Anda di halaman 1dari 28

Referat

Pentingnya Diversifikasi Protein Hewani dalam pemberian MPASI

Anak

Oleh:

Daru Setya Anantasisna

NIM. 2230912310017

Pembimbing:

dr. Arief Budiarto, Sp. A (K)

DEPARTEMEN/KSM ILMU KESEHATAN ANAK

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN PROGRAM PROFESI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN ULM

RSUD ULIN BANJARMASIN

Desember, 2023
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................. i

DAFTAR ISI .......................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................... 3

A. Makanan Pendamping ASI ............................................................ 3

B. Protein ............................................................................................ 7

C. Pentingnya Protein Hewani pada MPASI...................................... 8

D. Dampak kurangnya diversifikasi makanan pada MPASI .............. 12

E. Usaha Peningkatan Diversifikasi Protein hewani pada MPASI .... 16

BAB III KESIMPULAN ....................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 21

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Kesenjangan antara kebutuhan bayi usia 6 bulan keatas dan kecukupan

energi dari ASI ................................................................................ 3

2.2 Prinsip pemberian MPASI ................................................................ 5

2.3 Penyebab munculnya tanda semu kesiapan makan bayi .................. 7

2.4 Dampak Stunting pada Anak ............................................................ 16

2.5 Isi piringku untuk bayi usia 6 – 8 bulan ........................................... 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) merupakan langkah krusial

dalam memenuhi kebutuhan nutrisi anak selama masa pertumbuhan. Dalam

menyusun menu MPASI, diversifikasi sumber nutrisi, termasuk protein hewani,

memegang peran penting dalam memastikan pertumbuhan dan perkembangan anak

yang optimal. Dalam beberapa tahun terakhir, pemahaman akan pentingnya

diversifikasi protein hewani pada MPASI semakin berkembang seiring dengan

penelitian yang mengungkapkan dampak positifnya terhadap kesehatan dan

perkembangan anak.1

Diversifikasi protein hewani melibatkan pengenalan berbagai sumber protein

asal hewan dalam menu MPASI anak, seperti daging, ikan, telur, dan produk susu.

Langkah ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan protein anak, tetapi juga

untuk menyediakan beragam nutrisi penting, termasuk zat besi, seng, vitamin B12,

dan omega-3 asam lemak, yang tidak selalu mudah diperoleh dari sumber protein

nabati.2

Pentingnya diversifikasi protein hewani dalam MPASI dapat dilihat dari

beberapa aspek. Pertama, protein hewani merupakan sumber asam amino esensial

yang diperlukan untuk pembentukan jaringan tubuh, pertumbuhan otot, dan fungsi

organ. Kedua, nutrisi kritis seperti zat besi dalam bentuk heme lebih mudah diserap

tubuh dari sumber protein hewani, meminimalkan risiko kekurangan zat besi pada

Universitas Lambung Mangkurat


2

anak. Ketiga, asam lemak omega-3 yang melimpah dalam ikan memberikan

kontribusi positif terhadap perkembangan otak dan sistem saraf anak.2

Dalam konteks ini, penting bagi orang tua dan penyedia perawatan anak untuk

memahami pentingnya mencakup berbagai sumber protein hewani dalam menu

MPASI. Dengan demikian, upaya diversifikasi ini dapat menjadi kunci untuk

memberikan fondasi nutrisi yang kokoh bagi pertumbuhan dan perkembangan anak

yang optimal.3

Melalui pendekatan ini, kita dapat memastikan bahwa anak-anak menerima

manfaat maksimal dari konsumsi makanan pendamping ASI, mempersiapkan

mereka untuk menghadapi tantangan pertumbuhan dan perkembangan dengan lebih

baik. Dengan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya diversifikasi protein

hewani dalam MPASI, kita dapat membantu menciptakan generasi yang sehat dan

tangguh.4

Universitas Lambung Mangkurat


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Makanan Pendamping ASI

Makanan pendamping ASI atau disingkat MPASI merupakan pemberian

makanan sebagai tambahan disamping konsumsi Air Susu Ibu (ASI). MPASI

diberikan untuk mencukupi kebutuhan gizi anak yang sudah tidak mampu terpenuhi

dari ASI saja.1,5

Gambar 2.1. Kesenjangan antara kebutuhan bayi usia 6 bulan keatas dan
kecukupan energi dari ASI

Prinsip pemberian MPASI:5

a. Usia: Usia pemberian MPASI harus tepat 6 bulan, pemberian makan sebelum

usia 6 bulan atau lebih dari 6 bulan akan memberikan resiko kesehatan bagi anak.

b. Frekuensi makan: Tingkatkan frekuensi makan seiring dengan bertambahnya

usia. Pada usia 6-8 bulan frekuensi makan 2-3x/hari, lalu ditingkatkan 3-4x per

3
Universitas Lambung Mangkurat
4

hari mulai usia 9-24 bulan. Untuk snack bisa diberikan 1-2x/hari atau sesuai

keinginan.

c. Jumlah: Berikan MPASI yang diberikan sesuai usia bayi. Usia 6-8 bulan = 200

kalori (+/- 2-3 sdm bertahap hingga 125 ml); 9-12 bulan = 300 kalori (125 ml

bertahap hingga 200 ml); 12-24 bulan = 550 kalori (200 ml hingga 250 ml++).

d. Tekstur: Pemberian tekstur MPASI bertahap. Usia 6-8 bulan berikan MPASI

dengan tesktur lumat kental (tidak mudah jatuh dari sendok jika dibalik dalam

beberapa detik), puree/mashed/makanan saring. 9-12 bulan dengang tekstur

lembek/makanan cincang/cacah/potong kecil-kecil, boleh mulai diberikan finger

food. 12-24 bulan boleh diberikan makanan keluarga.

e. Variasi: Kecukupan kandugan gizi MPASI dipenuhi dari berbagai jenis bahan

makanan. Satu jenis bahan makanan, meskipun dianggap bergizi tinggi, tidak

akan mampu mencukupi berbagai zat gizi yang dibutuhkan anak.

f. Responsive Feeding, dimana pemberian MPASI didasari dengan prinsip bahwa

ibu harus aktif dan responsive dengan cara menyuapi bayi secara langsung atau

membantu makan sendiri apabila anak sudah mampu, sensitive terhadap rasa

lapar dan kenyang bayi, menyuapi anak dengan sabar dan mendorong anak untuk

makan, menghindari gangguan selama makan (misalnya: memberikan mainan,

menonton TV/youtube) sehingga konsentrasi anak terganggu. Pada proses ini,

berbicara dan kontak mata dengan anak saat makan juga termasuk responsive

feeding.

g. Bersih: Persiapan dan Penyimpanan MPASI yang bersih sehingga keamanannya

terjaga. Menjaga higienitas dan sanitasi selama persiapan dan penyimpanan

Universitas Lambung Mangkurat


5

MPASI agar terhindar dari bakteri. Simpan makanan dengan aman, wadah

tertutup, dan segera berikan setelah persiapan. Hindari meletakkan bahan pangan

> 2 jam ada danger zone (10-60 derajat celcius). Apabila memilih MPASI

pabrikan maka pastikan produk yang akan dikonsumsi sudah mendapat

sertifikasi BPOM (cek tanggal kadaluarsa, kemasan utuh).

Gambar 2.2. Prinsip pemberian MPASI

Pemberian MPASI yang aman dan bergizi pada usia anak sekitar 6 bulan

ditujukan untuk: 1,5

a. Meminimalkan resiko kekurangan zat gizi

b. Mencegah keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan anak.

Universitas Lambung Mangkurat


6

Tanda dapat dimulainya pemberian MPASI dapat ditandai dengan bayi akan

siap makan ketika memasuki usianya yang ke 6 bulan. Selain patokan usia, berikut

ini terdapat 3 tanda lain yang menunjukkan bayi siap makan: 1,5

a. Duduk dengan kepala tegak

b. Memiliki koordinasi mata, kepala, dan mulut yang baik sehingga mereka dapat

meihat makanan, mengambilnya, dan memasukkan ke dalam mulut mereka

secara mandiri.

c. Mampu menelan dengan baik

Ketiga tanda ini umumnya muncul secara lengkap (bersamaan) ketika bayi

berusia 6 bulan. Jadi berikan MPASI tetap pada usia 6 bulan meskipun bayi telah

menunjukkan 1 atau lebih tanda bayi siap makan. Tanda lain seperti menghisap jari,

terbangun dimalam hari meskipun sudah menyusu, atau lebih sering menyusu

bukan merupakan tanda bayi siap untuk makan makanan padat. 1,5

Gambar 2.3 Penyebab munculnya tanda semu kesiapan makan bayi

Universitas Lambung Mangkurat


7

B. Protein

Protein merupakan senyawa organik yang kompleks dengan struktur dasar

tersusun atas 20 jenis asam asam amino berbeda yang saling berikatan. Protein juga

menyuplai energi dalam keadaan energi terbatas dari karbohidrat dan lemak.

Protein berfungsi sebagai katalisator, pembawa, pengerak, pengatur, ekpresi

genetik, neurotransmitter, penguat struktur, penguat immunitas, dan pertumbuhan.

Protein merupakan salah satu zat gizi utama yang berperan dalam proses tumbuh

kembang anak balita. Kenaikan asupan protein kurang lebih 15%, sejalan dengan

pesatnya perkembangan anak.6-7

Menurut studi pendahuluan, proporsi penduduk Indonesia sebenarnya

didominasi oleh serealia, dimana konsumsi pangan hewani masih sangat rendah.

Sedangkan makanan asal hewani mengandung zat gizi penting untuk tumbuh

kembang anak di bawah usia lima tahun. Secara umum jika ditinjau dari kulitas

mutunya, protein hewani lebih baik dibandingkan dengan protein nabati.

Keunggulan-keunggulan yang dimiliki protein hewani dibandingkan protein

nabati, yaitu: (1) mempunyai komposisi asam amino yang lebih lengkap, (2)

mengandung zat besi (haem) yang mudah diserap, (3) nilai cerna protein lebih baik

daripada bahan pangan nabati.8

Kontribusi energi dari protein hewani terhadap total energi di Indonesia relatif

rendah yaitu 4%, yang menurut Food and Agriculture Organization (FAO)

Regional Office for Asia and the Pacific (RAPA) tahun sebaiknya sekitar 15% dari

total energi.8

Universitas Lambung Mangkurat


8

C. Pentingnya Protein Hewani pada MPASI

Seorang balita memiliki kapasitas lambung yang kecil. Sebagai contoh, kapasitas

lambung anak usia 1 tahun sekitar 400 ml atau sekitar 1,5 gelas saja. Untuk itu diperlukan

pemilihan makanan yang padat gizi yang terdiri dari sumber energi, protein bermutu tinggi,

asam lemak esensial, zat gizi mikro yang lengkap.9

Asupan protein pada masa balita diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan

pada anak terutama pada anak bawah lima tahun karena protein memiliki fungsi utama

sebagai zat yang berperan dalam pembangun. Tingkat kecukupan protein rata-rata di

Indonesia berdasarkan Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) tahun 2014 telah

mencapai 105,3 persen dan tingkat kecukupan tertinggi terdapat pada kelompok anak

bawah lima tahun (balita) yaitu sebesar 134,5 %. Namun demikian, kecukupan protein

masyarakat Indonesia masih didominasi oleh jenis protein nabati seperti kacang-kacangan

dan serealia dengan rata-rata konsumsi sebesar 56,7 gram dan 257,7 gram per hari

sementara protein hewani hanya 42,8 gram per hari.10

Asupan protein sangat dipengaruhi oleh mutu protein sedangkan mutu protein

ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungmya. Sumber protein bisa

diperoleh dari bahan makanan hewani dan bahan makanan nabati yang berasal dari

tumbuhan. Protein yang bersumber dari hewani merupakan protein lengkap atau protein

dengan nilai biologi tinggi karena mengandung semua jenis asam amino esensial dengan

jumlah yang sesuai untuk pertumbuhan. Sedangkan protein nabati kecuali kacang kedelai

dan kacang kacangan lain merupakan protein tidak lengkap atau protein bermutu rendah

tidak mengandung semua jenis asam amino esensial yang dibutuhkan dalam proses

pertumbuhan.10

Bahan pangan sumber protein dari hewani seperti daging, ikan, ayam, telur dan susu

mengandung tingkat protein yang relatif tinggi (lebih dari 40% bahan kering) dibandingkan

Universitas Lambung Mangkurat


9

dengan protein nabati (kecuali kacangkacangan) memiliki kadar protein kurang dari 15

persen (basis bahan kering). Bahan pangan sumber protein hewani memiliki asam amino

esensial lengkap dan dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan tubuh. Asam amino

esensial adalah asam amino yang tidak dapat dibentuk oleh tubuh dan harus diperoleh dari

bahan makanan, asam amino yang diperlukan anak balita, yaitu lisin, leusin, isoleusin,

valin, treonin, fenilalanin, tirosin, metionin, sistin, triptopan, histidine dan arginine.10

Hasil penelitian pada hewan menunjukkan bahwa gangguan pertumbuhan akan

terjadi bila satu atau lebih asam amino tidak diberikan pada bahan makanan yang

dikonsumsi hewan tersebut. Dengan demikian, untuk mencapai tumbuh optimal, anak

memerlukan asupan protein dalam kuantitas dan kualitas yang baik. Protein yang

berkualitas tinggi, yaitu mengandung asam amino esensial yang lengkap yang dibutuhkan

untuk sintesis sel atau jaringan baru untuk pertumbuhan dan mengganti jaringan yang

rusak.10

Selain sebagai sumber protein, bahan makanan hewani juga mengandung berbagai

zat gizi mikro yang penting bagi pertumbuhan balita, seperti vitamin A, B12, C, dan

vitamin D serta mineral-mineral seperti kalsium dan zink dengan bentuk yang mudah untuk

diserap oleh tubuh. Sehingga konsumsi bahan makanan hewani yang rendah pada anak

balita pendek maupun gizi kurang, menyebabkan kekurangan protein, zat gizi mikro lain

yang penting bagi pertumbuhan.10

Jenis protein yang dikonsumsi seseorang mempengaruhi tinggi badan seseorang.

Grasgruber dkk. mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi rata-rata tinggi badan laki-

laki dewasa di 105 negara Eropa, Asia, Afrika dan Oceania. Penelitian menemukan bahwa

kualitas protein yang dikonsumsi berhubungan dengan tinggi badan laki-laki dewasa. Di

negara-negara maju dimana rata-rata asupan protein tercukupi, kelompok individu yang

Universitas Lambung Mangkurat


10

mengkonsumsi protein kualitas tinggi akan memiliki tinggi badan yang lebih daripada

kelompok yang mengkonsumsi makanan dengan kualitas protein rendah.11

Moughan dkk meneliti tentang mutu protein dan prosentase asam amino yang dapat

digunakan pada populasi di 205 negara. Populasi yang memiliki komposisi protein hewani:

protein nabati 45:55, diperkirakan nilai DIAAS (digestible indispensable amino acid score

atau skor asam amino esensial yang dapat dicerna) lebih dari 90%. Nilai DIAAS akan

semakin menurun ketika proporsi protein nabati ditingkatkan. Nilai DIAAS untuk pola

pangan vegetarian sekitar 61%. Sebagian besar negara di dunia memiliki rata-rata asupan

yang melebihi rata-rata kebutuhan protein sehari (50 g). Namun Ketika memperhitungkan

kecernaan protein di ileum ratarata asupan protein turun di bawah 50 g. Anjuran 50 g

protein sehari untuk orang dewasa ini sebenarnya mengacu kepada protein berkualitas

tinggi yang dapat diserap dan dimanfaatkan dengan baik. Untuk itu, membandingkan total

asupan protein terhadap kebutuhan tanpa memperhatikan kualitas protein dapat

memberikan kesimpulan yang salah. Untuk itu, penilaian asupan protein perlu

mempertimbangkan nilai DIAAS dan memperhitungkan jumlah asam amino yang diserap

berdasarkan asam amino pembatas dari kombinasi makanan sumber protein yang

dikonsumsi.12,13

Gibson dkk melakukan penelitian intervensi berbasis masyarakat untuk

meningkatkan keanekaragaman makanan dan asupan sumber protein hewani pada balita.

Penelitian Gibson menemukan bahwa bahwa konsumsi protein hewani terutama ikan dan

makanan yang beragam dapat meningkatkan meningkatkan massa otot balita stunting, akan

tetapi belum berhasil meningkatkan tinggi badan dan berat badan secara signifikan.

Intervensi ini juga dapat meningkatkan tingkat konsumsi protein, kalsium, zink, dan

vitamin B12, akan tetapi tidak dapat meningkatkan tingkat konsumsi zat besi. Hal ini

Universitas Lambung Mangkurat


11

dikarenakan mayoritas sumber protein yang dikonsumsi adalah dari ikan, yang memiliki

kandungan zat besi yang tidak sebesar pada daging merah.14

Dalton dkk memberikan intervensi berupa pemberian roti dengan selai seafood yang

mengandung 892 mg DHA/minggu selama 6 bulan. Intervensi ini dapat meningkatkan

kadar EPA dan DHA serta fungsi kognitif (daya ingat dan kemampuan verbal) pada

kelompok intervensi bila dibandingkan dengan kontrol. Penelitian serupa yang dilakukan

oleh McLean dkk di Kenya menunjukkan bahwa intervensi susu UHT dan daging giling

selama 2,25 th dapat meningkatkan kadar vitamin B12 dan berat badan anak dibandingkan

dengan kelompok kontrol. Lebih jauh lagi, kelompok yang diberi daging memiliki

kemampuan aritmatika dan aktivitas fisik tertinggi dibandingkan dengan kelompok susu

dan kontrol. Lebih lanjut lagi, penelitian lain oleh Hoppe dkk menunjukkan bahwa

pemberian susu skim 1500 ml setiap hari selama 7 hari pada anak 7 th dapat meningkatkan

kadar IGF-1 dan rasio IGF-1:IGFBP-3. Peningkatan ini tidak terjadi pada kelompok

daging. Pada kelompok susu, peningkatan asupan protein diikuti dengan penurunan

prosentase lemak sehingga asupan makan setelah 7 hari meningkat sebanyak 13%. Adapun

pada kelompok daging, peningkatan intake protein diikuti dengan penurunan konsumsi

karbohidrat sehingga total asupan energi tidak terlalu berbeda dengan sebelum intervensi.

Penelitian ini mendukung dugaan bahwa asupan protein hewani yang dapat meningkatkan

pertumbuhan linear adalah asupan dari produk susu yang mengandung faktor pendukung

pertumbuhan seperti IGF-1 yang terdapat dalam ASI dan susu.2,9,15,16

Sebuah kajian literatur yang dilakukan oleh Drod dkk meneliti hubungan konsumsi

susu dan protein hewani terhadap tumbuh kembang anak di negara-negara berkembang

melaporkan bahwa konsumsi susu secara konsisten dapat meningkatkan tinggi badan anak

bila dibandingkan dengan protein hewani jenis lain. Penelitian di New Guinea, Vietnam

dan China menunjukkan bahwa konsumsi susu berpengaruh terhadap peningkatan tinggi

Universitas Lambung Mangkurat


12

badan yang signifikan bagi anak. Penelitian di New Guinea menemukan bahwa pemberian

tepung susu skim 25 g, 5 kali seminggu selama 10 minggu pada anak usia 5-15 tahun dapat

meningkatkan rata-rata tinggi badan anak sebesar +2,32 cm bila dibandingkan dengan

kontrol (+1.10 cm).17,18

Penelitian Du dkk di Cina, serta penelitian Lien dkk dan Hall dkk di Vietnam

melaporkan bahwa pemberian susu meningkatkan pertumbuhan linear anak bila

dibandingkan dengan kontrol. Pemberian 500 ml susu UHT dengan dan tanpa fortifikasi

Zn, Fe, vitamin A, vitamin E dan vitamin C selama 6 bulan dapat meningkatkan tinggi

badan dan berat badan anak bila dibandingkan kontrol (20). Pemberian 330 ml susu dengan

fortifikasi setiap hari sekolah selama 2 tahun dapat meningkatkan tinggi badan (≥0.6%)

serta kandungan dan kepadatan mineral tulang bila dibandingkan dengan kontrol.

Pemberian susu dengan fortifikasi vitamin A dan D selama 142 hari, ditambah biscuit

dengan fortifikasi vitamin A, Fe dan Zink selama 143 hari dalam kurun waktu 1,5 th, dapat

meningkatkan tinggi badan (+8.15 cm) dan berat badan (3.19 kg) bila dibandingkan dengan

kelompok kontrol (7.88 cm, 2.95 kg). 19,20,21

Hubungan antara konsumsi susu dan pertumbuhan linear pada anak ini dikaitkan

dengan kandungan hormon IGF-1 yang terdapat pada susu. Hormon IGF-1 merupakan

hormon penting yang berperan dalam myogenesis tulang rangka, proliferasi sel otot,

kekuatan dan massa otot. IGF-1 terdapat dalam ASI dan produk susu. IGF-1 membantu

proses pertumbuhan, perkembangan dan regenerasi sel tulang. Penelitian oleh Hoppe dkk

menunjukkan bahwa pemberian susu skim 1500 ml setiap hari selama 7 hari pada anak 7

th dapat meningkatkan kadar IGF-1 dan rasio IGF-1:IGFBP-3. Peningkatan ini tidak terjadi

pada kelompok daging. Pada kelompok susu, peningkatan asupan protein diikuti dengan

penurunan prosentase lemak sehingga asupan makan setelah 7 hari meningkat sebanyak

13%. Adapun pada kelompok daging, peningkatan intake protein diikuti dengan penurunan

Universitas Lambung Mangkurat


13

konsumsi karbohidrat sehingga total asupan energi tidak terlalu berbeda dengan sebelum

intervensi. Wiley, Joshi melakukan penelitian kohort pada 112 bayi baru lahir yang diikuti

hingga usia 2 tahun. Penelitian Wiley menemukan bahwa baduta yang banyak

mengkonsumsi susu (>500 ml/hari) memiliki kandungan IGF-1 yang lebih tinggi

dibandingkan baduta yang mengkonsumsi susu (250 ml/hari). Konsumsi susu oleh ibu

hamil saat kehamilan juga berhubungan terhadap peningkatan kadar IGF-1 dan rasio IGF-

1:IGFBP-3 pada anak usia 2 tahun. Kandungan IGF-1 pada usia 2 tahun berhubungan

dengan peningkatan pertumbuhan linear dan peningkatan panjang badan anak pada 2 tahun

pertama. Akan tetapi di sisi lain, konsumsi susu pada balita juga dapat meningkatkan risiko

diare, terutama pada balita pada keluarga dengan sosioekonomi rendah yang kurang

memiliki fasilitas hygiene dan sanitasi yang memadai. Untuk itu, konsumsi produk susu

harus diimbangi dengan praktik hygiene dan sanitasi yang baik agar terhindar dari risiko

penyakit infeksi terutama saluran pencernaan.16,22,23

D. Dampak Kurangnya Diversifikasi makanan pada MPASI

Keragaman makanan merupakan kunci dari konsumsi makanan yang

berkualitas. Kemeterian kesehatan RI melalui Pedoman Gizi Seimbang

menyebutkan bahwa dalam rangka mengatasi beban gizi ganda, masyarakat perlu

mengonsumsi makanan dengan prinsip gizi seimbang. Prinsip gizi seimbang yaitu

dalam konsumsi makanan sehari-hari harus mengandung zat gizi dalam jumlah dan

jenis yang sesuai dengan kebutuhan setiap orang atau kelompok umur. Prinsip Gizi

Seimbang memiliki 4 pilar, yang salah satu nya adalah keanekaragaman pangan.

Keanekaragaman pangan diartikan sebagai anekaragam kelompok pangan yang

terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah-buahan serta air.24

Universitas Lambung Mangkurat


14

Keanekaragaman makanan (Dietary Diversity), didefinisikan sebagai jumlah

dari kelompok makanan yang dikonsumsi selama periode 24 jam, telah

didokumentasikan sebagai indikator yang valid dan dapat diandalkan kecukupan

makanan dari anak-anak. Oleh karena itu, keanekaragaman makanan adalah

variabel proksi yang cukup mudah untuk mengukur asupan gizi anak. Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO) menggunakan Keragaman Makanan sebagai salah satu

indikator kunci untuk menilai praktek anak makan.25,26

Jenis bahan makanan yang paling banyak dikonsumsi oleh anak balita di

Indonesia adalah serealia, akar, dan umbi-umbian, dimana hampir semua baduta

mengonsumsi kelompok bahan makanan ini. Hasil analisis juga menunjukkan

bahwa jenis kelompok bahan makanan yang paling sedikit dikonsumsi oleh anak

balita yaitu buah-buahan serta kacang-kacangan. Hal ini sejalan dengan sebuah

analisis yang dilakukan pada 7 negara di Asia tenggara termasuk didalamnya yaitu

Birma, Kamboja, Indonesia, Laos, Filipina, Timor Leste, dan Vietnam

menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas konsumsi makanan balita di Asia masih

menjadi perhatian penting. Dimana di beberapa negara Asia, konsumsi makanan

masih rendah kandungan gizi mikro nya (terutama daging dan protein hewani serta

sayur dan buah-buahan tertentu), tinggi konsumsi makanan yang dapat

menghambat penyerapan zat gizi penting seperti besi dan seng. Diet monoton yang

didominasi oleh serealia seperti nasi juga dianggap menjadi faktor penyumbang

terjadi nya defisiensi zat gizi mikro di Asia. Pola konsumsi dominasi sereal dan

umbi-umbian sama dengan pola pada balita di Afrika (Ethiopia, Nigeria), dengan

hanya sepersepuluh balita yang mengonsumsi kelompok susu dan produknya,

Universitas Lambung Mangkurat


15

daging, telur, ikan. Termasuk hanya sedikit yang mengonsumsi buah-buahan,

terutama yang mengandung vitamin A (pepaya dan mangga). Dengan dapat terjadi

kegagalan akibat kekurangan gizi kronis.27-9

Kegagalan pertumbuhan linier merupakan menifestasi kekurangan gizi kronis

yang terjadi secara global. Sebanyak 144 juta balita di seluruh dunia mengalami

stunting. Sejumlah 13,9 juta atau 24,7% diantaranya terjadi di Asia Tenggara (1) .

Tingkat keparahan stunting di Indonesia tidak jauh berbeda yaitu sebesar 30,8%

pada balita dan 29,9% pada baduta. Prevalensi stunting di Jawa Barat juga cukup

tinggi yaitu 29,2% pada balita dan mendekati angka nasional pada baduta (29,9%)

(2). Oleh karena angka stunting yang cukup tinggi sehingga menjadi prioritas

masalah kesehatan masyarakat utama yang diselesaikan pada balita. Stunting

merupakan kondisi gagal tumbuh yang menjadi tanda adanya kelainan patologis,

penurunan kemampuan kognitif sampai meningkatkan peluang terhadap morbiditas

dan mortalitas. Proses terjadinya stunting dapat dimulai sejak janin dalam

kandungan dan berlanjut hingga usia 2 tahun pertama kehidupan. Kegagalan

pertumbuhan pada masa ini disebabkan karena kondisi kesehatan yang tidak

optimal dan nutrisi yang kurang memadai.27-9

Bayi dan anak pada usia 2 tahun pertama kehidupan membutuhkan

makronutrien dan mikronutrien yang sangat tinggi untuk membantu mencapai

tumbuh kembang yang pesat. MP-ASI yang diberikan setelah usia 6 bulan bertujuan

agar anak dapat mencapai catch up yang optimal. Kualitas makanan yang diberikan

merupakan salah satu determinan dari stunting. Keragaman pangan adalah salah

satu indikator yang menentukan kualitas makanan. Semakin beraneka ragam

Universitas Lambung Mangkurat


16

konsumsi jenis pangan maka status gizi anak juga semakin baik Pola konsumsi

makanan yang beranekaragam pada anak merupakan masalah yang masih terjadi di

Indonesia. Kondisi tersebut dibuktikan dengan proporsi konsumsi makanan

beragam pada anak 6-23 bulan di Indonesia sebesar 46,6%. Makanan beragam

tersebut diukur berdasarkan 4 atau lebih jenis makanan yang dimakan dari 7 jenis

kelompok makanan. Hal ini menunjukkan bahwa kurang dari setengah anak yang

berusia 6-23 bulan di Indonesia belum memiliki pola konsumsi yang beraneka

ragam.29

Pemilihan makanan yang baik memberikan segala jenis zat gizi yang

diperlukan untuk menjalankan fungsi tubuh secara normal. Jika pemilihan makanan

tidak baik, dapat menyebabkan kekurangan gizi esensial dimana zat gizi tersebut

hanya diperoleh melalui makanan. Kekurangan gizi yang diakibatkan salah satu

kualitas makanan tidak baik memiliki dampak terhadap produksi tenaga, gangguan

proses pertumbuhan, sistem pertahanan tubuh, fungsi dan struktur otak, serta

perilaku. Buruknya konsumsi makanan yang beraneka ragam berhubungan secara

signifikan dengan kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan. Baduta dengan

keragaman pangan yang rendah berpeluang 16,67 kali lebih besar mengalami

stunting jika dibandingkan dengan konsumsi keragaman makanan yang tinggi.

Sejalan dengan penelitian lain yang pernah dilakukan yaitu keragaman konsumsi

pangan terbukti memiliki hubungan dengan stunting pada balita usia 6-24 bulan

Semakin beragam konsumsi pangan, maka status gizi semakin baik.31

Adapun gizi yang buruk akibat kekurangan micronutrient sebagai efek dari

kurangnya keberagaman pangan, seringkali bermanifestasi sebagai stunting,

Universitas Lambung Mangkurat


17

Stunting memiliki risiko serius untuk jangka pendek maupun jangka panjang, seperti

penurunan daya tahan tubu, gangguan perkembangan otak, penurunan kemampuan

kognitif, penurunan produktivitas, serta peningkatan risiko penyakit degeneratif pada masa

yang akan datang. Pada akhirnya, masalah stunting dapat menyebabkan berlanjutnya siklus

kemiskinan keluarga serta terhambatnya perekonomian negara.32

Gambar 2.4. Dampak Stunting pada Anak

E. Usaha Peningkatan Diversifikasi Protein Hewani pada MPASI

Dengan mengetahui berbagai efek dan pentingnya diversifikasi protein

hewani, maka perlu dilakukan berbagai tindakan untuk merealisasikan tingkat

diversifikasi protein hewani pada Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang sesuai

sehingga diharapkan dengan tingginya diversifikasi protein hewani dapat

menurunkan angka probabilitias kejadian stunting pada balita, berikut adalah

beberapa tindakan yang dapat dilakukan:5

Universitas Lambung Mangkurat


18

Gambar 2.5. Isi Piringku untuk bayi usia 6 – 8 bulan

1. Introduksi Berbagai Sumber Protein

Memperkenalkan berbagai sumber protein hewani seperti daging merah,

daging unggas, ikan, telur, dan produk susu. Metode ini dapat dilakukan diawali

dengan mulai 1 jenis protein terlebih dahulu, misal pemberian daging ayam, daging

sapi, ikan, atau telur yang merupakan sumber protein paling umum mulailah dari

yang paling mudah dicerna, saat memberikan protein pastikan pada tekstur yang

sesuai, mulailah dari makanan yang dihaluskan, pemberian makanan juga dapat

menggunakan metode rebus atau steam yang berguna untuk melunakkan makanan,

Universitas Lambung Mangkurat


19

dan pastikan makanan telah matang sepenuhnya dan dapat dihancurkan

menggunakan garpu dengan mudah, dalam fase ini guna melihat apakah ada reaksi

alergi atau ketidaknyamanan dan merupakan proses pengenalan utama. Tiap

memberikan tipe makanan baru, gunakan pengalaman positif seperti diberikan

penjelasan dengan metode yang anak sukai. 5

2. Rotasi Jenis Protein

Bila dilihat dari keanekaragaman bahan makanan sumber protein, anak

stunting dan gizi kurang banyak mengonsumsi sumber protein dari serealia namun

kurang mengonsumsi dari bahan hewani seperti ikan, dan susu serta hasil

olahannya. Bahan pangan sumber protein hewani memiliki asam amino esensial

lengkap dan dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan tubuh. Merotasi jenis

protein yang diberikan perlu dilakukan untuk membantu meningkatkan variasi dari

asam amino yang dibutuhkan tubuh. Misalnya, jika hari ini diberikan ikan, besok

dapat memberikan daging ayam, dan seterusnya.10

Selain jenis protein yang divariasikan, dapat dilakukan rotasi cara memasak,

seperti rebus, kukus, steam, goreng, bakar, dan lain-lain. Berikan anak dengan

metode yang dia suka, dan lakukan pendekatan dengan memberikan hiasan ataupun

dengan membentuk makanan dengan bentuk-bentuk yang anak sukai seperti daging

ayam yang dikemas dalam bentuk nugget, ataupun sosis ayam yang dibentuk seperti

gurita dan sebagainya.5

3. Kombinasi dengan Bahan Lain

Kapasitas perut dari balita berbeda dengan orang dewasa. Sedangkan balita

memerlukan berbagai macam zat gizi yang diperlukan untuk menunjang

Universitas Lambung Mangkurat


20

pertumbuhannya. Mengkombinasikan protein hewani dengan bahan lainnya, seperti

sayuran dan karbohidrat, dapat memberikan rasa dan tekstur yang berbeda pada

makanan. Ini juga dapat meningkatkan asupan serat dan nutrisi lainnya. 5

4. Pemberian Camilan Sehat

Selain dengan memberikan asupan protein hewani sebagai metode utama,

dapat juga dengan menyajikan camilan sehat yang mengandung protein hewani,

misalnya, potongan keju, telur rebus, atau yogurt. Camilan ini dapat menjadi cara

yang baik untuk memastikan asupan protein tambahan. Pastikan camilan yang

disediakan memiliki kadar gizi yang cukup, dan sesuai dengan usia pemberian,

seringkali camilan memiliki kadar gula yang terlalu tinggi dan tidak baik untuk

anak. 5

5. Pengenalan Bergradasi

Pada anak perlu dilakukan penyesuaian, terlebih dari tekstur makanan, sistem

pencernaan bayi sangat sensitif dalam mencerna makaan yang baru, seringkali anak

yang langsung diberikan makanan yang bertekstur dan keras akan menyebabkan

gangguan pencernaan, tersedak, bahkan bisa berbahaya, seperti terjadinya

intususepsi apabila terjadi pola makan yang drastis. Memperkenalkan berbagai

jenis protein secara bertahap. Mulailah dengan jenis makanan yang lebih halus dan

mudah dicerna, dan secara perlahan tambahkan variasi makanan seiring dengan

pertumbuhan dan perkembangan anak. 5

Universitas Lambung Mangkurat


21

6. Memanfaatkan Produk Pangan Inovatif

Memanfaatkan produk pangan inovatif yang menggabungkan protein hewani

dengan bahan-bahan lain, seperti sereal dengan tambahan protein, untuk menambah

variasi dalam pola makan anak. 5

Meningkatkan diversifikasi protein hewani pada MPASI tidak hanya penting

untuk kesehatan fisik anak tetapi juga membentuk kebiasaan makan yang baik di

masa mendatang. Dengan memberikan variasi makanan sejak dini, anak dapat

mengembangkan preferensi makanan yang sehat dan kebiasaan makan yang

beragam. 5

Universitas Lambung Mangkurat


BAB III

KESIMPULAN

Konsumsi protein hewani memiliki peran penting dalam mendukung

pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Semakin tinggi kualitas protein yang

dikonsumsi, semakin besar kemungkinan protein tersebut dapat dioptimalkan untuk

mendukung proses tumbuh kembang anak. Protein yang berasal dari susu terkait

dengan peningkatan kadar IGF-1 dan akselerasi pertumbuhan tinggi badan anak jika

dibandingkan dengan jenis protein hewani lainnya. Meskipun konsumsi ikan tidak

memiliki dampak signifikan pada pertumbuhan linear, namun dapat meningkatkan

fungsi kognitif anak dan mengurangi prevalensi infeksi serta anemia.2.16.

Disarankan untuk mengonsumsi makanan bervariasi yang mengandung

kombinasi protein hewani dan nabati, makanan pokok, serta sayur dan buah sebagai

strategi pencegahan stunting. Semakin beragam konsumsi makanan, semakin besar

peluang untuk memenuhi kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan.

Keberagaman makanan juga dapat meningkatkan keanekaragaman mikroba usus,

yang berperan penting dalam proses pencernaan dan kesehatan balita. Hasil

penelitian ini memberikan dukungan untuk intervensi holistik guna meningkatkan

asupan pangan yang beragam, terutama yang kaya akan sumber protein hewani.

Upaya ini diharapkan dapat berkontribusi pada percepatan penurunan angka

stunting dan mendukung tumbuh kembang optimal anak-anak Indonesia menuju

pencapaian Indonesia Emas 2045.2,29,32

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Arsyati, Asri Masitha; Rahayu, Yayu Tri. Budaya Pemberian Makanan


Pendamping Asi (Mp-Asi) Pada Bayi Usia Kurang Dari 6 Bulan Di Desa
Leuwibatu Rumpin. Hearty: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2019, 7.1.
2. Rahmawati, Widya. Cegah Stunting Dengan Protein Hewani: Tinjauan
Naratif. Jurnal Gizi Mandiri, 2023, 1.1: 16-26.
3. Kadafi, Asroful, Et Al. Upaya Pencegahan Stunting Dengan Edukasi
Pentingnya Asi, Mpasi Dan Makanan Bergizi. Jurnal Abdimas Bina Bangsa,
2023, 4.1: 41-48.
4. Shapiro Mj, Downs Sm, Swartz Hj, Parker M, Quelhas D, Kreis K, Et Al. A
Systematic Review Investigating The Relation Between Animal-Source Food
Consumption And Stunting In Children Aged 6-60 Months In Low And
Middle-Income Countries. Adv Nutr. 2019;10(5):827-47
5. Rachmawati W, Ratu M, Dedik S. Modul Edukasi Mpasi Berbahan Pangan
Lokal Dan Bergizi. K-Media. Yogyakarta.2021
6. Swarinastiti D, Hardaningsih G, Pratiwi R. Dominasi Asupan Protein Nabati
Sebagai Faktor Risiko Stunting Anak Usia 2-4 Tahun. Jurnal Kedokteran
Diponegoro (Diponegoro Medical Journal). 2018 May;7(2):1470-1483.
7. Hardinsyah, Riyadi H, Napitupulu V. Kecukupan Energi, Protein, Lemak
dan Karbohidrat. Departemen Gizi FK UI. 2012;1–26.
8. Oktaviani AC, Pratiwi R, Rahmadi FA. Asupan Protein Hewani Sebagai
Faktor Risiko Perawakan Pendek Anak Umur 2-4 Tahun. Jurnal Kedokteran
Diponegoro (Diponegoro Medical Journal). 2018 May;7(2):977-989.
9. IFPRI. Animal-sourced foods are vital to combating malnutrition and stunting
in developing world. Washington DC: International Food Policy Research
Institute (IFPRI), 2023.
10. Ernawati, Fitrah, et al. Gambaran Konsumsi Protein Nabati Dan Hewani Pada
Anak Balita Stunting Dan Gizi Kurang Di Indonesia. Penelitian Gizi dan
Makanan. 2016; 39(2): 95-102.
11. Grasgruber P, Sebera M, Hrazdira E, Cacek J, Kalina T. Major correlates of
male height: A study of 105 countries. Econ Hum Biol. 2016; 21:172-95.
12. Leser S. The 2013 FAO report on dietary protein quality evaluation in human
nutrition: Recommendations and implications. British Nutrition Foundation
Nutrition Bulletin. 2013; 38:421–8.
13. Consultation FE. Dietary protein quality evaluation in human nutrition.
Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nation, 2013.

23
14. KEMENKES. Tabel Komposisi Pangan Indonesia 2017. Jakarta: Direktorat
Gizi Masyarakat, KEMENKES; 2018.
15. Dalton A, Wolmarans P, Witthuhn RC, van Stuijvenberg ME, Swanevelder
SA, Smuts CM. A randomised control trial in schoolchildren showed
improvement in cognitive function after consuming a bread spread,
containing fish flour from a marine source. Prostaglandins Leukot Essent
Fatty Acids. 2009;80(2-3):143-9.
16. Hoppe C, Molgaard C, Juul A, Michaelsen KF. High intakes of skimmed
milk, but not meat, increase serum IGF-I and IGFBP-3 in eight-year-old boys.
Eur J Clin Nutr. 2004;58(9):1211-6
17. Dror DK, Allen LH. The importance of milk and other animal-source foods
for children in lowincome countries. Food and Nutrition Bulletin.
2011;32(3):227-34.
18. Malcolm LA. Growth retardation in a New Guinea boarding school and its
response to supplementary feeding. British Journal of Nutrition.
1970;24(1):297-305.
19. Lien DTK, Nhung BT, Khan NC, Hop LT, Nga NTQ, Hung NT, et al. Impact
of milk consumption on performance and health of primary school children
in rural Vietnam. Asia Pac J Clin Nutr. 2009;18(3):326-34.
20. Hanh TTM, Farley K, Quynh TPN, Valdivia F. An evaluation of the impact
of a school nutrition programme in Vietnam. Public Health Nutrition.
2007;10(8):819-26.
21. Du X, Zhu K, Trube A, Zhang Q, Ma G, Hu X, et al. School-milk intervention
trial enhances growth and bone mineral accretion in Chinese girls aged 10–
12 years in Beijing. British Journal of Nutrition. 2007;92(1):159-68
22. Ahmad SS, Ahmad K, Lee EJ, Lee YH, Choi I. Implications of Insulin-Like
Growth Factor-1 in Skeletal Muscle and Various Diseases. Cells. 2020;9(8).
23. Wiley AS, Joshi SM, Lubree HG, Bhat DS, Memane NS, Raut DA, et al. IGF-
I and IGFBP-3 concentrations at 2 years: associations with anthropometry and
milk consumption in an Indian cohort. Eur J Clin Nutr. 2018;72(4):564-71
24. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Gizi Seimbang.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 41. 2014. 1–96 p.
25. Amugsi DA, Mittelmark MB, Oduro A. Association between maternal and
child dietary diversity: An analysis of the Ghana Demographic and Health
Survey. PLoS One. 2015;10(8):1–12.
26. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Riset Kesehatan
Dasar. Jakarta: Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan; 2013.

24
27. Hailemariam T, Girmany T, Girmany G. Determinants of Individual Dietary
Diversity Score Of Children Less Than Five Years Old In The Southern Zone
Of Tigray, Ethiopia. Afr. J. Food Agric. Nutr. Dev. 2018; 18(1): 13034-
28. Ogechi UP, Chilezie OV. Assessment of Dietary Diversity Score, Nutritional
Status and Socio-demographic Characteristics of Under-5 Children in Some
Rural Areas of Imo State, Nigeria. Mal J Nutr. 2017, 23(3): 425 - 435
29. Agize A, Jara D, Dejenu G. Level of Knowledge and Practice of Mothers on
Minimum Dietary Diversity Practices and Associated Factors for 6–23-
Month-Old Children in Adea Woreda, Oromia, Ethiopia. BioMed Research
International. 2017
30. Lamid A. Masalah Kependekan (Stunting) pada Anak Balita: Analisis
Prospek Penanggulangannya di Indonesia. Bogor: IPB Press; 2015. 138 p.
31. Paramashanti BA, Paratmanitya Y, Marsiswati M. Individual dietary
diversity is strongly associated with stunting in infants and young children. J
Gizi Klinik Indonesia. 2017;14(1):19–26
32. Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. 9th ed. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama; 2014. 28–29 p.

25

Anda mungkin juga menyukai