Pendidikan Karakter Berbasis Budaya
Pendidikan Karakter Berbasis Budaya
DI SEKOLAH DASAR
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan dan pendidikan memberikan peran dalam berlangsungnya
nilai-nilai luhur yang dilestarikan dalam perubahan zaman. Kebudayaan yang
diefinisikan Ki Hajar Deawantara sebagai buah budi manusia yaitu hasil
perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat
dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi
berbagai tantangan dalam hidup dan penghidupannya, guna mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai
(Hidayat et al., 2020). Unsur budaya merupakan bagian suatu kebudayaan yang
dapat digunakan sebagai satuan analisis tertentu sehingga kebudayaan lebih
mengandung makna totalitas. Sementara, hakikat Pendidikan menurut Ki Hajar
Dewantara yaitu memasukkan kebudayaan ke dalam diri anak dan memasukkan
anak ke dalam kebudayaan supaya anak menjadi makhluk yang insani
(Suparlan, 2015)
Budaya daerah sebagi produk budaya dari daerah geografis tertentu mencerminkan
cipta, rasa, dan karya. Demikian juga kebudayaan nasional / bangsa ialah kebudayaan
yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama
dan asli yang terdapat sebagai puncakpuncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh
Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Definisi ini diperkuat pendapat
Kebudayaan Nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional atau
jati diri bangsa (Setyowati et al., 2020)
Keberhasilan di sekolah dasar
B. Rumusan Makalah
Berdasar latar belakang masalh di atas dapat dirumuskan permasalahan yang ingin
dibahas pada makalah ini adalah:
1. Seberapa penting peran pendidikan karakter berbasis budaya ?
2. Apa sajakah bentuk budaya daerah sebagai sumber pembelajaran karakter?
3. Apa sajakah Bentuk budaya Nasional sebagai sumber pembelajaran?
4. Bagaimanakah strategi Implementasi pendidikan karakter di sekolah dasar?
C. Tujuan Makalah
II. PEMBAHASAN
A. Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah bagaimana seseorang mengetahui tentang baik dan
buruk, bertindak dan berperilaku yang sesuai dengan nilai nilai kebaikan sehingga
muncul karakter dan kepribadian yang mulia. Pendidikan karakter menurut Ki
Hajar Dewantara adalah: “ ngerti, ngerasa, ngelakoni” yang artinya adalah
menyadari, menginsyafi dan selanjutnya adalah melakukan (Dewantara, 1967) Ki
Hajar Dewantara mengharapkan adanya suatu bentuk pendidikan dan pengajaran
yang fokus atau menitik beratkan pada perilaku siswa dalam mengapresiasi dan
implementasi pada nilai nilai karakter dalam kehidupan sehari hari. Target dari
pendidikan karakter adalah terwujudnya peserta didik yang memiliki intregitas
moral yang kemudian diimplementasikan pada lingkungan dan kehidupan sehari
hari.
pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona. Lickona (2009)
menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk
membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan
melakukan nilai-nilai etika yang inti. adanya proses perkembangan yang
melibatkan pengetahuan (moral knowing), perasaan (moral feeling), dan tindakan
(moral action), sekaligus juga memberikan dasar yang kuat untuk membangun
pendidikan karakter yang koheren dan komprehensif. Rincian dari pendidikan
moral, pendidikan perasaan , dan Tindakan diuraikan sebagai berikut:
1. Moral Knowing (Pengetahuan Moral)
Ada berbagai bentuk pengetahuan moral yang berkaitan dengan tantangan
moral kehidupan. Berikut ini adalah enam langkah yang harus diambil untuk
mencapai tujuan pendidikan moral Moral awareness (kesadaran moral):
kesadaran moral tumbuh karena memperhatikan dan dapat menilai kebenaran
suatu perbuatan.
a. Knowing moral values ( Pengetahuan nilai-nilai moral) : mengetahui nilai
moral yang bersumber dari warisan budaya dan tau bagaimana menerapkan
dalam beragam situasi. Nilai moral tersebut seperti rasa hormat terhadap
kehidupan dan kebebasan, tanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran,
keadilan, toleransi, sopansantun, disiplin-diri, integritas, kebaikan,
keharuan-keibaan, dan keteguhan hati atau keberanian, secara keseluruhan
menunjukan sifat-sifat orang yang baik
b. Perspective-taking (mengambil pelajaran) : kemampuan untuk mengambil
pelajaran dari peristiwa yang menimpa atau terjadi pada orang lain;
melihat suatu keadaan sebagaimana mereka melihatnya; mengimajinasikan
bagaimana mereka berpikir, bereaksi, dan merasakannya. Tujuan utama
dari pendidikan moral adalah untuk membantu siswa agar mereka bisa
memahami dunia ini dari sudut pandang orang lain, terutama yang berbeda
dari pengalaman mereka.
c. Moral reasoning (alasan moral) : pemahaman mengenai apa itu perbuatan
moral dan mengapa harus melakukan perbuatan moral. Mengapa, misalnya,
penting untuk menepati janji? Mengapa harus melakukan yang terbaik?.
d. Decesion-making (pengambilan keputusan) : Kemampuan seseorang untuk
mengambil sikap ketika dihadapkan dengan problema moral adalah suatu
keahlian yang bersifat reflektif. Apa yang dipilih dan apa akibat atau resiko dari
pengambilan keputusan moral itu
e. Self-knowledge ( mengetahui diri sendiri) : merupakan jenis pengetahuan
moral yang paling sulit, tetapi hal ini sangat penting bagi perkembangan moral
2. Moral Feeling (Perasaan Moral)
Aspek emosional dari karakter sering kali diabaikan dalam diskusi
tentang pendidikan moral, meskipun sangat penting. Faktanya (secara
sederhana), pengetahuan yang benar tidak menjamin perilaku yang benar.
Banyak orang yang pandai mendiskusikan mana yang benar dan mana yang
salah, namun mereka secara konsisten memilih tindakan yang salah.
a. Conscience (Kesadaran)
Kesadaran memiliki dua sisi: sisi kognitif (pengetahuan tentang sesuatu
yang benar), dan sisi emosional (perasaan adanya kewajiban untuk
melakukan apa yang benar itu). Kesadaran yang matang, disamping adanya
perasaan kewajiban moral, adalah kemampuan untuk mengonstruksikan
kesalahan. Apabila seseorang dengan kesadarannya merasa berkewajiban
untuk menunjukkan suatu perbuatan dengan cara tertentu, maka ia pun bisa
menunjukkan cara untuk tidak melakukan perbuatan yang salah.
b. Self-esteem (penghargaan-diri)
Ketika kita memiliki ukuran yang sehat terhadap penghargaan-diri, kita
menilai diri kita sendiri. Ketika kita menilai diri kita sendiri, kita akan
menghargai atau menghormati diri kita sendiri. Kita tidak akan
menyalahgunakan anggota tubuh atau pikiran kita atau mengizinkan pihak-
pihak untuk menyalah gunakan diri kita. Ketika kita memiliki penghargaan
diri, kita tidak akan bergantung pada restu atau izin pihak lain.
Pembelajaran yang memperlihatkan siswa dengan penghargaan diri yang
tinggi memiliki tingkat halangan yang lebih besar bagi sejawatnya untuk
memberi tekanan kepadanya. Ketika kita memiliki penghargaan yang
positif terhadap diri kita sendiri, kita lebih suka memperlakukan orang lain
dengan cara-cara yang positif pula.
c. Self-control (control diri)
Emosi dapat membayangi (mengatasi) akal sehat. Pembenaran
mengapa pengendalian diri diperlukan untuk kebaikan moral. Kontrol diri
pada remaja juga membutuhkan pengendalian diri. Pemanjaan diri ini,
menurut Walter Niogorski, adalah sumber penyimpangan sosial.
d. Humility (kerendahan hati)
Kerendahan hati adalah kebajikan moral yang sering diabaikan,
meskipun merupakan komponen penting dari karakter yang sangat baik.
Kerendahan hati adalah aspek yang efektif dari kesadaran diri.
Karakteristik kerendahan hati dan kesadaran diri adalah keterbukaan
terhadap kebenaran dan keinginan untuk memperbaiki kekurangan kita.
Kerendahan hati adalah pertahanan yang paling efektif melawan perbuatan
jahat.
3. Moral Action (Tindakan Moral)
Moral action (Tindakan moral), dalam arti luas, adalah hasil atau
konsekuensi dari moral knowing dan moral feeling. Jika seseorang memiliki
kualitas spiritual dari kecerdasan dan emosi, kita dapat mengharapkan mereka
untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan dan emosi mereka. keahlian dan
pengalaman. Untuk memahami secara menyeluruh apa yang dimaksud dengan
tindakan moral, ada tiga aspek karakter yang perlu dipertimbangkan:
kompetensi (competence), kehendak (will) , dan kebiasaan (habit).
a. Competence (Kompetensi)
kompetensi adalah kemampuan untuk mengubah penilaian dan
perasaan moral ke dalam tindakan moral yang efektif. Untuk memecahkan
masalah konflik misalnya, diperlukan keahlian-keahlian praktis:
mendengar, menyampaikan pandangan tanpa mencemarkan pihak lain, dan
menyusun solusi yang dapat diterima masing-masing pihak.
b. Will ( Kemauan)
Pilihan yang benar (tepat) akan suatu perilaku moral biasanya
merupakan sesuatu yang sulit. Untuk menjadi dan melakukan sesuatu yang
baik biasanya mensyaratkan adanya keinginan bertindak yang kuat, usaha
untuk memobilisasi energi moral. Kemauan merupakan inti (core) dari
dorongan moral
c. Habit ( Kebiasaan)
Dalam banyak hal, perilaku moral terjadi karena adanya kebiasaan.
Orang yang memiliki karakter yang baik, seperti yang dikatakan William
Bennet, adalah orang yang melakukan tindakan ‘dengan sepenuh hati’,
‘dengan tulus’, ‘dengan gagah berani’, ‘dengan penuh kasih atau murah
hati’, dan ‘dengan penuh kejujuran’. Orang melakukan perilaku yang baik
adalah karena didasarkan kekuatan kebiasaan
Fungsi pendidikan karakter menurut Kementerian Pendidikan Nasional
(Nasional, 2010) adalah: 1) pengembangan: pengembangan potensi peserta
didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang
telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter
bangsa; 2) perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk
bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih
bermartabat; dan 3) penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri
dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa yang bermartabat.
Definisi kebudayaan nasional menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni:
“Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta,
karya, dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya
manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa,
serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan
nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa.” Kebudayaan Nasional adalah
kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional atau jati diri bangsa (Setiyowati
et al, 2020). Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan kebudayaan
nasional adalah kebudayaan yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia sejak zaman
dahulu hingga kini sebagai suatu karya yang dibanggakan yang memiliki kekhasan
bangsa Indonesia dan menciptakan jati diri dan identitas bangsa Indonesia yang
kuat. Contoh kebudayaan nasional sebagai berikut:
1. Wayang Kulit
Wayang kulit adalah bentuk tradisional dari kesenian wayang yang aslinya
ditemukan dalam budaya Jawa dan Bali di Indonesia. Narasi wayang kulit
seringkali berkaitan dengan tema utama kebaikan melawan kejahatan. wayang
kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003.
2. Keris
Keris merupakan senjata tajam golongan belati yang memiliki ragam fungsi
budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Keris telah
terdaftar dan diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia
NonBendawi Manusia yang berasal dari Indonesia sejak 2005.
3. Batik
Batik ditetapkan sebagai WArisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan
NOnbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity)
pada 2 Oktober 2009 oleh UNESCO di Abu Dhabi.
4. Angklung
Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang berkembang dari
masyarakat Sunda. Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya
Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.
5. Tari Saman
Tari Saman adalah sebuah tarian suku Gayo di Aceh yang biasa ditampilkan
untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting dalam adat. Tari Saman (Saman
Dance) masuk dalam ICH LIST UNESCO pada tanggal 24 November 2011
dalam kategori “List of Intangible Cultural Heritage in Need of Urgent
Safeguard”
6. Noken Papua
Noken Papua adalah tas rajutan yang berasal dari papua. 04 Desember 2012
dinobatkan sebagai Warisan budaya tak benda oleh UNESCO. Noken berfungsi
untuk membawa benda-benda kecil, gendongan bayi, hingga untuk membawa
hasil kebun.
7. Tari tradisional bali
Sembilan tari tradisional Bali ditetapkan masuk ke dalam UNESCO
Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity dalam
Sidang ke-10 Komite Warisan Budaya Tak benda UNESCO di Windhoek,
Namibia (2/12/2015). Sembilan tarian tradisional tersebut adalah Rejang,
Sanghyang Dadari, dan Baris Upacara yang digolongkan sebagai tarian sakral;
Topeng Sidhakarya, Sendratari Gambuh, dan Sendratari Wayang Wong yang
digolongkan sebagai tarian semi-sakral; serta tari Legong Kraton, Joged
Bumbung, dan Barong Ket “Kuntisraya”, yang digolongkan sebagai tarian
hiburan (entertainment).
8. Kapal Pinisi
UNESCO memutuskan bahwa seni pembuatan kapal pinisi dari Sulawesi
selatan terpilih sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda ( Intangible Cultural
Humanity). Rangkaian proses pembuatan perahu pinisi merefleksikan nilai
sosial dan budaya kehidupan sehari-hari. Tekniknya memperhatikan ketelitian
dari sisi Teknik dan navigasi. Pembuatan di daerah Tana Beru, Bira, dan Batu
Licin Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan.
9. Pencak Silat
Pencak silat di Indonesia lebih focus kepada filosofi yang erat kaitannya dengan
deskripsi warisan budaya tak benda UNESCO untuk kemanusiaan.
10. Gamelan
Gamelan di tetapkan di siding UNESCO sesi ke-16 Intergovernmental
Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage
( 15/12/2021) di Paris Perancis. Gamelan menjadi warisan budaya ke-12
Indonesia.
1. Pengertian
Kegiatan berbasis projek yang merujuk pada karakter dan kemampuan
yang dibangun sehari hari dan diterapkan oleh setiap peserta didik melalui
budaya satuan pendidikan, pembelajaran dalam kurikulum, projek untuk
memperkuat profil pelajar Pancasila dalam kokurikuler dan kegiatan
ekstrakurikuler.
2. Prinsip P5 ; holistic, kontekstual, berpusat pada peserta didik, eksploratif
3. Strategi P5 adalah karakter dan kemampuan yang dibangun dalam
keseharian dan dihidupkan dalam diri setiap individu peserta didik melalui
budaya satuan pendidikan, pembelajaran intrakurikuler, projek penguatan
profil pelajar Pancasila (pembelajaran kokurikuler) dan ekstrakurikuler
4. Dimensi P5 :
a. Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak
mulia
b. Berkebinekaan global
c. Bergotong royong
d. Mandiri
e. Bernalar kritis
f. Kreatif
III.KESIMPULAN
Cassirer, E. (1987). Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia, Terj. Alois A.
Nugroho. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Dewantara, K. H. (1967). Ki hadjar dewantara. Jogjakarta: Majelis Leluhur Taman Siswa.
Faiz, A. (2019). Program Pembiasaan Berbasis Pendidikan Karakter Di Sekolah. Jurnal PGSD,
5(2), 1–10.
Faiz, A., & Kurniawaty, I. (2020). Eksistensi nilai kearifan lokal kaulinan dan kakawihan barudak
sebagai upaya penanaman nilai jatidiri bangsa. Jurnal Education and Development, 8(4), 27.
Hidayat, A. G., Haryati, T., & Ratnah, R. (2020). Strategi Pengembangan IPS Melalui Konsep
Waktu, Perubahan Dan Kebudayaan sebagai Transmisi Kewarganegaraan Dalam
Pembelajaran. Jurnal Pendidikan IPS, 10(2), 128–133.
Koentjaraningrat, K. (2009). Pengantar ilmu antropologi, edisi revisi PT. Rineka Cipta: Jakarta.
Lickona, T. (2009). Educating for character: How our schools can teach respect and
responsibility. Bantam.
Mulyasa, H. E. (2022). Manajemen pendidikan karakter. Bumi Aksara.
Nadlir, N. (2016). Urgensi pembelajaran berbasis kearifan lokal. Jurnal Pendidikan Agama Islam
(Journal of Islamic Education Studies), 2(2), 299–330.
Nasional, K. P. (2010). Pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Jakarta: Badan
Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum.
Notonagoro. (1987). Pancasila Secara Ilmiah Populer (Seventh). Bina Aksara.
Prastowo, A. (2015). Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Tematik Terpadu
Implementasi Kurikulum 2013 untuk SD/MI (Prenadamedia, Ed.). Jakarta.
Pratama, D. (2017). Wayang Sebagai Media Pembelajaran Pendidikan Karakter. Repository, 24–
29.
Setyowati, R. R. N., Suwanda, I. M., Harmanto, H., Listyaningsih, L., & Yani, M. T. (2020).
PRAKTIK IDENTITAS NASIONAL MELALUI KETAHANAN KELUARGA DALAM
MEMUTUS MATA RANTAI PENYEBARAN COVID-19 DI KOTA SURABAYA.
Journal of Civics and Moral Studies, 5(2), 6–12.
Sulhan, M. (2018). Pendidikan Karakter Berbasis Budaya dalam Menghadapi Tantangan
Globalisasi. Visipena, 9(1), 159–172.
Suparlan, H. (2015). Filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan sumbangannya bagi pendidikan
Indonesia. Jurnal Filsafat, 25(1), 56–74.
Widyosiswoyo, S. (2001). Ilmu budaya dasar. Ghalia Indonesia.
Winataputra, U. S. (2003). Pendidikan Kewarganegaraan. Available on Line at: Www. Kompas.
Com/Kompas. Cetak/0101/24/Dikbud/Pkn Do9. Htm.[Accessed at Purwokerto: 15 September
2009].