G, Hu X, et al. School-milk intervention
trial enhances growth and bone mineral accretion in Chinese girls aged 10–
12 years in Beijing. British Journal of Nutrition. 2007;92(1):159-68
22. Ahmad SS, Ahmad K, Lee EJ, Lee YH, Choi I. Implications of Insulin-Like
Growth Factor-1 in Skeletal Muscle and Various Diseases. Cells. 2020;9(8).
23. Wiley AS, Joshi SM, Lubree HG, Bhat DS, Memane NS, Raut DA, et al. IGF-
I and IGFBP-3 concentrations at 2 years: associations with anthropometry and
milk consumption in an Indian cohort. Eur J Clin Nutr. 2018;72(4):564-71
24. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Gizi Seimbang.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 41. 2014. 1–96 p.
25. Amugsi DA, Mittelmark MB, Oduro A. Association between maternal and
child dietary diversity: An analysis of the Ghana Demographic and Health
Survey. PLoS One. 2015;10(8):1–12.
26. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Riset Kesehatan
Dasar. Jakarta: Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan; 2013.
24
27. Hailemariam T, Girmany T, Girmany G. Determinants of Individual Dietary
Diversity Score Of Children Less Than Five Years Old In The Southern Zone
Of Tigray, Ethiopia. Afr. J. Food Agric. Nutr. Dev. 2018; 18(1): 13034-
28. Ogechi UP, Chilezie OV. Assessment of Dietary Diversity Score, Nutritional
Status and Socio-demographic Characteristics of Under-5 Children in Some
Rural Areas of Imo State, Nigeria. Mal J Nutr. 2017, 23(3): 425 - 435
29. Agize A, Jara D, Dejenu G. Level of Knowledge and Practice of Mothers on
Minimum Dietary Diversity Practices and Associated Factors for 6–23-
Month-Old Children in Adea Woreda, Oromia, Ethiopia. BioMed Research
International. 2017
30. Lamid A. Masalah Kependekan (Stunting) pada Anak Balita: Analisis
Prospek Penanggulangannya di Indonesia. Bogor: IPB Press; 2015. 138 p.
31. Paramashanti BA, Paratmanitya Y, Marsiswati M. Individual dietary
diversity is strongly associated with stunting in infants and young children. J
Gizi Klinik Indonesia. 2017;14(1):19–26
32. Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. 9th ed. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama; 2014. 28–29 p.
25