Anda di halaman 1dari 10

ARTI DARI NAMANYA

Karya: Najwa Cahya Camila

Pagi ini aku berjalan menyusuri rimbunnya pohon jati, di temani rintik-rintik hujan yang membuat
badan tampak menggigil walau sudah memakai jaket setebal bulu domba. Hari ini aku sudah
bertekad untuk menemuinya. Ya, menemui gadis cupu yang dulu mengisi kisah bangku SMA-
ku. enam tahun mungkin berlalu begitu cepat bak ombak yang menerjang pesisir pantai. Tapi
bagiku, walau waktu telah berlalu bertahun-tahun lamanya pun, kisahnya tak dapat hilang dari
ingatanku.

Setelah lima belas menit berjalan, aku berhenti di sebuah sekolah tua. Mungkin bagi para orang
kaya yang hidup di tengah kota, bangunan sekolah itu sudah tak berharga, dijual pun boro-boro
tak akan ada yang beli. Pandangan pertamaku langsung tertuju ke segerombolan anak yang
berlarian di halaman sekolah itu sambil menenteng buku lusuh di tangan mereka. Aku
menghela nafas ringan, “ sudah kuduga, ditegur berkali-kalipun tetap tak didengar.”

“Kak Ratih, ayo sini main sama kami.” salah satu dari gerombolan anak kecil itu menyadari
kehadiranku dan langsung berlari kearahku diikuti semua temannya yang terlambat
menyadarinya.

“Kalian ini gimana sih, kan sudah kubilang jangan berlarian sambil membawa buku. Nanti kalau
bukunya jatuh dan kotor gimana?” lucu memang masih dipanggil kakak diusiaku yang sudah
berkepala dua. Atau jangan-jangan karena tinggi badanku yang tak bertambah-tambah ini. Cih.

“ah, maaf kak. Soalnya aku sayang banget sama buku ini, berkat buku ini aku sadar kalau dunia
itu luuuuaaaassss banget.” Ucap salah satu anak laki-laki bernama Dante. Yah, dia memang
anak paling kolot diantara semua anak disini. Tapi disisi lain, dia adalah anak paling jujur yang
pernah kutemui. Sangking jujurnya aku sampai tak bisa berkata-kata saat dia mengatakan
suatu hal secara blak-blakan.

Mendengar jawaban jujur dari anak polos ini, aku tetap tersenyum sambil membatin
“bagaimana mungkin aku memarahi anak yang menyukai ilmu.” Yah, aku berjanji pada diriku
sendiri kalau Tuhan memberiku rezeki lebih akan kubelikan buku-buku yang banyak.

Aku mengelus kepala mereka semua, “gini, hari ini kakak mau bertemu kak claudia, apa kalian
mau mengantar kakak?” tanyaku ragu, sebab biasanya ini memang jam bermain mereka
sebelum akhirnya jam pelajaran mereka dimulai.

Kupikir mereka akan menolak tapi ternyata malah sebaliknya, mereka langsung bersemangat
sambil mengandeng kedua tanganku, “ayo kak, kami juga ingin menemuinya, kalau kakak tadi
tak mengajak kami tak bisa menemuinya sendiri.”

Mereka mungkin hanya 6 anak terbelakang yang bersekolah di sekolah usang dengan alat
seadanya, tapi dihatiku mereka semua adalah wujud dari mimpi seseorang. Mereka adalah
calon-calon orang hebat dimasa depan. Walau hanya 6 anak yang masih belum pandai
berhitung, semangat mereka tak pernah padam walau hanya karena ketidakpahaman itu
sendiri. Malah, dengan ketidakpahaman itu mereka menjadi giat dan sungguh-sungguh.
Seraya mengikuti mereka berjalan menuju taman belakang sekolah, aku mendongak menatap
langit pagi yang lama-lama memberi kehangatan.

“andai dulu aku lebih memahamimu, mungkin kini keadaannya sedikit lebih baik”

Sesampainya di halaman belakang sekolah, mataku langsung bergetar. Benar, sudah 6 tahun
berlalu, tapi lihatlah dia, senyuman itu tak pernah berubah, melihatnya berada di tengah-tengah
bunga aster yang sengaja ditanam anak-anak disini membuat penampilannya tampak cantik.
Gadis itu tetaplah gadis yang dulu pernah menjadi teman, guru, motivator, dan bahkan alasan
mengapa aku kini berkerja sebagai pelukis.

Tanpa sadar air mataku langsung mengalir deras, kerinduan ini akhirnya terbayar. Anak-anak
yang berada di sampingku hanya bisa terdiam sambil sedikit menyeka air mata yang juga
keluar di mata mereka. Mereka ikut menangis karena ini adalah sebuah reuni yang indah.
Pertemuan ini sangatlah indah. Janji-janji dimasa lalu lama-kelamaan terbayar berkat usaha
yang selama ini ku curahkan.

Aku berjalan mendekatinya dan mendekapnya.

“Kartini itu bukan hanya nama, kini aku paham ucapanmu” ucapan yang dulu selalu kau
ucapkan saat kami mengerjakan tugas sekolah, ucapan yang selalu membuatku sebal sebab
harus mendengarnya setiap hari, ucapan yang membuatku sadar betapa bodohnya aku selama
ini.....

uara burung berkicauan menemani langkahku menuju sekolah. Jarak rumahku dan sekolah tak
bisa dibilang dekat maupun jauh. Aku berangkat dengan jalan kaki karena uang yang kupunya
hanya cukup untuk membeli roti di koperasi sekolah. Maklum, namanya juga anak beasiswa.
Cuma punya akal tapi punya uang. Sesampainya di kelas, gadis itu langsung melambaikan
tangan sambil berkata “selamat pagi, Ratih.” Nama gadis itu adalah Claudia. Dia juga anak
beasiswa sama sepertiku. Tidak, kami cuma memiliki kesamaan di bagian “anak beasiswa”.
Ada satu perbedaan jelas yang membuatku dan Claudia mendapat perlakuan berbeda di kelas.
Disamping dia adalah anak beasiswa, dia juga anak berkebutuhan khusus. Dia tuna rungu.
Entahlah, awalnya aku tak paham kenapa sekolah ini mau menerima gadis itu alih-alih
merekomendasikannya ke SLB. Tapi setelah dua minggu berada di bangku yang sama
dengannya, aku paham alasannya. Walau dia anak berkebutuhan khusus, standard IQ-nya
setara dengan anak normal lainnya, lebih tinggi malah. Walau dia tak mendapat materi secara
maksimal di kelas karena tak dapat mendengar, setiap ulangan yang dia lewati disini hasilnya
selalu sempurna.

“selamat pagi juga Claudia.” jawabku ramah seraya meletakan tas di bangku. Aku paham dia
tak dapat medengarku, tapi dia pasti menilainya lewat wajah ramahku. Andai kata tadi aku
menjawab “apaan sih lo, menyebelin banget” sambil memasang wajah ramah, dia pasti tetap
senang. Naif sekali.

Setelah doa dan ucapan sapaan dari guru, pelajaran seperti biasanya dimulai. Entah kenapa
pelajaran hari ini tentang sejarah semua. Menyebalkan. Bukannya aku tak mau memahami
perjuangan para pahlawan yang membuat negri ini merdeka, hanya saja, pelajaran sejarah dari
sekolah dasar sampai sekolah menengah atas sama saja. Tentang pahlawan ini itu dan perang
apa saja yang mereka pimpin.

Saat mengerjakan tugas yang diberikan guru, aku meletakan kepalaku di tangan dan menoleh
ke arah gadis itu. Dia terlihat antusias. Berbanding terbalik dengan wajahku yang tampak lesu,
wajah gadis itu berbinar-binar. Seakan-akan semangat para pahlawan mengalir ke tubuhnya.
Lucu sekali.

Aku menulis di secarik kertas dan memberikannya ke Claudia.

“pahlawan apa yang akan kau pilih untuk tema tugas kali ini?”

Dia langsung berbisik kepadaku lirih, “Kartini.

” Hah, itu lagi. Tidak-tidak, dari awal aku sudah menduganya. Aku hanya kaget saat
memastikannya. Gadis itu benar-benar terobsesi dengan seorang pahlawan wanita yang sering
muncul di buku sejarah. Padahal 3 hari yang lalu dia sudah memakai tema Kartini, masak hari
ini juga mengambil tema yang sama. Apa jangan-jangan karena cuma Kartini saja nama
pahlawan yang dia tahu?

Aku kembali menulis “Hey, apa jangan-jangan cuma satu pahlawan yang kau tahu?”

Dia berbisik “maaf, kelihatannya kau merasa jengkel, ya. Tapi aku memilih pahlawan ini karena
dia yang selama ini menjadi motivatorku.”

Belum sempat aku menulis kalimat “aku jadi tambah nggak paham”, dia kembali berbisik, “nanti
kalau tugas ini selesai, cobalah baca punyaku.”

Aku menghela nafas pelan, biarlah. Memang kita cuma sebatas teman sebangku. Tak lebih dan
tak kurang sebab ada banyak hal yang membuatku tak paham akan jalan pikirnya.

Setelah mengerjakan tugas hari ini, claudia langsung menepati janjinya. “bacalah, kau pasti
akan mengerti kenapa aku sangat mengidolakannya.”

Tanpa pikir panjang, aku langsung membacanya. Isinya memang mayoritas lebih cenderung ke
riwayat hidupnya. Tapi yang membuatku sedikit tak mengerti adalah kalimat “Kartini bukan
hanyalah sebuah nama”. Kalimat itu bukan hanya tertulis sekali, melainkan berkali-kali sebagai
awal setiap paragraf. Tunggu, kartini kan adalah sebuah nama seorang pahlawan yang
berjuang untuk emansipasi wanita, jadi harusnya kan benar, kenapa malah bukan?

Aku cuma bisa menggaruk-garuk rambutku sambil menyerahkan kembali lembaran kertas itu.

Claudia terlihat kecewa, “ratih nggak paham ya ternyata.”


Gimana caranya aku paham kalau kau itu selalu membuatku bingung tanpa menjelaskannya
sampai selesai. Aku memutuskan untuk pergi ke koperasi, meninggalkannya di kelas. Jam
istirahat hanya 15 menit sebab sekolah ini menekankan semua muridnya untuk fokus belajar.
Butuh sekitar 7 menit sampai akhirnya aku mendapat roti yang kuinginkan dan kembali ke
kelas.

“hey kau cacat, tolong kerjain tugasku dong” ada sekumpulan anak laki-laki mendekat ke arah
Claudia, mereka berjumlah 3 orang. Sudah menjadi kebiasaan orang yang kuat itu memerintah
yang lemah. Hukum alam katanya.

Aku tahu mereka semua anak kelas ini, cuma aku nggak ingat siapa nama mereka bertiga.
Bukannya tak bisa bergaul, aku cuma malas saja bergaul dengan anak berkepribadian sampah
seperti itu. Aku memandang claudia dari pintu kelas, dia terlihat diam saja.

“maaf teman-teman, aku nggak bisa ngerjain tugas. Jika ada yang nggak paham, aku bisa
bantu”. Claudia sadar kalau anak-anak itu minta dikerjakan tugasnya, karena memang sudah
dari dulu ketiga anak itu naik kelas sebab campur tangannya.

Tunggu, bukannya baru saja dia menolak? Aku tersadar, ini pertama kalinya Claudia menolak
mengerjakan tugas mereka. Apa sifat naifnya sudah berkurang. Aneh, dia tidak naif di waktu
yang salah.

“APA?! APA SEKARANG KAU SOMBONG KARENA TERLALU PINTAR HAH?!” salah satu
dari ketiga anak itu mulai memukul meja di depan Claudia. Seperti yang kupikirkan sekarang,
gadis itu tidak naif di waktu yang salah.

“hey, aku tanya sekali lagi baik-baik, apa kau mau mengerjakan tugasku?!” anak lain yang lebih
kurus memegang pundak Claudia dengan tatapan intimidasi. Seolah berkata, “kalau kau
menolak, mampus kau”

Claudia hanya bisa terdiam, menurut instingku ini mungkin keadaan ketika dia tak paham apa
yang lawan bicaranya katakan atau sebab dia paham tapi sengaja tak menjawabnya. Aku
masih menontonya di pintu kelas sambil memakan roti yang tadi kubeli. Aku menatap ke
penjuru kelas, sebenarnya bukan hanya mereka berempat yang berada di kelas, melainkan
semua anak sudah berada di kelas sejak tadi. Mereka membiarkan pembullyan ini terjadi sebab
2 faktor, antara ingin membantu tapi tak punya kekuatan atau memang sejak awal mereka tak
peduli.

Semua anak sudah tau apa yang akan ketiga pembuat onar itu lakukan, mereka bertiga
menarik tangan Claudia dan menghajar gadis itu habis-habisan. Aku menutup mataku, aku
sendiri tak berharap bisa membantu Claudia dengan tenagaku sendiri. Melapor ke ruang guru
adalah jalan yang paling bijak.

“HEY, KAU PIKIR BISA SENANG KARENA TERLAHIR DALAM KEADAAN PINTAR HAH?!
KAMI SEMUA IRI DENGANMU.” Tepat sebelum aku menjauh untuk melapor, anak gendut itu
berteriak dengan lantang tanpa beban apapun.
Pikiranku langsung kalut, dengan cepat aku kembali ke kelas dan melayangkan tinju ke wajah
anak itu.

“hey, tidak ada manusia di dunia ini yang terlahir pintar, kau bodoh sebab kau tak berusaha”.
Baru pertama kali ini aku semarah ini. Dia mengatakan hal paling tak masuk akal yang pernah
kudengar. Selama ini aku diam bukan karena aku merasa pintar dan tak membutuhkan
siapapun, aku selama ini hanya menahan diri dari banyaknya omong kosong orang yang tak tau
betapa sulitnya jalan yang kutempuh.

Semenit kemudian, guru-guru langsung datang dan membawa ketiga berandal itu. Aku
menatap Claudia sendu, kutawari tanganku agar dia bisa berdiri dan duduk di bangkunya. Dia
masih terdiam. Luka di wajah dan kakinya terbilang parah. Hebatnya, guru-guru itu hanya diam
saja seolah tak melihat adanya bekas kekerasan di sini.

Pelajaran pun berlanjut sampai waktunya selesai.

“anu, Ratih. Apa kita bisa bicara sebentar.” saat itu kelas telah selesai, Claudia sudah berkemas
pulang dan tiba-tiba meminta waktu berbicara denganku.

“aku sudah nggak mau ikut campur untuk urusan tadi, aku tadi memukulnya hanya untuk
menenangkan pikiranku sendiri. Pulangkah dan obati saja lukamu.” Jawabku dengan bahasa
isyarat tangan. Bisa jadi masa besar kalau sampai orang tua Claudia tau anaknya babak belur
dan ada aku di sampingnya. Orang tua jaman sekarang suka menyimpulkan sesuatu tanpa pikir
panjang.

“kumohon, mungkin jika sekarang tidak kulakukan, aku akan menyesal seumur hidupku. Beri
aku waktu 10 menit, itu sudah cukup.” Raut wajahnya pucat seakan-akan ada rentenir yang
mau menagih hutang.

“yasudahlah, apa maumu.” 10 menit itu waktu yang kubutuhkan untuk sampai di halte pertama.
Andai aku merelakannya untuk sesuatu yang tidak penting, aku akan pindah tempat duduk.

Claudia mengambil sebuah buku kecil yang ada di tas bagian depannya. “ambilah, dan jika ada
waktu tolong dibaca.” Buku yang dia berikan lebih mirip seperti buku diary daripada buku nota.
Kekanak-kanakan.

Aku mengambilnya dengan santai, kalau aku bertanya alasannya, mungkin waktu 10 menit bisa
menjadi setengah jam.

“Ratih, kuharap suatu saat nanti kau bisa menjadi pelukis terkenal.”

Pupilku sontak bergetar. Tunggu, darimana dia tau itu? Darimana dia tau kalau menggambar
adalah hobiku? Ibuku sendiri bahkan tak tau kalau aku suka menggambar?

“aku tuli bukan buta. Setiap kali ada ujian matematika, kau sengaja menghitung di kertas koran
dengan tulisan kecil agar masih tersisa banyak tempat untuk menggambar. Aku menilai ini
sebab bukan gambaran biasa yang kau buat, tapi gambaran yang bahkan menurutku dapat
mengguncang dunia”. Sama seperti biasanya, wajah gadis itu bersinar seolah-olah bisa
menerawang masa depanku.

“huh, kupikir kau akan mengatakan hal penting, ternyata cuma bualan yang sering diucapkan
agar anak kecil bahagia.” Aku beranjak pergi meninggalkan gadis itu yang tak henti-henti
memanggil namaku.

Jujur, kata-katanya membuatku bahagia, baru kali ini ada seseorang yang menerima bakatku
apa adanya. Tapi dia lupa hukum alam yang mengikat setiap anak kepada orang tuanya. Aku
hanyalah anak SMA yang hidup bergantung pada ibuku. Sejak kecil, ibu sama sekali tak peduli
tentang apa saja yang kuraih di sekolah. Sebab, dia selalu berkata, “percuma sekolah dengan
sungguh-sungguh kalau pada akhirnya harus mengurus rumah”. Tak salah memang, tapi juga
tak benar, setiap anak punya cita-citanya masing-masing. Alasanku untuk berhenti mengejar
mimpiku adalah aku tak punya cukup biaya yang bisa mendukungku untuk mewujudkan
mimpiku.

Siang hari itu, adalah siang hari terakhir pertemuanku dengan Claudia. Tak disangka, Tuhan
punya sebuah rencana yang tak terpikir oleh hambanya. Sebab , tepat setelah gadis itu keluar
sekolah menunggu jemputan, sebuah truk bermuatan semen lepas kendali dan menabraknya.
Entah apa yang dipikirkannya waktu itu sampai tak memperhatikan sekeliling.

Keesokan harinya, semua anak pergi mengunjungi makamnya, kecuali aku. Aku memilih tetap
berada di rumah sambil memandang buku yang dia berikan. Tak ada yang kulakukan selain
memandang cover depan buku tersebut.

Baru setelah 2 jam termenung, aku memberanikan diri membukanya. Pikirku buku itu berisi
segala keluh kesahnya sehari-hari, tapi ternyata salah, di halaman pertama buku itu berisi
semua impian gadis itu.

“aku ingin suatu saat mendirikan sekolah untuk anak-anak kurang mampu, aku ingin suatu saat
nanti bisa pergi ke Jepara, aku ingin menjadi orang hebat yang dapat memotivasi semua orang
akan pentingnya memperjuangkan sebuah mimpi.”

Aku cukup tercengang melihat semua impian mulia Claudia. Tapi dari semua impiannya, hanya
ada satu kalimat yang sudah di oret-oret. Setelah kuterawang menggunakan senter, kalimat
yang harusnya tertulis disitu adalah “aku ingin sembuh.

” Setelah berlembar-lembar halaman yang berisi semua impiannya, aku akhirnya menemukan
topik yang berbeda. Di pertengahan buku, potongan kliping memenuhi penjuru halaman.
Semua kliping memiliki tema yang sama, Kartini.

Aneh, isi buku ini berubah 180 derajat dalam hitungan detik. Yang tadinya berisi semua
harapan dan mimpi, berubah menjadi perjuangan dan air mata. Walau aku membaca setiap
klipingan tersebut, aku tak merasakan apapun di dalam hatiku. Semua hal yang ada di klipingan
tersebut adalah hal yang dulu sudah kubaca di bangku sekolah dasar. Kenapa dia
menyimpannya, bukankah ini sudah seperti ilmu dasar yang melekat di pelajaran sejarah.
RA. Kartini, habis gelap terbitlah terang, pahlawan emansipasi wanita, semua orang tau itu.
“oke, sepertinya cukup sampai disini dulu membacanya. Rasanya seperti sedang membaca
buku penggemar berat artis papan atas saja.” Aku memutuskan untuk menyudahi buku itu. Tak
ada satupun isinya yang dapat kumengerti. Kekesalanku hanya semakin bertambah saja setiap
ada kalimat “Kartini itu bukan hanya nama.”

Sedetik setelah aku menutup buku, sebuah kertas kecil terjatuh bak daun yang telah gugur. Aku
terkejut dan beberapa detik kemudian baru mengambilnya.

“i...ini... bohongkan”.

Baru saja membaca judul yang tertulis di kertas tersebut. Badanku langsung roboh. Rasa
terkejut, marah, sedih, menyesal bersatu menjadi sebuah guncangan hebat di kepalaku.
Tertulis dengan jelas disana, “teruntuk sahabat sekaligus teman pertamaku, Ratih”.

Bukan karena kalimat sahabat yang membuatku terkejut bukan kepalang, melainkan kata
“teman pertama” lah yang membuat pikiranku kosong.

Dengan perasaan yang masih bercampur aduk, aku membaca dengan seksama isi surat
tersebut, sampai tiba pada akhir surat, air mataku sudah mengalir tanpa bisa kukendalikan.

Setelah selesai membaca surat tersebut, aku langsung berlari keluar rumah dengan kecepatan
penuh. Aku sama sekali tak menghiraukan suara ibuku yang berteriak dari dapur, maupun
suara klakson motor yang dibunyikan keras saat aku menerobos lampu merah di zebra cross.

Aku pergi menemuinya... Jalan setapak terasa berat sampai akhirnya ada laki-laki berbadan
tinggi menghentikan langkahku.

“hey, tenanglah. Wajahmu pucat banget. Apa kau habis marathon keliling dunia.” Ah, itu adalah
kalimat yang laki-laki itu ucapkan tepat sebelum akhirnya aku tumbang di bahunya. °

“Claudia, kau tau sangking bodohnya aku, aku memerlukan waktu hampir 6 tahun untuk
mengetahui makna satu kalimat saja.”

Itu benar, setelah mengunjungi makamnya hari itu, aku memutuskan melakukan semua hal
yang bisa membuat mimpiku menjadi kenyataan. Sulit memang sebab semua dimulai dari nol.
Menjadi pelukis itu bukan hanya butuh bakat, tapi memang yang terpenting adalah tekad. Jatuh
bangunnya karirku sudah menjadi hal biasa yang sering kuhadapi. Tapi seperti katanya, aku tak
akan menyerah...

Disamping mewujudkan mimpiku, aku juga berusaha mewujudkan mimpi gadis itu. Aku
membeli tanah sebuah sekolah terbengkalang untuk direnovasi menjadi sekolah bagi anak
kurang mampu. Mungkin sampai sekarang aku masih belum merenovasi total bangunannya
karena biayanya yang kurang mencukupi. Walaupun begitu aku yakin satu hal, andai Claudia
bisa melihat senyum keenam anak-anak kecil ini, dia pasti menangis bahagia.
Angin akhirnya berhembus kencang menerpa kami bertujuh, sepertinya hari ini pun akan turun
hujan. Aku akhiri disini.

“Anak-anak, ayo kita kembali ke kelas saja. Sepertinya kak Claudia butuh banyak istirahat hari
ini”. Hampir setengah jam aku menahan mereka disini, mampus sudah.

“baik kak, ayo teman-teman.” Seperti biasa, Dante yang memimpin mereka. Dalam hitungan
menit, hanya aku yang tersisa di samping kuburan Claudia.

“Claudia, kau selama hidupmu pasti sudah berjuang habis-habisan. Menantang dunia sendirian,
mengalahkan berbagai penyakit yang datang silih berganti dan bahkan berusaha terlihat
bahagia disamping orang-orang yang kau kenal.”

“kau tau, bulan lalu aku pergi ke Jepara. Kini aku paham kenapa dulu kau sangat ingin kesana,
ketempat motivatormu berjuang untuk mewujudkan impiannya. Buku sejarah sama sekali tak
bisa diandalkan sebab banyak hal-hal lainnya tentang Kartini yang tak dimuat didalamnya.
Kapan-kapan aku akan menjelaskannya kepadamu, aku harus segera pulang sekarang, ada
lukisan yang belum kuselesaikan.” Aku memetik salah satu bunga aster berwarna kuning dan
meletakannya di depan batu nisan Claudia.

“Jadi lukisan terbaikmu itu belum selesai juga.” Terdengar suara pria dari arah belakangku. Aku
sontak berbalik, dia disini.

Senyum diwajahku kembali mengembang, aku beranjak dari tempat Claudia dan
menghampirinya.

“Sebuah karya terbaik memerlukan waktu yang panjang.” Pria ini menyebalkan sekali, padahal
sudah lama tak bertemu tapi hal pertama yang dia tanyakan adalah lukisan, bukan kabarku.

“hahaha... kau terlihat sangat berbeda semenjak terakhir kita bertemu, dulu yang kau lakukan
cuma bisa menangis sambil terus menyalahkan dirimu sendiri. Kini kau terlihat lebih ambisius
dan bersemangat. Aku suka.” Pria itu terlihat santai saja sambil menikmati keadaan.

“karenamu, anak-anak terlambat mengikuti jam pelajaran. Sebagai guru mereka semua, aku
harus menghukum pembuat onar yang membuat mereka lupa waktu”.

“Hey, asal kau tau saja ya, ini juga salahmu karena tak pernah mengajak mereka kesini. Andai
aku tak kemari hari ini, tak ada siapapun yang akan kesini”.

Angin kembali berhembus kencang, menyisakan keheningan diantara kami berdua.

“Kau salah, setiap hari aku kemari. Setiap hari aku menceritakan kabar anak-anak untuknya.
Setiap hari aku juga membisikan harapan-harapan yang dulu dia sering ocehkan”. Pria itu
mendekatkan wajahnya, menatapku dalam.
“Kau tau, terakhir kali kita bertemu adalah saat kau berencana memindahkan makam Claudia
ke tempat ini. Semenjak saat itu, aku tak pernah berhenti datang kemari apapun keadaannya.”

Air mataku kembali mengalir, pria ini lah yang selalu mendukungku selama ini. Walau jarang
bertemu, dia lah satu-satunya orang yang membantuku wujudkan impian Claudia. Walau
pertemuan pertama kami tak terlihat baik karena aku pingsan di bahunya, berkat pertemuan itu
kami terus terhubung.

“Kenapa malah menangis, aduh aku salah bicara, ya.” Wajahnya langsung cemas.

Aku menyeka air mataku dan menatapnya semu, “makasih, andai Claudia ada disini, dia pasti
akan memarahimu karena membuatku menangis.”

Senyum pria itu perlahan mengembang, “baiklah, jadi aku katakan sekarang, hukumanmu
adalah harus mengajari anak-anak menggambar. Siapa tahu, kita menemukan calon pelukis
hebat sepertimu disini.”

Tawaku pecah, aneh rasanya tertawa setelah menangis seperti ini, “baiklah. Karena aku jadi
harus menunda lukisan terbaikku, kau harus meng-gajiku.”

“Eh, kenapa?! Bukannya pada akhirnya lukisan itu akan diletakan di sekolah ini, kenapa masih
perhitungan banget. Sifat mata duitanmu nggak berubah.”

“yah, gimana ya, soalnya lukisan itu kan akan kuberikan pada Claudia, bukan padamu, jadi kau
sudah membuatnya harus menunggu sedikit lebih lama.”

Lukisan terhebat yang akan kubuat, aku persembahkan untuk gadis itu. Sama seperti
perkataanya waktu itu, mungkin lukisanku dapat menguncang dunia. Aku jadi tak sabar untuk
memajangnya di sekolah ini.

“Baiklah, nanti aku akan menraktirmu makan malam, gimana?!”

“Setuju, ayo ke kelas sekarang.”

Akhirnya hujan turun dengan melodi yang membawanya turun ke tanah ini, membasahi
semuanya termasuk perasaan yang muncul di hatiku. Kami berjalan bersama menuju ke tempat
yang ingin kami tuju.

“Ngomong-ngomong, 6 bulan lagi aku akan pergi ke kota untuk mendapat lisensi resmi untuk
sekolah ini. Apa kau sudah memikirkan nama untuk sekolah ini?”

“Kartini, sekolah dasar Kartini.” bukan aku yang memutuskan nama itu, aku hanya melakukan
apa yang Claudia inginkan. Kupikir nama itu juga yang akan dia ucapkan.
“Sudah kuduga, baiklah. Jadi kau sudah mengerti apa yang sering adikku katakannya, ya.
Boleh kau katakan padaku juga?”

“Tentu, aku sangat mengerti.” pancaran mataku membara, kuambil secarik kertas yang ada di
saku kemejaku dan membacakannya ke pria itu, Calid, kakak kandung Claudia.

“Kartini bukan hanya sebuah nama, tapi adalah sebuah tekad seorang wanita yang menantang
dunia. Banyak wanita yang ingin menjadi seseorang yang hebat, tapi sedikit dari mereka
berhenti karena tekad mereka masih lemah. Kesetaraan gender. Dulu kartini mekakukan segala
cara agar semua keinginannya terdengar dunia lewat surat-surat yang akhirnya menjadi buku
“Dari Gelap Terbitlah Terang”, tak berhenti di situ, dia juga membaca banyak buku untuk
mengetahui kenapa negerinya bisa terjajah dan mencari jalan keluarnya. Dia sama sekali tak
mempedulikan apa yang orang sekitarnya bicarakan sebab tak ada satupun yang bisa
menghentikannya.” Padahal aku belum selesai membacanya, suaraku sudah bergetar.

Tangan Calid mengusap kepalaku, “sudah, aku sudah puas mendengarnya sampai sini, jadi
jangan dilanjutkan.

” Kami akhirnya diam dan melanjutkan langkah menuju kelas. Tak ada yang tau kalau setelah
itu wajahku memerah bak kepiting rebus. Berkat seseorang, aku mengalami banyak hal, dan
berkat seseorang, aku merasakan berbagai macam perasaan.

“Kartini bukan hanya nama, tapi juga suatu rasa cinta seorang wanita terhadap negerinya.”

~Tamat~

Anda mungkin juga menyukai