Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PRAKTIKUM MIKROPALEONTOLOGI

FORAMINIFERA PLANKTONIK
(GLOBOROTALIA, HANTKENINA, DAN
CRIBOHANTKENINA)

Disusun Oleh:
LIA MARNATAL BR SIANTURI
F1D219054

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


JURUSAN TEKNIK KEBUMIAN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS JAMBI
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mikropaleontologi adalah cabang dari ilmu pada ilmu paleontologi yang
khusus mempelajari semua sisa-sisa yang berukuran kecil sehingga pada
pelaksanaannya harus menggunakan alat bantu berupa mikroskop. Umumnya
fosil ukurannya lebih dari 5 mm namun ada juga yang berukuran sampai 19 mm
seperti hewan foraminifera, embrio dari fosil-fosil makro serta bagian-bagian
tubuh dari fosil makro mengamatinya harus dengan menggunakan alat bantu
tambahan berupa mikroskop serta sayatan tipis dari fosil-fosil yang akan diamati.
Secara definisi foraminifera adalah organisme bersel tunggal yang hidup
secara aquatik, mempunyai satu atau lebih kamar-kamar yang terpisah satu
dengan yang lainnya oleh sekat-sekat (septa) yang ditembusi oleh lubang-lubang
halus (foramen). Mikrofosil dapat digunakan dalam menentukan kondisi geologi
suatu daerah serta dapat menentukan umur batuan suatu daerah projek.
Fosil adalah sisa kehidupan purba yang terawetkan secara alamiah dan
terekam pada bahan-bahan dari kerak bumi. Fosil berguna mengenal kehidupan
masa lampau, mempelajari ilmu tentang fosil dan hubungannya tentang
penentuan umur suatu lingkungan yang ada di sekitarnya terlebih dahulu kita
harus mengetahui bagaimana proses terbentuknya fosil tersebut, unsur apa yang
terkandung di dalam fosil tersebut dan dimana lingkungan hidup dari fosil itu
sebelumnya.
Ada fosil yang dilakukan megaskopi, yang artinya penelitian dilakukan
dengan mata telanjang atau dengan pertolongan lensa pembesar. Oleh karena itu
dalam laporan ini akan membahas fosil yang tentunya untuk memahami tentang
mikrofosil pada filum foraminifera dengan genus Globorotalia, Hantkenina, dan
Cribohantkenina.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui ciri-ciri Globorotalia, Hantkenina, dan Cribohantkenina
2. Mengetahui perbedaan Globorotalia (T) dengan Globorotalia (G)
3. Mengetahui perbedaan Hantkenina dengan Cribohantkenina
1.3 Alat dan Bahan
1. Alat tulis lengkap
2. Clipboard
3. Modul mikropaleontologi
4. Laptop
5. HVS

Laporan Praktikum Mikropaleontologi Foraminifera 1


Planktonik
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Berdasarkan asal katanya, fosil berasal dari bahasa latin yaitu “fossa” yang
berarti "galian", adalah sisa-sisa atau bekas-bekas makhluk hidup yang menjadi
batu atau mineral. Untuk menjadi fosil, sisa-sisa hewan atau tanaman ini harus
segera tertutup sedimen. Hewan atau tumbuhan yang dikira sudah punah tetapi
ternyata masih ada disebut fosil hidup dan ilmu yang mempelajari fosil adalah
paleontologi. Dalam geologi, tujuan mempelajari fosil adalah untuk mempelajari
perkembangan kehidupan yang pernah ada di muka bumi sepanjang sejarah
bumi, mengetahui kondisi geografi dan iklim pada zaman saat fosil tersebut
hidup, menentukan umur relatif batuan yang terdapat di alam didasarkan atas
kandungan fosilnya, untuk menentukan lingkungan pengendapan batuan
didasarkan atas sifat dan ekologi kehidupan fosil yang dikandung dalam batuan
tersebut, korelasi antar batuan batuan yang terdapat di alam (biostratigrafi) yaitu
dengan dasar kandungan fosil yang sejenis/seumur (Noor, 2009).
Foraminifera merupakan makhluk hidup yang secara taksonomi ia berada di
bawah salah satu Kingdom Protista, Filum Sarcomastigophora, Subfilum
Sarcodina, Superkelas Rhizopoda dan Kelas Granuloreticulosea serta Ordo
Foraminiferida. Foraminifera berdasarkan cara hidupnya dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu yang pertama foraminifera yang hidup di dasar laut (benthonic
foraminifera) dan yang kedua foraminifera yang hidupnya mengambang
mengikuti arus (planktonic foraminifera). Foraminifera bentonik pertama mulai
hidup sejak Zaman Kambrium sampai saat ini, sedangkan foraminifera
planktonik hidup dari Zaman Jura sampai saat ini. Foraminifer sekalipun tetap
merupakan protozoa bersel satu yang merupakan suatu kelompok organisme-
organisme sangat komplek (Culver Dan Buzas, 1983).
Teluk Ambon bagian dalam memiliki bentuk membulat. Kegiatan geologi
berupa plutonik dan vulkanik yang diikuti oleh naiknya magma granetik pada
fase pengangkatan geoantiklin di teluk tersebut masih aktif sehingga dapat
mempengaruhi pembentukan sedimen serta kondisi foraminifera di Teluk Ambon.
Lapisan lumpur hanya didapatkan pada bagian dalam teluk yaitu pada stasiun
44 dan 47 (kedalaman 20 – 30 m) dengan kadar lumpur 75% sampai 90%.
Menurut Suwartana (1986), Teluk Ambon bagian dalam memiliki bentuk
membulat. Morfologi seperti ini dapat berpengaruh terhadap kondisi daerah
tersebut. Massa air yang berasal dari Teluk Ambon bagian luar akan menyebar
ke segala penjuru teluk dalam dan semakin jauh ke tengah energi yang
ditimbulkan semakin melemah. Gelombang yang ditimbulkan oleh angin jarang
terjadi di tempat ini, kecuali di musim timur dengan frekuensi rendah. Kondisi
Laporan Praktikum Mikropaleontologi Foraminifera 2
Planktonik
oseanografi semacam ini mengakibatkan daerah Teluk Ambon bagian dalam
relatif tenang sehingga mudah terjadi proses sedimentasi (Stoddart and Steers,
1977; Kennet, l982). Rata-rata kelimpahan foraminifera maupun jumlah spesies
yang ditemukan pada bagian dalam teluk relatif lebih rendah dibandingkan pada
bagian luar teluk. Kondisi substrat dasar yang didominasi oleh lumpur tersebut
kurang sesuai untuk kehidupan foraminifera.
Hasil identifikasi foraminifera dari 50 sampel sedimen yang diambil dari
Teluk ambon pada tahun 2007 menunjukkan terdapat 29 sampel mengandung
foraminifera. Foraminifera pada sedimen permukaan di Teluk Ambon mencapai
86 spesies yang terdiri dari 61 spesies bentonik dan 25 spesies planktonik.
Foraminifera spesies bentonik yang mendominasi sedimen permukaan perairan
Teluk Ambon adalah Amphistegina lessonii, Ammonia beccarii, Elphidium
craticulatum, Operculina ammonoides dan Quinqueloculina parkery. Foraminifera
planktonik yang sering dijumpai adalah Globorotalia tumida, Globoquadrina
pseudofoliata, Globigerinoides pseudofoliata, Globigerinoides cyclostomus dan
Pulleniatina finalis. Pada umumnya foraminifera spesies tersebut ditemukan
melimpah pada sedimen pasir, sedangkan pada sedimen lumpur tidak ditemukan
baik foraminifera bentonik maupun planktonik (Natsir, 2010).
Berdasarkan analisis spesies foraminifera plankton, daerah penelitian, pada
bor inti MD 52 dan MD 55 ini termasuk ke dalam Zona Globorotalia
truncatulinoides- truncatulinoides dari Blow (1969). Di lokasi MD 52, zona ini
dapat dibagi lagi ke dalam dua subzona, yakni Subzona Globorotalia crassaformis
hessi dan Globigerinella calida calida. Di lokasi MD 55, zona tersebut dapat dibagi
lagi ke dalam tiga subzona yaitu Subzona Globorotalia crassaformis hessi,
Globigerinella calida calida dan Beella digitata. Pada kedalaman 39 m, mulai
dijumpai Globorotalia truncatulinoides dan Globorotalia cf. fimbriata, meskipun
pada kedalaman tersebut bukan merupakan pemunculan awal dari kedua
spesies ini, karena Globigerinoides cyclostomus yang sama-sama muncul pada
kala Plistosen sudah dijumpai pada dasar bor inti yang lebih dalam lagi. Pada
kedalaman ini, kedua spesies tersebut berasosiasi dengan spesies-spesies yang
sama dengan yang dijumpai pada dasar inti bor. Spesies Globorotalia crassaformis
hessi berakhir pada kedalaman 15,00 m dan pemunculan akhir dari Globorotalia
flexuosa adalah pada kedalaman 3 m. Dia membagi N.23 ke dalam dua bagian
seperti subzona Globigerina bermudezi di bagian bawah, dan subzona Globorotalia
fimbriata di bagian atas, sedangkan Globigerinella calida calida ditempatkan di
bagian paling atas dari N.22 (bagian paling atas dari Plistosen). Tetapi,
Chaproniere (1991) membagi Zona N. 23 ke dalam tiga subzona, yakni, subzona
Globigerinella calida calida di bagian paling bawah, subzona Pulleniatina finalis di

Laporan Praktikum Mikropaleontologi Foraminifera 3


Planktonik
bagian tengah, dan subzona Bolliella adamsi di bagian paling atas dari N. 23
(bagian paling atas dari Holosen). Tetapi bagian paling atas dari N.22 dinamakan
subzona Globigerinella calida praecalida. (Adisaputra dan Yuniarto, 2013).
Berdasarkan analisis dari spesies foraminifera plankton, kedua bor inti (MD
52 dan MD 55) termasuk ke dalam Zona Globorotalia truncatulinoides dari zonasi
Blow (1969) Zona Globorotalia truncatulinoides pada bor inti MD 52 bisa dibagi ke
dalam 2 subzona, yakni Subzona Globorotalia crassaformis crassaformis hessi dan
Subzona Globigerinella calida calida. Beda halnya dengan pada bor inti MD 55
zona tersebut bisa dibagi ke dalam 3 subzona, yakni, Subzona Globorotalia
crassaformis hessi, Globigerinella calida calida dan Beella digitata. Spesies
Globigerinella calida calida ini di daerah penelitian berada atau muncul pertama
kali di dalam Plistosen Akhir atau di bagian paling atas dari N.22, karena di kedua
sumur bor daerah penelitian sudah berasosiasi dengan Globorotalia
truncatulinoides. Ke arah yang lebih dalam sedimen tersebut menebal pada umur
ini, demikian pula sedimen yang diendapkan pada umur yang lebih muda dari
Plistosen Akhir. Tetapi pada bagian bawahnya, sedimen yang tersingkap pada MD
52 lebih tebal dari pada pada MD 55 (Pandita dkk, 2010).
Berdasarkan pada analisis dari spesies foraminifera plankton, kedua bor inti
(MD 52 dan MD 55) daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Globorotalia
truncatulinoides dari zonasi Blow (1969) Zona Globorotalia truncatulinoides pada
bor inti MD 52 bisa dibagi ke dalam 2 subzona, yakni Subzona Globorotalia
crassaformis crassaformis hessi dan Subzona Globigerinella calida calida. Beda
halnya dengan pada bor inti MD 55 zona tersebut bisa dibagi ke dalam 3 subzona,
yakni, Subzona Globorotalia crassaformis hessi, Globigerinella calida calida dan
Beella digitata. Spesies Globigerinella calida calida ini di daerah penelitian berada
atau muncul pertama kali di dalam Plistosen Akhir atau di bagian paling atas dari
N.22, karena di kedua sumur bor daerah penelitian sudah berasosiasi dengan
Globorotalia truncatulinoides. Ke arah yang lebih dalam sedimen tersebut menebal
pada umur ini, demikian pula sedimen yang diendapkan pada umur yang lebih
muda dari Plistosen Akhir. Tetapi pada bagian bawahnya, sedimen yang
tersingkap pada MD 52 lebih tebal dari pada pada MD 55 (Sanjoto, 2010).

Laporan Praktikum Mikropaleontologi Foraminifera 4


Planktonik
3.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini membahas mikropaleontologi tentang foraminifera
planktonik. Foraminifera adalah organisme bersel tunggal yang mempunyai
cangkang atau test. Foraminifera ditemukan melimpah sebagai fosil, setidaknya
dalam kurun waktu ±540 juta tahun yang lalu. Foraminifera planktonik jumlah
genusnya sedikit, tetapi jumlah spesiesnya banyak. Jumlah genusnya berjumlah
13 genus.
Ciri-ciri dari Grobotalia adalah morfologi dengan test hyaline, bentuk test
biconvex, bentuk kamar sub-globular, aperture nya memanjang umbilicus ke
pinggir test. Perbedaan antara Hantkenina dengan Cribohantkenina adalah
terdapat pada kamarnya, kamar dari Hantkenina memiliki bentuk kamar yang
tabular spine dan tiap kamarnya terdapat spine-spine yang panjang, sedangkan
Cribohantkenina memiliki kamar akhir yang sangat gemuk. Cara menghitung
putaran pada foraminifera planktonic adalah dengan melihat dari arah
putarannya, searah jarum jam atau pun sebaliknya. Kemudian dilihat dari kamar
terkecil hingga yang terbesar lalu ditarik garis yang memotong kamar satu, dua,
hingga terakhir, kemudian hitung jumlah putarannya.
Genus foraminifera Planktonik yang dibahas yaitu genus Globorotalia,
Hantkenina, dan Cribohantkenina. Genus Globorotalia dengan spesies
Globorotalia siakensis (T), dengan susunan kamar trochospiral, bentuk test-nya
sub-globular, bentuk kamarnya Globular. Suture ventral dan suture dorsal nya
tertekan kuat dengan komposisi Gamping Hyalin. Jumlah kamar ventral
berjumlah 5 kamar dan jumlah kamar dorsal berjumlah 6 kamar. Aperture
primary nya, yaitu P. A. I Umbilicus, hiasan pada permukaan test berbentuk
punctate. Genus Globorotalia dengan spesies Globorotalia tosaensis (G), dengan
susunan kamar trochospiral rendah, bentuk test-nya biconvex, bentuk kamarnya
Angular rhomboid. Suture ventral dan suture dorsal nya tertekan kuat dengan
komposisi Gamping Hyalin. Jumlah kamar ventral berjumlah 6 kamar dan
jumlah kamar dorsal berjumlah 7 kamar. Aperture primary nya, yaitu P. A. I
Umbilicus, hiasan pada aperture berbentuk punctate, hiasan pada peri-peri
berbentuk keel. Genus Globorotalia dengan spesies Globorotalia tosaensis, dengan
susunan kamar trochospiral, bentuk test-nya biumbilicate, bentuk kamarnya
Globular. Suture ventral dan suture dorsal nya tertekan kuat dengan komposisi
Gamping Hyalin. Jumlah kamar ventral berjumlah 13 kamar dan jumlah kamar
dorsal berjumlah 5 kamar. Aperture primary nya, yaitu P. A. I Umbilicus, hiasan
pada permukaan test berbentuk punctate, pada aperture berbentuk bridge. Lagi-
lagi genus Globorotalia dengan spesies Globorotalia archeomenardii (G), dengan
susunan kamar trochospiral, bentuk test-nya biconvex, bentuk kamarnya

Laporan Praktikum Mikropaleontologi Foraminifera 5


Planktonik
Angular rhomboid. Suture ventral tertekan kuat dan suture dorsal nya tertekan
lemah dengan komposisi Gamping Hyalin. Jumlah kamar ventral berjumlah 5
kamar dan jumlah kamar dorsal berjumlah 10 kamar. Aperture primary nya,
yaitu Interiomarginal umbilical extra, hiasan pada permukaan test berbentuk
smooth, pada suture bridge dan pada umbilicus deeply umbilicus.
Genus Hantkenina dengan spesies Hantkenina dumblei, dengan susunan
kamar planispiral, bentuk tes-nya biumbilicate, bentuk kamarnya Tubulospinate.
Suture ventral tertekan kuat dan suture dorsal nya tertekan sedang dengan
komposisi Gamping Hyalin. Jumlah kamar ventral berjumlah 5 kamar dan
jumlah kamar dorsal berjumlah 5 kamar. Aperture primary nya, yaitu P. A. I
Umbilicus, hiasan pada permukaan test berbentuk punctate, pada aperture nya
berbentuk lip/rim, dan peri-peri berbentuk spine. Genus Hantkenina dengan
spesies Hantkenina alabamensis, dengan susunan kamar planispiral, bentuk tes-
nya biumbilicate, bentuk kamarnya Tubulospinate. Suture ventral tertekan
lemah dan suture dorsal nya tertekan kuat dengan komposisi Gamping Hyalin.
Jumlah kamar ventral berjumlah 4 kamar dan jumlah kamar dorsal berjumlah 5
kamar. Aperture primary nya, yaitu Interiomarginal umbilical extra, hiasan pada
peri-peri berbentuk spine. Genus Hantkenina dengan spesies Hantkenina
danvilensis, dengan susunan kamar planispiral, bentuk tes-nya biumbilicate,
bentuk kamarnya Tubulospinate. Suture ventral tertekan lemah dan suture
dorsal nya tertekan lemah dengan komposisi Gamping Hyalin. Jumlah kamar
ventral berjumlah 5 kamar dan jumlah kamar dorsal berjumlah 6 kamar.
Aperture primary nya, yaitu P. A. I Umbilicus, hiasan pada permukaan test
berbentuk punctate, pada aperture nya berbentuk lip/rim, dan peri-peri
berbentuk spine.
Yang terakhir genus Cribohantkenina dengan spesies Cribohantkenina
bermudezi, dengan susunan kamar planispiral, bentuk test-nya biumbilical,
bentuk kamarnya Tubulospinate. Suture ventral dan suture dorsal nya tertekan
lemah dengan komposisi Gamping Hyalin. Jumlah kamar ventral berjumlah 5
kamar dan jumlah kamar dorsal berjumlah 5 kamar. Aperture primary nya, yaitu
P. A. I Umbilicus dan aperture secondary nya Cribate, hiasan pada permukaan
test berbentuk punctate dan pada aperture berbentuk lip/rim.

Laporan Praktikum Mikropaleontologi Foraminifera 6


Planktonik
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Ciri-ciri dari Globorotalia adalah memiliki morfologi dengan test Hyaline,
bentuk test biconvex, bentuk kamar sub-globular atau angular conical,
aperture memanjang dari umbilicus ke pinggir test, dan pinggir test ada
yang kecil da nada yang tidak. Ciri-ciri dari Hantkenina adalah Morfologi
bentuk test nya biubilicate, bentuk kamar tabular spinate dan susunan
kamar planispiral involute, tiap-tiap kamar terdapat spine-spine panjang.
Dan ciri-ciri Cribohantkenina adalah bentuk test biumbilicate, bentuk
kamar tabulate spinate, susunan kamar planispiral involute, dan kamar
akhir yang sangat gemuk dan mempunyai cribate.
2. Perbedaan dari Globorotalia (T) dengan Globorotalia (G), yaitu : Globorotalia
(T) mencakup seluruh Globorotalia yang tidak mempunyai keel, sedangkan
Globorotalia (G) mencakup seluruh Globorotalia yang mempunyai keel.
3. Perbedaan Hantkenina dengan Cribohantkenina, yaitu: terdapat pada
kamarnya, dimana kamar Hantkenina mempunyai bentuk kamar tabular
spine dan tiap kamarnya terdapat spine-spine yang panjang. Sedangkan
Cribohantkenina memiliki kamar akhir yang sangat gemuk.
4.2 Saran
Adapun saran pada praktikum kali ini yang dilakukan secara online,
sebaiknya praktikan lebih serius dan dapat masuk lebih tepat waktu pada room
zoom.

Laporan Praktikum Mikropaleontologi Foraminifera 7


Planktonik
DAFTAR PUSTAKA

Adisaputra, M. K. dan H. Yuniarto. 2013. Biostratigrafi Foraminifera Kuarter Pada


Bor Inti Md 982152 Dan 982155 Dari Samudra Hindia. Jurnal Geologi
Kelautan. Vol 11(2):55-66.
Culver, S.J., And Buzas, M.A. 1983. Benthic foraminifera at the shelfbreak: North
American Atlantic and Gulf margins: in Stanley, D.J., and Moore, G.T., eds.,
The Shelfbreak: Critical Interface on Continental Margins.
Kennet, J.P. 1982. Marine geology. Prentice Hal, Inc. Englewood Cliffs, 822p.
Natsir, S. M. 2010. Kelimpahan Foraminifera Resen Pada Sedimen Permukaan Di
Teluk Ambon. E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. Vol 2(1): 9-
18.
Noor, D. 2009. Pengantar Geologi. Bogor: CV. Graha Ilmu.
Pandita, H., S. Pambudi, dan Winarti. 2010. Kajian Biostratigrafi Dan Fasies
Formasi Sentolo di Daerah Guluhrejo dan Ngaran Kabupaten Bantul
Untuk Mengidentifikasi Keberadaan Sesar Progo. Oral Presentation.
Sanjoto, S. 2010. Zonasi Foraminifera Planktonik Daerah Gunung Kinjeng dan
Gunung Gede Kecamatan Sentolo Kabupaten Kulon Progo Daerah
Istimewa Yogyakarta. Jurnal Teknologi Technoscientia. Vol 2(2):239-247.
Stoddart, D.R. dan J.A. Streers. 1977. The natural and origin of coral reef islands.
Dalam “Biology and Geology of Coral Reef'” (O. Ajones dan R. Endean,
eds). Academic Press, New York, San Francisco, London: 60–102.

Laporan Praktikum Mikropaleontologi Foraminifera 8


Planktonik

Anda mungkin juga menyukai