Anda di halaman 1dari 883

Halaman 1 dari 883

SEJARAH GEMILANG
KESULTANAN DAN KERAJAAN
ISLAM SE INDONESIA
Oleh: Buya Haji Andri Zulfikar
Copyright © 2023 by Buya Haji Andri Zulfikar

www.museumkeikhlasan.blogspot.com
andrizulfikar361@gmail.com

Paguyuban Bina Insan Mulia Project

Halaman 2 dari 883


Hadiah untuk kedua orang tuaku tercinta Allahyarham
Haji Anwar Manaf bin Abdul Manaf bin Siasa
(Lahir 3 September 1932-Wafat di Pontianak 11 Desember 2013) dan
Allahyarham Hj. Habibah binti Ismail.
(Lahir di Matur, 27 Maret 1931 – Wafat di Pontianak, 16 Oktober 2000)
“Ya Alloh, angkatlah derajat mereka, ampunkanlah dosa-dosa mereka dan
kumpulkanlah kami semua bersama mereka di Kampung Halaman Syurga
Jannatun-Na’im nanti. Amin”

Peluk cium ananda

Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat


sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar.
(QS. Al-Baqarah : 153)
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian
(QS. Adz-Dzariyaat : 19)
Halaman 3 dari 883
PERSEMBAHAN UNTUK BANGSAKU DI HARI
PAHLAWAN

Bahwa Pahlawan Sejati adalah mereka yang melindungi


alam ini dari tangan-tangan yang hendak berbuat kerusakan, mereka
berkelana mengelilingi dunia ini untuk menghentikan manusia
berbuat kerusakan di muka bumi ini, mereka menjaga alam ini
dengan sebaik-baiknya, sebab alam ciptaan Alloh ini bukan untuk
dirusak, melainkan untuk dijaga, dilindungi, sebab kita diturunkan
ke alam ini bukan ditugaskan untuk merusak, melainkan untuk
menjadi khalifah yang memanajemen bumi dan langit agar tetap
terjaga, karena kita semuanya akan mati, dan apa yang kita
kerjakan, pasti dipertanggungjawabkan. Profesi mereka mungkin
saja petani, guru, mahasiswa, tukang sampah, pemulung, tukang
becak, pedagang kecil, anggota dewan, hakim, jaksa, polisi,
presiden, menteri, nelayan, buruh dan pelajar, tetapi ketika mereka
memposisikan diri di garis depan, untuk menjadi pelindung dan
penjaga alam ini dari kerusakan, maka merekalah pahlawan-
pahlawan sejati, pahlawan-pahlawan yang terbarukan, yang tanda
jasa pun takkan mencukupi untuk disematkan di dada mereka...

Pontianak, 10 November 2009

Halaman 4 dari 883


ucapan syukur

Kepada Alloh Swt yang telah membimbing diriku yang


penuh kekurangan dan keterbatasan ini, tanpa petunjuk dan
bimbingan-Mu hamba takkan berarti apa-apa. Terima kasih Ya
Alloh, Engkau selalu temani hamba dengan dua Surah Agung, Al-
Baqarah dan Ali Imran, yang selalu hamba dengarkan tatkala
mengetik buku ini.
Kepada Utusan Alloh, Suri Tauladan Agung, Nabiyyuna,
Qudwatuna, Sayyiduna, Muhammad Rasulullullah Shollallahu
‘Alaihi Wa Salam. Tanpa wejangan nasehatnya dan ucapan-
ucapannya yang dihimpun dalam Kitab-kitab Hadist. Tanpa kitab
Sirohnya yang harum semerbak, hamba takkan pernah bertemu
dengan mutiara-mutiara hikmah dalam hidup ini.
Kepada Kedua orang Tua hamba, Ibunda Allahyarham Hj.
Habibah binti Ismail, dan ayahanda tercinta, Allahyarham H. Anwar
Manaf bin Abdul Manaf bin Siasa. Keduanya adalah orang yang
paling besar jasanya dalam hidup hamba. Ya Alloh, balaslah
kebaikan keduanya, angkatlah derajat mereka, kumpulkan kami
bersama mereka kelak di Taman Syurga-Mu yang indah dan abadi.
Amin Untuk kedua mertuaku, Allahyarham Hj. Salmah binti
Abdullah dan Allahyarham H. Usman bin Abdus-Syukur, semoga
Alloh selalu membalas kebaikan keduanya berlipat ganda. Amin.

Halaman 5 dari 883


Kepada Guru-guruku seluruhnya yang tak dapat kusebutkan
satu persatu. Kepada Istriku Tersayang, drg. Hj. Yeni Maryani, Ya
Alloh, balaslah kebaikannya, angkatlah derajatnya dan jadikan dia
sebagai istriku di Taman Syurga-Mu yang abadi. Amin. Dan untuk
ketiga mujahid-mujahidahku, Rifqah Sajidah, Muhammad
‘Ibadurrahman, ‘Athifah Raihanah. Semoga Alloh mengumpulkan
kami semua di kebun Syurga yang nikmat dan abadi. Amin.
Dan semua pihak yang telah menanamkan sahamnya untuk
proyek kebaikan ini, dan tak mampu penulis sebutkan satu persatu.
Semoga menjadi tabungan amal kebajikan untuk kita semua. Amin.

Halaman 6 dari 883


daftar isi
MISTERI MAKAM PAPAN TINGGI DI BARUS KABUPATEN
TAPANULI TENGAH, SUMATERA UTARA YANG DIYAKINI
SEBAGAI JEJAK MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA SEJAK
SAHABAT RASULULLAH SAW
15
KESULTANAN SAMUDERA PASAI, ACEH, YANG TELAH
MEMBUAT IBNU BATTUTA PENGELANA ISLAM TAKJUB
20
SEJARAH
21
KESULTANAN ACEH YANG NAMANYA HARUM SAMPAI KE
EROPA
36
KESULTANAN DELI YANG HARUM NAMANYA HINGGA KE
MANCANEGARA
59
KERAJAAN INDERAPURA : KERAJAAN PENGUASA
PERDAGANGAN LADA DAN EMAS
72
K E S U LTA N A N S U WAWA K E R A J A A N T E RT U A D I
SEMENANJUNG UTARA SULAWESI
79
KESULTANAN PEUREULAK NEGERI YANG PERNAH
DISINGGAHI MARCOPOLO
84

Halaman 7 dari 883


KERAJAAN YANG TELAH MEMELUK ISLAM SEJAK ABAD
KE 13 : KERAJAAN ARU
92
KESULTANAN TERNATE : KESULTANAN ISLAM TERBESAR
DI TIMUR YANG MENJADI KORBAN KERAKUSAN KAUM
IMPERIALISME
103
KESULTANAN GORONTALO : PUSAT PERDAGANGAN
PALING BERPENGARUH DI TELUK TOMINI
124
KESULTANAN GOWA : KESULTANAN YANG MEMILIKI
KEKUATAN MILITER TERKUAT DI TIMUR
135
KERAJAAN PAGARUYUNG WARISAN YANG TAKKAN
PERNAH HILANG : KERAJAAN YANG WILAYAHNYA
SAMPAI KE NEGERI SEMBILAN MALAYSIA
151
KERAJAAN KAIMANA : TEMPAT RAJA AMPAT YANG
TELAH MASUK ISLAM SEJAK KERAJAAN SAMUDERA
PASAI
177
KESULTANAN CIREBON : IBUKOTA KESULTANAN ISLAM
YANG DISEGANI SELAMA 300 TAHUN LAMANYA
195
KESULTANAN DEMAK : KERAJAAN BESAR DI UTARA
JAWA
281

Halaman 8 dari 883


KESULTANAN BOLANGO : CAHAYA ISLAM DI UTARA
SULAWESI
289
KESULTANAN BANTEN : BENTENG ISLAM DI TENGAH
NUSANTARA
296
KESULTANAN BANJAR : MUTIARA ISLAM DARI
KALIMANTAN
333
KERAJAAN KALINYAMAT JEMBATAN STRATEGIS KE
INDONESIA TIMUR
371
KESULTANAN PAJANG : PEMERAN VITAL DI TENGAH
PULAU JAWA
381
KESULTANAN MATARAM : CAHAYA ISLAM YANG
MELEGENDA
392
PANGERAN DIPONEGORO : MUSUH NOMOR SATU
KERAJAAN BELANDA YA N G SUKSES
MEMBANGKRUTKAN VOC
420
KERAJAAN FATAGAR : LEGENDA ISLAM DARI PAPUA
457
KESULTANAN BIMA : PENJAGA ISLAM DI UJUNG TIMUR
467

Halaman 9 dari 883


KESULTANAN SUMBAWA : MUTIARA ISLAM DARI TIMUR
480
KESULTANAN KASEPUHAN CIREBON
502
KESULTANAN KANOMAN CIREBON
528
KESULTANAN SIAK SRI INDERAPURA
546
KESUNANAN SURAKARTA HADININGRAT PEREKAT
PULAU JAWA
570
KESULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT :
ISTIMEWANYA PULAU JAWA
607
KESULTANAN KACIREBONAN
666
KESULTANAN LINGGA : KESULTANAN YANG SARAT
PENINGGALAN
685
PRABU KIAN SANTANG : PENYEBAR ISLAM PERTAMA DI
TANAH PASUNDAN
694
SYEKH QURO ‘AIN KARAWANG
704
SYAIKH DATUL KAHFI
725

Halaman 10 dari 883


SYEKH NUR BAYANILLAH : GURU WALI SONGO
736
SYAIKH JA’FAR SHADIQ : CAHAYA ISLAM DARI
PASUNDAN
749
S YA I K H S I T I J E N A R , S E O R A N G WA L I Y U L L O H
PEREMPUAN YANG TELAH MENCAPAI MAQOM MAKRIFAT
757
ABDUL MUHYI, WALIYULLOH TANAH JAWA YANG
SILSILAH KEMURSYIDANNYA SAMPAI KE RASULULLAH
SAW
767
WALI SONGO : PENDIRI NAMA INDONESIA
777
SUNAN GIRI
807
SUNAN GRESIK
813
SUNAN DRAJAT
821
SUNAN BONANG
826
BAB 47
831
SUNAN MURIA
831

Halaman 11 dari 883


SUNAN KUDUS
835
SUNAN KALIJAGA
838
SUNAN GUNUNG JATI
848
TENTANG PENULIS
882

Halaman 12 dari 883


mukaddimah

Buku ini adalah seri lanjutan dari buku yang sudah pernah
saya publikasikan secara gratis di Dunia maya, berjudul Sejarah
Gemilang Kerajaan Islam di Kalimantan Barat, dipublikasikan
pertama kali tahun 2012. Sebelas tahun kemudian, terbitlah buku ini
sebagai buku lanjutan dari buku yang pernah saya tulis.
Masih seperti buku yang pertama, edisi lanjutan ini juga
kumpulan tulisan yang berserakan di dunia maya, saya kumpulkan,
beberapa saya sunting, dan saya rapihkan sumber-sumbernya, dan
beberapa kekurangan di sumber sebelumnya saya tambahkan. Ada
beberapa bab yang saya tulis sendiri dan selebihnya adalah
informasi yang saya kumpulkan dari Dunia maya.
Tentu saja, berbicara Indonesia akan lebih sulit daripada
hanya Kalimantan Barat, namun saya yakin bahwa di dalam
kesemuanya yang saya himpun membawa kisah-kisah tersendiri
yang luar biasa.
Di buku lanjutan ini saya menampilkan kisah-kisah tentang
masuknya Islam ke Indonesia dan dilanjutkan dengan beberapa hal
yang membuat Islam mudah diterima di Indonesia.
Harapan saya setelah terbitnya buku ini, akan semakin
banyak ummat Islam di Indonesia yang sadar bahwa Islam adalah
agama yang membawa perubahan besar bagi Indonesia, dan juga
dunia, kehadiran Indonesia sangatlah dinantikan di percaturan dunia

Halaman 13 dari 883


ini. Semoga Ummat Islam Indonesia dapat menghadirkan Islam
yang Rahmatan Lil ‘Alamin.

Khat Al-Istiwa City, Pontianak


16 Rajab 1444 H / 07 Februari 2023
Insan Manusia yang banyak kekurangan

Buya Haji Andri Zulfikar (Buya Haza)

Halaman 14 dari 883


BAB 1
MISTERI MAKAM PAPAN TINGGI DI BARUS
KABUPATEN TAPANULI TENGAH, SUMATERA
UTARA YANG DIYAKINI SEBAGAI JEJAK
MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA SEJAK
SAHABAT RASULULLAH SAW

Kompleks Makam Papan Tinggi

Kompleks Makam Papan Tinggi terletak di Desa


Penanggahan, Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah. Barus
adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera
Utara. Kota Barus terletak di pinggir Pantai Barat Sumatera dan
dahulunya merupakan sebuah Kota Emporium dan pusat peradaban

Halaman 15 dari 883


pada abad 1 -17 M, dan disebut juga dengan nama lain yaitu
Fansur.

Pada masa lalu kapur barus dan rempah-rempah merupakan


salah satu komoditas perdagangan yang sangat berharga dari daerah
ini dan diperdagangkan sampai ke Arab dan Parsia. Kapur barus
sangat harum dan menjadi bahan utama dalam pengobatan di daerah
Arab dan Persia. Kehebatan kapur inipun menjalar ke seluruh dunia
dan mengakibatkan komoditi ini menjadi buruan sehingga
mengakibatkan harganya semakin tinggi.

Di daerah Barus ini terdapat sebuah kompleks pemakaman


yang dipercaya merupakan pemakaman para ulama-ulama terdahulu
yang menyebarkan ajaran Agama Islam di daerah Barus dan
sekitarnya. Kompleks makam ini dinamakan Makam Papan Tinggi
karena letaknya yang berada di atas bukit dengan ketinggian ± 200
mdpl (meter di atas permukaan laut). Kompleks makam ini
menempati areal seluas 40 x 15 meter yang dikelilingi oleh pagar
pembatas setinggi 160 cm. Makam ini merupakan salah satu bukti
sejarah ini penyebaran Agama Islam di Barus yang dilakukan oleh
Syekh Mahmud. Syekh Mahmud adalah salah seorang penyebar
masuknya Islam ke Indonesia pada Abad ke-6 dan makamnya
ditemukan pada abad ke 13. Selain makam Mahmud ditemukan 43
batu nisan penyebar Islam lainnya di Barus dan semuanya
bertuliskan aksara Arab dan Persia.

Halaman 16 dari 883


Kapur Barus dipergunakan sebagai Pengawet Jenazah di Mesir Kuno

Dikarenakan lokasinya yang berada berada di puncak bukit,


mengharuskan pengunjung menaiki anak tangga sejumlah 876 buah
untuk sampai ke lokasi makam. Komplek makam Papan Tinggi
membentang dari utara ke selatan dengan orientasi utara-selatan.
Kompleks makam ini pernah mengalami pemugaran oleh Kanwil
Depdikbud Sumatera Utara pada tahun 1994/1995. Enam makam
terletak dalam satu kelompok. Makam ini terbuat dari batu kali
dengan ukuran bervariasi, nisan besar mempunyai tinggi 34 cm,
lebar 24 cm, dan tebal 1 6 cm berjumlah 3 buah;nisan kecil
berukuran tinggi 28 cm, lebar 19 cm, dan tebal 14 cm berjumlah 3
buah. Sedangkan 1 (satu) makam lainnya terletak agak terpisah.

Halaman 17 dari 883


Menapaki Anak Tangga Makam Papan Tinggi di Kota Tua
Barus

Kota Barus dikabarkan sebagai tempat masuknya Islam


pertama kali di Indonesia. Sejak dulu, Barus dikenal sebagai
penghasil kamper atau kapur barus. Kamper berasal dari tanaman
pohon kapur yang hanya tumbuh di Indonesia. Konon, kapur barus
inilah yang digunakan sebagai salah satu bahan pengawet yang
ditemukan pada mumi-mumi Raja Mesir kuno atau Fir’aun.
Kota tua Barus pada abad 1 – 17 M termasyhur di seluruh
dunia sebagai kota perdagangan pengekspor rempah-rempah dan
kapur barus yang sangat diburu pasar dunia. Bahkan, nama Barus
banyak disebut dalam literatur-literatur kuno. Kini, kemasyhuran
Barus sebagai kota perdagangan telah hilang. Namun sisa-sisa jejak
peradaban masa lalu di Barus masih tertinggal, diantaranya adalah
makam-makam ulama yang melakukan perjalanan dari Timur
Tengah untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam di
Nusantara.
Salah satu jejak yang tersisa adalah Makam Papan Tinggi.
Makam ini berada di Desa Penanggahan, Kecamatan Barus,
Tapanuli Tengah. Makam tersebut dipercaya adalah milik Syekh
Mahmud, salah satu penyiar agama Islam di Indonesia yang
melakukan perjalanan sekitar tahun 34 – 44 hijriyah. Bila ditelusuri,
tahun-tahun tersebut ada pada masa umat Islam dipimpin khalifah
Umar bin Khattab. Karena terletak dipuncak bukit, untuk mencapai
makam tersebut cukup sulit. Peziarah harus menapaki deretan anak
tangga yang sangat banyak yang dikenal sebagai “Tangga Seribu”.
Halaman 18 dari 883
Dibutuhkan tenaga ekstra untuk bisa menaiki semua anak tangga
ini. Mungkin karena kelelahan menapakinya, para peziarah hingga
kini masih tak sepaham dengan jumlah anak tangga yang
dinaikinya. Bila peziarah mencoba menghitung, seringkali jumlah
saat naik akan berbeda dengan hitungan ketika turun. Yang pasti
menurut juru kunci disini, jumlah anak tangga menuju makan
berjumlah sekitar 700-an anak tangga.
Butuh sekitar 1 jam untuk menaiki anak tangga tersebut.
Makam Syeikh Mahmud sendiri berukuran tidak biasa. Panjanngnya
sekitar 7 meter dengan batu nisan dikedua ujung makam setinggi
1,5 meter. Pada kepala nisan terdapat tulisan arab yang bila
diartikan menjadi “Maka segala sesuatunya akan hancur kecuali Zat
Allah.” Syeikh Mahmud menyebarkan agama Islam di Tapanuli dan
dakwahnya berhasil membuat tokoh suku Batak, Raja Guru
Marsakkot, akhirnya memeluk Islam. Sejumlah pemberitaan
menyebutkan, Barus menjadi pintu masuk Islam di Tanah Air yang
usianya lebih tua daripada sejarah Wali Songo, yakni penyebar
agama Islam di Jawa pada abad ke-14. Kota ini berjarak 290 km
dari Kota Medan, ibu kota Sumatra Utara.
Referensi :

• sumber: disbudpar.sumutprov.go.id, aswilblog.wordpress.com

• https://katadata.co.id/dinihariyanti/berita/6080cd872300d/menapaki-anak-
tangga-makam-papan-tinggi-di-kota-tua-barus

Halaman 19 dari 883


BAB 2
KESULTANAN SAMUDERA PASAI, ACEH, YANG
TELAH MEMBUAT IBNU BATTUTA PENGELANA
ISLAM TAKJUB

Kitab Hikayat Raja-raja Pasai

Kesultanan Pasai,
juga dikenal dengan Samudera
Darussalam, atau Samudera
Pasai, dengan sebutan singkat
yaitu Pasai adalah kerajaan Islam
yang terletak di pesisir pantai
utara Sumatra, kurang lebih di
sekitar Kota Lhokseumawe dan
Kabupaten Aceh Utara, Provinsi
Aceh, Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang
bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267.

Para sejarawan menelusuri keberadaan kerajaan ini


menggunakan sumber dari Hikayat Raja-raja Pasai serta
peninggalan sejarah adat istiadat serta budaya setempat yang masih
berjalan dan dipertahankan oleh masyarakat pesisir pantai utara
Sumatra. Hal ini dibuktikan dengan beberapa makam raja yang

Halaman 20 dari 883


datang pertama kali pada tahun 710 Masehi serta penemuan koin
berbahan emas dan perak dengan tertera nama keturunan rajanya.
Dengan di temukannya Makam Raja (Penemuan Makam Raja
Samudera Pasai Meninggal di Tahun 710 Masehi) ini membuktikan
sebelumnya sudah berdiri Kerajaan Samudera Pasai sebelum
Rajanya Meninggal (Penemuan Makam Raja) Berarti Kerajaan
Samudera Pasai sudah berdiri sebelum 710 Masehi dan juga bisa
dikatakan Islam sudah masuk di Nusantara (Indonesia) sebelum 710
Masehi. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah
ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn
Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini
pada tahun 1345. Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan
Portugal pada tahun 1521.

Sejarah
Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai serta tersebut dalam
Tambo Minangkabau putra dari Ahlul Bait Sayyidina Hussein,
menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu dan
menyebut nama raja yang mukim dari tahun 710 Masehi hingga
para anak cucu nya sebagai penyebar agama Islam di Sumatra,
setelah sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama
Sultan Malik al-Nasser. Marah Silu ini sebelumnya berada pada satu
kawasan yang disebut dengan Semerlanga kemudian setelah naik
tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H
atau 1267 M.

Dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sulalatus Salatin


nama Pasai dan Samudera telah dipisahkan merujuk pada dua

Halaman 21 dari 883


kawasan yang berbeda, tetapi dalam catatan Tiongkok nama-nama
tersebut tidak dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo dalam
lawatannya mencatat beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai
timur Pulau Sumatra waktu itu, dari selatan ke utara terdapat nama
Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).

Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan


oleh putranya Sultan Muhammad Malik az-Zahir dari
perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan
Sultan Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang
telah diperkenalkan di Pasai, seiring dengan berkembangnya Pasai
menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat
pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian sekitar tahun 1326
ia meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud
Malik az-Zahir dan memerintah sampai tahun 1345. Pada masa
pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah, kemudian
menceritakan bahwa sultan di negeri Samatrah (Samudera)
menyambutnya dengan penuh keramahan, dan penduduknya
menganut Mazhab Syafi'i.

Al Malikush Shaleh (1267-1297)


Pada saat itu, orang-orang Islam sudah mendirikan
perkampungan di tepi pantai Sumatra. Mereka berasal dari
pedagang-pedagang sumatera yang berdagang di arab dan persia.
Hanya saja, mereka belum sanggup mendirikan kerajaan yang kuat.

Pada tahun 1205, telah naik takhta seorang raja Islam di Daya, Aceh
yang bergelar Sri Paduka Sultan Johan Syah. Beliau bukan

Halaman 22 dari 883


penduduk asli Aceh, melainkan keturunan pedagang-pedagang
Islam yang menetap di Aceh. Prof. Dr. Hamka berpendapat bahwa
jika dilihat dari namanya, ada kemungkinan bahwa beliau berasal
dari Gujarat. Namun demikian, tidak ada berita mengenai kelanjutan
kerajaan ini.

Kabar berita bahwa masyarakat Islam sudah ada di pantai


Sumatra rupanya sampai juga ke Mekah. Syarif Mekah mengutus
seorang ulama bernama Syekh Isma'il agar datang berkunjung ke
negeri Samudra, Aceh. Sebab, di antara negeri-negeri tepi pantai
Sumatra, nama Samudra Pasai lebih terkenal. Syekh Isma'il
berangkat menuju Samudra Pasai. Ia melabuhkan sementara
kapalnya di Malabar (Mu'tabar), lalu melanjutkan perjalanan ke
Aceh. Sampai di Aceh, Syekh Isma'il bertemu dengan seorang
mantan raja yang bernama Fakir Muhammad. Mantan raja itu ialah
keturunan dari Abu Bakar, sahabat nabi.

Mereka berdua mengunjungi negeri-negeri tepi pantai


Sumatra yang telah memeluk agama Islam, yaitu Fansur (Barus),
Lamiri dan Haru. Setelah itu, mereka meneruskan pelayaran ke
negeri Perlak. Disana mereka mendapat informasi bahwa negeri
Samudra Pasai yang mereka tuju rupanya telah terlewat.
Terpaksalah kapal mereka dibelokkan kembali. Akhirnya, mereka
berjumpa dengan Merah Silu, kepala kampung di tempat itu.

Setelah mereka berdua mengadakan pertemuan dengan


Merah Silu, beliau masuk islam. Beliau juga diberikan nama Islam,
yaitu Sultan al-Malikush Shaleh. Kemudian, mereka memberi

Halaman 23 dari 883


tanda-tanda kerajaan yang langsung dibawa dari Mekah kepada
Sultan. Gelar Sultan ini langsung diberikan oleh Syarif Mekah. Pada
saat itu, Syarif Mekah ada di bawah naungan kerajaan Mamalik di
Mesir. Syarif Mekah, atas izin Sultan Mamalik, memberikan gelar
Sultan kepada Merah Silu. Gelar "Al Malikush Shaleh" adalah gelar
yang dipakai oleh pendiri kerajaan Mamalik yang pertama di Mesir,
yaitu Al Malikush Shaleh Ayub.

Pada zaman pemerintahan Al Malikush Shaleh, Marco Polo,


seorang pengembara bangsa Venesia, berkunjung ke Sumatra Utara.
Pada saat itu, ia belum melihat banyak orang Islam di Sumatra,
kecuali di Kerajaan Perlak saja. Al Malikush Shaleh menikah
dengan anak perempuan Raja Perlak yang telah beragama Islam.
Beliau memiliki dua orang putra.

Al Malikuzh Zhahir I (1297 - 1326)


Seorang putra Al Malikush Shaleh diberi gelar Al Malikush
Zhahir, sedangkan putranya yang lain diberi gelar Al Malikul
Mansur. Azh Zahir adalah gelar yang dipakai oleh Sultan Mamalik
yang kedua di Mesir, yaitu al Malikuzh Zhair Baibars (1260 - 1277).
Al Mansur adalah gelar dari Sultan Mamalik yang ketiga, yang
menggantikan Baibars, yaitu al Malikul Mansur Qalawun (1279 -
1290). Sultan Al Malikuz Zhahir diangkat sebagai sultan kedua
Samudra Pasai. Nama kecil sultan itu adalah Raja Muhammad.

Al Malikuszh Zhahir II (1326 - 1349)


Sultan ketiga Samudra Pasai bergelar Zhahir juga. Nama
kecilnya adalah Raja Ahmad. Hamka berpendapat bahwa besar

Halaman 24 dari 883


kemungkinan bahwa sultan inilah yang ditemui oleh Ibnu Batuta
ketika ia singgah di negeri Pasai tatkala Ibnu Batuta diutus Sultan
Delhi ke Tiongkok pada 1345. Ibnu Batuta menceritakan
pengamatannya secara rinci, ketika singgah di Pasai dalam catatan
perjalanannya.

Ibnu Batuta yang sampai di Sumatera dan menamakannya Andalas, Ibnu Batuta
berfikir di telah menemukan Andalus, Spanyol.

Berdasarkan catatan Ibnu Batuta, Sultan Pasai bermadzhab


Syafi'i. Mahdzhab itu diketahui oleh Sultan secara mendalam.
Sultan pun sanggup bertukar pikiran dengan para ulama ketika
membicarakan masalah agama. Sultan gemar mendakwahkan
agama Islam ke negeri-negeri tetangga. Sultan juga memiliki
armada kapal dagang yang besar. Ketika Ibnu Batuta singgah di
Tiongkok, ia melihat kapal dari Sultan Pasai sedang berdagang di

Halaman 25 dari 883


sana. Sultan mengangkat ulama keturunan bangsa sayid dari Syiraz
sebagai qadhi di Pasai.

Zainal Abidin (1349-1406)


Setelah Sultan al-Malikuzh Zhahir meninggal, naiklah
putranya Zainal Abidin. Ia naik takhta ketika usianya masih kecil,
sehingga untuk sementara, pemerintahan dijalankan oleh pembesar-
pembesar kerajaan.

Kerajaan Siam mendatangi Samudra Pasai. Awalnya, mereka


masuk ke negeri Pasai secara baik-baik. Mereka pun disambut
dengan layak oleh Pasai. Mereka mengangkat sebuah peti besar ke
dalam istana, sebagai hadiah untuk Sultan Pasai. Ketika peti itu
dibuka, melompatlah empat orang pasukan Siam keluar dari peti,
menangkap sultan yang masih kecil. Sultan Pasai diculik, dibawa ke
kapal, ditawan di dalam istana Siam.

Orang-orang besar Samudra Pasai terpaksa datang


mempersembahkan tebusan ke negeri Siam, yaitu emas. Mereka
memohon agar sultan dapat dibebaskan. Raja Siam mengizinkan,
dengan syarat, Pasai harus tetap rutin membayar emas. Akhirnya,
pulanglah Sultan yang masih muda itu ke Pasai, hingga duduk
kembali di atas singgasananya.

Tidak beberapa lama kemudian, tiba-tiba datang pulalah


pasukan Majapahit. Diserbunya Samudra Pasai sekali lagi. Pasai
takluk di bawah Majapahit. Siam pun tidak mampu melawan
Majapahit untuk mempertahankan Pasai.

Halaman 26 dari 883


Maharaja Tiongkok mengutus admiral Cheng Ho untuk
datang ke Pasai pada tahun 1405. Dalam riwayat Tiongkok, Raja
Pasai pada saat itu ialah Tsai Nu Li A Pi Ting Ki (Zainal Abidin).
Cheng Ho menganjurkan agar Pasai mengakui persahabatan dengan
Maharaja Tiongkok, Kaisar Cheng Tsu. Kaisar ini baru saja merebut
kekuasaan dari kaisar yang dahulu, Hwui Ti. Cheng Ho datang
membawa hadiah tanda persahabatan dari Kaisar Tiongkok. Ia pun
memberikan janji bahwa Tiongkok akan tetap membela Samudra
Pasai, Malaka dan negeri-negeri lain, jika ada serangan dari luar,
asalkan mereka mengakui perlindungan dari Tiongkok.

Zainal Abidin meninggal dalam satu peperangan melawan


negeri Nakur di Aceh. Permaisuri Pasai menjanjikan bahwa ia sudi
menjadi istri bagi siapa saja yang sudi berjuang menuntut bela
kematian suaminya dalam perang itu. Tampillah ke depan, seorang
nelayan, untuk mengepalai tentara yang ingin mengalahkan negeri
Nakur kembali. Menurut riwayat Tiongkok, nelayan itu menang
perang, sehingga langsung diangkat menjadi raja, menggantikan
raja yang meninggal, pada tahun 1412.

Akhir Samudra Pasai dan Invasi Portugis


Dalam catatan Tiongkok, putra Zainal Abidin, yang
seharusnya berhak menduduki takhta kerajaan, tidaklah merasa
senang hati karena seorang nelayan berhasil merebut takhta
kerajaan. Nelayan itu dibunuhnya, ia pun naik takhta yang memang
sudah menjadi haknya.

Halaman 27 dari 883


Raja Iskandar, anak dari Raja Semudra Pasai dibawa oleh
Cheng Ho pada tahun 1412 untuk mengunjungi Tiongkok dan
datang menghadap Maharaja Tiongkok. Sesampainya di Tiongkok,
Raja Iskandar meninggal terbunuh. Semenjak itu, jaranglah
terdengar hubungan antara Pasai dan Tiongkok. Kunjungan terakhir
Pasai ke Tiongkok tercatat pada tahun 1434.

Sementara itu, Malaka mulai naik, sedangkan Pasai mulai


turun. Pelabuhan Pasai berangsur sepi, pantainya mulai dangkal,
kapal-kapal telah lebih banyak berlabuh di pelabuhan Malaka. Sejak
saat itu, pusat kegiatan Islam pindah dari Pasai ke Malaka. Banyak
juga warga Samudra Pasai yang meninggalkan kampung
halamannya setelah datang serangan dari Portugis, pada 1521, Maka
Sejak saat itu, semakin banyak warga Pasai yang pergi merantau ke
Tanah Jawa, terutama ke Jawa Timur, lalu menetap di sana, ke pusat
kekuasaan Majapahit.

Salah seorang warga Pasai yang datang ke Jawa adalah


Fatelehan (Fatahillah / Syarif Hidayatullah). Ia merantau ke Jawa
karena negerinya diserang Portugis. Di Jawa, ia berkarir sebagai
panglima perang Demak, untuk mengalahkan Galuh dan Pajajaran.
Hingga akhirnya, ia sukses mendirikan Banten dan Cirebon.

"Maka titah Sang Nata akan segala tawanan orang Pasai itu,
suruhlah ia duduk di tanah Jawa ini, mana kesukaan hatinya. Itulah
sebabnya maka banyak keramat di tanah Jawa tatkala Pasai kalah
oleh Majapahit itu”. - Gambaran penaklukan Pasai oleh Majapahit,
kutipan dari Hikayat Raja-raja Pasai.

Halaman 28 dari 883


Lonceng Cakra Donya yang merupakan hadiah dari Laksamana Cheng Ho.

Relasi dan persaingan


Kesultanan Pasai kembali bangkit di bawah pimpinan Sultan
Zain al-Abidin Malik az-Zahir tahun 1383, dan memerintah sampai
tahun 1405. Dalam kronik Tiongkok ia juga dikenal dengan nama
Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur.
Selanjutnya pemerintahan Kesultanan Pasai dilanjutkan oleh
istrinya Sultanah Nahrasiyah.

Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal


mengunjungi Pasai berturut turut dalam tahun 1405, 1408 dan 1412.
Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para
pembantunya seperti Ma Huan dan Fei Xin. Secara geografis

Halaman 29 dari 883


Kesultanan Pasai dideskripsikan memiliki batas wilayah dengan
pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur, serta jika terus ke
arah timur berbatasan dengan Kerajaan Aru, sebelah utara dengan
laut, sebelah barat berbatasan dengan dua kerajaan, Nakur dan Lide.
Sedangkan jika terus ke arah barat berjumpa dengan kerajaan
Lambri (Lamuri) yang disebutkan waktu itu berjarak 3 hari 3 malam
dari Pasai. Dalam kunjungan tersebut Cheng Ho juga
menyampaikan hadiah dari Kaisar Tiongkok, Lonceng Cakra
Donya.

Sekitar tahun 1434 Sultan Pasai mengirim saudaranya yang


dikenal dengan Ha-li-zhi-han namun wafat di Beijing. Kaisar
Xuande dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke Pasai untuk
menyampaikan berita tersebut.

Pemerintahan
Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antara
Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air) dengan Krueng Pase
(Sungai Pasai), Aceh Utara. Menurut ibn Batuthah yang
menghabiskan waktunya sekitar dua minggu di Pasai, menyebutkan
bahwa kerajaan ini tidak memiliki benteng pertahanan dari batu,
tetapi telah memagari kotanya dengan kayu, yang berjarak beberapa
kilometer dari pelabuhannya. Pada kawasan inti kerajaan ini
terdapat masjid, dan pasar serta dilalui oleh sungai tawar yang
bermuara ke laut. Ma Huan menambahkan, walau muaranya besar
namun ombaknya menggelora dan mudah mengakibatkan kapal
terbalik. Sehingga penamaan Lhokseumawe yang dapat bermaksud

Halaman 30 dari 883


teluk yang airnya berputar-putar kemungkinan berkaitan dengan
ini.

Dalam struktur pemerintahan terdapat istilah menteri,


syahbandar dan kadi. Sementara anak-anak sultan baik lelaki
maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga beberapa
petinggi kerajaan. Kesultanan Pasai memiliki beberapa kerajaan
bawahan, dan penguasanya juga bergelar sultan.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir,


Kerajaan Perlak telah menjadi bagian dari kedaulatan Pasai,
kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya yaitu Sultan
Mansur di Samudera. Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-
Zahir, kawasan Samudera sudah menjadi satu kesatuan dengan
nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di Pasai. Pada masa
pemerintahan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir, Lide (Kerajaan
Pedir) disebutkan menjadi kerajaan bawahan dari Pasai. Sementara
itu Pasai juga disebutkan memiliki hubungan yang buruk dengan
Nakur, puncaknya kerajaan ini menyerang Pasai dan mengakibatkan
Sultan Pasai terbunuh.

Perekonomian
Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai
komoditas andalannya, dalam catatan Ma Huan disebutkan 100 kati
lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam perdagangan
Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi
pada masyarakatnya, mata uang ini disebut Deureuham (dirham)

Halaman 31 dari 883


yang dibuat 70% emas murni dengan berat 0.60 gram, diameter
10 mm, mutu 17 karat.

Sementara masyarakat Pasai umumnya telah menanam padi


di ladang, yang dipanen 2 kali setahun, serta memilki sapi perah
untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah penduduknya memiliki
tinggi rata-rata 2.5 meter yang disekat menjadi beberapa bilik,
dengan lantai terbuat dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang
yang disusun dengan rotan, dan di atasnya dihamparkan tikar rotan
atau pandan.

Agama dan budaya


Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Pasai,
walau pengaruh Hindu dan Buddha juga turut mewarnai masyarakat
ini. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires, telah membandingkan
dan menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip
dengan Malaka, seperti bahasa, maupun tradisi pada upacara
kelahiran, perkawinan dan kematian. Kemungkinan kesamaan ini
memudahkan penerimaan Islam di Malaka dan hubungan yang
akrab ini dipererat oleh adanya pernikahan antara putri Pasai dengan
raja Malaka sebagaimana diceritakan dalam Sulalatus Salatin.

Akhir pemerintahan
Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai,
terjadi beberapa pertikaian di Pasai yang mengakibatkan perang
saudara. Sulalatus Salatin[15] menceritakan Sultan Pasai meminta
bantuan kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan
tersebut. Namun Kesultanan Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah

Halaman 32 dari 883


ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang sebelumnya telah
menaklukan Melaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah
Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.

Daftar penguasa Pasai


Berikut adalah daftar para sultan yang memerintah
Kesultanan Samudera Pasai:

N Catatan dan
Periode Nama Sultan atau Gelar
o peristiwa penting
Ditemukan Makam Raja
sebelum 710 Pertama Samudera Pasai Raja Pertama
1
M Meninggal pada Tahun 710 Samudera Pasai
Masehi
Tahta Selanjutnya
Sultan Malik as-Saleh (Meurah
2 1267 - 1297 dari Samudra
Silu)
Pasai
Sultan Al-Malik azh-Zhahir I / Koin emas mulai
3 1297 - 1326
Muhammad I diperkenalkan
Penyerangan ke
4 1326 - 133? Sultan Ahmad I Kerajaan Karang
Baru, Tamiang
Dikunjungi Ibnu
5 133? - 1349 Sultan Al-Malik azh-Zhahir II
Batutah
Diserang
6 1349 - 1406 Sultan Zainal Abidin I
Majapahit
Masa kejayaan
7 1406 - 1428 Malikah Nahrasyiyah
Samudra Pasai
8 1428 - 1438 Sultan Zainal Abidin II
9 1438 - 1462 Sultan Shalahuddin

10 1462 - 1464 Sultan Ahmad II


11 1464 - 1466 Sultan Abu Zaid Ahmad III

Halaman 33 dari 883


12 1466 - 1466 Sultan Ahmad IV

13 1466 - 1468 Sultan Mahmud


Digulingkan oleh
14 1468 - 1474 Sultan Zainal Abidin III
saudaranya
15 1474 - 1495 Sultan Muhammad Syah II

16 1495 - 1495 Sultan Al-Kamil

17 1495 - 1506 Sultan Adlullah


Memiliki 2
18 1506 - 1507 Sultan Muhammad Syah III
makam
19 1507 - 1509 Sultan Abdullah
Malaka jatuh ke
20 1509 - 1514 Sultan Ahmad V
tangan Portugis
21 1514 - 1517 Sultan Zainal Abidin IV

Warisan sejarah

Koin Emas dari Kesultanan Samudera Pasai

Penemuan makam Sultan Malik as-Saleh yang bertarikh 696


H atau 1267 M, dirujuk oleh sejarawan sebagai tanda telah
masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-13. Walau ada
pendapat bahwa kemungkinan Islam telah datang lebih awal dari
itu. Hikayat Raja-raja Pasai memang penuh dengan mitos dan
Halaman 34 dari 883
legenda namun deskripsi ceritanya telah membantu dalam
mengungkap sisi gelap sejarah akan keberadaan kerajaan ini.
Kejayaan masa lalu kerajaan ini telah menginspirasikan
masyarakatnya untuk kembali menggunakan nama pendiri kerajaan
ini untuk Universitas Malikussaleh, Bandara Malikussaleh dan
Museum Islam Samudera Pasai di Aceh Utara

Referensi :
• https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Samudera_Pasai

Halaman 35 dari 883


BAB 3
KESULTANAN ACEH YANG NAMANYA HARUM
SAMPAI KE EROPA

Masjid Raya Baiturrahman Aceh

Kesultanan Aceh Darussalam (bahasa Aceh: Keurajeuën


Acèh Darussalam; Jawoë: ‫ )ﻛـﺎورﺟـﺎون اﭼـﯿﮫ داراﻟﺴـﻼم‬merupakan sebuah
kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia.
Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatra dengan ibu kota
Banda Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan
Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal
913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang
panjang itu (1496 - 1903), Aceh mengembangkan pola dan sistem
pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme
bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan

Halaman 36 dari 883


sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan,
dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.

Sejarah Awal mula


Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah
pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah
Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa
wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur.
Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian
dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.

Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera


sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa
hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.

Lukisan Banda Aceh pada tahun 1665 dengan latar istana sultan.

Halaman 37 dari 883


Masa Kejayaan
Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi
nyatanya selalu dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang.
Hikayat Aceh menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya
Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang
sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan
pada pengikutnya.

Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan


kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu
dan adu binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota
kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul
Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan
dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil
memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh
yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.

Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh


terluas pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 -
1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya,
Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama.
Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap
Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal
perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya
memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung
Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang
sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya
ke Aceh.

Halaman 38 dari 883


Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-
Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda) didatangkan perutusan
diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku
Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai
pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit
van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk
memperkuat posisi kekuasaan Aceh.

Masa Kemunduran
Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa
faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di
pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah
Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840)
serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor
penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris
tahta kesultanan.

Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku
Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun 1870-an

Halaman 39 dari 883


Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan
Iskandar Tsani hingga serangkaian peristiwa nantinya, di mana para
bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan
dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya
Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi
pengangkatan ratu.

Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas


berdagang dengan pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan
sultan di ibu kota. Lada menjadi tanaman utama yang
dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok
utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa elemen
masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa
nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim
bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di
pedalaman. Perang saudara pecah, masjid raya, Dalam terbakar,
kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman.
Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti
agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai
reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan
terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan
sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada
daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.

Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut


berperan besar dalam melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa
Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan

Halaman 40 dari 883


Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota
kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-
Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles
dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan
Jauhar (yang mampu berbahasa Prancis, Inggris dan Spanyol)
dikembalikan. Tak habis sampai di situ, perang saudara kembali
terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan
Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah
(1857-1870).

Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk


memperkuat kembali kesultanan yang sudah rapuh. Dia berhasil
menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal
yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk
memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada
pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan
kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan
Aceh terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865
Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng
Pulau Kampai.

Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak


luar sebagai usaha untuk membendung agresi Belanda.
Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas
status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan
sejumlah dana bantuan untuk Perang Krimea. Sebagai balasan,
Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk
Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk

Halaman 41 dari 883


aliansi dengan Prancis dengan mengirim surat kepada Raja Prancis
Louis Philippe I dan Presiden Republik Prancis ke II (1849). Namun
permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.

Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan


Mahmudsyah yang muda nan lemah ke tapuk kekuasaan.
Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku
Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan
ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibu kota, Habib
bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang
Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan
Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung Habib namun sultan
justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol
dengan Belanda ketika berunding di Riau.

Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut


dengan Traktat Sumatra, di mana disebutkan dengan jelas "Inggris
wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan
kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatra. Pembatasan-
pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak
itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan,
baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh
dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke
sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan
karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea.
Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Prancis hingga Amerika
namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih
simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini,

Halaman 42 dari 883


Belanda memantapkan diri menyerang ibu kota. Maret 1873,
pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai
awal invasi Belanda Aceh.

Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang
terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa
ancaman diplomatik, tetapi tidak berhasil merebut wilayah yang
besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, tetapi lagi-lagi
gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa
mereka telah gagal merebut Aceh.

Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang


Orientalis dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan
kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, memberikan saran
kepada Belanda agar merangkul para Ulèëbalang, dan melumatkan
habis-habisan kaum ulama. Saran ini baru terlaksanan pada masa
Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz. Pasukan
Marsose dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus mengejar habis-
habisan pejuang Aceh hingga pedalaman.

Pada 1879 dan 1898, Sultan Aceh kala itu, Muhammad


Daud Syah II, meminta Rusia untuk memberikan status protektorat
kepada Kesultanan Aceh dan membantunya melawan Belanda.
Namun, permintaan sultan ditolak Rusia.[6]

Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah


akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda setelah dua istrinya,
anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda.

Halaman 43 dari 883


Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan
Tuanku Mahmud menyusul pada tahun yang sama pada bulan
September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan Tgk. Chik
di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal
Teungku Mayed tewas 1910 di Gunung Halimun.

Restorasi
Dengan dibuangnya Sultan Muhammad Daudsyah ke
Ambon (kemudian ke Batavia) pada tahun 1907 maka menandakan
berakhirnya Kesultanan Aceh, yang telah dibina berabad-abad
lamanya. Di akhir tahun 1930-an, berkembang gagasan untuk
menghidupkan monarki dengan memulangkan Tuanku Muhammad
Daudsyah ke Kutaraja. Belanda tidak menentang secara terbuka
gagasan restorasi monarki namun menolak Tuanku Muhammad
Daudsyah untuk duduk di singgasana kembali. Sikap Belanda yang
demikian membuat pendukung gagasan tersebut mengusulkan
Tuanku Mahmud (mantan anggota volksraad dan pegawai pribumi
aceh tertinggi di administrasi Belanda di Aceh) sebagai calon
Sultan.

Usulan ini ditentang keras oleh kelompok Uleebalang yang


menikmati otonomi besar pada masa pendudukan Belanda. Mereka
khawatir bahwa dengan naiknya sultan maka pengaruh posisi
mereka berkurang bahkan hak turun temurun sebagai kepala daerah
bisa ditanggalkan. Salah satu tokoh penentang keras dari kaum
Uleebalang adalah Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong
(Hasan dik). Penentang di kalangan ulama adalah Teungku
Muhammad Daud Beureueh. Beliau bukan tidak ingin kembalinya

Halaman 44 dari 883


kesultanan, melainkan tidak menyukai orang yang akan menduduki
tahta batee tabal, yaitu Tuanku Ibrahim dan Tuanku Mahmud.
Tuanku Ibrahim dianggap memiliki akhlak yang kurang baik
sedangkan Tuanku Mahmud meski cakap tapi terlalu dekat dengan
Belanda.

Kelompok ulama muda terutama yang tergabung dalam


PUSA sangat mendukung ide ini. Hal ini dilatar-belakangi banyak
di antara mereka yang mengalami kepahitan hidup di bawah
kekuasaan para Uleebalang yang hanya tunduk kepada kekuasaan
Belanda dan banyak dari uleebalang tersebut bersikap otoriter.
Mereka tidak mempunyai tempat untuk mengadukan nasib, karena
Belanda senantiasa berpihak kepada Uleebalang. Situasi demikian
tidak terjadi jika ada pemerintahan Sultan, setidaknya Sultan berada
di bawah bayang-bayang ulama. Namun demikian ide ini kemudian
luntur seiring berkuasanya Jepang di Aceh.

Pemerintahan : Sultan Aceh

Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang
bertahta pada tahun 1874-1903.

Halaman 45 dari 883


Sultan Aceh atau Sultanah Aceh adalah penguasa / raja dari
Kesultanan Aceh. Sultan awalnya berkedudukan di Gampông
Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke Dalam Darud
Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari
awal hingga tahun 1873 ibu kota berada tetap di Bandar Aceh
Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda pindah
ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.

Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas


persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan Teuku Kadi Malikul Adil
(Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar
"Jiname Aceh" (maskawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang
tunai seribu enam ratus ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan
beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada dalam
kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin
Inayat Syah adalah daerah Dalam Darud Dunia, Masjid Raya,
Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan,
Gampông Jawa dan Gampông Pande.

Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan


dilambangkan dengan dua cara yaitu keris dan cap. Tanpa keris
tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan
perintah Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai
kekuatan hukum.

Perangkat Pemerintahan

Halaman 46 dari 883


Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami
perbedaan tiap masanya. Berikut adalah badan pemerintahan masa
Sultanah di Aceh:

• Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan


sendiri, yang aggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan
Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas membuat rencana dan
penelitian.
• Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang
dipimpin oleh Kadli Malikul Adil, yang beranggotakan tujuh
puluh tiga orang; kira-kira semacam Dewan Perwakilan
Rakyat sekarang.

Kesultanan Aceh pada masa kejayaannya di bawah pemerintahan Sultan


Iskandar Muda

Halaman 47 dari 883


• Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir
Mu'adhdham Orang Kaya Laksamana Seri Perdana Menteri;
kira-kira Dewan Menteri atau Kabinet kalau sekarang,
termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang
diangkat.
• Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal
ekonomi, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar
Menteri Seri Paduka; kira-kira Departemen Perdagangan.
• Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal
angkatan perang, yang dipimpin oleh seorang wazir yang
bergelar Laksamana Amirul Harb; kira-kira Departemen
Pertahanan.
• Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal
ihwal kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang
wazir yang bergelar Seri Raja Panglima Wazir Mizan; kira-
kira Departemen Kehakiman.
• Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal
keuangan dan perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh
seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja
Bendahara Raja Wazir Dirham; kira-kira Departemen
Keuangan.
Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi Kesultanan di antaranya

• Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di pelabuhan


• Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.

Halaman 48 dari 883


• Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang
mengurus segala Hulubalang; kira-kira Menteri Dalam
Negeri.
• Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus
urusan hasil-hasil dan pengembangan hutan; kira-kira
Menteri Kehutanan.
• Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang
mengurus urusan sekretariat negara termasuk penulis resmi
surat kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir Rama Setia
Kerukoen Katibul Muluk; kira-kira Sekretaris Negara.
Ulèëbalang & Pembagian Wilayah
Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan
seperti Peureulak, Pasée, Pidie, Teunom, Daya, dan lain-lain yang
sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas lain
yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar
Muda semua daerah tersebut diintegrasikan dengan Kesultanan
Aceh dan diberi nama Nanggroe, disamakan dengan tiga daerah inti
Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Setiap daerah dipimpin oleh
Ulèëbalang. Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 -
1098 H = 1678 - 1688 M) dengan Kadi Malikul Adil (Mufti Agung)
Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi pembagian
wilayah. Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom.
Bentuk federasi dinamakan Sagoe dan kepalanya disebut Panglima
Sagoe. Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe):

• Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri


Muda Perkasa Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali

Halaman 49 dari 883


menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud
Daulah (Menteri Negara).
• Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia
Ulama Kadli Malikul 'Alam. Kecuali menjadi Kepala
Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama
Kerajaan.
• Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri
Imeum Muda Panglima Wazirul Uzza. Kecuali menjadi
Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirul Harb
(Menteri Urusan Peperangan).
Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong
memiliki sebuah Meunasah. Kemudian gampong itu membentuk
Mukim yang terdapat satu Masjid untuk melakukan shalat jumat
sesuai mazhab Syafi'ie. Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua
daerah memiliki hak otonom yang luas.

Ulèëbalang yang diberi hak mengurus daerah otonom non


Lhée Sagoe, secara teori adalah pejabat sultan yang diberikan
Sarakata pengangkatan dengan Cap Sikureueng. Namun fakta di
lapangan mereka adalah merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat
mengontrol semua Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat di
pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini sehingga mereka
lambat laun tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan
Sultan. Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di
pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-saudagar yang terlibat dalam
perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya kepada

Halaman 50 dari 883


petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang
langsung.

Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat


dalam sumpah yang isinya sebagai berikut:

Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh,


dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar
mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini
semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami
semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi
Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia kepada raja kami
dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya
cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan daripada serangan
musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih
pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang
telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang
telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang
telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami
semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai
pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai
berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-
mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.

— Sumpah Ulee Balang

Dokumen sumpah itu kemudian disimpan oleh Wazir Rama Setia


selaku Sekretaris Kerajaan Aceh, Said Abdullah Di Meuleuk, yang
kemudian disimpan secara turun temurun oleh keturunannya hingga

Halaman 51 dari 883


saat ini, khusus bagi rakyat yang termasuk dalam daerah
wewenangnya, dalam hal ini ia boleh mengangkat seorang Kadi/
hakim untuk membantunya. Sebagai penutup ditegaskan, sekiranya
Ulée Balang gagal dalam melaksanakan tugasnya menurut hukum-
hukum Allah, ia akan kehilangan kepercayaan atasannya.[15] Di
akhir sarakata itu dianjurkan Uleebalang itu menegakkan shalat lima
waktu, melakukan sembahyang Jum'at, mengeluarkan zakat,
mendirikan masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya, mendirikan
dayah, dan sekiranya kuasa melakukan ibadah haji.

Keramik dari Fujian pada masa Dinasti Ming, Cina yang dihadiahkan untuk
Kesultanan Aceh pada abad ke-17 M

Perekonomian

Halaman 52 dari 883


Salah satu kerajinan logam di Aceh.
Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan
diantaranya:

1. Minyak tanah dari Deli,


2. Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
3. Kapur dari Singkil,
4. Kapur Barus dan menyan dari Barus.
5. Emas di pantai barat,
6. Sutera di Banda Aceh.
Selain itu di ibu kota juga banyak terdapat pandai emas,
tembaga, dan suasa yang mengolah barang mentah menjadi barang
jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan.

Halaman 53 dari 883


Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk
diekspor adalah lada.

Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut


perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9 juta dollar
Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1
juta diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai
barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Prancis, dan Arab.
Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan
Meulaboh.

Kebudayaan : Arsitektur

Gunongan

Halaman 54 dari 883


Kandang (komplek makam) Sultan Iskandar Tsani

Tidak terlalu banyak peninggalan bangunan zaman


Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam Darud Donya telah
terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari
Istana Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman
Sultan Aceh telah berubah menjadi Pendapa Gubernur Aceh dan
"asrama keraton" TNI AD. Perlu dicatat bahwa pada masa
Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi
benteng melawan Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat
ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan yang asli telah
terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur
pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara
lain Benteng Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Komplek Kandang
XII (Komplek Pemakaman Keluarga Kesultanan Aceh), Pinto Khop,
Leusong dan Gunongan dipusat Kota Banda Aceh. Taman Ghairah

Halaman 55 dari 883


yang disebut Ar Raniry dalam Bustanus Salatin sudah tidak berjejak
lagi.

Kesusateraan
Sebagaimana daerah lain di Sumatra, beberapa cerita
maupun legenda disusun dalam bentuk hikayat. Hikayat yang
terkenal di antaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang
berceritakan tokoh heroik Malem Dagang berlatar penyerbuan
Malaka oleh angkatan laut Aceh. Ada lagi yang lain yaitu Hikayat
Malem Diwa, Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham
Nadiman, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Prang Gompeuni,
Hikayat Habib Hadat, Kisah Abdullah Hadat dan Hikayat Prang
Sabi.

Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah


Bustanus Salatin (Taman Para Sultan) karya Syaikh Nuruddin Ar-
Raniry disamping Tajus Salatin (1603), Sulalatus Salatin (1612),
dan Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula
penyair Aceh yang agung yaitu Hamzah Fansuri dengan karyanya
antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), Syarab
al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi), Zinat al-
Muwahhidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair
Si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir,
Syair Dagang dan Syair Perahu.

Karya Agama
Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang
keagamaan yang dipakai luas di Asia Tenggara. Syaikh Abdurrauf

Halaman 56 dari 883


menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil wa
Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad
Syirazi Al Baidlawy ke dalam bahasa jawi.

Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah


Masailal Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi yang menjadi kitab
pengantar di dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry
setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang
paling terkenal adalah Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih pertama
terlengkap dalam bahasa melayu.

Militer

Salah satu meriam yang dimiliki Kesultanan Aceh.

Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan


beberapa teknisi dan pembuat senjata ke Aceh. Selanjutnya Aceh
kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu memproduksi
meriam sendiri dari kuningan.

Halaman 57 dari 883


Referensi
• "Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27.
Diakses tanggal 2007-06-01.
• "Sumatra and the Malay peninsula, 16th century". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-09-05.
Diakses tanggal 2011-07-01.
• Lompat ke:
a b Reid, Anthony (2011). Menuju Sejarah Sumatra, Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta:

Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 97–99.


• Lompat ke:
a b Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia.


• Lompat ke:
a b c Reid, Anthony (2005). Asal mula konflik Aceh: dari perebutan Pantai Timur Sumatra hingga

akhir Kerajaan Aceh abad ke-19. Jakarta: Yayasan Obor.


• Egorov, Boris (Mei 04, 2017). "Dari Aceh hingga Alaska: Daerah-daerah yang Hampir Jadi
Kekuasaan Rusia". Diakses tanggal 2018-04-09.
• Zentgraft, Door H.C. (1938). ATJEH. Batavia: Koninklijke Drukkerij de Unie.
• Sjamsuddin, Nazaruddin. (1999). Revolusi di serambi Mekah : perjuangan kemerdekaan dan
pertarungan politik di Aceh, 1945-1949 (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia. hlm. 33–35. ISBN 979-456-187-8. OCLC 43403789.
• 20 Tahun Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh, Medan: Percetakan Universitas Syiah Kuala.
1980. hlm. 376–377.
• ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 104.
• Lompat ke:
a b Hasjmi, Ali. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu. Jakarta: Bulan Bintang.

hlm. 130 – 133.


• Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
• El Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh ke Pangkuan
Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy. hlm. 41–42.
• Lompat ke:
a b Hurgronje, Snouck (1906). The Acehnese, translated by A.W.O. Sullivian. Leiden: B.J. Brill.

hlm. 434.
• ^ El Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh ke Pangkuan
Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy. hlm. 51.
• Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 87.
• Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia Josef W. Meri hal. 465 [1]

Halaman 58 dari 883


BAB 4
KESULTANAN DELI YANG HARUM NAMANYA
HINGGA KE MANCANEGARA
Negeri Kesultanan Deli Darul Maimun
‫كسولتانن دلي‬

Wilayah Kesultanan Deli pada tahun 1930 (pada peta berwarna kuning)

Kesultanan Deli adalah sebuah kesultanan Melayu yang


didirikan pada tahun 1632 oleh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan

Halaman 59 dari 883


di wilayah bernama Tanah Deli dan merupakan salah satu dari 4
subjek federal dari Negara Kedatukan Sunggal (kini Kota Medan
dan Kabupaten Deli Serdang, Indonesia). Kesultanan Deli masih
tetap eksis hingga kini meski tidak lagi mempunyai kekuatan politik
setelah berakhirnya Perang Dunia II dan diproklamasikannya
kemerdekaan Indonesia.

Sejarah Pendirian
Menurut Hikayat Deli, seorang pemuka Aceh bernama
Muhammad Dalik berhasil menjadi laksamana dalam Kesultanan
Aceh. Muhammad Dalik, yang kemudian juga dikenal sebagai
Gocah Pahlawan dan bergelar Laksamana Khuja Bintan (ada pula
sumber yang mengeja Laksamana Kuda Bintan), adalah keturunan
dari Amir Muhammad Badar ud-din Khan, seorang bangsawan dari
Delhi, India yang menikahi Putri Chandra Dewi, putri Sultan
Samudera Pasai. Dia dipercaya Sultan Aceh untuk menjadi wakil
bekas wilayah Kerajaan Haru yang berpusat di daerah Sungai
Lalang-Percut.

Dalik mendirikan Kesultanan Deli yang masih di bawah


Kesultanan Aceh pada tahun 1632. Setelah Dalik meninggal pada
tahun 1653, putranya Tuanku Panglima Perunggit mengambil alih
kekuasaan dan pada tahun 1669 mengumumkan memisahkan
kerajaannya dari Aceh. Ibu kotanya berada di Labuhan, kira-kira
20 km dari Medan.

Sebuah pertentangan dalam pergantian kekuasaan pada


tahun 1720 menyebabkan pecahnya Deli dan dibentuknya

Halaman 60 dari 883


Kesultanan Serdang. Setelah itu, Kesultanan Deli sempat direbut
Kesultanan Siak dan Aceh.

Masa Kolonial

Sultan Ma'moen Al Rasyid Perkasa Alamsyah, Sultan Deli IX (1873-1924).


Pada tahun 1858, Tanah Deli menjadi milik Belanda setelah Sultan
Siak, Sultan Al-Sayyid Sharif Ismail, menyerahkan tanah
kekuasaannya tersebut kepada mereka. Pada tahun 1861,
Kesultanan Deli secara resmi diakui merdeka dari Siak maupun
Aceh. Hal ini menyebabkan Sultan Deli bebas untuk memberikan
hak-hak lahan kepada Belanda maupun perusahaan-perusahaan luar
negeri lainnya.

Pada masa ini Kesultanan Deli berkembang pesat.


Perkembangannya dapat terlihat dari semakin kayanya pihak
kesultanan berkat usaha perkebunan, terutamanya tembakau, dan
lain-lain. Selain itu, beberapa bangunan peninggalan Kesultanan

Halaman 61 dari 883


Deli juga menjadi bukti perkembangan daerah ini pada masa itu,
misalnya Istana Maimun dan Masjid Raya Medan.

Tembakau Deli merupakan komoditas unggul yang sangat


bernilai jual di dunia internasional saat itu. Kemajuan perkebunan
tembakau Deli berawal pada tahun 1862 ketika perusahaan Belanda,
JF van Leuween, mengirimkan ekspedisi ke Tanah Deli yang kala
itu diwakili oleh Jacobus Nienhuys. Setiba di Deli, mereka
menemukan lokasi yang masih perawan, Deli saat itu adalah dataran
rendah berawa-rawa dan mayoritas ditutupi hutan-hutan primer.

Usaha awal ini gagal, JF van Leuween memutuskan mundur


setelah membaca laporan tim perusahaan, tetapi Jacobus Neinhuys
tidak putus asa. Setelah mendapat konsesi tanah dari Sultan
Mahmud Al Rasyid, Neinhuys menanam tembakau di Tanjung
Spasi. Kali ini usahanya berasil, contoh daun tembakau hasil panen
yang dikirim ke Rotterdam diakui sebagai tembakau bermutu tinggi.
Sejak itulah, tembakau Deli yang bibitnya diperkirakan berasal dari
Decatur County, Georgia, Amerika Serikat menjadi terkenal.

Deli Maatschappij, perusahaan perkebunan yang didirikan


oleh Jacobus Neinhuys, P.W. Jenssen, dan Jacob Theodore Cremer,
pada tahun 1870 telah berhasil mengekspor tembakau sedikitnya
207 kilogram. Pada tahun 1883 perusahaan ini mengekspor
tembakau Deli hampir 3,5 juta kilogram, dan ditaksir nilai kekayaan
perusahaan ini mencapai 32 juta gulden pada tahun 1890.
Puncaknya pada awal abad ke-20 ketika Deli Maatschappij tampil

Halaman 62 dari 883


sebagai "raja tembakau Deli". Diperkirakan lebih 92 % impor
tembakau cerutu Amerika Serikat berasal dari Kesultanan Deli.

Sultan Ma'moen Al Rasyid (1873-1924) berusaha melakukan


perubahan sistem pemerintahan dan perekonomian. Perubahan
sistem ekonomi yang dilakukan adalah pengembangan
pembangunan pertanian dan perkebunan dengan cara meningkatkan
hubungan dengan pihak swasta yang menyewa tanah untuk
dijadikan perkebunan internasional. Hubungan tersebut hanya
sebatas antara pemilik dan penyewa. Hasil perkebunan yang
meningkat dan hasil penjualan yang sangat menguntungkan
membuat pihak Belanda semakin ingin memperluas lahan yang
telah ada. Pihak Belanda kemudian melakukan negosiasi baru untuk
mendapatkan lahan yang lebih luas dan lebih baik lagi. Keuntungan
ini tidak hanya didapati oleh pihak swasta saja, pihak kesultanan
juga mendapat hasil yang sangat signifikan. Dana melimpah
kesultanan saat itu digunakan untuk meperbaiki fasilitas
pemerintahan, pertanian, perkebunan, dan lainnya.

Masa Pendudukan Jepang

Kawasan Kesawan di Medan sekitar tahun 1923.

Halaman 63 dari 883


Pada tanggal 12 Maret 1942 mendarat pasukan "Imperial
Guard" (pasukan penjaga kaisar yang sangat terlatih dan terpilih) di
Perupuk Tanjung Tiram (Batubara) di bawah pimpinan Jenderal
Kono dan dari sana mereka segera menuju Medan. Sementara itu
pasukan KNIL dan Stadwacht Belanda berhasil melarikan diri
menuju Tanah Karo untuk bertahan di Gunung Setan (Tanah Alas),
tetapi di tengah jalan banyak orang-orang pribumi yang merampas
pakaian seragam Belanda itu dan kembali ke kampung masing-
masing. Karena sisa pasukan Belanda yang 3.000 orang itu tidak
akan sanggup melawan pasukan Jepang sebanyak 30.000 orang
yang terlatih dan berpengalaman perang, maka pada tanggal 29
Maret 1942 Jenderal Overakker dan Kolonel Gosenson menyerah
kepada Jepang.

Sejak direbutnya Malaya, Singapura, dan Sumatra oleh Bala


Tentara ke 25 Jepang, maka tanggung jawab pemerintahan dipikul
oleh markas Bala Tentara ke 25 yang berkedudukan di Singapura.
Sampai sekitar April 1943, kesatuan pemerintahan masih dipegang
oleh Bala Tentara ke 25 sebelum akhirnya dipindahkan ke
Bukittinggi. Sejak itu pemerintahan administrasi Sumatra dan
Malaya/Singapura terpisah. Di Sumatra, Jepang hampir-hampir
tidak melakukan perubahan sistem pemerintahan yang ada. Setiap
Residen disebut syu dan di bawah pengawasan seorang pejabat
militer yang disebut gunseibu. Eksistensi kesultanan-kesultanan di
Sumatra Timur masih tetap diakui. Bala Tentara ke 25 membagi
Sumatra Timur menjadi 5 pusat konsentrasi militer Jepang, yaitu

Halaman 64 dari 883


sekitar Binjai (Padang Brarang), Sungai Karang (Galang), Dolok
Merangir, Kisaran, dan perkebunan Wingfoot.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan

Sultan Osman Al Sani Perkasa Alamsyah, Sultan Deli XI (1945-1967).

Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa Alamsyah (empat dari kiri), Sultan Deli XIV,
saat menghadiri pembukaan Festival Melayu Agung tahun 2012 di Medan.

Halaman 65 dari 883


Revolusi Sosial Sumatra Timur
Revolusi Sosial Sumatra Timur adalah gerakan sosial di
Sumatra Timur oleh rakyat yang dihasut oleh kaum komunis
terhadap penguasa kesultanan-kesultanan Melayu. Revolusi ini
dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan
sistem monarki dengan alasan antifeodalisme.

Karena sulitnya komunikasi dan transportasi, berita


proklamasi kemerdekaan 17 Agustus baru dibawa oleh Mr. Teuku
Muhammad Hasan selaku Gubernur Sumatra serta Mr. Amir selaku
Wakil Gubernur Sumatra dan diumumkan di Lapangan Fukereido
(sekarang Lapangan Merdeka), Medan pada tanggal 6 Oktober
1945. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan AFNEI di bawah
pimpinan Brigjen. T.E.D. Kelly mendarat di Belawan. Kedatangan
pasukan AFNEI ini diboncengi oleh pasukan NICA yang
dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan dan
membebaskan tawanan perang orang-orang Belanda di Medan.

Meletusnya revolusi sosial tidak terlepas dari sikap beberapa


kelompok bangsawan yang tidak segera mendukung republik
setelah adanya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Beberapa
kelompok bangsawan tidak begitu antusias dengan pembentukan
republik, karena setelah Jepang masuk, Jepang mencabut semua hak
istimewa kaum bangsawan dan lahan perkebunan diambil alih oleh
para buruh. Beberapa bangsawan merasa dirugikan dan berharap
untuk mendapatkan hak-haknya kembali dengan bekerja sama
dengan NICA, sehingga semakin menjauhkan diri dari pihak pro-
republik. Walaupun saat itu juga banyak kaum bangsawan dan

Halaman 66 dari 883


sultan yang mendukung kelompok pro-republik, seperti Amir
Hamzah dari Kesultanan Langkat dan Sultan Sulaiman Syariful
Alamshah dari Kesultanan Serdang.

Sementara itu, pihak pro-republik mendesak kepada komite


nasional wilayah Sumatra Timur agar sistem pemerintahan swapraja
dihapuskan dan menggantikannya dengan pemerintahan demokrasi
rakyat sesuai dengan semangat perjuangan kemerdekaan. Namun
pihak pro-repbulik sendiri terpecah menjadi dua kubu; kubu
moderat yang menginginkan pendekatan secara kooperatif untuk
membujuk beberapa bangsawan dan kubu radikal (yang didukung
kaum komunis) yang menginginkan jalan kekerasan dengan
penggalangan massa para buruh perkebunan.

Revolusi oleh kaum radikal akibat hasutan kaum komunis


pecah pada Maret 1946. Berawal di Kesultanan Asahan, revolusi
menjalar ke seluruh monarki Sumatra Timur, termasuk Kesultanan
Deli. Istana Sultan Deli (Istana Maimun) beserta Sultan dan para
bangsawan berhasil terlindungi karena penjagaan TRI dan adanya
benteng pertahanan tentara sekutu di Medan.

Sultan
Sultan Deli dipanggil dengan gelar Sri Paduka Tuanku
Sultan. Jika mangkat, sang Sultan akan digantikan oleh putranya.
Sultan Deli saat ini adalah Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa
Alamsyah, Sultan Deli XIV, yang bertakhta sejak tahun 2005.

Sistem Pemerintahan

Halaman 67 dari 883


Masjid Raya Al Mashun di Medan.

Istana Maimun di Medan.

Halaman 68 dari 883


Istana Tengku Besar, kediaman putra mahkota Kesultanan Deli di Medan (sekitar
tahun 1900-1940).

Berlainan dengan Kerajaan-Kerajaan Melayu di Sumatra


Timur lainnya, pemerintahan Kesultanan Deli merupakan bagian
dari federasi Kedatukan Sunggal, dengan sistem federasi yang
longgar sesuai dengan pepatah yang terdapat di Deli "Raja Datang,
Orang Besar Menanti". Tuanku Panglima Gocah Pahlawan sebagai
Raja Pertama di Tanah Deli yang ditunjuk oleh Sultan Aceh sebagai
wakilnya di Sumatra Timur atau Tanah Deli. Kemudian penunjukan
Raja berikutnya dilakukan oleh Datuk Sunggal.

Pada masa pemerintahan Panglima Parunggit (Raja Deli II),


Deli memproklamirkan kemerdekaannya dari Kesultanan Aceh pada
tahun 1669 mengikuti jejak-jejak negeri pesisir, dan berhubungan
dagang dengan VOC di Melaka. Pada masa pemerintahan Panglima

Halaman 69 dari 883


Paderap (Raja Deli III) terjadi perluasan wilayah di pesisir pantai
hingga Serdang dan Denai.

Menurut laporan Jhon Anderson yang berkunjung ke Deli


pada tahun 1823, bahwa Sultan Amaluddin Mangendar (Sultan Deli
VI) adalah penguasa Deli pertama yang bergelar "Sultan" setelah
Deli ditaklukan Kesultanan Siak pada tahun 1814. Menurut laporan
Jhon Anderson pula, Sultan Deli dalam memerintah dibantu oleh 8
orang menteri dimana Sultan berkonsultasi soal perang, mengatur
pemerintahan sehari-hari, mengadili perkara pidana, dan lain-lain.

Mereka itu ialah:

• Nakhoda Ngah bergelar Timbal-Timbalu


• Wak-Wak
• Salim
• Tok Manis
• Dolah
• Wakil
• Penghulu Kampong
Di samping menteri–menteri, masih ada lagi Syah Bandar
(Hamad) yang mengurus hubungan perdagangan dan biasanya
dibantu seorang mata-mata (seorang wanita yang pandai bernama
Encek Laut) yang bertugas memungut cukai. Kemudian ada lagi
para pamong praja, penghulu, para panglima, dan mata-mata yang
melaksanakan tugas bila di kehendaki Sultan, serta kurir istana yang
mengantar surat ke berbagai kerajaan.

Halaman 70 dari 883


Jika Sultan mangkat, apabila penggantinya masih belia,
maka Tuan Haji Cut atau Kadi (ulama tertinggi) bertindak dan
melaksanakan semua fungsi pemerintahan kerajaan. Di bidang
agama Islam Tuan Haji Cut juga bertindak sebagai mufti kerajaan,
kemudian di bawahnya ada bilal, imam, khalif, dan penghulu
masjid. Merekalah yang menangani masalah yang berhubungan
dengan keagamaan. Kehidupan mereka diperoleh dari sumbangan
masyarakat.

Rujukan
• (Inggris) http://www.4dw.net/royalark/Indonesia/deli.htm - diakses 23 Juli 2005
• (Indonesia) http://students.ukdw.ac.id/~22992220/home.html Diarsipkan 2005-12-02 di
Wayback Machine. - diakses 23 Juli 2005
• (Indonesia) http://www.waspada.co.id/portal/info_wisata/ Diarsipkan 2009-06-21 di
Wayback Machine. - diakses 21 Juli 2005
• (Indonesia) http://www.istanamaimoon.com/ Diarsipkan 2014-02-22 di Wayback Machine.
- diakses 16 Februari 2014

Halaman 71 dari 883


BAB 5
KERAJAAN INDERAPURA : KERAJAAN
PENGUASA PERDAGANGAN LADA DAN EMAS

Peninggalan Istana Kesultanan Indrapura

Kesultanan Inderapura merupakan sebuah kerajaan yang


berada di wilayah kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat
sekarang, berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan Jambi. Secara
resmi, kerajaan ini pernah menjadi bawahan Kerajaan Pagaruyung
walau pada praktiknya kerajaan ini berdiri sendiri serta bebas
mengatur urusan dalam dan luar negerinya.

Halaman 72 dari 883


Kerajaan ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai
barat Sumatra mulai dari Padang di utara sampai Sungai Hurai di
selatan. Produk terpenting Inderapura adalah lada dan emas.

Pengaruh kekuasaan Kerajaan Inderapura sampai ke Banten


di Pulau Jawa. Berdasarkan Sajarah Banten, Kesultanan Banten
telah melakukan kontak dagang dengan Kerajaan Inderapura yang
ditandai dengan pemberian keris dari Sultan Munawar Syah kepada
Sultan Hasanuddin. Menurut Hamka, Sultan Munawar Syah
menikahkan putrinya dengan Hasanuddin dan menghadiahkan
Silebar (daerah penghasil lada di Bengkulu) kepada Kesultanan
Banten.

Kebangkitan
Inderapura dikenal juga sebagai Ujung Pagaruyung.
Melemahnya kekuasaan Pagaruyung selama abad ke-15, beberapa
daerah pada kawasan pesisir Minangkabau lainnya, seperti
Inderagiri, Jambi, dan Inderapura dibiarkan mengurus dirinya
sendiri. Namun perkembangan Inderapura baru benar-benar dimulai
saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Arus perdagangan
yang tadinya melalui Selat Malaka sebagian besar beralih ke pantai
barat Sumatra dan Selat Sunda. Perkembangan dan ekspansi
Inderapura terutama ditunjang oleh lada.

Kapan tepatnya Inderapura mencapai status negeri merdeka


tidak diketahui dengan pasti. Namun, ini diperkirakan bertepatan
dengan mulai maraknya perdagangan lada di wilayah tersebut pada
pertengahan abad ke-16, didorong usaha penanaman lada di batas

Halaman 73 dari 883


selatan Inderapura mencapai Silebar (sekarang di Provinsi
Bengkulu). Pada masa ini, Inderapura telah menjalin persahabatan
dengan Banten dan Aceh.

Perekonomian
Berdasarkan laporan Belanda, pada tahun 1616 Inderapura
digambarkan sebagai sebuah kerajaan yang makmur di bawah
pemerintahan Raja Itam, serta sekitar 30.000 rakyatnya terlibat
dalam pertanian dan perkebunan yang mengandalkan komoditas
beras dan lada. Selanjutnya pada masa Raja Besar sekitar tahun
1624, VOC berhasil membuat perjanjian dalam pengumpulan hasil
pertanian tersebut langsung dimuat ke atas kapal tanpa mesti
merapat dulu di pelabuhan, serta dibebaskan dari cukai pelabuhan.
Begitu juga pada masa Raja Puti, pengganti Raja Besar, Inderapura
tetap menerapkan pelabuhan bebas cukai dalam mendorong
perekonomiannya.

Setelah ekspedisi penghukuman tahun 1633 oleh Kesultanan


Aceh, sampai tahun 1637 Inderapura tetap tidak mampu
mendongkrak hasil pertaniannya mencapai hasil yang telah
diperoleh pada masa-masa sebelumnya. Di saat penurunan pengaruh
Aceh, Sultan Muzzaffar Syah mulai melakukan konsolidasi
kekuatan, yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya Sultan
Muhammad Syah yang naik tahta sekitar tahun 1660 dan mulai
kembali menjalin hubungan diplomatik dengan Belanda dan Inggris.

Pasca Iskandar Muda

Halaman 74 dari 883


Di bawah Sultan Iskandar Muda, kesultanan Aceh
memerangi negeri-negeri penghasil lada di Semenanjung Malaya
sambil berusaha memperkuat cengkeramannya atas monopoli lada
dari pantai barat Sumatra. Kendali ketat para wakil Aceh (disebut
sebagai panglima) di Tiku dan Pariaman atas penjualan lada
mengancam perdagangan Inderapura lewat pelabuhan di utara.
Karena itu Inderapura mulai mengembangkan bandarnya di selatan,
Silebar, yang biasanya digunakan untuk mengekspor lada lewat
Banten.

Inderapura juga berusaha mengelak dari membayar cukai


pada para panglima Aceh. Ini memancing kemarahan penguasa
Aceh yang mengirim armadanya pada 1633 untuk menghukum
Inderapura. Raja Puti yang memerintah Inderapura saat itu dihukum
mati beserta beberapa bangsawan lainnya, dan banyak orang
ditawan dan dibawa ke Kotaraja. Aceh menempatkan panglimanya
di Inderapura dan Raja Malfarsyah diangkat menjadi raja
menggantikan Raja Puti.

Kendali Aceh melemah ketika dipimpin pengganti Iskandar


Muda, Sultan Iskandar Tsani. Selanjutnya, pada masa pemerintahan
Ratu Tajul Alam pengaruh Aceh di Inderapura mulai digantikan
Belanda (VOC). Dominasi VOC diawali ketika Sultan Muhammad
Syah meminta bantuan Belanda memadamkan pemberontakan di
Inderapura pada tahun 1662. Pemberontakan ini dipicu oleh
tuntutan Raja Adil yang merasa mempunyai hak atas tahta
Inderapura berdasarkan sistem matrilineal. Akibatnya, Sultan
Inderapura terpaksa melarikan diri beserta ayah dan kerabatnya.

Halaman 75 dari 883


Kemudian Sultan Mansur Syah, dikirim ke Batavia menanda-
tangani perjanjian yang disepakati tahun 1663 dan memberikan
VOC hak monopoli pembelian lada serta hak pengerjaan tambang
emas. Pada Oktober 1663 pemerintahan Inderapura kembali pulih,
dan Sultan Inderapura mengakui Raja Adil sebagai wakilnya yang
berkedudukan di Manjuto

Pemerintahan
Secara etimologi, Inderapura berasal dari bahasa Sanskerta,
dan dapat bermakna Kota Raja. Inderapura pada awalnya adalah
kawasan rantau dari Minangkabau, merupakan kawasan pesisir di
pantai barat Pulau Sumatra. Sebagai kawasan rantau, Inderapura
dipimpin oleh wakil yang ditunjuk dari Pagaruyung dan bergelar
Raja kemudian juga bergelar Sultan. Raja Inderapura
diidentifikasikan sebagai putra Raja Alam atau Yang Dipertuan
Pagaruyung.

Wilayah kekuasaan

Salah satu makam raja Inderapura

Halaman 76 dari 883


Pada akhir abad ke-17, pusat wilayah Inderapura mencakup
lembah sungai Air Haji dan Batang Inderapura, terdiri atas dua
puluh koto. Masing-masing koto diperintah oleh seorang menteri,
yang berfungsi seperti penghulu di wilayah Minangkabau lainnya.
Sementara pada daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah
Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai Negeri Empat Belas Koto),
dan Muko-muko (Lima Koto), sistem pemerintahannya tidak jauh
berbeda.

Untuk kawasan utara, disebut dengan Banda Sapuluah


(Bandar Sepuluh) yang dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4 orang
yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja
Kambang, Raja Palangai). Kawasan ini merupakan semacam
konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang juga masing-
masing dipimpin oleh 10 orang penghulu.

Pada kawasan bagian selatan, di mana sistem pemerintahan


yang terdiri dari desa-desa berada di bawah wewenang peroatin
(kepala yang bertanggung jawab menyelesaikan sengketa di muara
sungai). Peroatin ini pada awalnya berjumlah 59 orang (peroatin nan
kurang satu enam puluh). Para menteri dan peroatin ini tunduk pada
kekuasaan raja atau sultan.

Daftar Raja Inderapura


Berikut adalah daftar Raja Inderapura:

Tahu Nama atau gelar Catatan dan peristiwa penting


n

Halaman 77 dari 883


Sultan Munawar Syah
1550
Raja Mamulia
Nama lainnya adalah Putri Rekna
1580 Raja Dewi
Candra Dewi
1616 Raja Itam

1624 Raja Besar

1625 Raja Puti Nama lainnya Putri Rekna Alun


Sultan Muzzaffar Syah
1633
Raja Malfarsyah
Sultan Muhammad
1660 Raja Adil menuntut hak yang sama.
Syah
Sultan Gulemat putra Raja Adil
1691 Sultan Mansur Syah berkedudukan di Manjuto melepaskan
diri dari Inderapura.
1696 Raja Pesisir

1760 Raja Pesisir II

1790 Raja Pesisir III

Referensi
• Puti Balkis Alisjahbana, 1996, Natal ranah nan data. Jakarta: Dian Rakyat
• Rusli Amran, 1981, Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan
• Rusli Amran, 1985, Sumatra Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan
• Stibe, 1939, Encyclopedie Van Nederlansch Indie. S. Graven Hage: Arsip Nasional
• Herwandi, 2003, Rakena: Mandeh Rubiah penerus kebesaran bundo kanduang dalam
penggerogotan tradisi, Padang: Museum Adityawarman
• A. Samad Idris, 1990, Payung Terkembang, Kuala Lumpur: Pustaka Budiman

Halaman 78 dari 883


BAB 6
KESULTANAN SUWAWA KERAJAAN TERTUA DI
SEMENANJUNG UTARA SULAWESI

Kiri ke Kanan : Ismail Usman (Jogugu Suwawa), Rais Monoarfa (Jogugu


Gorontalo, Ayuba Wartabone (Jogugu Limboto), A. Datau (Jogugu Kwandang) -
Manado 1931

Kesultanan Suwawa, atau sering disebut juga Kerajaan


Suwawa merupakan kerajaan tertua di wilayah Semenanjung Utara
Sulawesi. Kerajaan ini pun menjadi salah satu kerajaan tertua di
Pulau Sulawesi, Indonesia. Kerajaan Suwawa dikenal pula dengan
nama Kerajaan Tuwawa atau Pohala'a Suwawa.

Berdasarkan catatan sejarah, Kesultanan Suwawa juga


disebut sebagai "Tiyombu" atau leluhur dari seluruh kesultanan-
kesultanan yang ada di jazirah Gorontalo. Kerajaan ini terbentuk
sejak abad ke-6, atau sekitar tahun 500 Masehi.
Halaman 79 dari 883
Sejarah Asal mula Suwawa
Mengenang sejarah lahirnya Suwawa di bumi Gorontalo,
dapat ditelusuri dari berbagai cerita masyarakt yang diwariskan
secara turun temurun. Secara umum, berbagai cerita masyarakat dan
catatan sejarah yang ada membenarkan bahwa wilayah Gorontalo
dulu hanya berupa gunung-gunung yang menjulang ditengah lautan.

Terdapat 3 (tiga) buah Gunung saat itu yang disebutkan


sebagai wilayah pertama yang dihuni manusia sehingga disebut pula
dengan nama Huidu Totolu atau Tiga Gunung atau Goenong Tellu
dan akhirnya berkembang dan menjadi nama Gorontalo saat ini.
Tiga gunung tersebut yakni Gunung Tilongkabila, Gunung Gambuta
dan Gunung Malenggalila. Dari cerita lain juga disebutkan bahwa
nama Gorontalo berasal dari kata Goenong Tellu yang juga
bermakna tiga gunung yang disematkan oleh para perantau dari
pulau seberang yang singgah ke wilayah tersebut.

Konon ketiga nama gunung tersebut merupakan nama


orang-orang pertama yang bermukim di wilayah Gorontalo. Gunung
Tilongkabila berasal dari nama manusia pertama yang ada disana
yaitu Tilongkabila yang berjenis kelamin perempuan. Sementara di
Gunung Gambuta, terdapat seorang manusia pertama yang berjenis
kelamin laki-laki bernama Mooduliyo. Begitu juga dengan Gunung
Malenggalila yang merepresentasikan seorang lelaki pertama yang
hidup disana. Ketiga manusia tersebut menurut catatan sejarah
purba Suwawa juga dikaitkan dengan kisah Nabi Nuh a.s. dan
pengikutnya yang selamat dari bencana banjir bandang.

Halaman 80 dari 883


Mooduliyo dan Tilongkabila bertemu di suatu lembah
dataran tinggi diantara ketiga gunung tadi. Lembah tersebut
sangatlah luas dan terang, hingga akhirnya tempat tersebut diberi
nama dataran tinggi Bangio (Bangio merupakan nama tempat dari
Bahasa Suwawa). Keduanya kemudian menikah dan memiliki
keturunan yang kelak menjadi leluhur peradaban masyarakat
Suwawa pada khususnya dan masyarakat Gorontalo pada umumnya.

Pembentukan
Salah satu keturunan dari pernikahan Mooduliyo dan
Tilongkabila yang terkenal adalah Putri Peedaa atau Pi'i Da'a. Putri
Peedaa atau Pi'i Da'a dikenal arif dan bijaksana, dialah konon
pencetus lahirnya dua kelompok masyarakat yang termasyur
dikalangan adat Gorontalo.

Dua kelompok masyarakat tersebut yakni:

• Pidodotiya
• Witohiya
Kedua kelompok yang dibentuk tersebut kemudian beranak
pinak dan membentuk kelompok masyarakat awal Suwawa atau
cikal bakal penduduk Gorontalo pada abad ke-4 Masehi. Dalam
perkembangannya, kedua kelompok ini pun berunding dan
menyetujui dibentuknya Pohala'a Tuwawa atau Kerajaan Suwawa
pada tahun 500 Masehi.

Adapun pemimpin pertama Kerajaan Suwawa adalah


seorang perempuan bergelar Olongia dengan nama Ayudugiya.

Halaman 81 dari 883


Dalam catatan sejarah, Olongiya Ayudugiya atau Ratu Ayudugiya
memerintah sejak tahun 500 Masehi hingga tahun 579 Masehi.

Masuknya agama Islam


Raja Suwawa yang pertama kali memeluk agama Islam
adalah Mooduto.[5] Raja Mooduto tercatat memeluk agama Islam
saat memerintah Kerajaan Suwawa pada abad ke-14.

Etimologi
Nama ‘Suwawa’ menurut beberapa sumber, berasal dari kata
Tuwawa dalam bahasa Suwawa atau kata Tuwawa’a dalam bahasa
Gorontalo. Kedua kata tersebut bermakna Tuwawu atau satu yang
diserap dari kata Towawa’a yang artinya ‘satu tubuh’ atau ‘satu
badan’.

Makna dari kata Towawa’a tersebut hingga saat ini beragam


namun memiliki keselarasan. Ada yang memaknainya sebagai suatu
kesatuan sosial berdasarkan genealogi, teritorial, dan kultural
masyarakat Suwawa. Artinya, masyarakat Suwawa merupakan suatu
kesatuan masyarakat yang terintegrasi secara emosional berdasarkan
faktor kekeluargaan, wilayah dan budaya.

Ibukota
Dengan diangkatnya Ayudugiya sebagai maha ratu pertama,
hal ini menandakan awal dimulainya masa-masa kerajaan Suwawa.
Wilayah dan ibukota kerajaannya pun ditetapkan berada di kawasan
dataran tinggi Bangio beserta didirikannya bangunan "Leda-Leda"
sebagai Istana Kerajaan. Bangio sendiri merupakan sebuah wilayah

Halaman 82 dari 883


dataran tinggi yang kini bernama Pinogu dan masuk menjadi
wilayah Kabupaten Bone Bolango.

Referensi
• ^ Wantogia, H. D., & Wantogia, H. J. (1980). Sejarah Gorontalo: Asal-usul dan Terbentunya
Kerajaan Suwawa, Limboto dan Gorontalo.
• ^ Syam, Muis (2019-09-03). "Mengintip Persatuan dan Kerukunan Masyarakat di "Kerajaan"
Suwawa". DM1. Diakses tanggal 2023-02-03.
• ^ Usman, A. J. (1972). Sejarah kerajaan Suwawa dan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Utara. AJ
Usman.
• ^ Umar, F. (2020). Cerminan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Suwawa Dalam Bingkai
Tradisi Dan Modernitas. Jambura Journal of Linguistics and Literature, 1(1).
• ^ Samsudin, F. Y., Musadad, A. A., & Pelu, M. (2022). ISLAMISASI DAN PENINGGALANNYA DI
GORONTALO. Penerbit Lakeisha.

Halaman 83 dari 883


BAB 7
KESULTANAN PEUREULAK NEGERI YANG
PERNAH DISINGGAHI MARCOPOLO

Istana Peureulak

Kesultanan Peureulak atau Kesultanan Perlak adalah


kerajaan Islam di Indonesia dan merupakan kesultanan yang
berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang
disebut-sebut antara tahun 840 sampai dengan tahun 1292.
Peureulak atau Perlak terkenal sebagai suatu daerah penghasil
kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal,
dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama "Negeri Perlak".

Halaman 84 dari 883


Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak
berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-8,
disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan
Persia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di
daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara
saudagar muslim dengan perempuan setempat.

Geografis Kerajaan Peureulak


Selat Malaka sejak zaman dahulu terkenal sebagai jalur
perdagangan utama Nusantara. Pedagang dari berbagai penjuru
dunia berlayar melalui selat tersebut untuk melakukan perdagangan,
dari selat tersebut masuk lah ajaran agama-agama baru ke
Nusantara. Sebelum berdirinya Kesultanan Malaka, pelayaran selat
Malaka tidak melalui pantai Semenanjung Malaya, melainkan
melalui sisi barat Selat Malaka menyisiri pantai-pantai Sumatera.
Kota pelabuhan terpenting pada waktu itu adalah Melayu yang
terletak di muara Sungai Batanghari, Jambi.

Pada bulan Desember-Maret di sebelah utara khatulistiwa


bertiup lah angin musim timur laut, yang memungkinkan kapal-
kapal dagang India dan negeri Cina berlayar ke perairan Selat
Malaka. Kapal-kapal tersebut bertahan di perairan Selat Malaka
hingga bulan Mei, sebelum mereka berlayar untuk kembali ke
negeri masing-masing dengan memanfaatkan angin musim barat
daya.

Hasil bumi Sumatera turut meramaikan perdagangan


internasional di Selat Malaka. Daerah penghasil lada yang utama

Halaman 85 dari 883


pada waktu itu adalah Aceh. Menurut para pedagang Arab dan Cina
penanaman lada di Aceh telah dimulai sejak abad ke-9, yakni di
daerah-daerah Perlak, Lamuri, dan Samudra.

Meskipun demikian lada bukan lah tanaman asli Aceh,


melainkan tanaman dari Malagasi (Madagaskar). Para pedagang
dari Arab dan Persia membawa lada ke Aceh dan mencoba
menanamnya di daerah tersebut. Dari percobaan tersebut ternyata
tanah dan iklim Aceh sangat cocok untuk membudidayakan
tanaman lada.

Dalam waktu singkat Aceh pun tumbuh menjadi daerah


penghasil dan pengekspor terbesar lada pada masa itu. Bandar
Perlak dijadikan bandar utama di pantai timur Sumatera bagian
utara. Wilayah tersebut terus tumbuh dan berkembang hingga
menjadi kota perdagangan internasional, yang banyak disinggahi
pedagang dari penjuru dunia, termasuk pedagang muslim.

Hikayat Aceh
Naskah Hikayat Aceh mengungkapkan bahwa penyebaran
Islam di bagian utara Sumatra dilakukan oleh seorang ulama Arab
yang bernama Syeikh Abdullah Arif pada tahun 506 H atau 1112 M.
Lalu berdirilah kesultanan Peureulak dengan sultannya yang
pertama Alauddin Syah yang memerintah tahun 520–544 H atau
1161–1186 M. Sultan yang telah ditemukan makamnya adalah
Sulaiman bin Abdullah yang wafat tahun 608 H atau 1211 M.

Buku Zhufan Zhi (諸蕃志), yang ditulis Zhao Rugua tahun


1225, mengutip catatan seorang ahli geografi, Chou Ku-fei, tahun
Halaman 86 dari 883
1178 bahwa ada negeri orang Islam yang jaraknya hanya lima hari
pelayaran dari Jawa. Mungkin negeri yang dimaksudkan adalah
Peureulak, sebab Zhufan Zhi menyatakan pelayaran dari Jawa ke
Brunei memakan waktu 15 hari. Eksistensi negeri Peureulak ini
diperkuat oleh musafir Venesia yang termasyhur, Marco Polo, satu
abad kemudian. Ketika Marco Polo pulang dari Tiongkok melalui
laut pada tahun 1291, dia singgah di negeri Ferlec yang sudah
memeluk agama Islam.

Perkembangan dan pergolakan


Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana
Abdul Aziz Shah bin Ali Al-Muktabar bin Muhammad Ad-Dibaj bin
Ja'far Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin
bin Sayyidina Husein bin Sayyidina Ali dan Sayyidatina Fatimah
Az-Zahra Putri Rasulullah SAW, yang beraliran Syi'ah dan
merupakan keturunan Rasulullah ‫ ﺻــﻠﻰ ﷲ ﻋــﻠﯿﮫ وﺳــﻠﻢ‬ayahnya menikah
dengan perempuan setempat di aceh yaitu anak sultan perlak aceh,
yang mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840
M). Ia mengubah nama ibu kota kerajaan dari Bandar Perlak
menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah
Mahdum Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo,
Peureulak, Aceh Timur.

Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed


Maulana Abbas Shah, islam mulai luas dikenal ke Perlak. Setelah
wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara
antara kaum muslimin korban adu domba sehingga selama dua
tahun berikutnya tak ada sultan.
Halaman 87 dari 883
Sultan Ali Mughat Shah yang beraliran Syi'ah memenangkan
perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin Syed
Maulana Ali Mughat Shah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya
terjadi lagi pergolakan antara kaum muslimin sebab adu domba
yang kali ini dimenangkan oleh Sultan Abdul Malik Shah Johan
Berdaulat, sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan
Johan Berdaulat.

Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan


ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan
Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun
antara kuaum muslimin yang diakhiri dengan perdamaian dan
pembagian kerajaan menjadi dua bagian:

• Perlak Pesisir (Syi'ah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed


Maulana Shah (986 – 988)
• Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023)
Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal sewaktu
Kedatuan Sriwijaya menyerang Perlak dan seluruh Perlak kembali
bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Ibrahim Shah Johan Berdaulat yang melanjutkan perjuangan
melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.

Serangan Sriwijaya
Pada tahun 986 M, Kedatuan Sriwijaya (Kerajaan bercorak
Buddha di Nusantara) menyerang Kesultanan Peureulak Pesisir.
Peperangan hebat pun pecah yang melibatkan pasukan kedua

Halaman 88 dari 883


kerajaan tersebut. Dalam perang ini, Sultan Peureulak Pesisir, yaitu
Sultan Alaiddin Syad Maulana Mahmud Syah gugur dalam
peperangan.

Pasca gugurnya Sultan Peureulak Pesisir, wilayah kesultanan


Perlak secara keseluruhan akhirnya dikuasai oleh Sultan Peureulak
Pedalaman. Kehadiran pasukan Sriwijaya di wilayah Peureulak,
segera direspon oleh Sultan Malik Ibrahim Syah dengan
mengobarkan semangat rakyat Peureulak untuk melawan Sriwijaya.

Pertempuran besar pun terjadi selama bertahun-tahun.


Perang antara kedua kerajaan itu baru berakhir pada tahun 1006 M,
ketika Sriwijaya memutuskan mundur dari pertempuran untuk
bersiap menghadapi serangan raja Dharmawangsa dari Kerajaan
Medang di Jawa.

Dengan berakhirnya perang antara Kesultanan Peureulak


dan Kedatuan Sriwijaya, wilayah Peureulak secara keseluruhan
dipimpin oleh keturunan Sultan Malik Ibrahim Syah. Pada masa ini
kondisi Kesultanan Perlak relatif damai, tanpa adanya peperangan
melawan kerajaan luar.

Penyatuan dengan Samudera Pasai


Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (memerintah 1230 –
1267) menjalankan politik persahabatan dengan menikahkan dua
orang putrinya dengan penguasa negeri tetangga Peureulak:

Halaman 89 dari 883


• Putri Ratna Kamala, dikawinkan dengan Raja Kerajaan
Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara).
• Putri Ganggang, dikawinkan dengan Raja Kerajaan
Samudera Pasai, Al Malik Al-Saleh.
Sultan terakhir Perlak adalah sultan ke-18, Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (memerintah 1267 –
1292). Setelah ia meninggal, Perlak disatukan dengan Kerajaan
Samudera Pasai di bawah pemerintahan sultan Samudera Pasai,
Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra Al Malik Al-Saleh.

Daftar Sultan Perlak


Sultan-sultan Perlak dapat dikelompokkan menjadi dua
dinasti: dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan
Berdaulat. Berikut daftar sultan yang pernah memerintah Perlak.

1. Sultan Marhum ‘Alauudin Sayyid Maulana ‘Abdul ‘Aziz


Syah Zhillullah fil ‘Alam pada tahun 1225 hijriah (1810 M).
2. Sultan ‘Alauddin Sayyid Maulana ‘Abdurrahim Syah
Zhillullah fil ‘Alam 1249 hijriah (1833 M).
3. Sultan Marhum ‘Alauddin Sayyid Maulana ‘Abbas Syah
Zhillullah fil ‘Alam1285 hijriah (1868 M).
4. Sultan Marhum ‘Alauddin Sayyid ‘Ali Mughayat Syah
Zhillullah fil ‘Alam1302 hijriah (1885 M).
5. Sultan Marhum ‘Alauddin ‘Abdul Qadir Syah Johan
Berdaulat Zhillullah fil ‘Alam 1305 hijriah (1887 M).
6. Sultan Marhum ‘Alauddin Muhammad Amin Syah
Zhillullah fil ‘Alam 1309 hijriah (1892 M).

Halaman 90 dari 883


7. Marhum ‘Alauddin ‘Abdul Malik Syah Zhillullah fil ‘Alam
1327 hijriah (1909 M).
8. Sultan Marhum ‘Alauddin Sayyid Mahmud Syah Zhilullah
fil ‘Alam 1349 hijriah (1930 M).

Referensi
• ^ "3 Kerajaan Islam Berpengaruh di Aceh". Republika Online. 2016-08-29. Diakses tanggal
2020-06-12.
• ^ "Sejarah Kerajaan Perlak - Pengertian, Perkembangan dan Pergolakan". RuangGuru.co
(dalam bahasa Inggris). 2020-05-13. Diakses tanggal 2020-06-12.
• ^ "Mengenal 5 Kerajaan Islam Tertua di Indonesia". Kelas Pintar (dalam bahasa Inggris).
2019-08-29. Diakses tanggal 2020-06-12.
• ^ "Kesultanan Perlak, Negara Islam Pertama di Tanah Melayu (840 – 1292 M)". IslamToday
(dalam bahasa Inggris). 2019-06-24. Diakses tanggal 2020-06-12.
• ^ Teuku Iskandar, Hikayat Aceh, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1958. Suwedi Montana,
“Nouvelles donees sur les royaumes de Aceh”, Archipel, 53, 1997, hh. 85-95.
• ^ F. Hirth dan W. W. Rockhill, h. 76.
• ^ Sir Henry Yule, The Book of Marco Polo, II, London, 1903, h. 284.
• ^ Siti Rahmah. Perempuanku Sayang, Perempuanku Malang. Diarsipkan 2011-01-06 di
Wayback Machine.
• ^ "Perlak, Kerajaan Islam Pertama di Indonesia". Diakses tanggal 2020-06-12.
• ^ "Minta Merdeka, Sriwijaya Menyerang Kesultanan Peureulak". Sejarah Cirebon. Diakses
tanggal 2020-06-12.
• ^ Fathoni, Rifai Shodiq (2016-12-28). "Kesultanan Perlak (840-1292 M)". Wawasan Sejarah
(dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-12.
• ^ Lompat ke:
a b c d e f g h Musafir Zaman, Mapesa Aceh (April 09, 2016). "Lembaran Naskah "Izhharul

Haq"". Mapesa Aceh, Masyarakat Peduli Sejarah Aceh. Diakses tanggal 12-12-2019.

Halaman 91 dari 883


BAB 8
KERAJAAN YANG TELAH MEMELUK ISLAM
SEJAK ABAD KE 13 : KERAJAAN ARU

Istana Kerajaan Aru

Kerajaan Aru (aksara Jawi: ‫ ;ﻛـــﺮاﺟـــﺄن ارو‬atau Haru) adalah


kerajaan yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatra Utara
dan berkuasa pada kurun abad ke-13 sampai abad ke-16 Masehi.
Pada masa jayanya kerajaan ini adalah kekuatan bahari yang cukup
hebat, dan mampu mengendalikan kawasan bagian utara Selat
Malaka.

Kerajaan ini pada awalnya didirikan oleh orang Karo


sebagai suatu bentuk negara berpemerintahan. Penduduk asli
menjalankan kepercayaan animisme juga Hinduisme. Pada abad

Halaman 92 dari 883


ke-13 Masehi, ajaran Islam datang dan kemudian juga dipratikkan
bersamaan dengan ajaran asli setempat yang sudah ada. Ibu kota
Aru terletak dekat dengan Kota Medan dan Deli Serdang. Penduduk
kerajaan Aru dipercaya merupakan keturunan orang-orang Karo
yang menghuni pedalaman Sumatera Utara.

Historiografi
Catatan sejarah terawal yang menyebut Kerajaan Haru
adalah berasal dari catatan Tiongkok dari Dinasti Yuan (akhir abad
ke-13 Masehi). Kerajaan ini juga disebut-sebut dalam sumber
catatan Tiongkok dari zaman berikutnya, yakni Yingya Shenglan
(1416) dari zaman Dinasti Ming.

Kerajaan Haru juga disebut dalam catatan naskah-naskah


Jawa, yakni kitab Nagarakretagama (1365) dan Pararaton (sekitar
abad ke-15 Masehi). Nama kerajaan ini disebutkan dalam Pararaton,
yang tepatnya disebut di dalam Sumpah Palapa:

“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti


palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun
amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura,
ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, samana ingsun amukti palapa”
Dalam bahasa Indonesia mempunyai arti:

“Dia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin


melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah
mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan
puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru,

Halaman 93 dari 883


Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah
saya (baru akan) melepaskan puasa
dalam Kakawin Nagarakretagama sebagai negara bawahan
sebagaimana tertulis dalam pupuh 13 paragraf 1 dan 2.

lwir niɳ nusa pranusa pramukha sakahawat / ksoni ri


malayu, naɳ jambi mwaɳ palembaɳ karitan i teba len /
darmmaçraya tumut, kandis kahwas manankabwa ri siyak i rkan /
kampar mwan i pane, kampe harw (haru) athawe mandahilin i
tumihaɳ parllak / mwan i barat.
Terjemahan:

“Terperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu


M’layu: Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya pun ikut juga
disebut Daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan,
Kampar dan Pane Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang,
negara Perlak dan Padang
Sementara itu dalam catatan Portugis Suma Oriental yang
ditulis pada awal abad ke-16 Masehi menyebutkan Aru sebagai
kerajaan yang makmur. Suma Oriental menyebutkan bahwa
kerajaan ini merupakan kerajaan yang kuat Penguasa Terbesar di
Sumatra yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki
pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing. Dalam
laporannya, Tomé Pires juga mendeskripsikan akan kehebatan
armada kapal laut kerajaan Aru yang mampu melakukan
pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Melaka pada
masa itu.

Halaman 94 dari 883


Dalam Kitab Melayu Sulalatus Salatin, menyebut Kerajaan
Haru sebagai salah satu kerajaan yang cukup berpengaruh di
kawasan. Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya
dengan Malaka dan Pasai. Peninggalan arkeologi yang dihubungkan
dengan Kerajaan Haru telah ditemukan di Kota China dan Kota
Rantang.

Wilayah kekuasaan
Bekas wilayah kerajaan Haru atau Aru sekarang terletak di
provinsi Sumatra Utara. Secara tradisional, lokasi Haru atau Aru
dikaitkan dengan negara penerusnya, yakni Kesultanan Deli, yang
kini terletak di sekitar kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang.
Pendapat ini diajukan oleh seorang orientalis Inggris Winstedt.
Akan tetapi, Groenveldt, seorang sejarawan Belanda, berpendapat
bahwa pusat ibu kota kerajaan Haru terletak jauh ke tenggara, yakni
dekat muara sungai Barumun dan Panai, di Kabupaten
Labuhanbatu, dan karena itu terkait dengan pendahulunya yaitu
Kerajaan Pannai yang bercorak agama Buddha. Gilles mengajukan
pendapat bahwa ibu kotanya terletak dekat Pelabuhan Belawan,
sementara sejarahwan lain mengajukan pendapat bahwa lokasi pusat
kerajaan Aru terletak di dekat muara Sungai Wampu dekat Teluk
Haru, Kabupaten Langkat.

Situs Kota Cina di kawasan Medan Marelan, dan situs


Benteng Putri Hijau di Deli Tua, Namorambe, Kabupaten Deli
Serdang, adalah situs-situs arkeologi di dekat kota Medan, yang
dikaitkan dengan Kerajaan Aru. Situs arkeologi Benteng Putri
Hijaukini tengah terancam proyek pembangunan hunian. Situs
Halaman 95 dari 883
arkeologi lainnya adalah Kota Rentang di daerah Hamparan Perak,
Kabupaten Deli Serdang, yang diajukan oleh ahli arkeologi sebagai
lokasi ibu kota Kerajaan Aru.

Sejarah
Kondisi Benteng tersebut melingkupi areal berukuran ± 732
x 250 meter atau memiliki luas sekitar 17 ha. Batas-batas Benteng
Putri Hijau adalah sebagai berikut : di sebelah utara berbatasan
dengan pemukiman penduduk yang menempati areal di luar maupun
di dalam benteng. Sebelah barat sebagian merupakan areal yang
berbatasan dengan tebing curam, terutama yang terletak di sisi
sebelah baratlaut. Sebagian lagi berbatasan dengan areal landai yang
saat ini dimanfaatkan sebagai perladangan. Demikian juga dengan
sisi selatan berbatasan dengan perladangan penduduk, sedangkan di
sebelah timur benteng tanah menghadap langsung ke jurang, di
mana terdapat hulu aliran Sungai Deli yang disebut Sungai Petani
(Lau Tani).

Di luar benteng tanah terdapat parit-parit buatan yang


mengelilingi. Benteng tanah, maupun parit buatan berukuran lebar
mencapai 4 meter, bahkan lebih. kedalaman parit mencapai lebih
dari 2 meter. Adapun bangunan benteng tanah di beberapa tempat,
berukuran tinggi mencapai hingga 6-7 meter. Pintu masuk utama
benteng pada masa lalu diperkirakan terletak di sebelah timur, tepat
di sebelah pemandian Putri Hijau (Pancuran Gading). Bagian pintu
masuk benteng merupakan dinding tebing yang dilandaikan. Di
samping kiri-kanan pintu masuk tersebut terdapat dinding tanah
berukuran cukup tinggi.
Halaman 96 dari 883
Di beberapa tempat tampaknya terdapat pemotongan bagian
benteng. Tidak diketahui secara pasti, apakah pemotongan dinding
benteng merupakan sisa aktivitas masa lalu atau dilakukan pada
masa belakangan. Benteng tanah juga mengalami kerusakan akibat
aktivitas masa. Dalam bukunya yang berjudul “Bangun dan
Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur”, Tuanku Lukman
Sinar menyebutkan bahwa pada tahun 1869, Kontelir Cats de Raet
menemukan sebuah meriam (lela) yang telah diserahkan ke
Museum Pusat di Jakarta dengan kapal Baron Sloet v.d. Beele. Pada
meriam tersebut terdapat pertulisan dalam aksara Melayu/Jawi yang
berbunyi “Sanat….03 Alamat Balun Haru”. Sanat…03 Tidak Jelas,
Namun Apabila 03 Berarti Tahun 1003 Hijriyah, Berarti Cocok
Dengan 1539 Masehi, yang menurut Pinto merupakan
ditaklukkannya Haru oleh Sultan Aceh, Al Qahhar. “Alamat Balun
Haru” dapat juga berarti Alamat sadar (siuman) Haru, tetapi dalam
bahasa Aceh dapat berarti: “Dalam Tahun ….03, di tempat saya
menyerahkan Haru kepada Tuanku”. Dalam Bahasa Melayu
“Balun” juga berarti “sadar” atau juga “dilibas”.Terlepas dari isi/arti
pertulisan tersebut, di tengah-tengah benteng Putri Hijau telah
didapatkan bukti tentang nama Haru.

Temuan peluru senjata api berbahan timah, menunjukkan


bahwa di situs tersebut pernah terjadi perang atau setidaknya
senapan yang ditembakkan. Apabila kepemilikan senjata api
tersebut sejaman dengan peperangan yang terjadi antara Kerajaan
Aceh dan Aru maka senjata api tersebut kemungkinan berasal dari
Turki. Senjata api jenis senapan laras panjang itu umum digunakan

Halaman 97 dari 883


pada abad ke 15-19, yang dikenal dengan sebutan musket atau
tufenk. Senapan-senapan tersebut dibawa ke Deli Tua dari Negara
asal pembuatnya (Turki) oleh tentara Aceh atau sepasukan tentara
Turki sendiri yang diperbantukan untuk menyerang wilayah
kekuasaan kerajaan di Deli Tua

Selain itu terdapat temuan berupa koin Aceh yang


diperkirakan berasal dari abad ke XVII. Keberadaan mata uang
Aceh berkaitan dengan kedatangan dan atau digunakan koin-koin
Aceh untuk transaksi perdagangan. Hal ini tentu saja sangat
memungkinkan, mengingat keberadaan Kesultanan Aceh pada
waktu yang sama, bahkan sebelumnya telah mengeluarkan mata
uang resmi kerajaan untuk perdagangan, sehingga tidak mustahil
apabila koin-koin yang beredar di Kerajaan Aceh juga beredar di
Kerajaan Aru, untuk memperlancar transaksi perdagangan yang
dilakukan oleh kedua belah pihak.

Hubungan dagang antara Kerajaan Aru (Deli Tua) pada masa


yang cukup lama juga telah dilakukan dengan bangsa-bangsa lain
seperti India dan Cina. Melalui hubungan perdagangan secara tidak
langsung juga berpengaruh pada kontak-kontak kebudayaan, yang
dilakukan dengan Cina ataupun India. E.E. Mc Kinnon
menyebutkan bahwa walaupun bukti-bukti secara fisik sangat jarang
ditemukan, kebudayaan masyarakat batak sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan yang berasal dari batak.

Bukti-bukti adanya kontak dengan Cina secara fisik dapat


diketahui, dari adanya bukti berupa temuan keramik yang tersebar

Halaman 98 dari 883


di situs Benteng Putri Hijau. Berdasarkan hasil analisis temuan
keramik yang ditemukan di Deli Tua dari hasil penggalian yang
dilakukan diketahui bahwa periode masa hunian di bagian dalam
benteng tanah Deli Tua adalah dalam rentang waktu antara 15-18.
Temuan hasil penggalian menunjukkan bahwa periode tertua adalah
temuan keramik yang berasal dari abad 15-14 M, bahkan ditemukan
sekeping fragmen keramik yang berasal dari abad 15-19 M. Periode
yang lebih muda menunjukkan bahwa situs tersebut masih
digunakan sampai abad 17-18.

Sebaliknya berdasarkan hasil survey permukaan


menunjukkan bahwa temuan keramik terbanyak berasal dari abad ke
17-18 M, disusul oleh temuan yang berasal dari abad 15-19 M. Hal
ini menunjukkan bahwa di situs tersebut mengalami masa hunian
yang cukup lama. Tidak diketahui secara pasti apa yang menjadi
penyebab maju mundurnya hunian di Benteng Putri Hijau.

Kehidupan sosial dan budaya


Raja Haru dan penduduknya telah memeluk agama Islam,
sebagaimana disebutkan dalam Yingyai Shenglan (1416), karya Ma
Huan yang ikut mendampingi Laksamana Cheng Ho dalam
pengembaraannya. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah
Melayu disebutkan kerajaan tersebut diislamkan oleh Nakhoda
Ismail dan Fakir Muhammad, yang juga mengislamkan Merah Silu,
Raja Samudera Pasai pada pertengahan abad ke-13.

Sumber-sumber Tiongkok menyebutkan bahwa adat istiadat


seperti perkawinan, adat penguburan jenazah, bahasa, pertukangan,

Halaman 99 dari 883


dan hasil bumi Haru sama dengan Melaka, Samudera dan Jawa.
Mata pencaharian penduduknya adalah menangkap ikan di pantai
dan bercocok tanam. Tetapi karena tanah negeri itu tidak begitu
sesuai untuk penanaman padi, maka sebagian besar penduduknya
berkebun menanam kelapa, pisang dan mencari hasil hutan seperti
kemenyan. Mereka juga berternak unggas, bebek, kambing.
Sebagian penduduknya juga sudah mengonsumsi susu. Apabila
pergi ke hutan mereka membawa panah beracun untuk perlindungan
diri. Wanita dan laki-laki menutupi sebagian tubuh mereka dengan
kain, sementara bagian atas terbuka. Hasil-hasil bumi dibarter
dengan barang-barang dari pedagang asing seperti keramik, kain
sutera, manik-manik dan lain-lain.

Peninggalan arkeologi di Kota China menunjukkan wilayah


Haru memiliki hubungan dagang dengan Tiongkok dan India.
Namun dalam catatan Ma Huan, tidak seperti Pasai atau Malaka,
pada abad ke-15 Haru bukanlah pusat perdagangan yang besar.
Agaknya Raja-raja Haru kemudian mengalihkan perhatian mereka
ke perompakan, sebab Haru terkenal sebagai penguasa Selat
MALAKA

Haru memakai batak, dan dalam kejayaan ARU Haru Haro


beberapa wilayah terpengaruh budaya dan bahasa batak.

Daftar penguasa
1. Raja Serbanyaman (±1225–1255)
2. Raja Kembat (±1255–1292)
3. Serangan Singasari (1292)

Halaman 100 dari 883


4. Serangan Majapahit (1365)
5. Diserahkan ke Pagaruyung (±1375–1410)
6. Sultan Husin (1410–1456)
7. Sultan Mansur Shah (1456–1477)[17]
8. Sultan Ali Boncar (1477–1500)
9. Pertempuran dengan Aceh (1500–1538)
10. Putri Enche Sinni (±1538–1564)
11. Sultan Abdullah bin Alaudin dari Aceh (1564-1599)
12. Serangan Aceh masa Iskandar Muda (1613)
Berkaitan dengan penguasa Aru, tidak dapat dipisahkan
dengan peran lembaga Raja Berempat. Menurut Peret (2010),
lembaga ini telah ada sebelum pengaruh Aceh dibagian utara Pulau
Sumatra. Dalam kesempatan berikut, Raja Berempat berperan
dalam penentuan calon pengganti Sultan di Deli dan Serdang,
dengan menempatkan Datuk Sunggal sebagai Ulun Janji.

Rujukan
• a b Bonatz, Dominik; Miksic, John; Neidel, J. David, ed. (2009). From Distant Tales: Archaeology
and Ethnohistory in the Highlands of Sumatra. Newcastle upon Tyne: Cambridge Scholars
Publishing. ISBN 978-1-4438-0497-4.
• a b Slamet Muljana (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam

di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 15. ISBN 9789798451164.


• ^ "Kerajaan Aru (Haru), Penguasa Maritim yang Terlupakan". Wacana. 25 September 2010.
Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 October 2018. Diakses tanggal 11 May 2017.
• ^ I Ketut Riana (2009). Kakawin dēśa Warṇnana, uthawi, Nāgara Kṛtāgama: Masa Keemasan
Majapahit. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm. 96–102. ISBN 978-979-709-433-1.
• a b Mangkudimedja, R.M., 1979, Serat Pararaton. Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP.

Jakarta: Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
• ^ Pires, Tomé (2005). "The Suma Oriental of Tomé Pires". Dalam Cortesão, Armando. The Suma
Oriental of Tomé Pires: An Account of the East from the Red Sea to Japan, Written in Malacca and
India in 1512-1515; and, the Book of Francisco Rodrigues, Rutter of a Voyage in the Red Sea,

Halaman 101 dari 883


Nautical Rules, Almanack and Maps Written and Drawn in the East Before 1515. 1. New Delhi:
Asian Educational Services. hlm. 1–223+. ISBN 81-206-0535-7.
• ^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols
• ^ Ming, Ding Choo (2012). "Penafsiran Kuasa Raja Dalam Beberapa Teks Sastera Melayu Lama".
Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara. 3 (2): 55–74.
• ^ Milner, A. C.; McKinnon, E. Edwards; Sinar, Tengku Luckman (1978). "A Note on Aru and Kota
Cina". Indonesia. 26 (26): 1–42. doi:10.2307/3350834. JSTOR 3350834.
• ^ "Museum Kota Cina, Situs Awal Perdagangan Penting di Pantai Timur Sumatera Abad XI".
SeMedan.com. 3 January 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 July 2017. Diakses tanggal 8
May 2017.
• ^ Repelita Wahyu Oetomo (8 June 2014). "Benteng Putri Hijau Berdasarkan Data Sejarah dan
Arkeologi". Direktorat Jenderal Kebudayaan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 January 2017.
Diakses tanggal 8 May 2017.
• ^ "Perumahan Kepung Situs Kerajaan Haru". Serambi Indonesia. 27 October 2011. Diarsipkan
dari versi asli tanggal 8 January 2018. Diakses tanggal 11 May 2017.
• ^ Juraidi (23 August 2008). "Menelusuri Jejak Kerajaan Aru". Kompas.com. Diarsipkan dari versi
asli tanggal 17 September 2017. Diakses tanggal 9 May 2017.
• a b A Note on Aru and Kota China (Part 2)[pranala nonaktif permanen]

• a b Perret, D (2010). Kolonialisme dan Etnisitas". KPG

Halaman 102 dari 883


BAB 9
KESULTANAN TERNATE : KESULTANAN ISLAM
TERBESAR DI TIMUR YANG MENJADI KORBAN
KERAKUSAN KAUM IMPERIALISME

Kesultanan Ternate
‫كسولتانن تيرنات‬

Wilayah Kesultanan Ternate pada abad ke-16


(Uli Lima)

Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan


Gapi adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Kepulauan Maluku

Halaman 103 dari 883


dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara.
Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada tahun 1257. Kesultanan
Ternate memiliki peran penting di kawasan timur nusantara antara
abad ke-13 hingga abad ke-19. Kesultanan Ternate menikmati
kegemilangan di paruh abad ke-16 berkat perdagangan rempah-
rempah dan kekuatan militernya. Pada masa jaya kekuasaannya
membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi bagian utara,
timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh
Kepulauan Marshall di Pasifik.

Istana Kesultanan Ternate

Halaman 104 dari 883


Sultan Mudaffar Syah II, Sultan Ternate ke-48 (1975-2015)

Sejarah Asal usul pembentukan


Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13.
Penduduk Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera.
Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang masing-masing
dikepalai oleh seorang momole (kepala marga). Merekalah yang
pertama–tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang
datang dari segala penjuru mencari rempah–rempah. Penduduk
Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab,
Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan
yang semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para
perompak maka atas prakarsa Momole Guna pemimpin Tobona
diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang
lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.

Halaman 105 dari 883


Tahun 1257 Momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan
diangkat sebagai kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur
Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate,
yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai
sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai Gam Lamo atau
kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan
Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota Ternate, sehingga
kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada
kerajaan Gapi. Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa
berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya
berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang
berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia khususnya
Maluku.

Unifikasi Persekutuan Maluku

Lukisan pemandangan Pulau Ternate dengan Gunung Gamalama (sekitar tahun


1883-1889).

Halaman 106 dari 883


Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 3
kerajaan lain yang memiliki pengaruh yaitu Kesultanan Tidore,
Kesultanan Jailolo, dan Kesultanan Bacan. Kerajaan–kerajaan ini
merupakan saingan Ternate dalam memperebutkan hegemoni di
Maluku. Berkat perdagangan rempah Ternate menikmati
pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, dan untuk memperkuat
hegemoninya di Maluku, Ternate mulai melakukan ekspansi. Hal ini
menimbulkan antipati dan memperbesar kecemburuan kerajaan lain
di Maluku yang memandang Ternate sebagai musuh bersama hingga
memicu terjadinya perang.

Demi menghentikan konflik yang berlarut–larut, sultan


Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau disebut juga Kolano Sida Arif
Malamo (1322-1331) mengundang raja–raja Maluku yang lain
untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan.
Persekutuan ini kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau
Motir Verbond. Butir penting dari pertemuan ini selain terjalinnya
persekutuan adalah penyeragaman bentuk kelembagaan kerajaan di
Maluku. Oleh karena pertemuan ini dihadiri 4 raja Maluku yang
terkuat maka disebut juga sebagai persekutuan Moloku Kie Raha
(Empat Gunung Maluku).

Kedatangan Islam

Halaman 107 dari 883


Sigi Lamo, masjid peninggalan Kesultanan Ternate.

Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan


Islam di Maluku Utara khususnya Ternate. Namun diperkirakan
sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah
mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah
bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah
menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka
maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan.
Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi
memeluk Islam pertengahan abad ke-15.

Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18


adalah raja pertama yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh
kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum adalah
puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang

Halaman 108 dari 883


diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar kolano dan
menggantinya dengan sultan, Islam diakui sebagai agama resmi
kerajaan, syariat Islam diberlakukan, dan membentuk lembaga
kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama.
Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku
secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah
yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam
ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa. Di sana
dia dikenal sebagai Sultan Bualawa (Sultan Cengkih).

Kedatangan Portugal dan Perang Saudara

Peta terawal Kepulauan Maluku Utara karya seorang kartografer Belanda, Willem
Janszoon Blaeu, pada tahun 1630. Arah utara berada di sebelah kanan, dengan
Pulau Ternate terletak di ujung kanan, diikuti oleh Pulau Tidore, Mare, Moti dan
Kepulauan Makian. Pada bagian bawah adalah Gilolo (Jailolo atau Halmahera).
Inset yang berada di atas menunjukkan Pulau Bacan.

Halaman 109 dari 883


Pada masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521),
Ternate semakin berkembang, rakyatnya diwajibkan berpakaian
secara islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh
dari orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan
Ternate. Pada masa ini pula datang orang Eropa pertama di Maluku,
Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) tahun 1506.

Tahun 1512 Portugal untuk pertama kalinya menginjakkan


kaki di Ternate dibawah pimpinan Fransisco Serrao, atas
persetujuan sultan, Portugal diizinkan mendirikan pos dagang di
Ternate. Portugal datang bukan semata–mata untuk berdagang
melainkan untuk menguasai perdagangan rempah–rempah, pala dan
cengkih di Maluku. Untuk itu terlebih dulu mereka harus
menaklukkan Ternate.

Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris-pewaris


yang masih sangat belia. Janda sultan, permaisuri Nukila dan
Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai wali.
Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate
dan Tidore dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua
puteranya, Pangeran Hidayat (kelak Sultan Dayalu) dan pangeran
Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran
Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri.

Portugal memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba


keduanya hingga pecah perang saudara. Kubu permaisuri Nukila
didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung Portugal.

Halaman 110 dari 883


Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati
dan dibunuh Portugal. Gubernur Portugal bertindak sebagai
penasihat kerajaan dan dengan pengaruh yang dimiliki berhasil
membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji
sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan
sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa, India. Di sana ia
dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian menjadikan
Ternate sebagai kerajaan Katolik dan vasal kerajaan Portugal, tetapi
perjanjian itu ditolak mentah-mentah oleh Sultan Khairun
(1534-1570).

Pengusiran Portugal
Perlakuan Portugal terhadap saudara–saudaranya membuat
Sultan Khairun geram dan bertekad mengusir Portugal dari Maluku.
Tindak–tanduk bangsa Barat yang satu ini juga menimbulkan
kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang Sultan
Khairun. Sejak masa sultan Bayanullah, Ternate telah menjadi salah
satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara
abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan Malaka pada
tahun 1511. Ketiganya membentuk Aliansi Tiga untuk membendung
sepak terjang Portugal di Nusantara.

Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun


mengobarkan perang pengusiran Portugal. Kedudukan Portugal kala
itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng dan kantong
kekuatan di seluruh Maluku mereka juga memiliki sekutu–sekutu
suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate.
Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan

Halaman 111 dari 883


Portugal di Malaka, Portugal di Maluku kesulitan mendapat bala
bantuan hingga terpaksa memohon damai kepada Sultan Khairun.
Secara licik gubernur Portugal, Lopez de Mesquita mengundang
Sultan Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan kejam
membunuh sultan yang datang tanpa pengawalnya.

Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat


Ternate untuk mengusir Portugal, bahkan seluruh Maluku kini
mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah
(1570-1583), pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur
Indonesia digempur. Setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya
Portugal meninggalkan Maluku untuk selamanya pada tahun 1575.
Di bawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak
kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di
bagian barat hingga Kepulauan Marshall di bagian timur, dari
Filipina Selatan di bagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara di
bagian selatan.

Sultan Baabullah dijuluki penguasa 72 pulau yang semuanya


berpenghuni hingga menjadikan Kesultanan Ternate sebagai
kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur, di samping Aceh dan
Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah Nusantara kala
itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15
entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini
padahal mereka adalah pilar pertama yang membendung
kolonialisme Barat.

Kedatangan Belanda

Halaman 112 dari 883


Ilustrasi perjalanan Sultan Ternate menuju mesjid, oleh De Bry, 1601

Setelah Sultan Baabullah meninggal, Ternate mulai


melemah, Kerajaan Spanyol yang telah bersatu dengan Portugal
pada tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan
menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat
kedudukannya di Filipina, Ternate pun menjalin aliansi dengan
Mindanao untuk menghalau Spanyol namun gagal, bahkan Sultan
Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila.

Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate


meminta bantuan Belanda pada tahun 1603. Ternate akhirnya
berhasil menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat

Halaman 113 dari 883


mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate.
Pada tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak
monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda
melawan Spanyol. Pada tahun 1607 pula Belanda membangun
benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka
di nusantara.

Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang


antara Belanda dan Ternate menimbulkan ketidakpuasan para
penguasa dan bangsawan Ternate. Diantaranya adalah Pangeran
Hidayat (15??-1624), raja muda Ambon yang juga merupakan
mantan wali raja Ternate ini memimpin oposisi yang menentang
kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan perjanjian monopoli
dagang Belanda dengan menjual rempah–rempah kepada pedagang
Jawa dan Makassar.

Perlawanan Rakyat Maluku

Pengawal Sultan Ternate pada tahun 1910-an.

Halaman 114 dari 883


Ngara Lamo, gerbang Istana Kesultanan Ternate pada tahun 1910-an.

Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada


Ternate semakin kuat. Belanda dengan leluasa mengeluarkan
peraturan yang merugikan rakyat lewat perintah sultan. Sikap
Belanda yang jahat dan sikap sultan yang cenderung manut
menimbulkan kekecewaan semua kalangan. Sepanjang abad ke-17,
setidaknya ada 4 pemberontakan yang dikobarkan bangsawan
Ternate dan rakyat Maluku.

• Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol


harga rempah yang merosot Belanda memutuskan
melakukan penebangan besar–besaran pohon cengkih dan
pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai
Hongi Tochten yang menyebabkan rakyat mengobarkan
perlawanan. Pada tahun 1641, dipimpin oleh raja muda
Ambon, Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan
Ternate, Hitu dan Makassar menggempur berbagai

Halaman 115 dari 883


kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu
kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama
seluruh keluarganya pada tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan
lalu dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, Kapita Hitu Kakiali
dan Tolukabessi hingga 1646.
• Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan
perlawanan di Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu
sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650,1655-1675) yang
terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan
Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan
sultan. Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio
pangeran Saidi, Majira dan Kalamata. Pangeran Saidi adalah
seorang kapita laut atau panglima tertinggi pasukan Ternate,
Pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara
Pangeran Kalamata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi
dan Majira memimpin pemberontakan di Maluku Tengah
sementara Pangeran Kalamata bergabung dengan raja
Kesultanan Gowa, Sultan Hasanuddin. Mereka bahkan
sempat berhasil menurunkan Sultan Mandarsyah dari tahta
dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655), tetapi berkat
bantuan Belanda kedudukan Mandarsyah kembali
dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan Saidi dkk
berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa secara kejam
hingga mati sementara Pangeran Majira dan Kalamata
menerima pengampunan sultan dan hidup dalam
pengasingan.

Halaman 116 dari 883


• Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal
dengan nama Sultan Sibori (1675 – 1691) merasa gerah
dengan tindak–tanduk Belanda yang semena-mena. Ia
kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman
penguasa Mindanao, tetapi upayanya untuk menggalang
kekuatan kurang maksimal karena daerah–daerah strategis
yang bisa diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur jatuh
ke tangan Belanda oleh berbagai perjanjian yang dibuat para
pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo.
Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani
perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai kerajaan
dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate
sebagai negara berdaulat.
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka, beberapa sultan
Ternate berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari
cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang terbatas karena
selalu diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan
rakyatnya secara diam–diam. Yang terakhir tahun 1914 Sultan Haji
Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan
rakyat di wilayah–wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah
Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal.

Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah


pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan kerugian di pihak
Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk Controleur
Belanda Agerbeek dan markas mereka diobrak–abrik. Akan tetapi
karena keunggulan militer serta persenjataan yang lebih lengkap

Halaman 117 dari 883


dimiliki Belanda perlawanan tersebut berhasil dipatahkan, kapita
Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji
Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini
oleh karenanya berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda,
tanggal 23 September 1915 no. 47, Sultan Haji Muhammad Usman
Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, dia
dibuang ke Bandung tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927.

Pasca penurunan Sultan Haji Muhammad Usman Syah


jabatan sultan sempat lowong selama 14 tahun dan pemerintahan
adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan. Sempat
muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus
Kesultanan Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena
khawatir akan reaksi keras yang bisa memicu pemberontakan baru
sementara Ternate berada jauh dari pusat pemerintahan Belanda di
Batavia.

Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun,


Kesultanan Ternate masih tetap bertahan meskipun hanya sebatas
simbol budaya.

Sultan yang berkuasa


Pada masa–masa awal suku Ternate dipimpin oleh para
momole. Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang
seorang raja yang disebut kolano. Mulai pertengahan abad ke-15,
Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat
Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar

Halaman 118 dari 883


kolano dan menggantinya dengan gelar sultan. Para ulama menjadi
figur penting dalam kerajaan.

Setelah sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan


jogugu (perdana menteri) dan fala raha sebagai para penasihat. Fala
raha atau empat rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi
tulang punggung kesultanan sebagai representasi para momole pada
masa lalu, masing–masing dikepalai seorang kimalaha. Mereka
yaitu Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Pejabat–pejabat
tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan–klan ini. Bila seorang
sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu
klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se
Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji,
dll.

Warisan Ternate

Sultan Ternate Masa jabatan

Baab Mashur Malamo 1257 - 1277

Jamin Qadrat 1277 - 1284

Komala Abu Said 1284 - 1298

Bakuku (Kalabata) 1298 - 1304

Ngara Malamo (Komala) 1304 - 1317

Patsaranga Malamo 1317 - 1322


Cili Aiya (Sidang Arif Malamo) 1322 - 1331

Panji Malamo 1331 - 1332


Syah Alam 1332 - 1343

Halaman 119 dari 883


Tulu Malamo 1343 - 1347

Kie Mabiji (Abu Hayat I) 1347 - 1350

Ngolo Macahaya 1350 - 1357

Momole 1357 - 1359

Gapi Malamo I 1359 - 1372

Gapi Baguna I 1372 - 1377

Komala Pulu 1377 - 1432

Marhum (Gapi Baguna II) 1432 - 1486

Zainal Abidin 1486 - 1500

Sultan Bayanullah 1500 - 1522

Hidayatullah 1522 - 1529

Abu Hayat II 1529 - 1533

Tabariji 1533 - 1534

Khairun Jamil 1535 - 1570

Babullah Datu Syah 1570 - 1583

Said Barakat Syah 1583 - 1606

Mudaffar Syah I 1607 - 1627

Hamzah 1627 - 1648

Mandarsyah 1648 - 1650 (masa pertama)

Manila 1650 - 1655

Mandarsyah 1655 - 1675 (masa kedua)

Sibori 1675 - 1689

Said Fatahullah 1689 - 1714

Amir Iskandar Zulkarnain Syaifuddin 1714 - 1751

Halaman 120 dari 883


Ayan Syah 1751 - 1754

Syah Mardan 1755 - 1763

Jalaluddin 1763 - 1774

Harunsyah 1774 - 1781

Achral 1781 - 1796

Muhammad Yasin 1796 - 1801

Muhammad Ali 1807 - 1821

Muhammad Sarmoli 1821 - 1823

Muhammad Zain 1823 - 1859

Muhammad Arsyad 1859 - 1876

Ayanhar 1879 - 1900

Muhammad Ilham (Kolano Ara Rimoi) 1900 - 1902

Haji Muhammad Usman Syah 1902 - 1915

Iskandar Muhammad Djabir Sjah 1929 - 1975

Haji Mudaffar Syah (Mudaffar Syah II) 1975 – 2015

Syarifuddin Syah 2016 - 2019

Hidayatullah Mudaffar Sjah (sengketa) 2021 - Sekarang

Istana Kesultanan Ternate di kaki Gunung Gamalama, Kota Ternate.

Halaman 121 dari 883


Imperium Nusantara timur yang dipimpin Ternate memang
telah runtuh sejak pertengahan abad ke-17 namun pengaruh Ternate
sebagai kerajaan dengan sejarah yang panjang masih terus terasa
hingga berabad kemudian. Ternate memiliki andil yang sangat besar
dalam kebudayaan nusantara bagian timur khususnya Sulawesi
(utara dan pesisir timur) dan Maluku. Pengaruh itu mencakup
agama, adat-istiadat dan bahasa.

Sebagai kerajaan pertama yang memeluk Islam, Ternate


memiliki peran yang besar dalam upaya pengislaman dan
pengenalan syariat-syariat Islam di wilayah timur nusantara dan
bagian selatan Filipina. Bentuk organisasi kesultanan serta
penerapan syariat Islam yang diperkenalkan pertama kali oleh
Sultan Zainal Abidin menjadi standar yang diikuti semua kerajaan
di Maluku hampir tanpa perubahan yang berarti.

Keberhasilan rakyat Ternate di bawah Sultan Baabullah


dalam mengusir Portugal pada tahun 1575 merupakan kemenangan
pertama pribumi nusantara atas kekuatan barat, oleh karenanya
Buya Hamka bahkan memuji kemenangan rakyat Ternate ini telah
menunda penjajahan barat atas bumi nusantara selama 100 tahun
sekaligus memperkokoh kedudukan Islam, dan sekiranya rakyat
Ternate gagal niscaya wilayah timur Indonesia akan menjadi pusat
kristen seperti halnya Filipina.

Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut


pula mengangkat derajat Bahasa Ternate sebagai bahasa pergaulan
di berbagai wilayah yang berada dibawah pengaruhnya. Prof E.K.W.

Halaman 122 dari 883


Masinambow dalam tulisannya, "Bahasa Ternate dalam konteks
bahasa-bahasa Austronesia dan Non Austronesia" mengemukakan
bahwa bahasa Ternate memiliki dampak terbesar terhadap bahasa
Melayu yang digunakan masyarakat timur Indonesia. Sebanyak
46% kosakata bahasa Melayu di Manado diambil dari Bahasa
Ternate. Bahasa Melayu Ternate ini kini digunakan luas di Indonesia
Timur terutama Sulawesi Utara, pesisir timur Sulawesi Tengah dan
Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang berbeda–beda.

Dua naskah surat sultan Ternate, dari Sultan Abu Hayat II


kepada Raja Portugal tanggal 27 April dan 8 November 1521 diakui
sebagai naskah Melayu tertua di dunia setelah naskah Melayu
Tanjung Tanah. Kedua surat Sultan Abu Hayat tersebut saat ini
masih tersimpan di Museum Lisabon, Portugal.

Referensi
• ^ Gazw Al-Fikr: Sultan Baabullah, Pembebasan Nusantara Dan “Jihad” Kita Hari Ini.
• ^ Royal Ark Ternate p.2
• ^ Royal Ark Ternate p.3
• ^ Royal Ark Ternate p.4
• ^ Royal Ark Ternate p.5
• ^ http://www.sil.si.edu Ternate
• ^ Artikel:"Sultan Ternate Meninggal Dunia" di Detik.com
• ^ Drs. M. Jusuf Abdulrahman, et.al. (2001). Ternate, Bandar Jalur Sutera. LinTas.
• ^ "Melestarikan Surat Leluhur Melayu di Rumah Larik". Diarsipkan dari versi asli tanggal
2013-03-14. Diakses tanggal 21 Maret 2013.
• ^ Henry Chambert-Loir & Oman Aturrahman. "Khazanah naskah: panduan koleksi naskah-
naskah Indonesia sedunia". Diakses tanggal 21 Maret 2013.
• ^ "Undang Undang Tanjung Tanah, Naskah Melayu Tertua di Dunia?". Diakses tanggal 21
Maret 2013.

Halaman 123 dari 883


BAB 10
KESULTANAN GORONTALO : PUSAT
PERDAGANGAN PALING BERPENGARUH DI
TELUK TOMINI

Pelabuhan Gorontalo yang tidak pernah sepi

Kesultanan Gorontalo yang mulanya disebut juga sebagai


Kerajaan Hulontalo (Bahasa Gorontalo: Pohala'a Hulontalo)
merupakan salah satu Kerajaan tertua di Semenanjung Utara Pulau
Sulawesi, dan paling berpengaruh di seantero Kawasan Teluk
Tomini, Indonesia. Kerajaan ini terletak di bagian tengah dari
lengan utara pulau Sulawesi, dan diapit oleh dua perairan strategis
yaitu Teluk Gorontalo di Selatan dan Laut Sulawesi di Utara.
Halaman 124 dari 883
Pada masa kejayaannya, Kesultanan Gorontalo menjadi
pusat penyebaran islam dan pusat perdagangan paling berpengaruh
di wilayah Teluk Tomini (Teluk Gorontalo), Tomini-Bocht (tikungan
Tomini), hingga beberapa wilayah di utara dan tengah pulau
Sulawesi.

Kerajaan Gorontalo kemudian berubah menjadi Kerajaan


Islam pada masa Pemerintahan Raja Amai yang kemudian berganti
menjadi Sultan. Sultan Amai yang bergelar Ta Olongia Lopo
Isilamu (Raja yang mengislamkan Negeri) merupakan Olongia atau
Raja pertama dari Kerajaan Gorontalo yang menganut agama islam.

Ibukota Kesultanan
Kedudukan ibukota Kesultanan Gorontalo mulanya berada
di Desa Hulawa, Kecamatan Telaga sekarang, tepatnya di pinggiran
sungai Bolango. Kemudian pada tahun 1024 H, ibukota Kesultanan
Gorontalo dipindahkan ke Kelurahan Tuladenggi, Kecamatan
Dungingi. Lokasi ibukota Kesultanan Gorontalo yang terakhir
terletak di Kelurahan Biawu, Kecamatan Kota Selatan, Kota
Gorontalo.

Struktur Pemerintahan Kesultanan


Adapun struktur pemerintahan Kesultanan Gorontalo terdiri
atas tiga lembaga yang disebut "Buatulo Towulongo" yang dimaknai
sebagai 3 serangkai adat yang menyatu. Buatulo Towulongo terdiri
dari:

• Buatulo Bubato, Lembaga Pemerintahan

Halaman 125 dari 883


• Buatulo Sara'a, Lembaga Keagamaan
• Buatulo Bala, Lembaga Pertahanan dan Keamanan
Masing-masing perwakilan Buatulo tersebut akan dipilih secara
musyawarah dan mufakat oleh Buatulo Bantayo yang dikepalai oleh
seorang Bate. Selain itu, Buatulo Bantayo juga bertugas
menciptakan peraturan-peraturan adat dan garis-garis besar tujuan
kerajaan/kesultanan.

Batas Wilayah
Kesultanan Gorontalo memiliki wilayah kedaulatan yang
berbatasan dengan Kerajaan Limboto, Kerajaan Suwawa, dan
Kerajaan Bolango. Meskipun begitu, pengaruh kekuasaan Kerajaan
ini meluas hingga melintasi batas-batas Kerajaan tersebut, hingga ke
wilayah perairan Teluk Tomini (Teluk Gorontalo).

Adapun wilayah Kerajaan Gorontalo saat ini kini berada di


dalam wilayah Kota Gorontalo, serta sebagian kecil berada di
wilayah Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo.

Terbentuknya Kerajaan Gorontalo

Foto Raja Monoarfa dari Gorontalo

Halaman 126 dari 883


Menurut manuskrip sejarah Gorontalo, cikal bakal Kerajaan
Gorontalo bermula pertama kali dari sebuah Kerajaan Kecil (Linula)
bernama Kerajaan Hulontalangi yang diperkirakan telah berdiri
sejak tahun 1300. Dalam catatan R. Tacco (1956), saat itu Kerajaan
Hulontalangi telah dipimpin oleh Raja Humalanggi. Di kemudian
hari, Raja Humalanggi memiliki seorang anak bernama Ilahudu
yang kemudian merangkul dan mempersatukan 17 Kerajaan kecil di
lereng atau kaki gunung. 17 Kerajaan-Kerajaan inilah yang
kemudian membentuk Kerajaan Gorontalo yang pengaruhnya
menjadi lebih besar dan meluas di beberapa wilayah di Teluk
Tomini (Teluk Gorontalo).

Selain itu, Kerajaan Gorontalo sejak dahulu telah mengenal


kedudukan Raja Perempuan atau Ratu sebagai pemimpin Kerajaan.
Hal ini menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu, masyarakat
Gorontalo telah mengenal kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan
perempuan di dalam lingkungan Kerajaan.

Daftar Perserikatan Kerajaan Gorontalo

Adapun Perserikatan 17 Kerajaan Kecil (Linula) yang


menjadi cikal bakal terbentuknya Kerajaan Gorontalo adalah
sebagai berikut:

1. Kerajaan Hunginaa, Rajanya: Lihawa


2. Kerajaan Lupoyo, Rajanya: Pai
3. Kerajaan Bilinggata, Rajanya: Lou
4. Kerajaan Wuwabu, Rajanya: Wahumolongo

Halaman 127 dari 883


5. Kerajaan Biawu, Rajanya: Wolango Huladu
6. Kerajaan Padengo, Rajanya: Palanggo
7. Kerajaan Huwangobotu Olowala, Rajanya: Dawanggi
8. Kerajaan Tapa, Rajanya: Deyilohiyo Daa
9. Kerajaan Lauwonu, Rajanya: Bongohulawa (Perempuan)
10. Kerajaan Toto, Rajanya: Tilopalani (Perempuan)
11. Kerajaan Dumati, Rajanya: Buata
12. Kerajaan Ilotidea, Rajanya: Tamau
13. Kerajaan Pantungo, Rajanya: Ngobuto
14. Kerajaan Panggulo, Rajanya: Hungiyelo
15. Kerajaan Huangobotu Oloyihi, Rajanya: Lealini
16. Kerajaan Tamboo, Rajanya: Dayilombuto (Perempuan)
17. Kerajaan Hulontalangi, Rajanya: Ilahudu
Kedatangan Islam

Masjid Hunto Sultan Amai

Halaman 128 dari 883


Kesultanan Gorontalo merupakan salah satu pusat
penyebaran agama Islam di Indonesia Timur, selain Kesultanan
Ternate, Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bone. Penyebaran agama
Islam di Gorontalo diperkirakan bermula sejak abad ke-16 (antara
tahun 1501-1600), ditandai dengan Islamnya salah satu Raja
Gorontalo yang bernama Amai. Raja Amai kemudian mengganti
sebutan raja menjadi sultan, sehingga namanya dikenang luas
sebagai Sultan Amai dari Kesultanan Gorontalo.

Salah satu referensi masuknya Islam di Gorontalo berasal


dari penjelasan Profesor Ibrahim Polontalo, dimana perkawinan
antara Olongia Amai atau Raja Amai dengan Puteri Owutango dari
Kerajaan Palasa.Agama Islam yang dianut oleh Kerajaan Palasa
Ogomonjolo (Kumonjolo) berasal dari hubungan pertalian darah
kerajaan tersebut dengan para Raja dari Kesultanan Ternate. Dalam
perkawinan tersebut, Raja Amai dan para pengikutnya
dipersyaratkan untuk memeluk Islam dan Al-Quran sebagai sumber
utama tatanan kehidupan dan adat istiadat masyarakat Gorontalo.

Setelah lamaran diterima, maka Raja Amai yang kemudian bergelar


Sultan Amai kembali ke Gorontalo bersama istrinya Putri
Owutango, serta didampingi 8 Raja-Raja kecil (Olongia Walu
Lontho Otolopa) yaitu Raja Tamalate, Raja Lemboo, Raja
Siyendeng, Raja Hulangato, Raja Siduan, Raja Sipayo, Raja Soginti
dan Raja Bunuyo. Para Raja ini yang di kemudian hari membantu
Sultan Amai dalam membimbing dan merancang adat istiadat yang
berpedomankan pada agama Islam.

Halaman 129 dari 883


Sejarah Nama Kerajaan

Sultan Gorontalo terakhir, Ti Tulutani Zainal Abidin Monoarfa (duduk sebelah


kiri)

Pada era kolonial Belanda, Kerajaan Gorontalo sendiri


memiliki banyak nama yang disebutkan dalam berbagai literatur
sejarah, termasuk dalam surat-menyurat antara Belanda dan para
Raja Gorontalo saat itu. Nama lain dari Kerajaan Gorontalo yang
banyak ditemukan dalam berbagai sumber referensi ilmiah dan
media cetak sejak tahun 1800-an di antaranya adalah Goenong-Talo,
Goenong-Tello dan Holontalo.

Dalam catatan sejarah, asal usul nama Gorontalo sendiri


memiliki banyak versi. Namun asal usul nama Gorontalo yang
paling sesuai dengan fakta sejarah adalah berasal dari kata Huidu
Totolu (Tiga Gunung), yang kemudian oleh berbagai literatur era
kolonial diserap menjadi Goenong-Talo atau Goenong-Tello.
Penjelasan sejarah ini ditegaskan secara lugas oleh Profesor Jusuf

Halaman 130 dari 883


Sjarif Badudu dalam Buku Morfologi Bahasa Gorontalo pada tahun
1982.

Dalam bukunya tersebut, Prof. Badudu menjelaskan bahwa


Tiga Gunung yang menjadi asal usul nama Gorontalo merujuk pada
Gunung Tilonggabila (kini disebut Gunung Tilongkabila), Gunung
Malenggalila, dan Gunung ketiga yang tidak bernama. Tiga gunung
inilah yang kemudian dalam bahasa Gorontalo disebut sebagai
Huidu Totolu yang kemudian diserap menjadi Hulonthalo atau
Goenong-Talo, hingga akhirnya dikenal sebagai Gorontalo seperti
sekarang ini.

Daftar Olongia (Raja) dan Tulutani

No Olongiya/Tulutani Tahun

1 Ilahudu 1385–1427

2 Uloli 1427–1450
3 Walango 1450–1481

4 Polamolo 1481–1490

5 Ntihedu 1490–1503

6 Detu 1503–1523

Olongiya to Tilayo

No Olongia/Tulutani Tahun

1 Amay 1523–1550

2 Matolodula Kiki 1550–1615

3 Pongoliwa Daa 1585–1615

Halaman 131 dari 883


4 Moliye 1615–1646

5 Eyato 1646–1674

6 Polamolo II Tomito 1674–1686

7 Lepehulawa 1686–1735

8 Nuwa 1735–1764

9 Walango 1767–1798

10 Bia 1798–1809

11 Tapu 1809

12 Haidari 1809–1828

13 Walangadi 1828–1835

14 Wadipalapa 1836–1847

15 Panjuroro 1847–1851

Olongia to Huliyaliyo

No Olongia/Tulutani Tahun

1 Podungge 1530–1560

2 Tuliabu 1560–1578

3 Wulutileni 1578–1611

4 Mboheleo 1611–1632

5 Bumulo 1632–1647

6 Tiduhula 1647–1677

7 Bia 1677–1703

8 Walangadi 1703–1718

9 Piola 1718–1737

Halaman 132 dari 883


10 Botutihe 1737–1757

11 Iskandar Monoarfa 1757–1777

12 Unonongo 1780–1782

13 Pongoliwu Mbuinga Daa 1782–1795

14 Mbuinga Kiki Monoarfa 1795–1818

15 Muh. Iskandar Pui Monoarfa 1818–1829

16 Lihawa Monoarfa 1829–1830

17 Abdul Babiyonggo 1830–1831

18 Bumulo 1831–1836

19 Hasan Pui Monoarfa 1836–1851

20 Abdullah (Mbuinga) Pui Monoarfa 1851–1859

21 Zainal Abidin Monoarfa 1859–1878

Daftar Pustaka Rujukan


• Rosenberg, C. B. H. (1865). Reistogten in de afdeeling Gorontalo: gedaan op last der
Nederlandsch Indische regering (Vol. 10). F. Muller.
• Riedel, J. G. F. (1870). De landschappen Holontalo, Limoeto, Bone, Boalemo en Kattinggola, of
Andagile: Geographische, statistische, historische en ethnographische aanteekeningen.
• Riedel, J. G. F., & Behrnauer, W. F. A. (1871). Die Landsehaften Holontalo, Limoeto, Bone,
Boalemo und Kattinggola oder Andagile mit geographischen, statistischen, geschichtlichen und
ethnographischen Anmerkungen (Schluss). Zeitschrift für Ethnologie, 3, 397-408.
• Herbig, G. (1896). Aktionsart und Zeitstufe. Indogermanische Forschungen, 6, 157.
• Riedel, J. G. F. (1904). Aus der Holontalo-und der Tominisprache. In Volksdichtung aus Indonesien
(pp. 318-340). Springer, Dordrecht.
• Rohlfs, G. (1871). Henry Noel von Bagermi. Zeitschrift für Ethnologie, 3, 253-255.
• Riedel, J. G. F. (1885). De oorsprong en de vestiging der Boalemoërs op Noord-Selebes. Bijdragen
tot de Taal-, Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 34, 495-521.
• Schröder, E. E. W. G. (1908). Gorontalosche woordenlijst. M. Nijhoff.
• Nur, S. R. (1979). Beberapa aspek hukum adat tatanegara kerajaan Gorontalo pada masa
pemerintahan Eato (1673-1679). Universitas Hasanuddin (UNHAS).
• Haga, B. J. (1981). Lima Pahalaa: susunan masyarakat, hukum adat, dan kebijaksanaan
pemerintahan di Gorontalo. Djambatan.

Halaman 133 dari 883


• Amin, B. (2012). Islam, Budaya dan Lokalitas Gorontalo. Dalam Jurnal Sejarah dan Budaya
(KURE). Manado. Balai Pelestarian Nilai Budaya Manado.
• Apriyanto, J. (2001). Konflik Gorontalo-Hindia Belanda periode 1856-1942 (Doctoral dissertation,
Universitas Gadjah Mada).
• Damis, M. (2016). Ikrar U Duluwo Limo Lo Pahalaa: Bentuk Kesadaran Etnis Gorontalo Era
Prakolonial. HOLISTIK, Journal Of Social and Culture.
• Baruadi, M. K. (2013). Sendi Adat dan Eksistensi Sastra: Pengaruh Islam dalam Nuansa Budaya
Lokal Gorontalo. EL HARAKAH (TERAKREDITASI), 14(2), 293-311.
• Ismail, L. (2017). Pelayaran Tradisional Gorontalo Abad XIX. Skripsi, 1(231411068).
• Sirajuddin, S. (2018). Peran Para Sultan dalam Penyebaran Islam di Gorontalo. Al-Qalam, 14(1),
57-74.
• Hunowu, R. P. S. (2019). Kajian Bentuk Visual Dan Analisis Ornamen Pada Masjid Hunto Sultan
Amay Gorontalo (Doctoral dissertation, Universitas Komputer Indonesia).
• Amin, B. (2017). Lokalitas Islam Gorontalo. Suyatno Ladiqi, Ismail Suardi Wekke, Cahyo
Seftyono, 1.
• Hasanuddin, H. Pelayaran Niaga, Bajak Laut, Perkampungan Pedagang di Gorontalo. Walasuji,
9(2), 261-275.
• Adiatmono, F. (2017). The Weapons Kingdom of Gorontalo (Form, Symbols, and History).
International Journal of European Studies, 1(1), 7.

Halaman 134 dari 883


BAB 11
KESULTANAN GOWA : KESULTANAN YANG
MEMILIKI KEKUATAN MILITER TERKUAT DI
TIMUR

Istana Tamalate yang berada di Sungguminasa, Gowa, Sulawesi Selatan

Gowa (juga dieja Goa) atau Bate Salapang (bahasa


Makassar: ᨅᨙᨈᨔᨒᨄ Baté Salapang “Sembilan Panji”) adalah
sebuah kerajaan dan kesultanan yang berpusat di daerah Sulawesi
Selatan, tepatnya di jazirah selatan dan pesisir barat semenanjung
yang mayoritasnya didiami oleh suku Makassar. Wilayah inti bekas
kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa,
Kotamadya Makassar dan Kabupaten Takalar saat ini.

Halaman 135 dari 883


Berawal dari chiefdom atau banua yang didirikan pada awal
abad ke-14, Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya bersama
Kerajaan Tallo sekitar tahun 1511 hingga 1669, ketika kerajaan ini
memegang hegemoni militer dan perdagangan atas wilayah timur
Nusantara, termasuk di antaranya sebagian besar Sulawesi,
beberapa bagian dari Maluku dan Nusa Tenggara, serta pesisir timur
Kalimantan. Dalam prosesnya menjadi kekaisaran maritim,
Kerajaan Gowa mengembangkan berbagai inovasi dalam bidang
pemerintahan, ekonomi dan militer. Perubahan sosial budaya yang
drastis juga terjadi seiring mengeratnya hubungan antara Kerajaan
Gowa dan dunia luar, terutama setelah Kerajaan Gowa mengadopsi
Islam sebagai agama resmi pada awal 1607.

Kekalahan Kerajaan Gowa dalam Perang Makassar yang


terjadi pada tahun 1669 mengakibatkan lepasnya wilayah kekuasaan
Kerajaan Gowa di luar Sulawesi Selatan, sementara sebagian kecil
wilayahnya diberikan kepada VOC. Meski begitu, Kerajaan Gowa
tetap bertahan sebagai negeri merdeka hingga awal abad ke-20,
ketika pemerintah kolonial Belanda mengalahkan Gowa dalam
Ekspedisi Sulawesi Selatan dan menjadikannya daerah jajahan.

Warisan Kesultanan Gowa


Kapal Palari, Pelabuhan Paotere, kota Makassar, Sulawesi
selatan, Kapal Phinisi,Aksara Lontara, Benteng Somba Opu,
Benteng Ujung Pandang (Rotterdam), Tari Pakarena, Sinrilik,
Tunrung Pakanjara'

Sejarah awal

Halaman 136 dari 883


Catatan sejarah Gowa yang ditulis dalam bahasa dan aksara Makassar

Naskah Lontara Patturioloang Gowa menyebutkan bahwa


keturunan penguasa Kerajaan/Kesultanan Gowa berawal dari
perkawinan Tumanurung yang secara harafiah dapat diartikan orang
tidak diketahui asal muasalnya secara pasti dengan seorang
bangsawan yang hanya dikenali dengan Karaeng Bayo”, sebagai
perkawinan antara wanita bangsawan setempat dan
penguasa.Bangsawan-bangsawan Bate Salapanga di Gowa pun
bersepakat membentuk negeri dan mengangkat mereka berdua
suami-istri sebagai penguasa. Bukti genealogis dan arkeologis
mengisyaratkan bahwa pembentukan negeri Gowa terjadi pada
sekitar tahun 1320 Masehi. Para ahli mengaitkan kemunculan
Kerajaan Gowa dan negeri-negeri di Sulawesi Selatan lainnya

Halaman 137 dari 883


dengan intensifikasi pertanian dan pemusatan pemerintahan besar-
besaran pada abad ke-14, yang dipicu oleh naiknya permintaan luar
bagi beras Sulawesi Selatan. Kepadatan penduduk turut meningkat
seiring dengan pergantian dari budaya meladang kepada budi daya
padi lahan basah secara intensif. Hutan-hutan di pedalaman
semenanjung pun dibuka untuk memberi tempat bagi pemukiman-
pemukiman agraris baru, termasuk Gowa yang awalnya juga
merupakan chiefdom pedalaman yang berbasiskan budi daya padi.

Dalam perang tahta antara dua putra "Sombaya ri Gowa"


atau Raja di Kerajaan Gowa yang ke-enam pada akhir abad ke-15,
Batara Gowa Tuniawanga ri Parallakkenna mengalahkan
saudaranya Karaeng Loe ri Sero'. Karaeng Loe ri Sero' kemudian
menuju ke muara Sungai Tallo dan mendirikan negeri baru yang
dikemudian hari dinamakan Tallo, yang kemudian berkembang
menjadi negara maritim berbasis niaga. Hingga abad ke-16, bagian
barat Sulawesi Selatan terdiri dari negeri-negeri sama kuat yang
saling bersekutu dan bersaing satu sama lain, tanpa ada satu pun
yang mampu menguasai keseluruhannya.Putra Batara Gowa,
Karaeng Tumapaʼrisiʼ Kallonna (berkuasa sekitar 1511–1546),
memecahkan keadaan status quo ini dengan menaklukkan pesisir
Garassi' serta menyerang setidaknya tiga belas negeri bersuku
Makassar lainnya. Pada akhir 1530-an atau awal 1540-an, Kerajaan
Gowa memenangkan perang melawan Kerajaan Tallo dan sekutu-
sekutunya.Kerajaan Gowa pun menjadi negeri paling dominan di
tanah suku Makassar dan diakui sebagai saudara tua oleh Kerajaan
Tallo. Sombaya Tumapaʼrisiʼ Kallonna mengembangkan birokrasi

Halaman 138 dari 883


kerajaan dengan menunjuk Daeng Pamatteʼ sebagai sabannaraʼ
(syahbandar) pertama.Penyusunan catatan sejarah serta hukum
tertulis kerajaan juga dimulai pada masa pemerintahannya. Ia juga
kemungkinan merupakan penguasa Kerajaan Gowa yang pertama
kali membangun benteng Somba Opu.

Penguasa Kerajaan Gowa berikutnya, Karaeng Tunipalangga


(memerintah sekitar 1546–1565) memperluas pengaruh Kerajaan
Gowa melalui serangkaian agresi militer. Ia juga melakukan inovasi
dalam bidang teknologi persenjataan dan pertahanan. Pada masa
pemerintahannya, Kerajaan Gowa mengalahkan seluruh pesaingnya
di pesisir barat dan memperluas pengaruhnya hingga ke wilayah
Sulawesi Tengah. Sombaya Tunipalangga juga menerima orang-
orang Melayu dan Nusantara Barat lainnya untuk bermukim dan
sekaligus berniaga di negerinya. Ia bahkan mengadakan perjanjian
dengan salah satu pemimpin mereka dan memperbolehkan mereka
untuk tinggal secara permanen di dalam wilayah Kerajaan Gowa
tanpa harus mengikuti hukum adat setempat.[34][35][36] Para pedagang
ini kemungkinan juga turut terlibat dalam reformasi ekonomi yang
berkontribusi pada kemajuan pesat Kerajaan Gowa sebagai bandar
persinggahan utama di Nusantara bagian timur kala itu.[37] Sombaya
Tunipalangga juga mengembangkan birokrasi Keraiaan Gowa lebih
lanjut dengan menciptakan jabatan Tumilalang atau Tumailalang
yang artinya "orang di dalam" (menteri dalam negeri) untuk
mengambil alih tugas-tugas non dagang sabannaraʼ, serta
mengangkat Tumakkajannangngang atau kepala pengrajin yang
bertugas mengawasi pekerjaan. (Dari versi lain, jabatan

Halaman 139 dari 883


"Tumakkajannangngang" atau lengkapnya "Anrongguru Lompona
Tukkajannangnganga" adalah jabatan Panglima Angkatan perang
Kerajaan/Kesultanan Gowa yang di masa pemerintahan Raja
(Sultan) atau Sombaya ri Gowa ke 15, jabatan tersebut diduduki
oleh putra Beliau yaitu I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan
Hasanuddin Tumenanga ri Balla'pangkana yang dijuluki oleh
admiral VOC Cornelius Spellman dengan julukan De Haantjes van
Het Osten atau Ayam Jantan dari Timur, dalam bahasa
Makassarnya; Jangang Pallakina Butta Irayayya, dan juga pada
masa akhir Kesultanan Gowa para masa pemerintahan Sombaya ri
Gowa XXXVI Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang
Sultan Muhammad Abdul Kadir Aiduddin Tumenanga ri Jongaya
yang dijabat oleh salah satu kerabatnya yang bernama Andi
Laoddanriu Karaeng Bontonompo) serikat-serikat pengrajin di
Makassar.

Perluasan pengaruh Kerajaan Gowa di pesisir barat memicu


respons agresif dari Kerajaan Bone di sebelah timur. Perang meletus
pada awal 1560-an, dan baru berakhir pada 1565 dengan kekalahan
Gowa. Karaeng Tunibatta, saudara dan penerus Sombaya
Tunipalangga, mati dipenggal (Nibatta) oleh musuh. Selepas
kematian Tunibatta, penguasa Kerajaan Tallo I Mappatakangkang
Tana Daeng Padulung Tumenanga ri Makkoayang naik sebagai
Tuma'bicara butta atau juru bicara negeri (perdana menteri)
pertama Gowa??? dan mengangkat Karaeng Tunijalloʼ, putra
Karaeng Tunibatta, sebagai penguasa Gowa. Sejak saat itu,
penguasa Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo berbagi posisi dalam

Halaman 140 dari 883


memimpin keseluruhan negeri Gowa dan negeri Tallo secara
bersama-sama. Karaeng Tunijalloʼ mengakhiri peperangan dengan
menandatangani Perjanjian Caleppa atau "Ulu Kanaya ri Caleppa"
antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone, yang mempertahankan
kedamaian di semenanjung selama kurang lebih enam belas tahun
berikutnya. Selama itu pula, Sombaya Tunijalloʼ dan Karaeng
Tumenanga ri Makkoayang melanjutkan kebijakan-kebijakan pro-
perniagaan penguasa sebelumnya dan mengikat persahabatan
dengan negeri-negeri lain di Nusantara.

Masa kesultanan

Gambar Sultan Hasanuddin dalam perangko yang diterbitkan tahun 2006.

Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis


Speelman, VOC berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil di
Sulawesi, tetapi belum berhasil menundukkan Kesultanan Gowa. Di
lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik tahta, ia berusaha
menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia
bagian timur untuk melawan VOC (Kompeni).

Halaman 141 dari 883


Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah
kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan
semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia
mengadakan Perjanjian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa
dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan
lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia.
Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin
memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar
menambah kekuatan pasukan VOC, hingga akhirnya Kompeni
berhasil menerobos benteng terkuat milik Kesultanan Gowa yaitu
Benteng Somba Opu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin
kemudian mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan wafat pada
tanggal 12 Juni 1670.

Kesultanan Gowa telah mengalami pasang surut dalam


perkembangan sejak Raja Gowa ke-1, Tumanurung, hingga
mencapai puncak keemasannya pada abad ke-17, hingga kemudian
mengalami masa penjajahan di bawah kekuasaan Belanda. Dalam
pada itu, sistem pemerintahan mengalami transisi pada masa Raja
Gowa ke-36, Andi Idjo Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul
Kadir Aidudin, menyatakan Kesultanan Gowa bergabung menjadi
bagian Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, dan berubah
bentuk dari kerajaan menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Gowa.
Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam
sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati Kabupaten
Gowa pertama.

Budaya dan masyarakat

Halaman 142 dari 883


Deretan kapal Pinisi di Pelabuhan Paotere.

Sebagai negara maritim, maka sebagian besar masyarakat


Gowa adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk
meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka
yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya. Walaupun
masyarakat Gowa memiliki kebebasan untuk berusaha dalam
mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya
mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap
sakral. Norma kehidupan masyarakat diatur berdasarkan adat dan
agama Islam yang disebut Pangadakkang. Dan masyarakat Gowa
sangat percaya dan taat terhadap norma-norma tersebut.

Di samping norma tersebut, masyarakat Gowa juga


mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang

Halaman 143 dari 883


merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan
Anakarung atau Karaeng, sedangkan rakyat kebanyakan disebut to
Maradeka dan masyarakat lapisan bawah disebut dengan golongan
Ata.

Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Gowa banyak


menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia
pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang
dibuat oleh orang Gowa dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo.
Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Sulawesi
Selatan dan terkenal hingga mancanegara.

Ekonomi
Kerajaan Makassar adalah kerajaan Maritim dan
berkembang sebagai pusat perdagangan di wilayah Indonesia bagian
Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor yaitu : letak yang
strategis, mempunyai pelabuhan yang baik jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis pada tahun 1511 yang menyebabkan banyak
pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.

Sebagai pusat perdagangan. Makassar berkembang menjadi


pelabuhan internasional yang banyak disinggahi pedagang asing
seperti Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang
untuk berdagang di Makassar.

Halaman 144 dari 883


I Mangngimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo Sultan Muhammad Thahir
Muhibuddin Tumenanga ri Sungguminasa (bertahta 1936-1946) mendengarkan
pidato pengangkatan pejabat gubernur Celebes, Tn. Bosselaar
(awal tahun 1930-an).

Istana Balla Lompoa di Sungguminasa, Kabupaten Gowa pada tahun 2013.

Halaman 145 dari 883


Daftar Penguasa
1. Tumanurung Bainea (±1300)
2. Tumassalangga Barayang
3. I Puang Loe Lembang
4. I Tuniata Banri
5. Karampang ri Gowa
6. Tunatangka'/Tunarangka' Lopi (±1400)
7. Batara Gowa Tuniawanga ri Parallakkenna
8. I Pakere Tau Tunijallo ri Passukki
9. I Daeng Matanre Karaeng Manguntungi Tumapa'risi'
Kallonna (1510-1546)
10. I Manriwagau' Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga
(1546-1565)
11. I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta
12. I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa
Tunijallo' (1565-1590)
13. I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tunipasulu' (1590-1593)
14. I Mangnga'rangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin
Tumenanga ri Gaukanna; Berkuasa mulai tahun 1593 -
wafat tanggal 15 Juni 1639, merupakan penguasa
Kesultanan Gowa pertama yang memeluk agama Islam
15. I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng
Lakiung, Muhammad Said Sultan Malikussaid Tumenanga
ri Papang Batunna; Lahir 11 Desember 1605, berkuasa
mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653

Halaman 146 dari 883


16. I Mallombasi Daeng Mattawang Muhammad Baqir Karaeng
Bonto Mangngape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri
Balla'pangkana; Lahir tanggal 12 Januari 1631, berkuasa
mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670
, diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat
Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November
1973.
17. I Mappasomba Daeng Uraga Sultan Amir Hamzah
Tumammalianga ri Allu Lahir 31 Maret 1656, berkuasa 29
Januari 1669 hingga wafatnya 7 Mei 1674.
18. I Mappaosong Daeng Mangngewai Karaeng Bisei
Tumatea ri Jakattara; Lahir 29
November 1654, berkuasa mulai 3 Oktober 1674 sampai 27
Juli 1677 (di kudeta oleh VOC Belanda bersama Sekutu
nya), diasingkan ke Batavia 16 September 1678 dan wafat
15 Maret 1681.
19. I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone
Tumamenanga ri Lakiung. Berkuasa
pada 27 Juli 1677- hingga wafatnya 17- September 1709.
20. La Pareppa Tosappewalie Karaeng Anak Moncong Sultan
Ismail Muhtajuddin Tumenanga ri Somba Opu. Berkuasa
16 Februari 1710, di keluarkan sebagai Raja di Gowa 24
Agustus 1712.
21. I Mappau'rangi Karaeng Boddia Sultan Sirajuddin
Tumenanga ri Pasi. Berkuasa 31 Agustus 1712.
22. I Manrabbia Sultan Najamuddin

Halaman 147 dari 883


𝐌
𝐒
𝐮
𝐮
𝐥
𝐭
𝐡
𝐚
𝐧
𝐚
𝐦
𝐀
𝐦
𝐛
𝐝
𝐚
𝐮
𝐝
𝐥
𝐉
𝐀
𝐚
𝐥
𝐥
𝐢
𝐢
𝐥
𝐒
𝐮
𝐥
𝐭
𝐚
𝐧
23. I Mappaurangi Karaeng Boddia Sultan Sirajuddin
Tumenanga ri Pasi; Menjabat untuk kedua kalinya pada
tahun 1735
24. I Mallawagau Sultan Abdul Chair Al Manshur
(1735-1742)
25. I Mappaba'basa' Sultan Abdul Quddus (1742-1753)
26. Amas Madina Sultan Usman Fakhruddin Batara Gowa
(diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)
27. I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Sultan
Imaduddin Tumenanga ri Tompobalang (1767-1769)
28. I Temassongeng I Makkaraeng Karaeng Katangka Sultan
Zainuddin Tumenanga ri Mattoanging (1770-1778)
29. I Mannawarri I Sumaele Karaeng Bontolangkasa Karaeng
Mangasa Sultan Abdul Hadi Tumenanga ri Lambusu'na
atau ri Sambungjawa (1778-1810)
30. I Mappatunru' I Manginnyarrang Karaeng Lembangparang
Sultan Abdul Rauf Tumenanga ri Katangka (1816-1825)
31. I La Oddanriu' Daeng Mangngeppe Karaeng Katangka
Sultan Abdul Rahman Tumenanga ri Suangga (1825-1826)
32. I Kumala Daeng Parani Karaeng Lembangparang Sultan
Abdul Kadir Muhammad Aidid Tumenanga ri
Kakoasanna (1826 - wafat 30 Januari 1893)
33. I Malingkaang Daeng Nyonri' Karaeng Katangka Sultan
Muhammad Idris Tumenanga ri Kalabbiranna (1893 -
wafat 18 Mei 1895)

Halaman 148 dari 883


34. I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan
Husain Tumenanga ri Bundu'na atau Somba Ilanga ri
Lampanna; Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895 - 1906,
di Mahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895.
35. I Mangngimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo
Sultan Muhammad Thahir Muhibuddin Tumenanga ri
Sungguminasa (1936 - 1946)
36. Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan
Muhammad Abdul Kadir Aiduddin Tumenanga ri
Jongaya (1956 - 1978) sekaligus raja Gowa terakhir dan
menjadi bupati pertama kabupaten Gowa saat bergabung
menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Rujukan
• ^ Akbar, Adil (2019). Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Beras di Sulawesi Selatan pada
Tahun 1946-1950 (Tesis). hlm. 47.
• ^ Cummings (2002), hlm. 25, 149–153.
• ^ Abidin (1983).
• ^ Bulbeck (1992), hlm. 32–34.
• ^ Bulbeck (2006), hlm. 287.
• ^ Cummings (2002), hlm. 25.
• ^ Bulbeck (1992), hlm. 34, 231, 473, 475, antara lain.
• a b Bulbeck (1993).

• ^ Bulbeck & Caldwell (2000), hlm. 107.


• ^ Druce (2009), hlm. 34–36.
• ^ Pelras (1996), hlm. 100–103.
• ^ Pelras (1996), hlm. 98–100.
• ^ Cummings (2007b), hlm. 100–105.
• ^ Bulbeck (1992), hlm. 430–432.
• ^ Reid (1983).
• ^ Cummings (2007a), hlm. 2–5, 83–85.
• ^ Bulbeck (1992), hlm. 123–125.
• a b Cummings (2007a), hlm. 32–33.

• ^ Druce (2009), hlm. 241–242.

Halaman 149 dari 883


• ^ Bulbeck (1992), hlm. 125.
• ^ Bulbeck (1992), hlm. 117–118.
• ^ Cummings (2000), hlm. 29.
• ^ Cummings (2014), hlm. 215–218.
• ^ Bulbeck (1992), hlm. 127–131.
• ^ Bulbeck (1992), hlm. 105–107.
• ^ Cummings (2002), hlm. 216.
• ^ Cummings (2007a), hlm. 57.
• a b Bulbeck (1992), hlm. 126.

• ^ Cummings (2007a), hlm. 33–36, 56–59.


• ^ Andaya (1981), hlm. 25–26.
• ^ Druce (2009), hlm. 232–235, 244.
• ^ Bougas (1998), hlm. 92.
• ^ Sutherland (2004), hlm. 79.
• ^ Cummings (2007a), hlm. 34.
• ^ Andaya (1981), hlm. 27.
• ^ Cummings (2014), hlm. 219–221.
• ^ Andaya (2011), hlm. 114–115.
• ^ Gibson (2007), hlm. 45.
• ^ Cummings (2002), hlm. 112.
• ^ Bulbeck (1992), hlm. 107.
• ^ Gibson (2005), hlm. 45.
• ^ Bulbeck (2006), hlm. 292.
• ^ Cummings (2007a), hlm. 36.
• ^ Lompat ke:
a b Pelras (1996), hlm. 131–132.

• a b Andaya (1981), hlm. 29.

• ^ Reid (1981).
• ^ Bulbeck (1992), hlm. 102.
• ^ Cummings (1999), hlm. 109–110.
• ^ Cummings (2007a), hlm. 86.
• ^ Druce (2014), hlm. 152.
• ^ Cummings (2007a), hlm. 41.
• ^ Cummings (2002), hlm. 22.
• ^ Pelras (1994), hlm. 139.
• ^ "Kerajaan Gowa-Tallo / Kesultanan Makassar (Lengkap)". Diarsipkan dari versi asli
tanggal 2015-06-10. Diakses tanggal 2015-08-10.
• ^ "SEJARAH KABUPATEN GOWA – Website Resmi Pemerintah Kabupaten Gowa" (dalam
bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-11-01.

Halaman 150 dari 883


BAB 12
KERAJAAN PAGARUYUNG WARISAN YANG
TAKKAN PERNAH HILANG : KERAJAAN YANG
WILAYAHNYA SAMPAI KE NEGERI SEMBILAN
MALAYSIA

Wilayah Penyebaran Bahasa Minang

Kerajaan Pagaruyung (bahasa Minangkabau: Karajaan


Pagaruyuang) adalah kerajaan yang pernah berdiri di Sumatra,

Halaman 151 dari 883


wilayahnya terdapat di dalam provinsi Sumatra Barat dan sebagian
provinsi Riau sekarang.

Nama kerajaan ini dirujuk dari nama pohon Nibung atau


Ruyung,[1] selain itu juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohor
Sultan Tangkal Alam Bagagar dari Pagaruyung, yaitu pada tulisan
beraksara Jawi dalam lingkaran bagian dalam yang berbunyi (Jawi:
‫=ﺮ اﺑـﻦ ﺳـﻠﻄﺎن ﺧـﻠﯿﻔﺔ ﷲ ﯾڠ ﻣﻤﭭﻮﭘﺎءي ﺗـﺨﺘﺎ ﮐﺮاﺟـﺄن داﻟـﻢ ﻧ=ﺮي‬Q‫ﺳـﻠﻄﺎن ﺗـﻮڠ=ﻞ ﻋـﺎﻟـﻢ ﺑـﺎ‬
‫ ;ﭬ=ﺮوﯾڠ دار اﻟــﻘﺮار ﺟــﻮھــﻦ ﺑــﺮداوﻟــﺔ ظــﻞ ﷲ ﻓــﻲ اﻟــﻌﺎﻟــﻢ‬Latin: Sulthān Tunggal
Alam Bagagar ibnu Sulthān Khalīfatullāh yang mempunyai tahta
kerajaan dalam negeri Pagaruyung Dārul Qarār Johan Berdaulat
Zhillullāh fīl ‘Ālam). sayangnya pada cap mohor tersebut tidak
tertulis angka tahun masa pemerintahannya. Kerajaan ini runtuh
pada masa Perang Padri, setelah ditandatanganinya perjanjian antara
Kaum Adat dengan pihak Belanda yang menjadikan kawasan
Kerajaan Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda.

Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Malayapura, sebuah


kerajaan yang pada Prasasti Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh
Adityawarman, yang mengukuhkan dirinya sebagai penguasa
Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam
Malayapura adalah kerajaan Dharmasraya dan beberapa kerajaan
atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.

Sejarah Berdirinya Pagaruyung

Halaman 152 dari 883


Arca Bhairawa di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan


Melayu tidak dapat diketahui dengan pasti, dari Tambo yang
diterima oleh masyarakat Minangkabau tidak ada yang memberikan
penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan,
bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari
kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya.
Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh
Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah
menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuan Surawasa,
sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar.

Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman


pada bagian belakang Arca Amoghapasa disebutkan pada tahun

Halaman 153 dari 883


1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di
Malayapura, Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman
seperti yang terpahat pada Prasasti Kuburajo, dan anak dari Dara
Jingga putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yang disebut dalam
Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada
berperang menaklukkan Bali dan Palembang, pada masa
pemerintahannya kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat
pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.

Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan


Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk
mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan
padi [10] yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu
Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat
dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak
(paman) kepada kamanakan (kemenakan) telah terjadi pada masa
tersebut.[11] Sementara pada sisi lain dari saluran irigasi tersebut
terdapat juga sebuah prasasti yang beraksara Nagari atau Tamil,
sehingga dapat menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari
selatan India dalam jumlah yang signifikan pada kawasan tersebut.

Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan


daerah-daerah penting di Sumatra, dan bertahta sebagai raja
bawahan (uparaja) dari Majapahit. Namun dari prasasti-prasasti
yang ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yang menyebut
sesuatu hal yang berkaitan dengan Bhumi Jawa dan kemudian dari
berita Tiongkok diketahui Adityawarman pernah mengirimkan

Halaman 154 dari 883


utusan ke Tiongkok sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371
sampai 1377.

Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan


Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan
kerajaan ini pada tahun 1409.[12] Legenda-legenda Minangkabau
mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah
Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian
karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut
legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.

Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di


wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam
konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai
Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan
Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi
semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).

Pengaruh Hindu-Budha

Prasasti Adityawarman

Halaman 155 dari 883


Pengaruh Hindu-Budha di Sumatra bagian tengah telah
muncul kira-kira pada abad ke-13, yaitu dimulai pada masa
pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan kemudian
pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya
Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan
cukup kuat mendominasi wilayah Sumatra bagian tengah dan
sekitarnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja
yang disandang oleh Adityawarman seperti yang terpahat pada
bahagian belakang Arca Amoghapasa, yang ditemukan di hulu
sungai Batang Hari (sekarang termasuk kawasan Kabupaten
Dharmasraya).

Dari prasasti Batusangkar disebutkan Ananggawarman


sebagai yuvaraja melakukan ritual ajaran Tantris dari agama Buddha
yang disebut hevajra yaitu upacara peralihan kekuasaan dari
Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan
dengan kronik Tiongkok tahun 1377 tentang adanya utusan San-fo-
ts'i kepada Kaisar Tiongkok yang meminta permohonan pengakuan
sebagai penguasa pada kawasan San-fo-ts'i.

Beberapa kawasan pedalaman Sumatra tengah sampai


sekarang masih dijumpai pengaruhi agama Buddha antara lain
kawasan percandian Padangroco, kawasan percandian Padanglawas
dan kawasan percandian Muara Takus. Kemungkinan kawasan
tersebut termasuk kawasan taklukan Adityawarman.[12] Sedangkan
tercatat penganut taat ajaran ini selain Adityawarman pada masa
sebelumnnya adalah Kubilai Khan dari Mongol dan raja
Kertanegara dari Singhasari.

Halaman 156 dari 883


Pengaruh Islam

Istano Basa Pagaruyung tempat raja bertakhta

Perkembangan agama Islam setelah akhir abad ke-14 sedikit


banyaknya memberi pengaruh terutama yang berkaitan dengan
sistem patrialineal, dan memberikan fenomena yang relatif baru
pada masyarakat di pedalaman Minangkabau. Pada awal abad
ke-16, Suma Oriental yang ditulis antara tahun 1513 dan 1515,
mencatat dari ketiga raja Minangkabau, hanya satu yang telah
menjadi muslim sejak 15 tahun sebelumnya.[16]

Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada


abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang
singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama
Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah
Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang

Halaman 157 dari 883


dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung.
Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi
kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat
Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.

Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang


bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-
hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam.
Pepatah adat Minangkabau yang terkenal: "Adat basandi syarak,
syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat Minangkabau
bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan
pada Al-Qur'an. Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa
sistem dan cara-cara adat masih dipertahankan dan inilah yang
mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama
Perang Padri yang pada awalnya antara Kaum Padri (ulama) dengan
Kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri dalam peperangan ini.

Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan


kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan
seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan
dengan Islam. Penamaan negari Sumpur Kudus yang mengandung
kata kudus yang berasal dari kata Quddūs (suci) sebagai tempat
kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang mengandung kata
qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain
itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib),
Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari
istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai
sebelumnya misalnya istilah Pandito (pendeta).

Halaman 158 dari 883


Hubungan dengan Belanda dan Inggris
"Terdapat keselarasan yang mengagumkan dalam corak
penulisan, bukan saja dalam buku prosa dan puisi, tetapi juga
dalam perutusan surat, dan pengalaman saya sendiri telah
membuktikan kepada saya bahwa tidak ada masalah dalam
menterjemahkan surat daripada raja-raja dari kepulauan Maluku,
maupun menterjemahkan surat daripada raja Kedah dan
Terengganu di Semenanjung Malaya atau dari Minangkabau di
Sumatra."
— Pendapat dari William Marsden.

Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui


kedaulatan Kesultanan Aceh, dan mengakui para gubernur Aceh
yang ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatra. Namun
sekitar tahun 1665, masyarakat Minang di pesisir pantai barat
bangkit dan memberontak terhadap gubernur Aceh. Dari surat
penguasa Minangkabau yang menyebut dirinya Raja Pagaruyung
mengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC waktu itu
mengambil kesempatan sekaligus untuk menghentikan monopoli
Aceh atas emas dan lada. Selanjutnya VOC melalui seorang
regentnya di Padang, Jacob Pits yang daerah kekuasaannya meliputi
dari Kotawan di selatan sampai ke Barus di utara Padang
mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan
Ahmadsyah, Iskandar Zulkarnain, Penguasa Minangkabau yang
kaya akan emas serta memberitahukan bahwa VOC telah menguasai
kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat
dialirkan kembali pada pesisir pantai. Menurut catatan Belanda,

Halaman 159 dari 883


Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tahun 1674 dan digantikan oleh
anaknya yang bernama Sultan Indermasyah.

Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir


Sumatra Barat tahun 1666, melemahlah pengaruh Aceh pada
Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah rantau dan pesisir
dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat itu
Pagaruyung merupakan salah satu pusat perdagangan di pulau
Sumatra, disebabkan adanya produksi emas di sana. Demikianlah
hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk menjalin
hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684,
seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke
Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.

Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak


menyukai keberadaan VOC di Padang dan pernah berusaha
membujuk Inggris yang berada di Bengkulu, bersekutu untuk
mengusir Belanda walaupun tidak ditanggapi oleh pihak Inggris.
Namun pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai Padang untuk
sementara waktu, dan waktu itu datang utusan dari Pagaruyung
memberikan ucapan selamat atas keberhasilan Inggris mengusir
Belanda dari Padang. Menurut Marsden tanah Minangkabau sejak
lama dianggap terkaya dengan emas, dan waktu itu kekuasaan raja
Minangkabau disebutnya sudah terbagi atas raja Suruaso dan raja
Sungai Tarab dengan kekuasaan yang sama.Sebelumnya pada tahun
1732, regent VOC di Padang telah mencatat bahwa ada seorang ratu
bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan telah mengirimkan tombak
dan pedang berbahan emas, sebagai tanda pengukuhan dirinya

Halaman 160 dari 883


sebagai penguasa bumi emas. Walaupun kemudian setelah pihak
Belanda maupun Inggris berhasil mencapai kawasan pedalaman
Minangkabau, tetapi mereka belum pernah menemukan cadangan
emas yang signifikan dari kawasan tersebut.

Sebagai akibat konflik antara Inggris dan Prancis dalam


Perang Napoleon di mana Belanda ada di pihak Prancis, maka
Inggris memerangi Belanda dan kembali berhasil menguasai pantai
barat Sumatra Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819.
Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun
1818, yang sudah mulai dilanda peperangan antara kaum Padri dan
kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibu kota kerajaan
mengalami pembakaran akibat peperangan yang terjadi. Setelah
terjadi perdamaian antara Inggris dan Belanda pada tahun 1814,
maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun
1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatra
dan Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada
tahun 1824 dengan Inggris.

Kegigihan Para Pemimpin Pagaruyung


"Dari reruntuhan kota (Pagaruyung) ini menjadi bukti
bahwa di sini pernah berdiri sebuah peradaban Melayu yang luar
biasa, menyaingi Jawa, situs dari banyak bangunan kini tidak ada
lagi, hancur karena perang yang masih berlangsung."
— Pendapat dari Thomas Stamford Raffles.

Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-


saat menjelang perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati.

Halaman 161 dari 883


Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh,
sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan
merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.

Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara Kaum Padri dan
Kaum Adat. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat
antara mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dalam kerajaan
Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya Kaum Padri dibawah
pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun
1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan
diri dari ibu kota kerajaan ke Lubuk Jambi.

Karena terdesak oleh Kaum Padri, keluarga kerajaan


Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda, dan sebelumnya
mereka telah melakukan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles
mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada
mereka. Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan Tangkal Alam
Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang
berada di Padang, beserta 19 orang pemuka adat lainnya
menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerja sama
dalam melawan Kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal
Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian
dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung. Akibat dari
perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan
kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda. Kemudian
setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari Kaum Padri,
pada tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang
Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah kembali ke

Halaman 162 dari 883


Pagaruyung, tetapi pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah, raja
terakhir di Minangkabau ini, wafat dan kemudian dimakamkan di
Pagaruyung.

Pasukan Belanda dan Padri saling berhadapan di medan perang. Lukisan sekitar
tahun 1900.

Sementara Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah pada sisi lain


ingin diakui sebagai Raja Pagaruyung, tetapi pemerintah Hindia
Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya dan hanya
mengangkatnya sebagai Regent Tanah Datar.Kemungkinan karena
kebijakan tersebut menimbulkan dorongan pada Sultan Tangkal
Alam Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana mengusir
Belanda dari negerinya.

Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda


kemudian berusaha menaklukkan Kaum Padri dengan kiriman
tentara dari Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Namun ambisi

Halaman 163 dari 883


kolonial Belanda tampaknya membuat kaum adat dan Kaum Padri
berusaha melupakan perbedaan mereka dan bersekutu secara rahasia
untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Sultan Tangkal
Alam Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar
atas tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang ke Batavia (Jakarta
sekarang) sampai akhir hayatnya, dan dimakamkan di pekuburan
Mangga Dua

Setelah kejatuhannya, pengaruh dan prestise kerajaan


Pagaruyung tetap tinggi terutama pada kalangan masyarakat
Minangkabau yang berada di rantau. Salah satu ahli waris kerajaan
Pagaruyung diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan. Begitu
juga sewaktu Raffles masih bertugas di Semenanjung Malaya, dia
berjumpa dengan kerabat Pagaruyung yang berada di Negeri
Sembilan, dan Raffles bermaksud mengangkat Yang

Perang Padri yang awalnya adalah antara Kaum Adat dari Kerajaan Pagaruyung
dan Kaum Padri, berubah saat kondisi Masyarakat Minang semakin sengsara dan
berubah haluan menjadi perlawanan bersama Kaum Adat dan Kaum Padri
melawan Belanda. Salah satu tokoh yang gigih melawan Belanda adalah Tuanku
Imam Bonjol, beliau kemudian ditangkap, dibuang ke Cianjur, terakhir ke
Minahasa, dan wafat disana. Sebagai Pahlawan Nasional beliau diabadikan
dalam Pecahan Uang Kertas 5000

Halaman 164 dari 883


Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggapnya masih keturunan
langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan
Inggris. Sementara setelah berakhirnya Perang Padri, Tuan Gadang
di Batipuh meminta pemerintah Hindia Belanda untuk memberikan
kedudukan yang lebih tinggi daripada sekadar Regent Tanah Datar
yang dipegangnya setelah menggantikan Sultan Tangkal Alam
Bagagar, tetapi permintaan ini ditolak oleh Belanda, hal ini nantinya
termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun
1841 di Batipuh selain masalah cultuurstelsel.

Wilayah kekuasaan
Menurut Tomé Pires dalam Suma Oriental, tanah
Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman Sumatra tempat di
mana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur Arcat
(antara Aru dan Rokan) ke Jambi dan kota-kota pelabuhan pantai
barat Panchur Barus, Tiku dan Pariaman. Dari catatan tersebut juga
dinyatakan tanah Indragiri, Siak dan Arcat merupakan bagian dari
tanah Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan
utama raja Minangkabau tersebut. Namun belakangan daerah-
daerah rantau seperti Siak, Kampar dan Indragiri kemudian lepas
dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh.

Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah


wilayah tempat hidup, tumbuh, dan berkembangnya kebudayaan
Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan Tambo
(legenda adat) berbahasa Minang ini:

Halaman 165 dari 883


Dari Sikilang Aia Bangih
Hingga Taratak Aia Hitam
Dari Durian Ditakuak Rajo
Hingga Sialang Balantak Basi

Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah


Pasaman Barat, berbatasan dengan Natal, Sumatra Utara. Taratak
Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah
wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi.

Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah wilayah di


Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang. Secara
lengkapnya, di dalam tambo dinyatakan bahwa Alam Minangkabau
(wilayah Kerajaan Pagaruyung) adalah sebagai berikut:
Nan salilik Gunuang Marapi Daerah Luhak Nan Tigo
Saedaran Gunuang Pasaman Daerah di sekeliling Gunung Pasaman
Sajajaran Sago jo Singgalang Daerah sekitar Gunung Sago dan Gunung
Saputaran Talang jo Kurinci Singgalang
Dari Sirangkak nan Badangkang Daerah sekitar Gunung Talang dan Gunung
Hinggo Buayo Putiah Daguak Kerinci
Sampai ka Pintu Rajo Hilia Daerah Pariangan Padang Panjang dan sekitarnya
Hinggo Durian Ditakuak Rajo Daerah di Pesisir Selatan hingga Muko-Muko
Sipisau-pisau Hanyuik Daerah Jambi sebelah barat
Sialang Balantak Basi Daerah yang berbatasan dengan Jambi
Hinggo Aia Babaliak Mudiak Daerah sekitar Indragiri Hulu hingga Gunung
Sailiran Batang Bangkaweh Sahilan, Kampar
Sampai ka ombak nan badabua Daerah sekitar Gunung Sailan dan Singingi
Sailiran Batang Sikilang Daerah hingga ke rantau pesisir sebelah timur
Hinggo lauik nan sadidieh atau daerah Kabupaten Pelalawan
Ka timua Ranah Aia Bangih Daerah sekitar Danau Singkarak dan Batang
Rao jo Mapek Tunggua Ombilin
Gunuang Mahalintang Daerah hingga Samudra Indonesia
Pasisia Banda Sapuluah Daerah sepanjang pinggiran Batang Sikilang,
Taratak Aia Hitam Pasaman Barat
Sampai ka Tanjuang Simalidu Daerah yang berbatasan dengan Samudra
Pucuak Jambi Sambilan Lurah Indonesia
Daerah sebelah timur Air Bangis (Sungai

Halaman 166 dari 883


Pengaruh
Pengaruh kerajaan Pagaruyung melingkupi hampir seluruh
Pulau Sumatra seperti yang ditulis William Marsden dalam bukunya
The history of Sumatra (1784). Beberapa kerajaan lainnya di luar
Sumatra juga mengakui kedaulatan Pagaruyung, walaupun bukan
dalam hubungan pemberian upeti. Ada sebanyak 62 hingga 75
kerajaan kecil di Nusantara yang menginduk pada Pagaruyung,
yang tersebar di Filipina, Brunei, Thailand, dan Malaysia, serta di
Sumatra, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat di
Indonesia. Hubungan tersebut dibedakan berdasarkan gradasi
hubungan, yakni sapiah balahan (garis keturunan perempuan),
kuduang karatan (garis keturunan laki-laki), kapak radai, serta
timbang pacahan yang merupakan keturunan kerajaan.

Sistem pemerintahan
Raja
Adityawarman pada awalnya menyusun sistem
pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yang ada di
Majapahit masa itu, meskipun kemudian menyesuaikannya dengan
karakter dan struktur kekuasaan kerajaan sebelumnya (Dharmasraya
dan Sriwijaya) yang pernah ada pada masyarakat setempat. Ibu kota
diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung
tetap diperintah oleh Datuk setempat.

Pagaruyung memiliki sistem raja triumvirat yang disebut


rajo tigo selo ("tiga orang raja yang bersila"), yang terdiri atas:

1. Raja Alam yang berkedudukan di Pagaruyung;

Halaman 167 dari 883


2. Raja Adat yang berkedudukan di Buo;
3. Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus.
Menteri
Raja-raja Pagaruyung memiliki empat orang pembesar
utama yang disebut Basa Ampek Balai, yaitu:

• Bandaro yang berkedudukan di Sungai Tarab;


• Makhudum yang berkedudukan di Sumanik;
• Indomo yang berkedudukan di Suruaso;
• Tuan Gadang yang berkedudukan di Batipuh.
Belakangan, pengaruh Islam menempatkan Tuan Kadi
(Qadhi) yang berkedudukan di Padang Ganting menggeser
kedudukan Tuan Gadang di Batipuh, dan bertugas menjaga syariah
agama.

Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek


Balai punya daerah-daerah tertentu tempat mereka berhak menagih
upeti sekadarnya, yang disebut rantau masing-masing pembesar
tersebut. Bandaro memiliki rantau di Bandar X, rantau Tuan Kadi
adalah di VII Koto dekat Sijunjung, Indomo punya rantau di bagian
utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di Semenanjung
Melayu, di daerah permukiman orang Minangkabau di sana.

Selain itu dalam menjalankan roda pemerintahan, kerajaan


juga mengenal aparat pemerintah yang menjalankan kebijakan dari
kerajaan sesuai dengan fungsi masing-masing, yang sebut Langgam
nan Tujuah. Mereka terdiri dari:

1. Pamuncak Koto Piliang


Halaman 168 dari 883
2. Perdamaian Koto Piliang
3. Pasak Kungkuang Koto Piliang
4. Harimau Campo Koto Piliang
5. Camin Taruih Koto Piliang
6. Cumati Koto Piliang
7. Gajah Tongga Koto Piliang
Pemerintahan Darek dan Rantau
Dalam laporannya, Tomé Pires telah memformulasikan
struktur wilayah dari tanah Minangkabau dalam darek (land) dan
rantau (sea/coast), walaupun untuk beberapa daerah pantai timur
Sumatra seperti Jambi dan Palembang disebutkan telah dipimpin
oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa.

Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari,


yang merupakan satuan wilayah otonom pemerintahan. Nagari-
nagari ini merupakan dasar kerajaan, dan mempunyai kewenangan
yang luas dalam memerintah. Suatu nagari mempunyai
kekayaannya sendiri dan memiliki pengadilan adatnya sendiri.
Beberapa buah nagari kadang-kadang membentuk persekutuan.
Misalnya Bandar X adalah persekutuan sepuluh nagari di selatan
Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari kaum penghulu, dan
sering diberi gelar raja. Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja
Pagaruyung.

Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah


dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat
Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun

Halaman 169 dari 883


manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi
dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang
dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian
berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto
dan kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari
yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili
kawasan tersebut.[17]

Darek
Luhak nan Tigo

Luhak Tanah Data Luhak Agam Luhak Limopuluah

Alam Surambi Sungai Pagu Ampek-Ampek Angkek Hulu

Batipuah Sapuluah Koto Lawang nan Tigo Balai Lareh

Kubuang Tigobaleh Nagari-nagari Danau Maninjau Luhak

Langgam nan Tujuah Ranah

Limokaum Duobaleh Koto Sandi

Lintau Sambilan Koto

Lubuak nan Tigo

Nilam Payuang Sakaki

Pariangan Padangpanjang

Sungai Tarab Salapan Batua

Talawi Tigo Tumpuak

Tanjuang nan Tigo

Sapuluah Koto di Ateh

Halaman 170 dari 883


Di daerah Darek atau daerah inti Kerajaan Pagaruyung
terbagi atas 3 luhak (Luhak Nan Tigo, yaitu Luhak Tak nan Data,
belakangan menjadi Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak
Limopuluah). Sementara pada setiap nagari pada kawasan luhak ini
diperintah oleh para penghulu, yang mengepalai masing-masing
suku yang berdiam dalam nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh
anggota suku, dan warga nagari untuk memimpin dan
mengendalikan pemerintahan nagari tersebut. Keputusan
pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu di Balai
Adat, setelah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah inti
Kerajaan Pagaruyung, Raja Pagaruyung tetap dihormati walau
hanya bertindak sebagai penengah dan penentu batas wilayah.

Rantau
Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah
Rantau. Ia boleh membuat peraturan dan memungut pajak di sana.
Rantau merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke
alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari
kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal
dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan
pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).

Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri.


Penduduk Tanah Datar merantau ke arah barat dan tenggara,
penduduk Agam merantau ke arah utara dan barat, sedangkan
penduduk Limopuluah merantau ke daerah Riau daratan sekarang,
yaitu Rantau Kampar, Rokan dan Kuantan. Selain itu, terdapat
daerah perbatasan wilayah luhak dan rantau yang disebut sebagai

Halaman 171 dari 883


Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah rantau seperti di Pasaman,
kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada raja-raja kecil,
yang memerintah turun temurun. Di Inderapura, raja mengambil
gelar sultan. Sementara di kawasan lain mengambil gelar Yang
Dipertuan Besar.

Istana Ampang Tinggi di Negeri Sembilan, Malaysia, bukti kehadiran


Kerajaan Pagaruyung

Pembagian daerah rantau adalah sebagai berikut:

Halaman 172 dari 883


Rantau Luhak Tanah Data Rantau Luhak Agam Rantau Luhak Limopuluah

Rantau Nan Kurang Aso Duo • Tiku Pariaman • Mangilang


Puluah atau daerah Kabupaten • Pasaman Barat • Tanjuang Balik
Kuantan Singingi • Pasaman Timur • Pangkalan
• Lubuak Ambacang Ujuang Darek Kapalo • Koto Alam
Rantaunya • Gunuang Malintang
• Lubuak Jambi
• Gunuang Koto • Muaro Paiti
• Palembayan
• Benai • Rantau Barangin
• Silareh Aia
• Pangian • Rokan (Rambah,
• Lubuak Basuang
Tambusai, Kepenuhan,
• Basra • Kampuang Pinang Kunto Darussalam,
• Sitanjua • Simpang Ampek Rokan Ampek Koto)
• Kopa • Sungai Garinggiang • Gunuang Sailan
• Taluak Ingin • Lubuak Bawan • Kuntu
• Inuman • Tigo Koto • Lipek Kain
• Surantiah • Garagahan • Ludai
• Taluak Rayo • Manggopoh • Ujuang Bukik
• Simpang Kulayang • Batu Sanggan
• Aia Molek • Tigo Baleh Koto
• Pasia Ringgik Kampar
• Kuantan • Sibiruang
• Talang Mamak • Gunuang Malelo
• Kualo Enok • Tabiang
Ujuang Darek Kapalo • Tanjuang
Rantaunya • Gunuang Bungsu
• Anduriang Kayu Tanam • Muaro Takuih
• Guguak Kapalo Hilalang • Pangkai
• Sicincin • Binamang
• Toboh Pakandangan • Tanjuang Abai
• Duo Kali Sabaleh Anam • Pulau Gadang
Lingkuang • Baluang Koto Sitangkai
• Tujuah Koto (Batu • Tigo Baleh
Kalang, Koto Baru, • Lubuak Aguang
Koto Dalam, Tandikek, • Limo Koto Kampar
Sungai Durian, Sungai (Kuok, Bangkinang,
Sariak, dan Ampalu) Salo, Rumbio, Aia Tirih)
• Taratak Buluah
• Pangkalan Indawang
• Pangkalan Kapeh
• Pangkalan Sarai
• Koto Laweh

Sementara kawasan Rantau Pasisia Panjang atau Banda


Sapuluah (Bandar Sepuluh) dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4
Halaman 173 dari 883
orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja
Kambang, Raja Palangai). Kawasan ini merupakan semacam
konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang masing-
masing dipimpin oleh 10 orang penghulu. Nagari-nagari tersebut
adalah

• Airhaji
• Bungo Pasang atau Painan Banda Salido
• Kambang
• Palangai
• Lakitan
• Tapan
• Tarusan
• Batang Kapeh
• Ampek Baleh Koto Kabupaten Mukomuko
• Limo Koto Kabupaten Mukomuko
Nagari-nagari ini kemudian dikenal sebagai bagian dari
Kerajaan Inderapura, termasuk daerah Anak Sungai, yang
mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai nagari
Ampek Baleh Koto), dan Muko-muko (Limo Koto).

Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu


daerah rantau yang terletak di wilayah Semenanjung Malaya
(Malaysia sekarang). Beberapa kawasan rantau tersebut menjadi
nagari, kemudian masyarakatnya membentuk konfederasi (semacam
Luhak), dan pada masa awal meminta dikirimkan raja sebagai
pemimpin atau pemersatu mereka kepada Yang Dipertuan

Halaman 174 dari 883


Pagaruyung, kawasan tersebut dikenal sebagai Negeri Sembilan,
nagari-nagari tersebut adalah

• Jelai
• Jelebu
• Johol
• Klang
• Naning
• Pasir Besar
• Rembau
• Segamat
• Sungai Ujong
Catatan kaki
• ^ Anonim. 1822. Malayan Miscellanies, Vol II: The Geneology of Rajah of Pulo Percha. Printed
And Published at Sumatra Mission Press. Bencoolen
• ^ Lompat ke:
a b c d e f Amran, Rusli (1981). Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan.

• ^ Lihat: Cap mohor Bagagarsyah dari Pagaruyung


• ^ Lompat ke:
a b Stuers, H.J.J.L. (1849). De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra.

P.N. van Kampen.


• ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the
beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 978-90-04-04172-1.
• ^ Mhd. Nur, et al. (2016) "Perjuangan Sultan Alam Bagagar Syah Dalam Melawan Penjajah
Belanda di Minangkabau pada Abad ke 19" Agam : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
• ^ Lompat ke:
a b Casparis, J.G. (1989). "Peranan Adityawarman Putera Melayu di Asia Tenggara". Tamadun

Melayu. 3: 918–943.
• ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang
Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
• ^ Berg, C.C., (1985), Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara
• ^ Lompat ke:
a b Casparis, J.G. (1990). "An ancient garden in West Sumatra". Kalpataru (9): 40–49.

Halaman 175 dari 883


• ^ Lompat ke:
a b Kozok, U. (2006). Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-603-6.


• ^ Lompat ke:
a b c Muljana, S. (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di

Nusantara. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 979-98451-16-3.


• ^ Mahāwitthayālai Sinlapākō̜n (2003). Sanskrit in Southeast Asia. Sanskrit Studies Centre,
Silpakorn University. ISBN 974-641-045-8.
• ^ Suleiman, S. (1977). The archaeology and history of West Sumatra. Pusat Penelitian Purbakala
dan Peninggalan Nasional, Departemen P & K.
• ^ Poesponegoro, M.D. (1992). Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuno. Jakarta: PT Balai
Pustaka. ISBN 979-407-408-X.
• ^ Lompat ke:
a b c Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2

vols.
• ^ Lompat ke:
a b c Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai

Pustaka.
• ^ Lompat ke:
a b Kepper, G., (1900), Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900, M.M. Cuvee,

Den Haag.
• ^ Kathirithamby-Wells, J., (1969), Achehnese Control over West Sumatra up to the Treaty of
Painan of 1663, JSEAH 10, 3:453-479.
• ^ Basel, J.L., (1847), Begin en Voortgang van onzen Handel en Voortgang op Westkust, TNI 9,
2:1-95.
• ^ NA, VOC 1277, Mission to Pagaruyung, fols. 1027r-v
• ^ Lompat ke:
a b c d e Dobbin, C.E. (1983). Islamic revivalism in a changing peasant economy: central Sumatra,

1784-1847. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9.


• ^ SWK 1703 VOC 1664, f. 117-18
• ^ Haan, F. de, (1896), Naar midden Sumatra in 1684, Batavia-'s Hage, Albrecht & Co.-M. Nijhoff.
40p. 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 39.
• ^ Kato, Tsuyoshi (2005). Adat Minangkabau dan merantau dalam perspektif sejarah. PT Balai
Pustaka. ISBN 979-690-360-1.
• ^ Raffles, Sophia (1835). "Chapter V". Memoir of the life and public services of Sir Thomas
Stamford Raffles. Volume I. J. Duncan.
• ^ Lompat ke:
a b c Marsden, William (1784). The history of Sumatra: containing an account of the government,

laws, customs and manners of the native inhabitants, with a description of the natural productions,
and a relation of the ancient political state of that island.
• ^ Andaya, B.W. (1993). To live as brothers: southeast Sumatra in the seventeenth and eighteenth
centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-1489-4.

Halaman 176 dari 883


BAB 13
KERAJAAN KAIMANA : TEMPAT RAJA AMPAT
YANG TELAH MASUK ISLAM SEJAK KERAJAAN
SAMUDERA PASAI

Wilayah Kerajaan Namatota dan Kaimana


Wilayah Uli Siwa dan Uli Lima abad ke-16

Halaman 177 dari 883


Kerajaan Kaimana (Jawi: ‫ )ك ـ ـ ـ ـ ـ ــراج ـ ـ ـ ـ ـ ــأن ك ـ ـ ـ ـ ـ ـي ـمــان‬dikenal juga
dengan nama Kerajaan Sran atau Kerajaan Komisi dengan nama
lokal Sran Emaan Muun adalah salah satu dari kerajaan Islam
yang terletak di wilayah semenanjung Bomberai, Papua Barat.

Sejarah Asal mula


Kerajaan Kaimana dikisahkan berasal dari kawasan
pegunungan Mbaham, Tri Abuan Wanas. Leluhur mereka awalnya
tinggal di Gunung Baik yang terletak di Semenanjung Kumawa atau
kawasan Patimunin. Menurut penuturan Abdul Hakim Achmad
Aituarauw (Raja Sran Kaimana VIII), terbentuknya pemerintahan
adat kerajaan Sran Kaimana adalah usaha raja pertama bernama
Imaga. Saat itu penduduk yang mendiami kerajaan itu belum
banyak. Imaga lalu menyatukan mereka dalam satu pemerintahan
adat, ia berjalan dari kampung ke kampung untuk menyebarkan
pengaruhnya. Cara lain adalah dengan cara perkawinan, sehingga
hampir di semua wilayah ada keluarganya. Alhasil penduduk
kampung-kampung tersebut bersatu dan mengangkatnya sebagai
raja pada 1309. Bisa dikatakan kerajaan ini adalah kerajaan
keluarga, karena Imaga sebenarnya menjadi pemimpin bagi
keluarga besar. Raja Imaga, bergelar Rat Sran Nati Patimunin I.
Pusat kerajaan dibangunnya di Weri, terletak di Teluk Tunasgain di
wilayah Fakfak.[1]

Sejarah Kaimana zaman Majapahit


Semasa pemerintahan raja Imaga, kondisi kehidupan
masyarakat cukup baik. Mereka menjalin hubungan perdagangan

Halaman 178 dari 883


dengan orang-orang Seram Laut (Seram Timur), yang mencari
burung kuning, masoi dan emas di wilayah tersebut. Para pedagang
Seram Laut pun melakukan perkawinan dengan penduduk daratan
Papua. Setelah raja Imaga wafat (tahun tidak diketahui), Raja Sran
selanjutnya adalah "Basir Onin" anak dari Imaga. Ia memindahkan
kerajaannya ke Pulau Adi didasarkan atas pertimbangan bahwa
Pulau Adi terletak pada posisi strategis dalam lalu lintas pelayaran
dan perdagangan menuju dataran Kowiai. Ia menyatakan sepuh
kemudian mengangkat anaknya Woran sebagai Raja. Ibukota
kerajaannya terletak di Borombouw.[2]

Pada masa pemerintahan Woran, kerajaan ini mengalami


perkembangan yang cukup pesat. Ia memperluas pengaruh dan
kekuasaannya dengan cara mengunjungi desa-desa serta melakukan
pernikahan di berbagai tempat. Sehingga hampir sebagian besar
hidup raja-raja dahulu adalah untuk mengunjungi kampung-
kampung guna menghimpun mereka dalam kepemimpinannya dan
melakukan perkawinan. Hasil usaha raja Woran membuat
wilayahnya berkembang meliputi dataran semenanjung Onin,
dataran Bomberay dan dataran Kaimana yang berbatasan dengan
tanah rendah Kamoro. Woran mengangkat anaknya Wau’a sebagai
Putra Mahkota, sayangnya Wau’a meninggal dalam usia muda
sebelum sempat menjadi Raja. Dalam masa kepemimpinan Raja
Woran, kerajaannya pernah dikunjungi oleh Patih Gajah Mada.
Kunjungan ini tercatat dalam tulisan Empu Prapanca yang
menyebutkan suatu daerah yang bernama Sran yang pernah
dikunjungi oleh Patih Gajah Mada dalam upaya menggenapi

Halaman 179 dari 883


Sumpah Palapa yang diucapkannya kepada raja Majapahit. Dalam
kunjungannya ke istana raja Sran Rat Adi III yang diberi nama
istana San Nabe di Borombouw, Pulau Adi, beliau disambut dengan
upacara kebesaran. Istana San Nabe memiliki bumbungan berupa
ukiran buaya berwarna putih merah. Dalam kunjungan itu, Patih
Gajah Mada memberikan seorang putri dan bendera merah putih
kepada raja Woran; sedangkan raja Woran memberikan burung
Cenderawasih (syangga) dan seorang putri raja untuk diantar kepada
raja Majapahit. Woran memerintah selama 92 tahun yaitu dari tahun
1348-1440.[3][4] Kontak dengan eskpedisi Jawa abad ke 15 ini juga
disebutkan pula dalam kisah penduduk lokal di antara Teluk Patipi
dan Rumbati dalam memori Galis.[5]

Sejarah Kaimana zaman Tidore


Namun pasca meninggalnya raja Woran, ada tiga orang raja
lagi yang memerintah, namun tidak ada data yang jelas raja-raja
selanjutnya ini. Menurut La Aga Samay (sesepuh Kerajaan Sran/
Kaimana), pada tahun 1498, pasukan hongi Tidore, menyerang
daerah Sran sehingga terjadi perang antara kerajaan Sran melawan
pasukan hongi Tidore. Sejak itu Sran harus membawa budak dan
burung kuning untuk diantar kepada Tidore. Oleh raja Tidore,
mereka ini diberi hadiah-hadiah serta gelar-gelar. Pada abad ke XV
(1460-1541) penguasa pertama di pulau Adi, Ade Aria Way, telah
menerima Islam yang dibawa oleh Syarif Muaz yang mendapat
gelar Syekh Jubah Biru, yang menyebarkan Islam di utara dan
kawasan itu. Namun sambutan positif lebih banyak diterima di

Halaman 180 dari 883


pulau Adi dalam hal ini di daerah kekuasaan Ade Aria Way. Setelah
masuk Islam Ade Aria Way berganti nama menjadi Samai.

Sultan Tidore, pernah mengangkat seorang raja di Pulau Adi,


hal ini tertuang dalam Memorie-(Vervolg) van Overgave van de
(Onder) Afdeeling West Nieuw Guinea, 1932, dikatakan bahwa
Sultan Tidore mengangkat seorang raja di Pulau Adi dan daerah
Karufa, seorang Mayor Wanggita, penguasa yang berpengaruh di
Teluk Arguni, namun penerus keturunan raja-raja Adi dan Aiduma
tidak dapat mempertahankan eksistensinya sebagai raja (A.L. Vink,
“Memorie-(Vervolg) van Overgave van de (Onder)Afdeeling West
Nieuw Guinea, 1932). Selanjutnya dalam laporan Etna yang dikutip
oleh Pendeta F.C. Kamma (Kepulauan Tidore dan Papua) bahwa
tahun 1859 juga ada seorang raja di Adi, yang kerajaannya
terbentang dari teluk Kamrao sampai Tanjung Baik serta mencakup
Pulau Kara dan Adi. Tidak bisa diselidiki apakah yang dimaksudkan
dengan Kara, Karas atau Karawatu (Memorie van Overgave L.L.A.
Maurenbrecher, 1953). Keterangan tersebut sesuai bahwa, pusat
kerajaan Sran berada di Pulau Adi, namun pernah terjadi konflik
diantara keluarga kerajaan sehingga untuk beberapa waktu lamanya
tidak ada raja di kerajaan Sran.

Sejarah Kaimana zaman Belanda


Pada tahun 1808, Nduvin diangkat sebagai raja Sran ke IV.
Pada waktu itu, pusat Kerajaan Sran masih berkedudukan di Pulau
Adi. Raja Nduvin memindahkan pusat pemerintahan kerajaannya
dari Borombow di Pulau Adi ke E’man atau Kaimana. Nduvin
menikah dengan putri Wai dari Bonggofut. Putri tersebut bermarga

Halaman 181 dari 883


Ai dan berasal dari Gunung Natau di Franyau yang bernama Mimbe
Werifun. Nduvin memiiki seorang anak bernama Nawaratu, atau
Naro’E. Disamping Naro’E, Raja Nduvin masih memiliki keturunan
dari Umburauw kampung Bahumia dan Ubia Sermuku.

Fort Du Bus pada tahun 1828


Perjanjian yang ditanda tangani oleh Belanda dan kerajaan
Maluku pada tahun 1824 itu berisi bahwa Irian Barat secara resmi
diakui sebagai daerah kekuasaan Sultan Tidore (Kamma, 1981).
Sebagai tindak lanjut perjanjian tersebut, pada tahun 1828, Belanda
membangun benteng di teluk Triton di kaki gunung Lemansiri di
Lobo (Namatota) Kaimana. Benteng ini diresmikan pada tanggal 24
Agustus 1828 dengan nama “Fort Du Bus”. Upacara peresmian
dihadiri oleh orang Belanda dan juga warga lokal. Seusai upacara
dilakukan penandatanganan surat perjanjian yang ditandatangani
oleh Sendawan (raja Namatota), Kassa (raja Lakahia) dan Lutu
(orang kaya Lobo dan Mawara). Ketiga raja ini oleh Belanda
masing-masing diberi surat sebagai kepala daerah, berikut tongkat
kekuasaan berkepala perak. Selain ketiga kepala daerah ini,

Halaman 182 dari 883


diangkat pula 28 kepala daerah bawahan (Koentjaraningrat,1992).
Dengan demikian raja Sran Kaimana menjadi kepala daerah
bawahan dari Kerajaan Namatota.[9] Selama beberapa tahun
berikutnya, Nduvin lebih memfokuskan perhatiannya untuk
melawan ekspedisi hongi, sampai pada tahun 1898, Raja Nduvin
wafat.[8]

Ia digantikan anaknya Naro’E yang dinobatkan sebagai raja


dengan gelar Rat Sran Kaimana V, namun pada tahun 1898 setelah
Nieuw Guinea dinyatakan sebagai milik Belanda, terjadi berbagai
perubahan politik yang menyebabkan banyak terjadi perubahan
dalam tatanan wilayah kekuasaan raja Kaimana yang berdampak
semakin turunnya kekuasaan raja. Raja berkuasa atas rakyatnya
namun raja maupun rakyatnya berada di bawah kekuasaan Belanda
dan harus tunduk pada aturan Belanda.[10] Dalam tahun 1898,
parlemen Belanda mensyahkan pengeluaran anggaran sebanyak
f.115.000 untuk mendirikan pemerintahan di Nieuw Guinea.
Pemerintah Belanda membagi dua bagian daerah Nieuw Guinea,
bagian utara dinamakan Afdeeling Noord Nieuw Guinea dengan
kontrolir ditempatkan di Manokwari, lalu bagian Barat dan Selatan
dinamakan Afdeeing West en Zuid Nieuw Guinea dengan kontrolir
ditempatkan di Fak-fak (Koentjaranigrat, 1992). Kondisi geografis
dan minimnya alat transportasi, menyebabkan banyak daerah di
Afdeeling West en Zuid Nieuw Guinea yang penduduknya belum
mengetahui kalau pemerintah Belanda sudah menguasai daerah
tersebut.[8]

Halaman 183 dari 883


Raja Naro’E sebagai raja Kaimana pada saat itu pun belum
mengetahui hal itu, sehingga ia tetap melakukan ekspansi wilayah
kerajaannya ke arah barat dan timur melalui perkawinan di kawasan
Teluk Berauw. Keluarganya antara lain Fimbay dan Rafideso di
Miwara. Di Uduma dengan keluarga Kamakula, di Teluk Bicari
dengan keluarga Nanggewa, Nambobo serta keluarga Ai dan di
kawasan Mbaham Iha dengan Boki Sekar. Disamping itu ia juga
melakukan perang dengan melakukan ekspedisi hongi untuk
membebaskan daerah kekuasaannya yang diekspansi oleh pihak lain
dengan pasukannya yang bernama nama Sabakor. Ia menikahkan
anak perempuannya Koviai Bata dengan Lakatei yang kemudian
menjadi Raja Wertuar. Ia juga membangun hubungan kekeluargaan
dengan raja Namatota. Anak perempuan lainnya yang bernama
Sekar Bata dinikahkan dengan Lamora, raja Namatota, disini Naro'e
menganggap Sran bukan lagi bawahan Namatota. Disamping itu
cucu perempuannya dinikahkan dengan seorang Pangeran Kerajaan
Fer di Langgiar (Nuhu Yuut). Gambaran mengenai pernikahan ini
sangat jelas memperlihatkan usaha raja Naro’E untuk memperluas
pengaruh kerajaannya, melalui hubungan kekerabatan.[8]

Kampung Kaimana, dengan rumah Rat Umisi (Raja Komisi) di sebelah kanan,
1907-1915

Halaman 184 dari 883


Pada tahun 1912, raja Naro’E berangkat ke Teluk Bintuni,
bertemu dengan Kapten Keyts yang memberitahunya bahwa
Pemerintah Hindia Belanda sudah secara resmi mendirikan
pemerintahan di Papua. Raja Naro’E menyatakan protes dan
nampaknya sangat kecewa dengan tindakan sewenang-wenang
Belanda yang mengklaim Papua sebagai miliknya tanpa
sepengetahuan dan persetujuan pemiliknya. Akibat kekecewaan ini,
ia tidak mau kembali lagi ke kota kerajaannya. Raja Naro’E
memilih tinggal di daerah Kokas dan Babo selama 10 tahun
(Renaissance Nusantara, 2009). Untuk sementara pemerintahan
kerajaan Sran Kaimana dijalankan oleh putranya Achmad
Aituarauw. Tahun 1922, Raja Naro’E kembali ke Kaimana, dan
memerintahkan putranya Ahmad Aituarauw untuk menata ibu kota
kerajaan, dengan membuka jalan-jalan, menerima pedagang-
pedagang, dan membuka perkebunan kelapa di Kaimana, Sararota,
Nusa Venda, Nanesa, Bitsyari dan Lobo. Rakyat pun diperintahkan
untuk membuka kebun-kebun kelapa, pala dan lain sebagainya.
Pada tahun 1923 Raja Naro’E meninggal dunia dan dikuburkan di
samping masjid kerajaannya (masjid Raya) di Kota Kaimana.

Naro'E digantikan oleh putranya Ahmad Aituarauw,


pemerintah Hindia Belanda melalui raja Namatota, memberi
tanggung jawab kepada raja Kaimana Ahmad Aituarauw untuk
menjaga keamanan diwilayah Kaimana. Untuk melegalitas tugas
raja Kaimana tersebut, pemerintah Belanda mengangkatnya dengan
gelar “Raja Komisi Kaimana”. Ia memerintah dari tahun 1923

Halaman 185 dari 883


hingga tahun 1966 (wawancara La Aga Samay). Raja Ahmad cukup
ahli dalam bidang pertanian dan perdagangan, serta menjalankan
pemerintahannya dengan baik. Raja Achmad Aituarauw menyatakan
kooperatif terhadap Belanda, dengan syarat bahwa Raja tetap
mengurus rakyatnya dan budaya serta adat istiadat, pengangkatan
kepala kampung oleh raja, pajak belasting harus sepengetahuan raja
dan tidak akan saling menyerang serta urusan pertahanan terhadap
serangan dari luar menjadi tanggung-jawab Belanda. Belanda
menyetujui syarat tersebut sehingga terjalin kerjasama, raja Achmad
Aituarauw lalu menerima “peningen recognitie” sebesar f.40 per
bulan (ANRI: Memorie van Overgave L.L.A. Maurenbrecher,
1953). Pada tahun 1930 raja Achmad Aituarauw juga memperoleh
penghargaan dari Kerajaan Belanda berupa bintang Oranye Van
Nasau (Renaissance Nusantara 2009).

Sejarah Kaimana zaman Indonesia


Menurut pengakuan M. Achmad Aituarauw proklamasi
Indonesia baru diketahui dari Frans Kaisiepo di Biak Desember
1946. Informasi Kaisiepo ada di Biak diketahuinya dari rakyat di
teluk Arguni yang meninggalkan kampungnya untuk berkumpul ke
Tiwara sebelum ke Biak. Dari informasi yang diterima di Tiwara,
jendral Amerika bersama pasukan sekutu membagikan senjata untuk
rakyat Irian untuk melawan Belanda namun mereka sudah pergi ke
Pulau Yamkani (Wandamen). M. Achmad Aituarauw beserta
pengikutnya berjumlah sebesar 200 orang berangkat dari Tiwara
menuju Wandamen. Walau saat sampai di Kampung Ambumi
(Wandamen), pasukan Amerika sudah pergi ke Biak. Sehingga M.

Halaman 186 dari 883


Achmad Aituaraw pergi ke Bosnik, Biak beserta 18 orang
pengikutnya.[12]

Dari pertemuannya dengan Frans Kaisiepo di Biak diketahui


Belanda akan membahas menyerahkan kemerdekaan kepada
Indonesia (NIT) di Denpasar tetapi tanpa wilayah Irian dan juga
tidak adanya wakil Irian di Denpasar. Merespon hal tersebut, M.
Achmad Aituarauw beserta beberapa tokoh Papua lain melakukan
konferensi pada tanggal 24 Desember 1946 di gedung Kantor
Distrik Bosnik yang juga dihadiri oleh Dr. De Bruyn (onderfd
Lingchef Geelvink baai) dan Dani Said (District Hoofd Bosnik).
Konferensi tersebut menghasilkan resolusi rakyat Papua tidak ingin
dijajah, merdeka seperti wilayah lain di satu Negara Indonesia, dan
ingin sebuah pertemuan dengan wakil dari wilayah Indonesia lain.

Sekembalinya di Kaimana dengan kapal perang milik


Belanda, pada tahun 1946, M. Achmad Aituarauw juga mendirikan
organisasi pro-integrasi dengan Indonesia bernama Merdeka
Bersama Kaimana, Irian Barat (MBKIB).[13] Melalui MBKIB,
warga memboikot peringatan ulang tahun Ratu Belanda setiap 31
Agustus. Hubungan usaha mendukung kemerdekaan Indonesia
seperti pengiriman hasil teks linggarjati oleh masyarakat di
Kaimana, dibawah pimpinan Raja Komisi Kaimana (Achmad
Aituarauw) dan Raja Namatota (Muhammad Ombaier) bersama
Silas Papare juga terjalin melalui perantara Abubakar Tjan Kok
Tjiang, seorang Tionghoa Muslim yang lebih leluasa pergeraknya.
[12] Merespon ini, pemerintah Belanda mengirim pasukan satu

kompi dibawah inspektur Le Klasse Rolands ke Kaimana[12] dan

Halaman 187 dari 883


menjadikan organisasi tersebut terlarang dan 'membuang' M.
Achmad Aituarauw yang dijadikan kepala distrik di Ayamaru
selama 10 tahun sejak 1948.[14]

Pada tahun 1953, dalam masa kepemimpinan raja komisi


Achmad Aituarauw (ketika itu ia telah berusia 60 tahun), desa-desa
berikut ini menjadi kekuasaan Rat Sran Raja komisi yaitu: Kilimata,
Kembala, Nusawulang, Jarona, Garosa, Guriasa, Gaka, Tairi,
Murubia, Kuna, Esania.(ANRI: Memorie van Overgave L.L.A.
Maurenbrecher, 1953: 319) Pengaturan pembagian wilayah
administrasi pemerintah Belanda atas Nieuw Guinea membuat
kekuasaan Raja Sran Raja Komisi Kaimana semakin lemah. Secara
adat mereka masih tetap menjadi kepala pemerintahan adat, namun
secara administratif kedudukan mereka di wilayah pemerintahannya
tidak lagi memiliki kekuatan sepenuhnya karena mereka sudah
berada di bawah perintah pemerintah Belanda.

Pemerintahan
Kerajaan Kaimana dipimpin oleh Raja yang didampingi oleh
duduvura adat dan raja muda yang kedudukannya adatnya sejajar
dengan raja, namun masih berada di bawah kekuasaan raja. Dalam
menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh: pemuka agama,
dukun/ahli nujum, mayora, sangaji, hukom, joujau, kapitang/kapitan
laut dan orang kaya.[1]

Wilayah kerajaan Kaimana pada masa awal berdirinya


kerajaan hanya meliputi bagian kecil dari wilayah suku Mairasi di
sebelah utara, Pulau Adi (Eraam Moon berasal dari bahasa Adijaya

Halaman 188 dari 883


yang artinya "Tanah Haram")[3][6] di sebelah selatan, Pulau Samai di
sebelah barat dan Kipia Mimika di sebelah timur. Namun berkat
hubungan kekeluargaan dan kekerabatan yang dilakukan oleh raja
pertama, maka lambat laun para warga suku tersebut
menggabungkan diri dengan kerajaan Sran, sehingga menurut
legenda, wilayah kekuasaan Raja Sran pada abad ke-14 berkembang
menjadi semakin luas.[1]

Sebelum masuknya Belanda, kekuasaan raja adalah mutlak.


Namun ketika Tidore mulai melebarkan kekuasaannya dan
melakukan ekspedisi hongi daerah ini, kekuasaan raja semakin
menurun karena dibawah bayang-bayang Tidore. Terlebih setelah
terjadi perang saudara diantara keluarga raja. Selama beberapa lama
kerajaan ini tidak memiliki raja. Raja yang diangkat oleh Sultan
Tidore pun tidak bertahan sehingga vakum juga.[15]

Daftar Raja-Raja Kaimana

Waktu
Nama Gelar Keterangan
memerintah

Rat Sran Nati


Imaga 1309
Patimunin I

Basir Onin Rat Sran Adi II 1348

Woran Rat Sran Rat Adi III 1348–1440

diperkirakan ada
Interregnum/tidak
1440–1808 beberapa pemimpin
diketahui
di Pulau Adi

Nduvin Rat Sran E'man IV 1808–1898

Halaman 189 dari 883


Bersama anaknya[Ctt.
Narawatu or 1] Muhammad Kasim
Rat Sran E'man V 1898–1923
Naro'e Iwawusa/Iwafusa.[17]
[18]

Rat Sran Rat Eman menggantikan


Ahmad Aituarauw 1923–1966
Umisi VI kakaknya, Iwafusa

Muhammad
Rat Sran Rat
Achmad Rais 1966–1980
Kaimana Umisi VII
Aituarauw

Abdul Hakim
Rat Sran Rat
Achmad 1980
Kaimana Umisi VIII
Aituarauw

Mohammad Natsir Rat Sran Rat


sekarang
Aituarauw Kaimana Umisi IX

Kerajaan Islam lain di Papua Barat


Pemetaan kerajaan Islam di Papua Barat secara umum dibagi
menjadi tiga daerah yaitu, kerajaan Islam Kepulauan Raja Ampat,
Fakfak dan Kaimana. Kerajaan Islam di Papua Barat sering disebut
dengan Petuanan. Kerajaan Islam di Papua Barat mayoritas berada
dibawah kekuasaan Kesultanan di Maluku, mereka diberi otonomi
untuk menjalankan pemerintahan masing-masing.

Kerajaan-kerajaan Islam kecil di Raja Ampat, Fakfak dan


Kaimana merupakan hasil proses akulturasi kebudayaan Papua
Barat dan kebudayaan Maluku yang berlangsung selama berabad-
abad. Sistem kesukuan masih sangat terlihat dalam kerajaan-
kerajaan Islam di Papua Barat. Sistem pemerintahan berbentuk
kerajaan, tetapi dalam menjalankan pemerintahan digunakanlah
sistem Dewan Adat.

Halaman 190 dari 883


Kerajaan Islam di kepulauan Raja Ampat
Berikut merupakan kerajaan-kerajaan Islam di wilayah
kepulauan Raja Ampat:

• Kerajaan Waigeo dengan pusat pemerintahannya di


Weweyai, Pulau Waigeo
• Kerajaan Salawati dengan pusat pemerintahannya di Samate,
Pulau Salawati bagian utara.
• Kerajaan Misool dengan pusat pemerintahannya di Lilinta
kemudian berpindah ke Sel Peleket.
• Kerajaan Waigama dengan pusat pemerintahan di Waigama,
Pulau Misool.
• Kerajaan Sailolof dengan pusat pemerintahannya di Sailolof,
Pulau Salawati bagian selatan.
Kerajaan Islam di Fakfak
Dalam buku Islam dan Kristen di Tanah Papua (2006) karya
J.F Onim, Kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Fakfak terdiri dari:

• Kerajaan Fatagar
• Kerajaan Ati-ati
• Kerajaan Rumbati
• Kerajaan Patipi
• Kerajaan Sekar
• Kerajaan Wetuar
• Kerajaan Arguni
Kerajaan Islam di Kaimana

Halaman 191 dari 883


Berikut merupakan kerajaan-kerajaan Islam di wilayah
Kaimana:

• Kerajaan Namatota (Koiwai)


• Kerajaan Komisi (Kaimana)[17]
Mendapat gelar Raja oleh Namatota:

• Konfederasi Tarya We (dipimpin Raja Kipia, Naowa)


• Kerajaan Aiduma
Peninggalan Islam di Papua Barat
Bukti-bukti peninggalan sejarah mengenai agama Islam
yang ada di pulau Papua bagian barat ini, sebagai berikut:[22]

1. Terdapat living monument yang berupa makanan Islam yang


dikenal dimasa lampau yang masih bertahan sampai hari ini di
daerah Papua Barat kuno di desa Saonek, Lapintol, dan Beo di
distrik Waigeo.

2. Tradisi lisan masih tetap terjaga sampai hari ini yang berupa
cerita dari mulut ke mulut tentang kehadiran Islam di Bumi Kasuari.

3. Naskah-naskah dari masa Raja Ampat dan teks kuno lainnya yang
berada di beberapa masjid kuno.

4. Di Fakfak, Papua Barat dapat ditemukan delapan manuskrip kuno


berhuruf Arab. Lima manuskrip berbentuk kitab dengan ukuran
yang berbeda-beda, yang terbesar berukuran kurang lebih 50 x
40 cm, yang berupa mushaf Al Quran yang ditulis dengan tulisan
tangan di atas kulit kayu dan dirangkai menjadi kitab. Sedangkan

Halaman 192 dari 883


keempat kitab lainnya, yang salah satunya bersampul kulit rusa,
merupakan kitab hadits, ilmu tauhid, dan kumpulan doa.

Kelima kitab tersebut diyakini masuk pada tahun 1214


dibawa oleh Syekh Iskandarsyah dari Samudera Pasai yang datang
menyertai ekspedisi kerajaannya ke wilayah timur. Mereka masuk
melalui Mes, ibukota Teluk Patipi saat itu. Sedangkan ketiga kitab
lainnya ditulis di atas daun koba-koba, Pohon khas Papua yang
mulai langka saat ini. Tulisan tersebut kemudian dimasukkan ke
dalam tabung yang terbuat dari bambu. Sekilas bentuknya mirip
dengan manuskrip yang ditulis di atas daun lontar yang banyak
dijumpai di wilayah Indonesia Timur.

5. Masjid Tua Patimburak yang didirikan di tepi teluk Kokas, distrik


Kokas, Fakfak yang dibangun oleh Raja Wertuer I yang memiliki
nama kecil Semempe.

Referensi
• ^ Lompat ke:
a b c Usmany, Desy Polla (2017-06-03). "SEJARAH RAT SRAN RAJA KOMISI KAIMANA

(History of Rat Sran King of Kaimana)". Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua
Barat. 6 (1): 86–87. doi:10.24832/papua.v6i1.45 . ISSN 2580-9237. Diakses tanggal
2021-04-24.
• ^ Usmany, Desy Polla (2017-06-03). "SEJARAH RAT SRAN RAJA KOMISI KAIMANA
(History of Rat Sran King of Kaimana)". Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua
Barat. 6 (1): 87. doi:10.24832/papua.v6i1.45 . ISSN 2580-9237. Diakses tanggal 2021-04-24.
• ^ Lompat ke:
a b c Usmany, Desy Polla (2017-06-03). "SEJARAH RAT SRAN RAJA KOMISI KAIMANA

(History of Rat Sran King of Kaimana)". Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua
Barat. 6 (1): 88. doi:10.24832/papua.v6i1.45 . ISSN 2580-9237. Diakses tanggal 2021-04-24.
• ^ Renaisance Nusantara Edisi Raja Sran Kaimana VIII. Badan silaturahmi Nasional Raja
dan Sultan Nusantara. 2009.
• ^ Usmany, Dessy Polla (2014). Kerajaan Fatagar dalam Sejarah Kerajaan-Kerajaan di
Fakfak Papua Barat. Yogyakarta: Kepel Press. hlm. 39–73. ISBN 978-602-1228-79-1.

Halaman 193 dari 883


• ^ Lompat ke:
a b Wanggai, Tony V.M. (2008) (dalam bahasa id). Rekonstruksi Sejarah Islam di Tanah

Papua (Tesis). UIN Syarif Hidayatullah. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/


123456789/7292/1/Toni%20Victor%20M.
%20Wanggai_Rekonstruksi%20Sejarah%20Umat%20Islam%20di%20Tanah%20Papua.pdf.
Diakses pada 2022-01-30.
• ^ Usmany, Desy Polla (2017-06-03). "SEJARAH RAT SRAN RAJA KOMISI KAIMANA
(History of Rat Sran King of Kaimana)". Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua
Barat. 6 (1): 88–89. doi:10.24832/papua.v6i1.45 . ISSN 2580-9237. Diakses tanggal
2021-04-24.
• ^ Lompat ke:
a b c d e Usmany, Desy Polla (2017-06-03). "SEJARAH RAT SRAN RAJA KOMISI

KAIMANA (History of Rat Sran King of Kaimana)". Jurnal Penelitian Arkeologi Papua
Dan Papua Barat. 6 (1): 89–90. doi:10.24832/papua.v6i1.45 . ISSN 2580-9237. Diakses
tanggal 2021-04-24.
• ^ "Sejarah Kerajaan Kaimana". books.google.co.id.
• ^ "Sejarah Kaimana". sultansinindonesieblog.wordpress.com.
• ^ Usmany, Desy Polla (2017-06-03). "SEJARAH RAT SRAN RAJA KOMISI KAIMANA
(History of Rat Sran King of Kaimana)". Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua
Barat. 6 (1): 89–91. doi:10.24832/papua.v6i1.45 . ISSN 2580-9237. Diakses tanggal
2021-04-24.
• ^ Lompat ke:
a b c d Meteray, Bernada (25-07-2022). "Klaim Kerajaan Majapahit dan Penyemaian

Nasionalisme Indonesia di Kaimana". Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional (Unpar) (Edisi


Khusus Papua): 1–15. doi:10.26593/jihi.v0i00.5969.1-15. Diakses tanggal 17-11-2022.
• ^ Irian Jaya (Indonesia) (1987). Irian Jaya, the Land of Challenges and Promises. Alpha
Zenith. hlm. 9. Diakses tanggal 2021-11-01.
• ^ Lumintang, Onie M. (2018-07-27). "THE RESISTANCE OF PEOPLE IN PAPUA
(1945-1962)". Historia: Jurnal Pendidik Dan Peneliti Sejarah. 10 (2): 47–60. doi:10.17509/
historia.v10i2.12221 (tidak aktif 4 November 2021). ISSN 2615-7993. Diakses tanggal
2021-11-01.
• ^ Lompat ke:
a b Usmany, Desy Polla (2017-06-03). "SEJARAH RAT SRAN RAJA KOMISI KAIMANA

(History of Rat Sran King of Kaimana)". Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua
Barat. 6 (1): 91. doi:10.24832/papua.v6i1.45 . ISSN 2580-9237. Diakses tanggal 2021-04-24.
• ^ Usmany, Desy Polla (2017-06-03). "SEJARAH RAT SRAN RAJA KOMISI KAIMANA
(History of Rat Sran King of Kaimana)". Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua
Barat. 6 (1): 85–92. doi:10.24832/papua.v6i1.45 . ISSN 2580-9237. Diakses tanggal
2021-04-24.
• ^ Lompat ke:
a b "Landsdrukkerij". Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie voor 1904. Batavia: Ter

Lands-Drukkerij. 1904. hlm. 296.

Halaman 194 dari 883


BAB 14
KESULTANAN CIREBON : IBUKOTA
KESULTANAN ISLAM YANG DISEGANI SELAMA
300 TAHUN LAMANYA
Kesultanan Cirebon
ᮊᮞᮥᮜ᮪ᮒᮔᮔ᮪ ᮎᮤ ᮛᮨᮘᮧᮔ᮪ (Aksara Sunda)
‫كسولتانان سيربون‬

Wilayah Kesultanan Cirebon Pada Tahun 1565

Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan di daratan


utara pulau Jawa bagian barat pada abad ke-15 dan 16, dan
merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan
pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa

Halaman 195 dari 883


Kesultanan Cirebon didirikan di Dalem Agung Pakungwati
sebagai pusat pemerintahan negara islam kesultanan Cirebon, letak
dalem agung pakungwati sekarang menjadi Keraton Kasepuhan.

Kesultanan Cirebon erat kaitannya dengan sosok Sunan Gunung Jati


yang dikenal sebagai salah satu dari sembilan wali yang
menyebarkan agama Islam di Lampung[8] dan Jawa bagian barat.[9]

Kesultanan Cirebon mampu bertahan selama 3 abad, sejak


diakuinya Walangsungsang sebagai Sri Mangana (Penguasa)
Cirebon pada 1430 hingga terjadinya kisruh kekuasaan akibat
kosongnya posisi Sultan Cirebon sepeninggal Sultan Abdul Karim
pada 1677. Tipu daya Mataram masa Amangkurat I serta dekatnya
sebagian keluarga kesultanan Cirebon dengan Belanda
menyebabkan perlahan kekuasaan Cirebon akhirnya runtuh, terlebih
perkara pribawa (derajat paling tinggi) diantara keluarga besar
kesultanan Cirebon semakin mempercepat keruntuhan kesultanan
Cirebon pada akhir abad ke 17.

Sejarah
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah
Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban
Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang
dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang
menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa
Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari
berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan

Halaman 196 dari 883


mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau
berdagang.

Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian


masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan
menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta
pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan
terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan
cai-rebon (Bahasa Sunda: air rebon) yang kemudian menjadi
Cirebon.[10]

Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya


alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar
dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik
dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara
maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh
menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

Perkembangan awal
Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang
Mangkubumi dari Kerajaan Sing Apura.[11] Kerajaan ini bertugas
mengatur pelabuhan Muarajati, Cirebon setelah tidak adanya
penerus takhta di kerajaan tetangganya yaitu Surantaka setelah anak
perempuan penguasanya yaitu Nyi Ambet Kasih menikah dengan
Jayadewata (prabu Silih Wangi).[12]

Dinar, Dirham dan Fulus (uang tembaga) di pelabuhan


Muara Jati

Halaman 197 dari 883


Masduqi dalam artikelnya yang berjudul Mengembalikan
Perdagangan Islam yang Berkeadilan dalam acara konferensi Islam
Internasional AICIS ke 12 di Surabaya menjelaskan bahwa patut
diduga penggunaan Dinar (uang meas) Dirham (uang perak) dan
Fulus (uang tembaga) telah terjadi pada masa Ki Gedeng Tapa, hal
tersebut dikarenakan pada masa itu pelabuhan Muara Jati telah
banyak dikunjungi kapal-kapal asing[13]

Ki Gedeng Tapa menggunakan Dinar dan Dirham sebagai alat Transaksi di


Pelabuhan Cirebon

Persahabatan Cheng Ho, mecusuar Muara Jati dan Masjid


Kung Wu Ping
Cheng Ho dalam misi diplomatiknya sempat berlabuh di
pelabuhan Muara Jati, Cirebon pada tahun 1415, kedatangan Cheng
Ho disambut oleh Ki Gedeng Tapa, Cheng Ho kemudian
memberikan cenderamata berupa piring yang bertuliskan ayat kursi
(piring ini sekarang tersimpan di keraton Kasepuhan, kesultanan
Halaman 198 dari 883
Kasepuhan Cirebon).[14] Cheng Ho dan anak buahnya kemudian
berbaur dengan warga sekitar dan berbagi ilmu pembuatan keramik,
penangkapan ikan dan manajemen pelabuhan. Kung Wu Ping
(Panglima angkatan bersenjata pada armada Cheng Ho)[15]
kemudian menginisiasi pendirian sebuah mercusuar (bahasa
Cirebon: Prasada Tunggang Prawata) untuk pelabuhan Muara
Jati[16] pembangunannya kemudian mengambil tempat di bukit
Amparan Jati.

Pada masa persinggahan laksamana Cheng Ho tersebut


sangat dimungkinkan uang emas dan uang perak dijadikan sebagai
alat tukarnya karena uang emas dan uang perak telah menjadi
standar internasional pada masa tersebut terutama di pelabuhan-
pelabuhan internasional.[13]

Pemukiman warga muslim Tionghoa pun kemudian


dibangun di sekitar prasada tunggang prawata (bahasa Indonesia :
mercusuar) bukit Amparan Jati, yaitu di wilayah Sembung, Sarindil
dan Talang lengkap dengan masjidnya, pemukiman di Sarindil
ditugaskan untuk menyediakan kayu jati guna perbaikan kapal-
kapal, pemukiman di Talang ditugaskan untuk memelihara dan
merawat pelabuhan, pemukiman di Sembung ditugaskan
memelihara mercusuar, ketiga pemukiman Tionghoa tersebut secara
bersama-sama ditugaskan pula memasok bahan-bahan makanan
untuk kapal-kapal,[17] masjid di wilayah Talang sekarang telah
berubah fungsinya menjadi sebuah klenteng.[15]

Pembangunan Gedong Witana

Halaman 199 dari 883


Pada masa kedatangan pangeran Walangsungsang dan
nyimas Rara Santang ke Cirebon untuk memperdalam agama Islam,
pangeran Walangsungsang kemudian membangun sebuah tempat
tinggal yang disebut Gedong Witana pada tahun 1428 Masehi.[18]
yang sekarang menjadi bagian dari kompleks keraton Kanoman,
kesultanan Kanoman, setelah mendapatkan pengajaran agama yang
cukup, pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang
kemudian menunaikan ibadah haji ke Mekah, di sana nyimas Rara
Santang menemukan jodohnya yaitu seorang pembesar Arab dan
menikah sehingga nyimas tidak ikut kembali ke Cirebon.
Sepulangnya dari melaksanakan haji pangeran Walangsungsang
diminta oleh gurunya untuk membuka lahan guna membuat
perkampungan baru sebagai cikal-bakal negeri yang ia cita-citakan,
setelah memilih dari beberapa tempat akhirnya diputuskan
perkampungan baru tersebut akan dibangun di wilayah Kebon
Pesisir.

Ki Gedeng Alang-Alang
Menurut sejarah lisan dan sebagian babad mengenai masalah
ini, dikatakan bahwa Pengeran Walangsungsang diperintahkan oleh
gurunya Syekh Datuk Kahfi (Nur Jati) untuk membuka lahan di
wilayah Kebon Pesisir, tetapi dikatakan bahwa di Kebon Pesisir
tidak sepenuhnya kosong karena sudah ada sepasang suami istri
yaitu Ki Danusela dan istrinya yang tinggal di sana, akhirnya
sebagai bentuk penghormatan maka Kuwu (Kepala Desa) Caruban
yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki
Danusela dengan gelar Ki Gedeng Alang-alang, sebagai

Halaman 200 dari 883


Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang,
yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau
Subangkranjang, yang tak lain adalah putri dari Ki Gedeng Tapa.
Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga
bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai
kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.[19]

Pembangunan tajug Jalagrahan


Pada masa pemerintahan ki Danusela sebagai kuwu Kebon
Pesisir, dibangun juga tajug (bahasa Indonesia: Mushola) pertama di
wilayah tersebut atas prakarsa dari menantunya yaitu pangeran
Walangsungsang, tajug tersebut bernama tajug Jalagrahan.[20]

Pendirian
Pangeran Cakrabuana dan Dalem Agung Pakungwati (1430-
1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putra
pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang
pertama bernama Subanglarang (putri Ki Gedeng Tapa). Raden
Walangsungsang, ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu
Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang.

Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan


haknya sebagai putra mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan
oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh
Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 15) ajaran agama
mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang
Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu

Halaman 201 dari 883


Surawisesa,[21] anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang
kedua Nyai Cantring Manikmayang.[22]

Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji


kemudian disebut Haji Abdullah Iman,[22] menurut Pangeran
Sulaeman Sulendraningrat dalam naskah Sejarah Babad Tanah
Sunda, Pangeran Cakrabuana sepulang dari Mesir ia dibekali oleh
saudara iparnya (suami Nyimas Rara Santang) yaitu Sultan Hud
atau Mahmud Asyar al-Qibthi atau dikenal juga dengan nama
Syarief Abdullah dengan Dirham (uang perak) sebanyak seribu
keping.[13]

Pangeran Walangsungsang lalu membuat sebuah pedukuhan


di Kebon Pesisir, membangun Kuta Kosod (susunan tembok bata
merah tanpa spasi) mendirikan Dalem Agung Pakungwati serta dan
membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M.[2][3][4][5]
Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama
Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran
Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, tampil sebagai "raja" Cirebon
pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif
menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.[23]

Pendirian kesultanan ini sangat berkaitan erat dengan


keberadaan Kesultanan Demak. Pangeran Walangsungsang wafat
pada tahun 1529 M[24] dan dimakamkan di gunung Sembung,
Cirebon.[25]

Perkembangan dan perluasan syiar Islam


Sunan Gunung Jati (1479-1568)

Halaman 202 dari 883


Pada tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali di
Tuban, Jawa Timur untuk mencari pengganti Sunan Ampel sebagai
pimpinan para wali, akhirnya terpilihlah Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati), sejak saat itu, pusat kegiatan para wali dipindahkan ke
gunung Sembung, kecamatan Gunung Jati, kabupaten Cirebon,
propinsi Jawa Barat. Pusat kegiatan keagamaan ini kemudian
disebut sebagai Puser Bumi (bahasa Indonesia: pusatnya dunia).[26]

Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang


sebagai penguasa Cirebon kemudian digantikan putra adiknya yakni
Syarif Hidayatullah (anak dari pernikahan Nyai Rarasantang dengan
Syarif Abdullah dari Mesir) yang sebelumnya menikahi Nyimas
Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Indang
Geulis) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung
Jati dengan gelar Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan
Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang
Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama
Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.[27]

Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga selalu


mendekati kakeknya yakni Jaya Dewata (prabu Silih Wangi) agar
berkenan memeluk agama Islam seperti halnya neneknya Nyai
Subang Larang yang memang sudah lama menjadi seorang muslim
jauh sebelum menikah dengan prabu Silih Wangi, tetapi hal tersebut
tidak membuahkan hasil, pada tahun 1482 (pada saat kekuasaan
kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi satu kembali di tangan
prabu Silih Wangi), seperti yang tertuang dalam naskah Purwaka
Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon.

Halaman 203 dari 883


Pada tanggal 12 Shafar 887 Hijriah atau tepatnya pada
tanggal 2 April 1482 Masehi, akhirnya Syarif Hidayatullah
membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu Silih Wangi selaku
Raja Pakuan Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi
mengirimkan upeti.[26][27] Maklumat tersebut kemudian diikuti oleh
para pembesar di wilayah Cirebon (bahasa Cirebon: gegeden).

Untuk memperkuat hubungan dengan kesultanan Demak


dilakukan dengan pernikahan putra putri kedua kesultanan.[28]

• Pangeran Maulana Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana.


• Pangeran Jayakelana dengan Ratu Ayu Pembayun
• Pangeran Bratakelana dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu
Wulan)
• Ratu Ayu dengan Yunus Abdul Kadir (Pangeran Sabrang
Lor) menikah pada 1511 yang menjadi Sultan Demak kedua
pada 1518 .
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada kesultanan
Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai leluhur dari
dinasti raja-raja kesultanan Cirebon dan kesultanan Banten serta
penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan,
Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[29]

Dinar dan Dirham sebagai mata uang kesultanan Cirebon


Pada abad ke 15 atau sekitar tahun 1400an, kesultanan
Cirebon telah memberlakukan Dinar dan Dirham sebagai uang
kartal kesultanannya.[13]

Halaman 204 dari 883


Picis (uang logam) Cirebon
Pada masa awal perkembangan kesultanan Cirebon, wilayah
Cirebon terkenal sebagai jalur perdagangan, pada masa itu di
Cirebon diberlakukan Picis (uang logam) yang terbuat dari timah
sebagai mata uangnya.[30]

Syiar Islam ke Kuningan dan berkuasanya Pangeran Kuningan


Syiar Islam ke wilayah Kuningan telah dilakukan dengan
cara yang persuasif, di wilayah Luragung Islam sudah terbangun
dengan baik pada tahun 1481 M, dengan penguasanya Ki gede
Luragung, pada 1 September 1488, Sunan Gunung Jati menjadikan
putra Ki gede Luragung (anak angkat Sunan Gunung Jati) yang
bernama Pangeran Kuningan atau yang oleh masyarakat Kuningan
dikenal dengan nama Sangkuku diangkat sebagai Depati Kuningan
(bahasa Indonesia: gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah
Kuningan).[25]

Pembangunan Pos dan Pedukuhan di Pisangan - Sedari,


Karawang
Pada tahun 1518, Syekh Syarif Hidayatullah mengutus
Janapura yang merupakan muridnya yang berasal dari Kudus untuk
membuat sebuah pedukuhan di dekat laut di wilayah ujung
Karawang yang sekarang berada di sekitar Pisangan - Sedari,
Karawang, pedukuhan yang dibangun oleh Janapura kemudian
menjadi pos kesultanan Cirebon di wilayah pesisir utara bagian
barat[31]

Halaman 205 dari 883


Pedukuhan yang pertama dibuat oleh Janapura adalah
pedukuhan Pisangan, setelah 10 tahun menetap di Pisangan, kedua
puteri dari Janapura yaitu Dewi Sondari dan Andidari datang
berkunjung. Pada tahun 1528 Janapura yang kemudian dikenal
sebagai Syekh Janapura mendapatkan misi untuk mengislamkan
daerah Tanjung Suwung yang sekarang dikenal dengan nama
Sedari. Wilayah Tanjung Suwung pada masa itu banyak dihuni oleh
masyarakat pelarian dari kerajaan Telaga, Syekh Janapura kemudian
berhasil mengislamkan masyarakat di Tanjung Suwung dan
selanjutnya mengembangkan pedukuhan di sana,[31] menurut
Zakaria Husein (sejarahwan Karawang) berita keberhasilan Syekh
Janapura mengislamkan Tanjung Suwung kemudian tersebar hingga
ke Kudus, tidak lama kemudian Raden Imanillah (keluarga Sunan
Kudus) meminang Dewi Sondari dan membawanya kembali ke
Kudus, untuk memperingati pernikahan puterinya yaitu Dewi
Sondari dengan Raden Imanillah, Syekh Janapura kemudian
memberikan nama pada pedukuhan di Tanjung Suwung tersebut
dengan nama pedukuhan Sondari yang kemudian dikenal oleh
masyarakat sekarang dengan nama Sedari.

Menurut data yang dihimpun oleh Zakaria Husein, Syekh


Janapura tinggal di Tanjung Suwung hingga akhir hayatnya yakni
pada tahun 1567, ia kemudian dimakamkan di dekat pantai.

Halaman 206 dari 883


Adipati Unus, Sultan Demak yang ke-2 Gugur saat melawan Portugis di Malaka
menghadiahkan Gamelan Sukahati ke Kesultanan Cirebon. Sukahati sering
dilafazkan di lidah orang Jawa dengan lafadz Sekaten. Dan masih dibunyikan saat
Perayaan Hari Besar Islam seperti Maulid.

Datangnya Gamelan Suka Hati dari kerajaan Demak


Pangeran Sulaeman Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah
Cirebon menjelaskan bahwa setelah wafatnya Pangeran Sebrang
Lor (Sultan Demak kedua) pada tahun 1521 pada penyerangan ke
Melaka yang dikuasai Portugis,[32] Ratu Ayu, putri Sunan Jati
(Sultan Cirebon kedua) dan istri dari Pangeran Sebrang Lor (Sultan
Demak kedua) kemudian membawa gamelan dakwah yang disebut
"Sukahati" (bahasa Indonesia: kebahagian karena ikhlas) ke wilayah
Cirebon dari Demak sebagai benda untuk mengenang mendiang
suaminya. Budayawan Cirebon meyakini bahwa Gong Sukahati
(bahasa Indonesia: gong Sekati) adalah alat musik gamelan dakwah
Halaman 207 dari 883
pertama yang dibawa masuk ke Cirebon dari Demak.[33] Sementara
Cirebon sudah memiliki gamelan dakwahnya sendiri disaat yang
sama, dalam bahasa Cirebon orang-orang yang sedang terlibat
dalam pagelaran gong Suka Hati disebut Sukaten atau Sekaten dari
tata bahasa Cirebon Suka hati + akhiran -an (yang berarti orang
yang melaksanakan kata benda) sehingga Suka(h)at(ia)n menjadi
Sukaten (huruf "h" tidak dibaca dan "i" bertemu "a" menjadi "e")
atau sering masyarakat luar Cirebon mengatakan Sekaten, hingga
sekarang kesenian Gong Sekati Cirebon masih sering
diperdengarkan di keraton-keraton Cirebon.

Syiar Islam ke Banten dan pendirian kesultanan Banten


Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran
Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten
yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten, Syarif Hidayatullah
dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti jihad (perang) tidak hanya
dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga
perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian
menarik hati masyarakat Wahanten dan pucuk umum [34](penguasa)
Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah Wahanten terdapat dua
penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau
Silih Wangi) yang menjadi pucuk umum (penguasa) untuk wilayah
Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana yang menjadi pucuk umum
untuk wilayah Wahanten Girang.[35]

Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu


dengan Nyai Kawung anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya

Halaman 208 dari 883


kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu
Winaon (lahir pada 1477 M) dan Pangeran Maulana Hasanuddin
(Pangeran Sabakingkin: nama pemberian dari kakeknya Sang
Surosowan) yang lahir pada 1478 M.[28] Sang Surosowan walaupun
tidak memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada para
pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.

Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan


Cirebon untuk menerima tanggung jawab sebagai penguasa
kesultanan Cirebon pada 1479 setelah sebelumnya menghadiri rapat
para wali di Tuban yang menghasilkan keputusan menjadikan Sunan
Gunung Jati sebagai pemimpin dari para wali.

Latar belakang penguasaan Banten


Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir)
dengan Ratu Ayu (putri Sunan Gunung Jati) terjadi 1511. Sebagai
Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak,
Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon, kelak Yunus Abdul
Kadir akan menjadi Sultan Demak pada 1518.

Persekutuan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak ini


sangat mencemaskan Jaya dewata (Siliwangi) di Pakuan. Tahun
1512, ia mengutus putra mahkota Surawisesa menghubungi
Panglima Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika
itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan
Samudera Pasai. Pada tahun 1513 M, Tome Pires pelaut Portugis
menyatakan dalam catatannya bahwa sudah banyak dijumpai orang
Islam di pelabuhan Banten.[37]

Halaman 209 dari 883


Syarif Hidayatullah mengajak putranya Maulana
Hasanuddin untuk berangkat ke Mekah,[38] sekembalinya dari
Mekah Syarif Hidayatullah dan putranya yaitu Maulana Hasanuddin
kemudian melakukan dakwah Islam dengan sopan, ramah serta suka
membantu masyarakat sehingga secara sukarela sebagian dari
mereka memeluk dan taat menjalankan agama Islam, dari aktivitas
dakwah ini di wilayah Banten, Syarif Hidayatullah dikenal dengan
nama Syekh Nurullah (Syekh yang membawa cahaya Allah swt),[39]
aktivitas dakwah kemudian dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin
hingga ke pedalaman Wahanten seperti gunung Pulosari di
kabupaten Pandeglang di mana ia pernah tinggal selama sekitar 10
tahun untuk berdakwah kepada para ajar (pendeta), gunung Karang,
gunung Lor, hingga ke Ujung Kulon dan pulau Panaitan[40] dengan
pola syiar yang kurang lebih sama seperti yang dilakukan ayahnya.

Pada tahun 1521, Jaya dewata (Prabu Siliwangi) mulai


membatasi pedagang muslim yang akan singgah di pelabuhan-
pelabuhan kerajaan Sunda hal ini bertujuan untuk mengurangi
pengaruh Islam yang akan diterima oleh para pedagang pribumi
ketika melakukan kontak perdagangan dengan para pedagang
muslim, tetapi upaya tersebut kurang mendatangkan hasil yang
memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih
kuat dibandingkan upaya pembatasan yang dilakukan tersebut,
bahkan pengaruh Islam mulai memasuki daerah pedalaman kerajaan
Sunda. Pada tahun itu juga kerajaan Sunda berusaha mencari mitra
koalisi dengan negara yang dipandang memiliki kepentingan yang
sama dengan kerajaan Sunda, Jaya dewata (Siliwangi) memutuskan

Halaman 210 dari 883


untuk menjalin persahabatan dengan Portugis dengan tujuan dapat
mengimbangi kekuatan pasukan kesultanan Demak dan kesultanan
Cirebon.

Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut


Jaya Dewata (Siliwangi) mengirim beberapa utusan ke Malaka di
bawah pimpinan Ratu Samiam (Surawisesa), mereka berusaha
meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling
menguntungkan antara kerajaan Sunda dan Portugis. Surawisesa
memberikan penawaran kepada Portugis untuk melakukan
perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-pelabuhan
milik kerajaan Sunda sebagai imbalannya, Surawisesa
mengharapkan bantuan militer dari Portugis apabila kerajaan Sunda
diserang oleh kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon dengan
memberi hak kepada Portugis untuk membangun benteng.[36]

Pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang


berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk
menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah
Portugis disebut sebagai Raja Samiam)[41] untuk membangun
benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang
Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif.

Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian


yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji
(perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda
Kelapa[42] dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima
barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan

Halaman 211 dari 883


memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada
sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau padraõ
(dibaca: Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrão
dimaksud disebut dalam cerita masyarakat Sunda sebagai Layang
Salaka Domas dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah, dari
pihak kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani oleh Padam
Tumungo (yang terhormat Tumenggung), Samgydepaty (Sang
Depati), e outre Benegar (dan bendahara) e easy o xabandar (dan
Syahbandar) [43] Syahbandar Sunda Kelapa yang menandatangani
bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi, dia
menandatangani dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.[44]

Penguasaan Banten
Pada tahun 1522,[45] Maulana Hasanuddin membangun
kompleks istana yang diberi nama keraton Surosowan, pada masa
tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar, masjid agung serta
masjid di kawasan Pacitan.[46] Sementara yang menjadi pucuk umum
(penguasa) di Wahanten Pasisir adalah Arya Surajaya (putra dari
Sang Surosowan dan paman dari Maulana Hasanuddin) setelah
meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 M. Arya Surajaya
diperkirakan masih memegang pemerintahan Wahanten Pasisir
hingga tahun 1526 M.[47]

Pada tahun 1524 M, Sunan Gunung Jati bersama pasukan


gabungan dari kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mendarat
di pelabuhan Banten.[48] Pada masa ini tidak ada pernyataan yang
menyatakan bahwa Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan

Halaman 212 dari 883


pasukan gabungan Sunan Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan
untuk merebut Wahanten Girang.

Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan


gabungan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mencapai
Wahanten Girang, Ki Jongjo (seorang kepala prajurit penting)
dengan sukarela memihak kepada Maulana Hasanuddin.[49]

Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional diceritakan


bahwa pucuk umum (penguasa) Banten Girang yang terusik dengan
banyaknya aktivitas dakwah Maulana Hasanuddin yang berhasil
menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman
Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan Wahanten Girang,
sehingga pucuk umum Arya Suranggana meminta Maulana
Hasanuddin untuk menghentikan aktivitas dakwahnya dan
menantangnya sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika sabung
ayam dimenangkan Arya Suranggana maka Maulana Hasanuddin
harus menghentikan aktivitas dakwahnya. Sabung Ayam pun
dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin dan dia berhak
melanjutkan aktivitas dakwahnya.[50] Arya Suranggana dan
masyarakat yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih
masuk hutan di wilayah Selatan.

Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang


digunakan sebagai pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling
tidak sampai di penghujung abad ke-17.[51]

Penyatuan Banten

Halaman 213 dari 883


Atas petunjuk ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati, Maulana
Hasanuddin kemudian memindahkan pusat pemerintahan Wahanten
Girang ke pesisir di kompleks Surosowan sekaligus membangun
kota pesisir.[52]

Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai pada


tahun 1526.[45] Pada tahun yang sama juga Arya Surajaya pucuk
umum (penguasa) Wahanten Pasisir dengan sukarela menyerahkan
kekuasannya atas wilayah Wahanten Pasisir kepada Sunan Gunung
Jati, akhirnya kedua wilayah Wahanten Girang dan Wahanten
Pasisir disatukan menjadi Wahanten yang kemudian disebut sebagai
Banten dengan status sebagai kadipaten (setingkat dengan provinsi)
dari kesultanan Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah
(sekitar tanggal 8 Oktober 1526 M),[53] kemudian Sunan Gunung
Jati kembali ke kesultanan Cirebon dan pengurusan wilayah Banten
diserahkan kepada Maulana Hasanuddin, dari kejadian tersebut
sebagian ahli berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati adalah Sultan
pertama di Banten,[54] meskipun demikian Sunan Gunung Jati tidak
menahbiskan dirinya menjadi penguasa (sultan) di Banten.[55]
Alasan-alasan demikianlah yang membuat pakar sejarah seperti
Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Sunan Gunung Jatilah
yang menjadi pendiri Banten dan bukannya Maulana Hasanuddin.

Menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak Banten dan


Sunda Kelapa dikuasai oleh kesultanan Islam, Banten lah yang lebih
ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara.[52]

Penguasaan Lampung

Halaman 214 dari 883


Pada tahun 1530, Cirebon berhasil menguasai Lampung dan
menempatkannya dibawah kendali Depati Banten[56]

Lahirnya kesultanan Banten


Pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin diangkat menjadi
sultan di wilayah Banten oleh ayahnya Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati).[57]

Dikuasainya Sunda Kelapa pada 1527


Laporan Portugis menjelaskan bahwa Sunda Kelapa terbujur
sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah
sempit yang dibersihkan di kedua tepi sungai Ciliwung. Tempat ini
ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang terlindung oleh
beberapa buah pulau. Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10
kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 100
ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang
Melayu, Jepang dan Tionghoa. Di samping itu ada pula kapal-kapal
dari daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu
kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat
antara 500 - 1.000 ton harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires
juga menyatakan bahwa barang-barang komoditas dagang Sunda
diangkut dengan lancaran, yaitu semacam kapal yang muatannya
sampai kurang lebih 150 ton.[58]

Lalu pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque


yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk
menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah
Portugis disebut sebagai Raja Samiam)[41] untuk membangun

Halaman 215 dari 883


benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang
Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif.

Pada masa ini nama Fatahilah (Fadilah Khan) yang


dipercaya sebagian masyarakat Cirebon berasal dari Pasai sudah
dikenal dibeberapa kalangan masyarakat Demak dan Cirebon
setelah sebelumnya hidupnya berpindah pindah dari Pasai ke
Melaka sebelum datang ke Cirebon akibat kedua tempat tersebut
dikuasai oleh Portugis, Fatahilah dikenal dikarenakan dia turut
membantu dalam hal syiar Islam, di Cirebon setelah meninggalnya
Sultan Demak Pangeran Sebrang Lor ia kemudian menikahi mantan
Istri pangeran Sebrang Lor yaitu Ratu Ayu yang merupakan anak
dari Sunan Gunung Jati dan setelah Pangeran Jayakelana dari
Cirebon meninggal, ia pun kemudian menikahi mantan istrinya
yang berasal dari kesultanan Demak yaitu Ratu Ayu Pembayun,[28]
hal ini membuat Fatahilah menjadi menantu Sunan Gunung Jati dan
kesultanan Demak.

Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian


yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji
(perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda
Kelapa[42] dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima
barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan
memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada
sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau padraõ
(dibaca: Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrão
dimaksud disebut dalam cerita masyarakat Sunda sebagai Layang
Salaka Domas dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah, dari

Halaman 216 dari 883


pihak kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani oleh Syahbandar
Sunda Kelapa yang bernama Wak Item dari kalangan muslim
Betawi dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.[44]

Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut


Prinsenstraat (Jalan Cengkih) dan Groenestraat (Jalan Nelayan
Timur) di Jakarta.

Fatahilah kemudian mengungkapkan rencananya untuk


menyerang Portugis di Sunda Kelapa, rencana Fatahilah
mendapatkan dukungan dari kesultanan Demak, Sultan Trenggana
yang melihat kedekatan kerajaan Sunda dengan Portugis sebagai
ancaman kemudian juga turut merencanakan serangan ke Sunda
Kelapa.[59]

Penyerangan ke Sunda Kelapa kemudian dilakukan dengan


gabungan prajurit kesultanan Cirebon, kesultanan Demak dan
kesultanan Banten (pada saat itu Banten masih menjadi kadipaten di
bawah kesultanan Cirebon) yang baru saja berdiri pada tahun 1526
hasil penyerangan prajurit Cirebon dan Demak di bawah pimpinan
Maulana Hasanuddin putra Sunan Gunung Jati[60] atas wilayah
Banten Girang, setelah sebelumnya Fatahilah meminta saudara
iparnya yaitu Sultan Banten pertama Maulana Hasanuddin agar
tidak menyerang Sunda Kelapa sendirian.

Pada saat menyerang Sunda Kelapa pada tahun 1527,


menurut sejarawan dan budayawan Betawi Ridwan Saidi, pasukan
Fatahilah hanya menghadapi Syahbandar Sunda Kelapa yaitu Wak
Item dan dua puluh anggotanya, Wak Item tewas dan tubuhnya

Halaman 217 dari 883


ditenggelamkan di laut, kemudian Fatahilah membumihanguskan
perkampungan yang ada di sana termasuk perkampungan yang
didiami tiga ribu orang muslim Betawi,[44] yang pemukimannya
berada di wilayah Mandi Racan, sekarang masuk wilayah Pasar
Ikan, Jakarta. Fatahilah kemudian membangun istana dengan
tembok tinggi di sisi barat Kali Besar (terusan sungai di sebelah
barat Ciliwung), masyarakat muslim Betawi yang rumahnya berada
di dekat istananya diusir dan rumahnya dibumihanguskan,[44] Sunda
Kelapa akhirnya dapat dikuasai sepenuhnya pada 22 Juni 1527.

Keterlambatan bantuan Portugis


Pada pertempuran antara kerajaan Sunda dengan gabungan
prajurit Banten, Cirebon dan Demak di Sunda Kelapa yang berakhir
dengan tewasnya Wak Item (Syahbandar Sunda Kelapa) bersama
dua puluh anggotanya serta sebagian penduduk Sunda Kelapa salah
satunya disebabkan karena keterlambatan bantuan dari Portugis,
Francisco de Xa yang ditugasi membangun benteng diangkat
menjadi Gubernur Goa sebuah koloni Portugis di India.[61]
Keberangkatan ke kerajaan Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6
buah kapal. Galiun (kapal perang) yang dinaiki Francisco De Xa
dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa
ditinggalkan karena armada ini diterpa badai dan karam di Teluk
Benggala,[62] tepatnya di Ceylon (Srilanka). Francisco De Xa tiba di
Melaka tahun 1527.

Ekspedisi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula


menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai oleh
Maulana Hasanuddin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa.

Halaman 218 dari 883


Di Muara Cisadane, Francisco De Xa memancangkan Padrão pada
tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio
de São Jorge" (dibaca: Rio de Saun Horhe) yang berarti sungai
Santo Jorge.[62] Kemudian galiun Francisco De Xa memisahkan diri,
hanya kapal brigantin yang dipimpin oleh Duarte Coelho yang
langsung berangkat ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Duarte Coelho
terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu
dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fatahilah,
dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal
Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai.[62]

Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk


melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527
yang menimpa pasukan Duarte Coelho demikian menakutkan, maka
tujuan armada lalu diubah menuju Pedu di wilayah Pantai Emas
Portugal yang merupakan koloni Portugis di Afrika yang sekarang
menjadi bagian dari negara Ghana.

Sunda Kelapa atau Batavia dengan Latar Belakang Gunung Salak, Gunung
Halimun dan Gunung Pangrango di kejauhan

Halaman 219 dari 883


Dikuasainya Raja Galuh pada 1528
Perseteruan antara kesultanan Cirebon dengan kerajaan Raja
Galuh bermula dari permintaan kerajaan Rajagaluh yang
mengharuskan kesultanan Cirebon mengakui kerajaan Rajagaluh
sebagai pusatnya yang secara langsung menjadikan kesultanan
Cirebon sebagai negara bagian dari kerajaan Raja Galuh.

Duta pertama yang tercatat dikirimkan oleh Prabu


Cakraningrat (Raja Raja Galuh) adalah depati (bahasa Indonesia:
gubernur) Kiban atau pada masyaraakat Cirebon dikenal dengan
nama Arya Kiban (depati palimanan), rombongan pimpinan depati
Kiban berulang kali berusaha memasuki wilayah kota Cirebon
namun selalu ditolak dan hanya beberapa yang diizinkan untuk
memasuki kota Cirebon, mereka yang memasuki kota Cirebon
kemudian memeluk agama Islam.[63]

Pada masa awal perseteruan antara kesultanan Cirebon


dengan kerajaan Raja Galuh, wilayah Palimanan (sekarang terdiri
dari Ciwaringin, Gempol, Palimanan serta sebagian dari
Dukupuntang yang dahulu disebut sebagai kedondong), merupakan
wilayah kerajaan Raja Galuh yang wilayahnya paling dekat dengan
pantai.

Duta kedua yang dikirim Prabu Cakraningrat adalah demang


Dipasara yang membawa pesan agar kesultanan Cirebon mengakui
kerajaan Rajagaluh sebagai pusatnya, demang Dipasara tidak
berhasil memasuki kota Cirebon dikarenakan rombongannya
bertemu dengan pangeran depati Kuningan (putra Ki gede Luragung

Halaman 220 dari 883


yang diangkat anak oleh Sunan Gunung Jati)[25] dan pasukannya
yang memintanya kembali ke Raja Galuh dengan membawa pesan
agar Raja Galuh tunduk kepada kesultanan Cirebon.

Pangeran Depati Kuningan kemudian memberitahu


peristiwa pertemuannya dengan Demang Dipasara kepada Sunan
Gunung Jati sekaligus memohon izin untuk menyerang kerajaan
Raja Galuh, sebelum menyerang, Pangeran Depati Kuningan
membuat pertahanan di Plered sekaligus mengirimkan duta yaitu Ki
Demang Singagati dengan membawa pesan kepada Prabu
Cakraningrat agar prabu dan rakyatnya memeluk Islam dan
menggabungkan diri dengan kesultanan Cirebon namun pesan
tersebut ditolak Prabu Cakraningrat.

Perang Palimanan
Perang Palimanan terjadi tidak lama setelah kepulangan Ki
Demang Singagati yang membawa pesan penolakan dari Prabu
Cakraningrat. Prajurit kesultanan Cirebon pada mulanya dipimpin
langsung oleh Pangeran Depati Kuningan sementara kerajaan Raja
Galuh berada dibawah Depati Kiban (penguasa Palimanan).

Prajurit dari kedua kerajaan kemudian mendapatkan bantuan


kekuatan, prajurit Depati Kiban mendapat bantuan dari pasukan
induk kerajaan Rajagaluh dibawah pimpinan Sanghyang Gempol
sementara prajurit Pangeran Depati Kuningan mendapat bantuan
dari pasukan induk kesultanan Cirebon ditambah 700 orang pasukan
kesultanan Demak yang pada saat itu sedang berada di kesultanan

Halaman 221 dari 883


Cirebon untuk keperluan pengawalan Sultan Demak yang pada saat
itu sedang berada di Cirebon.[63]

Pada perang Palimanan, Depati Kiban dan Sanghyang


Gempol dapat dikalahkan, pasukan kesultanan Cirebon kemudian
bergerak menuju ibu kota Raja Galuh dan mengepung istana
kerajaan Raja Galuh.

Perang akhirnya dapat dimenangkan oleh kesultanan Cirebon dan


kerajaan Raja Galuh digabungkan wilayahnya dengan kesultanan
Cirebon, sementara para pemimpin kerajaan Raja Galuh dibiarkan
lari.

Kawali dikuasai pada 1528


Pada tahun 1528 Kawali (ibukota Galuh) berhasil dikuasai
oleh Cirebon[64]. Kesultanan Cirebon kemudian menugaskan
Pangeran Dungkut untuk menjadi penguasa di Galuh[22]. Pangeran
Dungkut dipercaya sebagai putra dari Prabu Langlangbuana dari
Kuningan[65].

Perwalian oleh Pangeran Mohammad Arifin


Pada tahun 1528 Syarief Hidayatullah menyerahkan
(mewakilkan) kekuasaan kesultanan Cirebon kepada putranya yaitu
Pangeran Mohammad Arifin (Pangeran Pasarean) yang merupakan
depati Cirebon (gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah
Cirebon) sementara ia mengkhususkan diri kepada dakwah Islam.[66]

Bergabungnya Talaga pada 1529


Proses bergabungnya Talaga masuk menjadi bagian dari
wilayah kesultanan Cirebon pada awalnya dikarenakan ada

Halaman 222 dari 883


kesalahpahaman antara pasukan Cirebon yang sedang mengarak
pangeran-pangeran Cirebon dengan Demang dari kerajaan Talaga.

Pada awalnya pasukan kesultanan Demak dan kesultanan


Cirebon sedang mengarak para pangeran Cirebon yaitu pangeran
Bratakelana dan pangeran Jayakelana yang dikawal dari depan (oleh
pasukan dari Jawa (pasukan kesultanan Demak dan juga dari
belakang oleh pasukan Cirebon dan Sunan Jati, secara tidak sengaja
arak-arakan telah memasuki wilayah kerajaan Talaga dan membuat
kehebohan di Talaga, masyarakat kemudian melaporkan ke Istana
Kerajaan, Pucuk Umum (bahasa Indonesia: penguasa) Talaga
memerintah Demang kerajaan memimpin sejumlah prajurit kerajaan
untuk menyelidiki hal tersebut.[33]

Pasukan dari kerajaan Talaga dipimpin oleh Demang


kerajaan lantas menemui iring-iringan tersebut menanyakan kepada
arak-arakan prajurit paling depan tentang asal usul dan keperluan
mereka masuk ke wilayah Talaga, dikarenakan para prajurit Talaga
bertanya dengan menggunakan bahasa Sunda maka para prajurit
yang mengawal di depan yang kebetulan suku Jawa dari kerajaan
Demak tidak memahami arti pertanyaannya dan hanya diam saja.
Sikap diam yang ditunjukkan para barisan prajurit suku Jawa
tersebut dianggap sebagai penghinaan kepada rombongan pasukan
kerajaan Talaga, Demang kerajaan Talaga marah dan mengamuk
namun dapat segera diatasi oleh barisan prajurit di depan (barisan
prajurit kesultanan Demak) tersebut, Demang kerajaan Talaga lantas
melaporkan masalah kepada Pangeran Aria Salingsingan (Putra
Mahkota Talaga), ketika Pangeran Aria datang ke iring-iringan

Halaman 223 dari 883


tersebut untuk membalas perlakuan mereka kepada rombongan
prajurit kerajaan Talaga dan Demang kerajaan, terjadi keributan
kembali (tanpa Pangeran Aria sempat mencari tahu apa maksud
kedatangan para rombongan prajurit tersebut) beberapa prajurit
barisan depan tadi kemudian ada yang meninggal, dikatakan setelah
melihat sosok Sunan Gunung Jati yang maju kedepan untuk melihat
ada keributan apa sehingga iring-iringan tertahan, Pangeran Aria
Salingsingan kemudian menghentikan serangannya kepada para
prajurit, diyakini kemudian Sunan Gunung Jati menjelaskan tujuan
iring-iringan prajurit tersebut yang tidak sengaja memasuki wilayah
Talaga, dikarenakan telah membunuh beberapa prajurit barisan
depan (prajurit kesultanan Demak) maka Pangeran Aria
Salingsingan meminta maaf. Sunan Gunung Jati kemudian
memintanya agar masuk Islam dengan membaca dua kalimat
syahadat dan Pangeran Aria Salingsingan dengan sukarela
mengikutinya (masuk Islam).

Rombongan iring-iringan para pangeran Cirebon kemudian


menuju ke kraton Talaga untuk menemui pucuk umum (penguasa)
Talaga (kabar bahwa Pangeran Aria Salingsingan masuk Islam dan
menghentikan serangan kemudian sampai ke keraton Talaga) namun
ketika mereka sampai raja sudah tidak ada di keraton, begitu pula
dengan saudari Pangeran Arya Salingsingan yang bernama Ratu
Mas Tanduran Gagang yang juga keluar Istana dan dikabarkan pergi
bertapa,[33] dikarenakan tidak adanya raja pada saat itu maka
Pangeran Aria Salingsingan menjadi penguasa Talaga dan kemudian

Halaman 224 dari 883


menggabungkan wilayahnya dengan kesultanan Cirebon pada tahun
1529 dan masyakarat Talaga mulai mengenal ajaran Islam.

Sumedang bergabung pada 1530


Latar belakang bergabungnya kerajaan Sumedang Larang
menjadi bagian dari kesultanan Cirebon adalah dengan pendekatan
dakwah Islam, pada awal 1500an Maulana Muhammad (putra dari
Maulana Abdurahman (Pangeran Panjunan) keturunan dari Syekh
Datuk Kahfi (Syekh Nur Jati) melakukan dakwah Islam di wilayah
kerajaan Sumedang Larang disekitar wilayah Sindang Kasih
(sebelah timur Cilutung / sungai Lutung), di wilayah Sindang Kasih
Maulana Muhammad menikah dengan Nyai Armillah[25] (diyakini
sebagai kerabat pembesar Sindang Kasih) dan memiliki putra yang
diberi nama Soleh (masyarakat lebih mengenalnya dengan nama
pangeran Santri karena dia berasal dari pesantren).

Pangeran Soleh ini kemudian menikah dengan Ratu Setyasih


(putri Raja Tirtakusuma (Patuakan))[28] yang sedang memerintah di
kerajaan Sumedang Larang. Pada 21 Okober 1530 (13 bagian gelap
bulan Asuji tahun 1452 Saka) Pangeran Soleh diserahi kekuasaan
atas kerajaan Sumedang Larang dari istrinya dan kemudian dia
dinobatkan menjadi penguasa Sumedang Larang dengan gelar
Kusumahdinata.[67] Tiga bulan setelahnya (12 bagian terang bulan
Margasira tahun 1452 Saka) diadakan syukuran di kesultanan
Cirebon tepatnya di Dalem Agung Pakungwati atas diangkatnya
Pangeran Soleh sebagai penguasa kerajaan Sumedang Larang juga
keberhasilan Cirebon menguasai wilayah kerajaan Pajajaran sebelah
timur (Galuh).

Halaman 225 dari 883


Perjanjian damai dengan kerajaan Pajajaran
Pasca pertempuran di Kalapa (kini: Jakarta) pada tahun
1527 M, para prajurit dari kesultanan Cirebon dan kerajaan
Pajajaran masih terlibat pertempuran di pedalaman hingga beberapa
tahun, akhirnya ditandatanganilah perjanjian perdamaian di antara
keduanya pada tanggal 14 paro terang bulan Asada tahun 1453
saka[28] atau bertepatan pada 12 Juni 1531 M.[68] Pada masa itu yang
menjadi raja di kerajaan Pajajaran adalah Prabu Surawisesa (saudara
Pangeran Walangsungsang penguasa pertama kesultanan Cirebon)
sementara kesultanan Cirebon dipimpin oleh Syarief Hidayatullah
yang diwalikan urusan pemerintahannya kepada anaknya yaitu
Pangeran Mohammad Arifin (Pangeran Pasarean).

Isi surat perjanjian damai tersebut di antaranya adalah,[28]

• Pengakuan atas kedaulatan masing-masing kerajaan dan


untuk tidak saling menyerang
• Pengakuan bahwa kedua kerajaan adalah sederajat dan
bersaudara (sama-sama merupakan ahli waris dari Sri
Baduga Maharaja Prabu Siliwangi atau Prabu Jayadewata.
Sunan Kalijaga diundang ke kerajaan Demak
Pada tahun 1543, Sultan Trenggana mengundang Sunan Kalijaga
untuk datang ke kerajaan Demak guna menjadi penasihat Sultan
Trenggana[69]

Terbunuhnya Pangeran Mohammad Arifin


Pada tahun 1546 M sultan Trenggana tidak sengaja terbunuh
dalam usaha penyerangan ke Panarukan, pada saat itu Panarukan

Halaman 226 dari 883


sudah dikepung selama tiga bulan oleh gabungan prajurit kesultanan
Demak dan kesultanan Cirebon, kesultanan Cirebon mengirimkan
sekitar 7.000 prajuritnya yang didatangkan dari wilayah Banten dan
Jayakarta serta Cirebon, di antara prajurit yang dikirim dari
kesultanan Cirebon ada Fernão Medes Pinto (dibaca: Fernaun
Mendes Pinto, penjelajah Portugis yang mencatat ekspedisi
penyerangan ke Panarukan dalam catatannya Peregrinação (dibaca:
Peregrinasaun (perjalanan)) bersama empat puluh orang temannya
yang ikut serta. Fernão Mendes Pinto sebelumnya tiba di Banten
pada tanggal 1 Oktober 1545 untuk membeli lada dalam
pelayarannya dari Goa menuju Tiongkok, ia terpaksa menunggu
berbulan-bulan karena pada saat itu persediaan lada di pelabuhan
Banten belum mencukupi.[70] Usai pengepungan selama tiga bulan
Sultan Trenggana kemudian mengadakan sebuah rapat bersama para
adipati untuk merencanakan penyerangan lanjutan ke Panarukan,
pada saat itu putra adipati Surabaya[71] yang berumur 10 tahun
menjadi pelayannya membawakan tempat sirih, karena tertarik
dengan jalannya rapat tersebut putra adipati Surabaya tidak
mendengarkan perintah sultan Trenggana sehingga sultan
memarahinya dan memukulnya, putra adipati Surabaya itu merasa
sangat tersinggung dan tiba-tiba menusukkan pisau kecil yang
terselip di ikat pinggangnya ke arah jantung Sultan. Sultan pun
tewas seketika dan dibawa pulang ke Demak dari Panarukan.[72]

Selanjutnya terjadi huru-hara perebutan kekuasaan di


kesultanan Demak, masa itu Pangeran Mohammad Arifin (Pangeran
Pasarean) yang menjabat sebagai Depati Cirebon (gubernur

Halaman 227 dari 883


kesultanan Cirebon untuk wilayah Cirebon) sekaligus putra
mahkota kesultanan Cirebon yang sedang berada di Demak
mewakili sultan Cirebon (oleh Fernão Mendes Pinto disebut sebagai
Quiay Ansedaa Pate de Cherbom (Kyai Sang Depati Cirebon))
meninggal dalam peristiwa tersebut.[66] Istrinya Ratu Nyawa yang
turut mendampinginya berhasil selamat. Satu tahun setelah
peristiwa huru-hara di Demak yang menyebabkan meninggalnya
Depati Cirebon Pangeran Muhammad Arifin, Ratu Wanawati (puteri
Fadillah Khan dengan Ratu Ayu (janda Yunus Abdul Kadir al-Idrus),
istri Pangeran Sawarga melahirkan Pangeran Mas Zainul Arifin[73]
pada tahun 1547 M.[74][75] Pada peristiwa huru-hara di kesultanan
Demak juga terbunuh Pangeran Hadiri[66] (suami dari Ratu
Kalinyamat (Ratna Kencana), putri pertama Sultan Trenggana
sekaligus Adipati Jepara.

Musyawarah berkenaan dengan meninggalnya Pangeran


Muhammad Arifin
Kesultanan Cirebon menggelar musyawarah dalam
menyikapi peristiwa meninggalnya Pangeran Mohammad Arifin di
Demak, Syarief Hidayatullah selaku penguasa kesultanan Cirebon
pada saat itu tengah menetap di Banten,[76] hasil dari musyawarah
tersebut pada tahun 1552 m menyatakan bahwa putra pertama
Syarief Hidayatullah yaitu Pangeran Maulana Hasanuddin yang
menjabat sebagai depati Banten (gubernur kesultanan Cirebon
untuk wilayah Banten) dinaikkan statusnya dari depati (gubernur)
menjadi sultan atas wilayah Banten yang kemudian
mengembangkan kesultanan Banten sementara untuk mengisi

Halaman 228 dari 883


kekosongan posisi sebagai wakil sultan Cirebon yang mengurusi
kesultanan Cirebon saat Syarief Hidayatullah tidak berada di tempat
diputuskan untuk diisi oleh Fadillah Khan (Fatahilah). Pada tahun
1552, setelah Maulana Hasanuddin resmi menjadi penguasa
kesultanan Banten, Syarief Hidayatullah kembali ke Cirebon[76]

Pembagian wilayah taklukan antara kesultanan Banten dengan


kesultanan Cirebon
Pasca perjanjian damai Cirebon dengan kerajaan Pajajaran
pada tahun 1530 dan setelah kesultanan Banten berdiri pada tahun
1552, maka wilayah antara sungai Angke dan sungai Cipunegara
dibagi dua. Menurut Carita Sajarah Banten, Sunan Gunung Jati[78]
pada abad ke 15[79] membagi wilayah antara sungai Angke dan
sungai Cipunegara menjadi dua bagian dengan sungai Citarum
sebagai pembatasnya, sebelah timur sungai Citarum hingga sungai
Cipunegara masuk wilayah Kesultanan Cirebon yang sekarang
menjadi Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta dan
Kabupaten Subang dan sebelah barat sungai Citarum hingga sungai
Angke menjadi wilayah bawahan Kesultanan Banten dengan nama
Jayakarta.[38][80]

Pada tahun 1568,[81] Maulana Hasanuddin sebagai penguasa


Banten yang juga membawahi wilayah Jayakarta mengangkat
menantunya yaitu Kawis Adimarta (Tubagus Angke) suami dari
Ratu Ayu Fatimah (anak ke enam dari Maulana Hasanuddin)[82]
sebagai penguasa Jayakarta, sebelumnya, sejak peristiwa
penaklukan Kelapa pada tahun 1527 hingga diangkatnya Kawis

Halaman 229 dari 883


Adimarta pada tahun 1568, wilayah ini berada dibawah kekuasaan
Fadillah Khan[83]

Fatahillah (1568-1570)
Pada tahun 1568 Syarief Hidayatullah meninggal dunia
maka kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan
mengukuhkan pejabat keraton yang selama Syarief Hidayatullah
melaksanakan tugas dakwah dijadikan wakilnya sebagai pengurus
kesultanan Cirebon, Fadillah Khan (Fatahillah) kemudian naik
takhta (sebagai wali kesultanan)[84] dan memerintah Cirebon secara
resmi sejak tahun 1568. Fadillah Khan (Fatahillah) mengurusi
kesultanan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia
meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung
Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan
Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

Puncak kejayaan dan persahabatan dengan negara lain


Sepeninggal Fadillah Khan (Fatahillah), oleh karena tidak
ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada
cicit Syarief Hidayatullah yaitu Pangeran Mas Zainul Arifin atau
dikenal juga dengan nama Panembahan Ratu I, putra dari Pangeran
Sawarga[73] atau cicit Sunan Gunung Jati yang sudah berusia 21
tahun. Pangeran Mas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan
memerintah Cirebon selama kurang lebih 81 tahun.[85]

Sultan Zainul Arifin/Panembahan Ratu I (1570 - 1649


Pada masa pemerintahan Pangeran Mas Zainul Arifin atau
Panembahan Ratu I ini dikatakan bahwa keraton Mataram (pada

Halaman 230 dari 883


masa ini Mataram menjadi bawahan kerajaan Pajang) mulai
dibangun di sekitar kali Opak dan kali Progo pada tahun 1578 oleh
Ki Ageng Pamanahan, tetapi beberapa tahun kemudian dia wafat,
tepatnya pada tahun 1584 sehingga kepemimpinan di keratonnya
dilanjutkan oleh putranya yang bernama Danang Sutawijaya,
beberapa tahun setelah meninggalnya Ki Ageng Pamanahan, Sultan
Hadiwijaya dari kerajaan Pajang (sekarang wilayahnya diperkirakan
meliputi wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta dan
Mangkunegara) pun meninggal, tepatnya pada tahun 1587, pada
saat meninggalnya Sultan Pajang, Danang Sutawijaya yang selama
ini tidak suka menghadap Sultan Pajang akhirnya datang juga untuk
menghadiri upacara pemakaman Sultan. [87] Pada masa
pemerintahannya, Danang Sutawijaya melakukan perluasan
wilayahnya;

• Pajang dijadikan kadipaten, dan Pangeran Benawa (putra


dari Sultan Hadiwijaya) dijadikan sebagai pemimpin
Kadipaten Pajang
• Demak berhasil dikuasai dan kemudian dia menempatkan
seseorang dari wilayah Yuwana
• Kedu dan Bagelen (sebelah barat Pegunungan Menoreh)
juga berhasil dikuasai
• Madiun mengakui kekuasaan Mataram pada tahun 1590
• Surabaya berhasil dikuasai
• Kediri berhasil dikuasai
• Parahyangan sebelah timur berhasil dikuasai

Halaman 231 dari 883


Pada masa pemerintahan Pangeran Mas Zainul Arifin,
kesultanan Cirebon berhasil mempertahankan hubungan baik antara
kesultanan Banten dengan kesultanan Mataram, hal itu disebabkan
adanya hubungan keluarga antara kesultanan Banten dengan
kesultanan Cirebon yang masih sama-sama keturunan sunan
Gunung Jati sementara dengan kesultanan Mataram hubungan
persahabatan yang erat telah dijalin antara Pangeran Mas Zainul
Arifin dengan Danang Sutawijaya penguasa Mataram pertama.

Kesultanan Mataram dan pembuatan benteng Kuta Cirebon


(Benteng Seroja)

Peta buatan Isaac de Graaff yang menunjukan struktur tembok Kuta Cirebon yang
masih ada di sebelah selatan dan timur keraton Pakungwati (periode 1690 - 1705)

Pada masa perluasan dan penaklukan wilayah yang


dilakukan kerajaan Mataram oleh Danang Sutawijaya, Mataram
juga menjalin kedekatan dengan kesultanan Cirebon, tetapi
hubungan yang dimaksud bukan dihasilkan dari sebuah penaklukan

Halaman 232 dari 883


melainkan dari persahabatan.[88] Benteng Kuta Raja Cirebon yang
dalam Naskah Kacirebonan disebut sebagai Benteng Seroja diyakini
pembangunannya mendapatkan bantuan dari Danang Sutawijaya
Raja Mataram.

Benteng Kuta Raja Cirebon diperkirakan telah dibangun


sebelum tahun 1596, dikarenakan benteng tersebut diceritakan pada
pelayaran pertama bangsa Belanda pada tahun 1596[89] dan tiga
tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan yang
sebenarnya adalah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap
Cirebon pada tahun 1681 benteng tersebut masih dapat dikenali.

Sultan Agung Hanyaraka Kusuma dari Mataram sangat


menghormati Pangeran Mas sebagai gurunya (Sultan Agung
Hanyaraka Kusuma dikatakan sebagai salah satu murid kesayangan
Pangeran Mas[90]), hal tersebut tidak lain adalah pesan dari Danang
Sutawijaya Sultan Mataram pertama yang berpesan kepada
keturunannya agar selalu menjaga hubungan baik dengan Cirebon.

Pada tahun 1614 ketika Gubernur Jendral Pieter Both


berkuasa di Hindia Belanda, Belanda mengirimkan utusan ke
Mataram, rombongan dipimpin oleh Jan Piterszoon Coen (yang
kelak menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda pada tahun 1619).
Mataram pada masa itu diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645),
kepada utusan Belanda ini Sultan Agung menyampaikan klaim
sepihak bahwa seluruh wilayah pulau Jawa bagian barat adalah
wilayah Mataram kecuali wilayah kesultanan Banten dan kesultanan
Cirebon.[91][92]

Halaman 233 dari 883


Rijckloff Volckertsz van Goens Gubernur Jendral Hindia
Belanda periode 1678 - 1681 menyatakan bahwa utusan Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC) telah lima kali ditugaskan ke
Mataram pada periode sekitar tahun 1648 - 1654. Sejak zaman
Danang Sutawijaya (teman Pangeran Mas Zainul Arifin), sudah
dipelihara hubungan yang erat dalam suasana perdamaian (groote
correspon-dentie on foede vreede), sebelum Danang Sutawijaya
wafat ia telah berpesan pula kepada putranya agar tetap memelihara
hubungan baik dengan Cirebon, Rijckloff Volckertsz van Goens
berpendapat bahwa hal tersebut dimungkinkan karena Cirebon
dianggap suci” (guansuis, omdat den Cheribonder voor hem’t geloof
hadde aengenoomen ende een heilige man was).[93]

Kepeng (uang logam pecahan lebih kecil) Cirebon


Perdagangan di Cirebon yang semakin ramai membuat
Sultan Zainul Airifin memutuskan untuk membuat uang Kepeng
(uang logam pecahan lebih kecil) yang terbuat dari besi, tembaga
dan perunggu.[13]

Peristiwa Harisbaya
Konflik antara kesultanan Cirebon dengan kerajaan
Sumedang Larang terjadi dikarenakan adanya peristiwa Harisbaya
pada tahun 1585[28] (namun sejarahwan Uka Candrasasmita
memperkirakan bahwa peristiwa Harisbaya terjadi pada 1588[60]).
Pada masa itu Prabu Geusan Ulun dari kerajaan Sumedang Larang
diyakini melarikan Harisbaya, istri Sultan Cirebon Zainul Arifin ke
Sumedang, menurut Babad Sumedang, Suriadiwangsa adalah anak
Harisbaya dari pernikahannya dengan Sultan Cirebon Zainul Arifin,

Halaman 234 dari 883


[94] kelak Suriadiwangsa menjadi penguasa Sumedang yang
bersekutu dengan Mataram dalam penyerangan ke Batavia.

Perdagangan dengan wilayah lainnya


Pada tanggal 7 - 12 Mei 1632 kapal-kapal Melayu datang
dari Cirebon ke Batavia membawa gula, minyak dan keperluan
lainnya. Pada tanggal 8 Oktober 1632, telah datang di Batavia 20
kapal jung dari Cirebon yang dikomandoi oleh Simkeij dengan
membawa minyak kelapa, gula hitam, beras dan buncis putih.[30]
Pada tanggal 28 Maret 1633 telah datang 2 perahu dari Cirebon di
wilayah Tiku (Sumatera barat) yang akan membawa sekitar 1.000
hingga 5.000 pikul lada.[30] Pada tanggal 16 April 1633, dua buah
kapal jung milik Sultan Zainul Arifin yang berlayar dari kerajaan
Selebar (Bengkulu) rusak karena menabrak karang.[Pada tanggal 19
Desember 1633, kapal-kapal dari Cirebon berlayar menuju Batavia
dengan membawa gula, asam dan beras. Pada tanggal 9 Oktober
1634, ada kapal dari Cirebon berlayar menuju Batavia membawa
gula dan beras. Pada tanggal 26 Oktober 1634, ada kapal-kapal dari
Cirebon berlayar menuju Batavia membawa gula dan beras serta
daging kijang, mangga, pisang serta barang-barang lainnya. Pada
tanggal 30 Oktober 1634, ada kapal-kapal dari Cirebon berlayar
menuju Batavia membawa daging kijang, mangga, pisang serta
barang-barang lainnya[30]

Picis Cina (uang logam orang Cina) di Cirebon


Pada tahun 1567 kaisar Cina menghapus larangan
perdagangan Cina ke wilayah selatan termasuk asia tenggara,
akibatnya terjadi arus masuk secara besar-besaran mata uang

Halaman 235 dari 883


tembaga Cina. Pada tahun 1596, kelompok Belanda yang pertama
datang ke Jawa menyatakan bahwa mata uang ini banyak sekali
beredar di wilayah kepulauan-kepulauan sekitar Jawa. Arus keluar
mata uang tembaga Cina yang sedemikian besar membuat khawatir
para pejabat Cina, hal tersebut dikarenakan kegiatan perdagangan
dengan membawa mata uang tembaga tersebut akan semakin
menguras sumber bahan baku pembuatnya yakni tembaga yang
semakin langka.[95]

Pada tahun 1590 di Guangdong dan Fujian akhirnya dibuat


mata uang baru (Picis Cina) yang terbuat dari campurang timah
yang murah untuk diedarkan khususnya di kepulauan asia tenggara.
Mata uang baru yang terbuat dari timah murah ini membuat
khawatir kalangan eropa dikarenakan mata uang tersebut akan rusak
sendiri dalam waktu tiga hingga empat tahun.[95]

Pada tahun 1596, Picis yang bermutu rendah akibat logam


dasarnya yang buruk ini beredar hingga ke pedalaman pulau Jawa,
pedagang Cina membawanya untuk membeli lada di pedalaman
Banten dengan nilai Picis yang dihargai seperempat dari uang
biasanya (uang Tembaga) yang beredar di pasar Banten.[95]

Pada periode antara tahun 1613 hingga 1618 pernah terjadi


kelangkaan Picis di wiayah Banten yang membuat nilai Picis
meningkat terhadap perak, akhirnya masuklah perak secara besar-
besaran sebagai akat tukar termasuk dalam pembayaran pembelian
lada.[95]

Halaman 236 dari 883


Mata uang Picis Cina tersebut memiliki beberapa
kekurangan, selain dari bahannya yang mudah rusak karena terbuat
dari bahan yang buruk, hal lainnya adalah Picis Cina mudah ditiru,
namun kekurangan pasokan timah adalah hambatan untuk membuat
Picis Cina secara lokal (dalam artian dibuat sendiri tidak
mengimpornya dari Guangdong atau Fujian) sampai orang Inggris
dan Belanda menemukan pasokan timah tersebut. Orang Inggris di
Banten memesan timah dari 20 ton pada tahun 1608 hingga menjadi
50 - 60 ton pada tahun 1615 dan kemudian meningkat sampai kira-
kira 150 ton pada tahun 1636. Orang Inggris menggunakan sebagian
dari pesanan timah mereka untuk membuat peluru.[95] Timah yang
dicetak menjadi mata uang kemudian dikirim untuk memasok
wilayah Banjarmasin, Palembang dan juga Banten. Belanda lebih
berhati-hati dalam menjual timah-timah mereka, dikarenakan takut
timah-timah tersebut dijadikan pasokan keperluan militer oleh
musuhnya.

Pada tahun 1633, Belanda mulai mengetahui bahwa timah


dapat diperoleh dari orang-orang Cina yang ada di Batavia, dari situ
Belanda mengetahui bahwa sudah ada industri pembuatan Picis
Cina di pulau Jawa, khususnya di Banten, Cirebon dan Jepara.[95]
Belanda berusaha mengambil keuntungan dari industri pembuatan
Picis Cina tersebut dengan memonopoli dan memberikan timah
kepada para orang Cina terkemuka yang berada di wilayah
kekuasaan Belanda di nusantara.[95]

Pembuatan kereta Singa Barong

Halaman 237 dari 883


Kereta Singa Barong dibuat atas perintah Pangeran Mas
Zainul Arifin pada tahun 1649 M berdasarkan Candrasangkala yang
berbunyi iku pandita buta rupanane yang berarti 1751 atau 1571
saka jawa (tahun Jawa),[60] menurut H.B Vos, kereta Singa Barong
bukanlah kereta yang didesain untuk ditarik dengan kuda akan
tetapi ia didesain untuk ditarik dengan sapi.[96]

Kereta Singa Barong didesain oleh Pangeran Angkawijaya


(Pangeran Losari) yang teknis pengerjaannya dipimpin oleh Dalem
Gebang Sepuh dan pemahatnya ialah Ki Nataguna dari desa
Kaliwulu. Ketegangan hubungan dengan kesultanan Mataram,
perang Pacirebonan dan meninggalnya Sultan Abdul Karim

Perang Pacirebonan
Perang Pacirebonan atau yang oleh masyarakat Cirebon
dikenal dengan nama perang Pagrage adalah sebuah peristiwa
pengiriman pasukan kesultanan Cirebon ke wilayah kesultanan
Banten.

Latar belakang
Pada tahun 1588 ketika kesultanan Mataram muncul setelah
meninggalnya Sultan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang, Danang
Sutawijaya kemudian mengadakan ekspansi wilayah dan diplomasi
guna mendapatkan pengakuan atas eksistensinya, wilayah-wilayah
di sebelah timur Mataram satu demi satu jatuh dan mengakui
eksistensinya sementara kesultanan Cirebon pada masa itu
diperintah oleh Sultan Mas Zainul Arifin yang merupakan sahabat
dari Danang Sutawijaya telah mengakui Mataram yang sebelumnya

Halaman 238 dari 883


adalah sebuah Kadipaten dari kerajaan Pajang kini menjadi
kesultanan yang mandiri, namun demikian, kesultanan Banten pada
masa itu belum mengakui eksistensi kesultanan Mataram, Sultan
Maulana Muhammad, sultan Banten yang bertakhta saat itu baru
berumur sekitar 12 tahun (ia naik takhta pada 1585[98] pada usia 9
tahun).[99]

Masa Sultan Maulana Muhammad


Kesultanan Banten pada masa awal pemerintahan Sultan
Maulana Muhammad disibukkan dengan klaim takhta oleh Arya
Jepara (saudara Maulana Yusuf, ayah dari Sultan Maulana
Muhammad yang dibesarkan oleh Ratu Kalinyamat (putri Sultan
Trenggana dari Demak sekaligus istri dari pangeran Hadiri seorang
Adipati Jepara)). Pangeran Arya Jepara mengajukan usul kepada
kesultanan Banten agar dirinya dijadikan penguasa kesultanan
Banten sampai pangeran Maulana Muhammad cukup umur untuk
memegang pemerintahan, tetapi usul tersebut ditolak oleh para
pejabat kesultanan Banten yang menganggap bahwa pangeran Arya
Jepara adalah orang luar Banten, para pejabat dengan dukungan
Qadi kesultanan Banten pada masa itu mengangkat Maulana
Muhammad sebagai Sultan Banten, sementara menunggu usia
Sultan Banten cukup untuk memegang pemerintahan, maka Qadi
dibantu dengan empat pejabat lainnya menjadi wakil Sultan Banten
dalam memerintah kesultanan Banten,[100] mereka adalah Patih
(bahasa Indonesia: Perdana Menteri) Jayanegara,[99] Senapati
(bahasa Indonesia: Panglima) Pontang, Ki Waduaji dan Ki
Wijamanggala.

Halaman 239 dari 883


Penolakan Qadi dan para pejabat kesultanan Banten
membuat Pangeran Arya Jepara memutuskan untuk menyerang
kesultanan Banten. Pangeran Arya Jepara bersama para pasukan dan
Demang Laksamana (bahasa Indonesia: Laksamana) Jepara pergi
menuju kesultanan Banten melalui jalur laut, dalam peperangan
tersebut Demang Laksamana Jepara tewas dan membuat Pangeran
Arya Jepara memutuskan untuk kembali ke Jepara.[100]

Pada masa ketika Danang Sutawijaya melakukan


penaklukan wilayah timur pulau Jawa untuk memperkuat
eksistensinya dan membantu Sultan Mas Zainul Arifin membangun
benteng Kuta Raja di Cirebon, Husein Djajadiningrat dalam
penelitiannya berkaitan dengan Banten menemukan bahwa pada
tahun yang sama yakni 1596, Mataram pernah mengirimkan 15.000
pasukannya untuk menyerang kesultanan Banten dari laut namun
gagal.[101] Sultan Maulana Muhammad pada masa itu disibukkan
dengan kegiatan dakwah Islam dan baru pada tahun 1596 (tahun
yang sama dengan penyerangan Mataram ke kesultanan Banten)
atas masukan dari Pangeran Mas (putra Arya Penggiri, cucu Sunan
Prawoto dari kesultanan Demak) yang berambisi menjadi penguasa
Palembang maka Sultan Maulana Muhammad memutuskan untuk
melakukan penyerangan ke wilayah Palembang, dalam penyerangan
tersebut Sultan Maulana Muhammad yang baru berusia 19 tahun
wafat dan meninggalkan putra mahkota kesultanan Banten yang
baru berusia 5 bulan[99] yang kemudian dikenal dengan nama Abdul
Mufakhir Mahmud Abdul Kadir.

Masa Sultan Abdul Mufakir

Halaman 240 dari 883


Sepeninggal Sultan Maulana Muhammad, putra mahkota
yang masih bayi tersebut lantas dinobatkan menjadi Sultan Banten
dan perwalian segera dibentuk, untuk masalah pemerintahan Patih
Jayanegara ditunjuk menjadi walinya. Patih Jayanegara dikenal
sebagai pejabat kesultanan Banten yang handal dan sangat setia
sehingga dalam dua kali masa jabatannya sebagai wali kesultanan
Banten, kesultanan berada dalam kondisi yang tenteram.[99]

Pada tanggal 28 November 1598, dua tahun setelah


meninggalnya Sultan Maulana Muhammad, datanglah rombongan
pedagang Belanda yang dipimpin oleh Jacob Corneliszoon van
Neck ditemani oleh laksamana madya Wybrand van Warwijck dan
seorang penjelajah kutub yang ternama pada masa itu sekaligus
seorang laksamana yaitu Jacob van Heemskerck, van Heemskerck
pernah berlayar ke kutub mengikuti rencana yang disusun
pemerintah Belanda karena ketika terjadi Perang Delapan Puluh
Tahun antara Belanda dengan Spanyol. Belanda yang selama ini
mengambil rempah dari Lisbon (Portugal) dan menjualnya kembali
ke Jerman dan sekitarnya mengalami kesulitan saat Spanyol
menguasai Portugal dan melarang kapal-kapal dagang Belanda
berlabuh di wilayah yang dikuasainya, akibatnya pemerintah
Belanda berusaha mencari jalan untuk berhubungan langsung
dengan pedagang rempah di Asia, tetapi usaha itu kurang
membuahkan hasil karena kapal dagang mereka selalu menjadi
incaran Spanyol dan Portugal (Portugal juga menyisir kapal-kapal
Belanda karena statusnya pada masa itu berada di bawah Kerajaan
Spanyol) juga orang-orang Inggris, ketika Itinerario sebuah buku

Halaman 241 dari 883


yang berisi informasi tentang Asia dan Hindia karya Huygen van
Linschoten terbit pada tahun 1593, Belanda berusaha mencari jalan
alternatif ke Asia guna menghindari patroli kerajaan Spanyol,
munculah ide untuk melewati kutub utara dengan kapal yang
didesain khusus oleh pemerintah Belanda, tiga kali usaha dilakukan
untuk melewati kutub utara, tiga kali pula usaha tersebut gagal,
Jacob van Heemskerck yang ikut dalam misi melintasi kutub utara
menemukan kapalnya terjepit es dan separuh anak buahnya
meninggal karena kedinginan, dia dan yang lainnya kemudian
kembali ke Belanda untuk melaporkan kegagalan tersebut. Dari
laporan Jacob van Heemskerck, Belanda kemudian menyiapkan
misi menuju Asia melewati Tanjung Harapan, Afrika Selatan, misi
itu dipimpin oleh Cornelis de Houtman, tetapi Jacob van Heemskerk
tidak ikut dalam misi ini, baru ketika Jacob van Neck akan
menjalankan misi ke Asia mencari rempah-rempah ia ikut serta ke
dalamnya, mereka kemudian berlayar dengan mengikuti arahan dari
seorang astronom dan kartografer (pembuat peta) kelahiran Flandria
(sekarang bagian dari Belgia) yang bernama Petrus Plancius. Jacob
van Neck sebenarnya bukanlah orang yang ahli di bidang navigasi
pelayaran, latar belakang keahliannya adalah bidang perdagangan,
oleh karenanya dia memutuskan untuk mengambil kelas di bidang
navigasi guna mendalaminya.[102] Kedatangan para pedagang
Belanda kali ini disambut baik oleh kesultanan Banten, tidak seperti
pendahulunya yakni Cornelis de Houtman yang tercatat sempat
berbuat tidak baik di Banten dengan menggerebek kapal-kapal
pembawa rempah dari Sumatra dan Kalimantan yang datang ke
Banten,[102] walaupun sebenarnya sikap Cornelis de Houtman
Halaman 242 dari 883
dilatarbelakangi kejadian buruk yang menimpanya ketika dia
mencapai Banten pada tahun 1596, ketika dia berusaha membeli
rempah, pihak Portugis membujuk orang Banten agar memberikan
harga yang sangat tinggi hingga tidak masuk diakal kepada
rombongan Cornelis de Houtman bahkan rombongan inipun tidak
diberi akses untuk memenuhi kebutuhan air bersih, akhirnya
rombongan Cornelis de Houtman pergi ke Sumatra untuk
mendapatkan logistik dan lebih banyak rempah namun ia dan
rombongannya ditangkap dan kemudian dibebaskan setelah tebusan
dibayar,[102] kejadian itu membuat Cornelis de Houtman kesal
hingga melakukan penggerebekan kepada kapal-kapal pembawa
rempah yang menuju Banten.

Pembawaan Jacob Corneliszoon van Neck dan rekan-


rekannya dikatakan berbeda oleh masyarakat Banten, sikapnya yang
mudah membawa diri membuatnya diizinkan untuk bertemu dengan
Sultan Abdul Mufakhir yang ketika itu masih berumur sekitar 2
tahun, Jacob Corneliszoon van Neck kemudian memberi sebuah
piala berkaki emas sebagai hadiah untuk Sultan dan tanda
persahabatan.

Pada tahun 1602, Patih Jayanegara meninggal dunia, posisi


ini kemudian digantikan oleh adiknya, tetapi dia dipecat pada 17
November 1602 dengan alasan berkelakuan tidak baik, ibunda
sultan yaitu Nyi Gede Wanogiri kemudian menikah dengan seorang
bangsawan keraton yang bernama Pangeran Camara, dia mendesak
agar suami barunya itu diperkenankan menjadi wali bagi Sultan
Abdul Mufakhir,[101] setelah suami barunya ini menjadi wali Sultan,

Halaman 243 dari 883


dia membuat berbagai perjanjian dagang dengan para pedagang
asing, wali Sultan yang baru ini juga dituduh menerima suap
sehingga perjanjian dagang yang dibuatnya cenderung
menguntungkan beberapa pihak saja ketimbang kesultanan pada
umumnya, banyak rakyat Banten dan para pejabat tidak puas
dengan keadaan ini ditambah banyak keributan di wilayah
kesultanan Banten yang diprakarsai oleh para pedagang asing yang
berpihak pada para pedagang Belanda atau Portugis.

Keberadaan Patih sudah tidak dihiraukan oleh pejabat


wilayah kesultanan Banten sehingga dikatakan bahwa kekuasaan
Patih yang sekaligus adalah suami dari Nyi Gede Wanogiri hanya
terbatas pada keraton dan wilayah sekitarnya saja. Pada tahun 1604
terdapat insiden ditahannya sebuah kapal Jung dari Johor oleh
Pangeran Mandalika (anak dari Pangeran Maulana Yusuf), seruan
Patih untuk melepaskan Jung tersebut tidak dihiraukan, bahkan
Pangeran Mandalika bersekutu dengan para pangeran lain dan
orang-orang yang menentang kekuasaan Patih, mereka kemudian
membuat benteng pertahanan di luar kota, masalah ini kemudian
dapat diselesaikan dengan penyerangan ke benteng pertahanan
Pangeran Mandalika oleh Pangeran Jayakarta yang dibantu oleh
Inggris pada tahun 1605, ketika Pangeran Jayakarta datang ke
Banten bersama pasukannya untuk menghadiri acara khitanan
Sultan Abdul Mufakir Abdul Kadir pada saat itu Patih meminta
bantuannya, akhirnya perjanjian damai dilakukan antara kesultanan
Banten dengan kubu Pangeran Mandalika, dikatakan bahwa mereka

Halaman 244 dari 883


diharuskan meninggalkan wilayah kesultanan Banten selambatnya 6
hari dan hanya boleh diikuti oleh 30 orang anggota keluarga.[101]

Setelah peristiwa Pangeran Mandalika, pada tahun 1608


terjadi lagi peristiwa yang dikenal dengan nama Pailir (bahasa
Indonesia: bertempat di hilir), peristiwa peperangan antara para
pangeran dari keraton di bawah perintah Pangeran Ranamanggala
dengan kubu Pangeran Kulon dan para ponggawa (pejabat),
sebenarnya peristiwa Pailir disebabkan oleh peristiwa yang terjadi
setelah Pangeran Ranamanggala dan rekan-rekannya bersekutu
untuk membunuh Patih yang juga merupakan suami dari Nyi Gede
Wanogiri. Keadaan kesultanan Banten setelah peristiwa Pangeran
Mandalika tidak bisa dikatakan membaik, di daerah, para penguasa
sibuk mempersenjatai diri untuk memperkuat kedudukannya
masing-masing, tidak jarang untuk memenuhi hal tersebut mereka
lakukan dengan jalan merampok kapal-kapal dagang sehingga
membuat pedagang beranggapan bahwa kesultanan Banten tidak
aman untuk berdagang, hal ini kemudian yang menyebabkan
kondisi perdagangan di kesultanan Banten terhenti sebagaimana
pernyataan pedagang Belanda Jacques l'Hermitre yang menyatakan
bahwa perdagangan di kota Banten terhenti pada bulan Juli 1608.
[103] Kacaunya kondisi kesultanan Banten kemudian oleh Pangeran

Ranamanggala, Pangeran Mandura, Pangeran Kulon, Pangeran


Singaraja, Tubagus Kulon, Depati Yudanegara dan lainnya yang
mengadakan pertemuan guna membahas kondisi Banten
disimpulkan bahwa semuanya terjadi akibat kesalahan Patih dari
mulai membuat kebijakan yang tidak memihak kesultanan Banten

Halaman 245 dari 883


hingga lainnya di mana figurnya tidak dapat dijadikan panutan.
Pada pertemuan tersebut kemudian disepakati untuk membunuh
Patih sebagai penyebab masalah yang terjadi. Upaya untuk
membunuh Patih diserahkan kepada Depati Yudanegara dengan
jaminan keselamatan dari Pangeran Ranamanggala, Pangeran
Mandura dan juga Qadi kesultanan Banten.

Pada tanggal 23 Oktober 1608, Depati Yudanegara


membakar bagian dalam keraton sehingga Patih keluar tanpa
membawa Sultan Abdul Mufakir, dikatakan bahwa, walaupun Patih
yang sekaligus suami Nyi Gede Wanogiri ini adalah orang yang
membuat kebijakan kurang berpihak kepada kesultanan Banten dan
tidak mampu menjadi figur yang baik namun ia sebagai ayah
sambung dari Sultan Abdul Mufakir menjalankan tugasnya dengan
sangat baik, ia mendidik Sultan Abdul Mufakir dengan penuh
tanggung jawab, mendampingi Sultan dalam setiap pertemuan
dengan para pejabat dan lain sebagainya sehingga Sultan Abdul
Mufakir yang masih remaja pada masa itu sangat dekat dan
menyukainya. Setelah Patih dan juru tulisnya keluar dari keraton,
Depati Yudanegara kemudian membunuhya.

Kebakaran yang terjadi di keraton dan ditujukan untuk


membunuh Pangeran Camara (Patih) sebenarnya sudah terjadi
beberapa kali setelah peristiwa Pangeran Mandalika, peristiwa
pembakaran yang pertama terjadi pada tanggal 4 Desember 1605
yang dapat diatasi, kemudian peristiwa kebakaran selanjutnya
terjadi pada tanggal 16 Juli 1607 di mana kebakaran berhasil

Halaman 246 dari 883


menghanguskan kediaman Patih namun pada peristiwa ini Patih
berhasil selamat.[103]

Pasca terbunuhnya Pangeran Camara Patih kesultanan


Banten, keadaan Sultan Abdul Mufakir menjadi rentan, ia yang
masih muda diliputi rasa kehilangan yang mendalam karena
ditinggal ayah sambungnya, dilatarbelakangi hal tersebut Pangeran
Ranamanggala membuat sebuah pertemuan yang membahas
kematian Pangeran Camara selaku Patih kesultanan Banten, tetapi
Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, Tubagus Kidul yang
sebelumnya mengikuti pertemuan untuk membunuh Pangeran
Camara tidak bersedia hadir, temasuk Pangeran Prabangsa pun
menolak hadir, sehingga yang hadir pada saat itu hanyalah Pangeran
Ranamanggala, Pangera Upapatih serta pejabat lainnya, peristiwa
pembahasan kematian Pangeran Camara selaku Patih kesultanan
Banten inilah yang kemudian membuat Depati Yudanegara selaku
orang yang ditugasi membunuh Pangeran Camara khawatir dirinya
akan dijadikan penjahat dan dihukum mati, rasa khawatir ini
membuat Depati Yudanegara menemui Pangeran Kulon dan
menyatakan bahwa dia dan rekan-rekannya akan mendukung
Pangeran Kulon yang merupakan cucu dari Sultan Maulana Yusuf
dari anak sulung perempuannya yakni Ratu Winaon yang menikahi
Pangeran Gebang dari Cirebon untuk menjadi Sultan Banten, inilah
awal dari terjadinya peristiwa Pailir.

Peristiwa Pailir berlangsung selama kurang lebih empat


bulan, para pejabat kerajaan yang memihak Pangeran Kulon,
Syahbandar dan seorang Andamohi Keling (orang Keling) membuat

Halaman 247 dari 883


benteng pertahanan di hilir di sekitar pelabuhan, untuk
mengamankan usaha mereka, kelompok Pangeran Kulon tidak
segan membunuh orang dan keluarganya yang dianggap berkhianat
atau tidak mau ikut serta dalam peperangan, hal ini terjadi kepada
Ki Wijaya Manggala dan keluarganya yang berusaha pergi dari
wilayah pelabuhan dengan menggunakan perahu karena tidak mau
ikut serta dalam perang saudara tersebut.[103]

Peristiwa Pailir berakhir dengan perundingan yang dimediasi


oleh Pangeran Jayakarta atas permohonan pihak Pangeran Kulon
yang pada saat itu telah terdesak, pihak Pangeran Kulon dalam
perang sebenarnya berhasil merebut meriam Banten yang bernama
Ki Jajaka Tua namun hal tersebut tidak begitu mengubah keadaan.
Perang yang oleh Sultan Abdul Mufakir (masa itu Sultan berusia 13
tahun) sempat disaksikan dari atas benteng berakhir dengan
perjanjian bahwa pihak Pangeran Kulon harus mengasingkan diri
dari wilayah inti Kesultanan Banten, pada bulan Februari 1609
berangkatlah Tumenggung Anggabaya, Syahbandar dan pihak
lainnya yang memihak Pangeran Kulon menuju Jayakarta
jumlahnya kira-kira delapan ribu orang, baru pada tahun 1617,[104]
para Pangeran, Tumenggung dan Syahbandar diizinkan kembali ke
Banten namun mereka tidak diberikan peranan politik apapun,
setelah peristiwa Pailir, Pangeran Ranamanggala naik menjadi wali
Sultan bagi Sultan Abdul Mufakir yang masa itu berusia 13 tahun,
waktu kejadian peristiwa Pailir diabadikan dalam sengkala Tanpa
Guna Tataning Prang (1530 saka / 1608 M) jika dihitung dari
penyebab atau latar belakang munculnya peristiwa Pailir hingga

Halaman 248 dari 883


tuntasnya perpindahan delapan ribu orang pengikut Pangeran Kulon
maka secara keseluruhan peristiwa ini berlangsung pada tanggal 8
Maret 1608 hingga 26 Maret 1609[101] sementara inti peperangan
dalam peristiwa Pailir berlangsung dari sekitar akhir Oktober atau
awal November 1608 hingga perundingan damai yang
menghasilkan keputusan pengasingan kepada pihak Pangeran Kulon
pada bulan Februari 1609.

Selepas peristiwa Pailir Pangeran Ranamanggala menjabat


sebagai wali sultan Banten menggantikan Pangeran Camara ayah
sambung sultan yang terbunuh, segera Pangeran Ranamanggala
melakukan penertiban dan peninjauan ulang terhadap peraturan
yang dibuat oleh wali sultan sebelumnya berkenaan dengan para
pedagang Eropa. Pajak kemudian ditingkatkan, terutama yang
berasal dari wilayah Banten, Pangeran Ranamanggala melakukan
hal tersebut dikarenakan berpendapat bahwa para pedagang Eropa
di wilayah kesultanan Banten tidak hanya berniat berdagang saja
namun juga berniat mencampuri urusan internal kesultanan Banten.
[99]

Kosongnya kekuasaan Jayakarta dan masuknya Belanda


Setelah peristiwa Pailir yang menyebabkan migrasi besar-
besaran para pendukung Pangeran Kulon ke wilayah Jayakarta pada
tahun 1609, setahun kemudian pada tahun 1610, untuk pertama
kalinya Vereenigde Oostindische Compagnie mengangkat Gubernur
Jenderal untuk pulau Jawa yaitu Pieter Both, Gubernur Jenderal
Pieter Both bertugas untuk mencari sebuah tempat guna mendirikan
kantor dagang Vereenigde Oostindische Compagnie sekaligus dapat

Halaman 249 dari 883


dijadikan sebagai pusat pelayaran seluruh Hindia.[105] Gubernur
Jenderal Pieter Both kemudian memilih wilayah kesultanan Banten
sebagai calon tempat pendirian kantor dagangnya dikarenakan
selama ini (sejak misi dagang Jacob Corneliszoon van Neck)
Belanda sering membeli dan menumpuk barang dagangannya di
Banten, tetapi karena khawatir bahwa suatu saat akan ada gangguan
dari penguasa setempat dan juga dikarenakan aturan-aturan baru
yang diberlakukan oleh wali sultan yang baru yaitu Pangeran
Ranamanggala maka Gubernur Jenderal Pieter Both pada tahun
yang sama memalingkan orientasinya dari wilayah inti kesultanan
Banten ke wilayah Jayakarta.[99]

Gubernur Jenderal Pieter Both melakukan perundingan


dengan Pangeran Wijayakrama (penguasa wilayah otonom
Jayakarta atau biasa dikenal dengan nama Pangeran Jayakarta)
untuk membahas seputar perumusan naskah perjanjian pembayaran
bea, proses-proses hukum serta pembelian sebidang tanah di sisi
timur sungai Ciliwung guna mendirikan rumah dari batu dan kayu
yang berfungsi sebagai tempat tinggal, kantor dan gudang,
perjanjian yang dibagi menjadi dua bagian tersebut (satu bagian
berkenaan dengan bea dan masalah hukum, satu lagi berkenaan
dengan penjualan tanah) kemudian ditandatangani pada tahun 1611,
uang sebesar 1200 real kemudian diberikan kepada Pangeran
Jayakarta sebagai pembayaran atas pembelian tanah di sisi timur
sungai Ciliwung seluas 50x50 vadem (depa),[105] akan tetapi
rumusan kedua naskah awal surat perjanjian tersebut sengaja dibuat
berbeda oleh Vereenigde Oostindische Compagnie di bawah

Halaman 250 dari 883


Gubernur Jenderal Pieter Both, hal tersebut dilakukan sebagai
alasan menyerang pihak kesultanan Banten karena tidak menepati
perjanjian di kemudian hari.

Adanya perbedaan antara rumusan naskah awal dengan surat


perjanjian tersebut menimbulkan pengertian yang berbeda antara
Pangeran Jayakarta dengan Gubernur Jenderal Pieter Both, dalam
ketentuan perihal penjualan tanah misalnya, dalam ketentuan hukum
kesultanan Banten tentang pertanahan (yang juga berlaku di wilayah
Jayakarta) dinyatakan bahwa tanah adalah milik sultan Banten yang
hanya boleh dipergunakan untuk waktu tertentu dengan syarat-
syarat yang bisa berubah sewaktu-waktu, tetapi dengan perbedaan
yang dibuat oleh Vereenigde Oostindische Compagnie maka
pembelian tanah tersebut diartikan sebagai perpindahan kepemilikan
dari sultan Banten kepada Vereenigde Oostindische Compagnie,[105]
walaupun terjadi ketegangan akibat rumusan naskah yang berbeda
dengan naskah pada perundingan awal, tetapi tanah untuk
Vereenigde Oostindische Compagnie akhirnya ditentukan.

Tanah untuk Vereenigde Oostindische Compagnie disetujui


berada di sisi timur sungai Ciliwung, berdampingan dengan Pecinan
(kampung Tiognhoa) yang dikepalai oleh Wat Ting (seorang
Nakhoda) di sekitar terusan kali Besar dan kampung pribumi di
sebelah timurnya yang dikepalai oleh Kyai Aria yang juga
merupakan Patih Pangeran Wijayakrama atau Pangeran Jayakarta
(penguasa Jayakarta), pada tahun yang sama (1611), Gubernur
Jenderal Pieter Both segera menunjuk Abraham Theunemans untuk
mendirikan gudang yang tidak permanen berukuran 31,5 x 11,4 m

Halaman 251 dari 883


terbuat dari gedek (tembok kayu) dan batu. Gudang tersebut
kemudian dapat diselesaikan pembangunannya oleh Abraham
Theuneumans pada 1613, gudang yang didirikan di sebelah timur
terusan kali Besar (bagian dari aliran sungai Ciliwung yang berada
di sebelah timur istana Pangeran Jayakarta, di seberang terusan kali
Besar terdapat perkampungan yang dipimpin oleh Ki Aria, patih
Pangeran Jayakarta) tersebut kemudian diberi nama Nassau.

Pada 7 November 1614 Gerard Reijnst seorang pedagang


dan salah satu pemilik dari Nieuwe Compagnie (Brabantsche) serta
anak dari Pieter Reijnst (pembuat sabun) diangkat menjadi
Gubernur Jenderal Hindia Belanda selanjutnya menggantikan Pieter
Both yang habis masa jabatannya pada 6 November 1614. Pada
tahun 1615 terdapat kabar bahwa gubernur jenderal sebelumnya
yaitu Pieter Both yang tengah kembali ke Belanda bersama empat
kapalnya setelah menyelesaikan jabatannya mendapatkan
kecelakaan di laut sekitar Mauritius tepatnya di sekitar Flic-en-Flac,
dua dari empat kapal dalam rombongan Pieter Both tenggelam dan
Pieter Both berada di dalamnya. Berkenaan dengan kepemimpinan
Gerard Reynst dikatakan bahwa Gubernur Jenderal Gerard Reijnst
bersikap tidak lebih baik dari pendahulunya, keadaan malah
cenderung lebih buruk.[105] Gubernur Jenderal Gerard Reijnst tidak
bisa berbuat banyak pada masa jabatannya karena dia terserang
disentri dan akhirnya meninggal 7 Desember 1615, setelah
meninggalnya Gerard Reynst, Belanda menunjuk Laurens Reael
sebagai penggantinya, dia menjabat sebagai gubernur jenderal
Hindia Belanda pada 16 Juni 1616, pada masa Gubernur Jenderal

Halaman 252 dari 883


Laurens Reael tepatnya pada tahun 1617 dibangunlah Mauritius
sebuah rumah yang berada di sisi kali Ciliwung.[105]

Gubernur Jenderal Laurens Reael sebenarnya adalah orang


yang adil, dia menentang cara yang diambil oleh para petinggi
Vereenigde Oostindische Compagnie dalam memperlakukan orang-
orang pribumi dan para pesaing dagangnya (dalam kasus kehadiran
para pedagang Inggris di Maluku), bagi Gubernur Jenderal Laurens
Reael dan juga Laksamana Laut Steven van der Hagen tujuan dan
kesuksesan dari Vereenigde Oostindische Compagnie hanya bisa
dicapai melalui jalur perdagangan dan diplomatik saja, tanpa
melakukan serbuan dan penaklukan kepada pribumi, baginya
penyerangan-penyerangan kepada negara lain hanya bisa dilakukan
sesuai dengan hukum internasional yang berlaku, dikarenakan
perbedaan prinsip ini Gubernur Jenderal Laurens Reael
memutuskan mengundurkan diri pada 31 Oktober 1617, tetapi dia
baru bisa meninggalkan posisinya setelah kedatangan Jan
Pieterszoon Coen. Laurens Reael kemudian mengulangi kembali
pemikirannya melalui laporan yang ia tulis untuk Dewan
Perwakilan Rakyat Belanda dan para pemimpin Vereenigde
Oostindische Compagnie agar dapat diterima dengan jelas pesan
dan posisinya.

Pada tahun 1618, Jan Pieterszoon Coen diangkat menjadi


Gubernur Jenderal, dia dipilih menjadi Gubernur Jenderal
selanjutnya karena dianggap lebih keras sikapnya dibandingkan
pandahulunya Laurens Reael, bangunan tidak permanen yang
terbuat dari gedek dan batu tersebut kemudian diperkuat dan

Halaman 253 dari 883


dilengkapi dengan pagar tembok dari tanah, di setiap sudutnya
lantas diperkuat dengan pembangunan catte yang berfungsi sebagai
tempat meriam yang pada masa itu posisinya sengaja diarahkan ke
wilayah Pangeran Jayakarta, selain memperkuat bangunan
sebelumnya Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen juga
membangun sebuah pangkalan laut yang kecil dengan fasilitas
pergudangan dan perbaikan, gereja dan rumah sakit di pulau sekitar
Jayakarta.

Peningkatan struktur bangunan dari yang sebelumnya


merupakan bangunan tidak permanen menjadi bangunan permanen
oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen pada rumah Mauritius
sebenarnya sudah menyalahi kesepakatan awal antara Pieter Both
dan Pangeran Wijayakrama (Pangeran Jayakarta), dikarenakan
walaupun Belanda mengubah isi perjanjian jual beli tanahnya
namun kesepakatan terhadap bangunannya yang harus tidak
permanen tidak mengalami perubahan, khawatir bahwa
permasalahan di Jayakarta ini terdengar hingga ke Banten maka
Pangeran Wijayakrama selaku penguasa Jayakarta berusaha
menanggulangi masalahnya, salah satunya dengan bekerja sama
dengan Inggris yang kantor dagangnya berada tepat di seberang
bangunan Belanda, mendengar adanya persekutuan antara pihak
Inggris dengan Pangeran Jayakarta maka Belanda segera menyerang
markas Inggris yang berada di seberangnya yang langsung di serang
balik oleh Inggris, hasilnya Belanda menderita kekalahan dengan
korban tewas berjumlah 15 orang dan korban luka-luka sebanyak 10
orang, melihat kondisi tersebut Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon

Halaman 254 dari 883


Coen segera melarikan diri ke Maluku sementara kekuasaan
terhadap aset Belanda di Jayakarta diserahkan kepada Pieter van den
Broecke.

Pangeran Jayakarta kemudian berhasil menahan Pieter van


den Broecke, ketika berita penahanan Pieter van den Broecke
sampai ke Banten, wali sultan pada masa itu Pangeran
Ranamanggala tidak menyetujui tindakan yang diambil oleh
Pangeran Wijayakrama selaku penguasa Jayakarta.[105] Pangeran
Ranamanggala selaku wali Sultan Banten segera menarik Pangeran
Wijayakrama kembali ke Banten dan kekuasaan terhadap wilayah
Kepangeranan Jayakarta diambil alih olehnya sementara waktu.[105]
[106]

Pangeran Wijayakrama yang ditarik ke Banten oleh wali


Sultan Banten kemudian ditempatkan di pesisir utara Banten
tepatnya di kampung Tanara, keputusan Pangeran Ranamanggala
sebagai wali sultan Banten pada masa itu dianggap bias, di satu sisi
setelah peristiwa Pailir ia menerapkan peraturan ketat dan
menaikkan pajak terhadap para pedagang Eropa, tetapi di sisi lain
tindakan penegakan hukum yang dilakukan Pangeran Wijayakrama
selaku penguasa Jayakarta dalam kasus rumah Mauritius dianggap
salah oleh Pangeran Ranamanggala bahkan berimbas pada
penarikannya ke Banten, kuat dugaan bahwa Pangeran
Ranamanggala dan beberapa pihak di kesultanan Banten tidak
begitu menyukai Pangeran Wijayakrama sejak ia menjadi mediator
konflik-konflik di Banten, sebagian pihak kesultanan Banten
berpendapat bahwa Pangeran Wijayakrama terlalu berpihak kepada

Halaman 255 dari 883


para golongan yang menyusahkan Banten, sebut saja dalam kasus
terbunuhnya Sultan Maulana Muhammad di Palembang, tindakan
Pangeran Mas yang dianggap membuat Sultan Maulana Muhammad
terbunuh dalam penyerangan ke Palembang membuat banyak orang
di Banten tidak menyukainya, ia lantas pergi ke Jayakarta untuk
meminta bantuan agar diperbolehkan menetap di sana, walau
kemudian dia dibunuh oleh anaknya sendiri,[107] serta kasus-kasus
lainnya di mana kehadiran Pangeran Wijayakrama sebagai mediator
dianggap oleh sebagian pihak di kesultanan Banten tidak memihak
kepada kesultanan sehingga menyebabkan perang dingin di antara
Pangeran Wijayakrama dengan sebagian pihak kesultanan Banten
berlangsung cukup lama.[106] Rentetan kejadian inilah yang oleh
sebagian peneliti Banten dianggap sebagai hal yang
melatarbelakangi alasan ditariknya Pangeran Wijayakrama ke
Banten secara komplek ketimbang hanya berpikir bahwa Pangeran
Wijayakrama ditarik karena kasus rumah Mauritius.

Menurut Profesor Hembing Wijayakusuma dalam tulisannya


tentang pembantaian masal 1740, ia menjelaskan bahwa sebelum
jatuhnya kekuasaan Pangeran Wijayakrama selaku penguasa
Jayakarta yang ditandai dengan penarikan dirinya ke Banten, pihak
Vereenigde Oostindische Compagnie telah sekali lagi mengubah isi
perjanjian yang disepakati antara Pangeran Wijayakrama dengan
Pieter Both, perubahan dalam rumusan perjanjian oleh Vereenigde
Oostindische Compagnie adalah bahwa pihak Vereenigde
Oostindische Compagnie diberikan izin untuk membongkar rumah-
rumah orang Tionghoa di Pecinan yang dianggap terlalu dekat

Halaman 256 dari 883


dengan gudang Vereenigde Oostindische Compagnie, alasan
penambahan klausul tersebut dikarenakan menurut Vereenigde
Oostindische Compagnie tidak adanya kepastian mengenai bea
cukai, menurut pihak Vereenigde Oostindische Compagnie, Wat
Ting yang merupakan pemimpin Pecinan pada masa itu bertugas
sebagai saksi sekaligus penerjemah antara pihak Vereenigde
Oostindische Compagnie dan Pangeran Wijayakrama. Pada saat
Pangeran Wijayakrama ditarik ke Banten dan kekuasaan
kepangeranan Jayakarta dikendalikan langsung dari Banten,
Pangeran Ranamanggala pada saat itu membunuh Wat Ting.[105]

Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen kembali dari


Maluku ke Jayakarta pada tanggal 30 Mei 1619 dengan membawa
bantuan armada dari markas Vereenigde Oostindische Compagnie di
Maluku, longgarnya pemerintahan di Jayakarta dengan ditariknya
Pangeran Wijayakrama ke Banten segera dimanfaatkan oleh
Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen yang juga bertekad untuk
merebut Jayakarta dari tangan Pangeran Ranamanggala. Penyerbuan
yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen
akhirnya berhasil. Pangeran Wijayakrama yang kemudian dapat
kembali ke Jayakarta menemukan bahwa kondisi Jayakarta sudah
berubah, ia lantas berjuang untuk mendapatkan kembali Jayakarta
hingga akhirnya meninggal di wilayah yang sekarang disebut
Jatinegara.

Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen segera membangun


tembok benteng kota yang disebutnya sebagai Niuew Hoorn
(sebagai pengganti nama Jayakarta) setelah kemenangannya

Halaman 257 dari 883


terhadap kubu Pangeran Wijayakrama, nama Niuew Hoorn dipilih
karena Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen berasal dari daerah
Hoorn, tetapi dikemudian hari para petinggi Vereenigde
Oostindische Compagnie lebih memilih nama Batavia[105] yang
berarti tanahnya orang-orang Batav (mengacu pada zaman
Romawi), profesor Hembing Wijayakusuma berpendapat bahwa
nama Batavia berarti tempat tinggal Bata / Bato (pahlawan Suku).
Pemilihan nama Batavia sebagai nama sebuah wilayah tidak hanya
disematkan kepada Jayakarta saja, tetapi juga disematkan kepada
wilayah wilayah yang di bangun Belanda di Amerika dan Suriname.

Belanda dan monopoli perdagangan di Banten


Pasca menguasai Jayakarta, Belanda melalui Vereenigde
Oostindische Compagnie berusaha menguasai perdagangan di
Banten terutama komoditas lada. Penghadangan terhadap kapal
kapal dagang yang hendak berlabuh di Banten pun dilakukan yang
menyebabkan harga lada di Banten turun.

Sultan Abdul Karim (1649-1666)


Setelah Sultan Zainul Arifin meninggal dunia pada tahun
1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya
yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Abdul Karim, karena
ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau
Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran
Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum
yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula
dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II

Halaman 258 dari 883


Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di
antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan
Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap
lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua
Panembahan Girilaya). Mataram di lain pihak merasa curiga bahwa
Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena
Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten
adalah sama-sama keturunan sunan Gunung Jati.

Pada surat perwakilan Belanda di Cirebon 1 Oktober 1684


(tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan
Cirebon dengan Belanda tahun 1681) diceritakan tentang peristiwa
Girilaya, pada tahun 1649 pangeran Girilaya naik takhta menjadi
penguasa Cirebon, tidak lama setelah penobatannya, sekitar tahun
1650-an Amangkurat I dari Mataram mengundangnya beserta kedua
putra tertuanya yaitu Martawijaya dan Kartawijaya untuk
berkunjung ke keraton Mataram di kota Gede sekaligus
menghormati naiknya Girilaya sebagai penguasa baru kesultanan
Cirebon. Selepas acara penghormatan selesai, ia bersama kedua
putranya dilarang kembali ke Cirebon dan tinggal di lingkungan
Mataram hingga kematiannya.[108] Sultan Abdul Karim (Pangeran
Girilaya) atau yang dikenal dengan nama Panembahan Ratu
Pakungwati II menurut Mason Hoadley meninggal pada tahun 1666,
[6] tetapi menurut naskah Mertasinga, Sultan Abdul Karim telah

meninggal di Mataram pada tahun 1585 saka jawa atau sekitar tahun
1662 M,[7] 12 tahun setelah kepergiannya ke Mataram. Kebijakan
menawan tersebut merupakan kebijakan politik Amangkurat I

Halaman 259 dari 883


terhadap para penguasa pesisir, hal yang sama juga dialami oleh
pangeran Prasena, anak dari pangeran Tengah penguasa kerajaan
Arosbaya (Bangkalan) di Madura, pada tahun 1624, empat tahun
setelah pangeran Tengah meninggal dunia pada 1620, Mataram
menyerang kerajaan Arosbaya, wali raja pada saat itu pangeran Mas
dari Arosbaya (adik dari pangeran Tengah sekaligus paman bagi
pangeran Prasena yang pada saat itu masih kecil) berhasil melarikan
diri ke Demak sementara pangeran Prasena berhasil dibawa ke
Mataram dan diangkat menjadi adipati Cakraningrat penguasa
Madura bagian barat,[109] tetapi selama menjadi adipati, pangeran
Prasena menghabiskan waktunya di Mataram mirip seperti kejadian
yang menimpa pangeran Abdul Karim atau dikenal dengan nama
pangeran Girilaya.

Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan


makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut
beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam
Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di
Imogiri.

Perwalian oleh Pengeran Wangsakerta


Pada saat Pangeran Girilaya dan kedua anak tertuanya yaitu
Martawijaya dan Kartawijaya diundang ke Mataram untuk
menerima upacara penghormatan atas naiknya Pangeran Girilaya
menjadi penguasa Cirebon namun ternyata tidak kunjung kembali,
kesultanan Cirebon mengalami perguncangan karena tidak adanya
pemimpin di kesultanan Cirebon. Pada masa tersebut untuk
menghindari kesultanan Cirebon dari kekacauan dikarenakan di

Halaman 260 dari 883


keraton Cirebon Pangeran Girilaya masih memiliki keturunan dari
istri-istrinya yang lain seperti Pangeran Ketimang dan Pangeran
Giyanti (anak Pangeran Girilaya dari istrinya yang merupakan
keturunan bangsawan Cirebon) dan Bagus Jaka (anak Pangeran
Girilaya dengan istrinya yang merupakan rakyat biasa), maka Sultan
Ageng Tirtayasa dari kesultanan Banten menunjuk pangeran
Wangsakerta (adik pangeran Martawijaya dan Kartawijaya) untuk
menjadi wali sultan sampai ayahnya kembali.[110] Keluarga akhirnya
menyetujui pangeran Wangsakerta menjadi Wali sampai kembalinya
ayahnya pangeran Girilaya dari Mataram.

Lepasnya Karawang kepada Belanda


Sepeninggal sultan Agung Hanyaraka Kusuma dari
Mataram, penerusnya yaitu Amangkurat I bersikap lebih lunak
kepada Belanda, perjanjian antara keduanya untuk saling membantu
pun dilakukan, pada masa pemberontakan Trunojoyo, Mataram
meminta bantuan Belanda untuk memadamkannya, Belanda yang
diwakili Admiral Speelman (yang dikemudian hari menjadi
Gubernur Jendral Cornelis Speelman) melalui Syahbandar Jepara
yaitu Wangsadipa mengajukan syarat yaitu perluasan wilayah
kekuasaan Belanda hingga sungai Cipunegara (di bagian utara) terus
menyusuri ke selatan hingga bertemu laut. Syarat tersebut dibawa
oleh residen James Cooper[92] (menurut sejarahwan Sartono
Kartodiharjo nama residen tersebut ialah Jacob Couper[111]) pada
tanggal 4 Maret 1677 dan diterima oleh sultan Mataram,
Amangkurat I dan putranya (beberapa bulan sebelum Trunojoyo
merebut ibu kota Mataram tanggal 28 Juni 1677 dan membebaskan

Halaman 261 dari 883


putra-putra pangeran Girilaya yang ditahan oleh Mataram yaitu
Martawijaya dan Kartawijaya).[90]

Syarat tersebut kemudian disetujui oleh Amangkurat I walau


wilayah yang diminta sebagiannya adalah milik kesultanan Cirebon
yaitu wilayah Karawang atau sebagian masyarakat mengenalnya
dengan Rangkas Sumedang (wilayah antara sungai Citarum dan
Cibeet hingga sungai Cipunegara yang sekarang menjadi kabupaten
Karawang, kabupaten Purwakarta dan kabupaten Subang), para
pangeran Cirebon ditahan sebagai garansi Cirebon mau melepaskan
wilayah pesisir bagian baratnya untuk Belanda.[90]

Pangeran Wangsakerta yang berada di Cirebon dan menjadi


wali setelah ayahnya (pangeran Girilaya) tidak kunjung kembali
dari Mataram akibat ditahan oleh Amangkurat I kemudian meminta
bantuan kesultanan Banten, sultan Ageng Tirtayasa kemudian
mengirimkan bantuan persenjataan kepada Trunojoyo dengan
memintanya untuk membebaskan para pangeran Cirebon yang
ditahan oleh Mataram, ketika Trunojoyo berhasil merebut keraton
Mataram, orang-orang yang ada di dalamnya kemudian ditawan dan
dibawa ke Kediri,[112] awalnya Tronojoyo tidak mengetahui bahwa
para pangeran Cirebon ada di antara para tahanan yang dibawa ke
Kediri, setelah memeriksa para tahanan yang berasal dari Mataram
dan menemukan para pangeran Cirebon, Trunojoyo kemudian
membebaskan mereka dengan hormat dan mengirimnya ke
kesultanan Banten.[90]

Halaman 262 dari 883


Posisi Cirebon yang sedang lemah pada saat itu ditambah
dengan kosongnya kursi sultan dan hanya diisi oleh seorang wali
sultan saja membuat kesultanan Cirebon belum bisa merebut
kembali wilayah Karawang yang direbut Belanda secara ilegal dan
paksa dengan bantuan Amangkurat I dari Mataram, sehingga ketika
kedua pangeran Cirebon kembali dari Banten dan mewarisi
kesultanan Cirebon dengan nama Kasepuhan dan Kanoman mereka
mewarisi wilayahnya yang telah dikurangi wilayah Karawang yang
diambil paksa tersebut, sehingga wilayah kekuasaan kesultanan
Cirebon paling barat ialah wilayah Kandang Haur dan sekitarnya
hingga batas sungai Cipunegara.

Pangeran Kusumahdinata IV (Rangga Gempol III) dari


Sumedang melakukan klaim terhadap Karawang
Pangeran Kusumahdinata IV dari Sumedang bercita-cita
untuk menguasai kembali wilayah kerajaan Sumedang Larang
seperti klaim yang pernah dilakukan oleh leluhurnya yakni
Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun)[113] bin Raden Sholeh.
Pangeran Kusumahdinata IV beranggapan bahwa perjanjian antara
Amangkurat I dan Vereenigde Oostindische Compagnie dengan
perantara James Cooper [92] (menurut sejarahwan Sartono
Kartodiharjo nama residen tersebut ialah Jacob Couper[111]) pada
Maret 1677 menandakan bahwa Mataram sudah mulai menurun
kekuatannya.[92], untuk mewujudkan cita-citanya, Pangeran
Kusumahdinata IV memulai serangannya ke wilayah Karawang,
wilayah pertama yang diserang adalah wilayah Pamanukan

Halaman 263 dari 883


kemudian Pangeran Kusumahdinata IV menyerang Ciasem lalu ke
Ciparage.[113]

Pada wilayah Ciparage Pangeran Kusumahdinata IV


menempatkan pasukannya guna persiapan menyerang Karawang.
Sebenarnya sebelum melakukan penyerangan ke wilayah
Karawang, Pangeran Kusumahdinata IV pernah mendekati Banten
untuk meminta bantuan agar membantu Sumedang mendapatkan
wilayah Karawang. Kesultanan Banten yang sebelumnya pernah
membantu Pangeran Suriadiwangsa II bin Raja Sumedang
Suriadiwangsa I menyerang Sumedang dalam rangka klaim tahta
oleh Pangeran Suriadiwangsa II menerima dengan baik permintaan
Pangeran Kusumahdinata IV namun dengan syarat bahwa Pangeran
Kusumahdinata IV harus membantu Kesultanan Banten dalam
memerangi Vereenigde Oostindische Compagnie dan Mataram,
namun syarat tersebut ditolak oleh Pangeran Kusumahdinata IV
mengingat keadaan pada masa itu tidak memungkinkan bagi
kekuatannya untuk menyerang Vereenigde Oostindische Compagnie
dan Mataram. Penolakan tersebut membuat Pangeran
Kusumahdinata IV terpaksa bersiap menerima serangan Kesultanan
Banten sewaktu-waktu.

Pangeran Kusumahdinata IV merupakan keturunan dari


Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun) dari istrinya yang
bernama Nyai Cukang Gede sementara Pangeran Suriadiwangsa II
merupakan anak dari Suriadiwangsa I bin Sultan Cirebon Zainul
Arifin dari istrinya yang bernama Ratu Harisbaya (sebelum Ratu
Harisbaya menikah dengan Pangeran Angkawijaya dia sedang

Halaman 264 dari 883


mengandung dua bulan dengan Sultan Cirebon Zainul Arifin (suami
pertamanya) [60]) Suriadiwangsa I kemudian dianggap anak sendiri
oleh Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun) suami keduanya.
[60]

Pangeran Kusumahdinata IV setelah memperhitungkan


situasi, memanfaatkan keadaan dari ketidaktahuan Vereenigde
Oostindische Compagnie tentang kewilayahan dengan mengirimkan
surat pada tanggal 25 Oktober 1677 kepada Vereenigde
Oostindische Compagnie yang isinya memohon kepada Vereenigde
Oostindische Compagnie untuk menutup (menjaga) muara
Cipamanukan dengan imbalan akan diberikan tanah diantara
Batavia hingga Indramayu[113] Muara Cipamanukan yang dimaksud
sebenarnya adalah muara dari sungai Cipunegara yang memang
telah menjadi milik Vereenigde Oostindische Compagnie, sehingga
dalam hal ini Pangeran Kusumahdinata IV sebenarnya tidak
menyerahkan wilayah manapun dalam kepemilikaannya kepada
Vereenigde Oostindische Compagnie.[113]

Belanda mengirimkan utusan ke Karawang


Setelah menguasai Karawang, Vereenigde Oostindische
Compagnie mengirimkan ekspedisi pada bulan November hingga
Desember 1677 untuk mempertahankan wilayah Karawang dari
ancaman Banten, Makassar, Cirebon dan Sumedang.[114]

Pada bulan Januari hingga Maret 1678 Vereenigde


Oostindische Compagnie mengirimkan Evert Jansz sebagai utusan
ke Sumedang.[114] Pada tanggal 10 Maret 1678 bergerak pasukan

Halaman 265 dari 883


Banten bergerak menuju Sumedang melalui Muaraberes (sekitar
10 km ke utara Bogor) dan Tangerang.[92]

Pada bulan Mei 1678 Vereenigde Oostindische Compagnie


mengirimkan utusannya ke Karawang yaitu Willem Hartsinck dan
juga mengirimkan Muller sebagai utusan Vereenigde Oostindische
Compagnie ke Sumedang.[114] Pasukan Banten telah sampai di
Sumedang sejak awal Mei 1678 dan mengepung kota Sumedang
selama satu bulan lamanya, pasukan Kesultanan Banten dalam
peristiwa ini dibantu oleh pasukan dari bupati Bandung yaitu Wira
Angun-angun dan juga pasukan dari Sukapura dan Parakan
Muncang.[92]

Pada bulan Juni 1678 Pasukan Banten yang sedang


mengepung kota Sumedang dipanggil pulang oleh Sultan Ageng
Tirtayasa dari kesultanan Banten, alasannya ialah guna menghadapi
kemungkinan perlawanan terhadap Pangeran Haji.[92] Pasukan
kesultanan Banten yang sedang pulang tersebut kemudian dikejar
oleh pasukan Sumedang dan terjadilah peristiwa perang Tegal luar
di mana pimpinan pasukan kesultanan Banten tewas[92]

Pada bulan Juli hingga September 1678 Vereenigde


Oostindische Compagnie mengirimkan Jochem Michielsz (atau
Joachim Michiefs) ke Sumedang. [114] Semua utusan yang
dikirimkan tersebut adalah dalam upaya membendung pengaruh
kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon pada wilayah Karawang
yang baru saja dikuasai oleh Vereenigde Oostindische
Compagnie[114]

Halaman 266 dari 883


Gerilya kesultanan Banten, Misi Jacob van Dyck dan
Pembagian Kesultanan Cirebon
Pasukan Trunajaya berhasil menyelamatkan para Pangeran
Cirebon dan kemudian mengantarkannya ke Banten.

Penyerangan pasukan Trunajaya dan disingkirkannya wakil


Mataram
Pada akhir tahun 1676, sebuah kapal dari Cirebon yang
berlabuh di Banten memberitahu bahwa Pekalongan sudah berhasil
dikuasai pasukan Trunajaya pada sekitar 25 Desember 1676,
penguasa daerah pesisir pada masa itu Singawangsa diberitakan ikut
dengan para pasukan Trunajaya[115]

Pada tanggal 2 Januari 1677, Tegal berhasil dikuasai


pasukan Trunajaya tanpa kekerasan. Pada tanggal 5 Januari 1677,
pasukan Trunajaya yang dipimpin oleh Ngabehi Sindukarti (paman
Trunajaya) dan Ngabehi Langlang Pasir sampai di pelabuhan
Cirebon dengan 12 kapal berisi 150 pasukan, mereka menuntut agar
wakil Mataram yang ditempatkan di Cirebon sebagai Syahbandar
yaitu Martadipa menyerah dan menyetujui syarat-syaratnya, yaitu

1. Cirebon tidak lagi membayar pajak kepada Mataram,


2. Tentara Madura harus melindungi anak-anak dan wanita,
3. Sandera Cirebon tidak ada lagi yang dikirim ke Mataram,
4. Selanjutnya Cirebon berada di bawah pemerintahan rajanya
sendiri,
5. Cirebon berada di bawah pertanggungan hak-hak Sultan Banten,

Halaman 267 dari 883


6. Orang Cirebon menyokong Banten dengan senjata serta
mengakui Sultan Banten sebagai pelindung

Syarat-syarat tersebut disertai peringatan dengan ancaman


seandainya tidak diterima. Martadipa yang pada saat itu telah
berusia lanjut akhirnya menerima syarat yang disodorkan
kepadanya atas nama Raden Trunajaya [115] dan bersedia
menyerahkan kekuasaannya kepada keturunan atau kerabat dekat
Sultan Abdul Karim (Sultan Cirebon yang ditawan Mataram)[117]

Penobatan anak-anak Sultan Cirebon Abdul Karim


Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi
pada tahun 1679 saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya
dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati, kesultanan
Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah
diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan
persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan Ageng
Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon
menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk
menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena
adanya perbedaan pendapat di kalangan keluarga besar mengenai
penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan
mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta)
untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan
ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang
sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu
pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki
wilayahnya masing-masing (walaupun belum bersifat mengikat atau

Halaman 268 dari 883


tetap[116]) yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara
satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa
wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan
keraton.[110]

Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon,


di mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing
berkuasa dan menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar
ketiganya setelah resmi dinobatkan:

• Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar


Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin
(1679-1697)
• Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar
Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin
(1679-1723)
• Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar
Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau
Panembahan Tohpati (1679-1713)
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua
putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di
Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan
penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta
tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia
tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi
berdiri sebagai Kaprabon (Paguron) yaitu tempat belajar para
intelektual keraton.
Halaman 269 dari 883
Misi Rijckloff van Goens menghancurkan kesultanan Banten
Pada 4 Januari 1678, Rijckloff van Goens ditunjuk sebagai
pengganti Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker kemudian pada 31
Januari 1679 Rijckloff van Goens menulis surat kepada pemerintah
Belanda, dia menuliskan bahwa

yang amat perlu untuk pembinaan negeri kita

“ (Belanda) ialah penghancuran dan penghapusan


Banten, Banten harus ditaklukan atau kompeni
akan lenyap

Pribawa dan masuknya Belanda pada Perjanjian 1681
Penobatan ketiga putra Sultan Cirebon Abdul Karim sebagai
penguasa wilayah dan penguasa peguron pada tahun 1677 di Banten
oleh Sultan Abdul Fatah dan dilanjutkan dengan deklarasi ketiganya
di keraton Pakungwati pada 1679 ternyata masih menyisakan
ketidakpuasan, Pangeran Martawijaya yang sudah dinobatkan
menjadi Sultan Sepuh Syamsuddin dan berkuasa di kesultanan
Kasepuhan masih beranggapan bahwa dia adalah pewaris tahta yang
sah karena dia adalah putera tertua dari Sultan Cirebon Abdul Karim
yang meninggal ketika dalam penawanan Mataram, konflik internal
keturunan Sultan Abdul Karim diperkirakan bermula ketika Sultan
Abdul Fatah dari Banten hanya memediasi ketiganya dengan cara
menobatkan mereka bertiga sebagai penguasa wilayah dan penguasa
peguron namun tidak membagi wilayah kekuasaan kepada masing-
masingnya secara tetap dan mengikat.

Halaman 270 dari 883


Pangeran Martawijaya yang telah dinobatkan menjadi Sultan
Sepuh Syamsuddin kemudian menyampaikan keinginannya kepada
utusan Vereenigde Oostindische Compagnie yang bernama Jacob
van Dyck agar Vereenigde Oostindische Compagnie Belanda mau
membantunya mendapatkan tahta kesultanan Cirebon, hal ini
kemudian mendapatkan penentangan oleh Pangeran Kartawijaya
yang telah dinobatkan menjadi Sultan Anom Badriddin dan
Pangeran Wangsakerta yang telah dinobatkan menjadi Panembahan
Nasiruddin. Pangeran Kartawijaya (Sultan Anom Badruddin)
berpendapat bahwa mereka telah sama-sama dinobatkan sebagai
penguasa wilayah di Cirebon, menyikapi hal ini kemudian Pangeran
Kartawijaya meminta perlindungan kepada kesultanan Banten,
sementara Pangeran Wangsakerta (Panembahan Nasiruddin)
menuntut agar dirinya juga dapat berkuasa di Cirebon karena
selama terjadi kekosongan akibat ayah dan saudaranya ditawan oleh
Mataram dialah yang menjadi Wali dan menjalankan pemerintahan
kesultanan Cirebon.

Kesultanan Banten menyerang loji Belanda di Indramayu


Pada bulan April tahun 1679 kesultanan Banten menyerang
Loji (bahasa Indonesia : gudang) Vereenigde Oostindische
Compagnie di Indramayu dibawah pimpinan Arya Surya dan Ratu
Bagus Abdul Qadir,[119] penyerangan kesultanan Banten ini adalah
bagian dari perang gerilya kesultanan Banten terhadap Vereenigde
Oostindische Compagnie dan sekutunya di pulau Jawa.

Jacob van Dyck dan surat Belanda 1680

Halaman 271 dari 883


Pada masa perang antara kesultanan Banten dengan
Vereenigde Oostindische Compagnie, pihak Vereenigde
Oostindische Compagnie mengirim pasukan dari Batavia untuk
menyerang wilayah kesultanan Cirebon.[120] Pada bulan September
1680, ketika pasukan gerilya kesultanan Banten di Cirebon
diambang kehancuran oleh Vereenigde Oostindische Compagnie,
Jacob van Dyck yang sebelumnya adalah utusan Vereenigde
Oostindische Compagnie yang diminta bantuan oleh Pangeran
Martawijaya (Sultan Sepuh Syamsuddin) agar menyampaikan
keinginannya supaya Vereenigde Oostindische Compagnie mau
membantunya dalam mendapatkan tahta kesultanan Cirebon telah
diutus ke Cirebon sebagai seorang Commissaris[116] (bahasa
Indonesia : mediator atau penengah perjanjian) untuk menyerahkan
surat keputusan pemerintahan tertinggi Belanda yang menyatakan
bahwa pemerintahan tertinggi Belanda sudah menganggap para
penguasa Cirebon sebagai raja-raja yang bebas tidak terikat oleh
pihak manapun dan pemerintahan tertinggi Belanda berjanji akan
melindungi para penguasa Cirebon dengan cara menempatkannya
sebagai protektorat (wilayah dalam perlindungan Belanda)[116]

Pada saat yang sama Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens


dan para penasehatnya yang diketuai oleh Cornelis Janzoon
Speelman (menjabat sejak 18 Januari 1678[121]) sudah menyusun
teks perjanjian yang akan diserahkan kepada tiga penguasa Cirebon,
teks perjanjian tersebut disusun sendiri oleh Cornelis Janzoon
Speelman yang kemudian pada tanggal 29 Oktober 1680 ditunjuk
sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.[122] Penunjukan

Halaman 272 dari 883


Cornelis Janzoon Speelman sebagai Gubernur Jenderal dikarenakan
Gubernur Jenderal Rijckloff van Goens menyatakan keinginannya
untuk mengundurkan diri, keinginan Gubernur Jenderal Rijckloff
van Goens untuk mengundurkan diri dikarenakan merasa tidak
mampu lagi menghadapi penentangan demi penentangan yang
dilakukan oleh Cornelis Janzoon Speelman dan rekan-rekannya di
pemerintahan tinggi[122]

Pengajuan pengunduran diri yang dilakukan oleh Gubernur


Jenderal Rijcklof van Goens sebenarnya telah dilakukan sejak 1679
namun baru mendapatkan respon dari Heeren XVII (tujuh belas
orang pemimpin tinggi Vereenigde Oostindische Compagnie)
melalui surat tertanggal 29 Oktober 1680, didalam surat tersebut
Heeren XVII menerima pengunduran dirinya dengan hormat dan
sebagai penghargaan atas jasa-jasanya selama ini kepada Vereenigde
Oostindische Compagnie, Heeren XVII menawarkan kepada
anaknya yang bernama Rijcklof van Goens Jr yang pada masa itu
menjabat sebagai Gubernur wilayah jajahan Belanda di Srilanka
sebuah posisi di pemerintahan tinggi[122]

Pangeran Haji dan kekalahan pasukan gerilya kesultanan


Banten di Cirebon
Pada masa gerilya ini Sultan Abdul Fatah dari kesultanan
Banten menghadapi konflik internal yang dipicu oleh kekhawatiran
Pangeran Haji akan tahta kesultanan Banten yang mungkin tidak
akan jatuh kepadanya, konflik internal ini memulai puncaknya
ketika Cornelis Janzoon Speelman ditunjuk sebagai Gubernur

Halaman 273 dari 883


Jenderal Hindia Belanda untuk menggantikan Rijckloff van Goens
pada 29 Oktober 1680.[122]

Pangeran Haji kemudian pada tanggal 25 November 1680


mengirimkan surat ucapan selamat kepada Cornelis Janzoon
Speelman atas penunjukan dirinya sebagai Gubernur Jenderal
Hindia Belanda. Pengiriman surat ucapan selamat oleh Pangeran
Haji kepada Cornelis Janzoon Speelman memicu kekecewaan
Sultan Abdul Fatah dikarenakan pada masa itu Vereenigde
Oostindische Compagnie baru saja menghancurkan pasukan gerilya
kesultanan Banten di Cirebon[37] yang berimbas pada berhasil
dikuasai sepenuhnya wilayah kesultanan Cirebon oleh Vereenigde
Oostindische Compagnie Belanda.[123]

Perjanjian 1681
Pada akhir tahun 1680 pemerintahan tertinggi Belanda
menyetujui isi teks perjanjian yang ditujukan kepada para penguasa
Cirebon, kemudian pada saat tahun baru 1681 tujuh orang utusan
dari tiga penguasa Cirebon yang tinggal di Batavia menghadiri
upacara kenegaraan di rumah Rijckloff van Goens (Gubernur
Jenderal Hindia Belanda yang baru saja mengundurkan diri pada 29
Oktober 1680) yang dipimpin oleh Jacob van Dyck, setelah
bersulang untuk keselamatan Raja Belanda dengan anggur spanyol
maka diserahkan surat keputusan pemerintah tertinggi Belanda
untuk ketiga penguasa Cirebon disertai dengan hadiah-hadiah
kepada mereka dan atasan mereka (para penguasa Cirebon),
menjelang malam harinya Jacob van Dyck berlayar dengan dua
buah kapal diikuti oleh perahu-perahu yang membawa para utusan

Halaman 274 dari 883


Cirebon menuju ke Cirebon, iringan Jacob van Dyck sampai di
pelabuhan Cirebon empat hari kemudian (tanggal 5 Januari 1681),
iring-iringan Jacob van Dyck disambut oleh tembakan meriam dan
kapten Joachim Michiefs yang telah terlebih dahulu ada di Cirebon.
[116],[124]

Pada tanggal 4 Januari 1681, para penguasa Cirebon yakni


Sultan Sepuh dan Sultan Anom dipaksa untuk membuat perjanjian
bahwa Cirebon menjadi sekutu setia dari Vereenigde Oostindische
Compagnie. Pada keesokan harinya tanggal 6 Januari 1681,
diadakanlah upacara yang dihadiri oleh para penguasa Cirebon di
alun-alun yang disertai tembakan meriam sebagai bentuk
penghormatan, kemudian surat keputusan pemerintahan tertinggi
Belanda yang dibawa dari Batavia pada tanggal 1 Januari 1681
tersebut dibacakan.

Pada tanggal 7 Januari 1681 dimulailah perundingan


diantara para penguasa Cirebon dan pada malam harinya dicapailah
kesepakatan untuk memberlakukan perjanjian antara Belanda dan
Cirebon, Perjanjian tersebut kemudian ditandatangani oleh ketiga
penguasa Cirebon.[125][126] Pada perjanjian tersebut Belanda diwakili
oleh komisioner Jacob van Dijk dan kapten Joachim Michiefs,[127]
perjanjian persahabatan yang dimaksud adalah untuk memonopoli
perdagangan di wilayah Cirebon diantaranya perdagangan
komoditas kayu, beras, gula,[127] lada serta Jati sekaligus
menjadikan kesultanan-kesultanan di Cirebon protektorat Belanda
(wilayah dibawah naungan Belanda).[120]

Halaman 275 dari 883


Perjanjian Belanda - Cirebon 1681 tersebut juga membatasi
perdagangan, membatasi pelayaran penduduk dan memastikan
Vereenigde Oostindische Compagnie memperoleh hak di sana[123]

Masa kolonial dan kemerdekaan


Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun
semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga
semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon
di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-
tahun 1906 dan 1926, di mana kekuasaan pemerintahan Kesultanan
Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente
Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektare,
dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb.
1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas
menjadi 2.450 hektare.

Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon


menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon
tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara
administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah
Indonesia yaitu wali kota dan bupati.

Kesultanan Cirebon sebagai pusat kebudayaan


Kesultanan Cirebon sebagai pusat keagamaan Islam
tercermin dari banyaknya karya seni dan sastra yang bernuansa
Islami yang tumbuh seiring dengan perkembangan kesultanan
Cirebon, naskah-naskah kuno Cirebon yang memuat tentang sastra

Halaman 276 dari 883


biasanya ditulis dengan menggunakan aksara Pegon ataupun Jawi.
Berdasarkan isinya, naskah Cirebon bisa dikategorikan ke dalam
tiga belas kategori yaitu, sejarah, silsilah, wayang sastra, ajaran
agama, doa-doa, cerita islam, primbon, pengobatan, mantra, hukum,
dongeng, legenda dan lainnya termasuk jimat, adat istiadat dan
pelajaran asmara.

Naskah kuno di Cirebon juga ada yang memuat tentang


tasawuf yang ditulis oleh ahli agama dari kalangan keraton yaitu
pangeran Muhammad Nasiruddin (wangsakerta) dan pangeran
Kaharuddin (arya Cirebon), selain di keraton, naskah kuno, mushaf
al Qur'an dan kitab-kitab fiqih juga dapat ditemukan di pesantren-
pesantren yang ada di wilayah kesultanan Cirebon, seperti di
pesantren Buntet yang didirikan oleh Ki Muqoyyim yang
merupakan seorang Qadi dari kesultanan Kanoman, oleh karena
banyaknya naskah-naskah yang memuat tentang segala hal yang
berkenaan dengan sendi kehidupan manusia dari mulai pelajaran
agama, hukum hingga masalah asmara maka wilayah kesultanan
Cirebon disebut sebagai pusatnya kebudayaan.[60]

Daftar Sultan Cirebon


• Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) (bertakhta dari
1479 - 1495), ia merupakan penguasa Cirebon pertama atau
Sultan Cirebon I setelah penyerahan kekuasaan oleh
Pangeran Cakrabuana. Pada masa itu juga Pajajaran
ditaklukan.

Halaman 277 dari 883


• Pangeran Adipati Pasarean (Pangeran Muhammad Arifin), ia
wafat sebelum dinobatkan, kemudian digantikan Pangeran
Sedang Kamuning.
• Pangeran Adipati Anom Carbon I (Pangeran Sedang
Kamuning), ia wafat sebelum dinobatkan. Kedudukan
kepala pemerintahan diwakilkan oleh Fatahillah.
• Panembahan Ratu I (Pangeran Mas Zainul Arifin) (bertakhta
dari 1568 - 1649), bergelar Sultan Cirebon II ia merupakan
anak dari Pangeran Sedang Kamuning (Pangeran Adipati
Anom Carbon I). Permaisurinya adalah putri Sultan
Adiwijaya dari Pajang.
• Pangeran Adipati Anom Carbon II (Pangeran Sedang
Gayam), ia wafat sebelum dinobatkan.
• Panembahan Ratu II (Panembahan Girilaya) (bertakhta dari
1649 - 1666), bergelar Sultan Cirebon III ia merupakan
anak Pangeran Sedang Gayam (Pangeran Adipati Anom
Carbon II).
Panembahan Ratu II wafat pada 1677, terjadilah kekosongan
kekuasaan selama 16 tahun. Pada masa ini Cirebon dalam pengaruh
Mataram dan Banten. Pada 1678 Kesultanan Cirebon terbagi
menjadi dua kerajaan yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Karena
terjadi masalah internal antara kakak beradik, sebab itulah kerajaan
baru tersebut disebut Kasepuhan (Sepuh/Tua) dan Kanoman
(Anom/Muda).

Setelah pembagian Kesultanan Cirebon, Kasepuhan dipimpin oleh


anak pertama Panembahan Ratu II yang bernama Pangeran

Halaman 278 dari 883


Syamsudin Martawijaya yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan
Sepuh I sedangkan Kanoman dipimpin adiknya yang bernama
Pangeran Muhammad Badrudin Kartawijaya kemudian
dinobatkan sebagai Sultan Anom I

Referensi

Halaman 279 dari 883


• Hidayat, Moh. Rahmat. 2017. Cirebon • Zamhir, Drs. (1996). Mengenal
di bawah Kekuasaan Mataram Tahun Museum Prabu Geusan Ulun serta
1613–1705 : Kajian Historis Mengenai Riwayat Leluhur Sumedang. Yayasan
Hubungan Politik, Sosial dan Agama. Pangeran Sumedang. Sumedang.
(PDF). Jakarta: Universitas Islam Negeri • Sukardja, Djadja. (2003). Kanjeng
Syarif Hidayatullah Prebu R.A.A. Kusumadiningrat Bupati
• Darsa, Undang A. 2004. “Kropak 406; Galuh Ciamis th. 1839 s / d 1886.
Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Sanggar SGB. Ciamis.
Parahyangan“, Makalah disampaikan • Sulendraningrat P.S. (1975). Sejarah
dalam Kegiatan Bedah Naskah Kuno Cirebon dan Silsilah Sunan Gunung Jati
yang diselenggarakan oleh Balai Maulana Syarif Hidayatullah. Lembaga
Pengelolaan Museum Negeri Sri Kebudayaan Wilayah III Cirebon.
Baduga. Bandung-Jatinangor: Fakultas Cirebon.
Sastra Universitas Padjadjaran: hlm. 1– • Sunardjo, Unang, R. H., Drs. (1983).
23. Kerajaan Carbon 1479-1809. PT.
• Ekadjati, Edi S. 1995. Sunda, Tarsito. Bandung.
Nusantara, dan Indonesia; Suatu
• Suparman, Tjetje, R. H., (1981).
Tinjauan Sejarah. Pidato Pengukuhan Sajarah Sukapura. Bandung
Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran • Surianingrat, Bayu., Drs. (1983).
Sajarah Kabupatian I Bhumi Sumedang
pada Hari Sabtu, 16 Desember `1995.
1550-1950. CV.Rapico. Bandung.
Bandung: Universitas Padjadjaran.
• Soekardi, Yuliadi. (2004). Kian Santang.
• Ekadjati, Edi S. 1981. Historiogra CV Pustaka Setia.
Priangan. Bandung: Lembaga
Kebudayaan Universitas Padjadjaran. • Soekardi, Yuliadi. (2004). Prabu
Siliwangi. CV Pustaka Setia.
• Ekadjati, Edi S. (Koordinator). 1993.
Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat. • Tjangker Soedradjat, Ade. (1996).
Bandung: Pemerintah Provinsi Daerah Silsilah Wargi Pangeran Sumedang
Tingkat I Jawa Barat. Turunan Pangeran Santri alias Pangeran
Koesoemadinata I Penguasa Sumedang
• Raf es, Thomas Stamford. 1817. The Larang 1530-1578. Yayasan Pangeran
History of Java, 2 vols. London: Block
Sumedang. Sumedang.
Parbury and Allen and John Murry.
• Widjajakusuma, Djenal Asikin., Raden
• Raf es, Thomas Stamford. 2008. The Dr. (1960). Babad Pasundan, Riwajat
History of Java (Terjemahan Eko
Kamerdikaan Bangsa Sunda
Prasetaningrum, Nuryati Agustin, dan
Saruntagna Karadjaan Pdjadjaran Dina
Idda Qoryati Mahbubah). Yogyakarta:
Taun 1580. Kujang. Bandung.
Narasi.
• Winarno, F. G. (1990). Bogor Hari Esok
• Z., Mumuh Muhsin. Sunda, Priangan,
Masa Lampau. PT. Bina Hati. Bogor.
dan Jawa Barat. Makalah disampaikan
dalam Diskusi Hari Jadi Jawa Barat, • Olthof, W.L. (cetakan IV 2008). Babad
diselenggarakan oleh Harian Umum Tanah Jawi - mulai dari Nabi Adam
Pikiran Rakyat Bekerja Sama dengan sampai tahun 1647. PT. Buku Kita.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Yogyakarta Bagikan.
Barat pada Selasa, 3 November 2009 • A. Sobana Hardjasaputra, H.D.
di Aula Redaksi HU Pikiran Rakyat. Bastaman, Edi S. Ekadjati, Ajip Rosidi,
• Uka Tjandrasasmita. (2009). Arkeologi Wim van Zanten, Undang A. Darsa.
Islam Nusantara. Kepustakaan Populer (2004). Bupati di Priangan dan Kajian
Gramedia. Lainnya Mengenai Budaya Sunda.
Pusat Studi Sunda.
• E. Rokajat Asura. (September 2011).
Harisbaya bersuami 2 raja - Kemelut • A. Sobana Hardjasaputra (Ed.). (2008).
cinta di antara dua kerajaan Sumedang Sejarah Purwakarta.
Larang dan Cirebon. Penerbit • Nina H. Lubis, Kunto So anto, Tau k
Edelweiss. Abdullah (pengantar), Ietje Marlina, A.
Halaman 280 dari 883
fl
fl
fi
fi
fi
BAB 15
KESULTANAN DEMAK : KERAJAAN BESAR DI
UTARA JAWA

Peta rentang operasi militer yang dilakukan oleh Kesultanan Demak (serta sekutunya
seperti Kesultanan Cirebon), termasuk ekspedisi ke Melaka Portugis, hingga pada masa
pemerintahan Trenggana (1518–1546)

Kesultanan Demak atau Kerajaan Demak adalah kerajaan


Islam Jawa yang berdiri pada perempat akhir abad ke-15 di Demak.
Demak sebelumnya merupakan kadipaten yang tunduk pada
Majapahit yang telah melemah saat itu untuk beberapa tahun
sebelum melepaskan diri. Menurut cerita tradisional Jawa yang
populer, kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah, anak raja
Majapahit terakhir.[5][6]

Demak memainkan peran penting dalam mengakhiri


pemerintahan Majapahit dan penyebaran Islam di Jawa.[7]
Sepanjang setengah awal abad ke-16, Demak berada pada puncak
kejayaannya di bawah pemerintahan Trenggana. Pada masanya, ia
melakukan penaklukkan ke pelabuhan-pelabuhan utama di Pulau

Halaman 281 dari 883


Jawa hingga ke pedalaman yang mungkin belum tersentuh Islam.[8]
Salah satu pelabuhan yang ditaklukkan Demak adalah Sunda
Kelapa, yang pada waktu itu berada dalam kekuasaan Kerajaan
Sunda. Hubungan aliansinya dengan Imperium Portugal sejak 1511
menjadi ancaman bagi Demak. Pada 1527, pasukan dari Demak dan
Cirebon yang dipimpin oleh Fatahillah melancarkan serangan
sukses ke Sunda Kelapa yang memukul mundur Portugal dan
Sunda. Fatahillah kemudian mengganti nama pelabuhan tersebut
menjadi Jayakarta.[9] Di luar Jawa, Demak memiliki kekuasaan atas
Jambi dan Palembang di Sumatra bagian timur.[10]

Kerajaan mulai mengalami kemunduran ketika Trenggana


terbunuh dalam perang melawan Panarukan pada 1546. Sunan
Prawoto kemudian naik takhta menggantikannya, tetapi dibunuh
pada 1547 oleh suruhan Arya Panangsang, penguasa Jipang yang
ingin menjadi raja Demak.[11] Perang perebutan takhta segera terjadi
dan berakhir dengan dibunuhnya Arya Penangsang oleh Joko
Tingkir, penguasa Pajang, sebagai hukuman. Joko Tingkir kemudian
memindahkan kekuasaan Demak ke Pajang, tempat kekuasaannya.
Dengan demikian Kerajaan Demak berakhir dengan didirikannya
Kesultanan Pajang.[9][12]

Toponimi
Demak bermula dari pemukiman yang bernama Bintoro.
Pemukiman ini aslinya adalah hutan yang dibuka oleh Raden Patah
setelah ia berguru pada Sunan Ampel dan menjadi menantunya. Di
hutan tersebut, terdapat rumput gelagah yang baunya wangi. Karena
itu, tempat tersebut juga dikenal dengan nama Glagahwangi.[13]
Halaman 282 dari 883
Ada beberapa usul mengenai asal usul nama Demak. Menurut
Poerbatjaraka, namanya berasal dari bahasa Jawa yaitu delemak
yang berarti "rawa". Menurut Hamka, namanya berasal dari bahasa
Arab yaitu dimak yang berarti "mata air" (atau "air mata"). Menurut
sejarawan lainnya, yaitu Sutjipto Wiryosuparto, namanya berasal
dari sebuah kata dalam bahasa Kawi yang berarti "hadiah" atau
"pusaka".[14]

Sejarah Pendirian
Cerita tradisional Mataram yang lebih populer menceritakan
bahwa Demak didirikan oleh Raden Patah, anak raja Majapahit
terakhir.

Masa Pati Unus


Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam
dengan pendudukan Portugis di Malaka. Kemudian beberapa kali ia
mengirimkan armada lautnya untuk menyerang Portugis di Malaka.
[17]

Di bawah Trenggana
Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan
Jawa Tengah. Di bawahnya, Demak mulai menguasai daerah-daerah
Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta
menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), juga
menaklukkan hampir seluruh Pasundan/Jawa Barat (1528–1540)
serta wilayah-wilayah bekas Majapahit di Jawa Timur seperti Tuban
(1527), Madura (1528), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan
(1527–1529), Kediri (1529), Malang (1529–1545), dan

Halaman 283 dari 883


Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa
(1529–1546). Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah
pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh
Sunan Prawoto. Salah seorang panglima perang Demak waktu itu
adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatra), yang juga menjadi
menantu raja Trenggana. Sementara Maulana Hasanuddin putra
Sunan Gunung Jati diperintah oleh Trenggana untuk menundukkan
Banten Girang. Kemudian hari keturunan Maulana Hasanudin
menjadikan Banten sebagai kerajaan mandiri. Sedangkan Sunan
Kudus merupakan imam di Masjid Demak juga pemimpin utama
dalam penaklukan Majapahit sebelum pindah ke Kudus.[18]

Suksesi
Suksesi raja Demak ketiga tidak berlangsung mulus, terjadi
persaingan panas antara Pangeran Surowiyoto atau Pangeran Sekar
dan Trenggana yang berlanjut dengan di bunuhnya Pangeran
Surowiyoto oleh Sunan Prawoto (anak Trenggana). Peristiwa ini
terjadi di tepi sungai saat Surowiyoto pulang dari Masjid sehabis
sholat Jum'at. Sejak peristiwa itu Surowiyoto dikenal dengan
sebutan Sekar Sedo Lepen yang artinya sekar gugur di sungai. Pada
tahun 1546 Trenggana wafat dan tampuk kekuasaan dipegang oleh
Sunan Prawoto, anak Trenggana, sebagai raja Demak keempat, akan
tetapi pada tahun 1547 Sunan Prawoto dan isterinya dibunuh oleh
Rungkud pengikut Pangeran Arya Penangsang, putra Pangeran
Surowiyoto. Pangeran Arya Penangsang adalah Adipati Jipang pada
waktu itu, Adipati Arya Penangsang adalah murid terkasih dari
Sunan Kudus. Diceritakan bahwa Pengikut Arya Penangsang juga

Halaman 284 dari 883


membunuh Pangeran Hadiri, penguasa Jepara atau Kalinyamat
(Suami Ratu Kalinyamat). Hal ini menyebabkan adipati-adipati di
bawah Demak memusuhi Pangeran Arya Penangsang, salah satunya
adalah menantu Sultan Trenggono Joko Tingkir atau Sultan
Hadiwijaya.

Puncak dari peristiwa ini Arya Penangsang dibunuh oleh


Sutawijaya anak angkat Joko Tingkir yang tergabung dalam
Pasukan Pajang saat menyerang Jipang. Dengan terbunuhnya Arya
Penangsang, maka berakhirlah era Kesultanan Demak. Joko Tingkir
memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang dan mendirikan
Kerajaan Pajang atau Kesultanan Pajang.

Galeri

Bagian dalam Masjid Agung Demak yang terdapat saka guru atau empat
tiang kayu utama. Masjid ini dibangun dengan arsitektur Vernakular
Jawa.

Halaman 285 dari 883


Masjid Agung Demak yang dibangun pada akhir abad ke-15 dan
merupakan salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Demak.

Contoh koin yang pernah digunakan di Kesultanan Demak: Koin lokal Demak (atas),
koin Melaka Portugis (tengah), dan koin Dinasti Xia (bawah).

Ekonomi

Halaman 286 dari 883


Komoditas utama yang menjadi ekspor Demak adalah beras,
rempah-rempah, dan buah-buahan. Tujuan ekspor komoditas
tersebut adalah Melaka dan Maluku yang diangkut dengan jung dan
penjajap. Pires juga mencatat bahwa Demak telah menjadi tempat
penimbunan padi yang berasal dari daerah-daerah pertanian di
sekitarnya. Peranannya dalam menjadi pusat kegiatan ekonomi
pertanian semakin penting setelah keruntuhan Juwana pada 1513.
Selain itu, perbudakan juga disebut Pires sebagai salah satu
komoditas Demak, tetapi tidak diketahui apakah perdagangan budak
masih terjadi pada masa itu. Demak juga melakukan kegiatan impor
berupa hewan-hewan dan pakaian dari Melaka, Gujarat, dan
Benggala.[19]

Sistem perekonomian Demak juga didukung dengan


penggunaan mata uang baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Sebuah Berita Tiongkok dari awal abad ke-15 menyebutkan bahwa
mata uang tembaga dari Tiongkok umum digunakan sebagai mata
uang di Jawa. Pires juga mencatat demikian, dan selain itu mencatat
bahwa mata uang Portugis juga dikenal dan disukai oleh orang
Jawa. Terdapat juga mata uang lokal Jawa, yang disebut Pires
sebagai tumdaya atau tael.[20]

Referensi
• ^ Pigeaud & De Graaf 1976, hlm. 8.
• ^ Raffles 1817, hlm. 143.
• ^ Ricklefs 2008, hlm. 70-71.
• ^ Lompat ke:
a b Ricklefs 2008, hlm. 69.

• ^ Lompat ke:
a b Ricklefs 2008, hlm. 70.

Halaman 287 dari 883


• ^ Raffles 1817, hlm. 127.
• ^ Ooi 2004, hlm. 864.
• ^ Ricklefs 2008, hlm. 71.
• ^ Lompat ke:
a b Ooi 2004, hlm. 410.

• ^ Lompat ke:
a b Cortesão 1944, hlm. 154-155.

• ^ Raffles 1817, hlm. 153-154.


• ^ Pigeaud & De Graaf 1976, hlm. 9.
• ^ Ramelan 1997, hlm. 54.
• ^ Amar 1996, hlm. 14.
• ^ Pigeaud & De Graaf 1976, hlm. 7.
• ^ Pigeaud & De Graaf 1976, hlm. 6-7.
• ^ Cortesão 1944.
• ^ Ricklefs 2008.
• ^ Ramelan 1997, hlm. 64-70.
• ^ Ramelan 1997, hlm. 70-71

Halaman 288 dari 883


BAB 16
KESULTANAN BOLANGO : CAHAYA ISLAM DI
UTARA SULAWESI

Kesultanan Bolango atau sering disebut juga Kerajaan


Bolango atau Kerajaan Bulango merupakan salah satu kerajaan
yang tumbuh dan berkembang di Semenanjung Utara, Pulau
Sulawesi, Indonesia. Kerajaan ini bermula di daerah Tapa,
Gorontalo hingga ke sebagian wilayah Bolaang Mongondow di
Sulawesi utara.[1]

Dalam catatan sejarah, Kesultanan Bolango merupakan


salah satu Kerajaan di Gorontalo yang keras menentang hadirnya
penjajah Belanda di Pulau Sulawesi. Selain itu, para pembesar
negeri dari Kesultanan Bolango juga berperan dalam dakwah dan
penyebaran agama Islam di wilayah itu.

Thayeb Mohammad Gobel, Pendiri PT. National Gobel (Panasonic)

Salah satu Raja Bolango yang


mahsyur dan terkenal adalah Sultan Ibrahim
Duawulu atau dikenal masyarakat dengan
nama "Raja Hubulo" atau "Raja Gobel" yang
bergelar "Ti Aulia Salihin" yang berarti Sang
Aulia yang taat menjalani syariat agama
Islam.[2] Adapun tokoh nasional Rachmat

Halaman 289 dari 883


Gobel merupakan keturunan dari Raja Hubulo yang dapat ditelusuri
dari nasab Ayahnya, Thayeb Mohammad Gobel.

Sejarah
Bolango atau Bulango adalah nama sebuah suku kecil
bernama Suku Bolango yang menjadi bagian dari etnis Gorontalo
sekaligus nama kerajaan tradisional yang teritorial kekuasaannya
pernah menempati daerah bernama Tapa, Gorontalo. Setelah
datangnya Pemerintah Hindia Belanda ke Gorontalo, tentu
membawa perubahan formasi sosial, teritorial, ekonomi, dan politik
pada Kerajaan Bolango.

Kebijakan penjajah yang semakin menyulitkan raja dan para


bangsawan Bolango membuat mereka melakukan migrasi ke
beberapa wilayah dan akhirnya menyatu dan membentuk Kerajaan
Bolaang Uki di Molibagu, sekarang wilayah Kabupaten Bolaang
Mongondow Selatan, Sulawesi Utara.[3]

Dalam catatan Haga dijelaskan penduduk Bolango berasal


dari Suwawa. Sebagian menetap di Tapa dan membentuk kerajaan
baru, sedangkan sebagian lainnya menetap di Atinggola, namun,
sumber lain menjelaskan bahwa kelompok Bolango pada awalnya
adalah suku pengembara laut. J.G.F. Riedel menyebut Bolango
sebagai kelompok footloose atau suku yang seringkali melakukan
migrasi

Peristiwa-peristiwa Kerajaan Bolango di wilayah Tapa dapat


direkonstruksi dengan baik kalau kita memahami ciri-ciri sosial-
kulturalnya dalam lingkup kekuatan dan kekuasaan politik wilayah

Halaman 290 dari 883


Gorontalo. Salah satu ciri mendasarnya, adalah kedudukan serta
peranan Bolango dalam lingkup Limo Lo Pohalaa, atau persekutuan
lima kerajaan yaitu Gorontalo (Hulontalo), Limboto (Limutu),
Bone-Suwawa-Bintauna, Bolango, dan Atinggola atau Andagile.

Dalam dinamika persekutuan Limo Lo Pohalaa, Bolango


punya identitas dalam konteks sejarah di wilayah itu. Namun, dalam
perjalanan sejarahnya, terjadi perubahan besar pada eksistensi
kerajaan Bolango, tepatnya terjadi setelah raja dan para pembesar
Kerajaan Bolango memutuskan untuk melakukan perpindahan pusat
kerajaan bersama dengan para pengikutnya, yang pada akhirnya
membentuk kerajaan baru di Molibagu atau di Bolaang Uki.
Akhirnya kedudukan Bolango dalam persekutuan Limo Lo Pohalaa
di Gorontalo digantikan kedudukannya oleh Boalemo.

Struktur Pemerintahan Kesultanan


Kerajaan Bolango mengalami kemajuan setelah masuk
dalam persekutuan Limo Lo Pohalaa yang artinya adalah
persekutuan lima kerajaan yang bersaudara dan secara bersama-
sama berpedoman pada agama dan adat istiadat yang sama. Tentu
kelimanya punya kepentingan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan
dan militernya yang sama dan diupayakan bersama.

Pada struktur birokrasi Kerajaan Bolango terdapat penguasa


tertinggi yang dijabat olongia lipu (raja negeri). Di awal
pembentukan kerajaan, olongia dibantu oleh tiga wulea lo lipu dan
tiga walaapulu.

Halaman 291 dari 883


Perkembangan kerajaan selanjutnya, struktur birokrasi
kerajaan mengalami perluasan dengan menambahkan jabatan
huhuhu, apitalau, dan kadli. Pada pelaksanaan pemerintahan
kerajaan terdapat olongia sebagai penguasa tertinggi (wisesa) yang
dibantu huhuhu (saudara tua) yang bertugas membantu menjalankan
urusan pemerintahan bersama wulea lo lipu dan walaapulu. Selain
itu, mereka bertugas mengatur hukum, dan tata tertib kerajaan.

Adapun untuk urusan keamanan kerajaan dijabat apitalau, sebagai


panglima yang menjaga keamanan kerajaan dan mengatur pasukan
jika kerajaan dalam perang.

Pada tingkat struktur masyarakat terdapat 5 lapisan sosial,


yaitu:

• Pertama, olongia dan keluarganya.


• Kedua, ponimpalo sebagai bangsawan atau golongan yang
berhak menduduki jabatan huhuhu.
• Ketiga adalah timbuli atau disebut juga bangsawan
menengah, golongan tersebut hanya berhak menjabat
sebagai wulea lo lipu.
• Keempat adalah golongan penduduk kebanyakan sebagai
abdi yang merdeka.
• Kelompok kelima adalah wato atau budak
Dari gambaran birokrasi di atas tampak jelas bahwa peranan
olongia, huhuhu, dan wulea lo lipu sangat besar dan penting dalam
kelangsungan suatu kerajaan. Di samping merumuskan dan

Halaman 292 dari 883


menetapkan peraturan dalam kerajaan, para pejabat tinggi kerajaan
tersebut juga mengatur kehidupan keagamaan dan adat istiadat.

Pusat Pemerintahan : Tapa


Kedudukan pusat pemerintahan Kerajaan Bolango terletak di
Tapa yang kini masuk sebagai bagian dari Kabupaten Bone
Bolango, Provinsi Gorontalo. Pada 1862, para kerabat kerajaan
akhirnya melakukan migrasi dari Tapa menuju Bolang Uki untuk
bergabung dengan para kerabatnya. Walaupun beberapa penduduk
Bolango masih memilih menetap di Tapa, sedang sebagiannya lagi
tersebar di Bintauna, Suwawa, Tibawa, Batudaa, Paguyaman,
Kwandang, Atinggola, Boalemo, dan Pohuwato.

Sehubungan raja dan pembesar Bolango mengungsi ke


Bolaang Uki yang kini masuk dalam wilayah Bolaang Mongondow
Selatan, maka untuk mempertahankan status persekutuan Limo lo
Pohalaa, maka kedudukan Bolango digantikan Boalemo yang
sebelumnya masuk dalam vasal atau kekuasaan Limboto. Eksistensi
Kerajaan Bolango kemudian berakhir dan digantikan oleh Kerajaan
Bolaang Uki dengan para raja dan bangsawannya merupakan
keluarga Kerajaan Bolango dari Tapa, Gorontalo.

Masuknya Agama Islam


Masuknya Islam di Kerajaan Bolango pada tahun 1530 atau
lima tahun sebelum kepemimpinan Raja Datau berakhir. Proses
penyebaran Islam terus dilakukan dengan cara penyampaian dakwah
dan pendidikan oleh para ulama atau Aulia yang ada di Gorontalo.

Halaman 293 dari 883


Selain itu, aktifitas dakwah dan penyebaran Islam di Gorontalo
memasuki masa emasnya di masa pemerintahan Raja Ibrahim
Duawulu. Karena kegigihannya, Raja Ibrahim Duawulu dikenal
sebagai salah satu penyiar agama Islam di Teluk Tomini hingga
menyebar luas diluar Gorontalo, meluas sampai ke Sulawesi Utara.

Rujukan
• Alwi, Des. 2005. Sejarah Maluku: Banda Nairas, Ternate, Tidore da√√ Ambon. Jakarta:
Dian Penduduk.
• Bastiaans, J. 1996. “Persekutuan Limbotto dan Gorontalo”, dalam Taufik Abdullah (ed.)
Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
• Botutihe, Medi dan Farah Daulima. 2007. Sejarah Perkembangan Limo Pohalaa di Daerah
Gorontalo. Limboto: Forum Suara Perempuan LSM Mbu’I Bungale.
• Casparis, J.G de. 1975. Indonesian Palaeography: A History of Writing In Indonesian From
The Beginning To C. A.D 1500. Leiden/ Koln: E. J. Brill.
• Frederick, William H. & Soeri Soeroto (peny.). 1984. Pemahaman Sejarah Indonesia:
Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES.
• Gobel, Deddy A. 2012. Daftar Raja-Raja Bolango dan Napak Tilas yang Dilakukan Suku
Bangsa Bolango. Molibagu: tp.
• Gottshalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Dalam Nugroho Notosusanto (terj.). Jakarta: UI
Press.
• Haga, B.J. 1931. De Lima-pahalaä (Gorontalo): Volksordening, adatrecht en
bestuurspolitiek. LXXI. Bandoeng: A.C Nix & Co, 1931.
• Henley, David. 2005. Fertility, Food and Fever: Population, Economy and Environment in
North and Central Sulawesi, 1600-1930. Leiden: KITLV.
• Joesoef, S dan Bakir Gobol. 1986. Sejarah Suku Bolango Dari Masa Ke Masa dan
Perjuangannya Menyambut Proklamasi 17 Agustus 1945. tp.
• Juwono, Harto dan Yosephine Hutagalung. 2005. Limo Lo Pohalaa Sejarah Kerajaan
Gorontalo. Yogyakarta: Ombak.
• Kartodirdjo, Sartono. 2014. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
• Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Benteng.
• Lipoeto, M.H. 1949. Sedjarah Gorontalo: Dua Lima Pohalaa. X. Gorontalo: Pertjetakan
Ra’jat Gorontalo.
• Munir, Rozy. 1981. Dasar-Dasar Demografi. Jakarta: Lembaga Demografi Fakultas
Ekonomi, Universitas Indonesia.
• Nur, S.R. 1949. Sejarah Perkembangan Limo Pohalaa Di Daerah Gorontalo. tp.

Halaman 294 dari 883


• Poelinggomang, Edward L. 2002. Makassar Abad XIX: Studi Kebijakan Perdagangan
Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
• Polontalo, Ibrahim. 1986. Proses Masuk dan berkembangnya Kekuasaan Pemerintahan
Hindia-Belanda di Gorontalo Abad XVII sampai Abad XIX. Gorontalo: Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sam Ratulangi Manado di Gorontalo.
• Riedel, J.G.F. 1862. Pada menjatakan babarapa perkara deri pada hhikajatnja tuwah tanah
Minahasa sampej palla adatangan orang kulit putih Nederlanda itu. Batavia:
Landsdrukkerij. [“Inilah Pintu Gerbang pengatahuwan ltu Apatah Dibukakan Guna Orang-
Orang Padudokh Tanah Minahasa Ini”].
• -----------. 1870. “Het landschappen Holontalo, Limoeto, Bone, Boalemo en Katinggola of
Andagile: geographische, statistische, h i s t o r i s c h e e n e t h n o g r a p h i s c h e
aanteekeningen”, Tijdschrijt voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG), XIX.
• Sneddon, J dan H.T. Usup. 1986. Shared Sound Changes In The Gorontalic Language
Group: Implications for Subgrouping. Leiden: KITLV.
• Soedjamoko, (ed.). 2007. An Introduction to Indonesian Historiography. Jakarta: Equinox
Publishing Indonesia.
• Tacco, Richard. 1935. Het Volk Van Gorontalo: (Historich Traditioneel Maatschappelijk
Cultural Sociaal Karakteristiek en Economisch). Gorontalo: Yo Un Ann.

Halaman 295 dari 883


BAB 17
KESULTANAN BANTEN : BENTENG ISLAM DI
TENGAH NUSANTARA

Kesultanan Banten
ᮊᮞᮥᮜ᮪ᮒᮔᮔ᮪ ᮘᮔ᮪ᮒᮨ ᮔ᮪ (Aksara Sunda)
ꦏꦱꦸ ꦤ ꦤ꧀ (Cacarakan)

Wilayah Banten pada masa Maulana Hasanuddin, yang menguasai Selat Sunda
pada kedua sisinya

Kesultanan Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang


pernah berdiri di wilayah Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun
1526, ketika kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak memperluas
pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan

Halaman 296 dari 883


ꦭ꧀ꦠ
ꦤ꧀ꦧ
ꦤ꧀ꦠꦺ
menaklukkan beberapa kawasan pelabuhan kemudian
menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan
perdagangan sebagai antisipasi terealisasinya perjanjian antara
kerajaan Sunda dan Portugis tahun 1522 m.

Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati[7] berperan


dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana
Hasanuddin mengembangkan benteng pertahanan yang dinamakan
Surosowan (dibangun 1600 M) menjadi kawasan kota pesisir yang
kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi
kesultanan yang berdiri sendiri.

Pernah menjadi pusat perdagangan besar di Asia Tenggara ,


terutama lada , kerajaan ini mencapai puncaknya pada akhir abad
ke-16 dan pertengahan abad ke-17. Pada akhir abad ke-17
pentingnya dibayangi oleh Batavia , dan akhirnya dianeksasi ke
Hindia Belanda pada tahun 1813.

Wilayah intinya sekarang membentuk provinsi Indonesia


dari Banten . Saat ini, di Banten Lama , Masjid Agung Banten
menjadi tujuan penting bagi wisatawan dan peziarah dari seluruh
Indonesia dan dari luar negeri, hampir 3 abad Kesultanan Banten
mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang
di waktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan
menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan
kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun
perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah
melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya.

Halaman 297 dari 883


Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813
setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di
Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir
pemerintahannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan
dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

Pembentukan awal

Palangka Sriman Sriwacana

"Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana


Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu
mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana
Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata."

Artinya:

Halaman 298 dari 883


"Sang Susuktunggal ialah yang membuat takhta Sriman Sriwacana
(untuk) Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran
yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura
Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata."
Penguasaan Banten
Pada tahun 1522,[8] Maulana Hasanuddin membangun
kompleks istana yang diberi nama keraton Surosowan, pada masa
tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar, masjid agung serta
masjid di kawasan Pacitan.[9] Sementara yang menjadi pucuk umum
(penguasa) di Wahanten Pasisir adalah Arya Surajaya (putra dari
Sang Surosowan dan paman dari Maulana Hasanuddin) setelah
meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 M. Arya Surajaya
diperkirakan masih memegang pemerintahan Wahanten Pasisir
hingga tahun 1526 M.[10]

Pada tahun 1524 M, Sunan Gunung Jati bersama pasukan


gabungan dari kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mendarat
di pelabuhan Banten[11] Pada masa ini tidak ada pernyataan yang
menyatakan bahwa Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan
pasukan gabungan Sunan Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan
untuk merebut Wahanten Girang

Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan


gabungan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mencapai
Wahanten Girang/Banten Girang adalah pusat kekuasaan kerajaan
Banten pra Islam. Di sini terdapat watu gigilang (batu yang
bersinar) yang merupakan tahta Prabu Pucuk Umun, Ratu Pandita
‘Hindu’ yang terakhir. Di sana juga terdapat dua makam keramat

Halaman 299 dari 883


kakak beradik, Ki Mas Jong dan Ki Agus Ju yang merupakan
penduduk Banten Girang pertama yang memeluk Islam dan
berpihak kepada Maulana Hasanuddin.

Ki Mas Jong sendiri menurut Sajarah Banten adalah seorang


Ponggawa penting dari Pakuan Pajajaran yang ditempatkan di
Banten Girang. Ki Mas Jong adalah pendukung utama Maulana
Hasanuddin, dan kemudian diangkat sebagai Mahapatih atau
Tumenggung. Ki Mas Jong memainkan peranan penting dalam
penaklukan Pakuan Pajajaran pada pertengahan abad ke-16.

Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional diceritakan


bahwa pucuk umum (penguasa) Banten Girang yang terusik dengan
banyaknya aktivitas dakwah Maulana Hasanuddin yang berhasil
menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman
Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan Wahanten Girang,
sehingga pucuk umum Arya Suranggana meminta Maulana
Hasanuddin untuk menghentikan aktivitas dakwahnya dan
menantangnya sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika sabung
ayam dimenangkan Arya Suranggana maka Maulana Hasanuddin
harus menghentikan aktivitas dakwahnya. Sabung Ayam pun
dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin dan dia berhak
melanjutkan aktivitas dakwahnya.[12] Arya Suranggana dan
masyarakat yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih
masuk hutan di wilayah Selatan.

Halaman 300 dari 883


Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan
sebagai pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak
sampai di penghujung abad ke-17.[13]

Penyatuan Banten
Atas petunjuk ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati, Maulana
Hasanuddin kemudian memindahkan pusat pemerintahan Wahanten
Girang ke pesisir di kompleks Surosowan sekaligus membangun
kota pesisir. Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai
pada tahun 1526.[8] Pada tahun yang sama juga Arya Surajaya pucuk
umum (penguasa) Wahanten Pasisir dengan sukarela menyerahkan
kekuasaannya atas wilayah Wahanten Pasisir kepada Sunan Gunung
Jati, akhirnya kedua wilayah Wahanten Girang dan Wahanten
Pasisir disatukan menjadi Wahanten yang kemudian disebut sebagai
Banten dengan status sebagai depaten (provinsi) dari kesultanan
Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8
Oktober 1526 M).

Kemudian Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan


Cirebon dan pengurusan wilayah Banten diserahkan kepada
Maulana Hasanuddin, dari kejadian tersebut sebagian ahli
berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama di
Banten [15] meskipun demikian Sunan Gunung Jati tidak
menahbiskan dirinya menjadi penguasa (sultan) di Banten[16]
Alasan-alasan demikianlah yang membuat pakar sejarah seperti
Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Sunan Gunung Jatilah
yang menjadi pendiri Banten dan bukannya Maulana Hasanuddin.
Menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak Banten dan Sunda

Halaman 301 dari 883


Kelapa dikuasai oleh kesultanan Islam, Banten lah yang lebih ramai
dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara.[14]

Penguasaan Lampung
Pada tahun 1525, Syarief Hidayatullah memasuki wilayah
Labuhan Meringgai di Kerajaan Pugung[17] Menurut Nurhalim (Raja
Adat Melinting, Lampung Timur) kedatangan Syarief Hidayatullah
ke Pugung pada awalnya dikarenakan oleh surat yang dikirimkan
Ratu Galuh (penguasa Pugung, istri dari Anak Dalem Kesuma Ratu)
melalui burung merpati yang bermaksud meminta pertolongan
kepada penguasa diluar pulau untuk membantu Pugung menghadapi
perampok dan bajak laut yang telah meresahkan[18]

Menurut Budiman Yaqub (Radin Kusuma Yuda) seorang


budayawan dan sejarawan daerah Lampung Selatan, Syarief
Hidayatullah ketika akan memasuki wilayah Pugung beliau melihat
cahaya kilat yang tegak dari langit.[19]

Sesampainya Syarief Hidayatullah di kerajaan Pugung


beliau bersedia membantu Ratu Galuh menangani perampokan
dengan satu syarat yaitu jika perampokan berhasil diatasi, maka
Ratu Galuh dan pengikutnya bersedia untuk memeluk agama
Islam[20]

Pasca berhasil diatasinya para perampok tersebut, Syarief


Hidayatullah kemudian mulai menyebarkan dakwah Islam di
wilayah kerajaan Pugung. Ratu Galuh beserta pengikutnya bersedia
menerima ajaran Islam dengan dibimbing oleh Syarief
Hidayatullah[20]

Halaman 302 dari 883


Syarief Hidayatullah kemudian mengajukan lamaran kepada
Ratu Galuh untuk menikahi anaknya yaitu putri Sinar Alam, namun
dikarenakan ada peraturan adat di kerajaan Pugung di mana putri
pertama harus menikah dengan keluarga yang masih kerabat
kerajaan Pugung maka lamaran tersebut ditolak, menurut Budiman
Yaqub, Ratu Galuh kemudian menawarkan putri Kandang Rarang
anak dari Minak Raja Jalan[20] agar menjadi istri Syarief
Hidayatullah dan disetujui, dari pernikahan dengan putri Kandangan
Rarang, Syarief Hidayatullah memiliki seorang putera yang diberi
nama Muhammad Sholeh atau masyarakat Lampung mengenalnya
dengan nama Minak Gejala Ratu.[20]

Syarief Hidayatullah kemudian pergi meninggalkan istrinya


dan anaknya untuk kembali berdakwah dan pulang ke Cirebon,
Syarief Hidayatullah menitipkan sebuah cincin kepada istrinya
Kandang Rarang yang kelak harus diberikan kepada putera mereka
Muhammad Sholeh[20]

Beberapa lama setelah kepergiannya, Syarief Hidayatullah


kembali ke kerajaan Pugung untuk menengok istrinya Kandang
Rarang dan anaknya Muhammad Sholeh, di sana Syarief
Hidayatullah mengetahui jika putri Sinar Alam anak dari Dalem
Kesuma Ratu dengan Ratu Galuh belum juga menikah, Syarief
Hidayatullah kemudian mengajukan lamaran kembali untuk
menikahinya dan disetujui, dari pernikahannya dengan putri Sinar
Alam, Syarief Hidayatullah dikaruniai seorang putera yang diberi
nama Muhammad Aji Saka[21] atau yang menurut Nurhalim (Raja
Adat Melinting) namanya adalah Minak Gejala Bidin,[20] dari

Halaman 303 dari 883


keturunan Muhammad Aji Saka inilah kemudian lahir pahlawan
nasional asal Lampung yang bernama Radin Inten II[21]

Perluasan dakwah di Lampung


Dengan masuknya masyarakat adat Pugung ke dalam Islam,
maka secara berangsur-angsur masyarakat Lampung dalam rumpun
adat Lampung Peminggir yang berada di pantai selatan Lampung
memeluk agama Islam[17]

Wilayah-wilayah di Lampung secara berangsur-angsur


berada di bawah kendali kesultanan Cirebon[22] hingga pada sekitar
tahun 1530, Cirebon berhasil menguasai Lampung dan
menempatkannya di bawah kendali Depati Banten[23]

Depati Banten (gubernur Banten) pada masa itu, Maulana


Hasanuddin sangat tertarik dengan wilayah Lampung dikarenakan
wilayah ini dianggap menguntungkan untuk menghasilkan lada.
Pada masa itu para penguasa di Lampung suka menjual lada dengan
harga tinggi guna mendapatkan berbagai barang komoditas.[22]

Pembagian kerajaan Pugung


Pembagian terhadap kerajaan Pugung dimulai ketika
Muhammad Sholeh dan Muhammad Aji Saka datang ke kesultanan
Cirebon untuk menemui ayahnya Syarief Hidayatullah, di Cirebon
mereka didik dengan ilmu syariat (agama Islam) dan keahlian bela
diri, setelah keilmuan dan kemampuan anak-anaknya dirasa cukup,
Syarief Hidayatullah menyuruh mereka kembali ke Pugung, kepada
Muhammad Sholeh dia diberikan sebuah kotak kayu yang pada
sisinya bertuliskan bacaan surat al Fatihah, shalawat nariyah dan

Halaman 304 dari 883


ayat kursi dan kotak tersebut hanya boleh dibuka di saat
penobatannya sebagai penguasa di Pugung sementara kepada
Muhammad Aji Saka Syarief Hidayatullah memerintahkannya
untuk mencari gunung tinggi di wilayahnya yang memiliki batu
putih, Muhammad Aji Saka kemudian menemukan gunung yang
sesuai dengan deskripsi ayahnya yaitu gunung Rajabasa[24]

Di Labuhan Meringgai kemudian diadakan musyawarah


untuk membagi dua kerajaan Pugung, Muhammad Sholeh kemudian
naik takhta menjadi penguasa di Labuhan Meringgai dan membuka
kotak dari ayahnya, di dalam kotak berisi selembar kain yang
bertuliskan ratu darah putih, menurut Nurhalim (Raja Adat
Melinting) arti dari ratu darah putih adalah pemimpin yang adil dan
bijaksana, bersih dari segala sikap yang tercela,[24] kerajaan yang
dipimpin oleh Muhammad Sholeh kemudian dikenal dengan nama
keratuan (kerajaan) darah putih Melinting atau kerajaan Melinting,
sementara Muhammad Aji Saka memilih untuk menetap di wilayah
gunung Rajabasa, wilayah kekuasaannya kemudian dikenal dengan
nama keratuan (kerajaan) darah putih Rajabasa[24]

Kerajaan-kerajaan darah putih ini kemudian menjadi


wilayah penyebaran agama Islam yang di Lampung sekaligus
mampu membawa masyarakat rumpun adat Lampung Peminggir
untuk memeluk Islam[17]

Banten sebagai kesultanan


Kesultanan Demak menggelar musyawarah dalam
menyikapi peristiwa meninggalnya Pati Unus (depati Banten

Halaman 305 dari 883


sekaligus putera mahkota Kesultanan demak) di Demak, Maulana
Yusuf atau Raden Abdullah selaku anak dari penguasa depati
Banten pada saat armada demak ,Mendaratkan pasukan Banten di
teluk Banten, Yusuf atau Raden Abdullah diajak pula untuk turun
di Banten untuk tidak melanjutkan perjalanan pulang ke Demak,
Para komandan dan penasehat armada yang masih saling berkerabat
satu sama lain sangat khawatir kalau Yusuf atau Raden Abdullah
akan dibunuh dalam perebutan tahta mengingat sepeninggal Pati
Unus.

Pembagian wilayah taklukan antara kesultanan Banten dengan


kesultanan Cirebon
Pasca perjanjian damai Cirebon dengan kerajaan Pajajaran
pada tahun 1531 dan setelah kesultanan Banten berdiri pada tahun
1552, maka wilayah antara sungai Angke dan sungai Cipunegara
dibagi dua. Menurut Carita Sajarah Banten, Sunan Gunung Jati[25]
pada abad ke 15[26] membagi wilayah antara sungai Angke dan
sungai Cipunegara menjadi dua bagian dengan sungai Citarum
sebagai pembatasnya, sebelah timur sungai Citarum hingga sungai
Cipunegara masuk wilayah Kesultanan Cirebon yang sekarang
menjadi Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta dan
Kabupaten Subang dan sebelah barat sungai Citarum hingga sungai
Angke menjadi wilayah bawahan Kesultanan Banten dengan nama
Jayakarta.[2]'[27]

Pada tahun 1568,[28] Maulana Hasanuddin sebagai penguasa


Banten yang juga membawahi wilayah Jayakarta mengangkat
menantunya yaitu Kawis Adimarta (Tubagus Angke) suami dari

Halaman 306 dari 883


Ratu Ayu Fatimah (anak ke enam dari Maulana Hasanuddin)[29]
sebagai penguasa Jayakarta, sebelumnya, sejak peristiwa
penaklukan Kelapa pada tahun 1527 hingga diangkatnya Kawis
Adimarta pada tahun 1568, wilayah ini berada di bawah kekuasaan
Fadillah Khan[30]

Perluasan wilayah ke Lampung


Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan
ke Lampung. Pada tahun 1530 ketika wilayah adat Lampung
Peminggir telah memeluk agama Islam dan berada di bawah
kekuasaan Syarief Hidayatullah[17] wilayah adat Lampung Abung
(Pepadun) belum ada yang berada di bawah kekuasaan Syarief
Hidayatullah, bahkan pada masa kekuasaan Maulana Hasanuddin
sebagai Sultan Banten, masyarakat adat Lampung Abung (Pepadun)
belum ada yang melakukan seba (menghadap Sultan) ke Banten,
masyarakat Lampung Abung (Pepadun) pada masa itu masih
mempertahankan adat istiadatnya yang bercorak animisme.[17]

Pada sekitar awal abad ke-16 memang ada seorang minak


dari kalangan masyarakat adat Lampung Abung (Pepadun) yang
telah memeluk Islam seperti Minak Sangaji (dari kalangan Tulang
Bawang) yang merupakan suami dari Bolan, namun Minak Sangaji
diperkirakan menerima Islam bukan dari kesultanan Banten
melainkan dari Melaka[17]

Maulana Hasanuddin berperan dalam penyebaran Islam di


kawasan Lampung, selain itu ia juga telah melakukan kontak
dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan

Halaman 307 dari 883


Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja
tersebut.[2]

Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik takhta


pada tahun 1570[31] melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan
pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun
1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang
mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari
usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di Nusantara,
tetapi gagal karena ia meninggal dalam penaklukan tersebut.[32]

Masyarakat Lampung Abung seba ke Banten


Pasca meninggalnya Sultan Banten Maulana Muhammad
pada tahun 1596 pada penyerangan ke Palembang atas bujukan
Pangeran Mas (putera Arya Penggiri, cucu Sunan Prawoto dari
kesultanan Demak) yang berambisi menjadi penguasa Palembang[33]
dan pasca meninggalnya Unyai terjadilah perselisihan di antara anak
cucu Minak Paduka Begeduh, perselisihan tersebut berkenaan
dengan persoalan seba (menghadap sultan), seba ke Banten atau ke
Palembang[34] hingga salah satu dari mereka bergabung mengikuti
kekuasaan kesultanan Banten[17] dan yang satunya lagi seba ke
Palembang dan meninggalkan wilayah adat Lampung Abung.

Minak Paduka Begeduh memiliki 4 orang anak, yaitu Unyi,


Nunyai, Nuban (perempuan) dan Subing. Minak Paduka Begeduh
merupakan anak dari Minak Rio Begeduh, cucu dari Indra Gajah
dan cicit dari Umpu Serunting yang mendirikan keratuan (kerajaan)
Pemanggilan.[17] Minak Paduka Begeduh memiliki dua orang istri

Halaman 308 dari 883


yaitu Minak Majeu Lemaweng dari keratuan (kerajaan) Pogung dan
Minak Munggah di Abung dari Selebar[34]

Perwakilan dari masyarakat adat Abung yang seba


(menghadap sultan) ke Banten adalah Minak Semelesem (cucu
Unyai),[17] sementara dari kalangan masyarakat adat Lampung
Abung (Pepadun) yang memilih untuk seba (menghadap sultan) ke
Palembang adalah Mukodum muter alam, beliau kemudian tidak
kembali lagi ke wilayah adat Lampung Abung dan memilih untuk
membentuk masyarakat Kayu Agung dan menetap di sana.[34]

Hubungan erat kesultanan Banten dan Inggris


Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia
menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan"
pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud
Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif
melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada
pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada
Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.
[2]

Pada tahun 1629, Sultan Banten Abu al Mafakir Mahmud


Abdul Kadir mengirimkan surat kepada penguasa Inggris Raja
Charles I menyatakan kegembiraannya karena orang-orang Inggris
mau membuka lagi kantor dagangnya di Banten, selain itu Sultan
Abu al Mafakir Mahmud Abdul Kadir juga meminta bantuan
persenjataan dan mesiu kepada Inggris, hal tersebut berguna untuk
memperkuat pertahanan kesultanan Banten[2]'[35]

Halaman 309 dari 883


Permintaan kesultanan Banten akan senjata dan mesiu
sangat dimungkinkan untuk menghindari peristiwa penyerangan
wilayah Banten pada 1626 terulang, saat itu dua tahun setelah serah
terima kuasa mutlak dari wali Sultan Banten yaitu Pangeran
Ranamanggala, Mataram pada masa kekuasaan Sultan Agung
Hanyakrakusuma melakukan penyerangan kembali kepada
kesultanan Banten yang kali ini dibantu oleh Palembang, namun
penyerangan ini juga tidak berhasil[25]

Blokade Vereenigde Oostindische Compagnie dan Peristiwa


Pabaranang
Sikap Bersahabat kesultanan Banten dengan Inggris ini
bertolak belakang dengan sikap yang diambil kesultanan Banten
kepada Belanda. Pada tahun 1633, Vereenigde Oostindische
Compagnie melakukan penyerangan ke wilayah kesultanan Banten
di antaranya Tanahara, Anyer, dan Lampung, hal tersebut
dikarenakan menurut Vereenigde Oostindische Compagnie orang
Banten banyak yang melalukan pengrusakan dan perampokan
kepada aset dan barang milik Vereenigde Oostindische Compagnie,
pada bulan November terjadi peperangan besar antara kesultanan
Banten dengan Vereenigde Oostindische Compagnie, pihak
kesultanan Banten berhasil mengalahkan pasukan Vereenigde
Oostindische Compagnie yang pada masa itu sedang lemah akibat
berperang dengan Mataram[36]

Pada tanggal 5 Januari 1634 Vereenigde Oostindische


Compagnie mengirimkan lagi pasukan laut yang lebih kuat untuk
mengepung Surosowan, maka diadakanlah blokade menyeluruh atas

Halaman 310 dari 883


wilayah perairan teluk Banten. Pengepungan Vereenigde
Oostindische Compagnie di perairan Tanahara dapat digagalkan
oleh pasukan yang dipimpin Tubagus Singaraja, pejabat kesultanan
Banten di Tanahara, sedangkan pengepungan di perairan pelabuhan
Banten, baru dapat digagalkan setelah digunakan taktik yang
baru[36] yaitu dengan melakukan pembakaran blokade Vereenigde
Oostindische Compagnie dengan kapal besar yang disebut
Barungut, kapal Barungut yang sebelumnya diperbaiki di Batavia
pada malam harinya dibakar atas usul Wangsadipa,[2] peristiwa
pembakaran blokade ini dikenal dengan nama Pabaranang.[37]

Pembakaran blokade laut Vereenigde Oostindische


Compagnie oleh kesultanan Banten terbagi dalam dua sesi, sesi
pertama terjadi pada malam hari di tanggal 4 dan 5 Januari 1634 dan
sesi kedua terjadi pada malam hari di tanggal 10 dan 11 Januari
1634.

Penyerangan kapal dagang kesultanan Banten oleh Vereenigde


Oostindische Compagnie
Satu tahun setelah peristiwa Pabaranang yaitu pada tahun
1635 Belanda kembali melakukan penyerangan terhadap Banten
kali ini yang menjadi sasarannya adalah kapal dagang Banten yang
mengangkut cengkeh dari Ambon,[35] Pangeran Anom (Abu al
Ma'ali Ahmad) yang merupakan anak dari Sultan Banten Abu al
Mafakir Mahmud Abdul Kadir sekaligus wakilnya lantas
mengirimkan surat kepada Raja Charles I dari Inggis untuk meminta
bantuan menghadapi Vereenigde Oostindische Compagnie di
Batavia, Pangeran Abu al Ma'ali Ahmad meminta agar Inggris mau

Halaman 311 dari 883


mengirimkan prajuritnya dalam membantu kesultanan Banten
menghadapi Vereenigde Oostindische Compagnie namun jika
Inggris berkeberatan atau tidak bersedia dengan alasan apapun maka
Pangeran hanya akan meminta bantuan persenjataan saja, yakni
meriam dan mesiu[2]'[35]

Penjajakan perdamaian dengan Belanda


Pada tahun 1636 kesultanan Banten melakukan penjajakan
perdamaian dengan Belanda, pada masa ini situasi keamanan
cenderung kondusif, Hindia Belanda pada saat itu ada di bawah
pimpinan Gubernur Jenderal Antonio van Diemen yang mulai
menjabat sejak 1 Januari 1636. Pada masa penjajakan perdamaian
ini kesultanan Banten pun mulai mengimbau kepada seluruh
masyarakat di wilayah kesultanan Banten agar mulai menanam lada.
Pada tahun 1639 perjanjian perdamaian berhasil dicapai[35]

Puncak kejayaan

De Stad Bantam, lukisan cukilan lempeng logam (engraving) karya François


Valentijn, Amsterdam, 1726

Halaman 312 dari 883


Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan
mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya.
Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan
penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan
Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat
niaga yang penting pada masa itu.[39] Perdagangan laut berkembang
ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu
orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan
Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Tiongkok dan Jepang.[40]

Perintah penanaman lada dan perlawanan dari masyarakat


Imbauan penanaman kembali lada yang telah dimulai sejak
1636 menemui perlawanan masyarakat di daerah Lampung dan
Bengkulu, masyarakat kerajaan-kerajaan di Bengkulu yang berada
di bawah kendali kesultanan Banten seperti Selebar misalnya
melawan imbauan penanaman lada yang mulai terkesan
memaksa[35]

Penguasaan Sukadana
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertakhta 1651-1682)
dipandang sebagai masa kejayaan Banten.[41] Di bawah dia, Banten
memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa,
serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan
Banten.[31] Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga
mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan
Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya
tahun 1661.[42] Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari

Halaman 313 dari 883


tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan
blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.[31]

Pengaturan lada di Bengkulu


Pada tanggal 12 Februari 1663, Sultan Banten Abdul Fatah
mengeluarkan keputusan membolehkan komoditas lada dijual
kepada siapa saja namun lada yang hendak tersebut harus terlebih
dahulu dibawa ke Banten, jika keputusan pengaturan penjualan lada
ini dilanggar maka sebagai hukumannya istri dan anaknya akan
dibawa ke Banten[43]

Banten dalam Kasus Perwalian kesultanan Cirebon dan


perjuangan Raden Trunajaya
Pada saat Pangeran Girilaya dan kedua anak tertuanya yaitu
Martawijaya dan Kartawijaya diundang ke Mataram untuk
menerima upacara penghormatan atas naiknya Pangeran Girilaya
menjadi penguasa Cirebon namun ternyata tidak kunjung kembali,
kesultanan Cirebon mengalami perguncangan karena tidak adanya
pemimpin di kesultanan Cirebon. Pada masa tersebut untuk
menghindari kesultanan Cirebon dari kekacauan dikarenakan di
keraton Cirebon Pangeran Girilaya masih memiliki keturunan dari
istri-istrinya yang lain seperti Pangeran Ketimang dan Pangeran
Giyanti (anak Pangeran Girilaya dari istrinya yang merupakan
keturunan bangsawan Cirebon) dan Bagus Jaka (anak Pangeran
Girilaya dengan istrinya yang merupakan rakyat biasa), maka Sultan
Ageng Tirtayasa dari kesultanan Banten menunjuk pangeran
Wangsakerta (adik pangeran Martawijaya dan Kartawijaya) untuk
menjadi wali sultan sampai ayahnya kembali.[44] Keluarga akhirnya

Halaman 314 dari 883


menyetujui pangeran Wangsakerta menjadi Wali sampai kembalinya
ayahnya pangeran Girilaya dari Mataram.

Lepasnya Karawang kepada Belanda dari Cirebon dan


pembebasan para pangeran Cirebon
Sepeninggal sultan Agung Hanyaraka Kusuma dari
Mataram, penerusnya yaitu Amangkurat I bersikap lebih lunak
kepada Belanda, perjanjian antara keduanya untuk saling membantu
pun dilakukan, pada masa pemberontakan Trunojoyo, Mataram
meminta bantuan Belanda untuk memadamkannya, Belanda yang
diwakili Admiral Speelman (yang dikemudian hari menjadi
Gubernur Jendral Cornelis Speelman) melalui Syahbandar Jepara
yaitu Wangsadipa mengajukan syarat yaitu perluasan wilayah
kekuasaan Belanda hingga sungai Cipunegara (di bagian utara) terus
menyusuri ke selatan hingga bertemu laut. Syarat tersebut dibawa
oleh residen James Cooper pada tanggal 4 Maret 1677 dan diterima
oleh sultan Mataram, Amangkurat I dan putranya (beberapa bulan
sebelum Trunojoyo merebut ibu kota Mataram tanggal 28 Juni 1677
dan membebaskan putra-putra pangeran Girilaya yang ditahan oleh
Mataram yaitu Martawijaya dan Kartawijaya).[45]

Syarat tersebut kemudian disetujui oleh Amangkurat I walau


wilayah yang diminta sebagiannya adalah milik kesultanan Cirebon
yaitu wilayah Karawang atau sebagian masyarakat mengenalnya
dengan Rangkas Sumedang (wilayah antara sungai Citarum dan
Cibeet hingga sungai Cipunegara yang sekarang menjadi kabupaten
Karawang, kabupaten Purwakarta dan kabupaten Subang), para

Halaman 315 dari 883


pangeran Cirebon ditahan sebagai garansi Cirebon mau melepaskan
wilayah pesisir bagian baratnya untuk Belanda.[45]

Pangeran Wangsakerta yang berada di Cirebon dan menjadi


wali setelah ayahnya (pangeran Girilaya) tidak kunjung kembali
dari Mataram akibat ditahan oleh Amangkurat I kemudian meminta
bantuan kesultanan Banten, sultan Ageng Tirtayasa kemudian
mengirimkan bantuan persenjataan kepada Trunojoyo dengan
memintanya untuk membebaskan para pangeran Cirebon yang
ditahan oleh Mataram, ketika Trunojoyo berhasil merebut keraton
Mataram, orang-orang yang ada di dalamnya kemudian ditawan dan
dibawa ke Kediri,[46] awalnya Tronojoyo tidak mengetahui bahwa
para pangeran Cirebon ada di antara para tahanan yang dibawa ke
Kediri, setelah memeriksa para tahanan yang berasal dari Mataram
dan menemukan para pangeran Cirebon, Trunojoyo kemudian
membebaskan mereka dengan hormat dan mengirimnya ke
kesultanan Banten.

Posisi Cirebon yang sedang lemah pada saat itu ditambah


dengan kosongnya kursi sultan dan hanya diisi oleh seorang wali
sultan saja membuat kesultanan Cirebon belum bisa merebut
kembali wilayah Karawang yang direbut Belanda secara ilegal dan
paksa dengan bantuan Amangkurat I dari Mataram, sehingga ketika
kedua pangeran Cirebon kembali dari Banten dan mewarisi
kesultanan Cirebon dengan nama Kasepuhan dan Kanoman mereka
mewarisi wilayahnya yang telah dikurangi wilayah Karawang yang
diambil paksa tersebut, sehingga wilayah kekuasaan kesultanan

Halaman 316 dari 883


Cirebon paling barat ialah wilayah Kandang Haur dan sekitarnya
hingga batas sungai Cipunegara.

Penobatan anak-anak Sultan Cirebon Abdul Karim


Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi
pada tahun 1679 saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya
dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati, kesultanan
Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah
diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan
persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan Ageng
Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon
menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk
menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena
adanya perbedaan pendapat di kalangan keluarga besar mengenai
penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan
mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta)
untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan
ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang
sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu
pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki
wilayahnya masing-masing (walaupun belum bersifat mengikat atau
tetap[48]) yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara
satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa
wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan
keraton.

Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon,


di mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing

Halaman 317 dari 883


berkuasa dan menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar
ketiganya setelah resmi dinobatkan:

• Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar


Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin
(1679-1697)
• Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar
Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin
(1679-1723)
• Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar
Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau
Panembahan Tohpati (1679-1713)
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra
tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa,
karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di Banten.
Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh,
rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak
diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak
memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri
sebagai Kaprabon (Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual
keraton.

Perang saudara

Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan


Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan
Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan
oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan

Halaman 318 dari 883


dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat
dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji
atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2
orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682
untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.[2] Dalam
perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah
ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, tetapi pada 28
Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama
VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya
dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman
Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap
kemudian ditahan di Batavia.

Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan


perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam
pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683,
VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta
pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan
Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan
Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil
menawan Syekh Yusuf.[60] Sementara setelah terdesak akhirnya
Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian
Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput
Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran
Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang
dipimpin oleh Willem Kuffeler, tetapi terjadi pertikaian di antara
mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem

Halaman 319 dari 883


Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta
pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya
sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.[61]

Banten dan VOC


Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti
dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya
pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC,
seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint
Martin, Laksamana kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di
Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian
tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak
monopoli perdagangan lada di Lampung.[62] Selain itu berdasarkan
perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti
kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.[63]

Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai


mencengkeramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga
pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari
Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl
Muhammad Yahya diangkat menggantikan Sultan Haji namun
hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh
saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin
Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar
Kang Sinuhun ing Nagari Banten.

Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan


ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara

Halaman 320 dari 883


keturunan penguasa Banten[64] maupun gejolak ketidakpuasan
masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan
Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir
pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di
antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat
konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta
bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya
sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vasal dari VOC.[42]

Kesultanan Banten dalam serangan Politik

Keris Naga Sasra yang digunakan oleh Pangeran Kornel (Pangeran


Kusumahdinata IX) saat bersalaman menggunakan tangan kiri (pertanda adanya
perlawanan terhadap kebijakan Belanda dalam pembangunan Jalan Raya Pos
dengan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada peristiwa Cadas
Pangeran

Halaman 321 dari 883


Keraton Sultan pada tahun 1859 (gambar oleh C. Buddingh

Pagar Keraton Kaibon, istana kediaman Ibu Suri Sultan Banten, pada tahun 1933

Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur


Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan
Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan
Inggris. [65] Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk
Halaman 322 dari 883
memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja
untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di
Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai
jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan
penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya
disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian
dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad
Ishaq Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia.
Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya
di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam
wilayah Hindia Belanda.[66] Selain itu Gubernur Jendral Herman
Willem Daendels mengeluarkan surat keputusan pada tanggal 22
November 1808 untuk melepaskan Lampung dari wilayah
kesultanan Banten dan keterkaitannya dengan Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC), wilayah Lampung dalam surat
keputusan tersebut langsung berada di bawah pengawasan Gubernur
Jenderal.[67]

Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh


pemerintah kolonial Inggris.[68] Pada tahun itu, Sultan Muhammad
bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun
takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan
pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.

Agama

Halaman 323 dari 883


Lukisan litograf Masjid Agung Banten pada kurun 1882-1889.

Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat Banten


dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan
Hindu-Buddha, seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan
Sunda.

Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan


Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin, melakukan penyebaran
agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta
penduduknya. Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses
islamisasi di Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf
mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda,
yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.

Halaman 324 dari 883


Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan
Banten dirujuk memiliki silsilah sampai kepada Nabi Muhammad,
dan menempatkan para ulama memiliki pengaruh yang besar dalam
kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga
berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap
Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang
ada dipengaruhi oleh perkembangan Islam di masyarakat, seperti
terlihat pada kesenian bela diri Debus.

Kadi (Qadhi) memainkan peranan penting dalam


pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam
penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam
penegakan hukum Islam seperti hudud. Toleransi umat beragama di
Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi oleh muslim,
tetapi komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana
peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah berdiri
beberapa klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.

Kependudukan
Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah
penduduk yang banyak serta multi-etnis. Mulai dari Sunda, Jawa,
dan Melayu. Sementara kelompok etnis Nusantara lain dengan
jumlah signifikan antara lain Makasar, Bugis dan Bali.

Dari beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672,


di Banten diperkirakan terdapat antara 100.000 sampai 200.000
orang lelaki yang siap untuk berperang, sumber lain menyebutkan,
bahwa di Banten dapat direkrut sebanyak 10 000 orang yang siap

Halaman 325 dari 883


memanggul senjata. Namun dari sumber yang paling dapat
diandalkan, pada Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan dari
sensus yang dilakukan VOC pada tahun 1673, diperkirakan
penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan tombak atau
senapan berjumlah sekitar 55.000 orang. Jika keseluruhan penduduk
dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah
sekitar 150.000 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan
lansia.[70]

Sekitar tahun 1676 ribuan masyarakat Tiongkok mencari


suaka dan bekerja di Banten. Gelombang migrasi ini akibat
berkecamuknya perang di Fujian serta pada kawasan Tiongkok
Selatan lainnya. Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman
sekitar pinggiran pantai dan sungai serta memiliki proporsi jumlah
yang signifikan dibandingkan masyarakat India dan Arab.
Sementara di Banten beberapa kelompok masyarakat Eropa seperti
Inggris, Belanda, Prancis, Denmark dan Portugal juga telah
membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.

Perekonomian
Dalam meletakkan dasar pembangunan ekonomi Banten,
selain di bidang perdagangan untuk daerah pesisir, pada kawasan
pedalaman pembukaan sawah mulai diperkenalkan. Asumsi ini
berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman
seperti Lebak, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan
perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang
siksakanda ng karesian yang menceritakan adanya istilah pahuma
(peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap (penyadap). Ketiga
Halaman 326 dari 883
istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama
peralatannya seperti kujang, patik, baliung, kored, dan sadap.

Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan


pengairan besar dilakukan untuk mengembangkan pertanian. Antara
30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga
sebanyak 16.000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara 30 dan
40.000 ribu hektare sawah baru dan ribuan hektare perkebunan
kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut,
termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang
didatangkan saudagar Tiongkok pada tahun 1620-an,
dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk
Banten meningkat signifikan.[42]

Tak dapat dimungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah


menjadi kota metropolitan, dengan jumlah penduduk dan kekayaan
yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah satu kota
terbesar di dunia pada masa tersebut.[70]

Pemerintahan

Bendera Kesultanan Banten, versi pelat Jepang tahun 1876.

Halaman 327 dari 883


Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri,
penguasanya menggunakan gelar Sultan, sementara dalam lingkaran
istana terdapat gelar Pangeran Ratu, Pangeran Adipati, Pangeran
Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris. Pada
pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi,
Kadi, Patih serta Syahbandar yang memiliki peran dalam
administrasi pemerintahan. Sementara pada masyarakat Banten
terdapat kelompok bangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu
Bagus), ratu atau sayyid, dan golongan khusus lainnya yang
mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas kaum ulama,
pamong praja, serta kaum jawara.

Pusat pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai


yaitu Ci Banten dan Ci Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya
juga didirikan pasar, alun-alun dan Istana Surosowan yang
dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara di sebelah utara dari
istana dibangun Masjid Agung Banten dengan menara berbentuk
mercusuar yang kemungkinan dahulunya juga berfungsi sebagai
menara pengawas untuk melihat kedatangan kapal di Banten.

Berdasarkan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten


berada antara Masjid Agung Banten dan Ci Banten, yang dikenal
dengan nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan alun-alun
terdapat paseban yang digunakan oleh Sultan Banten sebagai
tempat untuk menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara
keseluruhan rancangan kota Banten berbentuk segi empat yang
dipengaruhi oleh konsep Hindu-Buddha atau representasi yang

Halaman 328 dari 883


dikenal dengan nama mandala.[42] Selain itu pada kawasan kota
terdapat beberapa kampung yang mewakili etnis tertentu, seperti
Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.

Kesultanan Banten telah menerapkan cukai atas kapal-kapal


yang singgah ke Banten, pemungutan cukai ini dilakukan oleh
Syahbandar yang berada di kawasan yang dinamakan Pabean.
Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa Sultan Ageng
bernama Syahbandar Kaytsu.

Warisan sejarah
Setelah dihapuskannya Kesultanan Banten, wilayah Banten
menjadi bagian dari kawasan kolonialisasi. Pada masa pemerintahan
Hindia Belanda, tahun 1817 Banten dijadikan keresidenan, dan
sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian dari Provinsi
Jawa Barat. Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten
menginspirasikan masyarakatnya untuk menjadikan kawasan
Banten kembali menjadi satu kawasan otonomi, reformasi
pemerintahan Indonesia berperan mendorong kawasan Banten
sebagai provinsi tersendiri yang kemudian ditetapkan melalui
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Selain itu masyarakat
Banten telah menjadi satu kumpulan etnik tersendiri yang diwarnai
oleh perpaduan antar-etnis yang pernah ada pada masa kejayaan
Kesultanan Banten, dan keberagaman ini pernah menjadikan
masyarakat Banten sebagai salah satu kekuatan yang dominan di
Nusantara.

Daftar Sultan Banten

Halaman 329 dari 883


Berikut adalah daftar sultan Banten :

No Masa/ Nama Sultan Nama Lain Keterangan


. Tahun
Sultan Syarif Sultan ke-2
Sunan Gunung Jati
Hidayatullah Kesultanan Cirebon
8 Oktober 1526 M (1
Muharam 933 H) -
1552 - Sultan Maulana
1 Pangeran Sabakinking 1552 M, sebagai
1570 Hasanuddin
kadipaten di bawah
Kesultanan Cirebon
1570 - Sultan Maulana
2 Pangeran Pasareyan
1585 Yusuf
• Pangeran Sedangrana
1585 - Sultan Maulana
3 • Prabu Seda ing
1596 Muhammad
Palembang
Sultan Abdul
1596 - • Pangeran Ratu
4 Mafakhir Mahmud
1647 • Sultan Agung
Abdulkadir
1647 - Sultan Abu al-Ma'ali • Pangeran Anom
5
1651 Ahmad • Sultan Kilen
• Abu al-Fath Abdul
1651 - Sultan Ageng Fattah
6 1683 Tirtayasa[73] • Pangeran Dipati
• Pangeran Surya
1683 - Sultan Abu Nashar • Sultan Haji
7 (Catatan) 1
1687 Abdul Qahar • Pangeran Dakar
1687 - Sultan Abu al-Fadhl
8
1690 Muhammad Yahya
Sultan Abu al- • Pangeran Adipadi
1690 -
9 Mahasin Muhammad • Kang Sinihun ing
1733
Zainulabidin Nagari Banten
Sultan Abdullah
1733 -
10 Muhammad Syifa
1750
Zainularifin
1750 - Sultan Syarifuddin dalam pengaruh Ratu
Pangeran Syarifuddin
1752 Ratu Wakil2 Syarifah Fatima[74][75]
1752 - Sultan Abu al-Ma'ali
11 Pangeran Arya Adisantika
1753 Muhammad Wasi
Sultan Abu al-Nasr
1753 -
12 Muhammad Arif
1773
Zainulasyiqin

Halaman 330 dari 883


1773 - Abu al-Mafakhir
13 Sultan Aliyuddin I
1799 Muhammad Aliyuddin
Sultan Muhammad
1799 -
14 Muhyiddin
1801
Zainussalihin
1801 - Sultan Muhammad
15
1802 Ishaq Zainulmuttaqin
Untuk sementara
administrasi
Caretaker Sultan Kesultanan Banten
1802 -
Wakil Pangeran dipegang oleh
1803
Natawijaya seorang Caretaker
Sultan Wakil
Pangeran Natawijaya
1803 - Abu al-Mafakhir
16 Sultan Aliyuddin II
1808 Muhammad Aqiluddin
Untuk sementara
administrasi
Kesultanan Banten
Caretaker Sultan
1808 - dipegang oleh
Wakil Pangeran
1809 seorang Caretaker
Suramenggala
Sultan Wakil
Pangeran
Suramenggala
Sultan Maulana Muhammad bin
1809 -
17 Muhammad Muhammad Muhyiddin
1813
Shafiuddin Zainussalihin
Catatan:
1. Penobatan ini disertai beberapa persyaratan. Persyaratan tersebut kemudian dituangkan dalam

sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 17 April 1684 yang meminimalkan kedaulatan Banten
karena dengan perjanjian itu segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan dalam dan luar negeri
harus atas persetujuan VOC.
2.Ketika Sultan Abdullah Muhammad Syifa Zainularifin dibuang ke Ambon, istrinya Ratu
Syarifah Fatima berhasil membujuk Belanda (Baron van Inhoff) untuk menobatkan putranya dari
suami terdahulu sebagai Sultan Banten. Pangeran Syarifuddin naik takhta dengan gelar Sultan
Syarifuddin Ratu Wakil, tetapi pada kenyataannya yang berkuasa adalah Ratu Syarifah Fatima.[76]
Hal tersebut yang menyebabkan tidak diakuinya Sultan Abdullah Muhammad Syifa Zainularifin
maupun Ratu Syarifah Fatima sebagai Sultan Banten ke-11.

Referensi

Halaman 331 dari 883


• Hussein Jayadiningrat, Critische • Guillot, Claude, Lukman Nurhakim,
Beschouwing van de Sadjarah-Banten, Sonny Wibisono, "La principauté de
Disertasi Doktor, 3 Mei 1913, Universitas Banten Girang" ("Kerajaan Banten
Leiden. Girang"), Archipel, Tahun 1995, Volume
• Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, 50, halaman 13-24
Sonny Wibisono, Banten avant l'Islam - • Ricklefs, M. C., A History of Modern
Etude archéologique de Banten Girang Indonesia since c. 1200, 2008 (terbitan
(Java Indonésie) 932 (?)-1526 ("Banten ke-4)
sebelum Islam - Studi arkeologis tentang • Zamhir, Drs. (1996). Mengenal Museum
Banten Girang 932 (?)-1526"), École Prabu Geusan Ulun serta Riwayat
française d'Extrême-Orient, 1994, ISBN Leluhur Sumedang. Yayasan Pangeran
2-85539-773-1 Sumedang. Sumedang.
• Darsa, Undang A. 2004. “Kropak 406; • Sukardja, Djadja. (2003). Kanjeng Prebu
Carita Parahyangan dan Fragmen Carita R.A.A. Kusumadiningrat Bupati Galuh
Parahyangan“, Makalah disampaikan Ciamis th. 1839 s / d 1886. Sanggar SGB.
dalam Kegiatan Bedah Naskah Kuno Ciamis.
yang diselenggarakan oleh Balai • Sulendraningrat P.S. (1975). Sejarah
Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga. Cirebon dan Silsilah Sunan Gunung Jati
Bandung-Jatinangor: Fakultas Sastra Maulana Syarif Hidayatullah. Lembaga
Universitas Padjadjaran: hlm. 1 – 23. Kebudayaan Wilayah III Cirebon.
• Ekadjati, Edi S. 1995. Sunda, Nusantara, Cirebon.
dan Indonesia; Suatu Tinjauan Sejarah. • Sunardjo, Unang, R. H., Drs. (1983).
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Kerajaan Carbon 1479-1809. PT. Tarsito.
dalam Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Bandung.
Universitas Padjadjaran pada Hari Sabtu,
• Suparman, Tjetje, R. H., (1981). Sajarah
16 Desember `1995. Bandung:
Sukapura. Bandung
Universitas Padjadjaran.
• Surianingrat, Bayu., Drs. (1983). Sajarah
• Ekadjati, Edi S. 1981. Historiografi Kabupatian I Bhumi Sumedang
Priangan. Bandung: Lembaga
1550-1950. CV.Rapico. Bandung.
Kebudayaan Universitas Padjadjaran.
• Soekardi, Yuliadi. (2004). Kian Santang.
• Ekadjati, Edi S. (Koordinator). 1993. CV Pustaka Setia.
Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat.
Bandung: Pemerintah Provinsi Daerah • Soekardi, Yuliadi. (2004). Prabu
Tingkat I Jawa Barat. Siliwangi. CV Pustaka Setia.
• Raffles, Thomas Stamford. 1817. The • Tjangker Soedradjat, Ade. (1996). Silsilah
History of Java, 2 vols. London: Block Wargi Pangeran Sumedang Turunan
Parbury and Allen and John Murry. Pangeran Santri alias Pangeran
Koesoemadinata I Penguasa Sumedang
• Raffles, Thomas Stamford. 2008. The Larang 1530-1578. Yayasan Pangeran
History of Java (Terjemahan Eko
Sumedang. Sumedang.
Prasetaningrum, Nuryati Agustin, dan
Idda Qoryati Mahbubah). Yogyakarta: • Widjajakusuma, Djenal Asikin., Raden
Narasi. Dr. (1960). Babad Pasundan, Riwajat
Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna
• Z., Mumuh Muhsin. Sunda, Priangan, Karadjaan Pdjadjaran Dina Taun 1580.
dan Jawa Barat. Makalah disampaikan
Kujang. Bandung.
dalam Diskusi Hari Jadi Jawa Barat,
diselenggarakan oleh Harian Umum • Winarno, F. G. (1990). Bogor Hari Esok
Pikiran Rakyat Bekerja Sama dengan Masa Lampau. PT. Bina Hati. Bogor.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa • Olthof, W.L. (cetakan IV 2008). Babad
Barat pada Selasa, 3 November 2009 di Tanah Jawi - mulai dari Nabi Adam
Aula Redaksi HU Pikiran Rakyat. sampai tahun 1647. PT. Buku Kita.
• Uka Tjandrasasmita. (2009). Arkeologi Yogyakarta Bagikan.
Islam Nusantara. Kepustakaan Populer • A. Sobana Hardjasaputra, H.D. Bastaman,
Gramedia. Edi S. Ekadjati, Ajip Rosidi, Wim van
Halaman 332 dari 883
BAB 18
KESULTANAN BANJAR : MUTIARA ISLAM DARI
KALIMANTAN

Wilayah Banjar yang lebih kuno terbentang dari Tanjung Sambar sampai
Tanjung Aru

Sang Dewa (Sadewa) puteranya Maharaja Pandu Dewata adalah leluhur Raja-raja Banjar
menurut Hikayat Sang Bima.

Halaman 333 dari 883


Gambar kraton/istana kenegaraan Kesultanan Banjar di Martapura pada tahun
1843.

Profil Bangsawan Banjar sekitar tahun 1850 koleksi Museum Lambung


Mangkurat.

Halaman 334 dari 883


Profil gadis Banjar sekitar tahun 1850 koleksi Museum Lambung Mangkurat.

Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin atau


Kerajaan Banjar adalah sebuah kesultanan yang wilayahnya saat
ini termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia.
Wilayah Banjar yang lebih luas terbentang dari Tanjung Sambar
sampai Tanjung Aru. Kesultanan ini semula beribu kota di
Banjarmasin kemudian dipindahkan ke beberapa tempat dan
terkahir di Martapura. Ketika beribu kota di Martapura disebut juga
Kerajaan Kayu Tangi.

Kerajaan Banjar berdiri pada Tahun 1520 dan menjadi


Kesultanan Banjar sejak 1526 Lalu dihapuskan sepihak oleh
Belanda pada 11 Juni 1860. Namun rakyat Banjar tetap mengakui
ada pemerintahan darurat/pelarian yang baru berakhir pada 24

Halaman 335 dari 883


Januari 1905. Namun sejak 24 Juli 2010, Kesultanan Banjar hidup
kembali dengan dilantiknya Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu'tashim
Billah,[1] berlandaskan Permendagri No. 39 tahun 2007 tentang
Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan Bidang
Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan
Pengembangan Budaya Daerah. Tugas melestarikan lembaga
keraton, adat-istiadat, budaya, dan sejenisnya ini dibebankan kepada
kepala daerah dan masyarakat.[20] Lewat wewenang tersebut, Sultan
Khairul Saleh (Sultan Banjar sekarang) menjalin silaturahmi dengan
tokoh-tokoh raja dan sultan se-Nusantara melalui berbagai forum
komunikasi kekerabatan guna melestarikan kebudayaan masing-
masing daerah di Indonesia. Kegiatan ini tak hanya lingkup nasional
bahkan bersifat Internasional.[21]

Wilayah terluas kerajaan ini pada masa kejayaannya disebut


empire/kekaisaran Banjar membawahi beberapa negeri yang
berbentuk kesultanan, kerajaan, kerajamudaan, kepengeranan,
keadipatian dan daerah-daerah kecil yang dipimpin kepala-kepala
suku Dayak.

Ketika ibu kotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan


ini disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar
merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan
Hindu yang beribu kota di kota Negara, sekarang merupakan ibu
kota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.

Tradisi lebih lanjut menyatakan bahwa setelah kematian


Ampoe Djatmaka (pendiri Negara Dipa), putranya, Limbong

Halaman 336 dari 883


Mengkoerat, berhasil membawa keajaiban yang muncul dari aliran,
Poetri Djoendjoeng Boeih, seorang putri keluarganya, menikahi
seorang Pangeran Jawa dari Madjapahit., yang memerintah dengan
nama Maharaja Soeria Nata dan dianggap sebagai pendiri
kekaisaran dan leluhur para pangeran Bandjermasin. Peristiwa itu
dan seringnya sentuhan yang ada di antara kedua wilayah itu
mungkin merupakan alasan bahwa fondasi Bandjermasin dikaitkan
dengan sebuah koloni Jawa. Agaknya Maharaja Soeria Nata tidak
lain adalah Tjakra Nagara, putra pangeran Madjapahit, yang,
menurut Kronik Jawa Raffles, dikirim ke Bandjermasin dengan
banyak kapal dan pasukan sebagai penguasa sekitar tahun 1437,
yang, kerajaan sebelumnya telah ditundukkan oleh jenderal Ratu
Pengging (Andayaningrat).[23]

Kekaisaran sekarang menikmati kedamaian dan


kemakmuran di antara serangkaian penguasa dari rumah suku asli,
dan perbatasannya meluas dari Solok (Karasikan) ke Sambas di
sepanjang pantai selatan dan timur Kalimantan. Situasi ini
berlangsung hingga akhir abad ke-16, ketika pangeran Sakar
Soengsang, yang melewati anak-anaknya sendiri, menunjuk Radhen
Samudra, putra dari putrinya, sebagai penerus takhta, menciptakan
perang sipil yang sengit. Radhen, yang belakangan menjadi
pangeran Samudra, yang tidak mampu menang, meminta dan
mendapatkan bantuan Sulthan dari Damak, dengan syarat bahwa ia
dan rakyatnya akan memeluk doktrin Muslim dan membayar upeti
kepada pangeran itu. Diperkuat oleh bantuan Jawa, Pangeran segera

Halaman 337 dari 883


mengalahkan lawan-lawannya dan naik tahta dengan gelar Sulthan.
[23]

Setelah mencapai tujuannya, sulthan baru (Hidayatullah 1)


segera lupa untuk memenuhi perkiraan yang telah ditentukan; tetapi
ancaman-ancaman berikutnya dari atasannya memiliki efek yang
cukup untuk memaksa dia kembali ke Jawa untuk memuaskan sang
pangeran. Di sana ia dipenjara karena ketidaksetiaannya dan hanya
dibebaskan melalui mediasi putranya (Raden Senapati Sultan
Mustain Billah), tentu saja tidak dengan pengorbanan besar. Dengan
semakin melemahnya para pangeran Jawa, tampaknya tidak lama
setelah itu supremasi mereka atas Banjarmasin, yang telah dipecah
beberapa kali, tampaknya telah berakhir untuk selamanya, dan
sebagai tindakan terakhir subordinasi kerajaan Jawa ini saya
menemukan catatan mengirimkan kedutaan pada tahun 1642 kepada
sulthan Agoeng raja Mataram.[23]

Sejarah
Menurut mitologi suku Maanyan (suku tertua di Kalimantan
Selatan), kerajaan pertama di Kalimantan bagian selatan adalah
Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah kekuasaannya
terbentang luas mulai dari daerah Tabalong ke Pamukan hingga ke
daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan
tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebuah
kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di
daerah ini dan telah melakukan hubungan dengan pulau
Madagaskar. sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke
pedalaman (wilayah suku Lawangan). Salah satu peninggalan
Halaman 338 dari 883
arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang
terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan
pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang
menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM
(Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20).

Menilik dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan


Sarunai/Kerajaan Tabalong/Kerajaan Tanjungpuri usianya lebih tua
600 tahun dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di
Kalimantan Timur.

Menurut Hikayat Sang Bima, wangsa yang menurunkan


raja-raja Banjar adalah Sang Dewa bersaudara dengan wangsa yang
menurunkan raja-raja Bima (Sang Bima), raja-raja Bali (Sang
Kuala), raja-raja Dompu(Darmawangsa), raja-raja Gowa (Sang
Rajuna) yang merupakan lima bersaudara putera-putera dari
Maharaja Pandu Dewata.[24][25]

Sesuai Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), di Kalimantan


telah berdiri suatu pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang
terus menerus berlanjut hingga daerah ini digabungkan ke dalam
Hindia Belanda pada 11 Juni 1860, yaitu:

1. Keraton awal disebut Kerajaan Kuripan


2. Keraton I disebut Kerajaan Negara Dipa
3. Keraton II disebut Kerajaan Negara Daha
4. Keraton III disebut Kesultanan Banjar
5. Keraton IV disebut Kerajaan Martapura/Kayu Tangi
6. Keraton V disebut Pagustian

Halaman 339 dari 883


Maharaja Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar
penggantinya adalah cucunya Raden Samudera, anak dari putrinya
Puteri Galuh Intan Sari. Ayah dari Raden Samudera adalah Raden
Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan, saudara Maharaja
Sukarama. Wasiat tersebut menyebabkan Raden Samudera terancam
keselamatannya karena para putra Maharaja Sukarama juga
berambisi sebagai raja yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran
Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung.

Dibantu oleh Arya Taranggana, Pangeran Samudra


melarikan diri dengan sampan ke hilir sungai Barito. Sepeninggal
Sukarama, Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Negara Daha,
selanjutnya digantikan Pangeran Tumenggung yang juga putra
Sukarama. Pangeran Samudra yang menyamar menjadi nelayan di
daerah Balandean dan Kuin, ditampung oleh Patih Masih di
rumahnya. Oleh Patih Masih bersama Patih Muhur, Patih Balitung
diangkat menjadi raja yang berkedudukan di Bandarmasih.

Pangeran Tumenggung melakukan penyerangan ke


Bandarmasih. Pangeran Samudra dibantu Kerajaan Demak dengan
kekuatan 40.000 prajurit dengan armada sebanyak 1.000 perahu
yang masing-masing memuat 400 prajurit mampu menahan
serangan tersebut.[26]) Akhirnya Pangeran Tumenggung bersedia
menyerahkan kekuasaan Kerajaan Negara Daha kepada Pangeran
Samudra. Kerajaan Negara Daha kemudian dilebur menjadi
Kesultanan Banjar yang beristana di Bandarmasih. Sedangkan
Pangeran Tumenggung diberi wilayah di Batang Alai.

Halaman 340 dari 883


Pangeran Samudra menjadi raja pertama Kerajaan banjar
dengan gelar Sultan Suriansyah. Ia pun menjadi raja pertama yang
masuk islam dibimbing oleh Khatib Dayan.

Masa kejayaan
Kesultanan Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada
dekade pertama abad ke-17 dengan lada sebagai komoditas dagang,
secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau Kalimantan
membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya
Kesultanan Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak,
tetapi pada masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan Demak,
Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa.[27]

Supremasi Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh


Tuban pada tahun 1615 untuk menaklukkan Banjarmasin dengan
bantuan Madura (Arosbaya) dan Surabaya, tetapi gagal karena
mendapat perlawanan yang sengit.[28]

Sultan Agung dari Mataram (1613–1646), mengembangkan


kekuasaannya atas pulau Jawa dengan mengalahkan pelabuhan-
pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan Gresik (1610),
Tuban (1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun
1622 Mataram kembali merencanakan program penjajahannya
terhadap kerajaan sebelah selatan, barat daya dan tenggara pulau
Kalimantan, dan Sultan Agung menegaskan kekuasaannya atas
Kerajaan Sukadana tahun 1622.[29]

Seiring dengan hal itu, karena merasa telah memiliki


kekuatan yang cukup dari aspek militer dan ekonomi untuk

Halaman 341 dari 883


menghadapi serbuan dari kerajaan lain, Sultan Banjar mengklaim
Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit,
Mendawai, Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau
Laut, Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan sebagai vazal dari
kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636.[30][31][32][33]

Sejak tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi


serangan Kesultanan Mataram, tetapi karena kekurangan logistik,
maka rencana serangan dari Kesultanan Mataram sudah tidak ada
lagi. Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari pulau Jawa secara
besar-besaran sebagai akibat dari korban agresi politik Sultan
Agung. Kedatangan imigran dari Jawa mempunyai pengaruh yang
sangat besar sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan
menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa.

Disamping menghadapi rencana serbuan-serbuan dari


Mataram, kesultanan Banjarmasin juga harus menghadapi kekuatan
Belanda. Pada tahun 1637 Banjarmasin dan Mataram mengadakan
perdamaian setelah hubungan yang tegang selama bertahun-tahun.
[28] Perang Makassar (1660-1669) menyebabkan banyak pedagang

pindah dari Somba Opu, pelabuhan kesultanan Gowa ke


Banjarmasin.[34] Mata uang yang beredar di Kesultanan Banjar
disebut doit.[35]

Sebelum dibagi menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil),


wilayah asal Kesultanan Banjar meliputi provinsi Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan
Kerajaan Tanjungpura pada lokasi Tanjung Sambar (Ketapang) dan

Halaman 342 dari 883


sebelah timur berbatasan dengan Kesultanan Pasir pada lokasi
Tanjung Aru. Pada daerah-daerah pecahannya, rajanya bergelar
Pangeran, hanya di Kesultanan Banjar yang berhak memakai gelar
Sultan. Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim upeti kepada
Kesultanan Banjar, termasuk Kesultanan Pasir yang ditaklukan
tahun 1636 dengan bantuan Belanda.

Kesultanan Banjarmasin merupakan kerajaan terkuat di


pulau Kalimantan.[36] Sultan Banjar menggunakan perkakas
kerajaan yang bergaya Hindu.[37][38]

Wilayah Kesultanan Banjar


Wilayah Kesultanan Banjar Raya adalah negeri-negeri
yang menjadi wilayah pengaruh mandala Kesultanan Banjar
khususnya sampai pertengahan abad ke-17 dan abad sebelumnya.

Kesultanan Banjar merupakan penerus dari kerajaan Hindu


di Kalimantan Selatan dengan wilayah inti meliputi 5 distrik besar
di Kalimantan Selatan yaitu Kuripan (Amuntai), Daha (Nagara-
Margasari), Gagelang (Alabio), Pudak Sategal (Kalua) dan Pandan
Arum (Tanjung).[44] Sejak awal abad ke-16 berdirilah Kesultanan
Banjar yang bertindak sebagai wakil Kesultanan Demak di
Kalimantan. Menurut Hikayat Banjar sejak zaman pemerintahan
kerajaan Hindu, wilayah yang termasuk mandala Kerajaan Banjar
meliputi daerah taklukan paling barat adalah negeri Sambas
(Kerajaan Sambas kuno) sedangkan wilayah taklukan paling timur
adalah negeri Karasikan (Banjar Kulan/Buranun). Dahulu kala
batas-batas negeri/kerajaan adalah antara satu tanjung dengan

Halaman 343 dari 883


tanjung lainnya sedangkan penduduk daerah pedalaman dianggap
takluk kepada kerajaan bandar yang ada di hilir misalnya terdapat 3
suku besar Dayak yaitu Dayak Biaju, Dayak Dusun dan Dayak Pari
(Ot Danum) yang merupakan bagian dari rakyat kerajaan Banjar.
Kesultanan Brunei merupakan kesultanan yang pertama di pulau
Kalimantan, dan kemudian disusul berdirinya Kesultanan Banjar
tahun 1526. Kedua kesultanan merupakan saingan. Kesultanan
Brunei menjadi penguasa tunggal di wilayah utara Kalimantan.
Pada masa kejayaannya Kesultanan Banjar mampu menyaingi
kekayaan Kesultanan Brunei dan menarik upeti kepada raja-raja
lokal.[45]

Teritorial kerajaan Banjar pada abad ke 15-17 dalam tiga


wilayah meskipun terminologi ini tidak dipergunakan dalam sistem
politik dan pemerintahan dalam kerajaan, yaitu:

1. Negara Agung (wilayah sentral budaya Banjar yaitu wilayah


Banjar Kuala, Batang Banyu dan Pahuluan)
2. Mancanegara (daerah rantau: Kepangeranan Kotawaringin,
Tanah Dusun, Tanah Laut, Pulau Laut, Tanah Bumbu, dan Paser)
3. Daerah Pesisir (daerah tepi/terluar: Kalimantan Barat dan
Kalimantan Timur/Utara)
Pada mulanya ibu kota Kesultanan Banjar adalah
Banjarmasin kemudian pindah ke Martapura.[46] Pada masa
kejayaannya, wilayah yang pernah diklaim sebagai wilayah
pengaruh mandala kesultanan Banjar meliputi titik pusat yaitu istana
raja di Martapura dan berakhir pada titik luar dari negeri Sambas di
barat laut sampai ke negeri Karasikan (Banjar Kulan/Buranun) di
Halaman 344 dari 883
timur laut yang letaknya jauh dari pusat kesultanan Banjar. Negeri
Sambas dan Karasikan (Banjar Kulan/Buranun) pernah mengirim
upeti kepada raja Banjar. Selain itu dalam Hikayat Banjar juga
disebutkan negeri-negeri di Batang Lawai, Sukadana, Bunyut (Kutai
Hulu) dan Sewa Agung/Sawakung).[30] Negeri-negeri bekas milik
Tanjungpura yaitu Sambas, Batang Lawai, dan Sukadana terletak di
sebelah barat Tanjung Sambar. Pulau Kalimantan kuno terbagi
menjadi 3 wilayah kerajaan besar: Brunei (Borneo), Tanjungpura
(Sukadana) dan Banjarmasin. Tanjung Sambar merupakan
perbatasan kuno antara wilayah mandala Sukadana/Tanjungpura
dengan wilayah mandala Banjarmasin (daerah Kotawaringin).
Menurut sumber Inggris, Tanjung Kanukungan (sekarang Tanjung
Mangkalihat) adalah perbatasan wilayah mandala Banjarmasin
dengan wilayah mandala Brunei, tetapi Hikayat Banjar mengklaim
daerah-daerah di sebelah utara dari Tanjung Kanukungan/
Mangkalihat yaitu Kerajaan Berau kuno juga pernah mengirim upeti
kepada Kerajaan Banjar Hindu, dan sejarah membuktikan daerah-
daerah tersebut dimasukkan dalam wilayah Hindia Belanda.[47][48]
Perbatasan di pedalaman, daerah aliran sungai Pinoh (sebagian
Kabupaten Melawi) termasuk dalam wilayah Kerajaan
Kotawaringin (bawahan Banjarmasin) yang dinamakan daerah
Lawai[49] Sanggau dan Sintang juga dimasukan dalam wilayah
pengaruh mandala Kesultanan Banjar. Dari bagian timur
Kalimantan sampai ke Tanjung Sambar terdapat beberapa distrik/
kerajaan kecil yang berada di bawah pengaruh mandala kekuasaan
Sultan Banjar yaitu Berau, Kutai, Paser, Tanah Bumbu, Tanah Laut,
Tatas, Dusun Hulu, Dusun Ilir, Bakumpai, Dayak Besar (Kahayan),
Halaman 345 dari 883
Dayak Kecil (Kapuas Murung), Mendawai, Sampit, Pembuang, dan
Kotawaringin. Inilah yang disebut "negara Kerajaan Banjar".
Daerah-daerah kekuasaan Sultan Banjar yang paling terasa di Paser,
Tanah Bumbu, Tanah Laut, Bakumpai dan Dusun.[50] Terminologi
wilayah Tanah Seberang, tidak ada dalam wilayah Kesultanan
Banjar, karena tidak memiliki jajahan di luar kepulauan Kalimantan,
walaupun orang Banjar juga merantau sampai keluar pulau
Kalimantan.[51]

Kerajaan Banjar menaungi hingga ke wilayah Sungai


Sambas adalah dari awal abad ke-15 M hingga pertengahan abad
ke-16 M yaitu pada masa Kerajaan Melayu hindu Sambas yang
menguasai wilayah Sungai Sambas. Kerajaan Melayu hindu Sambas
ini kemudian runtuh pada pertengahan abad ke-16 M dan
dilanjutkan dengan Panembahan Sambas hindu yang merupakan
keturunan Bangsawan Majapahit dari Wikramawadhana. Pada saat
memerintah Panembahan Sambas hindu ini bernaung dibawah
Dipati/Panembahan Sukadana (bawahan Sultan Banjar) sampai awal
abad ke-17 M yang kemudian beralih bernaung dibawah Kesultanan
Johor. Panembahan Sambas hindu ini kemudian runtuh pada akhir
abad ke-17 M dan digantikan dengan Kesultanan Sambas yang
didirikan oleh keturunan Sultan Brunei melalui Sultan Tengah pada
tahun 1675 M. Sejak berdirinya Kesultanan Sambas hingga
seterusnya Kesultanan Sambas adalah berdaulat penuh yaitu tidak
pernah bernaung atau membayar upeti kepada pihak manapun
kecuali pada tahun 1855 yaitu dikuasai / dikendalikan
pemerintahannya oleh Hindia Belanda (seperti juga Kerajaan-

Halaman 346 dari 883


Kerajaan lainnya diseluruh Nusantara terutama di Pulau Jawa yang
saat itu seluruhnya yang berada dibawah Pemerintah Hindia
Belanda di Batavia) yaitu pada masa Sultan Sambas ke-12 (Sultan
Umar Kamaluddin).

Dalam perjalanan sejarah ketetapan wilayah Kesultanan


Banjar tersebut tidak dapat dilihat dengan jelas dengan batas yang
tetap karena dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan batas
wilayah yang fleksibel disebabkan oleh berkembangnya atau
menurunnya kekuasaan Sultan Banjar.

Sejak ibu kota dipindahkan ke Daerah Martapura[52] maka kota


Martapura sebagai Kota Raja merupakan wilayah/ring pertama dan
pusat pemeritahan Sultan Banjar.

Wilayah teritorial/ring kedua, Negara Agung terdiri dari:

1. Tanah Laut atau Laut Darat terdiri:


• Satui
• Tabunio. Diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13
Agustus 1787.
• Maluka, daerah yang dikuasai Inggris pada 1815 –
1816 yaitu Maluka, Liang Anggang, Kurau dan Pulau
Lamai.
2. Daerah Banjar Lama/Kuin (Banjarmasin bagian Utara) dan
Pulau Tatas (Banjarmasin bagian Barat). Tahun 1709[53][54]
atau Tahun 1747 Belanda mendirikan benteng di Pulau Tatas
(Banjarmasin bagian barat) merupakan daerah yang mula-
mula dimiliki VOC_Belanda.[55] Pulau Tatas termasuk

Halaman 347 dari 883


daerah yang diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13
Agustus 1787, selanjutnya Mantuil sampai Sungai Mesa
diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826,
sedangkan Banjar Lama (Kuin) sampai perbatasan daerah
Margasari masih tetap sebagai wilayah kesultanan sampai
1860.
3. Margasari. Wilayah kerajaan sampai 1860.
4. Banua Ampat artinya banua nang empat yaitu Banua
Padang, Banua Halat, Banua Parigi dan Banua Gadung.
Wilayah kesultanan sampai 1860.
5. Amandit. Wilayah kerajaan sampai 1860.
6. Labuan Amas. Wilayah kerajaan sampai 1860.
7. Alay. Wilayah kerajaan sampai 1860.
8. Banua Lima artinya lalawangan nang lima yaitu Negara,
Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua. Wilayah kerajaan
sampai 1860.
9. Pulau Bakumpai yaitu tebing barat sungai Barito dari kuala
Anzaman ke hilir sampai kuala Lupak. Diserahkan kepada
Hindia Belanda pada 4 Mei 1826 bersama daerah Pulau
Burung.
10. Tanah Dusun yaitu dari kuala Marabahan sampai hulu
sungai Barito. Pada 13 Agustus 1787, Dusun Atas
diserahkan kepada VOC-Belanda tetapi daerah Mengkatip
(Dusun Hilir) dan Tamiang Layang (Dusun Timur) dan
sekitarnya tetap termasuk daalam wilayah inti Kesultanan
Banjar hingga dihapuskan oleh Belanda tahun 1860.

Halaman 348 dari 883


Teritorial/ring ketiga, yaitu Mancanegara, dengan tambahan
kedua daerah ini merupakan wilayah asal Kesultanan Banjar
sebelum pemekaran yang terdiri dari:
◦ Wilayah Barat yaitu wilayah Negara bagian
Kotawaringin dan Tanah Dayak (Biaju) yaitu
meliputi daerah Kerajaan Kotawaringin (dengan
distrik-distriknya: Jelai dan Kumai), Pembuang,
Sampit, Mendawai serta daerah milik Kotawaringin
di Kalbar yang dihuni Dayak Ot Danum yaitu Lawai
atau Pinoh (sebagian Kabupaten Melawi) yang
letaknya bersebelahan dengan kawasan udik sungai
Katingan/Mendawai dan berbatasan dengan Kerajaan
Sintang. Perbatasan Kerajaan Kotawaringin dengan
Kerajaan Sukadana/Matan terletak di Tanjung
Sambar. Juga turut diklaim wilayah Tanah Dayak
(Rumpun Ot Danum), yang berpusat mandala di
udik sungai Kahayan (Tumbang Anoi) yaitu daerah-
daerah suku Dayak Biaju dan Dayak Pari (Ot
Danum) beserta semua daratan yang takluk
kepadanya. Semua distrik-distrik di wilayah Tanah
Kotawaringin dan Tanah Dayak diserahkan kepada
VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787. Secara resmi
daerah-daerah Dayak pedalaman tersebut diduduki
Belanda sejak Perjanjian Tumbang Anoi pada Tahun
1894.

Halaman 349 dari 883


◦ Wilayah Timur (Kalimantan Tenggara): yaitu Negara
bagian Paser dan Negara bagian Tanah Bumbu.
Kerajaan Paser didirikan oleh seorang panglima
Kerajaan Banjar atau Kuripan-Daha, sehingga sejak
semula takluk kepada Kesultanan Banjar, namun
belakangan berada di bawah pengaruh La
Madukelleng. Tahun 1703 Tanah Paser berubah dari
pemerintahan Panembahan menjadi kesultanan,
daerah ini diserahkan kepada Hindia Belanda pada
13 Agustus 1787 dan dimulai pada masa Sultan Paser
Sultan Mahmud Han menjalin kontrak politik dengan
Hindia Belanda. Kerajaan Tanah Bumbu didirikan
Pangeran Dipati Tuha bin Sultan Saidullah, yang
pada mulanya mencakup kawasan mulai Tanjung Aru
sampai Tanjung Silat, belakangan wilayah intinya
terutama terdiri atas 7 divisi: Cengal (Pamukan),
Manunggul, Sampanahan, Bangkalaan (Kelumpang),
Cantung, Buntar-Laut dan Batulicin. Pada bulan Juli
1825, Raja Aji Jawi, penguasa Tanah Bumbu yang
memiliki 6 daerah (Cengal, Manunggul,
Sampanahan, Bangkalaan, Cantung, Buntar-Laut)
membuat kontrak politik dengan Hindia Belanda
yang menjadikan Tanah Bumbu sebagai swapraja.
Tahun 1841, negeri Sampanahan di bawah Pangeran
Mangku Bumi (Gusti Ali) menjadi swapraja terpisah
dari wilayah Tanah Bumbu lainnya. Tahun 1846
Buntar-Laut dianeksasi/diintegrasikan oleh penguasa
Halaman 350 dari 883
Cantung yang kelak menjadi swapraja tersendiri
terpisah dari wilayah Tanah Bumbu di bawah Raja
Aji Mandura sebagai Raja Cantung dan Buntar-Laut.
Negeri Batulicin di bawah Pangeran Aji Musa,
kemudian digantikan puteranya Pangeran Abdul
Kadir yang kelak mendapatkan negeri Kusan dan
Pulau Laut. Kerajaan Kusan pada mulanya didirikan
Sultan Amir bin Sultan Muhammadillah rival Sunan
Nata Alam dalam memperebutkan tahta Kesultanan
Banjar. Sultan Banjar melantik Hasan La Pangewa
sebagai kapten suku Bugis bergelar Kapitan Laut
Pulo sebagai penguasa Pagatan setelah ia berhasil
mengusir Sultan Amir dari Kerajaan Kusan. Di masa
Arung Botto, Raja Pagatan menjalin kontrak sebagai
swapraja di bawah Hindia Belanda. Belakangan
wilayah Kusan digabung dengan Tanah Pagatan dan
kemudian Hindia Belanda membentuk pula swapraja
Sabamban. Wilayah Kalimantan Tenggara ini
diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus
1787, ditegaskan lagi pada tahun 1826. Pada akhir
abad ke-19 Hindia Belanda menjadikannya
Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dengan 11
swapraja yang meliputi Kesultanan Paser dan
wilayah Tanah Bumbu (Sabamban, Kusan, Pagatan,
Batu Licin, Pulau Laut dengan Pulau Sebuku,
Bangkalaan, Cantung dengan Buntar-Laut,
Sampanahan, Manunggul, Cengal). Semua kerajaan
Halaman 351 dari 883
ini termasuk ke dalam Borneo Timur di bawah
Asisten Residen yang berkedudukan di Samarinda
sejak tahun 1846.
• Teritorial/ring keempat, adalah Pesisir yaitu daerah terluar,
maka dengan tambahan kedua wilayah ini teritorial kerajaan
semakin bertambah luas lebih kurang sama dengan Provinsi
Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda. Perjanjian
Sultan Tamjidullah I dengan VOC pada 20 Oktober 1756
yang berencana untuk menaklukan kembali daerah-daerah
yang melepaskan diri yaitu Sanggau, Sintang, Lawai, Paser,
Kutai dan Berau. Daerah Pesisir terdiri dari:[56]
◦ Pesisir Timur disebut tanah yang di atas angin
meliputi kawasan timur Kalimantan dan jika
digabung dengan kawasan selatan Kalimantan
menjadi Karesidenan Afdeeling Selatan dan Timur
Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda.[57]
Kerajaan-kerajaan di Kaltim tergolang sebagai
negara dependen di dalam Kesultanan Banjar.[58]
• Wilayah Negara bagian Kutai. Tahun 1735 Kerajaan Kutai
Kartanegara berubah dari pemerintahan Pangeran Adipati
menjadi kesultanan. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada
13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826. Tahun 1844 Sultan Kutai
mengakui kedaulatan Hindia Belanda.
• Wilayah Negara bagian Berau/Kuran (sejak 1810-an terbagi
menjadi Gunung Tabur dan Tanjung) beserta daerah-daerah
Berau yang melepaskan diri pada abad ke-18 dan bawah

Halaman 352 dari 883


pengaruh Kesultanan Sulu (& Brunei) yaitu Tanah Bulungan
dan Tanah Tidung. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada
13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826.[59]
• Wilayah terluar di timur yang telah lama melepaskan diri dan
kemudian di bawah pengaruh Brunei yaitu Negara bagian
Karasikan atau Buranun/Banjar Kulan (Banjar Kecil).[48]
[60

• Pesisir Barat disebut tanah yang di bawah angin meliputi


kawasan barat Kalimantan yang kemudian menjadi
Karesidenan Borneo Barat pada masa kolonial Hindia
Belanda.
• Wilayah Batang Lawai atau sungai Kapuas (Negara bagian
Sanggau, Negara bagian Sintang dan Negara bagian Lawai).
[65] Wilayah Batang Lawai mengirim upeti melalui anak-anak

sungai Melawi dilanjutkan dengan jalan darat menuju sungai


Katingan yang bermuara ke laut Jawa dilanjutkan perjalanan
laut dekat sungai Barito di Banjarmasin. Kerajaan Sintang
mulai diperintah Dinasti Majapahit semenjak pernikahan
Patih Logender dari Majapahit dengan Dara Juanti (Raja
Sintang ke-9). Tahun 1600 Raja Sintang mengirim utusan ke
Banjarmasin untuk menyalin kitab suci Al-Quran. Kerajaan
Sintang dan Mlawai (Kabupaten Melawi) dan Jelai termasuk
daerah yang diserahkan oleh Sultan Adam kepada Hindia
Belanda pada 4 Mei 1826. Mlawai sebelumnya termasuk
daerah-daerah yang diserahkan oleh Sunan Nata Alam kepada
VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787. Belakangan Tanah

Halaman 353 dari 883


Sanggau ditaklukan dan berada di bawah supremasi
pemerintahan Sultan Pontianak (protektorat VOC Belanda).
• Wilayah Negara bagian Sukadana/Tanjungpura (sebagian
besar Kalbar)[66] Kerajaan Sukadana/Tanjungpura diperintah
oleh Dinasti Majapahit. Kerajaan Sukadana menjadi vazal
sejak era Kerajaan Banjar-Hindu. Sejak pernikahan Raden
Saradewa/Giri Mustaka dengan Putri Gilang (Dayang Gilang)
cucu Sultan Mustainbillah maka sebagai hadiah perkawinan
Sukadana/Matan dibebaskan dari membayar upeti.[30] Saat itu
Raja Sukadana memiliki bisnis dan tinggal di Banjarmasin
dan termasuk anggota Dewan Mahkota. Pada tahun 1622,
kerajaan Sukadana berubah dari pemerintahan Panembahan
menjadi kesultanan, selanjutnya Panembahan Giri Mustaka
bergelar Sultan Muhammad Safi ad-Din. Pada tahun 1661
Sukadana/Matan terakhir kalinya Sukadana mengirim upeti
kepada Kesultanan Banjar. Di bawah pemerintahan Sultan
Muhammad Zainuddin kembali mengirim upeti sebagai
daerah perlindungan Kesultanan Banjar. Kemudian Sukadana
dianggap sebagai vazal Kesultanan Banten setelah mengalami
kekalahan dalam perang Sukadana-Landak pada tahun 1700
(dimana Landak dibantu Banten & VOC), kemudian Banten
menyerahkan Landak (vazal Banten) dan Tanah Sukadana/
Tanjungpura (sebagian besar Kalbar) kepada VOC-Belanda
pada 26 Maret 1778, kemudian diserahkan oleh VOC di
bawah supremasi pemerintahan Sultan Pontianak, karena itu
gelar Sultan untuk penguasa Sukadana/Matan diubah menjadi
Panembahan[67]
Halaman 354 dari 883
• Wilayah terluar di barat adalah Negara bagian Sambas.
Menurut Hikayat Banjar, sejak era pemerintahan kerajaan
Banjar-Hindu, wilayah Sambas kuno menjadi taklukannya
dan terakhir kalinya Pangeran Adipati Sambas (Panembahan
Sambas) mengantar upeti dua biji intan yang besar yaitu si
Misim dan si Giwang kepada Sultan Banjar IV Marhum
Panembahan (1595-1642).[30][68][69] Pada 1 Oktober 1609,
negeri Sambas menjadi daerah protektorat VOC-Belanda dan
lepas dari pengaruh kesultanan Banjar. Intan Si Misim
kemudian dipersembahkan oleh Sultan Banjar kepada Sultan
Agung, raja Mataram pada bulan Oktober tahun 1641 yang
merupakan persembahan (bukan upeti) terakhir yang dikirim
kepada pemerintahan di Jawa (Kesultanan Mataram).[70][71][72]
Semula Kerajaan Sambas diperintah oleh Dinasti Majapahit
yang bergelar Pangeran Adipati/Panembahan Sambas,
selanjutnya mulai tahun 1675 Tanah Sambas diperintah oleh
Dinasti Brunei dan berubah menjadi kesultanan bernama
Kesultanan Sambas. Tahun 1855 Sambas digabungkan ke
dalam Hindia Belanda sebagai ibu kota dari Karesidenan
Sambas, yang membawahi kerajaan-kerajaan di Kalimantan
Barat.[73]
Pada abad ke-18 Pangeran Tamjidullah I berhasil
memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan
menetapkan Pangeran Nata Dilaga sebagai Sultan yang pertama
sebagai Panembahan Kaharudin Khalilullah. Pangeran Nata
Dilaga yang menjadi raja pertama dinasti Tamjidullah I dalam masa
kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya Susuhunan Nata
Halaman 355 dari 883
Alam pada tahun 1772. Putera dari Sultan Muhammad Aliuddin
Aminullah yang bernama Pangeran Amir, atau cucu Sultan
Hamidullah melarikan diri ke negeri Pasir, dan meminta bantuan
pada pamannya yang bernama Arung Tarawe (dan Ratu Dewi).
Pangeran Amir kemudian kembali dan menyerbu Kesultanan Banjar
dengan pasukan orang Bugis yang besar pada tahun 1757, dan
berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam.
Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di
bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta
bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan
mengirimkan Kapten Hoffman dengan pasukannya dan berhasil
mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir
terpaksa melarikan diri kembali ke negeri Pasir. Beberapa waktu
kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan
kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang
kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan
Pangeran Nata kepada VOC. Dalam pertempuran yang kedua ini
Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke Sri Langka pada tahun
1787. Sesudah itu diadakan perjanjian antara Kesultanan Banjar
dengan VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai
peminjam tanah VOC. Dalam tahun 1826 diadakan perjanjian
kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam,
berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan
perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan
permasalahan mengenai pengangkatan Putra Mahkota dan
Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat kerajaan dalam

Halaman 356 dari 883


bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab
pecahnya Perang Banjar.

Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam


loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26
Ramadhan 1241 H. Selain Sultan Adam al Watsiq Billah, perjanjian
itu juga ditandatangani oleh Paduka Pangeran Ratu (Putra
Mahkota), Pangeran Mangkubumi, Pangeran Dipati, Pangeran
Ahmad dan disaksikan oleh para Pangeran lainnya. Perjanjian inilah
yang menjadi dasar hubungan politik dan ekonomi antara
Kesultanan Banjar dengan pemerintah Hindia Belanda di Batavia.
Dalam perjanjian tersebut Kesultanan Banjar mengakui suzerinitas
atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah
Leenstaat, atau negeri pinzaman. Berdasarkan perjanjian ini maka
kedaulatan kerajaan keluar negeri hilang sama sekali, sedangkan
kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan
dan Residen berperan sebagai agen politik pemerintah kolonial
Hindia Belanda. Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah:[74]

1. Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan


lain kecuali hanya dengan Belanda.
2. Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena
beberapa wilayah menjadi bagian dibawah pemerintahan
langsung Hindia Belanda. Wilayah-wilayah milik Hindia
Belanda seperti tersebut dalam Pasal 4:
i. Pulau Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri
Antasan Kecil.

Halaman 357 dari 883


ii. Pulau Burung mulai Kuala Banjar seberang kanan
sampai di Mantuil,
iii. Mantuil seberang Pulau Tatas sampai ke Timur pada
Rantau Keliling dengan sungai-sungainya Kelayan
Kecil, Kelayan Besar dan kampung di seberang
Pulau Tatas.
iv. Sungai Mesa di hulu kampung Cina sampai ke darat
Sungai Baru sampai Sungai Lumbah.
v. Pulau Bakumpai mulai dari Kuala Banjar seberang
kiri mudik sampai di Kuala Anjaman di kiri ke hilir
sampai Kuala Lupak.
vi. Segala Tanah Dusun semuanya desa-desa kiri kanan
mudik ke hulu mulai Mangkatip sampai terus negeri
Siang dan hilir sampai di Kuala Marabahan.
vii. Tanah Dayak Besar-Kecil dengan semua desa-
desanya kiri kanan mulai dari Kuala Dayak mudik ke
hulu sampai terus di daratan yang takluk padanya.
viii. Tanah Mandawai.
ix. Sampit
x. Pambuang semuanya desa-desa dengan segala tanah
yang takluk padanya
xi. Tanah Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan
desa-desanya.
xii. Desa Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di
Tanjung Selatan dan ke Timur sampai batas dengan
Pagatan, ke utara sampai ke Kuala Maluku, mudik

Halaman 358 dari 883


sungai Maluku, Selingsing, Liang Anggang, Banyu
Irang sampai ke timur Gunung Pamaton sampai
perbatasan dengan Tanah Pagatan.
xiii. Negeri-negeri di pesisir timur: Pagatan, Pulau Laut,
Batu Licin, Pasir, Kutai, Berau semuanya dengan
yang takluk padanya.
3. Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat
persetujuan pemerintah Belanda.
4. Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan,
dan terhadap musuh dari dalam negeri.
5. Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah
menjadi tradisi, diserahkan pada Belanda. Semua padang
perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya untuk
berburu menjangan. Padang perburuan itu, meliputi:
i. Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu
Maluka
ii. Padang Bajingah
iii. Padang Penggantihan
iv. Padang Munggu Basung
v. Padang Taluk Batangang
vi. Padang Atirak
vii. Padang Pacakan
viii. Padang Simupuran
ix. Padang Ujung Karangan
6. Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan
sepersepuluh dari harga intan dan sepersepuluhnya untuk
Halaman 359 dari 883
Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus
dijual pada Sultan. Harga pembelian intan itu,
sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda.
Gambaran umum abad ke-19 bagi Kesultanan Banjar, bahwa
hubungan kerajaan keluar sebagaimana yang pernah dijalankan
sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah hubungan
perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam tetap
utuh, tetap berdautat menjalani kekuasaan sebagai seorang Sultan.
Pada tahun 1860, Kesultanan Banjar dihapuskan dan digantikan
pemerintahan regent yang berkedudukan masing-masing di
Martapura (Pangeran Jaya Pemenang) dan di Amuntai (Raden
Adipati Danu Raja). Adat istiadat sembah menyembah tetap berlaku
hingga meninggalnya Pangeran Suria Winata, Regent Martapura
saat itu. Jabatan regent di daerah ini akhirnya dihapuskan pada
tahun 1884.

Sistem Pemerintahan
1. Raja: bergelar Sultan/Panambahan/Ratu/Susuhunan
2. Putra Mahkota: bergelar Ratu Anum/Pangeran Ratu/Sultan
Muda
3. Perdana Menteri: disebut Perdana Mantri/Mangkubumi/
Wazir, di bawah Mangkubumi: Mantri Panganan, Mantri
Pangiwa, Mantri Bumi dan 40 orang Mantri Sikap, setiap
Mantri Sikap memiliki 40 orang pengawal.
4. Lalawangan: kepala distrik, kedudukannya sama seperti
pada masa Hindia Belanda.
5. Sarawasa, Sarabumi dan Sarabraja: Kepala Urusan keraton
Halaman 360 dari 883
6. Mandung dan Raksayuda: Kepala Balai Longsari dan
Bangsal dan Benteng
7. Mamagarsari: Pengapit raja duduk di Situluhur
8. Parimala: Kepala urusan dagang dan pekan (pasar). Dibantu
Singataka dan Singapati.
9. Sarageni dan Saradipa: Kuasa dalam urusan senjata (tombak,
ganjur), duhung, tameng, badik, parang, badil, meriam dll.
10. Puspawana: Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan,
ternak, dan berburu
11. Pamarakan dan Rasajiwa: Pengurus umum tentang
keperluan pedalaman/istana
12. Kadang Aji: Ketua Balai petani dan Perumahan. Nanang
sebagai Pembantu
13. Wargasari: Pengurus besar tentang persediaan bahan
makanan dan lumbung padi, kesejahteraan
14. Anggarmarta: Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan
15. Astaprana: Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.
16. Kaum Mangkumbara: Kepala urusan upacara
17. Wiramartas: Mantri Dagang, berkuasa mengadakan
hubungan dagang dengan luar negeri, dengan persetujuan
Sultan.
18. Bujangga: Kepala urusan bangunan rumah, agama dan
rumah ibadah
19. Singabana: Kepala ketenteraman umum.
Jabatan-jabatan pada masa Panembahan Kacil (Sultan Mustain
Billah), terdiri:
Halaman 361 dari 883
1. Mangkubumi
2. Mantri Pangiwa dan Mantri Panganan
3. Mantri Jaksa
4. Tuan Panghulu
5. Tuan Khalifah
6. Khatib
7. Para Dipati
8. Para Pryai
• Masalah-masalah agama Islam dibicarakan dalam rapat/
musyawarah oleh Penghulu yang memimpin pembicaraan,
dengan anggota terdiri dari: Mangkubumi, Dipati, Jaksa,
Khalifah dan Penghulu.
• Masalah-masalah hukum sekuler dibicarakan oleh Jaksa
yang memimpin pembicaraan dengan anggota terdiri dari
Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa.
• Masalah tata urusan kerajaan merupakan pembicaraan antara
raja, Mangkubumi dan Dipati.
• Dalam hierarki struktur negara, di bawah Mangkubumi
adalah Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan dalam suatu
sidang negara adalah Raja, Mangkubumi, Panghulu,
kemudian Jaksa. Urutan kalau Raja berjalan, diikuti
Mangkubumi, kemudian Panghulu dan selanjutnya Jaksa.
Kewenangan Panghulu lebih tinggi dari Jaksa, karena
Panghulu mengurusi masalah keagamaan, sedangkan Jaksa
mengurusi masalah keduniaan.

Halaman 362 dari 883


• Para Dipati, terdiri dari para saudara raja, menemani dan
membantu raja, tetapi mereka adalah kedua setelah
Mangkubumi.
Sistem pemerintahan mengalami perubahan pada masa
pemerintahan Sultan Adam Al-Watsiq Billah. Perubahan itu
meliputi jabatan:

1. Mufti: hakim tertinggi, pengawas Pengadilan umum


2. Qadi: kepala urusan hukum agama Islam
3. Penghulu: hakim rendah
4. Lurah: langsung sebagai pembantu Lalawangan (Kepala
Distrik) dan mengamati pekerjaan beberapa orang Pambakal
(Kepala Kampung) dibantu oleh Khalifah, Bilal dan Kaum.
5. Pambakal: Kepala Kampung yang menguasai beberapa anak
kampung.
6. Mantri: pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka
dan berjasa, di antaranya ada yang menjadi kepala desa
dalam wilayah yang sama dengan Lalawangan.
7. Tatuha Kampung: orang yang terkemuka di kampung.
8. Panakawan: orang yang menjadi suruhan raja, dibebas dari
segala macam pajak dan kewajiban.
• Sebutan Kehormatan
◦ Sultan, disebut: Tuan Yang Maha Mulia Paduka Seri
Sultan
◦ Gubernur Jenderal VOC: Tuan Yang Maha
Bangsawan Gubernur Jenderal.

Halaman 363 dari 883


◦ Permaisuri disebut Ratu jika keturunan bangsawan
atau Nyai Ratu jika berasal dari kalangan biasa,
sedangkan para selir disebut Nyai.
◦ Anak laki-laki raja bergelar Gusti (= Raden/Raden
Aria pada zaman Hindu & awal Islam), dan jika anak
permaisuri akan mendapat gelar Pangeran dan jika
menjabat Dipati mendapat gelar berganda menjadi
Pangeran Dipati. Para Pangeran keturunan Sultan
yang memerintah menurunkan gelar "Gusti" ini
kepada keturunannya baik anak lelaki maupun
wanita. Para Gusti (lelaki) yang sudah jauh garis
keturunannya dengan Sultan yang memerintah hanya
menurunkan gelar Gusti hanya kepada anak lelaki.
◦ Anak perempuan raja bergelar Gusti (= Raden Galuh
pada zaman Hindu), jika anak permaisuri akan
mendapat gelar Putri dan setelah menikah mendapat
gelar Ratu.
◦ Andin, menurut Tutur Candi gelar tersebut untuk
keturunan kerajaan Negara Daha yang telah
dikalahkan oleh Sultan Suriansyah dan tidak
diperkenankan lagi memakai gelar Pangeran.
◦ Antung, gelar untuk putera/puteri dari wanita "Gusti"
yang menikah dengan orang kalangan biasa. Antung
setara dengan gelar Utin (wanita) di Kotawaringin.
◦ Seorang lelaki dari kalangan biasa yang menikah
dengan puteri Sultan, akan mendapat gelar Raden.

Halaman 364 dari 883


Raden juga merupakan gelar bagi pejabat birokrasi
dari golongan Nanang/Anang misalnya gelar Raden
Tumenggung, yang selanjutnya meningkat menjadi
Raden Dipati. Menurut Hikayat Banjar, gelar Nanang
diberikan untuk kalangan keluarga Ampu Jatmika
yang disebut Kadang Haji (haji= raja), sedangkan
keluarga isteri Ampu Jatmika tidak mendapat gelar
tersebut atau juga diberikan kepada lelaki dari
kalangan biasa yang menikah dengan puteri Sultan
misalnya Nanang Sarang (digunakan pada abad
ke-17).
◦ Seorang lelaki keturunan Arab yang menikah dengan
puteri Sultan akan mendapat gelar Pangeran Serip
(Syarif), sedangkan puteri Sultan tersebut menjadi
isteri permaisuri disebut Ratu Serip (Ratu Syarif).[75]
Sultan Banjar
Berikut ini adalah daftar figur-figur pemimpin yang
memerintah di Kesultanan Banjar yang disebut Paduka Seri Sultan
Banjar atau Susuhunan, Panembahan Banjarmasin.
N Potret Masa Sultan Ketera
o. ngan
* Raja Banjarmasih. Nama lahirnya Raden Samudra, Raja
1500/ Banjar pertama sebagai perampas kekuasaan yang
1 (Sultan)1520- Sultan memindahkan pusat pemerintahan di Kampung Banjarmasih
Suryanullah
1540 yang menggantikan pamannya raja Pangeran Tumenggung
(Raden Panjang), menurutnya dia ahli waris yang sah sesuai
wasiat kakeknya Maharaja Sukarama (Raden Paksa) dari
Sultan * Raja Banjarmasih. Sultan Rahmatullah merupakan putera
1540/1546-15
2 Rahmatullah bin sulung Sultan Suryanullah, sedangkan Pangeran Anom/
70 Sultan Pangeran di Hangsana merupakan putera kedua Sultan
Suriansyah Suryanullah. Pangeran Anom/Pangeran di Hangsana

Halaman 365 dari 883


* Raja Banjarmasih. Pemerintahannya dibantu mangkubumi
Sultan Sultan Kiai Anggadipa.[30] Makamnya di Komplek Makam Sultan
3 1570-1595 Hidayatullah I Suriansyah dengan gelar anumerta Panembahan Batu Irang.
bin RahmatullahPuteranya Raden Bagus dilantik sebagai raja muda dengan
gelar Ratu Bagus, belakangan Ratu Bagus ditawan di Tuban
oleh Sultan Mataram dan baru dibebaskan pada masa Sultan
* Raja Banjarmasih/Raja Martapura. Nama lahirnya Raden
Senapati, diduga ia perampas kekuasaan, sebab ia bukanlah
Sultan Mustain anak dari permaisuri meskipun ia anak tertua.
4 1595-1636/16 Billah bin Sultan Pemerintahannya dibantu mangkubumi Kiai Jayanagara,
42 Hidayatullah I dilanjutkan sepupunya Kiai Tumenggung Raksanagara. Gelar
lain: Raden Kushil/Gusti Kacil/Pangeran Senapati/
Panembahan Marhum/Raja Maruhum dan gelar yang
dimasyhurkan Marhum Panembahan. Dia memindahkan ibu
Pangeran Dipati * Raja Martapura. Sultan Inayatullah (Pangeran Dipati Tuha
1636/1642-16 Tuha 1 bergelar [ke-1]) merupakan putera sulung Sultan Mustain Billah,
5 45 Sultan sedangkan Pangeran Dipati Anom [ke-1] merupakan putera
Inayatullah bin kedua Sultan Mustain Billah. Setelah dilantik sebagai
Sultan Mustain mangkubumi/Kepala Pemerintahan maka Pangeran Dipati
Pangeran * Raja Martapura. Nama lahirnya Raden Kasuma Alam.
Kasuma Alam Sultan Saidullah memiliki saudara sebapak yaitu Raden
6 1645-1660 bergelar Sultan Kasuma Lelana. Kepala Pemerintahan/mangkubumi tetapa
Saidullah bin dipegang Pangeran di Darat yang kini bergelar Panembahan
Sultan di Darat. Setelah wafatnya Panembahan di Darat jabatan
Inayatullah mangkubumi dilanjutkan pamannya Pangeran Dipati Anta-
Pangeran * Raja Martapura. Nama lahirnya Raden Halit. Ia sebagai
Tapesana temporary king/badal menjadi pelaksana tugas bagi Raden
7 1660-1663 bergelar Sultan Bagus, Putra Mahkota yang belum dewasa. Sebagai Penjabat
Ri'ayatullah bin Sultan dengan gelar resmi dalam khutbah Sultan Rakyatullah
Sultan Mustain (Rakyat Allah). Pemerintahannya dibantu mangkubumi
Billah keponakan tirinya Pangeran Mas Dipati bin Pangeran Dipati
* Nama lahirnya Raden Bagus. Masa
Sultan Amrullah pemerintahannya sering ditulis tahun 1660-1700.
Bagus Kasuma
8 1663-1679 Pada tahun 1660-1663 ia diwakilkan oleh Sultan
bin Sultan Rakyatullah dalam menjalankan pemerintahan
Saidullah karena ia belum dewasa. Pada tahun 1663 paman
tirinya Pangeran Dipati Anom II/Sultan Agung
Pangeran * Raja Banjarmasih. Nama lahirnya Raden Kasuma Lalana
Kasuma Lelana kemudian bergelar Pangeran Dipati Anom II setelah menjadi
9 1663-1679 bergelar Sultan Sultan disebut Sultan Dipati Anom.[30] Ia mengambil hak
Agung/Pangeran kemenakannya Raden Bagus sebagai Sultan Banjar, setalah
Suria Nata (ke-2) mengambil alih jabatan Wali (Pemangku) sultan yang dijabat
bin Sultan oleh Pangeran Ratu Sultan Ri'ayatullah. Ia dengan bantuan
Pangeran Suria * Raja Kayu Tangi. Pangeran Suria Angsa (Raden Bagus)
Angsa bergelar pewaris tahta Sultan Banjar yang sah setelah tersingkir dari
10 1679-1700 Sultan istana kemudian lari ke daerah Alay (1663-1679) untuk
Amarullah menyusun kekuatan dan berhasil kembali ke ibukota untuk
Bagus Kasuma membinasakan pamannya tirinya Sultan Agung/Sultan Dipati
Pangeran Suria * Raja Kayu Tangi. Tahmidullah I (Sulthan Tahlilloellah 2 ?)
Alam bergelar memiliki dua putera dewasa, yang tertua adalah Sultan
11 1700-1717 Sultan Ilhamidullah/Sultan Kuning/Sultan Badarul Alam dan yang
Tahmidullah I/ kedua Sultan Sepuh/Tamjidullah I. [92][93] Sedangkan
Panembahan penguasa daerah Negara dijabat oleh Pangeran Mas Dipati[94]
Kuning bin Trah keturunan Sultan Tahmisillah I menjadi Sultan-sultan
12 1717-1730 Panembahan * Raja Kayu Tangi. Ia adalah mangkubumi dan adik sultan
Kusuma Dilaga sebelumnya. Iparnya yang bernama Raden Jaya Negara
dilantik sebagai penguasa daerah Negara
Halaman 366 dari 883
Sultan il- * Raja Kayu Tangi. Gelar lain: Sultan Kuning atau Pangeran
13 1730-1734 Hamidullah/ Bata Kuning.[95] Panglima perang dari La Madukelleng
Sultan Kuning menyerang Banjarmasin pada tahun 1733
Sultan * Raja Kayu Tangi. Gelar lain: Sultan Sepuh/Panembahan
Tamjidullah I bin B a d a r u l a l a m . [ 9 5 ] R a j a K a y u Ta n g i . I a s e m u l a
14 1734-1759 Sultan mangkubuminya Sultan Kuning, kemudian setelah
Tahmidullah I mangkatnya Sultan Kuning, ia bertindak sebagai wali Putra
Mahkota Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah gelar
Sultan * Raja Kayu Tangi. Ia menggantikan mertuanya Sultan
Muhammadillah/ Sepuh/Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar. Setelah itu
15 1759-1761 Muhammad mantan Sultan Sepuh tidak lagi memakai gelar Sultan tetapi
Aliuddin hanya sebagai Panembahan. Sebagai mangkubumi adalah
Aminullah bin Pangeran Nata dengan gelar Ratu Dipati, putera Sultan
* Raja Kayu Tangi. Tahun 1771 ia memindah ibu kota ke
Martapura yang dinamakan Bumi Selamat. Semula sebagai
Sunan Nata wali Putra Mahkota dengan gelar Panembahan Kaharuddin
Alam (Pangeran Halilullah. Pamannya yang bernama Pangeran Mas menjadi
16 1761-1801 Mangkubumi) mangkubumi dengan gelar Ratu Anom Kasuma Yuda
bin Sultan (mangkubumi Sultan Tahmidullah II). Ratu Anom Kasuma
Tamjidullah I Yuda kemudian wafat dan digantikan Ratu Anom Ismail atau
Ratu Anom Mangkubumi Sukma Dilaga.[96] Gelar lain:
Sultan Tahmidullah II/Sunan Nata Alam (1772)/Pangeran
Nata Dilaga/Pangeran Wira Nata/Pangeran Nata Negara/
* Menurut tradisi suksesi di kesultanan Banjar yang
berlaku saat itu, maka putera sulung dari permaisuri
akan dilantik sebagai Sultan Muda dan putera kedua
Sultan Sulaiman akan dilantik sebagai mangkubumi (Pangeran
al-Mutamidullah/ Mangkubumi) untuk menggantikan mangkubumi
17 1801-1825 Sultan Sulaiman sebelumnya yang meninggal dunia. Baginda
Saidullah II bin dilantik sebagai Sultan Muda atau Pangeran Ratu
Tahmidullah II Sultan Sulaiman sejak tahun 1767 ketika berusia 6
tahun. Adiknya yaitu Pangeran Mangku Dilaga/
Pangeran Ismail kemudian dilantik sebagai
mangkubumi dengan gelar Ratu Anom Mangku
* Baginda mendapat gelar Sultan Muda sejak tahun 1782,
selanjutnya ia menggantikan ayahandanya sebagai Sultan
Banjar. Ia dibantu adiknya Pangeran Husin bergelar
Pangeran Mangku Bumi Nata sebagai mangkubumi. Setelah
wafatnya Pangeran Mangku Bumi Nata maka putera kedua
Sultan Adam yaitu Pangeran Noh dilantik sebagai
Sultan Adam Al- mangkubumi (Pangeran Mangkubumi) dengan gelar Ratoe
Watsiq Billah bin Anom Mangkoeboemi Kentjana oleh Belanda pada 1842,
18 1825-1857
Sultan Sulaiman sedangkan putera sulung yaitu Pangeran Ratu dilantik
al-Mutamidullah sebagai Sultan Muda dengan gelar Sultan Muda Abdul
Rahman. Untuk memperoleh calon Pangeran Mahkota
berikutnya maka Sultan Muda dinikahkan dengan sepupunya
putri dari mangkubumi.[99] Setelah wafatnya Ratoe Anom
Mangkoeboemi Kentjana maka pemerintah kolonial Belanda
melantik putera dari selir Sultan Muda Abdul Rahman yang
bernama Pangeran Tamjidillah (ke-2) untuk mengisi jabatan

Halaman 367 dari 883


*Sejak 1851 ia dilantik Belanda sebagai mangkubumi
(sewaktu Sultan Muda Abdurrahaman masih hidup) untuk
Sultan menggantikan Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana (adik
Tamjidullah II Sultan Muda Abdurrahaman) yang meninggal dunia, tidak
al-Watsiq Billah hanya itu kemudian pada tahun 1852 ia dilantik Belanda
bin Pangeran menjadi Sultan Muda (merangkap mangkubumi)
19 1857-1859 Ratu Sultan menggantikan ayahnya Sultan Muda Abdurrahman yang
Muda Abdur mangkat pada 5 Maret 1852, walaupun pelantikannya
Rahman bin sebagai Sultan Muda ini tidak disetujui kakeknya Sultan
Sultan Adam Adam. Pada 3 November 1857 Tamjidullah II diangkat
Belanda menjadi Sultan Banjar, padahal ia anak selir
meskipun ia sebagai anak tertua dan kemudian Belanda
mengangkat Hidayatullah II sebagai mangkubumi. Jalur
* Nama lahirnya adalah Gusti Andarun, kemudian sebagai
mangkubumi ia memakai gelar Pangeran Hidayatullah. Ia
Sultan dikenal sebagai Sultan tanpa mahkota. Sesuai wasiat Sultan
Hidayatullah Adam ia sebagai Sultan Banjar penggantinya. Pada 9
Halilillah bin Oktober 1856 ia dilantik Belanda sebagai mangkubumi tetapi
20 1859-1862 Pangeran Ratu diam-diam ia menjadi oposisi Tamjidullah II, misalnya
Sultan Muda dengan mengangkat Kiai Adipati Anom Dinding Raja (Jalil)
Abdur Rahman sebagai tandingan adipati Banua Lima Kiai Adipati Danu
bin Sultan Adam Raja yang berada di pihak Belanda/Sultan Tamjidullah II.
Pangeran Hidayatullah II memiliki tanah lungguh meliputi
Alai, Paramasan, Amandit, Karang Intan, Margasari dan
Basung. Perjuangan Sultan Hidayatullah II dibantu oleh
Pangeran * Raja Bakumpai dan Tanah Dusun. Pada 14 Maret 1862,
Antasari bin yaitu setelah 11 hari Pangeran Hidayatullah II diasingkan ke
21 1862 Pangeran Cianjur, rakyat Tanah Dusun, Siang dan Murung
Mashud bin memproklamasikan pengangkatan Pangeran Antasari sebagai
Sultan Amir[102] pimpinan tertinggi dalam kerajaan Banjar dengan gelar
Sultan * Raja Pagustian/Kastapura. [103] Sebagai kepala
Muhammad Pemerintahan Pagustian meneruskan perjuangan ayahnya,
Seman bin Pangeran Antasari melawan kolonial Belanda dengan dibantu
Pangeran kakaknya Panembahan Muda/Gusti Muhammad Said sebagai
22 1862-1905 Antasari mangkubumi dan Panglima Batur sebagai panglima perang.
Panembahan Ia melantik menantunya Pangeran Perbatasari bin
Amiruddin Panembahan Muhammad Said sebagai Mangkubumi
Khalifatul menggantikan almarhum ayahandanya. Pangeran Perbatasari
Mukminin tertangkap di daerah Pahu, Kutai Barat dan dibuang ke
Sultan Haji *Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu'tashim Billah zuriat dari
Khairul Saleh Pangeran Singosari bin Sultan Sulaiman. Pada masa kemelut
Al-Mu'tashim Perang Banjar, hanya Pangeran Singosari (saudara Sultan
23 2010 Billah bin Gusti Adam) dan Pangeran Surya Mataram (anak Sultan Adam)
Jumri bin Gusti yang masih dipercaya oleh rakyat Banjar sebagai tempat
Umar bin mengadukan segala permasalahan pada masa itu. Pangeran
Pangeran Haji Singosari merupakan "perwakilan" Kesultanan Banjar di
Catatan kaki
1. a b c "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-05-27. Diakses tanggal
2015-05-27.
2. ^ (Belanda) van Rees, Willem Adriaan (1865). De bandjermasinsche krijg van 1859-1863:
met portretten, platen en een terreinkaart. 1. D. A. Thieme. hlm. 9.

Halaman 368 dari 883


3. ^ (Inggris) (1846)Elijah Coleman Bridgman, Samuel Wells Williams (ed.). The Chinese
repository. 15. hlm. 506.
4. ^ "Borneo, 1800-1857". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-05. Diakses tanggal
2011-07-22.
5. ^ Sesudah di Pemakuan, keraton sempat dibangun di Amuntai tetapi batal didiami karena
Marhum Panembahan mendapat mimpi bahwa Pangeran Suryanata melarangnya
menjadikan Amuntai sebagai ibukota kembali karena negeri lawas itu sudah rusak (Hikayat
Banjar)
6. ^ Lompat ke:
a b (Inggris) J. H., Moor (1837). Notices of the Indian archipelago & adjacent countries:

being a collection of papers relating to Borneo, Celebes, Bali, Java, Sumatra, Nias, the
Philippine islands ... Singapore: F.Cass & co. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak
sah; nama "J. H. Moor" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
7. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-01-18. Diakses
tanggal 2011-07-03.
8. ^ Dengan di temukannya deposit batubara di daerah dekat Bumi Selamat/Martapura, maka
pemerintah Hindia Belanda merencanakan mengambil alih Martapura dan memindah
ibukota Kesultanan Banjar ke kota Nagara, bekas ibukota pada era Kerajaan Hindu Negara
Daha
9. ^ Perkara 1 Undang-undang Sultan Adam 1835: “Adapoen perkara jang pertama akoe
soeroehkan sekalian ra’jatkoe laki-laki dan bini-bini beratikat dalal al soenat waldjoemaah
dan djangan ada seorang baratikat dengan atikat ahal a’bidaah maka siapa-siapa jang
tadangar orang jang beratikat lain daripada atikat soenat waldjoemaah koesoeroeh bapadah
kapada hakimnja, lamoen benar salah atikatnja itoe koesoeroehkan hakim itoe menobatkan
dan mengadjari atikat jang betoel lamoen anggan inja daripada toebat bapadah hakim itu
kajah diakoe”.
10. ^ http://alanqasaharica.blogspot.com/2017/07/kronologi-sejarah-pulau-kalimantan.html?
m=1
11. ^ (Inggris) The New American encyclopaedia: a popular dictionary of general knowledge.
2. D. Appleton. 1865. hlm. 571.
12. ^ (Inggris) Houtsma, M. Th. E. J. Brill's first encyclopaedia of Islam 1913-1936. BRILL.
hlm. 647. ISBN 9004082654.ISBN 978-90-04-08265-6
13. ^ KALIMANTAN SELATAN
14. ^ "Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjar" (PDF). Diarsipkan dari versi asli
(PDF) tanggal 2012-01-18. Diakses tanggal 2011-07-03.
15. ^ (Indonesia) Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (1992). Sejarah
nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia. PT Balai Pustaka. hlm. 85. ISBN 9794074098.[pranala nonaktif permanen]ISBN
978-979-407-409-1
16. ^ (Belanda) Van Doren, J. B. J (1860). Bydragen tot de kennis van verschillende
overzeesche landen, volken, enz. 1. J. D. Sybrandi.
17. ^ (Inggris) Ooi, Keat Gin. Southeast Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat to
East Timor. 3. ABC-CLIO, 2004. hlm. 211. ISBN 1576077705.ISBN 978-1-57607-770-2

Halaman 369 dari 883


18. ^ (Inggris) Brookes, Richard (1843). Brookes's Universal gazetteer: re-modelled and
brought down to the present time. E.H. Butler. hlm. 73.
19. ^ "Reconstructie van het archief van de VOC-vestiging" (PDF). Diarsipkan dari versi asli
(PDF) tanggal 2014-02-21. Diakses tanggal 2011-08-04.
20. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama
kalimantan.onoffsolutindo.com
21. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama
kesultananbanjar.com
22. ^ (John McMeekin, 15 Januari 2011). Bendera Banjar
23. ^ Lompat ke:
a b c (Belanda) Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen

(1860). Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde. 9. Lange. hlm. 94.
24. ^ (Indonesia) Chambert-Loir, Henri (2004). Kerajaan Bima dalam sastra dan sejarah.
Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 121. ISBN 9799100119. ISBN 978-979-9100-11-5
25. ^ (Indonesia) Tajib, H. Abdullah (1995). Sejarah Bima Dana Mbojo. Jakarta: Harapan
Masa PGRI.
26. ^ (Indonesia) Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya
negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 70.
ISBN 9798451163.ISBN 978-979-8451-16-4
27. ^ Goh Yoon Pong, Trade and Politics in Bandjermasin 1700-1747, Disertation University
of London, 1969
28. ^ Lompat ke:
a b Hermanus Johannes de Graaf, Puncak kekuasaan Mataram: politik ekspansi Sultan

Agung, Grafitipers, 1986


29. ^ (Inggris) (2007)"Mataram's overseas empire". Digital Atlas of Indonesian History. Robert
Cribb. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-11-13. Diakses tanggal 11 August 2011.
30. ^ Lompat ke:
a b c d e f g h i j k l (Melayu)Ras, Johannes Jacobus (1990). Hikayat Banjar diterjemahkan oleh

Siti Hawa Salleh. Malaysia: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka.


ISBN 9789836212405.ISBN 983-62-1240-X Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah;
nama "hikayat banjar" didefinisikan berulang dengan isi berbeda Kesalahan pengutipan:
Tanda <ref> tidak sah; nama "hikayat banjar" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
31. ^ (Belanda)van Dijk, Ludovicus Carolus Desiderius (1862). Neêrlands vroegste
betrekkingen met Borneo, den Solo-Archipel, Cambodja, Siam en Cochin-China: een
nagelaten werk. J. H. Scheltema. hlm. 23.
32. ^ (Inggris) Ooi, Keat Gin (2004). Southeast Asia: a historical encyclopedia, from Angkor
Wat to East ... 3. ABC-CLIO. hlm. 211. ISBN 9781576077702.ISBN 1-57607-770-5
33. ^ (Indonesia) Kartodirdjo, Sartono (1993). Pengantar sejarah Indonesia baru, 1500-1900:
Dari emporium sampai imperium. Gramedia. hlm. 121. ISBN 9794031291.ISBN
978-979-403-129-2
34. ^ (Indonesia) M. Shaleh Putuhena, Historiografi haji Indonesia, PT LKiS Pelangi Aksara,
2007 ISBN 979-25-5264-2, 9789792552645

Halaman 370 dari 883


BAB 19
KERAJAAN KALINYAMAT JEMBATAN
STRATEGIS KE INDONESIA TIMUR

Pantai utara Jawa Tengah pada pertengahan abad ke-16. Kota


Kalinyamat terletak di tenggara Jepara.

Kerajaan Kalinyamat (juga dikenal sebagai Kerajaan


Jepara) adalah sebuah kerajaan Jawa pada abad ke-16 yang
berpusat di Jepara. Baik Kalinyamat maupun Jepara awalnya adalah
dua kadipaten terpisah yang tunduk pada Kerajaan Demak.
Sepeninggal Pangeran Trenggana, Kalinyamat mendapatkan Jepara,
Pati, Juwana, dan Rembang.[1]

Halaman 371 dari 883


Puncak kejayaannya terjadi di pertengahan abad ke-16
ketika Kalinyamat dipimpin oleh Ratu Kalinyamat. Pada tahun 1551
dan 1574, Kalinyamat melakukan ekspedisi ke Melaka Portugis
untuk mengusir Portugal dari Hindia Timur sementara meluaskan
kekuasaannya ke luar Jawa, seperti Kalimantan Barat dan Pulau
Bawean.[2][3]

Sejarah Awal Berdiri Kalinyamat


Wilayah Kalinyamat terletak kira-kira 18 km ke arah
pedalaman dari Jepara. Pada abad keenambelas wilayah tersebut
menjadi lokasi pemerintahan kota pelabuhan Jepara. Menurut salah
satu catatan naskah, Kalinyamat didirikan oleh seorang nahkoda
asal Tiongkok bernama (sesudah dijawakan) Wintang yang
kapalnya kandas di tepi pantai Jepara. Sesampainya di Jepara (Jung
Mara) dalam keadaan melarat, ia lalu dibantu dalam belajar bahasa
setempat oleh orang sebangsanya yang telah lebih dulu masuk
islam. Kemudian ia diislamkan oleh Sunan Kudus dan mengganti
namnya menjadi Rakit. Beberapa waktu setelahnya, ia mendirikan
pendukuhan di tepi jalan antara Kudus dan Jepara yang secara
bertahap menjadi tempat yang maju dan berkembang pesat. Ia
kemudian mengabdi kepada Sultan Trenggana dari Demak, dan
mendapat salah seorang putri Sultan Trenggana sebagai istrinya.
Menurut silsilah Kerajaan Demak, putri tersebut tercatat sebagai
Ratu Aria Jepara atau yang dalam Babad Tanah Jawi ia disebut
sebagai Ratu Kalinyamat.[4]

Kematian Sultan Hadlirin

Halaman 372 dari 883


Pada tahun 1549, keluarga Sunan Prawata, sultan keempat
Demak, dibunuh oleh Rangkut dan Gopta, suruhan Arya
Penangsang, bupati Jipang Panolan. Ratu Kalinyamat menemukan
keris Kyai Betok milik Sunan Kudus menancap pada mayat
kakaknya itu. Maka, Pangeran dan Ratu Kalinyamat pun berangkat
ke Kudus minta penjelasan.

Menurut Babad Tanah Jawi, Ratu Kalinyamat datang


menuntut keadilan atas kematian kakaknya, tetapi Sunan Kudus
mendukung Arya Penangsang dalam konflik perebutan takhta
sepeninggal Sultan Trenggana. Ia menjelaskan bahwa semasa muda,
Sunan Prawata pernah membunuh Pangeran Sekar Seda ing Lepen,
ayah Arya Penangsang. Jadi, Sunan Kudus melihatnya sebagai
balasan yang setimpal.

Ratu Kalinyamat kecewa atas sikap Sunan Kudus. Ia dan


suaminya memilih pulang ke Jepara. Di tengah jalan, mereka
disergap anak buah Arya Penangsang. Pangeran Kalinyamat tewas.
Konon, ia sempat merambat di tanah dengan sisa-sisa tenaga,
sehingga oleh penduduk sekitar, daerah tempat meninggalnya
Pangeran Kalinyamat disebut desa Prambatan.

Selanjutnya, dengan membawa jenazah Pangeran


Kalinyamat, Ratu Kalinyamat meneruskan perjalanan sampai pada
sebuah sungai dan darah yang berasal dari jenazah Pangeran
Kalinyamat menjadikan air sungai berwarna ungu, dan kemudian
dikenal daerah tersebut dengan nama Kaliwungu. Semakin ke barat,
dan dalam kondisi lelah, kemudian melewati Pringtulis. Dan karena

Halaman 373 dari 883


lelahnya dengan berjalan sempoyongan (moyang-moyong) di
tempat yang sekarang dikenal dengan nama Mayong. Sesampainya
di Pelang karena hatinya melang-melang. Sesampainya di
Purwogondo, disebut demikian karena di tempat inilah awal
keluarnya bau dari jenazah yang dibawa Ratu Kalinyamat, dan
kemudian melewati Pecangaan dan sampai di Mantingan.

Ratu Kalinyamat berhasil meloloskan diri dari peristiwa


pembunuhan itu. Ia kemudian melakukan tapa "telanjang"[note 1] di
Gunung Danaraja, dengan sumpah tidak akan "berpakaian" sebelum
berkeset kepala Arya Penangsang. Harapan terbesarnya adalah adik
iparnya, yaitu Hadiwijaya, bupati Pajang, karena hanya ia yang
setara kesaktiannya dengan bupati Jipang.

Hadiwijaya segan menghadapi Arya Penangsang secara


langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak. Ia pun
mengadakan sayembara yang berhadiah tanah Mataram dan Pati.
Sayembara itu dimenangi oleh Ki Ageng Pamanahan dan Ki
Panjawi. Arya Penangsang tewas di tangan Sutawijaya, putra Ki
Ageng Pemanahan, berkat siasat dari Ki Juru Martani.

Setelah Arya Penangsang


Ratu Kalinyamat kembali naik tahta setelah kematian Arya
Penangsang tahun 1549. Kemudian, Kalinyamat, Demak, dan
Jipang menjadi bawahan Pajang yang dipimpin oleh Sultan
Hadiwijaya. Meskipun demikian, Hadiwijaya tetap memperlakukan
Ratu Kalinyamat sebagai tokoh senior yang dihormati, bahkan
Hadiwijaya tidak berniat membawahi Kalinyamat. Begitu juga

Halaman 374 dari 883


dengan Ratu Kalinyamat yang tidak memandang Pajang sebagai
halangan.

Tercatat pedagang-pedagang Aceh, Melaka, Banten, Demak,


Semarang, Tegal, Bali, Makassar, Banjarmasin, Tuban dan Gresik
turut meramaikan Jepara. Dapat dikatakan Pelabuhan Jepara
menjadi tempat transaksi perdagangan berskala internasional. Ratu
Kalinyamat pun memungut cukai bagi setiap kapal yang
bertransaksi di Pelabuhan Jepara. Hasil perdagangan beras dan
cukai tersebut menjadikan Jepara sebagai Kerajaan yang makmur,
kaya raya.

Dengan kekayaannya, Ratu Kalinyamat membangun armada


Laut yang sangat kuat untuk melindungi kerajaannya yang bercorak
maritim. Sebagai Kerajaan Maritim yang bercorak Islam, Kerajaan
Jepara sangat dihormati dan disegani oleh kerajaan-kerajaan Islam
lainnya. Kekuatan armada laut Kerajaan Jepara sudah tersohor di
seluruh Nusantara. Banyak kerajaan-kerajaan lain yang meminta
bantuan armada laut Jepara untuk melindungi negerinya.

Saat itu Ratu Kalinyamat sangat berpengaruh di Pulau Jawa.


Ia adalah Ratu yang memiliki posisi politik yang kuat dan kondisi
ekonomi yang kaya raya. Ia menjalin hubungan diplomatik yang
sangat baik dengan Kerajaan-kerajaan Maritim Islam lainnya.
Jepara menjalin hubungan diplomatik dengan Kerajaan Johor,
Kesultanan Aceh, Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon, Ambon
dan Kesultanan Demak.

Ekspedisi untuk mengusir Portugal

Halaman 375 dari 883


Ratu Kalinyamat sebagaimana bupati Jepara sebelumnya
(Pati Unus), bersikap anti terhadap Portugis. Pada tahun 1550 ia
mengirim 4.000 tentara Jepara dalam 40 buah kapal memenuhi
permintaan sultan Johor untuk membebaskan Melaka dari
kekuasaan bangsa Eropa itu.

Pasukan Jepara itu kemudian bergabung dengan pasukan


Persekutuan Melayu hingga mencapai 200 kapal perang. Pasukan
gabungan tersebut menyerang dari utara dan berhasil merebut
sebagian Melaka. Namun Portugis berhasil membalasnya. Pasukan
Persekutuan Melayu dapat dipukul mundur, sementara pasukan
Jepara masih bertahan.

Baru setelah pemimpinnya gugur, pasukan Jepara ditarik


mundur. Pertempuran selanjutnya masih terjadi di pantai dan laut
yang menewaskan 2.000 prajurit Jepara. Badai datang menerjang
sehingga dua buah kapal Jepara terdampar kembali ke pantai
Melaka, dan menjadi mangsa bangsa Portugis. Prajurit Jepara yang
berhasil kembali ke Jawa tidak lebih dari setengah dari yang
berhasil meninggalkan Melaka.

Pada tahun 1564, Sultan Ali Riayat Syah dari Kesultanan


Aceh meminta bantuan Demak untuk menyerang Portugis di
Melaka. Saat itu Demak dipimpin seorang bupati yang mudah
curiga, bernama Arya Pangiri, putra Sunan Prawata. Utusan Aceh
dibunuhnya. Akhirnya, Aceh tetap menyerang Melaka tahun 1567
meskipun tanpa bantuan Jawa. Serangan itu gagal.

Halaman 376 dari 883


Pada tahun 1573, Sultan Ali Riayat Syah meminta bantuan
lagi kepada Ratu Kalinyamat untuk menyerang Melaka kembali.
Ratu mengirimkan 300 kapal berisi 15.000 prajurit Jepara. Pasukan
yang dipimpin oleh Ki Demang Laksamana itu baru tiba di Melaka
bulan Oktober 1574. Padahal saat itu pasukan Aceh sudah dipukul
mundur oleh Portugis.

Pasukan Jepara yang terlambat datang itu langsung


menembaki Melaka dari Selat Melaka. Esoknya, mereka mendarat
dan membangun pertahanan. Tapi akhirnya, pertahanan itu dapat
ditembus pihak Portugis. Sebanyak 30 buah kapal Jepara terbakar.
Pihak Jepara mulai terdesak, namun tetap menolak perundingan
damai karena terlalu menguntungkan Portugis. Sementara itu,
sebanyak enam kapal perbekalan yang dikirim Ratu Kalinyamat
direbut Portugis. Pihak Jepara semakin lemah dan memutuskan
pulang. Dari jumlah awal yang dikirim Ratu Kalinyamat, hanya
sekitar sepertiga saja yang tiba di Jawa.

Diogo do Couto
Kebesaran dan keberanian Ratu Kalinyamat diakui oleh sejarawan Portugis Diogo do Couto [en]
dalam Da Asia de João de Barros dengan sebuah ungkapan Rainha de Japara, senhora poderosa, e rica
(yang artinya "ratu Jepara, seorang wanita yang berkuasa dan kaya").

Hubungan dengan Maluku

Halaman 377 dari 883


Sumber Portugal melaporkan bahwa Kerajaan Tanah Hitu
berkali-kali meminta bantuan Kalinyamat untuk melawan orang
Portugis dan suku lain yang masih seketurunannya, yaitu Suku
Hative. Bantuan pertama kali dikirim pada tahun 1565. Perlawanan
ini menghasilkan efek pada Portugis 10 tahun kemudian yang
perlahan-lahan meninggalkan Maluku.[9]

Suksesi Ratu Kalinyamat


Setelah meninggal pada tahun 1579, Ratu Kalinyamat
digantikan oleh anak angkatnya, Pangeran Arya Jepara. Meskipun
tidak sekuat bibinya, kekuasannya di laut masih dihormati.[10] Pada
1580, Maulana Yusuf, Raja Banten dan pahlawan yang merebut
Pajajaran, meninggal dunia. Ia hanya meninggalkan seorang anak
laki-laki yang masih kecil. Menurut para penulis sejarah di Banten,
pangeran Jepara yang masih saudara Maulana Yusuf, menuntut
haknya atas takhta Kesultanan Banten. Ia bersama panglima armada
Demang Laksamana, pergi dari Jepara ke Banten. Tetapi
sesampainya disana, Demang Laksamana terbunuh dalam
pertempuran melawan Perdana Menteri Banten, sehingga Pangean
Jepara terpaksa pulang. Sejak peristiwa tersebut berakhirlah
pengaruh pemerintahan Jepara di Jawa Barat.[11]

Di masa pemerintahan Pangeran Arya Jepara, Kesultanan


Mataram yang dipimpin oleh Sutawijaya beberapa kali mencoba
menaklukkan Kalinyamat, tetapi gagal karena Kota Jepara
dilindungi oleh benteng melingkar yang menghadap ke pedalaman
dan dijaga ketat oleh pasukannya. Menurut pelaut-pelaut asal
Belanda (Eerste Schipvaert I: 103), pada abad keenam belas
Halaman 378 dari 883
kebanyakan kota pelabuhan di Jawa dikelilingi tembok batu atau
kayu pada sisi yang menghadap ke daerah pedalaman.[12] Baru pada
tahun 1599, Mataram berhasil menaklukkan Kalinyamat dengan
serbuan yang menghancurkan Kota Jepara, baik secara fisik, politik,
maupun ekonomi.[10][13] Dalam suatu surat berbahasa Belanda pada
1615 (Colenbrander, Coen VII: 45), terdapat kata-kata tentang
destructie (penghancuran) Kota Jepara. Serangan Kesultanan
Mataram dari pedalaman ke kota-kota pelabuhan pesisir
mengakibatkan kerusakan yang berat, dan kemungkinan termasuk
Kerajaan kalinyamat menjadi salah satu bagian dari korban
serangan tersebut.[12] Sebuah sumber tradisional menyebut peristiwa
ini sebagai bedhahe Kalinyamat, yang artinya "jatuhnya
Kalinyamat".[14]

Peninggalan
Beberapa peninggalan Kalinyamat yang masih ada yaitu
Kawasan Siti Inggil Kalinyamat di Kriyan, Pertapaan Sonder di
Tulakan, dan Benteng Kalinyamat di Robayan.

Catatan kaki
1. ^ Hayati dkk. 2000, hlm. 40.
2. ^ Ricklefs 2008, hlm. 41.
3. ^ Hayati dkk. 2000, hlm. 31 dan 67.
4. ^ de Graaf 2019, hlm. 173-174.
5. ^ Fardianto, Fariz. "Menguak Kesaktian 'Tapa Tanpa Busana' Ratu Kalinyamat, Menuntut
Balas!". IDN Times. Diakses tanggal 2020-11-23.
6. ^ Hayati, Chusnul (2010). "RATU KALINYAMAT: RATU JEPARA YANG
PEMBERANI". Citra Leka dan Sabda. “Dalam bahasa Jawa kata wuda (telanjang) tidak
hanya berarti tanpa busana sama sekali, tetapi juga memiliki arti kiasan yaitu tidak
memakai barang-barang perhiasan dan pakaian yang bagus (Suara Merdeka, 10 Desember
1973).”
7. ^ Hayati dkk. 2000, hlm. 44.

Halaman 379 dari 883


8. ^ De Couto, Diogo (1778). Da Asia de Diogo de Couto dos Feitos, que os Portuguezes
Fizeram na Conquista, e Descubrimento das Terras, e Mares do Oriente. Lisboa: Regia
Officina Typografica. hlm. 122 (langsung merujuk pada ungkapan aslinya).
9. ^ Raditya, Iswara N. "Kerajaan Tanah Hitu dan Jurang Dua Agama di Maluku". tirto.id.
Diakses tanggal 2020-11-21.
10. ^ Lompat ke:
a b Hayati dkk. 2000, hlm. 67.

11. ^ de Graaf 2019, hlm. 180.


12. ^ Lompat ke:
a b de Graaf 2019, hlm. 181.

13. ^ Supriyono 2013, hlm. 35.


14. ^ Panitia Penyusunan Hari Jadi Jepara, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Jepara
(1988). Sejarah dan Hari Jadi Jepara. hlm. 50. “Pada tahun yang sama - tahun 1521 Jawa
atau tahun 1599 Masehi - naskah Babad Sengkala memberitahukan mengenai 'bedhahe
Kalinyamat', artinya 'Jatuhnya Kalinyamat'”

Halaman 380 dari 883


BAB 20
KESULTANAN PAJANG : PEMERAN VITAL DI
TENGAH PULAU JAWA

Kesultanan Pajang atau Kerajaan Pajang Aksara


Jawa :ꦏꦱꦸ ꦤ ꦗꦁ (‫ )ﻛﺴــــﻠﻄﺎﻧــــﻦ ﭬﺎﺟڠ‬adalah sebuah kesultanan

yang berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan Kesultanan


Demak. Kompleks keratonnya pada masa ini tinggal tersisa berupa
batas-batas pondasinya saja yang berada di perbatasan Kelurahan

Halaman 381 dari 883


ꦭ꧀ꦠ
ꦤ꧀ꦥ
Pajang - Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura,
Sukoharjo.[1]
Berita kuno tentang Pajang
Pada zaman Jawa kuno, kawasan antara Gunung Lawu dan
Merapi di daerah pedalaman Bengawan Solo yang bermuara ke
Laut Jawa di dekat Gresik, merupakan wilayah yang kurang
berpotensi untuk bidang ekonomi dan politik dibandingkan dengan
daerah Mataram di sebelah baratnya. Raja-raja Jawa-Hindu
khususnya, yang selama berabad-abad sebelum dan sesudah tahun
1000 masehi memerintahkan pembangunan candi-candi di Jawa
Tengah bagian selatan, lebih memilih tempat singgasana mereka di
daerah aliran sungai Opak dan Progo yang bermuara di Lautan
Hindia daripada di daerah aliran Bengawan Solo.[2]

Sebagian besar prasasti raja-raja yang masih tersimpan


(berupa batu atau lembaran tembaga) memberitakan tempat-tempat
bersejarah di Jawa Tengah bagian selatan. kebanyakan wilayah
tersebut terletak di daerah Mataram dan Kedu atau sekitarnya. Satu
catatan yang berhasil diketahui ialah pada Prasasti Panumbangan
dari tahun 903 M. Prasasti tersebut menerangkan mengenai
penyeberangan sungai dengan perahu tambang, karena terdapat jalur
perdagangan yang bersilangan dengan bagian pedalaman Bengawan
Solo di Wonogiri saat ini. Berdasarkan prasasti tersebut dapat
disimpulkan bahwa pada abad kesepuluh daerah kekuasaan raja-raja
Jawa Hindu di Mataram lama juga meliputi daerah hulu Bengawan
Solo. Diperkirakan jalur perdagangan lama di dekat daerah
Panumbangan yang memotong sungai Bengawan Solo tersebut

Halaman 382 dari 883


merupakan salah satu jalan penghubung antara Jawa Tengah bagian
selatan dan daerah di sebelah timur yang terletak di daerah Madiun
saat ini. Jalan penghubung antara daerah sepanjang pantai selatan
Jawa, yang melewati lereng selatan gunung-gunung besar seperti
Lawu, Wilis dan Semeru, memiliki peran penting dalam sejarah
politik-ekonomi di Jawa.[3]

Asal-usul
Nama negeri Pajang telah dikenal sejak zaman Kerajaan
Majapahit yang dijuluki sebagai tanah mahkota pada abad keempat
belas.[3] Menurut Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365,
bahwasanya pada zaman tersebut adik perempuan Hayam Wuruk
(raja Majapahit saat itu) bernama asli Dyah Nertaja menjabat
sebagai penguasa Pajang, bergelar Bhatara i Pajang, atau disingkat
Bhre Pajang. Dyah Nertaja merupakan ibu dari Wikramawardhana
(Bhre Mataram), raja Majapahit selanjutnya.

Berdasar naskah-naskah babad, bahwa negeri Pengging


disebut sebagai cikal bakal Pajang. Disebutkan bahwa Pengging
sebagai kerajaan kuno yang pernah dipimpin Prabu Anglingdriya,
musuh bebuyutan Prabu Baka raja Prambanan. Kisah ini dilanjutkan
dengan dongeng berdirinya Candi Prambanan.

Ketika Majapahit dipimpin oleh Brawijaya (raja terakhir


menurut naskah babad), bahwa nama Pengging muncul kembali.
Dikisahkan bahwa putri Brawijaya yang bernama Ratna Ayu
Pembayun diculik Menak Daliputih raja Blambangan putra Menak

Halaman 383 dari 883


Jingga. Muncul seorang pahlawan bernama Jaka Sengara yang
berhasil merebut sang putri dan membunuh penculiknya.

Atas jasanya itu, kemudian Jaka Sengara diangkat oleh


Brawijaya sebagai adipati Pengging dan dinikahkan dengan Ratna
Ayu Pembayun. Jaka Sengara kemudian bergelar Adipati
Andayaningrat.

Berdirinya Pajang
Pajang terlihat sebagai kerajaan pertama yang muncul di
pedalaman Jawa setelah runtuhnya kerajaan Islam di daerah pesisir.
Menurut naskah babad, Andayaningrat gugur di tangan Sunan
Ngudung saat terjadinya perang antara Majapahit dan Demak. Ia
kemudian digantikan oleh putranya, yang bernama Raden Kebo
Kenanga, bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging
menjadi daerah bawahan Kerajaan Demak.

Beberapa tahun kemudian Ki Ageng Pengging dihukum mati


karena dituduh hendak memberontak terhadap Demak. Putranya
yang bergelar Jaka Tingkir setelah dewasa justru mengabdi ke
Demak.

Prestasi Jaka Tingkir yang cemerlang dalam ketentaraan


membuat ia diangkat sebagai menantu Trenggana, dan menjadi
bupati Pajang bergelar Adiwijaya. Wilayah Pajang saat itu meliputi
daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali dan
Klaten), Tingkir (daerah Salatiga), Butuh, dan sekitarnya.

Halaman 384 dari 883


Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, menjadi awal
mula permasalahan muncul di Jipang Panolan (Bojonegoro) dan
Pajang. Kedua wilayah di Jawa Tengah itu sama-sama menuntut hak
atas takhta Demak. Arya Panangsang, keponakan Sultan Trenggana,
yang memerintah Kadipaten Jipang berusaha menguasai salah satu
kerajaan Islam terbesar di Jawa tersebut. Namun penguasa Pajang,
Jaka Tingkir, menghalangi usahanya. Konflik pun meluas.

Diceritakan Serat Kandha, Jaka Tingkir adalah menantu


Sultan Trenggana karena menikahi Ratu Mas Cempaka. Jaka
Tingkir sebagai Adipati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya (kelak
Sultan Adiwijaya). Secara keturunan jelas ia tidak memiliki hak
apapun atas Demak. Tetapi tidak lama setelah pemakaman Sultan
Trenggana, Jaka Tingkir mengumumkan kekuasaannya di Demak.
Pengangkatan mendadak Jaka Tingkir itu dilakukan berdasarkan
pilihan rakyat Demak Bintara dan persetujuan seluruh Adipati
bawahan Demak. Ia lalu memerintahkan agar pemerintahan Demak
dipindah ke Pajang. Seluruh benda-benda pusaka di Demak juga tak
luput dari perpindahan tersebut.

Sebagai pewaris sah Demak, Sunan Prawoto, seharusnya


menggantikan kedudukan Sultan Trenggana. Tetapi ia diceritakan
tidak ingin naik takhta, dan secara sukarela menjadi Priayi Mukmin
atau Susuhunan di wilayah Prawata adalah desa di kecamatan
Sukolilo, Pati, sebuah pasanggarahan yang digunakan raja Demak
selama musim hujan. Hal itulah yang kemudian mempermudah Jaka
Tingkir untuk mengambil alih kekuasaan. Selanjutnya Sunan
Prawoto naik takhta. Namun Sunan Prawoto kemudian tewas

Halaman 385 dari 883


dibunuh sepupunya, yaitu Arya Panangsang bupati Jipang tahun
1547. Setelah itu, Arya Panangsang juga berusaha membunuh
Adiwijaya namun gagal.

Dengan dukungan Ratu Kalinyamat (bupati Jepara dan


puteri Trenggana), Adiwijaya dan para pengikutnya berhasil
mengalahkan Arya Penangsang. Adiwijaya selanjutnya merebut
takhta Demak lalu mendirikan Kesultanan Pajang.

Perkembangan
Pada awal berdirinya atau pada tahun 1568, bahwa wilayah
Pajang yang terkait eksistensi Demak pada masa sebelumnya, hanya
meliputi sebagian Jawa Tengah. Hal ini disebabkan karena negeri-
negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak kematian
Sultan Trenggana.

Pada tahun 1568 Adiwijaya dan para adipati Jawa Timur


dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam
kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang di
atas negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji
Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa
Timur) dinikahkan dengan putri Adiwijaya.

Negeri kuat lainnya, yaitu Madura juga berhasil ditundukkan


Pajang. Pemimpinnya yang bernama Raden Pratanu alias
Panembahan Lemah Dhuwur juga diambil sebagai menantu
Adiwijaya.

Peran Walisongo

Halaman 386 dari 883


Pada zaman Kerajaan Demak, majelis ulama Wali Songo
memiliki peran penting, bahkan ikut mendirikan kerajaan tersebut.
Majelis ini bersidang secara rutin selama periode tertentu dan ikut
menentukan kebijakan politik Demak.

Sepeninggal Trenggana, peran Wali Songo ikut memudar.


Sunan Kudus bahkan dituduh terlibat pembunuhan terhadap Sunan
Prawoto, raja baru pengganti Trenggana.

Meskipun tidak lagi bersidang secara aktif, sedikit banyak


para wali secara pribadi pribadi masih ikut berperan dalam
pengambilan kebijakan politik Pajang. Misalnya, Sunan Prapen
bertindak sebagai pelantik Adiwijaya sebagai raja. Ia juga menjadi
mediator pertemuan Adiwijaya dengan para adipati Jawa Timur
tahun 1568. Sementara itu, Sunan Kalijaga juga pernah membantu
Ki Ageng Pamanahan meminta haknya pada Adiwijaya atas tanah
Mataram sebagai hadiah sayembara membunuh Arya Panangsang.

Wali lain yang masih berperan adalah Panembahan Kudus.


Sepeninggal Adiwijaya tahun 1582, ia berhasil menyingkirkan
Pangeran Benawa dari jabatan putra mahkota, dan menggantinya
dengan Arya Pangiri.

Pemberontakan Mataram
Mataram dan Pati adalah dua hadiah sayembara Adiwijaya
untuk siapa saja yang mampu menumpas Arya Panangsang tahun
1549. Menurut laporan resmi peperangan, Arya Panangsang tewas
dikeroyok Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi.

Halaman 387 dari 883


Ki Panjawi diangkat sebagai penguasa Pati sejak tahun
1549. Sedangkan Ki Ageng Pamanahan baru mendapatkan
hadiahnya tahun 1556 berkat bantuan Sunan Kalijaga. Hal ini
disebabkan karena Adiwijaya mendengar ramalan Sunan Prapen
bahwa kelak Mataram akan lahir menjadi kerajaan yang lebih besar
daripada Pajang.

Ramalan tersebut menjadi kenyataan ketika Mataram


dipimpin Sutawijaya putra Ki Ageng Pamanahan sejak tahun 1575.
Tokoh Sutawijaya inilah yang sebenarnya menumpas Arya
Panangsang. Mataram di bawah pimpinan Sutawijaya semakin hari
semakin maju dan berkembang.

Pada tahun 1582 meletus perang Pajang dan Mataram


disebabkan Sutawijaya membela adik iparnya, yaitu Tumenggung
Mayang terkait hukum buang ke Semarang oleh Adiwijaya kepada
sang tumenggung. Perang tersebut dimenangkan pihak Mataram,
meskipun pasukan Pajang berjumlah lebih besar.

Suksesi Sepeninggal Adiwijaya


Sepeninggal Adiwijaya, terjadilah persaingan antara putra
dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai
raja selanjutnya. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus
berhasil naik takhta tahun 1583. Pemerintahan Arya Pangiri
disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram.
Kehidupan rakyat Pajang terabaikan akibat kemelut tersebut. Hal itu
membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa
prihatin. Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan

Halaman 388 dari 883


Sutawijaya menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582
Sutawijaya memerangi Adiwijaya, tetapi Pangeran Benawa tetap
menganggapnya sebagai saudara tua.

Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir


dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya
yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang
ketiga. Menurut ''Babad Mataram'', sebelum ia diangkat menjadi
raja, Pangeran Benawa menyerahkan hak atas warisan ayahnya
(Adiwijaya) kepada Senopati Mataram (Sutawijaya). Tetapi ia
menolaknya dan hanya menginginkan imbalan harta dari Kerajaan
Pajang. Sutawijaya sendiri mendirikan Kerajaan Mataram, di mana
ia sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati.

Kekuasaan Pangeran Benawa atas Pajang hanya bertahan


satu tahun setelah pengangkatannya. Pemerintahannya berakhir
pada tahun 1587, yang menurut salah satu sumber ia meninggalkan
Pajang untuk membaktikan diri pada agama di Parakan (bagian
u t a r a d a e r a h K e d u ) . Ti d a k a d a p u t r a m a h k o t a y a n g
menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri
bawahan Mataram. Pada saat itu oleh Senopati Mataram, kekuasaan
atas Pajang telah dipercayakan kepada salah seorang pangeran muda
dari Mataram bernama Pangeran Gagak Baning atau adik
Sutawijaya dengan mengangkatnya sebagai bupati di sana.[4]

Di bawah kekuasaan raja baru, Kerajaan Pajang telah


melakukan pemberontakan besar dan perluasan istana kerajaan.
Namun pemerintahannya tidak bertahan lama. Sekitar tahun 1591,

Halaman 389 dari 883


tiga tahun kemudian ia meninggal. Sebagai penggantinya, raja
Mataram yang saat itu telah diakui kekuasaannya oleh banyak raja
di Jawa Tengah, menunjuk putra Pangeran Benawa, cucu almarhum
Sultan Adiwijaya untuk memerintah Pajang sebagai vasal (wilayah
asosiasi) Mataram. Sesudah Senopati Mataram meninggal pada
tahun 1601 dan selama pemerintahan penggantinya, Panembahan
Seda-Ing Krapyak (1601-1613), Pangeran Benawa II memerintah
Pajang tanpa kesulitan besar meskipun dengan usianya yang masih
muda.[4]

Pada tahun 1617 hingga 1618 timbul pemberontakan besar


di Pajang melawan kekuasaan Sultan Agung. Pemberontakan
tersebut dibantu oleh sekelompok masyarakat yang tidak puas di
Mataram. Penindasan pasukan Mataram terhadap gerakan
pemberontakan di daerah Pajang tersebut disertai penghancuran
besar-besaran, dan penduduk desa setempat diangkut secara paksa
untuk membantu pembangunan kota kerajaan yang baru. Setelah
bencana tersebut, sisa-sisa daerah Pajang selama sebagian besar
abad ketujuh belas menjadi lemah terhadap perkembangan ekonomi
dan politik, sampai ketika cucu Sultan Agung, Mangkurat II,
terpaksa meninggalkan tanah warisannya, Mataram. Ia kemudian
memerintahkan membangun istana kerajaan yang baru, Kartasura,
di Pajang.[5]

Pada tahun 1618 raja terakhir dari keluarga raja Pajang,


setelah menderita kekalahan dalam pertempuran melawan Mataram,
melarikan diri ke Giri dan Surabaya. selama masih memegang
kekuasaan, keluarga raja Pajang masih memiliki hubungan yang

Halaman 390 dari 883


baik dengan keluarga raja-raja di Jawa Timur. Pada dasawarsa
ketiga abad ketujuh belas, perlawanan terhadap ekspansi Sultan
Agung terpusat di sepanjang pantai utara Jawa. Yang Dipertuan di
Tambak Baya (sekarang Madiun), sebagai seorang vasal Pajang
yang terakhir juga ikut melarikan diri ke Surabaya.[5]

Daftar sultan Pajang


1. Jaka Tingkir atau Adiwijaya (1568-1583)
2. Arya Pangiri atau Awantipura (1583-1586)
3. Pangeran Benawa atau Prabuwijaya (1586-1587)
Perpindahan kekuasaan ke Mataram (1587)
1. Pangeran Gagak Baning (1587-1591), adik dari Panembahan
Senapati
2. Pangeran Sidawini (1591-1617)
Daftar pustaka
• Any, Andjar (1980). Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi. Semarang: Aneka
Ilmu.
• Any, Andjar (1979). Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita & Sabdopalon.
Semarang: Aneka Ilmu.
• Prawirayuda, Prawirayuda; Sastradiwirya, Sastradiwirya (1989). Babad Majapahit dan
Para Wali Jilid 3. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan
Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
• Olthof, W. L. (2007). Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647.
Yogyakarta: Narasi. ISBN 9789791681629.
• de Graff, H.J.; Pigeaud, TH. G. TH. (2019). Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan
Sejarah Politik Abad XV dan XVI, cetakan V edisi revisi. Yogyakarta: MataBangsa.
ISBN 9789799471239.
• hayati, Chusnul (2000). Peranan Ratu Kalinyamat di jepara pada Abad XVI (PDF).
Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional.
• Moedjianto, G. (1987). Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram.
Yogyakarta: Kanisius. ISBN 9780230546868.
• Purwadi, Purwadi (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.

Halaman 391 dari 883


BAB 21
KESULTANAN MATARAM : CAHAYA ISLAM
YANG MELEGENDA
Kesultanan Mataram
꧋ꦏꦱꦸ ꦤ ꦠꦫꦩ꧀
Kasultanan Mataram (Jawa)
‫ﺎري َﻛﺴ ُْﻠﻄَﺎﻧَﻦ َﻣﺎﺗَﺎ َرام‬
ِ ‫ﻧَﺎ َڬ‬
Nagari Kasultanan Mataram (Pegon)
‫دوﻟﺔ اﻟﻤﺎﺗﺎراﻣﻲ‬
‘Dawlat al-Mātārami (Arab)

Menampilkan peta 1613


Menampilkan peta 1757
Tampilkan semua
Peta wilayah Kesultanan Mataram

Kesultanan Mataram (Jawa: ꧋ꦏꦱꦸ ꦤ ꦠꦫꦩ꧀,

translit. Kasultanan Mataram; Pegon: ‫ﺎري َﻛ ُﺴ ْـﻠﻄَﺎﻧَـﻦ َﻣـﺎﺗَـﺎ َرام‬


ِ ‫ ;ﻧَـﺎ َڬ‬Arab: ‫دوﻟـﺔ‬
‫اﻟـــﻤﺎﺗـــﺎراﻣـــﻲ‬, translit. ‘Dawlat al-Mātārami) adalah negara berbentuk
kesultanan di Jawa pada abad ke-16. Kesultanan ini didirikan sejak
pertengahan abad ke-16, namun baru menjadi negara berdaulat di

Halaman 392 dari 883


ꦭ꧀ꦠ
ꦤ꧀ꦩ
ꦭ꧀ꦠ
ꦤ꧀ꦩ
akhir abad ke-16 yang dipimpin oleh dinasti yang bernama wangsa
Mataram.[3][4]
Sepanjang abad ke-16, tepatnya pada puncak kejayaannya di
bawah pemerintahan Anyakrakusuma, Mataram adalah salah satu
negara terkuat di Jawa, kesultanan yang menyatukan sebagian besar
pulau Jawa, yakni sebagian besar wilayah Jawa Barat, Jawa Timur
dan Jawa Tengah kecuali Banten, selain itu juga menguasai daerah
Madura, dan Sukadana (Kalimantan Barat), Makasar, serta Pulau
Sumatra (Palembang dan Jambi). Kesultanan ini terdiri dari
beberapa wilayah inti mulai dari: kutagara, nagaragung,
mancanagara, pasisiran dan sejumlah kerajaan vasal, beberapa di
antaranya dianeksasi ke dalam teritori kesultanan, sedangkan
sisanya diberikan beragam tingkat otonomi.[5]

Kesultanan ini secara de facto adalah negara merdeka yang


menjalin hubungan perdagangan dengan Kerajaan Belanda ditandai
dengan kedua pihak saling mengirim duta besar. Menjelang
keruntuhannya, Kesultanan Mataram menjadi negara protektorat
Kerajaan Belanda, dengan status pzelfbestuurende landschappen.
[butuh rujukan]

Perjanjian Giyanti membuahkan kesepakatan bahwa


Kesultanan Mataram dibagi dalam dua kekuasaan, yaitu Nagari
Kasunanan Surakarta dan Nagari Kasultanan Ngayogyakarta.
Perjanjian yang ditandatangani dan diratifikasi pada tanggal 13
Februari 1755 di Giyanti ini secara de jure menandai berakhirnya
Mataram.[6] [7]

Halaman 393 dari 883


Etimologi
Nama Mataram secara historis adalah nama kerajaan pra-
Islam yang mengacu pada Kerajaan Mataram abad ke-8. Praktik
umum di Jawa adalah menyebut kerajaan mereka dengan metonimia
dan bervariasi dalam berbagai bahasa. Ada keragaman bahkan
dalam bahasa. Dalam bahasa Sanskerta, Mataram berarti ibu,
sedangkan istilah "Matawis" digunakan sebagai bentuk demonim
dan kata sifat.

Berdasarkan sejarahnya, ada dua kerajaan yang pernah ada


di periode yang berbeda dan keduanya disebut Mataram. Kerajaan
selanjutnya, sering disebut sebagai Mataram Islam atau Matawis
untuk membedakannya dari Kerajaan Mataram abad ke-8.[8]

Sejarah Pembentukan dan perkembangan : Adeging Nagari

Kutagede, bekas ibu kota Kesultanan Mataram, didirikan pada tahun 1582 oleh
Panembahan Senapati.

Halaman 394 dari 883


Pada seperempat abad ke-16 Masehi, wilayah Kesultanan
Mataram merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Pajang.
Statusnya sebagai kadipaten dengan penguasanya yaitu Ki Ageng
Pamanahan. Setelah Panembahan Senapati berkuasa di Kadipaten
Mataram, ia memisahkan wilayahnya dari Kesultanan Pajang dan
mendirikan Kesultanan Mataram.[9] Kesultanan Mataram didirikan
olehnya pada tahun 1586. Selanjutnya pada tahun 1586 wilayah
Pajang sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Mataram
diikuti penyerahan tahkta Pajang oleh Pangeran Benawa kepada
Panembahan Senapati. Perkembangan Mataram begitu besar dan
kuat sehingga sebagian besar sejarawan setuju bahwa itu telah
didirikan selama beberapa generasi perintis Mataram.

Menurut catatan Jawa, raja-raja Mataram adalah keturunan


dari Ki Ageng Sela (Sela adalah sebuah desa dekat Demak
sekarang). Pada tahun 1570-an, salah satu keturunan Ki Ageng Sela,
Kyai Gede Pamanahan dianugerahi kekuasaan atas tanah Mataram
oleh raja Pajang, Sultan Adiwijaya, sebagai imbalan atas jasanya
mengalahkan Arya Panangsang, musuh Adiwijaya.[10] Pajang
terletak di kota Surakarta saat ini, dan Mataram awalnya adalah
vasal dari Pajang.[4] Pamanahan sering disebut sebagai Kyai Gede
Mataram. Seorang kyai adalah seorang ulama muslim yang
berpendidikan tinggi dan cenderung disegani.

Sedangkan di Pajang, terjadi perebutan kekuasaan besar-


besaran yang terjadi setelah Sultan Adiwijaya wafat pada tahun
1582. Pewaris Adiwijaya adalah Pangeran Benawa, digulingkan

Halaman 395 dari 883


takhtanya oleh Arya Pangiri dari Demak, dan disingkirkan ke
Jipang. Putra Pamanahan, Sutawijaya atau Panembahan Senapati,
menggantikan ayahnya sekitar tahun 1584, dan dia mulai
melepaskan Mataram dari kekuasaan Pajang. Di bawah Sutawijaya,
Mataram tumbuh secara substansial melalui kampanye militer
melawan penguasaan Mataram atas Pajang oleh Arya Pangiri, dan
Pangeran Benawa dengan cepat menggalang dukungan untuk
merebut kembali takhtanya dan merekrut dukungan Panembahan
Senapati melawan Pajang. Selanjutnya, Pajang diserang dari dua
arah: oleh Pangeran Benawa dan oleh Panembahan Senapati. Perang
antara Pajang melawan Mataram berakhir dengan kekalahan Arya
Pangiri. Pangeran Benawa kemudian naik takhta di Pajang.[10]
Selama periode itu tidak ada putra mahkota Pajang yang
menggantikan Pangeran Benawa sehingga takhta Pajang diserahkan
ke Panembahan Senapati. Kemudian yang menjadi bupati di sana
ialah Pangeran Gagak Baning atau adik Panembahan Senapati.
Peristiwa pada tahun 1586 ini menandai berakhirnya kerajaan
Pajang dan berdirinya Nagari Kasultanan Mataram.

Kebangkitan Mataram

Pasarean Mataram, makam dari Panembahan Senapati dan Panembahan Seda ing
Krapyak.

Halaman 396 dari 883


Sutawijaya menjadi pemimpin monarki dengan menyandang
gelar "Panembahan" (secara harfiah berarti "orang yang dijunjung").
Dia mengungkapkan sifat pemerintahannya yang ekspansif dan
mulai memproyeksasi manuver politiknya sesuai ketentuan,
layanan, dan fungsi administrasi ke timur di sepanjang Bengawan
Solo.[10] Pada 1590 menaklukkan Madiun, dan berbelok ke timur
dari Madiun untuk menaklukkan Kediri pada tahun 1591 dan
Ponorogo.[11] Pada saat yang sama ia juga menaklukkan Jipang dan
Jagaraga (utara Magetan sekarang). Dia berhasil mencapai timur
sejauh Pasuruan. Setelah berhasil menyatukan Jawa, Panembahan
Senapati mengalihkan perhatiannya ke Jawa bagian barat, dengan
menaklukkan Cirebon dan Galuh, menjadi vasal Mataram pada
tahun 1595.[11] Usahanya untuk menaklukkan Banten pada tahun
1597 gagal, dikarenakan kurangnya transportasi air.[11] Panembahan
Senapati wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan di Kota Gede,
sebagai raja Jawa ia berhasil membangun fondasi negara baru yang
kokoh. Penggantinya, Raden Mas Jolang atau yang kemudian
bergelar sebagai Susuhunan Anyakrawati.[11]

Kontak pertama antara Mataram dan Belanda terjadi pada


era Susuhunan Anyakrawati. Kegiatan Belanda pada saat itu hanya
sebatas perdagangan dari pemukiman pesisir Jawa, sehingga
interaksi mereka dengan wilayah pedalaman Jawa dibatasi,
meskipun dibelakang mereka membentuk siasat untuk melawan
Mataram. Susuhunan Anyakrawati wafat karena kecelakaan
sewaktu berburu rusa di hutan Krapyak. Dari peristiwa itu ia dikenal

Halaman 397 dari 883


dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak
(Panembahan yang Meninggal di Krapyak).

Masa kejayaan

Turnamen bela diri antara dua penunggang kuda bertombak di kerajaan Mataram,
diadakan di alun-alun depan keraton.

Anyakrawati digantikan oleh putranya, Pangeran Martapura.


Namun Martapura, kesehatannya buruk dan dengan cepat
digantikan oleh saudaranya, Raden Mas Rangsang pada tahun 1613,
yang menyandang gelar Susuhunan Anyakrakusuma, dan kemudian
pada tahun 1641 mengambil gelar Sultan Agung Adi Prabu
Anyakrakusuma (Sultan Agung).[11] Kesultanan Mataram di bawah
pemerintahan Anyakrakusuma dikenang sebagai puncak kekuasaan

Halaman 398 dari 883


Mataram, dan masa keemasan kekuasaan asli Jawa sebelum
imperialisme Eropa pada abad berikutnya. Di bawah
kepemimpinannya, Anyakrakusuma tidak mengizinkan Serikat
Dagang Hindia Timur (VOC) untuk mendirikan loji-loji dagang di
pantai utara. Hal ini ditolak lantaran ia tidak ingin ekonomi di pantai
utara akan melemah jika dikuasai oleh VOC. Penolakan ini
membuat hubungan Mataram dengan VOC merenggang.[butuh rujukan]

Pada 1641, utusan Jawa yang dikirim Anyakrakusuma ke


Arab telah tiba setelah mendapat izin menyandang gelar "Sultan"
dari Mekah. Nama dan gelar Islam yang diperolehnya dari Mekah
adalah "Sultan Abdul Muhammad Maulana Matarami".[12]

Pada 1645 Sultan Agung mulai membangun Imogiri, sebagai


tempat pemakaman, sekitar lima belas kilometer selatan Yogyakarta.
Imogiri tetap menjadi tempat peristirahatan sebagian besar keluarga
Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta hingga sekarang.
Sultan Agung wafat pada musim semi tahun 1646, meninggalkan
sebuah negara yang ia bangun, membentang cakrawala sebagian
besar Jawa, Madura, dan pulau-pulau sekitarnya.

Pasca Sultan Agung


Sepeninggal Sultan Agung, tahta diambil alih oleh anaknya,
Amangkurat I. Pusat pemerintahan dipindahkan ke Keraton Plered
yang lokasinya tak jauh dari keraton sebelumnya. Di bawah
kepemimpinannya, Mataram diwarnai dengan gejolak politik yang
tidak stabil karena adanya tekanan dari VOC, sehingga terjadi
banyak pemberontakan dan perang saudara. Masa

Halaman 399 dari 883


kepemimpinannya juga menjadi titik awal masa kemunduran
Mataram.

Pemberontakan Raden Mas Alit dan Trunojoyo


Sikap Amangkurat I yang cenderung lunak dan tunduk
kepada Belanda memunculkan beberapa perlawanan. Salah satunya
adalah pemberontakan Raden Mas Alit, adik dari Amangkurat I
pada 1678 yang menelan ribuan korban jiwa. Raden Mas Alit pun
tewas dalam pemberontakan ini.

Ada pula pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas


Rahmat, anak Amangkurat I yang saat itu telah menjadi Pangeran
Adipati Anom atau putra mahkota. Ia keberatan dengan pengalihan
gelar yang ia sandang kepada saudaranya, yakni Pangeran Singasari.
Ia mengajak Trunojoyo, putra penguasa Madura, untuk
melaksanakan misi tersebut pada 1670. Trunojoyo menyanggupi
karena ia ingin Madura merdeka dari penguasaan Kesultanan
Mataram Islam di bawah kepemimpinan Amangkurat I. Namun,
Trunojoyo malah menumpas satu demi satu wilayah-wilayah
kekuasaan Mataram, dan akan menyerang keraton Plered. Hal ini
membuat Pangeran Adipati Anom berubah haluan mendukung
ayahandanya, kemudian melakukan pelarian menuju Tegal.
Disinilah Amangkurat I sakit dan wafat, oleh karenanya
Amangkurat I diberi nama anumerta Susuhunan Tegal Arum.

Disisi lain, Trunojoyo semakin kuat sehingga Pangeran


Adipati Anom terpaksa menjalin kerja sama dengan VOC untuk
menumpas Trunojoyo sekaligus merebut kembali takhta Mataram

Halaman 400 dari 883


Islam. Kompeni bersedia membantu tapi dengan syarat. Akhirnya,
Pangeran Adipati Anom diangkat menjadi penerus tahta dengan
gelar Amangkurat II. Disini kembali terjadi pemindahan pusat
pemerintahan, kali ini menuju ke Kartasura yang berada di bagian
timur ibukota lama.

Perebutan Takhta Kekuasaan


Intervensi VOC dalam urusan kerajaan juga menimbulkan
perang saudara antar kerabat keraton Mataram pada saat itu,
dikarenakan masing-masing pihak saling mengklaim soal takhta
yang sah. Dimulai pada Perang Takhta Jawa Pertama yang
melibatkan Amangkurat III dan Pakubuwana I, Perang Takhta Jawa
Kedua yang melibatkan Amangkurat IV dan pangeran-pangeran
yang memberontak.

Pemberontakan Sunan Kuning


Terjadinya peristiwa Geger Pacinan di Batavia berefek pada
migrasi etnis Tionghoa secara besar-besaran ke Jawa Tengah. Hal
inilah yang kemudian mendorong pemberontakan bersama yakni
etnis Jawa dan etnis Tionghoa melawan para penjajah di tahun
1740. Pemberontakan ini dipimpin oleh Sunan Kuning yang kelak
diangkat oleh sebagian pengikutnya menjadi Amangkurat V, dibantu
oleh pasukan dari etnis Tionghoa dan mengajak Raden Mas Said,
anak dari Pangeran Arya Mangkunagara yang merupakan saudara
kandung lain ibu dari Pakubuwana II, penguasa Mataram saat itu.

Pakubuwana II berhasil mempertahankan gelarnya dengan


bantuan VOC. Namun, keraton Kartasura hancur lebur dalam

Halaman 401 dari 883


penyerangan tersebut. VOC juga meminta imbalan untuk bantuan
yang diberikan, dimana Pakubuwana II harus melepaskan Madura
Barat, Surabaya, Rembang, Jepara dan Blambangan. Hal tersebut
dituangkan dalam bentuk Perjanjian Panaraga pada tahun 1743.

Karena keraton Kartasura dirasa sudah tidak layak lagi,


Pakubuwana II memutuskan untuk memindahkan pusat
pemerintahannya. Kali ini ia memilih desa Sala, wilayah di timur
Kartasura yang berada di tepi sungai Bengawan. Disana
Pakubuwana II membeli tanah dari lurah Desa Sala, yaitu Ki Gede
Sala, sebesar 10.000 ringgit (gulden Belanda) untuk membangun
istana Mataram yang baru. Di sinilah cikal bakal Keraton Surakarta
Hadiningrat.

Mataram Dibagi Belanda

Peta pembagian Mataram Baru setelah Perang Diponegoro pada tahun 1830.

Halaman 402 dari 883


Situasi politik yang masih belum stabil setelah
pemberontakan Sunan Kuning, membuat Pakubuwana II
mengumumkan sebuah sayembara untuk menumpas Raden Mas
Said dan dijanjikan sebuah hadiah. Konon, saat itu Raden Mas Said
adalah panglima perang yang tak terkalahkan, bahkan dijuluki
Pangeran Sambernyawa.

Tantangan ini diterima oleh Pangeran Mangkubumi, adik


Pakubuwana II yang juga menjadi paman dari Raden Mas Said. Ia
pun berhasil menumpas Raden Mas Said dan seharusnya bisa
mendapatkan hadiah tersebut. Namun, Pakubuwana II dihasut oleh
Patih Pringgalaya dan Baron van Imhoff, gubernur VOC saat itu
untuk tidak memberikan hadiah tersebut demi menurunkan derajat
Mangkubumi yang dikenal anti-VOC.

Kemelut tersebut semakin menjadi-jadi setelah dilakukannya


perubahan dalam Perjanjian Panaraga oleh VOC, yang dimana
perubahan tersebut mengharuskan Susuhunan untuk menyerahkan
wilayah pesisir kepada VOC. Hal ini membuat Mangkubumi
kecewa, dan situasi pun berbalik di mana ia keluar dari keraton pada
tanggal 19 Mei 1746 dan bergabung dengan Raden Mas Said. Meski
begitu, keluarnya Mangkubumi dari keraton bukan untuk memusuhi
dan memberontak, melainkan untuk mempertahankan wilayah
Mataram, khususnya wilayah pesisir.

Perlawanan dari Mangkubumi dan pengikutnya terus


berlanjut hingga mangkatnya Pakubuwana II dan digantikan oleh

Halaman 403 dari 883


anaknya, Pakubuwana III. Sepeninggal kakaknya, atas usul Raden
Mas Said, Mangkubumi diangkat oleh pengikutnya menjadi
Susuhunan di wilayah Kabanaran (Sukowati) menandingi
Pakubuwana III, dengan Raden Mas Said sebagai patih. Sebab
itulah Mangkubumi pernah dijuluki sebagai Susuhunan Kabanaran.
Bergabungnya Mangkubumi dan Raden Mas Said menimbulkan
kekuatan yang luar biasa, terbukti dengan ditaklukkannya kembali
daerah-daerah pesisir yang sebelumnya telah dikuasai oleh VOC,
bahkan wilayah-wilayah di bagian timur seperti Surabaya dan
Madura pun juga ditaklukkan. [15]

Kegagalan VOC melawan pasukan Mangkubumi


menimbulkan berbagai tekanan. Akhirnya, mereka kembali
memainkan intrik politik adu domba untuk memecah belah
kekuatan Mangkubumi dan Raden Mas Said. VOC berhasil
menghasut Raden Mas Said melalui Tumenggung Sujanapura untuk
melepaskan diri dari pasukan Mangkubumi. Alhasil, Mangkubumi
kelak harus berjuang sendirian melawan pasukan VOC, Surakarta,
dan Raden Mas Said.

Disisi lain, situasi perang yang kurang menguntungkan


membuat VOC menawarkan perjanjian damai kepada Mangkubumi.
Maka ditandatanganilah Perjanjian Palihan Nagari yang dilakukan
di Dusun Kerten, Desa Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah pada
13 Februari 1755. Perjanjian ini menghasilkan kesepakatan damai
antar kedua belah pihak serta membagi Mataram dalam dua
kekuasaan wilayah, dengan Nicholas Hartingh, Gubernur Pantai
Timur Laut Jawa sebagai penengah. Pakubuwana III berhak atas

Halaman 404 dari 883


wilayah timur Mataram dan tetap mempertahankan Surakarta
dengan gelar Susuhunan Pakubuwana, sedangkan Mangkubumi
berhak atas wilayah barat Mataram di seberang Sungai Opak yang
kelak menjadi Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwana.
Perjanjian ini juga mengakhiri kejayaan Mataram Islam selama
beberapa abad.

Rupanya, perjanjian Giyanti tidak diterima dengan baik oleh


Raden Mas Said, sehingga melakukan perlawanan terhadap VOC,
Surakarta, dan Yogyakarta. Raden Mas Said berhasil memenangkan
perlawanan ini, dan memunculkan Perjanjian Salatiga pada tahun
1757. Dari perjanjian tersebut, ia diangkat menjadi pangeran
merdeka dengan gelar Adipati Mangkunagara, serta mendapat
sebagian wilayah Surakarta bagian timur, yang kemudian dinamai
dengan Kadipatèn Mangkunagaran.

Sekitar lima puluh empat tahun kemudian, wilayah Mataram


kembali terpecah. Kali ini, kekalahan Yogyakarta dalam Geger
Sepoy pada tahun 1813 membuahkan keputusan diangkatnya
Pangeran Natakusuma, putra dari Hamengkubuwana I menjadi
pangeran merdeka dengan gelar Adipati Paku Alam oleh pemerintah
Inggris. Natakusuma berhak atas wilayah kemantren di timur
Keraton Yogyakarta, dan beberapa bidang di pesisir Kulon Progo
atau Karang Kemuning, dengan nama Kadipaten Pakualaman.

Struktur pemerintahan
Mataram memiliki struktur pemerintahan yang dipimpin
oleh seorang susuhunan/sultan. Dalam konsep kenegaraan Jawa

Halaman 405 dari 883


raja-raja Mataram disebutkan dengan konsep Keagungbinatharaan
atau diungkapkan sebagai "gung binathara, bahu dhendha
nyakrawati" (kekuasaan yang agung, memelihara hukum di muka
bumi). Raja dikatakan "wenang wisesa ing sanagari" (memegang
kuasa di negara). Dia harus "wicaksana" (bijaksana), bersifat "budi
bawa leksana, ambeg adil para marta" (meluap budi luhur-mulia
dan bersifat adil terhadap sesama), tugasnya "anjaga tata titi
tentreming praja" (menjaga keteratutan dan ketenteraman negeri),
agar tercipta suasana "karta tuwin raharja" (aman dan sejahtera).[17]

Amiril muminina sayyidina panatagami kyatira ning rat wus


sineksen saking Ngarab, winenang among dirja ning rat
Pemimpin para mukmin tuan penata agama
kemasyhurannya di jagad sudah disaksikan dari negeri Arab, diberi
wewenang memomong keselamatan dunia

Serat Sastra Gending karya Sultan Agung


Kemasyhuran sultan Mataram telah dikenal sampai tanah
Arab sebagai seorang pemimpin para mukmin di tanah Jawa.
Sehingga penguasa Mekah waktu itu memberi gelar Sultan kepada
raja Mataram. Inilah awal mula raja Mataram menggunakan gelar
Sultan. Pemakaian gelar raja pada Mataram selain Sultan yaitu:
Panembahan, Susuhunan atau Sunan.

Anyakrakusuma mendapat gelar Sultan. Gelar tersebut


dianugerahkan Sultan Murad IV yang diwakilkan syarif Mekah,
Zaid ibnu Muhsin Al Hasyimi. Anyakrakusuma ditahbiskan sebagai
Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami, disertai kuluk

Halaman 406 dari 883


untuk mahkotanya, bendera, pataka, dan sebuah guci yang berisi air
zamzam. Guci yang dulunya berisi air zamzam itu kini ada di
makam Astana Kasultan Agungan di Imogiri dengan nama Enceh
Kyai Mendung.

Aparat birokrasi

Busana dari Kapten Prajurit Keraton Yogyakarta yang bergelar Bupati Enèm Wadana
Prajurit, yang digunakan untuk upacara adat Grebeg. Busana ini diduga diturunkan dari busana
kebesaran yang digunakan oleh bupati atau wedana yang menjabat di Kesultanan Mataram.

Struktur birokrasi kesultanan Mataram berdasarkan pada


jabatan-jabatan yang disusun secara hierarki mengikuti sistem
pembagian wilayah, meliputi: Susuhunan atau Sultan, gelar yang
digunakan untuk merujuk pada kepala negara yang sedang bertakhta
(jumeneng). Dalam menjalankan pemerintahannya, Sultan
membentuk dan menempatkan pejabat dari tingkat pusat sampai
daerah berdasarkan wilayah yang sudah dibagi. Kebijakan tersebut

Halaman 407 dari 883


dilakukan untuk menciptakan kegiatan pemerintahan yang
terkendali.

Dalam mengurusi rumah tangga karaton tugas diserahkan


kepada seorang Wedana Lebet yang terdiri dari Wedana Gedong
Kiwa, Wedana Gedong Tengen, Wedana Keparak Kiwa, dan
Wedana Keparak Tengen. Para wedana tersebut dikepalai oleh Patih
Lebet, dan setiap wedana dibantu oleh kliwon (asisten di bawah
wedana), kabayan (asisten di bawah kliwon), dan 40 mantri jajar
(salah satu sebutan untuk priyai di lingkungan karaton).[18]

Adapun untuk mengurusi pemerintahan di Nagaragung,


sultan menyerahkannya kepada Wedana Jawi yang dikepalai oleh
seorang Patih Jawi. Masing-masing wedana juga dibantu oleh
kliwon, kabayan, dan 40 mantri jajar. Semua wedana tersebut
bertempat di Kutagara, sedangkan daerahnya di Nagaragung
diserahkan kepada demang atau kyai lurah.[19]

Untuk mengurusi wilayah di luar Kutagara dan Nagaragung


(pusat pemerintahan), di Mancagara Wétan maupun Mancagara
Kilèn, sultan menempatkan para bupati yang dipimpin oleh Wedana
Bupati baik di wilayah Mancagara maupun Pasisiran. Para bupati
di wilayah Mancagara berpangkat Tumenggung atau Raden Arya,
sedangkan di wilayah Pasisiran dikenal dengan Syahbandar yang
memiliki pangkat Tumenggung, Kyai Demang, atau Raden
Ngabehi. Para bupati Mancagara maupun Pasisiran berada dalam
kordinasi dan bimbingan langsung dari Wedana Bupati.[17] Selain
menempatkan bupati di wilayah Mancagara dan Pasisiran, sultan

Halaman 408 dari 883


juga menempatkan bupati penting di wilayah pusat. Para bupati
tersebut dijadikan staff ahli yang sewaktu-waktu diperlukan
pertimbangannya.

Sebagai pengontrol gerak-gerik para lembaga negara


maupun para bupati di daerah, maka sultan mengangkat dinas
rahasia yang disebut telik sandi atau Abdi Kajineman.[20] Selain para
pejabat tinggi pusat tersebut, di bawahnya masih terdapat sekitar
150 macam jabatan dibawahnya. Mereka dikhususkan ke dalam
berbagai macam jabatan, mulai dari prajurit, panglima, pengadilan,
keuangan, perlengkapan, kesenian, keagamaan, dan lainnya. Semua
jabatan tersebut merupakan bentuk birokrasi sebagai pelaksana roda
pemerintahan.

Pembagian administratif
Struktur administratif Mataram menganut pola konsentris.
Berdasarkan sudut pandang konsentris yang diterapkan dalam
sistem ketatanegaraan di Mataram, wilayah dibedakan dalam
beberapa pembagian sebagai berikut:[19][21][22]

• Kutagara (Kuta Nagara) meliputi:


1. Siti Narawita (ibu kota), sebagai pusat pemerintahan.
2. Karaton (istana), sebagai pusat kegiatan pemerintahan.
• Nagaragung (Nagara Agung) adalah wilayah yang
mengitari Kutagara, wilayah ini dibagi menjadi empat
bagian, meliputi:
1. Daerah Siti Ageng atau Bumi Gede, suatu wilayah di antara
Pajang dengan Demak, kemudian dibagi menjadi daerah Siti

Halaman 409 dari 883


Ageng Kiwa dan Siti Ageng Tengen. Terletak di sebelah barat
daya Semarang, ± daerah Ungaran dan Kedungjati
2. Daerah Siti Bumi atau Bumija yang terletak di sekitar daerah
Kedu
3. Daerah Siti Numbak Anyar yang terletak di sekitar daerah
Bagelen
4. Daerah Pajang, dibagi menjadi Panumping yang meliputi
daerah Sukowati dan daerah Panekar yaitu daerah Pajang
bagian timur.
• Mancagara (Manca Nagara) adalah wilayah di luar
Nagaragung yang meliputi:
1. Mancagara Wétan (Mancanegara Timur), dimulai dari
Panaraga ke timur, yang meliputi Magetan, Madiun,
Grobogan, Kaduwung, Jagaraga, Panaraga, Pacitan, Kediri,
Jipang, Wirasaba, Blitar, Srengat, Lodaya, Pace, Nganjuk,
Berbek, Cakuwu, Wirasari
2. Mancagara Kilèn (Mancanegara Barat), dimulai dari
Banyumas ke barat, yang meliputi Banyumas, Cilacap,
Sumedang, Galuh, Priangan
• Pasisiran (Pesisir) adalah wilayah yang sebagian besar
berada di pantai utara Jawa dan sebagian diantaranya
diberikan otonomi tersendiri. Wilayah ini dibagi menjadi
dua:
1. Pasisiran Wétan (Pesisir Timur), dimulai dari Demak ke
timur, yang meliputi Jepara, Kudus, Pati, Rembang, Lasem,

Halaman 410 dari 883


Tuban, Sedayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan,
Blambangan
2. Pasisiran Kilèn (Pesisir Barat), dimulai dari Demak ke barat,
yang meliputi Semarang, Kendal, Pekalongan, Pemalang,
Tegal, Brebes, Cirebon, Indramayu, Karawang
Kedua wilayah, Mancagara Wétan dan Pasisiran Wétan,
biasanya disebut sebagai Brang Wétan. Demikian pula untuk
Mancagara Kilèn dan Pasisiran Kilèn disebut sebagai Brang Kilèn
atau Brang Kulon. Struktur wilayah Mataram memiliki susunan
yang teratur dengan wilayah kabupaten dan jumlah cacahnya
disebutkan di dalam Pustaka Rajapuwara. Di samping beberapa
wilayah di atas, terdapat tanah seberang (tanah sabrang: tanah yang
berada di seberang laut), seperti Jambi, Palembang, Banjar,
Kotawaringin dan Sukadana.

Struktur pemerintahan
Struktur pemerintahan Mataram dari puncak hingga ke
bawah pada dasarnya merupakan kelanjutan dari masa Majapahit.
Pada puncak kekuasaan terdapat raja yang dibantu oleh birokrat
istana. Di bawah raja terdapat penguasa-penguasa daerah yang
disebut bupati. Cara-cara pengerahan tenaga birokrasi ditandai
dengan ciri-ciri sebagai berikut:[23]

1. Pengangkatan dilakukan berdasarkan keturunan dan


kesetiaan terhadap raja.
2. Jabatan birokrasi di pusat kerajaan ditiru oleh penguasa
daerah.

Halaman 411 dari 883


3. Jabatan birokrasi tergantung pada wewenang atau sifat
pribadi raja.
4. Pengelolaan politik dan pemerintahan merupakan urusan
pribadi raja.
5. Tradisi menjadi aturan.
6. Tidak ada spesialisasi wewenang dan tugas para pejabat.
Dalam administrasi pemerintahan masing-masing wilayah
dipimpin oleh seorang pejabat tinggi. Para bupati mancanegara dan
pasisiran di bawah pengawasan seorang wedana bupati. Wedana
bupati pesisiran wetan berkedudukan di Jepara. Wedana bupati
mancanegara wetan berkedudukan di Ponorogo. Wedana bupati,
baik mancanegara maupun pasisiran, bertugas mengawasi dan
mengkoordinasi bupati-bupati yang berada di bawah yurisdiksinya.
Secara hierarkis, wedana bupati berhubungan langsung dengan patih
kerajaan yang mengurusi bidang pemerintahan.[23]

Kabupaten yang berada di mancanegara dan pasisiran


diperintah oleh bangsawan setempat. Kabupaten merupakan daerah
otonom dan dapat mencukupi kebutuhannya sendiri. Otonomi yang
dimiliki seorang bupati disertai dengan hak untuk memiliki
angkatan senjata sendiri. Tugas pokok seorang bupati, yaitu:[23]

1. Memungut pajak yang dibayarkan setiap tahun


2. Mengerahkan tenaga kerja untuk perang
3. Mengerjakan proyek pekerjaan umum
4. Menyelenggarakan peradilan di tingkat bawah
Budaya

Halaman 412 dari 883


Meskipun kerajaan Islam, Mataram tidak pernah
mengadopsi budaya, sistem, dan institusi Islam secara menyeluruh.
Sistem politiknya berakar dari peradaban Jawa asli yang
digabungkan dengan unsur-unsur Islam. Kesultanan Mataram
merupakan simbol berdirinya kekuatan sosial-politik Islam di Jawa
yang menjadi titik peralihan sekaligus masa transisi dari masa
Hindu-Buddha ke masa Kajawen (Ka-jawi-an). Mataram diakui
mampu menyiarkan Islam secara kultural yang ditandai dengan
perubahan besar pada masa Sultan Agung dalam mengadaptasikan
agama dengan budaya lokal.

Islam dihadirkan di Jawa secara adaptif dengan budaya asli


Jawa. Adaptasi kultural tersebut dapat diterima masyarakat Jawa,
maka pribumisasi Islam dianggap berhasil karena Islam
berkembang pesat di Jawa secara alamiah dan melalui proses
kultural dari masyarakat Jawa itu sendiri.

Sejak saat itulah budaya Islam di Jawa lebih dikenal dengan


istilah Kajawen (Ka-jawi-an) yang sarat dengan muatan sufistik dan
mulai berkembang pesat. Kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Arab-
Nya dari timur tengah mulai digubah dalam bahasa Jawa dengan
diadakan adaptasi seperlunya terhadap alam pikiran Jawa tanpa
kehilangan substansinya. Perpaduan dari berbagai sentral budaya ini
telah menimbulkan karya-karya kreatif baru yang memperkaya
khazanah sekaligus pengembang budaya Kajawen.

Daftar penguasa Mataram

Halaman 413 dari 883


Anyakrakusuma (Sultan Agung), salah satu sultan terbesar dari Mataram yang
dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Para penguasa Mataram adalah keturunan dari Ki Ageng


Sela, Ki Ageng Enis dan Ki Ageng Pamanahan, perintis dan pendiri
wangsa Mataram bersama tokoh dari Sela lainnya yaitu Ki Juru
Martani dan Ki Panjawi. Pada dasarnya penguasa Mataram mulanya
bergelar panembahan kemudian susuhunan, gelar sultan baru resmi
digunakan pada tahun 1641 pada masa kekuasaan Anyakrakusuma.
Berikut adalah daftar penguasa Mataram:

Awal meme Akhir


Nama Jangka hidup Keluarga
rintah meme
rintah
Danang Sutawijaya ?–1601 1586 1601 Wangsa
Panembahan Senapati Mataram

Halaman 414 dari 883


Raden Mas Jolang Wangsa
Anyakrawati ?–1613 1601 1613 Mataram
(Sunan Krapyak)
Raden Mas Jatmika Wangsa
Anyakrakusuma 1593–1645 1613 1645 Mataram
(Sultan Agung)
Raden Mas Sayyidin Wangsa
Amangkurat I 1618–13 Juli 1677 1646 1677 Mataram
(Sunan Tegalarum)
Raden Mas Rahmat Wangsa
Amangkurat II ?–1703 1677 1703 Mataram
(Sunan Amral)
Raden Mas Sutikna Wangsa
Amangkurat III ?–1734 1703 1705 Mataram
(Sunan Mas)
Raden Mas Darajat Wangsa
Pakubuwana I ?–1719 1704 1719 Mataram
(Sunan Ngalaga)
Raden Mas Suryaputra Wangsa
Amangkurat IV ?–20 April 1726 1719 1726 Mataram
(Sunan Jawi)
Raden Mas Prabasuyasa 8 Desember 1711–20 Wangsa
Pakubuwana II 1726 1742
Desember 1749 Mataram
(Sunan Kumbul)
Raden Mas Garendi Wangsa
Amangkurat V 1726–? 1742 1743 Mataram
(Sunan Kuning)
Raden Mas Prabasuyasa 8 Desember 1711–20 Wangsa
Pakubuwana II 1745 1749
Desember 1749 Mataram
(Sunan Kumbul)
1749–1755 (interregnum)
Mataram terbagi pada tahun 1755, sebagai akibat dari Perang Takhta Jawa Ketiga. Peristiwa itu disebut dalam bahasa Jawa sebagai Palihan Nagari.

Warisan

Tari Bedaya, merupakan tarian klasik Jawa warisan Sultan Agung.

Halaman 415 dari 883


Mataram adalah kerajaan Islam terbesar terakhir di Jawa
sebelum terbagi menjadi Surakarta, Yogyakarta, Mangkunagaran
dan Pakualaman. Setelah keruntuhan Mataram pada abad berikutnya
pulau Jawa dalam kolonialisme Belanda. Bagi sebagian orang Jawa,
Kesultanan Mataram, khususnya era Sultan Agung, dikenang
sebagai kebanggaan masa lalu yang gemilang, karena Mataram
menjadi kerajaan terakhir Islam terbesar di Jawa.[24]

Dalam seni dan budaya, Kesultanan Mataram telah


meninggalkan jejak yang kekal dalam budaya Jawa, karena banyak
unsur budaya Jawa, seperti gamelan, batik, keris, wayang kulit dan
tari tradisional Jawa diciptakan, dikembangkan dalam bentuknya
yang sekarang, dan diwariskan oleh karaton penerusnya. Pada masa
puncak Kesultanan Mataram pada paruh pertama abad ke-17,
kebudayaan Jawa berkembang, sebagian besar di wilayah Jawa
Barat dan Jawa Timur. Mataram banyak mempengaruhi kebudayaan
di Jawa termasuk di bagian barat. Pada periode ini masyarakat
Sunda berasimilasi lebih jauh dengan budaya Kajawen (Jawa).
Seperti wayang golek yang diadopsi dari Jawa, kemudian budaya
serupa seperti gamelan dan batik juga di kenalkan di sana dan
berkembang. Pada masa itu pula bahasa Sunda mulai menggunakan
tingkatan bahasa yang didasarkan kepada aturan serta nilai-nilai
sosial kemasyarakatan, untuk saling menghargai dan menghormati
orang lain, sebagaimana tercermin dalam bahasa Jawa. Selain itu
aksara Jawa juga digunakan untuk menulis bahasa Sunda sebagai
cacarakan

Halaman 416 dari 883


Kini, warisan budaya Kesultanan Mataram dilestarikan oleh
keempat pecahan Mataram (catur sagotra). Beberapa dari warisan
budaya tersebut adalah karya asli sejak masa kejayaan Mataram,
yang dibagi dalam Perjanjian Jatisari.

Catur Sagotra
Catur Sagotra merupakan penyatuan empat entitas yang
masih memiliki akar tunggal tali kekerabatan. Hal ini merujuk pada
keluarga kerajaan-kerajaan penerus dinasti Mataram Islam.
Kerajaan-kerajaan tersebut ialah Kesunanan Surakarta, Kesultanan
Yogyakarta, Kadipaten Mangkunagaran, dan Kadipaten
Pakualaman. Terbentuknya Catur Sagotra berawal pada tahun 2004
oleh Sri Susuhunan Pakubuwana XII, sebelum wafat
pernah memberi amanah kepada Nani Soedarsono untuk
melanjutkan cita-cita luhur Catur Sagotra. Catur Sagotra merupakan
sebuah gagasan bersama dari empat raja Jawa pada waktu itu yaitu
Sri Susuhunan Pakubuwana XII, Sri Sultan Hamengkubuwana IX,
KGPAA. Mangkunagara VIII dan KGPAA. Paku Alam VIII. Tujuan
Catur Sagotra adalah untuk mempersatukan keempat trah dalam
ikatan kesamaan falsafah budaya dan keterkaitan sejarah leluhur
Mataram.[25]

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Dinas


Kebudayaan (Kundha Kabudayan) rutin menyelenggarakan festival
Catur Sagotra setiap tahunnya. Festival ini diikuti oleh perwakilan
dari keempat wilayah pecahan Mataram. Keempat keraton akan
menampilkan mahakarya seni dan budaya sesuai dengan gaya
masing-masing.
Halaman 417 dari 883
Referensi
1. ^ "Koin Java Rupee Dengan Seijin Susuhunan Mataram". kintamoney.com. 2011. Diakses
tanggal 19 Agustus 2020.
2. ^ Graaf, Hermanus Johannes de (2001). Awal kebangkitan Mataram : masa pemerintahan
Senapati (edisi ke-Cet. 3). Jakarta: Grafiti. ISBN 9789794440117. OCLC 603911675.
3. ^ "The Mataram Kingdom & Royal Palaces". joglosemar.co.id. Diarsipkan dari versi asli
tanggal 2021-03-03. Diakses tanggal 20 Agustus 2020.
4. ^ Lompat ke:
a b "Mataram, Historical kingdom, Indonesia". Encyclopædia Britannica. Diakses tanggal

20 Agustus 2020.
5. ^ M.C. Ricklest. 2007. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
1200-2004.
6. ^ Brown 2003, p. 63: "On February 13, 1755, the Treaty of Giyanti was signed, dividing
what was left of the kingdom of Mataram into two parts. One part, with its capital in the
city of Solo, was headed by Pakubuwana II's son, Pakubuwana III. The other part, with its
capital 60 kilometres to the west of Yogyakarta, was ruled by Pakubuwana II's half-brother
Mangkubumi, who took the title Sultan Hamengkubuwono I. The treaty was not
immediately accepted by all parties to the dispute: fighting went on for another two years.
In 1757, though, an uneasy peace settled on Java when Pakubuwana III's territory was
divided, with a portion going to his cousin Mas Said, who took the title Mangkunegara I."
7. ^ "Gianti Agreement | Indonesia [1755]". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris).
Diakses tanggal 2020-01-08.
8. ^ Adji, Krisna Bayu; Achmad, Sri Wintala (2014). Sejarah raja-raja Jawa : dari Mataram
Kuno hingga Mataram Islam. Yogyakarta: Araska Publisher.
9. ^ Munawar, Zaid (2020). "Pengelolaan Pajak di Kerajaan Mataram Islam Masa Sultan
Agung, 1613-1645 M". Jurnal Sejarah Peradaban Islam. 4 (1): 10.
10. ^ Lompat ke:
a b c Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Kanisius. hlm. 55.

11. ^ Lompat ke:


a b c d e Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Kanisius. hlm. 56.

12. ^ Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Kanisius. hlm. 63.


13. ^ Lompat ke:
a b c Mengenal Sejarah Runtuhnya Kesultanan Mataram dan Daftar Raja-raja

14. ^ Lompat ke:


a b Solo, Kota yang Terbentuk Dari Geger Pecinan

15. ^ Tim Okezone (2022). "Duet Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa Sikat
VOC di Kerajaan Mataram". okezone.com. Diakses tanggal 22 Februari 2022.
16. ^ Aswab Nanda Pratama (2019). "Hari Ini dalam Sejarah, Perjanjian Giyanti Memecah
Wilayah Mataram Islam". Kompas.com. Diakses tanggal 20 Januari 2021.
17. ^ Lompat ke:
a b c Moedjanto, G (1987). Konsep Kekuasaan Jawa; Penerapannya Oleh Raja-raja

Mataram. Yogyakarta: Kanisius.

Halaman 418 dari 883


18. ^ Widada, dkk. (2001). Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius.
Wurianto, Arif Budi. (2001). Gung Binatara: Kekuasaan dan Moralitas Jawa. Jurnal Ilmiah
Bestari
19. ^ Lompat ke:
a b Suwarno, P. J. (1989). Sejarah Birokrasi Pemerintahan Indonesia Dahulu dan

Sekarang. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.


20. ^ Kartodirdjo, A. Sartono, dkk. (1995). Negara dan Nasionalisme Indonesia; Integrasi,
Disintegrasi, dan Suksesi. Jakarta: Grasindo.
21. ^ Serat Pustaka Rajapuwara, Koleksi Reksapustaka Mangkunegaran, Surakarta, No. MS
113.
22. ^ Moertono, S. (1985). Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau, Studi
Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
23. ^ Lompat ke:
a b c Sapto, Ari (2015-12-30). "Pelestarian Kekuasaan Pada Masa Mataram Islam: Sebha

Jaminan Loyalitas Daerah Terhadap Pusat". Sejarah dan Budaya: Jurnal Sejarah, Budaya,
dan Pengajarannya. 9 (2): 156–157. doi:10.17977/um020v9i22015p153-161.
ISSN 2503-1147.
24. ^ Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia Since C. 1200.
25. ^ Yudono, Jodhi (ed.). "Catur Sagotra Nusantara, untuk Melestarikan Empat Keraton".
Kompas.com. Diakses tanggal 2021-02-01.
Daftar Pustaka
1. Soekmono, Drs. R. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. 2nd edition. Penerbit
Kanisius 1973. 5th reprint edition in 2003. Yogyakarta. ISBN 979-413-291-8. (in
Indonesian)
2. Anderson, BRO’G. The Idea of Power in Javanese Culture dalam Anderson, BRO’G.
Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Cornell University Press.
1990.
3. Carey, Peter. 1997. Civilization on loan: the making of an upstart polity: Mataram and its
successors, 1600–1830. Modern Asian Studies 31(3):711–734.
4. de Graaf, H.J. dan T.H. Pigeaud. 2003. Kerajaan Islam Pertama Di Jawa: Tinjauan Sejarah
Politik Abad XV dan XVI. Pustaka Utama Graffiti.
5. De Graaf, H.J. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Pustaka
Utama Graffiti 2002.
6. Mangunwijaya Y.B. 1983. Rara Mendut. Jakarta : Gramedia.
7. Miksic, John (general ed.), et al. (2006) Karaton Surakarta. A look into the court of
Surakarta Hadiningrat, central Java (First published: 'By the will of His Serene Highness
Paku Buwono XII'. Surakarta: Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta, 2004)
Marshall Cavendish Editions Singapore ISBN 981-261-226-2
8. Ricklefs, M.C. 2002. Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749–1792: Sejarah
Pembagian Jawa. Yogyakarta: Penerbit Matabangsa.
9. Ricklefs, M.C. 2001. A history of modern Indonesia since c.1200. Stanford: Stanford
University Press. ISBN 0-8047-4480-7.

Halaman 419 dari 883


BAB 22
PANGERAN DIPONEGORO : MUSUH NOMOR
SATU KERAJAAN BELANDA YANG SUKSES
MEMBANGKRUTKAN VOC

Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Abdul


Hamid Ngerucakra Kabir al-Mukminin
Sayid Panatagama Khalifah Rasulullah
saw. ing Tanah Jawi

Halaman 420 dari 883


Bendara Pangeran Harya Dipanegara (atau biasa dikenal
dengan nama Pangeran Diponegoro, 11 November 1785 – 8 Januari
1855) adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia,
yang memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa selama
periode tahun 1825 hingga 1830 melawan pemerintah Hindia
Belanda.

Sejarah mencatat, Perang Diponegoro atau Perang Jawa


dikenal sebagai perang yang menelan korban terbanyak dalam
sejarah Indonesia, yakni 8.000 korban serdadu Hindia Belanda,
7.000 pribumi, dan 200 ribu orang Jawa serta kerugian materi 25
juta Gulden.

Asal usul
Diponegoro lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 November
1785 dari ibu yang merupakan seorang selir (garwa ampeyan),
bernama R.A. Mangkarawati, dari Pacitan dan ayahnya bernama
Gusti Raden Mas Suraja, yang di kemudian hari naik takhta bergelar
Hamengkubuwana III.[1] Pangeran Diponegoro sewaktu dilahirkan
bernama Bendara Raden Mas Mustahar, kemudian diubah menjadi
Bendara Raden Mas Antawirya.[2] Nama Islamnya adalah Abdul
Hamid.[3] Setelah ayahnya naik takhta, Bendara Raden Mas
Antawirya diwisuda sebagai pangeran dengan nama Bendara
Pangeran Harya Dipanegara.

Ketika dewasa, Pangeran Diponegoro menolak keinginan


sang ayah untuk menjadi raja. Ia sendiri beralasan bahwa posisi

Halaman 421 dari 883


ibunya yang bukan sebagai istri permaisuri, membuat dirinya
merasa tidak layak untuk menduduki jabatan tersebut.[4]

Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas,


banyak membaca, dan ahli di bidang hukum Islam-Jawa. Dia juga
lebih tertarik pada masalah-masalah keagamaan ketimbang masalah
pemerintahan keraton dan membaur dengan rakyat. Sang Pangeran
juga lebih memilih tinggal di Tegalrejo, berdekatan dengan tempat
tinggal eyang buyut putrinya, yakni Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo,
permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, daripada tinggal di
keraton.[4]

Pangeran Diponegoro mulai menaruh perhatian pada


masalah keraton ketika dirinya ditunjuk menjadi salah satu anggota
perwalian untuk mendampingi Sultan Hamengkubuwana V (1822)
yang saat itu baru berusia 3 tahun. Karena baru berusia 3 tahun,
pemerintahan keraton sehari-hari dikendalikan oleh Patih Danureja
IV dan Residen Belanda. Pangeran Diponegoro tidak menyetujui
cara perwalian seperti itu, sehingga dia melakukan protes.

Kehidupan pribadi
Dalam kehidupan sehari-harinya, Pangeran Diponegoro
adalah pribadi yang menyukai sirih dan rokok sigaret Jawa yang
dilinting khusus dengan tangan, mengoleksi emas, dan berkebun.
Bahkan, di tempat persemediannya di Selarejo dan Selarong, kebun
yang dimilikinya ditanami bunga, sayur-sayuran, buah-buahan,
ikan, kura-kura, burung tekukur, buaya hingga harimau.

Halaman 422 dari 883


Dia juga dikenal sebagai pria yang romantis, Pangeran
Diponegoro setidaknya menikah beberapa kali dalam hidupnya.[5]
Sang Pangeran pertama kali menikah pada usia 27 tahun dengan
Raden Ayu Retno Madubrongto, seorang guru agama dan putri
kedua dari Kiai Gede Dadapan. Dari hasil pernikahan ini,
Diponegoro memiliki anak laki-laki bernama Putra Diponegoro II.[6]

Pada 27 Februari 1807, Pangeran Diponegoro kembali


menikah untuk kedua kalinya dengan putri dari Raden Tumenggung
Natawijaya III, seorang bupati dari Panolan Jipang, Kesultanan
Yogyakarta, bernama Raden Ajeng Supadmi, itupun atas permintaan
Sultan Hamengkubuwana III.[6] Diponegoro kemudian bercerai tiga
tahun setelah pernikahannya tersebut dan dianugerahi seorang anak
bernama Pangeran Diponingrat, yang memiliki sifat arogan menurut
Putra Diponegoro II.[6]

Pernikahan ketiga terjadi pada tahun 1808 dengan R.A.


Retnadewati, seorang putri kiai di wilayah selatan Yogyakarta. Istri
pertama dan ketiga Pangeran, yakni Madubrongto dan Retnadewati
meninggal ketika Diponegoro masih tinggal di Tegalrejo. Sang
Pangeran kemudian menikah kembali pada tahun 1810 dengan
Raden Ayu Citrawati, puteri dari Raden Tumenggung Rangga
Parwirasentika dengan salah satu isteri selir. Namun, sang istri
Raden Ayu Citrawati meninggal tidak lama setelah melahirkan
anaknya, akibat kerusuhan di Madiun. Sang bayi kemudian
diserahkan kepada Ki Tembi untuk diasuh dan diberi nama Singlon
(nama samaran) dan terkenal dengan nama Raden Mas Singlon.[7]

Halaman 423 dari 883


Pangeran kembali menikah kelima kalinya pada 28
September 1814 dengan Raden Ayu Maduretno, putri dari Raden
Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri
Hamengkubuwana II). Sang istri, Raden Ayu Maduretno merupakan
saudara seayah dengan Sentot Prawiradirdja, tetapi lain ibu. Raden
Ayu Maduretno diangkat menjadi permaisuri bergelar Kanjeng Ratu
Kedaton I pada 18 Februari 1828, ketika Pangeran Diponegoro
dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid. Pada Januari 1828, sang
Pangeran kembali menikah untuk keenam kalinya dengan Raden
Ayu Retnoningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
Ketujuh menikah dengan Raden Ayu Retnaningsih, putri Raden
Tumenggung Sumaprawira, seorang bupati Jipang Kepadhangan,
dan kedelapan dengan R.A. Retnakumala, putri Kiai Guru
Kasongan.[7][8]

Dari hasil beberapa kali pernikahannya tersebut, Pangeran


Diponegoro memiliki 12 putra dan 5 orang putri, yang saat ini
seluruh keturunannya tersebut hidup tersebar di berbagai penjuru
dunia, termasuk Jawa, Madura, Sulawesi, Maluku, Australia, Serbia,
Jerman, Belanda, dan Arab Saudi.[9]

Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai pribadi yang


suka melucu dan bercanda. Terkadang, dia sangat benci dengan
komandan tentaranya yang dianggapnya pengecut.

Perang Diponegoro (1825–1830)


Perang Diponegoro atau Perang Jawa diawali dari keputusan
dan tindakan Hindia Belanda yang memasang patok-patok di atas

Halaman 424 dari 883


lahan milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Tindakan tersebut
ditambah beberapa kelakuan Hindia Belanda yang tidak menghargai
adat istiadat setempat dan eksploitasi berlebihan terhadap rakyat
dengan pajak tinggi, membuat Pangeran Diponegoro semakin muak
hingga mencetuskan sikap perlawanan sang Pangeran.[10]

Di beberapa literatur yang ditulis oleh Hindia Belanda,


menurut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Profesor
Wardiman Djojonegoro, terdapat pembelokan sejarah penyebab
perlawanan Pangeran Diponegoro karena sakit hati terhadap
pemerintahan Hindia Belanda dan keraton, yang menolaknya
menjadi raja. Padahal, perlawanan yang dilakukan disebabkan sang
pangeran ingin melepaskan penderitaan rakyat miskin dari sistem
pajak Hindia Belanda dan membebaskan istana dari madat.[11]

Keputusan dan sikap Pangeran Diponegoro yang menentang


Hindia Belanda secara terbuka kemudian mendapat dukungan dan
simpati dari rakyat. Atas saran dari sang paman, yakni GPH
Mangkubumi, Pangeran Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan
membuat markas di Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro
menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan
menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan
Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan
Kedu.

Medan pertempuran Perang Diponegoro mencakup


Yogyakarta, Kedu, Bagelen, Surakarta, dan beberapa daerah seperti
Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal,

Halaman 425 dari 883


Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang, Madiun,
Pacitan, Kediri, Bojonegoro, Tuban, dan Surabaya.[12]

Para panglima Diponegoro


Beberapa tokoh karismatik yang turut bergabung dengan
Pangeran Diponegoro adalah Kiai Madja, Pakubuwana VI, dan
Raden Tumenggung Prawiradigdaya. Pangeran Diponegoro juga
dibantu oleh putranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewa. Ki
Sodewa melakukan peperangan di wilayah Kulonprogo dan
Bagelen. Selain itu, ada beberapa ulama pendukung, yakni Kiai
Imam Rafi'l (Bagelen), Kiai Imam Nawawi (Ngluning Purwokerto),
Kiai Hasan Basori (Banyumas), dan kiai-kiai lainnya.[12]

Kiai Madja
Kiai Madja merupakan seorang tokoh agama asal Surakarta
yang turut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong.
Kiai Madja lahir di Desa Mojo, wilayah Pajang, dekat Kota
Surakarta. Dia tertarik dan turut serta berjuang bersama Pangeran
Diponegoro karena sama-sama ingin mendirikan kerajaan yang
berlandaskan Islam. Kiai Madja dikenal sebagai ulama besar yang
sebenarnya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Pangeran
Diponegoro. Ibu Kiai Madja, yakni R.A Mursilah, adalah saudara
perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III.[13]

Namun, Kiai Madja yang bernama asli Muslim Mochamad


Khalifah semenjak lahir justru tidak mencicipi kemewahan gaya
hidup sebagai keluarga istana. Jalinan persaudaraan dirinya dengan
Pangeran Diponegoro kian erat setelah Kiai Madja menikah dengan

Halaman 426 dari 883


janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari
Diponegoro. Tak heran, Diponegoro memanggil Kiai Madja dengan
sebutan "paman", meski relasi keduanya adalah saudara sepupu.[14]

Diponegoro, c.1830.

Perjuangan Pangeran Diponegoro juga didukung oleh Sunan


Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawira Digdoyo Bupati
Gagatan Raden Tumenggung Prawiradigdoyo Bupati Gagatan
adalah Bupati saat itu di wilayah Gagatan, yang saat ini setelah
kemerdekaan NKRI masuk di wilayah Kecamaan Wonosegoro,
Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah.adalah Bupati saat itu di
wilayah Gagatan, yang saat ini setelah kemerdekaan NKRI masuk
di wilayah Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali, Provinsi

Halaman 427 dari 883


Jawa Tengah. Meski demikian, pengaruh dukungan Kiai Madja
terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki
banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kiai Madja yang
dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam ini bercita-cita, tanah
Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada
syariat Islam. Semangat memerangi Belanda yang merupakan
musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh sebab itu, kekuatan
Diponegoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh
agama yang berafiliasi dengan Kiai Madja.[15] Menurut Peter Carey
(2016) dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855
disebutkan bahwa sebanyak 112 kiai, 31 haji, serta 15 syekh dan
puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.

Sentot Prawirodirdjo

Sentot Prawirodirdjo atau dikenal juga Sentot Ali Pasha/Ali Basha adalah salah
satu Panglima Pangeran Diponegoro.

Halaman 428 dari 883


Pendukung lainnya adalah Sentot Ali Basha Abdul Mustopo
Prawirodirdjo atau dikenal dengan Sentot Ali Pasha/Sentot Ali
Basha, putra dari Ronggo Prawirodirjo III yang menjabat sebagai
Bupati Montjonegoro Timur, ipar Sultan Hamengkubuwana IV,
yang terbunuh oleh Hindia Belanda pada zaman pemerintahan
Gubernur Daendels.[17]

Menurut sejarawan Soekanto, Sentot bergabung pada 28 Juli 1826,


sedangkan menurut Peter Carey, Sentot bergabung ketika berumur
17 tahun pada Agustus 1825 di Selarong. Pada Agustus 1828, salah
satu panglima Diponegoro bernama Gusti Basah, gugur dan
sebelum meninggal, ia meminta sang Pangeran menunjuk Sentot
sebagai penggantinya. Setelah diangkat menjadi senopati, Sentot
berhasil memukul mundur tentara Sollewijn di Progo Timur pada 5
September 1828. Beberapa minggu kemudian, Sentot juga berhasil
memenangkan peperangan di Bagelen dan Banyumas. Strategi
perang yang digunakan Sentot adalah penggerebekan dengan
menggempur sekeras-kerasnya dengan pasukan penuh. Sentot juga
dikenal pandai dalam perang gerilya.[17]

Gelar "Basya" atau "Pasha" diilhami oleh sosok Usamah bin


Zaid, panglima Turki yang memimpin perang melawan bangsa
Romawi dalam usia 17 tahun juga. Sentot Alibasha juga dijuluki
"Napoleon Jawa".[12] Sentot memimpin pasukan sebanyak 1.000
orang dengan menyandang senjata dan mengenakan jubah dan
sorban. Struktur pasukannya pun mirip seperti pasukan Turki
Utsmani.[12]

Halaman 429 dari 883


Sentot juga berhasil memenangkan peperangan di Kroya dan
merampas 400 pucuk senjata, meriam berikut mesiunya serta
menawan ratusan serdadu Hindia Belanda. Untuk menangkap
Sentot, Jenderal De Kock membujuk bupati Madiun,
Prawirodiningrat, yang merupakan kakaknya, agar bersedia
berunding dengan Hindia Belanda. Atas bujukan kakaknya tersebut,
Sentot kemudian menerima tawaran Belanda untuk datang ke
Yogyakarta dan disambut dengan upacara militer seperti seorang
jenderal pada 24 Oktober 1829 hingga akhirnya disergap dan
ditangkap.

Setelah menyerah dalam Perang Diponegoro, Sentot sempat


dikirim ke Salatiga, Batavia, hingga akhirnya Hindia Belanda
mengirimnya ke Sumatra Barat untuk membasmi pemberontakan
ulama dalam Perang Padri. Namun ini hanya strategi Sentot agar
berhasil mendapatkan persenjataan untuk membantu perjuangan
Tuanku Imam Bonjol. Sentot akhirnya ditahan Hindia Belanda dan
dikirim kembali ke Batavia pada Maret 1833 dan ke Bengkulu pada
Agustus 1833 sebelum akhirnya wafat dalam usia 47 tahun dalam
pengasingan di Bengkulu pada 17 April 1855.[17]

Kerta Pengalasan
Kerta Pengalasan, lahir tahun 1795 dan wafat sekitar tahun
1866, adalah salah satu senopati Pangeran Diponegoro. Dia
dipercaya oleh Pangeran Diponegoro untuk memperkuat sistem
pertahanan pusat negara di Plered.[7] Sebelum perang, Kerta
Pengalasan adalah kepala desa di Desa Tanjung, Nanggulan, Kulon

Halaman 430 dari 883


Progo. Dia diperintah oleh Pangeran Blitar I, salah satu putra Sultan
Hamengkubuwono I untuk mendukung Pangeran Diponegoro.

Para pendamping
Selain para panglima perang, Pangeran Diponegoro juga
didampingi oleh para pendamping yang sering disebut sebagai
panakawan (pengiring), yakni Joyosuroto (Roto), Banthengwareng,
Sahiman (Rujakbeling), Kasimun (Wangsadikrama), dan Teplak
(Rujakgadhung).[19] Mereka para panakawan disebut juga sebagai
bocah becik (anak baik) dan berperan bergantian sebagai abdi
pengiring, guru, penasihat, peracik obat, pembanyol, hingga
penafsir mimpi.[20]

Joyosuroto
Joyosuroto (dipanggil Roto) adalah panakawan yang selalu
ada di setiap perjalanan sang Pangeran sejak awal perjuangan
hingga perjalanan sebagai tahanan menuju pengasingan. Roto
bahkan ikut dalam kereta kuda residen Kedu menuju Semarang dan
bertugas membawa kotak sirih. Roto juga menjaga kamar Pangeran
Diponegoro dengan tidur di depan pintu kamarnya ketika sang
pangeran telah tiba dan menginap selama seminggu di Wisma
Residen Bojong, Semarang. Dia menyajikan roti putih yang
dipanggang setiap pagi berikut kentang walanda.[20]

Sebelum bergabung dengan Pangeran Diponegoro, Roto


adalah hanya seorang warga desa sekitar Tegalrejo. Setelah perang
dimulai, Roto ikut bersama pasukan Diponegoro menuju perbukitan
di Selarong pada tahun 1825 dan tinggal di Guwo Secang yang

Halaman 431 dari 883


memiliki dapur. Di tempat ini, sang Pangeran kian mendalami ilmu
mistik dan agamanya dengan tinggal di gua-gua dan berziarah.

Ketika perang berkecamuk dan sang pangeran menerapkan


sistem pemerintahan keraton di Selarong (Oktober 1825) dan di
Kemusuk, Kulon Progo (November 1825-Agustus 1826), para
panakawan tidak lagi menjadi satu-satunya sahabat karib sang
Pangeran. Meski demikian, para panawakan selalu mendampingi
setiap langkah sang Pangeran. Bahkan, Roto bersama
Banthengwareng, menemani Pangeran Diponegoro ke hutan-hutan
di sebelah barat Bagelen ketika meloloskan diri dari kejaran
pasukan AV Michiels. Saat itu, kondisi Diponegoro terkena sakit
malaria, terpaksa berpindah-pindah dari gubug petani satu ke gubug
lainnya dan Roto menghibur sang Pangeran yang sedang sakit
dengan banyolan-banyolan yang lucu.[20]

Sosok Roto hadir dalam lukisan Raden Saleh berjudul


Penangkapan Pangeran Diponegoro. Dia dilukiskan sedang berdiri
di pilar bagian barat, sosoknya tersembunyi di belakang seorang
pasukan Hindia Belanda yang tengah memegang senjata, tanpa
mengenakan sorban, dengan wajah tengah memandang ke arah
tuannya.[20] Roto juga ikut serta ketika Diponegoro diasingkan ke
Manado dan tinggal bersama keluarganya selama tiga tahun
sebelum pada tahun 1839, pemerintah Hindia Belanda mengirimnya
ke Tondano dan bergabung dengan Kiai Modjo.[19]

Banthengwareng

Halaman 432 dari 883


Banthengwareng yang hidup antara tahun 1810-1858
disebut-sebut sebagai panakawan yang paling setia.
Banthengwareng disebut sebagai panakawan yang paling setia,
karena dia ikut hingga Pangeran Diponegoro diasingkan ke
Makassar.[19]

Namanya tertulis dalam Babad Dipanagara dengan julukan lare


bajang, anak muda yang nakal dan cebol. Tubuh cebolnya juga
tergambar dalam lukisan koleksi Snouck Hurgronje yang tersimpan
di Universitas Leiden, yang menggambarkan Banthengwereng
sebagai sosok bertubuh cebol, buncit dan tak berbusana. Di lukisan
tersebut, Banthengwereng berdiri di dekat Pangeran Diponegoro
dan membantu sang Pangeran mengajarkan ilmu mistik Islam
kepada putranya, ketika berada dalam pengasingan tahun
1835-1855.[19]

Roto bersama Banthengwareng, menemani Pangeran


Diponegoro ke hutan-hutan di sebelah barat Bagelen ketika
meloloskan diri dari kejaran pasukan AV Michiels. Saat itu, kondisi
Diponegoro terkena sakit malaria, terpaksa berpindah-pindah dari
gubug petani satu ke gubug lainnya dan Roto menghibur sang
Pangeran yang sedang sakit dengan banyolan-banyolan yang lucu.
[20]

Sejarawan Belanda, George Nypels dalam bukunya yang


berjudul De Oorlog in Midden-Java van 1825 tot 1830, menuliskan
bahwa Diponegoro ditemani dua pengiringnya dalam kondisi
kekurangan, dengan luka di kakinya dan sakit malaria, harus

Halaman 433 dari 883


berpindah-pindah terkadang tidak memiliki tempat berteduh dan
cukup makanan. Pangeran Diponegoro bersembunyi selama tiga
bulan antara pertengahan November 1829 hingga pertengahan
Februari 1830.

Strategi Perang Sang Pangeran


Pasukan Pangeran Diponegoro dibagi menjadi beberapa
batalyon yang diberi nama berbeda-beda, seperti Turkiya, Arkiya,
dan lain sebagainya. Setiap batalyon dibekali dengan senjata api dan
peluru-peluru yang dibuat di hutan.Pangeran Diponegoro bersama
para panglimanya menerapkan strategi perang gerilya yang selalu
berpindah-pindah. Markasnya di Selarong sering kali kosong ketika
pasukan Belanda menyerang lokasi tersebut. Sang Pangeran dan
pasukannya baru kembali ke Selarong setelah pasukan Belanda
pergi meninggalkan Selarong.[7]

Pusat pertahanan pasukan Diponegoro kemudian


dipindahkan dari Selarong ke Daksa. Sang Pangeran juga
dinobatkan menjadi kepala negara bergelar "Ingkang Sinuhun
Kangjeng Sultan Abdul Hamid Ngerucakra Kabir al-Mukminin
Sayid Panatagama Khalifah Rasulullah saw. ing Tanah Jawi
dengan pusat negara berada di Plered, dengan pertahanan yang kuat.
Sistem pertahanan daerah Plered dipercayakan penanganannya
kepada Kerta Pengalasan.[7]

Kuatnya pertahanan di Plered dibuktikan dengan gagalnya


serangan besar-besaran pasukan Hindia Belanda pada tanggal 9 Juni
1826. Setelah penyerangan tersebut, sang Pangeran mengganti

Halaman 434 dari 883


posisi Kerta Pengalasan dengan Ali Basha Prawiradirja dan
Prawirakusumah, keduanya masih berusia 16 tahun.[7] Setelah itu,
masih di bulan dan tahun yang sama, pasukan Hindia Belanda
menyerang markas Diponegoro di Daksa, tetapi sudah dikosongkan.
Ketika pasukan Hindia Belanda kembali dari Daksa menuju
Yogyakarta, pasukan Diponegoro menyergap dan membinasakan
seluruh pasukan dan menghilang dari Daksa.

Pada Oktober 1826, pasukan Diponegoro menyerang


pasukan Hindia Belanda di Gawok dan mendapat kemenangan.
Namun, sang Pangeran terluka dan terpaksa harus ditandu ke lereng
Gunung Merapi. Pada 17 November 1826, sang Pangeran bertolak
ke Pengasih (sebelah barat Yogyakarta) untuk menyerang pasukan
Hindia Belanda. Di lokasi ini, sang Pangeran mendirikan keraton di
Sambirata sebagai pusat negara baru. Pasukan Belanda sempat
menyerang Sambirata, tetapi Diponegoro berhasil meloloskan diri.
Perang sempat berhenti akibat gencatan senjata pada 10 Oktober
1827, namun perundingan tidak menemui kesepakatan apa pun.[7]

Berkat dukungan dan simpatik rakyat, pasukan Pangeran


Diponegoro dapat dengan mudah memindah-mindahkan markasnya
dan mendapat pasokan logistik. Selain itu, pasukan Diponegoro
dikenal sangat cepat dan lincah berkat semangat perang Sabilillah.
Akibatnya, Hindia Belanda banyak mengirimkan jenderal, kolonel
dan mayor ke Pulau Jawa, seperti Jenderal De Kock, Jenderal Van
Geen, Jenderal Holsman, dan Jenderal Bisschof.

Halaman 435 dari 883


Para senopati menggunakan strategi dengan menjadikan
kondisi alam sebagai "senjata" dan tameng yang tak terkalahkan.
Hal ini dilakukan dengan melakukan serangan-serangan besar-
besaran pada saat bulan-bulan penghujan. Hujan tropis yang deras
tersebut sering kali membuat gerak dari pasukan Hindia Belanda
terhambat, sehingga para gubernur Hindia Belanda akan melakukan
berbagai usaha untuk melakukan gencatan senjata dan berunding.
Ancaman lainnya datang dari penyakit malaria, disentri, dan
sebagainya, yang menjadi “musuh yang tak tampak” bagi pasukan
Hindia Belanda sehingga sering kali melemahkan moral dan kondisi
fisik bahkan merenggut nyawa pasukan. Ketika gencatan senjata
terjadi, Belanda lantas memanfaatkan situasi dengan
mengkonsolidasikan pasukannya dan menyebarkan mata-mata serta
provokator di desa-desa dan kota kemudian menghasut, memecah
belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan
pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando
pangeran Diponegoro. Namun, pejuang pribumi tersebut tidak
gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.

Hindia Belanda Kian Merugi


Bagi Hindia Belanda, Perang Diponegoro adalah perang
terbuka dengan mengerahkan berbagai jenis pasukan mulai dari
pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri, yang sejak Perang Napoleon
selalu menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal. Front
pertempuran terjadi di berbagai desa dan kota di seluruh Jawa dan
berlangsung sanngat sengit. Penguasaan suatu wilayah selalu silih
berganti. Jika ada suatu wilayah dikuasai pasukan Hindia Belanda

Halaman 436 dari 883


pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut
kembali oleh pasukan pribumi, demikian pula sebaliknya.

Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah


lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu
dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan
peluru berlangsung terus sementara peperangan berkecamuk. Para
telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan
informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang.
Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu,
kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama, karena taktik dan
strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan
informasi.

Pada puncak peperangan tahun 1827, Belanda mengerahkan


lebih dari 23.000 orang serdadu,[10] suatu hal yang belum pernah ada
suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan
sebagian Jawa Timur, tetapi dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari
sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan
semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik
metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang
gerilya (guerilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and
run dan pengadangan. Ini bukan sebuah perang suku, melainkan
suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat
itu belum pernah dipraktikkan. Perang ini juga dilengkapi dengan
taktik perang urat saraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-
tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang
terlibat langsung dalam pertempuran, dan kegiatan telik sandi

Halaman 437 dari 883


(spionase) dengan kedua pihak saling memata-matai dan mencari
informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.

Berbagai cara licik juga terus dilakukan Hindia Belanda


untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun
dipergunakan dengan mengeluarkan maklumat pada 21 September
1829 bahwa siapapun yang dapat menangap Pangeran Diponegoro
baik hidup atau mati, akan diberi hadiah sebesar 50.000 Gulden,
beserta tanah dan penghormatan.[7]

Perubahan strategi Hindia Belanda terjadi ketika Gubernur


Jenderal DeKock diangkat menjadi panglima seluruh Hindia
Belanda tahun 1827. Untuk membatasi ruang gerak dan strategi
gerilya Pangeran Diponegoro, DeKock menggunakan strategi
perbentengan (Benteng Stelsel). Benteng-benteng dengan kawat
berduri didirikan begitu pasukan Hindia Belanda berhasil merebut
daerah kekuasaan pasukan Diponegoro. Tujuannya agar pasukan
Diponegoro tidak dapat kembali dan mempersempit ruang
geraknya. Jarak antar bentang berdekatan dan dihubungkan dengan
pasukan gerak cepat.

Perlawanan Pangeran Diponegoro semakin melemah sejak


akhir tahun 1828, setelah Kiai Madja, pemimpin spiritual
pemberontakan, ditangkap pada 12 Oktober 1828, menyusul
kemudian Sentot Prawirodirdjo dan pasukannya pada 16 Oktober
1828, karena kesulitan biaya, dan tertangkapnya istri sang Pangeran
yakni R.A Ratnaningsih dan putranya pada 14 Oktober 1829.[7]

Negosiasi dan pengkhianatan

Halaman 438 dari 883


Pada 16 Februari 1830, Diponegoro setuju untuk bertemu
dengan utusan Jenderal De Kock, yakni Kolonel Jan Baptist
Clereens dan mengutus Kiai Pekih Ibrahim dan Haji Badaruddin
agar Clereens bisa datang ke Remo Kamal, Bagelen (sekarang
masuk wilayah Kabupaten Purworejo), di hulu sungai
Cingcingguling. Pertemuan pada 20 Februari 1830 tersebut tidak
menghasilkan kesepakatan, meski berjalan lancar dan akrab.
Akhirnya, Diponegoro ingin bertemu langsung dengan De Kock
yang ketika itu berada di Batavia dan bermaksud menunggunya di
Bagelen Barat. Namun, Clereens menyarankan agar Diponegoro
menunggu De Kock di Menoreh dan sang Pangeran tiba pada 21
Februari 1830 dan dielu-elukan oleh 700 pengikutnya.

Ketika itu, bulan Ramadhan berlangsung mulai 25 Februari


hingga 27 Maret 1830 dan Pangeran Diponegoro menegaskan
kepada De Kock bahwa selama pertemuan di bulan puasa tidak akan
ada diskusi yang serius dan hanya ramah tamah biasa hingga bulan
Ramadhan berakhir. De Kock menyetujuinya. Selama tinggal di
Magelang, seluruh pasukan dan pengikut Pangeran Diponegoro
ditandai dengan sorban dan jubah hitam yang diberikan oleh
Clereens.[3]

Sikap manis ditunjukkan De Kock kepada Pangeran


Diponegoro dengan memberikan hadiah seekor kuda berwarna abu-
abu dan uang f 10.000 yang dicicil dua kali untuk membiayai para
pengikutnya selama bulan puasa. Bahkan, De Kock mengizinkan
istri sang Pangeran, ibunya, kedua putra dan putrinya yang masih
kecil, yakni Raden Mas Joned dan Raden Mas Raib, putra tertuanya

Halaman 439 dari 883


bersama panglima Diponegoro di Kedu Utara, Basah Imam
Musbah, hadir dan bergabung di Magelang.[3]

Dalam pikiran De Kock, kedatangan Diponegoro dan


pengikutnya secara sukarela menunjukkan Pangeran Diponegoro
telah kalah secara de facto. Sementara itu, selama bulan puasa, De
Kock bertemu dengan sang Pangeran sebanyak tiga kali, yakni
sebanyak dua kali saat jalan subuh di taman karesidenan dan satu
kali ketika De Kock datang sendiri ke pesanggarahan sang
Pangeran. Namun, mata-mata yang ditanamkan Residen Valck di
kesatuan Diponegoro, Tumenggung Mangunkusumo, melaporkan
bahwa sang Pangeran tetap bersikeras mendapatkan pengakuan
Hindia Belanda sebagai sultan Jawa bagian selatan ataupun sebagai
Ratu paneteg panatagama wonten ing Tanah Jawa sedaya (Raja dan
pengatur agama di seluruh tanah Jawa atau kepala agama Islam).
Setelah itu, pada 25 Maret 1830, De Kock memberi perintah rahasia
kepada dua komandannya, yakni Letnan Kolonel Louis du Perron
dan Mayor A.V Michels, mempersiapkan perlengkapan militer
untuk mengamankan penangkapan sang Pangeran.

Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, bertepatan dengan


Hari Idul Fitri, Jenderal De Kock bertemu dengan Pangeran
Diponegoro. Jenderal De Kock didampingi Residen Kedu Valck,
Letkol Roest (perwira De Kock), Mayor F.V.H.A de Stuers, dan
penerjemah bahasa Jawa, Kapten J.J Roefs. Pangeran Diponegoro
didampingi ketiga putranya, penasihat agama, dua punakawan, dan
panglima Basah Mertanegara. De Kock memulai pertemuan dengan
meminta agar Pangeran Diponegoro tidak usah kembali ke Metesih.

Halaman 440 dari 883


Sang Pangeran merasa heran dan mempertanyakan kembali kepada
De Kock kenapa tidak diizinkan kembali, padahal dia hanya
bersilahturahmi menjelang akhir bulan puasa. De Kock langsung
bicara akan menahan Diponegoro dan suasana pun langsung
berubah tegang.

Diponegoro langsung meresponsnya dengan menanyakan


ada masalah apa sehingga dirinya harus ditahan. Dia merasa tidak
bersalah dan tidak menaruh benci kepada siapapun. Mertanegara
menyela perbicaraan dan meminta agar masalah politik bisa
diselesaikan lain waktu. De Kock langsung memotong perbicaraan
dan menegaskan dengan nada tinggi, dengan mengatakan terserah
Pangeran setuju atau tidak, dia akan menuntaskan masalah politik
hari itu juga. Diponegoro langsung berbicara dan menuding
Jenderal De Kock sangat dan hatinya busuk karena keputusannya
terburu-buru dan tidak pernah dibicarakan sebelumnya selama bulan
puasa. Sang Pangeran langsung berbicara bahwa dia tidak memiliki
keinginan lain, kecuali pemerintah Hindia Belanda mengakuinya
sebagai kepala agama Islam di Jawa dan gelar sultan yang
disandangnya.[21]

Jenderal DeKock kemudian memerintahkan Letkol Roest


agar DuPerron menyiapkan pasukan. Diponegoro kemudian
berbicara dengan situasi seperti itu dan karena sifat jahatmu, dirinya
tidak takut mati. Dia tidak takut dibunuh dan tidak bermaksud
menghindarinya. DeKock terhenyak mendengar sikap keras
Pangeran Diponegoro dan dengan suara lirih berbicara bahwa
dirinya tidak akan membunuh sang Pangeran, tetapi juga tidak akan

Halaman 441 dari 883


memenuhi keinginan sang Pangeran. Sempat terbersit dalam benak
Diponegoro untuk menghujam keris ke tubuh De Kock, namun
niatannya diurungkan karena akan merendahkan martabatnya.
Setelah meminum teh dan menghampiri pengikutnya, sang
Pangeran beranjak keluar dan Pangeran Diponegoro pun berhasil
ditangkap.

Sang Pangeran bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa


anggota laskarnya dilepaskan. Setelah ditangkap di Magelang,
Pangeran Diponegoro diasingkan ke Gedung Karesidenan
Semarang, di Ungaran, lalu dibawa ke Batavia pada 5 April 1830
dengan menggunakan kapal Pollux. Pangeran Diponegoro tiba di
Batavia pada 11 April 1830 dan ditawan di Stadhuis (Gedung
Museum Fatahillah). Selanjutnya pada 30 April 1830, Pangeran
Diponegoro diasingkan ke Manado bersama istri keenamnya
bersama Tumenggung Dipasena dan istrinya serta para pengikut
lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna.
Mereka tiba di Manado pada 3 Mei 1830 dan ditawan di Benteng
Nieuw Amsterdam. Tahun 1834, Diponegoro dipindahkan ke
Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari
1855.[10]

Kharisma Diponegoro di hadapan Belanda

Halaman 442 dari 883


Pangeran Diponegoro bersama Pengikutnya dibuang ke Batavia dan
dipindahkan ke Makassar oleh Letnan Jenderal Hendrik Markus de Kock tanggal
28 Maret 1830, Lukisan karya Raden Saleh.

Lukisan "Penangkapan Diponegoro" dibuat oleh Raden


Saleh ketika berada di Eropa pada tahun 1856, dari sketsa terlebih
dahulu dan lukisan cat minyaknya baru selesai setahun kemudian.
Pada 12 Maret 1857, Raden Saleh menunjukkan lukisannya tersebut
kepada temannya di Jerman, bernama Duke Ernst II, dengan judul
"Ein historisches Tableau, die Gefangennahme des javanischen
Hauptings Diepo Negoro" (lukisan bersejarah tentang penangkapan
seorang pemimpin Jawa Diponegoro). Raden Saleh kemudian
memberikan lukisannya sebagai hadiah kepada Raja Belanda,
Willem III.[22]

Raden Saleh melukis peristiwa tersebut dari sisi kiri gedung,


sehingga Bendera Belanda yang dilukiskan oleh Pieneman tidak

Halaman 443 dari 883


terlihat. Selain itu, Raden Saleh menggambarkan sosok Pangeran
Diponegoro ketika ditangkap menggunakan sorban hijau berdiri
dengan kepala tegak mendongak, tegas, menahan amarah,[22]
menunjukkan perlawanan,[23] dan tegar, meskipun para pengikutnya
terlihat sedih dan dukacita yang mendalam.

Keberlanjutan Perang
Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putra
Pangeran Diponegoro, yakni Ki Sodewa atau Bagus Singlon,
Dipaningrat, Dipanegara Anom, dan Pangeran Joned yang terus-
menerus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis.
Empat putra Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sedangkan
Pangeran Joned dan Ki Sodewa terbunuh dalam peperangan.

Selama perang, kerugian pihak Belanda tidak kurang dari


15.000 tentara, terdiri atas 8.000 tentara Belanda dan 7.000 tentara
pribumi serta kerugian materi sebesar 25 juta gulden. Berakhirnya
Perang Jawa juga merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa.
Perang Jawa ini banyak memakan korban di pemerintah Hindia
sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan
200.000 orang Jawa. Dampaknya, setelah perang, jumlah penduduk
Yogyakarta menyusut separuhnya.

Bagi sebagian kalangan di Kesultanan Ngayogyakarta,


Pangeran Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak
cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke keraton. Namun, Sri
Sultan Hamengkubuwana IX memberi amnesti bagi keturunan
Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan

Halaman 444 dari 883


yang dimiliki Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro
dapat bebas masuk keraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi
mereka, tanpa rasa takut akan diusir.

Akhir hayat Diponegoro


Ketika ditangkap dan akan diasingkan ke Manado dengan
menggunakan Kapal Pollux, kondisi Pangeran Diponegoro sudah
dalam keadaan lemah, muntah-muntah akibat mabuk laut, dan
terkena malaria. Di atas kapal, Letnan Knooerle, yang merupakan
ajudan dari Gubernur Jenderal van den Bosch (arsitek Tanam
Paksa), mengawal pengasingan Diponegoro. Sering kali mereka
berdua terlibat dalam percakapan dan salah satu percakapannya
adalah ketika Diponegoro mempertanyakan kepada Knoorle, apakah
sudah menjadi kebiasaan bangsa Eropa untuk mengasingkan
pemimpin yang kalah perang ke sebuah pulau terpencil yang jauh
dari sanak saudaranya. Mendapat pertanyaan itu, Knoorle menjawab
bahwa Pangeran Diponegoro diperlakukan sama dengan Napoleon
Bonaparte, yang sama-sama diasingkan dalam usia 40 tahunan.
Knoorle mengatakan pemerintahan Hindia Belanda tidak ingin
peristiwa Napoleon yang ditangkap dan diasingkan ke Pulau Elba
berhasil kabur dan memimpin perang lagi lalu berhasil dikalahkan
sehingga dibuang ke pulau yang lebih terasing lagi, yakni St Helena
hingga wafat.

Pangeran Diponegoro dan rombongannya, yakni istri, dua


anaknya, dan 23 pengikutnya tiba di Manado pada 12 Juni 1830.
Awalnya, Diponegoro akan ditempatkan di Tondano, tetapi Knoorle
diberitahu oleh Pietermaat, seorang residen setempat bahwa Kiai
Halaman 445 dari 883
Madja beserta 62 pengikutnya baru saja tiba di Tondano dari
Ambon, sehingga akhirnya Knoorle memutuskan Diponegoro
ditahan di Benteng Manado untuk sementara waktu agar tidak
ketemu dengan Kiai Madja. Diponegoro berada di Benteng Manado
atau Fort Nieuw Amsterdam sejak Juni 1830 hingga Juni 1833.
Setelah beberapa tahun di Manado , ia dipindahkan ke Makassar
pada Juli 1833 di mana ia ditahan di dalam Fort Rotterdam karena
Belanda percaya bahwa penjara tidak cukup kuat untuk
menampungnya. Terlepas dari status tahanannya, istrinya
Ratnaningsih dan beberapa pengikutnya menemaninya ke
pengasingan dan dia menerima pengunjung terkenal termasuk
Pangeran Henry Belanda yang berusia 16 tahun pada tahun 1837.
Diponegoro juga menyusun manuskrip tentang sejarah Jawa dan
menulis otobiografinya, Babad Dipanegara, selama
pengasingannya.

Kesehatannya menurun karena usia tua. Diponegoro


kemudian meninggal pada 8 Januari 1855, pukul 06.30 pagi. Tujuh
hari kemudian, anak dan istrinya memutuskan untuk tetap tinggal di
Makassar. Menurut Peter Carey, Gubernur Jenderal AJ Duymaer
van Twist mengeluarkan perintah rahasia bahwa keluarga
Diponegoro tetap diperlakukan sebagai orang dalam pengasingan
dan hanya diperbolehkan berada di Makassar, tetapi mereka
mendapatkan tunjangan 6000 gulden yang dibayarkan melalui
keraton Yogyakarta.[25]

Pada tahun 1885, sang istri yakni Raden Ayu Retnoningsih


meninggal dunia. Raden Ayu Retnoningsih dimakamkan di

Halaman 446 dari 883


kampung Jera. Kampung Jera atau kampung pemakaman berada di
lokasi kampung Melayu. Raden Ayu Retnoningsih dimakamkan di
samping makam Pangeran Diponegoro.

Peninggalan bersejarah
Babad Dipanagara
Babad Dipanagara merupakan kumpulan puisi (macapat
atau puisi tradisional Jawa/tembang) setebal 1.170 halaman folio,
yang menceritakan sejarah nabi, sejarah Pulau Jawa dari zaman
Majapahit hingga Perjanjian Giyanti (Mataram), yang dituturkan
langsung oleh Pangeran Diponegoro sendiri dan ditulis oleh juru
tulis sejak Mei 1831 hingga Februari 1832 ketika sang Pangeran
diasingkan di Manado. Tulisannya menggunakan aksara Arab pegon
(tanpa tanda baca) dan aksara Jawa. Namun, naskah asli Babad
Dipanagara, menurut sejarawan Peter Carey, sudah hilang. Yang
ada hanyalah salinan yang saat ini tersimpan di Perpustakaan
Nasional dan di Rotterdam, Belanda.[26]

Babad Dipanagara kemudian diakui oleh Organisasi


Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) pada
Juni 2013 sebagai Memori Dunia (Memory of the World (MOW)),
yakni sebuah program untuk menghargai dan merawat catatan-
catatan peristiwa kesejarahan dan budaya.[27]

Di Makassar, sang Pangeran juga menulis dua naskah


Primbon, yakni tentang pengaruh Qadariyah dan
Naqshabandiyah (aliran tasawuf) atas cara berpikir dan
kebudayaan Jawa.

Halaman 447 dari 883


Keris
Pangeran Diponegoro terkenal selalu membawa kerisnya.
Beberapa keris yang dimilikinya adalah Keris Kiai Omyang
(tersimpan di Museum Sasana Wiratama-Yogyakarta), Keris Kiai
Wisa Bintulu (tersimpan di Gedong Pusaka Keraton Yogyakarta,
dan Keris Kiai Naga Siluman. Keris terakhir tersebut itulah yang
paling terkenal karena sempat hilang, tetapi ditemukan di Belanda
dan sudah teregister dengan nomor RV-360-8084.[28]

Pada tanggal 10 Maret 2020, Keris Kiai Naga Siluman


dikembalikan kepada Pemerintah Republik Indonesia secara
langsung oleh Raja Willem-Alexander kepada Presiden Joko
Widodo.[29] Dalam dokumen kesaksian dalam Bahasa Jawa, Sentot
Prawirodirdjo, salah seorang Panglima Diponegoro, Sentot
mengaku melihat sendiri Pangeran Diponegoro menghadiahkan
Keris Kiai Naga Siluman kepada Kolonel Cleerens, utusan Jenderal
De Kock, ketika bertemu. Tulisan Sentot tersebut berhasil dibaca
oleh pelukis Raden Saleh yang juga pernah melukis tentang
Pangeran Diponegoro.[30] Keris ini kemudian oleh Cleerens menjadi
persembahan hadiah kepada Raja Willem I pada tahun 1831. Setelah
itu, Keris Kiai Naga Siluman disimpan di Koninkelijk Kabinet van
Zelfzaamheden (KKVZ). Setelah KKVZ dibubarkan pada tahun
1883, seluruh koleksi museumnya tersebar ke berbagai museum dan
Keris Kiai Nogo Siluman kemudian tersimpan di Museum
Volkenkunde, Leiden.[31]

Penemuan dan pengembalian Keris Kiai Naga Siluman


membutuhkan waktu yang lama. Pada tahun 1983, Duta Besar

Halaman 448 dari 883


Belanda untuk Indonesia, Lodewijk van Gorkom menginformasikan
bahwa Keris Pangeran Diponegoro tersimpan di ruangan bawah
tanah Rijksmuseum di Amsterdam, dan meminta untuk
dikembalikan. Penggantinya, yakni Frans van Dongen menulis surat
kepada Pieter Pott, direktur museum nasional etnologi, pada tahun
1985, meminta agar keris tersebut harus ditemukan dan
dikembalikan dalam rangka peringatan 40 tahun Kemerdekaan
Republik Indonesia. Van Dongen kemudian menerima balasan surat
dari Pott yang mengaku sudah menemukan keberadaan keris
tersebut, tetapi ternyata Pott salah mengidentifikasinya.[32]

Adapun keris lainnya adalah Keris Kiai Bromo Kedali dan


tombak Kiai Rodhan yang diserahkan Pangeran Diponegoro kepada
Pangeran Diponegoro II (Raden Mas Muhammad Ngarip/Abdul
Majid), Keris Kiai Habit dan tombak Kiai Gagasono milik Raden
Mas Joned, Keris Kiai Blabar dan tombak Kiai Mundingwangi
milik Raden Mas Raib, Keris Kiai Wreso Gemilar dan tombak Kiai
Tejo (Raden Ayu Mertonegoro), Keris Kiai Hatim dan tombak Kiai
Simo milik Raden Ayu Joyokusumo, tombak Kiai Dipoyono milik
Raden Ajeng Impun, dan tombak Kiai Bandung milik Raden Ajeng
Munteng.[33]

Keris lain yang dianggap paling sakti adalah Keris Kiai


Ageng Bondoyudo. Keris ini hasil peleburan dari tiga pusaka, yakni
Keris Kiai Surotomo, tombak Kiai Barutobo, dan Keris Kiai
Abijoyo. Keris Kiai Ageng Bondoyudo ini selalu dirawat oleh
Pangeran Diponegoro sendiri hingga akhir hayatnya dan dikuburkan
bersamaan dengan jasadnya, pada 8 Januari 1855.[33]

Halaman 449 dari 883


Tongkat
Pangeran Diponegoro juga memiliki tongkat yang
dinamakan Kanjeng Kiai Tjokro, yang saat ini disimpan di Galeri
Nasional Indonesia. Tongkat ini telah dikembalikan oleh Michiel
dan Erica Lucia Baud, kepada Mendikbud Anies Baswedan pada
tahun 2015.[34]

Tongkat ini memiliki simbol cakra sepanjang 153 sentimeter


yang terletak di ujung tongkatnya. Tongkat ini diperoleh Pangeran
Diponegoro dari hasil dari warga selama berziarah di selatan Jawa,
termasuk Yogyakarta, pada tahun 1815.[10] Tongkat ini selalu dibawa
oleh sang Pangeran setiap berziarah ke tempat suci untuk berdoa.
Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, salah satu panglimanya,
yakni Pangeran Dipati Notoprojo, cucu Nyi Ageng Serang,
memegang tongkat ini dan oleh Pangeran Dipati Notoprojo
diberikan sebagai hadiah kepada Gubernur Jenderal J.C Baud pada
tahun 1834 untuk merebut hati pemerintah Hindia Belanda. Tongkat
ini kemudian disimpan oleh salah satu keluarga keturunan Gubernur
Jenderal J.C Baud selama 181 tahun.[34]

Tombak
Tombak Kiai Rodhan adalah salah satu senjata pusaka
Pangeran Diponegoro yang telah dikembalikan ke Indonesia tahun
1978 dan saat ini tersimpan. Tombak ini terbuat dari kayu dengan
dilapisi benang hitam dan dipercaya dapat memberikan
perlindungan dan peringatan datangnya bahaya. Pada mata tombak
terdapat bagian yang dilapisi emas dan pada bagian pangkal
matanya terdapat empat relung yang berhias permata, tetapi dua

Halaman 450 dari 883


buah permatanya telah hilang ketika benda ini dikembalikan ke
Indonesia.[34]

Tombak ini lepas dari genggaman Pangeran Diponegoro ketika ia


disergap di pegunungan Gowong, Kedu, oleh pasukan gerak cepat
ke-11 Mayor A.V Michiels. Tombak ini bersama dengan pelana
kuda Pangeran Diponegoro dikirim ke Raja Belanda Willem I
(1813-1840) sebagai rampasan perang.[34]

Benda lainnya
Menurut sejarawan Peter Carey, selain keris dan tongkat,
saat ini masih ada dua peninggalan Pangeran Diponegoro, yakni
surat asli sang Pangeran kepada ibunda dan anak sulungnya dan tali
kuda, yang masih tersimpan di Belanda.[31]

Sementara itu, menurut Direktur Museum Sejarah Kolonial


Bronbeek di Arnhem, Pauljac Verhoeven, benda peninggalan
Pangeran Diponegoro yakni tali kekang dan pelana yang telah
memiliki nomor arsip telah dikembalikan kepada pemerintah
Indonesia.

Cap mohor

Halaman 451 dari 883


Pangeran Diponegoro memiliki sebuah cap mohor, yaitu cap yang
digunakan untuk menandatangi surat yang sah darinya. Yang tertera
dalam cap mohornya ialah:

Dalam Arab Pegon:

‫ﺎم ﺧﻠﯿﻔﮫ رﺳﻮل‬Q‫اڠﮑڠ ﺳﻨﻮھﻦ ﮐڠﺠڠ ﺳﻠﻄﺎن ﻋﺒﺪ اﻟﺤﺎﻣﺪ ڠﯿﺮﭼﮑﺮ ﻛﺒﯿﺮ اﻟﻤﺆﻣﻨﯿﻦ ﺳﯿﺪ ﭬﻨﺘﺎ‬
‫ﷲ ص اﯾڠ ﺗﻨﮫ ﺟﺎوي‬

Dalam Latin: Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Abdul Hamid


Ngerucakra Kabir al-Mukminin Sayid Panatagama Khalifah
Rasulullah saw. ing Tanah Jawi

Penghargaan sebagai Pahlawan

Monumen Diponegoro di Medan Merdeka, Jakarta. Satu Kompleks dengan


Monumen Nasional (MONAS) menghadap Istana Merdeka

Halaman 452 dari 883


Mata uang kertas Rp100,00 bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan tahun 1952 setelah
kemerdekaan.

Atas penghormatan terhadap jasa-jasa Diponegoro melawan


penjajahan Hindia Belanda, kota-kota besar di Indonesia banyak
yang memiliki nama Jalan Pangeran Diponegoro, seperti di Kota
Semarang terdapat nama Jalan Pangeran Diponegoro, Stadion
Diponegoro, Universitas Diponegoro (Undip), dan Kodam IV/
Diponegoro. Selain itu, ada beberapa patung yang dibuat sebagai
penghargaan, seperti Patung Diponegoro di Undip Pleburan, Patung
Diponegoro di Kodam IV/Diponegoro dan di pintu masuk Undip
Tembalang.

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, pemerintah


pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun
wafatnya Pangeran Diponegoro pada tanggal 8 Januari 1955,
sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional diperoleh

Halaman 453 dari 883


Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui
Keppres No 87/TK/1973.

Penghargaan tertinggi justru diberikan oleh Dunia, pada 21


Juni 2013, UNESCO menetapkan Babad Diponegoro sebagai
Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World). Babad Diponegoro
merupakan naskah klasik yang dibuat sendiri oleh Pangeran
Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada
1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran
Diponegoro yang memiliki nama asli Raden Mas Antawirya.

Selain itu, untuk mengenang jasa Pangeran Diponegoro


dalam memperjuangkan kemerdekaan, didirikanlah Museum
Monumen Pangeran Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan
sebutan "Sasana Wiratama" di Tegalrejo, Yogyakarta, yang
menempati bekas kediaman Pangeran Diponegoro.

Daftar pustaka
1. Carey, P.B.R. (1981). Babad Dipanagara: an account of the outbreak of the Java War (1825-30):
the Surakarta court version of the Babad Dipanagara. Kuala Lumpur: Printed for the Council of
the M.B.R.A.S. by Art Printing Works. Monograph (Royal Asiatic Society of Great Britain and
Ireland. Malaysian Branch); no.9
2. Sagimun, M.D. (1976). Pangeran Diponegoro: Pahlawan Nasional. Jakarta: Proyek Biografi
Pahlawan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
3. Yamin, M. (1950). Sedjarah Peperangan Diponegoro: Pahlawan Kemerdekaan Indonesia.
Jakarta: Pembangunan.

Referensi
1. ^ Lompat ke:
a b "Memenuhi Ramalan Pangeran Diponegoro". Historia. Diakses tanggal 2020-03-20.

2. ^ Raditya, Iswara N. "Intrik Keraton dan Misteri Kematian Sultan Hamengkubuwana IV".
tirto.id. Diakses tanggal 2017-12-06.

Halaman 454 dari 883


3. ^ Lompat ke:
a b c d e "Pangeran Diponegoro Syaratkan Perang Jawa Libur Selama Ramadan". Liputan6.com.

2016-06-07. Diakses tanggal 2020-03-21.


4. ^ Lompat ke:
a b c "Pangeran Diponegoro Komandan Perang Jawa". Tagar.id. 2017-12-23. Diakses tanggal

2020-03-21.
5. ^ Lompat ke:
a b c d "Tujuh Kebiasaan Pangeran Diponegoro yang Belum Diketahui Banyak Orang".

Historia.id. Diakses tanggal 2020-03-20.


6. ^ Lompat ke:
a b c "Perempuan-perempuan di Hidup Pangeran Diponegoro". Kumparan.com. Diakses tanggal

2020-03-21.
7. ^ Lompat ke:
a b c d e f g h i j k l "Biografi terkait Diponegoro". diponegoro.pahlawan.perpusnas.go.id. Diarsipkan

dari versi asli tanggal 2020-03-22. Diakses tanggal 2020-03-22.


8. ^ "Kisah Pangeran Diponegoro dan Wanita-wanita di Sekelilingnya". SINDOnews.com. Diakses
tanggal 2020-03-22.
9. ^ "Pangeran Diponegoro dan Wanita-wanita Cantik". Liputan6.com. 2016-04-27. Diakses
tanggal 2020-03-22.
10. ^ Lompat ke:
a b c d e f "Biografi Pangeran Diponegoro, Pemimpin Perang Jawa". Kompas.com. Diakses

tanggal 2020-03-20.
11. ^ "Meluruskan Fakta dalam Sejarah Pangeran Diponegoro". Republika Online. 2019-07-13.
Diakses tanggal 2020-03-21.
12. ^ Lompat ke:
a b c d e f "Sentot Ali Basya, Panglima Perang Diponegoro yang Dijuluki Napoleon Jawa".

SINDOnews.com. Diakses tanggal 2020-03-21.


13. ^ Heru., Basuki, (2007). Dakwah dinasti Mataram dalam Perang Diponegoro, Kyai Mojo &
Perang Sabil Sentot Ali Basah (edisi ke-Cet. 1). Yogyakarta: Samodra Ilmu.
ISBN 9786028014014. OCLC 302187891.
14. ^ 1947-, Babcock, Tim G., (1989). Kampung Jawa Tondano : religion and cultural identity.
Yogyakarta, Indonesia: Gadjah Mada University Press. ISBN 9789794201206. OCLC 21212549.
15. ^ R.,, Carey, P. B.; Bambang,, Murtianto,; Gramedia, PT. Takdir : riwayat Pangeran Diponogoro,
1785-1855. Jakarta. ISBN 9789797097998. OCLC 883389465.
16. ^ Raditya, Iswara N. "Pecah Kongsi Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo". tirto.id. Diakses
tanggal 2020-03-22.
17. ^ Lompat ke:
a b c "Sentot Alibasah, Panglima Perang Termuda Pangeran Diponegoro". Historia. Diakses

tanggal 2020-03-21.
18. ^ Carey, Peter (2017). Judul: Sisi Lain Diponegoro – Babat Kedung Kedo dan Historiografi
Perang Jawa. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-424-680-8.

Halaman 455 dari 883


19. ^ Lompat ke:
a b c d e "Si Bantheng, Pengiring Diponegoro yang Paling Setia". Historia. Diakses tanggal

2020-03-28.
20. ^ Lompat ke:
a b c d e f "Roto, Jenaka Pengiring Diponegoro". Historia. Diakses tanggal 2020-03-28.

21. ^ Lompat ke:


a b c "Detik-detik Menegangkan Saat Belanda Menjebak Diponegoro". Historia. Diakses tanggal

2020-03-22.
22. ^ Lompat ke:
a b c d "Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro". caramedika.com. Diakses tanggal

2020-03-21.[pranala nonaktif permanen]


23. ^ Lompat ke:
a b c "2 Wajah Pangeran Diponegoro Saat Penangkapan 188 Tahun Lalu". Liputan6.com.

2018-03-28. Diakses tanggal 2020-03-22.


24. ^ Lompat ke:
a b "Penangkapan Diponegoro: Jebakan Silaturahim di Hari Lebaran". Republika Online.

2019-06-10. Diakses tanggal 2020-03-21.


25. ^ Lompat ke:
a b c Matanasi, Petrik. "Akhir Hidup Diponegoro, Napoleon van Java". tirto.id. Diakses tanggal

2020-03-21.
26. ^ Lompat ke:
a b "Naskah Asli 'Babad Diponegoro' yang Diakui UNESCO Hilang, Ke Mana?". detiknews.

Diakses tanggal 2020-03-27.


27. ^ "Saat dunia mengakui otobiografi Diponegoro". Antara News. 2013-07-05. Diakses tanggal
2020-03-27.
28. ^ "Keris Pangeran Diponegoro yang Dijual". Historia. Diakses tanggal 2020-03-20.
29. ^ detikcom, Tim. "Keris Pangeran Diponegoro Dikembalikan oleh Belanda: Asli atau Palsu?".
detiknews. Diakses tanggal 2020-03-20.
30. ^ "Kembalinya Keris Naga Siluman Milik Pangeran Diponegoro". Republika Online.
2020-03-10. Diakses tanggal 2020-03-21.
31. ^ Lompat ke:
a b "Memastikan Keaslian Keris Diponegoro". Republika Online. 2020-03-13. Diakses tanggal

2020-03-21.
32. ^ Lompat ke:
a b "Kembalinya Keris Pangeran Diponegoro". Republika Online. 2020-03-05. Diakses tanggal

2020-03-21.
33. ^ Lompat ke:
a b Wiratama, Syailendra Hafiz. "Kisah Diponegoro Dikubur Bersama Kerisnya". detikx. Diakses

tanggal 2020-03-20.
34. ^ Lompat ke:
a b c d "Selain Keris, Ini Dua Pusaka Pangeran Diponegoro yang Dikembalikan Belanda ke

Indonesia". Kompas.com. Diakses tanggal 2020-03-21.

Halaman 456 dari 883


BAB 23
KERAJAAN FATAGAR : LEGENDA ISLAM DARI
PAPUA

Wilayah Fakfak Papua Barat

Kerajaan Fatagar (Melayu Papua: Petuanan Fatagar)


adalah kerajaan Islam yang didirikan klan Uswanas. Ibukotanya
terletak di Merapi, sebelah timur Distrik Fakfak, Kabupaten Fakfak,
Papua Barat, Indonesia.[2] Petuanan Fatagar memiliki wilayah adat
di Distrik Fakfak dan Distrik Pariwari.[3]

Asal muasal
Ada dua legenda mengenai asal muasal kerajaan Fatagar,
legenda pertama menyatakan penguasa Ugar merupakan asal muasal

Halaman 457 dari 883


leluhur Raja Fatagar. Dalam publikasi memori Galis salah satu
wilayah dalam pengaruh Kerajaan Majapahit adalah Onin yang
dicatat sebagai Wanin. Ekspedisi pada tahun 1937 yang dilakukan
oleh Leo Frobenius menemukan adanya bukti pemukiman di Pulau
Ugar. Sehingga bisa dipastikan benar adanya penguasa di Ugar.
Berdasarkan publikasi tersebut disebutkan pula kisah penduduk
lokal di antara Teluk Patipi dan Rumbati tentang ekspedisi asal Jawa
pada abad 15.[4]

Menurut legenda kedua dalam Memorie van Milligen


Gunung Bah-Bah, dikisahkan bahwa tempat asal pendiri kampung
di wilayah tersebut adalah Gunung Baik atau Bai, sebuah
pegunungan curam. Terdapat dua kelompok yang turun dari Gunung
Baik untuk menetap di pesisir Koiwai (Namatota dan Kaimana) dan
juga Onin. Kisah tersebut merupakan mitos penciptaan, sebab
Gunung tersebut juga merupakan asal munculnya berbagai
kelompok yang menghuni di Bumi.[4]

Sejarah
Menurut A.L. Vink dalam memorie-(vervolg) van Overgrave
van de (Onder) Afdeeling West Nieuw Guinea, 1932, leluhur raja
Fatagar dan Patipi merupakan orang asli lokal. Leluhur tersebut
disebutkan adalah Wariyang, yang dikisahkan menjelang senja
melihat wanita di atas pohon kelapa yang kemudian dinikahinya.
Dari perkawinan mereka diturunkanlah raja-raja Fatagar. Gelar raja
pertama kali diberikan Sultan Tidore kepada seorang bernama
Maraitat. Selanjutnya pusat kerajaan Fatagar berpindah dari Pulau
Ega ke Pulau Merapi. Menurut W.J. Cator, dalam memorie-(vervolg)
Halaman 458 dari 883
van Overgrave van de (Onder) Afdeeling West Nieuw Guinea, 22
Mei 1937, pada 1678 kapten Johannes Keyts melakukan persetujuan
dengan raja Roema Bati (Rumbati) dan Satraga (Fatagar), ia
menyebut kedua pemimpin tersebut dengan gelar raja, tidak
diketahui sosok yang ia maksud namun bisa saja sosok itu adalah
Maraitat dan setelahnya karena gelar Raja.[4]

Berdasarkan cerita rakyat oleh Cosmos Tanggahma, juru


bicara Kerajaan Fatagar, Raja Mafa (Nggar) berpindah dari Pulau
Nggar bersama marga Tanggahma yang sudah lebih dahulu keluar,
dan menetap di ujung Pulau Panjang. Mafa memiliki keturunan,
kakak beradik bernama Kpadaran Uswanas dan yang lebih muda
Tbedare Uswanas merupakan petani akar tuba di Pulau Panjang.
Suatu hari kedua kakak beradik tersebut bertengkar tentang akar
tuba, ini menyebabkan Tbedare berpindah ke Kampung Mendopma
bersama marga Weyamen. Di Kampung Mendopma ini, Tbedare
membuka perkebunan Pala. Kpadaran yang kesepian di Pulau
Panjang pergi ke Weri, lalu Pasir Putih, dan akhirnya ke Sorpeha,
sebelum dilanjutkan ke Pulau Merapi.[4]

Cerita ini sama dengan Muhammad Tanggahma keturunan


Kapitan Merapi, dimana Kpadaran adalah nama lain penguasa
(dengan gelar raja) kedua Fatagar, raja Parar, anak Maraitat. Dalam
kisah tambahan ini selain kedua kakak beradik tersebut ada adik
perempuan bernama Wuhninihitora yang berparas cantik. Sehingga
seorang Muri yang bisa berubah menjadi buaya dari Baham ingin
menikahinya. Muri tersebut menculik sang adik perempuan dan
membawanya ke Pulau Panjang di tempat yang berarti air tawar,

Halaman 459 dari 883


Tanasaweri, dari tempat itu lalu menyebrang ke Weri. Kapadaran
dan Tbedare lalu pergi mencari adiknya sampai keluar dari Pulau
Ngar menuju Pulau Panjang, sampai ke Weri, dimana mereka dapat
menjumpai adiknya. Perjalanan dilanjutkan sampai ke Sorpeha
(Horhameng) baru kembali ke Kanasaweri/Tanasaweri. Setelah ini
mereka bertengkar tentang akar tuba. Akar tersebut digunakan
sebagai racun ikan untuk berburu saat air laut surut. Tebedari
melihat bahwa akar tuba miliknya sudah tidak ada karena sudah
dicabut Kapadaran. Mereka bertengkar lalu berpisah, Tebedari
dibawa Weyamen ke Mendopma, sedangkan Kapadaran kembali ke
Ngar. Dalam perjalanan kembali ini, Kapadaran mendamaikan
konflik antara marga Kabes dan Hindom.[4]

Setelah raja Fatagar berpindah dari Pulau Ega ke Pulau


Merapi, raja beserta istri dan lima orang keturunannya meninggal di
sana. Penguasa terakhir saat itu adalah Raja Tewar, keturunannya
yang tersisa adalah Mafa dan Ira yang dididik di Pasir Putih oleh
seorang Alifuru (Maluku), setelah besar mereka tinggal dan
menikah di Seram Laut. Ketika pengangkatan Haruna menjadi raja
Atiati, dua putra Tewar tersebut pulang ke Pulau Merapi, setelah
meninggalkannya selama 12 tahun. Atas permohonan adat, Mafa
diangkat menjadi raja Fatagar, dan Ira menjadi rajamuda. Akan
tetapi rajamuda Ira diberhentikan tahun 1920 karena memeras
rakyat, sehingga digantikan putra sulung Mafa, Kamarudin.[4]

Saat Raja Tewar meninggal, warga bermarga Tanggahma,


Dopis dan Abubakar menjemput Mafa dari Geser, yang kala itu
sedang mempelajari agama Islam. Ada 9 pendayung yang

Halaman 460 dari 883


menjemput Mafa, Dopis, Abubakar, Tragar, Tetar, Mbua, Kasumba,
Senang, Tenregma, dan Mandesiani. Sebelum perjalanan dimulai,
mereka bertanya seorang asal Buton. Dikisahkan mereka harus
datang di pagi hari dan melihat seorang laki-laki yang sedang
menggantungkan tasnya, itulah Mafa. Sebelum fajar mereka lalu
memegang dan membawa Mafa ke perahu. Mafa sempat minta ijin
untuk mengganti sarung dengan celana tapi tidak diperbolehkan
karena jika semakin terang, banyak keluarga lain akan mengetahui
dan ingin ikut serta, sehingga mereka tidak akan sampai Merapi
Fakfak tepat waktu. Setelah Mafa diangkat jadi raja dan ayahnya
dikuburkan, barulah Ira dijemput dari Geser ke Merapi.

Berdasarkan versi lain oleh Musa Hakim (mantan ketua


MUI Papua Barat) penjemputan Mafa terlibat seorang nahkoda
bernama Abdul Hakim. Ketika pemerintahan Belanda memasuki
Fakfak dengan pasukannya rakyat ketakutan. Saat itu masih sedikit
yang fasih berbahasa melayu sehingga terjadi kesulitan
berkomunikasi. Saat itu masyarakat dan para tetua menyutujui
Mafa, seorang yang pintar dan lancar berbahasa melayu dan sedang
menjalani pendidikan di Gorom, Seram Timur, untuk dijadikan
perantara (Raja) dengan pemerintah Belanda. Keluarga raja Fatagar
juga mengakui adanya keterlibatan nahkoda Abdul Hakim yang
meminjamkan kapal dan membantu pengurusan surat resmi
pengangkatan Mafa pengganti raja Tewar, ini dikarenakan
masyarakat juga tidak mampu membaca ataupun menulis. Sehingga
nahkoda Hakim memegang pena sedangkan pandayung Tenregma
memegang tangannya sehingga dianggap resmi. Mafa merupakan

Halaman 461 dari 883


penguasa Fatagar bergelar Raja kelima dari Maraitat, dan generasi
ketujuh dari Warijang.[4]

Sistem pemerintahan
Aktivitas berperang merupakan kesibukan utama sebelum
masuknya Tidore dan Belanda. Setiap kampung biasanya akan
memiliki 2-3 perahu perang, dan bahkan sampai 7 perahu perang.
Setiap perahu perang biasanya memiliki 18 awak dan pandayung,
diperlengkapi busur panah, tombak pendek dan panjang, kapak
batu, pemukul, dan perisai setinggi manusia. Sebelum besi
digunakan, material senjata menggunakan tulang burung Kasuari,
yang kemudian diikat dengan anyaman serat di pergelangan tangan.

Setelah pemerintahan Tidore masuk, para pemimpin pesisir


barat Papua (Onin) diberi gelar raja (Rat), raja adalah agen
perdagangan dan pemungut upeti untuk Tidore, dan tunduk pada
Kesultanan Tidore. Sehingga inilah fungsi ekonomi Raja bagi rakyat
di wilayah kekuasaannya, yang lebih dominan dibandingkan fungsi
di bidang politik. Bisa dibilang hubungan awal dengan Tidore
adalah dengan perompakan, setelah damai barulah terjalin hubungan
dagang. Awalnya orang-orang yang pengaruhnya menonjol akan
diangkat sebagai kepala adat oleh dan atas nama Sultan Tidore.
Hubungan dimulai melalui perantaraan raja Lilinta (Misool) seperti
pada keputusan mengangkat Abdul Rachim sebagai raja Patipi
tertanggal 15 Juni 1896, namun setelah itu hubungan langsung tanpa
perantaraan juga terjalin. Sehingga pengaruh dan hubungan
perdagangan dengan Tidore cukup kuat.[5][4]

Halaman 462 dari 883


Secara birokrasi, raja Fatagar mengangkat wakil sebagai
perpanjangan tangannya, ada beberapa gelar perangkat tradisional
yang meliputi, Raja, Raja Muda, Sangaji, Mayor, Kapitan, Jajau,
Warnemin, Suruhan, Pandayung. Raja merupakan pimpinan
tertinggi, yang bertugas untuk memerintah kepala kampung.
Tongkat dan tali dari kulit kayu lapisan kedua pohon drek diikat
pada lengan Suruhan untuk menyampaikan pesan ke kepala
kampung, dimana setelah menyelsaikan tugasnya, Suruhan kembali
melapor Raja. Selain itu Raja berwenang mengangkat Kapitan,
Mayor, Sangaji, Jajau (Jojau), Warnemen, jabatan-jabatan yg
setingkat tetapi dibawah Raja muda. Lalu dibawah Sangaji ada pula
jabatan Warnemin. Raja diharapkan menyelesaikan konflik atau
sengketa antar penduduk dan memberi keputusan adat sebagai
hakim.[4]

Pengaruh Belanda mulai masuk terutama setelah pendirian


Fort du Bus di Teluk Triton, dekat Lobo pada tanggal 24 Agustus
1828, walau akhirnya ditinggalkan di 1836 karena sakit malaria,
kudis, dan typhus. Pemerintahan kolonial Belanda menegakkan
kekuasannya di Papua pada tahun 1898 dengan pendirian Afdeeling
Niew Guinea Utara, Barat, dan Selatan. Kewajiban pembayaran
upeti kepada Sultan Tidore dihapuskan walaupun diatas kertas
wilayah tersebut masuk wilayah swapraja Tidore. Raja-raja
dikukuhkan oleh Belanda dan diberi gaji yang merupakan bagian
dari kumpulan pemungutan pajak dari kepala kampung. Mereka
menjadi mitra bagi pemerintah Belanda, meskipun dalam hampir
semua aspek campur tangan Belanda.[6][4]

Halaman 463 dari 883


Kewajiban raja bertambah meliputi, pengesahan perkawinan
penduduk beragama Islam, memberikan persetujuan untuk
membuka kebun, penghubung Belanda dengan penduduk, bila raja
tidak bisa memutuskan perkara maka akan diserahkan kepada Polisi
Keamanan Belanda, dan menarik uang atau hasil perkebunan seperti
pala sebagai Belasting atau pajak. Jumlahnya akan ditentukan
dengan jumlah panen, dimana jumlah per orang adalah f.42, yang
kemudian akan diserahkan ke pemerintah kolonial Belanda. Lalu
terakhir terkait pembukaan larangan sasi sebagai tanda dimulainya
masa panen pala oleh penduduk. Sasi dipasang atas persetujuan para
pemilik kebun pala untuk mempertahankan harga jual dengan
menjaga kuantitas dan kualitas buah pala yang hanya dipetik setelah
matang. Pelanggar sasi bia diberi hukuman mati. Tanda pembatas
sasi biasa terbuat dari bambu suling bersilangan. Beberapa hasil
alam yang disasi berupa teripang di laut yang pusat
penangkapannya di Pulau Pisang dan Pulau Karas dan perkebunan
pala di darat yang merupakan penghasilan utama masyarakat.[4]

Setelah pemerintahan Indonesia, tugas raja mulai berkurang


dan raja Fatagar lebih memiliki fungsi adat sebagai penengah
konflik di masyarakat akibat keragaman kelompok suku dan agama.
[4]

Daftar Raja Fatagar

Nama[4] Tahun berkuasa


Wariyang tidak diketahui

Nawai tidak diketahui

Halaman 464 dari 883


Nansoerai tidak diketahui

Maraitat 1600an

Parar atau Kapadaran tidak diketahui

Baniki tidak diketahui

Tewar atau Tewal 1724–1814[7]

Mafa 1899–1942[1]

Kamarudin 1942–1943

Ahmad 1943–1956

Arobi Said 1956–2009

Taufiq Heru 2009–sekarang

Warisan
Perkembangan Kerajaan Fatagar juga sangat bergantung
pada campur tangan Kesultanan Tidore, sehingga tidak banyak bukti
sejarah yang dapat dikumpulkan mengenai kehidupan sosial budaya
di kerajaan ini, termasuk penyebaran Islam. Salah satu peninggalan
sejarah yang ditemukan di Fakfak adalah Masjid Tunasgain yang
diperkirakan dibangun pada tahun 1587 Masehi oleh sufi asal
Yaman bernama Syarif Muaz al-Qathan, berdasarkan 8 tiang Alif
yang diganti setiap 50 tahun.[8]

Referensi
1. ^ Lompat ke:
a b "Landsdrukkerij". Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie voor 1904 (dalam

bahasa Belanda). Batavia: Ter Lands-Drukkerij. 1904. hlm. 296.


2. ^ "Sejarah Kerajaan Fatagar". prezi.com. Diakses tanggal 17 June 2021.
3. ^ "Kisah Kerajaan Islam Di Fakfak Papua Barat, Ada Sejak Abad 16". travel.detik.com.
Diakses tanggal 17 June 2021.

Halaman 465 dari 883


4. ^ Lompat ke:
Usmany, Dessy Polla (2014). Kerajaan Fatagar dalam Sejarah
a b c d e f g h i j k l m n

Kerajaan-Kerajaan di Fakfak Papua Barat. Yogyakarta: Kepel Press. hlm. 39–73.


ISBN 978-602-1228-79-1.
5. ^ "Jejak Penyebaran Islam Di Fakfak". jubi.co.id. Diakses tanggal 17 June 2021.
6. ^ "Jejak Penyebaran Islam Di Fakfak". jubi.co.id. Diakses tanggal 17 June 2021.
7. ^ Wanggai, Tony V.M. (2008) (dalam bahasa id). Rekonstruksi Sejarah Islam di Tanah
Papua (Tesis). UIN Syarif Hidayatullah. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/
1 2 3 4 5 6 7 8 9 / 7 2 9 2 / 1 / T o n i % 2 0 V i c t o r % 2 0 M .
%20Wanggai_Rekonstruksi%20Sejarah%20Umat%20Islam%20di%20Tanah%20Papua.pd
f. Diakses pada 2022-01-30.
8. ^ Viartasiwi, Nino (2013). "Holding on a Thin Rope: Muslim Papuan Communities as the
Agent of Peace in Papua Conflict". Procedia Environmental Sciences. Elsevier BV. 17:
860–869. doi:10.1016/j.proenv.2013.02.104. ISSN 1878-0296.

Halaman 466 dari 883


BAB 24
KESULTANAN BIMA : PENJAGA ISLAM DI
UJUNG TIMUR

Istana Sultan Bima

Sultan Muhammad Salahuddin bersama tamu tentara Belanda (tahun 1949)

Halaman 467 dari 883


Sultan Muhammad Salahuddin (bertahta 1920-1943)

Kesultanan Bima (‫ )ﻛﺴــﻠﻄﺎﻧــﻦ ﺑــﯿﻤﺎ‬adalah kerajaan Islam yang


didirikan pada tanggal 7 Februari 1621 Masehi. Sultan pertamanya
adalah raja ke-27 dari Kerajaan Mbojo yang bernama La Kai.
Wilayah Kesultanan Bima meliputi Pulau Sumbawa dan Pulau
Flores Bagian Barat yaitu Wilayah Manggarai yang sekarang
menjadi 3 Kabupaten yakni Kab. Manggarai, Kab. Manggarai Barat
dan Kab. Manggarai Timur. Kesultanan ini telah dipimpin oleh 14
sultan. Sultan terakhirnya adalah Sultan Muhammad Salahuddin.[1]

Halaman 468 dari 883


Awal Pendirian
Pada awalnya Kesultanan Bima merupakan sebuah
kelompok masyarakat Suku Mbojo yang menganut paham
animisme dan dinamisme. Masyarakat ini kemudian disatukan
bersama suku-suku lain di sekitarnya. Penyatuan ini dilakukan oleh
Sang Bima yang mengajarkan agama Hindu dari Jawa. Setelah itu,
ia mendirikan Kerajaan Bima dengan gelar Sangaji.[2]

Kerajaan Bima didirikanpada abad ke-11 Masehi dengan dua


nama, yaitu Kerajaan Mbojo dan Kerajaan Bima. Kerajaan Mbojo
merupakan nama yang diberikan oleh para pemangku adat yang
disebut Ncuhi, sedangkan Kerajaan Bima merupakan nama yang
diberikan oleh masyarakat. Setelah membentuk kerajaan, Sang
Bima pergi ke Kerajaan Medang. Ia kemudian mengirim kedua
putranya yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala ke
Kerajaan Bima. Indra Zamrud diangkat menjadi Sangaji di Bima,
sedangkan Indra Kumala menjadi Sangaji di Dompu.[3]

Awal Kesultanan
Pada tahun 1540 Masehi, para mubalig dan pedagang dari
Kesultanan Demak datang ke Kerajaan Bima untuk menyiarkan
Islam. Penyebaran Islam dilakukan oleh Sunan Prapen, tetapi tidak
dilanjutkan setelah Sultan Trenggono wafat pada tahun yang sama.
Pada tahun 1580, penyebaran Islam dilanjutkan oleh para mubalig
dan pedagang dari Kesultanan Ternate yang diutus oleh Sultan
Baabullah. Selanjutnya, penyebaran Islam di Kerajaan Bima
diteruskan oleh Sultan Alauddin pada tahun 1619. Ia mengirim para

Halaman 469 dari 883


mubalig dari Kesultanan Luwu, Kerajaan Tallo dan Kerajaan Bone.
Kerajaan Bima akhirnya menjadi kesultanan setelah rajanya yang
bernama La Kai menjadi muslim pada tanggal 15 Rabiul Awal tahun
1030 Hijriyah. Agama Islam kemudian menjadi agama resmi dari
para bangsawan dan masyarakat Kerajaan Bima.[4]

Wilayah Kekuasaan
Pada abad ke-19 M, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima
meliputi Pulau Sumbawa bagian timur, Manggarai, dan pulau pulau
kecil di Selat Alas. Wilayah Kesultanan Bima berbatasan langsung
dengan Laut Jawa di utara dan Samudera Hindia di selatan. Di
Pulau Sumbawa, wilayah Kesultanan Bima dibagi menjadi tiga
distrik yaitu Belo, Bolo, dan Sape. Tiap distrik dipimpin oleh
seorang pemimpin distrik yang disebut Djeneli. Distrik kemudian
dibagi lagi menjadi perkampungan-perkampungan yang dipimpin
oleh kepala kampung. Wilayah Kesultanan Bima di Manggarai
dibagi menjadi daerah Reo dan daerah Pota. Pemimpin masing-
masing distrik bergelar naib yang bertanggung jawab langsung
kepada sultan. Para naib ini memimpin para galarang, dan kepala
kampung.[5]

Pada tahun 1938, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima


menyempit akibat perjanjian dengan Gubernur Hindia Belanda.
Kesultanan Bima berbatasan dengan Laut Jawa di utara dan
Samudera Hindia di selatan. Bagian timur berbatasan dengan
Manggarai dan bagian barat berbatasan dengan Dompu. Kesultanan
Bima juga memperoleh wilayah Kerajaan Sanggar yang berada di
pantai barat semenanjung Gunung Tambora pada tahun 1928.[6]
Halaman 470 dari 883

Pemerintahan
Kesultanan Bima menggunakan gelar Ruma kepada para
sultannya. Gelar ini melambangkan bahwa sultan adalah khalifah
dan wakil Allah di bumi. Sultan diberi wewenang oleh
masyarakatnya untuk menjadi pemimpin dan pemerintah. Dalam
melaksanakan pemerintahan, sultan mengutamakan kepentingan
masyarakat dan tidak mementingkan keperluan pribadinya.
Pemerintahan sultan sepenuhnya dilaksanakan sesuai syariat Islam.
Nilai-nilai budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam
dipadukan dan membentuk tradisi pemerintahan.[7]

Pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Kesultanan Bima


pada tahun 1908 dan menerapkan pemerintahan terpusat. Wilayah
Kesultanan Bima dibagi menjadi 5 distrik pemerintahan yaitu
Distrik Rasanae, Distrik Donggo, Distrik Sape, Distrik Belo, dan
Distrik Bolo. Distrik Rasanae dipimpin oleh Sultan, sedangkan
Distrik Donggo dipimpin oleh Sultan Muda. Distrik Sapa dipimpin
oleh Raja Bicara, Distrik Bolo dipimpin oleh Raja Sakuru. dan
Distrik Bolo dipimpin oleh Rato Parado.[8] Pada tahun 1909,
Kesultanan Bima digabung ke dalam Keresidenan Timur Hindia
Belanda dengan pusat pemerintahan di Makassar. Semua urusan
kesultanan harus mendapat persetujuan pemerintah kolonial
Belanda.[9]

Sultan Ismail
Sultan Ismail adalah sultan ke-10 Kesultanan Bima. Ia
adalah putra dari Sultan Abdul Hamid. Kekuasaannya dimulai sejak
pengangkatannya pada tanggal 26 November 1819.[10] Sultan Ismail
Halaman 471 dari 883
berkuasa hingga tahun 1854. Selama masa kekuasaannya,
Kesultanan Bima membangun banyak musala dan masjid di seluruh
wilayahnya. Pada awal pemerintahannya, masyarakat hidup miskin
dan menderita kelaparan akibat letusan Gunung Tambora, serangan
bajak laut, dan kemarau panjang. Perekonomian Kesultanan Bima
kemudian membaik setelah Sultan Ismail beralih patuh kepada
Inggris.[11]

Sultan Abdul Kadim


Sultan Abdul Kadim adalah sultan kedelapan dari
Kesultanan Bima. Ia berkuasa sejak tanggal 9 Februari

Sultan Abdul Hamid


Sultan Abdul Hamid adalah putra dari Sultan Abdul Kadim.
Ia memerintah mulai tahun 1773 M. Pada masa pemerintahannya,
perdagangan di wilayah Kesultanan Bima telah menjadi hak
monopoli Belanda. Ia kemudian berperan dalam mempermudah izin
pelayaran kapal-kapal di wilayah Kesultanan Bima.[12]

Sultan Muhammad Salahuddin


Sultan Muhammad Salahuddin adalah putra Sultan Ibrahim.
Ia berkuasa pada tahun 1915 dan mengubah keadaan politik dan
pemerintahan.[8] Selama pemerintahannya, ia mendirikan sekolah
Islam di Raba dan Kampo Suntu. Selain itu, masjid-masjid didirikan
di tiap desa dalam wilayah Kesultanan Bima. Sultan Muhammad
Salahuddin juga mendirikan peradilan urusan agama yang disebut
Badan Hukum Syara. Ia juga mulai melepaskan pengaruh Hindia
Belanda di kesultanannya dengan melakukan peperangan dan

Halaman 472 dari 883


mendirikan berbagai organisasi yang memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia.[13]

Kehidupan Masyarakat
Masyarakatnya memiliki tiga sifat yang berasal dari masa
awal pendirian Kerajaan Bima, yaitu sifat sabar, malu dan takut.
Ketiga sifat ini diwariskan oleh Sang Bima kepada kedua anaknya,
yaitu Indra Zamrud dan Indra Kumala. Indra Zamrud dibekali ilmu
melaut, sedangkan Indra Kumala dibekali ilmu bertani. Pengetahuan
ini kemudian diajarkan kepada masyarakat Bima.[14] Setelahnya,
Wilayah Kesultanan Bima telah menjadi kawasan perdagangan
sejak abad ke-11 M. Perannya adalah sebagai penghubung antara
Kerajaan Medang di Pulau Jawa dan Kepulauan Maluku. Kerajaan
Bima menjadi tempat perdagangan dan persinggahan. Hasil bumi
yang diperdagangkan berupa soga, sapang dan rotan. Perdagangan
dilakukan di pelabuhan Bima Lawa Due dan Nanga Belo. Para
pedagang juga singgah untuk mempersiapkan bekal ke Maluku
berupa makanan dan air minum.[15]

Struktur Sosial
Penduduk asli di Kesultanan Bima adalah masyarakat Suku
Donggo yang menghuni wilayah pegunungan. Wilayah
pemukimannya berada di Kecamatan Donggo dan Kecamatan
Wawo Tengah.[16] Penduduk yang lainnya adalah Suku Bima. Suku
ini awalnya adalah para pendatang dari Suku Makassar dan Suku
Bugis yang menghuni wilayah pesisir Bima. Mereka kemudian
menikahi penduduk asli dan menetap sebagai penduduk di Bima

Halaman 473 dari 883


pada abad ke-14. Para pendatang lain berasal dari Suku Melayu dan
Suku Minangkabau. Mereka menetap di wilayah Teluk Bima,
Kampung Melayu, dan Benteng. DI Kesultanan Bima juga terdapat
pemukiman Arab yang terdiri dari para pedagang dan mubalig.[18]

Keagamaan
Islam pertama kali diperkenalkan ke Kesultanan Bima oleh
Sayyid Ali Murtadlo atau Sunan Gisik yang berasal dari Gresik. Ia
adalah putra Syekh Maulana Ibrahim Asmara dan kakak dari Sunan
Ampel. Penyebaran Islam dilakukan bersamaan dengan kegiatan
perdagangan. Penerimaan Islam hanya oleh kelompok kecil
pedagang dan masyarakat Kerajaan Bima yang berada di wilayah
pesisir.[19]

Islamisasi di Sulawesi Selatan selama periode tahun 1605


hingga 1611 membuat Kesultanan Gowa memperluas penyebaran
Islam ke Kepulauan Nusa Tenggara.[20] Kesultanan Gowa
memusatkan penyebaran Islam di Pulau Sumbawa setelah hampir
seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan diislamkan.[21] Penyebaran
Islam dilanjutkan oleh para pedagang dari Kerajaan Gowa, Kerajaan
Tallo, Kesultanan Luwu, Kesultanan Bone, dan Kesultanan Ternate.
Hubungan politik, budaya dan ekonomi antara Kerajaan Gowa dan
Kesultanan Bima akhirnya membuat raja Kerajaan Bima yang
bernama La Kai menjadi muslim. Islam yang berkembang di
Kesultanan Bima juga dipengaruhi oleh Kesultanan Gowa.[22]

Kesultanan Bima kemudian menerapkan hukum Islam dan


hukum adat secara bersamaan. Pemerintahan Kesultanan Bima

Halaman 474 dari 883


kemudian membentuk lembaga eksekutif dan yudikatif.[23] Sejak
tanggal 14 Agustus 1788, Kesultanan Bima memiliki lembaga
peradilan Islam yang bernama Mahkamah Syar'iyyah. Tugas
utamanya adalah mengadili dalam urusan syariat Islam. Setelah
Belanda memerintah di Kerajaan Bima, Mahkamah Syar’iyyah
digantikan oleh sistem peradilan Hindia Belanda pada tahun 1908.
[24]

Silsilah Sultan
Para sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Bima adalah
sebagai berikut:[25]

Silsilah sultan di Kesultanan Bima


Sult
an Nama Gelar Periode
ke-

1 Abdul Kahir Mantau Wata Wadu 1620—1640

2 I Ambela Abi’l Khair Sirajuddin, Mantau Uma Jati 1640—1682

3 Nuruddin Abu Bakar All Syah Mawa’a Paju 1682—1687

4 Jamaluddin Ali Syah Mawa’a Romo 1687—1696

5 Hasanuddin Muhammad Syah Mabata Bo’u 1696—1731

6 Alauddin Muhammad Syah Manuru Daha 1731—1748

7 Kamalat Syah Rante Patola Sitti Rabi’ah 1748—1751

8 Abdul Kadim Muhammad Syah Mawa’a Taho 1751—1773

9 Abdul Hamid Muhammad Syah Mantau Asi Saninu 1773—1817

10 Ismail Muhammad Syah Mantau Dana Sigi 1817—1854

11 Abdullah Mawa’a Adil 1854—1868

Halaman 475 dari 883


12 Abdul Aziz Mawa’a Sampela 1868—1881

13 Ibrahim Ma Taho Parange 1881—1915

14 Muhamad Salahuddin Marrbora di Jakarta 1915—1951

Peninggalan Sejarah
Istana Asi Mbojo

Istana Sultan Bima pada tahun 1949

Istana Asi Mbojo didirikan pada tahun 1888 dalam masa


pemerintahan Sultan Ibrahim. Istana ini digunakan hingga masa
pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin. Pada tahun 1927,
istana Asi Mbojo diperbaiki dan ditempati kembali pada tahun 1929.
Arsitekturnya dirancang dengan menggunakan perpaduan arsitektur
Bima dan Belanda. Perancangnya adalah Obzicter Rahatta yang
merupakan tahanan Hindia Belanda dari Ambon. Istana Asi Mbojo
kemudian menjadi Museum Asi Mbojo [26] Pada masa Kesultanan
Bima, istana ini digunakan sebagai kediaman sultan bersama

Halaman 476 dari 883


keluarganya, serta sebagai pusat pemerintahan dan pusat penyiaran
agama.[27]

Istana Asi Bou


Istana Asi Bou dibangun pada tahun 1927 sebagai kediaman
sementara untuk sultan dan keluarganya. Kediaman ini digunakan
selama pembangunan ulang dari Istana Asi Mbojo. Istana Asi Bou
merupakan sebuah rumah panggung tradisional. Bahan
bangunannya berupa kayu jati yang berasal dari Tololai, Kecamatan
Wera. Pembangunannya menggunakan biaya dari kas keuangaan
Kesultanan Bima dan dana pribadi Sultan Muhammad Salahuddin.
[28]

Masjid Sultan Muhammad Salahuddin


Masjid Sultan Muhammad Salahuddin mulai dibangun pada
tahun 1737 M dalam masa pemerintahan Sultan Abdul Kadim.
Pembangunan masjid diteruskan oleh Sultan Abdul Hamid. Ia
mengubah model atap masjid menjadi bersusun tiga yang
menyerupai Masjid Kudus. Pada tahun 1943, Sultan Muhammad
Salahuddin memerintahkan pembangunan ulang masjid yang hancur
setelah dibom oleh pesawat pasukan sekutu dalam Perang Dunia II.
Masjid ini kembali diperbaiki pada tahun 1990 oleh Siti Maryam
yang merupakan putri dari Sultan Muhammad Salahuddin.[28]

Masjid Al-Muwahiddin
Masjid Al-Muwahiddin dibangun pada tahun 1947 dalam
masa pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin. Tujuan
pembangunannya adalah untuk menggantikan sementar fungsi dari

Halaman 477 dari 883


Masjid Muhammad Salahuddin yang telah hancur. Masjid ini
difungsikan sebagai tempat kegiatan ibadah, dakwah, dan studi
Islam.[29]

Peninggalan Budaya : Rimpu


Rimpu adalah busana wanita berupa sarung yang digunakan
oleh para muslimah di Kesultanan Bima. Kegunaannya adalah
sebagai penutup kepala dan bagian tubuh bagian atas. Rimpu terdiri
dari dua lembar kain sarung. Sarung pertama digunakan untuk
menutupi kepala sehingga yang terliihat hanya bagian muka atau
mata saja. Kain kedua diikat di perut dan digunakan sebagai
pengganti rok.[30] Rimpu diperkenalkan pertama kali di Bima pada
akhir abad ke-17 M.[31]

Referensi
1. ^ Mawaddah 2017, hlm. 141.
2. ^ Saputri 2016, hlm. 633.
3. ^ Saputri 2016, hlm. 633–634.
4. ^ Saputri 2016, hlm. 634.
5. ^ Haris 2006, hlm. 18.
6. ^ Haris 2006, hlm. 19.
7. ^ Effendy 2017, hlm. 185.
8. ^ Lompat ke:
a b Sumiyati 2020, hlm. 22.

9. ^ Sumiyati 2020, hlm. 23.


10. ^ Mandyara 2017, hlm. 47.
11. ^ Mandyara 2017, hlm. 48.
12. ^ Mawaddah 2017, hlm. 142.
13. ^ Sumiyati 2020, hlm. 25.
14. ^ Sulistyo 2014, hlm. 160.
15. ^ Sulistyo 2014, hlm. 159.
16. ^ Aulia 2013, hlm. 2.
17. ^ Aulia 2013, hlm. 3.
18. ^ Aulia 2013, hlm. 4.

Halaman 478 dari 883


19. ^ Salahuddin 2005, hlm. 194.
20. ^ Effendy 2017, hlm. 188.
21. ^ Effendy 2017, hlm. 189.
22. ^ Salahuddin 2005, hlm. 195.
23. ^ Salahuddin 2005, hlm. 195–196.
24. ^ Salahuddin 2005, hlm. 196.
25. ^ Haris 2006, hlm. 30–31.
26. ^ Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 13.
27. ^ Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 13–14.
28. ^ Lompat ke:
a b Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 14.

29. ^ Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 15.


30. ^ Aksa 2018, hlm. 84.
31. ^ Aksa 2018, hlm. 85.

Daftar Pustaka
1. Akbar, H., Antariksa, dan Meidiana, C. (2017). "Memori Kolektif Kota Bima Dalam
Bangunan Kuno Pada Masa Kesultanan Bima". The Indonesian Green Technology Journal.
6 (1): 8–18. ISSN 2338-1787.
2. Aksa (2018). "Rimpu: Tradisi dan Ekspresi Islam di Bima". Mimikri. 4 (1): 83–91.
3. Aulia, Rihla Nur (2013). "Rimpu: Budaya Dalam Dimensi Busana Bercadar Perempuan
Bima". Studi Al-Qur'an. 9 (2): 1–11. ISSN 2339-2614.
4. Effendy, Muslimin AR. (Desember 2017). "Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara di
Kesultanan Bima". Al-Qalam. 23 (2): 184–197.
5. Haris, Tawalinuddin (2006). "Kesultanan Bima di Pulau Sumbawa". Wacana. 8 (1): 17–31.
Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-21. Diakses tanggal 2020-08-31.
6. Mandyara, Dewi Ratna Muchlisa (2017). "Peran Kesultanan Bima pada Masa Sultan Ismail
Tahun 1819-1854". Jurnal Pendidikan IPS. 7 (1): 44–48.
7. Mawaddah, Kartini (2017). "Diplomatik Sultan Abdul Hamid di Kerajaan Bima Tahun
1773-1817 M". Juspi. 1 (1): 139–153.
8. Salahuddin, Muhammad (2005). "Mahkamah Syar'iyyah di Kesultanan Bima: Wujud
Dialektika Hukum antara Islam dan Adat". Ulumuna. 9 (1): 189–201.
9. Saputri, Reni (Oktober 2016). "Kesulttanan Bima di Bawah Pemerintahan Sultan
Muhammad Salahuddin Tahun 1917-1942". Avatara. 4 (3): 630–643.
10. Sulistyo, Bambang (Juli 2014). "Multikulturalisme di Bima pada Abad X - XVII".
Paramita. 24 (2): 155–172. doi:10.15294/paramita.v24i2.3120. ISSN 0854-0039.
11. Sumiyati (2020). "Kondisi Politik di Kesultanan Bima (1915-1950)". Diakronika. 20 (1): –.
doi:10.24036/diakronika/vol20-iss1/128. ISSN 2620-9446.

Halaman 479 dari 883


BAB 25
KESULTANAN SUMBAWA : MUTIARA ISLAM
DARI TIMUR

Istana Dalam Loka Samawa di Kota Sumbawa Besar

Kesultanan Sumbawa atau juga dikenal dengan Kerajaan


Samawa[1] adalah salah satu dari tiga kerajaan Islam besar di Pulau
Sumbawa. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir 2/3 dari luas
pulau Sumbawa.[2] Keberadaan Tana Samawa atau wilayah
Sumbawa, mulai dicatat oleh sejarah sejak zaman Dinasti Dewa
Awan Kuning, tetapi tidak banyak sumber tertulis yang bisa
dijadikan bahan acuan untuk mengungkapkan situasi dan kondisi
pada waktu itu. Sebagaimana masyarakat di daerah lain, sebagian
rakyat Sumbawa masih menganut animisme dan sebagian sudah
menganut agama Hindu. Baru pada kekuasaan raja terakhir dari
Dinasti Awan Kuning, yaitu Dewa Maja Purwa, ditemukan catatan
tentang kegiatan pemerintahan kerajaan, antara lain bahwa Dewa
Maja Purwa telah menandatangani perjanjian dengan Kerajaan

Halaman 480 dari 883


Gowa di Sulawesi. Perjanjian itu baru sebatas perdagangan antara
kedua kerajaan kemudian ditingkatkan lagi dengan perjanjian saling
menjaga keamanan dan ketertiban. Kerajaan Gowa yang
pengaruhnya lebih besar saat itu menjadi pelindung Kerajaan
Samawa.

Kerajaan-kerajaan: Seran, Taliwang, dan Jereweh masing-


masing merupakan kerajaan vasal dari kerajaan Sumbawa. Raja
Samawa yang pertama dari kerajaan (kecil) Sampar Kemulan
bernama Maja Paruwa, dari dinasti Dewa Awan Kuning yang telah
memeluk agama Islam. Setelah meninggal, Maja Paruwa diganti
oleh Mas Cini (Dewa Mas Pemayam) putra raja selaparang.

Kemudian Mas Cini di ganti oleh Mas Goa. Mas Goa tidak
lama memerintah karena pola pikir dan pandangan hidupnya masih
dipengaruhi ajaran Hinduisme.

Pada tahun 1637 Mas Goa digantikan oleh putera dari saudara
perempuannya, bernama Mas Bantan. Lama pemerintahannya, dari
tahun 1675 s.d. 1701. Mas Bantan adalah putera Raden Subangsa,
seorang pangeran dari Banjarmasin.[3]hasil pernikahan dengan
saudari perempuan Mas Goa yaitu Amas Penghulu

Setelah Dewa Mas Goa di berhentikan karena dianggap telah


melanggar salah satu perjanjian damai dengan Kerajaan Gowa,
maka ia terpaksa disingkirkan bersama pengikut-pengikutnya, kira-
kira ke wilayah Kecamatan Utan-Rhee sekarang. Ia diturunkan dari
tahtanya karena mangkir dari kesepakatan pendahulunya dengan
Kerajaan Gowa. Tidak disebutkan apa pelanggaran yang telah

Halaman 481 dari 883


dilakukan Mas Goa, namun campur tangan Raja Gowa di Sulawesi
sangat besar. Pemberhentian secara paksa ini terjadi pada tahun
1673 sekaligus mengakhiri pengaruh Dinasti Dewa Awan Kuning di
Sumbawa.[4]

Sejarah Kesultanan Sumbawa


Kedatangan Islam
Diperkirakan agama Hindu-Budha telah berkembang pesat
di kerajaan-kerajaan kecil di Pulau Sumbawa sekitar 200 tahun
sebelum invasi Kerajaan Majapahit ke wilayah ini. Beberapa
kerajaan itu antara lain Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek
(Ropang), Kerajaan Airenung (Moyo Hulu), Kerajaan Awan Kuning
di Sampar Semulan (Moyo Hulu), Kerajaan Gunung Setia
(Sumbawa), Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan), Kerajaan Seran
(Seteluk), Kerajaan Taliwang, dan Kerajaan Jereweh.

Menurut Zolinger, agama Islam masuk ke Pulau Sumbawa


lebih dahulu daripada Pulau Lombok antara tahun 1450–1540 yang
dibawa oleh para pedagang Islam dari Jawa dan Sumatra, khususnya
Palembang. Selanjutnya runtuhnya Kerajaan Majapahit telah
mengakibatkan kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Sumbawa
menjadi kerajaan-kerajaan yang merdeka. Kondisi ini justru
memudahkan bagi proses pengenalan ajaran Islam oleh para
mubaligh tersebut, kemudian pada tahun-tahun awal pada abad
ke-16, Sunan Prapen yang merupakan keturunan Sunan Giri dari
Jawa datang untuk menyebarkan Islam pada kerajaan-kerajaan
Hindu di Sumbawa, dan terakhir penaklukan Karaeng Moroangang
dari Kerajaan Gowa tahun 1618 atas Kerajaan Dewa Maja Paruwa
Halaman 482 dari 883
(Utan) sebagai kerajaan terakhir yang bersedia masuk Islam
sehingga menghasilkan sumpah: “Adat dan rapang Samawa
(contoh-contoh kebaikan) tidak akan diganggu gugat sepanjang raja
dan rakyatnya menjalankan syariat Islam”.

Dinasti Dewa Dalam Bawa

Prosesi Nginring atau perpindahan Sultan Sumbawa ke-16, Sultan Muhammad


Kaharuddin III, dari Istana Dalam Loka Samawa ke Istana Bala Puti pada tahun
1934.

Istana Bala Puti di Kota Sumbawa Besar yang dibangun pada tahun 1932-1934.
Sekarang bangunan ini menjadi Wisma Praja Kabupaten Sumbawa.

Halaman 483 dari 883


Pemberhentian Mas Goa secara paksa pada tahun 1673
mengakhiri pengaruh Dinasti Dewa Awan Kuning di Sumbawa.
Satu tahun berikutnya, pada 1674 Dinasti baru terbentuk dan diberi
nama Dinasti Dewa Dalam Bawa. Saat itu rakyat Sumbawa sudah
mulai memeluk agama Islam. Dinasti Dewa Dalam Bawa ini
berkuasa hingga tahun 1958, saat Kesultanan Sumbawa bergabung
dengan Republik Indonesia.

Kerajaan-kerajaan: Seran, Taliwang, dan Jereweh masing-


masing merupakan kerajaan vasal dari kerajaan Sumbawa. Ketiga
kerajaan taklukan ini masing-masing memiliki kedudukan yang
sederajat yang disebut Kamutar Telu.[5]

Sultan Sumbawa yang berkuasa setelah Maja Puruwa adalah


Amas Cini (Dewa Mas Pamayam) Putra Raja Selaparang yang
dilantik sebagai Raja Selaparang dan Sumbawa, setelah itu
kekuasaan kembali di pegang oleh keturunan Maja Paruwa yaitu
Amas Goa Putra dari Maja Paruwa.

Amas Goa memiliki saudari perempuan yaitu Amas


Penghulu yang menikah dengan Raden Subangsa (nama lahir:
Raden Marabut) dari Kesultanan Banjar.[6] dan lahir Mas Bantan
(Sultan Harrunurassyid I) yang merupakan permulaan periode
kekuasaan dinasti Dalam Bawa (Trah Banjar) menggantikan Dinasti
Awan Kuning (Trah Sampar Kemulan)

Kekerabatan Sultan Banjar dengan Sultan Sumbawa yang


memerintah pada tahun 1700 diberitakan dalam laporan pelaut

Halaman 484 dari 883


Inggris dalam buku "Notices of the Indian archipelago & adjacent
countries: being a collection of papers relating to Borneo, Celebes,
Bali, Java, Sumatra, Nias, the Philippine islands", menyebutkan:[7]

About the year 1700, the English fixed themselves in

“ Banjar, with about 46 English and 100 Bugis, at which


time the chief of Banjar had the title of Panambahan,
and of the family of Sumbawa.

Sultan Banjar sekitar tahun 1700 adalah Sultan Tahmidillah 1 alias
Panembahan Kuning.[8]

Tahun 1673, Kompeni (Belanda) mendarat di Sumbawa.


Tahun 1674, 12 Juni 1674, Kerajaan Sumbawa terpaksa menanda
tangani perjanjian dengan Kompeni Belanda dan melepaskan
haknya atas Selaparang. Tahun 1702, Raja Mas Bantan
menyerahkan Kerajaan kepada puteranya Amas Madina yang
bergelar Muhammad Jalaluddin Syah. Tahun 1723, Sultan
Muhammad Jalaluddin dari Sumbawa menyerang kekuasaan Bali di
Selaparang.

Amas Bantan Datu Loka (Sultan Harunurrasyid I) menikah


dengan salah satu puteri dari Raja Tallo ke-10 bernama I Mappaijo
Daeng Manjauru Sultan Harun Alrasyid (Halimah Karaeng
Tanisanga), melahirkan dua putra yaitu amas madina (Sultan
Jalaluddin Syah) dan dewa maja Jereweh (Datu Jereweh)

Amas Madina ini menikah dengan I Rakia Karaeng


Agangjene (Addatuwang Sidenreng), melahirkan puteri yang

Halaman 485 dari 883


menjadi Sultanah (sultan Wanita pertama) bernama I Masugi Ratu
Karaeng Bonto Parang.

Penguasa pertama dari Dinasti Dalam Bawa ini adalah Mas


Bantan bergelar Sultan Harunnurrasyid I (1674–1702) Putra Raden
Subangsa (Pangeran Banjar) hasil pernikahannya dengan amas
penghulu binti Maja Paruwa. Mas Bantan Sultan Harunnurasyid I
kemudian digantikan oleh puteranya, Pangeran Mas Madina,
bergelar Sultan Muhammad Jalaluddin I yang menikah dengan pute
ri Raja Sidenreng dari Sulawesi Selatan yang bernama I Rakia
Karaeng Agang Jene. Setelah wafat, Jalaluddin I digantikan oleh
Dewa Loka Lengit Ling Sampar, kemudian oleh Dewa Ling
Gunung Setia. Tidak banyak bukti sejarah yang dapat
mengungkapkan berapa lama keduanya memerintah, tapi
diperkirakan mereka memerintah Sumbawa pada tahun 1723-1732.

Pada tahun 1732 kekuasaan atas Kesultanan Sumbawa


kembali dipegang oleh keturunan Mas Bantan (Sultan
Harunurrasyid) yaitu Sultan Muhammad Kaharuddin I (1732-1758)
anak dari Dewa Maja Jereweh.

Setelah Sultan Kaharuddin I wafat, kekuasaan diambil alih oleh


istrinya, I Sugiratu Karaeng Bontoparang, yang bergelar Sultanah
Siti Aisyah yang merupakan anak Sultan Muhammad Jalaluddin
Syah. Raja wanita ini dikenal sering berselisih paham dengan
pembantu-pembantu sultan, sehingga pada tahun 1761 ia diturunkan
dari tahta. I Sugiratu Karaeng Bontoparang sejatinya akan
digantikan oleh Lalu Mustanderman Datu Bajing, namun ia

Halaman 486 dari 883


menolak. Lalu Mustanderman Datu Bajing kemudian menyarankan
untuk mengangkat adiknya yaitu Lalu Onye Datu Ungkap Sermin
(1761-1762). Setelah masuknya VOC (Verenigde Oost Indische
Compagnie) Belanda, Kesultanan Sumbawa berhasil ditaklukkan
dan menjadi bagian wilayah Gubernemen Celebes, dan sesuai
dengan pembagian wilayah afdeeling maka Sumbawa masuk
wilayah Karesidenan Timor (Timor en Onderhoorigheden) dengan
ibu kota di Sumbawa Besar.

Kekuasaan Belanda pun semakin merajalela. Belanda ikut


mengatur keadaan politik di dalam istana, dan ikut menentukan
jalannya pemerintahan. Pulau Sumbawa dan Pulau Sumba dijadikan
satu dalam bentuk afdeling dengan ibu kota di Sumbawa Besar.
Asisten Resident yang pertama adalah Janson van Ray. Kesultanan
Sumbawa dibagi dalam dua onderafdeeling, yaitu Sumbawa Barat
dan Sumbawa Timur.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Jalaluddin III


(1833-1931), dibangun Istana Dalam Loka Samawa. Hal ini sangat
dimungkinkan karena Sultan Muhammad Jalaluddin III
menjalankan roda pemerintahan selama 48 tahun. Setelah ia
meninggal pada tahun 1931, tahta sultan turun kepada putra
mahkota, yang mendapat gelar Sultan Muhammad Kaharruddin III,
yang pada masa pemerintahannya dibangun Istana Bala Puti yang
sekarang menjadi Wisma Praja Kabupaten Sumbawa.[10] Pada
zaman pemerintahannya pula menjadi masa peralihan kolonialisme
Belanda kepada Jepang. Tepat pada bulan Mei 1942, delapan kapal
perang Jepang mendarat di Labuhan Mapin di bawah pimpinan

Halaman 487 dari 883


Kolonel Haraichi. Ketika Perjanjian Kalijati ditandatangani tanggal
9 Maret 1942, organisasi-organisasi Islam di Sumbawa seperti
Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, dan Al-Irsyad, mulai mengatur
siasat. Sementara itu, tiga kerajaan di Pulau Sumbawa mengambil
sikap tegas menyatakan diri lepas dari kekuasaan Belanda.
Kekuasaan Jepang tidak berlangsung lama, karena setelah
Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom, Jepang menyerah
kepada Sekutu. Peraktis kekuasaannya berakhir. Sebelum Belanda
kembali masuk, Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamirkan
kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Setelah Kemerdekaan dan Bergabung dengan Republik


Indonesia

Foto bersama Sultan Muhammad Kaharuddin III beserta Dewa Bini, pembesar-pembesar Kesultanan
Sumbawa, dan para petinggi Belanda di Istana Bala Puti.

Agresi Militer Belanda di Indonesia mengakibatkan Sultan


Sumbawa, Sultan Muhammad Kaharuddin III menandatangani
sebuah perjanjian politik baru dengan Belanda pada tanggal 14
Desember 1948. Isinya antara lain menjelaskan tentang sisa-sisa

Halaman 488 dari 883


kekuasaan yang masih dikuasai oleh Belanda di Sumbawa.
Kekuasaan tersebut ada tiga, yaitu bidang pertahanan, hubungan
luar negeri, dan monopoli atas candu dan garam. Setahun kemudian,
pemerintah Negara Indonesia Timur dengan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 44 tahun 1949 membentuk pemerintahan Federasi
Pulau Sumbawa, yang ditetapkan oleh Dewan Raja-Raja pada
tanggal 6 September 1949.

Selanjutnya pemerintahan di Sumbawa berubah menjadi


Daerah Swapraja Sumbawa yang bernaung dibawah Provinsi Sunda
Kecil. Sejak saat itu pemerintahan terus mengalami perubahan
mencari bentuk yang sesuai dengan perkembangan yang ada,
sampai dilikuidasinya wilayah-wilayah di Pulau Sumbawa pada
tangal 22 Januari 1959. Peristiwa ini juga tidak terlepas dari
pembentukan Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 64 Tahun 1958 dan
Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958. Sesuai dengan ketentuan
Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958, penjabat
Kepala Daerah Swantantra Tingkat I Nusa Tenggara Barat
menetapkan likuidasi daerah Pulau Sumbawa pada tanggal 22
Januari 1959, dilanjutkan dengan pengangkatan dan pelantikan
penjabat Kepala Daerah Swantantra Tingkat II Sumbawa, Sultan
Muhammad Kaharuddin III. Oleh karena itu, tanggal 22 Januari
1959 ditetapkan sebagai hari lahir Kabupaten Sumbawa, yang
disahkan dengan Keputusan DPRD Kabupaten Sumbawa Nomor
06/KPTS/DPRD, tanggal 29 Mei 1990.

Halaman 489 dari 883


Setelah Sultan Muhammad Kaharuddin III wafat pada tahun
1975, sempat terjadi kekosongan tahta Kesultanan Sumbawa selama
36 tahun. Baru pada 5 April 2011 melalui musakara rea Lembaga
Adat Tana Samawa (LATS) putra mahkota Sultan Muhammad
Kaharuddin III, Daeng Muhammad Abdurrahman Kaharuddin,
dinobatkan sebagai Sultan Sumbawa ke-17 dengan gelar Sultan
Muhammad Kaharuddin IV. Prosesi penobatan dilangsungkan di
Istana Dalam Loka Samawa dan Masjid Agung Nurul Huda
Sumbawa Besar, serta dihadiri oleh lebih dari 17 raja dan sultan di
seluruh Indonesia.[11]

Daftar Raja & Sultan Kesultanan Sumbawa

Istana Bala Kuning di Kota Sumbawa Besar, kediaman resmi Sultan Muhammad Kaharuddin IV.

Sultan Muhammad Kaharuddin IV, Sultan Sumbawa ke-17.

Halaman 490 dari 883


• Dewa Maja Paruwa (Dinasti Dewa Awan Kuning) -
Sebelum 1618 – 1632 Raja Samawa yang pertama dari
kerajaan (kecil) Sampar Kemulan dari dinasti Dewa Awan
Kuning yang telah memeluk agama Islam.
• Dewa Mas Pamayan/Raden Untalan. Catatan: Sejarawan
Belanda, H. J. de Graaf menyatakan bahwa Mas Cini atau
Mas Pamayan adalah putera raja Selaparang yang dilantik
menjadi raja Selaparang dan Sumbawa pada tanggal 30
November 1648.[3][12][13]Dewa Mas Pamayan disebut juga
Dewa Mas Cini (menurut Cornelis Speelman) pada tanggal
24 Desember 1650 menikahi Karaeng Panaikang Daeng
Niaq adik tiri Raja Tallo (Harun Al Rasyid).[14][15]
• Dewa Mas Gowa / mantan Raja Utan (1668-1674).[16][17]
Menurut Arsip Nasional Republik Indonesia, korespondensi antara
Sultan Sumbawa Dewa Mas Gowa kepada VOC-Belanda terjadi
sejak tanggal 10 Oktober 1674 sampai 3 Februari 1681.[18]

• Dewa Mas Bantan Datu Loka alias Dewa Masmawa Sultan


Harunnurrasyid I (1672/1675 – 1701) - anak Amas
Penghulu + Raden Subangsa Pangeran Taliwang;[19][20][21][22]
[23][24] pada tanggal 29 Juni 1684 menikahi Kareng Tanisanga

(saudara perempuan Raja Tallo Abdul Qadir) atau puteri


Tumenanga ri Lampana dari Gowa.[15] (menurut catatan
Kerajaan bima Bo Sangaji Kai naskah 34, menyebutkan ibu
Datu Loka yaitu Amas Panghulu anak dari Raja Dewa Maja
Paruwa)

Halaman 491 dari 883


• Mas Madura[25][26]/Kalimullah/Amas Madina /Dewa Mas
Madina Datu Taliwang (1701 – 12 Februari 1725)[20]/Sultan
Jalaluddin Muhammad Syah I (1725 – 1731) Ammasaq /
[20] / Datu Bala Balong/ Datu Semong / Datu Apit Aik - anak

Sultan Harunnurrasyid I;[20][27] - saudara kandung Dewa


Maja Jareweh (Mas Palembang).
◦ Riwa Batang: Raja Tua Datu Bala Sawo Dewa Loka
Ling Sampar / Datu Seran (1723-1725) - saudara
kandung Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I[30]
(menurut catatan Kerajaan bima Bo Sangaji Kai
naskah 34, menyebutkan Datu balasawo tidak
memiliki keturunan)
• Datu Gunung Setia / Jalaluddin Datu Taliwang
(1725-1732)
• Dewa Maswawa Sultan Muhammad Kaharuddin I yang
merupakan suami Ke 2 Sultanah Aisyah binti Sultan
Jalaluddin Muhammad syah I) atau Datu Susun/ Datu Poro /
Dewa Mas Mappasossong / Dewa Sesung Mappadusu / Datu
Taliwang (bin Dewa Maja Jareweh + Karaeng Bontomajene)
(1732-1758)
• Karaëng-Bontowa 02/ Dewa Maswawa Sultanah Siti
Aisyah Datu Bini (I Sugiratu Karaeng Bonto Parang) binti
Sultan Jalaluddin Muhammad Syah I (1758-1761) ibunda
Siti Hadijah Datu Bonto Paja.[31] dan turun tahta tahun 1761

Halaman 492 dari 883


• Dewa Maswawa Sultan Lalu Onye Datu Ungkap Sermin
(Dewa Lengit Ling Dima) bin Datu Sepe (putera Datu Budi
+ Dewa Iya) (1761-1763);
• Dewa Maswawa Sultan Jalaluddin Muhammad Syah II/
Gusti Mesir Abdurahman/Datu Pengantin bin Pangeran Aria
bin Raja Banjar Panembahan Kuning Sultan Tahmidillah 1
(1762-1766);[32] suami Siti Hadijah Datu Baing (Datu Bonto
Paja) anak dari Sultanah Siti Aisyah Datu Bini binti Sultan
Muhammad Jalaluddin I.[33][34]
◦ (b.) Hasanuddin (Aqa-ad Din) Datu Jereweh (1765).
[35][36]

• Dewa Maswawa Sultan Mahmud (Pangeran Mahmuddin)


anak Sultan Muhammad Jalaluddin Syah II hasil
perkawinannya dengan Siti Hadijah Datu Baing/Datu Bonto
Paja binti Karaeng Bonto Langkasa (Suami Pertama
Sultanah Siti Aisyah). Dewa Maswawa Sultan Mahmud
menikah dengan Ratu Laiya, adik raja Banjar Sultan
Tahmidillah 2 / Sunan Nata Alam.
◦ Riwa Batang: Dewa Mappaconga Mustafa (Mappa
Tjo-nga)/ Datu Taliwang - Pemangku Sultan
(1765-1775)- Kontrak 18 Mei 1766[37][38][39][40][41]
◦ Riwa Batang: Datu Busing Lalu Komak
(1775-1777)
• Dewa Maswawa Sultan Harunnurasyid II (Lalu Mahmud/
Hasan Rasyid Datu Budi/Datu Seran) (1777-1791)

Halaman 493 dari 883


• Dewa Maswawa Sultanah Shafiyatuddin (Daeng Massiki)
binti Sultan Harunnurrasyid II bin Hasanuddin (Alauddin)
Datu Jereweh; (1791-1795) - permaisuri Sultan Abdul
Hamid Muhammad Syah (Raja Bima VIII).
• Dewa Maswawa Sultan Muhammad Kaharuddin II (Lalu
Muhammad) bin Sultan Mahmud dengan Ratu Laija binti
Raja Banjar - (m. 1795-1816), Sultan Muhammad
Kaharuddin II wafat saat wabah malaria pasca peristiwa
meletus nya gunung tambora meninggal 5 orang putra yang
masih kecil-kecil. Karena itu di tunjuk pemangku kerajaan /
Riwa Batang :
◦ Riwa Batang: Nene Ranga Mele Manyurang
(1816-1825) - Pemangku Kerajaan
◦ Riwa Batang: Nene Ranga Lalu Manyurang Mele
Abdullah (1825-1836) - Pemangku Kerajaan
• Dewa Maswawa Sultan Lalu Mesir bin Sultan Muhammad
Kaharuddin II (1837-1843) https://pl.wikipedia.org/wiki/
W%C5%82adcy_Sumbawy#Su%C5%82tani_Sumbawy
• Dewa Maswawa Sultan Lalu Muhammad Amrullah
(Amaroe'llah) bin Sultan Muhammad Kaharuddin II
(1843-1882) 2 Agustus 1857.[42]
• Dewa Maswawa Sultan Muhammad Jalaluddin Syah III
(Dewa Marhum) bin Mas Kuncir Datu Lolo Daeng Manassa
(Datu Raja Muda) bin Sultan Amaroe'llah - (m. 1882-1931).
[43] Beliau ini cucu dari Sultan Lalu Muhammad Amaroe'llah

Halaman 494 dari 883


• Dewa Maswawa Sultan Muhammad Kaharuddin III bin
Sultan Muhammad Jalaluddin Syah III dengan Siti
Maryam Daeng Risompa Datu Ritimu - (m. 1931-1975)
• Dewa Maswawa Sultan Muhammad Kaharuddin IV
(Daeng Ewan) bin Sultan Muhammad Kaharuddin III
dengan Siti Khodijah Daeng Ante Ruma Pa'duka binti Sultan
Salahuddin Makakidi Agama Raja Bima XIII - (m. 2011-
Sekarang)[44]
Hubungan Datu Kamutar dengan Raja-Raja Banjar
Datu Kamutar Sultan Banjar Keterangan

Dewa Maja Paruwa raja Sampar


Kamulan menjadi raja di Sumbawa.
Sultan Musta'in Billah dari Banjar
mengirim prajurit ke pulau Lombok
dipimpin Patih Pilo (Pating Pilo) dan
Patih Laga (Pating Raga) untuk
membantu Raja Datu Seleparang Prabu
Kertabumi (cucu Prabu Kertajagat)
Dewa Maja
Sultan Musta'in untuk menumpas pemberontakan Patih
Paruwa(sebelum
Billah Raja Banjar IV Ariya Banjar yang kini berganti nama
1618)
menjadi Banjar Getas. Raden Subangsa
Pangeran Taliwang menikahi Mas
Surabaya kemudian Mas Panghulu,
keduanya anak Raja Selaparang Adipati
Topati (Deneq Mas Pakel ?) dari
pernikahannya dengan putri Sumbawa
anak Dewa Maja Paruwa Raja
Sumbawa.
Dewa Mas Pamayam (adik ipar Deneq
Mas Pakel ?) dilantik menjadi raja
* Sultan Inayatullah
muda yang memerintah di Sumbawa
Raja Banjar V
pada tanggal 30 November 1648. Di
Dewa Mas * Sultan Saidullah
Banjar, saudara sepersusuan raden
Pamayam Raja Banjar VI
Subangsa yaitu Sultan Dipati Anom
1648-1668 * Sultan Ri'ayatullah
(Sultan Agung) mengambil alih jabatan
* Mas Cini pemangku
pemangku Raja (riwabatang) yang
(riwabatang) Raja
dipegang Pangeran Mangkubumi Sultan
Banjar VII 1660-1663
Riayatullah pemangku Raja Banjar
1660-1663.

Halaman 495 dari 883


Dewa Mas Goa menggantikan Dewa
Mas Pamayam. Maas Goah diturunkan
dari tahta, mula-mula diusulkan
saudaranya Amas Malin dan Amas
Atjin (namun ditolak karena ibunya
orang Bali). Pengganti Maas Goah
diusulkan keponakannya yaitu Amas
Mattaram dan Amas Bantani yang
masih memiliki darah keturunan Raja
Sumbawa terdahulu (Raja Maja
Sultan Dipati Anom
Dewa Mas Goa Paruwa). Perkembangan selanjutnya
(riwabatang) Raja
1668-1674 Amas Bantani alias Raden Bantan (bin
Banjar 1663-1679
Raden Subangsa Pangeran Taliwang)
naik tahta kerajaan Sumbawa
menggantikan pamannya Dewa Mas
Goa. Di Banjar 1663-1679 memerintah
Sultan (Pangeran) Dipati Anom yang
merupakan saudara sepersusuan
(saudara angkat) Raden Subangsa
Pangeran Taliwang (ayahanda Amas
Mattaram Karaeng Taliwang dan Amas
Bantani Sultan Sumbawa 3).

Halaman 496 dari 883


Raden Bantan (Amas Bantani) putera
Raden Subangsa menjadi Sultan
Sumbawa ke-3. Permulaan trah Raja
Banjar mulai memerintah atas
Sumbawa. Tahun 1679 Putera mahkota
Banjar yang sah, Sultan Amarullah
Bagus Kasuma berhasil merebut tahta
dari pamannya Sultan Dipati Anom.[29]
[26]

Seorang puteri dari Dewa Mas Bantan,


Dewa Isa Karaeng Barong Patola
diperisteri oleh Ahmad Daeng
Mamuntuli (Mamantuli) Arung Kadjoe
(Kaju) bin Arung Teko (Toko) dari
Dewa Mas Bone. Mungkin sekali Daeng
Bantan Datu Mamuntuli Arung Kaju pernah bertemu
Loka * Sultan Amarullah dengan La Maddukelleng di Pulo Laut
(1672/1675 – Bagus Kasuma Raja pada tahun 1715. Daeng Mamantuli
1701) Banjar 1663-1700 (ipar Pangeran Aria Raja Pamukan)
*Sultan * Sultan Tahmid- membantu Pangeran Purabaya
Harunnurrasyid Allah 1 Panembahan penguasa apanase pulau Laut dalam
I 1701-1725 Kuning Raja Banjar upaya merebut tahta sepupunya Sultan
* Raja Tua Datu 1700-1717 Amarullah Bagus Kasuma Raja Banjar.
Setelok/Datu Untuk menumpas pemberontakan
Seran 1725 pasukan Pangeran Purabaya dan
anaknya Gusti Busu yang dibantu
pasukan Daeng Mamantuli dan pasukan
Dayak Biaju maka dikerahkan pasukan
militer Banjar dipimpin oleh Pangeran
Purba (Pangarang Purba Negarree) dan
Pangeran Nata Dilaga. (sumber: Goh
Yon Fong, Trade and Politics in
Banjarmasin 1700-1747 (Perdagangan
dan Politik di Banjarmasin tahun
1700-1747)[45] Karaeng Taliwang (Raja
Taliwang) Amas Mattaram (saudara
sebapak Dewa Mas Bantan Raja
Sumbawa) mati dibunuh oleh Raden
Sanggaleija di Bontoala.
Dewa Mas
Madina (1701 –
12 Feb. 1725
/Sultan
Muhammad
Jalaluddin Syah
I (1725 – 1731)
* Datu Bala
Sawo
Datu Gunung
Setia

Halaman 497 dari 883


Gusti Amin dilantik menjadi Datu
Sultan
Taliwang, menggantikan Datu Susun/I
Muhammad
Mappasusung Dewa Sesung
Kaharuddin I
Mappadusu yang kini dinobatkan
(1731 – 1759)
sebagai Sultan Sumbawa.
Sultanah Siti
Aisyah Datu
Bini
Datu Ungkap
Sermin
* Hasanuddin
(Alauddin)
Datu Pengantin/Datu Pangeran Gusti
Mesir Abdurrahman (suami Siti
Sultan Hadijah Datu Bonto Paja Karaeng
Muhammad Bonto Massugi) dinobatkan sebagai
Jalaluddin Syah Sultan Sumbawa IX. Saudara Gusti
II Mesir, Gusti Aceh dilantik
m e n g g a n t i k a n D a t u Ta l i w a n g
sebelumnya.[46]
Dewa Pangeran
Sultan Mahmud
(1765)
* Dewa Dewa Pangeran Sultan Mahmud
Mepaconga dinikahkan dengan Ratu Laija saudara
Mustafa perempuan Sultan Tahmidillah 2 Raja
1765-1775 Banjar .[47]
* Datu Busing
Lalu Komak
1775-1777
Lalu Mahmud
Datu Seran
Sultan
Harunnurrasyid
II (1780 – 1791)
Sultanah
Shafiyatuddin
Daeng Masiki
(1791 – 1795)

Halaman 498 dari 883


Sultan Raja Banjar Sultan Sulaiman
Muhammad Rahmatullah (bin Sultan Tahmidilllah
Kaharuddin II 2) telah menerima sebuah tombak
(1795 – 1816) pusaka bernama Kaliblah dari
* Nene Ranga sepupunya Raja Sumbawa XIII Lalu
Mele Sultan Sulaiman Muhammad Sultan Muhammad
Manyurang Rahmatullah Kaharudddin II (bin Sultan Mahmud).
Wazir Muadlam Sultan Sulaiman Saidullah II digantikan
1816-1825 anaknya Sultan Adam al-Watsiq Billah.
* Mele Abdullah Keberadaan Tombak Kaliblah terakhir
1825-1836 berada di tangan Demang Lehman
* Lalu Mesir sebelum disita Belanda.[47][48][49]
1837-1843
Sultan M. Sultan Adam
Amarullah Sultan Tamjidillah 2
1843-1882 Sultan Hidayatullah 2
Sultan
Muhammad Sultan Muhammad
Jalaluddin Syah Seman.
III
1882-1931
Sultan
Muhammad
Kaharuddin III
1931-1975
Sultan
Muhammad
Kaharuddin IV

Referensi
1. ^ Sejarah Kerajaan Sumbawa.
2. ^ Lalu Wacana, B.A., Drs. Abdul Wahab H. Ismail, Jaka Sumpeno, B.A. (1 Januari 1991).
Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Nusa Tenggara Barat. Indonesia: Direktorat Jenderal
Kebudayaan. hlm. 17.
3. ^ Lompat ke:
a b Peninggalan sejarah dan kepurbakalaan Nusa Tenggara Barat. Indonesia: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat, Bagian
Proyek Pembinaan Permuseuman Nusa Tenggara Barat. 1997.
4. ^ Alan Zuhri: Kerajaan di Sumbawa.
5. ^ (Indonesia)Sumbawa menjelang setengah abad. Indonesia: Pemerintah Kabupaten
Sumbawa. 2008. hlm. 35.
6. ^ https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/sumbawa/71-2/sumb-3/
7. ^ (Inggris) J. H. Moor (1837). "Notices of the Indian archipelago & adjacent countries:
being a collection of papers relating to Borneo, Celebes, Bali, Java, Sumatra, Nias, the
Philippine islands". F.Cass & co.: 99.

Halaman 499 dari 883


8. ^ http://sejarahastrologimetafisika.blogspot.com/2011/06/silsilah-kerajaan-banjar.html
9. ^ https://sinarbulannews.files.wordpress.com/2011/01/silsilah-sultan-adam.jpg
10. ^ Explore Sumbawa: Istana Bala Puti.
11. ^ DMA Kaharuddin Dinobatkan Sebagai Sultan Sumbawa ke-17.
12. ^ (Indonesia) Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Direktorat Jenderal Kebudayaan.
hlm. 44.
13. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-03-08. Diakses tanggal
2018-03-07.
14. ^ (Indonesia) Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Direktorat Jenderal Kebudayaan.
hlm. 50.
15. ^ Lompat ke:
a b (Inggris) Susanto Zuhdi, Triana Wulandari (1 Januari 1997). Tawalinuddin Haris, ed.

Kerajaan Tradisional di Indonesia : BIMA. Indonesia: Direktorat Jenderal Kebudayaan.


hlm. 55.
16. ^ (Belanda) Verhandelingen van het Bataviaasch genootschap der kunsten en
wetenschappen. 23. Lands drukkerij. 1850. hlm. 174.
17. ^ (Belanda)J. Noorduyn (1987). J. Noorduyn, ed. Bima en Sumbawa (Volume 129 dari
Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde). 129.
Indonesia: BRILL. hlm. 155. ISBN 9067652296. ISSN 1572-1892.ISBN 9789067652292
18. ^ "Mencari Surat-Surat :: Sejarah Nusantara". Arsip Nasional Republik Indonesia.
Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-29. Diakses tanggal 2020-12-18.
19. ^ Stokvis, A. M. H. J. (1888). Manuel d'histoire, de généalogie et de chronologie de tous
les états du globe: depuis les temps les plus reculés jusqu'à nos jours (dalam bahasa
Prancis). E. J. Brill. hlm. 389.
20. ^ Lompat ke:
a b c d (Inggris) "Rulers in Asia (1683 – 1811): attachment to the Database of Diplomatic

letters" (PDF). Arsip Nasional Republik Indonesia. hlm. 56. Diakses tanggal 2019-01-05.
21. ^ http://www.mbojoklopedia.com/2018/04/perang-para-pangeran-sumbawa.html?m=1
22. ^ http://kesultananbanjar.com/id/hubungan-kesultanan-sumbawa-dengan-kesultanan-
banjar/
23. ^ (Inggris) Hans Hägerdal (2001). Hindu rulers, Muslim subjects: Lombok and Bali in the
seventeenth and eighteenth centuries. Indonesia: White Lotus Press. hlm. 183.
ISBN 9747534118.ISBN 9789747534115
24. ^ https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/sumbawa/71-2/sumb-3/
25. ^ Lompat ke:
a b (Inggris) Abdurrazak Daeng Patunru (1969). "Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan

dan Tenggara". Sedjarah Gowa. Indonesia: Jajasan Kebudajaan Sulawesi Selatan dan
Tenggara, 1969. hlm. 242.
26. ^ Lompat ke:
a b c (Indonesia) "Netherlands. Ministerie van Binnenlandse Zaken, Netherlands. Ministerie

van Onderwijs, Kunsten en Wetenschappen, Netherlands. Ministerie van Onderwijs en


Wetenschappen, Netherlands. Commissie voor's Rijks Geschiedkundige Publicatiën,

Halaman 500 dari 883


Netherlands. Rijkscommissie voor Vaderlandse Geschiedenis". Rijks geschiedkundige
publicatiën: Grote serie. 134. M. Nijhoff. hlm. 58.
27. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-20. Diakses tanggal
2016-12-11.
28. ^ (Inggris) William Cummings, ed. (2011). The Makassar Annals. 35. Indonesia: BRILL.
hlm. 155. ISBN 9004253629. ISSN 0067-8023.ISBN 9789004253629
29. ^ Lompat ke:
a b (Indonesia) Nederlandsche Oost-Indische Compagnie, Willem Philippus Coolhaas.

Generale missiven van gouverneurs-generaal en raden aan Heren XVII der Verenigde
Oostindische Compagnie: deel. 1610-1638. M. Nijhoff. hlm. 58.
30. ^ https://ihinsolihin.wordpress.com/2014/01/09/sejarah-singkat-pengislaman-kerajaan-
sumbawa/
31. ^ http://kabarntb.com/sambangi-taliwang-raja-gowa-tallo-sebut-silsilah-taliwang-gowa-
tallo-punya-hubungan-erat/
32. ^ http://kesultananbanjar.com/id/kunjungan-sultan-banjar-ke-kesultanan-sumbawa/
33. ^ Mantja, Lalu (1984). Sumbawa pada masa dulu: suatu tinjauan sejarah. Indonesia: Rinta.
34. ^ Clive Parry (1981). The Consolidated Treaty Series (dalam bahasa Inggris). 231. Oceana
Publications. hlm. 124.
35. ^ Truhart, Peter (1985). Asien, Australien-Ozeanien: Aus: Regenten der Nationen :
Systemat. Chronologie D. Staaten U. ihrer polit. Repräsentanten in Vergangenheit U.
Gegenwart; E. biogr. Nachschlagewerk, 2 (dalam bahasa Jerman). Saur. hlm. 1710.
36. ^ (Inggris) T. Gibson (2007). Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia: From the
16th to the 21st Century. hlm. 96.
37. ^ Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 56.
38. ^ Corpus dplomaticum Neerlando-Indicum: verzameling van politieke contracten en
verdere verdragen door de Nederlanders in het Oosten gesloten, van privilegebrieven, aan
hen verleend, enz (dalam bahasa Belanda). 6. Nijhoff. 1955. hlm. 269.
39. ^ Verhandelingen van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen (dalam bahasa Belanda). 23. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen. 1850. hlm. 175.
40. ^ Heinrich Zollinger (1851). Verslag van eene reis naar Bima en Soembawa, en naar eenige
plaatsen op Celebes, Saleijer en Floris, gedurende de maanden Mei tot December 1847
(dalam bahasa Belanda). 23. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
hlm. 175.
41. ^ De Indische gids (dalam bahasa Belanda). 47. 1925. hlm. 620.
42. ^ Landsdrukkerij (Batavia) (1871). Almanak van Nederlandsch-Indië voor het jaar (dalam
bahasa Belanda). 44. Lands Drukkery. hlm. 222.
43. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-02-11. Diakses tanggal
2018-02-10.
44. ^ https://docs.google.com/viewerng/viewer?url=http://kesultananbanjar.com/id/wp-content/
uploads/2014/11/SILSILAH-SULTAN-SUMBAWA.pdf&hl=en

Halaman 501 dari 883


BAB 26
KESULTANAN KASEPUHAN CIREBON

Kesultanan Kasepuhan (aksara Sunda: ᮊᮞᮥᮜ᮪ᮒᮔᮔ᮪


ᮊᮞᮨ ᮕᮥᮠᮔ᮪) adalah salah satu dari tiga wilayah hasil pembagian
Kesultanan Cirebon kepada tiga orang putra Sultan Abdul Karim
(Pangeran Girilaya) atau yang dikenal dengan nama Panembahan
Ratu Pakungwati II yang meninggal tahun 1666.[5] Namun menurut
naskah Mertasinga, Sultan Abdul Karim telah meninggal di
Mataram pada tahun 1585 Jawa (kira-kira tahun 1662 M),[6] yakni
dua belas tahun setelah kepergiannya ke Mataram.

Putra Pangeran Girilaya adalah Pangeran Raja Martawijaya


yang memimpin Kesultanan Kasepuhan, Pangeran Raja Kartawijaya
yang memerintah Kesultanan Kanoman, dan Pangeran Raja
Wangsakerta yang menjadi Panembahan Cirebon yang bertugas
dalam hal pendidikan putra-putri keraton. Pangeran Raja
Wangsakerta bertempat tinggal di Keraton Kasepuhan dan
membantu Pangeran Raja Martawijaya memerintah kesultanan
Kasepuhan sebagai Sultan Sepuh I.

Sejarah
Pada tahun 1679 dengan pemimpin pertamanya yang
bernama Sultan Sepuh I Sultan Raja Syamsudin Martawidjaja,
dikatakan pada masa tersebut Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten
terpaksa membagi Kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan

Halaman 502 dari 883


satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga
kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat dikalangan
keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat
keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya,
Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka
Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa
Cirebon di Banten pada tahun yang sama setelah mereka tiba di
kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang
menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing yaitu
Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara satu orang yaitu
Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah
kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan kraton[7]
Dua tahun setelahnya yaitu pada tahun 1679, kesultanan-kesultanan
di Cirebon melakukan klaim atas wilayah-wilayah di selatan yaitu
Sumedang, Galuh dan Sukapura sebagai bagian dari wilayahnya
kepada Belanda[8]

Penobatan anak-anak Sultan Cirebon Abdul Karim


Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi
pada tahun 1679 saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya
dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati, kesultanan
Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah
diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan
persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan Ageng
Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon
menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk
menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena

Halaman 503 dari 883


adanya perbedaan pendapat di kalangan keluarga besar mengenai
penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan
mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta)
untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan
ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang
sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu
pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki
wilayahnya masing-masing (walaupun belum bersifat mengikat atau
tetap[10]) yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara
satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa
wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan
keraton.[7]

Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon, di


mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa
dan menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar ketiganya
setelah resmi dinobatkan:

• Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar


Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin
(1679-1697)
• Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar
Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin
(1679-1723)
• Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar
Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau
Panembahan Tohpati (1679-1713)

Halaman 504 dari 883


Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua
putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di
Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan
penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta
tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia
tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi
berdiri sebagai Kaprabon (Paguron) yaitu tempat belajar para
intelektual keraton.

Kasus Braja Pati dan hilangnya peran ulama dalam pengadilan


di Cirebon
Pada awal tahun 1688 ada sebuah kasus perampokan
bersenjata yang dikenal dengan nama kasus Braja Pati, dalam kasus
tersebut terdapat dua orang yang merupakan bawahan Sultan Sepuh
Syamsuddin Martawijaya yang menjadi tersangkanya, hal ini
kemudian memaksa Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya dan
Willem de Ruijter (pejabat penghubung Belanda untuk kesultanan
Cirebon) untuk membuka dialog. Pada dasarnya Sultan Sepuh
Syamsuddin Martawijaya berkeinginan agar bawahannya yang
menjadi tersangka dalam kasus tersebut permasalahan hukumnya
agar dilimpahkan kepada para ulama, melalui puteranya yaitu
Pangeran Adi Wijaya, ia mengutarakan keinginannya agar para
bawahannya dihakimi dan dihukum oleh para ulama sesuai dengan
aturan syariah yang terdapat dalam al Qur'an, dalam hal ini
sebenarnya Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya tidak

Halaman 505 dari 883


berkeinginan jika para bawahannya mendapat hukuman, sebaliknya
Pangeran Adi Wijaya berkeinginan agar mereka dihukum.[5]

Willem de Ruijter sebagai perwakilan Belanda dan


Vereenigde Oostindische Compagnie di Cirebon memiliki
pemikirannya sendiri berkaitan dengan lembaga mana yang lebih
pantas dalam mengadili kasus Braja Pati tersebut, ketika Sultan
Sepuh Syamsuddin Martawijaya berpendapat agar kasus tersebut
ditangani oleh para ulama, Willem de Ruijter mengemukakan bahwa

bahwa sesungguhnya Vereenigde Oostindische Compagnie telah

“ menjalin dan melaksanakan perjanjian yang telah dibuat dengan para


pangeran dan tidak dengan para ulama Cirebon, sehingga tidak pantas
rasanya untuk mengganggu kami dengan pembicaraan tidak berarti

seperti ini (seperti mengizinkan ulama untuk menentukan hukuman)
Pangeran Adi Wijaya kemudian melakukan intervensi
terhadap kasus ini walau bertentangan dengan keinginan ayahnya
dan ketua mantri, hal tersebut bertujuan untuk mencegah konflik
antara Vereenigde Oostindische Compagnie dengan para penguasa
Cirebon dalam hal masalah yang keislaman yang sensitif. Para
tersangka akhirnya dibebaskan, hal tersebut dikarenakan kurangnya
bukti yang dapat digunakan untuk memberatkan mereka.[5]

Implikasi dari tinjauan kasus Braja Pati tersebut adalah


dituangkannya permasalahan kompetensi dibidang pengadilan
dalam Perjanjian 1688 dan Layang Ubaya 1690 di mana para ulama
tidak diikut sertakan dalam proses pengadilan di Cirebon.[5]

Willem de Ruijter dalam laporannya pada 13 April 1688


kepada Hooge Regeering (pemerintahan tinggi) ia menjelaskan
Halaman 506 dari 883
bahwa yang disebut dengan ulama adalah seperti Paus namun
mengurusi masalah keislaman di Cirebon yang mana tugas
utamanya dalam struktur administrasi tidak diketahui, selain itu
istilah ulama juga terkadang digunakan untuk menjelaskan
seseorang yang dianggap memiliki kesucian sebagai muslim.[5]

Perjanjian 1688, stempel keraton dan keluarga Gamel


Pada tahun 1688, pada masa Gubernur Jenderal Johannes
Camphuys, terjadi sebuah perjanjian baru antara Belanda dengan
para penguasa di Cirebon. Pejabat penghubung Belanda untuk
wilayah kesultanan Cirebon masih dipegang oleh Kapten Willem de
Ruijter.[5] Pada masa itu Belanda mengirimkan utusan yang bernama
Johanes de Hartog[29] untuk menyelesaikan masalah internal di
Cirebon. Dalam penyeleseian masalah tersebut Sultan Sepuh
Syamsuddin diwakili oleh Ki Raksanegara sementara Sultan Anom
Badruddin meminta bantuan Pangeran Suradinata[26] (keluarga
Gamel) untuk mewakilinya.

Pada masalah pembuatan stempel masing-masing keraton,


agar tidak terjadi kekacauan maka Ki Raksanegara dan Pangeran
Suradinata mempertimbangkan seorang tua yang bijak, stempel
harus dibuat serupa dengan yang ada pada Sultan Sepuh dan Sultan
Anom, beratnya masing-masing satu kati dua tail dan berbentuk
bulat. Sultan Sepuh dan Sultan Anom diperkenankan mengganti ahli
pembuat stempel yang telah ditunjuk oleh Ki Raksanegara dan
Pangeran Suradinata dengan syarat stempel yang akan dibuat sesuai
dengan yang ada.[26]

Halaman 507 dari 883


Perihal urusan syahbandar, maka disetujui untuk
mengangkat Ki Raksanegara, syahbandar Cirebon akan bekerja atas
nama para penguasa Cirebon. Syahbandar bertugas untuk menerima
orang-orang asing dan membuat laporan kepada Sultan Sepuh.
Sultan Sepuh berkewajiban meneruskan laporan yang diterimanya
kepada para penguasa lainnya yakni Sultan Anom dan Pangeran
Nasiruddin.[26]

Perihal masalah pendapatan hasil tanah, Ki Raksanegara


yang telah diangkat menjadi Syahbandar Cirebon hanya boleh
mengurus pendapatan hasil tanah. Setengah dari pendapatan bersih
diserahkan kepada Sultan Sepuh, kemudian Suradinata mengambil
hasil tanah yang lain dari orang Cina (Sinko) untuk Sultan Anom
dan Panembahan Cirebon yang mendapat setengah dari hasil bersih.
Pembagian hasil selanjutnya diurus VOC.[26]

Perihal gelar untuk Pangeran Nasiruddin, Sultan Sepuh dan


Sultan Anom sepakat memberi gelar Gusti Panembahan Cirebon
kepada Pangeran Nasiruddin setelah sebelumnya bermusyawarah
dengan utusan Belanda Johanes de Hartog dengan syarat bahwa
Pangeran Nasiruddin harus tetap sebagaimana adanya dan tidak
boleh mengangkat diri lebih tinggi dari Sultan Sepuh dan Sultan
Anom.[26] Pangeran Nasiruddin diberi wewenang untuk mengurus
kesejahteraan rakyat, mengangkat dan menentukan hakim serta para
mantri yang bertugas dalam suatu penyelidikan untuk ketiga cabang
keluarga kesultanan Cirebon sesuai saran dari Vereenigde
Oostindische Compagnie.[26]

Halaman 508 dari 883


Pada urusan menjalankan pemerintahan Cirebon disepakati
agar diangkat 12 Mantri, Kasepuhan mendapatkan hak untuk
mengangkat lima orang mantri, Kanoman mendapatkan hak untuk
mengangkat empat orang mantri sementara Gusti Panembahan
diberikan hak untuk mengangkat tiga orang mantri. Dalam
perjanjian 1688 yang dimediasi oleh Belanda ditegaskan bahwa
ketiga penguasa Cirebon yaitu Sultan Sepuh Syamsuddin, Sultan
Anom Badruddin dan Gusti Panembahan Cirebon Nasiruddin
berjanji untuk menyerahkan kepengurusan Cirebon kepada
Pangeran Depati Anom (yang merupakan anak dari Sultan Sepuh)
dan Pangeran Ratu.[26] Namun, perjanjian yang ditandatangani pada
8 September 1688[29] dengan kesimpulan bahwa kesultanan-
kesultanan di Cirebon berada dalam perlindungan Belanda (VOC)
[30] tersebut tidak membuahkan hasil.

Pembatasan Picis (uang logam) Cirebon


Setelah adanya perjanjian Cirebon dengan Belanda tahun
1688, maka diperlukan pemberlakuan mata uang untuk berbagai
transaksi perdagangan. Belanda kemudian membuat larangan agar
Cirebon tidak boleh lagi membuat mata uang Picis kecuali dibuat
oleh Raksanegara (yang mewakili pihak Sultan Sepuh I
Martawijaya) dan Pangeran Suradinata (yang mewakili pihak Sultan
Anom I Kartawijaya)[31]

Perjanjian 1699, Belanda dalam masalah pribawa


Pada tahun 1697 Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin
Martawijaya meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang
putra, yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan

Halaman 509 dari 883


Pangeran Adi Wijaya (Pangeran Arya Cirebon). Kedua orang putera
Sultan Sepuh kemudian saling bertikai memperebutkan takhta
almarhum ayahnya. Hal tersebut akibat belum adanya penunjukan
pengganti sebelum Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya
meninggal dunia. Pangeran Depati Anom Tajularipin berpendapat
bahwa ia berhak mewarisi takhta ayahnya karena dia adalah putera
tertua. Pendapat tersebut kemudian ditolak oleh Pangeran Adi
Wijaya karena dia merasa yang lebih berhak. Masalah ini kemudian
dimediasi oleh Belanda dan terciptalah perjanjian 1699 yang isinya
sama dengan perjanjian 1688, hanya saja ditambahkan klausul
berkenaan dengan pribawa (derajat paling tinggi di antara keluarga
besar kesultanan Cirebon) dan permasalahan warisan serta tahta
Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya.[26] Pada perjanjian 1688
sebenarnya sudah dijelaskan mengenai klausul bahwa Pangeran
Depati Anom (putera tertua Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya)
akan diserahkan tugas mengurus Cirebon yang artinya dia berhak
akan takhta ayahnya. Namun, dengan timbulnya permasalahan ini
membuat Pangeran Depati Anom akhirnya mengalah dan kekuasaan
Sultan Sepuh dibagi dua kepada Pangeran Depati Anom dan
Pangeran Adi Wijaya. [25] Pangeran Adi Wijaya kemudian
membentuk cabang keratonnya sendiri yaitu Kacirebonan awal[32]
dengan gelar Pangeran Arya Cirebon. [25] Perjanjian 1699
ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 4 Agustus 1699
di Batavia.[25]

Dengan berbekal perjanjian 1699, Belanda—atas dasar


pribawa—menentukan derajat paling tinggi di antara seluruh

Halaman 510 dari 883


keluarga besar kesultanan Cirebon ditempati oleh Sultan Anom I
Sultan Muhammad Badrudin Kartawijaya, kemudian Pangeran
Nasirudin Wangsakerta menduduki tempat kedua, dan kedua putra
almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Pangeran
Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Aria Cirebon
Abil Mukaram Kamarudin[33] berada di tempat ketiga. Pangeran
Arya Cirebon kemudian membentuk cabang kesultanan sendiri yang
disebut Kacirebonan. Pada era ini, kesultanan Kacirebonan yang
dibentuk tidak sama dengan yang kemudian dibentuk oleh Pangeran
Raja Kanoman pada tahun 1808.[32]

Belanda menguasai politik Cirebon


Sultan Kanoman I Muhammad Badrudin Kartawijaya
memiliki dua orang putera dari permaisuri yang berbeda, yaitu
Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera pertama dari
permaisuri kedua yaitu Ratu Sultan Panengah dan Pangeran Raja
Mandurareja Muhammad Qadirudin, putera keduanya yang berasal
dari permaisuri ketiga yang bernama Nyimas Ibu. Pangeran Adipati
Kaprabon kemudian mendirikan Kaprabonan pada tahun 1696
sebagai tempat pendidikan agama Islam. Kedua puteranya ini
sepakat untuk melakukan lijdelijk verzet (perlawanan diam-diam)
melawan Belanda. Perjuangan melawan penjajah Belanda dengan
strategi lijdelijk verzet (perlawanan diam-diam) menemukan
tantangan setelah Belanda pada tahun 1699[5] mengangkat Letnan
Jacob Palm sebagai seorang pejabat penghubung Belanda untuk
wilayah kesultanan Cirebon.

Halaman 511 dari 883


Setelah melakukan monopoli dagang terhadap Cirebon
dengan alasan perjanjian persahabatan, Belanda ikut campur
memperkeruh internal kesultanan-kesultanan di Cirebon dengan
turut serta dalam hal pribawa yang sebelumnya tidak terlalu
meruncing. Hal tersebut dibuktikan pada saat kedatangan awal
Belanda ke Cirebon tahun 1681 yang mana pada perjanjian tersebut
ditandatangani oleh tiga orang penguasa yang berarti posisi
ketiganya diakui. Belanda akhirnya mengangkat Jacob Palm sebagai
pejabat penghubung untuk wilayah Kesultanan Cirebon. Dalam
buku Sejarah Cirebon, Pangeran Sulaeman Sulendraningrat bahkan
mengatakan jika kekuasaan kesultanan-kesultanan di Cirebon pada
tahun 1700 telah habis sama sekali (secara politik) dengan adanya
pengangkatan Letnan Jacob Palm.[34] Pada tahun 1701, Belanda
kemudian menunjuk seorang pedagang bernama Jacob Heijrmanns
sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan-
kesultanan Cirebon.[5]

Pada tahun 1703 Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya


wafat, maka dua tahun berikutnya yaitu pada tahun 1704 diadakan
pengaturan urutan yang baru oleh Belanda. Panembahan Nasirudin
Wangsakerta menempati derajat tertinggi (di antara seluruh keluarga
besar kesultanan Cirebon), tempat kedua ditempati oleh kedua
orang putra Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Sultan
Sepuh II Sultan Sepuh Tajularipin Djamaludin dan Sultan
Kacirebonan I Sultan Cirebon Arya Cirebon Abil Mukaram
Kamarudin[33] dan tempat ketiga ditempati putra-putra Sultan Anom
I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Adipati Mandurareja

Halaman 512 dari 883


Muhammad Qadirudin yang kemudian menjadi Sultan Anom II dan
Pangeran Adipati Kaprabon yang mendirikan peguron Kaprabonan
pada tahun 1696 sekaligus menjadi rama guru di sana.

Kemudian Pangeran Raja Muhammad Qadirudin diresmikan


sebagai Sultan Anom II keraton Kanoman karena saudaranya yaitu
Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera pertama Sultan
Anom I dari permaisuri keduanya yaitu Ratu Sultan Panengah
memutuskan untuk memperdalam ajaran agama Islam dan
menyerahkan kepemimpinan keraton Kanoman kepada adiknya
Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin.[35]

Pada tahun 1705, pejabat penghubung Belanda untuk


wilayah kesultanan Cirebon resmi berkantor di Cirebon. Guna
menyeleseikan masalah dengan Mataram yang masih merasa bahwa
kesultanan Cirebon adalah wilayah bawahannya, maka diadakanlah
perjanjian pada tanggal 5 Oktober 1705 antara Mataram pada masa
pemerintahan Pakubuwono I dengan Belanda. Perjanjian tersebut
menyebutkan bahwa batas wilayah kesultanan Cirebon sebagai
bagian dari wilayah protektorat Belanda adalah sungai Losari di
sebelah utara (sekarang batas antara provinsi Jawa Barat dengan
provinsi Jawa Tengah) dan sungai Donan di sebelah selatan
(sekarang batas antara kecamatan Cilacap Selatan dan Cilacap
Tengah dengan kecamatan Kawunganten di kabupaten Cilacap)[29]

Pada tahun 1708, Belanda turut campur lagi untuk


menempatkan perbedaan tingkatan dari ketiga cabang keluarga
kesultanan Cirebon, setelah Panembahan Wangsakerta wafat tahun

Halaman 513 dari 883


1714. Oleh karena itu, sekitar tahun 1715–1733 berkali-kali
diadakan penggeseran tinggi rendahnya seseorang dalam
menduduki tingkatan di antara keluarga besar kesultanan Cirebon
yang pada waktu itu sebenarnya telah memiliki kesultanannya
masing-masing, seperti anak-anak Sultan Sepuh I yaitu Pangeran
Depati Anom Tajularipin Djamaludin yang telah menjadi Sultan
Sepuh II di kesultanan Kasepuhan dan Pangeran Arya Cirebon Abil
Mukaram Kamarudin yang telah membentuk cabang keluarga
sendiri yaitu sebagai Sultan Kacirebonan pertama. Demikian juga
anak dari Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja
Mandurareja Muhammad Qadirudin yang telah menggantikan
ayahnya sebagai Sultan Anom II kesultanan Kanoman, Pangeran
Adipati Kaprabon yang menguasai peguron Kaprabonan, dan anak
dari Pangeran Nasirudin Wangsakerta yaitu Pangeran Muhammad
Muhyiddin yang melanjutkan tugas ayahnya sebagai pemimpin
peguron (tempat pendidikan) dan kepustakaan Cirebon.

Bermula dari masalah pribawa inilah Belanda turut campur


masalah internal keluarga besar kesultanan Cirebon, masalah
pribawa mengenai dari cabang keluarga yang mana yang berhak
menduduki tingkat tertinggi dalam keluarga besar kesultanan
Cirebon selalu menimbulkan pertikaian yang berlarut-larut dan
menimbulkan perselisihan yang terus menerus. Peristiwa inilah
yang mempercepat hilangnya wibawa keluarga besar kesultanan
Cirebon.

Besluit 1706 dan Jabatan Overseer Pangeran Adi Wijaya

Halaman 514 dari 883


Pembagian kuasa dan warisan Sultan Sepuh Syamsuddin
Martawijaya kepada kedua putranya yakni Pangeran Depati Anom
Tajularipin dan Pangeran Adi Wijaya yang disepakati dalam
perjanjian 1699 di mana Pangeran Adi Wijaya kemudian mendapat
gelar Pangeran Arya Cirebon dan membentuk cabang keratonnya
sendiri kemudian berimbas kepada diangkatnya ia menjadi Overseer
(pengawas) Belanda untuk wilayah Priyangan sebelah timur yang
berada dibawah kendali Cirebon [26] melalui Besluit yang
dikeluarkan pada tanggal 9 Februari 1706[36]

Permasalahan pembagian kuasa Cirebon antara Sultan Abdul


Karim dan Pangeran lainnya
Pada masa ditawannya Sultan Abdul Karim di Mataram oleh
Amangkurat, Mataram mengakui bahwa di Cirebon ada Pangeran
yang memiliki kuasa sejajar dengan Sultan Cirebon, diantara
Pangeran yang diakui adalah Pangeran Surya Negara.[5] Pada saat
terjadi perjanjian Cirebon - Belanda 1681 yang menjadikan Cirebon
sebagai daerah proktektorat (daerah dalam perlindungan) Belanda,
Pangeran Surya Negara memilih untuk tidak ikut serta dalam
perjanjian tersebut dan menjaga agar wilayah dan kepemilikannya
di Cirebon tetap independen,[5] permasalahan ini tidak bisa diterima
Belanda yang berfikir bahwa di Cirebon hanya ada satu penguasa
untuk seluruh wilayah kesultanan sementara para pangeran lainnya
yang memiliki kuasa semi-otonom pada masa Sultan Abdul Karim
dianggap Belanda hanyalah sebagai bawahan kesultanan Cirebon
saja.[5] Permasalahan pembagian kuasa ini kemudian berlarut-larut
hingga mencapai tahun 1700an, pada tanggal 12 Juli 1721,

Halaman 515 dari 883


Pangeran Surya Negara mengirimkan sebuah surat kepada residen
Belanda Willem Tersmitten yang menyatakan bahwa dia dan Sultan
Cirebon Abdul Karim memiliki derajat kuasa yang sama, oleh
karenanya dia berhak memilih agar wilayah dan kepemilikannya di
Cirebon tetap independen[5]

Pada tahun 1729 dimasa Residen Jan Donker van der Hoff,
dilakukan pendataan kepemilikan tanaman kopi dan masyarakat di
wilayah kesultanan Cirebon, pendataan dilakukan oleh Kopral Jacob
Titter atas perintah residen Belanda yang diawasi pelaksanaannya
oleh para mantri (pegawai kesultanan) yang ditunjuk oleh masing-
masing penguasa Cirebon[27]

Pada pendataan yang telah dilakukan, ditemukan bahwa di


desa Sayana (yang merupakan desa dibawah kekuasaan Sultan
Sepuh III Djaenuddin) misalnya terdapat kepemilikan 300 pohon
kopi milik Pangeran Surya Negara, begitupula di wilayah lainnya[27]

Penyeleseian masalah Pribawa


Belanda akhirnya mengambil langkah untuk menyeleseikan
permasalahan akibat perkara Pribawa (derajat paling tinggi diantara
keluarga besar) setelah terjadinya konflik keluarga pada tahun 1715
setahun setelah meninggalnya Pangeran Nasiruddin (Panembahan
Cirebon I) dan pada saat meninggalnya Sultan Anom Alimuddin
pada tahun 1733.[5] Belanda akhirnya pada tahun 1752[39] (satu
tahun sebelum meninggalnya Sultan Sepuh Raja Muhammad
Djaenudin) memutuskan untuk menghentikan mekanisme
pergeseran posisi peringkat diantara cabang-cabang dalam keluarga

Halaman 516 dari 883


besar kesultanan Cirebon sekaligus menetapkan aturan agar
pergantian penguasa diantara cabang-cabang keluarga kesultanan
Cirebon dilakukan oleh putranya masing-masing[39]

Pembuatan Picis (uang logam) Cirebon oleh keturunan Cina


Pada tanggal 1 Januari 1710 atas persetujuan Panembahan
Cirebon I Nasiruddin, Sultan Sepuh II Pangeran Depati Anom Tajul
Arifin, Pangeran Arya Cirebon dan Pangeran Raja Depati Kusuma
Agung (wakil kesultanan Kanoman) serta kapiten Cina (pemimpin
komunitas keturunan cina) dan Syahbandar Cirebon Tan Siang Ko
maka pembuatan picis (uang logam) Cirebon diserahkan kepada
masyarakat keturunan Cina sepeninggal Raksa Negara dan
Pangeran Suradinata[31]

Keadaan di kesultanan Kasepuhan

Kereta Singa Barong

Halaman 517 dari 883


Sultan Sepuh IV yaitu Amir Sena Muhammad Jaenudin atau
yang dikenal sebagai Sultan Jaenudin II (menggantikan Sultan
Sepuh III Sultan Raja Jaenudin yang bertahta dari tahun 1723 -
1753) dia dikatakan telah mengirimkan puteranya yaitu Pangeran
Raja (PR) Panengah Abdul Khayat Suryanegara untuk belajar di
pesantren, ketika kembali ke keraton Kasepuhan dari
pembelajarannya di pesantren, dia merasakan ketidaknyamanan
tinggal di dalam keraton, ternyata perasaan yang sama juga
dirasakan oleh kakaknya yaitu Pangeran Raja Adipati (PRA)
Sjafiudin (yang kemudian menjadi Sultan Sepuh V)[40] bagi mereka
berdua, keraton Kasepuhan sekarang suasananya sudah sangat jauh
berbeda bila dibandingkan dengan suasana keraton pada masa kecil
mereka, suasana keraton sekarang sudah banyak dimasuki oleh
orang-orang eropa ataupun para pribumi yang berpihak terhadap
penjajah Belanda. Banyak para kerabat kesultanan yang tidak
senang akan keadaan sekarang di mana pihak kesultanan dibatasi
pergerakannya, seperti kedudukan sultan sebagai penguasa politik
digantikan oleh pejabat residen dan bupati, sultan hanya diberikan
kedudukan sebagai pengelola kesenian dan adat istiadat. Pada
keadaan seperti itu, sultan seperti tidak memiliki kewenangan
bahkan untuk mengurusi masalah internal keraton termasuk
mengangkat para pangeran yang kesemuanya harus mendapat
persetujuan dari pihak penjajah Belanda (di mana Belanda
mengeluarkan Besluit atau Surat Keterangan (SK) sebagai
pengakuan Belanda terhadap status kebangsawanan orang tersebut),
sebagai ganti dirampasnya hak-hak sultan tersebut, Belanda
Halaman 518 dari 883
memperlakukan sultan seperti para aparatur sipilnya yaitu dengan
memberikan tunjangan bulanan dan dana pensiun.

Adanya persetujuan Belanda yang dilengkapi dengan Besluit


(Surat Keterangan) tentang pengakuan kebangsawanan seseorang
oleh Belanda mengakibatkan banyak keturunan bangsawan yang
tidak mendapatkan gelar turun-temurunnya. Mereka yang tidak
mendapatkan besluit tersebut diharuskan menjadi abdi dalem
keraton yang ditugaskan oleh Belanda bersama Sultan (yang pada
kedudukannya terpaksa mengikuti kemauan Belanda) untuk terjun
ke masyarakat dan menangani masalah-masalah kemasyarakatan
namun dengan status abdi dalem, para bangsawan yang tidak diakui
Belanda dengan besluit tersebut tidak mendapatkan gaji bulanan
atau tunjangan seperti layaknya aparatur sipil dan para bangsawan
yang mendapatkan pengakuan resmi dari Belanda, di antara para
bangsawan yang tidak mendapatkan besluit tersebut di antaranya
adalah Pangeran Raja (PR) Panengah Suryanegara.

Melihat keadaan dalam keraton yang sudah banyak


dipengaruhi oleh penjajah Belanda, pangeran tersebut memilih
untuk pergi meninggalkan keraton Kasepuhan untuk menemui
seorang ulama Cirebon terkenal yang bernama Syekh Muhyidin
atau secara adat Cirebon dikenal dengan nama Ki Buyut Muji.[41]

Syekh Muhyidin adalah seorang ulama Cirebon terkenal


pada masanya, dia tinggal disekitar blok Rancang, desa Dawuan,
kecamatan Tengahtani, kabupaten Cirebon. Syekh Muhyidin
dikalangan kesultanan Kasepuhan dikenal dengan nama Buyut Tuji,

Halaman 519 dari 883


dia merupakan seorang ulama yang memerangi penjajah dengan
cara-cara yang halus.[42]

Cerita lisan yang dituturkan turun-temurun tentang Pangeran


Raja (PR) Panengah Suryanegara mengatakan bahwa sang pangeran
merupakan seorang figur ahli dalam ilmu agama, di antaranya
Nahwu, Shorof,Balaghoh, Manthiq,Ma'ani dan Bayan, di mana
ilmu-ilmu tersebut menjadi rujukan dalam berijtihad untuk
menentukan hukum syariah, oleh karenanya dia juga dikenal
sebagai seorang figur ahli natijah (pembuat keputusan)

Ditempat Syekh Muhyidin, Pangeran Raja (PR) Panengah


Suryanegara kemudian menikah dengan Ratu Ayu Jamaliyah (putri
Syekh Muhyidin), dalam tulisannya tentang perjuangan Ki Bagus
Rangin, bapak Opan Hasyim mengatakan bahwa dari pernikahan
tersebut sang Pangeran Raja (PR) Panengah dikaruniai seorang anak
laki-laki yang diberi nama Pangeran Idrus Wijayanegara atau yang
dibeberapa kalangan masyarakat adat di Cirebon dikenal dengan
nama Pangeran Idrus Surya Kusuma Jayanegara atau Pangeran
Jayanegara.

Sultan Sepuh V Sjafiudin dan desa Matangaji


Pada masa kepemimpinan Sultan Sepuh V Sjafiudin, gua
Sunyaragi mengalami banyak perbaikan dan disamping
kegunaannya sebagai taman air, gua Sunyaragi juga dipergunakan
sebagai markas besar prajurit, gudang dan tempat pembuatan
senjata, sementara menurut Pangeran Sulendraningrat dalam
bukunya yang berjudul Sejarah Cirebon dikatakan bahwa Sultan

Halaman 520 dari 883


Sepuh V Sjafiudin masih memiliki markas lainnya yang disebut
sebagai markas garis belakang di desa Matangaji, kecamatan
Sumber, kabupaten Cirebon.

Di dalam keraton, penjajah Belanda berusaha membujuk


Sultan Sepuh V Sjafiudin untuk bekerjasama dalam berbagai
bidang, tetapi sultan menolaknya, karena mengalami berbagai
tekanan, Sultan Sepuh V Sjafiudin pergi meninggalkan keraton
Kasepuhan, dalam sejarah lisan yang diturunkan secara turun
temurun di Cirebon, dikatakan dalam perjalanannya Sultan Sepuh V
Sjafiudin berjalan ke arah blok Capar lalu meneruskankan lagi ke
arah Bukit Pasir Anjing di desa Sidawangi untuk mencari tempat
yang lebih aman, di desa tersebut sultan membangun sebuah
pesantren ditempat yang sekarang disebut blok pesantren (dusun
pesantren) yang kemudian banyak didatangi orang untuk belajar
mengaji dan ilmu keagamaan, dikarenakan letak desa Sidawangi
yang dirasa kurang aman, maka sultan kembali melakukan
perjalanan menuju pedalaman Cirebon dan tiba di daerah yang
sekarang disebut desa Matangaji, di desa ini akhirnya dibuat sebuah
tempat peristirahatan kecil yang oleh masyarakat hingga kini
dikenal dengan nama blok Pedaleman (dusun Pedaleman) yang
berarti tempatnya para pembesar keraton, di desa tersebut sultan
juga kembali membangun sebuah pesantren dan mengajarkan ilmu
keislaman dan berpesan jika ingin mengaji harus sampai matang,
oleh sebab itu wilayah tersebut dinamakan Matangaji.

Sultan Sepuh V Sjafiudin dan para santri

Halaman 521 dari 883


Dekatnya Sultan Sepuh V Sjafiudin dengan masyarakat dan
para santri membuat banyak dari mereka yang turut serta dalam
perjuangan Sultan Sepuh V Sjafiudin, dukungan para kyai juga
diperolehnya, Ali Mursyid, anggota Lakpesdam NU dan Fahmina
Institute yang juga seorang alumnus pesantren Assalafie di Babakan
Ciwaringin dalam catatannya yang berjudul Perjuangan Santri
Cirebon untuk Kemerdekaan menyatakan bahwa dukungan dari
para kyai di antaranya datang dari Kyai Abdullah dari Lontang Jaya,
Kyai Jatira dari Babakan Ciwaringin dan Kyai Idris dari Kempek.[43]
Kyai Jatira misalnya, dia tidak menyukai sikap para penjajah,
terlebih saat penjajah Belanda berencana merubuhkan pesantren
Babakan Ciwaringin untuk membangun jalan raya, Kyai Jatira
kemudian memindahkan patok penanda pembangunan jalan ke
sebelah utara pesantrennya.

Di wilayah antara desa Gintung (sekarang sudah mekar


menjadi desa Gintung ranjeng, desa Gintung Tengah, desa Gintung
Kidul dan desa Gintung Lor) hingga desa Kedongdong inilah yang
menjadi pusat dari pertempuran besar para santri dan masyarakat
Cirebon yang dipimpin oleh Sultan Sepuh V Sjafiudin, banyak dari
para santri yang meninggal, di desa Gintung ada sebuah lapangan
yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Blambangan
(sebagian meyakini nama tersebut berasal dari kata dalam bahasa
Cirebon yaitu Plambangan (bahasa Indonesia: Nyanyian) atau mars
yang kemungkinan didengungkan para santri dan pejuang dalam
melawan penjajah) di lapangan itulah para santri banyak yang
terbunuh. Sultan Sepuh V Sjafiudin sempat berusaha

Halaman 522 dari 883


menyelamatkan diri, tetapi dia akhirnya meninggal di Matangaji
pada tahun 1786.

Para penguasa Cirebon dan invasi Inggris


Pada tanggal 2 Rabiul Akhir 1226 hijriah atau sekitar
tanggal 26 April 1811, Sultan Sepuh Joharuddin menerima surat
bertanggal 19 Desember 1810 dari Letnan Jenderal Thomas
Stamford Raffles yang dibawa oleh Tengku Pangeran
Sukmadilaga[44] (nama aslinya Sayid Zain dari kerajaan Siak)[4]

Surat tersebut berisi mengenai penyerangan Inggris kepada


pihak Belanda di Jawa, dalam suratnya Letnan Jenderal Thomas
Stamford Raffles berjanji tidak akan memperlakukan para penguasa
dan rakyat secara kejam seperti yang dilakukan oleh orang-orang
Belanda dan Perancis.[44]

Pada surat balasannya yang ditulis tengah malam pada


tanggal 2 Rabiul Akhir 1226 hijriah, Sultan Sepuh Joharuddin yang
juga mengatasnamakan Sultan Anom Cirebon menyatakan
persetujuannya atas rencana invasi Inggris ke Jawa.[44]

Silsilah Sultan
Pada masa kesultanan Cirebon

• Sunan Gunung Jati (Syekh Syarief Hidayatullah) (bertahta


dari 1479 - 1568)
• P. Adipati Pasarean (P. Muhammad Arifin) (hidup dari 1495
- 1552)
• P. Dipati Carbon (P. Sedang Kamuning) (hidup 1521 - 1565)

Halaman 523 dari 883


• Panembahan Ratu Pakungwati I (P. Emas Zainul Arifin)
(bertahta dari 1568 - 1649)
• P. Dipati Carbon II (P. Sedang Gayam) (-)
• Panembahan Ratu Pakungwati II (Panembahan Girilaya)
(bertahta dari 1649 - 1666) menurut naskah Mertasinga,
Sultan Abdul Karim telah meninggal di Mataram pada tahun
1585 saka jawa atau sekitar tahun 1662 m,[6] 12 tahun
setelah kepergiannya ke Mataram.
Setelah pembagian kesultanan Cirebon, Kasepuhan dipimpin
oleh anak pertama Pangeran Girilaya yang bernama Pangeran
Syamsudin Martawidjaja yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan
Sepuh I.[46][73]

• Sultan Sepuh H. Syamsudin Martawidjaja (bertahta dari


1679 - 1697)
• Sultan Sepuh H. Tajularipin Djamaludin (bertahta dari 1697
- 1723)
• Sultan Sepuh H. Djaenudin (bertahta dari 1723 - 1753)
• Sultan Sepuh Amir Sena Muhammad Jaenuddin (bertahta
dari 1753 - 1773)
• Sultan Sepuh H. Sjafiudin Matangaji (bertahta dari 1773 -
1786)
• Sultan Sepuh H. Hasanuddin (bertahta dari 1786 - 1791)
bertahta menggantikan saudaranya Sultan Sepuh Sjafiudin
Matangaji
• Sultan Sepuh Djoharudin (bertahta dari 1791 - 1815)

Halaman 524 dari 883


• Sultan Sepuh Udaka (bertahta dari 1815 - 1845[74])
menggantikan saudaranya Sultan Sepuh VII Sultan
Djoharuddin
• Sultan Sepuh Sulaeman (bertahta dari 1845 - 1853)
• Perwalian oleh Pangeran Adiwijaya bergelar (Pangeran
Syamsudin IV) (menjadi wali bagi Pangeran Raja Satria dari
1853 - 1871)
• Sultan Sepuh Satria (memerintah dari 1872 - 1875) mewarisi
tahta ayahnya Sultan Sepuh IX Sultan Radja Sulaeman
sebagai putera tertua Sultan Sepuh IX yang sah, setelah
meninggalnya walinya yaitu Pangeran Adiwijaya sesuai
dengan penegasan Residen Belanda untuk Cirebon tahun
1867
• Sultan Sepuh Jayawikarta (memerintah dari 1875 - 1880)
menggantikan saudaranya Pangeran Raja Satria
• Sultan Sepuh Atmadja Rajaningrat (bertahta dari 1880 -
1885[50]) diangkat sebagai Sultan untuk menggantikan
saudaranya yaitu Pangeran Raja Jayawikarta
• Perwalian oleh Raden Ayu Adimah (Permaisuri Raja)
menjadi wali bagi Pangeran Raja Adipati Jamaludin Aluda
Tajularifin dari 1885 - 1899
• Sultan Sepuh Aluda Rajanatadiningrat (bertahta dari 1899 -
1942)
• Sultan Sepuh Alexander Radjaningrat (bertahta dari 1942 -
1969)

Halaman 525 dari 883


• Sultan Sepuh Pangeran Raja Adipati Dr. H. Maulana
Pakuningrat, S.H. M.M. (bertahta dari 1969 - 2010)[75]
• Sultan Sepuh Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat,
S.E. (2010–2020).[76][77]
• Perwalian oleh Raharjo Jali (6 Agustus 2020 -)[59]
• Pelantikan Pangeran Raja Luqman Zulkaedin sebagai Sultan
Sepuh (30 Agustus 2020)[2]
• Pelantikan Raharjo Jali sebagai Sultan Sepuh Aluda II (18
Agustus 2021)[3]
Kutipan
1. ^ Lompat ke:
a b Baehaqi. Ahmad Imam. 2020. Pangeran Kuda Putih Tanggapi Soal Pengukuhan Raharjo

Djali Sebagai Polmah Keraton Kasepuhan Cirebon. Jakarta : Tribun News


2. ^ Lompat ke:
a b c Miftahudin. 2020. Ribuan Santri Tolak Penobatan PRA Luqman Zulkaedin sebagai

Sultan Sepuh XV. Jakarta : Sindo


3. ^ Lompat ke:
a b c Baehaqi, Ahmad Imam. 2021. Ini Alasan Raharjo Djali Sandang Gelar Sultan Aloeda II

Setelah Dinobatkan Sebagai Sultan Kasepuhan. Cirebon : Tribun Cirebon


4. ^ Lompat ke:
a b c Hazmirullah. Titin Nurhayati Ma’mun, Undang A. Darsa. 2017. Jumantara : Surat

Pengunduran Diri Sultan Sepuh VII Cirebon: Suatu Kajian Filologis. Jakarta Perpustakaan
Nasional
5. ^ Lompat ke:
a b c d e f g h i j k l m n o p q Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The

Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. New York : Cornell University Press


6. ^ Lompat ke:
a b Wildan, Dadan 2003. Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta: Pembumian Islam

dengan Pendekatan Struktural dan Kultural. Bandung: Humaniora Utama Press


7. ^ Lompat ke:
a b Ekajati, Edi Suherdi. 2005. Polemik naskah Pangeran Wangsakerta. Bandung: Pustaka

Jaya
8. ^ Lompat ke:
a b Lubis, Nina. 2000. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Bandung : Alqaprint

Jatinangor.

Halaman 526 dari 883


9. ^ Lompat ke:
a b c de Graaf, Hermanus Johannes. 1987. Runtuhnya istana Mataram. Bogor : Grafiti Pers

10. ^ Lompat ke:


a b c d e f g h i Deviani, Firlianna Tiya. 2016. Perjanjian 7 Januari 1681 Dan Implikasinya

Terhadap Kehidupan Sosial Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M - 1755 M).
Cirebon : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati
11. ^ Sunardjo, R. H. Unang . 1996. Selayang Pandang Sejarah Masa Kejayaan Kerajaan
Cirebon : kajian dari aspek politik dan pemerintahan. Cirebon : Yayasan Keraton
Kasepuhan Cirebon
12. ^ Mansyur, Khatib. 2001. Perjuangan rakyat Banten menuju provinsi : catatan kesaksian
seorang wartawan. Serang : Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Provinsi Banten
13. ^ Lompat ke:
a b Suparman, Sulasman, Dadan Firdaus. 2017. Tawarikh : Political Dynamics in Cirebon

from the 17th to 19th Century. Bandung : Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung
Jati
14. ^ Lompat ke:
a b c d Tim Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1982. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan


15. ^ de Jonge, Johan Karel Jakob. 1873. De opkomst van het Nederlandsch gezag over Java:
verzameling van onuitgegeven stukken uit het oud-koloniaal archief, Volume 4. s
Gravenhague The Hague : Martinus Nijhoff
16. ^ Lompat ke:
a b c d Heniger, J. 2017. Hendrik Adriaan Van Reed Tot Drakestein 1636-1691 and Hortus,

Malabaricus. Abingdon-on-Thames : Routledge


17. ^ Michrob, Drs Halwani, Drs A. Mudjahid Chudori. 1993. Catatan Masa Lalu Banten.
Serang: Penerbit Saudara
18. ^ Lompat ke:
a b Blink, Hendrik. 1907. Nederlandsch Oost- en West-Indië : geographisch, ethnographisch

en economisch beschreven, Volume 2. Leiden : Evert Jan Brill


19. ^ Lompat ke:
a b Molsbergen, Everhardus Cornelis Godee. 1931. Uit Cheribon's geschiedenis en

Gedenkboek der Gemeente Cheribon 1906-1931. Bandung : Nix

Halaman 527 dari 883


BAB 27
KESULTANAN KANOMAN CIREBON

Keraton Kesultanan Kanoman Cirebon

Kesultanan Kanoman (aksara Sunda: ᮊᮞᮥᮜ᮪ᮒᮔᮔ᮪


ᮊᮔᮧᮙᮔ᮪) adalah suatu wilayah hasil pembagian kesultanan Cirebon
kepada ketiga orang puteranya setelah meninggalnya sultan Abdul
Karim (Pangeran Girilaya) atau yang dikenal dengan nama
Panembahan Ratu pakungwati II pada tahun 1666,[1] tetapi menurut
naskah Mertasinga, Sultan Abdul Karim telah meninggal di
Mataram pada tahun 1585 saka jawa atau sekitar tahun 1662 m,[2]
12 tahun setelah kepergiannya ke Mataram. Putera pangeran
Girilaya masing-masing adalah Pangeran Raja Martawijaya yang
kemudian memerintah Kesultanan Kasepuhan yang berpusat di
keraton Kasepuhan, Pangeran Raja Kartawijaya yang memerintah
Kesultanan Kanoman yang berpusat di keraton Kanoman dan

Halaman 528 dari 883


Pangeran Raja Wangsakerta yang menjadi Panembahan Cirebon
yang bertugas dalam hal pendidikan putra-puteri keraton, Pangeran
Raja Wangsakerta bertempat tinggal di keraton Kasepuhan dan
membantu Pangeran Raja Martawijaya memerintah kesultanan
Kasepuhan sebagai Sultan Sepuh I.

Sejarah Kesultanan Kanoman


Kesultanan Kanoman resmi berdiri pada tahun yang sama
dengan berdirinya kesultanan Kasepuhan yaitu pada tahun 1679
dengan pemimpin pertamanya yang bernama Sultan Anom I Sultan
Badruddin Martawidjaja, dikatakan pada masa tersebut Sultan
Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon
menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk
menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena
adanya perbedaan pendapat dikalangan keluarga besar mengenai
penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan
mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta)
untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan
ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang
sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu
pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki
wilayahnya masing-masing yaitu Pangeran Martawijaya dan
Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta
menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang
kekuasaan atas kepustakaan kraton[3] Dua tahun setelahnya yaitu
pada tahun 1679, kesultanan-kesultanan di Cirebon melakukan

Halaman 529 dari 883


klaim atas wilayah-wilayah di selatan yaitu Sumedang, Galuh dan
Sukapura sebagai bagian dari wilayahnya kepada Belanda.

Penobatan anak-anak Sultan Cirebon Abdul Karim


Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi
pada tahun 1679 saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya
dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati, kesultanan
Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah
diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan
persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan Ageng
Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon
menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk
menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena
adanya perbedaan pendapat di kalangan keluarga besar mengenai
penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan
mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta)
untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan
ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang
sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu
pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki
wilayahnya masing-masing (walaupun belum bersifat mengikat atau
tetap[6]) yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara
satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa
wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan
keraton.[3]

Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon,


di mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing

Halaman 530 dari 883


berkuasa dan menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar
ketiganya setelah resmi dinobatkan:

• Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar


Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin
(1679-1697)
• Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar
Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin
(1679-1723)
• Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar
Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau
Panembahan Tohpati (1679-1713)
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua
putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di
Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan
penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta
tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia
tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi
berdiri sebagai Kaprabon (Paguron) yaitu tempat belajar para
intelektual keraton.

Perang terbuka Pangeran Raja Kanoman (Sultan Kacirebonan


pertama) melawan penjajah
Pada tahun 1791, Pangeran Joharuddin naik tahta sebagai
Sultan Sepuh, namun karena usianya yang baru 10 tahun maka ia
didampingi oleh dua orang pejabat kesultanan dengan pangkat

Halaman 531 dari 883


Tumenggung yaitu Tumenggung Widya Adiningrat dan Tumenggung
Jayadireja.[39]

Pada tahun 1733, Pangeran Chaeruddin Rahim menjadi


pemimpin di Kesultanan Kanoman dengan gelar Sultan Anom
Chaeruddin menggantikan ayahnya Sultan Anom Alimuddin, pada
saat naik tahta ia baru berusia 10 tahun, sebagai walinya ditunjuklah
Tumenggung Bahu Madenda, Tumenggung Bahu Madenda menjadi
wali dari Sultan Anom Chaeruddin hingga tahun 1744,[38] surat
pernyataan kedewasaan bagi Sultan Anom Chaeruddin yang
dikeluarkan masa Gubernur Jenderal Gustaaf Willem van Imhoff
pada tanggal 18 Februari 1744 menjadi legalisasi bagi Sultan Anom
Chaeruddin untuk mengambil alih kekuasaan dari walinya
Tumenggung Bahu Madenda, karena sebelumnya Sultan mengalami
kesulitan ketika akan mengambil alih kekuasaannya.[38]

Semenjak kekuasaan Sultan Anom I, Belanda telah berusaha


menanamkan kekuasaannya kedalam keraton-keraton di Cirebon
melalui perjanjian persahabatan yang berisi monopoli dagang
Belanda serta dengan politik pendekatan persuasif kepada pihak-
pihak di kesultanan dan tokoh-tokoh masyarakat, Pangeran Raja
Kanoman (Putera Mahkota kesultanan Kanoman, putera pertama
Sultan Anom IV dari permaisurinya) Pada waktu itu telah lama
melakukan perlawanan terbuka terhadap belanda, masyarakat yang
pernah berjuang bersama di antaranya adalah Mirsa, yang
melakukan perjuangan melawan penjajah Belanda pada tahun 1788
yang mendapatkan bantuan tokoh agama, tetapi perjuangan Mirsa
dapat dipatahkan, perjuangan melawan penjajah kemudian berlanjut

Halaman 532 dari 883


pada tahun 1793[40] dan akhirnya Pangeran Raja Kanoman dan dua
orang saudaranya berhasil ditangkap dalam perjuangannya melawan
penjajah dan kemudian diasingkan ke Ambon pada sekitar tahun
1796,[41] baik upaya mematahkan perjuangan Mirsa maupun
penangkapan terhadap Pangeran Raja Kanoman dilakukan pada
masa Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting, setelah Pangeran
Raja Kanoman diasingkan di Cirebon mulai muncul wabah penyakit
menular yang dahsyat[42]

Pada tahun 1795, setahun sebelum penangkapan Pangeran


Raja Kanoman, di Belanda terjadi revolusi yang dimotori oleh
Perancis yang memaksa penguasa Belanda yaitu William Batavus
(William V) untuk mengasingkan diri ke Inggris, negara Belanda
yang telah jatuh ke tangan revolusioner tersebut diubah namanya
dari Dutch Republic (bahasa Indonesia: Republik Belanda) menjadi
Batavian Republic (bahasa Indonesia: Republik Batavian (secara
harafiah berarti Republik Orang-Orang Belanda). Di Inggris,
William Batavus kemudian mengeluarkan Kew Letter sebuah surat
perintah yang menugaskan para pejabat Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC) di wilayah Hindia Belanda menyerahkan pos
pos mereka kepada Britania, hal inilah yang kemudian memudahkan
Britania untuk menguasai Hindia Belanda, berbekal Kew Letter
tersebut Melaka, Padang dan Ambon berhasil dikuasai oleh Britania
dengan mudah,[43] pada tahun ini sebenarnya Gubernur Jenderal
Willem Arnold Alting sudah menyadari ada dinamika di negara
asalnya bahwa kini Dutch Republic telah dikuasai oleh Perancis dan
diubah namanya menjadi Batavian Republic.

Halaman 533 dari 883


Pada tahun 1792, Residen Cirebon J.L. Umbgrove
memandang perlu untuk mengurangi jumlah pangeran dan ratu
dengan mengubah fungsi mereka menjadi abdi masyarakat.[44]
Kejadian tersebut mirip dengan peristiwa surat pengakuan gelar
kesultanan oleh Belanda pada masa Sultan Sepuh IV yaitu Amir
Sena Muhammad Jaenudin atau yang dikenal sebagai Sultan
Jaenudin II yang bertahta dari 1753 - 1773 (menggantikan Sultan
Sepuh III Sultan Raja Jaenudin yang bertahta dari tahun 1723 -
1753) di mana para keluarga kesultanan yang tidak diakui lagi
gelarnya diharuskan menjadi abdi masyarakat tanpa tunjangan
bulanan, karena hanya mereka yang diakui Belanda yang akhirnya
mendapatkan tunjangan bulanan, hal tersebut dilakukan oleh
Belanda dengan alasan penghematan agar kekayaan Cirebon tidak
habis ditangan kesultanan, tetapi hal itu hanyalah alasan yang
dibuat-buat karena pada masa yang sama Belanda bekerjasama
dengan para penguasa swasta kaya (kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang Cina) untuk menguasai tanah-tanah di Cirebon dan
menerapkan pajak tanah (landrente) yang tinggi pada masyarakat.
[45]

Pada tahun 1798, pada masa itu Gubernur Jenderal Willem


Arnold Alting yang telah menangkap Pangeran Raja Kanoman dan
mengasingkannya ke Ambon dan yang proyek pembuatan rumah
Raad van Indie-nya (bahasa Indonesia: Dewan Hindia) di
Indramayu pada tahun tahun sebelumnya yang diperkirakan dibantu
oleh Sultan Muhammad Chaeruddin [46] baru saja pensiun dengan
telah datang penggantinya Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van

Halaman 534 dari 883


Overstraten yang sebelumnya menjabat sebagai pemimpin untuk
pesisir utara Jawa bagian timur pada 17 Februari 1797, pada masa
Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten ini di kesultanan
Kanoman terdapat permasalahan karena tidak adanya putera
mahkota ditempat jika seandainya terjadi sesuatu dengan Sultan
Muhammad Chaeruddin, maka pada tahun itu, 1798, Sultan
membuat keputusan untuk mengangkat Imamuddin, adik lain ibu
dari Pangeran Raja Kanoman (Putra Mahkota kesultanan Kanoman
yang dibuang oleh Belanda ke Ambon) guna menggantikan
posisinya sebagai Putera Mahkota kesultanan Kanoman,[46]
dijelaskan oleh Abdullah al Misri (seorang cendikiawan keturunan
Arab) dalam tulisannya menarasikan bahwa Imamuddin adalah anak
dari Sultan Muhammad Chaeruddin dengan istrinya yang bukan
permaisuri.[47] Pada masa Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van
Overstraten ini Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
dibubarkan, Britania berhasil mengambil alih wilayah Tidore[43]
serta menghancurkan benteng-benteng pertahanan Batavia di pulau
Onrust dan sekitarnya pada tahun 1800.[48] Pada 22 Agustus 1801
Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten meninggal
dunia[49] dan kemudian posisinya digantikan oleh Gubernur Jenderal
Johannes Siberg (menantu dari Gubernur Jenderal Willem Arnold
Alting) yang sebelumnya menjabat sebagai pemimpin di pantai
utara Jawa bagian barat. Pada masa kepemimpinan Gubernur
Jenderal Johannes Siberg diwarnai oleh berbagai perjuangan para
penguasa lokal di nusantara yang memanfaatkan situasi kacau di
Hindia Belanda untuk bisa menguatkan kembali posisi mereka.

Halaman 535 dari 883


Perang besar Cirebon 1788 - 1818
Ketika Pangeran Raja Kanoman yang merupakan putera dari
Sultan Anom IV Muhammad Chaerudin diasingkan ke Ambon,
terjadilah pemberontakan rakyat Cirebon yang dipimpin Bagus
Rangin pada tahun 1802, Bagus Rangin berasal dari demak, distrik
Blandong, Rajagaluh (sekarang Rajagaluh menjadi kecamatan
Rajagaluh, Majalengka) yang terletak di kaki gunung Ciremai,
Bagus Rangin diperkirakan lahir sekitar tahun 1761. Dia adalah
putra dari Sentayem (Ki buyut Teyom), cucu dari Waridah dan
keturunan dari Ki buyut Sambeng, salah satu dari cicit pembesar
didaerah tersebut atau dalam bahasa Cirebon disebut Ki Gede.
Bagus Rangin mempunyai tiga orang saudara, kakaknya bernama
Buyut Bangin dan kedua adiknya bernama Buyut Salimar serta
Bagus Serit (Bagus Serit juga menjadi pejuang melawan penjajah)
[50]

Sifat Bagus Rangin digambarkan sebagai pemimpin yang gagah


berani dan sanggup menyatakan perang dengan didukung oleh
pengikutnya yang banyak. [51] Secara garis besar kondisi
perekonomian di pedesaan Cirebon dijelaskan bahwa desa-desa
hampir secara keseluruhan disewakan kepada orang-orang Cina
oleh para bupati dan residen. Penyerahan tenaga kerja, penyerahan
pajak dan hasil pertanian penduduk dibeli dengan harga sangat
rendah oleh residen.[52]

Di Batavia pada tahun 1803, setelah hancur oleh serangan


Britania pada tahun 1800,[48] pulau Onrust yang merupakan benteng
pertahanan Batavia oleh Belanda dibawah pimpinan Gubernur

Halaman 536 dari 883


Jenderal Johannes Siberg (menantu dari Gubernur Jenderal Willem
Arnold Alting) berusaha direstorasi kembali,[53] sementara itu di
Cirebon, Sultan Muhammad Chaeruddin baru saja meninggal
dunia[27] dan sebagai penggantinya, Imamuddin yang telah ditunjuk
sebagai putera mahkota sejak 1798 menggantikan Pangeran Raja
Kanoman yang diasingkan oleh Belanda ke Ambon naik tahta
menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Sultan Anom V Abu
Soleh Imamuddin[54] dan hal ini disetujui oleh Belanda,[47]
dijelaskan kondisi sosial pada saat itu bahwa bencana kelaparan dan
wabah penyakit sempat melanda Cirebon sejak akhir abad ke 18,
mengakibatkan banyak penduduk Cirebon meninggal dunia.[52],
dalam narasinya Abdullah al Misri (seorang cendikiawan keturunan
Arab) mengatakan bahwa sejak naiknya Imamuddin menjadi Sultan
di kesultanan Kanoman maka banyak hal buruk yang terjadi tidak
hanya soal banyaknya warga yang sakit dan meninggal namun juga
hal hal lain seperti kosongnya bulir bulir padi yang ditanam,[47]
permasalahan Pangeran Raja Kanoman yang diasingkan ke Ambon
tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1805, berdatanganlah
perwakilan masyarakat Cirebon untuk menemui Gubernur Jenderal,
mereka datang untuk menuntuk hak Pangeran Raja Kanoman
bertahta menggantikan ayahnya Sultan Anom IV Muhammad
Chaeruddin yang telah meninggal pada 1803, perwakilan
masyarakat Cirebon itu mengatakan bahwa Imamuddin tidak berhak
menjadi Sultan di kesultanan Kanoman karena masih ada Pangeran
Raja Kanoman yang lebih berhak, dinarasikan oleh Abdullah al
Misri (seorang cendikiawan keturunan Arab) bahwa perwakilan
masyarakat Cirebon tersebut menghubung-hubungkan kejadian
Halaman 537 dari 883
buruk di Cirebon dari mulai banyaknya masyarakat yang sakit dan
meninggal hingga kejadian di mana bulir bulir padi yang ditanam
namun tidak ada isinya yang menyebabkan kelaparan dengan
naiknya Imamuddin sebagai Sultan di kesultanan Kanoman,[47]
Pejabat Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon pada masa itu
S.H Rose kemudian mengajukan permohonan agar pemerintah
Hindia Belanda di Batavia mengeluarkan sebuah peraturan kepada
para bupati agar tidak memberikan jalan kepada rombongan
masyarakat Cirebon yang akan menemui Gubernur Jenderal,
permohonan S.H Rose selaku pejabat penghubung Belanda untuk
wilayah kesultanan Cirebon dikabulkan dengan dikeluarkannya
surat keputusan (besluit) 15 Maret 1805 yang berisi perintah kepada
para bupati agar tidak memberikan jalan kepada rombongan
masyarakat Cirebon, berdasarkan besluit tersebut maka bupati
Karawang diperintahkan agar mencegah rombongan tersebut ke
Batavia, Belanda kemudian mengirimkan kapal ke pesisir Cilincing
(sebelah timur kota Batavia) untuk mengangkut para rombongan
masyarakat Cirebon dan pada tanggal 17 Mei 1805 rombongan
tersebut kembali ke Cirebon,[55] mendengar hal ini Gubernur
Jenderal Albertus Henricus Wiese, dikemudian hari mengabulkan
permintaan perwakilan masyarakat Cirebon dengan memulangkan
Pangeran Raja Kanoman dari pengasingannya di Ambon, hal
tersebut dilakukan karena Belanda tidak mau masalah ini menjadi
lebih panjang lagi yang nantinya akan berimbas kepada peperangan
yang lebih besar lagi dengan Cirebon, karena dengan pertempuran
yang sekarang sedang berlangsung dengan para pejuang sudah
banyak korban dari pihak Belanda,[47]
Halaman 538 dari 883
Persoalan hak waris Sultan Kanoman ke empat, Sultan
Anom IV Muhammad Chaerudin yang seharusnya diberikan kepada
putera mahkotanya yaitu Pangeran Raja Kanoman yang telah
diasingkan Belanda ke Ambon dianggap sebagai penyebab
timbulnya pemberontakan. Rakyat melakukan pemberontakan dan
mengidentifikasi diri dengan Sultan Kanoman yang tercabut hak
warisnya (Pengeran Raja Kanoman yang dibuang dan sulit
mengklaim haknya) . Para pemberontak ini berhasil dihimpun
Bagus Rangin untuk melakukan pemberontakan yang lebih besar.
Di daerah Jatitujuh, merupakan pusat gerakan Bagus Rangin dalam
rangka membicarakan strategi perlawanan terhadap pemerintah
kolonial Belanda. Bagus Rangin menganggap residen Belanda telah
merampas tanah warisan nenek moyangnya, untuk digunakan
sendiri oleh residen itu.

Kembalinya Pangeran Raja Kanoman dan dibentuknya


Kacirebonan
Pemberontakan yang dilakukan oleh bagus Rangin meluas
hingga keluar wilayah kesultanan Cirebon, ditengah perjuangan
besar cirebon yang telah dimulai pada sekitar tahun 1788 oleh Mirsa
dan Pangeran Raja Kanoman (Putera Mahkota kesultanan
Kanoman, putera pertama Sultan Anom IV Muhammad
Chaeruddin) dan dilanjutkan oleh pejuang lainnya termasuk di
antaranya Bagus Rangin yang telah memulai perjuangannya pada
sekitar tahun 1802, kondisi sosial di Cirebon semakin
memprihatinkan, masih banyak orang yang jatuh sakit dan
meninggal serta kelaparan akibat kosongnya bulir bulir padi, masa

Halaman 539 dari 883


itu tahun 1805, dikarenakan perjuangan masyarakat cirebon
melawan Belanda masih terus belangsung, maka pada tanggal 1
September 1806[56] Belanda membuat perjanjian dengan Sultan
Sepuh Djoharuddin dan Sultan Anom Abu Soleh Imamuddin untuk
mengembalikan Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon guna
meredakan perjuangan yang terjadi.[57] dalam bukunya Geschiedenis
van Nederlandsch Indie, V Frederik Willem Stapel mengatakan,

sampai dengan tahun 1806 jumlah kaum pemberontak yang bersenjata

“ telah mencapai sekitar 4000 orang. Pasukan yang langsung dipimpin


oleh Bagus Rangin berjumlah antara 280-300 orang yang telah terlatih
perang

namun karena di keraton Kanoman sudah bertahta Pangeran Raja
Abu Soleh Immamudin yang merupakan adik Pangeran Raja
Kanoman, maka akhirnya atas dasar kesepakan keluarga, Pangeran
Raja Kanoman pada tahun 1808 mendirikan kesultanannya sendiri
dengan nama Kacirebonan yang sekarang pusatnya berada di
keraton Kacirebonan, sebagai pemimpin Kacirebonan Pangeran
Raja Kanoman bergelar Sultan Carbon Amirul Mukminin, tetapi
kembalinya Pangeran Raja Kanoman dan dibentuknya kesultanan
Kacirebonan untuk Pangeran Raja Kanoman sebagai hasil
kesepakatan keluarga besar kesultanan Kanoman dikarenakan di
kesultanan Kanoman telah bertahta Sultan Anom V Pangeran Raja
Abu Soleh Immamudin, tidak menyurutkan gerakan perjuangan
yang sedang berlangsung.

Halaman 540 dari 883


Pada masa ditengah pemberontakan ini, Belanda
mengirimkan Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jendral
Hindia Belanda yang tiba di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun
1808 [58] yang memimpin dengan cara kediktaktoran. Pada masa ini
Gubernur Jendral Herman Willem Daendels yang memerintahkan
agar membuat jalan raya juga mengeluarkan surat keputusan pada
tanggal 22 November 1808 untuk melepaskan Lampung dari
wilayah kesultanan Banten dan keterkaitannya dengan Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC), wilayah Lampung dalam surat
keputusan tersebut langsung berada dibawah pengawas Gubernur
Jenderal[59]

Pada tahun 1809 Gubernur Jendral Herman Willem


Daendels atau setahun setelah kedatangannya ke Hindia Belanda
dan menerbitkan surat keputusan tanggal 22 November 1808 yang
melepaskan daerah Lampung dari wilayah kesultanan Banten,[59]
Gubernur Jendral Herman Willem Daendels segera menetapkan
berbagai langkah dan tindakan dalam rangka pengendalian
wilayahnya yang ada di Jawa bagian barat, dua Regentschappen
(wilayah) kemudian ditetapkan, kemudian ditetapkan,

• Pertama, Batavia en Jacatrasche Preanger Regentschappen


(wilayah Batavia dan Priangan-Jakarta) yang meliputi
Batavia, Tangerang, Karawang, Bogor, Cianjur, Bandung
dan Sumedang)
• Kedua, Kesultanan Cheribon en Cheribonsche-Preanger
Regentschappen (wilayah kesultanan Cirebon dan Priangan-
Cirebon), yang meliputi wilayah kesultanan Cirebon,

Halaman 541 dari 883


Limbangan (sekarang bagian dari kabupaten Garut),
Sukapura (sekarang bagian dari kabupaten Tasikmalaya) dan
Galuh (sekarang kabupaten Ciamis dan kota Banjar)[60]
Di daerah Cirebon, dikatakan Gubernur Jendral Herman
Willem Daendels memperoleh hak untuk mengangkat pegawai
kesultanan dan mendapat kekuasaan lebih besar dalam urusan
keuangan dan pemerintahan internal kesultanan. sejak tahun 1809
dikatakan bahwa kesultanan-kesultanan yang ada di Cirebon tidak
lagi memiliki kekuasaan politik karena telah dijadikam pegawai
pemerintah Hindia Belanda dan fungsi mereka sebagai kepala
pemerintahan digantikan oleh para bupati yang diangkat oleh
Gubernur Jendral, yang kemudian wilayah-wilayahnya diawasi oleh
residen yang telah ditunjuk oleh pemerintah Belanda. Pada tahun
yang sama, tepatnya tanggal 2 Maret 1810, Sultan Kacirebonan I
Muhammad Chaeruddin II[27] yang dahulunya adalah Pangeran Raja
Kanoman dipecat dari jabatannya oleh Belanda karena dianggap
selalu menentang pemerintah[61]

Pemisahan kekuasaan kesultanan-kesultanan di Cirebon


pada tahun 1809 bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan
Sepuh VII Sultan Djoharudin di Kesultanan Kasepuhan, Sultan
Anom V Pangeran Raja Abu Soleh Muhammad Immamudin di
kesultanan Kanoman dan Sultan Kacirebonan I Sultan Carbon
Amirul Mukminin di kesultanan Kacirebonan yang baru saja
dibentuk dari hasil perundiangan keluarga untuk membagi
kesultanan Kanoman.

Halaman 542 dari 883


Pada tahun 1810 Perancis di bawah pimpinan Napoleon
Bonaparte melakukan aneksasi terhadap Belanda dan setelah kabar
ini diterima oleh Gubernur Jendral Herman Willem Daendels,
Gubernur Jendral kemudian melakukan pengibaran bendera
Perancis, hal ini kemudian diketahui oleh Thomas Stamford Raffles
dan mengunjungi Lord Minto Gubernur Jendral Britania di India
untuk mengusir Belanda dari Jawa dan hal tersebut disetujui oleh
Gubernur Jendral Britania untuk India - Lord Minto.

Para penguasa Cirebon dan invasi Inggris


Pada tanggal 2 Rabiul Akhir 1226 hijriah atau sekitar
tanggal 26 April 1811, Sultan Sepuh Joharuddin menerima surat
bertanggal 19 Desember 1810 dari Letnan Jenderal Thomas
Stamford Raffles yang dibawa oleh Tengku Pangeran
Sukmadilaga[62] (nama aslinya Sayid Zain dari kerajaan Siak)[39]

Surat tersebut berisi mengenai penyerangan Inggris kepada


pihak Belanda di Jawa, dalam suratnya Letnan Jenderal Thomas
Stamford Raffles berjanji tidak akan memperlakukan para penguasa
dan rakyat secara kejam seperti yang dilakukan oleh orang-orang
Belanda dan Perancis.[62]

Pada surat balasannya yang ditulis tengah malam pada


tanggal 2 Rabiul Akhir 1226 hijriah, Sultan Sepuh Joharuddin yang
juga mengatasnamakan Sultan Anom Cirebon menyatakan
persetujuannya atas rencana invasi Inggris ke Jawa.[62]

Silsilah

• Sultan Anom Muhammad Badrudin Kartawijaya

Halaman 543 dari 883


• Pangeran Depati Halal Rudin (Pangeran Depati Cirebon
Halirudin[37] Pangeran Raja Mandurareja[38] Muhammad
Qadirudin)
• Perwalian oleh Pangeran Raja Depati Kusuma Agung
(menjadi wali hingga Alimuddin dewasa)[38]
• Sultan Anom Pangeran Raja Adipati Muhammad Alimudin
• Perwalian oleh Tumenggung Bahumadenda (menjadi wali
untuk Sultan Anom Chaeruddin yang masih kanak-kanak)[38]
• Sultan Anom Pangeran Raja Adipati Sultan Muhammad
Chaeruddin
• Sultan Anom Pangeran Raja Abu Soleh Muhammad
Imammudin)
• Sultan Anom Muhammad Kamaroedin I
• Sultan Anom Muhammad Kamaroedin II
• Perwalian oleh Pangeran Raja Kaprabon (penyeleseian
masalah waris antara Pangeran Anta dengan Pangeran Raja
Dzulkarnaen)
• Sultan Anom Pangeran Raja Muhammad Dzulkarnaen
• Sultan Anom Pangeran Raja Adipati Muhammad Nurbuat
Purbaningrat
• Sultan Anom Pangeran Raja Adipati Muhammad Nurus
• Sultan Anom Pangeran Raja Adipati Muhammad Jalalludin
• Sultan Anom Pangeran Raja Muhammad Emiruddin
• Sultan Anom Pangeran Elang Mochamad Saladin
Referensi

Halaman 544 dari 883


1. ^ Lompat ke:
a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial
Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. New York : Cornell
University Press
2. ^ Wildan, Dadan. 2003. Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta : Pembumian Islam
dengan Pendekatan Struktural dan Kultural. Bandung : Humaniora Utama Press
3. ^ Lompat ke:
a b c Ekajati, Edi Suherdi. 2005. Polemik naskah Pangeran Wangsakerta. Bandung: Pustaka

Jaya
4. ^ Lompat ke:
a b Lubis, Nina. 2000. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Bandung : Alqaprint

Jatinangor.
5. ^ Lompat ke:
a b c de Graaf, Hermanus Johannes. 1987. Runtuhnya istana Mataram. Bogor : Grafiti Pers

6. ^ Lompat ke:
a b c d e f g h i Deviani, Firlianna Tiya. 2016. Perjanjian 7 Januari 1681 Dan Implikasinya

Terhadap Kehidupan Sosial Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M - 1755 M).
Cirebon : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati
7. ^ Sunardjo, R. H. Unang . 1996. Selayang Pandang Sejarah Masa Kejayaan Kerajaan
Cirebon : kajian dari aspek politik dan pemerintahan. Cirebon : Yayasan Keraton
Kasepuhan Cirebon
8. ^ Mansyur, Khatib. 2001. Perjuangan rakyat Banten menuju provinsi : catatan kesaksian
seorang wartawan. Serang : Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Provinsi Banten
9. ^ Suparman, Sulasman, Dadan Firdaus. 2017. Tawarikh : Political Dynamics in Cirebon
from the 17th to 19th Century. Bandung : Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung
Jati
10. ^ Lompat ke:
a b c d e Tim Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1982. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan


11. ^ de Jonge, Johan Karel Jakob. 1873. De opkomst van het Nederlandsch gezag over Java:
verzameling van onuitgegeven stukken uit het oud-koloniaal archief, Volume 4. s
Gravenhague The Hague : Martinus Nijhoff
12. ^ Lompat ke:
a b c d Heniger, J. 2017. Hendrik Adriaan Van Reed Tot Drakestein 1636-1691 and Hortus,

Malabaricus. Abingdon-on-Thames : Routledge


13. ^ Michrob, Drs Halwani, Drs A. Mudjahid Chudori. 1993. Catatan Masa Lalu Banten.
Serang: Penerbit Saudara
14. ^ Lompat ke:
a b Blink, Hendrik. 1907. Nederlandsch Oost- en West-Indië : geographisch, ethnographisch

en economisch beschreven, Volume 2. Leiden : Evert Jan Brill

Halaman 545 dari 883


BAB 28
KESULTANAN SIAK SRI INDERAPURA
Siak Sri Inderapura
Darul Ridzuan[1]
‫ﻛﺴﻠطﺎﻧﻦ سياك سري إندراڤورا‬

Kesultanan Siak pada 1850

Kesultanan Siak Sri Inderapura adalah sebuah Kerajaan


Melayu Islam yang pernah berdiri di Kabupaten Siak, Provinsi
Riau, Indonesia. Kesultanan ini didirikan di Buantan oleh Raja
Kecil yang berasal dari Johor bergelar Sultan Abdul Jalil pada
tahun 1723, setelah sebelumnya terlibat dalam perebutan tahta
Johor. Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai
sebuah kerajaan bahari yang kuat[2] dan menjadi kekuatan yang

Halaman 546 dari 883


diperhitungkan di pesisir timur Sumatra dan Semenanjung Malaya
di tengah tekanan imperialisme Eropa. Jangkauan terjauh pengaruh
kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan Barat, sekaligus
mengendalikan jalur pelayaran antara Sumatra dan Kalimantan.
Pasang surut kerajaan ini tidak lepas dari persaingan dalam
memperebutkan penguasaan jalur perdagangan di Selat Malaka.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sultan Siak terakhir,
Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan
Republik Indonesia.[6]

Etimologi
Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna
pusat kota raja yang taat beragama, dalam bahasa Sanskerta, sri
berarti "bercahaya" dan indera atau indra dapat bermakna raja.
Sedangkan pura dapat bermaksud dengan "kota" atau "kerajaan".
Siak dalam anggapan masyarakat Melayu berkaitan erat dengan
agama Islam, Orang Siak ialah orang-orang yang ahli agama Islam;
seseorang yang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai
Orang Siak.[7][8]

Nama Siak, dapat merujuk kepada sebuah klan di kawasan


antara Pakistan dan India, Sihag atau Asiagh yang bermakna
pedang. Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa Asii,[9] masyarakat
nomaden yang disebut oleh masyarakat Romawi, dan
diidentifikasikan sebagai Sakai oleh Strabo, seorang penulis
geografi dari Yunani.[10] Berkaitan dengan ini pada sehiliran Sungai
Siak sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing yang
dinamakan sebagai Orang Sakai.[11]
Halaman 547 dari 883
Agama
Perkembangan agama Islam di Siak menjadikan kawasan ini
sebagai salah satu pusat penyebaran dakwah Islam. Hal ini tidak
lepas dari penggunaan nama Siak secara luas di kawasan Melayu.
Jika dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal: Adat
menurun, syara’ mendaki dapat bermakna masuknya Islam ke
dataran tinggi pedalaman Minangkabau dari Siak sehingga orang-
orang yang ahli dalam agama Islam, sejak dahulu sampai sekarang,
masih tetap disebut dengan Orang Siak. [8] Sementara di
Semenanjung Malaya, penyebutan Siak masih digunakan sebagai
nama jabatan yang berkaitan dengan urusan agama Islam.

Walau telah menerapkan hukum Islam pada masyarakatnya,


tetapi terdapat sedikit pengaruh Minangkabau dengan identitas
matrilinealnya yang masih mewarnai tradisi masyarakat Siak.
Dalam pembagian warisan, masyarakat Siak mengikut kepada
hukum waris sebagaimana berlaku dalam Islam. Namun dalam hal
tertentu, mereka menyepakati secara adat bahwa warisan dalam
bentuk rumah hanya diserahkan kepada anak perempuan saja.[14]

Masa awal
Membandingkan dengan catatan Tomé Pires yang ditulis
antara tahun 1513-1515, Siak merupakan kawasan yang berada
antara Arcat dan Indragiri yang disebutnya sebagai kawasan
pelabuhan raja Minangkabau, [15] kemudian menjadi vasal
Kesultanan Melaka sebelum ditaklukkan oleh Portugal. Sejak
jatuhnya Malaka ke tangan VOC, Kesultanan Johor telah

Halaman 548 dari 883


mengklaim Siak sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya. Hal ini
berlangsung hingga kedatangan Raja Kecil yang kemudian
mendirikan Kesultanan Siak.[3]

Dalam Syair Perang Siak, Raja Kecil putra Pagaruyung,


didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di
Bengkalis. Hal ini bertujuan untuk melepaskan Siak dari pengaruh
Kesultanan Johor.[5] Sementara dalam Hikayat Siak, Raja Kecil
disebut juga dengan sang pengelana pewaris Sultan Johor yang
kalah dalam perebutan kekuasaan.[16] Berdasarkan korespondensi
Sultan Indermasyah Yang Dipertuan Pagaruyung dengan Gubernur
Jenderal Hindia Belanda di Melaka saat itu, disebutkan bahwa
Sultan Abdul Jalil merupakan saudaranya yang diutus untuk urusan
dagang dengan pihak VOC.[17] Kemudian Sultan Abdul Jalil dalam
suratnya tersendiri yang ditujukan kepada pihak Belanda, menyebut
dirinya sebagai Raja Kecil dari Pagaruyung, akan menuntut balas
atas kematian Sultan Johor.

Sebelumnya dari catatan Belanda, dikatakan bahwa pada


tahun 1674 telah datang utusan dari Johor meminta bantuan raja
Minangkabau untuk berperang melawan raja Jambi.[19] Dalam salah
satu versi Sulalatus Salatin, juga menceritakan tentang bagaimana
hebatnya serangan Jambi ke Johor (1673),[20] yang mengakibatkan
hancurnya pusat pemerintahan Johor, yang sebelumnya juga telah
dihancurkan oleh Portugal dan Aceh.[21][22] Kemudian berdasarkan
surat dari raja Jambi, Sultan Ingalaga kepada VOC pada tahun 1694,
menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil hadir menjadi saksi
perdamaian dari perselisihan mereka.[23]

Halaman 549 dari 883


Pada tahun 1718, Sultan Abdul Jalil berhasil menguasai
Kesultanan Johor[3] sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai Sultan
Johor dengan gelar Yang Dipertuan Besar Johor. Namun pada tahun
1722, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Sulaiman
anak Bendahara Johor, yang juga menuntut hak atas takhta Johor.
Atas bantuan pasukan bayaran dari Bugis, Raja Sulaiman kemudian
berhasil mengkudeta takhta Johor, dan mengukuhkan dirinya
menjadi penguasa Johor di Semenanjung Malaka. Sementara Sultan
Abdul Jalil, pindah ke Bintan dan pada tahun 1723 membangun
pusat pemerintahan baru di sehiliran Sungai Siak dengan nama Siak
Sri Inderapura.[5] Sementara pusat pemerintahan Johor yang
sebelumnya berada sekitar muara Sungai Johor ditinggalkan begitu
saja, dan menjadi status quo dari masing-masing penguasa yang
bertikai tersebut. Sedangkan klaim Raja Kecil sebagai pewaris sah
takhta Johor, diakui oleh komunitas Orang Laut. Orang Laut
merupakan kelompok masyarakat yang bermukim pada kawasan
Kepulauan Riau yang membentang dari timur Sumatra sampai ke
Laut Tiongkok Selatan, dan loyalitas ini terus bertahan sampai
kepada beberapa keturunan Raja Kecil berikutnya.[24]

Masa keemasan

Sultan Siak dan Dewan Menterinya serta Kadi Siak pada tahun 1888

Halaman 550 dari 883


Upacara penobatan Sultan Siak pada tahun 1899

Dengan klaim sebagai pewaris Malaka,[4] pada tahun


1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan wilayah, dimulai
dengan memasukkan Rokan ke dalam wilayah Kesultanan Siak dan
kemudian membangun pertahanan armada laut di Bintan. Namun,
pada 1728, atas perintah Raja Sulaiman, Yang Dipertuan Muda
bersama pasukan Bugisnya, Raja Kecil diusir keluar dari Kepulauan
Riau. Raja Sulaiman kemudian menjadikan Bintan sebagai pusat
pemerintahannya. Atas keberhasilannya itu, Yang Dipertuan Muda
diberi kedudukan di Pulau Penyengat.[24]

Sementara Raja Kecil terpaksa melepas hegemoninya di


Kepulauan Riau dan mulai membangun kekuatan baru di kawasan
sepanjang pesisir timur Sumatra. Antara tahun 1740-1745, Raja
Kecil kembali bangkit dan menaklukan beberapa kawasan di
Semenanjung Malaya.[25] Karena mendapat ancaman dari Siak, dan
Halaman 551 dari 883
pada saat yang bersamaan orang-orang Bugis juga meminta balas
atas jasa mereka, maka Raja Sulaiman meminta bantuan kepada
Belanda di Malaka. Dalam perjanjian yang ditandatangani pada
tahun 1746 itu, Johor menjanjikan akan memberikan Bengkalis
kepada Belanda. Perjanjian itu kemudian direspon oleh VOC
dengan mendirikan gudang pada kawasan tersebut.[26][27]

Sepeninggal Raja Kecil pada tahun 1746, klaim atas Johor


memudar. Pengantinya, Sultan Mahmud, berfokus kepada
penguatan kedudukannya di pesisir timur Sumatra dan daerah vasal
di Kedah dan kawasan pantai timur Semenanjung Malaya. Pada
tahun 1761, Sultan Siak membuat perjanjian ekslusif dengan pihak
Belanda, dalam urusan dagang dan hak atas kedaulatan wilayahnya,
serta bantuan dalam bidang persenjataan.[28] Setelah Raja Mahmud
wafat, muncul dualisme kepemimpinan di kerajaan ini. Raja
Muhammad Ali yang lebih disukai Belanda kemudian menjadi
Sultan Siak. Sementara sepupunya Raja Ismail yang tidak disukai
Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur
Sumatra sampai ke Laut Tiongkok Selatan, dan membangun
kekuatan di gugusan Pulau Tujuh.[29]

Sekitar tahun 1767, Raja Ismail telah menjadi duplikasi dari


Raja Kecil. Didukung oleh Orang Laut, ia terus menunjukan
dominasinya di kawasan perairan timur Sumatra, dengan mulai
mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka, kemudian
menaklukan Mempawah di Kalimantan Barat. Sebelumnya Raja
Ismail juga turut membantu Terengganu menaklukan Kelantan.
Hubungan ini kemudian diperkuat oleh adanya ikatan perkawinan

Halaman 552 dari 883


antara Raja Ismail dengan saudara perempuan Sultan Terengganu.
Pengaruh Raja Ismail di kawasan Melayu sangat signifikan, mulai
dari Terengganu, Jambi, dan Palembang. Laporan Belanda
menyebutkan, Palembang telah membayar 3.000 ringgit kepada
Raja Ismail agar jalur pelayarannya aman dari gangguan. Sementara
Hikayat Siak menceritakan tentang kemeriahan sambutan yang
diterima oleh Raja Ismail sewaktu kedatangannya ke Palembang.

Pada abad ke-18, Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan


yang dominan di pesisir timur Sumatra. Tahun 1780, Kesultanan
Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan wilayah
tersebut dalam pengawasannya,[30] termasuk wilayah Deli dan
Serdang.[31] Di bawah ikatan perjanjian kerja sama dengan VOC,
pada tahun 1784 Kesultanan Siak membantu VOC menyerang dan
menundukkan Selangor.[32] Sebelumnya mereka telah bekerja sama
memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau
Penyengat.

Perdagangan

Kesultanan Siak dan taklukannya, 1850.

Halaman 553 dari 883


Kesultanan Siak Sri Inderapura mengambil keuntungan atas
pengawasan perdagangan melalui Selat Melaka, serta kemampuan
mengendalikan para perompak di kawasan tersebut. Kemajuan
perekonomian Siak terlihat dari catatan Belanda yang menyebutkan
pada tahun 1783 ada sekitar 171 kapal dagang dari Siak menuju
Malaka.[33] Siak menjadi kawasan segitiga perdagangan antara
Belanda di Malaka dan Inggris di Pulau Pinang.[34] Di sisi lain,
kejayaan Siak ini memberi kecemburuan pada keturunan Yang
Dipertuan Muda terutama setelah hilangnya kekuasaan mereka pada
kawasan Kepulauan Riau. Sikap ketidaksukaan dan permusuhan
terhadap Sultan Siak, terlihat dalam Tuhfat al-Nafis,[35] di mana
dalam deskripsi ceritanya mereka menggambarkan Sultan Siak
sebagai "orang yang rakus akan kekayaan dunia".[butuh rujukan]

Peranan Sungai Siak sebagai bagian kawasan inti dari


kerajaan ini, berpengaruh besar terhadap kemajuan perekonomian
Siak Sri Inderapura. Sungai Siak merupakan kawasan pengumpulan
berbagai produk perdagangan, mulai dari kapur barus, benzoar,
timah, dan emas. Pada saat bersamaan, Kesultanan Siak juga telah
menjadi eksportir kayu yang utama di Selat Malaka dan salah satu
kawasan industri kayu untuk pembuatan kapal maupun bangunan.
Dengan cadangan kayu yang berlimpah, pada tahun 1775 Belanda
mengizinkan kapal-kapal Siak mendapat akses langsung ke sumber
beras dan garam di Pulau Jawa, tanpa harus membayar kompensasi
kepada VOC. Namun, tentu dengan syarat Belanda juga diberikan

Halaman 554 dari 883


akses langsung kepada sumber kayu di Siak, yang mereka sebut
sebagai kawasan hutan hujan yang tidak berujung.[36]

Dominasi Kesultanan Siak terhadap wilayah pesisir pantai


timur Sumatra dan Semenanjung Malaya cukup signifikan. Mereka
mampu menggantikan pengaruh Johor sebelumnya atas penguasaan
jalur perdagangan. Selain itu, Kesultanan Siak juga muncul sebagai
pemegang kunci ke dataran tinggi Minangkabau, melalui tiga sungai
utama yaitu Siak, Kampar, dan Kuantan, yang mana sebelumnya
telah menjadi kunci bagi kejayaan Malaka. Namun demikian,
kemajuan perekonomian Siak memudar seiring dengan munculnya
gejolak di pedalaman Minangkabau yang dikenal dengan Perang
Padri.[28]

Gejolak Politik

Wilayah zelfbestuur di Sumatra Tengah, termasuk Siak, 1941.

Halaman 555 dari 883


Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau
Sumatra tidak mampu dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai
dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan, Kesultanan
Langkat, dan kemudian muncul Indragiri sebagai kawasan mandiri.
[37] Begitu juga di Johor, di mana seorang sultan dari keturunan

Tumenggung Johor kembali didudukkan, dan berada dalam


perlindungan Inggris di Singapura.[38][39] Sementara Belanda
memulihkan kedudukan Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat,
dan kemudian mendirikan Kesultanan Lingga di Pulau Lingga.
Selain itu, Belanda juga mempersempit wilayah kedaulatan Siak,
dengan mendirikan Residentie Riouw yang merupakan bagian dari
pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan di Tanjung
Pinang.

Penguasaan Inggris atas Selat Melaka, mendorong Sultan


Siak pada tahun 1840 untuk menerima tawaran perjanjian baru
mengganti perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya pada
tahun 1819. Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak
semakin kecil dan terjepit antara wilayah kerajaan kecil lainnya
yang mendapat perlindungan dari Inggris.[43] Demikian juga pihak
Belanda menjadikan kawasan Siak sebagai salah satu bagian dari
pemerintahan Hindia Belanda,[44] setelah memaksa Sultan Siak
menandatangani perjanjian pada 1 Februari 1858.[28][45] Dari
perjanjian tersebut Siak Sri Inderapura kehilangan kedaulatannya,
kemudian dalam setiap pengangkatan raja, Siak mesti mendapat
persetujuan dari Belanda. Selanjutnya dalam pengawasan wilayah,
Belanda mendirikan pos militer di Bengkalis serta melarang Sultan

Halaman 556 dari 883


Siak membuat perjanjian dengan pihak asing tanpa persetujuan
pemerintahan Hindia Belanda.[28]

Perubahan peta politik atas penguasaan jalur Selat Malaka,


kemudian adanya pertikaian internal Siak dan persaingan dengan
Inggris dan Belanda, melemahkan pengaruh hegemoni Kesultanan
Siak atas wilayah-wilayah yang pernah dikuasainya.[46] Tarik ulur
kepentingan kekuatan asing terlihat pada Perjanjian Sumatra antara
pihak Inggris dan Belanda, menjadikan Siak berada pada posisi
yang dilematis, berada dalam posisi tawar yang lemah.[47] Kemudian
berdasarkan perjanjian pada 26 Juli 1873, pemerintah Hindia
Belanda memaksa Sultan Siak, untuk menyerahkan wilayah
Bengkalis kepada Residen Riau.[48] Namun, di tengah tekanan
tersebut, Kesultanan Siak masih tetap bertahan sampai kemerdekaan
Indonesia,[6] walau pada masa pendudukan tentara Jepang sebagian
besar kekuatan militer Kesultanan Siak sudah tidak berarti lagi.

Bergabung dengan Indonesia

Potret Sultan Siak, Sultan Syarif Kasim II dan istrinya (1910-1939)

Halaman 557 dari 883


Sultan Syarif Kasim II, merupakan Sultan Siak terakhir yang tidak
memiliki putra. Seiring dengan kemerdekaan Indonesia, Sultan
Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan negara
Republik Indonesia.[6]

Struktur pemerintahan
Sebagai bagian dari rantau Minangkabau, sistem
pemerintahan Kesultanan Siak mengikuti model Kerajaan
Pagaruyung. Setelah posisi Sultan, terdapat Dewan Menteri yang
mirip dengan kedudukan Basa Ampek Balai di Pagaruyung. Dewan
Menteri ini memiliki kekuasaan untuk memilih dan mengangkat
Sultan Siak, sama dengan Undang Yang Ampat di Negeri Sembilan.
[49] Dewan Menteri bersama dengan Sultan, menetapkan undang-

undang serta peraturan bagi masyarakatnya.[14][50] Dewan menteri


ini terdiri dari:

1. Datuk Tanah Datar


2. Datuk Limapuluh
3. Datuk Pesisir
4. Datuk Kampar
Seiring dengan perkembangan zaman, Siak Sri Inderapura
juga melakukan pembenahan sistem birokrasi pemerintahannya. Hal
ini tidak lepas dari pengaruh model birokrasi pemerintahan yang
berlaku di Eropa maupun yang diterapkan pada kawasan kolonial
Belanda dan Inggris. Modernisasi sistem penyelenggaraan
pemerintahan Siak terlihat pada naskah Ingat Jabatan yang

Halaman 558 dari 883


diterbitkan tahun 1897. Naskah ini terdiri dari 33 halaman yang
panjang serta ditulis dengan Abjad Jawi atau tulisan Arab-Melayu.
Ingat Jabatan merupakan dokumen resmi Siak Sri Inderapura yang
dicetak di Singapura, berisi rincian tanggung jawab dari berbagai
posisi atau jabatan di pemerintahan mulai dari pejabat istana, wakil
kerajaan di daerah jajahan, pengadilan maupun polisi. Pada bagian
akhir dari setiap uraian tugas para birokrat tersebut, ditutup dengan
peringatan serta perintah untuk tidak berkhianat kepada sultan dan
nagari.[51]

Pada perkembangan selanjutnya, Siak Sri Inderapura juga


menerbitkan salah satu kitab hukum atau undang-undang, dikenal
dengan nama Bab al-Qawa'id.[52] Kitab ini dicetak di Siak tahun
1901, menguraikan hukum yang dikenakan kepada masyarakat
Melayu dan masyarakat lain yang terlibat perkara dengan
masyarakat Melayu. Namun, tidak mengikat orang Melayu yang
bekerja dengan pihak pemerintah Hindia Belanda, di mana jika
terjadi permasalahan akan diselesaikan secara bilateral antara Sultan
Siak dengan pemerintah Hindia Belanda.[14]

Dalam pelaksanaan masalah pengadilan umum di


Kesultanan Siak diselesaikan melalui Balai Kerapatan Tinggi yang
dipimpin oleh Sultan Siak, Dewan Menteri dan dibantu oleh Kadi
Siak serta Controleur Siak sebagai anggota. Selanjutnya, beberapa
nama jabatan lainnya dalam pemerintahan Siak antara lain Pangiran
Wira Negara, Biduanda Pahlawan, Biduanda Perkasa, Opas Polisi.
Kemudian terdapat juga warga dalam yang bertanggung jawab
terhadap harta-harta disebut dengan Kerukuan Setia Raja, serta

Halaman 559 dari 883


Bendahari Sriwa Raja yang bertanggung jawab terhadap pusaka
kerajaan.[51]

Dalam administrasi pemerintahannya Kesultanan Siak


membagi kawasannya atas hulu dan hilir, masing-masing terdiri
dari beberapa kawasan dalam bentuk distrik[48] yang dipimpin oleh
seseorang yang bergelar Datuk atau Tuanku atau Yang Dipertuan
dan bertanggungjawab kepada Sultan Siak yang juga bergelar Yang
Dipertuan Besar. Pengaruh Islam dan keturunan Arab mewarnai
Kesultanan Siak,[53] salah satunya keturunan Al-Jufri yang bergelar
Bendahara Patapahan.[54]

Pada kawasan tertentu, ditunjuk Kepala Suku yang bergelar


Penghulu, dibantu oleh Sangko Penghulu, Malim Penghulu serta
Lelo Penghulu. Sementara terdapat juga istilah Batin, dengan
kedudukan yang sama dengan Penghulu, tetapi memiliki kelebihan
hak atas hasil hutan yang tidak dimiliki oleh Penghulu. Batin ini
juga dibantu oleh Tongkat, Monti dan Antan-antan. Istilah Orang
Kaya juga digunakan untuk jabatan tertentu dalam Kesultanan Siak,
sama halnya dengan pengertian Rangkayo atau Urang Kayo di
Minangkabau terutama pada kawasan pesisir.

Pembagian Administrasi
Menurut Bab Al-Qawa'id[52], kitab hukum kesultanan Siak,
wilayah administrasi kesultanan dibagi ke dalam 10 propinsi, setiap
propinsi dipimpin oleh hakim polisi yang memiliki gelar masing-
masing. Untuk urusan keagamaan, tiap provinsi tersebut ditunjuk

Halaman 560 dari 883


seorang imam jajahan sebagai hakim syari'ah. Adapun
pembagiannya adalah:

Propinsi Negeri Siak


• Hakim Polisi Propinsi Negeri Siak bergelar Tengku Besar.
Tengku Besar yang terkenal adalah Sayyid Sagaf, sepupu Sultan
Syarif Kasim II yang ditunjuk sebagai wali sultan (regent) bertugas
menjalankan pemerintahan semasa sultan menempuh pendidikan di
Batavia dan belum diresmikan sebagai sultan.[56]

• Hakim Syari'ah Propinsi Negeri Siak adalah Qadhi Negeri


Siak.
• Batas-batas negeri: Dari Tanjung Pematang Duku yakni
Tanjung Balai mengikuti Sungai Siak sebelah kanan sampai
ke Sungai Lukut dan masuk ke Sungai Mandau sampai ke
Pertalangan dan sampai ke Batin Lima Sakai dan sampai ke
Batin Lapan Sakai sehingga bertemu dengan batas Negeri
Kota Intan. Dan lagi dari sungai Lokar mengikuti sebelah
kiri mudik sungai Siak Sri Indrapura sampai ke Pertalangan
Dayun, Gasib, dan Lubuk ke daratnya hingga bertemu
dengan watas Pelalawan dan sampai ke Sungai Pendanau.
Propinsi Negeri Tebing Tinggi
• Hakim Polisi Negeri Tebing Tinggi bergelar Tengku
Temenggung Muda.
• Hakim Syari'ah bergelar Imam Negeri Tebing Tinggi.
• Batas-batas negeri: Sebesar-besar Pulau Rantau Tebing dan
sebesar-besar Pulau Rangsang, atau Medang atau Rangsang

Halaman 561 dari 883


dan pulau Tupang Dalam dan Pulau Tupang Luar dan Pulau
Menggung dan pulau kecil-kecil mana yang masuk dalam
kerajaan Siak Sri Indrapura yang dekat situ.
Propinsi Negeri Merbau
• Hakim Polisi Negeri Merbau bergelar Orang Kaya Setia
India.
• Hakim Syari'ah bergelar Imam Negeri Merbau.
• Batas-batas negeri: Sebesar-besar Pulau Merba dan Pulau
Padang dan pulau kecil-kecil mana yang masuk dalam
kerajaan Siak Sri Indrapura yang dekat situ.
Propinsi Negeri Bukit Batu
• Hakim Polisi Negeri Bukit Batu bergelar Datuk Laksmana.
• Hakim Syari'ah bergelar Imam Negeri Bukit Batu.
• Batas-batas negeri: Dari Tanjung Pematang Duku yakni
Tanjung Balai Dalam mengikuti Tanah Besar sampai ke
sungai dan sampai bertemu dengan watas Batin Delapan
Sakai dan sampai bertemu dengan watas Batin Lima Sakai
dan Pulau Rupat, Selat Murung dan Pulau Ketam dan Pulau
Payung dan Pulau Wampu dan Pulau Rampung dan pulau
kecil-kecil mana yang masuk dalam kerajaan Siak Sri
Indrapura yang dekat situ.
Propinsi Negeri Bangko
• Hakim Polisi Negeri Tebing Tinggi bergelar Datuk Dewa
Pahlawan.
• Hakim Syari'ah bergelar Imam Negeri Bangko.
Salah satu Imam Bangko yang dikenal bernama Imam Abdullah.[57]

Halaman 562 dari 883


• Batas-batas negeri: Dari Sungai Sinaboi mengikuti Tanah
Besar masuk ke Sungai Rokan sebelah kiri sampai ke sungai
Lang dan mengikut sebelah kanan mudik Sungai Rokan dari
Sungai Dua Perkaitan sampai ke Tanjung Segerak dan pulau
kecil-kecil mana yang masuk dalam kerajaan Siak Sri
Indrapura yang dekat situ.
Propinsi Negeri Tanah Putih
• Hakim Polisi Negeri Tanah Putih bergelar Datuk Setia
Maharaja.
• Hakim Syari'ah bergelar Imam Negeri Tanah Putih.
• Batas-batas negeri: Dari Tanjung Segerak mengikuti Sungai
Rokan sebelah kanan mudik lalu masuk ke Sungai Rokan
kiri sampai ke Pasir Rumput watasan dengan Kunto di Kota
Intan dan dari sungai Sarang Lang mengikuti Sungai Rokan
sebelah kiri mudik lalu masuk ke Batang Komo sampai ke
Muara Batang Buruk watasan dengan Tambusai dan lalu
masuk ke Sungai Rokan sampai ke Air Mendah watasan
negeri Kepenuhan dan lagi masuk ke sungai Rayung sampai
bertemu watasan Batin Delapan Sakai dan Pulau kecil-kecil
mana yang masuk dalam kerajaan Siak Sri Indrapura yang
dekat situ dan ditarik satu garis dari Tanjung Segerak terus
ke hulu sungai Dayun dan terus ke hulu sungai Sepengambat
dan terus ke hulu Sungai Mahna sehingga sungai Kuning
dan lalu menikam Batang Buruk dan Langkuas berwatas
dengan Tambusai.
Propinsi Negeri Kubu

Halaman 563 dari 883


• Hakim Polisi negeri Kubu bergelar Datuk Jaya Perkasa atau
Datuk Indra Setia.
• Hakim Syari'ah bergelar Imam Negeri Kubu.
• Batas-batas negeri: Dari sungai Dua Pekaitan mengikut
Tanah Besar lalu sampai ke Telaga Tergenang watasan
dengan Negeri Panai ke daratan sampai ke hulu watasan
dengan Negeri Kota Pinang dan Pulau Jemur dan Pulau
Tokang Sumbang dan Pulau Lalang Besar dan Pulau Lalang
Kecil dan Pulau kecil-kecil mana yang masuk dalam
kerajaan Siak Sri Indrapura yang dekat situ dan ditarik satu
garis dari Telaga Tergenang melalui Berubul menuju hulu
sungai Dayun yang di dalam Batang Komo watasan dengan
Tanah Poetih.
Propinsi Negeri Pekanbaru
• Hakim Polisi Negeri Pekanbaru bergelar Datuk Syahbandar.
• Hakim Syari'ah bergelar Imam Negeri Pekanbaru.
• Batas-batas negeri: Dari Sungai Lukut mengikut sebelah
kanan mudik Sungai Siak sampai Kuala Tapung Kanan dan
dari Sungai Pendanau sebelah kiri mudik Sungai Siak
sampai ke Kuala Tapung Kiri dan naik ke darat lalu ke
Teratak Buluh dan ketiga kampung yaitu Lubuk Siam Buluh
Cina dan Buluh Nipis sehingga sampai ke Tanjung Muara
Saka watasan dengan Pulau Lawan dan sampai ke
Permatang Mangkinang watasan Kampar Kiri di Negeri
Gunung Sahilan dan sampai ke Sungai Air Gemuruh
Tanjung Pancuran Batang watasan dengan Negeri Tambang

Halaman 564 dari 883


dan sebelah darat sampai berwatasan dengan Negeri Kampar
Kanan dan Lima Kota.
Propinsi Negeri Tapung Kiri
• Hakim Polisi Negeri Tapung Kiri bergelar Syarif Bendahara.
• Hakim Syari'ah bergelar Imam Negeri Petapahan.
• Batas-batas negeri: Dari Kuala Tapung Kiri mudik ke
hulunya sampai ke bukit Suliki watasan dengan Sri Paduka
Gubernemen Pesisir Barat dan lalu naik ke darat sampai
watasan dengan negeri Kampar Kanan dan Lima Kota dan
sampai watasan dengan Empat Kota Rokan Kanan dan
sampai watasan dengan negeri Tapung Kanan.
Propinsi Negeri Tapung Kanan
• Hakim Polisi Negeri Tapung Kanan bergelar Datuk
Bendahara Muda Sekijang.
• Hakim Syari'ah bergelar Imam Negeri Sekijang.
• Batas-batas negeri: Dari Kuala Tapung Kanan sampai ke
Bukit Suliki watasan dengan Sri Paduka Gubernemen Pesisir
Barat sampai watasan dengan Empat Kota Rokan Kanan dan
sampai watasan dengan negeri Kunto dan sampai watasan
dengan Batin Delapan Sakai dan sampai watasan dengan
negeri Tapung Kiri sampai watasan dengan Tanah Mandau
Batin Lima Sakai.
Daftar Sultan Siak Sri Inderapura.

No Tahun Nama Sultan Catatan dan peristiwa penting

Halaman 565 dari 883


Yang Dipertuan Besar
Siak Mengklaim tahta Johor
1 1723-1746
Sultan Abdul Jalil Mendirikan kesultanan Siak di Buantan
Rahmat Syah I[58]
Sultan Muhammad Abdul Putra dari no. 1
2 1746-1760 Jalil Muzaffar Syah Memindahkan pusat pemerintahan ke
Sultan Muhammad Mempura**
Sultan Ismail Abdul Jalil Putra dari no. 2
3 1760-1761 Jalaluddin Syah Dipaksa VOC turun tahta, kemudian berkelana
Sultan Ismail[16] selama 18 tahun*
Sultan Abdul Jalil Putra no. 1, saudara no. 2
4 1761-1766 Alamuddin Syah Merebut kekuasaan dari Sultan Ismail dengan
Sultan Alam/ Raja Alam bantuan Belanda
Memindahkan ibu kota ke Senapelan
Sultan Muhammad Ali Putra no. 4
5 1766-1779 Abdul Jalil Muazzam Johor telah menjadi bagian dari Siak Sri
Syah Inderapura
Sultan Muhammad Ali Mengizinkan pendirian Kerajaan Negeri
Sultan Abdul Jalil Kembali berkuasa untuk kedua kali setelah
1779-1781 Rahmat Syah II menggeser Muhammad Ali
Sultan Ismail
Putra no. 3
Pada tanggal 1 - 8 - 1782 membuat perjanjian
Sultan Yahya Abdul Jalil dengan VOC dalam berperang melawan
6 1781-1791 Muzaffar Syah Inggris
Sultan Yahya[59] Dikudeta oleh no. 7 kemudian menyingkir ke
Kampar kemudian Terengganu
Meninggal dunia tahun 1791 dan dimakamkan
di Tanjung Pati (Che Lijah, Dungun,
Putra dari Sayyid Osman al-Syaikh 'Ali Ba'
Sultan Assaidis Syarif Ali
Alawi, yang menikahi Tengku Embung, yang
7 1791-1811 Abdul Jalil Saifuddin
merupakan putri no. 4 (Sultan Alamuddin) dan
Sultan Sayyid Ali
saudari no. 5
Siak memeperluas daerah kekuasaanya hingga
Putra no. 7
Membuat perjanjian kerja sama dengan Inggris
tanggal 31 Agustus 1818.
Sultan Assaidis Syarif
Kemudian dengan Belanda tahun 1822
Ibrahim Abdul Jalil
8 1811-1827 Pengaruh dari Perjanjian London tahun 1824,
Khaliluddin
beberapa wilayah Siak lepas dan menjadi
Sultan Sayyid Ibrahim
bagian dari kolonialisasi antara Inggris dan
Belanda.
Johor lepas dari Siak, berada dalam
pengawasan Inggris.
Sultan Assaidis Syarif Cucu Sayyid Ahmad (adik no. 7)
Ismail Abdul Jalil Mangkubumi Sayyid al-Syarif Jalaluddin 'Ali
9 1827-1864 Ba' Alawi[60]
Jalaluddin
Sultan Sayyid Ismail Menerima perjanjian baru dengan Inggris
tahun 1840.

Halaman 566 dari 883


Sultan Assaidis Syarif Saudara no.9
Kasim I Abdul Jalil Pengangkatannya mesti disetujui oleh Ratu
10 1864-1889
Saifuddin Belanda, Belanda menempatkan controleur di
Sultan Syarif Kasim I Siak
Diperebutkan oleh Inggris dan Belanda dalam
Yang Dipertuan Besar Putra no. 10
11 1889-1908 Assaidis Syarif Hasyim Menerbitkan Bab Al-Qawa'id kitab undang-
Abdul Jalil Saifuddin[14] undang resmi negara
Sultan Syarif Hasyim Meresmikan Istana Siak Sri Inderapura
Yang Dipertuan Besar Putra no. 11
12 1915-1945 Assaidis Syarif Kasyim II Menyerahkan kerajaannya pada pemerintah
Abdul Jalil Saifuddin[61] Republik Indonesia
Sultan Syarif Kasim II

Warisan sejarah
Siak Sri Inderapura sampai sekarang tetap diabadikan
sebagai nama ibu kota dari Kabupaten Siak, dan Balai Kerapatan
Tinggi yang dibangun tahun 1886 serta Istana Siak Sri Inderapura
yang dibangun pada tahun 1889, masih tegak berdiri sebagai simbol
kejayaan masa silam, termasuk Tari Zapin Melayu dan Tari Olang-
olang yang pernah mendapat kehormatan menjadi pertunjukan
utama untuk ditampilkan pada setiap perayaan di Kesultanan Siak
Sri Inderapura.[50] Begitu juga nama Siak masih merujuk kepada
nama sebuah sungai di Provinsi Riau sekarang, yaitu Sungai Siak
yang bermuara di kawasan timur pulau Sumatra.[65]

Rujukan
1. ^ Supplement-catalogus Der Maleische en Minangkabausche Handschriften in de Leidsche
Universiteits - Bibliotheek, Brill Archive.
2. ^ The Edinburgh Gazetteer, Or Geographical Dictionary, A. Constable and Company,
1822.
3. ^ Lompat ke:
a b c Andaya, L.Y., (1972), Raja Kechil and the Minangkabau conquest of Johor in 1718,

JMBRAS, 45-2.
4. ^ Lompat ke:
a b Barnard, T. P., (2003), Multiple centres of authority: society and environment in Siak

and eastern Sumatra, 1674-1827, KITLV Press, ISBN 90-6718-219-2.

Halaman 567 dari 883


5. ^ Lompat ke:
a b c Cave, J., Nicholl, R., Thomas, P. L., Effendy, T., (1989), Syair Perang Siak: a court

poem presenting the state policy of a Minangkabau Malay royal family in exile, Malaysian
Branch of the Royal Asiatic Society
6. ^ Lompat ke:
a b c Samin, S. M., (2002), Sultan Syarif Kasim II: pahlawan nasional dari Riau, Yayasan

Pusaka Riau, ISBN 979-9339-65-0.


7. ^ As, M. S., (1996), Ulama pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya, Lentera
Basritama, ISBN 979-8880-16-1
8. ^ Lompat ke:
a b Jasmi, K., (2005), Surau: kumpulan cerpen, Penerbit Republika, ISBN 979-3210-49-4.

9. ^ Tod, James (1899). The annals and antiquities of Rajastʾhan: or the central and ...,
Volume 2. Indian Publication Society. hlm. 1010.
10. ^ Iaroslav Lebedynsky. (2006). Les Saces: Les «Scythes» d'Asie, VIIIe siècle av. J.-C. —
IVe siècle apr. J.-C. Editions Errance, Paris. ISBN 2-87772-337-2
11. ^ Suparlan P., (1995), Orang Sakai di Riau: masyarakat terasing dalam masyarakat
Indonesia: kajian mengenai perubahan dan kelestarian kebudayaan Sakai dalam proses
transformasi mereka ke dalam masyarakat Indonesia melalui Proyek Pemulihan
Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing, Departemen Sosial, Republik Indonesia,
Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-215-4.
12. ^ Lamry, M. S., Nor, H. M., (1993), Masyarakat dan Perubahan, Penerbit Universiti
Kebangsaan Malaysia, ISBN 967-942-249-6.
13. ^ http://www.jais.gov.my Iklan Jawatan Kosong Diarsipkan 2011-01-03 di Wayback
Machine.
14. ^ Lompat ke:
a b c d e Luthfi, A., (1991), Hukum dan perubahan struktur kekuasaan: pelaksanaan hukum

Islam dalam Kesultanan Melayu Siak, 1901-1942, Susqa Press.


15. ^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society,
2 vols.
16. ^ Lompat ke:
a b Barnard, T. P., (2004), Contesting Malayness: Malay identity across boundaries, NUS

Press, ISBN 9971-69-279-1.


17. ^ Coolhaas, W.P. (1964). "Generale Missiven der V.O.C.". Journal of Southeast Asian
History. 2 (7). doi:10.1017/S0217781100003318.
18. ^ NA, VOC 1895, Malacca, 30 Januari 1718, fols.55-6.
19. ^ Andaya, L.Y., (1971), The Kingdom of Johor, 1641-1728: a study of economic and
political developments in the Straits of Malacca. s.n.
20. ^ Samad, A. A., (1979), Sulalatus Salatin, Dewan Bahasa dan Pustaka.
21. ^ Borschberg, P., (2004), Iberians in the Singapore-Melaka Area and Adjacent Regions
(16th to 18th Century), Otto Harrassowitz Verlag, ISBN 3-447-05107-8.
22. ^ Ricklefs, M.C., (2002), A History of Modern Indonesia Since C. 1200, Stanford
University Press, ISBN 0-8047-4480-7.
23. ^ NA, VOC 1557, Jambi, 1 April 1694, fols.35-6.

Halaman 568 dari 883


24. ^ Lompat ke:
a b Andaya, L.Y., (1975), The Kingdom of Johor, 1641-1728, Kuala Lumpur: Oxford

University Press.
25. ^ Ryan, N.J., (1969), The making of modern Malaysia and Singapore: a history from
earliest times to 1966, Oxford University Press.
26. ^ Miller, F.P., Vandome, A.F., McBrewster, J., (2010), Johor Sultanate, VDM Verlag Dr.
Mueller e.K., ISBN 6133801638.
27. ^ Abshire, J., (2011), The History of Singapore, ABC-CLIO, ISBN 0-313-37742-1.
28. ^ Lompat ke:
a b c d Reid, A., (2005), Asal mula konflik Aceh: dari perebutan pantai Timur Sumatra

hingga akhir kerajaan Aceh abad ke-19, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-534-X.
29. ^ Lompat ke:
a b Barnard, T.P., Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay

Identity in theEighteenth Century, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 32, No. 3 (Oct.,
2001), pp. 331-342.
30. ^ Penelitian dan pengkajian naskah kuno daerah Jambi, Volume 2, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1989
31. ^ Cribb, R. B., Kahin, A., (2004), Historical dictionary of Indonesia, Scarecrow Press,
ISBN 0-8108-4935-6.
32. ^ Karl Hack, Tobias Rettig, (2006), Colonial armies in Southeast Asia, Routledge, ISBN
0-415-33413-6.
33. ^ Lee Kam Hing, (1986), The Shipping Lists of Dutch Melaka; A Source for the Study of
Coastal trade and Shipping in the Malay peninsula during the 17th and 18th centuries, in:
Mohd. Yusoff Hashim et al., Kapal dan Harta Karam; Ships and Sunken Treasure, pp.
53-76, Kuala Lumpur: Muzium Malaysia.
34. ^ The London general gazetteer, or Geographical dictionary: containing a description of
the various countries, kingdoms, states, cities, towns, &c. of the known world, W. Baynes
& Son, 1825.
35. ^ Ali Haji bin Raja Haji Ahmad, (1997), Tuhfat al-Nafis, Fajar Bakti.
36. ^ VOC 3470, Secret Letters from Malacca to Batavia for 1775, f. 339-34.
37. ^ History of the Royal Dutch, Vol. 1, Brill Archive.
38. ^ Cook, Bethune, (1819), Sir Thomas Stamford Raffles: Founder of Singapore, 1819 and
some of his friends and contemporaries, London: A.H. Stockwell.
39. ^ Trocki, C. A., (2007), Prince of Pirates: The Temenggongs and the Development of Johor
and Singapore, 1784-1885, NUS Press, ISBN 9971-69-376-3.

Halaman 569 dari 883


BAB 29
KESUNANAN SURAKARTA HADININGRAT
PEREKAT PULAU JAWA

Kesunanan Surakarta Hadiningrat


ꦑꦱꦸꦤ ꦫꦏꦂꦠꦲꦢꦶ ꦫꦠ꧀

‫ناڮاري كسنانن سوراكارتا هادنڠرت‬


Nagari Kasunanan Surakarta Hadiningrat

Wilayah Surakarta pada 1830 (warna merah tua)

Halaman 570 dari 883


ꦤꦶꦁ
ꦤ꧀ꦤ
ꦤ꧀ꦯꦸ
Sri Radya Laksana (Lambang Kerajaan)
Sedang berkuasa

Halaman 571 dari 883


Sri Susuhunan Pakubuwana XIII
sejak 10 September 2004

Kesunanan Surakarta Hadiningrat (Jawa: ꦟꦒꦫꦶ

ꦑꦱꦸꦤꦤ ꦫꦏꦂꦠꦲꦢꦶ ꦫꦠ꧀; Nagari Kasunanan Surakarta

Halaman 572 dari 883


ꦤꦶꦁ
ꦤ꧀ꦯꦸ
Hadiningrat, Pegon: ‫ )ﻧــﺎڮﺎري ﻛــﺴﻨﺎﻧــﻦ ﺳــﻮراﻛــﺎرﺗــﺎ ھــﺎدﻧڠﺮت‬adalah sebuah
kerajaan di Pulau Jawa bagian tengah yang berdiri pada tahun 1745.
Selanjutnya, sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti [2] yang
ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 antara VOC
(Vereenigde Oostindische Compagnie) dengan pihak-pihak yang
bersengketa di Kesultanan Mataram, disepakati bahwa wilayah
Mataram dibagi menjadi dua pemerintahan, yaitu Surakarta dan
Yogyakarta.[3]

Berlakunya Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Jatisari[4] sejak


tahun 1755 menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan
Kesunanan Surakarta, dengan rajanya Susuhunan Pakubuwana III;
sedangkan Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kesultanan
Yogyakarta, dengan rajanya Sultan Hamengkubuwana I. Keraton
dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata
kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun. Adanya
Perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757 turut memperkecil
wilayah Kesunanan, dengan diberikannya wilayah sebelah utara
keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Adipati
Mangkunegara I).[5]

Kesunanan Surakarta dianggap sebagai pengganti dan


penerus Kesultanan Mataram bersama dengan Kesultanan
Yogyakarta, karena raja-rajanya merupakan keturunan raja-raja
Mataram. Setiap raja Kesunanan Surakarta bergelar susuhunan atau
sunan, sedangkan raja Kesultanan Yogyakarta bergelar sultan.

Latar belakang

Halaman 573 dari 883


Kesultanan Mataram yang beribu kota di Plered, porak-
poranda akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677[6] ibu kotanya
oleh Susuhunan Amangkurat II lalu dipindahkan ke Kartasura.[7]
Pada masa Susuhunan Pakubuwana II memegang tampuk
pemerintahan, Keraton Kartasura mendapat serbuan dari
pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan
dari orang-orang Jawa anti VOC di tahun 1742. Peristiwa tersebut
merupakan bagian dari sebuah konflik panjang yang dikenal sebagai
Geger Pacinan. Kesultanan Mataram yang berpusat di Kartasura itu
akhirnya mengalami keruntuhan. Kota Kartasura kemudian berhasil
direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV, seorang
penguasa Bangkalan yang merupakan sekutu VOC, namun
keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwana II yang menyingkir ke
Ponorogo, akhirnya memutuskan untuk membangun istana baru di
Desa Sala sebagai ibu kota Kerajaan Mataram yang baru.

Pemindahan keraton dari Kartasura ke Sala : Alasan


pemindahan
Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur kemudian
dianggap "tercemar". Susuhunan Pakubuwana II lalu
memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa (bernama kecil Jaka
Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung
Arungbinang I), bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta
komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari
lokasi ibu kota dan keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah
keraton baru di lokasi yang berjarak sekitar 20 km ke arah tenggara
dari Kartasura, tepatnya di Desa Sala, sebuah desa yang terletak di

Halaman 574 dari 883


tepi Bengawan Solo (bahasa Jawa: Bengawan Sala). Untuk
pembangunan keraton ini, Pakubuwana II membeli tanah seharga
selaksa keping emas[8] yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa
Sala yang dikenal sebagai Ki Gedhe Sala. Di tengah pembangunan
keraton, Ki Gedhe Sala meninggal dan dimakamkan di area keraton.
[9][10]

Pemindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala dilakukan


dengan berbagai pertimbangan. Pertama, menurut ahli nujum Raden
Tumenggung Hanggawangsa, kerajaan itu menjadi baik, ramai,
makmur. Walaupun kekuasaan raja tidak seberapa luas, kekuasaan
itu dapat berlangsung lama. Kedua, Desa Sala terletak di dekat
tempuran, artinya tempat bertemunya dua sungai, yaitu Sungai Pepe
dan Bengawan Solo. Menurut mistik Jawa, tempuran mempunyai
arti magis dan tempat-tempat di dekatnya dianggap keramat. Ketiga,
letak Desa Sala dekat dengan Bengawan Solo, sebuah sungai
terbesar di Jawa yang sejak zaman dahulu mempunyai arti penting
sebagai penghubung antara Jawa Tengah dengan Jawa Timur.
Fungsi sebagai penghubung ini dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan, antara lain ekonomi, sosial, politik, dan militer.
Sampai abad ke-19, bepergian lewat sungai ternyata lebih aman
daripada melewati jalur darat.

Selanjutnya, yang keempat, karena Sala telah menjadi desa,


sehingga untuk mendirikan keraton tidak diperlukan tenaga untuk
pembabat hutan yang didatangkan dari tempat lain. Selain
Semanggi, di dekat Sala juga terdapat desa-desa penting yang telah
ada sejak zaman Kartasura, yaitu Baturana dan Gabudan. Keduanya

Halaman 575 dari 883


ditempati oleh abdidalem pembuat babud (permadani). Kelima,
supaya kebijakan VOC yang telah ditetapkan dapat dilaksanakan
dengan mudah, agar pusat kota Mataram yang baru itu mudah
dicapai dari Semarang dan harus dijaga sehingga pemerintah mudah
mengirim bala bantuannya karena Semarang dikenal sebagai jalan
masuk menuju Mataram. Keenam, orang Jawa percaya bahwa
keadaan tanah akan berpengaruh pada penghuni rumah kediaman
yang didirikan di atas tanah itu. Tanah di Desa Sala dianggap layak
sehingga dibangun keraton di wilayah ini.[11]

Proses pemindahan

Keraton Surakarta, istana dan pusat pemerintahan Kesunanan Surakarta, didirikan


oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II.

Atas kehendak Susuhunan Pakubuwana II, Tumenggung


Secayudha dan Kyai Ageng Derpayudha diperintahkan supaya
merencanakan serta menentukan urut-urutan perjalanan perpindahan
keraton dari Kartasura ke Surakarta.[11] Setelah upacara tradisional
selesai, pada hari Rabu Pahing tanggal 17 Sura/Muharam tahun Je

Halaman 576 dari 883


1670 Jawa Windu Sancaya atau tanggal 20 Februari 1745,
Susuhunan pindah dari Kartasura ke keraton yang baru.[9][12] Dalam
Babad Giyanti I, prosesi perpindahan Keraton Kartasura ke Keraton
Surakarta dituliskan bertepatan pada hari Rabu Pahing tanggal 17
Sura dengan candra sengkala Kumbuling Budaya Kapyarsi ing
Nala, Susuhunan berangkat dari Kartasura pindah ke Sala.[11]

Selanjutnya, oleh Pakubuwana II nama Desa Sala kemudian


diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Kata sura dalam bahasa
Jawa berarti "keberanian" dan karta berarti "makmur"[9] (versi lain
mengartikannya sebagai "penuh" atau "sempurna")[13]; dengan
harapan bahwa Surakarta menjadi tempat di mana penghuninya
adalah orang-orang yang selalu berani berjuang untuk kebaikan
serta kemakmuran negara dan bangsa.[9]

Perkembangan

Naskah Perjanjian Giyanti, yang membagi wilayah Mataram menjadi dua.

Halaman 577 dari 883


Pendopo Dalem Kepatihan Kesunanan Surakarta pada tahun 1890, merupakan rumah dinas sekaligus
kantor para patih (perdana menteri) dan lembaga kepatihan.

Kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibu


kota pemerintahan kemudian dihadapkan pada pemberontakan yang
besar karena Pangeran Mangkubumi, adik Susuhunan Pakubuwana
II, pada tahun 1746 meninggalkan keraton dan menggabungkan diri
dengan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa. Di tengah
ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit pada
tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan kedaulatan negerinya
kepada VOC, yang diwakili oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat
itu, VOC yang dianggap berhak melantik raja-raja Dinasti Mataram
baik Surakarta maupun Yogyakarta; setelah VOC bubar pada tahun
1799, kewenangan tersebut dilanjutkan oleh pemerintah Hindia
Belanda dan berakhir pada masa Pendudukan Jepang di tahun 1942.

Pakubuwana III

Halaman 578 dari 883


Pada awal tahun 1755, pihak VOC yang sudah mengalami
kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai
untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yang tidak
mau berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan
Raden Mas Said. Adanya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) dan
Perjanjian Jatisari (15 Februari 1755) yang ditandatangani oleh
Susuhunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi
mengakibatkan terbentuknya dua kerajaan baru yaitu Kesunanan
Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.[14] Pangeran Mangkubumi
sebagai raja di separuh wilayah Mataram mengambil gelar Sultan
Hamengkubuwana, sedangkan raja Kesunanan Surakarta
melestarikan gelar Susuhunan Pakubuwana. Seiring dengan
berjalannya waktu, negeri Mataram yang dipimpin oleh
Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan nama
Kesultanan Yogyakarta, sedangkan negeri Mataram yang dipimpin
oleh Pakubuwana terkenal dengan nama Kesunanan Surakarta.

Selanjutnya wilayah Kesunanan Surakarta semakin


berkurang karena Perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757,
menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran
miji alias pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus
Kadipaten yang secara tradisional masih berada di bawah
Kesunanan, yang disebut dengan nama Kadipaten Mangkunegaran.
Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara
I. Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi usai berakhirnya
Perang Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah

Halaman 579 dari 883


Mancanagara diberikan kepada Belanda sebagai ganti rugi atas
biaya peperangan.

Pakubuwana IV
Berbeda dengan Pakubuwana III yang agak patuh kepada
VOC, penerus takhta Kesunanan Surakarta berikutnya, yakni Sri
Susuhunan Pakubuwana IV (1788–1820) adalah sosok raja yang
membenci penjajah dan penuh cita-cita serta keberanian. Pada
November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden
pengepungan Keraton Surakarta oleh persekutuan VOC,
Hamengkubuwana I, dan Mangkunegara I. Pengepungan ini terjadi
karena Pakubuwana IV yang berpaham politik Islam dan dekat
dengan kaum santri menyingkirkan para pejabat istana yang tidak
sepaham dengannya. Para pejabat istana yang merasa disingkirkan
kemudian meminta bantuan VOC untuk menghadapi Pakubuwana
IV. VOC akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan
Mangkunegara I untuk menghadapi Pakubuwana IV. Pada bulan
November 1790 aliansi tersebut mengepung Keraton Surakarta.
Dari dalam istana sendiri, para pejabat senior yang tersisih ikut
menekan Pakubuwana IV agar menyingkirkan para penasehat
politik dan rohaninya. Pakubuwana IV akhirnya terpaksa mengalah
pada tanggal 26 November 1790 dengan menyerahkan para
penasehatnya yang terdiri dari para haji untuk dibuang VOC. Pada
era pemerintahan Pakubuwana IV inilah terjadi perundingan
bersama yang isinya menerangkan bahwa Kesunanan Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta, serta Kadipaten Mangkunegaran (yang
dalam hal ini adalah secara pemerintahan dan bukan secara adat),

Halaman 580 dari 883


memiliki kedudukan dan kedaulatan yang setara sehingga tidak
boleh saling menyerang.

Pakubuwana V dan Pakubuwana VI

Sri Susuhunan Pakubuwana VI, raja Kesunanan Surakarta tahun 1823–1830, salah seorang Pahlawan
Nasional Indonesia.

Pengganti Pakubuwana IV adalah Sri Susuhunan


Pakubuwana V, yang oleh masyarakat saat itu dijuluki sebagai
Sunan Ngabehi, karena baginda yang sangat kaya, baik kaya harta
maupun kesaktian. Setelah wafat, pengganti Pakubuwana V adalah
Sri Susuhunan Pakubuwana VI. Pakubuwana VI adalah pendukung
perjuangan Pangeran Diponegoro, yang memberontak terhadap
Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun
1825. Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi
pertemuan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro
menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI
dikisahkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan
Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran

Halaman 581 dari 883


Diponegoro secara diam-diam. Dalam perang melawan Pangeran
Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping
memberikan bantuan dan dukungan, ia juga mengirim pasukan
untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita
mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan
sandiwara tersebut. Setelah menangkap Pangeran Diponegoro,
Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana VI dan membuangnya
ke Ambon pada tanggal 8 Juni 1830[15] dengan alasan bahwa Mas
Pajangswara sudah membocorkan semuanya, dan kini ia hidup
nyaman di Batavia.

Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat


buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu
Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu
Ranggawarsita. Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam
kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta
Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang
bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VII.

Pakubuwana VII

R. Ng. Ranggawarsita, seorang sastrawan dan budayawan masyhur yang menjadi pujangga Kesunanan
Surakarta pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana VII hingga Sri Susuhunan
Pakubuwana IX.

Halaman 582 dari 883


Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir. Masa
pemerintahan Pakubuwana VII relatif damai apabila dibandingkan
masa raja-raja sebelumya. Keadaan yang damai itu mendorong
tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran di lingkungan
keraton. Masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai
puncak kejayaan Sastra Jawa di Kesunanan Surakarta dengan
pujangga besar Ranggawarsita sebagai pelopornya.
Pemerintahannya berakhir saat wafatnya, dan karena tidak memiliki
putra mahkota maka Pakubuwana VII digantikan oleh kakaknya
(lain ibu) bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VIII yang naik takhta
pada usia 69 tahun.

Pakubuwana VIII dan Pakubuwana IX


Pemerintahan Pakubuwana VIII berjalan selama tiga tahun
hingga akhir hayatnya. Pakubuwana VIII digantikan putra
Pakubuwana VI sebagai raja Surakarta selanjutnya, yang bergelar
Sri Susuhunan Pakubuwana IX. Hubungan antara Pakubuwana IX
dengan Ranggawarsita sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak
Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita yang
menjabat sebagai juru tulis keraton) telah membocorkan rahasia
persekutuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro.
Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke Ambon. Hal ini
membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara,
padahal juru tulis tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena
disiksa dalam penjara oleh Belanda. Ranggawarsita sendiri berusaha
memperbaiki hubungannya dengan raja melalui persembahan

Halaman 583 dari 883


naskah Serat Cemporet. Pemerintahan Pakubuwana IX berakhir saat
kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Ia digantikan putranya
sebagai raja Surakarta selanjutnya, bergelar Sri Susuhunan
Pakubuwana X.

Pakubuwana X

Sri Susuhunan Pakubuwana X, raja terbesar Kesunanan Surakarta dan salah seorang Pahlawan
Nasional Indonesia, bersama permaisuri GKR. Hemas dan putri, GKR. Pembayun.

Halaman 584 dari 883


Masa pemerintahan Pakubuwana X ditandai dengan
kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada
masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kesunanan Surakarta
mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern,
sejalan dengan perubahan politik di Hindia Belanda. Meskipun
berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda,
Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi dan
penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat
Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di
Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938)
diadakan pada masa pemerintahannya.

Infrastruktur modern Kesunanan Surakarta banyak dibangun


pada masa pemerintahan Pakubuwana X, seperti bangunan Pasar
Gedhe Harjanagara, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota
(Sangkrah), Stadion Sriwedari, Taman Sriwedari, Taman Satwataru
Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota,
gapura-gapura di batas Kota Surakarta, Griya Wangkung (rumah
singgah bagi tunawisma), rumah pemotongan hewan ternak di
Jagalan, rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga
Tionghoa, saluran air bersih dan irigasi di kabupaten-kabupaten,
serta berbagai infrastruktur serta fasilitas publik lainnya.
Pakubuwana X meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939.
Sejak di masa keemasan pemerintahannya sampai ia wafat,
Pakubuwana X dikenal sebagai Sinuhun Ingkang Minulya saha
Ingkang Wicaksana atau raja yang mulia dan bijaksana.

Halaman 585 dari 883


Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar
Sri Susuhunan Pakubuwana XI.

Pakubuwana XI
Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu
bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia II. Ia juga mengalami
pergantian pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada
Jepang sejak tahun 1942. Pihak pemerintah Pendudukan Jepang
menyebut Kesunanan Surakarta dengan nama Solo-Kōchi/Kōti, dan
Pakubuwana XI diakui serta diberi kedudukan sebagai Solo-Kō. Ia
kemudian digantikan oleh putra termudanya yang bergelar Sri
Susuhunan Pakubuwana XII.

Masa perjuangan kemerdekaan


Pakubuwana XII

Sri Susuhunan Pakubuwana XII menerima kunjungan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Mohammad Hatta beserta para pejabat pemerintah Republik Indonesia di Keraton Surakarta, tahun
1946.

Halaman 586 dari 883


Plakat marmer Piagam Maklumat Keistimewaan Negeri Surakarta oleh Sri Susuhunan Pakubuwana
XII, dipajang di Museum Keraton Surakarta.

Halaman 587 dari 883


Awal pemerintahan Pakubuwana XII hampir bersamaan
dengan lahirnya Republik Indonesia. Di awal masa kemerdekaan
(1945–1946), Kesunanan Surakarta (dan Kadipaten
Mangkunegaran) sempat menjadi daerah istimewa, yaitu Daerah
Istimewa Surakarta (DIS). Akan tetapi, karena kerusuhan dan agitasi
politik saat itu, maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah
Indonesia statusnya diubah menjadi Keresidenan, menyatu dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.[16] Penetapan status
Istimewa ini dilakukan Presiden Sukarno sebagai balas jasa atas
pengakuan raja-raja Kesunanan Surakarta dan Kadipaten
Mangkunegaran yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian
dari Republik Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1945.

Kemudian pada tanggal 1 September 1945, Kesunanan


Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran mengirimkan maklumat
kepada Presiden Sukarno perihal pernyataan dari Susuhunan
Pakubuwana XII dan Adipati Mangkunegara VIII yang menyatakan
bahwasanya Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan
adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia, di mana
hubungan antara Negeri Surakarta dengan Pemerintah Pusat Negara
Republik Indonesia bersifat langsung. Atas dasar semua itulah,
maka Presiden Sukarno memberikan pengakuan resmi kepada
Susuhunan Pakubuwana XII dan Adipati Mangkunegara VIII
dengan diberikannya piagam kedudukan resmi, masing-masing
sebagai kepala daerah istimewa.[18]

Sebagaimana diketahui, barulah sekitar empat hari


setelahnya, yaitu pada tanggal 5 September 1945, Kesultanan

Halaman 588 dari 883


Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman mengeluarkan maklumat
serupa, yang menjadi dasar dari pembentukan dari Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.

Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia


berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan
Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta
karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Kemudian, pada Oktober
1945, muncul gerakan anti swapraja/anti monarki/anti feodal di
Surakarta, di mana salah seorang pimpinannya adalah Tan Malaka,
pimpinan Partai Murba dan Persatuan Perjuangan.[19] Barisan
Banteng juga berhasil menguasai Surakarta, sedangkan pemerintah
Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jenderal
Sudirman. Bahkan, Jenderal Sudirman juga berhasil mendesak
pemerintah untuk mencabut status Daerah Istimewa Surakarta.
Tujuan gerakan ini adalah penghapusan DIS serta penurunan status
kedudukan Susuhunan dan Mangkunegara, termasuk perampasan
tanah-tanah pertanian milik pemerintah Kesunanan Surakarta dan
Kadipaten Mangkunegaran untuk dibagi-bagikan sesuai dengan
kegiatan landreform oleh golongan sosialis-komunis.

Tanggal 17 Oktober 1945, pepatihdalem (perdana menteri)


Kesunanan yang juga seorang mantan anggota BPUPKI, KRMH.
Sasradiningrat V, diculik oleh gerombolan anti swapraja (ia
kemudian berhasil bebas dan wafat pada tahun 1967).[20] Aksi ini
diikuti pencopotan bupati-bupati yang umumnya kerabat raja dan
diganti orang-orang yang pro gerakan anti swapraja. Bulan Maret
1946, pepatihdalem yang baru, KRMT. Yudhanagara, juga diculik.

Halaman 589 dari 883


Dan pada bulan April 1946, sembilan pejabat Kepatihan mengalami
hal yang sama.[21]

Karena banyaknya kerusuhan, penculikan dan pembunuhan,


untuk sementara waktu pemerintah Republik Indonesia
membekukan status DIS dan menurunkan kekuasaan raja-raja
Kesunanan dan Mangkunegaran serta daerah Surakarta yang bersifat
istimewa sebagai keresidenan sebelum bentuk dan susunannya
ditetapkan undang-undang. Status Susuhunan Surakarta dan Adipati
Mangkunegaran menjadi pemangku adat dan simbol pemersatu di
tengah masyarakat Jawa dan warga negara Republik Indonesia, serta
Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran kemudian lebih
berfungsi sebagai pusat pelestarian dan pengembangan budaya
Jawa.

Era Indonesia : Setelah pembekuan Daerah Istimewa Surakarta

Sri Susuhunan Pakubuwana XII menjenguk tentara yang terluka di tahun 1949.

Halaman 590 dari 883


Kedatangan Sri Susuhunan Pakubuwana XII, Adipati Mangkunegara VIII dan Perdana Menteri
Mohammad Hatta di Belanda dalam rangka mengikuti Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949.

Kenyataannya, selama masa Revolusi Nasional,


Pakubuwana XII tetap memihak pemerintah Republik Indonesia. Ia
bahkan memperoleh pangkat militer letnan jenderal tituler, dan pada
tahun 1945–1948 beberapa kali turut mendampingi Presiden
Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengunjungi
berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, baik dalam rangka
konsolidasi pemerintahan maupun meninjau garis depan
pertempuran.[24] Sebelum dan hingga peristiwa Serangan Umum
Surakarta pada 7–10 Agustus 1948, Pakubuwana XII juga
mengizinkan sepasukan TNI di bawah pimpinan Letkol. Slamet
Riyadi untuk menggunakan Pesanggrahan Pracimaharja di Boyolali
sebagai markas, sebelum akhirnya pesanggrahan peninggalan
Pakubuwana VI tersebut dibakar untuk membendung manuver

Halaman 591 dari 883


tentara Belanda yang hendak menduduki wilayah Surakarta.[24]
Selain itu, Pakubuwana XII juga menjadi salah satu anggota
delegasi yang diberi kedudukan setingkat menteri negara dalam
rombongan delegasi Republik Indonesia pimpinan Mohammad
Hatta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dari tanggal 23
Agustus hingga 2 November 1949.[25] Pada 17 Desember 1949, staf
urusan sipil Komando Tentara dan Teritorial Kota Surakarta,
mewakili pemerintah Republik Indonesia, bahkan memberikan surat
tanda penghargaan dan terima kasih kepada Jawatan Pusat Karti
Praja, sebuah badan pekerjaan umum yang dibentuk Pakubuwana
XII dalam rangka membuka lapangan kerja bagi masyarakat karena
telah ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara Republik
Indonesia selama Agresi Militer Belanda II.[21][24] Meski demikian,
kedudukan Daerah Istimewa Surakarta saat itu tetap belum dapat
dipertahankan, karena ketidakstabilan politik dan pemerintahan di
Surakarta yang berlangsung berlarut-larut sejak tahun 1945 sampai
1949.

Meskipun gagal secara politik, namun Pakubuwana XII tetap


menjadi figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada zaman reformasi,
para tokoh nasional, misalnya Presiden Abdurrahman Wahid, tetap
menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa.[26]
Pakubuwana XII wafat pada tanggal 11 Juni 2004, dan masa
pemerintahannya merupakan yang paling lama di antara para raja-
raja Kesunanan terdahulu, yaitu sejak tahun 1945 hingga 2004.

Pakubuwana XIII

Halaman 592 dari 883


Sri Susuhunan Pakubuwana XIII dan KGPH. Panembahan Agung Tejawulan bersama keluarga serta
beberapa pejabat penting, termasuk F.X. Hadi Rudyatmo (wali kota Surakarta), Ganjar Pranowo
(Gubernur Jawa Tengah), Subagyo Hadi Siswoyo (anggota Dewan Pertimbangan Presiden), dan
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam Upacara Tingalandalem Jumenengan ke-13 tahun 2017.

Sepeninggal Susuhunan Pakubuwana XII, sempat terjadi


perebutan takhta antara KGPH. Hangabehi dangan KGPH.
Tejawulan, yang masing-masing menyatakan diri sebagai
Pakubuwana XIII; keduanya mengklaim sebagai pemangku takhta
yang sah, dan masing-masing menyelenggarakan acara pemakaman
ayahnya secara terpisah. Akan tetapi, konsensus keluarga telah
mengakui bahwa Hangabehi yang diberi gelar Sri Susuhunan
Pakubuwana XIII.

Pada tahun 2012, konflik Raja Kembar telah usai setelah


Pangeran Tejawulan melepaskan klaim takhta dan gelar
Pakubuwana kepada kakaknya, yakni Pangeran Hangabehi, dalam
sebuah rekonsiliasi resmi yang diprakarsai oleh Pemerintah Kota
Surakarta bersama DPR-RI, dan Pangeran Tejawulan sendiri

Halaman 593 dari 883


dilantik menjadi mahamenteri dengan gelar KGPHPA (Kangjeng
Gusti Pangeran Harya Panembahan Agung).[27]

Rekonsiliasi damai antara Pakubuwana XIII dan Tejawulan


awalnya sempat ditentang oleh Lembaga Dewan Adat (LDA)
Keraton Surakarta yang dipimpin oleh GKR. Wandansari.[28] Sejak
tahun 2013, Pakubuwana XIII bahkan tidak dapat memasuki
kawasan inti Keraton Surakarta dan memimpin beberapa upacara
adat karena adanya penutupan beberapa akses dari kediaman
Susuhunan menuju kawasan inti keraton.[29] Setelah TNI dan
Kepolisian turun tangan serta adanya mediasi antara pihak
Pakubuwana XIII dan Lembaga Dewan Adat,[30][31] pada bulan April
2017 Pakubuwana XIII bisa kembali masuk ke dalam keraton dan
menyelenggarakan upacara peringatan kenaikan takhta
(tingalandalem jumenengan) yang dihadiri oleh keluarga,
abdidalem, perwakilan masyarakat, dan beberapa pejabat tinggi
pemerintahan.[32]

Penyelesaian konflik antara Susuhunan Pakubuwana XIII


dengan GKR. Wandansari dan Lembaga Dewan Adat akhirnya
terjadi pada tanggal 3 Januari 2023, usai kedua pihak berhasil
dipertemukan dan dimediasi oleh KRAy. Herniatie Sriana Munasari
(cucu dari R.P. Suroso, mantan gubernur Jawa Tengah sekaligus
komisaris tinggi pemerintah pusat untuk Daerah Istimewa
Surakarta) dan Polresta Surakarta.[33][34][35] Menindaklanjuti
rekonsiliasi tersebut, wali kota Surakarta mengundang Susuhunan
Pakubuwana XIII dan GKR. Wandansari bersama beberapa kerabat
keraton di Loji Gandrung (rumah dinas wali kota Surakarta), pada

Halaman 594 dari 883


tanggal 4 Januari 2023.[36] Pada pertemuan tersebut, GKR.
Wandansari menyatakan bahwa ia telah bersatu dengan Susuhunan
Pakubuwana XIII dan siap bersama-sama melestarikan kebudayaan
serta adat istiadat keraton.[37]

Wilayah kekuasaan : Pada awal berdirinya

Pembagian wilayah Mancanagara Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta (termasuk


wilayah Kadipaten Mangkunegaran) pada tahun 1757.

Kompleks Candi Prambanan sekitar tahun 1900-1938. Percandian tersebut berada tepat di perbatasan
wilayah Kesunanan Surakarta (Kabupaten Klaten) dan Kesultanan Yogyakarta (Kabupaten Sleman).

Halaman 595 dari 883


Seperti di masa Kesultanan Mataram, pada awal berdirinya
(semasa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana II dan Susuhunan
Pakubuwana III) wilayah Kesunanan Surakarta dibagi menjadi
daerah Kuthagara atau Kuthanagara, Nagara Agung,
Mancanagara, dan Pasisiran.[38] Daerah Kuthagara adalah ibu kota
dan pusat pemerintahan kerajaan, yang juga menjadi tempat tinggal
raja beserta keluarganya termasuk para pejabat dan pegawai
pemerintahan. Daerah Kuthagara juga sering disebut sebagai Siti
Narawita, yang secara harfiah berarti daerah tempat orang-orang
mengabdi. Daerah Nagara Agung adalah wilayah yang berada di
sekitar Kuthagara, yang merupakan daerah apanase atau tanah
lungguh dari para keluarga raja dan abdidalem, termasuk pula
daerah Siti Narawita milik raja. Sedangkan daerah Mancanagara
dan Pasisiran merupakan wilayah di luar kawasan Nagara Agung;
di daerah ini tidak terdapat tanah lungguh, namun pada saat
perayaan grebeg dan tiap-tiap waktu tertentu harus menyerahkan
pajak ke keraton. Secara keseluruhan, wilayah Kesunanan Surakarta
ketika itu memiliki luas 352.382 karya.[38]

• Kuthagara Surakarta, meliputi:[38] (1) Keraton Surakarta


(2) Daerah sekitar keraton, yaitu area bagian dalam tembok
benteng Baluwarti serta kawasan sekitar Tugu Pamandengan
dan Gapura Gladag di sebelah utara hingga Gapura Gading
di sebelah selatan (termasuk dua alun-alun dan Masjid
Agung Surakarta)

Halaman 596 dari 883


• Nagara Agung, meliputi:[38] (1) Daerah Panumping (daerah
Sukowati)
(2) Daerah Panekar (daerah Pajang)
(3) Daerah Siti Ageng Tengen (daerah di sisi kanan Jalan
Besar Pajang-Demak)
(4) Daerah Siti Ageng Kiwa (daerah di sisi kiri Jalan Besar
Pajang-Demak)
(5) Daerah Bumi (daerah Kedu di bagian barat Sungai
Progo)
(6) Daerah Bumija (daerah Kedu di bagian timur Sungai
Progo)
(7) Daerah Sewu (daerah Bagelen dan Cilacap)
(8) Daerah Numbak Anyar (daerah di antara Sungai
Bogowonto dan Sungai Progo)
• Mancanagara, meliputi:[38] (1) Daerah Mancanagara Kulon,
terdiri dari daerah Banyumas, Bantar (Brebes), Lebaksiu dan
Balapulang (Tegal), Kalibeber (Wonosobo), Karanganyar
dan Karangbolong (Kebumen), Merden (Banjarnegara),
Bobotsari dan Kertanegara (Purbalingga)
(2) Daerah Mancanagara Wetan, terdiri dari daerah
Magetan, Jogorogo (Ngawi), Madiun, Caruban, Ponorogo,
Kaduwang (Wonogiri), Pacitan, Tulungagung, Kediri, Pace
dan Berbek (Nganjuk), Wirasaba (Jombang), serta Japan
(Mojokerto)
• Pasisiran, meliputi:[38] (1) Daerah Pasisiran Kulon, terdiri
dari daerah pesisir Brebes dan Tegal, serta daerah Pemalang,

Halaman 597 dari 883


Pekalongan, Batang, Kendal, dan Kaliwungu
(2) Daerah Pasisiran Wetan, terdiri dari daerah Demak,
Jepara, Kudus, Pati (termasuk daerah Cengkal dan Juwana),
Rembang, Lasem, Tuban, Lamongan, Sidayu, Gresik,
Surabaya, Bangil, Pasuruan, Blambangan (Banyuwangi),
dan Pulau Madura
Perkembangan selanjutnya

Peta Karesidenan Surakarta yang terdiri dari gabungan dari wilayah Kesunanan Surakarta dan
Kadipaten Mangkunegaran (tanpa daerah enklave), pada tahun 1920.

Wilayah kekuasaan Kesunanan Surakarta selanjutnya


semakin berkurang pada masa pemerintahan raja-raja berikutnya,
termasuk setelah adanya Perjanjian Giyanti tahun 1755 dan
Perjanjian Salatiga tahun 1757, yang mengakibatkan Kesunanan

Halaman 598 dari 883


Surakarta harus menyerahkan beberapa wilayah kekuasaannya
kepada Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegaran,
serta menyerahkan wilayah Pasisiran kepada VOC. Usai Perang
Jawa pada tahun 1830, seluruh wilayah Mancanagara dirampas
oleh pemerintah Hindia Belanda, menyisakan wilayah Nagara
Agung dan Kuthagara.[38] Wilayah yang tersisa tersebut, kemudian
dibagi lagi menjadi beberapa kabupaten dan kawedanan.

Pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana X,


wilayah Kesunanan Surakarta meliputi kota Surakarta, Kabupaten
Sukoharjo (Kabupaten Kutha Surakarta), Kabupaten Klaten,
Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen, serta beberapa enklave
(daerah kantong) yang tersebar di berbagai wilayah, termasuk di
dalam wilayah Yogyakarta (Kotagede dan Imogiri). Untuk daerah
bagian utara kota Surakarta serta Kabupaten Karanganyar
(Kabupaten Kutha Mangkunegaran) dan Kabupaten Wonogiri
(termasuk enklave Ngawen dan Semin) diperintah oleh Kadipaten
Mangkunegaran. Wilayah dan pembagian administratif tersebut
tidak banyak mengalami perubahan hingga masa Pendudukan
Jepang dan era pemerintahan Republik Indonesia.[19] Setelahnya, di
masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana XII wilayah
Kesunanan Surakarta mendapat kedudukan sebagai sebuah daerah
istimewa dan menjadi Daerah Istimewa Surakarta, yang bertahan
selama beberapa bulan pada tahun 1945–1946. Usai pembekuan
Daerah Istimewa Surakarta dan sejak dibentuknya Karesidenan
Surakarta hingga penggabungan karesidenan tersebut ke dalam
Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1950, saat ini wilayah Kesunanan

Halaman 599 dari 883


Surakarta secara administratif telah menyatu dengan Provinsi Jawa
Tengah.

Daftar Susuhunan (Sunan) Surakarta


Berikut adalah daftar raja-raja Kesunanan Surakarta:

Awal Akhir
Nama Jangka Hidup Meme Meme Keluarga Gambar
rintah rintah
• Amangkurat
Pakubuwana II
18 Desember IV, ayah
atau Sunan
1711 – 20 • Ratu
Kumbul atau 1745 1749
Desember 1749 Amangkurat
Raden Mas
(umur 38) (GKR.
Prabasuyasa
Kencana), ibu
• Pakubuwana II,
Pakubuwana III 17 Februari 1732 ayah
atau Raden Mas – 26 September 1749 1788
Suryadi 1788 (umur 56) • GKR. Hemas,
ibu

Pakubuwana IV
2 September • Pakubuwana
atau Sunan
1768 – 2 III, ayah
Bagus, Sinuhun 1788 1820
Oktober 1820 • GKR.
Wali atau Raden
(umur 52) Kencana, ibu
Mas Subadya

Pakubuwana V 3 Desember • Pakubuwana


atau Sunan 1784 – 5 IV, ayah
Sugih, Sinuhun 1820 1823
September 1823 • KRAy.
Ngabehi atau (umur 39) Handaya, ibu
Raden Sugandi

Pakubuwana VI • Pakubuwana V,
atau Sinuhun 26 April 1807 – ayah
Bangun Tapa 2 Juni 1849 1823 1830 • KRAy.
atau Raden Mas (umur 42) Sasrakusuma,
Sapardan ibu

Halaman 600 dari 883


• Pakubuwana
Pakubuwana VII 8 Juli 1796 – 10 IV, ayah
atau Raden Mas Mei 1858 (umur 1830 1858 • GKR.
Malikis Solikin 61) Kencanawungu
, ibu

• Pakubuwana
Pakubuwana 20 April 1789 – IV, ayah
VIII atau Raden 28 Desember 1858 1861
Mas Kuseini 1861 (umur 72) • KRAy.
Rantansari, ibu

Pakubuwana IX
atau Sinuhun • Pakubuwana
22 Desember
Bangun VI, ayah
1830 – 16 Maret 1861 1893
Kedhaton atau • GKR. Ageng,
1893 (umur 62)
Raden Mas ibu
Duksina

Pakubuwana X
atau Sinuhun • Pakubuwana
Ingkang IX, ayah
29 November
Minulya saha • KRAy.
1866 – 20
Ingkang 1893 1939 Kustiyah
Februari 1939
Wicaksana atau (GKR.
(umur 72)
Raden Mas Pakubuwana),
Sayyidin ibu
Malikul Kusna

• Pakubuwana X,
Pakubawana XI 1 Februari 1886 ayah
atau Raden Mas – 1 Juni 1945 1939 1945 • KRAy.
Ontoseno (umur 59) Mandayaretna,
ibu

Halaman 601 dari 883


• Pakubuwana
Pakubawana XII XI, ayah
atau Sinuhun 14 April 1925 – • KRAy.
Hamardika atau 11 Juni 2004 1945 2004 Kuspariyah
Raden Mas (umur 79) (GKR.
Suryo Guritno Pakubuwana),
ibu

• Pakubuwana
Pakubawana
masih XII, ayah
XIII atau Raden 28 Juni 1948
2004 menja • KRAy.
Mas Suryo (umur 74)
bat Pradapaningru
Partono
m, ibu

Galeri

Sri Susuhunan Pakubuwana X bersama Raja Rama V dari Siam (sekarang Thailand) di Keraton
Surakarta, tahun 1901.

Halaman 602 dari 883


Sri Susuhunan Pakubuwana X bersama para pejabat dan keluarga keraton saat meresmikan Pasar
Gedhe Harjanagara, Surakarta, tahun 1929.

Sri Susuhunan Pakubuwana XI dan Adipati Mangkunegara VII menghadiri acara peresmian sebuah
HBS di Surakarta, tahun 1940.

Halaman 603 dari 883


Para tamu agung pada perhelatan ke-4 Pisowanan Ageng Tingalandalem Jumenengan Sri
Susuhunan Pakubuwana XIII, tahun 2008.

Suasana Grebeg Mulud di Keraton Surakarta dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi
Muhammad, tahun 2015.
Referensi
1. ^ Ldr. Sri Katon Pl. Br. - Gamelan Kraton Kasunanan Surakarta
2. ^ Prasadana, Muhammad Anggie Farizqi; Gunawan, Hendri (2019-06-17).
"KERUNTUHAN BIROKRASI TRADISIONAL DI KASUNANAN SURAKARTA".
Handep: Jurnal Sejarah dan Budaya. 2 (2): 187–200. doi:10.33652/handep.v2i2.36.
ISSN 2684-7256.
3. ^ "Perjanjian Giyanti Membelah Mataram".

Halaman 604 dari 883


4. ^ KERATON SOLO Temukan Situs Perjanjian Jatisari, Bukti Keraton Solo Bukan Antek
Belanda
5. ^ Eko Punto Hendro. "Strategi Kebudayaan Perjuangan Pahlawan Nasional Pangeran
Sambernyowo" (PDF). Endogami:Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi: 42–54.
6. ^ "Trunojoyo Melawan Mataram dan Dihukum Mati".
7. ^ Siswanta (2019). "Sejarah Perkembangan Mataram Islam Kraton Plered" (PDF).
Karmawibangga:Historical Studies Journal. 1: 33–42.
8. ^ Resume Singkat Blusukan Ndalem Pangeran Diarsipkan 2015-01-05 di Wayback
Machine.. Blusukan Solo. Diakses 5 Januari 2015.
9. ^ Lompat ke:
a b c d "Kompleks Bangunan Keraton Surakarta".

10. ^ KGPH. Puger: Kyai Sala dan Ki Gede Sala adalah Dua Tokoh Berbeda Youtube.com
11. ^ Lompat ke:
a b c Sarmino, Husain Haikal (2001). "Segi Kultural relijius Perpindahan Keraton Kartasura

ke Surakarta". Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan. Program Pasca Sarjana,


Universitas Negeri Yogyakarta. 3 (4): 115-116. ISSN 2685-7111.
12. ^ "Hari Jadi Kota Solo Disebut Bukan 17 Februari 1745, Kok Bisa?". Solopos.com
13. ^ "Situs Resmi DPRD Kota Surakarta: Selayang Pandang Kota Surakarta".
14. ^ Perjanjian Jatisari 15 Februari 1755, Awal Mula Beda Budaya Surakarta dan Yogyakarta
Kompas.com
15. ^ "Peran Ganda Raja Surakarta Berujung Petaka".
16. ^ "Seperti Surakarta, Status Daerah Istimewa Dapat Dicabut". Tempo.co.[pranala nonaktif
permanen]

17. ^ Selanjutnya pada tanggal 19 Agustus 1945 di dalam rapat PPKI diputuskan bahwa
wilayah Republik Indonesia dibagi atas sembilan provinsi dan dua daerah istimewa, yaitu
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Daerah Istimewa Surakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pendapat tersebut
bertentangan dengan Putusan PPKI sebagaimana terdapat dalam buku Risalah Sidang
BPUPKI dan PPKI yang diterbitkan oleh sekretariat negara baik edisi II (1993) maupun III
(1995)
18. ^ sebagai Kepala Daerah Istimewa Surakarta yang setingkat jabatan Gubernur dengan
posisi berada langsung di bawah Pemerintah Pusat. Pendapat tersebut bertentangan
dengan UU 22/1948 mengenai pemerintahan daerah dan fakta-fakta sejarah di mana R.P.
Suroso ditempatkan sebagai Komisaris Tinggi Indonesia untuk Kesunanan dan
Mangkunegaran. Lihat buku A.H. Nasution Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia dan
Sudarisman Purwokusumo Daerah Istimewa Yogyakarta
19. ^ Lompat ke:
a b c Ranika Rosiana, Belda (2013). "Terbentuknya Birokrasi Modern di Surakarta tahun

1945-1950" (PDF). Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa,
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
20. ^ Silakan lihat buku: Julinar Said, M.P.B. Manus, P. Suryo Haryomo, Sumardi, dkk. (1997)
Tokoh-Tokoh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta:

Halaman 605 dari 883


Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah
Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
21. ^ Lompat ke:
a b Daerah Istimewa Surakarta - Tuduhan Pro Belanda dan Kesetiaannya kepada Republik

Indonesia
22. ^ Putri Musaparsih, Cahya (2005). "Strategi Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta
(KNIDS) dalam mengambil alih Swapraja, 1945-1946" (PDF). Skripsi. Jurusan Ilmu
Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
23. ^ Silakan lihat buku: Nasution, Abdul Haris. (1996) Sekitar Perang Kemerdekaan
Indonesia: perang gerilya semesta ii. Jilid 10 Cet 8. Bandung: Disjarah Angkatan Darat
dan Penerbit Angkasa; dan Soedarisman Poerwokoesoemo. (1984) Daerah Istimewa
Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
24. ^ Lompat ke:
a b c Silakan lihat buku: Bram Setiadi, D.S. Trihandayani, Qomarul Hadi (2001) Raja di

Alam Republik: Keraton Kesunanan Surakarta dan Paku Buwono XII. Jakarta: Bina Rena
Pariwara.
25. ^ I Gede Putu Wiranegara: PAKU BUWONO XII - Berjuang Untuk Sebuah Eksistensi
26. ^ Abdurrahman Wahid: Keraton dan Perjalanan Budayanya. Diarsipkan 2020-07-14 di
Wayback Machine. Dari situs Santri Gus Dur - Komunitas Pemikiran Gusdur.
27. ^ Akhirnya, Keraton Surakarta Rekonsiliasi. Kompas.com
28. ^ Prosesi Jumenengan di Tengah Konflik Panjang Keraton Kasunanan Solo. Diarsipkan
2014-09-08 di Wayback Machine. Jpnn.com
29. ^ Dilema Lembaga Dewan Adat Solopos.com
30. ^ Brimob dan TNI Amankan Keraton Solo Tribun Solo
31. ^ Sekat Seng Keraton Dibongkar Media Indonesia
32. ^ Peringatan Naik Takhta Raja Solo CNN Indonesia
33. ^ Kronologi Pertemuan LDA dengan Sinuhun PB XIII, yang berbuah DAMAI! Solo Times
34. ^ Momen Langka Pertemuan Paku Buwono XIII dengan Gusti Moeng, Siap Lestarikan
Keraton Surakartaa Tribun Network
35. ^ Sosok Dibalik Perdamaian di Keraton Solo, Raja Paku Buwono XIII Menangis Haru
Kedaulatan Rakyat
36. ^ GIBRAN Undang 2 Kubu Keraton di Loji Gandrung usai Berdamai Solo Times
37. ^ Dua Kubu Keraton Solo Sepakat Bersatu di Era Gibran, Langkah Selanjutnya Apa? Solo
Times
38. ^ Lompat ke:
a b c d e f g Silakan lihat buku: Dwi Ratna Nurhajarini, Restu Gunawan, Tugas Triwahyono

(1999) Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Halaman 606 dari 883


BAB 30
KESULTANAN NGAYOGYAKARTA
HADININGRAT : ISTIMEWANYA PULAU JAWA
Nagari Kasultanan Ngayogyakarta[1]
ꦏꦱꦸ ꦺꦪꦴꦒꦾꦏꦂꦡꦲꦢꦶꦤꦶ ꦠ꧀
‫ﻛﺴﻠﻄﺎﻧﻦ ڠﺎﯾﻮڮﯿﺎﻛﺎرﺗﺎ ھﺎدﻧڠﺮت‬
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

Wilayah Yogyakarta pada 1830 (warna hijau)

Halaman 607 dari 883


ꦭ꧀ꦠ
ꦤ꧀ꦤ
ꦤ꧀ꦔ
ꦔꦿ
Lambang kerajaan
Sedang berkuasa

Halaman 608 dari 883


Hamengku Buwana X
sejak 7 Maret 1989

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Jawa:


ꦏꦱꦸ ꦤ ꦺꦪꦴꦒꦾꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶ ꦠ꧀, translit. Kasultanan

Ngayogyakarta Hadiningrat, Pegon: ‫)ﻛﺴــﻠﻄﺎﻧــﻦ ڠﺎﯾــﻮڮﯿﺎﻛــﺎرﺗــﺎ ھــﺎدﻧڠﺮت‬


adalah negara dependen yang berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan
kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut

Halaman 609 dari 883


ꦭ꧀ꦠ
ꦤ꧀ꦔ
ꦔꦿ
perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk Kerajaan
Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan
Ngayogyakarta. Kontrak politik terakhir antara negara induk dengan
kesultanan adalah Perjanjian Politik 1940 (Staatsblad 1941, No.
47).

Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh


Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun 1950
status negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
(bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman) diturunkan menjadi
daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa
Yogyakarta.

Sejarah Pembentukan
Setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari
1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-
Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua. pendiri
Kesultanan Yogyakarta yakni Pangeran Mangkubumi resmi
diangkat sebagai Sultan bergelar Hamengkubuwana I dan berkuasa
atas setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu Susuhunan
Pakubuwana III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan
nama baru Kesunanan Surakarta dan daerah pesisir tetap dikuasai
VOC. Usaha-usaha untuk meredam peperangan yang terjadi di Jawa
saat itu berakhir dengan perjanjian damai, yang kemudian dikenal
oleh rakyat Jawa sebagai bentuk Palihan Nagari (pembagian
negara), atau dikenal juga sebagai Perang Takhta Jawa Ketiga.

Halaman 610 dari 883


Sultan Hamengkubuwana I kemudian segera membuat ibu
kota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka daerah
baru (jawa: babat alas) di Hutan Paberingan yang terletak antara
aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Ibu kota berikut istananya
tersebut dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat dan lansekap utama
berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756. Para
penggantinya tetap mempertahankan gelar yang digunakan,
Hamengku Buwono. Untuk membedakan antara sultan yang sedang
bertahta dengan pendahulunya, secara umum, digunakan frasa "
ingkang jumeneng kaping...ing Ngayogyakarta Hadiningrat
" (bahasa Indonesia: "yang bertakhta ke .... di Yogyakarta"). Selain
itu ada beberapa nama khusus atau gelar bagi Sultan, antara lain
Sultan Sepuh (Sultan yang Sepuh/Tua) untuk Hamengkubuwana II,
Sultan Mangkubumi (Sultan Mangkubumi) untuk Sultan
Hamengkubuwana VI, atau Sultan Behi (Sultan Hanga[Behi]) untuk
Sultan Hamengkubuwana VII.

Masa awal
Setelah wujud keraton mulai terbentuk pada tanggal 7
Oktober 1756, Sultan Hamengkubuwana I beserta pengikutnya
segera melakukan boyong kedhaton atau melakukan perpindahan
dari Pesanggrahan Ambarketawang Gamping menuju ke keraton
yang baru. Saat itu, Sultan menggunakan Gedhong Sedhahan
sebagai tempat untuk memerintah, mengingat keraton belum
sepenuhnya selesai. Di masa awal pemerintahannya, Sultan
menerbitkan peraturan politik yang harus dipatuhi oleh Belanda.
Empat peraturan tersebut antara lain:

Halaman 611 dari 883


1. Residen untuk Yogyakarta tidak boleh menggunakan kereta
kuda jika ingin berkunjung ke keraton dan harus berjalan
kaki;
2. Residen juga tidak diperkenankan memakai payung atau
songsong, Payung atau songsong merupakan lambang
kedaulatan bagi orang Jawa;
3. Ketika ada upacara resmi di keraton, residen harus berdiri di
hadapan Sultan dan mempersembahkan sejenis upeti berupa
minuman atau sirih kepada Sultan, sedangkan Sultan tetap
duduk dan tidak berdiri menyambut;
4. Kursi yang digunakan oleh residen harus lebih rendah
posisinya dari kursi Sultan.
Peraturan tersebut dibuat demi menjaga kedaulatan dan
kedudukan Sultan dimata Belanda. Melihat kemajuan yang sangat
pesat akan keraton, rasa kekhawatiran pihak Belanda mulai muncul.
Pihak Belanda mengusulkan kepada Sultan agar diizinkan
membangun sebuah benteng di dekat keraton, dengan dalih agar
Belanda dapat menjaga keamanan keraton dan sekitarnya. Akan
tetapi dibalik dalih tersebut maksud Belanda yang sesungguhnya
adalah untuk memudahkan dalam mengontrol segala perkembangan
yang terjadi di dalam kraton. Sultan memahami taktik Belanda
tersebut, dan berusaha untuk mengelabui dengan mengizinkan
berdirinya sebuah benteng Belanda di sisi timur laut keraton, namun
secara diam-diam Sultan menghalangi pembangunan tersebut
dengan mengalihkan tenaga kerja yang seharusnya membangun
benteng, untuk membangun sebuah pesanggrahan di dalam keraton.

Halaman 612 dari 883


Alhasil, pembangunan benteng Belanda menjadi terhambat dan
selesai lebih lambat dari yang direncanakan.

Masa sulit dan peperangan : Periode 1792-1811


Sepeninggal Sultan Hamengkubuwana I pada tahun 1792,
tahta diberikan kepada Adipati Anom (putra mahkota), yakni Raden
Mas Sundara, dengan gelar Sultan Hamengkubuwana II. Pada masa
ini, Kesultanan Yogyakarta mengalami kemajuan yang cukup pesat
dalam bidang sastra. Namun, Yogyakarta harus menghadapi
beberapa tekanan politik dari Belanda, terlebih setelah diangkatnya
Herman Willem Daendels sebagai Gubernur-Jenderal Hindia
Belanda, dimana Daendels tidak menyetujui peraturan dalam
keraton yang telah dibuat oleh Sultan sebelumnya, dan justru
membuat aturan baru yang terkesan merendahkan kewibawaan
keraton. Sedangkan Sultan Hamengkubuwana II memiliki sikap
yang keras dan tanpa ampun untuk menolak pengaruh bangsa asing
di keraton.

Kemelut semakin menjadi-jadi setelah patih Danureja II


dilantik untuk menggantikan patih sebelumnya. Danureja II
cenderung memihak kepada Belanda, sehingga hubungannya
dengan Sultan memburuk. Selain itu, muncul pula pemberontakan
yang dilakukan oleh Raden Ronggo, Bupati Madiun yang konon
dilakukan atas izin Sultan.[8]

Belanda mencurigai peran Sultan dalam pemberontakan


tersebut, sehingga pada bulan Desember 1810 Daendels menyerang
Yogyakarta dan menurunkan Sultan Hamengkubuwana II. Ia

Halaman 613 dari 883


digantikan oleh anaknya, Pangeran Adipati Anom bernama Raden
Mas Suraja yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwana III.
Belanda juga menjadikan beberapa kerabat dari Sultan menjadi
tawanan politik. Meski begitu, Hamengkubuwana II tetap diizinkan
tinggal di keraton menjadi Sultan Sepuh.[8]

Periode 1811-1813
Tahun 1811, Prancis yang saat itu menguasai Belanda
melakukan perjanjian dengan Inggris untuk menyerahkan wilayah
Hindia Belanda kepada Inggris, termasuk Yogyakarta. Momentum
masuknya Inggris ke Yogyakarta dimanfaatkan oleh Sultan
Hamengkubuwana II untuk kembali bertahta. Ia menurunkan
anaknya kembali menjadi Adipati Anom, kemudian memecat dan
menghukum patih Danureja II yang dekat dengan Belanda.

Meski demikian, sikap Sultan kepada Inggris sama saja


dengan sikapnya kepada Belanda. Hubungan Sultan dengan
anaknya juga sempat memanas, terlebih sang anak lah yang
membuat dirinya dimakzulkan saat itu. Belum lagi nyaris terjadi
pertumpahan darah antara utusan Thomas Stamford Raffles,
Gubernur Inggris dengan kerabat keraton di depan Sultan, hanya
akibat kursi untuk Raffles diletakkan lebih rendah dari singgasana
Sultan, sewaktu wakil gubernur Inggris tersebut hendak
mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811.

Perlawanan tersebut memuncak setelah terbongkarnya surat-


menyurat antara Sultan dengan Susuhunan Pakubuwana IV yang
sedang pura-pura membantunya untuk melawan Inggris. Alhasil

Halaman 614 dari 883


Inggris menyerang Yogyakarta secara besar-besaran selama dua hari
mulai tanggal 19 Juni 1812, dibantu dengan pasukan dari Sepoy
(India) serta beberapa pasukan dari Mangkunegaran dan Surakarta.
Peristiwa tersebut dikenal dengan nama Geger Sepoy atau Geger
Sepehi, yang mengakibatkan beberapa kerugian bagi Yogyakarta:

• Beberapa bangunan di keraton hancur lebur, salah satunya


adalah Pojok Beteng Lor Wetan yang dibangun oleh Sultan
sendiri dan Ndalem Sawojajar yang merupakan tempat
tinggal putra mahkota
• Sultan Hamengkubuwana II kembali diturunkan dan
diasingkan ke Pulau Pinang (kini menjadi Penang di
Malaysia), tahta kembali diduduki oleh Adipati Anom
Hamengkubuwana III
• Yogyakarta harus kehilangan beberapa wilayah Kedu,
separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris
dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setiap tahunnya
• Karya-karya sastra dan aset keraton yang dibuat pada masa
Sultan Hamengkubuwana II diambil oleh Raffles untuk
dibawa ke negaranya
• Pangeran Natakusuma yang merupakan tawanan politik pada
masa Belanda dibebaskan dan dijadikan pangeran miji
(pangeran merdeka) dengan gelar Paku Alam I serta berhak
atas sebidang wilayah di timur keraton dan di pesisir Kulon
Progo, yang menjadi cikal bakal dari Kadipaten
Pakualaman[9]
Periode 1813-1823

Halaman 615 dari 883


Periode ini ditandai dengan kembalinya pemerintahan
Hindia Belanda setelah perang Napoleon. Sultan Hamengkubuwana
III wafat pada tahun 1814, dan tahta digantikan oleh Pangeran
Adipati Anom yang masih sangat belia, yakni Gusti Raden Mas Ibnu
Jarot. Ibnu Jarot naik tahta pada umur 10 tahun dengan gelar Sultan
Hamengkubuwana IV. Mudanya usia Sultan saat itu, memunculkan
pembentukan wali sultan yang didapuk oleh Paku Alam I.

Masa-masa ini ditandai dengan pengaruh Belanda yang


semakin kuat di Yogyakarta, terlebih setelah naiknya Patih Danureja
IV. Ia menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-jabatan
penting di keraton, dan mendukung pelaksanaan sistem Sewa Tanah
untuk swasta yang merugikan rakyat kecil. Kebijakan politik ini
menuai beberapa kecaman dari beberapa pihak di dalam keraton,
salah satunya dari Pangeran Diponegoro, kakak Sultan yang juga
mengangkatnya menjadi seorang patih.

Pemerintahan Hamengkubuwana IV secara mandiri baru


dimulai pada 20 Januari 1820, setelah Paku Alam I meletakkan
jabatannya selaku wali Sultan. Pemerintahan mandiri tersebut tidak
berlangsung lama, hanya tiga tahun. Pada Desember 1823,
Hamengkubuwana IV wafat di usia yang masih cukup muda, 19
tahun.

Periode 1823-1830
Hamengkubuwana IV digantikan oleh anaknya, Gusti Raden
Mas Gatot Menol yang saat itu masih berusia tiga tahun dengan
gelar Sultan Hamengkubuwana V. Sama seperti ayahnya yang

Halaman 616 dari 883


memiliki wali karena diangkat menjadi raja pada usia muda, ia juga
memiliki wali ysng berjumlah empat orang, yakni Ratu Ageng
(Nenek), GKR Ratu Kencono (Ibu), Pangeran Mangkubumi
(Saudara kakek) dan Pangeran Diponegoro (Paman).[10]

Pada periode awal pemerintahannya, Yogyakarta masih


diwarnai kemelut akibat intrik politik Belanda dan Patih Danureja
IV yang bertindak semena-mena. Hal ini kembali memunculkan
kemarahan di benak Pangeran Diponegoro selaku wali Sultan saat
itu. Belanda juga berniat untuk menyingkirkan Diponegoro dari
keraton demi memuluskan rencana mereka.

Puncaknya terjadi pada tahun 1825, ketika Diponegoro


bersama pengikutnya menyatakan perang melawan Belanda.
Peristiwa tersebut dikenal dengan Perang Jawa, dan berlangsung
selama lima tahun lamanya hingga tertangkapnya Diponegoro pada
tahun 1830.

Perang tersebut sebenarnya membuat Belanda kewalahan


hingga akhirnya pada 1826 Belanda menurunkan Sultan
Hamengkubuwana V, dan mengangkat Kembali Sultan
Hamengkubuwana II yang saat itu masih menjalani pengasingan,
dengan tujuan untuk meredakan perang tersebut. Namun,
Hamengkubuwana II yang saat itu juga telah berusia lanjut terkesan
enggan untuk mendamaikan perang hingga wafatnya pada tahun
1828.

Masa pemulihan dan kestabilan politik : Periode 1830-1855

Halaman 617 dari 883


Setelah Perang Jawa, Yogyakarta mengalami kerugian yang
cukup besar. Yogyakarta harus melepas seluruh wilayah manca
nagara nya untuk diambil oleh Belanda, menyisakan wilayah di
sekitar negara agung dan kutha negara saja. Selain itu, rakyat juga
dihadapi dengan trauma yang cukup berat akibat perang yang
berkelanjutan selama lima tahun dan menimbulkan banyak korban
jiwa.

Situasi tersebut membuat Sultan Hamengkubuwana V yang


saat itu telah memimpin secara mandiri, menjalankan taktik perang
pasif atau taktik main aman, dimana Sultan melakukan perlawanan
tanpa pertumpahan darah. Ia mengharapkan dengan dekatnya pihak
keraton dengan pemerintahan Belanda akan ada kerja sama yang
saling menguntungkan, sehingga k esejahteraan dan keamanan
rakyat Yogyakarta dapat terpelihara.[10]

Berjalannya politik perang pasif memang membuat situasi


politik di Yogyakarta menjadi lebih stabil. Namun, taktik tersebut
tidak dapat diterima oleh sebagian kerabat keraton dan para abdi
dalem, salah satunya dari adik kandung Sultan sendiri, Gusti Raden
Mas Mustojo. Ia menilai sikap Sultan tersebut menurunkan
kewibawaan keraton, dan malah membuat keraton menjadi pengecut
karena tunduk pada Belanda. Alhasil terjadi ketegangan antara dua
belah pihak pada saat itu.

Periode 1855-1867
Sultan Hamengkubuwana V wafat pada tahun 1855 karena
ditikam oleh selirnya sendiri, yakni Kangjeng Mas Hemawati.

Halaman 618 dari 883


Sampai saat ini, tidak diketahui apa penyebab selir tersebut berani
membunuh Sultan[11]. Sedangkan saat itu kursi putra mahkota belum
diisi, dikarenakan calon putra mahkota sedang dikandung oleh
permaisuri Sultan, yakni GKR Sekar Kedhaton. Alhasil, tahta
diserahkan kepada Gusti Raden Mas Mustojo dengan gelar Sultan
Hamengkubuwana VI. Kendati demikian statusnya hanyalah
sementara, ia berjanji kelak akan menyerahkan tahta kepada putra
mahkota dari kakaknya bila telah dewasa.

Masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VI justru


malah mengikuti jejak almarhum kakaknya yang mendekat kepada
Belanda. Hal tersebut tak sejalan dengan sikapnya yang sangat keras
menentang kakaknya dulu. Beberapa pemberontakan hampir terjadi
pada masanya, namun teratasi berkat kecerdikan dan ketangguhan
patih Danureja V saat itu. Masa pemerintahannya juga ditandai
dengan situasi politik yang sudah sangat stabil, membuat keraton
mulai menjalin kerjasama dengan beberapa kerajaan.

Periode 1867-1921
Yogyakarta dilanda gempa besar pada 10 Juni 1867 yang
membuat beberapa bagian di keraton dan aset keraton rusak berat,
termasuk Tugu Golong Gilig yang telah ada sejak masa
Hamengkubuwana I. Sepuluh tahun kemudian tepatnya pada
tanggal 20 Juli 1877, Hamengkubuwana VI wafat dan tahta malah
diberikan oleh anaknya yang sebelumnya telah diangkat menjadi
Pangeran Adipati Anom, yakni Gusti Raden Mas Murtejo.
Pengangkatan Murtejo ditentang oleh permaisuri Sultan
Hamengkubuwana V yang awalnya dijanjikan tahta untuk anaknya,

Halaman 619 dari 883


Gusti Raden Mas Timur Muhammad yang telah dewasa. Namun, ia
malah diadili dan dihukum buang ke Manado dengan tuduhan
pembangkangan terhadap raja.[11]

Pada masa Sultan Hamengkubuwana VII, Yogyakarta


mengalami masa kejayaan. Adanya politik pintu terbuka (opendeur
politiek) yang dicanangkan oleh pemerintah Belanda pada awal
1920-an memberikan kesempatan bagi bangsa lain untuk melakukan
penanaman modal internasional di wilayah jajahannya, termasuk di
Hindia Belanda dan Yogyakarta. Kebetulan, politik pintu terbuka
tersebut sudah sesuai dengan peraturan agraria (agrarische wet)
yang berlaku di Yogyakarta, sehingga menguntungkan keraton.[12]

Kekayaan yang didapat digunakan oleh Sultan untuk


merevitalisasi dan merenovasi sebagian fasad dan bangunan milik
keraton yang rusak akibat gempa bumi. Sultan juga membangun
banyak pabrik gula di wilayah Yogyakarta. Setiap pendirian pabrik
memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar
F200.000,00.[13]

Yogyakarta juga mengalami masa transisi menuju ke arah


modern pada masa Sultan Hamengkubuwana VII. Beberapa fasilitas
pendidikan modern dibangun di sekitar keraton. Sultan juga
mendukung perkumpulan pergerakan nasional seperti Boedi
Oetomo dan Muhammadiyah.

Periode 1921-1945
Pada penghujung kekuasaan Sultan Hamengkubuwana VII,
ia memutuskan untuk lereh keprabon (turun tahta) menjadi raja.

Halaman 620 dari 883


Terdapat beberapa versi mengenai turun tahtanya. Ada yang
mengatakan bahwa Sultan sengaja meletakkan tahtanya untuk
mandeg pandita (bertapa) sehingga ia memutuskan untuk mencari
ketenangan di Pesanggrahan Ambarukmo. Sedangkan versi lain
mengatakan bahwa turunnya Sultan Hamengkubuwana VII
dikarenakan sikapnya yang menentang peraturan baru yang dibuat
oleh Belanda, sehingga ia memilih untuk lengser dari jabatannya
sebagai raja. Sultan Hamengkubuwana VII pun menetap di
Pesanggrahan Ambarukmo hingga wafatnya pada tahun 1931.[14]

Tahta kesultanan kemudian dilanjutkan oleh putranya, yakni


Gusti Pangeran Harya Purbaya, dengan gelar Sultan
Hamengkubuwana VIII. Pada masa pemerintahannya, Sultan
Hamengkubuwana VIII mewarisi kekayaan dan aset keraton dari
Sultan sebelumnya, sehingga terjadi beberapa revitalisasi dan
renovasi aset-aset keraton. Perhatiannya terhadap rakyat juga begitu
besar, khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Beberapa
fasilitas pendidikan berdiri di masa pemerintahannya, seperti
Sekolah Taman Siswa Nasional (berdiri 3 Juli 1922). Sultan juga
mendukung perkumpulan pergerakan nasional, seperti mendukung
pendirian Organisasi Politik Katholik Jawi (1923) dan Kongres
Perempuan (1929).[15]

Sultan Hamengkubuwana VIII memerintah selama 18 tahun,


hingga tahun 1939. Ia mangkat setelah menjemput putranya, Gusti
Raden Mas Dorojatun di Batavia, sepulang dari Belanda. Disini ia
juga menunjuk Dorojatun menjadi penerusnya, ditandai dengan
penyerahan keris pusaka Kyai Joko Piturun kepada Dorojatun.

Halaman 621 dari 883


Namun, pengukuhan Dorojatun menjadi Adipati Anom baru
dilaksanakan beberapa saat sebelum pengangkatannya sebagai raja
pada tahun 1940.

Dorojatun naik tahta dengan gelar Sultan Hamengkubuwana


IX pada tahun 1940, setelah mengalami proses alot dalam
perundingan kontrak politiknya dengan Belanda. Sultan yang
awalnya menolak kontrak politik tersebut, tiba-tiba berubah pikiran
dan langsung menyetujuinya. Konon ia mendapatkan wisik (bisikan
gaib) dari ayahnya yang mengatakan bahwa Belanda akan pergi.
Hal tersebut baru terwujud pada tahun 1942, dimana Jepang
menduduki Hindia Belanda, termasuk Yogyakarta. Sebelumnya,
Belanda telah memprediksi kedatangan Jepang, dan telah
merencanakan penculikan terhadap empat penguasa vorstenlanden
(Susuhunan Pakubuwana, Sultan Hamengkubuwana, Adipati
Mangkunagara, Adipati Paku Alam) untuk dibawa ke Australia.
Namun Sultan menolak dengan tegas, dan bersumpah untuk tidak
akan meninggalkan Yogyakarta.

Jepang mulai menduduki Hindia Belanda pada 5 Maret


1942. Di tengah banyaknya pengambilan penduduk menjadi
romusa, banyak catatan mengatakan bahwa Sultan mampu
mencegahnya dengan memanipulasi data statistik produktivitas
pertanian dan peternakan. Ia berhasil membujuk pemerintah Jepang
untuk mengalihkan rakyatnya dalam membangun sebuah kanal
irigasi raksasa yang menghubungkan antara Sungai Progo dan
Sungai Opak agar pengairan sawah dapat dilakukan sepanjang tahun
dari yang sebelumnya masih bersistem tadah hujan. Kanal tersebut

Halaman 622 dari 883


diberi nama Selokan Mataram, dan terbukti mampu memakmurkan
masyarakat saat itu.

Masa kemerdekaan dan revolusi nasional : Periode 1945-1946


Pada tanggal 17 Agustus 1945, terjadi peristiwa Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, yang dibacakan oleh Soekarno dan Hatta
di Jakarta. Sehari setelahnya, Sultan Hamengkubuwana IX
mengucapkan selamat kepada Soekarno, Mohammad Hatta, dan
Radjiman Wedyodiningrat atas kemerdekaan Indonesia. Pada
tanggal 20 Agustus 1945, dikirimkan lagi telegram oleh
Hamengkubuwana IX sebagai Ketua Badan Kebaktian Rakyat
(Hokokai) Yogyakarta, menegaskan bahwa Yogyakarta "sanggup
berdiri di belakang pimpinan"; diikuti oleh Paku Alam VIII
Peristiwa ini menjadikan Yogyakarta sebagai kerajaan di Indonesia
pertama yang bergabung dengan Republik Indonesia.
Dukungan tersebut berlanjut hingga tanggal 5 September
1945, dimana Sultan mengeluarkan amanat posisi Yogyakarta
sebagai daerah istimewa dengan Sultan sebagai pemimpinnya yang
bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Paku Alam VIII juga menyatakan amanat setelahnya atas Kadipaten
Pakualaman dan menjadi wakil pemimpin Yogyakarta. Konsep ini
disebut dengan konsep dwi tunggal, dimana dua pemimpin
bersama-sama membantu untuk membangun negara Indonesia.
Realisasi Yogyakarta sebagai daerah istimewa dikeluarkan pada
tanggal 19 Agustus 1945, sehari setelah telegram dari Yogyakarta
tiba.

Halaman 623 dari 883


Pada Januari 1946, situasi politik di Jakarta sedang tidak
stabil, dikarenakan terjadinya pertikaian antara kelompok pro-
Republik dengan kelompok pro-Belanda. Atas dasar situasi tersebut,
Sultan mengusulkan kepada Pemerintah Indonesia saat itu untuk
memindahkan ibu kota negara menuju Yogyakarta. Usulan
kepindahan tersebut disambut baik oleh Soekarno, sehingga
rombongan pemerintah Republik menuju Yogyakarta pada tanggal 3
Januari 1946 dengan kereta luar biasa.

Hamengkubuwana IX dinilai menjadi figur yang mampu


meredam adanya pergolakan anti swapraja–seperti yang terjadi di
Surakarta dan sebagian Sumatra–di Yogyakarta yang bisa
melengserkan dirinya dan menghapuskan pemerintahan monarki
Yogyakarta.

Periode 1946-1950
Pada periode ini, terjadi pengintegrasian wilayah ke dalam
Republik Indonesia. wilayah Kesultanan Yogyakarta meliputi
daerah-daerah sebagai berikut:

1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT


Hardjodiningrat,
2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
4. Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT
Suryodiningrat,
5. Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT
Secodiningrat.[17]

Halaman 624 dari 883


Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan
hanya wilayah administratif. Bupati-bupati yang mengepalai
masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja.
Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan
Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi
tulang punggung utama Kabupaten dan Kota sampai tahun 1950.

Tahun 1950, diterbitkan UU No. 3 Tahun 1950 (BN 1950


No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 (BN 1950 No.
48). Tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kedua UU
tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31
Tahun 1950 (BN 1950 No. 58).

Berlakunya undang-undang tersebut membuat birokrasi


pemerintahan harus dipisahkan dengan monarki. Alhasil, posisi
Kesultanan Yogyakarta hanya menjadi pemangku adat budaya Jawa,
khususnya Gaya Yogyakarta. Sedangkan di pemerintahan, Sultan
tetap menjadi pemimpin daerah istimewa tingkat I dibawah
Presiden.

Masa Republik : Periode 1950-1989


Bergabungnya Kesultanan Yogyakarta ke dalam Republik
Indonesia membuat keraton menjadi terbuka terhadap masyarakat.
Beberapa kesenian yang sebelumnya tidak boleh keluar dari keraton
sama sekali, diizinkan oleh Sultan. Beberapa aset dan pusaka
kesultanan juga diizinkan dilihat oleh umum dengan dibukanya
museum keraton Yogyakarta.

Halaman 625 dari 883


Pada tanggal 7 Oktober 1988, Sultan Hamengkubuwana IX
wafat. Sebelumnya, ia telah mempersiapkan anak laki-laki
tertuanya, yakni Kanjeng Gusti Pangeran Harya Mangkubumi untuk
menggantikannya. Mangkubumi resmi ditunjuk menjadi Adipati
Anom setelah musyawarah keluarga. Pengukuhannya sebagai
Adipati Anom dilangsungkan beberapa saat sebelum penobatannya
menjadi raja dengan gelar Sultan Hamengkubuwana X pada bulan
Maret 1989. Itu adalah kali pertama Yogyakarta melaksanakan
penobatan raja tanpa campur tangan kolonial Belanda.

Wilayah dan penduduk : Wilayah

Pembagian Mataram dan Manca Nagara pada tahun 1757.

Mengikuti kerajaan Mataram, wilayah Kesultanan


Yogyakarta pada mulanya dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu
Nagari Ngayogyakarta (wilayah ibu kota), Nagara Agung (wilayah
utama), dan Manca Nagara (wilayah luar). Keseluruhan wilayah
Nagari Ngayogyakarta dan wilayah Nagara Agung memiliki luas
53.000 karya (sekitar 309,864500 km persegi), dan keseluruhan

Halaman 626 dari 883


wilayah Manca Nagara memiliki luas 33.950 karya (sekitar
198,488675 km persegi). Selain itu, masih terdapat tambahan
wilayah dari Danurejo I di Banyumas, seluas 1.600 karya (sekitar
9,3544 km persegi).

• Nagari Ngayogyakarta meliputi: (1) Kota tua Yogyakarta (di


antara Sungai Code dan Sungai Winongo), dan
(2) Daerah sekitarnya dengan batas Masjid Pathok Negara.
• Nagara Agung meliputi: (1) Daerah Siti Ageng Mlaya
Kusuma (wilayah Siti Ageng [suatu wilayah di antara Pajang
dengan Demak] bagian timur yang tidak jelas batasnya
dengan wilayah Kesunanan),
(2) Daerah Siti Bumijo (wilayah Kedu dari Sungai Progo
sampai Gunung Merbabu),
(3) Daerah Siti Numbak Anyar (wilayah Bagelen antara
Sungai Bagawanta dan Sungai Progo),
(4) Daerah Siti Panekar (wilayah Pajang bagian timur, dari
Sungai Samin ke selatan sampai Gunungkidul, ke timur
sampai Kaduwang), dan
(5) Daerah Siti Gadhing Mataram (wilayah Mataram
Ngayogyakarta [suatu wilayah di antara Gunung Merapi
dengan Samudra Hindia]).
• Manca Nagara meliputi: 1. Wilayah Madiun yang terdiri dari
daerah-daerah: - Madiun Kota
- Magetan
- Caruban
- Sebagian Pacitan;

Halaman 627 dari 883


2. Wilayah Kediri yang meliputi daerah-daerah: - Kertosono
- Berbek
- Godean
- Kalangbret
- Ngrowo;
3. Wilayah Surabaya yang meliputi daerah Japan
(Mojokerto);
4. Wilayah Rembang yang meliputi daerah-daerah: - Jipang
(Ngawen) dan
- Teras Karas (Ngawen);
5. Wilayah Semarang yang meliputi daerah-daerah: - Selo
atau Seselo (makam nenek moyang raja Mataram)
- Warung (Kuwu-Wirosari)
- Sebagian Grobogan.
Wilayah-wilayah Kesultanan tersebut bukan sebuah wilayah yang
utuh, namun terdapat banyak enklave maupun eksklave wilayah
Kesunanan dan Mangkunegaran. Wilayah-wilayah tersebut
merupakan hasil dari Perjanjian Palihan Nagari yang ditandatangani
di Giyanti. Perjanjian itu juga disebut Perjanjian Giyanti.

Dalam perjalanan waktu wilayah tersebut berkurang akibat


perampasan oleh Daendels dan Raffles. Setelah Perang Diponegoro
selesai pada 1830, pemerintah Hindia Belanda akhirnya merampas
seluruh wilayah Manca Nagara. Pada tahun itu pula ditandatangani
Perjanjian Klaten pada 27 September 1830 yang menegaskan
wilayah dan batas-batas Kesultanan Yogyakarta dengan Kesunanan
Surakarta. Wilayah Kesultanan Yogyakarta hanya meliputi Mataram

Halaman 628 dari 883


dan Gunungkidul dengan luas 2.902,54 km persegi. Di wilayah
tersebut terdapat enklave Surakarta (Kotagede dan Imogiri),
Mangkunegaran (Ngawen), dan Pakualaman (Kabupaten Kota
Pakualaman).

Penduduk

Potret putra dan putri bangsawan Kesultanan Yogyakarta (1870).

Pembagian wilayah menurut Perjanjian Palihan Nagari juga


diikuti dengan pembagian pegawai kerajaan (abdi Dalem) dan
rakyat (kawula Dalem) yang menggunakan atau memakai wilayah
tersebut. Hal ini tidak terlepas dari sistem pemakaian tanah pada
waktu itu yang menggunakan sistem lungguh (tanah jabatan).
Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu perjanjian berjumlah
522.300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya dikerjakan oleh satu
keluarga dengan anggota enam orang. Pada 1930 penduduk
meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.

Dalam strata sosial, penduduk dapat dibedakan menjadi tiga


golongan yaitu bangsawan (bandara), pegawai (abdi Dalem) dan

Halaman 629 dari 883


rakyat jelata (kawula Dalem). Sultan yang merupakan anggota
lapisan bangsawan menempati urutan puncak dalam sistem sosial.
Anggota lapisan bangsawan ini memiliki hubungan kekerabatan
dengan Sultan yang pernah atau sedang memerintah. Namun hanya
bangsawan keturunan 1-4 (anak, cucu, anak dari cucu, dan cucu dari
cucu) dari Sultan yang termasuk Keluarga Kerajaan dalam artian
mereka memiliki kedudukan dan peran dalam upacara kerajaan.

Lapisan pegawai mendasarkan kedudukan mereka dari surat


keputusan yang dikeluarkan oleh Sultan. Lapisan ini dibedakan
menjadi tiga yaitu pegawai Keraton, pegawai Kepatihan,
Kabupaten, dan Kapanewon, serta pegawai yang diperbantukan
pada pemerintah penjajahan. Lapisan rakyat jelata dibedakan atas
penduduk asli dan pendatang dari luar. Selain itu terdapat juga
orang-orang asing maupun keturunannya yang bukan warga negara
Kesultanan Yogyakarta yang berdiam di wilayah kesultanan.

Pemerintahan dan politik

Koridor di depan Gedhong Jene dan Gedhong Purwaretna. Dari bangunan yang disebut terakhir ini
Sultan mengendalikan seluruh kerajaan

Halaman 630 dari 883


P e m e r i n t a h a n K e s u l t a n a n Yo g y a k a r t a m u l a n y a
diselenggarakan dengan menggunakan susunan pemerintahan
warisan dari Mataram. Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan
besar yaitu Parentah Lebet (urusan dalam) yang juga disebut
Parentah Hageng Karaton, dan Parentah Jawi (urusan luar) yang
juga disebut Parentah Nagari. Sultan memegang seluruh kekuasaan
pemerintahan negara. Dalam menjalankan kewajibannya sehari-hari
Sultan dibantu lembaga Pepatih Dalem yang bersifat personal.[19]

Pada mulanya pemerintahan urusan dalam dan urusan luar


masing-masing dibagi menjadi empat kementerian yang dinamakan
Kanayakan. Kementerian urusan dalam adalah:

(1) Kanayakan Keparak Kiwo, dan


(2) Kanayakan Keparak Tengen,
yang keduanya mengurusi bangunan dan pekerjaan umum;
(3) Kanayakan Gedhong Kiwo, dan
(4) Kanayakan Gedhong Tengen,
yang keduanya mengurusi penghasilan dan keuangan.
Kementerian urusan luar adalah

(5) Kanayakan Siti Sewu, dan


(6) Kanayakan Bumijo,
yang keduanya mengurusi tanah dan pemerintahan;
(7) Kanayakan Panumping, dan
(8) Kanayakan Numbak Anyar,
yang keduanya mengurusi pertahanan.

Halaman 631 dari 883


Masing masing kementerian dipimpin oleh Bupati Nayaka yang
karena jabatannya juga merupakan komandan militer yang
memimpin pasukan kerajaan dalam peperangan.

Untuk menangani urusan agama, Sultan membentuk sebuah


badan khusus yang disebut dengan Kawedanan Pengulon. Badan ini
mengurus masalah peribadatan, perawatan masjid-masjid kerajaan,
dan upacara-upacara keagamaan istana, serta urusan peradilan
kerajaan dalam lingkungan peradilan syariat Islam. Urusan regional
di luar ibu kota dibagi menjadi beberapa daerah administratif yang
dikepalai oleh pejabat senior dengan pangkat Bupati. Mereka
dikoordinasi oleh Pepatih Dalem. Tugas-tugasnya meliputi
pengelolaan administrasi lokal, hukum dan peradilan, pemungutan
pajak dan pengiriman hasil panenan melalui bawahannya, Demang,
dan Bekel.

L. F. Dingemans, residen Belanda di Yogyakarta (1926)

Halaman 632 dari 883


Setidaknya sampai 1792 Kesultanan Yogyakarta secara de
facto merupakan negara merdeka dan VOC hanyalah mitra yang
sejajar. Untuk menjamin posisinya maka VOC menempatkan
seorang Residen di Yogyakarta untuk mengawasi Kesultanan.
Kedudukan Residen ini mulanya berada di bawah Sultan dan sejajar
dengan Pepatih Dalem. Daendels menaikkan kedudukan Residen
menjadi Minister, yang merupakan menteri Raja/Ratu Belanda dan
mewakili kehadiran Gubernur Jenderal.

Dengan kedatangan Raffles sistem pemerintahan berubah


lagi. Sultan tidak diperbolehkan mengadakan hubungan dengan
negara lain sebab kedaulatan berada di tangan pemerintah Inggris.
Begitu pula dengan Pepatih Dalem, Pengurus Kerajaan
(Rijkbestuurder), diangkat dan diberhentikan berdasar kebutuhan
pemerintah Inggris dan dalam menjalankan pekerjaannya harus
sepengetahuan dan dengan pertimbangan Residen Inggris. Sultan
mulai dibebaskan dari pemerintahan sehari-hari yang dipimpin oleh
Pepatih Dalem yang dikontrol oleh Residen.

Selepas Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintahan


Nagari yang berada di tangan Pepatih Dalem dikontrol secara ketat
oleh Belanda untuk mencegah terjadinya pemberontakan.
Kesultanan Yogyakarta secara de facto dan de jure menjadi negara
protektorat dari Koninklijk der Nederlanden, dengan status swapraja
(zelfbestuurende landschappen). Selain itu, pemerintah Hindia
Belanda selalu mengajukan perjanjian politik yang dinamakan
kontrak politik bagi calon sultan yang akan bertakhta. Perjanjian ini
diberlakukan terhadap Sultan Hamengkubuwana V hingga Sultan

Halaman 633 dari 883


Hamengkubuwana IX. Kontrak politik terakhir dibuat pada 18
Maret 1940 antara Gubernur Hindia Belanda untuk Daerah
Yogyakarta, Lucien Adam dengan HB IX.

Pada 1900-an Belanda mencampuri birokrasi pemerintahan


Kesultanan secara intensif dengan maksud memasukkan birokrasi
barat modern. Untuk membiayai birokrasi tersebut maka pada 1915
APBN Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua yaitu APBN
untuk Parentah Ageng Karaton dan APBN untuk Parentah Nagari
yang berada dalam kontrol Hindia Belanda. Untuk belanja dan
mengurus keperluan istana, setiap tahun Sultan mendapat uang ganti
rugi yang disebut Daftar Sipil yang ditentukan dalam kontrak politik
yang dibuat sebelum Sultan ditakhtakan. Dengan demikian Sultan
benar benar tersingkir dari pemerintahan Nagari dan hanya berperan
di istana saja.

Perubahan besar dalam pemerintahan terjadi pada saat


Sultan Hamengkubuwana IX (HB IX) naik takhta pada tahun 1940,
khususnya selama pendudukan Jepang (1942-1945). Secara
perlahan namun pasti, Hamengkubuwana IX melakukan restorasi
(bandingkan dengan restorasi Meiji). Ia membentuk badan-badan
pemerintahan baru untuk menampung urusan pemerintahan yang
diserahkan oleh Tentara Pendudukan Jepang. Badan tersebut
dinamakan Paniradya yang masing-masing dikepalai oleh
Paniradyapati. Paniradyapati tidak lagi berada di bawah kekuasaan
Pepatih Dalem melainkan langsung berada di bawah kekuasaan
sultan. Dengan perlahan namun pasti, ia memulihkan kembali
kekuasaannya selaku kepala pemerintahan.

Halaman 634 dari 883


Alun-alun Lor, saksi bisu kemegahan sebuah pemerintahan negara

Pada pertengahan 15 Juli 1945, Pepatih Dalem terakhir,


KPHH Danureja VIII, mengundurkan diri karena memasuki usia
pensiun. Sejak saat itu Sultan tidak menujuk lagi Pepatih Dalem
sebagai penggantinya melainkan mengambil alih kembali kekuasaan
pemerintahan negara. Sebagai kelanjutannya birokrasi kesultanan
dibedakan menjadi dua bagian yaitu urusan dalam istana (Imperial
House) dan urusan luar istana. Urusan dalam istana ditangani oleh
Parentah Hageng Karaton yang mengkoordinasikan seluruh badan
maupun kantor pemerintahan yang berada di istana yang terdiri dari
beberapa badan atau kantor. Semuanya di pimpin dan diatur secara
langsung oleh saudara atau anak keturunan Sultan.

Sultan memimpin sendiri lembaga luar istana, yang terdiri


dari beberapa Paniradya yang dipimpin oleh Bupati. Daerah di

Halaman 635 dari 883


sekitar istana dibagi menjadi lima kabupaten yang administrasi
lokalnya dipimpin oleh Bupati. Setelah kemerdekaan, sebagai
konsekuensi integrasi kesultanan pada Republik Indonesia, status
dan posisi serta administrasi Kesultanan dijalankan berdasar
peraturan Indonesia. Kesultanan diubah menjadi daerah administrasi
khusus dan Sultan menjadi Kepala Daerah. Kesultanan menjadi
bagian dari republik modern sebagai provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY).

Hukum dan peradilan


Dalam sistem peradilan kerajaan, kekuasaan kehakiman
tertinggi berada di tangan Sultan. Dalam kekuasaan kehakiman
Kesultanan Yogyakarta, terdapat empat macam badan peradilan,
yaitu Pengadilan Pradata, Pengadilan Bale Mangu, Al Mahkamah Al
Kabirah, dan Pengadilan Darah Dalem.

• Pengadilan Pradata merupakan pengadilan sipil yang


menangani masalah kasus pidana maupun perdata.
• Pengadilan Bale Mangu merupakan pengadilan khusus yang
menangani tata urusan pertanahan dan hubungan antar
tingkat antara pegawai kerajaan.
• Al Mahkamah Al Kabirah atau yang sering disebut dengan
Pengadilan Surambi adalah pengadilan syar’iyah yang
berlandaskan pada Syariat (Hukum) Islam. Pengadilan ini
merupakan konsekuensi dari bentuk Pemerintahan
Yogyakarta sebagai sebuah Kesultanan Islam. Mulanya
pengadilan ini menangani ahwal al-syakhsiyah (hukum

Halaman 636 dari 883


keluarga) seperti nikah dan waris, serta jinayah (hukum
pidana). Dalam perjalanannya kemudian berubah hanya
menangani ahwal al-syakhsiyah nikah, talak, dan waris.
• Pengadilan Darah Dalem atau Pengadilan Pancaniti
merupakan pengadilan khusus (Forum Privilegatum) yang
menangani urusan yang melibatkan anggota keluarga
kerajaan. Pengadilan ini sebenarnya terdiri dari dua
pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan Karaton Darah
Dalem dan Pengadilan Kepatihan Darah Dalem.
Perubahan bidang kehakiman mendasar terjadi pada 1831
ketika pemerintah Hindia Belanda setahap demi setahap
mencampuri dan mengambil alih kekuasaan kehakiman dari
pemerintahan Kesultanan Yogyakarta. Mulai dari penunjukkan
Residen Kerajaan Hindia Belanda untuk Kesultanan Yogyakarta
sebagai ketua Pengadilan Pradata sampai dengan pembentukan
pengadilan Gubernemen (Landraad) di Yogyakarta. Akhirnya
Pengadilan Pradata dan Bale Mangu dihapuskan masing-masing
pada 1916 dan 1917 serta kewenangannya dilimpahkan pada
Landraad Yogyakarta. Setelah Kesultanan Yogyakarta menyatakan
sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia maka
sistem peradilan yang digunakan adalah sistem peradilan nasional.
Pengadilan yang digunakan adalah Pengadilan Negeri sebagai ganti
dari Landraad Yogyakarta. Pada 1947 Pemerintah Pusat Indonesia
menghapuskan pengadilan kerajaan yang terakhir, Pengadilan Darah
Dalem.

Halaman 637 dari 883


Dalam sistem hukum kerajaan pernah digunakan sebuah
Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Kesultanan yang disebut
dengan nama Kitab Angger-angger yang disusun bersama oleh
Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta pada 1817. KUH
ini terdiri dari lima/enam buku (volume) yaitu Angger Aru-biru,
Angger Sadasa, Angger Gunung, Angger Nawala Pradata Dalem,
Angger Pradata Akhir (khusus Yogyakarta), dan Angger Ageng.
Seiring dengan berdirinya Landraad Yogyakarta maka KUH pun
diganti dengan KUH Belanda seperti Burgerlijk Wetboek dan
Wetboek van Strafrecht.

Ekonomi dan agraria


Sumber ekonomi utama yang tersedia bagi Kesultanan
Yogyakarta adalah tanah, hutan kayu keras, perkebunan, pajak, dan
uang sewa. Oleh karena itu sistem ekonomi tidak bisa lepas dari
sistem agraria. Sultan menguasai seluruh tanah di Kesultanan
Yogyakarta. Dalam birokrasi kerajaan, pertanahan diurus oleh
Kementerian Pertanahan, Kanayakan Siti Sewu. Urusan tanah di
Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu tanah yang
diberikan Sultan kepada anggota keluarga kerajaan dan tanah yang
diberikan kepada pegawai kerajaan. Tanah tersebut berlokasi teritori
Nagara Agung, khususnya daerah Mataram, dan disebut sebagai
tanah lungguh (apanage land/tanah jabatan). Tanah yang berada
dalam pemeliharaan para keluarga kerajaan dan pegawai kerajaan
tersebut juga digunakan oleh masyarakat umum sebagai tempat
tinggal dan pertanian dari generasi ke generasi. Sebagai imbalannya
mereka menyetor sebagian hasil panen sebagai bentuk pajak.

Halaman 638 dari 883


Sekalipun kaum ningrat dan rakyat umum memiliki kebebasan
dalam mengatur, mengolah, dan mendiami tanah tersebut mereka
tidak diijinkan untuk menjualnya.

Selain itu kerajaan juga menerima penerimaan yang besar


dari penebangan hutan kayu keras dalam skala besar sejak Sultan
HB I. Pada 1821 pemerintahan Hindia Belanda memperoleh hak
atas hasil penebangan dari hutan kayu keras dan istana bertanggung
jawab atas manajemen dan eksploitasinya. Pada 1848 sebuah
peraturan mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras
pemerintah jajahan dan dalam ganti rugi Sultan memperoleh biaya
penebangan dan pengangkutan kayu. Pada 1904 di masa
pemerintahan Sultan HB VII, manajemen hutan kayu keras di
Gunung Kidul diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda.
Sebagai kompensasi atas persetujuan itu, istana memperoleh kayu
keras gratis untuk konstruksi istana Ambar Rukmo dan Ambar
Winangun.

Perkebunan yang dikembangkan di Yogyakarta, terutama


setelah 1830, adalah kopi, tebu, nila, dan tembakau. Kebanyakan
perkebunan ditangani oleh perkebunan swasta asing. Jumlah
perkebunan yang semula ada 20 buah pada tahun 1839 meningkat
menjadi 53 pada tahun 1880, seiring pertumbuhan ekonomi, sistem
penyewaan tanah, dan pembangunan infrastruktur.

Restrukturisasi pada zaman Sultan HB IX karena


dihadapkan pada beban ekonomi dan sumber yang terbatas. Pada
1942, Sultan tidak melaporkan secara akurat jumlah produksi beras,

Halaman 639 dari 883


ternak, dan produk lain untuk melindungi rakyat dari Jepang. Sultan
juga membangun kanal guna meningkatkan produksi beras dan
untuk mencegah rakyat Yogyakarta dijadikan romusa oleh Jepang.

Kebudayaan, pendidikan, dan kepercayaan

Gerbang Danapratapa, Keraton Yogyakarta, antara seni, filsafat, kosmologi, kebiasaan umum (adat
istiadat), sistem kepercayaan, pandangan hidup, dan pendidikan yang tak terpisahkan dalam
kebudayaan Jawa.

Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, kebudayaan


di Kesultanan Yogyakarta tidak memiliki batas yang tegas antar
aspeknya. Kebiasaan umum (adat istiadat), kepercayaan, seni,
pandangan hidup, pendidikan, dan sebagainya saling tumpang
tindih, bercampur dan hanya membentuk suatu gradasi yang kabur.
Sebagai contoh seni arsitektur bangunan keraton tidak lepas dari
konsep “Raja Gung Binathara” (raja agung yang dihormati
bagaikan dewa) yang merupakan pandangan hidup masyarakat yang

Halaman 640 dari 883


juga menjadi bagian dari sistem kepercayaan (penghormatan kepada
dewa/tuhan).

Beberapa tarian tertentu, misalnya Bedhaya Semang, selain


dianggap sebagai seni pertunjukan juga bersifat sakral sebagai
bentuk penghormatan kepada leluhur pendiri kerajaan dan penguasa
alam. Begitu pula benda-benda tertentu dianggap memiliki kekuatan
magis dan berkaitan dengan dunia roh dalam pandangan hidup
masyarakat. Oleh karenanya dalam pergaulan sehari-haripun ada
pantangan yang bila dilanggar akan menimbulkan kutuk tertentu
bagi pelakunya. Ini pula yang menimbulkan tata kebiasaan yang
diberlakukan dengan ketat.

Kebudayaan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi


berdasar cerita dari mulut ke mulut. Pelajaran tentang kehidupan
disampaikan melalui cerita-cerita wayang yang pada akhirnya
menumbuhkan kesenian pertunjukkan wayang kulit maupun
wayang jenis lain. Selain itu wejangan dan nasihat tentang
pandangan hidup dan sistem kepercayaan juga ditransmisikan dalam
bentuk tembang (lagu) maupun bentuk sastra lainnya. Semua hal itu
tidak lepas dari sistem bahasa yang digunakan dan membuatnya
berkembang. Dalam masyarakat dipakai tiga jenjang bahasa yaitu
Ngoko (bahasa Jawa rendah), Krama Andhap (bahasa Jawa tengah),
dan Krama Inggil (bahasa Jawa tinggi). Aturan pemakaian bahasa
tersebut sangat rumit, namun tercermin budaya penghormatan dan
saling menghargai. Ada satu lagi bahasa yang khusus dan hanya
digunakan di lingkungan istana yang disebut dengan Bagongan

Halaman 641 dari 883


yang lebih mencerminkan pandangan hidup kesetaraan kedudukan
di antara pemakainya.

Para penari tarian Beksan Entheng, sekitar tahun 1870.

Perkembangan budaya sebagaimana dijelaskan di awal tidak


lepas pula dari sistem pendidikan. Pada mulanya sistem pendidikan
yang digunakan meneruskan sistem yang digunakan zaman
Mataram. Pendidikan formal hanya dapat dinikmati oleh keluarga
kerajaan. Pendidikan itu meliputi pendidikan agama dan sastra.
Pendidikan agama diselenggarakan oleh Kawedanan Pengulon.
Pendidikan ini berlokasi di kompleks masjid raya kerajaan.
Pendidikan sastra diselenggarakan oleh Tepas Kapunjanggan.
Kedua pendidikan ini satu sistem dan tidak terpisah. Para siswa
diberi pelajaran agama, bahasa Jawa, budaya, dan literatur (serat
dan babad).

Halaman 642 dari 883


Pendidikan barat baru diperkenalkan oleh pemerintah
penjajahan pada awal abad 20. Pada pemerintahan Sultan HB VIII
sistem pendidikan dibuka untuk umum. Mula-mula sekolah dasar
dibuka di Tamanan dan kemudian dipindahkan di Keputran.
Sekolah ini masih ada hingga sekarang dengan nama SD Negeri
Keputran. Pendidikan lanjut memanfaatkan pendidikan yang dibuka
oleh pemerintah penjajahan seperti HIS, Mulo, dan AMS B. Muncul
pula sekolah guru dari kalangan Muhammadiyah Hogere School
Moehammadijah pada 1918 (kini bernama Muallimin). Pada 1946
kesultanan ikut serta dalam mendirikan Balai Perguruan
Kebangsaan Gajah Mada yang pada 1949 dijadikan Universitas
Gadjah Mada (UGM).

Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupakan kepercayaan


resmi kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang
kepercayaan dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah.
Walaupun demikian kepercayaan-kepercayaan lokal (baca: kejawen)
masih tetap dianut rakyat meski menyatakan diri sebagai orang
Islam. Berbagai ritus kepercayaan lokal masih dijalankan tetapi doa-
doa yang dipanjatkan diganti dengan menggunakan bahasa Arab.
Hal ini menujukkan sebuah kepercayaan baru yang merupakan
sinkretisme antara kepercayaan Islam dan kepercayaan lokal.
Gerakan puritan untuk membersihkan Islam dari pengaruh
kepercayaan lokal dan westernisasi baru muncul pada tahun 1912
seiring dengan tumbuh dan berkembangnya organisasi Islam
Muhammadiyah dari kalangan Imam Kerajaan. Pada perkembangan

Halaman 643 dari 883


selanjutnya kawasan Kauman, Yogyakarta yang menjadi tempat
tinggal para imam kerajaan menjadi pusat gerakan puritan itu.

Pertahanan dan keamanan


Pada mulanya sistem birokrasi pemerintahan menganut
sistem militer sebagaimana kerajaan Mataram. Seorang pegawai
pemerintah juga merupakan seorang serdadu militer. Begitu pula
para pimpinan kabinet kerajaan karena jabatannya merupakan
komandan militer, bahkan kalau perlu mereka harus ikut bertempur
membela kerajaan. Walaupun begitu, untuk urusan pertahanan
terdapat tentara kerajaan yang dikenal dengan abdi Dalem Prajurit.
Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya terdiri dari angkatan darat
saja yang dikelompokkan menjadi sekitar 26 kesatuan. Selain itu
terdapat pula paramiliter yang berasal dari rakyat biasa maupun dari
pengawal para penguasa di Mancanagara.

Pada paruh kedua abad ke-18 sampai awal abad ke-19


tentara kerajaan di Yogyakarta merupakan kekuatan yang patut
diperhitungkan. Walaupun Sultan merupakan panglima tertinggi,
namun dalam keseharian hanya sebagian saja yang berada di dalam
pengawasan langsung oleh Sultan. Sebagian yang lain berada di
dalam pengawasan adipati anom dan para pangeran, serta pejabat
senior yang memimpin kementerian/kantor pemerintahan. Kekuatan
pertahanan menyurut sejak diasingkannya Sultan HB II akibat
peristiwa Geger Sepehi pada Juni 1812, dan ditandatanganinya
perjanjian antara HB III dengan Raffles pada 1812. Perjanjian itu
mencantumkan Sultan harus melakukan demiliterisasi birokrasi
kesultanan. Sultan, pangeran, dan penguasa daerah tidak boleh
Halaman 644 dari 883
memiliki tentara kecuali dengan izin pemerintah Inggris dan itupun
hanya untuk menjaga keselamatan pribadi sang pejabat.

Kekuatan pertahanan benar-benar lumpuh setelah selesainya


Perang Diponegoro pada tahun 1830. Tentara Kesultanan
Yogyakarta hanya menjadi pengawal pribadi Sultan, Putra Mahkota,
dan Pepatih Dalem. Jumlahnya sangat dibatasi dan persenjataannya
tidak lebih dari senjata tajam dan beberapa pucuk senapan tua.
Pertahanan menjadi tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda.
Sebagai pengganti kekuatan militer yang dikebiri, Kesultanan
Yogyakarta dapat membentuk polisi untuk menjaga keamanan
warganya. Pada 1942, untuk mengindari keterlibatan kesultanan
dalam Perang Pasifik, Sultan membubarkan tentara kesultanan.
Keputusan ini kemudian dikukuhkan dalam perintah Pemerintah
Militer Angkatan Darat XVI Jepang pada bulan Agustus 1942.
Dengan demikian kesultanan tidak memiliki lagi kekuatan militer.

Prajurit Kraton Yogyakarta

Brigade Prajurit Nyutra

Halaman 645 dari 883


Layaknya sebuah kerajaan, Kraton Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat atau lebih dikenal dengan Kraton
Yogyakarta juga mempunyai beberapa tentara atau satuan-satuan
militer. Satuan-satuan militer di Keraton Yogyakarta ini disebut
dengan Abdi Dalem Prajurit. Dalam sejarahnya, Kraton Yogyakarta
pernah memiliki 15 satuan militer dan masing-masing memiliki
nama dan fungsi yang berbeda-beda. Dari 15 satuan militer yang
keseluruhannya satuan infanteri tersebut, saat ini baru diaktifkan
sebanyak 11 satuan setelah sempat dibubarkan oleh Sri Sultan
Hamengkubuwana IX sebagai antisipasi pemanfaatan Abdi Dalem
Prajurit oleh Jepang untuk digunakan dalam Perang Pasifik Timur
pada masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945.[20]

Pada awal pembentukannya oleh Sri Sultan


Hamengkubuwana I (ketika itu masih bernama Pangeran
Mangkubumi) satuan-satuan Abdi Dalem Prajurit sangatlah kuat.
Tercatat Abdi Dalem Prajurit pernah mengalahkah Pasukan
Kompeni Belanda pada masa pengasingan Sri Sultan Hamenku
Buwana I sebelum diadakannya Perjanijian Giyanti tahun 1755.
Pada pertempuran-pertempuran tersebut, Abdi Dalem Prajurit
bahkan berhasil membunuh perwira-perwira Belanda seperti Letnan
Coen yang tewas dalam Perang Gowang, Letna Van Gier tewas pada
Perang Grobogan, Letnan Foster tewas dalam Perang Gunung Tidar
dan Mayor Clereq dan Kapten Winter yang tewas dalam Perang
Jenar/Bogowonto bersama 3.801 Prajurit Kompeni Belanda lainnya.
Bahkan ada sebuah pusaka Kraton Yogyakarta berupa Tombak yang
bernama Kangjeng Kyai Klerk sebagai bentuk pemuliaan ketika

Halaman 646 dari 883


tombak tersebut digunakan untuk membunuh Mayor Clereq pada
Perang Jenar/Bogowonto oleh salah seorang Abdi Dalem Prajurit
Mantrijero.

Untuk saat ini Abdi Dalem Prajurit Kraton Yogyakarta


tidaklah kuat dan tidak pula memiliki fungsi dan tugas untuk
bertempur. Seluruh kesatuan Abdi Dalem Prajurit yang ada
diperuntukkan untuk mengawal dalam upacara-upacara adat Kraton
Yogyakarta seperti pada saat Upacara Gunungan atau lebih dikenal
dengan Gerebeg yang diadakan tiga kali dalam setahun, yaitu
Grebeg Sekaten, Grebeg Maulud, dan Grebeg Syawal. Berikut
adalah sekilas tentang 15 satuan Abdi Dalem Prajurit Kraton
Yogyakarta.

1. Abdi Dalem Prajurit Wirabraja.


2. Abdi Dalem Prajurit Dhaeng
3. Abdi Dalem Prajurit Patangpuluh
4. Abdi Dalem Prajurit Jagakarya
5. Abdi Dalem Prajurit Prawiratama
6. Abdi Dalem Prajurit Nyutra
7. Abdi Dalem Prajurit Ketanggung
8. Abdi Dalem Prajurit Mantrijero
9. Abdi Dalem Prajurit Bugis
10. Abdi Dalem Prajurit Surakarsa
11. Abdi Dalem Prajurit Langenhastra
12. Abdi Dalem Prajurit Somaatmaja
13. Abdi Dalem Prajurit Jager

Halaman 647 dari 883


14. Abdi Dalem Prajurit Suranata
15. Abdi Dalem Prajurit Suragama
Pasca Proklamasi
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Sultan
Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim
kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kesultanan
Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah
Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu,
mewujudkan sebuah Daerah Istimewa Yogyakarta yang bersifat
kerajaan. Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam
VIII kemudian menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala
Daerah Istimewa dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden
Republik Indonesia.

Pada tahun 1950 secara resmi Kesultanan Ngayogyakarta


Hadiningrat ini, bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman
menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi
khusus setingkat provinsi sebagai bagian Negara Kesatuan
Indonesia. Dengan demikian status Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat sebagai sebuah negara (state) berakhir dan menjelma
menjadi pemerintahan daerah berotonomi khusus. Sedangkan
institusi istana kemudian dipisahkan dari "negara" dan diteruskan
oleh Keraton Kesultanan Yogyakarta.

Keraton Yogyakarta

Halaman 648 dari 883


Pendopo Museum Hamengku Buwono IX di Keraton Yogyakarta.

Istana atau Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat


dirancang sendiri oleh Sultan Hamengkubuwana I saat mendirikan
Kesultanan. Keahliannya dalam bidang arsitektur antara lain
dihargai oleh Dr. Pigeund dan Dr. Adam, yaitu para peneliti
berkebangsaan Belanda. Bagian-bagian keraton adalah

(1) Kompleks Alun-alun Lor yang terdiri dari sub kompleks:


Gladhak-Pangurakan, Alun-alun Lor, Masjid Ageng, dan
Pagelaran;
(2) Kompleks Siti Hinggil Lor;
(3) Kompleks Kamandhungan Lor;
(4) Kompleks Sri Manganti;
(5) Kompleks Kedhaton yang terdiri dari sub kompleks: Pelataran
Kedhaton, Kasatriyan, Kaputren, dan Karaton Kilen;
(6) Kompleks Kamagangan;
(7) Kompleks Kamandhungan Kidul;

Halaman 649 dari 883


(8) Kompleks Siti Hinggil Kidul; dan
(9) Kompleks Alun-alun Kidul dan Plengkung Nirbaya.
Keraton Yogyakarta Ngayogyakarta Hadiningrat selain
merupakan kediaman resmi Sultan, saat ini juga berfungsi sebagai
salah satu cagar budaya masyarakat Jawa. Sebagai pusat budaya,
keraton sering melaksanakan kegiatan-kegiatan budaya dan
merupakan salah satu tujuan pariwisata Daerah Istimewa
Yogyakarta, yang sering didatangi para wisatawan dalam dan luar
negeri.

Masalah suksesi Kraton


Sultan Hamengkubuwana X menghadapi persoalan terkait
penerusnya karena tidak memiliki putra. Masalah ini mengemuka
ketika terjadi pembahasan Raperda Istimewa tentang Pengisian
Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur sampai Sultan HB X secara
mendadak mengeluarkan Sabdatama pertama[21] pada 6 Maret
2015. Dalam UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
Yogyakarta Pasal 18 ayat (1) huruf m disebutkan bahwa salah satu
syarat menjadi gubernur DIY adalah "menyerahkan daftar riwayat
hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan,
saudara kandung, istri, dan anak;" yang dianggap hanya
memberikan kesempatan kepada laki-laki untuk menjadi kandidat
Sultan selanjutnya.

Sabdaraja
Pada tanggal 30 April 2015, Sri Sultan Hamengkubuwana X
mengeluarkan sabdaraja pertama kalinya yang berisikan lima poin
sebagai berikut.[22][23][24]
Halaman 650 dari 883
• Perubahan gelar. Buwono (Buwana) diubah menjadi Bawono
(Bawana).
• Gelar Khalifatullah dihapuskan, serta penambahan frasa
Suryaning Mataram.
• Kaping sadasa diubah menjadi Kasepuluh.
• Pengubahan perjanjian antara Ki Ageng Giring dengan
pendiri Mataram, Ki Ageng Pamanahan.
• Keris Kyai Kopek disempurnakan menjadi Keris Kyai Jaka
Piturun.[25]
Gelar baru Sultan setelah sabdaraja, yaitu: Ngarsa Dalem
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku
Buwono Senopati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama
Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta
Hadiningrat menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang
Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono ingkang Jumeneng
Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati-ing-Ngalaga Langgeng
ing Bawana Langgeng, Langgeng ing Tata Panatagama. [26][27]

Dhawuhraja
Pada tanggal 5 Mei 2015, Sultan mengeluarkan dhawuhraja
kedua kalinya yang berisikan salah satu putri pertamanya, GKR
Pembayun diangkat menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu
Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram

Kejadian ini menuai kontroversi dari keluarga Kraton. Anak


dan adik-adik Sultan berziarah makam di Pemakaman Imogiri

Halaman 651 dari 883


dengan tujuan meminta maaf kepada leluhur keluarga raja-raja
Mataram terkait Sabdaraja tersebut.[28]

Ngudar sabda
Pada tanggal 31 Desember 2015, Sri Sultan
Hamengkubuwana X mengeluarkan ngudar sabda sebagai berikut :

• Ngudar sabda adalah berdasarkan perintah dari Allah


subhanahu wa ta'ala.
• Pewaris tahta tidak bisa diturunkan kecuali putra/inya.
• Siapa pun yang tidak menuruti perintah raja akan dicabut
gelar dan kedudukannya.
• Siapa pun yang tidak sependapat dengan pernyataannya
dipersilakan pergi dari Bumi Mataram.
Daftar Raja-raja kesultanan Yogyakarta
Awal
Jangka Akhir
Nama Pemerintah Keluarga Gambar
hidup Pemerintahan
an

Hamengkubuwana I 6 Agustus
• Amangkurat IV,
atau Pangeran 1717 – 4 ayah
Mangkubumi atau Maret 1755 1792
Bendara Raden Mas 1792 • Mas Ayu
Sujono (umur 74) Tejawati, ibu

7 Maret • Hamengkubuwa
Hamengkubuwana II 1750 – 3 na I, ayah
atau Sultan Sepuh atau Januari 1792 1810 • Gusti Kanjeng
Gusti Raden Mas 1828 Ratu Kadipaten,
Sundoro (umur 77) ibu

Halaman 652 dari 883


20 • Hamengkubuwa
Februari na II, ayah
Hamengkubuwana III
atau Gusti Raden Mas 1769 – 3 1810 1811 • Gusti Kanjeng
November
Surojo Ratu Kedhaton,
1814
ibu
(umur 45)

3 April • Hamengkubuwa
Hamengkubuwana IV na III, ayah
1804 – 6
atau Sinuhun Seda Desember 1814 1822 • Gusti Kanjeng
Besiyar atau Gusti 1823 Ratu Kencana,
Raden Mas Ibnu Jarot (umur 19) ibu

• Hamengkubuwa
24 Januari
Hamengkubuwana V 1820 – 5 na IV, ayah
atau Gusti Raden Mas Juni 1855 1822 1826 • GRM Timur
atau Gathot Menol Muhammad,
(umur 35)
anak

Hamengkubuwana VI 10
atau Sinuhun Agustus
Hamengkubuwana
Mangkubumi atau 1821 – 20 1855 1877
V, abang
Gusti Raden Mas Juli 1877
Mustojo (umur 55)

Hamengkubuwana VII 4 Februari • Hamengkubuwa


atau Sultan Sugih atau 1839 – 30 na VI, ayah
Desember 1877 1921
Gusti Raden Mas • Gusti Kanjeng
1931
Murtejo Ratu Sultan, ibu
(umur 92)

3 Maret
• Hamengkubuwa
Hamengkubuwana VIII 1880 – 22 na VII, ayah
atau Gusti Raden Mas Oktober 1921 1939
Sujadi 1939 • Gusti Kanjeng
(umur 59) Ratu Hemas, ibu

Halaman 653 dari 883


• Hamengkubuwa
12 na VIII, ayah
Hamengkubuwana IX Agustus • Kanjeng Raden
atau Gusti Raden Mas 1912 – 2 1939 1988 Ayu Adipati
Oktober
Dorojatun Anom
1988
Hamengkunegar
(umur 76)
a, ibu

• Hamengkubuwa
na IX, ayah
Hamengkubawana X 2 April
masih • Kanjeng Raden
atau Bendara Raden 1946 1988
menjabat Ayu
Mas Herjuno Darpito (umur 76)
Windyaningrum,
ibu

Beberapa Peristiwa-peristiwa penting


Abad ke-18
• 1749, 12 Desember, Pangeran Mangkubumi diangkat
sebagai raja Mataram oleh pengikutnya dan para bangsawan
senior dari Surakarta dengan gelar Susuhunan Paku Buwono
Senopati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama.
• 1750, RM Said (MN I) yang telah menjadi perdana menteri
P Mangkubumi menggempur Surakarta.
• 1752, Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan
di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai
dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM
Said.
• 1754, Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan
p e r d a m a i a n . 2 3 S e p t e m b e r, N o t a K e s e p a h a m a n
Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi
nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya
pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.

Halaman 654 dari 883


• 1755, 13 Februari, Perjanjian Palihan Nagari di desa
Giyanti. P Mangkubumi mengambil gelar baru: Sampeyan
Ingkang Ndalem Sinuwun Sultan Hamengku Buwono
Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama
Khalifatullah. Yudonegoro, Gubernur Banyumas, menjadi
Pepatih Dalem Danurejo I.
• 1756, 7 Oktober, Sultan HB I menempati istana barunya
yang diberi nama Ngayogyakarta.
• 1773, Angger Aru-biru yang menjadi acuan dalam peradilan
yang pertama disahkan.
• 1774, Putra mahkota (kelak HB II) menulis buku Serat Raja
Surya yang kemudian menjadi pusaka.
• 1785, Perbentengan besar bergaya di sekeliling istana
dibangun secara mendadak dan diselesikan dalam 2 tahun.
• 1792, HB I wafat. Sultan HB II berusaha mengabaikan
control VOC.
• 1799, Danurejo I wafat dan diganti cucunya dengan gelar
Danurejo II.
• Abad ke-19
• 1808, 28 Juli, Daendels mengeluarkan peraturan baru
tentang penggantian residen dengan minister dan perubahan
kedudukannya yang sejajar dengan Sultan dan Sunan.
• 1810, Awal prahara politik Yogyakarta yang akan
berlangsung sampai 1830. HB II menolak mentah-mentah
kebijakan Daendels mengenai perubahan kedudukan
minister. Danurejo II dipecat dan digantikan oleh

Halaman 655 dari 883


Notodiningrat (PA II). Atas tekanan Daendels Danurejo II
mendapatkan kembali kedudukannya. 31 Desember
Daendels memberhentikan HB II dengan kekuatan militer
dan mengangkat putra mahkota menjadi HB III serta
merampas kekayaan istana.
• 1811, Daendels menghapus uang sewa pesisir yang menjadi
pemasukan keuangan negara. September/Oktober, HB II
merebut kembali takhtanya. HB III dikembalikan dalam
posisi putra mahkota. Oktober Danurejo II dibunuh di istana.
Sindunegoro (Danurejo III) menjadi Pepatih Dalem.
• 1812, 18 Juli-20 Juli, Kolonel Gillespie memimpin pasukan
Inggris menyerang Yogyakarta. HB II dimakzulkan dan
dibuang ke Penang (wilayah Malaysia sekarang). 1 Agustus,
HB III menandatangani perubahan pemerintahan dan
demiliterisasi birokrasi kerajaan.
• 1813, 13 Maret, Notokusumo diangkat menjadi Kangjeng
Gusti Pangeran Adipati Paku Alam yang mengepalai sebuah
principality yang terlepas dari Yogyakarta. Sindunegoro
diganti oleh Bupati Jipan yang bergelar Danurejo IV.
• 1814, Sultan HB III wafat, putra mahkota yang masih
berusia 9/10 tahun diangkat menjadi HB IV. PA I yang tidak
disukai oleh istana ditunjuk Inggris menjadi wali sampai
1821.
• 1816, Inggris menyerahkan kembali daerah jajahan kepada
Hindia Belanda.

Halaman 656 dari 883


• 1817, 6 Oktober Kitab Angger-angger sebagai Kitab
Undang-undang Hukum (KUH) ditetapkan bersama
Yogyakarta dan Surakarta.
• 1823, HB IV dibunuh oleh seorang agen Belanda. Putra
mahkota yang masih berusia 3(4) diangkat menjadi HB V.
Sebuah dewan perwalian yang terdiri atas Ibu Suri, Nenek
Suri, P. Mangkubumi, P Diponegoro dan Danurejo IV
dibentuk.
• 1825, Belanda menyerang kediaman P Diponegoro
mengawali perang Jawa 1825-1830. Banyak bangsawan
Yogyakarta mendukung P Diponegoro.
• 1826, HB II dipulangkan dari Ambon untuk meredakan
perang namun tidak membawa hasil.
• 1828, HB II wafat, HB V kembali diangkat di bawah dewan
perwalian baru.

Halaman 657 dari 883



• Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1830 (berwarna hijau dan berada di
sebelah selatan)

• 1830, Akhir perang Diponegoro. Seluruh Mancanegara
Yogyakarta dirampas Belanda sebagai pertanggungjawaban
atas meletusnya perang. 27 September, Perjanjian Klaten
menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan
Yogyakarta. 24 Oktober, HB V meratifikasi Perjanjian
Klaten.

Halaman 658 dari 883


• 1831, 11 Juni Perubahan struktur peradilan Kesultanan
Yogyakarta.
• 1848, Peraturan yang mengharuskan Sultan memenuhi
kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan di tetapkan.
• 1855, HB V wafat. Adiknya diangkat menjadi HB VI.
• 1867, Gempa besar menghancurkan bangunan penting.
• 1877, HB VI wafat digantikan putranya HB VII.
• 1883, Seorang pangeran dari Yogyakarta berupaya
memberontak dan gagal.
• Abad ke-20
• 1904, Hindia Belanda mengambil alih penguasaan dan
pengelolaan atas hutan di wilayah Kesultanan.
• 1908, 20 Mei, Budi Utomo didirikan oleh Mas Ngabehi
Wahidin Sudirohusodo, seorang pegawai kesehatan.
• 1912, 18 November, Muhammadiyah didirikan oleh Mas
Ketib Amin Haji Ahmad Dahlan, seorang Imam Kerajaan.
• 1915, APBN Kesultanan Yogyakarta mulai dipisah menjadi
dua APBN.
• 1916, Pengadilan Bale Mangu dihapus oleh Hindia Belanda.
• 1917, Pengadilan Pradoto dihapus oleh Hindia Belanda.
• 1918, Perubahan hak atas tanah di wilayah Kesultanan.
• 1921, Sultan HB VIII bertakhta. Kesultanan Yogyakarta
memiliki dua APBN.
• 1922, Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara,
seorang kerabat Pakualaman.

Halaman 659 dari 883


• 1933, 30 November, Danurejo VIII dilantik menggantikan
Danurejo VII.
• 1940, 18 Maret, Sultan HB IX menandatangani Kontrak
Politik terakhir dengan Hindia Belanda.
• 1942, Maret, Jepang datang. 1 Agustus, Sultan HB IX
diangkat menjadi Koo atas Yogyakarta Kooti.
• 1943, Sultan membentuk Paniradya untuk mengurangi
kekuasaan Pepatih Dalem.


• Peta tahun 1945
• 1945, 15 Juli, Danurejo VIII diberhetikan karena pensiun. 1
Agustus, Restorasi HB IX. 5 September, Kesultanan
Yogyakarta berintegrasi dengan Indonesia. 30 Oktober, HB
IX dan PA VIII menyerahkan kekuasaan legeslatif kepada
BP KNID Yogyakarta.

Halaman 660 dari 883


• 5 September: Amanat Sultan HB X bahwa Negeri
Ngajogyokarto Hadinigrat adalah daerah istimewa dari
Negara Republik Indonesia.
• 1946, 4 Januari, kedudukan Pemerintah Indonesia dipindah
ke Yogyakarta atas jaminan kesultanan. 18 Mei,
Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Kesultanan
dan Pakualaman.
• 1947, Pengadilan Darah Dalem dihapus oleh Pemerintah
Indonesia.
• 1950, 4 Maret, Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah
Pakualaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa
Yogyakarta, sebuah daerah berotonomi khusus setingkat
provinsi, dan mulai berlaku pada 15 Agustus.
• 1965, 1 September, Daerah Istimewa Yogyakarta dijadikan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
• 1988, Sultan HB IX wafat.
• 1989, Pangeran Mangkubumi (BRM Herjuno Darpito)
diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono X.
• 1998, Sultan Hamengku Buwono X ditetapkan sebagai
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
• Abad ke-21
• 2012, Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta disahkan, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
dikembalikan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta.
• 2015, krisis suksesi yang notabene merupakan urusan
internal Kraton memuncak, hingga akhirnya Sultan

Halaman 661 dari 883


mengeluarkan Sabdaraja yang berisi perubahan gelar Sultan
menjadi Hamengkubawana X. Selain itu, juga mengangkat
putri sulungnya sebagai putri mahkota dengan gelar GKR
Mangkubumi.
• Glosarium
• ISKS: Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan.
• Karaton: Istana, tempat kedudukan Parentah Lebet dan
tempat tinggal raja dan keluarganya.
• Koo: Penguasa atas daerah dengan status Kooti
• Kooti: Daerah yang memiliki pemerintahan sendiri yang
tunduk kepada Kekaisaran Jepang.
• Kutagara: lihat Nagari
• Kuta nagara: lihat Nagari
• Manca nagara: Teritori/negara asing yang ditaklukkan oleh
raja dan menjadi wilayah kerajaan paling luar yang
diperintah oleh para bupati (Gubernur) yang ditunjuk oleh
raja atau mantan penguasa daerah yang telah tunduk.
• Nagara Agung: Teritori yang mengelilingi teritori Nagari,
tempat tanah lungguh pejabat kerajaan.
• Nagari: Teritori ibu kota, tempat kedudukan Parentah Jawi
dan tempat kediaman para pangeran dan pejabat tinggi
kerajaan.
• Parentah Ageng Karaton: Pemerintahan Istana (Imperial
House) yang bertugas mengkoordianasikan semua bagian
pemerintahan dalam istana.

Halaman 662 dari 883


• Parentah Jawi: Pemerintahan yang berpusat di nagari
(teritori ibu kota) dan dikepalai oleh Pepatih Dalem.
• Parentah Lebet: Pemerintahan yang berpusat di karaton
(istana) dan dikepalai oleh saudara atau putra Sultan. Lihat
Parentah Ageng Karaton.
• Parentah Nagari: lihat Parentah Jawi.
• Pepatih Dalem: Perdana menteri, orang kedua setelah Sultan
dan Residen/Gubernur Hindia Belanda, bertugas mengurus
pemerintahan khususnya Parentah Jawi/Nagari.
• Pepatih Jawi: Pembantu Sultan untuk mengurus rakyat,
mengurus Parentah Nagari, mengurus teritori Manca nagara,
dan menjalin hubungan dengan pemerintah Hindia Belanda.
Dalam perkembangannya disebut dengan Pepatih Dalem.
• Pepatih Lebet: Pembantu Sultan untuk mengurus keluarga
kerajaan dan Parentah Lebet. Dalam perkembangannya
jabatan ini dihapus; sebagian kewenangannya diambil oleh
Pepatih Dalem dan sebagian lain diserahkan pada saudara
atau putra Sultan.
• Tanah Lungguh: Tanah Jabatan (Appenage Land), tanah
yang hasilnya digunakan oleh pejabat sebagai ganti dari gaji
bulanan.
Referensi
1. ^ Nama resmi ini mengacu pada naskah dalam bahasa Jawa dari Perjanjian Politik 1940 .
Nama resmi lainnya yang terdapat dalam dokumen resmi adalah Negeri Ngayogyakarta
Hadiningrat (Amanat 5 September 1945 ), Daerah Kesultanan Yogyakarta (Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1950 )
2. ^ Dinas Kebudayaan Provinsi DIY (2014-03-04). "Upacara Wiyosan Kanjeng Kiai
Tunggul Wulung". Tasteofjogja. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-22.

Halaman 663 dari 883


3. ^ Lompat ke:
a b https://www.youtube.com/watch?v=PFNrS4rWsEY

4. ^ Lompat ke:
a b https://www.youtube.com/watch?v=S44ZanoM2AQ

5. ^ Lompat ke:
a b https://www.youtube.com/watch?v=PATAABljz2E

6. ^ Sabdacarakatama (2009). Sejarah Keraton Yogyakarta. Penerbit Narasi.


ISBN 9789791681049. Diakses tanggal 22 February 2015.
7. ^ Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta. 1997. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia
8. ^ Lompat ke:
a b Safitri, Ilmiawati (2019-07-07). "Keraton Yogyakarta Masa Lampau dan Masa Kini:

Dinamika Suksesi Raja-Raja Jawa dan Politik Wacana "Raja Perempuan"". Indonesian
Historical Studies. 3 (1): 47. doi:10.14710/ihis.v3i1.4850. ISSN 2579-4213.
9. ^ Carey 2022.
10. ^ Lompat ke:
a b Biografi singkat HB V Diarsipkan 2020-08-07 di Wayback Machine.. Website resmi

kraton Yogyakarta. 2019. Diakses tanggal 29/01/2023


11. ^ Lompat ke:
a b Tragedi pembunuhan Hamengkubuwana V. tirto.id. 5 Juni 2019. Diakses tanggal

29/01/2023
12. ^ Sejarah Kotabaru
13. ^ Biografi singkat HB VII Diarsipkan 2020-08-07 di Wayback Machine.. kratonjogja.id.
2019. Diakses tanggal 29/01/2023
14. ^ HB VII - Genealogy
15. ^ Biografi singkat HB VIII Diarsipkan 2020-08-07 di Wayback Machine.. kratonjogja.id.
2019. Diakses tanggal 18/07/2019
16. ^ Roem et al. 2011, hlm. 37; Suyono & Parera 2015, hlm. 63.
17. ^ Joyokusumo, 2007
18. ^ Soedarisman P, 1984
19. ^ Mulanya terdapat dua pepatih yaitu Pepatih Lebet dan Pepatih Jawi. Dalam
perkembangannya Pepatih Lebet dihapuskan dan Pepatih Jawi disebut sebagai Pepatih
Dalem.
20. ^ Prajurit Kraton Yogyakarta: Filosofi dan Nilai Budaya yang Terkandung di Dalamnya
Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta
21. ^ Kusuma, Wijaya (6 Maret 2015). Wadrianto, Glori K., ed. "Raja Jogja Mendadak
Keluarkan Sabdatama". Kompas.com. Kompas.com. Diakses tanggal 6 Maret 2015.
22. ^ Wibisono, Gunawan. "Raja Yogyakarta Keluarkan Sabda, Ini Komentar JK".
Okezone.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-05-18. Diakses tanggal 2015-05-05.
23. ^ [http://jogja.tribunnews.com/2015/05/02/keluarkan-sabdaraja-nama-sri-sultan-hb-x-akan-
berubah#

Halaman 664 dari 883


24. ^ h t t p : / / r e g i o n a l . k o m p a s . c o m / r e a d /
2015/05/05/12351791/.Cuma.2.Menit.Apa.Isi.Sabda.Raja.dari.Sri.Sultan.HBX. Kompas:
Cuma 2 Menit, Apa Isi Sabdaraja dari Sri Sultan HB X?]
25. ^ Kedaulatan Rakyat, 2 Mei 2015. Sabdaraja Timbulkan Pro-Kontra
26. ^ Antara: Sri Sultan Kembali Keluarkan Sabdaraja
27. ^ Kedaulatan Rakyat, edisi Sabtu, 9 Mei 2015, hal. 8
28. ^ Anak dan Adik Sultan Ziarah ke Makam Imogiri
29. ^ http://m.antaranews.com/berita/537654/sultan-hb-x-keluarkan-sabda

Halaman 665 dari 883


BAB 31
KESULTANAN KACIREBONAN
Kesultanan Kacirebonan

Iwak (ikhlas ing awak)


Lambang Kesultanan Kacirebonan

Kesultanan Kacirebonan adalah salah satu kesultanan di


Indonesia yang berdiri pada tahun 1808. Kesultanan ini merupakan
hasil perundingan keluarga besar kesultanan Kanoman. Kesultanan
Kacirebonan merupakan pecahan dari Kesultanan Kanoman yang
berdiri pada tahun 1808 dengan penguasa pertamanya adalah Sultan
Carbon Amirul Mukminin atau Sultan Kacirebonan I Sultan
Muhammad Chaeruddin bin Sultan Anom Chaeruddin. [1]
Kesultanan Kanoman sendiri resmi berdiri pada tahun yang sama
dengan berdirinya kesultanan Kasepuhan yaitu pada tahun 1679
dengan pemimpin pertamanya yang bernama Sultan Anom I Sultan

Halaman 666 dari 883


Badruddin Martawidjaja, dikatakan pada masa tersebut Sultan
Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon
menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk
menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena
adanya perbedaan pendapat dikalangan keluarga besar mengenai
penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan
mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta)
untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan
ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang
sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu
pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki
wilayahnya masing-masing yaitu Pangeran Martawijaya dan
Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta
menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang
kekuasaan atas kepustakaan kraton[2] Dua tahun setelahnya yaitu
pada tahun 1679, kesultanan-kesultanan di Cirebon melakukan
klaim atas wilayah-wilayah di selatan yaitu Sumedang, Galuh dan
Sukapura sebagai bagian dari wilayahnya kepada Belanda[3]

Gerilya kesultanan Banten, Misi Jacob van Dyck dan


Pembagian Kesultanan Cirebon
Pasukan Trunajaya berhasil menyelamatkan para Pangeran
Cirebon dan kemudian mengantarkannya ke Banten.

Penyerangan pasukan Trunajaya dan disingkirkannya wakil


Mataram
Pada akhir tahun 1676, sebuah kapal dari Cirebon yang
berlabuh di Banten memberitahu bahwa Pekalongan sudah berhasil

Halaman 667 dari 883


dikuasai pasukan Trunajaya pada sekitar 25 Desember 1676,
penguasa daerah pesisir pada masa itu Singawangsa diberitakan ikut
dengan para pasukan Trunajaya. Pada tanggal 2 Januari 1677, Tegal
berhasil dikuasai pasukan Trunajaya tanpa kekerasan. Pada tanggal 5
Januari 1677, pasukan Trunajaya yang dipimpin oleh Ngabehi
Sindukarti (paman Trunajaya) dan Ngabehi Langlang Pasir sampai
di pelabuhan Cirebon dengan 12 kapal berisi 150 pasukan, mereka
menuntut agar wakil Mataram yang ditempatkan di Cirebon sebagai
Syahbandar yaitu Martadipa menyerah dan menyetujui syarat-
syaratnya, yaitu[5]

1. Cirebon tidak lagi membayar pajak kepada Mataram,


2. Tentara Madura harus melindungi anak-anak dan wanita,
3. Sandera Cirebon tidak ada lagi yang dikirim ke Mataram,
4. Selanjutnya Cirebon berada di bawah pemerintahan rajanya
sendiri,
5. Cirebon berada di bawah pertanggungan hak-hak Sultan Banten,
6. Orang Cirebon menyokong Banten dengan senjata serta
mengakui Sultan Banten sebagai pelindung

Syarat-syarat tersebut disertai peringatan dengan ancaman


seandainya tidak diterima.[5] Martadipa yang pada saat itu telah
berusia lanjut akhirnya menerima syarat yang disodorkan
kepadanya atas nama Raden Trunajaya[4] dan bersedia menyerahkan
kekuasaannya kepada keturunan atau kerabat dekat Sultan Abdul
Karim (Sultan Cirebon yang ditawan Mataram)[6]

Penobatan anak-anak Sultan Cirebon Abdul Karim

Halaman 668 dari 883


Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi
pada tahun 1679 saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya
dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati, kesultanan
Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah
diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan
persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677, Sultan Ageng
Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon
menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk
menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon karena
adanya perbedaan pendapat di kalangan keluarga besar mengenai
penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar terbelah dan
mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta)
untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan
ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten pada tahun yang
sama setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu
pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki
wilayahnya masing-masing (walaupun belum bersifat mengikat atau
tetap[5]) yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya sementara
satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa
wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan
keraton.[2]

Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon,


di mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing
berkuasa dan menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar
ketiganya setelah resmi dinobatkan:

Halaman 669 dari 883


• Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar
Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin
(1679-1697)
• Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar
Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin
(1679-1723)
• Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar
Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau
Panembahan Tohpati (1679-1713)
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua
putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di
Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan
penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta
tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia
tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi
berdiri sebagai Kaprabon (Paguron) yaitu tempat belajar para
intelektual keraton.

Perang besar Cirebon 1788 - 1818


Ketika Pangeran Raja Kanoman yang merupakan putera dari
Sultan Anom IV Muhammad Chaerudin diasingkan ke Ambon,
terjadilah pemberontakan rakyat Cirebon yang dipimpin Bagus
Rangin pada tahun 1802, Bagus Rangin berasal dari demak, distrik
Blandong, Rajagaluh (sekarang Rajagaluh menjadi kecamatan
Rajagaluh, Majalengka) yang terletak di kaki gunung Ciremai,
Bagus Rangin diperkirakan lahir sekitar tahun 1761. Dia adalah

Halaman 670 dari 883


putra dari Sentayem (Ki buyut Teyom), cucu dari Waridah dan
keturunan dari Ki buyut Sambeng, salah satu dari cicit pembesar
didaerah tersebut atau dalam bahasa Cirebon disebut Ki Gede.
Bagus Rangin mempunyai tiga orang saudara, kakaknya bernama
Buyut Bangin dan kedua adiknya bernama Buyut Salimar serta
Bagus Serit (Bagus Serit juga menjadi pejuang melawan penjajah)
[42]

Sifat Bagus Rangin digambarkan sebagai pemimpin yang


gagah berani dan sanggup menyatakan perang dengan didukung
oleh pengikutnya yang banyak.[43] Secara garis besar kondisi
perekonomian di pedesaan Cirebon dijelaskan bahwa desa-desa
hampir secara keseluruhan disewakan kepada orang-orang Cina
oleh para bupati dan residen. Penyerahan tenaga kerja, penyerahan
pajak dan hasil pertanian penduduk dibeli dengan harga sangat
rendah oleh residen.[44]

Di Batavia pada tahun 1803, setelah hancur oleh serangan


British pada tahun 1800,[40] pulau Onrust yang merupakan benteng
pertahanan Batavia oleh Belanda dibawah pimpinan Gubernur
Jenderal Johannes Siberg (menantu dari Gubernur Jenderal Willem
Arnold Alting) berusaha direstorasi kembali,[45] sementara itu di
Cirebon, Sultan Muhammad Chaeruddin baru saja meninggal
dunia[1] dan sebagai penggantinya, Imamuddin yang telah ditunjuk
sebagai putera mahkota sejak 1798 menggantikan Pangeran Raja
Kanoman yang diasingkan oleh Belanda ke Ambon naik tahta
menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Sultan Anom V Abu
Soleh Imamuddin[46] dan hal ini disetujui oleh Belanda,[39]

Halaman 671 dari 883


dijelaskan kondisi sosial pada saat itu bahwa bencana kelaparan dan
wabah penyakit sempat melanda Cirebon sejak akhir abad ke 18,
mengakibatkan banyak penduduk Cirebon meninggal dunia.[44],
dalam narasinya Abdullah al Misri (seorang cendikiawan keturunan
Arab) mengatakan bahwa sejak naiknya Imamuddin menjadi Sultan
di kesultanan Kanoman maka banyak hal buruk yang terjadi tidak
hanya soal banyaknya warga yang sakit dan meninggal namun juga
hal hal lain seperti kosongnya bulir bulir padi yang ditanam,[39]
permasalahan Pangeran Raja Kanoman yang diasingkan ke Ambon
tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1805, berdatanganlah
perwakilan masyarakat Cirebon untuk menemui Gubernur Jenderal,
mereka datang untuk menuntuk hak Pangeran Raja Kanoman
bertahta menggantikan ayahnya Sultan Anom IV Muhammad
Chaeruddin yang telah meninggal pada 1803, perwakilan
masyarakat Cirebon itu mengatakan bahwa Imamuddin tidak berhak
menjadi Sultan di kesultanan Kanoman karena masih ada Pangeran
Raja Kanoman yang lebih berhak, dinarasikan oleh Abdullah al
Misri (seorang cendikiawan keturunan Arab) bahwa perwakilan
masyarakat Cirebon tersebut menghubung-hubungkan kejadian
buruk di Cirebon dari mulai banyaknya masyarakat yang sakit dan
meninggal hingga kejadian di mana bulir bulir padi yang ditanam
namun tidak ada isinya yang menyebabkan kelaparan dengan
naiknya Imamuddin sebagai Sultan di kesultanan Kanoman,[39]
Pejabat Belanda untuk wilayah Kesultanan Cirebon pada masa itu
S.H Rose kemudian mengajukan permohonan agar pemerintah
Hindia Belanda di Batavia mengeluarkan sebuah peraturan kepada
para bupati agar tidak memberikan jalan kepada rombongan
Halaman 672 dari 883
nasyarakat Cirebon yang akan menemui Gubernur Jenderal,
permohonan S.H Rose selaku pejabat penghubung Belanda untuk
wilayah kesultanan Cirebon dikabulkan dengan dikeluarkannya
surat keputusan (besluit) 15 Maret 1805 yang berisi perintah kepada
para bupati agar tidak memberikan jalan kepada rombongan
masyarakat Cirebon, berdasarkan besluit tersebut maka bupati
Karawang diperintahkan agar mencegah rombongan tersebut ke
Batavia, Belanda kemudian mengirimkan kapal ke pesisir Cilincing
(sebelah timur kota Batavia) untuk mengangkut para rombongan
masyarakat Cirebon dan pada tanggal 17 Mei 1805 rombongan
tersebut kembali ke Cirebon,[47] mendengar hal ini Gubernur
Jenderal Albertus Henricus Wiese, dikemudian hari mengabulkan
permintaan perwakilan masyarakat Cirebon dengan memulangkan
Pangeran Raja Kanoman dari pengasingannya di Ambon, hal
tersebut dilakukan karena Belanda tidak mau masalah ini menjadi
lebih panjang lagi yang nantinya akan berimbas kepada peperangan
yang lebih besar lagi dengan Cirebon, karena dengan pertempuran
yang sekarang sedang berlangsung dengan para pejuang sudah
banyak korban dari pihak Belanda,[39]

Persoalan hak waris Sultan Kanoman ke empat, Sultan


Anom IV Muhammad Chaerudin yang seharusnya diberikan kepada
putera mahkotanya yaitu Pangeran Raja Kanoman yang telah
diasingkan Belanda ke Ambon dianggap sebagai penyebab
timbulnya pemberontakan. Rakyat melakukan pemberontakan dan
mengidentifikasi diri dengan Sultan Kanoman yang tercabut hak
warisnya (Pengeran Raja Kanoman yang dibuang dan sulit

Halaman 673 dari 883


mengklaim haknya) . Para pemberontak ini berhasil dihimpun
Bagus Rangin untuk melakukan pemberontakan yang lebih besar.
Di daerah Jatitujuh, merupakan pusat gerakan Bagus Rangin dalam
rangka membicarakan strategi perlawanan terhadap pemerintah
kolonial Belanda. Bagus Rangin menganggap residen Belanda telah
merampas tanah warisan nenek moyangnya, untuk digunakan
sendiri oleh residen itu.

Kembalinya Pangeran Raja Kanoman dan dibentuknya


Kacirebonan
Pemberontakan yang dilakukan oleh bagus Rangin meluas
hingga keluar wilayah kesultanan Cirebon, ditengah perjuangan
besar cirebon yang telah dimulai pada sekitar tahun 1788 oleh Mirsa
dan Pangeran Raja Kanoman (Putera Mahkota kesultanan
Kanoman, putera pertama Sultan Anom IV Muhammad
Chaeruddin) dan dilanjutkan oleh pejuang lainnya termasuk di
antaranya Bagus Rangin yang telah memulai perjuangannya pada
sekitar tahun 1802, kondisi sosial di Cirebon semakin
memprihatinkan, masih banyak orang yang jatuh sakit dan
meninggal serta kelaparan akibat kosongnya bulir bulir padi, masa
itu tahun 1805, dikarenakan perjuangan masyarakat cirebon
melawan Belanda masih terus belangsung, maka pada tanggal 1
September 1806[48] Belanda membuat perjanjian dengan Sultan
Sepuh Djoharuddin dan Sultan Anom Abu Soleh Imamuddin untuk
mengembalikan Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon guna
meredakan perjuangan yang terjadi.[49] dalam bukunya Geschiedenis
van Nederlandsch Indie, V Frederik Willem Stapel mengatakan,

Halaman 674 dari 883


sampai dengan tahun 1806 jumlah kaum pemberontak yang bersenjata

“ telah mencapai sekitar 4000 orang. Pasukan yang langsung dipimpin


oleh Bagus Rangin berjumlah antara 280-300 orang yang telah terlatih
perang

namun karena di keraton Kanoman sudah bertahta Pangeran Raja
Abu Soleh Immamudin yang merupakan adik Pangeran Raja
Kanoman, maka akhirnya atas dasar kesepakan keluarga, Pangeran
Raja Kanoman pada tahun 1808 mendirikan kesultanannya sendiri
dengan nama Kacirebonan yang sekarang pusatnya berada di
keraton Kacirebonan, sebagai pemimpin Kacirebonan Pangeran
Raja Kanoman bergelar Sultan Carbon Amirul Mukminin, tetapi
kembalinya Pangeran Raja Kanoman dan dibentuknya kesultanan
Kacirebonan untuk Pangeran Raja Kanoman sebagai hasil
kesepakatan keluarga besar kesultanan Kanoman dikarenakan di
kesultanan Kanoman telah bertahta Sultan Anom V Pangeran Raja
Abu Soleh Immamudin, tidak menyurutkan gerakan perjuangan
yang sedang berlangsung.

Pada masa ditengah pemberontakan ini, Belanda


mengirimkan Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jendral
Hindia Belanda yang tiba di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun
1808 [50] yang memimpin dengan cara kediktaktoran.

Pada tahun 1809 Gubernur Jendral Herman Willem


Daendels atau setahun setelah kedatangannya ke Hindia Belanda,
segera menetapkan berbagai langkah dan tindakan dalam rangka
pengendalian wilayahnya yang ada di Jawa bagian barat, dua

Halaman 675 dari 883


Regentschappen (wilayah) kemudian ditetapkan, kemudian
ditetapkan,

• Pertama, Batavia en Jacatrasche Preanger Regentschappen


(wilayah Batavia dan Priangan-Jakarta) yang meliputi
Batavia, Tangerang, Karawang, Bogor, Cianjur, Bandung
dan Sumedang)
• Kedua, Kesultanan Cheribon en Cheribonsche-Preanger
Regentschappen (wilayah kesultanan Cirebon dan Priangan-
Cirebon), yang meliputi wilayah kesultanan Cirebon,
Limbangan (sekarang bagian dari kabupaten Garut),
Sukapura (sekarang bagian dari kabupaten Tasikmalaya) dan
Galuh (sekarang kabupaten Ciamis dan kota Banjar)[51]
Di daerah Cirebon, dikatakan Gubernur Jendral Herman
Willem Daendels memperoleh hak untuk mengangkat pegawai
kesultanan dan mendapat kekuasaan lebih besar dalam urusan
keuangan dan pemerintahan internal kesultanan. sejak tahun 1809
dikatakan bahwa kesultanan-kesultanan yang ada di Cirebon tidak
lagi memiliki kekuasaan politik karena telah dijadikam pegawai
pemerintah Hindia Belanda dan fungsi mereka sebagai kepala
pemerintahan digantikan oleh para bupati yang diangkat oleh
Gubernur Jendral, yang kemudian wilayah-wilayahnya diawasi oleh
residen yang telah ditunjuk oleh pemerintah Belanda.

Pemisahan kekuasaan kesultanan-kesultanan di Cirebon


pada tahun 1809 bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan
Sepuh VII Sultan Djoharudin di Kesultanan Kasepuhan, Sultan
Anom V Pangeran Raja Abu Soleh Muhammad Immamudin di

Halaman 676 dari 883


kesultanan Kanoman dan Sultan Kacirebonan I Sultan Carbon
Amirul Mukminin Muhammad Chaeruddin II[1] di kesultanan
Kacirebonan yang baru saja dibentuk dari hasil perundiangan
keluarga untuk membagi kesultanan Kanoman.

Pada tahun 1810 Perancis di bawah pimpinan Napoleon


Bonaparte melakukan aneksasi terhadap Belanda dan setelah kabar
ini diterima oleh Gubernur Jendral Herman Willem Daendels,
Gubernur Jendral kemudian melakukan pengibaran bendera
Perancis, hal ini kemudian diketahui oleh Thomas Stamford Raffles
dan mengunjungi Lord Minto Gubernur Jendral Britania di India
untuk mengusir Belanda dari Jawa dan hal tersebut disetujui oleh
Gubernur Jendral Britania untuk India - Lord Minto. Pada tahun
yang sama, tepatnya tanggal 2 Maret 1810, Sultan Kacirebonan I
Muhammad Chaeruddin II yang dahulunya adalah Pangeran Raja
Kanoman dipecat dari jabatannya oleh Belanda karena dianggap
selalu menentang pemerintah[52]

Menindaklanjuti rencana pengusiran Belanda maka pada


sekitar tahun 1811 Pemerintah Britania atau yang dalam bahasa
inggris disebut Britain (Penggabungan kerajaan Inggris, Wales,
Skotlandia dan Irlandia Utara) yang menguasai India, Burma dan
Semenanjung Melayu melakukan peperangan dengan pihak Hindia
Belanda, pasukan-pasukan Britania bahasa inggris (british: orang-
orang britain) kemudian mulai mendarat di pelabuhan-pelabuhan
Jawa pada tanggal 3 Agustus 1811, pada bulan yang sama tepatnya
tanggal 26 Agustus 1811 perang besar antara Hindia Belanda dan
pihak Britania dimulai dan menghasilkan kekalahan Belanda, hasil

Halaman 677 dari 883


peperangan tersebut membuat Belanda menyingkir ke Semarang
sampai akhirnya Belanda di bawah Gubernur Jendral Jan Willem
Janssens yang menggantikan Herman Willem Daendels pada bulan
Mei 1811 menyerah kepada Britania di Salatiga dan
menandatangani kapitulasi Tuntang. Kemenangan ini kemudian
menjadikan Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai Wakil
Gubernur (bawahan Gubernur Jendral) untuk wilayah Jawa, namun
adanya perang besar antara Hindia Belanda dan Britania atau yang
dikenal dengan nama perang jawa Britania-Belanda tidak begitu
menguntungkan gerakan perjuangan ini, terbukti dengan ditemuinya
kegagalan setelah Bagus Rangin dan para pengikutnya ditangkap
oleh pemerintah Britania pada tanggal 27 Juni 1812 di desa
Panongan dan dihukum mati di desa Karangsembung (dahulu
merupakan tempat penyebrangan ramai yang menghubungkan sisi
barat dan timur sungai Cimanuk) pada tanggal 12 Juli 1812.[53][54]

Akhir perang besar Cirebon


Namun demikian, gerakan perjuangan rakyat Cirebon ini
sempat muncul kembali di bawah pemimpin lainnya setelah Britania
di bawah Wakil Gubernur Thomas Stamford Raffles memerintahkan
langsung kepada Cirebon untuk menyingkirkan kekuasaan politik
dari para sultannya, sehingga sultan hanya sebagai pemimpin adat
dan agama saja, gerakan perjuangan tersebut ialan gerakan
perjuangan tahun 1816 di bawah pimpinan Bagus Jabin dan gerakan
perjuangan tahun 1818 di bawah pimpinan Nairem. Kedua
perjuangan tersebut pun menemui kegagalan.

Halaman 678 dari 883


Pada tanggal 19 Agustus 1816, Jawa dikembalikan kepada
Belanda dari Britania setelah berakhirnya perang Napoleon dan
Wakil Gubernur Thomas Stamford Raffles meninggalkan Jawa dan
kembali ke Inggris.

Bangunan induk keraton Kacirebonan

Ratu Raja Resminingpuri membangun keraton Kacirebonan

Kori Agung keraton Kacirebonan

Halaman 679 dari 883


Pada tahun 1814 Sultan Kacirebonan I Amirul Mukminin
Muhammad Chaeruddin II meninggal dunia,[55] pada tahun 1815
Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles memberikan tunjangan
sebesar 600 Rijksdaalder per tahun[54] kepada Ratu Resminingpuri
yang merupakan permaisuri dari mendiang almarhum Sultan
Kacirebonan I tinggal di area Taman Sari Gua Sunyaragi, tetapi
dengan memiliki anak yang masih kecil dan baru berumur lima
tahun yaitu Pangeran Raja Madenda Hidayat[55] yang kelak menjadi
Sultan Kacirebonan II dia memutuskan untuk membangun sebuah
keraton Kacirebonan di Pulosaren dengan uang pensiunan yang
selama ini ditolaknya. Pada masa awal pembangunan keraton
Kacirebonan Ratu Raja Resminingpuri membuat bangunan induk
keraton, Paseban dan Tajug (mushola).

• Bangunan induk keraton sebagai tempat sebagai tempat


tinggal sehari-hari sultan beserta keluarganya. Bangunan ini
terdiri dari beberapa ruangan antara lain ruang tidur, ruang
kerja sultan, pecira, kamar jimat, prabayasa, dapur dan teras
(berfungsi sebagai ruang tunggu bila prajurit rendahan ingin
menghadap Sultan).
• Paseban, terdapat dua buah bangunan Paseban di kompleks
keraton Kacirebonan, yaitu di barat dan timur, berdenah
persegi panjang. Paseban barat menghadap timur ditompang
oleh 8 buah tiang dan 4 saka guru (tiang utama) dan
merupakan bangunan semi terbuka, dinding sisi barat dan

Halaman 680 dari 883


timur dipagari dengan tembok rendah, atapnya berbentuk
joglo dengan penutup genteng.
• Tajug (mushola), terletak di sebelah barat bangunan induk,
antara tajug dan paseban dipisahkan oleh tembok namun ada
pintu penghubung di sisi barat tembok. Pelataran keraton ke
arah selatan pada pagar tembok terdapat gapura kori agung
beratap joglo, yaitu pintu agung utama.
Ratu Raja Resminingpuri pun menjadi wali atas puteranya yang
masih kecil tersebut. Setelah Pangeran Raja Madenda Hidayat
dewasa, Ratu Raja Resminingpuri memberikan tahtanya kepada
puteranya tersebut dengan gelar sultan namun hal itu ditolak oleh
Belanda.

Kerjasama Sultan Kacirebonan V Pangeran Raja Madenda


Raharjadiningrat dengan para pejuang melawan penjajah
Pada masa Sultan Kacirebonan V Pangeran Raja Madenda
Raharjadiningrat terdapat masa penjajahan Jepang dan revolusi
fisik. Pada masa tersebut keraton mulai memulai mengadakan
gerakan di bawah tangan dengan membantu para pejuang, veteran
dan tentara pelajar. Kesultanan Kacirebonan membantu logistik bagi
para pejuang bahkan keraton Kacirebonan digunakan sebagai
tempat pertemuan-pertemuan, setelah Belanda dan Jepang pergi
meninggalkan Indonesia, pihak kesultanan Kacirebonan
menganggap bahwa peraturan-peraturan yang mengekang keraton
yang diciptakan oleh para penjajah sudah tidak berlaku lagi dan
kemudian kesultanan Kacirebonan mulai menggunakan gelar Sultan
kembali untuk para penerus tahtanya.

Halaman 681 dari 883


Silsilah Sultan

• Sultan Kacirebonan I Sultan Carbon Kaceribonan Amirul


Mukminin (bertahta 1808 - 1814)
• Sultan Kacirebonan II Pangeran Raja Madenda Hidayat
(bertahta dari 1814 - 1851)
• Sultan Kacirebonan III Pangeran Raja Denda Wijaya
(bertahta dari 1851 - 10 Oktober 1914)
• Sultan Kacirebonan IV Pangeran Raja Madenda
Partadiningrat (bertahta dari 9 November 1916 - 31 Juli
1931)
• Sultan Kacirebonan V Pangeran Raja Madenda
Raharjadiningrat (bertahta dari 12 Maret 1933 - 24 Februari
1950)
• Sultan Kacirebonan VI Pangeran Raja Sidek Arjaningrat
(bertahta dari 24 Februari 1950 - 14 Januari 1957)
• Sultan Kacirebonan VII Pangeran Raja Harkat Nata
Diningrat (bertahta dari 14 Januari 1957 - 14 Februari 1969)
menggantikan saudaranya Sultan Kacirebonan VI
• Sultan Kacirebonan VIII Pangeran Raja Moh Mulyono Amir
Natadiningrat (bertahta dari 14 Februari 1969 - 8 November
1994)
• Sultan Kacirebonan IX Pangeran Raja Abdulgani Nata
Diningrat Dekarangga (bertahta dari 28 Mei 1997 - )
Referensi

Halaman 682 dari 883


1. ^ Lompat ke:
a b c d e Irianto, Bambang, Dyah Komala Laksmiwati. 2014. Baluarti Keraton Kacirebonan.

Yogyakarta: Deepublish
2. ^ Lompat ke:
a b Ekajati, Edi Suherdi. 2005. Polemik naskah Pangeran Wangsakerta. Bandung: Pustaka

Jaya
3. ^ Lompat ke:
a b Lubis, Nina. 2000. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Bandung : Alqaprint

Jatinangor.
4. ^ Lompat ke:
a b c de Graaf, Hermanus Johannes. 1987. Runtuhnya istana Mataram. Bogor : Grafiti Pers

5. ^ Lompat ke:
a b c d e f g h i Deviani, Firlianna Tiya. 2016. Perjanjian 7 Januari 1681 Dan Implikasinya

Terhadap Kehidupan Sosial Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M - 1755 M).
Cirebon : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati
6. ^ Sunardjo, R. H. Unang . 1996. Selayang Pandang Sejarah Masa Kejayaan Kerajaan
Cirebon : kajian dari aspek politik dan pemerintahan. Cirebon : Yayasan Keraton
Kasepuhan Cirebon
7. ^ Mansyur, Khatib. 2001. Perjuangan rakyat Banten menuju provinsi : catatan kesaksian
seorang wartawan. Serang : Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Provinsi Banten
8. ^ Suparman, Sulasman, Dadan Firdaus. 2017. Tawarikh : Political Dynamics in Cirebon
from the 17th to 19th Century. Bandung : Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung
Jati
9. ^ Lompat ke:
a b c d Tim Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1982. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan


10. ^ de Jonge, Johan Karel Jakob. 1873. De opkomst van het Nederlandsch gezag over Java:
verzameling van onuitgegeven stukken uit het oud-koloniaal archief, Volume 4. s
Gravenhague The Hague : Martinus Nijhoff
11. ^ Lompat ke:
a b c d Heniger, J. 2017. Hendrik Adriaan Van Reed Tot Drakestein 1636-1691 and Hortus,

Malabaricus. Abingdon-on-Thames : Routledge


12. ^ Michrob, Drs Halwani, Drs A. Mudjahid Chudori. 1993. Catatan Masa Lalu Banten.
Serang: Penerbit Saudara
13. ^ Lompat ke:
a b Blink, Hendrik. 1907. Nederlandsch Oost- en West-Indië : geographisch, ethnographisch

en economisch beschreven, Volume 2. Leiden : Evert Jan Brill


14. ^ Lompat ke:
a b Molsbergen, Everhardus Cornelis Godee. 1931. Uit Cheribon's geschiedenis en

Gedenkboek der Gemeente Cheribon 1906-1931. Bandung : Nix


15. ^ Lompat ke:
a b Kartodihardjo, Sartono. 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 - 1900 (dari

Emporium sampai Imperium). Jakarta: Gramedia

Halaman 683 dari 883


16. ^ Roseno, Edi. 1993. Perang Kedondong 1818. Depok: Universitas Indonesia
17. ^ Lompat ke:
a b van der Chijs, Jacobus Anne. 1882. Slands Archief Batavia 1602-1816). Batavia :

Batavia Landsdrukkerij
18. ^ Lompat ke:
a b Chambert-Loir, Henri. Hasan Muarif Ambary. 1999. Panggung sejarah: persembahan

kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia


19. ^ Lompat ke:
a b c d e f Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-

Priangan Legal Administration, 1680–1792. New York : Cornell University Press


20. ^ Ekajati, Edi Suherdi. 2005. Polemik naskah Pangeran Wangsakerta. Bandung: Pustaka
Jaya
21. ^ Lompat ke:
a b c d e al Anwari, Rifcky Mohammad. Pasang Surut Hubungan Kesultanan Cirebon dengan

Kolonial Abad 17 - 19 Dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Di Cirebon. Cirebon :


Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati
22. ^ Lompat ke:
a b c d e f g h i j k Rosita, Heni. 2015. Pecahnya Kesultanan Cirebon dan Pengaruhnya

Terhadap Masyarakat Cirebon Tahun 1667 - 1752. Yogyakarta : Universitas Negeri


Yogyakarta
23. a b c Hoadley, Mason. 1996. The Village Concept in the Transformation of Rural Southeast

Asia. Hove : Psychology Press


24. ^ de Graaf, Hermanus Johannes. 1985. Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan
Senapati. Jakarta: Grafitipers
25. a b c d Iswara, Prana Dwija. 2009. Sejarah Kerajaan Cirebon. Diarsipkan 2016-12-25 di

Wayback Machine.Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia


26. a b c d e f >Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-

Priangan Legal Administration, 1680–1792. New York : Cornell University Press


27. ^ Ball, John Preston, 1982. Legal History 1608 - 1848. Sydney: Oughtershaw Press
28. ^ Tim Arsip Nasional Republik Indonesia. 2013. Arsip Nasional - Surat Surat Diplomatik
1625-1812. Diarsipkan 2022-04-12 di Wayback Machine.Jakarta Arsip Nasional Republik
Indonesia
29. ^ P.S. Sulendraningrat. 1985. Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka
30. ^ "Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat - Sejarah Keraton Kaprabonan,
Cirebon". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-23. Diakses tanggal 2014-12-02.
31. ^ Lompat ke:
a b Mangintrk, Timothy Seta. 2016. Parahiyangan Guardian: Pengembangan Aplikasi Game

Untuk Pembelajaran Interaktif Menggunakan Aksara Bahasa Sunda Berbasis Desktop.


Bandung: Universitas Widyatama
32. ^ Mujidiningrat, Raden Dulur Anom Rahadyan Ikhsanurud Daudi Akbar
Guratpanuratrahsa Ahmad Elwangsih. 2018. Aksara Rikasara: Sebuah Peradaban yang
Hilang. Cirebon: Desa Adat Gamel-Sarabahu

Halaman 684 dari 883


BAB 32
KESULTANAN LINGGA : KESULTANAN YANG
SARAT PENINGGALAN

Kesultanan Riau-Lingga
(Melayu)
‫( کسلطانن رياوليڠݢ‬Jawi)
Sultanaat van Riau en Lingga (Belanda)

Kekuasaan Kesultanan Riau-Lingga berwarna merah, terdiri dari banyak pulau


di perairan Laut Tiongkok Selatan dan kantong di Kateman, Sumatra.

Kesultanan Lingga atau Kesultanan Riau-Lingga adalah


salah satu kerajaan Melayu Islam yang didirikan di Pulau Lingga.
Kesultanan ini dibentuk pada tahun 1824 dari pecahan wilayah
Kesultanan Johor Riau atas perjanjian yang disetujui oleh Britania
Raya dan Hindia Belanda. Pendirinya adalah Sultan Abdul Rahman
Muazzam Syah. Wilayah Kesultanan Lingga mencakup provinsi
Kepulauan Riau. Pusat pemerintahan Kesultanan Lingga awalnya
berada di Tanjung Pinang, tetapi kemudian dipindahkan ke Pulau
Lingga. Kesultanan Lingga berakhir pada tanggal 3 Februari 1911
dan dikuasai Hindia Belanda. Kesultanan ini berperan dalam

Halaman 685 dari 883


pengembangan Bahasa Melayu Riau sebagai bahasa standar yang
kemudian ditetapkan sebagai Bahasa Indonesia.[1]

Pendirian
Pada awalnya, Kesultanan Lingga adalah bagian dari
Kesultanan Melaka yang kemudian diteruskan oleh Kesultanan
Johor Riau. Pada tahun 1811, Sultan Mahmud Syah III yang
berkuasa di Kesultanan Johor Riau wafat sehingga terjadi
perselisihan dalam penentuan pewaris. Akhirnya pihak Britania
Raya dan Hindia Belanda turut campur dalam menentukan pewaris
Kesultanan Johor Riau. Pihak Britania Raya mendukung putra
tertua dari Sultan Mahmud Syah III yaitu Tengku Hussain.
Sebaliknya, Hindia Belanda mendukung adik tiri dari Tengku
Hussain, yaitu Abdul Rahman. Penyelesaian pewaris Kesultanan
ditentukan dalam Traktat London yang diadakan pada tahun 1824.
Keputusannya adalah membagi Kesultanan Johor Riau menjadi dua
Kesultanan, yaitu Kesultanan Johor dan Kesultanan Lingga.
Kesultanan Johor berada dalam pengaruh Britania Raya, sedangkan
Kesultanan Lingga berada dalam pengaruh Hindia Belanda. Abdul
Rahman kemudian ditetapkan sebagai sultan pertama dari
Kesultanan Lingga dengan gelar Muazzam Syah.[2]

Pemerintahan
Pemerintahan di Kesultanan Lingga dibagi antara sultan,
yang dipertuan muda, dan ulama. Sultan memerintah dalam bidang
militer, politik, ekonomi, dan perdagangan. Pusat pemerintahannya
berada di Pulau Lingga. Sultan yang dipilih berasal dari para

Halaman 686 dari 883


bangsawan Melayu. Yang dipertuan muda bertugas sebagai
penasehat sultan. Pusat pemerintahannya berada di Pulau
Penyengat. Jabatan yang dipertuan muda diberikan kepada
bangsawan Bugis. Peran ulama di Kesultanan Lingga adalah
sebagai penasehat Yang Dipertuan Muda dalam bidang rihlah
ilmiah.[3]

Pemilihan Pulau Lingga sebagai pusat pemerintahan karena


lokasinya yang strategis dalam bidang pertahanan. Pulau ini
memiliki dataran yang luas di sekeliling Sungai Daik. Selain itu,
sungainya dapat dilayari hingga ke bagian hulu, sehingga pasukan
Hindia Belanda sulit menjangkaunya. Perairan sungai ini juga
berubah-ubah sesuai dengan pasang surut air, sehingga sangat sulit
dijangkau oleh kapal pada waktu tertentu.[4]

Politik
Politik dalam negeri Kesultanan Lingga cukup stabil.
Pembagian kekuasaan antara Suku Bugis dan Suku Melayu dapat
terkendali.[5] Sebaliknya, Kesultanan Lingga berada di wilayah
dengan perpolitikan luar negeri yang rumit dan tidak stabil.
Kerajaan-kerajaan yang ada di sekitarnya sering melakukan
persaingan antarkekuasaan. Selain itu, pejabat pemerintahan dari
Kesultanan Lingga juga sering berselisih. Kondisi politik semakin
rumit setelah kedatangan Portugal, Hindia Belanda, Britania Raya
dan Jepang. Wilayah-wilayah di Kepulauan Riau, Semenanjung
Melayu, dan pesisir timur Pulau Sumatra tidak dapat sepenuhnya
dikendalikan.[6]

Halaman 687 dari 883


Keagamaan
Kesultanan Lingga menjadi salah satu pusat kegiatan
pembelajaran Islam di kawasan Melayu. Para ulama berdatangan ke
Pulau Penyengat untuk mengajarkan ilmu keislaman. Bersamaan
dengan ini, di Kesultanan Lingga juga mulai banyak penganut
paham tasawuf.[7] Tarekat yang berkembang pesat adalah tarekat
Naqsyabandiyah.[8] Pada masa Kesultanan Lingga, paham fikih dan
tasawuf yang paling berpengaruh adalah pemikiran Abu Hamid Al-
Ghazali. Pemikirannya diajarkan oleh Raja Ali Haji yang telah
berguru kepada para ulama di Madinah dan Mekkah.[9]

Kebudayaan
Kesultanan Lingga telah mengembangkan tradisi tulis
menulis untuk kepentingan ilmu pengetahuan dalam bidang sastra
dan keagamaan. Naskah-naskah ditulis menggunakan Abjad Jawi /
huruf pégon.[10] Kesultanan Riau Lingga membuat kamus Bahasa
Melayu dan menjadikannya sebagai sebuah bahasa standar.[11]

Pada tahun 1850, Kesultanan Lingga membangun sebuah


percetakan surat kabar dengan tulisan dalam Abjad Jawi dan Abjad
Latin. Jenis cetakannya adalah cetakan litograf. Selain itu, di
Kesultanan Lingga juga dibentuk perkumpulan para cendekiawan
yang menulis karya-karya ilmiah dan menerjemahkan buku-buku
berbahasa asing, terutama buku keagamaan yang menggunakan
bahasa Arab.[12]

Kesultanan Lingga juga mengembangkan Bahasa Melayu,


terutama bahasa lisan di kalangan istana. Bahasa Melayu ini

Halaman 688 dari 883


kemudian disebarkan untuk digunakan oleh masyarakat umum.[13]
Bahasa Melayu kemudian disempurnakan menjadi bahasa baku di
Pulau Penyengat.[14] Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud
Muzafar Syah, Kerajaan Lingga menetapkan Bahasa Melayu
sebagai bahasa resmi. Bahasa ini kemudian ditetapkan sebagai
bahasa persatuan pada Kongres Pemuda Indonesia yang diadakan
pada tahun 1928 dengan sebutan baru yaitu Bahasa Indonesia.[15]

Sultan-Sultan
Sultan Abdurrahman (1819-1832)
Sultan Abdurrahaman adalah sultan pertama dari Kesultanan
Lingga. Ia adalah putra dari Sultan Mahmud Syah III yang berkuasa
di Kesultanan Johor Riau. Setelah ayahnya wafat, kesultanannya
dibagi menjadi dua, yaitu Kesultanan Johor Singapura dan
Kesultanan Lingga. Pembagian wilayahnya ditentukan oleh Britania
Raya dan Hindia Belanda dalam Traktat London yang ditetapkan
pada tahun 1824. Wilayah Kesultanan Johor Singapura mencakup
Johor, Singapura, Pahang, dan Terengganu. Sedangkan wilayah
Kesultanan Lingga mencakup Pulau Lingga, Pulau Singkep dan
Riau.[16]

Sultan Muhammad Syah (1832-1841)


Sultan Muhammad Syah menggantikan ayahnya yaitu Sultan
Abdurrahman yang wafat pada 12 Rabiul Awal 1284 H (1832 M).
Ayahnya dimakamkan di Bukit Cengkil Daik. Nama asli dari Sultan
Muhammad Syah adalah Tengku Besar. Sultan Muhammad Syah
wafat pada tahun 1841 dan dimakamkan di Bukit Cengkeh.

Halaman 689 dari 883


Sebelum wafat, ia telah menunjuk putranya yang bernama Tengku
Mahmud sebagai pewaris.[17]

Sultan Mahmud Muzafar Syah (1841-1857)


Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Muzafar Syah,
Kesultanan Lingga menjadi salah satu kerajaan yang memiliki
pengaruh besar bagi Suku Melayu Riau. Kekuasaannya
diberhentikan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada tanggal 23
September 1857.[18]

Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1857-1883)


Pengganti Sultan Mahmud Muzafar Syah adalah pamannya
yang bernama Tengku Sulaiman. Gelarnya adalah Sultan Sulaiman
Badrul Alam Syah. Pelantikannya sebagai sultan diadakan pada
tanggal 10 Oktober 1857. Ia memerintah hingga wafat pada tanggal
17 September 1883. Pemakamannya berada di Bukit Cengkeh.[18]

Sultan Abdurrahman Muazam Syah (1883-1913)


Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah tidak mempunyai
keturunan, sehingga penggantinya adalah putri Sultan Mahmud
Muzafar Syah yang bernama Fatimah. Suami dari Fatimah adalah
Yang Dipertuan Muda ke-10 bernama Raja Muhammad Yusuf,
sehingga kekuasaannya diberikan kepada anaknya yang bernama
Raja Abdurrahman. Setelah dilantik pada tahun 1883, Raja
Abdurrahman diberi gelar Sultan Abdurrahman Muazam Syah. Pada
1903, ia memindahkan pusat pemerintahan ke Pulau Penyengat.
Kesultanan Lingga mengalami perkembangan pesat selama masa
pemerintahannya. Sultan Abdurrahman Muazam Syah mendirikan

Halaman 690 dari 883


perkumpulan Rusydiah di Pulau Penyengat yang kemudian menjadi
pusat perkembangan politik, budaya, dan kemasyarakatan. Ia
menjadi sultan terakhir dari Kesultanan Lingga setelah Hindia
Belanda memutuskan untuk membubarkan kerajaan ini pada tanggal
10 Februari 1911. Keputusan ini ditetapkan karena Sultan
Abdurrahman Muazam Syah tidak patuh terhadap pemerintahan
Hindia Belanda. Setelah diberhentikan sebagai sultan, ia bersama
para bangsawan akhirnya pindah ke Singapura.[19]

Peninggalan
Masjid Raya Pulau Penyengat
Masjid Raya Pulau Penyengat didirikan di Pulau Penyengat.
Pada masa Kesultanan Lingga, masjid ini digunakan sebagai pusat
administrasi kesultanan. Di dalam masjid terdapat banyak naskah
kuno berupa Al-Qur'an hasil tulisan tangan.[20]

Mushaf Al-Qur'an
Mushaf Al-Qur'an Kesultanan Lingga ditemukan di Masjid
Raya Pulau Penyengat dan di Museum Linggam Cahaya. Sebagian
besar mushaf telah lapuk, tidak utuh dan penulisnya anonim.
Mushaf-mushaf yang utuh dan tidak anonim yaitu mushaf Ali bin
Abdullah al-Bugisi al-Syafi’i (1752 M) dan mushaf Abdul Rahman
Stanbul (1867 M).[21]

Naskah keagamaan
Naskah-naskah keagamaan dari Kesultanan Lingga
ditemukan di Pulau Lingga. Bentuknya terbagi menjadi dua jenis,
yaitu cetakan dan tulis tangan. Pembahasan dari naskah-naskah

Halaman 691 dari 883


tersebut adalah tentang ilmu fikih, tauhid, hadis, dan tasawuf.
Sebagian besar naskah tidak mencatumkan nama penulis dan tahun
penulisannya. Naskah-nasah ini disimpan di Museum Daik Lingga
dan di kediaman Tengku Husin yang merupakan salah satu
keturunan dari penguasa Kesultanan Lingga.[22]

Naskah pengobatan
Naskah-naskah pengobatan yang ditemukan menggunakan
Abjad Jawi. Pemilik naskah bernama Raja Malik. Saah satu naskah
berjudul Kitab Obat Sopak. Isinya membahas tentang penggunaan
metode zikir asmaul husna dalam mengobati belang-belang
berwarna putih yang muncul di tangan atau kaki. Selain itu,
ditemukan sebuah naskah yang membahas tentang pengobatan yang
dapat meningkatkan kualitas hubungan suami-istri dalam berumah
tangga. Naskah ini ditulis dalam Bahasa Melayu.[23]

Naskah administrasi kesultanan


Isi dari naskah-naskah administrasi yang ditemukan adalah
mengenai keadaan pemerintahan pada masa keemasan dari
Kesultanan Lingga. Naskah ditulis dengan Abjad Jawi dan disimpan
di Museum Lingga Cahaya. Naskah penting yang penting di
antaranya yaitu tentang pembukaan lahan perkebunan di Pulau
Selayar (1327 H), keterangan kelahiran dan kematian penduduk
(1307 H), keterangan penunjukan dan hasil kerja kapten kapal (1311
H), dan pengangkatan raja Riau yang bernama Raja Muhammad
(1855 M).[24]

Referensi

Halaman 692 dari 883


1. ^ Sunandar 2015, hlm. 188.
2. ^ Sunandar 2015, hlm. 190.
3. ^ Syahid 2005, hlm. 301.
4. ^ Rehayati dan Farihah 2017, hlm. 173.
5. ^ Syahid 2005, hlm. 303.
6. ^ Syahid 2005, hlm. 302.
7. ^ Syahid 2005, hlm. 306.
8. ^ Syahid 2005, hlm. 308.
9. ^ Rehayati dan Farihah 2017, hlm. 173–174.
10. ^ Jamal dan Harun 2014, hlm. 55.
11. ^ Jamal dan Harun 2014, hlm. 59.
12. ^ Jamal dan Harun 2014, hlm. 60.
13. ^ Firdaus, Elmustian, dan Melay 2018, hlm. 15–16.
14. ^ Firdaus, Elmustian, dan Melay 2018, hlm. 20.
15. ^ Firdaus, Elmustian, dan Melay 2018, hlm. 24.
16. ^ Firdaus, Elmustian, dan Melay 2018, hlm. 156.
17. ^ Firdaus, Elmustian, dan Melay 2018, hlm. 156–157.
18. ^ Lompat ke:
a b Firdaus, Elmustian, dan Melay 2018, hlm. 157.

19. ^ Firdaus, Elmustian, dan Melay 2018, hlm. 158–159.


20. ^ Jamal dan Harun 2014, hlm. 60–61.
21. ^ Jamal dan Harun 2014, hlm. 63–64.
22. ^ Jamal dan Harun 2014, hlm. 64–65.
23. ^ Jamal dan Harun 2014, hlm. 66.
24. ^ Jamal dan Harun 2014, hlm. 67.
Daftar Pustaka
Firdaus, Elmustian, dan Melay, R., (Ed.) (2018). Tamadun Melayu Lingga (PDF). Lingga: Dinas
Kebudayaan Kabupaten Lingga. ISBN 978-602-53286-0-2.

Jamal, K., dan Harun, I. (2014). "Inventarisasi naskah Klasik Kerajaan Lingga". Sosial Budaya. 11 (1):
55–69. ISSN 2407-1684.

Rehayati, R., dan Farihah, I. (2017). "Transmisi Islam Moderat oleh Raja Ali Haji di Kesultanan Riau-
Lingga pada Abad Ke-19". Ushuluddin. 25 (2): 172–187. doi:10.24014/jush.v25i2.3890.
ISSN 2407-8247.

Sunandar, Heri (2015). "Aspek Sosio Politis Naskah dan Arkeologi". Al-Fikra. 14 (2): 186–212.

Syahid, Achmad (Desember 2005). "Sufistikasi Kekuasaan pada Kesultanan Riau-Lingga Abad XVIII-
XIX M". Ulumuna. IX (2): 295–312. ISSN 2355-7648.

Halaman 693 dari 883


BAB 33
PRABU KIAN SANTANG : PENYEBAR ISLAM
PERTAMA DI TANAH PASUNDAN

Prabu Kian Santang atau Raden Sangara atau Syeh


Sunan Rohmat Suci, adalah Putra Prabu Siliwangi atau Sri Baduga
Maharaja Raja Pakuan Pajajaran dengan Nyi Subang Larang,
Pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyi Subang Larang dinikahkan
oleh Syekh Quro' Karawang. Dari pernikahan Sri Baduga Maharaja
dengan Nyi Subang Larang dikarunia 3 orang anak yaitu
Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), Rara Santang (ibu Sunan
Gunung Jati) dan Prabu Kian Santang.

Prabu Kian Santang menjadi Dalem Bogor

Batu Tulis Bogor

Halaman 694 dari 883


Pada usia 22 tahun Prabu Kian Santang diangkat menjadi
Dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara
penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding
Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar
Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan
penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh
Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai
sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor.

Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di


lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua
sebagai pewaris sejarah bangsa khususnya di Pasundan. Prabu Kian
Santang merupakan sinatria yang gagah perkasa, tak ada yang bisa
mengalahkan kegagahannya. Sejak kecil sampai dewasa yaitu usia
33 tahun, Prabu Kian Santang belum tahu darahnya sendiri dalam
arti belum ada yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya di
sejagat pulau Jawa.

Sering dia merenung seorang diri memikirkan, "Dimana ada


orang gagah dan sakti yang dapat menandingi kesaktian dirinya."
Akhirnya Prabu Kian Santang memohon kepada ayahnya yaitu
Prabu Siliwangi supaya mencarikan seorang lawan yang dapat
menandinginya. Sang ayah memanggil para ahli nujum untuk
menunjukkan siapa dan dimana ada orang gagah dan sakti yang
dapat menandingi Prabu Kian Santang. Namun tak seorang pun
yang mampu menunjukkannya.

Halaman 695 dari 883


Prabu Kian Santang dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib
Tiba-tiba datang seorang kakek yang memberitahu bahwa
orang yang dapat menandingi kegagahan Prabu Kiansantang itu
adalah Sayyidina Ali, yang tinggal jauh di Tanah Mekah. Sebetulnya
pada waktu itu Sayyidina Ali telah wafat, tetapi kejadian ini
dipertemukan secara goib dengan kekuasaan Allah Yang Maha
Kuasa.

Lalu orang tua itu berkata kepada Prabu Kiansantang,


"Kalau memang anda mau bertemu dengan Sayyidina Ali harus
melaksanakan dua syarat: Pertama, harus mujasmedi dulu di ujung
kulon. Kedua, nama harus diganti menjadi Galantrang Setra
(Galantrang - Berani, Setra - Bersih-Suci). Setelah Prabu
Kiansantang melaksanakan dua syarat tersebut, maka berangkatlah
dia ke tanah Suci Mekah.

Setiba di tanah Mekah dia bertemu dengan seorang lelaki


yang disebut Sayyidina Ali, tetapi Kiansantang tidak mengetahui
bahwa laki-laki itu bernama Sayyidina Ali. Prabu Kiansantang yang
namanya sudah berganti menjadi Galantrang Setra menanyakan
kepada laki-laki itu, "Kenalkah dengan orang yang namanya
Sayyidina Ali?" Laki laki itu menjawab bahwa ia kenal, malah bisa
mengantarkannya ke tempat Sayyidina Ali.

Sebelum berangkat laki-laki itu menancapkan dulu


tongkatnya ke tanah, yang tak diketahui oleh Galantrang Setra.
Setelah berjalan beberapa puluh meter, Sayyidina Ali berkata,
"Wahai Galantrang Setra tongkatku ketinggalan di tempat tadi, coba

Halaman 696 dari 883



tolong ambilkan dulu." Semula Galantrang Setra tidak mau, tetapi
Sayyidina Ali mengatakan, "Kalau tidak mau ya tentu tidak akan
bertemu dengan Sayyidina Ali."

Terpaksalah Galantrang Setra kembali ke tempat bertemu,


untuk mengambilkan tongkat. Setibanya di tempat tongkat
tertancap, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah
tangan, dikira tongkat itu akan mudah lepas. Ternyata tongkat tidak
bisa dicabut, malahan tidak sedikitpun berubah. Sekali lagi dia
berusaha mencabutnya, tetapi tongkat itu tetap tidak berubah.
Ketiga kalinya, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sekuat
tenaga dengan disertai tenaga bathin. Tetapi daripada kecabut,
malahan kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk ke dalam
tanah, dan keluar pulalah darah dari seluruh tubuh Galantrang Setra.

Tongkat Ali bin Abu Thalib yang dihadiahkan pada Rakeyan Sancang yang berada di Kaum Pusaka
(Yayasan Pusaka Muslimin diketuai Ucep Jamhari) Cinunuk Garut

Halaman 697 dari 883


Ternyata laki-laki yang baru dikenalnya tadi namanya
Sayyidina Ali. Setelah Prabu Kiansantang meninggalkan kota
Mekah untuk pulang ke Tanah Jawa (Padjadjaran) dia terlunta-lunta
tidak tahu arah tujuan, maka dia berpikir untuk kembali ke tanah
Mekah lagi. Maka kembalilah Prabu Kiansantang dengan niatan
akan menemui Sayyidina Ali dan bermaksud masuk agama Islam.
Prabu Kiansantang masuk agama Islam, dia bermukim selama dua
puluh hari sambil mempelajari ajaran agama Islam. Kemudian dia
pulang ke tanah Sunda (Padjadjaran) untuk menengok ayahnya
Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya. Setibanya di Padjadjaran
dan bertemu dengan ayahnya, dia menceritakan pengalamannya
selama bermukim di tanah Mekah serta pertemuannya dengan
Sayyidina Ali. Pada akhir ceritanya dia memberitahukan dia telah
masuk Islam dan berniat mengajak ayahnya untuk masuk agama
Islam.

Pertemuan Prabu Kian Santang dengan Kanjeng Sayyidina Ali


di Sanghyang Sirah Ujung Kulon

Sebagai orang Islam sudah tentu harus dikhitan. Karena


keterbatasan pengetahuan Prabu Kian Santang maka terjadi banyak
kesalahan dalam melakukan prosedur khitan. Bukan yang ujung
kulit penis yang dipotong tapi dipotong sampai ke ujung-ujungnya.
Bisa bayangkan pasti banyak yang meninggal dengan kesalahan
tersebut. Akhirnya Prabu Kian Santang mengutus orang untuk
menemui Sayidina Ali di jazirah Arab dengan tujuan untuk

Halaman 698 dari 883


mendapatkan ilmu pengetahuan yang baik dan benar tentang Khitan
secara Islami.

Kemudian Sayidina Ali dan orang suruhan Prabu Kian


Santang pergi ke Godog Suci untuk memberikan pelajaran cara
khitan dan beberapa pengetahuan tentang Islam. Disamping itu
Sayidinna Ali ingin menyerahkan Kitab Suci Al Qur’an. Sebagai
orang Muslim maka sudah pasti harus berpatokan kepada Al Quran.
Karena sejak bertemu pertama kali Sayidina Ali belum pernah
menyerahkan kitab Al Quran kepada Prabu Kian Santang.

Ternyata sesampainya di Godog Suci, Prabu Kian Santang


telah meninggalkan tempat tersebut dan pergi menemui Prabu
Munding Wangi yang telah tilem di Sanghyang Sirah, Ujung Kulon
untuk memberitahukan kepada ayahandanya kalau beliau telah
menetapkan hati sebagai seorang muslim. Mendengar berita tersebut
Sayidina Ali mengejar ke Sanghyang Sirah sebagai bentuk amanah
dan perhatian agar Prabu Kian Santang mempunyai pegangan yang
kuat berupa Kitab Al Quran. Masak sebagai muslim tidak memiliki
Kitab Al Quran.

Apa yang terjadi kemudian? Ketika sampai di Sanghyang


Sirah, Sayidina Ali hanya bisa bertemu Prabu Munding Wangi.
Prabu Munding Wangi mengatakan kepada Sayidina Ali kalau Prabu
Kian Santang telah pergi lagi dan menghilang entah kemana setelah
mendapat restu dari ayahandanya. Prabu Kian Santang adalah satu-
satunya anak Prabu Munding Wangi yang menjadi raja tapi tidak

Halaman 699 dari 883


pernah memerintah kerajaan karena hidupnya didedikasikan untuk
penyebaran agama Islam.

Akhirnya Sayidina Ali menyerahkan dan menitipkan kitab


Al Quran untuk disimpan dan berharap dapat diberikan kepada
Prabu Kian Santang apabila berkunjung ke Sanghyang Sirah. Prabu
Munding Wangi menerima kitab Al Quran dengan lapang dada dan
disimpannya di dalam kotak batu bulat. Kemudian kotak batu berisi
Al Quran tersebut ditaruh di tengah batu karang yang dikelilingi
oleh air kolam yang sumber airnya berasal dari tujuh sumber mata
air (sumur).

Selanjutnya Sayidina Ali mohon diri tapi sebelumnya sholat


terlebih dahulu di atas batu karang yang sekarang sering disebut
Masjid Sayyidina Ali. Dengan kuasa Allah SWT, Sayyidina Ali
langsung menghilang entah kemana. Mungkin kembali ke jazirah
Arab.

Peristiwa Batu Quran ini beberapa abad kemudian diketahui


oleh Syekh Maulana Mansyur berdasarkan ilham yang didapatnya
dari hasil tirakat. Segeralah Syekh Maulana Mansyur berangkat ke
Sanghyang Sirah. Betapa kagumnya Syekh Maulana Mansyur
melihat kebesaran Allah lewat mukjizat Batu Quran dimana dari air
kolam yang bening terlihat dengan jelas tulisan batu karang yanng
menyerupai tulisan Quran. Sayangnya saat ini air kolam sudah
keruh dan sulit untuk melihat batu karang dengan tulisan Quran

Halaman 700 dari 883


karena banyaknya endapan di dasar kolam dan banyaknya penziarah
yang membuang pakaian bekas mandiannya ke Batu Quran.

Karena jauhnya jarak Sanghyang Sirah dan membutuhkan


waktu dan energi yang luar biasa maka untuk memudahkan anak
cucu ataupun umat Islam yang ingin melihat Batu Quran maka
dibuatlah replika Batu Quran dengan lengkap sumur tujuhnya di
Cibulakan Kabupaten Pandeglang. Saat ini saja untuk menuju
Sanghyang Sirah lewat Taman Jaya membutuh waktu 2 hari satu
malam dengan berjalan kaki dan membutuhkan waktu 5 jam dengan
menggunakan kapal laut dari Ketapang, Sumur menuju Pantai Bidur
yang dilanjutkan berjalan kaki selama hampir 1 jam menuju
Sanghyang Sirah. Bisa dibayangkan berapa lama waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai kesana pada jamannya Syekh Maulana
Mansyur.

Petilasan di Sanghyang Sirah

Halaman 701 dari 883


Kian Santang dan Rakeyan Sancang
Prabu Kiansantang inilah disebut-sebut tradisi masyarakat
sebagai putra Raja Padjadjaran (Prabu Siliwangi) yang berselisih
paham tentang keyakinan agama, tapi akhirnya mereka bersepakat
Kian Santang diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama Islam di
seluruh wilayah Kerajaan Padjadjaran, petilasan yang bertalian
dengan Kian Santang berada di Godog Garut berupa makam,
gunung Nagara berupa bekas pertahanan dan di Cilauteureun.

Cerita rakyat turun menurun dari mulut ke mulut bahwa


Prabu Kiansantang / Kian Santang abad ke 15 yang bertemu dengan
Sayyidina Ali bin Abi Thalib tahun 1599-1661 dan mengejar
bapaknya Prabu Siliwangi untuk di Islam-kan, hal ini terkait dengan
siapa pemeluk Islam pertama di tataran Sunda, yakni dengan nama
yang serupa dengan Pangeran dari Kerajaan Tarumanagara, yang
bernama Rakeyan Sancang (lahir 591 M) putra Raja Kertawarman
(Raja Kerajaan Tarumanagara 562– 618 M) saudara sebapak Raja
Suraliman Sakti (568–597) Putra Manikmaya cucu Suryawarman
Raja Kerajaan Kendan.

Keturunan Ki Santang
Dalam wangsit uga siliwangi dikatakan bahwa keturunanya
akan menjadi pengingat mengingatkan saudara kalian dan orang
lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan
semua yang baik hatinya:

Halaman 702 dari 883


Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang!
Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka
batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka
sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti
gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana;
saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah
sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi
ulah ngalieuk ka tukang!:
artinya:

Kalian yang di sebelah barat! Carilah oleh kalian Ki


Santang! Sebab nanti, keturunan kalian yang akan mengingatkan
saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara
yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya. Suatu saat
nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara
minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian
dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai
berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat!
Jangan menoleh kebelakang!
Referensi
1. Kiansantang antara mitos dan sejarah
2. Sejarah Jemaah Haji Indonesia Tempoe Doloe
3. Kelahiran Nabi Muhammad SAW dan Krakatau
4. Islam Masuk ke Garut Sejak Abad 1 Hijriah
5. Kian Santang dan Sayyidina Ali
6. Uga Siliwangi
7. https://ruddabby.wordpress.com/tag/prabu-kian-santang/

Halaman 703 dari 883


BAB 34
SYEKH QURO ‘AIN KARAWANG

Petunjuk Makam Quro

Syekh Quro adalah Syekh Qurotul Ain atau Syekh


Hasanuddin atau Syekh Mursahadatillah. Menurut naskah Purwaka
Caruban Nagari, Syekh Quro adalah seorang ulama. Dia adalah
putra ulama besar Perguruan Islam dari negeri Campa yang bernama
Syekh Yusuf Ash-Shodiq yang masih ada garis keturunan dengan
Syekh Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro serta Sultan Syekh

Halaman 704 dari 883


Ahmad Shah Jalaluddin bin Sultan Habib Abdullah Amir Khan bin
Abdul Malik Azmatkhan bin Alawi Ammul Faqih ulama besar
Hadralmaut Tarim. Jika ditarik dan dilihat dari silsilah keturunan,
Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro masih keturunan dari Sayydina
Husein bin Sayyidina Ali K.R.W, dan Sayyidatina Fatimah Az-
Zahra Putri Nabi Muhammad SAW. dari keturunan Dyah Kirana
( Ibunya Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro ). Selain itu Syekh
Hasanuddin atau Syekh Quro juga masih saudara seketurunan
dengan ulama Cirebon dari generasi ke– 4 Sultan Habib Abdullah
Amir Khan Al-Hindi Wafat Di India.

Sebelum berlabuh di Pelabuhan Karawang, Syekh Quro


datang di Pelabuhan Muara Jati, daerah Cirebon pada tahun 1338
Saka atau tahun 1416 Masehi. Sementara Syekh Nurjati mendarat di
Cirebon pada tahun 1342 Saka atau tahun 1420 Masehi atau 4 tahun
setelah pendaratan Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro di Cirebon.
Kedatangan Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro di Cirebon,
disambut baik oleh Syahbandar atau penguasa Pelabuhan Muara Jati
Cirebon yang bernama Ki Gedeng Tapa.

Maksud dan tujuan kedatangan Syekh Hasanuddin ke


Cirebon adalah untuk menyebarkan ajaran Agama Islam kepada
Rakyat Cirebon. Syekh Hasanuddin ketika di Cirebon, namanya
disebut dengan sebutan Syekh Mursahadatillah oleh Ki Gedeng
Tapa dan para santrinya atau rakyat Cirebon.

Setelah sekian lama di Cirebon, akhirnya misi Syekh


Hasanuddin untuk menyebarkan ajaran Agama Islam di Pelabuhan

Halaman 705 dari 883


Cirebon rupanya diketahui oleh Raja Pajajaran yang bernama Prabu
Angga Larang. Kemudian Prabu Angga Larang mengutus utusannya
untuk mengetahui misi penyebaran Agama Islam yang dibawakan
oleh Syekh Hasanudin.

Ketika utusan Prabu Angga Larang sampai di Pelabuhan


Cirebon, maka utusan tersebut diterima dengan ramah oleh Syekh
Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah atau Syekh Quro. Syekh
Hasanuddin atau Syekh Mursahadatillah seraya berkata kepada
utusan Raja Pajajaran Prabu Angga Larang : “Kelak dari keturunan
raja Pajajaran akan ada yang menjadi Waliyullah meneruskan
perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam ”. Peristiwa ini
disambut gembira oleh Ki Gedeng Tapa dan para santri atau rakyat
Cirebon, karena Ki Gedeng Tapa sangat ingin terus berguru kepada
Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah atau Syekh Quro
untuk memperdalam ajaran Agama Islam.

Suatu waktu Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah


pernah pamit kepada Ki Gedeng Tapa - Muara Jati Cirebon karena
harus berdakwah ke Malaka dan Sumatera, maka Ki Gedeng Tapa
Muara Jati Cirebon menitipkan anak kandung Putri kesayangannya
yang bernama Nyi Subang Larang, untuk ikut berlayar bersama
Syekh Hasanuddin atau Syekh Mursahadatillah ke Malaka.

Keberadaan di Karawang
Syekh Hasanuddin atau Syekh Mursahadatillah mukim dan
diberi lahan oleh Raja Sunda-Pajajaran yang berada di Pelabuhan
Bunut - Kertayasa ( Kampung Bunut, Kelurahan Karawang Kulon -

Halaman 706 dari 883


Kecamatan Karawang Barat Kabupaten Karawang sekarang ini ).
Maka di Karawang ini Syekh Hasanudin dikenal sebagai Syekh
Quro karena dia adalah seorang yang hafal Al-Quran (hafidz) dan
sekaligus qori yang bersuara merdu.

Syekh Quro datang di Karawang pada tahun 1418 Masehi,


setelah mendarat di Muara Jati Cirebon tahun 1416 masehi dengan
menumpang armada Laksamana Cheng Ho yang diutus Kaisar
Tiongkok Cheng Tu atau Yung Lo (raja ketiga zaman Dinasti Ming).

Ekspedisi Tiongkok datang ke Cirebon atas titah Kaisar


Ming, Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424),
kaisar ketiga dari Dinasti Ming yang sangat terkenal pada tahun
1432 masehi. Dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho dan
Laksamana Sampo Bo.

Kaisar Ming menugaskan untuk mengunjungi berbagai


bangsa-bangsa untuk menjalin hubungan Persaudaraan antara
Tiongkok dengan bangsa-bangsa tersebut. Kaisar Ming membekali
ekspedisi dengan 25.000 hingga 27.000 orang pasukan dan 50 buah
kapal besar.

Catatan lain bahkan menyebutkan armada terdiri 307 kapal


laut yang terdiri dari kapal besar dan kecil, mulai dari kapal bertiang
layar tiga hingga bertiang layar sembilan. Kapal terbesar
mempunyai panjang sekitar 400 feet atau 120 meter dan lebar 160
feet atau 50 meter. Rangka layar kapal terdiri dari bambu Tiongkok.

Halaman 707 dari 883


Cheng Ho atau Zheng He (Hanzi tradisional:鄭和, Hanzi
sederhana: 郑和, Arab: ‫ﺗــــﺸـﻨـﻎ ھــــﻮ‬, Hanyu Pinyin: Zhèng Hé, Wade-
Giles: Cheng Ho; nama asli: 马三宝 Hanyu Pinyin: Ma Sanbao)
(Nama Arab: ‫ ;ﺣـﺎﺟـﻲ ﻣﺤـﻤﻮد ﺷـﻤﺲ‬Haji Mahmud Shams) (1371 - 1433),
adalah seorang pelaut dan penjelajah Tiongkok terkenal.

Di antara penjelajahannya adalah ekspedisi ke Nusantara


antara tahun 1405 hingga 1433 masehi. Cheng Ho adalah keturunan
suku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han
tetapi memeluk agama Islam.

Ekspedisi pertama Cheng Ho dan pasukannya mendatangi


Cirebon tahun 1405 masehi. Mereka sebetulnya datang hanya untuk
mengisi air bersih bagi kepentingan pasukan. Namun, mengisi air
untuk armada Cheng Ho tentu membutuhkan waktu lama. Sebab,
kapal-kapalnya besar dan jumlah penumpangnya banyak. Singgah
di wilayah dalam waktu lama tentu harus minta izin kepada
penguasa lokal.

Itulah awal persahabatan Cirebon dengan Cheng Ho. Saat itu


Kesultanan Cirebon belum ada. Masih di bawah kekuasaan
Kerajaan Singapura (bagian dari Kerajaan Sunda-Pajajaran).
Baru pada 1430 masehi Kasunanan Cirebon ada. Dimulai ketika
putra Kerajaan Pajajaran Pangeran Cakrabuana mendirikan Keraton
Pakungwati.

Hampir semua wilayah Cirebon pernah didatangi Cheng Ho.


Tapi, daerah yang menjadi tempat tinggal selama di Cirebon adalah

Halaman 708 dari 883


kawasan Muara Jati. Daerah itu sekarang menjadi area makam
Sunan Gunung Jati.

Cheng Ho memberikan hadiah berupa guci dan piring-piring


dengan lafaz tauhid, yang sekarang masuk dalam pusaka keramat
Kesultanan Kasepuhan Cirebon yang hanya boleh dilihat pada
Jumat.

Kunjungan Cheng Ho juga banyak memberikan bantuan alih


teknologi ke masyarakat Cirebon. Di antaranya adalah manajemen
kesyahbandaran, dan pembuatan jala penangkap ikan. Sehingga
hasil tangkapan nelayan Cirebon menjadi lebih banyak. Bukan
hanya itu, prajurit Cheng Ho juga mengajarkan teknik bercocok
tanam.

Sebagai tanda persahabatan juga salah satunya membangun


mercusuar untuk mempermudah dalam mengontrol Pelabuhan
Muara Jati.

Hubungan Cirebon dengan Tiongkok tak hanya sampai pada


kunjungan Cheng Ho. Hubungan pernikahan juga terjadi antara
Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon yang juga salah
seorang Wali Sanga, dengan salah satu putri dari Tiongkok, yakni
Putri Ong Tien Nio. Baju-baju peninggalan Ong Tien Nio sampai
sekarang masih tersimpan di museum dalam Keraton Kasepuhan
Cirebon.

Cheng Ho dan Sunan Gunung Jati memang beda zaman.


Cheng Ho kali pertama datang ke Cirebon pada 1405, sedangkan
Sunan Gunung Jati memerintah Cirebon mulai 1479.

Halaman 709 dari 883


Meski sempat lama singgah di Cirebon, tidak banyak
petilasan Cheng Ho di daerah itu. Yang masih bisa dijumpai adalah
bekas mercusuar di kawasan Muara Jati. Mercusuarnya sendiri
roboh pada zaman Belanda. Kini satu-satunya landmark justru
bangunan modern berupa replika kapal yang dibangun pengusaha
Cirebon keturunan Tionghoa. Yakni restoran berupa replika kapal
Cheng Ho.

Ekspedisi berikutnya, saat mendarat di negeri Campa


(Kamboja), Laksamana sampo Bo bertemu dengan Laksamana
Sampo Lo Khoei Kian. Sampo Lo Khoei Kian adalah salah
seorang laksamana laut yang sangat tangguh dan kepercayaan juga
orang andalan dari Panglima Cheng Ho.

Kemudian Laksamana Sampo Bo dan beserta segenap


ekspedisinya meninggalkan negeri Campa- Kamboja untuk
melanjutkan perjalanan ke negeri-negeri berikutnya. Dalam
perjalanan ini, seorang pemuda Hasanuddin bin Yusuf Ash-
Shodiq ikut dalam perjalanan Sampo Bo. Hasanuddin bin Yusuf
Ash-Shodiq adalah putra seorang ulama besar di Campa yg bernama
Yusuf Ash-Shodiq atau dengan sebutan Syeikh Yusuf Ash-Shodiq.
Syekh Hasanuddin Azmatkhan adalah adik ipar dari Laksamana
Sampo Lo khoei kian, yang telah menikahi kakak perempuannya
yang bernama Syarifah Hayati binti Syekh Yusuf Ash-Shodiq
Azmatkhan.

Ketika mendarat di Cirebon, ekspedisi Sampo Bo menjalin


hubungan dengan Keraton Cirebon dan sebagai tanda persahabatan

Halaman 710 dari 883


tersebut didirikan Menara mercusuar di Pelabuhan Cirebon.
Sementara Laksamana Sampo Lo Khoei Kian beserta prajuritnya
dikenalkan oleh Cirebon kepada Raja Sunda-Pajajaran di Pakuan –
Pajajaran.

Prabu Siliwangi menganugerahkan lahan tanah dan jabatan


untuk Laksamana Sampo Lo Khoei Kian dan wakilnya bernama
Laksamana Muda Sampo Lo Kian Zhee adiknya. Demikian juga
beberapa orang kepercayaan yang konon katanya ada 20 orang yg
diangkat menjadi wakil mereka. Adalah orang-orang tangguh yang
pilih tanding. Ada 20 orang yang masih dingat dengan baik oleh
para nara sumber adalah : Dai min, Bai lin, I bung, Lo Ih, Khu sen,
Lu wek, dll.

Laksamana Sampo Lo Khoei Kian dan Laksamana Muda


Sampo Lo Kian Zhee adiknya diberikan lahan tanah di daerah Pulo
Aren dan mendirikan bentengan bernama Cha kung (sekarang
Cakung, Jakarta Timur). Sampo Lo Khoei Kian diberi nama jabatan
oleh Raja Sunda dengan nama Rakean Jaya Laksana. Sementara
Sampo Lo Kian Zhee diberi nama jabatan Rakean Jagabaya.

Tujuan utama perjalanan Cheng Ho dalam rangka menjalin


persahabatan dengan raja-raja tetangga Tiongkok di seberang lautan.
Maka ketika Syekh Quro beserta pengiringnya turun Muara Jati dan
kemudian ke Pelabuhan Pura Dalam Karawang, maka armada
Tiongkokpun berlabuh di Pelabuhan Muara Jati - Cirebon dan
mengisi perbekalan.

Halaman 711 dari 883


Di Kabupaten Karawang pada tahun 1340 Saka (1418 M)
didirikan pesantren dan sekaligus masjid di Pelabuhan Bunut
Kertayasa, Karawang Kulon Karawang Barat sekarang, diberi nama
Pondok Quro yang artinya tempat untuk belajar Al Quran. Syekh
Quro adalah penganut Mahzhab Hanafi, yang datang bersama para
santrinya antara lain: Syekh Abdurrahman, Syekh Maulana
Madzkur, dan Nyai Subang Larang.

Syekh Quro kemudian menikah dengan Ratna Sondari


putrinya dari Ki Gedeng Karawang dan lahir seorang putra yang
bernama Syekh Ahmad Azmatkhan yang menjadi penghulu pertama
di Karawang. Syekh Quro juga memiliki salah satu santri yang
sangat berjasa dalam menyebarkan ajaran Agama Islam di
Karawang yaitu bernama Syech Abdulah Dargom alias Syech
Darugem bin Jabir Modafah alias Syech Maghribi keturunan dari
Sayyidina Usman bin Affan r. a. Yang kelak disebut dengan nama
Syekh Bentong alias Tan Go. Syekh Bentong memiliki seorang istri
yang bernama Siu Te Yo dan dia mempunyai seorang putri yang
diberi nama Siu Ban Ci.

Ketika usia anak Syekh Quro dan Ratna Sondari sudah


beranjak dewasa, akhirnya Syekh Quro berwasiat kepada santri–
santri yang sudah cukup ilmu pengetahuan tentang ajaran Agama
Islam seperti: Syekh Abdurrahman dan Syekh Maulana Madzkur di
tugaskan untuk menyebarkan ajaran Agama Islam ke bagian selatan
Karawang, tepatnya ke kecamatan Telukjambe, Ciampel, Pangkalan,
dan Tegalwaru sekarang. Sedangkan anaknya Syekh Quro dengan
Ratna Sondari yang bernama Syekh Ahmad, ditugaskan oleh sang

Halaman 712 dari 883


ayah meneruskan perjuangan menyebarkan ajaran Agama Islam di
Pesantren Quro Karawang atau Masjid Agung Karawang sekarang.

Sedangkan sisa santrinya yang lain yakni Syech Bentong


ikut bersama Syech Quro dan Ratna Sondari istrinya pergi ke bagian
Utara Karawang tepatnya ke Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan
Lemahabang Kabupaten Karawang sekarang untuk menyebarkan
ajaran Agama Islam dan bermunajat kepada Allah swt. Di Pulo Bata
Syech Quro dan Syech Bentong membuat sumur yang bernama
sumur Awisan, kini sumur tersebut masih dipergunakan sampai
sekarang.

Waktu terus bergulir usia Syech Quro sudah sangat uzur,


akhirnya Syech Quro Karawang meninggal dunia dan dimakamkan
di Pulo Bata Desa Pulo Kalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten
Karawang. Maka penerus perjuangan penyebaran ajaran Agama
Islam di Pulo Bata, diteruskan oleh Syekh Bentong sampai akhir
hayatnya Syekh Bentong.

Makam Syekh Quro Karawang dan Makam Syekh Bentong


ditemukan oleh Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran
Sambri dan Syech Tolha pada tahun 1859 Masehi atau pada abad ke
– 19. Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan
Syech Tolha, di tugaskan oleh Kesultanan Cirebon, untuk mencari
makam Maha guru leluhur Cirebon yang bernama Syech Quro.

Bukti adanya makam Syekh Quro Karawang di Pulo Bata


Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang, di
perkuat lagi oleh Sunan Kanoman Cirebon yaitu Pangeran Haji Raja

Halaman 713 dari 883


Adipati Jalaluddin saat berkunjung ke tempat itu dan surat,
penjelasan sekaligus pernyataan dari Putra Mahkota Pangeran
Jayakarta Adiningrat XII Nomor: P-062/KB/PMPJA/XII/11/1992
pada tanggal 05 Nopember 1992 yang di tunjukan kepada Kepala
Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang.

Keterkaitan Syekh Quro dengan Raden Pamanah Rasa

Raden Pamanah Rasa Raja Pajajaran Sri Baduga Maharaja, Prabu Siliwangi

Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang,


Syekh Hasanuddin menyampaikan dakwahnya di musholla yang
dibangunnya dengan penuh keramahan. Uraiannya tentang agama
Islam mudah dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, karena ia
bersama santrinya langsung memberi contoh. Pengajian Al-Qur’an
memberikan daya tarik tersendiri, karena ulama besar ini memang
seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap hari
banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatakan masuk
Islam.

Halaman 714 dari 883


Perkembangan pesat paguron Syech Quro di Karawang
menarik hati Raja Sunda-Pajajaran Prabu Anggalarang, sehingga
segera mengirim utusan yang dipimpin oleh sang putra mahkota
yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk meninjau Pesantren
Syekh Quro. Tatkala putra mahkota ini tiba di tempat tujuan,
rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat suci
Al-Qur’an yang dikumandangkan oleh Nyai Subang Larang. Putra
Mahkota (yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Sri
Baduga Maharaja Ratu Haji atau Prabu Siliwangi) itu pun dan tanpa
ragu-ragu menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi Subang
Larang yang cantik itu dan halus budinya.

Lamaran tersebut rupanya diterima oleh Nyai Subang


Larang dengan syarat mas kawinnya haruslah berupa “Bintang
Saketi Jejer Seratus”, yaitu simbol dari “tasbih” yang berada di
Negeri Makkah.

Sumber lain menyatakan bahwa hal itu merupakan kiasan


bahwa sang Prabu haruslah patuh dalam melaksanakan syariat
Islam. Selain itu, Nyai Subang Larang juga mengajukan syarat, agar
anak-anak yang akan dilahirkan kelak haruslah ada yang menjadi
Raja. Semua hal tesebut rupanya disanggupi oleh Raden Pamanah
Rasa, sehingga beberapa waktu kemudian pernikahan pun
dilaksanakan, bertempat di Pesantren Quro (atau Mesjid Agung
Karawang sekarang) dimana Syekh Quro sendiri bertindak sebagai
penghulunya.

Halaman 715 dari 883


Raden Pamanah Rasa dan Nyai Subang Larang dikaruniai 3
orang putra yang bernama:

1. Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana atau


Cakraningrat ( Yang lahir pada tahun 1345 Saka atau tahun 1423
Masehi ).

2. Nyi Mas Rara Santang atau Syarifah Muda’im ( Yang lahir pada
tahun 1348 Saka atau tahun 1426 Masehi ).

3. Raja Sangara atau Raden Kian Santang ( Yang lahir pada tahun
1350 Saka atau tahun 1428 Masehi ).

Ketika anak–anak Nyi Subang Larang dengan Raden


Pamanah Rasa telah menginjak usia dewasa dan telah mendapat
bimbingan dari Waliyullah Syekh Quro, maka ketiga anak – anak
dari Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa itu
ditugaskan oleh Syekh Quro untuk lebih memperdalam lagi ajaran
Agama Islam ke Pelabuhan Cirebon untuk berguru kepada Syekh
Nurjati Cirebon.

Setelah cukup mendapatkan bimbingan dari Syekh Nurjati


Cirebon, maka ketiga anak–anak dari Nyi Subang Larang dengan
Raden Pamanah Rasa, adik bungsu dari Nyi Mas Rara Santang dan
Raden Walasungsang yang bernama Raden Sangara atau Raden
Kian Santang bertugas menyebarkan dan mengajarkan ajaran
Agama Islam di Barat Cirebon yakni ke wilayah Limbangan -
Kabupaten Garut. Sedangkan Nyi Mas Rara Santang bersama
kakaknya Raden Walasungsang ditugaskan untuk berhaji dan

Halaman 716 dari 883


sebelum berhaji disarankan terlebih dahulu menemui Syekh Ibrahim
di Campa untuk mendapatkan bimbingan.

Ketika setelah mendapatkan bimbingan dari Syech Ibrahim,


maka Raden Walasungsang dan Nyi Mas Rara Santang ditugaskan
untuk melanjutkan perjalanannya ke Mekkah. Selama di Mekah,
keduanya tinggal di pondok Syech Bayanullah, adik Syekh Nurjati
dan berguru kepada Syekh Abu Yazid Al-Busthami. Setelah selesai
melaksanakan ibadah haji, maka kakaknya Nyi Mas Rara Santang
yang bernama Raden Walasungsang dipersunting oleh Nyi Indang
Geulis atau Endang Ayu di Mekah, sedangkan adiknya yang
bernama Nyi Mas Rara Santang ketika di Mekkah dipersunting oleh
raja Mesir yang bernama Maulana Sultan Mahmud atau Syarif
Abdullah Azmatkhan.

Kemudian setelah berhaji, Raden Walasungsang beserta


istrinya Nyi Indang Geulis atau Endang Ayu pulang ke negeri
Caruban atau Cirebon, sedangkan adiknya yang bernama Nyi Mas
Rara Santang di bawa oleh suaminya ke negeri Mesir.

Nyi Mas Rara Santang setelah menikah dengan Maulana


Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah namanya diganti menjadi
Syarifah Muda’im. Hasil dari pernikahan antara Nyi Mas Rara
Santang dengan Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah,
dikaruniai 2 orang anak yakni:

1. Syarif Hidayatullah ( Lahir di Mesir pada tahun 1372 Saka atau


tahun 1450 Masehi ).

Halaman 717 dari 883


2. Syarif Nurullah ( Lahir di Mesir pada tahun 1375 Saka atau tahun
1453 Masehi ).

Waktu terus berganti, setelah Syarif Abdullah ayahnya Syarif


Hidayatullah dan Syarif Nurullah meninggal dunia, maka jabatan
Sultan Mesir diserahkan kepada Syarif Nurullah, sedangkan Syarif
Hidayatullah dan ibundanya yang bernama Nyi Mas Rara Santang
meneruskan menimba ilmu agama Islam dari ulama Mekah dan
Baghdad. Setelah cukup menimba ilmu Agama Islam, tepatnya pada
tahun 1397 Saka atau tahun 1475 Masehi Syarif Hidayatullah
bersama ibundanya pulang ke Negeri Caruban atau Cirebon
bermaksud untuk menyebarkan Agama Islam dan bertemu kepada
Eyang dan Uwaknya Syarif Hidayatullah yakni kepada Ki Gedeng
Tapa ( Eyang Syarif Hidayatullah ) dan Raden Walasungsang atau
Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat ( Uwak Syarif
Hidayatullah ).

Sesampainya di Pelabuhan Muara Jati Cirebon, mereka


disambut baik oleh Ki Gedeng Tapa yang merupakan Eyangnya
Syarif Hidayatullah dan Raden Walasungsang yang merupakan
Uwaknya Syarif Hidayatullah, pada waktu itu Raden Walasungsang
menjadi Penguasa Cirebon yang bergelar Pangeran Cakrabuana atau
Cakraningrat. Akhirnya setelah lama di Cirebon Syarif Hidayatullah
mendapatkan bimbingan dan arahan dari Ki Gedeng Tapa dan
Raden Walasungsang untuk menjadi Santri Baru guna menimba
lebih dalam lagi ilmu dan memperdalam Agama Islam ke Paguron
Gunung Jati di Pasambangan Jati yang dipimpin oleh Syech Nurjati
Cirebon.

Halaman 718 dari 883


Waktu terus bergulir setelah memperdalam Agama Islam di
Paguron Gunung Jati Syech Nurjati Cirebon, Syarif Hidayatullah
menerima wejangan – wejangan yang berharga dari Syekh Nurjati
yakni: ”Ketahuilah bahwa nanti pada zaman akhir, banyak orang
yang terkena penyakit. Tiada seorangpun yang dapat mengobati
penyakit itu, kecuali dirinya sendiri karena penyakit itu terjadi
akibat perbuatannya sendiri. Ia sembuh dari penyakit itu, kalau ia
melepaskan perbuatannya itu.

Dan ketahuilah bahwa nanti di akhir zaman, banyak orang


yang kehilangan pangkat keturunannya, kehilangan harga diri, tidak
mempunyai sifat malu, karena dalam cara mereka mencari
penghidupan sehari-hari tidak baik dan kurang berhati-hati.

Selain itu, dalam usahamu nanti janganlah kamu


meninggalkan dua macam sembahyang sunah, yaitu sunah duha dan
sunah tahajud. Di samping itu, engkau tetap berpegang teguh pada
empat perkara, yakni syare’at, hakikat, tarekat, dan ma’rifat, serta
wujudkanlah atau bentuklah masyarakat yang Islamiyah”.

Waktu terus berganti, ketika Syekh Nurjati meninggal dunia maka


pemimpin Paguron Gunung Jati dipimpin oleh anak bungsunya
Syekh Nurjati Cirebon yang bernama Syekh Datuk Khafi.

Hari berganti hari tahun berganti tahun, usia Syekh Datuk


Khafid sudah sangat uzur, maka kedudukan atau pimpinan Paguron
Gunung Jati digantikan atau dipimpin oleh Syarif Hidayatullah.
Ketika menggantikan kedudukan pimpinan Paguron Gunung Jati

Halaman 719 dari 883


sebagai guru dan da’i di Amparan Jati Syarif Hidayatullah diberi
julukan Syekh Maulana Jati atau disingkat Syekh Jati.

Paguron Gunung Jati yang di pimpin oleh Syarif


Hidayatullah ternyata berkembang pesat, banyak santri–santri di
luar Cirebon untuk bersantri atau berguru di Paguron Gunung Jati.
Perkembangan ini terus berlanjut tatkala Syarif Hidayatullah
menggantikan uwaknya yakni Raden Walasungsang yang usianya
sudah sangat uzur untuk memimpin Kerajaan Cirebon.

Ketika memimpin Kerajaan Cirebon Syarif Hidayatullah


diberi gelar Susuhunan atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif
Hidayatullah setelah memimpin Kerajaan atau Kesultanan Cirebon,
ia menikah dengan Nyai Kawunganten adik dari Bupati Banten.
Dari pernikahan antara Syarif Hidayatullah dengan Nyai
Kawunganten, dikaruniai 2 orang putra, yaitu:

1. Ratu Wulung Ayu.

2. Maulana Hasanuddin, yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Pada tahun tahun 1402 Saka atau tahun 1480 Masehi atau
semasa dengan Wali Songo Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati Cirebon, membangun sebuah Masjid yang bernama Masjid
Sang Cipta Rasa. Masjid ini dibangun atas kerja sama antara Sunan
Gunung Jati dengan Sunan Kalijaga. Nama masjid ini diambil dari
kata " Sang " yang bermakna keagungan, " Cipta " yang berarti
dibangun, dan " Rasa " yang berarti digunakan. Masjid Agung Sang
Cipta Rasa terletak di sebelah utara Keraton Kasepuhan. Masjid ini
terdiri dari dua ruangan, yaitu beranda dan ruangan utama. Untuk

Halaman 720 dari 883


menuju ruangan utama, terdapat sembilan pintu, yang
melambangkan Wali Songo. Masyarakat Cirebon tempo dulu terdiri
dari berbagai etnik. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Masjid
Agung Sang Cipta Rasa yang memadukan gaya Pajajaran, Tiongkok
dan Cirebon.

Keterkaitan Syekh Quro dengan Raden Patah


Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah adalah putra
Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang selir
Tiongkok. Selir Tiongkok ini puteri dari Kyai Batong (alias Tan Go
Hwat). Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari
Campa merasa cemburu, Brawijaya terpaksa memberikan selir
Tiongkok kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar bupati
Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, putri Tiongkok
dinikahi Arya Damar (alias Swan Liong), melahirkan Raden Kusen
(alias Kin San).

Laksamana Cheng Ho

Halaman 721 dari 883


Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Tiongkok
adalah Siu Ban Ci, putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik.
Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar
Syekh Bentong (alias Kyai Batong) santrinya Syekh Quro.

Karawang pada masa Islam juga merupakan kawasan


penting. Pelabuhan Caravam yang sudah eksis sejak masa Kerajaan
Sunda tampaknya terus berperan hingga masa Islam. Salah satu
situs arkeologi dari masa Islam di Karawang adalah makam Syekh
Quro. Menurut tulisan yang tertera pada panil di depan komplek
makam, Nama lengkap Syekh Quro adalah Syekh Qurotul Ain

Keterkaitan Syekh Quro dengan Syekh Nurjati


Syekh Quro merupakan utusan Raja Campa. Secara
geneologis, Syekh Quro dan Syekh Nurjati atau Syekh Datuk Kahfi
adalah sama-sama saudara seketurunan dari Amir Abdullah Khan
generasi keempat. Syekh Quro datang terlebih dahulu ke Amparan
Jati pada tahun 1338 Saka atau pada tahun 1416 Masehi.

Pada saat pendaratannya yang kedua di Karawang Syekh


Quro datang ke Karawang bersama para santrinya yakni Syekh
Abdurrahman, Syekh Maulana Madzkur, dan Nyai Subang Larang
yang ikut berlayar bersama rombongan dari angkatan laut Tiongkok
dari Dinasti Ming yang ketiga dengan Kaisarnya, Yung Lo (Kaisar
Cheng-tu). Armada angkatan laut tersebut dipimpin oleh Laksamana
Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam. Mereka semua telah masuk Islam.
Armada tersebut hendak melakukan perjalanan melawat ke

Halaman 722 dari 883


Majapahit dalam rangka menjalin persahabatan. Ketika armada
tersebut sampai di Pelabuhan Pura Dalem Karawang, Syekh Quro
(Syekh Hasanuddin) beserta pengiringnya turun. Syekh Quro pada
akhirnya tinggal dan menyebarkan ajaran agama Islam di
Karawang. Kedua tokoh ini dipandang sebagai tokoh yang
mengajarkan Islam secara formal yang pertama kali di Jawa Barat.
Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Cirebon. Selain itu
pada masa hidupnya antara Syekh Quro dan Syekh Nurjati menjalin
persahabatan sampai sekarang ini diantaranya yaitu:

1. Syekh Quro Karawang mengirimkan orang kepercayaannya yang


bergelar Penghulu Karawang ke Dukuh Pasambangan untuk
menjalin persahabatan.

2. Ratna Sondari ( Puteri Ki Gedeng Karawang ) atau istrinya Syekh


Quro Karawang memberikan sumbangan hartanya untuk
mendirikan sebuah masjid di Gunung Sembung ( Nur Giri Cipta
Rengga ) yang bernama Masjid Dog Jumeneng atau Masjid Sang
Saka Ratu.

3. Syekh Abdullah Dargom alias Syekh Darugem alias Syekh


Bentong dan Syekh Bayanullah ( Adiknya Syekh Nurjati Cirebon )
setelah menunaikan ibadah haji, mereka ( Syekh Bayanullah dan
Syekh Bentong ) mendirikan Pesantren Quro di Desa Sidapurna
Kabupaten Kuningan Jawa Barat sekarang.

4. Cucunya Syekh Ahmad dari Nyi Mas Kedaton yang bernama


Sayyid Musa Azmatkhan, kelak Sayyid Musa Azmatkhan menjadi
Lebai atau pemimpin Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon pada

Halaman 723 dari 883


masa pemerintahan Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati
Cirebon. Sedang Syekh Ahmad itu sendiri merupakan anak dari
Syekh Quro Karawang dengan Ratna Sondari putri Ki Gedeng
Karawang.

5. Pengangkatan juru kunci di situs maqom Syekh Quro dikuatkan


oleh pihak Keraton Kanoman Cirebon.

Perbedaan Tempat Makam Syech Quro dan Maqom Syech


Quro
Ada perbedaan antara Makam syech quro dengan Maqom
Syech quro, makam Syech Quro terletak di belakang Masjid Agung
Karawang ( sekarang menjadi nama Masjid Agung Syech Quro ).
Sedangkan maqom Syech Quro adalah Tempat Pesantren
Kepunyaan Syech Quro yang terletak di pulo Bata Wadas
Karawang, Pesantren Tersebut adalah Pesantren pertama dan tertua
di Pulau Jawa.

Referensi
1. Syehk Quro Karawang Diarsipkan 2015-02-16 di Wayback Machine. Disparbud Prov.
Jabar
2. Biografi Syekh Nurjati Diarsipkan 2015-01-20 di Wayback Machine. IAIN Cirebon
3. Sejarah Makam Syekh Quro Lemah Gandu
4. Biografi Syekh Nurjati H. R. Bambang Irianto, BA dan Dra. Siti Fatimah, M.hum. 2009.
Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi) perintis Dakwah dan Pendidikan. Cirebon: Zulfana
Cierbon

Halaman 724 dari 883


BAB 35
SYAIKH DATUL KAHFI
Syekh Datuk Kahfi (dikenal juga dengan nama Syekh
Idhofi atau Syekh Nurul Jati atau Syekh Nurjati atau Syekh
Nurijati atau Syekh Datuk Barul atau Syekh Datuk Iman atau
Syekh Dulyamin) adalah tokoh penyebar Islam di wilayah yang
sekarang dikenal dengan Cirebon dan leluhur dari Pembesar
Sumedang.

Dia pertama kali menyebarkan ajaran Islam di daerah


Amparan Jati. Syekh Datuk Kahfi merupakan buyut dari Pangeran
Santri (Ki Gedeng Sumedang), penerus penguasa di Kerajaan
Sumedang Larang, Jawa Barat, dan putera dari Syekh Datuk
Ahmad. Ia juga merupakan keturunan dari Amir Abdullah Khan.

Datuk Kahfi adalah tokoh perintis dakwah Islam di wilayah


Cirebon. Ia menggunakan nama Syekh Nurjati pada saat berdakwah
di Giri Amparan Jati, yang lebih terkenal dengan nama Gunung Jati,
sebuah bukit kecil dari dua bukit, yang berjarak + 5 km sebelah
utara kota Cirebon, tepatnya di desa Astana Kecamatan Gunung Jati
Kabupaten Cirebon.[1][2]

Sebelumnya Syekh Nurjati dikenal dengan nama Syekh


Datuk Kahfi atau Maulana Idhofi Mahdi. Secara kronologis singkat,
Syekh Nurjati lahir di Semenanjung Malaka. Setelah berusia dewasa
muda pergi ke Mekah untuk menuntut ilmu dan berhaji. Syekh
Nurjati pergi ke Bagdad dan menemukan jodohnya dengan Syarifah
Halimah serta mempunyai putra- putri. Dari Bagdad ia pergi
Halaman 725 dari 883
berdakwah sampai di Pesambangan, bagian dari Nagari Singapura
(sekarang Desa Mertasinga, Kabupaten Cirebon). Ia wafat dan
dimakamkan di Giri Amparan Jati.[1][2]

Cerita tentang Syekh Nurjati dijumpai dalam naskah-naskah


tradisi Cirebon yang merupakan bukti sekunder. Naskah-naskah
tersebut berbentuk prosa, diantaranya: Carita Purwaka Caruban
Nagari, Babad Tanah Sunda dan Sejarah Cirebon. Serta naskah yang
berbentuk tembang di antaranya Carub Kanda, Babad Cirebon,
Babad Cerbon terbitan S.Z. Hadisutjipto, Wawacan Sunan Gunung
Jati, Naskah Mertasinga, Naskah Kuningan dan Naskah Pulasaren.
Dari sekian banyak naskah hanya naskah Babad Cirebon terbitan
Brandes saja yang tidak memuat tentang Syekh Nurjati. Sedangkan
naskah tertua yang menulis tentang Syekh Nurjati dibuat oleh Arya
Cerbon pada tahun 1706 M.[1][2]

Menemukan Jodohnya
Setelah Syekh Datuk Kahfi menuntut ilmu di Mekah, Syekh
Nurjati mencoba mengamalkan ilmu yang diperoleh dengan
mengajarkannya di wilayah Bagdad. Di Bagdad Syekh Nurjati
menikah dengan Syarifah Halimah, putri dari Ali Nurul Alam putra
dari Jamaluddin Akbar al-Husaini dari Kamboja, yang merupakan
putra dari Ahmad Shah Jalaludin, putra Amir Abdullah Khanudin.
Jadi, Syekh Nurjati menikah dengan saudara secicit.

Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai empat orang anak,


yakni:

Halaman 726 dari 883


1. Syekh Abdurakhman yang kelak di Cirebon bergelar
Pangeran Panjunan (ayah Pangeran Tubagus Angke, dan
Pangeran Pamelekaran kakek Pangeran Santri),
2. Syekh Abdurakhim (kelak bergelar Pangeran Kejaksan),
3. Fatimah (yang bergelar Syarifah Bagdad menikah dengan
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati), dan
4. Syekh Datul Khafid (kadang-kadang disebut juga sebagai
Syekh Datul Kahfi, sehingga membuat rancu dengan sosok
ayahnya yaitu Syekh Datuk Kahfi, atau Syekh Nurjati di
beberapa manuskrip yang lebih muda umurnya, contohnya
Babad Cirebon Keraton Kasepuhan).
Keempat anak tersebut dijamin nafkahnya oleh kakak Syarifah
Halimah, Syarif Sulaiman yang menjadi raja di Bagdad. Syarif
Sulaiman menjadi raja di Bagdad karena menikahi putri mahkota
raja Bagdad.

Keterkaitan Syekh Quro dengan Syekh Nurjati


Syekh Quro merupakan utusan Raja Campa. Secara
geneologis, Syekh Quro dan Syekh Nurjati adalah sama-sama
saudara seketurunan dari Amir Abdullah Khanudin generasi
keempat. Syekh Quro datang terlebih dahulu ke Amparan bersama
rombongan dari angkatan laut Cina dari Dinasti Ming yang ketiga
dengan Kaisarnya, Yung Lo (Kaisar Cheng-tu). Armada angkatan
laut tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Tay
Kam. Mereka mendarat di Muara Jati pada tahun 1416 M. Mereka
semua telah masuk Islam. Armada tersebut hendak melakukan
perjalanan melawat ke Majapahit dalam rangka menjalin
Halaman 727 dari 883
persahabatan. Ketika armada tersebut sampai di Pura Karawang,
Syekh Quro (Syekh Hasanudin) beserta pengiringnya turun. Syekh
Quro pada akhirnya tinggal dan menyebarkan ajaran agama Islam di
Karawang. Kedua tokoh ini dipandang sebagai tokoh yang
mengajarkan Islam secara formal yang pertama kali di Jawa Barat.
Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Cirebon. Ketika
armada Cheng Ho singgah di Pura Karawang, Syekh Quro dan
pengiringnya turun, di antara pengiringnya adalah putranya yang
bernama Syekh Bentong alias Kiyai Bah Tong alias Tan Go Wat.

Keharmonisan dakwah antara Cirebon dan Karawang[sunting |


sunting sumber]
• Cucu Syekh Ahmad dari Nyi Mas Kedaton, bernama
Musanudin. Kelak Musanudin menjadi lebai di Cirebon,
memimpin Masjid Agung Sang Cipta Rasa pada masa
pemerintahan Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati). Sedang
Syekh Ahmad merupakan anak dari Syekh Quro dengan
Ratna Sondari, putri Ki Gedeng Karawang.
• Puteri Karawang memberikan sumbangan hartanya untuk
mendirikan sebuah masjid di Gunung Sembung (Nur Giri
Cipta Rengga) yang bernama Masjid Dog Jumeneng/ Masjid
Sang Saka Ratu, yang sampai sekarang masih digunakan dan
terawat baik.
• Pengangkatan juru kunci di situs makam Syekh Quro
dikuatkan oleh pihak Keraton Kanoman Cirebon.
Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang[sunting |
sunting sumber]

Halaman 728 dari 883


Di kampung Pesambangan, Syekh Nurjati melakukan
dakwah Islam. Karena menggunakan cara yang bijaksana dan penuh
khidmat dalam mengajarkan agama Islam, maka dalam waktu relatif
singkat pengikutnya semakin banyak, hingga akhirnya pengguron
kedatangan Pangeran Walangsungsang beserta istrinya Nyi Indang
Geulis/ Endang Ayu dan adiknya, Nyi Mas Ratu Rarasantang yang
bermaksud ingin mempelajari agama Islam.

Mereka adalah cucu dari syahbandar pelabuhan Muara Jati


dari jalur ibunya. Kedatangan mereka ke Gunung Jati di samping
melaksanakan perintah ibundanya sebelum meninggal, juga
bermaksud sungkem kepada eyangnya Ki Gedeng Tapa. Kepergian
mereka ke Pangguron Gunung Jati tanpa seizin ayah mereka, Prabu
Siliwangi. Karena Prabu Siliwangi kembali menganut ajaran
Jatisunda setelah Nyi Subang Larang meninggal dunia (Masih
diperdebatkan, karena salah satu syarat meminang Nyi Subang
Larang adalah Prabu Siliwangi hrs menunaikan haji, itupun setelah
Beliau memperdalam Ilmu Islam dari level Syariat hingga Hakikat
yang pada puncaknya yaitu menunaikan Haji bersama Syekh Quro).
Tetapi kedua putra-putrinya itu sudah dididik dan diberi petunjuk
oleh almarhum ibunya agar memperdalam agama Islam di
Pangguron Gunung Jati. Akhirnya mereka pun menuntut ilmu dan
memperdalam agama Islam, menjadi santri Syekh Nurjati di
Pesambangan Jati. Pada saat mereka bertiga diterima menjadi santri
baru, Syekh Nurjati berdoa, “ Wahai Tuhan kami, jadikanlah kami
orang-orang yang menghidupkan agama Islam mulai hari ini hingga
hari kemudian dengan selamat. Amin.”

Halaman 729 dari 883


Di antara murid-muridnya, murid yang tercatat sangat cerdas
adalah Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang.
Walaupun keduanya telah menjadi muslim sejak kecil, dan belajar
ke Syekh Quro, tetapi ketika datang ke pesantren Syekh Nurjati
keduanya dan Nyi Indang Geulis (istri Pangeran Walangsungsang),
tetap diminta kembali mengucapkan kedua kalimah syahadat.
Syekh Nurjati memberi pelajaran kepada mereka mulai dari yang
sangat dasar (rukun Islam), tentang pelajaran tauhid sebagai dasar
fondasi keimanan. Mengapa Syekh Nurjati melakukan metode
pengajaran seperti kepada orang yang baru mengenal ajaran dasar
Islam? Menururt Besta Basuki Kertawibawa, kemungkinan ada
keraguan pada Syekh Nurjati terhadap kadar keimanan dan
pengetahuan ketiganya tentang agama Islam. Hal ini dikarenakan
Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rara Santang adalah
putra-putri dari Raja Pajajaran yang beragama Hindu - Budha.
Selain itu, pengalaman mereka tentang agama Islam masih dalam
tahapan pemula.

Hubungan keluarga dengan Syekh Siti Jenar dan Adipati


Kuningan
Syekh Nurjati ketika lahir dikenal dengan nama Syekh
Datuk Kahfi, putra dari Syekh Datuk Ahmad, seorang ulama besar.
Syekh Datuk Ahmad putra dari Maulana Isa, yang juga seorang
tokoh agama yang berpengaruh pada jamannya. Syekh Datuk
Ahmad mempunyai adik yang bernama Syekh Datuk Sholeh,
ayahanda dari Syekh Siti Jenar (Abjul Jalil).

Halaman 730 dari 883


Syekh Datuk Kahfi memiliki dua orang adik, yaitu laki-laki
Syekh Bayanullah atau Syekh Maulana Akbar yang mempunyai
pondok di Mekah, yang kemudian mengikuti jejak kakaknya
berdakwah di Cirebon, Syekh Bayanullah memiliki putra Syekh
Maulana Arifin menikah dengan Nyai Ratu Selawati dari
pernikahannya dikaruniai putri Nyi Mas Kencanawati yang menikah
dengan Adipati Kuningan putra Ki Gedeng Luragung (seorang
kepala daerah di Luragung) yang masih saudara sepupu Nyai Ratu
Selawati (putri Pangeran Surawisesa cucu Prabu Siliwangi).

Dan seorang adik Syekh Datuk Kahfi wanitanya menikah


dengan Raja Upih Malaka. Lalu dari perkawinan tersebut lahir lah
seorang putri yang kelak menikah dengan Dipati Unus dari Demak.

Silsilah
Di bawah ini merupakan silsilah Syekh Datuk Kahfi yang
bersambung dengan Sayyid Alawi bin Muhammad Sohib Mirbath
hingga Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi (Hadramaut, Yaman) dan
seterusnya hingga Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW.

Nabi Muhammad SAW, berputeri

• Sayidah Fatimah az-Zahra manikah dengan Imam Ali bin


Abi Thalib, berputera
• Imam Husain a.s, berputera
• Imam Ali Zainal Abidin, berputera
• Muhammad al-Baqir, berputera
• Imam Ja'far ash-Shadiq, berputera

Halaman 731 dari 883


• Ali al-Uraidhi, berputera
• Muhammad al-Naqib, berputera
• Isa al-Rumi, berputera
• Ahmad al-Muhajir, berputera
• Ubaidillah, berputera
• Alawi, berputera
• Muhammad, berputera
• Alawi, berputera
• Ali Khali' Qosam, berputera
• Muhammad Shahib Mirbath, berputera
• Sayid Alwi, berputera
• Sayid Abdul Malik, berputera
• Sayid Amir Abdullah Khan (Azamat Khan), berputera
• Sayid Abdul Kadir, berputera
• Maulana Isa, berputera
• Syekh Datuk Ahmad, berputera
• Syekh Datuk Kahfi
Kemudian, di cirebon, Syeikh Datuk Kafi menikah dengan
Syarifah Halimah binti Ali Nurul Islam bin Syeikh Jumadil Kubro.
Sehingga memiliki beberapa anak, satu diantaranya Pangeran
Panjunan (Syeikh Abdurrahman) yang dinikahkan dengan putri
Fatahillah 1, lalu berputra Tubagus Angkle (Fatahillah 2) dan
Pangeran Palekaran.

Anak pertama, kemudian punya putri Raden Ayu


Mertakusuma, lalu berputri Ratu Kusumah yang kemudian istri oleh

Halaman 732 dari 883


Sultan Ahmad Ma'ali yang akhirnya melahirkan Sultan Ageng
Tirtayasa (Banten). Sedangkan anak kedua, kemudian menikah
dengan Nyai Armillah binti Sunan Gunung Jati, lalu melahirkan
Pangeran Santri di Sumedang Larang.

Sebagai Guru

Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon

Syekh Datuk Kahfi merupakan guru dari Pangeran


Walangsungsang dan Nyai Rara Santang (Syarifah Muda'im), yaitu
putera dan puteri dari Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), raja
Kerajaan Pajajaran, Jawa Barat. Syekh Datuk Kahfi wafat dan
dimakamkan di Gunung Jati, bersamaan dengan makam Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Pangeran Pasarean, dan raja-raja
Kesultanan Cirebon lainnya.

Syekh Nurjati adalah tokoh utama penyebar agama Islam


yang pertama di Cirebon. Tokoh yang lain adalah Maulana Magribi,
Pangeran Makhdum, Maulana Pangeran Panjunan, Maulana
Halaman 733 dari 883
Pangeran Kejaksan, Maulana Syekh Bantah, Syekh Majagung,
Maulana Syekh Lemah Abang, Mbah Kuwu Cirebon (Pangeran
Cakrabuana), dan Syarif Hidayatullah. Pada suatu ketika mereka
berkumpul di Pasanggrahan Amparan Jati, dibawah pimpinan Syekh
Nurjati. Mereka semua murid-murid Syekh Nurjati. Dalam sidang
tersebut Syekh Nurjati berfatwa kepada murid-muidnya:

“Wahai murid-muridku, sesungguhnya masih ada suatu


rencana yang sesegera mungkin kita laksanakan, ialah mewujudkan
atau membentuk masyarakat Islamiyah. Bagaimana pendapat para
murid semuanya dan bagaimana pula caranya kita membentuk
masyarakat islamiyah itu?”.

Para murid dalam sidang mufakat atas rencana baik tersebut.


Syarif Hidayatullah berpendapat bahwa untuk membentuk
masyarakat islam sebaiknya diadakan usaha memperbanyak
tabligh di pelosok dengan cara yang baik dan teratur. Pendapat ini
mendapat dukungan penuh dari sidang, dan disepakati segera
dilaksanakan. Sidang inilah yang menjadi dasar dibentuknya
organisasi dakwah dewan Walisongo.

Catatan kaki
1. ^ Lompat ke:
a b c (Indonesia) Biografi Syekh Nurjati "www.iaincirebon.ac.id". Diarsipkan dari versi asli

tanggal 2016-02-02. Diakses tanggal 12-04-12.


2. ^ Lompat ke:
a b c (Indonesia) Syekh Nurjati Mahaguru dari Cirebon "www.koran.republika.co.id".

Diakses tanggal 12-04-12.

Referensi
1. Biografi Syekh Nurjati Situs resmi IAIN Nurijati Cirebon
2. para santri dan sejarah cirebon yang terlupakan

Halaman 734 dari 883


3. Silsilah Pangeran Santri Koesoemadinata
4. Arkeologi Islam Nusantara Oleh Uka Tjandrasasmita
5. Untold Story Syekh Nurjati oleh Dodi Nurdjaja
6. Sejarah Kuningan oleh Adiyta guru SMA Negeri 1 Kuningan
7. Asy Seikh Datul Kahfi / Syekh Nurjati / Maulana Idhofi Mahdi
8. Biografi Syekh Nurjati H. R. Bambang Irianto, BA dan Dra. Siti Fatimah, M.hum. 2009.
Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi) perintis Dakwah dan Pendidikan. Cirebon: Zulfana
Cierbon

Halaman 735 dari 883


BAB 36
SYEKH NUR BAYANILLAH : GURU WALI SONGO

Pintu Makam Syekh Nur Bayanillah, Desa Sampiran, Cirebon

Bagi masyarakat Cirebon tempat-tempat yang dianggap


keramat tersebar diberbagai tempat yang masing-masing tempat
mempunyai daya kekuatan magis tertentu. Salah satu tempat yang
dikeramatkan oleh masyarakat Cirebon yang berada di desa
Sampiran yaitu Makam Keramat Syekh Nur Bayanillah seorang
ulama penyebar agama Islam di daerah Cirebon.
Kampung Sampiran terletak di wilayah Propinsi Jawa barat,
tepatnya berada di desa Sampiran, kecamatan Cirebon Selatan,

Halaman 736 dari 883


Kabupaten Cirebon. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat
yang sudah menjadi mitos, desa Sampiran berasal dari desa yang
bernama Karang Penganten. kata “Sampiran “ berasal dari kata
“Nyampir”. Diceritakan bahwa jaman dahulu datang ke daerah
tersebut seorang minta-minta, dan oleh penduduk setempat tidak
dihargai, dan merasa terhina. Setelah pergi orang tersebut datang
lagi dengan memakai kuda dan berjubah. Kedatangan orang ter-
sebut sekarang tidak untuk minta-minta (sedekah) tetapi untuk
menyebarkan agama Islam.

Setelah menetap lama dan menyebarkan agama Islam, orang


tersebut pergi dengan meninggalkan jubahnya, jubah tersebut di”
sampir”kan. besuk (pada waktu yang akan datang) nama kampung
tersebut berubah menjadi kampung Sampiran dari asal nama Desa
Karang Penganten. Dinamakan Desa Karang Penganten itu sendiri
karena masyarakatnya banyak wanita sunti, wanita yang tidak
kawin. Sedangkan “Jubah” itu sendiri oleh para pemuka masyarakat
di daerah tersebut dikuburkan, yang di kemudian hari pekuburan itu
bernama komplek keramat makam Syekh Nur Bayanillah. Asumsi
masyarakat pada masa seka-rang, yang ada di dalam makam Syekh
Nur Bayanillah bukan hanya jubahnya saja tetapi raganya juga ikut
dikuburkan.

Lokasi Makam Syekh Bayanillah


Komplek Makam Keramat Syekh Nur Bayanillah
merupakan komplek pemakaman umum, karena selain makam
keramat syekh bayanillah komplek ter-sebut bayak terdapat makam-

Halaman 737 dari 883


makan masyarakat umum. Menuju komplek keramat Syekh Nur
Bayanillah dari ibu kota Kabupaten Cirebon kurang lebih 8 Km ke
arah timur, sedangkan dari kota Cirebon kurang lebih 4 Km ke arah
barat. Memasuki komplek pemakaman Syekh Nur Bayanillah,
sebelum sampai pada lokasi makam keramat Syekh Nur Bayanillah,
harus memasuki 9 kuta / gapura, yang terbuat dari “tatal” bekas
potongan kayu. Di lingkungan komplek makam Syekh Bayanillah,
diluar komplek makam terdapat sebuah mas-jid yang bernama
masjid Sampiran yang pada waktu dahulu di ba-ngun untuk
penyebaran agama Islam di daerah tersebut. karena daerah Sampiran
atau lebih dikenal dengan nama Desa Karang Penganten masih
merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Galuh, yang masih memeluk
agama Hyang.

Syekh Nur Bayanillah sendiri berasal dari jazirah Arab,


sesuai yang dikemukakan dari Cerita Rakyat Asal-usul Desa Di
Kabupaten Cirebon disebutkan di kota suci Mekah kedua Kakak
beradik (Raden Walangsungsang dan Nyi Mas Rara Santang) itu
bermukim beberapa bulan di rumah Syekh Nur Bayanillah sambil
menambah ilmu agama Islam. Jika hal ini dikaitkan dengan proses
penyebaran agama Islam di daerah Cirebon, proses penyebaran
agama Islam yang di bawa oleh Syekh Bayanillah sebelum proses
pengislaman yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati atau syekh
syarif hidayatullah. Karena sewaktu Reden Walangsungsang atau
Pangeran Cakrabuana dan Nyi Mas Rarasantang bermukim di
rumah Syekh Nur Bayanillah, Nyi Mas Rarasantang dinikahkan
dengan seorang pembesar Ismailiyah bernama Syarif Abdillah bin

Halaman 738 dari 883


Nurul Alim dari suku bani Hasyim. Selanjutnya untuk lebih
mendekatkan dengan lingkungannya, Syarif Abdillah menggantikan
nama istrinya dengan nama Syarifah Mudain. Dari perkawinan ini
mereka dikaruniai dua orang putra, Syarif Hidayatullah dan Syarif
Nurullah.

Setelah Syarif Abdillah wafat, ditunjuklah Syekh Syarif


Hidayatullah untuk menggantikan kedudukan ayahandanya menjadi
penguasa di Ismailiyah. Oleh karena memenuhi harapan ibunya
untuk menjadi mubaligh di tanah jawa, beliau menyerahkan tampuk
kepemimpinan Ismailiyah kepada adiknya Syekh Syarif Nurrullah.
Kemudian beliau bersama ibunya kembali ke Carandam unutuk
mengembangkan ajaran Islam di tanah Jawa.

Atas keberhasilannya mengembangkan ajaran Islam di


negara Cirebon, maka Raden Fatah (Raja Demak) bersama para
mubaligh yang bergelar Sunan Beliau ditetapkan sebagai Penetap
Penata Agama Rasul dan dianugerahi gelar Su-nan. Oleh karena
menetapnya di walayah Gunung Jati, beliau dijuluki Sunan Gunung
Jati

Daftar Pustaka

Poespowardoyo, Soejanto, Strategi Kebudayaan, PT.Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta, 1993

Subagja, Rahmat, Agama Asli Indonesia, Sinar Harapan dan Yayasan loka caraka, jakarta.

Suseno, Frans Magnis, Etika Jawa, PT Gramedia, Jakarta, 1987

Pemerintah Kabupaten Cirebon, Cerita Rakyat Asal-usul Desa di Kabupaten Cirebon, Cet Pertama,
2002

Halaman 739 dari 883


BAB 37
SUNAN WIJAYA KUSUMAH : SUNAN CIPANCAR
YANG MEMANCARKAN CAHAYA ISLAM DI
TANAH PASUNDAN

Makam Sunan Wijaya Kusuma atau Sunan Cipancar di Limbangan Garut

Membicarakan sejarah Kab. Garut tidak akan lepas dari Kab.


Limbangan yang merupakan cikal bakal pembentukannya. Peran
serta kaum ulama yang menyebarkan Islam hingga mewarnai corak
kehidupan masyarakat Garut pun tak kalah pentingnya. Tak heran,
sebagian kalangan menilai Garut laik dijuluki sebagai Kota Ulama,

Halaman 740 dari 883


karena banyaknya sumbangsih para ulama dalam membina
masyarakat Garut.

Salah satu tokoh ulama sekaligus umara yang perannya tak


bisa diabaikan pada masa awal penyebaran Islam di pedalaman
Jawa Barat, khususnya Garut, adalah Sunan Cipancar. Selain eksis
dalam penyebaran Islam, ia pun merupakan tokoh yang menurunkan
keluarga bupati-bupati Limbangan. Hal itu sebelum kemudian
dengan alasan politis, Limbangan dipindahkan dan berubah menjadi
Kab. Garut. Karena itulah, tak salah jika masyarakat Garut
menziarahi makam Sunan Cipancar di Kp. Pasir Astana, Desa
Pasirwaru, Kec. Balubur Limbangan. Hal itu penting selain sekadar
berdoa dan memberikan penghormatan atas jasa-jasanya dalam
menyebarkan Islam, juga untuk menelisik kembali alur sejarah Kab.
Garut, termasuk pesan-pesan moral yang diamanatkan para leluhur
masyarakat Garut sendiri, dalam menata bangunan kehidupan
masyarakatnya.

Sumber resmi Pemkab Garut dan Pemprov Jabar melalui


website-nya menyebutkan, awalnya pemegang kekuasaan
Limbangan adalah Dalem Prabu Liman Senjaya, cucu dari Prabu
Siliwangi dan anak dari Prabu Layakusumah. Prabu Liman Senjaya
diganti oleh anaknya yang bernama Raden Widjajakusumah I alias
Sunan Cipancar. Akan tetapi literatur lain menjelaskan, yang disebut
sebagai Wijaya Kusumah I adalah kakeknya Sunan Cipancar, yaitu
Sunan Rumenggong.

Halaman 741 dari 883


Kab. Limbangan semula merupakan sebuah kerajaan daerah
bawahan Kerajaan Besar Pakuan Pajajaran bernama Kerajaan
Kertarahayu, yang didirikan Sunan Rumenggong di kawasan
Gunung Poronggol Limbangan sekitar 1415 M. Sunan Rumenggong
bernama asli Jayakusumah / Wijayakusumah (I)/Ratu Rara Inten
Rakean Layaran Wangi/Jaya Permana/Gagak Rancang.

Sumber lain menyebutkan, Jayakusumah mempunyai tiga


anak dari Ambot Kasih, yaitu Hande Limansenjaya Kusumah;
saudara kembarnya, Hande Limansenjaya; dan adiknya, Wastudewa.
Hande Limansenjaya Kusumah berputra Jayakusumah/Panggung
Pakuan Wijaya Kusumah/Wijayakusumah (II)/Limansenjaya
Kusumah, yang belakangan disebut Sunan Cipancar.

Namun nama Limbangan saat ini tinggal berupa sebuah


wilayah kecamatan, yang ditambahi kata Balubur di depannya
menjadi Kec. Balubur Limbangan. Berbeda dengan makam tokoh
penyebar Islam lainnya di Garut yang mendapatkan cukup perhatian
pemerintah, makam Sunan Cipancar terkesan terabaikan. Padahal
makam tersebut termasuk situs cagar budaya yang memiliki arti
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Dari aspek arkeologi, jirat dan nisan makam masih memiliki


keaslian sebagai tradisi peninggalan megalit. Baru beberapa tahun
belakangan saja makam keramat tersebut mendapat perhatian
dengan mendapatkan bantuan penataan lingkungan makam.

Halaman 742 dari 883


Seperti halnya makam keramat lainnya di Garut, makam
Sunan Cipancar juga kerap dikunjungi para peziarah dari berbagai
daerah. Sebagai tata krama, para santri yang ada di kawasan
Balubur Limbangan dan sekitarnya, bahkan sering memulai
perjalanan ziarah dari makam Sunan Cipancar. Sebelum kemudian
berziarah ke makam Mbah Wali Syekh Ja’far Shiddiq Cibiuk dan
sejumlah makam keramat lainnya. Puncak kunjungan ziarah
biasanya terjadi pada bulan Mulud.

Balubur Limbangan saat ini adalah nama sebuah kecamatan


di Kabupaten Garut. Kecamatan ini dalam perjalanan sejarah.
Kabupaten Garut memiliki tempat yang istimewa. Pasalnya,
Balubur Limbangan sekian lama dijadikan ibukota kabupaten
sebelum beralih ke Garut, di jaman lampau Balubur Limbangan
mengalami zaman keemasan yang gilang gemilang, subur
makmur,aman dan tentram: maka Balubur Limbangan menjadi
catatan para sejarahwan dan tidak mudah dilupakan orang, karena
kecakapan pemerintahnya, dapat menjalankan, memperhatikan
keseimbangan disegala bidang dan dapat mengikuti perkembangan
syiar Islam yang dilakukan Pemerintahan Cirebon pada saat itu ,
Balubur Limbangan dikenal dengan wilayah yang mempunyai daya
kekuatan batin tinggi karena banyaknya ulama yang berkualitas.

Istilah Balubur, seperti diterangkan dalam Ensiklopedi


Kebudayaan Sunda, merujuk pada daerah pemukiman para
penguasa kabupaten pada jaman dulu. Semacam daerah istimewa
yang penghuninya terdiri dari para menak dan pejabat pemerintah

Halaman 743 dari 883


lainnya. Balubur Limbangan berarti daerah istimewa tempat para
penguasa Kabupaten Limbangan bertempat tinggal,

Nama Limbangan berasal dari kata ” imbangan ” yang


berarti memiliki imbangan/ mengimbangi dengan Cirebon yang
sama sama memiliki kekuatan batin, pada abad dimana islam
sedang pesatnya mengalir kesetiap pelosok tanah air Indonesia,
Limbangan dipimpin oleh seorang Bupati sebagai wakil dari Syarif
Hidayatullah/ Sunan Gunungjati ( 1552-1570 ).

Awalnya pemegang kekuasaan Limbangan adalah Dalem


Prabu Liman Sendjaya cucu dari Prabu Siliwangi dan anak dari
Prabu Lajakusumah. Prabu Liman Sendjaya digantikan oleh
anaknya yang bernama Raden Widjajakusumah I yang lebih
terkenal dengan julukan Sunan Dalem Cipancar. Adapun sejarahnya
sebagai berikut :

Raden Widjajakusumah ke-1 ini adalah Bupati Limbangan


yang dikenal dengan Bupati Galih Pakuan sangat termasyhur akan
kebijaksanaannya dalam memimpin, tentang kecakapan mengatur
pemerintahan, peribahasa Sunda mengatakan Sepi Paling Suwung
Rampog, Hurip Gusti Waras Abdi (aman, tentram dan damai).

Bupati Widjajakusumah sebagai pemuka tabir bahwa


Balubur Limbangan mempunyai kekuatan batin. Syahdan Kepala
daerah Cirebon, Syarif Hidayat. Pada suatu saat beliau
memerintahkan kepada semua bupati untuk menghadiri rapat bupati

Halaman 744 dari 883


di Cirebon, seluruh bupati diwajibkan hadir tepat waktu, bila ada
yang melalaikan perintah Syarif Hidayat, maka akan dikenakan
hukuman mati.

Upaya tersebut merupakan penanaman disiplin bagi aparatur


negara pada waktu itu. Maksud dari yang terpenting dari kumpulan
itu, guna menjelaskan tentang keunggulan ajaran agama Islam. Pada
saat itu ditegaskan bahwa sebagai penganut Islam, harus berjanji
untuk menjalankan segala perintah agama dan tidak akan
bertentangan dengan hukum-hukum serta menurut perintah Tuhan.

Perjalanan dari Limbangan menuju Cirebon saat itu sangat


sulit, oleh karena itu Bupati Galihpakuan, Raden Widjajakusumah
datang terlambat pada acara rapat tersebut. Sesampainya di
Pendopo, Bupati Galihpakuan ditangkap oleh para algojo yang
bertugas, dan akan dibunuh dengan mempergunakan senjata
miliknya, namun ketika keris ditusukkan pada tubuh Bupati Raden
Widjajakusumah, tiba-tiba semua algojo itu terjatuh lemas ke tanah.

Seluruh isi Pendopo menjadi panik, hingga rapat terganggu


dan dihentikan untuk sementara waktu, Syarif Hidayat keluar dan
menjumpai para algojo, beliau menanyakan sebab-sebab kejadian
ini, maka para algojo menjelaskan, bahwa saat menjalankan tugas
dari beliau untuk menghukum Bupati Galihpakuan yang datang
terlambat, mereka tidak berdaya. Syarif Hidayat menoleh kepada
Bupati Galihpakuan, maka mengertilah bahwa bupati yang bersalah

Halaman 745 dari 883


itu seharusnya dihukum dengan tidak mengenal pangkat, teman atau
saudara.

Bupati Galihpakuan dengan ikhlas mempersembahkan


kerisnya kepada Syarif Hidayat, guna menjalani hukuman. Setelah
keris berada ditangan Syarif Hidayat, maka terlihatlah lapadz Quran
“Laa Ikrooha Fiddiin” yang artinya Tidak ada Paksaan dalam
Agama, yang terukir pada keris tersebut, maka Syarif Hidayat
memahami, bahwa orang yang diizinkan memakai keris tersebut
adalah orang yang sangat berjasa, karena keris tersebut adalah
senjata pusaka dari Prabu Kian Santang Pendekar Agama Islam.
Keris itu dapat dipandang sebagai bintang perjuangan dalam
menyebarkan agama Islam.

Akhirnya Syarif Hidayat tidak jadi membunuh Bupati


Galihpakuan dan mengumumkan kepada semua bupati dalam rapat,
bahwa Bupati Galihpakuan tidak jadi dibunuhnya karena beliau
merupakan orang yang sangat berjasa dalam penyebaran agama
Islam, terbukti dengan memilikinya Senjata Pusaka. Dijelaskan pula
oleh beliau bahwa keterlambatannya bukan berarti melalaikan
undangannya, tetapi karena disebabkan sulitnya perjalanan.
Diumumkan pula, bahwa sejak hari ini nama Bupati Galihpakuan
diganti dengan nama Bupati Limbangan yang berarti bahwa
Galihpakuan telah mengimbangi Cirebon dalam syiar Islam ).

Seperti tercatat dalam sejarah, Limbangan yang berada di


daerah kawasan Gunung Poronggol Limbangan sekitar tahun 1415

Halaman 746 dari 883


M awalnya bagian daerah bawahan dari wilayah kerajaan Sunda
atau Kerajaan Besar Pakuan Pajajaran. Namun versi lain
mengatakan bahwa Limbangan sudah menjadi daerah otonom
merupakan sebuah kerajaan kecil bernama Kertarahayu ketika
kerajaan Sunda terbagi dua, yakni menjadi Galuh dan Sunda dan
kadang disebut Rumenggong, rumenggong (konon berasal dari kata
“rumenggang” atau “renggang”, karena berada di antara Galuh dan
Sunda) dan penguasanya dikenal sebagai Sunan Rumenggong yang
bernama asli Jayakusukah / Wijayakusumah I / Ratu Rara Inten
Rekean Layaran Wangi / Jaya Permana / Gagak Rancang.

Setelah kerajaan Sunda runtuh, wilayah ini sempat berada di


bawah kekuasaan daerah lain, di antaranya sempat menjadi wilayah
bawahan Sumedang Larang. Pada tanggal 24 Maret 1706,
Limbangan yang awalnya hanya sebuah distrik di bawah Kabupaten
Sumedang, oleh VOC ( Verenigde Oost Indiche Compagne –
Kongsi Dagang Belanda ) statusnya dikembalikan menjadi
kabupaten yang mandiri dengan Rangga Mertasinga sebagai
bupatinya. Hampir seabad lamanya Limbangan menjadi kabupaten,
sampai pada pada tanggal 2 Maret 1811, Gubernur Jendral
Daendeles, penguasa tertinggi pemerintah kolonial Belanda,
membubarkan Kabupaten Limbangan karena alasan produksi kopi
menurun hingga titik paling rendah dan juga bupatinya menolak
perintah menanam nila (indigo). Wilayah Kabupaten Limbangan
kemudian dipecah-pecah dan menjadi bagian wilayah kabupaten
lain, namun ketika Inggris menguasai Jawa, Gubernur Jendral
Raffles yang mewakili kekuasaan Inggris, pada 16 Februari 1813

Halaman 747 dari 883


mengembalikan status Limbangan menjadi kabupaten di
Keresidenan Priangan, dengan mengangkat Tumenggung / Adipati
Adiwidjaja (1813-1831) sebagai Bupati Limbangan, pada saat itu
karena dirasa kurang memenuhi persyaratan sebagai ibu kota
kabupaten maka Bupati Adiwidjaja membentuk panitia untuk
mencari tempat yang cocok bagi ibu kota kabupaten, Pada awalnya
panitia menemukan Cumuruh,sekitar 3 Km sebelah timur Suci (saat
ini kampung tersebut dikenal dengan nama Kampung Pidayeuheun)
tapi tempat tersebut air bersih sulit diperoleh sehingga tidak tepat
untuk menjadi ibu kota.

Selanjutnya panitia mencari lokasi kearah barat Suci, sekitar


5 km dan mendapatkan tempat yang cocok selain tanahnya subur
tempat tersebut memiliki mata air yang mengalir ke sungai
Cimanuk serta pemandangannya pun indah dikelilingi gunung
seperti Gunung Cikuray, namun ibukota kabupaten yang awalnya di
Balubur Limbangan dipindahkan ke distrik Suci, karena dinilai
tidak memenuhi persyaratan sebagai ibu kota kabupaten karena
kawasan tersebut cukup sempit kemudian ibu kota dipindahkan lagi
ke kota Garut sekarang. Hingga sekarang Balubur Limbangan hanya
menjadi wilayah kecamatan sebagai bagian dari wilayah Kabupaten
Garut.

Referensi :
https://www.koransinarpagijuara.com/2020/02/12/napak-tilas-kejayaan-limbangan-sunan-cipancar-
prabu-wijaya-kusumah/

Halaman 748 dari 883


BAB 38
SYAIKH JA’FAR SHADIQ : CAHAYA ISLAM DARI
PASUNDAN

Makam Syaikh Jafar Sidik

Cibiuk sebuah daerah yang berada di Kabupaten Garut ,


menurut data yang diperoleh dari Kantor Kecamatan Cibiuk, secara
demografi Cibiuk berada di kaki gunung Haruman, beriklim sejuk
serta sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani, dengan
jumlah penduduknya 35.728 jiwa. Dalam bidang pendidikannya,
Cibiuk tak ketinggalan jauh dengan Kecamatan lainya yang ada di
Kabupaten Garut, cukup komplit mulai dari Sekolah Dasar sampai
Sekolah Menengah Atas, atau kejuruan. Begitupun dalam bidang

Halaman 749 dari 883


sosial keagamaan, mayoritas masyarakat Cibiuk menganut agama
Islam, dengan ditandai dengan banyaknya Pesantren dan berdirinya
Masjid dikampung-kampung.

Nama Cibiuk berasal dari sebuah surat yang ditujukan


Syaikh Abdul Muhyi kepada Syaikh Ja’far Shadiq, suratnya
berbunyi

‫ﺣﻀﺮة اﻷﺧﻲ اﻟﺴﻘﯿﻖ ﺟﻌﻔﺮ ﺻﺎدق اﻟﻌﻮرى ﻓﻲ ﻛﺎﻟﻲ ﺑﺎﺟﯿﻦ‬

Kalibacin, kali berarti air, sungai yang dalam masyarakat


Sunda dikenal dengan Ci, Bacin berarti bau yang kemudian menjadi
Biuk, maka Kalibacin dikenal menjadi Cibiuk, yang berarti “air
bau”. Yakni di daerah Pasantren Tengah terdapat mata air yang
airnya jernih namun ada sedikit bau tanah.

Nama Cibiuk tidak terpisah dari Komplek makam Keramat


Haruman, Makam Syaikh Ja’far Shadiq penyebar agama Islam di
daerah Jawa Barat. Ada kisah yang populer di masyarakat, Konon
Mbah Wali Syaikh Ja’far Shadiq, Syaikh Abdul Muhyi, dan Syaikh
Maulana Mansur sering shalat di Mekkah bersama-sama. Berikut
kisah Syaikh Ja’far Shadiq yang penulis peroleh dari Ajengan
Encep:

Syaikh Maulana Mansur dikarunia karomah dengan nembus


bumi, Syaikh Abdul Muhyi dikarunia karomah dengan dengan
menembus laut, Syaikh Ja’far Shadiq dikarunia karomah dengan
lewat udara. Syaikh Maulana Mansur menembus bumi dari Mekkah

Halaman 750 dari 883


dan keluar di Ciburial, Pandeglang, Banten, yang dinamakan Batu
Qur’an. Suatu hari Syaikh Ja’far Shadiq dan Syaikh Abdul Muhyi
berencana untuk pulang bareng dari Mekkah ke Pulau Jawa dan
akan saling bertemu di Gunung Limbangan, (sekarang di dekat
alun-alun ada sebuah batu). Syaikh Ja’far Shadiq telah sampai lebih
dulu di Limbangan, tapi Syaikh Abdul Muhyi belum sampai, setelah
lama menunggu tibalah Syaikh Abdul Muhyi. Dia minta maaf
perihal keterlambatannya. Lalu bercerita sebab keterlambatannya,
sewaktu saya menembus laut dan tiba di laut Haila saya menggigil
dingin, oleh karenanya aku memutuskan untuk istirahat dan sekedar
menghilangkan dingin saya menyalakan rokok, baru saja satu isapan
tiba-tiba jalan yang tadinya terang menjadi gelap. Saya tersadar
bahwa telah melakukan kemakruhan, lalu saya bertaubat kepada
Allah atas kekhilafanku, selanjutnya jalan mulai terang kembali dan
saya melanjutkan perjalanan. Hingga saat ini di sekitar makam
Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan ada larangan merokok.

Menurut cerita Embah Lembang memiliki Kuda Sembrani


atau dalam mitologi Yunani dikenal dengan Pegassus, Kuda
Sembrani ini adalah tunggangannya Embah Lembang yang
digunakan untuk ber-uzlah atau berkontemplasi di udara. Menurut
masyarakat sekitar, sampai sekarang banyak orang yang sering
mendengar suara ringkikan kuda dan langkah lari kuda pada waktu
tengah malam disekitar makam Embah Lembang.

Makam Embah Wali Syaikh Ja’far Shadiq bersama sanak


keluarganya, termasuk Eyang Fatimah, dan Embah Lembang berada

Halaman 751 dari 883


di salah satu bukit kecil di kala Gunung Haruman. Setiap bulan
Mulud (Rabiul Awal) dan Rajab, makam Embah Wali Syekh Ja’far
Shadiq – yang bergelar Sunan Haruman – banyak dikunjungi
peziarah dari mana-mana. Makam ini menjadi salah satu objek
wisata ziarah terkemuka di Kab. Garut, selain Godog di Kec.
Karang-pawitan.

Ziarah ke makam yang dilakukan orang Indonesia


sebenarnya merupakan tradisi Hindu. Dalam agama Hindu tradisi
pemujaan roh leluhur dan roh-roh orang suci merupakan suatu
ajaran. Ini bisa dibuktikan dengan adanya peninggalan candi, candi
pada awalnya merupakan tempat persemayaman abu jenazah raja
atau orang suci yang dihormati umat Hindu. Dalam
perkembangannya, tradisi Islam Jawa yang sangat dipengaruhi
tradisi Hindu kemudian mengadopsi tradisi ziarah tersebut untuk
menghormati orang-orang yang dipandang suci dan berkuasa.

Fungsi ziarah kubur dalam Islam untuk mengingatkan orang


bahwa kehidupan itu ada akhirnya dan semua orang akan mati, tapi
dalam tradisi ziarah kubur orang jawa, fungsinya lebih kepada
meminta “sesuatu” kepada roh suci yang ada pada makam tersebut.
Kecendrungan tersebut masih ada walau sudah gencar para Kyai-
jika peziarah dapat kesembuhan atau mendapat karomah sang Kyai-
hal itu karena semata-mata karena Allah. Roh Kyai atau siapa pun
tak dapat menyembuhkan. Jamhari Ma’ruf memberikan ilustrasi
tentang peziarah yang datang ke makam, orang soleh yang diziarahi
adalah orang yang senantiasa dikarunia berkah oleh Tuhan, bila

Halaman 752 dari 883


diibaratan orang soleh itu gelas dan berkah itu adalah air, maka
gelas itu selalu dialiri air sampai luber, nah peziarah itu adalah
orang pencari luberan air itu.

Makam Embah Wali Syaikh Ja’far Shadiq di makam


Haruman adalah makam yang banyak dikunjungi oleh peziarah,
menurut informan makam ini menjadi tujuan berziarah para ahli
hikmah. Tradisi orang Indonesi untuk ziarah ke makam-makam
para leluhur, wali, orang suci, dan tempat-tempat keramat sampai
sekarang masih eksis. Walaupun tradisi tersebut merupakan warisan
Hinduisme, tapi oleh masyarakat Indonesia tradisi tersebut telah
diislamisasikan. Proses Islamisasi itu misalnya, dengan membaca
surat al-Ikhlas, Salawat Nabi, membaca al-Qur’an di depan makam.
Suasana ziarah seperti itu, jelas sangat romantis dan mengingatkan
orang pada kehidupan manusia yang akan menghadapi kematian.

Sambel Cibiuk dan Mitos Makam Syaikh Ja’far Shadiq

Sambal Cibiuk

Halaman 753 dari 883


Syaikh Ja’far Shadiq dalam dakwah Islamnya selain
mengajarkan Syariat pokok Islam. Juga tata cara makan minum,
agar sesuai dengan tuntunan Islam. Antara lain, makan-minum
menggunakan tangan kanan, makan setelah terasa lapar dan berhenti
makan jika akan kenyang. Sebelum menyuapkan makanan,
dianjurkan membaca basmallah dan doa yang mengandung
keharusan, setiap makanan benar-benar halal dan bersih (halalan
tayyiban), baik jenisnya, maupun cara memperolehnya tidak
mengandung keharaman.

Setelah selesai makan, dianjurkan membaca doa “Segala


puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minum dan
memasukkan kami ke dalam kelompok orang berserah diri”.
Ajaran-ajaran tersebut diberikan Embah Wali kepada tamu-tamunya
yang datang berkunjung untuk menuntut ilmu. Setiap tamu pasti
disambut baik. Disuguhi makan-minum. Salah seorang putri Embah
Wali, bernama Fatimah, mendapat tugas membuat hidangan
Nasi Akeul atau Nasi Liwet. Di antara lauk-pauk yang dihidangkan,
selalu tersedia Sambel lengkap dengan lalapannya. Sambel istimewa
yang kelak menyandang nama “Sambel Cibiuk” itu.

Sambel Cibiuk biasa disediakan dalam hajatan perkawinan


di masyarakat Cibiuk, biasanya si penyelenggara hajatan
mengundang seorang keturunan yang mempunyai resep Sambel
Cibiuk untuk membuat empat jenis Sambel Cibiuk, yakni:
Sambel Leunca tanpa terasi, Sambel terasi tomat hijau,
Sambel Goang. Empat jenis Sambel tersebut adalah varian asli dari

Halaman 754 dari 883


Eyang Siti Fatimah. Sekarang telah banyak varian kreasi dari
pemilik restoran, seperti Sambel Udang. Ada mitos yang sangat
terkenal dalam pembuatan Sambel Cibiuk “sok sanajan bahan
sambelna sami, tapi pami sanes urang cibiuk asli mah rasa na moal
sami.” Orang yang paling ahli membuat Sambel Cibiuk hanya
orang Cibiuk asli, walau pun bahan dan cara pengolahannya sama,
tapi kalau bukan orang Cibiuk asli yang membuatnya rasanya akan
tidak sama.

Makam Eyang Siti Fatimah yang terletak di komplek makam


keramat Haruman, juga sering dikunjungi para pengusaha restoran
dengan tujuan untuk kesuksesan usahanya. Apabila si Penziarah
menemukan buah lombok merah berjumlah ganjil 3, 5, 7, atau 9
pada pohon sekitar makam Eyang Siti Fatimah, maka lombok
tersebut digunakan sebagai benih dan dipercaya memiliki tuah
untuk kesuksesan usaha restoran. Tapi kalau hanya menemukan satu
lombok merah berarti belum bertuah, ini diyakini aurad atau wirid-
nya ada yang kurang.

Cita rasa yang muncul dari paduan bumbu-bumbu terasi


putih, cabai rawit hijau, tomat mentah / tomat hijau untuk sambel
hijau, tomat merah untuk sambel merah, ditambah gula dan garam,
daun kemangi, bawang merah, bawang putih, dan asem kawak
mampu mengugah selera tersendiri. Mengundang sensasi khas bagi
perut lapar dan sepedas apa pun, Sambel Cibiuk tak pernah
mengakibatkan sakit perut.

Halaman 755 dari 883


Hampir masakan Indonesia ada unsur cabe yang
menimbulkan rasa sensasional. Sambel berfungsi sebagai pelengkap
masakan yang memiliki peran penting. Tanpa Sambel masakan jadi
terasa tidak memiliki arti apa pun. Jenis sambel di Indonesia sangat
beragam mulai dari sambel ulek, pecel, kecap, dadakan, tomat,
terasi, dabu-dabu, dan aneka sambel lainnya yang jumlahnya
ratusan. Boleh dibilang untuk mengetahui ciri khas Indonesia saat
makan adalah “kepedasan” sambil berkeringat. Diantara sambel
yang ada di Indonesia, sambel Cibiuk satu-satunya sambel yang
dilingkupi dengan mitos makam keramat dan sejarah penyebaran
Islam.

Referensi

https://agusagusgun.wordpress.com/2013/12/15/sambel-cibiuk-dan-mitosmakamsyaikhjafarshadiq/

https://agusagusgun.wordpress.com/2013/12/18/sambel-cibiuk-dan-mitos-makam-syaikh-jafar-shadiq-
bag-4/

Halaman 756 dari 883


BAB 39
SYAIKH SITI JENAR, SEORANG WALIYULLOH
PEREMPUAN YANG TELAH MENCAPAI MAQOM
MAKRIFAT

Syekh Siti Jenar disamakan dengan Rabiatul Adawiyah-nya Indonesia

Adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi asal persia


dan salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa, khususnya
di Kabupaten Demak.. Sementara para murid muridnya atau yang
menganut ajarannya, menganggapnya sebagai seorang intelek yang
telah memperoleh esensi Islam. Ajaran-ajarannya tertuang dalam
Halaman 757 dari 883
karya sastra buatannya sendiri yang disebut Pupuh, yang berisi
tentang budi pekerti.

Tujuan utama Syeikh Siti Jenar


Syeikh Siti Jenar mengajak manusia untuk selalu tumbuh
berkembang seperti pohon sidratul muntaha, yang selalu aktif,
progresif dan positif. Membangkitkan pribadi “insun sejati” melalui
tauhid al-wujud, atau yang kenal dengan judul buku ini adalah
“manunggaling kawula-gusti”. Gerakan yang dilakukan Syeikh Siti
Jenar bersumbu pada pembebasan kultural, yang meliputi
pembebasan kemanusiaan dari kungkungan struktur politik yang
berdalih agama, sekaligus pembebasan dari pasungan keagamaan
yang formalistik. Jadi, Syeikh Siti Jenar bukan hanya seorang
penyebar agama Islam awal di Indonesia, namun sekaligus seorang
suci yang sangat dihormati berbagai kalangan sampai saat ini,
karena memang ajarannya yang aplikatif secara lahir dan batin juga
mampu membawa rasa kebebasan bagi para penganutnya. Unsur
kebebasan di bawah naungan kemanunggalan inilah mutiara yang
termahal dalam hidup.[4]

Ajaran Syekh Siti Jenar


Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait
dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan,
serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar
memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai
kematian. Sebaliknya, apa yang disebut umum sebagai kematian,

Halaman 758 dari 883


justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi
olehnya. [5]

Ada kemungkinan ajaran spiritual Syekh Siti Jenar memiliki


keterikatan dengan Moksa (Hindu Budha), Trinitas (Kristen) dan
Wahdatul Wujud (Islam)
1. Moksa (Sanskerta: mokṣa) adalah sebuah konsep
agama Hindu dan Buddha. Artinya ialah kelepasan atau kebebasan
dari ikatan duniawi dan lepas juga dari
putaran reinkarnasi atau Punarbawa kehidupan.[7]
2. Tritunggal atau Trinitas Doktrin Kristen atau Kristiani
(kata Latin yang secara harfiah berarti “tiga serangkai”, dari
kata trinus, “rangkap tiga”) menyatakan bahwa Allah adalah
tiga pribadi atau hipostasis yang sehakikat (konsubstansial)—
Bapa, Putra (Yesus Kristus), dan Roh Kudus—sebagai “satu Allah
dalam tiga Pribadi Ilahi”. Ketiga pribadi ini berbeda, tetapi
merupakan satu “substansi, esensi, atau kodrat”
(homoousios). Dalam konteks ini, “kodrat” adalah apa Dia,
sedangkan “pribadi” adalah siapa Dia.[8]
3. Wahdatul wujud berasal dari kata wahdah (‫ )وﺣــــﺪة‬yang berarti
tunggal atau kesatuan dan al-wujud (‫ ) اﻟــــﻮﺟــــﻮد‬yang berarti
ada, eksistensi, atau keberadaan. Secara harfiah wahdatul wujud
artinya adalah “kesatuan eksistensi”. Doktrin ini tidak mengakui
adanya perbedaan antara Tuhan dengan makhluk, seandainya ada
maka hanya kepercayaan bahwa Tuhan itu adalah keseluruhan,
sedangkan makhluk adalah bagian dari keseluruhan tersebut, dan
Tuhan memperlihatkan Diri pada apa saja yang ada di alam

Halaman 759 dari 883


semesta ini, karena tak ada satupun di alam semesta ini
kecuali wujud Tuhan.[9]
Manunggaling Kawula Ian Gusti
Para pendukung Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa ia
tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Ajaran ini bukan
dianggap sebagai bercampurnya Dzat Tuhan dengan makhluk-Nya,
melainkan sifat-sifat Tuhan yang memancar pada manusia ketika
manusia sudah melakukan proses fana' (hancurnya sifat-sifat buruk
pada manusia) [10]

Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan sifat-


sifat Tuhan dikala manusia sudah melakukan proses
fana' (Manunggaling Kawula Gusti). Perbedaan penafsiran ayat Al-
Qur’an ini yang menimbulkan polemik, yaitu bahwa di dalam tubuh
manusia bersemayam ruh Tuhan.

Achmad Chodjim dalam bukunya “Syekh Siti Jenar”


menjelaskan ketika Demak masih sibuk dalam penaklukan. Ajaran
Syekh Siti Jenar lebih bisa diterima oleh raja-raja Jawa yang telah
memeluk agama Islam.

“Diceritakan dalam Babad Jaka Tingkir bahwa ada 40 orang


tokoh yang berguru kepada Syekh Siti Jenar,” ungkap Chodjim

Mereka antara lain adalah


• 1. Ki Ageng Banyubiru,
• 2. Ki Ageng Getas Aji,
• 3. Ki Ageng Balak,
• 4. Ki Ageng Butuh,

Halaman 760 dari 883


• 5. Ki Ageng Ngerang,
• 6. Ki Ageng Jati,
• 7. Ki Ageng Watalunan,
• 8. Ki Ageng Pringapus,
• 9. Kiai Ageng Nganggas,
• 10. Ki Ageng Ngamba,
• 11. Ki Ageng Babadan,
• 12. Ki Ageng Wanantara,
• 13. Ki Ageng Majasta,
• 14. Ki Ageng Baya,
• 15. Ki Ageng Baki,
• 16. Ki Ageng Tembalang,
• 17. Ki Ageng Karnggayam.
• 18. Ki Ageng Ngargaloka,
• 19. Ki Ageng Kayupuring,
• 20. Ki Ageng Selandaka,
• 21. Ki Ageng Purwasada,
• 22. Kebo Kangan,
• 23. Kiai Ageng Kebonalas,
• 24. Ki Ageng Waturante,
• 25. Kiai Ageng Taruntum,
• 26. Kiai Ageng Pataruman,
• 27. Kiai Ageng Purna,
• 28. Kiai Ageng Gugulu.
• 29. Kiai Ageng Gunung Pragota,
• 30. Kiai Ageng Ngadibaya,
• 31. Kiai Ageng Karungrungan,
Halaman 761 dari 883
• 32. Kiai Jatingalih,
• 33. Kiai Ageng Wandadi,
• 34. Kiai Ageng Tambangan,
• 35. kiai Ageng Ngampuhan,
• 36. Kiai Ageng Bangsri,
• 37. Kiai Ageng Pengging,
• 38. Ki Ageng Tingkir,
Ageng Pengging alias Kebo Kenanga merupakan salah satu
santri dari Syekh Siti Jenar, ia berhasil mendidik muridnya bernama
Joko Tingkir dengan ajaran dari gurunya. Joko tingkir berhasil
menyelesaikan konflik antara proyek besar Negara Islam di Bintoro
dan Glagah Wangi (Jepara). Hal ini yang mengharumkan kembali
nama Syekh Siti Jenar.

Masa Pendidikan
Naskah Negara Kretabhumi Sargha III pupuh 77,
menyebutkan bahwa Abdul Jalil sewaktu dewasa pergi menuntut
ilmu ke Persia dan tinggal di Baghdad selama 17 tahun. Ia berguru
kepada seorang Yahudi yang menyamar Islam dan menguasai
berbagai jenis ilmu pengetahuan agama. Menurut cerita tutur di
kalangan penganut tarekat Akmaliyah, orang Syiah Muntadhar itu
bernama Abdul Malik Al-Baghdadi dan kelak menjadi mertua
Syaikh Lemah Abang. Rupanya, selama menuntut ilmu di Baghdad,
Syekh Siti Jenar lebih berminat mendalami ilmu tasawuf sehingga
ia sangat mendalam penguasaannya atas ilmu tersebut. Bahkan
karena kesukaannya pada ilmu tasawuf tersebut, ia berguru pada
Syaikh Ahmad yang menganut aliran Tarekat Akmaliyah yang jalur

Halaman 762 dari 883


silsilahnya sampai kepada Abu Bakar as-Shiddiq ra. Silsilah Tarekat
Akmaliyah yang diperoleh Syaikh Datuk Abdul Jalil dari Syaikh
Ahmad Baghdady. Selain menganut Tarekat Akmaliyah, Syaikh Siti
Jenar juga menganut tarekat Syathariyah yang diperoleh dari
saudara sepupunya, yang juga guru ruhaninya, Syaikh Datuk Kahfi.

Pergumulan menguasai berbagai disiplin keilmuan di


Baghdad yang dewasa itu merupakan pusat peradaban, telah
menjadikan pandangan-pandangan Syaikh Datuk Jalil berbeda dari
kelaziman. Ilmu tasawuf yang berdiri tegak di atas fenomena
pengetahuan intuitif yang bersumber dari kalbu, oleh Syaikh Datuk
Abdul Jalil diformulasikan sedemikian rupa dengan ilmu filsafat
dan manthiq (logika). Sehingga, ajarannya menimbulkan
ketidaklaziman dalam pengembangan ilmu tasawuf - yang
merupakan pengetahuan intuitif - yang bersifat rahasia, yang serta
merta berubah menjadi ilmu, yang terbuka untuk dijadikan bahasan
filosofis. Sebab, Syaikh Datuk Abdul Jalil beranggapan bahwa
pengetahuan makrifat (gnostik) yang bersifat suprarasional tidak
harus dijabarkan dengan sistem isyarat (kode) yang bersifat mistis
dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara masuk akal.
Sebaliknya, pengetahuan gnostik harus bisa dijelaskan secara
rasional yang bisa diterima akal.[12]

Syekh Siti Jenar yang merupakan wali kontroversial ternyata


tidak wafat dieksekusi seperti dipersepsikan masyarakat Islam
selama ini. "Saya meneliti sejarah Syekh Siti Jenar dari sekitar 300
pustaka kuno yang tidak ada di perpustakaan, ternyata persepsi

Halaman 763 dari 883


tentang Syekh Siti Jenar seperti selama ini tidak benar," kata Agus
Sunyoto selaku penulis buku di Surabaya.[14].

Silsilah keluarga
Di bawah ini merupakan silsilah Syekh Siti Jenar yang
bersambung dengan Sayyid Alawi bin Muhammad Sohib Mirbath
hingga Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi (Hadramaut, Yaman) dan
seterusnya hingga Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW.

Nabi Muhammad SAW, berputeri

• Sayidah Fatimah az-Zahra menikah dengan Ali bin Abi


Thalib, berputera
• Husain r.a, berputera
• Ali Zainal Abidin, berputera
• Muhammad al-Baqir, berputera
• Imam Ja'far ash-Shadiq, berputera
• Ali al-Uraidhi, berputera
• Muhammad al-Naqib, berputera
• Isa al-Rumi, berputera
• Ahmad al-Muhajir, berputera
• Ubaidillah, berputera
• Alawi, berputera
• Muhammad, berputera
• Alawi, berputera
• Ali Khali' Qosam, berputera
• Muhammad Shahib Mirbath, berputera

Halaman 764 dari 883


• Sayid Alwi, berputera
• Sayid Abdul Malik, berputera
• Sayid Amir Abdullah Khan (Azamat Khan), berputera
• Sayid Abdul Kadir, berputera
• Maulana Isa, berputera
• Syekh Datuk Soleh, berputeri
• Syekh Siti Jenar
Hubungan keluarga dengan Syekh Nurjati
Maulana Isa, Kakek dari Syekh Siti Jenar, adalah seorang
tokoh agama yang berpengaruh pada zamannya. Putranya adalah
Syekh Datuk Ahmad dan Syekh Abdul Soleh (ayah dari Syekh Siti
Jenar). Syekh Datuk Ahmad, kakak dari ayah Syekh Siti Jenar,
memiliki putra Syekh Datuk Kahfi yang selanjutnya dikenal pula
dengan nama Syekh Nurjati.[15][16]

Catatan kaki
1. ^ https://www.suara.com/news/2020/05/16/190626/mengungkap-sosok-syekh-siti-jenar-
yang-sebenarnya-siapa-dia?page=all
2. ^ https://www.suara.com/news/2020/05/16/190626/mengungkap-sosok-syekh-siti-jenar-
yang-sebenarnya-siapa-dia?page=all
3. ^ Syekh Siti Jenar: pergumulan Islam-Jawa, Abdul Munir Mulkhan
4. ^ https://www.nu.or.id/post/read/13217/kearifan-spiritual-syeikh-siti-jenar
5. ^ https://www.nu.or.id/post/read/90605/hanya-permainan-kok-tegang kehidupan hanyalah
permainan - NU online
6. ^ https://symbolic.id/space/p/51587
7. ^ https://id.m.wikipedia.org/wiki/Moksa
8. ^ https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tritunggal
9. ^ https://id.m.wikipedia.org/wiki/Wahdatul_Wujud
10. ^ Kementerian Agama. 2015. Buku Akidah Akhlak Kelas XI. Jakarta:Kementerian Agama
11. ^ https://hidayatuna.com/mengenal-deretan-murid-murid-syekh-siti-jenar
12. ^ Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, Depok: Pustaka Iman, 306.

Halaman 765 dari 883


13. ^ Lompat ke:
a b Husni Hidayat el-Jufri (16 Juni 2009). "Syeik Siti Jenar: Wali Kesepuluh". Diarsipkan

dari versi asli tanggal 2015-10-05. Diakses tanggal 4 Oktober 2015.


14. ^ https://www.nu.or.id/post/read/3450/syekh-siti-jenar-tidak-wafat-dieksekusi
15. ^ (Indonesia) Biografi Syekh Nurjati Diarsipkan 2015-01-20 di Wayback Machine. Situs
resmi IAIN Nurijati Cirebon.
16. ^ (Indonesia) Biografi Syekh Nurjati Drh. H. R. Bambang Irianto, BA dan Dra. Siti
Fatimah, M.hum. 2009. Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi) perintis Dakwah dan
Pendidikan. Cirebon: Zulfana Cierbon.

Halaman 766 dari 883


BAB 40
ABDUL MUHYI, WALIYULLOH TANAH JAWA
YANG SILSILAH KEMURSYIDANNYA SAMPAI
KE RASULULLAH SAW

Syekh Haji Abdul Muhyi Lahir di Mataram tahun 1650.


(Mataram di sini ada yang menyebut di Lombok, tetapi ada juga
yang menyebut Kerajaan Mataram Islam.) Ayahnya bernama
Sembah Lebe Wartakusumah, bangsawan Sunda keturunan Raja
Galuh Pajajaran yang saat itu bagian dari Kerajaan Mataram Jawa.
lbunya bernama Raden Ajeng Tangan Ziah, keturunan bangsawan
Mataram yang berjalur sampai ke Syaikh Ainui Yaqin (Sunan Giri
l). Syekh Abdul Muhyi diyakini sebagai waliyullah dan dihormati
masyarakat pesantren. la merupakan mata rantai dan pembawa

Halaman 767 dari 883


Tarekat Syathariyah yang pertama ke pulau Jawa. Lebih dikenal
dengari nama Haji Karang, karena pernah uzIah dan khalwat di Gua
Karang. Di pintu gerbang makamnya yang terletak di Pamijahan
Tasikmalaya, tertera tulisan Sayyiduna Syaikh al-Hajj Waliyullah
Radhiyullahu.[1]

Ketika usianya menginjak 19 tahun, Syekh Abdul Muhyi


memutuskan merantau ke Aceh dan berguru kepada Syekh Abdul
Rauf Singkil bin Abdul Jabar, seorang ulama Sufi dan guru Tarekat
Syattariah. Selama enam tahun lamanya ia mempelajari pendidikan,
khususnya agama Islam.[2]

Usai menimba ilmu di Aceh, Syekh Abdul Muhyi bersama


teman-teman seperguruannya dibawa oleh seorang guru ke Bagdad,
Irak, untuk memperdalam ilmu agama dan berziarah ke makam
Syekh Abdul Qadir Jailani.

Perjalanan beliau mendalami agama Islam tidak berhenti


sampai di situ. Syekh Abdul Muhyi pun menyambangi Makkah
untuk menunaikan ibadah haji sekaligus mempelajari lagi ilmu
agama Islam.

Saat berada di Makkah, Syekh Abdul Muhyi mendapat


ilham lewat mimpi yang tentang kewalian dan keistimewaan yang
akan diterimanya. Dalam mimpi tersebut, beliau diperintahkan
pulang ke tanah Jawa dan pergi ke sebuah gua. Setelah ibadah haji
diselesaikan, Syekh Abdul Muhyi kembali ke Jawa dan menikah.

Suatu ketika ia teringat lagi dengan mimpinya yang diminta


untuk mencari gua. Syekh Abdul Muhyi lantas berangkat ke arah

Halaman 768 dari 883


barat bersama sang istri. Sampailah mereka di daerah bernama
Darma Kuningan dan memilih tinggal selama beberapa tahun.

Mendengar Syekh Abdul Muhyi kini menetap di Darma


Kuningan, orangtuanya kemudian memutuskan ikut tinggal di sana.

Perjalanan Mencari Goa Pamijahan


Disamping untuk membina penduduk, dia juga berusaha
untuk mencari gua yang diperintahkan oleh gurunya, dengan
mercoba beberapa kali menanam padi, ternyata gagal karena
hasilnya melimpah. Sedang harapan dia sesuai isyarat tentang
keberadaan gua yang di berikan oleh syeikh Abdurrauf adalah
apabila di tempat itu ditanam padi maka hasilnya tetap sebenih
artinya tidak menambah penghasilan maka di sanalah gua itu
berada. Karena tidak menemukan gua yang dicari akhirnya Syeikh
Abdul Muhyi bersama keluarga berpamitan kepada penduduk desa
untuk melanjutkan perjalanan mencari gua.[3]

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang,


sampailah di daerah Pamengpeuk (Garut Selatan). Di sini dia
bermukim selama 1 tahun (1685-1686 M), untuk menyebarkan
agama Islam secara hati-hati mengingat penduduk setempat waktu
itu masih beragama Hindu. Setahun kemudian ayahanda (Sembah
Lebe Warta Kusumah) meninggal dan dimakamkan di kampung
Dukuh di tepi Kali Cikaengan.[4]

Beberapa hari seusai pemakaman ayahandanya, dia


melanjutkan perjalan mencari gua dan sempat bermukim di Batu
Wangi. Perjalanan dilanjutkan dari Batu Wangi hingga sampai di

Halaman 769 dari 883


Lebaksiu dan bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690 M).
Walaupun di Lebaksiu tidak menemukan gua yang di cari, dia tidak
putus asa dan melangkahkan kakinya ke sebelah timur dari
Lebaksiu yaitu di atas gunung kampung Cilumbu. Akhirnya dia
turun ke lembah sambil bertafakur melihat indahnya pemandangan
sambil mencoba menanam padi.[5]

Bila senja tiba, dia kembali ke Lebaksiu menjumpai


keluarganya, karena jarak dari tempat ini tidak begitu jauh, sekitar
6 km. Suasana di pegunungan tersebut sering membawa perasaan
tenang, maka gunung tersebut diberi nama Gunung Mujarod yang
berarti gunung untuk menenangkan hati.

Pada suatu hari, Syeikh Abdul Muhyi melihat padi yang


ditanam telah menguning dan waktunya untuk dipetik. Saat dipetik
terpancarlah sinar cahaya kewalian dan terlihatlah kekuasaan Allah.
Padi yang telah dipanen tadi ternyata hasilnya tidak lebih dan tidak
kurang, hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Ini sebagai
tanda bahwa perjuangan mencari gua sudah dekat. Untuk
meyakinkan adanya gua di dalamnya maka di tempat itu ditanam
padi lagi, sambil berdo'a kepada Allah, semoga goa yang dicari
segera ditemukan. Maka dengan kekuasan Allah, padi yang ditanam
tadi segera tumbuh dan waktu itu juga berbuah dan menguning, lalu
dipetik dan hasilnya ternyata sama, sebagaimana hasil panen yang
pertama. Disanalah dia yakin bahwa di dalam gunung itu adanya
goa.

Halaman 770 dari 883


Sewaktu Syeikh Abdul Muhyi berjalan ke arah timur,
terdengarlah suara air terjun dan kicaun burung yang keluar dari
dalam lubang. Dilihatnya lubang besar itu, di mana keadaannya
sama dengan gua yang digambarkan oleh gurunya. Seketika kedua
tangannya diangkat, memuji kebesaran Allah. Telah ditemukan gua
bersejarah, dimana ditempat ini dahulu Syeikh Abdul Qodir Al
Jailani menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama
Imam Sanusi. Goa yang sekarang di kenal dengan nama Goa
Pamijahan adalah warisan dari Syeikh Abdul Qodir Al Jailani yang
hidup kurang lebih 200 tahun sebelum Syeikh Abdul Muhyi. Gua
ini terletak di antara kaki Gunung Mujarod. Sejak goa ditemukan
Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga beserta santri-santrinya
bermukim disana. Disamping mendidik santrinya dengan ilmu
agama, dia juga menempuh jalan tharekat.

Menurut pendapat yang masyhur sampainya Syeikh Abdul


Muhyi ke derajat kewalian melalui Thoriqoh Mu’tabaroh Satariyah,
yang silsilah keguruan atau kemursyidannya sampai kepada
Rasulullah Saw. Berikut silsilahnya: Rasululah Saw, Ali Bin Abi
Tholib, Sayyidina Hasan, Sayyidina Zainal Abidin, Imam
Muhammad Bakir, Imam Ja’far Shodiq, Sultan Arifin, Yazidiz
Sulthon, Syeikh Muhammad Maghribi, Syeikh Arabi Yazidil Asyiq,
Sayyid Muhammmad Arif, Syeikh Abdulah Satari, Syeikh
Hidayatullah Syarmad, Syeikh Haji Hudori, Sayyid Muhammmad
Ghoizi, Sayyid Wajhudin, Sayyid Sifatullah, Sayyidina Abdi Muwhib
Abdulah Ahmad, Syeikh Ahmad Bin Muhammmad (Ahmad Qosos),
Syeikh Abdul Rouf, Syeikh Haji Abdul Muhyi.

Halaman 771 dari 883


Sekian lama mendidik santrinya di dalam goa, maka tibalah
saatnya untuk menyebarkan agama Islam di perkampungan
penduduk. Di dalam perjalanan, sampailah di salah satu
perkampungan yang terletak di kaki gunung, bernama kampung
Bojong. Selama bermukim di Bojong dianugerahi beberapa putra
dari istrinya, Ayu Bakta. Di antara putra dia adalah Dalem Bojong,
Dalem Abdullah, Media Kusumah, Pakih Ibrahim.

Beberapa lama setelah menetap di Bojong, atas petunjuk


dari Allah, Syeikh Abdul Muhyi beserta santri-santrinya pindah ke
daerah Safarwadi. Di sini dia membangun Masjid dan rumah
sebagai tempat tinggal sampai akhir hayatnya. Sedang para santri
menyebar dengan tugasnya masing-masing yaitu menyebarkan
agama Islam, seperti Sembah Khotib Muwahid yang makamnya di
Panyalahan, Eyang Abdul Qohar bermukim di Pandawa sedang
Sembah Dalem Sacaparana (Mertua Syeikh Abdul Muhyi) tetap di
Bojong sampai akhir hayatnya yang kini makamnya terkenal dengan
nama Bengkok.

Makam Syekh Abdul Muhyi; di sebelah utara Makam Kidul


terdapat kompleks makam Syekh Abdul Muhyi. Kompleks ini
merupakan objek ziarah utama di seluruh situs Pamijahan. Terletak
di tebing sebelah utara Cipamijahan, makam ini seolah berada di
atas bukit yang dikelilingi hamparan sawah yang subur. Di sekitar
kompleks makam tumbuh pepohonan besar yang memberi kesan
rindang dan teduh; suatu kondisi alamiah yang sangat mendukung
fungsi kekeramatannya. Berbeda dengan kompleks makam lain,
makam Syekh Abdul Muhyi mendapat perlakuan sangat khusus. Di

Halaman 772 dari 883


samping bangunannya sangat megah dari konstruksi beton
permanen juga tersedia berbagai fasilitas yang menunjang aktivitas
ziarah seperti masjid, kolam dan sarana air bersih serta balai-balai
yang dapat digunakan para peziarah melakukan zikir. Selain Syekh
Abdul Muhyi, pada kompleks ini terdapat makam lain, yaitu Raden
Subamanggala Wiradadaha IV, yang dikenal sebagai Dalem
Pamijahan, yang ditempatkan di sebelah timur makam Syekh Abdul
Muhyi ditandai oleh sebuah payung. Ia adalah anak sulung Raden
Tumenggung Anggadipa Wiradadaha III, salah seorang Bupati
Sukapura selain itu juga terdapat Makam Sembah Khotib Muwahid,
Sembah Kudrot, Sembah Dalem Yudanegara, dan Sembah Dalem
Sacaparana.

Makam ini banyak diziarahi oleh kaum muslimin. Masih


banyak lagi santrinya yang tersebar hingga pelosok- pelosok
kampung di sekitar Jawa Barat untuk menyebarkan agama Islam.
Dalam menyebarkan agama Islam Syeikh Abdul Muhyi
mengunakan metode Tharekat Nabawiah yaitu dengan akhlak yang
luhur disertai tauladan yang baik. Salah satu contoh metode dalam
mengislamkan seseorang adalah sewaktu dia melihat seseorang
yang sedang memancing ikan. Namun orang itu kelihatan sedih
karena tidak mendapat seekor ikanpun. Lalu dihampirinya dan
disapa, "Bolehkah saya meminjam kailnya?" Orang itu
memperbolehkannya. Syeikh Abdul Muhyi mulai memancing
sambil berdo'a, "Bismillaah hirroh maa nir roohiim, Asyhadu Allaa
ilaaha illallaah, Wa asy hadu anna Muhammaddur Rasulullah."

Halaman 773 dari 883


Setiap kail dilemparkan ke dalam air, ikan selalu
menangkapnya. Tidak lama kemudian ikan yang didapat sangat
banyak sekali sampai membuat orang tersebut keheranan dan
bertanya, "Apa do’a yang dibaca untuk memancing? Dia menjawab,
"Basmalah dan Syahadat". Akhirnya orang tersebut tertarik dengan
do’a itu dan masuk Islam.

Disamping ahli dalam llmu agama Syeikh Abdul Muhyi juga


ahli dalam ilmu kedokteran, ilmu hisab, ilmu pertanian dan juga ahli
seni baca AI Qur’an. Maka pada saat itu banyak para wali yang
datang ke Pamijaian untuk berdialog masalah agama seperti
waliyullah dari Banten Syeikh Maulana Mansyur, putra Sultan
Abdul Patah Ageng Tirtayasa keturunan Sultan Hasanuddin bin
Sunan Gunung Jati, juga Syeikh Ja’far Shodiq yang makamnya di
Cibiuk, Limbangan- Garut.

Gerbang Makam Syakh Abdul Muhyi, Pamijahan

Keterkaitan dengan Kerajaan Talaga Manggung

Halaman 774 dari 883


Kerajaan Talaga Manggung yang dipimpin oleh Prabu Pucuk
Umum atau Raden Rangga Mantri yang merupakan cicit Raja
Pajajaran Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja.[7] Sunan
Wanaperih atau Arya Kikis menurutnya merupakan putra sulung
dari Prabu Pucuk Umum dari Ratu Sunyalarang dan menjadi Raja di
Kerajaan Talaga Manggung pada tahun 1553-1556 Masehi dan
mendirikan pesantren tertua di Majalengka serta memindahkan Ibu
kota Kerajaan Talaga, dari Sangiang ke Wanaperih yang termasuk
wilayah Desa Kagok saat ini.

Setelah Ratu Sunyalarang meninggal dunia, Arya Kikis atau


Sunan Wanaperih mendirikan pesantren dan mendatangkan guru
mengaji Syekh Sayyid Faqih Ibrahim yang merupakan putra Syekh
Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasikmalaya yang makamnya berjarak
1 kilometer dari sini atau dikenal dengan Sunan Cipager. Masa-
masa pemerintahan Sunan Wanaperih diwarnai dengan
perkembangan Islam yang pesat. Pada masa kepemimpinannya
seluruh rakyat di Talaga Manggung telah menganut agama Islam
dan agama Islam semakin berkembang karena Sunan Wanaperih
berputra 6 orang yaitu Dalem Cageur, Dalem Kulanata, Apun
Surawijaya, Ratu Radeya, Ratu Putri dan Dalem Wangsa Goparana,
keturunannya turut menyebarkan Islam bahkan sampai ke luar
wilayah Majalengka.

Ratu Radeya menikah dengan Arya Saringsingan, sedangkan


Ratu Putri menikah dengan anak Syekh Abdul Muhyi dari
Pamijahan Tasik yaitu Syekh Sayyid Faqqih Ibrahim dan mereka
menjadi penyebar Islam disamping putranya Dalem Wangsa

Halaman 775 dari 883


Goparana yang pindah ke Sagala Herang dan keturunannya menjadi
trah Bupati Cianjur seperti Bupati Wiratanudatar I (Dalem
Cikundul) dan seterusnya.

Referensi
1. ^ "Riwayat Singkat Syekh Abdul Muhyi Pamijahan". Jabar.nu.or.id. Diakses tanggal 5
September 2022.
2. ^ "Kisah Waliyullah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan Bermukim di Gua dan Mengislamkan
Penduduk Desa". Muslim.okezone.com. Diakses tanggal 5 September 2022.
3. ^ "Biografi Syeikh Abdul Muhyi, Sejarah Goa Pamijahan Dan Larangannya". Mak-
alitqon.sch.id. Diakses tanggal 5 September 2022.
4. ^ "Menelisik Pencarian Gua Pamijahan oleh Syeikh Abdul Muhyi di Tasikmalaya".
Ayobandung.com. Diakses tanggal 5 September 2022.
5. ^ "Kisah Karomah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan". Daerah.sindonews.com. Diakses
tanggal 5 September 2022.
6. ^ "Cahaya di Masjidil Haram, Kisah Karomah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan". Laduni.id.
Diakses tanggal 5 September 2022.
7. ^ "Syekh Faqih Ibrahim, Wali Pendiri Pesantren Tertua di Majalengka".
Timesindonesia.co.id. Diakses tanggal 5 September 2022.

Bacaan lanjutan
• Muhammad Wildan Yahya (2007). Menyingkap tabir rahasia spiritual Syekh Abdul Muhyi
(Wali Pamijahan): menapaki jejak para tokoh sufi Nusantara abad XVII-XVIII. Bandung:
Refika Aditama. ISBN 9791073414.

Halaman 776 dari 883


BAB 41
WALI SONGO : PENDIRI NAMA INDONESIA

Walisongo – Tokoh Islam Nusantara

Wali Sanga (lebih dikenal sebagai Wali Songo, Jawa:


ꦮꦭꦶ ꦱꦔ; Wali Sɔngɔ, "Sembilan Wali" (orang yang dipercaya))

adalah tokoh Islam yang dihormati di Indonesia, khususnya di pulau


Jawa, karena peran historis mereka dalam penyebaran agama Islam
di Indonesia. Pembentukan Majelis Dakwah Walisongo di
perkirakan terjadi antara tahun 1250 -1404 oleh Sultan-Sultan yang
berkuasa dalam penyebaran agama islam di suatu negara ke negara
lain, biasanya terdiri dari 9 Anggota Majelis Dakwah Walisongo
segera bergerak ke wilayah India, Eropa Timur, asia tenggara seperti

Halaman 777 dari 883


Vietnam, Malaysia & Indonesia. Berita ini tertulis dalam kitab
kanzul'Hum dari ibnu bathutah, lalu dilanjutkan oleh Sunan
Gresik & sekarang tersimpan dalam museum Istana Turki
Istambul & manuskrip koprah ferrara di Itali yang kini tersimpan
di museum leiden Belanda.

Perjalanan Periode Selanjutnya untuk berdakwah di pulau


Jawa pada tahun 1404 dipimpin oleh Sunan Gresik sebagai
Misionaris utusan Kesultanan Utsmaniyah dari Istambul Turki tentu
membawa misi dalam penyebaran agama islam & mencari simpati
juga dukungan atas peperangan saudara yang terjadi di negaranya
dengan mendatangi wilayah Kerajaan Majapahit kala itu rajanya
Baginda Prabu Wikramawardhana sebagai kekuatan terbesar di Asia
tenggara pada jamannya.

Setiap anggota Wali Sanga saling dikaitkan dengan gelar


Sunan dalam bahasa Jawa, konteks ini berarti “terhormat". Sebagian
besar wali juga dijuluki Raden selama hidup mereka, karena mereka
keturunan ningrat. (Lihat bagian "Gaya dan Gelar" Kesultanan
Yogyakarta untuk penjelasan tentang istilah bangsawan Jawa.)
Makam (pundhen) para wali dihormati oleh masyarakat Jawa
sebagai lokasi ziarah di Jawa sebagai bentuk rasa syukur dan terima
kasih atas manfaat dan syafaat yang mereka amalkan pada masa
hidupnya.[2] Dalam tradisi Jawa makam memiliki istilah pundhen.

Arti Wali Sanga

Halaman 778 dari 883


Masjid Agung Demak, diyakini sebagai salah satu tempat berkumpulnya para wali yang paling awal.

Ada beberapa pendapat mengenai arti Wali Sanga. Pertama


adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang
berjumlah sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain
menyebutkan bahwa kata Sanga / sanga berasal dari kata tsana
yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi
menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa Wali Sanga adalah


sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan
Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808
Hijriah).[3] Para Wali Sanga adalah pembaharu masyarakat pada
masanya. Pengaruh mereka dapat ditemui dalam beragam bentuk
manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan,
bercocok tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian,
kemasyarakatan, hingga pemerintahan.

Halaman 779 dari 883


Konsep Wali Sanga atau Wali Sembilan dalam kosmologi
Islam, sumber utamanya dapat dilacak pada konsep kewalian yang
secara umum oleh kalangan penganut sufisme diyakini meliputi
sembilan tingkat kewalian. Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Araby
atau Ibnu Arabi dalam kitab Futuhat al-Makkiyah memaparkan
tentang sembilan tingkat kewalian dengan tugas masing-masing
sesuai kewilayahan. Kesembilan tingkat kewalian itu:

1) Wali Aqthab atau Wali Quthub, yaitu pemimpin dan penguasa


para wali di seluruh alam semesta.
2) Wali Aimmah, yaitu pembantu Wali Aqthab dan menggantikan
kedudukannya jika wafat.
3) Wali Autad, yaitu wali penjaga empat penjuru mata angin.
4) Wali Abdal, yaitu wali penjaga tujuh musim.
5) Wali Nuqaba, yaitu wali penjaga hukum syariat.
6) Wali Nujaba, yang setiap masa berjumlah delapan orang.
7) Wali Hawariyyun, yaitu wali pembela kebenaran agama, baik
pembelaan dalam bentuk argumentasi maupun senjata.
8) Wali Rajabiyyun, yaitu wali yang karomahnya muncul setiap
bulan Rajab.
9) Wali Khatam, yaitu wali yang menguasai dan mengurus wilayah
kekuasaan umat Islam.[4]

Nama para Wali Sanga tersebut yaitu:

• Sunan Gresik atau • Sunan Drajat atau • Sunan Kalijaga atau


Maulana Malik Ibrahim Raden Qasim Raden Syahid
• Sunan Ampel atau Syarifuddin • Sunan Muria atau
Raden Rahmat • Sunan Kudus atau Raden Umar Said
• Sunan Bonang atau Raden Ja'far Shadiq • Sunan Gunung Jati atau
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Halaman 780 dari 883
Makam Maulana Malik Ibrahim, desa Gapura, Gresik, Jawa Timur

Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi


Muhammad. Ia disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes,
atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Sanga. Nasab As-Sayyid
Maulana Malik Ibrahim Nasab Maulana Malik Ibrahim menurut
catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini yang
kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi
Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam
Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-
Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin
As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-

Halaman 781 dari 883


Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih
bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’
Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin As-
Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-
Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali
Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-
Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin
Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi
Muhammad Rasulullah

Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada


paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma
menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang
Jawa terhadap As-Samarqandy.[5] Dalam cerita rakyat, ada yang
memanggilnya Kakek Bantal. Maulana Malik Ibrahim memiliki 3
istri bernama:

1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa
Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana
Moqfaroh dan Syarifah Sarah

2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu:


Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad

3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi,


memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf.

Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim


dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/
Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan

Halaman 782 dari 883


Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid
Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq
[Sunan Kudus].

Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali


pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-
cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat
kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan di
akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati
masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang
saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran,
Gresik. Ia juga membangun masjid sebagai tempat peribadatan
Islam pertama di tanah Jawa, yang sampai sekarang masjid tersebut
menjadi Masjid Jami' Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim
wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa
Timur.

Sunan Ampel (Raden Rahmat)


Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22
dari Nabi Muhammad, menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim
Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi
Condro Wulan binti Raja Champa terakhir dari Dinasti Ming. Nasab
lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim
Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid
Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik
Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad
Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin
Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin

Halaman 783 dari 883


Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad
bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam
Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-
Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad
Rasulullah. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh
para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel, Surabaya, dan
merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa.
Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng
Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga
dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan
Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila
binti Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang, Siti Syari’ah, Sunan
Derajat, Sunan Sedayu, Siti Muthmainnah, dan Siti Hafsah.
Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang
Kuning, berputera: Dewi Murtasiyah, Asyiqah, Raden Husamuddin
(Sunan Lamongan), Raden Zainal Abidin (Sunan Demak), Pangeran
Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2). Makam Sunan Ampel
teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.

Kedatangan Sunan Ampel ke Majapahit diperkirakan terjadi


awal dasawarsa keempat abad ke-15, yakni saat Arya Damar sudah
menjadi Adipati Palembang sebagaimana riwayat yang menyatakan
bahwa sebelum ke Jawa, Raden Rahmat telah singgah ke
Palembang. Menurut Thomas W. Arnold dalam The Preaching of
Islam (1977), Raden Rahmat sewaktu di Palembang menjadi tamu
Arya Damar selama dua bulan, dan dia berusaha memperkenalkan
Islam kepada raja muda Palembang itu. Arya Damar yang sudah

Halaman 784 dari 883


tertarik kepada Islam itu hampir saja diikrarkan menjadi Islam.
Namun, karena tidak berani menanggung risiko menghadapi
tindakan rakyatnya yang masih terikat pada kepercayaan lama, ia
tidak mengatakan keislamannya di hadapan umum. Menurut cerita
setempat, setelah memeluk Islam, Arya Damar memakai nama Ario
Abdillah.

Keterangan dari Hikayat Hasanuddin yang dikupas oleh J.


Edel (1938) menjelaskan bahwa pada waktu Kerajaan Champa
ditaklukkan oleh Raja Koci, Raden Rahmat sudah bermukim di
Jawa. Itu berarti Raden Rahmat ketika datang ke Jawa sebelum
tahun 1446 M, yakni pada tahun jatuhnya Champa akibat serbuan
Vietnam. Hal itu sejalan dengan sumber dari Serat Walisana yang
menyatakan bahwa Prabu Brawijaya, Raja Majapahit mencegah
Raden Rahmat kembali ke Champa karena Champa sudah rusak
akibat kalah perang dengan Kerajaan Koci. Penempatan Raden
Rahmat di Surabaya dan saudaranya di Gresik, tampaknya memiliki
kaitan erat dengan suasana politik di Champa, sehingga dua
bersaudara tersebut ditempatkan di Surabaya dan Gresik, kemudian
dinikahkan dengan perempuan setempat.[6]

Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)


Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan
keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan
Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama
Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian
untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia
dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati,

Halaman 785 dari 883


yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada
gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang
sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden
menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van
Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan
karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya.
Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525. Ia dimakamkan
di daerah Tuban, Jawa Timur.

Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan
keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Nama asli dari Sunan Drajat
adalah masih munat. Nama sewaktu masih kecil adalah Raden
Qasim. Sunan drajat terkenal juga dengan kegiatan sosialnya.
Dialah wali yang memelopori penyatuan anak-anak yatim dan orang
sakit. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila,
putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak
berdakwah kepada masyarakat umum. Ia menekankan
kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran
masyarakat sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan
Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan,
bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang
macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan
Singomengkok peninggalannya terdapat di Museum Daerah Sunan
Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat pada 1522.

Sunan Kudus (Ja'far shodiq)

Halaman 786 dari 883


Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden
Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar
Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel.
Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan
Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim
Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad
Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi
Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam
bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-
Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq
bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain binti
Sayyidah Fathimah Az-Zahra bin Nabi Muhammad Rasulullah.
Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar
dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima
perang, penasihat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim
peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa
dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah
Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati
Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah
Masjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu
dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.

Sunan Giri
Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah
keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad, merupakan murid dari
Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia
mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang

Halaman 787 dari 883


selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa
dan Indonesia timur, bahkan sampai ke Kepulauan Maluku. Salah
satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang
menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima, Nusa
Tenggara Barat. Makam Sunan Giri terletak di Desa Giri,
Kabupaten Gresik.

Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama
Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin
Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan
Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana
untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang
suluk. Tembang suluk lir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya
dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan
Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana
Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan
Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.

Sunan Muria (Raden Umar Said)


Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan
Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dari isterinya yang
bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah
dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria
adalah adik ipar dari Sunan Kudus.

Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)

Halaman 788 dari 883


Gapura Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra


Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam Syekh Husain
Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton
Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga
Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai
pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian
menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana
Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan
menyebarkan agama Islam di Banten.

Asal usul Wali Sanga

Halaman 789 dari 883


Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Wali Sanga
adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat
lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan
jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal
mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif.
Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir,
dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa
Wali Sanga adalah keturunan Hadramaut (Yaman):

L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda


yang mengadakan riset pada 1884–1886, dalam bukunya Le
Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886)[8]
mengatakan:

”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke


Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan
perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di
Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-
suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi
mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini
disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari
tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).” Van den Berg
juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204): ”Pada abad
ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau
keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu.
Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian
mereka mempunyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan
pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-

Halaman 790 dari 883


pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-
sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka
berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang
Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang
Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab,
mengikuti jejak nenek moyangnya."
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15,
yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian
besar Wali Sanga di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari
abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya,
yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al
Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab, dan banyak
marga Hadramaut lainnya.
• Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar
bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Sri Lanka,
pesisir barat India (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan
Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan
dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman
(non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
• Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak
tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan
Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat
Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya
terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Sri Lanka,
Sulu & Mindanao (FIlipina), Malaysia dan Indonesia. Kitab
fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang
oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya
Halaman 791 dari 883
memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun
kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber
yaitu Hadramaut karena Hadramaut adalah sumber pertama
dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i
dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
• Pada abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan
Wali Sanga seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama
menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga
merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar
Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu
keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin
Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad
Shahib Mirbath, ulama besar Hadramaut abad ke-13.
Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang
berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan
mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak
menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim
Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Sumber tertulis tentang Wali Sanga
1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang
Wali Sanga, antara lain Serat Walisanga karya
Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Wali Sanga karya
Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari
Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad
Tanah Jawi.

Halaman 792 dari 883


2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-
Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan
yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh
(Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan
di antaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya
Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi
sangking Hadramaut.
3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti
al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar
Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-
Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga
terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati,
Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan
Sunan Gresik.
KAROMAH WALI SONGO
Dalam menyebarkan agama islam di Jawa dan di Indonesia,
anggota Walisongo sering mengalami perlawanan-perlawanan
dengan kerajaan yang memerintah pada waktu itu. Namun
Walisongo dengan gigih melakukan perlawanan dengan karomah
yang dimilikinya. Berikut beberapa legenda yang melibatkan
karomah walisongo.

Legenda Walisongo Menyerang Majapahit


Ada berbagai legenda dan cerita berhubungan dengan
peperangan antara anggota walisongo dengan pasukan majapahit.
Saat menyerang Majapahit, Sunan Gunung Jati mengibaskan

Halaman 793 dari 883


surbannya, dari sana kemudian jutaan tikus keluar untuk meyerang
pasukan Majapahit hingga berantakan. Selanjutnya, ketika keris
Sunan Giri dihunus dari sarungnya, maka keluarlah ribuan lebah
yang menyengat pasukan Majapahit. Kondisi ini membuat pasukan
majapahit lari tunggang langgang diserang oleh pasukan lebah.

Ketika peti mukjizat dari Palembang dibuka, terdengar suara


ledakan seperti seribu petir sehingga langit menjadi suram, rumah-
rumah roboh, dan bumi berguncang. Dari peti juga keluar jutaan
mahkluk halus yang menimpakan malapetaka kepada pasukan
Majapahit. Sementara itu, peci Sunan Bonang dapat mengeluarkan
jutaan senjata yang mengamuk menghantam pasukan majapahit.
Semua kisah legenda yang sangat luar biasa ini ditulis dalam kitab
Walisongo dengan langgam Durma.

Legenda Sunan Giri


Sejak kecil Sunan Giri sudah menunjukkan karomah dalam
dirinya. Pada waktu bayi ia dibuang dengan dihanyutkan di selat
Bali atas perintah kakeknya, namun ia selamat dan ditemukan oleh
saudagar yang sedang berlayar di selat Bali yang pemilik kapalnya
adalah seorang wanita kaya raya dari Gresik. Untuk itu masa
kecilnya Sunan Giri bernama Joko Samudro.
Joko artinya anak laki-laki dan Samudro artinya lautan luas.
Maka Joko Samudro artinya anak laki-laki yang ditemukan di
samudra (selat Bali). Setelah besar ia belajar agama islam di
pesantren milik Sunan Ampel di Surabaya. Sunan Giri memiliki
karomah yang diberikan Allah yaitu salah satunya dapat menyabda
Halaman 794 dari 883
beras menjadi selendang tenun Bali, pasir menjadi beras, dan kerikil
menjadi Mutiara permata.
Kalam yang sedang dipakai untuk menulis, dilemparkan
kearah tantara Majapahit yang datang menyerang dapat berubah
menjadi keris Kalamunyeng dan menghancurkan musuh tersebut.
Saat makam Sunan Giri hendak dibongkar dan dirusak oleh
tantara Majapahit, ternyata jutaan lebah keluar untuk menyerang
pasukan sehingga mereka lari kalang kabut.

Legenda Sunan Bonang


Sunan Bonang yang masa mudanya berguru kepada ayahnya
yaitu sunan Ampel, memiliki pengetahuan ilmu agama islam yang
tinggi. Masa belajar di pesantren milik Ayahnya, ia berteman
dengan Sunan Giri, karena memang satu pondok pesantren. Salah
satu karomah Sunan Bonang yaitu dapat mengubah buah aren
menjadi emas. Karomah tersebut telah membuat Brandal Lokajaya
bertobat kepada beliau ketika hendak merampoknya dan akhirnya
berguru kepada sunan Bonang.

Legenda Sunan Kudus


Sunan Kudus ketika menyerang Terung dengan tujuh
prajuritnya oleh Adipati Pecattondo dilihat seperti membawa ribuan
prajurit hingga sang adipati menyerah tanpa kekerasan senjata.

Legenda Sunan Kalijaga


Sunan Kalijaga adalah putra dari adipati Tuban yang sangat
kaya raya. Sunan Kalijaga muda bernama Raden Mas Syahid. Ia
Halaman 795 dari 883
tidak menyukai tindakan kesewenang-wenangan dari kerajaan
terhadap rakyat jelata.
Pada masa mudanya sebelum bertemu dengan sunan
Bonang, ia menjadi perampok yang mengambil harta para saudagar-
saudagar kaya yang kemudian hasil rampasannya itu dibagikan
kepada rakyat miskin. Sunan Kalijaga adalah Sunan yang memiliki
banyak cerita legenda diantara sunan-sunan lainnya. Karena
memang Sunan Kalijaga adalah Sunan yang paling merakyat ketika
menyebarkan agama islam ke masyarakat Jawa.
Sunan Kalijaga adalah murid dari Sunan Bonang bersama
dengan Syeh Siti Jenar. Dalam syiar agama islam Sunan Kalijaga
melakukan pendekatan-pendekatan yang masih menggunakan
unsur-unsur budaya Hindu atau Budha saat itu. Dengan demikian
ajaran islam mudah diterima oleh masyarakat yang masih memeluk
agama Hindu atau Budha saat itu.

Karomah Sunan Kalijaga diantaranya:


Dapat menghidupkan kembali ayam tukung yaitu ayam
panggang yang telah hilang brutunya. Dapat menghidupkan ikan
gurameh yang tinggal tulangnya saja, karena dagingnya sudah
dimakan. Dapat bertemu dan berguru pada Nabi Khidir di Lulmat
Agaib, yang menjelma menjadi bocah bajang (anak kecil) dan
memberi wejangan tentang nafsu lawwamah, ammarah, sufiah, dan
muthmainnah.
Dapat mengubah sebongkah tanah menjadi emas di hadapan
Adipati Pandanaran untuk menunjukkan bahwa mencari harta benda
itu sebenarnya perkara gampang, tetapi seringkali harta benda justru
Halaman 796 dari 883
menjadi penghalang untuk mencapai cita-cita kembali kepada Allah
Swt. Memiliki baju takwa bernama Kiai Antakusuma sebagai
hadiah peninggalan dari Rasulullah Saw. Baju itu dapat berubah-
ubah warnanya menurut kesukaan yang memandang.
Bisa mengubah biji besi sebesar biji asam menjadi sebesar
gunung. Ketika Sunan Kalijaga membawa besi bahan untuk
dijadikan keris kepada Empu Supo, karena dipaido (dilecehkan)
tidak cukup karena besinya hanya sebesar klungsu (biji asam), lalu
disabda menjadi sebesar gunung sehingga merepotkan Empu Supo
sendiri. Oleh karena itu, besi itu lalu diubah menjadi ukuran semula
dan Empu Supo pun dapat mengerjakannya menjadi keris yang
ampuh.
Legenda Pembangunan Masjid Demak

Pembangunan Masjid Agung Demak hanya dilakukan dalam


satu malam. Saking keramatnya, pembangunan Masjid Demak juga

Halaman 797 dari 883


dibantu beberapa binatang seperti katak hijau dan kadal. Tetapi ada
juga binatang yang mengganggu yaitu orong-orong. Sedangkan
untuk menentukan arah kiblat, Sunan Kalijaga menghubungkan
kubah Masjid Demak dengan kubah Masjidil Haram.
Di samping itu, legenda mengatakan bahwa Sunan Kalijaga
dapat membuat tiang Masjid Demak dari potongan kayu kecil-kecil
(tatal) yang menjadi salah satu soko guru (tiang) utama masjid.
Kualitasnya tiang dari tatal ini tidak berbeda dengan tiang buatan
wali lainnya yang terbuat dari kayu jati glondongan yang besar.
Legenda Lembu Peteng Hendak Membunuh Sunan Ampel
Lembu Peteng adalah tokoh dunia persilatan dari Madura
yang sakti mandraguna. dalam legenda ini Lembu Peteng ingin
membunuh sunan Ampel. Dalam legenda dikisahkan ketika lembu
Peteng hendak membunuh Sunan Ampel dari belakang. Namun
sebelum ia melaksanakan niatnya, tiba-tiba sekujur tubuhnya
gemetar dan kehilangan segala kekuatannya.
Kekuatan Lembu Peteng seolah-olah hilang dan tidak
bergeming untuk melanjutkannya. Lembu Peteng baru pulih
kembali setelah Sunan Ampel mengampuni kesalahannya. Dan
akhirnya ia mengurungkan niatnya untuk membunuh Sunan Ampel.
Warisan Wali Songo
Wali Songo telah meninggalkan warisan yang tak terbilang
untuk Indonesia. Karya Wali Songo yang terbesar untuk Indonesia
adalah kepedulian sosial yang sangat tinggi para Wali Songo kepada
Fakir Miskin. Seolah-olah Wali Songo Hanya berwasiat kepada
Indonesia, untuk Masjid dan Fakir Miskin.

Halaman 798 dari 883


Wasiat Sunan Gunung Jati untuk Indonesia. Di Masjid Agung Aulia
Al Alam Si Pitung, Marunda, Cilincing, Jakarta

INGSUN TITIP TAJUG LAN FAKIR MISKIN.

AKU TITIPKAN MASJID DAN FAKIR MISKIN

Referensi
1. ^ Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia since c.1300, 2nd Edition.
London: MacMillan. hlm. 9–10. ISBN 0-333-57689-6.
2. ^ Schoppert, P., Damais, S., Java Style, 1997, Didier Millet, Paris, pp. 50, ISBN
962-593-232-1
3. ^ Dahlan, KH. Mohammad. Haul Sunan Ampel Ke-555, Penerbit Yayasan Makam Sunan
Ampel, hlm 1-2, Surabaya, 1979.
4. ^ Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, Depok: Pustaka Iman, 2016, 135.
5. ^ Meinsma, J.J., 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing
Tahun 1647. S'Gravenhage.
6. ^ Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, (Depok: Pustaka Iman), 179.
7. ^ Istilah maqam, selain berarti kubur juga dapat berarti tempat menetap atau tempat yang
pernah dikunjungi seorang tokoh; contohnya seperti makam Nabi Ibrahim di Masjidil
Haram.
8. ^ van den Berg, Lodewijk Willem Christiaan, 1886. ''Le Hadhramout et les colonies arabes
dans l'archipel Indien. Impr. du gouvernement, Batavia.

Halaman 799 dari 883


9. ^ Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara
Islam di Nusantara. LkiS. hlm. xxvi + 302 hlm. ISBN 9799798451163.
10. ^ Russell Jones, review on Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries written
by H. J. de Graaf; Th. G. Th. Pigeaud; M. C. Ricklefs, Bulletin of the School of Oriental
and African Studies, University of London, Vol. 50, No. 2. (1987), hlm. 423-424.

Halaman 800 dari 883


BAB 42
SUNAN AMPEL

Sunan Ampel adalah salah seorang wali di antara Walisongo


yang menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa. Ia lahir pada tahun
1401 di daerah Vietnam Kerajaan Champa nama akhiran Bong Swi
Hoo.

Sunan Ampel adalah putra dari Syekh Ibrahim Zainuddin


As-Samarqandy / Maulana Ibrahim Al-Hadrami Azmatkhan /
Makhdum Ibrahim / Syekh Ibrahim Akbar / Maulana Ibrahim Akbar
/ Sunan Gresik dengan Dewi Candrawulan. Ibrahim As-Samarqandy
merupakan cucu Syekh Jumadil Qubro. Sunan Ampel juga
merupakan keponakan Dyah Dwarawati, istri Bhre Kertabhumi raja
Majapahit.

Silsilah

Halaman 801 dari 883


• - As-Sayyid Ali Rahmatullah
• - Sunan Gresik
• - As-Sayyid Barakat Zainal Alam
• - As-Sayyid Husain Jamaluddin bin
• - As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin
• - As-Sayyid Abdullah bin
• - As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
• - As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin
• - As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin
• - As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin
• - As-Sayyid Alwi bin
• - As-Sayyid Muhammad bin
• - As-Sayyid Alwi bin
• - As-Sayyid Ubaidillah bin
• - Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin
• - Al-Imam Isa Ar-Rumi bin
• - Al-Imam Muhammad An-Naqib bin
• - Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin
• - Al-Imam Ja’far Shadiq bin
• - Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin
• - Al-Imam Ali Zainal Abidin bin
• - Al-Imam Al-Husain bin
• - Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti
• - Nabi Muhammad Rasulullah SAW.

Halaman 802 dari 883


Jadi, Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dan Champa
dari sebelah ibu. Tetapi dari ayah leluhur mereka adalah keturunan
langsung dari Ahmad al-Muhajir, Hadhramaut. Bermakna mereka
termasuk keluarga besar Saadah BaAlawi

Keturunan
Isteri pertama adalah Dyah Candrawati alias Nyai Ageng
Manila binti Arya Teja Al-Abbasyi, berputera:

1. Maulana Mahdum Ibrahim/Raden Mahdum Ibrahim/ Sunan


Bonang/Bong Ang
2. Syarifuddin/Raden Qasim/ Sunan Drajat
3. Siti Syari’ah/ Nyai Ageng Maloka/ Nyai Ageng Manyuran
4. Siti Muthmainnah
5. Siti Hafsah
Isteri kedua adalah Dyah Karimah binti Ki Kembang Kuning,
berputera:

1. Dewi Murtasiyah/ Istri Sunan Giri


2. Dewi Asyiqah/ Istri Raden Patah
3. Raden Husamuddin (Sunan Lamongan)
4. Raden Zainal Abidin (Sunan Demak)
5. Pangeran Tumapel / Pangeran Lamongan/ Sayyid Maulana
Hamzah, ayah dari Sunan Tembayat.
6. Raden Faqih (Sunan Ampel 2)
Sejarah dakwah

Halaman 803 dari 883


Syekh Jumadil Qubro, dan kedua anaknya, Maulana Malik
Ibrahim dan Maulana Ishak bersama sama datang ke pulau Jawa.
Setelah itu mereka berpisah, Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau
Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan, dan
adiknya Maulana Ishak berdakwah di Samudra Pasai.

Di Kerajaan Champa, Maulana Malik Ibrahim berhasil


mengislamkan raja Champa, yang akhirnya mengubah Kerajaan
Champa menjadi kerajaan Islam. Akhirnya dia dijodohkan dengan
putri raja Champa (adik Dyah Dwarawati), dan lahirlah Raden
Rahmat. Di kemudian hari Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau
Jawa tanpa diikuti keluarganya.

Sunan Ampel (Raden Rahmat) datang ke pulau Jawa pada


tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dyah Dwarawati. Dyah
Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja
Majapahit yang bergelar Bhre Kertabhumi.

Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang


adipati di Tuban yang bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai 4
orang anak, yaitu:

1. Putri Nyai Ageng Maloka,


2. Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang),
3. Syarifuddin (Sunan Drajat)
4. Syarifah, yang merupakan istri dari Sunan Kudus.
Moh limo Moh limo atau Molimo, Moh (tidak mau), limo (lima),
adalah falsafah dakwah Sunan Ampel untuk memperbaiki kerusakan
akhlak di tengah masyarakat pada zaman itu yaitu:

Halaman 804 dari 883


1. Moh Mabok: tidak mau minum minuman keras, khamr dan
sejenisnya.
2. Moh Main: tidak mau main judi, togel, taruhan dan
sejenisnya.
3. Moh Madon: tidak mau berbuat zina, homoseks, lesbian dan
sejenisnya.
4. Moh Madat: tidak mau memakai narkoba dan sejenisnya.
5. Moh Maling: tidak mau mencuri, korupsi, merampok dan
sejenisnya.

Makam Sunan Ampel di Surabaya

Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung


Demak. Dan yang menjadi penerus untuk melanjutkan perjuangan

Halaman 805 dari 883


dakwah dia di Kota Demak adalah Raden Zainal Abidin yang
dikenal dengan Sunan Demak, dia merupakan putra dia dari istri
dewi Karimah.Sehingga Putra Raden Zainal Abidin yang terakhir
tercatat menjadi Imam Masjid Agung tersebut yang bernama Raden
Zakaria (Pangeran Sotopuro). Sunan Ampel diperkirakan wafat pada
tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid
Ampel, Surabaya.

Referensi
• Ahmad asep abdul aziz, Hikayat Banjar terjemahan dalam Bahasa Malaysia oleh Siti Hawa
Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS -
Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990.

Halaman 806 dari 883


BAB 43
SUNAN GIRI

Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan


pendiri kerajaan Giri Kedaton,yang berkedudukan di daerah Gresik,
Jawa Timur. Sunan Giri membangun Giri Kedaton sebagai pusat
penyebaran agama Islam di Pulau Jawa yang pengaruhnya bahkan
sampai ke Madura, Lombok,Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.

Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden


Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin
dan Joko Samudro. Ia lahir di Blambangan tahun 1442 dan
dimakamkan di desa Giri, Kebomas Gresik.

Silsilah

Halaman 807 dari 883


Tangga dan candi bentar masuk ke pemakaman Sunan Giri pada tahun 1932

Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda


mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia
adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari
Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi
Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah
Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.

Pendapat lainnya kemudian melengkapinya bahwa Sunan


Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu melalui jalur
keturunan

1. Husain bin Ali


2. Ali Zainal Abidin
3. Muhammad al-Baqir

Halaman 808 dari 883


4. Ja'far ash-Shadiq
5. Ali al-Uraidhi
6. Muhammad an-Naqib
7. Isa ar-Rumi
8. Ahmad al-Muhajir
9. Ubaidillah
10. Alawi al-Awwal
11. Muhammad Sahibus Saumah
12. Alawi ats-Tsani
13. Ali Khali' Qasam
14. Muhammad Shahib Mirbath
15. Alwi Ammil Faqih
16. Abdul Malik Azmatkhan
17. Abdullah Azmatkhan
18. Ahmad Syah Jalaluddin Azmatkhan
19. Husain Jamaluddin AkbarAzmatkhan
20. Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandy (Ibrahim
Asmoroqondi)
21. Maulana Ishaq Azmatkhan
22. Sunan Giri, Muhammad 'Ainul Yaqin
Pendapat ini disepakati berdasarkan riwayat pesantren-
pesantren Jawa Timur dan catatan nasab Sa'adah Ba 'Alawi
Hadramaut. Dalam Hikayat Banjar disebutkan, Pangeran Giri (alias
Sunan Giri) merupakan cucu Putri Pasai (Jeumpa) dan Dipati
Hangrok (alias Brawijaya VI). Perkawinan Putri Pasai dengan

Halaman 809 dari 883


Dipati Hangrok melahirkan seorang putera. Putera ini yang tidak
disebutkan namanya menikah dengan puteri Raja Bali, kemudian
melahirkan Pangeran Giri. Putri Pasai adalah puteri Sultan Pasai
yang diambil isteri oleh Raja Majapahit yang bernama Dipati
Hangrok (alias Brawijaya VI). Mangkubumi Majapahit masa itu
adalaha Patih Maudara.

Pendidikan dan Pengembangan Keilmuan


Menurut Hoesein Djajadiningrat dalam Sadjarah Banten
(1983), Nyai Pinatih adalah janda kaya raya di Gresik, bersuami
Koja Mahdum Syahbandar, seorang asing di Majapahit. Nama
Pinatih sendiri sejatinya berkaitan dengan nama keluarga dari
Ksatria Manggis di Bali (Eiseman, 1988), yang merupakan
keturunan penguasa Lumajang, Menak Koncar, salah seorang
keluarga Maharaja Majapahit yang awal sekali memeluk Islam.[1]

Bayi yang tersangkut di kapal itu diambil oleh awak kapal


dan diserahkan kepada Nyai Pinatih yang kemudian memungutnya
menjadi anak angkat. Karena ditemukan di laut, maka bayi itu
dinamai Jaka Samudra. Setelah cukup umur, Jaka Samudra dikirim
ke Ampeldenta untuk berguru kepada Sunan Ampel. Menurut Babad
Tanah Jawi, sesuai pesan Maulana Ishak, oleh Sunan Ampel nama
Jaka Samudra diganti menjadi Raden Paku.

Dakwah dan kesenian


Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau
lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin kembali ke Giri. Dalam
Babad Tanah Jawi, dikisahkan bahwa Raden Paku dan Raden

Halaman 810 dari 883


Mahdum Ibrahim pernah bermaksud pergi ke Mekkah untuk
menuntut ilmu sekaligus berhaji. Namun, keduanya hanya sampai di
Malaka dan bertemu dengan Maulana Ishak, ayah kandung Raden
Paku. Keduanya diberi pelajaran tentang berbagai macam ilmu
keislaman, termasuk ilmu tasawuf. Di dalam sumber yang dicatat
pada silsilah Bupati Gresik pertama bernama Kyai Tumenggung
Pusponegoro, terdapat silsilah tarekat Syathariyah yang menyebut
nama Syaikh Maulana Ishak dan Raden Paku Sunan Giri sebagai
guru Tarekat Syathariyah, yang menunjuk bahwa aliran tasawuf
yang diajarkan Maulana Ishak dan Raden Paku adalah Tarekat
Syathariyah.udian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah
perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri
berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan
Sunan Giri.

Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu


pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya
sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera
(terutama bagian selatan) dan Maluku. Pengaruh Giri terus
berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri
Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa
generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.

Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering


dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah
permainan-permainan anak seperti Jelungan, dan Cublak Suweng;
serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti
Asmaradana dan Pucung.

Halaman 811 dari 883


Referensi
Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, Depok: Pustaka Iman, 2016, 206.

Halaman 812 dari 883


BAB 44
SUNAN GRESIK

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim alias Syekh


Maulana Maghribi / Syekh Ibrahim Zainuddin As-Samarqandy /
Maulana Ibrahim Al-Hadrami Azmatkhan / Makhdum Ibrahim /
Syekh Ibrahim Akbar / Maulana Ibrahim Akbar atau Kakek Bantal
(w. 1419 M/822 H) adalah nama salah seorang pemimpin Walisongo
dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di
desa Gapurosukolilo, Gresik.

Nasab dan keturunannya


Nasab Maulana Malik Ibrahim bersumber dari catatan dari
As-Sayyid Bahruddin Ba’alawi Al-Husaini yang kumpulan
catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul
Bait yang terdiri dari beberapa volume.

Dalam catatan itu tertulis:

Halaman 813 dari 883


- As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin

- As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin

- As-Sayyid Husain Jamaluddin / Wali Qutub Syekh Kubro bin

- As-Sayyid Ahmad Jalaluddin / Syah Jalaluddin bin

- As-Sayyid Abdullah bin

- As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin

- As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin

- As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin

- As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin

- As-Sayyid Alwi bin

- As-Sayyid Muhammad bin

- As-Sayyid Alwi bin

- As-Sayyid Ubaidillah bin

- Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin

- Al-Imam Isa Ar-Rumi bin

- Al-Imam Muhammad An-Naqib bin

- Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin

- Al-Imam Ja’far Shadiq bin

- Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin

Halaman 814 dari 883


- Al-Imam Ali Zainal Abidin bin

- Al-Imam Al-Husain bin

- Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti

- Nabi Muhammad Rasulullah SAW.

Pernikahan
Syekh Maulana Malik Ibrahim memiliki 3 isteri bernama:

• 1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja


Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama:
Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah.
• 2. Siti Maryam binti Syekh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu:
Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad.
• 3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar
Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf.
Selanjutnya Syarifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim
dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/
Raden Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan
Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid
Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq
(Sunan Kudus).

Riwayat Dakwah
Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang
yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan
merupakan wali senior di antara para Walisongo lainnya.[2]

Halaman 815 dari 883


Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai
beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa
Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu
9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan
agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid
pertama di desa Pasucinan, Manyar.

Makam Maulana Malik Ibrahim di sekitar tahun 1900

Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati


masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah
senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak
menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari
penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan
kebaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-

Halaman 816 dari 883


tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam
agama Islam.[3]

Makam Maulana Malik Ibrahim di Malam Hari tidak pernah sepi

Setelah berhasil memikat hati masyarakat sekitar, aktivitas


selanjutnya yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah
berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang
sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.[4] Perdagangan
Halaman 817 dari 883
membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain
itu raja dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan
perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau
pemodal.[5]

Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim


kemudian melakukan kunjungan ke ibu kota Majapahit di Trowulan.
Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya
dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran
kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama
desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-
unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada saat
Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibu kota Majapahit telah banyak
orang asing termasuk dari Asia Barat.[6]

Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk


melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana
Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan
tempat mendidik pemuka agama Islam pada masa selanjutnya.
Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang
menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad
yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai
berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga
diadakan setiap tanggal 12 Rabi'ul Awwal, sesuai tanggal wafat
pada prasasti makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman
Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan
dihidangkan makanan khas bubur harisah.[7]

Halaman 818 dari 883


Filsafat
Mengenai filsafat ketuhanannya, disebutkan bahwa Maulana
Malik Ibrahim pernah menyatakan mengenai apa yang dinamakan
Allah. Ia berkata: "Yang dinamakan Allah ialah sesungguhnya yang
diperlukan ada-Nya." Meskipun hal ini tidak ada bukti yang dapat
menunjukkan kebenaran filsafat tersebut, karena di berbagai
sumber, menyebutkan bahwa dia adalah seorang Ahlus Sunnah Wal
Jama'ah

Wafat
Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat
belajar agama di Leran, Syeh Maulana Malik Ibrahim wafat tahun
1419. Makamnya kini terdapat di desa Gapura, Gresik, Jawa Timur.
Inskripsi dalam bahasa Arab yang tertulis pada makamnya adalah
sebagai berikut:

Ini adalah makam almarhum seorang yang dapat diharapkan

“ mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada


rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai
tongkat sekalian para sultan dan wazir, siraman bagi kaum fakir dan
miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama:
Malik Ibrahim yang terkenal dengan kebaikannya. Semoga Allah

melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan semoga menempatkannya di
Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan
Malik Ibrahim.[7]

Referensi
1. ^ Bukti ini nampak pada bingkai nisan Maulana Malik Ibrahim, terdapat pahatan ayat suci
Al-Qur’an. Diawali dengan surat al-Baqarah ayat 225 yang lebih popular disebut ayat
kursi, lalu surat Ali Imran ayat 185, Al-Rahman ayat 26-27, dan diakhiri dengan surat At-

Halaman 819 dari 883


Taubah ayat 21-22. Menurut beberapa penelitian literatur, nisan tersebut berasal dari
Cambay, Gujarat dan nisan tersebut adalah persembahan Sultan Samudra Pasai sebagai
tanda hormat atas keagungan sang Maulana Maulik Ibrahim. Pada makam Maulana Malik
Ibrahim, terdapat pula sebuah teks bertuliskan :“Ini adalah makam almarhum seorang yang
dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada rahmat
Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran, dan sebagai tongkat sekalian para sultan
dan Wazir, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang berbahagia dan syahir penguasa dan
urusan agama : Malik Ibrahim yang terkenal dengan kebaikannya. Semoga Allah
melimpahkan rahmat dan ridho-Nya dan semoga menempatkannya di surga.” Maulana
Malik Ibrahim adalah cucu dari Wali Qutub [As-Sayyid Husain Jamaluddin]. Seorang Wali
Allah yang menjadi Mufti dan Penasehat Kekhilafahan Turki Utsmani, yang dipimpin oleh
Khalifah Muhammad I. Ayah Maulana Malik Ibrahim adalah As-Sayyid Barakat Zainul
Alam, Seorang Wali Allah yang memiliki paras yang tampan, & mempunyai keahlian
sebagai orator yang ulung & memukau.
2. ^ Drewes, G. W. J. 1968. New Light on the Coming of Islam to Indonesia?, Bijdragen tot
de Taal-, Land- en Volkenkunde.
3. ^ Salam, Solichin, 1960. Sekitar Walisanga, hlm 24-25, Penerbit "Menara Kudus", Kudus.
4. ^ Munif, Drs. Moh. Hasyim, 1995. Pioner & Pendekar Syiar Islam Tanah Jawa, hlm 5-6,
Yayasan Abdi Putra Al-Munthasimi, Gresik.
5. ^ Tjandrasasmita, Uka (Ed.), 1984. Sejarah Nasional Indonesia III, hlm 26-27, PN Balai
Pustaka, Jakarta.
6. ^ Groeneveldt, W.P., 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from
Chinese Sources. Bhratara, Jakarta.
7. ^ Lompat ke:
a b Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, Penerbit Buku Kompas, Desember 2006.

Halaman 820 dari 883


BAB 45
SUNAN DRAJAT

Sunan Drajat adalah salah satu sunan dari sembilan sunan


Wali Songo. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian
mendapat gelar Raden Syarifudin. Sunan Drajat diperkirakan lahir
pada tahun 1470 Masehi. Beliau adalah putra dari Sunan Ampel
yang terkenal karena kecerdasannya, dan ia merupakan saudara dari
Sunan Bonang.

Setelah menguasai ajaran Islam, ia menyebarkan agama


Islam di Desa Drajat sebagai tanah perdikan di Kecamatan Paciran.
Di sana ia mendirikan pesantren Dalem Duwur. Tempat ini
diberikan oleh Kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang
Madu oleh Raden Patah pada tahun saka 1442/1520 Masehi.

Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari Surabaya maupun


Tuban lewat Jalan Raya Pos (Anyar-Panarukan), dari kota

Halaman 821 dari 883


Lamongan dapat ditempuh 50 menit dengan kendaraan pribadi.

Makam Sunan Drajat di Lampngan

Sejarah singkat
Sunan Drajat bernama kecil Raden Syar fuddin atau Raden
Qosim putra Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah pelajaran
Islam dikuasai, ia m ngambil tempat di Desa Drajat wilayah
Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan sebagai pusat kegiatan
dakwahnya sekitar abad XV dan XVI Masehi. Ia memegang kendali
keprajaan di wilayah perdikan Drajat sebagai otonom kerajaan
Demak selama 36 tahun

Ia sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal berjiwa sosial,


sangat memperh tikan nasib kaum fakir miskin. Ia terl bih dahulu
mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan pemahaman

Halaman 822 dari 883






tentang ajaran Islam. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja
keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan
menciptakan kemakmuran. Usaha ke arah itu menjadi lebih mudah
karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur
wilayahnya yang memp nyai otonomi.

Sebagai penghargaan atas keberh silannya menyebarkan


agama Islam dan usahanya menanggulangi kemiskinan dengan
menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya, ia
memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan
Demak pada tahun saka 1442 atau 1520 Masehi.

Filosofi Sunan Drajat


Filosofi Sunan Drajat dalam pengentasan kemiskinan kini
terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam
Sunan Drajat. Secara lengkap makna filosofis ke tujuh saf tangga
tersebut sebagai berikut:

1. Memangun resep tyasing Sasoma (kita selalu membuat


senang hati orang lain)
2. Jroning suka kudu éling lan waspada (di dalam suasana
riang kita harus tetap ingat dan waspada)
3. Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning
lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur
kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
4. Mèpèr Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan
gelora nafsu-nafsu)

Halaman 823 dari 883




5. Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan
me peroleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah
kita akan mencapai cita- cita luhur).
6. Mulya guna Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin
hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu)
7. Mènèhana teken marang wong kang wuta, Mènèhana
mangan marang wong kang luwé, Mènèhana busana
marang wong kang wuda, Mènèhana ngiyup marang wong
kang kodanan. (Berilah tongkat pada orang buta, berilah
makan pada orang yg lapar, berilah pakaian pada orang yang
telanjang, berilah tempat berteduh pada orang yang
kehujanan, Berilah ilmu agar orang menjadi pandai,
Sejahterakanlah kehidupan masy rakat yang miskin,
Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta
beri perlindungan orang yang menderita)
Penghargaan
Dalam sejarahnya Sunan Drajat juga dikenal sebagai
seorang Wali pencipta tembang Mocopat yakni Pangkur. Sisa - sisa
gamelan Singo men kok-nya Sunan Drajat kini tersimpan di
Museum Daerah.

Untuk menghormati jasa - jasa Sunan Drajat sebagai seorang


Wali penyebar agama Islam di wilayah Lamongan dan untuk
melestarikan budaya serta benda benda bersejarah peninggalannya
Sunan Drajat, keluarga dan para sahabatnya yang berjasa pada
penyiaran agama Islam, Pemerintah Kabupaten Lamongan
mendirikan Museum Daerah Sunan Drajat disebelah timur Makam.

Halaman 824 dari 883






Museum ini telah diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur tanggal 1
Maret 1992.

Upaya Bupati Lamongan R. Mohamad Faried, S.H. untuk


menyelamatkan dan melestarikan warisan sejarah bangsa ini
mendapat dukungan penuh Gubernur Jawa Timur dengan alokasi
dana APBD I yaitu pada tahun 1992 dengan pemugaran Cungkup
dan pembang nan Gapura Paduraksa senilai Rp.98 juta dan
anggaran Rp.100 juta 202 ribu untuk pembangunan kembali Mesjid
Sunan Drajat yang diresmikan oleh Menteri Penerangan RI tanggal
27 Juni 1993. Pada tahun 1993 sampai 1994 pembenahan dan
pembangunan Situs Makam Sunan Drajat dilanjutkan dengan
pembangunan pagar kayu berukir, renovasi paséban, balé ranté serta
Cungkup Sitinggil dengan dana APBD I Jawa Timur sebesar RP.
131 juta yang diresmikan Gubernur Jawa Timur M. Basofi
Sudirman tanggal 14 Januari 1994.

Halaman 825 dari 883



BAB 46
SUNAN BONANG

Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465 di Rembang


dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Beliau adalah
putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila.

Pendidikan dan Pengembangan Keilmuan


Dalam hal pendidikan, Sunan Bonang belajar pengetahuan
dan ilmu agama dari ayahandanya sendiri, yaitu Sunan Ampel. Ia
belajar bersama santri-santri Sunan Ampel yang lain seperti Sunan
Giri, Raden Patah dan Raden Kusen.

Selain dari Sunan Ampel, Sunan Bonang juga menuntut ilmu


kepada Syaikh Maulana Ishak, yaitu sewaktu bersama-sama Raden
Paku Sunan Giri ke Malaka dalam perjalanan haji ke tanah suci.

Halaman 826 dari 883


Sunan Bonang dikenal sebagai seorang penyebar Islam yang
menguasai ilmu fikih, ushuluddin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur,
dan ilmu silat dengan kesaktian dan kedigdayaan menakjubkan.
Bahkan, masyarakat mengenal Sunan Bonang sebagai seseorang
yang sangat pandai mencari sumber air di tempat-tempat yang sulit
air.

Makam Sunan Bonang tetap ramai walau malam hari diziarahi sebagai pengingat
kematian, bahwa kita semua akan mati

Babad Daha-Kediri menggambarkan bagaimana Sunan


Bonang dengan pengetahuannya yang luar biasa bisa mengubah
aliran Sungai Brantas, sehingga menjadikan daerah yang enggan
menerima dakwah Islam di sepanjang aliran sungai menjadi
kekurangan air, bahkan sebagian yang lain mengalami banjir.

Halaman 827 dari 883


Sepanjang perdebatan dengan tokoh Buto Locaya yang
selalu mengecam tindakan dakwah Sunan Bonang, terlihat sekali
bahwa tokoh Buto Locaya itu tidak kuasa menghadapi kesaktian
yang dimiliki Sunan Bonang. Demikian juga dengan tokoh Nyai
Pluncing, yang kiranya seorang bhairawi penerus ajaran ilmu hitam
Calon Arang, yang dapat dikalahkan oleh Sunan Bonang.

Karya Sastra
Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk
atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab
Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr. Sunan Bonang juga
menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa Jawa, berarti
penyembuh jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan orang.

Ada pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang


dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan oleh
ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang
atau buku (Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang
pakar Belanda lainnya, dianggap bukan karya Sunan Bonang,
melainkan dianggapkan sebagai karyanya. Dia juga menulis sebuah
kitab yang berisikan tentang Ilmu Tasawwuf berjudul Tanbihul
Ghofilin. Kitab setebal 234 halaman ini sudah sangat populer
dikalangan para santri.

Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu


kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah
yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan
menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki

Halaman 828 dari 883


nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan
transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah
satu karya Sunan Bonang.

Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang


yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah
menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah
perseteruan Pandawa-Kurawa

Keilmuan
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya.
Ia mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW,
kemudian dia kombinasi dengan kesimbangan pernapasan yang
disebut dengan rahasia Alif Lam Mim ( ‫ ) ا ل م‬yang artinya hanya
Allah SWT yang tahu.

Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau


jurus yang Dia ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang
berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya'. Ia
menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah
adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan
makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak murid-
muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya
setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami
isi Al-Qur'an.

Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah


mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Salat dan
dzikir. Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang

Halaman 829 dari 883


masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan
diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam
Silat Tauhid Indonesia.

Referensi
1. ^ Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, Depok: Pustaka Iman, 2016, 229.

Halaman 830 dari 883


BAB 47
SUNAN MURIA

Sunan Muria, lahir dengan nama Raden 'Umar Said,


adalah tokoh Walisanga, putra dari Raden Said (Sunan Kalijaga)
dengan Dewi Saroh, putri SyekhMaulana Ishaq, Dewi Saroh juga
keturunan trah Sultan Malikussaleh Kesultanan Samudera Pasai dari
jalur ibu Sultanah Pasai.[1][2]

Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama


gunung (Gunung Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus,
Jawa Tengah, tempat Sunan Muria dimakamkan. Sunan Muria wafat
pada tahun 1560 M.

Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah putri Sunan


Ngudung, adik dari Sunan Kudus dan Sunan Muria menikah dengan
dewi Roroyono Putri Ki Ageng Ngerang dan Nyai Ageng Ngerang.
[3] Sunan Muria menikah dengan dewi sujinah dikaruniai seorang

Halaman 831 dari 883


Makam Sunan Muria yang berada di Puncak Gunung dengan 1000 anak tangga,
banyak masyrakat yang naik ke Makam Sunan Muria, tua-muda, kaya miskin,
laki-laki perempuan bahkan anak-anak, sebagai wujud kecintaan mereka kepada
Waliyullah

anak bernama Raden Saridin, Syech Jangkung / Waliyullah Sunan


Landoh. Sedangkan, pernikahan Sunan Muria dengan dewi
Roroyono Putri Ki Ageng Ngerang dan Nyai Ageng Ngerang
dikaruniai tiga orang anak sunan nyamplungan, raden ayu
nasiki,pangeran santri, Salah satu putra Sunan Muria yang terkenal

Halaman 832 dari 883


ialah (Panembahan Pangulu) Pangeran Jogodipo , yang makamnya
berada satu kompleks di Colo.

Sumber versi catatan sejarah menyebutkan asal usul Sunan


Muria sebagai anak kandung dari sunan ngudung/sunan mandalika
sangat tidak sesuai karena bukti kebenaran otentik dewi sujinah istri
sunan muria adalah putri dari Sunan Ngudung "Raden Usman Haji"
bin As-Sayyid Ali Murtadho Sunan Gisik kakak Sunan Ampel

Silsilah

Silsilah Raden Umar Said atau Sunan Muria menurut


Naskah Pustoko Darah Agung Rangkainya sebagai berikut (1)
Abdul Muthalib (Adipati Mekah) (2) Sayyid Abbas bin Abdul-
Muththalib (3) Abdullah bin Abbas berputra Sayyid Abdul Azhar/
Abdullah Al Akbar / Syekh Abdul 'Wahid' Qurnayn Al baghdadi (4)
Syaikh Wais / Waqid Arumni (5) Syaikh Mudzakir Arumni (6)
Syaikh Abdullah (7) Syaikh Kharmia / kharmis (Kurames) (8)
Syaikh Mubarak (9) Syaikh Abdullah (10) Syaikh Ma'ruf /
Madhra'uf (11) Syaikh Arifin (12) Syaikh Hasanuddin(13) Syaikh
Jamal (14) Syaikh Ahmad (15) Syaikh Abdullah (16) Syaikh Abbas
(17) Syaikh Abdullah (18) Syaikh Kurames / Khoromis (Ulama di
Mekah) (19) Abdur Rahman / Kyai Lanang Baya / Arya Wiraraja
(Ario Teja, Bupati Tuban) (20) Ario Teja I (Bupati Tuban) (21) Ario
Teja Laku (Bupati Tuban) (22) Ario Teja II (Bupati Tuban) (23)
Raden Sahur Tumenggung Wilatikta (Bupati Tuban) (24) Raden
Mas Said (Sunan Kalijaga) (25) Raden Umar Said (Sunan Muria)

Halaman 833 dari 883


Silsilah Raden Umar Said atau Sunan Muria dari jalur ibu
Dewi Saroh Rangkainya sebagai berikut (1)Nabi Muhammad
Rasulullah SAW (2) Sayyidah Fatimah az-Zahra (RHA)(3) Al Imam
Al Husain bin Ali As Syahid (RA) (4) Al Imam (Ali bin Husain) Ali
Zainal Abidin (5) Al Imam Muhammad al-Baqir(6) Al Imam Ja'far
ash-Shadiq (7) Al Imam Ali al-Uraidhi (8) Al Imam Muhammad an-
Naqib (9) Al Imam Isa ar-Rumi (10) Al Imam Ahmad al-Muhajir
(11) As Sayyid Ubaidillah bin Ahmad (12) As sayyid Alawi bin
Ubaidillah Alawi Awwal (13) As Sayyid Muhammad Shahibus
Shaumah (14) As Sayyid Alawi Ats Tsani (15) As Sayyid Ali Khali'
Qasam (16) As Sayyid Muhammad Shahib Mirbath (17) As Sayyid
Alawi Ammil Faqih (18) As Sayyid Abdul Malik bin Alwi
Azmatkhan (19) As Sayyid Amir Khan Abdullah (20) As Sayyid
Ahmad Syah Jalaluddin (21) As Sayyid Husain Jamaluddin Akbar
al-Husaini (22) Syekh Maulana Ishaq (23) Sayyidah Dewi
Saroh(24) Raden Umar Said (Sunan Muria)

Referensi
1. ^ Nahdliyin, Suara (2019-01-07). "Menelusuri Jati Diri dan Jejak Dakwah Sunan Muria".
Suara Nahdliyin (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-04-29.
2. ^ Wisata Religi Pulau Mandalika. Ziarah ke makam Sunan Ngudung dan Adipati Patak
Warak., diakses tanggal 2022-04-29
3. ^ Silsilah Sunan Kudus | Habib Luthfi bin Yahya, diakses tanggal 2022-04-29

Daftar pustaka
1. Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, Depok: Pustaka Iman, 2016, Halaman 305.
2. Ziarah Sunan Muria

Halaman 834 dari 883


BAB 48
SUNAN KUDUS

Sunan Kudus adalah ulama yang dimasukkan dalam daftar


Wali Songo. Nama lahirnya adalah Ja'far Shodiq. Ia adalah putra
Sayyid Utsman Haji[1] dengan Siti Syari'ah (Putri Sunan Ampel).
Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa
Kerjasan, Kota Kudus, yang kini terkenal dengan nama Masjid
Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang
Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus Jawa Tengah.

Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya


kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam
perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut
agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong
kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih
banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.

Halaman 835 dari 883


Wafatnya Sunan Kudus
Pada tahun 1550, Sunan Kudus meninggal dunia saat
menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi
sujud. kemudian dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.

Gerbang Makam Sunan Kudus yang masih mempertahankan bentuk Pura, sebagai Strategi Dakwah
untuk merebut hati masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Hindu

Referensi
• Ibrahim, Zahrah. 1986. Sastera Sejarah Interpretasi dan Penilaian. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia.
• Purwadi dan Enis Niken H. 2007. Dakwah Wali Songo: Penyebaran Islam Berbasis
Kultural di Tanah Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka.
• Said, Nur. 2009. Pendidikan Multikultural Warisan Kanjeng Sunan Kudus. Kudus: CV
Brillian Media Utama.

Halaman 836 dari 883


• Sutrisno, Budiono Hadi. 2007. Sejarah Wali Songo: Misi Pengislaman di Jawa. Yogyakarta:
Graha Pustaka.
• Wahyudi, A, Khalid, A. Kisah Wali Songo Para Penyebar Agama Islam Di Tanah Jawa.
Surabaya : Karya Ilmu.

Halaman 837 dari 883


BAB 49
SUNAN KALIJAGA

Sunan Kalijaga (Susuhunan Kalijaga) adalah seorang tokoh


Walisongo, dikenal sebagai wali yang sangat lekat dengan muslim
di Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam
ke dalam tradisi dan budaya Jawa. Makamnya berada di Kadilangu,
Demak.

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih


dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir
kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak,
Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang
lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah
pimpinan Panembahan Senopati dan Sunan Kalijaga wafat pada
tanggal 10 Muharram/Sura tahun 1513 adalah tahun saka jawa atau

Halaman 838 dari 883


sekitar 17 oktober tahun 1592 masehi (haul Sunan Kalijaga
diperingati setiap tanggal 10 Muharram oleh masyarakat di
Kadilangu Demak) dan dilanjutkan Sunan Hadi sebagai pemimpin
kadilangu, pada tahun 1601 masehi gelar berubah menjadi
Panembahan Hadi, (karena gelar Sunan digunakan Sunan
Hanyokrowati sebagai Raja Mataram) sampai dengan keturunan
sekarang trah Panembahan widjil di kadilangu Demak. Ia ikut pula
merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung
Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu
dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga ,dia orang nya
sangat berbakti kpd orang tua.

Silsilah
Terkait asal-usulnya, ada beberapa pendapat yang
berkembang. Pendapat pertama, menyatakan Sunan Kalijaga orang
Jawa asli keturunan Adipati Wengker (Ponorogo) yg juga ayah dari
Aria Wiraraja, Pendapat ini didasarkan pada catatan historis Babad
Tuban dan data keluarga besar keturunan Sunan Kali Jaga.[2]

Di dalam babad tersebut diceritakan, Aria Teja alias 'Abdul


Rahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan
mengawini putrinya. Dari perkawinan tersebut Aria Teja kemudian
memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Catatan Babad Tuban ini
diperkuat juga dengan catatan masyhur penulis dan bendahara
Portugis Tome Pires (1468 - 1540).

Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun


1400M adalah cucu dari peguasa Islam pertama di Tuban yakni Aria

Halaman 839 dari 883


Wilakita, dan Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra
Aria Wilatikta.

Adapun pendapat yang kedua adalah menyatakan Sunan


Kalijaga adalah keturunan arab. Pendapat kedua ini disebut-sebut
berdasarkan keterangan penasehat khusus Pemerintah Kolonial
Belanda, Van Den Berg (1845 – 1927), yang menyatakan bahwa
Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang silsilahnya sampai ke
Rasulullah ‫ﷺ‬. Sejarawan lain seperti De Graaf juga menilai bahwa
Aria Teja I ('Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas,
sepupu Rasulullah ‫ﷺ‬.

Adanya tiga versi sejarah tentang Sunan Kalijaga, Tetapi


yang dikembangkan hanya versi Jawa, sedang dua versi yang lain
tidak pernah dijumpai secara tertulis, berarti telah terjadi distorsi
tentang kisah anggota walisanga paling terkenal ini.

Sunan Kalijaga merupakan putra dari Raden Sahur atau


Tumenggung Wilatikta, (beristri Dewi Nawang Arum) putra dari :
Raden Ayu Arya Teja / Raden Ayu Haryo menikah dengan Syekh
Subakir (Arya Teja 3)
DARI JALUR IBU :
Raden Ayu Arya Teja putri dari : Arya Teja II /Aryo
Dikoro (Adipati Tuban ke 5 : 1326 - 1349). putradari : Arya Teja
I / Raden Haryo Lena (Adipati Tuban ke 4 : 1306 - 1326). putra
dari : Aryo Sirolawe (Adipati Tuban ke 3 : 1291 - 1306) Putra dari :
Arya Adikara atau Arya Ranggalawe. (Adipati tuban ke 2 : 1282 -
1291) putra dari : Arya Wiraraja / Banyak Wide (Rakryan

Halaman 840 dari 883


Demung Singasari : 1290, Raja Kerajaan Lamajang Tigang Juru
bergelar Prabu Menak Koncar I : 1293) Adipati Ponorogo
menikah dengan Nararya Kirana.
Menarik disini, bahwa banyak Wide adalah pertemuan
antara Nararya Kirana putri dari : Wisnu Wardhana (Raja Ke 4
Singosari : 1250- 1268), putra dari : Anusapati (Raja Ke 2
Singosari : 1227 - 1248). putra dari : Tunggul Ametung (Akuwu
Tumapel pada kerajaan Kadiri di masa Kertajaya : 1194-1222).
Selain nasab ini, ada jalur lagi : Arya Ranggalawe adalah putra
Banyak Wide (Syekh Abdurrahman) yang menikah dengan Nyai
Ageng Lanang Jaya Disebutkan bahwa Banyak Wide putra dari
Syaikh Abdullah, bin Syaikh Kharamis bin Abbas bin Abdullah
bin Ahmad bin Jamal bin Hasanuddin binArifin bin Maruf bin
Abdullah bin Mubarak bin Khormis bin Abdullah bin Mudzakir
arRumni bin Wahid Arrumni bin Abdul Wahid Qormain /
Abdullah al Akbar bin Ali bin Ibnu Abbas bin Sayyidina Abbas
bin Abdul Muthalib Maka kita ketemulah, Syaikh Abdullah yang
dimaksud adalah Adipati Ponorogo pada masa itu, Syaikh Abdullah
menikah dengan Nararya Kirana binti Wisnu Wardhana.

Sedangkan, Nyai Ageng Lanang Jaya adalah putra dari Raden


Dandang Wacana / Kyai Gede Papringan (Bupati Tuban 1 : 1264 –
1282). Putra dari Raden Arya Dandang Miring (Adipati
Lumajang) putra dari Raden Arya Bangah (Bupati Gumenggeng;
Bekas kabupaten tersebut sekarang menjadi Desa Banjaragung
(Kecamatan Rengel, Tuban)) putra dari Raden Arya Randu
Kuning / Kyai Ageng / Kyai Gede Lebe Lontang (Bupati
Halaman 841 dari 883
Lumajang Tengah, bukan Lumajang sekarang, tapi ini
perkampungan di panturan, timur Lasem dan sekarang bagian dari
Tuban) putra dari Raden Arya Metahun putra dari Prabu
Banjarsari (ada yang sebut dia adalah Sang Hyang Cakradewa,
Raja Panjalu ke 3) putra dari Prabu Sanghyang Lembu Sampulur
I putra dari Prabu Sanghyang Rangga Gumilang (Raja Panjalu 1)
putra dari Batara Karimun Putih putra dari Batara Layah putra
dari Batara Tesnajati (cikal bakal pendiri Panjalu, di Mataram, dia
seperti Panembahan Senopati). Bathara Tresnajati ini hidpup di
masa Sang Lumahing Kreta (923-1015 M) di Galuh,
Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa (991 -
1016) di Medhang Kamulan (Raja Terakhir Medhang dan Mataram
Kuno).

SILSILAH DARI JALUR AYAH :


1. Sunan Kalijogo
2. Raden Sahuri / Ahmad Sahuri
3. Syekh Subakir (Arya Tejo 3)
4. Maulana Ahmad Jumadil Kubra
5. Jamaluddin al-Husain bin
6. Ahmad Syah Jalaluddin bin
7. Amir Abdullah Azmatkhan bin
8. Abdul Malik bin
9. Alwi bin
10. Muhammad Shohib Mirbath bin
11. Ali Khali' Qasam bin
12. Alwi Shohib Baiti Jubair/'Alwi Ats Tsani bin
Halaman 842 dari 883
13. Muhammad Shohibus Saumah bin
14. Alawi bin
15. Ubaidillah
16. Ahmad al-Muhajir bin
17. Isa bin
18. Muhammad an-Naqib bin
19. Ali bin
20. Imam Ja’far ash-Shadiq bin
21. Imam Muhammad al-Baqir bin
22. Imam Ali bin Husain bin
23. Imam Husain Asy-Syahid bin
24. Ali bin Abu Thalib

Kelahiran
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan
nama Santi Kusumo. Dia adalah putra empu Santi badra dan
kakeknya bernama Badranala dan buyutnya bernama Maladresmi
raja lasem yang bergelar Rajasawardana. Nama lain Sunan Kalijaga
antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan
Raden Abdurrahman. Sunan Kalijaga adalah adik dari Dan Mpu
Awang (Santi Puspo / Sayid Abubakar) dan Sunan Kalijaga adalah
anak terkahir dari sepuluh bersaudara.

Wafat
Ketika wafat, ia dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota
Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi
orang - orang dari seluruh indonesia

Halaman 843 dari 883


Pernikahan
Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah
dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra:
R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Maulana Ishak memiliki anak bernama Sunan Giri dan Dewi Saroh.
Mereka adalah kakak beradik.

Sunan Kalijaga juga menikah dengan puteri Aria Dikara.


Dari pernikahan itu, lahirlah Raden Ayu Panengah, yang setelah
dewasa menikah dengan Ki Ageng Ngerang III. Merekalah orang
tua Ki Penjawi, salah satu sesepuh Mataram.

Berda'wah
Menurut cerita, Sebelum menjadi Walisongo, Raden Said
adalah seorang perampok yang selalu mengambil hasil bumi di
gudang penyimpanan Hasil Bumi di kerajaannya, merampok orang-
orang yang kaya. Hasil curiannya, dan rampokanya itu akan ia
bagikan kepada orang-orang yang miskin. Suatu hari, saat Raden
Said berada di hutan, ia melihat seseorang kakek tua yang
bertongkat. Orang itu adalah Sunan Bonang. Karena tongkat itu jika
dilihat seperti tongkat emas, ia merampas tongkat itu. Katanya, hasil
rampokan itu akan ia bagikan kepada orang yang miskin. Tetapi,
Sang Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu. Ia menasihati
Raden Said bahwa Allah S.W.T tidak akan menerima amal yang
buruk. Lalu, Sunan Bonang menunjukan pohon aren emas dan
mengatakan bila Raden Said ingin mendapatkan harta tanpa

Halaman 844 dari 883


berusaha, maka ambillah buah aren emas yang ditunjukkan oleh
Sunan Bonang.

Karena itu, Raden Said ingin menjadi murid Sunan Bonang.


Raden Said lalu menyusul Sunan Bonang ke sungai. Raden Said
berkata bahwa ingin menjadi muridnya. Sunan Bonang lalu
menyuruh Raden Said untuk bersemedi sambil menjaga tongkatnya
yang ditancapkan ke tepi sungai. Raden Said tidak boleh beranjak
dari tempat tersebut sebelum Sunan Bonang datang. Raden Said lalu
melaksanakan perintah tersebut. Karena itu, ia menjadi tertidur
dalam waktu lama. Karena lamanya ia tertidur, tanpa disadari akar
dan rerumputan telah menutupi dirinya.

Makam Sunan Kalijaga selalu ramai diziarahi 24 jam tak pernah putus seperti Makam Wali Songo
lainnya

Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang datang dan


membangunkan Raden Said. Karena ia telah menjaga tongkatnya
Halaman 845 dari 883
yang ditanjapkan ke sungai, maka Raden Said diganti namanya
menjadi Kalijaga. Kalijaga lalu diberi pakaian baru dan diberi
pelajaran agama oleh Sunan Bonang. Kalijaga lalu melanjutkan
dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan Kalijaga. Namun, cerita ini
banyak diragukan oleh para sejarawan dan ulama berpaham salaf
karena tidak masuk akal dan bertentangan dengan ilmu syariat

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus


sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung
"sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia
juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk
berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa


masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka
harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil memengaruhi.
Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan
sendirinya kebiasaan lama hilang.

Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam


mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan,
serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk
ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul.
Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg
maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi
Ratu ("Petruk Jadi Ratu"). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-
alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh
Sunan Kalijaga.

Halaman 846 dari 883


Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar
adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di
antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen,
Banyumas, serta Pajang.

Referensi
1. ^ Sawabi., Ihsan, H. (1987/1988 [i.e. 1987]). Laporan penelitian perpustakaan dan
program akademik : studi tentang relevansi koleksi bahan bacaan dengan kebutuhan
mahasiswa dan dosen IAIN induk di Jawa : Perpustakaan IAIN Sunan Kali Jaga,
Yogyakarta. Proyek Penelitian Keagamaan, Departemen Agama R.I., Bagian Proyek Pusat
Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama. OCLC 26929299.
2. ^ "Tiga Versi Asal-Usul Sunan Kalijaga". Dunia Keris. 2021.

Buku
• Soekirno, Ade (1994). Sunan Kalijaga: asal-usul mesjid agung demak: cerita rakyat Jawa
Tengah. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. ISBN 9795534629.
• Nasuhi, Hamid (2017). "Shakhṣīyat Sunan Kalijaga fī taqālīd Mataram al-Islāmīyah".
Studia Islamika. Vol. 24 no. 1. Republic of Indonesia: Syarif Hidayatullah State Islamic
University of Jakarta. ISSN 2355-6145.
• Chodjim, Achmad (2013). Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat. Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta. ISBN 9789790242920.
• Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia since c.1300, 2nd Edition. London:
MacMillan. p. 10. ISBN 0-333-57689-6.
• Sunyoto, Agus (2014). Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo
Sebagai Fakta Sejarah. 6th edition. Depok: Pustaka IIMaN. ISBN 978-602-8648-09-7
• Sufisme Sunan Kalijaga

Halaman 847 dari 883


BAB 50
SUNAN GUNUNG JATI

Sunan Gunung Jati, lahir dengan nama Syarif


Hidayatullah atau Sayyid Al-Kamil adalah salah seorang dari
Walisongo, ia dilahirkan Tahun 1448 Masehi dari pasangan Syarif
Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam dan Nyai Rara Santang,
Putri Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan
Padjajaran (yang setelah masuk Islam berganti nama menjadi
Syarifah Mudaim).

Syarif Hidayatullah sampai di Cirebon pada tahun 1470


Masehi, yang kemudian dengan dukungan Kesultanan Demak dan
Pangeran Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana
(Tumenggung Cirebon pertama sekaligus uwak Syarif Hidayatullah
dari pihak ibu), ia dinobatkan menjadi Tumenggung Cirebon ke-2
pada tahun 1479 dengan gelar Maulana Jati.

Halaman 848 dari 883


Nama Syarif Hidayatullah kemudian diabadikan menjadi
nama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta di
daerah Tangerang Selatan, Banten. Sedangkan nama Sunan Gunung
Jati diabadikan menjadi nama Universitas Islam negeri di Bandung,
yaitu Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati[1], dan Korem
063/Sunan Gunung Jati di Cirebon.

Silsilah
Syarif Hidayatullah adalah putra dari Syarif Abdullah
Umdatuddin bin Ali Nurul Alam yang menikah dengan Nyi Mas
Rara Santang putri dari Jayadewata yang bergelar Sri Baduga
Maharaja yang setelah menikah dengan Syarif Abdullah bergelar
Syarifah Mudaim. Ayah Syarif Hidayatullah adalah seorang
penguasa Mesir, putra dari Ali Nurul Alim bin Jamaluddin Akbar al-
Husaini, seorang keturunan dari Sayyid Abdul Malik Azmatkhan
dan Alwi Ammul Faqih

Pada masa lalu terdapat puluhan naskah yang menjelaskan


tentang silsilah Syarif Hidayatullah yang diklaim oleh beberapa
pihak dan menimbulkan kesimpangsiuran sehingga pada masa
pertemuan agung para cendekiawan, sejarawan, bangsawan dan
alim ulama senusantara dan mancanegara (bahasa Cirebon: Gotra
Sawala) pertama yang dimulai pada tahun 1677 di Cirebon maka
Pangeran Raja Nasiruddin (bergelar Wangsakerta) mengadakan
penelitian dan penelusuran serta pengkajian naskah-naskah tersebut
bersama para ahli-ahli di bidangnya.

Halaman 849 dari 883


Hasilnya pada tahun 1680 disusunlah kitab Negara
Kertabumi yang di dalamnya memuat bab tentang silsilah Syarif
Hidayatullah (Tritiya Sarga) yang sudah diluruskan dari
kesimpangsiuran klaim oleh banyak pihak.

Pelurusan Sejarah Silsilah Dalam Negara Kertabumi


Penelusuran sejarah tentang asal-usul Syarief Hidayatullah
telah dilakukan oleh Pangeran Raja (PR) Nasiruddin dengan
melakukan penelitian terhadap naskah naskah yang ada dengan
dibantu oleh para ahli di bidangngnya dalam pertemuan agung
Gotra Sawala pertama di Cirebon, penelusuran tersebut
menghasilkan sebuah kitab yang diberi nama Negara Kertabhumi
yang memuat bab tentang silsilah Syarief Hidayatullah dalam
Tritiya Sarga, isinya sebagai berikut:

• Syarif Hidayatullah / Sayyid Al-Kamil / Susuhunan Jati /


Susuhunan Cirebon, bin
• Syarif Abdullah + Nyi Hajjah Syarifah Mudaim binti Raja
Pajajaran Sunda (Nyi Mas Rara Santang)
• Ali Nurul Alam + Puteri Mesir
• Jamaluddin Al-Husein
• Al-Amir Akhmad Syekh Jalaludin
• Amir Abdullah Khan
• Abdul Malik (India)
• Alwi 'Ammul faqih Hadhramaut
• Muhammad Shohib Mirbath
• Ali Khali' Qasam

Halaman 850 dari 883


• Alwi Shohib Bait Jubair
• Muhammad Maula As-Shauma'ah
• Alwi Al-Mubtakir
• Ubaidillah
• Ahmad Al-Muhajir
• Isa Al-Rumi
• Muhammad An-Naqib
• Ali Al-Uraidhi
• Ja'far Ash-Shadiq (Madinah)
• Muhammad Al-Baqir
• Ali Zainal Abiddin
• Husein As-Syahid
• Sayyidah Fatimah Al-Zahra' RA
• Nabi Muhammad Rasulullah SAW
• Abdullah
• Abdul Muthalib
• Hasyim
• Abdul Manaf
• Qusay
• Kilab
• Murroh
• Ka'ab
• Luay
• Ghalib
• Dst.

Halaman 851 dari 883


Naskah Kaprabonan
• Kanjeng Nabi Muhamad SAW
• Sarifah Siti Fatimah
• Husen
• Jaenal Abidin
• Muhammad Mubarakin
• Imam Ja’far Sidiq
• Musa
• Kalijam
• Habi Jamali
• Amad Nakiddi
• Ali Nakiddi
• Hasan Sukri,
• Muhammad Dadi
• Raja Banissrail
• Ratu Mesir
• Raja Duta
• Kanjeng Sinuhun Carbon / Syarif Hidayatullah Sunan
Gunungjati
Kitab Purwaka Caruban Nagari
• Nabi Muhammad SAW
• Siti Fatimah
• Sayid Husen
• Sayid Abidin
• Muhammad Baqir

Halaman 852 dari 883


• Ja’far Sidik
• Kasim al-Malik
• Idris
• Al-Baqir
• Ahmad
• Baidillah
• Muhammad
• Alwi al-Mishri
• Abdul Malik
• Amir
• Ali Nurul Alim
• Syarif Abdullah (Sultan Hut / Sultan Mahmud)
• Sunan Gunung Jati
Sedangkan salah satu versi utama yang menjadi rujukan
umum berbagai pihak yang isinya selaras dengan Kitab Negara
Kertabumi adalah Kitab Syamsu Azh Zhahirah fi Nasabi Ahli al-
Bait
Sebagaimana yang tercatat dalam silsilah Syarif
Hidayatullah di sebuah organisasi peneliti nasab Naqobatul Asyrof
al-Kubro dan Rabithah Alawiyah, yang juga tercantum dalam kitab
Syamsu Azh Zhahirah fi Nasabi Ahli al-Bait karya ulama Yaman,
Sayyid Abdurrohman bin Muhammad al-Masyhur, silsilah lengkap
Syarif Hidayatullah adalah sebagai berikut:[4][5]

1. Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati putera dari


2. Syarif Abdullah Umdatuddin Azmatkhan bin

Halaman 853 dari 883


3. Sayyid Ali Nurul Alam Azmatkhan bin
4. Sayyid Jamaluddin Akbar Azmatkhan al-Husaini (Syekh
Jumadil Kubro) bin
5. Sayyid Ahmad Jalal Syah Azmatkhan bin
6. Sayyid Abdullah Azmatkhan bin
7. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
8. Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadramaut) bin
9. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath (Hadramaut) bin
10. Sayyid Ali Kholi’ Qosam bin
11. Sayyid Alawi ats-Tsani bin
12. Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
13. Sayyid Alawi Awwal bin
14. Sayyid al-Imam ‘Ubaidillah bin
15. Sayyid Ahmad al-Muhajir bin
16. Sayyid ‘Isa Naqib ar-Rumi bin
17. Sayyid Muhammad an-Naqib bin
18. Sayyid al-Imam Ali Uradhi bin
19. Sayyidina Ja'far ash-Shadiq bin
20. Sayyidina Muhammad al-Baqir bin
21. Sayyidina Ali Zainal Abidin bin
22. Sayyidina Husain bin
23. Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah az-
Zahra binti
24. Rasulullah Muhammad S.A.W.
Riwayat Hidup

Halaman 854 dari 883


Proses Belajar
Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecenderungan spiritual
dari kakek buyutnya, Jamaluddin Akbar al-Husaini, sehingga ketika
telah selesai menimba ilmu di pesantren Syekh Datuk Kahfi ia
meneruskan pembelajaran agamanya ke Timur Tengah.

Babad Cirebon menyebutkan, ketika Pangeran Cakrabuwana


membangun Kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka
sepulang dari Timur Tengah Syarif Hidayatullah mengambil
peranan mambangun kota dan menjadi pemimpin perkampungan
Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.

Pernikahan
Memasuki usia dewasa (sekitar tahun 1470 - 1480) ia
menikahi adik dari Bupati Banten saat itu, Nyai Kawunganten. Dari
pernikahan ini lahirlah Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin.
Maulana Hasanuddin inilah yang kelak menjadi Raja Banten
pertama.

Kesultanan Cirebon
Pada tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali di
Tuban, Jawa Timur untuk mencari pengganti Sunan Ampel sebagai
pimpinan para wali, akhirnya terpilihlah Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati), sejak saat itu, pusat kegiatan para wali dipindahkan ke
gunung Sembung, kecamatan Gunung Jati, kabupaten Cirebon,
propinsi Jawa Barat. Pusat kegiatan keagamaan ini kemudian
disebut sebagai Puser Bumi (bahasa Indonesia: pusatnya dunia).[6]

Halaman 855 dari 883


Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang
sebagai penguasa Cirebon kemudian digantikan putra adiknya yakni
Syarif Hidayatullah (anak dari pernikahan Nyai Rarasantang dengan
Syarif Abdullah dari Mesir) yang sebelumnya menikahi Nyimas
Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Indang
Geulis) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung
Jati dengan gelar Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan
Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang
Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama
Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.[7]

Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga selalu


mendekati kakeknya yakni Jaya Dewata (prabu Silih Wangi) agar
berkenan memeluk agama Islam seperti halnya neneknya Nyai
Subang Larang yang memang sudah lama menjadi seorang muslim
jauh sebelum menikah dengan prabu Silih Wangi, tetapi hal tersebut
tidak membuahkan hasil, pada tahun 1482 (pada saat kekuasaan
kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi satu kembali di tangan
prabu Silih Wangi), seperti yang tertuang dalam naskah Purwaka
Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon.

Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang

“ Sakakala.
(bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijriah) ”
Pada tanggal 12 Shafar 887 Hijriah atau tepatnya pada
tanggal 2 April 1482 Masehi, akhirnya Syarif Hidayatullah

Halaman 856 dari 883


membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu Silih Wangi selaku
Raja Pakuan Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi
mengirimkan upeti.[6][7] Maklumat tersebut kemudian diikuti oleh
para pembesar di wilayah Cirebon (bahasa Cirebon: gegeden).

Untuk memperkuat hubungan dengan kesultanan Demak dilakukan


dengan pernikahan putra putri kedua kesultanan.[8]

• Pangeran Maulana Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana.


• Pangeran Jayakelana dengan Ratu Ayu Pembayun
• Pangeran Bratakelana dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu
Wulan)
• Ratu Ayu dengan Yunus Abdul Kadir (Pangeran Sabrang
Lor) menikah pada 1511 yang menjadi Sultan Demak kedua
pada 1518 .
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada kesultanan
Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai leluhur dari
dinasti raja-raja kesultanan Cirebon dan kesultanan Banten serta
penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan,
Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[9]

Kesultanan Demak
Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba
masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487, yang mana
Walisongo memberikan peranan penting dalam sejarah
pendiriannya. Pada masa ini, Syarif Hidayatullah berusia sekitar 37
tahun (kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru

Halaman 857 dari 883


diangkat menjadi Sultan Demak pertama). Dengan diangkatnya
Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa (bukan hanya di Demak),
maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian atau Vasal dari
Kesultanan Demak.

Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan


Ampel, Ulama yang paling dituakan di Dewan Muballigh
(Walisongo), bahwa agama Islam akan disebarkan di Pulau Jawa
dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Pendirian Kesultanan Banten & Takluknya Sunda Kelapa

Wilayah Kesultanan Cirebon Pada Masa Puncak Kejaannya, Kesultanan Banten


Sebagai Vasal Kesultanan Cirebon

Halaman 858 dari 883


Setelah pendirian Kesultanan Demak, antara tahun 1490
hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit baik bagi Syarif
Hidayatullah maupun Raden Patah, karena proses Islamisasi secara
damai mengalami gangguan internal dari Kerajaan Sunda, Galuh
(sekarang bagian dari Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah
dan Jawa Timur) serta gangguan eksternal dari Portugis yang telah
mulai melakukan ekspansi di wilayah Asia Tenggara.

Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di


Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi
pengaruh Syarif Hidayatullah yang telah berkembang di Cirebon
dan Banten. Di saat yang genting inilah Syarif Hidayatullah
berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan
armada gabungan Kesultanan Banten-Demak-Cirebon di Pulau
Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia
Tenggara.

Kegagalan Ekspedisi Jihad II Pati Unus yang sangat fatal


pada tahun 1521 kemudian memaksa Syarif Hidayatullah
merombak pimpinan armada gabungan yang masih tersisa dan
mengangkat Tubagus Pasai sebagai Panglima berikutnya yang
menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di
Pulau Jawa, menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka.

Syiar Islam ke Banten dan Pendirian Kesultanan Banten


Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran
Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten

Halaman 859 dari 883


yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten, Syarif Hidayatullah
dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti jihad (perang) tidak hanya
dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga
perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian
menarik hati masyarakat Wahanten dan Pucuk Umun [10](penguasa)
Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah Wahanten terdapat dua
penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari Prabu Jaya Dewata atau
Silih Wangi) yang menjadi Pucuk Umun (penguasa) untuk wilayah
Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana yang menjadi Pucuk Umun
untuk wilayah Wahanten Girang.[11]

Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu


dengan Nyai Kawung Anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya
kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu
Winaon (lahir pada 1477 M) dan Pangeran Maulana Hasanuddin
(Pangeran Sabakingkin: nama pemberian dari kakeknya Sang
Surosowan) yang lahir pada 1478 M.[8] Sang Surosowan walaupun
tidak memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada para
pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.

Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke Kesultanan


Cirebon untuk menerima tanggung jawab sebagai penguasa
Kesultanan Cirebon pada 1479 setelah sebelumnya menghadiri
rapat para Wali di Tuban yang menghasilkan keputusan menjadikan
Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para Wali.

Latar Belakang Penguasaan Banten

Halaman 860 dari 883


Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir)
dengan Ratu Ayu (putri Sunan Gunung Jati) terjadi 1511. Sebagai
Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak,
Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon, kelak Yunus Abdul
Kadir akan menjadi Sultan Demak pada 1518.

Persekutuan Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak ini


sangat mencemaskan Jaya Dewata (Siliwangi) di Pakuan. Tahun
1512, ia mengutus putra mahkota Surawisesa menghubungi
Panglima Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika
itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan
Samudera Pasai.[12]

Pada tahun 1513 M, Tome Pires pelaut Portugis menyatakan


dalam catatannya bahwa sudah banyak dijumpai orang Islam di
pelabuhan Banten. Syarif Hidayatullah mengajak putranya Maulana
Hasanuddin untuk berangkat ke Mekah,[14] sekembalinya dari
Mekah Syarif Hidayatullah dan putranya yaitu Maulana Hasanuddin
kemudian melakukan dakwah Islam dengan sopan, ramah serta suka
membantu masyarakat sehingga secara sukarela sebagian dari
mereka memeluk dan taat menjalankan agama Islam, dari aktivitas
dakwah ini di wilayah Banten.

Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Syekh Nurullah


(Syekh yang membawa cahaya Allah SWT),[15] yang kemudian
aktivitas dakwah ini dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin hingga
ke pedalaman Wahanten seperti gunung Pulosari di kabupaten
Pandeglang di mana ia pernah tinggal selama sekitar 10 tahun untuk

Halaman 861 dari 883


berdakwah kepada para ajar (pendeta), gunung Karang, gunung
Lor, hingga ke Ujung Kulon dan pulau Panaitan[16] dengan pola
syiar yang kurang lebih sama seperti yang dilakukan ayahnya.

Pada tahun 1521, Jaya Dewata (Prabu Siliwangi) mulai


membatasi pedagang muslim yang akan singah di pelabuhan-
pelabuhan Kerajaan Sunda hal ini bertujuan untuk mengurangi
pengaruh Islam yang akan diterima oleh para pedagang pribumi
ketika melakukan kontak perdagangan dengan para pedagang
muslim, namun upaya tersebut kurang mendatangkan hasil yang
memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih
kuat dibandingkan upaya pembatasan yang dilakukan tersebut,
bahkan pengaruh Islam mulai memasuki daerah pedalaman kerajaan
Sunda.

Pada tahun itu juga Kerajaan Sunda berusaha mencari mitra


koalisi dengan negara yang dipandang memiliki kepentingan yang
sama dengan kerajaan Sunda, Jaya Dewata (Siliwangi) memutuskan
untuk menjalin persahabatan dengan Portugis dengan tujuan dapat
mengimbangi kekuatan pasukan Kesultanan Demak dan Kesultanan
Cirebon.

Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut


Jaya Dewata (Siliwangi) mengirim beberapa utusan ke Malaka di
bawah pimpinan Ratu Samiam (Surawisesa), mereka berusaha
meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling
menguntungkan antara Kerajaan Sunda dan Portugis. Surawisesa
memberikan penawaran kepada Portugis untuk melakukan

Halaman 862 dari 883


perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-pelabuhan
milik Kerajaan Sunda sebagai imbalannya, Surawisesa
mengharapkan bantuan militer dari Portugis apabila Kerajaan Sunda
diserang oleh Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon dengan
memberi hak kepada Portugis untuk membangun benteng.[12]

Pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang


berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk
menghadiri undangan Raja Sunda Surawisesa (dalam naskah
Portugis disebut sebagai Raja Samiam)[17] untuk membangun
benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang
Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif.

Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian


yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji
(perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda
Kelapa[18] dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima
barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan
memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada
sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau padraõ
(dibaca: Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu.

Padrão dimaksud disebut dalam cerita masyarakat Sunda


sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat Mundinglaya
Dikusumah, dari pihak kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani
oleh Padam Tumungo (yang terhormat Tumenggung), Samgydepaty
(Sang Depati), e outre Benegar (dan bendahara) e easy o xabandar
(dan Syahbandar) [19] Syahbandar Sunda Kelapa yang

Halaman 863 dari 883


menandatangani bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi,
dia menandatangani dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.

Penguasaan Banten
Pada tahun 1522,[21] Maulana Hasanuddin membangun
kompleks istana yang diberi nama keraton Surosowan, pada masa
tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar, masjid agung serta
masjid di kawasan Pacitan.[22] Sementara yang menjadi pucuk umum
(penguasa) di Wahanten Pasisir adalah Arya Surajaya (putra dari
Sang Surosowan dan paman dari Maulana Hasanuddin) setelah
meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 M. Arya Surajaya
diperkirakan masih memegang pemerintahan Wahanten Pasisir
hingga tahun 1526 M.[23]

Pada tahun 1524 M, Sunan Gunung Jati bersama pasukan


gabungan dari kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mendarat
di pelabuhan Banten[24] Pada masa ini tidak ada pernyataan yang
menyatakan bahwa Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan
pasukan gabungan Sunan Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan
untuk merebut Wahanten Girang

Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan


gabungan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mencapai
Wahanten Girang, Ki Jongjo (seorang kepala prajurit penting)
dengan sukarela memihak kepada Maulana Hasanuddin.[25]

Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional di ceritakan


bahwa Pucuk Umun (penguasa) Banten Girang yang terusik dengan
banyaknya aktivitas dakwah Maulana Hasanuddin yang berhasil

Halaman 864 dari 883


menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman
Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan Wahanten Girang,
sehingga pucuk umum Arya Suranggana meminta Maulana
Hasanuddin untuk menghentikan aktivitas dakwahnya dan
menantangnya sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika sabung
ayam dimenangkan Arya Suranggana maka Maulana Hasanuddin
harus menghentikan aktivitas dakwahnya.

Sabung Ayam pun dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin


dan dia berhak melanjutkan aktivitas dakwahnya [26] Arya
Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk Islam
kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan. Sepeninggal
Arya Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan sebagai
pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak sampai di
penghujung abad ke-17.[27]

Penyatuan Banten
Atas petunjuk ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati, Maulana
Hasanuddin kemudian memindahkan pusat pemerintahan Wahanten
Girang ke pesisir di kompleks Surosowan sekaligus membangun
kota pesisir.[28]

Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai pada


tahun 1526.[21] Pada tahun yang sama juga Arya Surajaya Pucuk
Umun (penguasa) Wahanten Pasisir dengan sukarela menyerahkan
kekuasannya atas wilayah Wahanten Pasisir kepada Sunan Gunung
Jati, hal ini dilakukan agar tidak terjadi pertumpahan darah banyak
rakyat (karena raja amat sayang dengan rakyatnya, sehingga

Halaman 865 dari 883


diberikanlah kekuasaan berikutnya ke tangan Sunan Gunung Jati)
akhirnya kedua wilayah Wahanten Girang dan Wahanten Pasisir
disatukan menjadi Wahanten yang kemudian disebut sebagai Banten
dengan status sebagai depaten (provinsi) dari kesultanan Cirebon
pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8 Oktober
1526 M),[29] kemudian Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan
Cirebon dan pengurusan wilayah Banten diserahkan kepada
Maulana Hasanuddin.

Dari kejadian tersebut sebagian ahli berpendapat bahwa


Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama di Banten,[30] meskipun
demikian Sunan Gunung Jati tidak mentasbihkan dirinya menjadi
penguasa (sultan) di Banten.[31] Alasan-alasan demikianlah yang
membuat pakar sejarah seperti Hoesein Djajadiningrat berpendapat
bahwa Sunan Gunung Jati lah yang menjadi pendiri Banten dan
bukannya Maulana Hasanuddin. Menurut catatan dari Joao de
Barros, semenjak Banten dan Sunda Kelapa dikuasai oleh
kesultanan Islam, Banten lah yang lebih ramai dikunjungi oleh
kapal dari berbagai negara.

Pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin diangkat menjadi


sultan di wilayah Banten oleh ayahnya Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati). Perebutan pengaruh antara Kerajaan Sunda Galuh
dengan Kesultanan Banten-Cirebon segera bergeser kembali ke
darat. Tetapi Kerajaan Sunda Galuh yang telah kehilangan banyak
wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya.
Satu persatu dari para Pangeran dan Putri Pakuan di banyak wilayah

Halaman 866 dari 883


jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian
Panglima Perangnya.

Perundingan Yang Sangat Menentukan


Setelah Pakuan Pajajaran yang merupakan ibu kota Kerajaan
Sunda mengalami serbuan besar dari Maulana Yusuf di tahun 1567
(hanya satu tahun sebelum ia wafat pada tahun 1568 dalam usia
yang hampir 120 tahun), terjadi perundingan terakhir Cirebon-
Sunda antara Maulana Yusuf yang mewakili Syarif Hidayatullah
dengan para pembesar istana Pakuan. Maulana Yusuf kemudian
memberikan 2 opsi sebagai berikut:

1. Bagi para pembesar istana Pakuan yang bersedia masuk


Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya, seperti gelar
pangeran-putri atau panglima akan tetap disandang mereka,
juga kemudian dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-
masing.
2. Bagi para pembesar istana Pakuan yang tidak bersedia
masuk Islam, maka harus keluar dari keraton masing-masing
serta keluar dari ibu kota Pakuan Pajajaran untuk
keselamatan mereka sendiri dari serangan tentara Banten &
Cirebon di masa depan.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari
riwayat Pakuan ini, sebagian besar para pangeran dan putri raja
menerima opsi pertama. Sedangkan para pasukan pengawal istana
dan panglimanya sebanyak 40 orang yang merupakan korps elite
dari angkatan darat Kerajaan Sunda memilih opsi kedua karena
kesetiaan mereka terhadap prabu Nilakendra. Para panglima dan

Halaman 867 dari 883


pengawal istana tersebut lalu berangkat menuju desa kabuyutan di
pedalaman Banten (wilayah Cibeo sekarang) untuk menetap disana.
Diyakini mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam saat ini
yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40
keluarga (untuk menandakan keturunan dari 40 pengawal istana
Pakuan). Keluarga yang tidak terpilih untuk menetap harus pindah
ke pemukiman Baduy Luar. Sementara Pakuan Pajajaran sendiri
masih berdiri sebagai kota biasa sampai kosong dan ditelantarkan di
tahun 1579.

Prabu Nilakendra sebagai raja Sunda saat itu mengasingkan


diri ke selatan, sementara penggantinya Raga Mulya atau Prabu
Pucuk Umun, berkedudukan di Pulasari (Pandeglang). Dengan
segala jasa Syarif Hidayatullah inilah yang kemudian umat Islam di
Jawa Barat memanggilnya dengan nama lengkap Syekh Maulana
Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.[33]

Pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Putri Kaisar China

Syarief Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah salah


satu dari sembilan orang wali yang sangat terkenal sebagai penyebar
agama islam di Pulau Jawa.
Cucu dari Prabu Siliwangi ini merupakan tokoh berpengaruh dalam
penyebaran islam di tanah Cirebon setelah Syekh Dzatul Kahfi dan
juga pamannya, Mbah Kuwu Sangkan atau Raden Mas
Walangsungsang yang merupakan kakak dari ibunya, Nyi Mas Lara
Santang atau Syarifah Mudaim.

Halaman 868 dari 883


Putri Ong Tien, atau Ratu Rara Sumanding, istri Sunan Gunung Jati anak dari
Kaisar China

Makam Sunan Gunung Jati berada di Gunung Sembung


tepatnya di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten
Cirebon. Makamnya berseberangan dengan makam Syekh Dzatul
Kahfi yang juga merupakan gurunya. Kedua makam waliyullah ini
hanya terpisah dari Jalan Raya Cirebon-Indramayu.
Sunan Gunung Jati sebelumnya tinggal di Timur Tengah
bersama ibunya. Karena pada awalnya Nyi Mas Lara Santang yang
disuruh menunaikan ibadah haji oleh gurunya yakni Syekh Dzatul
Kahfi, justru menetap dan menikah dengan raja arab yang bernama
Syarif Abdullah.

Halaman 869 dari 883


Dari pernikahan itu, Nyi Mas Lara Santang dianugerahi dua
ornag putra. Yang pertama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gung
Jati dan Syarif Nurullah.
Saat beranjak dewasa, Sunan Gunung Jati disuruh untuk
meneruskan tahta kerajaan oleh ayahnya. Namun, ia menolak dan
bertekad ingin menyebarkan agama Islam. Kemudian
Sunan Gunung Jati memberikan mandat kepada adiknya untuk
mengambil alih kerajaan.
Sedangkan ia dan ibunya kembali ke tanah jawa untuk
menyebarkan agama Islam. Kala itu umurnya baru sekitar 25 tahun
atau pertengahan abad ke 14 Masehi. Selain sebagai seorang
penyebar agama Allah, Sunan Gunung Jati juga merupakan seorang
pemimpin. Ia adalah raja pertama dari Kesultanan Cirebon yang
semula bernama Keraton Pakungwati yang didirikan oleh pamannya
sendiri.
Beredar jika Sunan Gunung Jati adalah seseorang yang
sangat toleran. Dari mana pun wilayahnya berasal, latar
belakangnya seperti apa dan agamanya apa, masyarakat pada jaman
kepemimpinannya tak pernah ditolak jika datang bertamu atau
berkunjung ke rumahnya (sekarang dijadikan lokasi makamnya).
"Kanjeng Sunan adalah orang yang sangat toleran. Siapa pun
boleh berkunjung. Bahkan sejak beliau masih hidup hingga
wafatnya orang dari golongan mana pun dan agama apapun boleh
berkunjung ke rumah yang sekarang jadi tempat istirahat
terakhirnya," ujar Jeneng HM Imron, Pemangku Keramat Makam
Sunan Gunung Jati di kediamannya.

Halaman 870 dari 883


Sifat toleran Sunan Gunung Jati tersebut ternyata
diaplikasikan pada bangunan makamnya. Sekilas, bangunan makam
waliyullah tersebut berkombinasi tiga gaya arsyiketur. Yakni
arsitektur Cina, Arab dan Jawa. Arsitektur Cina terdapat pada
dinding-dinding bangunan makamnya. Arsitektur Arab terlihat pada
pintu-pintu makam dan pernak-pernik makam seperti kaligrafi dan
lainnya. Sedangkan araitektur Jawa terletak pada bangunan utama
dan atap bangunannya. "Di dinding-dinding bangunan memang
ditempeli keramik. Terus ada guci-guci dari Cina yang merupakan
hadiah dari Kaisar Cina ayah dari Nyi Ong Tien istri ketiga Kanjeng
Sunan," kata Imron.
Imron mengatakan, pernikahan Sunan Gunung Jati dengan
Nyi Ong Tien terjadi karena Kaisar Cina memberikan tantangan
kepada Sunan Gunung Jati saat berada di Tiongkok untuk
berdakwah. Kala itu, Kaisar Cina mengadakan sayembara untuk
mengetes kemampuan Sunan Gunung Jati yang terkenal memiliki
kesaktian. Tes kesaktian itu, yakni Kaisar Cina menyuruh
Sunan Gunung Jati menebak diantara anaknya dan keponakannnya
siapakah yang tengah hamil. Sunan Gunung Jati lantas menebak jika
Ong Tien-lah yang tengah hamil. Padahal, pada waktu itu yang
tengah hamil adalah keponakan Kaisar Cina.
"Kaisar Cina kaget dan mengusir Kanjeng Sunan karena
dianggap salah. Tapi setelah diperiksa ternyata Ong Tien hamil
sungguhan. Tidak ada yang bisa menyembuhkan Ong Tin di sana,"
kata dia. Untuk menyembuhkan Ong Tien, maka Kaisar Cina
menyuruh belasan ribu prajurit bersama Ong Tien untuk menyusul
Sunan Gunung Jati ke Cirebon dengan membawa 200 kapal berisi
Halaman 871 dari 883
keramik dan guci sebagai hadiah sekaligus menikahkan Ong Tien
dengan Sunan Gunung Jati. Karena memang Ong Tien pada
awalnya sudah jatuh cinta kepada Sunan Gunung Jati, maka Ong
Tien pun bersedia menikah. Namun sebelum menikah Ong Tien
diislamkan terlebih dahulu. Bahkan, ribuan prajuritnya juga ikut
menjadi mualaf. Ada sebagian prajurit yang menetap di Cirebon
bersama Ong Tien dan ada pula yang kembali ke Cina.
Makam Ong Tien sendiri juga ada di area makam
Sunan Gunung Jati. Banyak warga Tionghoa yang juga datang
berziarah ke Makam Sunan Gunung Jati karena keberadaan makam
Ong Tin. Bahkan ada fasilitas untuk sembahyang orang cina yang
ada didepan gerbang makam Ong Tin. "Ini salah satu bukti orang
yang beragama islam saja boleh beribadah di Wukir Sapta Rengga
(sebutan nama makan Sunan Gunung Jati dan keluarganya," kata
Imron.
Opan mengaku, kecintaan Sunan Gunung Jati kepada Putri Ong
Tien terlihat dari cara menghargai peninggalan sang istri. Beragam
peninggalan yang dibawa sang istri masih tersimpan rapih di salah
satu gedung kawasan komplek pemakaman Sunan Gunung Jati.

"Saking cintanya di tempat Sunan Gunung Jati berdakwah


sampai ngajar mengaji, makam Putri Ong Tien selalu terlihat dan
tidak jauh dari posisi tempat Sunan Gunung Jati berdakwah.
Keramik dan barang bawaan Putri Ong Tien tersimpan rapih saya
pernah melihatnya bahkan membawa peneliti untuk memastikan itu
asli," ujar Opan. Dia menyebutkan, dahulu kompleks pemakaman

Halaman 872 dari 883


Sunan Gunung Jati adalah pesantren. Di kompleks tersebut, Sunan
Gunung Jati tinggal, berdakwah, dan mengajar ngaji.

Untuk sekedar diketahui, Wukir Sapta Rengga ini memiliki


sembilam tingatan yanh berbentuk seperti terasiring. Setiap
tingkatan memiliki satu buah pintu gerbang. Makam
Sunan Gunung Jati sendiri berada di tingkatan paling atas yakni
tingkat ke sembilan. Sedangkan tingatan pertama hingga kedelapan
adalah tempat dimana para keluarga Sunan Gunung Jati
dimakamkan. Pintu gerbang yang berjumlah sembilan tersebut
memiliki nama yang berbeda dan tersusun bertingkat menyesuaikan
tingkatan makam.
Kesembilan pintu itu diantaranya, Pintu Gapura, krapyak,
pasujudan, ratnakomala, jinem, rararoga, kaca, bacem dan teratai
atau blangbong. Bagi peziarah yang datang hanya diperbolehkan
masuk hingga pintu ke lima. Sebab, pintu keenam hingga
kesembilan hanya diperbolehkan untuk dikunjungi keluarga keraton
atau keturunan Sunan Gunung Jati sendiri. Penjaga makam
Sunan Gunung Jati yang berpakaian lengkap seperti blangkon
dinamakan Pati Keling. Jumlahnya mencapai 108 orang.
Konon jumlah penjaga makam ini tidak pernah berkurang
atau pun bertambah. Mereka adalah anak cucu atau keturunan
Prajurit Keling dari Kerajaan Kalingga yang tersampar di Cirebon
dan dipilih menjadi pengawal pilihan Sunan Gunung Jati. "Jadi
nanti penggantinya itu ya anak cucunya lagi. Memang sudah begitu
dari dulunya kalau Pati Keling. Jumlahnya juga enggak akan
bertambah dan berubah," katanya.

Halaman 873 dari 883


Makam Sunan Gunung Jati ini juga merupakan salah satu
wisata religi di Cirebon. Makam tersebut memiliki berbagai macam
ritual, yaitu ritual Grebeg Syawal, Grebeg Rayagung, dan pencucian
jimat. Grebeg Syawal adalah ritual untuk mengenang tradisi Sultan
Cirebon yang datang ke makan Sunan Gunung Jati setiap tahun.
Ritual ini biasa diselenggarakan setiap hari ke 7 bulan Syawal.
Grebeg Rayagung diadakan setiap hari raya Idul Adha. Sedangkan
ritual pencucian jimat biasa diadakan setiap tahun pada bulan
Ramadhan. Biasanya dilaksanakan setelah shalat subuh bertepatan
dan peringatan Nuzulul Qur’an.
Di kompleks makam Sunan Gunung Jati terdapat dua buah
rungan yang disebut Bale Majapahit dan Bale Jajar. Bale Majapahit
merupakan bangunan hadiah dari kerajaan Majapahit, sedangkan
Bale Jajar merupakan hadiah dari Prabu Siliwangu dari kerajaan
Padjadjaran. Ada juga Bale Playonan yang dijadikan sebagai tempat
menyolatkan keluarga keraton yang sudah meninggal.

Komplek Pemakaman Sunan Gunung Jati

Halaman 874 dari 883


Kompleks Makam Sunan Gunung Jati

Pengaruh Tiongkok

Interior Cirebon terpengaruh dari Tiongkok

Halaman 875 dari 883


Hingga keduanya wafat dan ditambah seiring berjalannya
waktu, pesantren yang didirikan Sunan Gunung Jati tersebut
menjadi kompleks pemakaman. Posisi makam Sunan Gunung Jati
pun tidak jauh dari makam Putri Ong Tien. "Tempat mengajar ngaji
dan tempat tidur Sunan Gunung Jati sekarang menjadi makam dan
di sebelahnya makam Putri Ong Tien," ujar dia.

Akulturasi budaya di Cirebon sudah melekat dengan


masyarakat Tionghoa. Apalagi, dalam perkembangannya, Sunan
Gunungjati pada 1540 Masehi menikah dengan Putri Ong Tien. Dia
memaparkan, peran Putri Ong Tien dalam perkembangan Cirebon
sangat besar. Setelah kepulangan dari Tiongkok, Kekaisaran China
merestui pernikahan Sunan Gunungjati dengan Putri Ong Tien.

Sejak saat itu, perkembangan Cirebon cukup pesat, terutama


pada pengaruh dan akulturasi budaya. Dia mengatakan, dalam dunia
arsitektur, interior ruang di Cirebon selalu melekat dengan gaya
arsitek China. Dia mengatakan, sebagian besar warisan budaya yang
ada di Cirebon berasal dari Tiongkok. "Bangunan arsitek di Cirebon
itu dipengaruhi oleh Tiongkok coba perhatikan keraton di setiap
tembok pasti dipasangi piring dan piring itu dibawa oleh rombongan
Putri Ong Tien ketika bertemu Sunan Gunung Jati," ujar dia. (Panji
Prayitno)

Halaman 876 dari 883


Jejak Sunan Gunung Jati di Masjid Agung Aulia Al Alam Si
Pitung, Marunda, Cilincing, Jakarta

Masjid yang didirikan oleh Waliyullah Sunan Gunung Jati


dan masih ada hingga hari ini. Dikenal juga dengan Masjid Si
Pitung oleh masyarakat setempat.

Interior Masjid Aulia Al-Alam Si Pitung

Halaman 877 dari 883


Wasiat Sunan Gunung Jati untuk Indonesia. Di Masjid Agung
Aulia Al Alam Si Pitung, Marunda, Cilincing, Jakarta

INGSUN TITIP TAJUG LAN FAKIR MISKIN.

AKU TITIPKAN MASJID DAN FAKIR MISKIN

Seakan-akan Sunan Gunung Jati sebelum wafatnya sudah


menatap masa depan Masjid dan Fakir Miskin, dan beliau titipkan
itu buat kita semuanya. Semoga kita bisa menjaga wasiat beliau
dengan sebaik-baiknya. Amin Ya Mujibas Sailin.

Ini mengingatkan diri saya sendiri saat menulis Firman Allah


di awal buku ini.
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat
sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar. (QS. Al-Baqarah : 153)
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin
yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (QS.
Adz-Dzariyaat : 19)
SABAR SHALAT SEDEKAH IKHLAS TAWAKKAL

Wafat

Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati berpulang ke


rahmatullah pada tanggal 26 Rayagung tahun 891 Hijriah atau
bertepatan dengan tanggal 19 September 1568 Masehi. Tanggal
Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka.

Halaman 878 dari 883


Sunan Gunung Jati meninggal dalam usia 120 tahun, di
mana putra dan cucunya tidak sempat memimpin Cirebon karena
meninggal terlebih dahulu. Kepemimpinan Cirebon dipegang
sementara oleh Fatahillah selama 2 tahun, antara tahun 1568 sampai
ia wafat di tahun 1570 Masehi. Takhta Cirebon lalu diwarisi oleh
cicitnya, Zainul Arifin yang naik takhta di usia 23 tahun dengan
gelar Panembahan Ratu.

Syekh Syarif Hidayatullah kemudian dikenal dengan nama


Sunan Gunung Jati oleh warga Cirebon karena ia dimakamkan di
komplek pemakaman bukit Gunung Jati, yang sekarang dikenal
dengan nama Astana Gunung Sembung.

Referensi
1. ^ UIN Sunan Gunung Djati Bandung. "Sejarah UIN Sunan Gunung Djati Bandung". UIN
Sunan Gunung Djati Bandung.
2. ^ Pangeran Raja (PR) Nasiruddin. 1680. Negara Kertabumi. Cirebon: kesultanan Cirebon
3. ^ Pangeran Raja (PR) Aria Cirebon. 1720. Purwaka Caruban Nagari. Cirebon: Kesultanan
Kacirebonan
4. ^ "Syamsu Azh Zhahirah fi Nasabi Ahli al-Bait oleh Sayyid Abdurrohman bin Muhammad
al-Masyhur" (PDF). https://archive.org/. 2016-05-23. Diakses tanggal 2017-04-21. Hapus
pranala luar di parameter |publisher= (bantuan)
5. ^ "Silsilah Sunan Gunung Jati Cirebon / Syarif Hidayatullah dan Keturunannya di Cirebon
& Banten | Ranji Sarkub". Ranji Sarkub. 2015-06-18. Diarsipkan dari versi asli tanggal
2017-04-29. Diakses tanggal 2017-04-29.
6. ^ Lompat ke:
a b Kurnia, Rohmat. 2009. Tempat dan Peristiwa Sejarah di Jawa Barat. Bandung: Sarana

Pancakarya Nusa
7. ^ Lompat ke:
a b "Kabupaten Cirebon - Sejarah Kabupaten Cirebon". Diarsipkan dari versi asli tanggal

2016-07-29. Diakses tanggal 2015-10-16.


8. ^ Lompat ke:
a b Iskandar, Yoseph. 2005. Sejarah Jawa Barat. Bandung: Geger Sunten

Halaman 879 dari 883


9. ^ Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara
Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 72. ISBN 9798451163.
10. ^ Nafsiah, Siti. 2000. Prof. Hembing pemenang the Star of Asia Award: pertama di Asia
ketiga di dunia. Jakarta: Gema Insani Press
11. ^ Ekajati, Edi Suhardi, Etti R. S, Abdurrahman. 1991. Carita Parahiyangan karya Pangeran
Wangsakerta: ringkasan, konteks, sejarah, isi naskah, dan peta. Bandung: Yayasan
Pembangunan Jawa Barat
12. ^ Lompat ke:
a b Zahorka, Herwig. 2007. The Sunda Kingdoms of West Java, From Tarumanagara to

Pakuan Pajajaran with Royal Center of Bogor, Over 1000 Years of Propsperity and Glory.
Jakarta. Yayasan Cipta Loka Caraka
13. ^ Michrob, Drs Halwani, Drs A. Mudjahid Chudori. 1993. Catatan Masa Lalu Banten.
Serang: Penerbit Saudara
14. ^ Pudjiastuti, Titik. 2007. Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
15. ^ Firdaus, Endang. 2009. Cerita Rakyat dari Serang. Jakarta: Grasindo
16. ^ Tim Balitbang dan Diklat Kementrian Agama Republik Indonesia. 2007. Kepemimpinan
kiai-jawara: relasi kuasa dalam kepemimpinan tradisional religio-magis di pedesaan
Banten. Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia
17. ^ Pusat Studi Sunda. 2006. Mencari gerbang Pakuan dan kajian lainnya mengenai budaya
Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda
18. ^ De Haan, Frederik. 1932. Oud Batavia. Den Haag: Antiquariaat Minerva
19. ^ Heuken, A. 1982. Historical Sites of Jakarta. Jakarta. Yayasan Cipta Loka Caraka
20. ^ Ridyasmara, Rizki. 2008. Mengkritisi Peran Fatahilah di Jakarta. Jakarta: Era Muslim
21. ^ Lompat ke:
a b Pudjiastuti, Titik 2000, 'Sadjarah Banten: suntingan teks dan terjemahan disertai tinjauan

aksara dan amanat. Depok: Universitas Indonesia


22. ^ Untoro, Heriyanti Ongkodharma, 2007. Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten
1522 - 1684. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
23. ^ Effendy, Khasan. Sumanang Rana Dipaprana. 1994. Pertalian keluarga raja-raja Jawa
Kulon dengan Keraton Pakungwati: Sunan Gunung Djati muara terakhir keluarga raja-raja
Jawa Kulon. kota Bandung: Indra Prahasta
24. ^ Hendarsyah, Amir. 2010. Cerita Kerajaan Nusantara. Yogyakarta: Great Publisher
25. ^ "Syahdana, Darussalam Jagad. 2013. Banten Girang Jejak Peradaban Banten yang
Berkembang. [[kota Tangerang]]: Banten Hits". Diarsipkan dari versi asli tanggal
2016-08-09. Diakses tanggal 2017-08-24.
26. ^ Sariyun, Yugo. 1991. Nilai Budaya dalam Permainan Rakyat Jawa Barat. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
27. ^ "Syahdana, Darussalam Jagad. 2015. Gunung Pulasari; Kunci Penaklukkan Banten
Girang oleh Sunan Gunung Jati. [[kota Tangerang|Tangerang]]: Banten Hits". Diarsipkan
dari versi asli tanggal 2016-08-08. Diakses tanggal 2017-08-24.

Halaman 880 dari 883


28. ^ Lompat ke:
a b Tim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1997. Kongres

Nasional Sejarah, 1996: Sub tema dinamika sosial ekonomi. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
29. ^ Lubis, Nina Herlina, 2004. Banten dalam pergumulan sejarah: sultan, ulama, jawara.
Jakarta: LP3ES
30. ^ Ruhimat, Mamat, Nana Supriatna, Kosim. 2006. Ilmu Pengetahuan Sosial Terpadu
(Sosiologi, Geografi, Ekonomi, Sejarah). Bandung: Grafindo Media Pratama
31. ^ Adhyatman, Sumarah. 1981. Antique ceramics found in Indonesia. Jakarta: Himpunan
Keramik Indonesia
32. ^ Taher, Prof. dr. Tarmizi. 2002. Menyegarkan Akidah Tauhid Insani: Mati di Era Klenik.
Jakarta: Gema Insani Press
33. ^ "Kisah Sunan Gunung Jati dan Misteri Hilangnya Istana Pakuan". Sindonews.com.
2015-02-21. Diakses tanggal 2017-03-24.
34. https://umma.id/post/sejarah-walisongo-531568?lang=id
35. Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Sunan Gunung Jati, Menikahi Putri
Kaisar Cina dan Mengislamkan Ribuan Prajurit, https://jabar.tribunnews.com/2017/06/12/
sunan-gunung-jati-menikahi-putri-kaisar-cina-dan-mengislamkan-ribuan-prajurit?page=2
36. https://www.liputan6.com/islami/read/4241800/perjalanan-cinta-putri-ong-tien-dan-
misteri-syair-cinta-sunan-gunung-jati-cirebon

Halaman 881 dari 883


tentang penulis
Penulis adalah Buya
Haji Andri Zulfikar bin Anwar
Manaf bin Siasa, biasa disingkat
Buya Haza, putra asli
Minangkabau kelahiran Kota
Pontianak, 10 Januari 1972.
Kedua orang tuanya adalah Suku
Minang, Ayah dari Painan, Ibu
dari Matur, Bukit Tinggi.
Menempuh pendidikan dasar di
SDN 26 Pontianak, Pendidikan
Menengah di SMPN 1 Pontianak
dan SMAN 1 Pontianak.
Menamatkan Diploma III di
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Perbanas Jakarta Jurusan Akuntansi. Mengikuti Kursus Bahasa
Inggris di Kursus Gajah Mada sejak SD, SMP dan melanjutkan ke
Level Basic hingga Intermediate di LIA (Lembaga Indonesia
Amerika) Jakarta. Kursus Tahsin Quran di Ma’had Al Hikmah
Bangka, Jakarta, Kursus Bahasa Arab di Ma’had Ummul Quro
Depok dan mendalami Fiqh di Perguruan Asy-Syafi’iyah, Jakarta.
Mengenal Islam dari sejak Kecil di Surau Hamidin Gang
Nilam III, Pontianak. Guru beliau waktu Kecil adalah H. Jahri
Banjar Serasan, Ustadz Arpan dari Sambas, Ustadz Sholeh dari
Bima yang juga mengajarkan Silat, Ustadz Syiriadi yang sekarang

Halaman 882 dari 883


menjabat Kepala Sekolah SMPN 2 Paloh, Sambas. Belajar Ngaji
dari didikan ibundanya yang sering membawa Guru Ngaji ke
Rumah. Berdarah ulama dari Kakeknya, Abdul Manaf bin Siasa
yang menjadi salah satu pendiri Perguruan Tertua di Kalimantan
Barat, Perguruan Islamiyah di Kampung Bangka bersama Haji
Arief, dan juga membawa Dakwah Muhammadiyah pertama kali ke
Kalimantan Barat bersama sahabatnya Ustadz Muhammad Akib
yang sempat menjabat Kepala Kemenag Kalimantan Barat.
Pada tahun 2000 beliau masuk dalam Tim untuk mendirikan
TKIT Al-Mumtaz, lalu dilanjutkan dengan SDIT Al-Mumtaz dan
SMPIT Al-Mumtaz. Menyukai sejarah, sejarah para Nabi, sejarah
para sahabat dan sejarah Indonesia secara umum.
Sangat menyukai buku Ihya’ Ulumuddin-nya, Imam
Ghazali, Fathur Rabbani, Sulthon Auliya Syaikh Abdul Qadir Al
Jailani Qaddasallohu Sirohunur, dan buku-buku Tasawuf dan
Tarekat lainnya.
Dianugerahi Alloh istri yang sholehah drg. Hajjah Yeni
Maryani, MPH, dan anak-anak keturunan sholeh dan Sholehah
Rifqah Sajidah, Muhammad ‘Ibadurrahman, ‘Athifah Raihanah.
Obsesinya adalah memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi
ummat manusia. Follow beliau di Facebook : Makrifat Kamil
Mukamil atau Instagram : andrizulfikar1972. Youtube Channel :
Buya Haza Official Channel. Email beliau :
andrizulfikar361@gmail.com

Halaman 883 dari 883

Anda mungkin juga menyukai