MASJID MANTINGAN
Penulis :
Asro Najah – 225060500111020
Pembangunan masjid ini didasarkan pada keberadaan makam Syeh Abdul Jalil yang lebih
dahulu ada. Ratu Kalinyamat melanjutkan dan menyelesaikan pembangunan masjid dengan
bantuan Patih Sungging Badarduwung (Tji Wie Gwan). Ratu Kalinyamat, yang memimpin Jepara
setelah suaminya meninggal, membangun masjid dan makam khusus untuk menghormati
Pangeran Hadlirin. Ada keterkaitan politik dan sumpah Ratu Kalinyamat terkait pembunuhan
Arya Panangsang. Sungging Badarduwung, seorang patih yang mahir dalam pahatan, memiliki
peran penting dalam menciptakan ornamen masjid. Meskipun awalnya ia mencari hiasan dari
Tiongkok, ia akhirnya menggunakan batu karang yang diukir oleh masyarakat setempat. Nama
Cina yang dimiliki Sungging Badarduwung juga menunjukkan kemungkinan hubungan asal-
usulnya dengan pemimpin Kalinyamat yang berasal dari Cina.
Pada abad ke-15 hingga ke-16, Islam mulai berkembang di tanah Jawa (HJ De Graaf dan Th G
Pigeaud, 1986). Pada masa itu, masyarakat Jawa memiliki kebudayaan yang bercorak animisme.
Dengan masuknya Islam ke kalangan mayoritas penduduk yang sebelumnya menganut agama
Hindu dan Buddha, terjadi perpaduan unsur pra-Hindu, Hindu-Buddha, dan Islam. Seiring dengan
perkembangan Islam, banyak masjid yang didirikan sebagai tempat ibadah dan untuk menyebarkan
dakwah. Salah satu strategi dakwah yang dilakukan oleh para wali adalah dengan melakukan
adaptasi kosmologi Hindu-Buddha pada bangunan masjid.
Pada tahun 1930, Masjid Mantingan dibangun di wilayah yang masih dikelilingi oleh air
dan belum terdapat rumah-rumah warga di sekitarnya. Masjid ini memiliki tampilan klasik dan
kuno yang dapat dilihat dalam gambar-gambar. Awalnya, masjid ini didirikan untuk kepentingan
Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadlirin dalam melaksanakan pementingan. Oleh karena itu, masjid
ini diberi nama "Mantingan" yang merujuk pada kegiatan pementingan tersebut. Di sebelah
belakang masjid terdapat beberapa makam, termasuk makam Sultan Hadlirin dan Ratu
Kalinyamat.
Selanjutnya, pada masa pemerintahan Dr. Daoed Joesoef sebagai Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia (1978-1983), Masjid Mantingan mengalami perkembangan. Pada tanggal
10 Desember 1982, dilakukan pemugaran masjid dan makam Mantingan yang diresmikan.
Pemugaran tersebut tidak hanya melibatkan perbaikan pada bangunan masjid, tetapi juga pada
makam yang ada di sekitarnya. Hal ini menunjukkan perhatian terhadap pemeliharaan dan
perbaikan bangunan bersejarah tersebut.
Pada tahun 2021, masjid mengalami renovasi dengan tampilan yang lebih modern.
Renovasi tersebut meliputi pergantian shirab (mihrab) dan penggunaan keramik marmer yang
memberikan tampilan yang indah. Dana untuk renovasi ini diperoleh dari pemerintah selama 3
tahun dengan total lebih dari 1 miliar. Renovasi ini merupakan upaya untuk menjaga keaslian
sekaligus memberikan sentuhan modern pada masjid yang memiliki nilai budaya dan sejarah yang
penting bagi masyarakat.
2. Karakteristik dan Gaya Bangunan
A. ASPEK RUANG
a.1. Jenis dan Fungsi ruang
Masjid Mantingan memiliki dua struktur interior utama yang meliputi struktur ruang dan
struktur kekal. Struktur ruang terdiri dari ruang utama ibadah sholat, ruang belajar umum, dan
ruang pertemuan jamaah. Pada masjid ini, struktur ruang dibentuk dengan membagi bidang
masjid menggunakan dinding penyekat atau ruang kosong. Ruang belajar umum merupakan
pengalihan fungsi dari pringgitan dalam rumah adat Jawa, sedangkan ruang pertemuan jamaah
merupakan pengalihan fungsi dari pendhopo.
Struktur kekal dalam Masjid Mantingan melibatkan area tambahan yang digunakan untuk
menyemayamkan jenazah umat Islam. Hal ini tidaklah baru dalam budaya Jawa, karena hampir
semua masjid Jawa kuno juga memiliki struktur kekal seperti yang ada di Masjid Mantingan.
Struktur kekal ini berupa bangunan tambahan atau cungkup yang menyerupai bangunan inti
masjid, dan digunakan khusus untuk keluarga kerajaan. Semua struktur ini menunjukkan
perpaduan yang harmonis antara budaya Jawa, Hindu, dan Cina.
Organisasi ruang. Dilihat dari denah menggunakan organisasi terpusat di sekitar ruang
utama. Ruang utama masjid menjadi titik fokus utama yang mengarah pada mihrab, yang
menandakan arah kiblat. Ruang utama masjid juga menjadi tempat utama untuk melaksanakan
shalat berjamaah dan mendengarkan khutbah.
Gambar 9. Konsep mihrab sebagai orientasi utama dalam Masjid Mantingan
Sumber : Nuha dan Lukito, 2018
Gambar 10. Atap Tampak Samping Masjid Mantingan Gambar 11. Tampak sisi timur Masjid Mantingan
Sumber : Susindra.com Sumber : Nuha dan Lukito, 2018
Vocal Point yang kedua terlihat dari tambahan bangunan berupa tangga untuk mencapai
Masjid Mantingan. Tangga arah masuk Masjid Mantingan memberikan kesan bahawa masjid tampak
terlihat lebih tinggi. Tangga masuk juga mencerminkan nilai simbolis sebagai gerbang menuju
pengalaman spiritual dan ibadah di dalam masjid.
Gambar 12. Tangga masuk Masjid Mantingan
Sumber : Wikipedia.org
Ornamen Hindu hadir dalam masjid ini untuk membiasakan masyarakat Jawa dengan
agama baru yang diperkenalkan oleh Sultan Hadlirin. Pengaruh budaya Cina juga terlihat dalam
Masjid Mantingan. Ukiran yang ada di dinding masjid memiliki motif Cina, seperti yang tercatat
dalam kunjungan R.A. Kartini ke tempat pemakaman Sultan Mantingan. Mitos mengenai ayah
angkat Sunan Hadlirin yang berasal dari Cina, yang mahir dalam seni melukis, mengukir, dan
memahat, memperkuat keberadaan pengaruh budaya Cina dalam ukiran-ukiran tersebut.
c.1 Ornamen Masjid Mantingan
Ornamen pada Masjid Mantingan tersebar di beberapa bagian bangunan. Pada dinding
depan masjid terdapat 16 panel berbentuk medallion, 20 panel berbentuk persegi panjang dengan
ujung kurawal, 6 panel persegi, dan 72 ornamen berbentuk segitiga. Fungsi ornamen ini dibagi
menjadi 2, yaitu sebagai hiasan dan sebagai ajaran.
Gambar 17. Letak ornamen pada dinding bagian depan Masjid Mantingan
Sumber : dunia masjid
Di bagian dalam masjid, terdapat empat ornamen persegi panjang di bawah (di atas lantai)
dan beberapa ornamen kecil di bagian atas. Tiga ornamen berada di atas mihrab dan digunakan
sebagai penunjuk arah kiblat. Pada dinding samping kanan dan kiri masjid, terdapat satu ornamen
persegi di atas pintu tengah masjid. Sedangkan pada pondasi masjid, terdapat empat ornamen,
termasuk satu ornamen berbentuk medallion. Di bagian belakang masjid, ornamen diterapkan
pada mihrab dan dekat jendela. Mihrab memiliki ornamen persegi panjang sebagai pelipit yang
mengelilingi bangunan, sementara di sekitar jendela terdapat satu bentuk medallion dan bingkai
cermin. Pada mimbar masjid, ornamen diterapkan pada bagian kaki dan dindingnya. Ornamen ini
diukir langsung pada mimbar. Secara keseluruhan, ornamen-ornamen tersebut terdapat di
berbagai bagian Masjid Mantingan, memberikan keindahan dan keunikan pada bangunan
tersebut.
Motif-motif dalam ornamen Masjid Mantingan bervariasi, antara lain motif tumbuh
tumbuhan (flora), inatang (fauna), manusia, khayali, jalinan, huruf, bangunan, dan benda-benda
mati. Motif-motif dalam ornamen Masjid Mantingan memiliki makna yang mendalam. Motif awan
melambangkan langit dan kekuatan tak terbatas, sementara motif gunung melambangkan alam
kedewataan, kekuatan, dan medan perjuangan manusia. Motif batu karang menggambarkan dunia
bawah dan sebagai sumber kehidupan. Ragam hias Mantingan ini dipengaruhi oleh kebudayaan
Hindu, Cina, dan local genius.
Gambar1 9. Salah satu ornamen dinding motif binatang gajah yang terstilasi dalam suluran
tanaman Sumber : Lombard, 1996
Gambar 21. Ukiran motif binatang (merak, phoenix, kuda) dengan bentuk medallion
Sumber : Naá m,2006
Ornamen Masjid Mantingan menggabungkan berbagai pengaruh seni dari Hindu, Cina, dan
local genius. Meskipun dipengaruhi oleh Islam, penggambaran makhluk hidup secara realistis
dihindari. Pengaruh Islam tidak menghapuskan sepenuhnya kebudayaan Hindu-Jawa, dan simbol-
simbol Hindu-Jawa masih digunakan sebagai ajaran. Unsur teknik seni Islam belum sepenuhnya
terlihat dalam ornamen Masjid Mantingan, yang lebih menggambarkan pengaruh Hindu-Jawa dan
Cina. Penggabungan motif-motif dari berbagai agama dan budaya tersebut mencerminkan
sinkretisme agama pada masa transisi dari Hindu ke Islam. Ornamen Masjid Mantingan
mengadaptasi lingkungannya dengan mencerminkan makna-makna yang terungkap dalam
lambang-lambang tersebut.
Masjid Mantingan memiliki ukiran yang menjadi ciri khasnya. Terdapat relief-relief pada
panel-panel batu padas kuning yang melambangkan berbagai gambar seperti binatang, tumbuhan,
dan lainnya. Relief-relief ini menggambarkan pengaruh kebudayaan Cina, terutama dalam motif
wadasan yang sering ditemui di Cirebon. Ragam hias Mantingan juga dipengaruhi oleh
kebudayaan Hindu dan Cina, terlihat dari penggunaan motif seperti awan, batu karang, bunga
teratai, labu air, dan lung-lungan. Ornamen-ornamen ini mencerminkan pengaruh budaya Cina
dan Hindu yang terdapat dalam masjid ini.
Material utama yang digunakan dalam konstruksi bangunan Masjid Mantingan adalah batu
alam, seperti batu kapur atau batu andesit. Batu-batu tersebut dipahat dan dipasang dengan cermat
untuk membentuk struktur bangunan, termasuk dinding, tiang, dan elemen-elemen dekoratif.
Selain itu, juga terdapat penggunaan kayu pada bagian atap dan detail ornamen.
Warna bangunan Masjid Mantingan cenderung natural dan netral. Batu-batu alam (batu
padas) yang menjadi bahan utama ornamen bangunan memiliki warna yang umumnya kuning atau
cream. Warna ini memberikan kesan alami dan memadukan bangunan dengan lingkungan
sekitarnya. Selain itu, terdapat juga penggunaan warna putih pada bagian dinding dan ornamen-
ornamen, yang memberikan kontras yang elegan dengan warna batu alam.
Pada bagian atap, kayu digunakan dan mungkin memiliki warna yang lebih gelap, seperti
cokelat tua atau hitam. Hal ini memberikan kontras dengan warna batu alam pada dinding dan
memberikan sentuhan tradisional pada bangunan.
Masjid Mantingan mengalami beberapa kali perubahan dan pemugaran. Pada tahun 1927,
dilakukan pemugaran dengan penggantian material menggunakan semen dan kapur, yang
menghilangkan keaslian bangunan. Panel-panel ukiran dari masjid lama kemudian ditempelkan
pada serambi masjid. Pemugaran kembali dilakukan pada tahun 1978-1981 dan menghasilkan
penemuan enam panel berelief, balok-balok putih, dan pondasi bangunan kuno. Dapat dikatakan,
Masjid Mantingan memiliki sejarah perubahan dan pemugaran yang mengubah tampilan dan
keaslian bangunan, tetapi beberapa panel ukiran dari masjid lama masih dipertahankan. Terdapat
pengaruh budaya Tionghoa dalam ukiran dan motif yang terlihat pada masjid ini.
Masjid Mantingan awalnya didirikan dengan lantai tinggi yang ditutupi dengan ubin
buatan Tiongkok, termasuk undak-undaknya. Semua bahan tersebut diimpor dari Makao. Gaya
bangunan atap, termasuk bubungan, juga mengadopsi gaya Tiongkok. Dinding luar dan dalamnya
dihiasi dengan piring tembikar bergambar biru. Bagian dinding sebelah tempat imam dan khatib
dihiasi dengan relief persegi bergambar margasatwa dan penari yang dipahat pada batu cadas
kuning tua. Babah Liem Mo Han merupakan pengawas pekerjaan baik di Welahan maupun
Mantingan.