Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA ABDOMEN

Oleh:
YULIA ELISTIAWATI
2022207209256

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI NERS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
TAHUN 2022/2023
LAPORANPENDAHULUAN

1. Definisi

Trauma tumpul abdomen adalah cedera atau

perlukaan pada abdomen tanpa penetrasi ke dalam

rongga peritoneum, dapat diakibatkan oleh pukulan,

benturan, ledakan, deselarasi (perlambatan), atau

kompresi. Trauma tumpul kadang tidak memberikan

kelainan yang jelas pada permukaan tubuh tetapi dapat

mengakibatkan kontusi atau laserasi jaringan atau organ

di bawahnya. Benturan pada trauma tumpul abdomen

dapat menimbulkan cedera pada organ berongga berupa

perforasi atau pada organ padat berupa perdarahan

(Andrew, 2014).

2. Mekanisme Trauma Tumpul Abdomen

Pada trauma tumpul abdomen, cedera pada organ

intra abdomen bergantung pada mekanisme cedera dan

organ yang terlibat. Organ yang terlibat contohnya

organ berhubungan dengan lokasi anatomis, organ

padat atau organ berongga, terfiksir atau mobile.

Berbagai macam mekanisme cedera dapat dikaitkan

dengan trauma tumpul, tetapi sebagian besar

disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dan jatuh (Indah,

2016).
Ada beberapa mekanisme cedera pada trauma

tumpul abdomen yang dapat menyebabkan cedera

organ intraabdomen, yaitu (Sander, 2018) :

a. Benturan langsung terhadap organ intraabdomen

diantara dinding abdomen anterior dan posterior

6
7

b. Cedera avulsi yang diakibatkan oleh gaya deselerasi

pada kecelakaan dengan kecepatan tinggi atau jatuh

dari ketinggian. Gaya deselerasi dibagi menjadi

deselerasi horizontal dan deselerasi vertikal. Pada

mekanisme ini terjadi peregangan pada struktur-

struktur organ yang terfiksir seperti pedikel dan

ligament yang dapat menyebabkan perdarahan

atau iskemik Terjadinya closed bowel loop pada

disertai dengan peningkatan tekanan intraluminal

yang dapat menyebabkan rupture organ berongga

c. Laserasi organ intraabdomen yang disebabkan oleh

fragmen tulang (fraktur pelvis, fraktur costa)

d. Peningkatan tekanan intraabdomen yang masif dan

mendadak dapat menyebabkan rupture diafragma

bahkan ruptur kardiak

3. Diagnosis

a. Anamnesis

Pada evaluasi trauma tumpul abdomen,

anamnesis yang detil dan akurat sangat diperlukan

untuk memastikan kemungkinan terjadinya cedera

organ intraabdomen akibat trauma tumpul abdomen.

Informasi diperoleh dari paramedis, polisi atau yang


8

mendampingi pasien saat transportasi dan juga dari

pasien sendiri jika pasien sadar baik (Wiargitha,

2017).

Saat melakukan anamnesis, digunakan sistem MIST, yaitu :

1) Mekanisme cedera

2) Injury (cedera yang didapat)

3) Signs (tanda atau gejala yang dialami)

4) Treatment (penanganan yang telah diberikan) (Sugrue, 2000).


9

b. Pemeriksaan fisik

Penilaian klinis terhadap pasien yang

mengalami trauma tumpul abdomen terkadang sulit

dilakukan dan tidak akurat, dan dapat ditemukan

pada sekitar 50% pasien yang mengalami trauma

tumpul abdomen (Legome dan Geibel, 2016; Sugrue,

2000). Selain penurunan kesadaran, efek

hemoperitoneum dan variasi cedera dari berbagai

variasi gejala cedera organ padat atau berongga

membuat interpretasi yang sulit dilakukan. Adanya

cedera lainnya pada pasien multi trauma

memberikan tantangan tambahan (Indah, 2016).

Tanda dan gejala yang sering ditemukan pada

pasien yang sadar baik yaitu :

1) Nyeri perut

2) Nyeri tekan pada abdomen

3) Perdarahan gastrointestinal

4) Hipovolemik

5) Tanda-tanda peritonitis (Salomone, 2010)

Bagaimanapun, akumulasi darah dalam jumlah

yang banyak di intraperitoneum dan rongga pelvis

dapat memberikan perubahan pemeriksaan fisik


10

yang tidak signifikan. (Legome, Geibel, 2016).

Keluhan nyeri perut maupun nyeri tekan pada

abdomen memiliki sensitifitas yang baik untuk

mengidentifikasi cedera organ intraabdomen, tetapi

sensitifitas tersebut dapat menurun bila didapatkan

penurunan skor Glasgow Coma Scale (GCS)

(Adelgais, 2014).
11

Evaluasi terhadap cedera penyerta yang

berhubungan sangat diperlukan pada pasien yang

mengalami trauma tumpul abdomen (Sugrue, 2000).

Pada pemeriksaan fisis, ada beberapa tanda yang

dapat membantu untuk memprediksi kemungkinan

cedera organ intraabdomen, yaitu :

1) Lap belt marks : berhubungan dengan ruptur usus halus

2) Kontusio dengan steering wheel shaped

3) Ekimosis pada daerah panggul (Grey Turner sign)

atau umbilicus (Cullen sign) : mengindikasikan

perdarahan retroperitoneal tetapi biasanya timbul

setelah beberapa jam sampai beberapa hari

4) Distensi abdomen

5) Terdengar bising usus pada daerah thorak :

mengindikasikan cedera pada diafragma

6) Bruit pada abdomen : mengindikasikan adanya

penyakit vaskuler yang mendasari atau adanya

fistel arteriovenous fistula.

7) Nyeri tekan lokal atau difus, disertai rigiditas :

kemungkinan cedera peritoneum

8) Krepitasi atau thoracic cage yang tidak

stabil mengindikasikan kemungkinan cedera


12

lien atau hepar (Legome dan Geibel, 2016).

c. Pemeriksaan penunjang

Pasien dengan trauma tumpul abdomen yang

berat, organ intra- abdomen harus dievaluasi dengan

menggunakan pemeriksaan yang objektif

dibandingkan hanya dengan pemeriksaan fisis

sendiri bila didapatkan nyeri


13

yang signifikan dan disertai dengan penurunan

kesadaran. Pemeriksaan yang umum digunakan

untuk evaluasi abdomen adalah

1) Computed Tomography (CT) abdomen

Pemeriksaan Computed Tomography

abdomen merupakan baku emas untuk diagnostik

cedera organ intraabdomen dengan hemodinamik

stabil. Pemeriksaan ini menggunakan kontras

intravena, sehingga pemeriksaan ini sensitif

terhadap darah dan dapat mengevaluasi masing-

masing organ, termasuk struktur organ

retroperitoneal (Boffard, 2012). Helical CT Scan

sagital dan koronal rekonstruksi yang dapat

membantu dan sangat berguna untuk mendeteksi

cedera diafragma. Selain itu, juga dapat

meningkatkan diagnosis cedera gastrointestinal

(Radwan dan Zidan, 2006).

Computed Tomography abdomen memiliki

akurasi yang tinggi, mencapai 95% dan memiliki

negative predictive value yang sangat tinggi yaitu

hamper 100%. Tetapi pasien dengan

kecurigaan trauma tumpul abdomen harus


14

dirawat di rumah sakit selama paling sedikit 24

jam untuk observasi meskipun hasil CT abdomen

negatif. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam

menentukan derajat cedera organ padat dan

menjadi penuntun untuk penatalaksanaan

nonoperatif dan juga keputusan untuk dilakukan

tindakan pembedahan (Radwan dan Zidan, 2006).

Pemeriksaan CT abdomen juga memiliki

batasan yaitu diperlukan petugas yang ahli untuk

melakukannya dan dokter spesialis radiologi

untuk membuat interpretasi hasil. Pemeriksaan

CT abdomen walaupun
15

sangat sensitif terhadap organ padat, tetapi tidak

menunjukkan adanya robekan pada mesenterium,

cedera pada usus terutama robekan yang kecil,

cedera diafragma bila rekonstruksi sagital dan

coronal tidak dilakukan, dan cedera pankreas bila

dilakukan segera setelah trauma. Adanya cairan

bebas intraperitoneal pada keadaan tidak adanya

cedera pada organ padat dapat menyebabkan

keraguan dimana terdapat 25% lesi pada usus

tidak terdeteksi. Sehingga disarankan untuk

dilakukan pemeriksaan Diagnostic Peritoneal

Lavage (DPL) bila disepakati untuk tatalaksana

konservatif.

Kerugian CT abdomen yaitu perlunya

mentransfer pasien ke unit CT scan, bahaya

radiasi yang didaptkan, pasien dapat tidak

koperatif atau mengambil posisi yang baik bila

kesakitan atau dengan penurunan kesadaran.

Gagal ginjal atau riwayat syok anafilaktik

sebelumnya dapat menghalangi penggunaan CT

abdomen. Pemeriksaan tanpa menggunakan

kontras dapat menurunkan sensitifitas CT


16

abdomen dalam mendiagnosis cedera organ padat.

(Boutros, Nassef, Ghany, 2015).

Beberapa hal penting yang perlu

diperhatikan pada saat melakukan pemeriksaan

CT abdomen, yaitu :

a) Tidak boleh dilakukan pada pasien dengan

status hemodinamik tidak stabil

b) Jika dari mekanisme cedera dicurigai cedera

pada duodenum, maka pemberian kontras

peroral dapat membantu diagnosis.


17

c) Jika dicurigai cedera pada rektum dan kolon

distal dengan adanya darah pada pemeriksaan

rektum, pemberian kontras melalui rectum

dapat membantu (Boffard, 2002).

2) Focused Assessment Sonography for Trauma (FAST)

Focus Assesment Sonography for Trauma

awalnya dilakukan di Eropa dan Jepang pada

tahun 80-an yang kemudian diadopsi oleh

Amerika Utara pada tahun 90-an, yang kemudian

berkembang ke seluruh dunia. Kuwait merupakan

salah satu negara di Timur Tengah yang pertama

kali menggunakan FAST di unit gawat darurat

(Radwan, Zidan, 2006 Asshiddiqi, 2014).

Focus Assesment Sonography for Trauma

merupakan suatu pemeriksaan yang mendeteksi

ada tidaknya cairan intraperitoeneal. Pemeriksaan

ini merupakan alat diagnosis yang aman dan cepat

serta dapat dengan mudah untuk dipelajari.

Pemeriksaan FAST juga sangat berguna bagi

pasien dengan hemodinamik tidak stabil dan tidak

dapat dibawa ke ruang CT abdomen, bahkan

dapat dilakukan disamping pasien selama


18

dilakukan resusitasi tanpa harus dipindahkan dari

ruangan resusitasi (Radwan, Zidan, 2006). Pada

beberapa penelitian menunjukkan bahwa

pemeriksaan ini memiliki sensitifitas 79 – 100%

dan spesifitas 95 – 100%, terutama pada pasien

dengan hemodinamik tidak stabil (Boutros,

Nassef, Ghany, 2015).

Pada pemeriksaan FAST difokuskan pada 6

area, yaitu perikardium, hepatorenal, splenorenal,

parakolik gutter kanan dan kiri, dan rongga


19

pertioneaum di daerah pelvis (Boffard, 2002). Pada evaluasi trauma tumpul

abdomen, FAST menurunkan angka penggunaan CT Scan dari 56% menjadi 26%

tanpa meningkatkan resiko kepada pasien (Indah, 2016).

Pemeriksaan ini akurat untuk mendeteksi

darah sebanyak >100 mililiter, namun hasil

pemeriksaan sangat bergantung pada operator

yang mengerjakan dan akan terutama pada pasien

obesitas atau usus usus terisi udara. Cedera organ

berongga sangat sulit untuk didiagnosis dan

memiliki sensitivitas yang rendah sekitar 29–35%

pada cedera organ tanpa hemoperitoneum.

Keterbatasan ultrasound harus dipahami

ketika menggunakan FAST. Ultrasound tidak

akurat pada pasien obesitas akibat kurangnya

kemampuan penetrasi gelombang sonografi.

Selanjutnya, akan sulit juga untuk memvisualisasi

struktur organ intra-abdomen pada keadaan ileus

atau elfisema subkutis. USG sangat akurat untuk

mendeteksi cairan intraperitoneal tetapi tidak

dapat membedakan antara darah, urin, cairan

empedu atau ascites. Organ retroperitoneal juga

sulit untuk dievaluasi (Radwan dan Zidan, 2006).


20

Pemeriksaan FAST ini dapat

dipertimbangkan sebagai modalitas awal pada

evaluasi trauma tumpul abdomen, tidak invasive,

tersedia dengan mudah, dan membutuhkan waktu

persiapan yang singkat. Ultrasonografi berulang

pada pasien trauma tumpul abdomen yang


21

mendapat observasi ketat meningkakan

sensitifitas dan spesifisitas mendekati 100%

(Boutros, Nassef, Ghany, 2015).

3) Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)

Diagnostic Peritoneal Lavage adalah suatu

pemeriksaan yang digunakan untuk menilai

adanya darah di dalam abdomen. Gastric tube

dipasang untuk mengosongkan lambung dan

pemasangan kateter urin untuk pengosongan

kandung kemih. Sebuah kanul dimasukkan di

bawah umbilicus, diarahkan ke kaudal dan

posterior. Jika saat aspirasi didapatkan darah

(>10ml dianggap positif) dan selanjutnya

dimasukkan cairan ringer laktat (RL) hangat

sebanyak 1000 mililiter (ml) dan kemudian

dialirkan keluar. Jika didapatkan sel darah merah

>100.000 sel/mikroliter(μL) atau leukosit >500

sel/μL maka pemeriksaan tersebut dianggap

positif. Jika terdapat keterbatasan laboratorium,

dapat menggunakan urine dipstick. Jika

didapatkan drainage cairan lavage melalui chest

tube mengindikasikan penetrasi diafragma


22

(Boffard, 2002).

Bila hemodinamik stabil, dilakukan

pemeriksaan FAST dan CT abdomen. Apabila

dengan hemodinamik tidak stabil, dilakukan

pemeriksaan FAST atau DPL (Richard et al.,

2007). FAST sangat berguna sebagai alat

diagnostic untuk mendeteksi cairan intra

abdomen, sehingga indikasi DPL menjadi lebih

terbatas. Ketiga modalitas diagnostic ini saling

melengkapi dan tidak kompetitif. Kegunaan

masing-masing dapat dimaksimalkan ketika

digunakan secara tepat (Radwan, Zidan, 2006)


23

4) Laparotomi eksplorasi

Laparotomi eksplorasi merupakan modalitas diagnostik


paling akhir.

Indikasi dilakukan laparotomi eksplorasi adalah :

a) Hipotensi atau syok yang tidak jelas sumbernya

b) Perdarahan tidak terkontrol

c) Tanda – tanda peritonitis

d) Luka tembak pada abdomen

e) Ruptur diafragma

f) Pneumoperitoneum

g) Eviserasi usus atau omentum.

h) Indikasi tambahan : perdarahan signifikan dari

naso-gastric tube (NGT) atau rectum,

perdarahan dari sumber yang tidak jelas, luka

tusuk dengan cedera vascular, bilier, dan usus

(Richard dkk., 2007).

Prioritas pembedahan pada saat laparotomi adalah :

a) Menemukan dan mengontrol perdarahan

b) Menemukan cedera usus untuk mengontrol kontaminasi


feses

c) Identifikasi cedera ogan abdomen dan struktur lainnya

d) Memperbaiki kerusakan organ dan strukturnya (Richard


dkk., 2007)
24

d. Penggunaan Skor Blunt Abdominal Trauma Scoring System


(BATSS)

Blunt Abdominal Trauma Scoring System

(BATSS) adalah suatu sistem skoring yang

digunakan untuk mendeteksi pasien yang dicurigai

mengalami cedera organ intra-abdomen akibat

trauma tumpul abdomen. Dimana sistem skoring ini

dapat menghemat waktu, mengurangi penggunaan

CT abdomen
25

yang tidak perlu, paparan radiasi, dan biaya yang

digunakan untuk menegakkan diagnosis dan

penatalaksanaannya. Hal-hal yang dinilai dalam

BATTS antara lain :

1) Nyeri abdomen, nilai skor 2

2) Nyeri tekan abdomen, nilai skor 3

3) Jejas pada dinding dada, nilai skor 1

4) Fraktur pelvis, nilai skor 5

5) Focus Assesment Sonography for Trauma, nilai skor 8

6) Tekanan darah sistolik <100 mmHg, nilai skor 4

7) Denyut Nadi >100 kali/menit, nilai skor 1

Berdasarkan sistem skoring BATSS, pasien

dibagi menjadi 3 kelompok yaitu resiko rendah yaitu

jika jumlah skor BATSS kurang dari 8, resiko

sedang jumlah skor BATSS 8-12, resiko tinggi

jumlah skor BATSS lebih dari

12. Pada kelompok pasien dengan risiko sedang

diperlukan observasi dan pemeriksaan lebih lanjut

untuk menegakkan diagnosis yang tepat. Sistem

skoring yang ada saat ini yaitu Clinical Abdominal

Scoring System (CASS) sangat membantu dalam

mendiagnosis dan menentukan perlunya tindakan


26

laparotomi segera, dan juga meminimalisir

penggunaan pemeriksaan lanjutan pada pasien

trauma tumpul abdomen.

Selain itu mengurangi waktu dan biaya yang

tidak perlu (Afifi, 2008). Hal ini juga didukung oleh

Avini et al, dimana skoring tersebut memberikan

sensitifitas dan spesifisitas yang baik dalam

penentuan laparotomi (Avini, Nejad, Chardoli, &

Movaghar, 2011). Sistem skoring CASS ini

disusun
27

dengan menggunakan sampel dengan

rentang usia yang luas termasuk anak usia 2

tahun pada penelitian Afifi et al. Dimana angka

hipotensi pada rentang usia anak dan dewasa

berbeda. Pemeriksaan fisik atau ultrasound sendiri

tidak dapat menggambarkan kondisi pasien. Tetapi

kombinasi gambaran klinis dan hasil Focus

Assesment with Sonography in Trauma (FAST),

memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang sama

dengan CT scan untuk mendiagnosis cedera organ

intra-abdomen (Shojaee et al, 2014).

Blunt Abdominal Trauma Scoring System

memberikan sistem skor dengan akurasi tinggi dalam

mendiagnosis cedera organ intra-abdomen pada

pasien trauma tumpul abdomen berdasarkan

gambaran klinis seperti riwayat pasien, pemeriksaan

fisik dan FAST. Diagnosis yang ditegakkan

berdasarkan sistem skoring ini sangat mirip dengan

hasil yang didapatkan dari CT scan.

B. Tinjauan Pemenuhan Kebutuhan Rasa Nyaman

1. Definsi Gangguan Rasa Nyaman


28

Gangguan rasa nyaman adalah perasaan

kurang senang, lega dan sempurna dalam dimensi

fisik, psikospiritual, lingkungan dan emosional

(SDKI PPNI, 2016). Potter & Perry (2012) rasa

nyaman merupakan merupakan keadaan

terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yaitu

kebutuhan ketentraman (kepuasan yang dapat

meningkatkan penampilan sehari-hari), kelegaan

(kebutuhan yang telah terpenuhi), dan transenden.


29

2. Definisi Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensori dan

pengalaman emosional yang tidak menyenangkan

berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual

atau potensial yang dirasakan dalam kejadian dimana

terjadi kerusakan jaringan tubuh (Wahyudi &

Abd.Wahid, 2016). Nyeri adalah pengalaman sensori

atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan

jaringan aktual atau fungsional, dengan onset

mendadak atau lambat dan berintensitas ringan

hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan

(SDKI PPNI, 2016).

Berdasarkan definisi para ahli maka dapat

disimpulkan bahwa nyeri adalah perasaan tidak

menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan

tubuh yang terjadi secara mendadak dengan

intensitas dari ringan sampai berat.

3. Fisiologi Nyeri

Terdapat tiga komponen fisiologis dalam

nyeri yaitu resepsi, presepsi, dan relaksi. Stimulus

penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui

serabut saraf perifer. Serabut nyeri memasuki


30

medula spinalis dan menjalani salah satu dari

beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam

masa berwarna abu-abu di medula spinalis. Terdapat

pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf

inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak

mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke

korteks serebral, maka otak menginterpretasi

kualitas nyeri dan memproses informasi tentang

pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki serta

asosiasi kebudayaan dalam upaya mempersiapkan

nyeri (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).


31

Kerusakan Jaringan

Pelepasan zat-zat kimia


seperti :
- Prostaglandin
- Bradikinin
- Serotonin
Konu Dorsalis- Histamine Traktur Thalamus
MS - Zat algesik
Spinotalmis

Medula Spinalis Impuls nyeri Stimulasi Reseptor

Pengalaman Korteks cerebri


subyektif dan Sumber :
Nyeri persepsi Suwiyoga
emosional (2007)

Gambar 2.1. Skema alur nyeri

4. Penyebab Gangguan Rasa Nyaman

a. Gejala penyakit

b. Kurang pengendalian situasional/lingkungan

c. Ketidakadekuatan sumber daya

d. Kurangnya privasi

e. Gangguan stimulus lingkungan

f. Efek samping terapi (misal medikasi, radiasi dan

kemoterapi) (SDKI PPNI, 2016).


32

5. Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis.

Tabel 2.1 Klasifikasi Nyeri


Nyeri Akut Nyeri Kronis
Nyeri akut adalah pengalaman Nyeri kronis adalah pengalaman
sensorik atau emosional yang sensorik atau emosional yang
berkaitan dengan kerusakan jaringan berkaitan dengan kerusakan
aktual atau fungsional, dengan onset jaringan aktual atau fungsional,
mendadak atau lambat dan dengan onset mendadak atau
berintensitas ringan hingga berat lambat dan berintensitas ringan
yang berlangsung kurang dari hingga berat dan konstan, yang
kurang 3 berlangsung lebih dari 3 bulan.
bulan.
Penyebab nyeri kronis antara lain:
a. Kondisi muskuloskeletal
kronis
b. Kerusakan sistem saraf
c. Penekanan saraf
d. Infiltrasi tumor
e. Ketidakseimbangan
Penyebab nyeri akut antara lain :
neuromedulator, dan reseptor
a.Agen pencedera fisiologis (mis:
f. Gangguan imunitas (mis:
inflamasi, iskemia, meoplasma)
neuropati
b.Agen pencedera kimiawi (mis:
terkait HIV, virus vericella-
terbakar, bahan kimia iritan)
zoster)
c.Agen pencedera fisik (mis: abses,
g. Gangguan fungsi metabolic
amputasi, terbakar, terpotong,
h. Riwayat posisi kerja statis
mengangkat berat, prosedur
i. Peningkatan indeks massa
operasi, trauma, latihan fisik
tubuh
berlebihan)
j. Kondisi pasca trauma
k. Tekanan emosional
l. Riwayat penganiayaan (mis:
fisik,
psikologis, seksual)
m. Riwayat penyalahgunaan
obat/zat.
Sumber : (SDKI PPNI, 2016).
33

Keterangan :

Tabel 2.2 Skala Nyeri


0 Tidak ada nyeri (merasa normal).
Nyeri hampir tidak terasa (nyeri sangat ringan). Sebagian besar
1
tidak pernah berfikir tentang rasa sakit, seperti gigitan nyamuk.
Tidak menyenangkan. Nyeri ringan, seperti cubitan ringan pada
2
kulit.
3 Bisa ditoleransi. Nyeri sangat terasa, seperti suntikan oleh dokter.
Menyedihkan. Kuat, nyeri yang dalam, seperti sakit gigi atau rasa
4
sakit dari sengatan lebah.
Sangat menyedihkan. Kuat dalam, nyeri yang menusuk, seperti kaki
5
terkilir.
Intens. Kuat dalam, nyeri yang menusuk begitu kuat sehingga
6 tampak memengaruhi sebagian indra, menyebabkan tidak fokus,
komunikasi terganggu.
Sakit intens. Sama seperti skala 6, rasa sakit benar-benar
mendominasi indra, tidak
7
mampu berkomunikasi dengan baik dan tidak mampu melakukan
perawatan diri.
Benar – benar mengerikan. Nyeri sangat kuat dan sangat
8 mengganggu sampai sering mengalami perubahan perilaku jika
nyeri terjadi.
Menyiksa tak tertahankan. Nyeri sangat kuat, tidak bisa ditoleransi
9
dengan terapi.
Nyeri tak terbayangkan dan tak dapat diungkapkan. Nyeri sangat
10
berat sampai tidak sadarkan diri.
Sumber: (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016)
34

Dikelompokkan menjadi :

Pengelompokan Skala Nyeri


Skala Nyeri Grade Interpretasi
Nyeri bisa ditoleransi dengan
1-3 Nyeri ringan baik/tidak mengganggu
aktivitas
4-6 Nyeri sedang Mengganggu aktivitas fisik.
Tidak mampu melakukan
7-9 Nyeri berat aktivitas
secara mandiri.
Malignan/nyeri sangat hebat
dan tidak
berkurang dengan terapi/obat-
10 Nyeri sangat berat
obatan
pereda nyeri dan tidak dapat
melakukan aktivitas.
Sumber: (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016)

2012).
35

Konsep Asuhan Keperawatan Pemenuhan Rasa Nyaman

Pengkajian Keperawatan

1) Identitas

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat,

agama, bahasa yang dipakai, status

perkawinan, Pendidikan, pekerjaan, asuransi,

golongan darah, no register, tanggal MRS,

diagnose medis
36

2) Keluhan Utama

Pada umumnya keluhan utama pada kasus

fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bias

akut atau kronik tergantung dari lamanya

serangan. Untuk memeperoleh pengkajian

yang lengkap tentang rasa nyeri pasien

digunakan :

a) Provoking incident : apakah ada pristiwa

yang menjadi factor presipitasi nyeri.

b) Quality of pain : seperti apa rasa nyeri yang

dirasakan atau digambarkan pasien. Apakah

seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.

c) Region: radiation, relief : apakah rasa sakit

bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau

menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.

d) Severity (scale) of pain : seberapa jauh rasa

nyeri yang dirasakan pasien, bisa

berdasarkan skala nyeri atau pasien

menerangkan seberapa jauh rasa sakit

mempengaruhi kemampuan fungsinya.

e) Time : berapa lama nyeri berlangsung,

kapan, apakah bertambah buruk pada


37

malam hari atau siang hari.

3) Riwayat Penyakit Sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk

menetukan sebab dari penyakit, yang nantinya

membantu rencana tindakan terhadap pasien.

Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit

tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan

kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana

yang terkena (Ignatavicius, Dona D, 2006).


38

4) Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan

penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa

lama tulang tersebut akan menyambung.

Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker

tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan

fraktur patologis yang sering sulit untuk

menyambung.

5) Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan

penyakit tulang merupakan salah satu factor

predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,

osteoporosis, yang sering terjadi pada beberapa

keturunan, dan kanker tulangyang cendrung

diturunkan secara genetik.

6) Riwayat Psikososial

Merupakan respon emosi pasien terhadap

penyakit yang dideritanya dan peran pasien

dalam keluarga dan masyarakat serta respon

atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari

baik dalam keluarga ataupun masyaakat.

7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan


39

a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat

Pada kasus fraktur akan timbul ketidakuatan

akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan

harus menjalani penatalaksanaan kesehatan

untuk membantu penyembuhan tulangnya.

Selain itu, pengkajian juga meliputi

kebiasaan hidup pasien seperti penggunaan


40

obat steroid yang dapat mengganggu

metabolisme kalsium, dan apakah pasien

berolahraga atau tidak.

b) Pola Nutrisi dan Metabolisme

Pada pasien fraktur harus mengkonsumsi

nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya

seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan

lainnya untuk membantu proses

penyembuhan.

c) Pola Aktivitas

Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak,

maka semua bentuk kegiatan pasien

menjadi berkurang dan kebutuhan pasien

perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal

lain yang perlu dikaji adalah bentuk

aktivitas pasien terutama pekerjaan pasien.

Karena ada beberapa bentuk pekerjaan

beresiko untuk terjadinya fraktur.

d) Pola Hubungan dan Peran

Pasien akan kehilangan peran dalam

keluarga dan dalam masyarakat. Karena

pasien harus menjalani rawat inap.


41

e) Pola Persepsi dan Konsep Diri

Dampak yang timbul pada pasien fraktur

yaitu timbul ketidakuatan akan kecacatan

akibat frakturnya, rasa cemas, rasa

ketidakmampuan atau melakukan aktivitas

secara optimal dan pandangan terhadap

dirinya salah.
42

f) Pola Sensori dan kognitif

Pada pasien fraktur daya rabanya berkurang

terutama pada bagian distal fraktur, sedang

pada indra yang lain tidak timbul

gangguan.begitu juga pada kognitifnya

tidak mengalami gangguan.

g) Pola Tata Nilai dan Keyakinan

Untuk pasien fraktur tidak dapat

melaksanakan kebutuhan beribadah dengan

baik terutama frekuensi dan konsentrasi.

Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan

keterbataan gerak pasien.

6. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang

menjelaskan status masalah kesehatan aktual atau

potensial. Tujuannya adalah mengidentifikasi

masalah aktual berdasarkan respon klien terhadap

masalah. Manfaat diagnosa keperawatan adalah

sebagai pedoman pemberian asuhan keperawatan

dan menggambarkan suatu masalah kesehatan dan

penyebab adanya masalah. Menurut Standar

Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI) (2018)


43

masalah keperawatan yang muncul pada klien

trauma tumpul abdomen adalah :

a. Nyeri akut

1) Definisi

Pengalaman sensorik atau emosional yang

berkaitan dengan kerusakan jaringan actual

atau fungsional, dengan onset mendadak atau

lambat berintensitas ringan hingga berat

berlangsung kurang dari 3 bulan.

2) Penyebab

a) Agen pencedera fisiologis (mis. Inflamasi, iskemia,


neoplasma)
44

b) Agen pencedera kimiawi (mis. Terbakar, bahan kimia


iritan)

c) Agen pencedera fisik (mis. Abses,

amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat

berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik

berlebihan).

a) Tampak meringis

b) Bersikap protektif (mis. Waspada, posisi menghindari


nyeri)

c) Gelisah

d) Frekuensi nadi meningkat

e) Sulit tidur

3) -

Objektif

a) Tekanan darah meningkat

b) Pola napas berubah

c) Nafsu makan berubah

d) Proses pikir terganggu

e) Menarik diri

f) Berfokus pada diri sendiri

g) Diaphoresis
45

4) Kondisi kinis terkait

a) Kondisi pembedahan

b) Cedera traumatis

c) Infeksi

d) Sindrom koroner akut

e) Glaukoma

7. Rencana Keperawatan

Rencana keperawatan pemenuhan kebutuhan

aktivitas menurut SDKI (2018) adalah :


46

Rencana Keperawatan Kebutuhan Rasa Nyaman


Kode Rencana Keperawatan
SDKI/Diagnosa Luaran Intervensi
Keperawatan
Nyeri akut (D.0077) Setelah dilakukan tindakan  Manajemen nyeri (1.08238)
selama 3x24 jam Observasi
diharapkan tingkat nyeri - Identifikasi lokasi,
menurun dengan kriteria karakteristik, durasi,
hasil sebagai berikut : frekuensi, kualitas,
- Keluhan nyeri menurun intensitas nyeri
- Meringis menurun - Identifikasi skala nyeri
- Sikap protektif menurun - Identifikasi respon
- Gelisah menurun nyeri non verbal
- Kesulitan tidur menurun - Identifikasi faktor yang
- Frekuensi nadi normal memperberat dan
memperingan nyeri
Terapeutik
- Berikan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
nyeri (mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain
Edukasi
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi dalam pemberian
analgetik jika perlu

Sumber : SDKI (2018)

DAFTAR PUSTAKA

Abbasi, S. H. et al. (2018) ‘Ethnic Differences in the Risk Factors and Severity of
Coronary Artery Disease: a Patient-Based Study in Iran’, Journal of
Racial and Ethnic Health Disparities. Journal of Racial and Ethnic Health
Disparities, 5(3), pp. 623–631. doi: 10.1007/s40615-017-0408-3.
Adelgais, K.M, Kupperman, N., Kooistra, J., Garcia, M., Monroe, D. J., Mahajan,
P., Menaker, J., Ehrlich, P., Atabaki, S., Page, K., Kwok, M., Holmes, J. F.
2014. Accuracy of the abdominal examination for identifiying children with
blunt intra-abdominal injuries. The Journal of Pediatrics, 165(6), 1230-1235
Andri & Wahid. 2016. Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. Surabaya : Mitra.
Wacana Media
Andrew B Peitzman, M. R. 2014. The Trauma Manual. diterjemahkan Jakarta:
Spiral Manual
Aini, L., Reskita, R. 2018. Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap
Penurunan Nyeri pada Pasien Fraktur. Jurnal Kesehatan Volume 9, Nomor 2,
Agustus 2018 ISSN 2086-7751 (Print), ISSN 2548-5695 (Online)
http://ejurnal.poltekkes-tjk.ac.id/index.php/JK
Andarmoyo. 2017. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Jogjakarta: Ar-Ruzz.
Media
Asshiddiqi, Mh. 2014. Hubungan Antara Skala Ruptur Lien Pada Trauma Tumpul
Abdomen Yang Memerlukan Pembedahan Dan Yang Tidak Memerlukan
Pembedahan Di Rsup Dr Kariadi Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro
Boutros SM, Nassef MA, Ghany AF. 2015. Blunt abdominal trauma: The role of
focused abdominal sonography in assessment of organ injury and reducing
the need for CT. Alexandria Journal of Medicine. 2015; 52: 35-41.
Dinkes Sultra. 2018. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2017.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Donsu, Jenita Doli. 2016. Metodologi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta :
Pustaka Baru
Haswita., dan Reni Sulistyowati. 2017. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta
Timur : CV.Trans Info Media.
Indah J Umboh, H. B. 2016. Hubungan Penatalaksanaan Operatif Trauma
Abdomen dan Kejadian Laparatomi Negatif Di RSUP Prof. Dr. Kandou
Manado. Jurnal Biomedik , 55
LeMone, P, & Burke. 2008. Medical surgical nursing : Critical thinking in client
care.( 4th ed). Pearson Prentice Hall : New Jersey
Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan. Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Ntundu,S.H., Herman, A.M., Kishe, A., Babu, H., Jahanpour,O.F., Msuya,D.,
Chugulu, S.G., Chilonga, K. 2019. Patterns and outcomes of patients with
abdominal trauma on operative management from northern Tanzania: a
prospective single centre observational study. BMC Surgery (2019) 19:69
https://doi.org/10.1186/s12893-019-0530-8
Potter & Perry. 2012. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,. Proses, dan
Praktik. 4th ed. EGC: Jakarta.
Radwan,M.M., Zidan,F.M.A. 2006. Focused Assessment Sonography Trauma
(FAST) and CT scan in blunt abdominal trauma: surgeon‟s perspective.
African Health Sciences, 6(3): 187- 190.
Rekam Medis RS Bahteramas. 2019. Kendari. RSU Bahteramas
Riskesdas. 2018. Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia. Jakarta : Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah (RSUP). 2015. Bangli. RSUP Sanglah
Salomone JA, Salomone JP. Blunt abdominal trauma. Available from: URL: http:
//emedicine.medscape. com/article/821995-overview, 2010
Shinta, DWB. 2020. Karakteristik Pasien Trauma Abdomen Di Rsup Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar Periode Januari-Desember 2018. Program Studi
Pendidikan Dokter Universitas Hasanuddin
Suwiyoga, K. Januari 2007. Kanker Serviks: Penyakit Keganasan Fatal yang
dapat di Cegah. Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Volume 31.
Nomor 1
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta : DPP PPNI
. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria
Hasil Keperawatan. Jakarta : DPP PPNI
.2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan
Tindakan Keperawatan. Jakarta : DPP PPNI
Wahyudi, Andri Setiya dan Abd. Wahid. 2016. Buku Ajar Ilmu Keperawatan
Dasar. Jakarta: Mitra Wacana Media
Wiargitha, I. K. 2017. Prediktor Klinis Lesi Intaadomen Pada Penderita
Trauma Tumpul Abdomen Yang Dirawat Konservatif Di Rumah
Sakit Sanglah Denpasar. Jurnal Kesehatan, 13
WHO. 2018. Global status report on road safety 2018. Diakses pada
tanggal 10 Mei 2021 dari
https://www.who.int/publications/i/item/9789241565684
Yunus, F. 2014. The Asthma Control Test, A new tool to improve the
quality of asthma management. Surakarta: Indah Comp; 361
Zakiyah, Ana. 2015. Nyeri: Konsep dan Penatalaksanaan dalam
Praktik.
Keperawatan Berbasis Bukti. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai