Anda di halaman 1dari 19

PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS BUDAYA

DI SEKOLAH DASAR

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan dan pendidikan memberikan peran dalam berlangsungnya
nilai-nilai luhur yang dilestarikan dalam perubahan zaman. Kebudayaan yang
diefinisikan Ki Hajar Deawantara sebagai buah budi manusia yaitu hasil
perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat
dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi
berbagai tantangan dalam hidup dan penghidupannya, guna mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai
(Hidayat et al., 2020). Unsur budaya merupakan bagian suatu kebudayaan yang
dapat digunakan sebagai satuan analisis tertentu sehingga kebudayaan lebih
mengandung makna totalitas. Sementara, hakikat Pendidikan menurut Ki Hajar
Dewantara yaitu memasukkan kebudayaan ke dalam diri anak dan memasukkan
anak ke dalam kebudayaan supaya anak menjadi makhluk yang insani
(Suparlan, 2015)

Peran pendidikan dalam melestarikan kebudayaan tersebut pada abad 21 ini


memiliki interpretasi baru sejalan dengan dinamika masyarakat era revolusi
industry 4.0 dengan pengaruh teknologi membentuk nilai-nilai baru dalam
masyarakat. Integrasi teknologi dalam aktivitas sehari-hari seperti; berinteraksi,
berbelanja, berwisata, bahkan beribadah telah dilakukan secara digital telah
membawa perubahan sosial di masyarakat (Hamengku Buwoono, 2023).
Kebaharuan tersebut dikhawatirkan akan menggerus nilai kearifan lokal menjadi
dikhawatirkan akan punah di tengah perkembangan zaman
(Faiz & Kurniawaty, 2020)

Hubungan fungsional antara pendidikan dan budaya memiliki banyak arti.


Reflektif, yang merupakan penggambaran dari kebudayaan yang ada saat ini, dan
progresif, yang merupakan pergerakan pendidikan ke arah pembaharuan dan
kemajuan kebudayaan menuju kemajuan peradaban. Inilah makna dari pendidikan
karakter, dimana proses pendidikan merupakan upaya individu sekaligus upaya
inovatif dan dinamis untuk menghadapi perubahan zaman secara positif. Menurut
(Mulyasa, 2022) pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-
nilai karakter kepada peserta didik yang meliputi kesadaran, pemahaman,
kepedulian, dan komitmen yang tinggi, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, lingkungan, maupun masyarakat dan keseluruhan bangsa sehingga
menjadi manusia sempurna yang sesuai kodratnya. Perlu pendidikan karakter
berdasar pembudayaan nilai-nilai kearifan lokal

Menurut (Faiz, 2019) praksis pembelajaran merupakan tempat yang sangat


representatif untuk menanamkan nilai-nilai karakter. Dalam hal ini, kearifan lokal
dapat dimasukkan ke dalam proses pembelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, dan
kegiatan lainnya ( (Nadlir, 2016; Prastowo, 2015) . Strategi menarik diterapkan di
Desa Borobudur, di Kabupaten Magelang yang menerapkan konsep belajar
melalui seni budaya dan permainan tradisional. Desa ini menyediakan berbagai
kegiatan tradisional yang sesuai untuk anak-anak sekolah dasar, seperti egrang,
gasing, bakiak, gobak sodor, dakon, dan lain-lain. Selain itu, wisata alam dapat
memberikan sarana edukasi, rekreasi, dan pengembangan karakter positif
(Prastyan, 2019). Sedangkan Pratama (2017) menggunakan wayang sebagai salah
satu kebudayaan nasional sebagai media penanaman karakter bangsa.

Budaya daerah sebagi produk budaya dari daerah geografis tertentu mencerminkan
cipta, rasa, dan karya. Demikian juga kebudayaan nasional / bangsa ialah kebudayaan
yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama
dan asli yang terdapat sebagai puncakpuncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh
Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Definisi ini diperkuat pendapat
Kebudayaan Nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional atau
jati diri bangsa (Setyowati et al., 2020)
Keberhasilan di sekolah dasar
B. Rumusan Makalah
Berdasar latar belakang masalh di atas dapat dirumuskan permasalahan yang ingin
dibahas pada makalah ini adalah:
1. Seberapa penting peran pendidikan karakter berbasis budaya ?
2. Apa sajakah bentuk budaya daerah sebagai sumber pembelajaran karakter?
3. Apa sajakah Bentuk budaya Nasional sebagai sumber pembelajaran?
4. Bagaimanakah strategi Implementasi pendidikan karakter di sekolah dasar?
C. Tujuan Makalah

Tujuan makalah ini adalah untuk :


1. Memberikan gambaran pentingnya pendidikan karakter berbasis budaya
2. Menujukkan bentuk-bentuk budaya daerah yang digunakan sebagai sumber
pendidikan karakter
3. Memberikan contoh-contoh budaya nasional yang digunakan sebagai sumber
pembelajaran
4. Menjelaskan bentuk-bentuk strategi implementasi pendidikan karakter di
sekolah dasar.

II. PEMBAHASAN

A. Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah bagaimana seseorang mengetahui tentang baik dan
buruk, bertindak dan berperilaku yang sesuai dengan nilai nilai kebaikan sehingga
muncul karakter dan kepribadian yang mulia. Pendidikan karakter menurut Ki
Hajar Dewantara adalah: “ ngerti, ngerasa, ngelakoni” yang artinya adalah
menyadari, menginsyafi dan selanjutnya adalah melakukan (Dewantara, 1967) Ki
Hajar Dewantara mengharapkan adanya suatu bentuk pendidikan dan pengajaran
yang fokus atau menitik beratkan pada perilaku siswa dalam mengapresiasi dan
implementasi pada nilai nilai karakter dalam kehidupan sehari hari. Target dari
pendidikan karakter adalah terwujudnya peserta didik yang memiliki intregitas
moral yang kemudian diimplementasikan pada lingkungan dan kehidupan sehari
hari.
pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona. Lickona (2009)
menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk
membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan
melakukan nilai-nilai etika yang inti. adanya proses perkembangan yang
melibatkan pengetahuan (moral knowing), perasaan (moral feeling), dan tindakan
(moral action), sekaligus juga memberikan dasar yang kuat untuk membangun
pendidikan karakter yang koheren dan komprehensif. Rincian dari pendidikan
moral, pendidikan perasaan , dan Tindakan diuraikan sebagai berikut:
1. Moral Knowing (Pengetahuan Moral)
Ada berbagai bentuk pengetahuan moral yang berkaitan dengan tantangan
moral kehidupan. Berikut ini adalah enam langkah yang harus diambil untuk
mencapai tujuan pendidikan moral Moral awareness (kesadaran moral):
kesadaran moral tumbuh karena memperhatikan dan dapat menilai kebenaran
suatu perbuatan.
a. Knowing moral values ( Pengetahuan nilai-nilai moral) : mengetahui nilai
moral yang bersumber dari warisan budaya dan tau bagaimana menerapkan
dalam beragam situasi. Nilai moral tersebut seperti rasa hormat terhadap
kehidupan dan kebebasan, tanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran,
keadilan, toleransi, sopansantun, disiplin-diri, integritas, kebaikan,
keharuan-keibaan, dan keteguhan hati atau keberanian, secara keseluruhan
menunjukan sifat-sifat orang yang baik
b. Perspective-taking (mengambil pelajaran) : kemampuan untuk mengambil
pelajaran dari peristiwa yang menimpa atau terjadi pada orang lain;
melihat suatu keadaan sebagaimana mereka melihatnya; mengimajinasikan
bagaimana mereka berpikir, bereaksi, dan merasakannya. Tujuan utama
dari pendidikan moral adalah untuk membantu siswa agar mereka bisa
memahami dunia ini dari sudut pandang orang lain, terutama yang berbeda
dari pengalaman mereka.
c. Moral reasoning (alasan moral) : pemahaman mengenai apa itu perbuatan
moral dan mengapa harus melakukan perbuatan moral. Mengapa, misalnya,
penting untuk menepati janji? Mengapa harus melakukan yang terbaik?.
d. Decesion-making (pengambilan keputusan) : Kemampuan seseorang untuk
mengambil sikap ketika dihadapkan dengan problema moral adalah suatu
keahlian yang bersifat reflektif. Apa yang dipilih dan apa akibat atau resiko dari
pengambilan keputusan moral itu
e. Self-knowledge ( mengetahui diri sendiri) : merupakan jenis pengetahuan
moral yang paling sulit, tetapi hal ini sangat penting bagi perkembangan moral
2. Moral Feeling (Perasaan Moral)
Aspek emosional dari karakter sering kali diabaikan dalam diskusi
tentang pendidikan moral, meskipun sangat penting. Faktanya (secara
sederhana), pengetahuan yang benar tidak menjamin perilaku yang benar.
Banyak orang yang pandai mendiskusikan mana yang benar dan mana yang
salah, namun mereka secara konsisten memilih tindakan yang salah.
a. Conscience (Kesadaran)
Kesadaran memiliki dua sisi: sisi kognitif (pengetahuan tentang sesuatu
yang benar), dan sisi emosional (perasaan adanya kewajiban untuk
melakukan apa yang benar itu). Kesadaran yang matang, disamping adanya
perasaan kewajiban moral, adalah kemampuan untuk mengonstruksikan
kesalahan. Apabila seseorang dengan kesadarannya merasa berkewajiban
untuk menunjukkan suatu perbuatan dengan cara tertentu, maka ia pun bisa
menunjukkan cara untuk tidak melakukan perbuatan yang salah.
b. Self-esteem (penghargaan-diri)
Ketika kita memiliki ukuran yang sehat terhadap penghargaan-diri, kita
menilai diri kita sendiri. Ketika kita menilai diri kita sendiri, kita akan
menghargai atau menghormati diri kita sendiri. Kita tidak akan
menyalahgunakan anggota tubuh atau pikiran kita atau mengizinkan pihak-
pihak untuk menyalah gunakan diri kita. Ketika kita memiliki penghargaan
diri, kita tidak akan bergantung pada restu atau izin pihak lain.
Pembelajaran yang memperlihatkan siswa dengan penghargaan diri yang
tinggi memiliki tingkat halangan yang lebih besar bagi sejawatnya untuk
memberi tekanan kepadanya. Ketika kita memiliki penghargaan yang
positif terhadap diri kita sendiri, kita lebih suka memperlakukan orang lain
dengan cara-cara yang positif pula.
c. Self-control (control diri)
Emosi dapat membayangi (mengatasi) akal sehat. Pembenaran
mengapa pengendalian diri diperlukan untuk kebaikan moral. Kontrol diri
pada remaja juga membutuhkan pengendalian diri. Pemanjaan diri ini,
menurut Walter Niogorski, adalah sumber penyimpangan sosial.
d. Humility (kerendahan hati)
Kerendahan hati adalah kebajikan moral yang sering diabaikan,
meskipun merupakan komponen penting dari karakter yang sangat baik.
Kerendahan hati adalah aspek yang efektif dari kesadaran diri.
Karakteristik kerendahan hati dan kesadaran diri adalah keterbukaan
terhadap kebenaran dan keinginan untuk memperbaiki kekurangan kita.
Kerendahan hati adalah pertahanan yang paling efektif melawan perbuatan
jahat.
3. Moral Action (Tindakan Moral)
Moral action (Tindakan moral), dalam arti luas, adalah hasil atau
konsekuensi dari moral knowing dan moral feeling. Jika seseorang memiliki
kualitas spiritual dari kecerdasan dan emosi, kita dapat mengharapkan mereka
untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan dan emosi mereka. keahlian dan
pengalaman. Untuk memahami secara menyeluruh apa yang dimaksud dengan
tindakan moral, ada tiga aspek karakter yang perlu dipertimbangkan:
kompetensi (competence), kehendak (will) , dan kebiasaan (habit).
a. Competence (Kompetensi)
kompetensi adalah kemampuan untuk mengubah penilaian dan
perasaan moral ke dalam tindakan moral yang efektif. Untuk memecahkan
masalah konflik misalnya, diperlukan keahlian-keahlian praktis:
mendengar, menyampaikan pandangan tanpa mencemarkan pihak lain, dan
menyusun solusi yang dapat diterima masing-masing pihak.
b. Will ( Kemauan)
Pilihan yang benar (tepat) akan suatu perilaku moral biasanya
merupakan sesuatu yang sulit. Untuk menjadi dan melakukan sesuatu yang
baik biasanya mensyaratkan adanya keinginan bertindak yang kuat, usaha
untuk memobilisasi energi moral. Kemauan merupakan inti (core) dari
dorongan moral
c. Habit ( Kebiasaan)
Dalam banyak hal, perilaku moral terjadi karena adanya kebiasaan.
Orang yang memiliki karakter yang baik, seperti yang dikatakan William
Bennet, adalah orang yang melakukan tindakan ‘dengan sepenuh hati’,
‘dengan tulus’, ‘dengan gagah berani’, ‘dengan penuh kasih atau murah
hati’, dan ‘dengan penuh kejujuran’. Orang melakukan perilaku yang baik
adalah karena didasarkan kekuatan kebiasaan
Fungsi pendidikan karakter menurut Kementerian Pendidikan Nasional
(Nasional, 2010) adalah: 1) pengembangan: pengembangan potensi peserta
didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang
telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter
bangsa; 2) perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk
bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih
bermartabat; dan 3) penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri
dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa yang bermartabat.

B. Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Daerah


Pendidikan karakter berbasis budaya memaknai budaya sebagai suatu hal yang
harus dipelajari dan ditransformasikan ke generasi selanjutnya
(Sulhan, 2018).
Pelaku pendidikan terlebih dahulu harus memahami ap aitu budaya, budaya
daerah dan penerapan pendidikan karakter berdasarkan budaya daerah. Berikut
rinciannya:
1. Pengertian Budaya Daerah
Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta “buddhayah”, yaitu
bentuk jamak dari “buddh”i yang berarti budi atau akal. Dengan demikian
secara sederhana kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan
dengan akal (Koentjaraningrat, 2009). Budaya Daerah sama dengan
konsep suku bangsa suatu kebudayaan tidak terlepas dari pola kegiatan
masyarakat dan faktor geografi. Untuk lebih memahami konsep
kebudayaan, berikut ini dikutip beberapa definisi kebudayaan sebagaimana
dikutip oleh (Widyosiswoyo, 2001) antara lain:
a. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan itu keseluruhan sistem
gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar.
b. Menurut Ki Hadjar Dewantara, Kebudayaan berarti buah budi manusia
yaitu hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni
alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti
kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai tantangan dalam
hidup dan penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
c. Menurut Menurut Sutan Takdir Alisyahbana, mengatakan bahwa
kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir sehingga menurutnya
pola kebudayaan itu sangat luas, sebab semua perilaku dan perbuatan
tercakup di dalamnya dan dapat diungkapkan pada basis dan cara
berpikir termasuk di dalamnya perasaan, karena perasaan juga
merupakan maksud dari pikiran.
d. Menurut C. A. van Peursen, mengatakan bahwa dewasa ini
kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan
kehidupan setiap kelompok orang berlainan dengan hewan, maka
manusia tidak dapat hidup begitu saja di tengah alam. Oleh karena itu,
untuk dapa hidup manusia harus mengubah segala sesuatu yang telah
disediakan oleh alam. Misalnya, adanya beras agar dapat dikonsumsi
harus diubah dulu menjadi nasi
2. Unsur Budaya Daerah
Pendidikan karakter berbasis budaya tentu mengacu pada unsur-unsur
budaya. Menurut Clyde Kluckhohn ada tujuh unsur kebudayaan yang
universal. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut ditegaskan ulang oleh
(Koentjaraningrat, 2009) adalah sebagai berikut:
a. Bahasa
(Cassirer, 1987) menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang
menggunakan simbol (animal symbolicum), artinya manusia adalah
makhluk yang menggunakan symbol khususnya bahasa. Dengan kata
lain, bahasa berisi simbol atau lambang untuk mengkomunikasikan ide,
gagasan atau pemikiran.
b. Sistem peralatan dan perlengkapan hidup manusia atau sistem
teknologi
Menurut (Notonagoro, 1987) manusia adalah makhluk yang bersifat
monopluralis (jamak tetapi satu) yang terdiri dari susunan kodrat, sifat
kodrat, dan kedudukan kodrat. Susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa
dan raga, sedangkan jiwa mempunyai apa yang disebut dengan cipta,
rasa, dan karsa. Dengan cipta, rasa dan karsa inilah manusia mampu
menciptakan apa yang disebut teknologi. Teknologi adalah semua cara
dan alat yang dipergunakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya
yang meliputi alat-alat produksi, distribusi dan transportasi, wadah dan
tempat untuk menyimpan makanan dan minuman, pakaian dan
perhiasan, tempat berlindung dan perumahan serta senjata. Dengan
alat-alat ciptaannya itu, manusia dapat lebih mampu mencukupi
kebutuhannya dari pada binatang.
c. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi
Jika dilihat dari tingkat teknologi yang dipergunakan, maka sistem
mata pencaharian hidup dapat dibagi atas ( (Winataputra, 2003) :
Masyarakat pemburu dan peramu (hunter and gathering), Pertanian
berpindah-pindah atau berladang (primitive farming), Peratanian
intensif (intensive farming), dan Industri (manufacturing).
d. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial atau sistem sosial
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat sebagai suatu
kesatuan. Dalam setiap masyarakat pada umumnya mempunyai aturan
tentang tempat tinggal pasangan suami isteri yang baru kawin.
e. Sistem pengetahuan
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh manusia
dengan cara belajar, baik belajar dari lingkungan alam, lingkungan
sosial maupun lingkungan budayanya. Pengetahuan yang sifatnya
universal meliputi pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan (flora) dan
binatang (fauna), ruang dan waktu, bilangan, tubuh manusia, dan
perilaku antar sesame manusia. Pengetahuan tentang alam tumbuh-
tumbuhan merupakan salah satu pengetahuan dasar bagi masyarakat
yang mempunyai mata pencaharian pertanian
f. Sistem Religi (kepercayaan)
Dengan adanya kesadaran terhadap kekuatan supranaturalmelahirkan
sistem kepercayaan. Seperti kepercayaan kepada roh nenek moyang
(animisme), kepercayaan kepada kekuatan alam (dinamisme),
kepercayaan yang menganggap suci terhadap binatang tertentu
(totemisme), pemujaan kepada pelaksana upacara (shamanisme).
Agama menjadi identitas setiap penganutnya, memberikan dorongan
spiritual dalam bertingkah laku, memberi arah dalam menjalani
kehidupan di dunia. Dengan adanya ketaatan dalam menjalankan
agama, maka tercipta kedisiplian, ketekunan, rasa kebersamaan, saling
hormat-menghormati, jujur, dan sebagainya. Semuanya itu sangat
diperlukan dalam menjalin hubungan, baik individu dengan Tuhannya,
individu dengan individu, maupun individu dengan masyarakat.
g. Sistem Kesenian
Berbagai macam kesenian tersebut merupakan pranata yang
dipergunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa
manusia yang bersumber pada perasaan. Mengenai seni patung dan
seni pahat (relief pada candi), seni tari di Bali tidak dapat dipisahkan
perkembangannya dari agama Hindu dan Budha. Semakin berkembang
teknologi, semakin bervariasi pula usaha manusia untuk
mengekspresikan rasa keindahannya dalam bentuk berbagai jenis
kesenian
3. Pendidikan karakter berbasis Budaya Daerah
Pendidikan karakter berbasis budaya daerah dapat diterapkan dengan
menggunakan budaya daerah itu sebagai media pembelajaran, sebagai isi
dari pembelajaran dan juga menjadi bagian dari komponen pembelajaran.
Penerapan pembelajaran dapat dicontohkan sebagai berikut:
a. Kesenian : Menggunakan tembang macapat,lagu dolanan, tari
tradisional
1) Macapat : Maskumambang, pucung, mijil, sinom, kinanthi,
asmarandana, gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh
2) Tembang dolanan: Gambang Suling, Suwe Ora Jamu, Gundul
Pacul, Lir-Ilir, Jamuran, Jangkrik Genggong, Cublak Cublak
Suweng.
3) Tarian tradisional : Tari Bedhaya, tari Srimpi, tari Golek, Bondan,
Lengger, Gambyong
4) Tari daerah : Tari dolalak di Purworejo, Patolan (Prisenan) di
Rembang Kuda Kepang, barongan dan Wayang Krucil dari Blora
Pekalongan : Kuntulan dan Sintren Obeg dan Begalan Lengger-
Calung dari Banyumas Kuda Lumping (Jaran kepang) dari
Temanggung Lengger dari Wonosobo Jatilan dari Magelang Tarian
Jlantur dari Boyolali Ketek Ogleng dari Wonogiri.
5) Permainan Tradisional: Benthik 2. Cublak Cublak Suweng 3.
Congklak 4. Bekel
b. Sistem budaya: Silsilah generasi ke atas : Bapak/ Ibu, Simbah, Buyut,
Canggah, Wareng, Udheg-Udheg, Gantung siwur, Gropak Senthe,
Debog Bosok, Galih Asem
c. Perkawinan: Gabungan unsur budaya
1) Tahap Persiapan: nontoni, lamaran, paningsetan, tarup dan
bleketepe, siraman, ngerik, midodareni, jonggolan/ nyantri,
tantingan, majemukan
2) Tahap Inti: ijab kabul, upacara panggih, penyerahan tebusan,
kepyok, melempar gantal, wijikan dan injak telur, kacar-kucur,
sungkeman, dhahar kembul
3) Tahap Akhir: resepsi
d. Sistem pengetahuan: Pranata Mangsa : Kasa, Karo, Katiga, Kapat,
Kalima, Kanem, Kapitu, Kawolu, Kasanga, Kasepuluh, Dhesta, Sadha.
e. Sistem Teknologi: Rumah Adat : Rumah Joglo Hageng, Kepuhan
lawakan, Kepuhan Limasan, Jompongan, Sinom Apitan, Lambang
Sari.
f. Sistem ekonomi : Pembagian harta warisan dengan prinsip: Sepikul
Gendhongan
g. Kasusastran: aksara jawa, Bahasa Jawa, Serat Centini.
h. Sistem religi: Religi kejawen dengan semboyan.
1) Manunggaling Diri Kaula Gusti
2) Ngelarak Tanpa Wadyabala
3) Menang Tanpa Ngasorake
4) PerangTanding Tanpa Aji
5) Mati Sak Jeroning Urip
6) Urip Sak Jeroning Mati
7) Nututi Tapake Kunthul Ngelayang
8) Golek Galihe Kangkung
C. Pendidikan karakter Berbasis Budaya Nasional
Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah
puncak puncak dari kebudayaan daerah. Kebudayaan Indonesia ialah
kebudayaan kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak -puncak
daerah diseluruh Indonesia. UUD 1945 Pasal 32 menyatakan bahwa
Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Kebudayaan bangsa ialah
kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya.
Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di
daerah-daerah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha
kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan
tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat
memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

Definisi kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni:
“Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta,
karya, dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya
manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa,
serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan
nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa.” Kebudayaan Nasional adalah
kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional atau jati diri bangsa (Setiyowati
et al, 2020). Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan kebudayaan
nasional adalah kebudayaan yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia sejak zaman
dahulu hingga kini sebagai suatu karya yang dibanggakan yang memiliki kekhasan
bangsa Indonesia dan menciptakan jati diri dan identitas bangsa Indonesia yang
kuat. Contoh kebudayaan nasional sebagai berikut:

1. Wayang Kulit
Wayang kulit adalah bentuk tradisional dari kesenian wayang yang aslinya
ditemukan dalam budaya Jawa dan Bali di Indonesia. Narasi wayang kulit
seringkali berkaitan dengan tema utama kebaikan melawan kejahatan. wayang
kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003.
2. Keris
Keris merupakan senjata tajam golongan belati yang memiliki ragam fungsi
budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Keris telah
terdaftar dan diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia
NonBendawi Manusia yang berasal dari Indonesia sejak 2005.
3. Batik
Batik ditetapkan sebagai WArisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan
NOnbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity)
pada 2 Oktober 2009 oleh UNESCO di Abu Dhabi.
4. Angklung
Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang berkembang dari
masyarakat Sunda. Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya
Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.
5. Tari Saman
Tari Saman adalah sebuah tarian suku Gayo di Aceh yang biasa ditampilkan
untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting dalam adat. Tari Saman (Saman
Dance) masuk dalam ICH LIST UNESCO pada tanggal 24 November 2011
dalam kategori “List of Intangible Cultural Heritage in Need of Urgent
Safeguard”
6. Noken Papua
Noken Papua adalah tas rajutan yang berasal dari papua. 04 Desember 2012
dinobatkan sebagai Warisan budaya tak benda oleh UNESCO. Noken berfungsi
untuk membawa benda-benda kecil, gendongan bayi, hingga untuk membawa
hasil kebun.
7. Tari tradisional bali
Sembilan tari tradisional Bali ditetapkan masuk ke dalam UNESCO
Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity dalam
Sidang ke-10 Komite Warisan Budaya Tak benda UNESCO di Windhoek,
Namibia (2/12/2015). Sembilan tarian tradisional tersebut adalah Rejang,
Sanghyang Dadari, dan Baris Upacara yang digolongkan sebagai tarian sakral;
Topeng Sidhakarya, Sendratari Gambuh, dan Sendratari Wayang Wong yang
digolongkan sebagai tarian semi-sakral; serta tari Legong Kraton, Joged
Bumbung, dan Barong Ket “Kuntisraya”, yang digolongkan sebagai tarian
hiburan (entertainment).
8. Kapal Pinisi
UNESCO memutuskan bahwa seni pembuatan kapal pinisi dari Sulawesi
selatan terpilih sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda ( Intangible Cultural
Humanity). Rangkaian proses pembuatan perahu pinisi merefleksikan nilai
sosial dan budaya kehidupan sehari-hari. Tekniknya memperhatikan ketelitian
dari sisi Teknik dan navigasi. Pembuatan di daerah Tana Beru, Bira, dan Batu
Licin Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan.
9. Pencak Silat
Pencak silat di Indonesia lebih focus kepada filosofi yang erat kaitannya dengan
deskripsi warisan budaya tak benda UNESCO untuk kemanusiaan.
10. Gamelan
Gamelan di tetapkan di siding UNESCO sesi ke-16 Intergovernmental
Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage
( 15/12/2021) di Paris Perancis. Gamelan menjadi warisan budaya ke-12
Indonesia.

Pendidikan karakter berbasis budaya nasional dapat dilakukan dengan


mempelajari filosofi, ciri khas dan ke unikan budaya Nasional untuk
mengembangkan karakter positif peserta didik. Berikut kita bisa menerapkannya:
a. Pembuatan noken yang memerlukan ketelitian, pemilihan bahan dan
melambangkan kedewasaan.
b. Pembuatan kapal pinisi yang memerlukan keterampilan sisi teknik dan
navigasi.
c. Batik memerlukan proses berulang-ulang dan memerlukan kedisiplinan dalam
menorehkan malam pada motif batik.
d. Pencak silat dengan filosofi gerakaanya yang menggambarkan tunduk pada
maha kuasa.
e. Gerakan Tarian yang melambangkan kegiatan tertentu menyatu dengan irama
music pengiring.
f. Gamelan memberikan keteraturan dan harmonisasi berbagai jenis alat music
seperti saron, bonang, gendang, gangsa, rebab, slenthem, peking, suling
sehingga menjadi gendhing yang harmonis.

D. Strategi Implementasi di Sekolah Dasar

Proses pembudayaan dalam menginternalisasikan nilai agar terbentuk


karakter tidak akan lepas dari teori Habituasi yang dikemukakan oleh Pierre
Bourdieu. Habitus adalah kebiasaan masyarakat yang melekat pada diri seseorang
dalam bentuk disposisi abadi, atau kapasitas terlatih dan kecenderungan
terstruktur untuk berpikir, merasa dan bertindak dengan cara determinan, yang
kemudian membimbing mereka. Jadi Habitus tumbuh dalam masyarakat secara
alami melalui proses sosial yang sangat panjang, terinternalisasi dan terakulturasi
dalam diri masyarakat menjadi kebiasaan yang terstruktur secara sendirinya.
Habitus akan menjadi proses pembudayaan dalam upaya membentuk perilaku
dan sikap seseorang yang didasari oleh ilmu pengetahuan, keterampilan sehingga
setiap individu dapat memainkan perannya masing-masing. Dengan demikian,
ukuran keberhasilan pembelajaran dalam konsep enkulturasi adalah perubahan
perilaku siswa.
Hal ini sejalan dengan 4 (empat) pilar pendidikan yang dikemukakan oleh
Unesco yaitu: (1) Learning to know adalah upaya memahami instrumen-
instrumen pengetahuan baik sebagai alat maupun sebagai tujuan. (2) Learning to
do lebih di tekankan pada bagaimana mengajarkan anak-anak untuk
memperaktikan segala sesuatu yang telah di pelajarinya dan dapat
mengadaptasikan pengetahuan-pengetahuan yang telah di perolehnya tersebut
dengan pekerjaan di masa depan. (3) Learning to live together pada dasarnya
adalah mengajarkan, melatih dan membimbing peserta didik agar mereka dapat
menciptakan hubungan melalui komunikasi yang baik, menjauh perasangka-
perasangka buruk terhadap orang lain serta menjauhi dan menghindari terjadinya
perselidihan dan konflik. (4) Learning to be sebagaimana di ungkapkan secara
tegas oleh komisi pendidikan, bahwa prinsip fundamental pendidikan hendaklah
mampu memberikan konstribusi untuk perkembangan seutuhnya setiap orang,
jiwa dan raga, intelegensi, kepekaan, rasa etika, tanggung jawab pribadi dan nilai-
nilai spiritual (Aunurrahman & Pd, 2009).
1. PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER (PPK)
Gerakan pendidikan di sekolah untuk memperkuat karakter siswa melalui
harmonisasi olah hati (etika), olah rasa (estetika), olah piker (literasi) dan olah
raga (kinestetik) dengan dukungan pelibatan publik dan kerja sama antara
sekolah, keluarga dan masyarakat. Berikut nilai-nilai karakter PPK:
a. Religius : perilaku mellaksanakan ajaran agama dan kepercayaan yang
dianut, menghargai perbedaan agama dan kepercayaan lain
b. Nasionalis: apresiasi budaya bangsa sendiri, menjaga lingkungan, taat
hokum, disiplin, menghormati keragaman budaya, suku dan agama
c. Integritas: sikap tanggung jawab, konsistensi tindakan dan perkataan yang
berdasarkan kebenaran, menghargai martabat individu serta mampu
menunjukan keteladanan
d. Mandiri: pembelajar sepanjang hayat, mempergunakan segala tenaga,
pikiran, waktu untuk merealisasikan harapan, mimpi dan cita-cita
e. Gotong Royong : menunjukkan sikap menghargai sesame, dapat bekerja
sama, inklusif, tolong menolong, memiliki empati dan rasa solidaritas
Strategi Implemntasi Penguatan Pendidikan Karakter
a. PPK BERBASIS KELAS
1) Integrasi dalam mata pelajaran
2) Optimalisasi muatan lokal
3) Manajemen kelas
b. PPK BERBASIS BUDAYA SEKOLAH
1) Pembiasaan nilai-nilai dalam keseharian sekolah
2) Branding sekolah
3) Keteladanan pendidik
4) Ekosistem sekolah
5) Norma, peraturan, dan tradisi sekolah
c. PPK BERBASIS MASYARAKAT
1) Orang tua, Komite Sekolah
2) Dunia usaha
3) Akademisi
4) pegiat pendidikan
5) Pelaku Seni, Budaya, Bahasa & Sastra
6) Pemerintah & Pemda

2. PROJEK PENGUATAN PROFIL PELAJAR PANCASILA (P5)

1. Pengertian
Kegiatan berbasis projek yang merujuk pada karakter dan kemampuan
yang dibangun sehari hari dan diterapkan oleh setiap peserta didik melalui
budaya satuan pendidikan, pembelajaran dalam kurikulum, projek untuk
memperkuat profil pelajar Pancasila dalam kokurikuler dan kegiatan
ekstrakurikuler.
2. Prinsip P5 ; holistic, kontekstual, berpusat pada peserta didik, eksploratif
3. Strategi P5 adalah karakter dan kemampuan yang dibangun dalam
keseharian dan dihidupkan dalam diri setiap individu peserta didik melalui
budaya satuan pendidikan, pembelajaran intrakurikuler, projek penguatan
profil pelajar Pancasila (pembelajaran kokurikuler) dan ekstrakurikuler
4. Dimensi P5 :
a. Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak
mulia
b. Berkebinekaan global
c. Bergotong royong
d. Mandiri
e. Bernalar kritis
f. Kreatif
III.KESIMPULAN

Dari pendahuluan dan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan yaitu :


1. Pendidikan karakter berbasis budaya memiliki peran membantu siswa
memahami, memperhatikan, dan melibatkan pengetahuan (moral knowing),
perasaan (moral feeling), dan tindakan (moral action) untuk terwujudnya
peserta didik yang memiliki intregitas moral yang kemudian
diimplementasikan pada lingkungan dan kehidupan sehari hari.
2. Pendidikan karakter berbasis budaya daerah dapat diterapkan dengan
menggunakan budaya daerah itu sebagai media pembelajaran, sebagai isi dari
pembelajaran dan juga menjadi bagian dari komponen pembelajaran.
Penerapan pembelajaran dapat dicontohkan sebagai berikut: 1) Kesenian :
Macapat, tembang dolanan, tarian tradisional, tari daerah, dan permainan
Tradisional; 2) sistem budaya; 3) Perkawinan; 4) Sistem pengetahuan; 5)
Sistem Teknologi; 6) Sistem ekonomi; 7) Kasusastran; 8) sistem religi
3. Pendidikan karakter berbasis budaya nasional dapat dilakukan dengan
mempelajari filosofi, ciri khas dan ke unikan budaya Nasional yang sudah
diakui UNESCO untuk mengembangkan karakter positif peserta didik. Contoh
kebudyaan nasional tersebut adalah: Wayang Kulit, Keris, Batik, angklung,
Tari Saman, Noken Papua, tari tradisional bali, Kapal Pinisi, Pencak Silat,
Gamelan.
4. Strategi implementasi pendidikan karakter berbasis budaya dapat dilakukan
dengan strategi penguatan pendidikan karakter (PPK) yang bercirikan gerakan
sekolah untuk memperkuat karakter siswa melalui dukungan pelibatan publik
dan kerja sama antara sekolah, keluarga dan masyarakat. Strategi ke dua yaitu
Kegiatan berbasis projek (P5) yang merujuk pada karakter dan kemampuan
yang dibangun sehari hari dan diterapkan oleh setiap peserta didik melalui
budaya satuan pendidikan, pembelajaran dalam kurikulum, projek untuk
memperkuat profil pelajar Pancasila dalam kokurikuler dan kegiatan
ekstrakurikuler.
DAFTAR PUSTAKA
Aunurrahman, D., & Pd, M. (2009). Belajar dan pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Cassirer, E. (1987). Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia, Terj. Alois A.
Nugroho. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Dewantara, K. H. (1967). Ki hadjar dewantara. Jogjakarta: Majelis Leluhur Taman Siswa.
Faiz, A. (2019). Program Pembiasaan Berbasis Pendidikan Karakter Di Sekolah. Jurnal PGSD,
5(2), 1–10.
Faiz, A., & Kurniawaty, I. (2020). Eksistensi nilai kearifan lokal kaulinan dan kakawihan barudak
sebagai upaya penanaman nilai jatidiri bangsa. Jurnal Education and Development, 8(4), 27.
Hidayat, A. G., Haryati, T., & Ratnah, R. (2020). Strategi Pengembangan IPS Melalui Konsep
Waktu, Perubahan Dan Kebudayaan sebagai Transmisi Kewarganegaraan Dalam
Pembelajaran. Jurnal Pendidikan IPS, 10(2), 128–133.
Koentjaraningrat, K. (2009). Pengantar ilmu antropologi, edisi revisi PT. Rineka Cipta: Jakarta.
Lickona, T. (2009). Educating for character: How our schools can teach respect and
responsibility. Bantam.
Mulyasa, H. E. (2022). Manajemen pendidikan karakter. Bumi Aksara.
Nadlir, N. (2016). Urgensi pembelajaran berbasis kearifan lokal. Jurnal Pendidikan Agama Islam
(Journal of Islamic Education Studies), 2(2), 299–330.
Nasional, K. P. (2010). Pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Jakarta: Badan
Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum.
Notonagoro. (1987). Pancasila Secara Ilmiah Populer (Seventh). Bina Aksara.
Prastowo, A. (2015). Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Tematik Terpadu
Implementasi Kurikulum 2013 untuk SD/MI (Prenadamedia, Ed.). Jakarta.
Pratama, D. (2017). Wayang Sebagai Media Pembelajaran Pendidikan Karakter. Repository, 24–
29.
Setyowati, R. R. N., Suwanda, I. M., Harmanto, H., Listyaningsih, L., & Yani, M. T. (2020).
PRAKTIK IDENTITAS NASIONAL MELALUI KETAHANAN KELUARGA DALAM
MEMUTUS MATA RANTAI PENYEBARAN COVID-19 DI KOTA SURABAYA.
Journal of Civics and Moral Studies, 5(2), 6–12.
Sulhan, M. (2018). Pendidikan Karakter Berbasis Budaya dalam Menghadapi Tantangan
Globalisasi. Visipena, 9(1), 159–172.
Suparlan, H. (2015). Filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan sumbangannya bagi pendidikan
Indonesia. Jurnal Filsafat, 25(1), 56–74.
Widyosiswoyo, S. (2001). Ilmu budaya dasar. Ghalia Indonesia.
Winataputra, U. S. (2003). Pendidikan Kewarganegaraan. Available on Line at: Www. Kompas.
Com/Kompas. Cetak/0101/24/Dikbud/Pkn Do9. Htm.[Accessed at Purwokerto: 15 September
2009].

Anda mungkin juga menyukai