Anda di halaman 1dari 144

TESIS

SENYAWA ANALOG KURKUMIN MONOKETON BERBAHAN DASAR


4-KLOROBENZALDEHIDA SEBAGAI KANDIDAT ANTIMALARIA:
PENAMBATAN MOLEKUL, SINTESIS DAN UJI AKTIVITAS
ANTIMALARIA SECARA IN VITRO

MONOKETONE CURCUMIN ANALOGUES FROM


4-CHLOROBENZALDEHYDE AS ANTIMALARIAL CANDIDATE:
MOLECULAR DOCKING, SYNTHESIS AND IN VITRO ANTIMALARIAL
ACTIVITY

FAUZAN SETIAWAN
20/466458/PPA/06024

PROGRAM STUDI MAGISTER KIMIA


DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2022
TESIS

SENYAWA ANALOG KURKUMIN MONOKETON BERBAHAN DASAR


4-KLOROBENZALDEHIDA SEBAGAI KANDIDAT ANTIMALARIA:
PENAMBATAN MOLEKUL, SINTESIS DAN UJI AKTIVITAS
ANTIMALARIA SECARA IN VITRO

MONOKETONE CURCUMIN ANALOGUES FROM


4-CHLOROBENZALDEHYDE AS ANTIMALARIAL CANDIDATE:
MOLECULAR DOCKING, SYNTHESIS AND IN VITRO ANTIMALARIAL
ACTIVITY

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh derajat


Master of Science Magister Kimia

FAUZAN SETIAWAN
20/466458/PPA/06024

PROGRAM STUDI MAGISTER KIMIA


DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2022

i
ii
iii
MOTO
"Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika
kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri”
(QS. Al-Isra’ ayat 7)

PERSEMBAHAN
Teruntuk
Almarhumah Ibunda tercinta, yang selalu mendukung setiap langkahku semasa hidupnya
dan menjadi motivasiku namun tak sempat melihat dan merasakan keberhasilan ini.
Ayahanda, yang selalu memberi dukungan moril dan materil
serta tegar dan ikhlas melepaskanku dalam kesepiannya.
Adikku, yang memberikan semangat untuk menyelesaikan tesis ini.
Keluarga, Sahabat, dan Rekan-rekan seperjuangan
atas semangat yang telah kalian berikan.

iv
PRAKATA
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan
rahmat, nikmat, dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
tesis yang berjudul “Senyawa Analog Kurkumin Monoketon Berbahan Dasar
4-Klorobenzaldehida sebagai Kandidat Antimalaria: Penambatan Molekul,
Sintesis dan Uji Aktivitas Antimalaria secara In Vitro”. Tesis ini disusun untuk
memperoleh derajat Master of Science pada Magister Kimia, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada. Selama proses pembuatan
hingga selesainya penulisan tesis ini, penulis telah banyak mendapatkan
bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Endang Astuti, M.Si., selaku Dosen Pembimbing I.
2. Prof. Drs. Bambang Purwono, M.Sc., Ph.D., selaku Dosen Pembimbing II.
3. Taufik Abdillah Natsir, S.Si., M.Sc., Ph.D. selaku Dosen Penguji I.
4. Fajar Inggit Pambudi, S.Si., M.Sc., Ph.D. selaku Dosen Penguji II.
5. Orang tua dan keluarga yang telah memberikan semangat serta dukungan
moril dan materil kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
6. Dr. Endang Astuti, M.Si., selaku Kepala Laboratorium Kimia Organik
beserta jajaran staf Laboratorium Kimia Organik FMIPA UGM.
7. Mba Mosa Rini Nurul Hidayati dan Staf Laboratorium Farmakologi FKK-
MK UGM yang telah memberi bantuan dalam proses penelitian ini.
8. Teman-teman seperjuangan Magister Kimia 2020 terkhusus Kimia Organik
yang telah memberikan dukungan dan saran dalam penyusunan tesis ini.
9. Serta seluruh pihak yang membantu selama proses penyusunan tesis yang
tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, karena itu
penulis masih mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun. Semoga
tesis ini dapat memberikan informasi dan manfaat kepada kita semua.

Yogyakarta, 19 September 2022

Penulis

v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
SURAT PERNYATAAN iii
MOTO iv
PRAKATA v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR TABEL x
DAFTAR LAMPIRAN xi
INTISARI xii
ABSTRACT xiii
BAB I PENDAHULUAN 1
I.1 Latar Belakang 1
I.3 Manfaat Penelitian 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 7
II.1 Tinjauan Pustaka 7
II.1.1 Malaria 7
II.1.1 Senyawa antimalaria 8
II.1.2 Kurkumin 12
II.1.3 Sintesis senyawa analog kurkumin monoketon 14
II.1.4 Studi penambatan molekul 15
II.1.5 Plasmodium falciparum Lactate Dehydrogenase (PfLDH) 16
II.1.6 Plasmodium falciparum Enoyl Acyl Carrier Protein Reductase
(PfENR) 17
II.1.7 Plasmodium falciparum Ca2+ ATPase (PfATP6) 17
II.1.8 Uji in vitro aktivitas antimalaria 18
II.1.9 Farmakokinetik 18
II.2 Perumusan Hipotesis dan Rancangan Penelitian 19
II.2.1 Perumusan hipotesis I 19
II.2.2 Perumusan hipotesis II 20
II.2.3 Perumusan hipotesis III 20
II.2.4 Rancangan penelitian 21
BAB III METODE PENELITIAN 23
III.1 Bahan Penelitian 23
III.1 Alat Penelitian 23
III.2 Prosedur Penelitian 23
III.3.1 Preparasi protein PfLDH, PfENR, dan PfATP6 23
III.3.2 Preparasi ligan (senyawa analog kurkumin) 24
III.3.3 Penambatan molekul senyawa analog kurkumin 25
III.3.4 Sintesis senyawa analog kurkumin monoketon 25
III.3.5 Uji aktivitas antimalaria secara in vitro 26

vi
III.3.6 Analisis drug-likeness dan prediksi ADMET senyawa analog
kurkumin 27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 28
IV.1 Protein Target Antimalaria dan Penambatan molekul 28
IV.2 Penambatan Molekul Senyawa Analog Kurkumin dengan PfLDH 29
IV.3 Penambatan Molekul Senyawa Analog Kurkumin dengan PfENR 41
IV.4 Penambatan Molekul Senyawa Analog Kurkumin dengan PfATP6 53
IV.5 Senyawa Analog Kurkumin Terbaik Sebagai Kandidat Antimalaria 61
IV.6 Sintesis Senyawa Analog Kurkumin 62
IV.6.1 Sintesis (2E,6E)-2,6-bis(4-klorobenziliden)sikloheksanon
(AK C) 62
IV.6.2 Sintesis (3E,5E)-3,5-bis(4-klorobenziliden)-1-metil-piperidin-4-
on (AK E) 69
IV.6.3 Sintesis (3E,5E)-3,5-bis(4-klorobenziliden)-1-benzil-piperidin-
4-on (AK F) 76
IV.7 Uji Aktivitas Antimalaria Senyawa Analog Kurkumin 83
IV.8 Farmakokinetik Senyawa Analog Kurkumin 86
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 93
V.1. Kesimpulan 93
V.2. Saran 93
DAFTAR PUSTAKA 94
LAMPIRAN 104

vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1 Siklus hidup P. falciparum 7
Gambar II.2 Struktur klorokuin 9
Gambar II.3 Struktur (a) sulfadoksin dan (b) pirimetamin 10
Gambar II.4 Struktur artemisinin 11
Gambar II.5 Struktur primakuin 11
Gambar II.6 Kurkumin dalam bentuk tautomer keto-enol 12
Gambar II.7 Sintesis analog kurkumin 14
Gambar IV.1 (a) Protein PfLDH dengan ligan alami CLQ (b) protein PfLDH tanpa
ligan alami CLQ 30
Gambar IV.2 Ligan CLQ sebelum (warna hijau) dan sesudah (warna biru) dilakukan
redocking dengan protein PfLDH 31
Gambar IV.3 Visualisasi 3D dan 2D interaksi ligan alami CLQ dengan protein PfLDH 31
Gambar IV.4 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK A dengan protein PfLDH 33
Gambar IV.5 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK B dengan protein PfLDH 34
Gambar IV.6 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK C dengan protein PfLDH 35
Gambar IV.7 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK D dengan protein PfLDH 36
Gambar IV.8 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK E dengan protein PfLDH 37
Gambar IV.9 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK F dengan protein PfLDH 38
Gambar IV.10 Visualisasi 2D interaksi kurkumin dengan protein PfLDH 39
Gambar IV.11 (a) Protein PfENR dengan ligan alami TLC (b) Protein PfENR tanpa
ligan alami TCL 42
Gambar IV.12 Ligan TCL sebelum (warna hijau) dan sesudah (warna biru) dilakukan
redocking dengan protein PfENR 42
Gambar IV.13 Visualisasi 3D dan 2D interaksi ligan alami TCL dengan protein PfENR 43
Gambar IV.14 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK A dengan protein PfENR 44
Gambar IV.15 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK B dengan protein PfENR 45
Gambar IV.16 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK C dengan protein PfENR 46
Gambar IV.17 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK D dengan protein PfENR 47
Gambar IV.18 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK E dengan protein PfENR 48
Gambar IV.19 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK F dengan protein PfENR 49
Gambar IV.20 Visualisasi 3D dan 2D interaksi kurkumin dengan protein PfENR 50
Gambar IV.21 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK A dengan protein PfATP6 53
Gambar IV.22 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK B dengan protein PfATP6 54
Gambar IV.23 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK C dengan protein PfATP6 55
Gambar IV.24 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK D dengan protein PfATP6 56
Gambar IV.25 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK E dengan protein PfATP6 57
Gambar IV.26 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK F dengan protein PfATP6 58
Gambar IV.27 Visualisasi 3D dan 2D interaksi kurkumin dengan protein PfATP6 59
Gambar IV.28 Hasil KLT senyawa AK C 63
Gambar IV.29 Spektra FTIR senyawa AK C 64
Gambar IV.30 Spektra massa senyawa AK C 65
Gambar IV.31 Pola fragmentasi senyawa AK C 65
Gambar IV.32 Spektra 1H-NMR senyawa AK C 66
Gambar IV.33 Spektra 13C-NMR senyawa AK C 68
Gambar IV.34 Mekanisme reaksi senyawa AK C 69
Gambar IV.35 Hasil KLT senyawa AK E 70
Gambar IV.36 Spektra FTIR senyawa AK E 71
Gambar IV.37 Spektra massa senyawa AK E 72
viii
Gambar IV.38 Pola fragmentasi senyawa AK E 72
Gambar IV.39 Spektra 1H-NMR senyawa AK E 73
Gambar IV.40 Spektra 13C-NMR senyawa AK E 74
Gambar IV.41 Mekanisme reaksi senyawa AK E 76
Gambar IV.42 Hasil KLT senyawa AK F 77
Gambar IV.43 Spektra FTIR senyawa AK F 77
Gambar IV.44 Spektra massa senyawa AK F 78
Gambar IV.45 Pola fragmentasi senyawa AK F 79
Gambar IV.46 Spektra 1H-NMR senyawa AK F 80
Gambar IV.47 Spektra 13C-NMR senyawa AK F 82
Gambar IV.48 Mekanisme reaksi senyawa AK F 83

ix
DAFTAR TABEL
Tabel II.1 Sintesis analog kurkumin dengan variasi turunan benzaldehida 15
Tabel III.1 Nama IUPAC dan struktur geometri senyawa AK A-F 24
Tabel IV.1 Struktur geometri senyawa AK A-F hasil optimasi 28
Tabel IV.2 Data interaksi dan nilai afinitas ikatan hasil penambatan molekul senyawa
analog kurkumin dengan protein PfLDH 40
Tabel IV.3 Data interaksi dan nilai afinitas ikatan hasil penambatan molekul senyawa
analog kurkumin dengan protein PfENR 51
Tabel IV.4 Data interaksi dan nilai afinitas ikatan hasil penambatan molekul senyawa
analog kurkumin dengan protein PfATP6 60
Tabel IV.5 Data interaksi senyawa analog kurkumin dengan residu asam amino
spesifik dan nilai afinitas ikatan terhadap protein PfLDH 61
Tabel IV.6 Data interaksi senyawa analog kurkumin dengan residu asam amino
spesifik dan nilai afinitas ikatan terhadap protein PfENR 62
Tabel IV.7 Data interaksi senyawa analog kurkumin dengan residu asam amino
spesifik dan nilai afinitas ikatan terhadap PfATP6 62
Tabel IV.8 Hasil analisis spektra FTIR senyawa AK C 64
Tabel IV.9 Interpretasi data 1H-NMR senyawa AK C 67
Tabel IV.10 Interpretasi data 13C-NMR senyawa AK C 68
Tabel IV.11 Hasil analisis spektra FTIR senyawa AK E 71
Tabel IV.12 Interpretasi data 1H-NMR senyawa AK E 73
Tabel IV.13 Interpretasi data 13C-NMR senyawa AK E 75
Tabel IV.14 Hasil analisis spektra FTIR senyawa AK F 78
Tabel IV.15 Interpretasi data 1H-NMR senyawa AK F 81
Tabel IV.16 Interpretasi data 13C-NMR senyawa AK F 82
Tabel IV.17 Data penghambatan senyawa analog kurkumin hasil sintesis terhadap
P. falciparum strain FCR3 dan 3D7 84
Tabel IV.18 Aktivitas antimalaria senyawa analog kurkumin hasil sintesis terhadap
P. falciparum strain FCR3 dan 3D7 85
Tabel IV.19 Nilai indeks resistensi senyawa analog kurkumin 86
Tabel IV.20 Hasil analisis drug-likeness senyawa analog kurkumin berdasarkan
aturan Lipinski 87
Tabel IV.21 Hasil prediksi ADMET senyawa analog kurkumin 88

x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Tabel RMSD hasil redocking ligan alami 104
Lampiran 2 Hasil optimasi senyawa analog kurkumin 107
Lampiran 3 Perhitungan rendemen senyawa hasil sintesis 109
Lampiran 4 Hasil TLC scanner senyawa analog kurkumin 112
Lampiran 5 Perhitungan uji antimalaria P. falciparum strain FCR3 115
Lampiran 6 Perhitungan uji antimalaria P. falciparum strain 3D7 118
Lampiran 7 Perhitungan IC50 dengan analisis probit (P. falciparum strain FCR3) 121
Lampiran 8 Perhitungan IC50 dengan analisis probit (P. falciparum strain 3D7) 125
Lampiran 9 Perhitungan nilai indeks resistensi 129
Lampiran 10 Dokumentasi uji aktivitas antimalaria secara in vitro 130

xi
SENYAWA ANALOG KURKUMIN MONOKETON BERBAHAN DASAR
4-KLOROBENZALDEHIDA SEBAGAI KANDIDAT ANTIMALARIA:
PENAMBATAN MOLEKUL, SINTESIS DAN UJI AKTIVITAS
ANTIMALARIA SECARA IN VITRO

FAUZAN SETIAWAN
20/466458/PPA/06024

INTISARI

Studi penambatan molekul telah dilakukan terhadap senyawa analog


kurkumin monoketon ( 1 E , 4 E ) - 1,5-bis(4-klorofenil)-1,4-pentadien-3-on (AK
A), (2E,5E)-2,5-bis(4-klorobenziliden)siklopentanon (AK B), (2E,6E)-
2,6-bis(4-klorobenziliden)sikloheksanon (AK C), (3E,5E)-3,5-bis(4-
klorobenziliden)-4-piperidon (AK D), (3E,5E)-3,5-bis(4-klorobenziliden)-1-
metil-piperidin-4-on (AK E), dan (3E,5E)-3,5-bis(4-klorobenziliden)-1-benzil-
piperidin-4-on (AK F) dengan protein PfLDH, PfENR dan PfATP6. Tiga
senyawa analog kurkumin terbaik berdasarkan interaksi dengan residu asam
amino spesifik dan nilai afinitas ikatan terendah hasil penambatan molekul
disintesis melalui reaksi kondensasi Claisen-Schmidt dari 4-klorobenzaldehida
dengan variasi keton. Hasil reaksi diidentifikasi menggunakan TLC scanner,
FTIR, MS/MS, 1H-NMR dan 13C-NMR, diuji aktivitasnya sebagai kandidat
antimalaria secara in vitro terhadap P. falciparum strain FCR3 dan 3D7, serta
dievaluasi terhadap profil ADMET.
Hasil penelitian diperoleh tiga senyawa analog kurkumin terbaik yaitu
senyawa AK C, E, dan F yang berinteraksi dengan residu asam amino spesifik
Ile54, Ala98, Ile119, Phe52, Val26 pada sisi aktif protein PfLDH. Senyawa AK
C, E, dan F juga berinteraksi dengan residu asam amino spesifik Tyr267, Pro314,
Phe368, Ile369, dan Lys285 pada sisi aktif protein PfENR, serta dengan residu
asam amino spesifik Leu268 pada sisi aktif protein PfATP6. Ketiga senyawa
analog kurkumin memiliki interaksi dengan residu asam amino spesifik dan nilai
afinitas ikatan terendah terhadap protein PfLDH, PfENR dan PfATP6
dibandingkan dengan kurkumin. Sintesis senyawa AK C, E, dan F diperoleh
rendemen masing-masing 56,51%; 56,52%; dan 30,39%. Uji aktivitas antimalaria
secara in vitro menunjukkan senyawa AK C, E, dan F memiliki aktivitas
antimalaria serta nilai indeks resistensi yang lebih baik dibandingkan kurkumin.
Senyawa AK C, E, dan F memiliki nilai IC50 berturut-turut 0,173; 0,447; dan
0,018 μM terhadap P. falciparum strain FCR3, serta memiliki nilai IC50 berturut-
turut 0,924; 2,268; dan 0,336 μM terhadap P. falciparum strain 3D7. Senyawa
AK C, E, dan F memiliki nilai indeks resistensi yang lebih rendah dan memiliki
profil ADMET yang lebih baik dari kurkumin sehingga berpotensi dikembangkan
menjadi kandidat obat antimalaria.

Kata kunci: 4-klorobenzaldehida, analog kurkumin, penambatan molekul,


aktivitas antimalaria.

xii
MONOKETONE CURCUMIN ANALOGUES FROM
4-CHLOROBENZALDEHYDE AS ANTIMALARIAL CANDIDATE:
MOLECULAR DOCKING, SYNTHESIS, AND IN VITRO ANTIMALARIAL
ACTIVITY

FAUZAN SETIAWAN
20/466458/PPA/06024

ABSTRACT

Molecular docking studies have been carried out by the monoketone


curcumin analogues compound of (1E,4E)-1,5-bis(4-chlorophenyl)-1,4-
pentadiene-3-one (AK A), (2E,5E)-2,5-bis(4-chlorobenzyliden)cyclopentanone
(AK B), (2E-6E)-2,6-bis(4-chlorobenzyliden)cyclohexanone (AK C), (3E,5E)-
3.5-bis(4-chlorobenzyliden)-4-piperidone (AK D), (3E,5E)-3,5-bis(4-
chlorobenzyliden)-1-methyl-piperidine-4-one (AK E), and (3E,5E)-3,5-bis(4-
chlorobenzyliden)-1-benzyl-piperidine-4-one (AK F) with PfLDH, PfENR and
PfATP6 proteins. The three best curcumin analog compounds are based on
interactions with specific amino acid residues and the lowest molecular affinity
value, synthesized through the condensation reaction of claisen-schmidt from 4-
chlorobenzaldehyde with ketone variations. The reaction results were identified
using TLC scanner, FTIR, MS/MS, 1H-NMR, and 13C-NMR, tested for their in
vitro activity as antimalarial candidates against P. falciparum strains FCR3 and
3D7, and evaluated their ADMET profile.
The results showed that the three best curcumin analogues were
compounds AK C, E, and F which interacted with specific amino acid residues
Ile54, Ala98, Ile119, Phe52, Val26 on the active site of PfLDH protein.
Compounds AK C, E, and F also interacted with specific amino acid residues
Tyr267, Pro314, Phe368, Ile369, and Lys285 on the active site of PfENR protein,
as well as with specific amino acid residues of Leu268 on the active site of
PfATP6 protein. The three curcumin analogue compounds have interactions with
specific amino acid residues and the lowest binding affinity for PfLDH, PfENR
and PfATP6 proteins compared to curcumin. Synthesis of AK C, E, and F was
obtained in yields of 56.51%; 56.62%; and 30.39%, respectively. In vitro
antimalarial activity test showed that AK C, E, and F had better antimalarial
activity than curcumin. The IC50 of AK C, E, and F was 0.173; 0.447; and 0.018
μM, respectively against P. falciparum strain FCR3, and 0.924, 2.268, and 0.336
μM, respectively against P. falciparum strain 3D7. AK C, E, and F compounds
have lower resistance index and have a good ADMET profile than curcumin so
that they have the potential to be developed as antimalarial drug candidates.
Keywords: 4-chlorobenzaldehyde, curcumin analogues, molecular docking,
antimalarial activity.

xiii
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Malaria merupakan penyakit berbahaya yang disebabkan oleh parasit dari
genus Plasmodium yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk betina
spesies Anopheles yang terinfeksi (Talapko dkk., 2019). World Health
Organization (WHO) pada tahun 2020 melaporkan terdapat 241 juta kasus
malaria dan 627.000 kematian yang diprediksi secara global. Wilayah Afrika
merupakan penyumbang kasus malaria terbesar di dunia yaitu sebesar 95%,
sedangkan wilayah Asia Tenggara menyumbang sekitar 3% dari beban kasus
malaria secara global. Tiga dari sebelas negara menjadi penyumbang kasus
malaria yang diprediksi mencapai 99,7% di kawasan Asia. India menjadi
kontributor terbesar (82,5%), diikuti oleh Indonesia (15,6%) dan Myanmar
(1,6%). Namun pada kenyataannya pada tahun 2020 sekitar 512.000 kasus malaria
telah dikonfirmasi, Indonesia menyumbang proporsi tertinggi dari kasus yang
dilaporkan di kawasan ini (49,6%), diikuti oleh India (36,4%) dan Myanmar
(11,5%) (Anonim, 2021). Setengah dari populasi di Indonesia berada di kawasan
endemis malaria, mengingat Indonesia merupakan negara yang masih berisiko
terkena malaria karena sebanyak 396 kabupaten atau sekitar 80% wilayah
Indonesia merupakan endemis malaria (Dimi dkk., 2020).
Terdapat 4 spesies Plasmodium yang lazim menyerang manusia yaitu
Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, dan
Plasmodium ovale. Diantara 4 spesies Plasmodium terdapat satu spesies yang
paling berbahaya bagi manusia yaitu P. falciparum, hal ini dikarenakan dapat
menyebabkan infeksi akut berat pada hati, ginjal dan komplikasi serebral, yang
dapat menyebabkan kematian (Murtihapsari, 2010; Kombonglangi, 2015). Selama
lebih dari 50 tahun terakhir, P. falciparum telah mengalami resistensi terhadap
obat-obatan antimalaria yang digunakan untuk melawan parasit ini diantaranya
klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin, kina, piperakuin, meflokuin

1
2

dan turunan artemisinin. Resistensi terhadap obat-obatan antimalaria didefinisikan


sebagai kemampuan strain parasit untuk tetap bertahan hidup dan/atau
bereproduksi meskipun pemberian dan penyerapan obat yang diberikan dalam
dosis yang sama atau lebih tinggi dari yang biasanya ditentukan atau
direkomendasikan (Thu dkk., 2017; Shibeshi dkk., 2020). Pada tahun 2000
dilaporkan bahwa pada spesies P. falciparum terdapat gen yang menyebabkan
terjadinya resistensi klorokuin yaitu gen Pfcrt T76, gen pada P. falciparum dapat
mengalami mutasi dalam tubuh parasit yang memungkinkan parasit tersebut
menjadi lebih resisten terhadap suatu obat dengan dosis tertentu, dan akan
berdampak pada ketidakmanjuran klorokuin dalam mengobati malaria (Fidock,
2000; Murtihapsari, 2010). Pengobatan baru untuk malaria sangat dibutuhkan
karena meningkatnya masalah resistensi obat pada parasit malaria. Obat
tradisional yang berasal dari alam memiliki peranan penting dalam terapi penyakit
termasuk malaria. Sekitar 67% obat yang beredar di pasaran saat ini
dikembangkan dari bahan alami, seperti turunan artemisinin dan kina. Artemisinin
berasal dari tanaman Cina Artemisia annua dan kina berasal dari kulit kayu
Cinchona. Kedua tanaman ini memiliki efektivitas tinggi sebagai antimalaria yang
artinya spesies tanaman merupakan sumber penting untuk penemuan kandidat
antimalaria yang baru (Andromeda dkk., 2020; Wright, 2005).
Berbagai tanaman telah diketahui memiliki khasiat sebagai obat sejak
zaman kuno. Penggunaan tanaman menjadi obat menjadi populer dikarenakan
lebih aman, efisien dan ekonomis. Selain itu, penggunaan tanaman untuk
pengobatan malaria telah dilakukan selama ribuan tahun. Salah satu golongan
senyawa yang memiliki potensi sebagai obat antimalaria adalah kurkumin yang
merupakan salah satu sumber utama polifenol dari tanaman kunyit (Curcuma
longa L.) (Andromeda dkk., 2020; Budiarti, 2020). Kurkumin ditemukan cukup
aman pada hewan dan manusia, bahkan pada dosis hingga 8 g/hari, sehingga
kurkumin dinyatakan sebagai Generally Recognized As Safe (GRAS) atau zat
kimia yang dianggap aman oleh Food and Drug Administration (FDA) (Sharifi-
Rad dkk., 2020). Kurkumin juga menunjukkan aktivitas antimalaria secara in vitro
terhadap P. falciparum yang sensitif dan resisten terhadap klorokuin dengan nilai
3

IC50 22,93-27,45 μM (Cui dkk., 2006). Namun kurkumin dilaporkan memiliki


sifat farmakokinetik yang buruk diantaranya bioavailabilitas yang sangat rendah,
tidak larut dalam air, penyerapan yang lambat oleh sel dan metabolisme yang
cepat di dalam sel. Hal ini disebabkan karena adanya gugus metilen aktif dan
bagian β-diketon dalam struktur kurkumin yang berkontribusi terhadap
ketidakstabilannya dalam kondisi fisiologis yang akan memacu metabolisme
kurkumin yang cepat (Siviero, 2015; Noureddin dkk., 2019).
Banyak penelitian melakukan modifikasi senyawa analog kurkumin
dengan harapan mendapatkan analog kurkumin yang lebih stabil. Menurut Lee
dkk (2021) senyawa analog kurkumin lebih stabil jika tidak memiliki bagian β-
diketon dan menunjukkan peningkatan aktivitas biologis daripada kurkumin.
Turunan dan analog kurkumin telah dinyatakan memiliki efektifitas yang lebih
baik dalam menghambat P. falciparum daripada molekul induknya (Mishra dkk.,
2008). Modifikasi kurkumin telah dilakukan oleh Yusuf dkk. (2018) dengan
metode kondensasi aldol silang (Claisen-Schmidt) dengan mengubah gugus
diketon menjadi monoketon menunjukkan senyawa analog kurkumin memiliki
potensi sebagai obat antimalaria.
Sintesis analog kurkumin monoketon berbahan dasar 4-klorobenzaldehida
telah dilakukan oleh Wei, dkk. (2012) yaitu mereaksikan 4-klorobenzaldehida
dengan aseton, siklopentanon, dan sikloheksanon, dengan rendemen masing-
masing sebesar 70%, 78% dan 83%. Rahmania dkk. (2020) mensintesis analog
kurkumin menggunakan 4-klorobenzaldehida dengan n-metil-4-piperidon dengan
katalis NaOH menghasilkan rendemen sebesar 44%. Aher dkk. (2011) melakukan
uji aktivitas analog kurkumin secara in vitro menggunakan P. falciparum strain
3D7 menunjukkan bahwa senyawa analog kurkumin dibenzalaseton dengan
substituen kloro pada posisi 4 (para) memiliki aktivitas antimalaria secara in vitro
yang lebih baik dengan nilai IC50 sebesar 92,35 ± 1,2 µM dibandingkan dengan
substituen 4-F (IC50 = 133,2 ± 2,0 µM), 4-Br (IC50 = 221,89 ± 4,5 µM), 4-Me
(IC50 = 114,35 ± 1,5 µM), dan 4-MeO (IC50 = 254,80 ± 3,7 µM).
4

Desain obat dengan bantuan komputer dapat meminimalkan upaya


pengujian sintesis dan biologis dengan hanya berfokus pada senyawa yang paling
menjanjikan (Tomar dkk., 2018). In silico adalah kata modern yang biasanya
digunakan untuk mengartikan eksperimen yang dilakukan oleh komputer (Ekins
dkk., 2007). Salah satu metode yang berkaitan dengan istilah in silico adalah
penambatan molekul atau molecular docking. Penambatan molekul merupakan
studi yang digunakan untuk memprediksi orientasi yang sesuai dari ligan dan
reseptor untuk membentuk kompleks yang stabil. Orientasi ini digunakan untuk
memprediksi afinitas ikatan dan kekuatan ikatan ligan dan reseptor dengan
menggunakan fungsi skoring. Penambatan molekul berupaya menselaraskan
antara ligan yang merupakan molekul berukuran kecil ke dalam reseptor yang
merupakan protein berukuran besar dengan memperhatikan sifat keduanya satu
sama lain (Bhagat dkk, 2021; Jenzen, 2007).
Plasmodium falciparum Lactate Dehydrogenase (PfLDH) merupakan
salah satu protein yang memainkan peran utama dalam proses glikolisis untuk
memproduksi energi pada P. falciparum. Jalur glikolisis berfungsi sebagai sumber
energi tunggal yang memungkinkan protein ini dianggap sebagai target obat
antimalaria. Ketergantungan parasit pada PfLDH menjadikan PfLDH sebagai
target molekuler potensial dalam hal desain dan pengembangan obat antimalaria.
Plasmodium falciparum Enoyl Acyl Carrier Protein Reductase (PfENR)
merupakan protein penting lainnya yang terdapat pada jalur biosintesis asam
lemak tipe II. Protein PfENR mengkatalisis reduksi trans-2-asil-ACP menjadi
asil-ACP yang berlangsung di P. falciparum. Protein PfENR dipilih karena
merupakan target potensial untuk antimalaria serta memiliki peran penting dalam
sintesis asam lemak dalam tubuh P. falciparum (Malau dkk, 2018; Vyas dkk,
2021). Protein PfATP6 yang merupakan ortolog parasit mamalia Sarcoplasmic–
Endoplasmic Reticulum Ca2+ ATPase (SERCA) telah dikonfirmasi sebagai target
molekuler artemisinin dan kurkumin. Melalui studi simulasi penambatan molekul,
ditemukan bahwa kurkumin efektif menghambat PfATP6 melalui interaksi
hidrofobik dan ikatan hidrogen, yang mengarah ke tindakan antimalaria (Dohutia
dkk, 2018).
5

Studi penambatan molekul antara kurkumin dengan protein PfENR


memberikan nilai afinitas sebesar -6,96 kkal/mol, sedangkan interaksi antara
senyawa analog kurkumin dengan protein PfATP6 menunjukkan nilai afinitas
ikatan yang lebih baik daripada kurkumin (-4,95 kkal/mol) yaitu sebesar -5,25
kkal/mol hingga -5,95 kkal/mol. Berdasarkan studi in silico, penggunaan gugus Cl
pada posisi 4 (para) pada kedua cincin fenil untuk membentuk ligan simetris dapat
meningkatkan afinitas ikatan. Nilai afinitas ikatan yang lebih negatif
menunjukkan pengikatan yang lebih kuat antara reseptor dan senyawa ligan (Cui
dkk., 2011; Narayanaswamy dkk., 2017; Dohutia dkk., 2017; Choudhary dkk.,
2020).
Berdasarkan uraian tersebut maka dalam penelitian ini dilakukan studi
penambatan molekul antara 6 senyawa analog kurkumin dengan protein PfLDH,
PfENR dan PfATP6. Kemudian akan disintesis tiga senyawa analog kurkumin
hasil penambatan molekul yang memiliki interaksi dengan residu asam amino
spesifik dan nilai afinitas ikatan terendah berbahan dasar 4-klorobenzaldehida
dengan variasi keton (aseton/siklopentanon/sikloheksanon/4-piperidon/n-metil-4-
piperidon/n-benzil-4-piperidon) melalui reaksi kondensasi Claisen-Schmidt. Hasil
sintesis analog kurkumin diuji aktivitasnya sebagai antimalaria terhadap P.
falciparum strain FCR3 dan 3D7. Keterbaruan dari penelitian ini adalah studi
penambatan molekul enam senyawa analog kurkumin terhadap tiga protein yaitu
PfATP6, PfLDH, dan PfENR, nilai penghambatan senyawa analog kurkumin
terhadap P. falciparum strain FCR3 dan 3D7, nilai indeks resistensi, serta sifat
farmakokinetik tiga senyawa analog kurkumin terbaik hasil penambatan molekul.

I.2 Tujuan Penelitian


Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Menentukan tiga dari enam senyawa analog kurkumin yang memiliki
interaksi dengan residu asam amino spesifik dan afinitas ikatan terendah
terhadap protein PfLDH, PfENR, dan PfATP6 melalui pendekatan
penambatan molekul.
6

2. Melakukan sintesis tiga senyawa analog kurkumin hasil penambatan


molekul yang memiliki interaksi dengan residu asam amino spesifik dan
afinitas ikatan terbaik berbahan dasar 4-klorobenzaldehida dengan variasi
keton (aseton/siklopentanon/sikloheksanon/4-piperidon/n-metil-4-
piperidon/n-benzil-4-piperidon) melalui reaksi kondensasi Claisen-
Schmidt.
3. Melakukan uji aktivitas antimalaria senyawa analog kurkumin hasil
sintesis secara in vitro dengan menentukan nilai IC50 dan indeks resistensi
terhadap P. falciparum strain FCR3 dan 3D7, serta memprediksi sifat
farmakokinetiknya.

I.3 Manfaat Penelitian


Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui interaksi yang terbentuk antara enam senyawa analog
kurkumin dan kurkumin dengan protein PfLDH, PfENR, dan PfATP6.
2. Memperoleh informasi mengenai senyawa hasil sintesis yang dapat
dijadikan sebagai kandidat obat antimalaria.
3. Mendapatkan informasi tentang aktivitas penghambatan dan nilai indeks
resistensi senyawa analog kurkumin hasil sintesis terhadap P. falciparum
strain FCR3 dan 3D7, serta sifat farmakokinetik senyawa analog
kurkumin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

II.1 Tinjauan Pustaka


II.1.1 Malaria
Malaria disebabkan oleh infeksi parasit genus Plasmodium yang ditularkan
oleh nyamuk Anopheles betina. Terdapat beberapa spesies Plasmodium yang lazim
menyebabkan penyakit pada manusia yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium
vivax, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale (Kombonglangi, 2015). Siklus
hidup Plasmodium sangat kompleks dan berlangsung dalam dua fase; seksual dan
aseksual, vektor nyamuk dan inang vertebrata. Pada vektor nyamuk, terjadi fase
seksual dari siklus hidup parasit, sedangkan pada fase aseksual terjadi pada
manusia (Talapko dkk., 2019). Siklus hidup P. falciparum disajikan pada Gambar
II.1.

Gambar II.1 Siklus hidup P. falciparum (Nilsson dkk., 2015)

7
8

Parasit malaria ditularkan ke manusia ketika nyamuk Anopheles betina


yang terinfeksi mengambil makanan dari darah dan secara bersamaan
menyuntikkan sejumlah kecil sporozoit ke dalam kulit manusia. Setelah mencapai
hati, sporozoit menyerang hepatosit dan parasit akan berkembang menjadi skizon
dan bereplikasi secara aseksual. Setelah sekitar tujuh hari perkembangan stadium
hati, setiap hepatosit yang terinfeksi melepaskan hingga 40.000 merozoit yang
memasuki aliran darah. Begitu berada di aliran darah, merozoit dengan cepat
menyerang sel darah merah (eritrosit), sehingga memulai siklus replikasi aseksual
yang berulang.
Selama 48 jam, parasit berkembang melalui tahap cincin dan trofozoit
sebelum akhirnya bereplikasi menjadi 8-32 merozoit pada tahap skizon
(skizogoni). Pada titik ini, sel darah merah yang terinfeksi parasit pecah dan
melepaskan merozoit ke dalam sirkulasi, memulai putaran replikasi aseksual
lainnya. Selama siklus terjadi, sebagian kecil parasit akan mengalami replikasi
aseksual dan seksual yang dibedakan menjadi bentuk seksual jantan dan betina,
yang dikenal sebagai gametosit. Gametosit berkembang dari tahap 1-5, pada tahap
5 gametosit jantan dan betina masuk kembali ke sirkulasi aliran darah dan menjadi
lebih berkompeten untuk menginfeksi nyamuk yang akan menghisap darah
manusia. Setelah dicerna oleh nyamuk, gametosit jantan dan betina matang akan
menjadi gamet (gametogenesis) dengan cepat.
Gametosit jantan membelah menjadi delapan mikrogamet berflagel
(pengelupasan) di dalam usus tengah nyamuk, sedangkan gametosit betina
berkembang menjadi makrogamet tunggal. Pemupukan makrogamet oleh
mikrogamet menghasilkan pembentukan zigot, yang mengalami meiosis dan
berkembang menjadi ookinet invasif yang menembus dinding usus nyamuk.
Ookinet membentuk ookista dan parasit bereplikasi secara aseksual, membentuk
beberapa ribu sporozoit (sporogoni) (Nilsson dkk., 2015).

II.1.1 Senyawa antimalaria


Sejak isolasi kina pada tahun 1820 yang merupakan senyawa pertama yang
dimurnikan secara kimia untuk pengobatan efektif malaria, telah dikembangkan
sejumlah senyawa alami dan sintetis lainnya seperti klorokuin, meflokuin. Namun,
9

seiring berjalannya waktu, jenis parasit mulai menunjukkan tanda-tanda resistensi


terhadap obat ini, sehingga kurang efektif. Dengan demikian, penggunaannya telah
berhenti atau terbatas pada situasi tertentu (Tse dkk., 2019). Terdapat berbagai
obat yang lazim dikonsumsi oleh penderita malaria, antara lain:

a. Klorokuin
Klorokuin merupakan obat anti malaria kelompok 4-amionokuinolin, yang
merupakan obat antimalaria utama dan paling banyak digunakan dalam
pengobatan malaria. Klorokuin pernah menjadi obat penting yang digunakan
dalam pengobatan malaria terutama karena harganya yang terjangkau, mudah
digunakan dan khasiat antimalaria yang tinggi. Namun, karena tingkat resistensi
yang tinggi di antara parasit P. falciparum, klorokuin ditarik dari pengobatan
malaria di sebagian besar negara endemik malaria (Azlin, 2004; Ocan dkk., 2019).
Struktur klorokuin ditunjukkan pada Gambar II.2.

Gambar II.2 Struktur klorokuin

Secara farmakologis klorokuin bekerja dengan mengikat feriprotoporfirin


IX yaitu suatu cincin hematin yang merupakan hasil metabolisme hemoglobin di
dalam parasit. Ikatan feriprotoporfirin IX klorokuin ini bersifat melisiskan
membran parasit sehingga parasit mati. Keresistenan terhadap klorokuin terjadi
karena pemakaian obat yang tidak terkontrol oleh masyarakat sehingga
menimbulkan mutasi pada gen Pfcrt T76, sehingga membuat obat terperangkap di
dalam membran vakuola makanan parasit karena klorokuin diubah menjadi bentuk
dikationik yang dianggap tidak dapat larut di dalam lipida (Kombonglangi, 2015).
10

b. Sulfadoksin-Pirimetamin
Sulfadoksin-pirimetamin (SP) merupakan obat anti malaria kombinasi
sulfonamida/sulfon dan diaminopirimidin. Obat ini bersifat skizontosid jaringan
terhadap P. falciparum dan skizontosida darah serta sporontosida untuk keempat
jenis Plasmodium. Sulfadoksin-pirimetamin disebut juga kelompok obat anti folat
karena bekerja dengan menghalangi dua jalur pembentukan folat pada tubuh
parasit. Sulfadoksin menghalangi penggunaan para-aminobenzoic acid (PABA)
dengan menghambat enzim dihydropteroate synthase (DHPS). Pirimetamin
menghambat enzim dihydrofolat reductase (DHFR) dari Plasmodium sehingga
menghalangi sintesis timin dan purin yang merupakan bahan penting untuk
sintesis DNA dan multiplikasi sel. Mekanisme terjadinya resistensi pada
kombinasi obat ini disebabkan mutasi gen spesifik parasit (Azlin, 2004). Struktur
sulfadoksin dan pirimetamin ditunjukkan pada Gambar II.3.

Gambar II.3 Struktur (a) sulfadoksin dan (b) pirimetamin

c. Artemisinin
Artemisin adalah bahan aktif utama dari obat tradisional Cina yaitu
artemisia annua. Aktifitas anti malaria dari bahan aktif obat ini berada pada
struktur endoperoksida. Besi dari pemecahan hemoglobin mereduksi ikatan
endoperoksid dan melepaskan dengan kuat radikal bebas besi oxo dari spesies
yang dapat membunuh parasit. Artemisin juga memperlambat sintesis protein
dalam perkembangan parasit dan bekerja pada membran parasit dengan memakai
oksigen lipida dengan peroksidasi lemak. Obat ini menghambat perkembangan
tropozoit yang berarti mencegah progresivitas penyakit (Azlin, 2004). Struktur
artemisinin ditunjukkan pada Gambar II.4.
11

Gambar II.4 Struktur artemisinin

d. Primakuin
Primakuin (PQ), turunan 8-aminokuinolin yang diperkenalkan pada awal
tahun 1950-an memainkan peran penting dalam pengobatan malaria. Primakuin
bukan hanya sebagai obat gametosidal untuk infeksi parasit P. falciparum, tetapi
juga efektif dalam membunuh hipnozoit dari parasit P. vivax dan P. ovale.
Mekanisme kerja primakuin adalah dengan mengganggu fungsi mitokondria
gametosit. Tidak seperti obat antimalaria yang lain yang umumnya membunuh
gametosit muda, primakuin merupakan obat antimalaria yang efektif dalam
membunuh gametosit dewasa. World Health Organization (WHO) mendaftarkan
primakuin sebagai salah satu obat-obatan esensial untuk pencegahan malaria
(Becker dkk., 2021; Nugraha, 2014). Struktur primakuin ditunjukkan pada Gambar
II.5.

Gambar II.5 Struktur primakuin

Klorokuin, SP, dan primakuin merupakan obat antimalaria yang paling


banyak digunakan di Indonesia. Tersedianya berbagai obat-obatan namun fasilitas
diagnostiknya buruk sehingga pengaplikasiannya sering tidak tepat yang
menyebabkan peningkatan penyebaran resistensi (Asih dkk., 2009). Terapi
12

kombinasi berbasis artemisinin (ACT) telah direkomendasikan oleh WHO untuk


terapi malaria tanpa menimbulkan komplikasi yang disebabkan oleh P.
falciparum. Namun, resistensi artemisinin dan ACT telah menjadi ancaman utama
bagi upaya eliminasi malaria secara global. Resistensi obat berdampak pada
kegagalan terapi sehingga meningkatkan kerentanan pasien terhadap komplikasi
yang pada akhirnya biaya perawatan kesehatan semakin tinggi. Meskipun
artemisinin dan turunannya efektif bila diterapkan dengan kombinasi antimalaria
lain, terdapat batasan mengenai waktu paruh yang pendek, biaya dan keamanan
pada ibu hamil yang terinfeksi malaria (Andromeda dkk., 2020).

II.1.2 Kurkumin
Kurkumin merupakan pigmen berwarna kuning yang dapat diperoleh dari
bubuk rimpang kunyit Curcuma longa Linn. Nama IUPAC kurkumin adalah
(1E,6E)-1,7-bis(4-hidroksi-3-metoksifenil)-1,6-heptadien-3,5-dion dengan rumus
kimia C21H20O6 dan berat molekul 368,38 g/mol. Secara kimia, kurkumin
memiliki bentuk tautomeri keto-enol. Bentuk keto dominan dalam larutan yang
bersifat netral maupun asam, sedangkan bentuk enol dominan dalam keadaan
padat atau dalam larutan basa. Struktur kurkumin dalam bentuk keto-enol
ditunjukkan oleh Gambar II.6. Kurkumin hampir tidak larut dalam air dan mudah
larut dalam pelarut organik seperti DMSO, metanol, etanol, asetonitril, kloroform,
dan etil asetat. Ekstrak kasar rimpang Curcuma longa Linn terdapat sekitar 70-
76% kurkumin, 16% dimetoksikurkumin dan 8% bisdimetoksikurkumin
(Priyadarsini, 2014; Nelson dkk., 2017).

Gambar II.6 Kurkumin dalam bentuk tautomer keto-enol (Nelson dkk., 2017)
13

Kurkumin yang memiliki sejarah ilmiah lebih dari dua abad, masih
menarik perhatian para peneliti dari seluruh dunia. Mulai tahun 1815, ketika
kurkumin pertama kali diisolasi dari kunyit, sampai tahun 1970-an hanya ada
laporan tentang struktur kimia, sintesis, biokimia dan aktivitas antioksidannya.
Penelitian tentang potensi efek antikanker dan terapi malaria dari kurkumin
membuat laju penelitian tentang kurkumin menjadi berkembang pesat. Hingga saat
ini terdapat lebih dari 14.000 sitasi tentang kurkumin, sehingga kurkumin menjadi
salah satu topik yang paling favorit untuk semua cabang kimia termasuk kimia
organik (Aggarwal dkk., 2003; Reddy dkk., 2005; Priyadarsini, 2014).
Penelitian ilmiah yang luas tentang kurkumin telah menunjukkan berbagai
aktivitas biologis. Reddy dkk. (2005) melaporkan bahwa kurkumin memiliki
aktivitas sebagai antimalaria dengan menghambat pertumbuhan P. falciparum
yang resisten terhadap klorokuin dengan nilai IC50 ~5 μM. Selain memiliki
aktivitas sebagai antimalaria, kurkumin juga berperan sebagai agen antioksidan
(Jayaprakasha dkk., 2006), antikanker (Wei dkk., 2012), antijamur (Fei dkk.,
2017), dan antiinflamasi (Chainoglou dkk, 2019).
Terlepas dari aktivitas biologisnya yang beragam, kurkumin terhalang oleh
sifat farmakokinetik yang buruk, terutama karena bioavailabilitas kurkumin yang
rendah. Hal ini dikarenakan oleh banyak faktor seperti waktu paruh yang pendek,
distribusi jaringan yang terbatas, serta metabolisme dan eliminasi yang cepat
dikarenakan adanya gugus β-diketon pada kurkumin yang tidak stabil pada pH
fisiologis (Habibi dkk., 2020; Sharifi-Rad dkk., 2020). Disisi lain disebabkan
mudahnya konversi tautomerik pada struktur kurkumin sehingga diduga
berkontribusi pada metabolisme kurkumin yang cepat. Strategi untuk
meningkatkan bioavailabilitas kurkumin dapat dilakukan dengan cara
memodifikasi motif strukturalnya sehingga membentuk suatu analog kurkumin
(Vyas dkk., 2013). Transformasi struktur diketon kurkumin menjadi analog
kurkumin secara signifikan meningkatkan stabilitasnya (Li dkk., 2015).
14

II.1.3 Sintesis senyawa analog kurkumin monoketon


Secara umum, senyawa analog kurkumin dapat dibuat melalui kondensasi
aldehida dengan keton, baik dalam suasana asam maupun basa. Metode ini
dikenal dengan reaksi kondensasi aldol silang atau yang lebih spesifik disebut
dengan reaksi kondensasi Claisen-Schmidt. Reaksi kondensasi aldol sangat
populer dan banyak digunakan karena reaksinya sederhana, dengan bahan yang
mudah didapat dan juga dikenal ramah lingkungan. Katalis asam biasanya
digunakan dalam reaksi kondensasi aldol, seperti asam klorida encer, sedangkan
kondisi katalis basa menggunakan natrium hidroksida, natrium metoksida, atau
litium metoksida, baik dengan menggunakan pelarut seperti etanol, atau tanpa
pelarut (Eryanti, 2013).
Kondensasi aldol silang biasanya dilakukan dengan mengubah gugus
diketon menjadi gugus monoketon dengan penambahan katalis asam ataupun
katalis basa. Katalis yang ditambahkan biasanya berupa katalis basa homogen
seperti NaOH. Penggunaan katalis ini efektif dalam menurunkan suhu reaksi dan
mempersingkat waktu reaksi (Mardiana dkk., 2017). Carapina da Silva dkk.
(2019) mensintesis senyawa analog kurkumin berbahan dasar 4-klorobenzaldehida
dengan aseton, siklopentanon dan sikloheksanon menggunakan pelarut etanol dan
katalis NaOH pada suhu ruang menghasilkan rendemen 40-82%. Skema sintesis
yang dilakukan oleh Carapina da Silva dkk. (2019) ditunjukkan pada Gambar II.7.

Gambar II.7 Sintesis analog kurkumin (Carapina da Silva dkk., 2019)

Sardjiman (2000) berhasil mensintesis 12 analog kurkumin dengan


mereaksikan berbagai turunan benzaldehida dengan aseton menggunakan katalis
asam atau basa. Sintesis dilakukan menggunakan aldehid berupa 4-
klorobenzaldehida dan aseton dengan perbandingan mol (2:1) dan katalis NaOH
sehingga dihasilkan analog kurkumin monoketon 1,5-bis(4-klorobenziliden)-1,4-
15

pentadiena-3-on dengan rendemen sebesar 93,8%. Sintesis yang dilakukan oleh


Sardjiman (2000) ditunjukkan pada Tabel II.1.

Tabel II.1 Sintesis analog kurkumin dengan variasi turunan benzaldehida


No Aldehida Katalis
1 Benzaldehida NaOH
2 3-klorobenzaldehida NaOH
3 3,4-diklorobenzaldehida NaOH
4 4-trifluorometilbenzaldehida NaOH
5 4-metilbenzaldehida NaOH
6 4-metoksibenzaldehida NaOH
7 4-klorobenzaldehida NaOH
8 3,5-dikloro-4-hidroksibenzaldehida HCl
9 4-hidroksi-3,5-dimetilbenzaldehida HCl
10 4-hidroksibenzaldehida HCl
11 4-hidroksi-3-metoksibenzaldehida HCl
12 4-hidroksi-3,5-dimetoksibenzaldehida HCl

Astuti dkk. (2020) telah melakukan sintesis analog kurkumin benzaldehida


tersubstitusi dengan aseton, siklopentanon dan sikloheksanon menggunakan
katalis basa NaOH dan pelarut etanol menghasilkan analog kurkumin dengan
rendemen 58-88%, serta menggunakan katalis asam HCl dan pelarut
tetrahidrofuran menghasilkan rendemen 54-79%. Wei dkk, (2012) juga telah
mensintesis senyawa analog kurkumin menggunakan variasi benzaldehida
tersubstitusi gugus metoksi, hidroksi, fluoro, kloro, dan bromo yang direaksikan
dengan sikloheksanon, siklopentanon, aseton, 4-piperidon, tetrahidropiran-4-on,
dan tetrahidrotiopiran-4-on menggunakan katalis NaOH.

II.1.4 Studi penambatan molekul


Perancangan senyawa obat merupakan proses literasi yang diawali dengan
mengidentifikasi senyawa yang menunjukkan sifat biologis dan diakhiri dengan
langkah optimasi baik dari profil aktivitas maupun sintesis senyawa tersebut.
Tanpa pengetahuan lengkap tentang proses biokimia yang bertanggung jawab
untuk aktivitas biologis, hipotesis desain obat umumnya didasarkan pada
pengujian kesamaan struktural dan pembedaan antara molekul aktif dan tidak
aktif. Kemajuan dalam kimia komputasi memungkinkan peneliti untuk
menggunakan komputer untuk mengoptimalkan aktivitas, bentuk, dan reaktivitas
16

sebelum mensintesis senyawa secara eksperimental. Hal ini dapat menghindari


langkah yang memakan waktu dan biaya yang cukup mahal dalam mensintesis
senyawa, tetapi senyawa baru tidak memiliki aktivitas yang diharapkan (Pranowo,
2011).
Salah satu metode yang dapat digunakan dalam penentuan senyawa obat
baru adalah metode penambatan molekul atau molecular docking. Pada metode
penambatan molekul dilakukan proses penambatan (docking) suatu senyawa
usulan (ligan) terhadap sisi aktif protein target (reseptor) dengan metode
komputasi. Metode ini digunakan untuk mempelajari interaksi antara molekul
dengan senyawa yang diinginkan. Tujuan dari penambatan molekul ini adalah
untuk memodelkan suatu struktur dan memprediksi aktivitasnya secara akurat
Selain itu, metode penambatan molekul akan menginvestigasi struktur dan sifat
molekular menggunakan pendekatan kimia komputasi dan teknik visualisasi grafis
yang akan menghasilkan gambaran 3D yang akurat dari suatu sistem kimia.
(Kitchen dkk., 2004; Pranowo, 2011).
Penambatan molekul dapat memprediksi orientasi ligan yang lebih disukai,
afinitas ikatan, serta interaksi ligan pada situs pengikatan protein. Informasi dari
orientasi dapat digunakan untuk memprediksi kekuatan afinitas ikatan antara
target obat dan molekul ligan menggunakan fungsi skoring (Lengauer dan Rarey,
1996). Nilai afinitas ikatan senyawa usulan yang lebih rendah dari ligan asli
menunjukkan senyawa usulan memiliki kestabilan yang tinggi (Frengki dkk.,
2013).

II.1.5 Plasmodium falciparum Lactate Dehydrogenase (PfLDH)


Plasmodium falciparum Lactate Dehydrogenase atau PfLDH merupakan
protein utama yang bekerja sebagai penghasil energi pada parasit malaria yang
terlibat dalam tahap akhir glikolisis dan mengkatalisis konversi piruvat menjadi
laktat serta konversi NADH menjadi NAD+ secara bersamaan. Protein PfLDH
telah dikristalisasi dengan berbagai inhibitor, termasuk klorokuin (Saxena dkk.,
2018). Inhibitor seperti klorokuin dengan aktivitas antimalaria telah terbukti dapat
mengikat PfLDH. Pengikatan klorokuin di area situs pengikatan PfLDH
menunjukkan bahwa klorokuin bertindak sebagai inhibitor kompetitif untuk
17

protein ini (Penna-Coutinho dkk., 2011). Studi penambatan molekul dengan


protein PfLDH telah dilakukan oleh Zakaria dkk. (2020) yang menyatakan bahwa
residu residu asam amino Val26, Phe52, Ile54, Ala98, dan Ile119 bertindak
sebagai inhibitor kompetitif bagi protein PfLDH.

II.1.6 Plasmodium falciparum Enoyl Acyl Carrier Protein Reductase (PfENR)


Protein PfENR merupakan salah satu protein yang terdapat pada parasit
malaria yang memainkan peran penting dalam proses pemanjangan asam lemak.
Penemuan jalur biosintesis asam lemak tipe II (FAS II) pada P. falciparum telah
membuka peluang baru untuk pengembangan obat malaria. Asam lemak
memainkan peran penting dalam sel sebagai prekursor metabolisme untuk
membran biologis dan penyimpanan energi. Melalui studi penambatan molekul,
kurkumin berinteraksi dengan residu asam amino pada protein PfENR dengan
nilai afinitas ikatan sebesar -6,96 kkal/mol (Narayanaswamy dkk., 2017). Perozzo
dkk. (2002) melaporkan bahwa enam residu asam amino pada protein PfENR
yakni Tyr277, Tyr267, Pro314, Phe368, Ile369, dan Lys285 memiliki peran dalam
mekanisme katalitik.

II.1.7 Plasmodium falciparum Ca2+ ATPase (PfATP6)


Protein PfATP6 terdiri atas 1228 asam amino yang merupakan ortolog dari
retikulum sarkoplasma/endoplasma Ca2+ ATPase mamalia (SERCA). Protein
PfATP6 bertindak sebagai target penting dari artemisinin dimana aktivitas Ca2+
ATPase yang dikaitkan dengan PfATP6 dalam membran oosit ditemukan adanya
penghambatan oleh artemisinin dan thapsigargin (Arnou dkk., 2011; Shukla dkk.,
2012). Adanya regulasi ion Ca2+ pada parasit malaria menjadikan ion ini sangat
vital bagi kelangsungan hidup parasit malaria seperti metabolisme sel, motilitas,
dan diferensiasi sel, sehingga adanya gangguan dalam kultur transpor ion Ca2+
oleh ionofor Ca2+ mengakibatkan terhentinya proses pertumbuhan P. falciparum
(Kimura dkk, 1993; Suwandi, 2015). Penelitian yang telah dilakukan oleh Shukla
dkk. (2012) dan Dohutia dkk. (2017) menunjukkan lebih dari 20 senyawa analog
kurkumin dapat mengikat protein PfATP6 dengan nilai afinitas ikatan yang sama
atau bahkan lebih baik daripada kurkumin itu sendiri, serta adanya korelasi antara
18

interaksi hidrofobik senyawa analog kurkumin dengan residu asam amino Leu268
pada protein PfATP6 terhadap aktivitas antimalaria secara in vitro. Senyawa
analog kurkumin yang memiliki interaksi hidrofobik dengan residu asam amino
Leu268 dilaporkan memiliki aktivitas antimalaria yang baik dibandingkan dengan
kurkumin.

II.1.8 Uji in vitro aktivitas antimalaria


Evaluasi sensitifitas obat antimalaria dapat dilakukan dengan metode in
vitro. Pengujian antimalaria secara in vitro merupakan langkah awal dalam
pengembangan obat baru. Uji in vitro dilakukan terhadap kultur parasit P.
falciparum yang merupakan parasit yang menyebabkan malaria (Hakim dkk.,
2010). Menurut Rieckmann dkk. (1978) metode microtechnique merupakan
bagian dari in vitro yang dapat dilakukan pada skala mikro untuk menentukan
apakah suatu senyawa kimia berpotensi memiliki aktivitas antimalaria.
Microtechnique merupakan pengujian yang cukup mudah karena hanya
membutuhkah jumlah darah yang sedikit, tidak memakan waktu yang lama, serta
tidak membutuhkan peralatan khusus. Aktivitas antimalaria dapat dilakukan
dengan menghitung nilai penghambatan yang dinyatakan dalam nilai half-
maximal inhibitory concentration (IC50). Nilai IC50 merupakan ukuran kemanjuran
suatu obat yang paling banyak digunakan dan informatif (Aykul dan Hackert,
2016). Menurut Batista dkk. (2009) aktivitas antimalaria (IC50) senyawa hasil
sintesis diklasifikasikan menjadi 5 kelompok, yaitu: sangat aktif (IC50 < 1 μM);
aktif (IC50 1-20 μM); sedang (IC50 20-100 μM); rendah (IC50 100-200 μM); dan
tidak aktif (IC50 > 200 μM).

II.1.9 Farmakokinetik
Farmakokinetik adalah proses pergerakan suatu senyawa obat dalam
mencapai target kerja obat. ADMET yang merupakan singkatan dari absorpsi,
distribusi, metabolisme, ekskresi, dan toksisitas adalah bagian dari penilaian
farmakokinetik senyawa obat. Prediksi sifat suatu senyawa obat dan efek yang
ditimbulkan oleh obat di dalam tubuh, seperti berapa banyak obat yang diabsorbsi
jika diberikan secara oral serta berapa banyak yang diabsorbsi di saluran cerna
19

merupakan bagian tak terpisahkan dari penemuan obat. Jika penyerapannya buruk,
distribusi dan metabolismenya akan terpengaruh sehinga dapat menyebabkan
gangguan pada otak (neurotoksisitas) dan pada ginjal (nefrotoksisitas) (Flores-
Holguín dkk., 2021).
Vared dkk. (2008) mengevaluasi sifat farmakokinetik dari pemberian
kurkumin dengan dosis tertentu terhadap sukarelawan dalam kondisi sehat.
Pemberian kurkumin dilaporkan memiliki efek samping pada dosis 10 dan 12
gram. Namun efek samping ini dikualifikasikan sebagai efek samping yang ringan
dan tidak serius karena berada pada rentang toksisitas ringan. Artinya, kurkumin
dianggap aman untuk digunakan. Cheng dkk. (2001) juga telah menguji beberapa
dosis kurkumin mulai dari 500 mg hingga 12 g/hari dalam uji klinis fase I dengan
25 pasien dengan resiko tinggi kanker selama tiga bulan. Pemberian kurkumin
secara oral menunjukkan tidak adanya efek toksik bahkan pada dosis 8 g/hari.

II.2 Perumusan Hipotesis dan Rancangan Penelitian


II.2.1 Perumusan hipotesis I
Dasar pemikiran I:
Zakaria dkk. (2020) menyatakan bahwa residu asam amino Val26, Phe52,
Ile54, Ala98, dan Ile119 bertindak sebagai inhibitor kompetitif bagi protein
PfLDH. Enam residu asam amino yakni Tyr277, Tyr267, Pro314, Phe368, Ile369,
dan Lys285 berperan dalam mekanisme katalitik protein PfENR (Perozzo dkk.,
2002). Adanya korelasi antara interaksi hidrofobik senyawa analog kurkumin
dengan residu asam amino Leu268 pada protein PfATP6 terhadap aktivitas
antimalaria secara in vitro. Senyawa analog kurkumin yang memiliki interaksi
hidrofobik dengan residu asam amino Leu268 memiliki aktivitas antimalaria yang
baik dibandingkan dengan kurkumin (Dohutia dkk., 2017). Berdasarkan studi in
silico, pemasukan gugus Cl pada posisi 4 (para) pada kedua cincin fenil untuk
membentuk ligan simetris dapat meningkatkan afinitas ikatan (Cui dkk., 2011).
Menurut Frengki dkk. (2013) nilai afinitas ikatan senyawa usulan yang lebih
rendah dari ligan asli menunjukkan senyawa usulan memiliki kestabilan yang
tinggi.
20

Hipotesis I
Jika aktivitas antimalaria dapat dirujuk dari hasil penambatan molekul
antara senyawa analog kurkumin dengan protein PfLDH, PfENR, dan PfATP6
yang memiliki interaksi dengan residu asam amino spesifik pada sisi aktif serta
afinitas ikatan yang lebih rendah dari kurkumin maka senyawa analog kurkumin
akan memiliki kestabilan yang tinggi serta aktivitas antimalaria yang baik
dibandingkan kurkumin.

II.2.2 Perumusan hipotesis II


Dasar pemikiran II:
Yusuf dkk. (2018) dengan metode kondensasi aldol silang (Claisen-
Schmidt) mengubah gugus diketon menjadi monoketon, menunjukkan senyawa
analog kurkumin memiliki potensi sebagai obat antimalaria. Sardjiman (2000)
telah mensintesis analog kurkumin menggunakan 4-klorobenzaldehida dengan
aseton perbandingan mol (2:1) menggunakan katalis NaOH menghasilkan
rendemen 93,8%. Carapina da Silva dkk. (2019) mensintesis senyawa analog
kurkumin berbahan dasar 4-klorobenzaldehida dengan aseton, siklopentanon dan
sikloheksanon menggunakan pelarut etanol dan katalis NaOH pada suhu ruang
menghasilkan rendemen 40-82%.
Hipotesis II
Jika 4-klorobenzaldehida direaksikan dengan variasi keton
(aseton/siklopentanon/sikloheksanon/4-piperidon/n-metil-4-piperidon/n-benzil-4-
piperidon) di dalam pelarut etanol dan penambahan katalis NaOH melalui reaksi
kondensasi aldol silang (Claisen-Schdmidt) maka akan dihasilkan senyawa analog
kurkumin monoketon dengan rendemen yang baik.

II.2.3 Perumusan hipotesis III


Dasar pemikiran III:
Reddy dkk. (2005) melaporkan bahwa kurkumin memiliki aktivitas
sebagai antimalaria dengan menghambat pertumbuhan P. falciparum yang resisten
terhadap klorokuin dengan nilai IC50 ~5 μM. Aher dkk. (2011) melakukan uji in
vitro terhadap P. falciparum strain 3D7 menggunakan senyawa analog kurkumin
21

berbahan dasar aldehida substituen 4-F, 4-Cl, 4-Br, 4-Me, dan 4-MeO dengan
aseton menghasilkan nilai IC50 berturut-turut 133,2 ± 2,0; 92,35 ± 1,2; 221,89 ±
4,5; 114,35 ± 1,5; dan 254,80 ± 3,7 µM. Habibi dkk. (2020) menyatakan bahwa
kurkumin memiliki sifat farmakokinetik yang buruk terutama karena
bioavailabilitasnya rendah yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti waktu
paruh yang pendek, distribusi jaringan yang terbatas, serta metabolisme dan
eliminasi yang cepat.
Hipotesis III
Jika senyawa analog kurkumin berbahan dasar 4-klorobenzaldehida
dengan variasi keton (aseton/siklopentanon/sikloheksanon/4-piperidon/n-metil-4-
piperidon/n-benzil-4-piperidon) memiliki interaksi dengan residu asam amino
spesifik pada sisi aktif dan afinitas ikatan yang lebih baik dari kurkumin maka
senyawa analog kurkumin hasil sintesis akan memiliki nilai IC50 terhadap P.
falciparum strain FCR3 dan 3D7 dan sifat farmakokinetik yang lebih baik
daripada kurkumin.

II.2.4 Rancangan penelitian


Rancangan penelitian dibuat untuk membuktikan hipotesis tersebut,
hipotesis yang telah dirumuskan dibuktikan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Hipotesis I dapat diverifikasi dengan melakukan penambatan molekul
enam senyawa analog kurkumin dengan masing-masing reseptor yakni
protein PfLDH, PfENR, dan PfATP6. Enam senyawa analog kurkumin
dilakukan optimasi menggunakan metode semi empiris PM6 sehingga
didapatkan konformasi paling stabil. Selanjutnya validasi menggunakan
proses redocking dibuktikan dengan nilai RMSD ≤ 2,0 dan dilanjutkan
dengan penambatan molekul enam senyawa analog kurkumin dengan
masing-masing reseptor sehingga didapatkan tiga senyawa analog
kurkumin terbaik berdasarkan interaksi dengan residu asam amino spesifik
pada sisi aktif protein dan nilai afinitas ikatan terendah.
2. Hipotesis II dapat diverifikasi dengan melakukan sintesis tiga senyawa
analog kurkumin terbaik hasil penambatan molekul. Tiga senyawa analog
22

kurkumin dihasilkan dengan mereaksikan 4-klorobenzaldehida dengan


variasi keton (aseton/siklopentanon/sikloheksanon/4-piperidon/n-metil-4-
piperidon/n-benzil-4-piperidon) menggunakan katalis NaOH dan pelarut
etanol. Tiga senyawa analog kurkumin diuji titik lelehnya dan selanjutnya
dibuktikan dengan hasil karakterisasi menggunakan TLC scanner, FTIR,
MS/MS, 1H-NMR, dan 13C-NMR.
3. Hipotesis III dapat diverifikasi dengan melakukan uji aktivitas antimalaria
tiga senyawa analog kurkumin hasil sintesis secara in vitro menggunakan
parasit P. falciparum strain FCR3 (resisten klorokuin) dan 3D7 (sensitif
klorokuin). Uji aktivitas antimalaria tiga senyawa analog kurkumin secara
in vitro dilakukan dengan teknik mikro (microtechnique) menggunakan
variasi konsentrasi sehingga didapatkan jumlah sel yang terinfeksi parasit
P. falciparum strain FCR3 dan 3D7. Aktivitas antimalaria tiga senyawa
analog kurkumin dibuktikan dengan nilai IC50 yang didapatkan dari
analisis probit menggunakan perangkat lunak SPSS Statistics 26 serta
dilakukan evaluasi sifat ADMET menggunakan server online gratis yakni
AdmetSAR (http://lmmd.ecust.edu.cn/admetsar2/) (Cheng dkk., 2012);
pkCSM (http://structure.bioc.cam.ac.uk/pkcsm) (Pires dkk., 2015); dan
ADMETLab 2,0 (https://admetmesh.scbdd.com) (Xiong dkk., 2021).
BAB III
METODE PENELITIAN

III.1 Bahan Penelitian


Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kualitas pro
analisis yaitu 4-klorobenzaldehida (Macklin), sikloheksanon (Sigma-Aldrich),
n-metil-4-piperidon (Macklin), n-benzil-4-piperidon (Macklin), kurkumin, etanol,
metanol, natrium hidroksida, etil asetat, toluena, destilate water, larutan RBC
(Red Blood Cell), serum darah, dimetil sulfoksida (DMSO), dan larutan Media
Roswell Park Memorial Institute 1640 (RPMI-1640). Material yang digunakan
untuk penambatan molekul adalah protein PfLDH (PDB ID: 1CET.pdb), PfENR
(PDB ID: 1NHG.pdb), dan PfATP6 (PDB ID: 1U5N.pdb) yang diunduh dari
website (www.pdb.org). Material evaluasi ADMET menggunakan database dari
AdmetSAR, pkCSM, dan ADMETLab 2.0 secara online.

III.1 Alat Penelitian


Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain rangkaian
peralatan gelas laboratorium, pengaduk magnetik, pipa kapiler, kertas saring,
microtube, penentuan titik leleh (Electrothermal IA9100), TLC scanner (CAMAG
TLC Scanner), 1H-NMR (500 MHz), 13
C-NMR (125 MHz) (JEOL JNM-ECZ),
Spektrofotometer FTIR (Shimadzu Prestige-21), Spektrometri Massa (MS/MS,
Waters Xevo QtoF MS), lampu UV 254 nm, plat 96-sumuran, centrifuge,
inkubator CO2, pipet mikro 0,1-1000 μL, blue tip, yellow tip, mikroskop dan
laminar air flow. Sistem operasi komputer yang digunakan untuk simulasi
penambatan molekul adalah Windows 10 Ultimate 64 bit, perangkat lunak yang
digunakan adalah GaussView 5.0.8, Autodock4, Discovery Studio Visualizer
2021 (DSV), Chimera 1.14, dan IBM SPSS Statistic 26.

III.2 Prosedur Penelitian


III.3.1 Preparasi protein PfLDH, PfENR, dan PfATP6
Tahapan penambatan molekul diawali dengan preparasi protein
antimalaria yang bertindak sebagai reseptor. Protein PfLDH (PDB ID:

23
24

1CET.pdb), PfENR (PDB ID: 1NHG.pdb), dan PfATP6 (PDB ID: 1U5N.pdb)
diunduh dari website (www.pdb.org). Perangkat lunak Chimera 1.14 digunakan
untuk memisahkan residu (H2O dan native ligand) pada protein. Protein kemudian
diperbaiki muatannya dengan menambahkan muatan parsial Gasteiger Charges
dan disimpan dalam format .pdb. Native ligand dari protein PfLDH dan PfENR
diambil menggunakan perangkat lunak Chimera 1.14 kemudian ditambahkan
atom H dan muatan parsial Gasteiger Charges lalu disimpan dalam format .mol2.

III.3.2 Preparasi ligan (senyawa analog kurkumin)


Senyawa usulan yang berperan sebagai ligan berupa senyawa analog
kurkumin A-F (AK A-F). Nama IUPAC dan struktur senyawa AK A-F
ditunjukkan pada Tabel III.1.

Tabel III.1 Nama IUPAC dan struktur geometri senyawa AK A-F


Nama senyawa Nama IUPAC Stuktur geometri

AK A (1E,4E)-1,5-Bis(4-klorofenil)-1,4-pentadien-3-on

AK B (2E,5E)-2,5-Bis(4-klorobenziliden)siklopentanon

AK C (2E,6E)-2,6-Bis(4-klorobenziliden)sikloheksanon

AK D (3E,5E)-3,5-Bis(4-klorobenziliden)-4-piperidon

(3E,5E)-3,5-Bis(4-klorobenziliden)-1-metil-piperidin-
AK E
4-on

(3E,5E)-3,5-Bis(4-klorobenziliden)-1-benzil-piperidin-
AK F
4-on

(1E,6E)-1,7-Bis(4-hidroksi-3-metoksifenil)-1,6-
Kurkumin
heptadien-3,5-dion

Struktur 3D senyawa AK A-F diunduh melalui website


(www.pubchem.ncbi.nlm.nih.gov) dalam format .sdf dan dibuka menggunakan
perangkat lunak GaussView 5.0.8. Struktur 3D masing-masing senyawa analog
25

kurkumin dilakukan optimasi melalui menu Calculate – Gaussian Calculation


Setup yang terhubung langsung dengan perangkat lunak Gaussian 09W. Proses
optimasi diatur menggunakan metode semi-empiris PM6 (Parameterized Model
6). Setelah proses optimasi selesai, didapatkan hasil berupa konformasi 3D paling
stabil dengan nilai energi terendah. Masing-masing konformasi 3D senyawa
analog kurkumin disimpan dalam format file .mol2 untuk dilakukan proses
penambatan molekul.

III.3.3 Penambatan molekul senyawa analog kurkumin


Penambatan molekul dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak
AutoDock4. Penambatan molekul diawali dengan penambatan ulang (redocking)
masing-masing native ligand yang telah dipisahkan dengan protein asalnya.
AutoDockTools (ADT) digunakan untuk optimasi ligan dan reseptor, sedangkan
Autogrid4 berfungsi sebagai pengatur gridmap. Proses redocking antara native
ligand dilakukan dengan ukuran gridbox sebesar 50 x 50 x 50 Å untuk protein
PfLDH, dan 54 x 54 x 54 Å untuk protein PfENR. Sementara untuk proses
penambatan (docking) senyawa usulan ditetapkan dalam keadaan standar (sama
dengan redocking) dengan menggunakan file .mol2 dari hasil optimasi geometri.
Algoritma Genetik Lamarckian dengan pencarian lokal digunakan sebagai mesin
pencari, sebanyak 20 kali pengulangan untuk protein PfLDH, 100 kali
pengulangan untuk protein PfENR, dan 500 kali pengulangan untuk protein
PfATP6. Konformasi setiap ligan diurutkan berdasarkan interaksi dengan residu
asam amino dan nilai afinitas ikatan terhadap sisi aktif protein. Kluster interaksi
dengan residu asam amino spesifik dan nilai afinitas ikatan paling rendah
dievaluasi dan divisualisasi secara 3D dan 2D menggunakan software Discovery
Studio Visualizer 2021.

III.3.4 Sintesis senyawa analog kurkumin monoketon


Berdasarkan hasil penambatan molekul, maka akan disintesis tiga senyawa
analog kurkumin yang memiliki interaksi dengan residu asam amino spesifik dan
nilai afinitas ikatan terendah. Prosedur sintesis merujuk pada Carapina da Silva
dkk. (2019) dengan sedikit modifikasi seperti jumlah mmol reaktan, lama
26

pengadukan, volume katalis, dan pelarut rekristalisasi yang digunakan. Mula-mula


sebanyak 10 mmol 4-klorobenzaldehida dilarutkan dalam etanol 20 mL kemudian
direaksikan dengan 5 mmol variasi keton (aseton/siklopentanon/sikloheksanon/4-
piperidon/n-metil-4-piperidon/n-benzil-4-piperidon) dan diaduk selama 10 menit
pada suhu kamar. Selanjutnya ditambahkan NaOH 40% sebanyak 5 mL,
kemudian campuran diaduk pada suhu kamar dan dimonitor dengan KLT setiap
satu jam hingga menghasilkan noda tunggal. Endapan yang dihasilkan dinetralkan
dengan HCl pekat hingga pH 7, selanjutnya endapan disaring dan dikeringkan.
Padatan yang dihasilkan direkristalisasi menggunakan pelarut etanol panas,
campuran didiamkan di suhu kamar hingga terbentuk kristal, kristal disaring
kemudian dikeringkan dan disimpan di dalam desikator dan ditimbang. Kristal
yang diperoleh diuji titik leleh menggunakan Electrothermal Melting Point Model
o
IA9100 dengan rentang suhu 100-200 C dan dielusidasi menggunakan;
TLC scanner (CAMAG TLC Scanner) dengan media uji berupa plat KLT silica
gel 60 F254 ukuran 3x5 cm. Pelarut yang digunakan yakni n-heksana:etil asetat
(AK E dan F) dan n-heksana:toluena (AK C); FTIR (Shimadzu Prestige-21)
dengan ATR diamond; MS/MS (Waters Xevo QtoF MS) menggunakan pelarut
aseton untuk melarutkan senyawa analog kurkumin; NMR (JEOL JNM-ECZ)
menggunakan pelarut kloroform untuk melarutkan senyawa analog kurkumin,
dengan radio frekuensi 500 MHz (1H-NMR) dan 125 MHz (13C-NMR).

III.3.5 Uji aktivitas antimalaria secara in vitro


Prosedur uji aktivitas antimalaria secara in vitro merujuk pada prosedur
Rieckmann dkk. (1978) yang telah dimodifikasi oleh Zakiah dkk. (2021).
Sebanyak masing-masing 5 mg tiga sampel analog kurkumin hasil sintesis dan
kurkumin ditimbang dan dimasukkan ke dalam microtube 1,5 mL. DMSO sebagai
kontrol negatif dan kurkumin sebagai kontrol positif. Setiap sampel dilarutkan
dengan 1000 µL DMSO kemudian diambil 0,4 µL dan dicampurkan dengan 999,6
µL RPMI untuk menghasilkan konsentrasi 1 µg/mL dan diencerkan menjadi
konsentrasi 0,5; 0,25; 0,125; dan 0,0625 µg/mL. Setiap konsentrasi diulang
sebanyak tiga kali pengulangan. Masing-masing larutan diambil sebanyak 100 µL
dan dimasukkan dalam plat 96-sumuran lalu dicampur dengan suspensi parasit
27

dengan kadar parasitemia ± 1% sebanyak 100 µL. Kultur dimasukkan ke dalam


inkubator dan diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 72 jam. Kultur dipanen setelah
diinkubasi lalu dibuat sediaan lapisan darah tipis dengan pewarnaan giemsa 20%
selama 10 menit dan dilanjutkan dengan dihitung persen parasitemia dan persen
penghambatan pertumbuhan P. falciparum. Perhitungan dilakukan dengan
pengamatan di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000 kali. Pengamatan
dilakukan dengan menghitung berapa sel darah merah yang terinfeksi pada setiap
±1000 sel eritrosit. Fase yang diamati adalah fase tropozoit dan skizon. Persentase
parasitemia didapatkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

sel eritrosit yang terinfeksi


%parasitemia = x 100%
sel eritrosit yang ditemukan

Rumus untuk perhitungan % penghambatan adalah sebagai berikut:


Xo−Xa
%penghambatan = x 100%
Xo
Keterangan:
Xo: persen parasitemia kontrol negatif
Xa: persen parasitemia sampel
Nilai IC50 dihitung menggunakan software SPSS Statistics 26 dengan analisis
probit.

III.3.6 Analisis drug-likeness dan prediksi ADMET senyawa analog


kurkumin
Tiga senyawa analog kurkumin terbaik hasil penambatan molekul
dilakukan analisis drug-likeness dan prediksi ADMET menggunakan server
online gratis yakni AdmetSAR (http://lmmd.ecust.edu.cn/admetsar2/) (Cheng
dkk., 2012); pkCSM (http://structure.bioc.cam.ac.uk/pkcsm) (Pires dkk., 2015);
dan ADMETLab 2,0 (https://admetmesh.scbdd.com) (Xiong dkk., 2021) dengan
memasukkan kode SMILES pada masing-masing server yang diunduh dari
website (www.pubchem.ncbi.nlm.nih.gov).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Protein Target Antimalaria dan Penambatan molekul


Pemilihan protein target yang menjadi titik penghambatan merupakan
langkah awal dalam pengembangan kandidat senyawa obat baru. PfLDH, PfENR,
dan PfATP6 merupakan protein yang umum digunakan sebagai target
penghambatan obat antimalaria yang memiliki peran masing-masing dalam siklus
hidup P. falciparum. Penambatan molekul merupakan tahapan yang akan
memprediksi interaksi serta afinitas ikatan antara ligan dengan reseptor. Dalam
penelitian ini terdapat 6 senyawa usulan yang berperan sebagai ligan yaitu
senyawa AK A-F dan kurkumin sebagai ligan pembanding. Reseptor yang
digunakan adalah protein PfLDH, PfATP6, dan PfENR.

Tabel IV.1 Struktur geometri senyawa AK A-F hasil optimasi


Nama senyawa Struktur geometri

AK A

AK B

AK C

AK D

AK E

AK F

Kurkumin

28
29

Proses preparasi ligan dan reseptor merupakan langkah awal dalam


rangkaian tahapan penambatan molekul. Struktur geometri enam senyawa usulan
dan kurkumin dilakukan optimasi geometri menggunakan metode semi-empiris
PM6 agar menghasilkan konformasi yang lebih stabil (Tabel IV.1). PM6
merupakan pengembangan dari metode semi empiris AM1 dan PM3. PM6
mampu mengoreksi kesalahan perhitungan yang terjadi pada AM1 dan PM3
bahkan dapat digunakan dalam perhitungan muatan semi empiris dari ligan yang
berukuran kecil serta protein (Bikadi dan Hazai, 2009).
Tahapan penambatan molekul dilanjutkan dengan proses redocking
(penambatan ulang) untuk mendapatkan konformasi ligan alami terbaik
berdasarkan nilai Root Mean Square Deviation (RMSD). Program Autodock4
menjadi pilihan saat melakukan proses redocking karena Autodock4 memiliki
kinerja yang baik dalam proses penambatan dibandingkan dengan program yang
sejenis seperti PLANTS dan Gold. Hal ini didasari pada kemampuan program
penambatan molekul dalam menghasilkan konformasi yang berlandaskan pada
nilai RMSD (Boittier dkk, 2020).
RMSD merupakan ukuran derajat kesamaan dua buah struktur 3D yang
digunakan sebagai parameter keberhasilan dan menjadi validasi dalam proses
penambatan ulang ligan alami dengan reseptor. Nilai RMSD yang dapat diterima
yaitu ≤ 2,0 Å, nilai RMSD yang semakin tinggi menunjukkan ketidakmiripan,
sedangkan nilai RMSD yang semakin rendah menunjukkan struktur konformasi
yang identik (Abdalla dkk., 2022). Hasil redocking berupa jumlah konformasi,
nilai RMSD, nilai afinitas ikatan yang dinyatakan dalam satuan kkal/mol, serta
visualisasi 3D dan 2D interaksi ligan dengan reseptor.

IV.2 Penambatan Molekul Senyawa Analog Kurkumin dengan PfLDH


Reseptor protein PfLDH dengan kode PDB ID: 1CET diunduh melalui
situs web Protein Data Bank (www.rcsb.org) dalam bentuk struktur 3D. Protein
PfLDH memiliki ligan alami hasil kristalografi pada strukturnya yaitu klorokuin
(CLQ) sehingga dipreparasi menggunakan Chimera untuk memisahkan ligan
alami dengan protein. Hasil pemisahan ligan alami dengan protein ditunjukkan
pada Gambar IV.1.
30

(a) (b)

Gambar IV.1 (a) Protein PfLDH dengan ligan alami CLQ (b) protein PfLDH
tanpa ligan alami CLQ

Protein yang telah terpisah memiliki rongga yang sebelumnya ditempati


oleh ligan alami. Rongga pada permukaan atau bagian dalam protein disebut
binding pocket yang terdiri dari berbagai residu asam amino. Kumpulan residu
asam amino disekitar binding pocket ini menentukan karakteristik fisikokimia dari
protein (Stank dkk., 2016). Binding pocket ini juga merupakan sisi aktif dari
protein tempat dilakukannya proses redocking ligan alami serta penambatan
senyawa usulan.
Proses redocking dilakukan dengan mengatur ukuran grid box sebesar 50
x 50 x 50 Å agar melingkupi semua struktur klorokuin (CLQ). Nilai RMSD hasil
redocking dipilih yang terendah diantara semua konformasi sehingga diperoleh
nilai RMSD sebesar 1,50 Å dan nilai afinitas ikatan sebesar -6,13 kkal/mol. Nilai
RMSD yang diperoleh telah memenuhi syarat RMSD redocking yaitu di bawah
2,0 Å sehingga hasil penambatan telah memenuhi kriteria validitas dan dapat
dilanjutkan dengan penambatan senyawa usulan. Visualisasi kemiripan ligan
alami setelah redocking dengan ligan alami hasil kristalografi ditunjukkan pada
Gambar IV.2.
31

Gambar IV.2 Ligan CLQ sebelum (warna hijau) dan sesudah (warna biru)
dilakukan redocking dengan protein PfLDH

Interaksi antara ligan alami hasil redocking divisualisasi dalam bentuk


3D dan 2D menggunakan program Discovery Studio Visualizer (DSV). Ligan
alami CLQ berinteraksi dengan protein PfLDH pada sisi aktif menghasilkan
ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, dan interaksi van der Waals.

Interaksi:

Gambar IV.3 Visualisasi 3D dan 2D interaksi ligan alami CLQ dengan protein
PfLDH

Berdasarkan Gambar IV.3 struktur 3D menunjukkan ligan alami CLQ


berada pada binding pocket protein PfLDH. Visualisasi 2D menunjukkan adanya
ikatan hidrogen yang terjadi antara ligan alami CLQ dengan residu asam amino
Glu122 yang merupakan interaksi conventional hydrogen bond, interaksi ini
terjadi antara atom H dari gugus amina sekunder pada ligan alami CLQ berikatan
32

dengan atom O pada residu asam amino Glu122 yang bertindak sebagai akseptor-
proton. Interaksi lainnya berupa salt bridge antara atom O pada residu asam
amino Glu122 dengan atom H dari gugus amina tersier yang bermuatan positif.
Tipe interaksi salt bridge ini terjadi karena adanya dua muatan yang berlawanan
berada pada jarak yang cukup dekat biasanya dibawah 4 Å (Donald dkk., 2011
dan Salentin dkk., 2014).
Residu asam amino Ile54, Ala98, Ile119, Phe52, Val26, Lys118, dan
Phe100 membentuk interaksi dengan ligan alami CLQ berupa ikatan alkil dan π-
alkil yang merupakan interaksi hidrofobik. Ikatan π-alkil terjadi ketika awan
elektron pada gugus aromatik berinteraksi dengan gugus alkil menghasilkan
ikatan yang bertipe hidrofobik (Alencar dkk., 2022). Atom klor (Cl) dari ligan
alami TCL membentuk interaksi alkil dengan residu asam amino Ala98 dan
Val26. Atom Cl pada ligan alami TCL juga berinteraksi dengan cincin aromatis
residu asam amino Phe52 membentuk interaksi π-alkil. Cincin aromatis yang
terdapat pada ligan alami CLQ membentuk interaksi π-alkil dengan residu asam
amino Ile54, Ala98, dan Ile119. Atom C18 yang terdapat pada struktur ligan alami
CLQ berinteraksi dengan residu asam amino Lys118 dan Ile119 membentuk
ikatan alkil serta berinteraksi dengan cincin aromatis residu asam amino Phe100
membentuk ikatan π-alkil. Interaksi lainnya berupa interaksi van der Waals yang
melibatkan residu asam amino Ile123, Tyr85, Asp53, dan Gly27.
Residu asam amino hasil redocking menunjukkan kesamaan interaksi
dengan hasil redocking yang dilakukan oleh Zakaria dkk. (2020). Ikatan hidrogen
yang sama terbentuk pada residu asam amino Glu122, sedangkan interaksi
hidrofobik yang sama melibatkan residu asam amino Val26, Phe52, Ile54, Ala98,
dan Ile119. Residu asam amino Val26, Phe52, Ile54, Ala98, dan Ile119
merupakan residu asam amino spesifik pada protein PfLDH yang berperan
sebagai inhibitor kompetitif. Residu asam amino ini dikatakan spesifik karena
bertanggung jawab terhadap aktivitas biologis protein.
Tahapan selanjutnya yaitu penambatan senyawa AK A-F dan kurkumin
terhadap protein PfLDH. Proses penambatan dilakukan menggunakan ligan yang
berasal dari hasil optimasi serta ukuran grid box yang sama dengan proses
33

redocking yaitu 50 x 50 x 50 Å agar melingkupi seluruh struktur senyawa AK


A-F dan kurkumin. Hasil penambatan senyawa AK A-F dan kurkumin
divisualisasikan dalam bentuk 3D dan 2D menggunakan perangkat lunak
Discovery Studio Visualizer (DSV).

Interaksi:

Gambar IV.4 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK A dengan protein


PfLDH

Interaksi senyawa AK A divisualisasikan secara 3D dan 2D pada


Gambar IV.4. Senyawa AK A berinteraksi dengan protein PfLDH membentuk
interaksi hidrofobik dan van der Waals dengan nilai afinitas ikatan -6,98 kkal/mol.
Interaksi hidrofobik yang terbentuk berupa ikatan alkil, π-alkil, π-π-T-shaped, dan
π-sigma. Atom Cl pada senyawa AK A membentuk ikatan alkil dengan residu
asam amino Val26, Ala98 dan Leu115 serta membentuk ikatan π-alkil dengan
cincin aromatis residu asam amino Phe52 dan Phe100. Cincin aromatis yang
terdapat pada senyawa AK A berikatan dengan residu asam amino Leu115,
Lys118, dan Ile119 membentuk ikatan π-alkil serta berikatan dengan atom H
residu asam amino Ile54 dan Ala98 membentuk ikatan π-sigma.
Cincin aromatis senyawa AK A juga berinteraksi dengan cincin aromatis
residu asam amino Phe100 membentuk ikatan π-π-T-shaped. Interaksi van der
Waals antara senyawa AK A dengan protein PfLDH dihasilkan dari residu asam
amino Glu112, Tyr85, Ile123, Gly27, dan Asp53. Adanya kesamaan interaksi
yaitu interaksi hidrofobik pada residu asam amino spesifik Val26, Phe52, Ile54,
34

Ala98, dan Ile119 memberikan informasi bahwa senyawa AK A berinteraksi pada


sisi aktif yang sama dengan hasil redocking ligan alami CLQ dan berperan
sebagai inhibitor kompetitif.

Interaksi:

Gambar IV.5 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK B dengan protein


PfLDH

Interaksi senyawa AK B divisualisasikan secara 3D dan 2D pada Gambar


IV.5. Senyawa AK B berinteraksi dengan protein PfLDH membentuk interaksi
hidrofobik dan van der Waals dengan nilai afinitas ikatan -7,22 kkal/mol. Interaksi
hidrofobik yang terbentuk berupa ikatan alkil, π-alkil, dan π-sigma. Cincin
aromatis pada senyawa AK B berinteraksi dengan residu asam amino Ile119
membentuk ikatan π-alkil, serta berinteraksi dengan atom H residu asam amino
Ile54, Ala98, dan Lys118 membentuk ikatan π-sigma.
Atom Cl pada senyawa AK B membentuk dua interaksi yaitu interaksi
dengan residu asam amino Val26 dan interaksi π-alkil dengan cincin aromatis
residu asam amino Phe52. Residu asam amino Phe100, Glu122, Asp53, Gly27,
Ile123, Tyr85, dan Ile121 membentuk interaksi van der Waals dengan senyawa
AK B. Adanya kesamaan interaksi berupa interaksi hidrofobik pada residu asam
amino spesifik Val26, Phe52, Ile54, Ala98, dan Ile119 memberikan informasi
35

bahwa senyawa AK B berinteraksi pada sisi aktif yang sama dengan hasil
redocking ligan alami CLQ dan berperan sebagai inhibitor kompetitif.

Interaksi:

Gambar IV.6 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK C dengan protein


PfLDH

Interaksi senyawa AK C terhadap protein PfLDH divisualisasikan secara


2D pada Gambar IV.6. Senyawa AK C berinteraksi dengan protein PfLDH
terbentuk ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik dan van der Waals dengan nilai
afinitas ikatan -8,34 kkal/mol. Jenis ikatan hidrogen yang terbentuk antara
senyawa AK C dengan protein PfLDH merupakan ikatan hidrogen lemah yaitu
carbon hydrogen bond. Interaksi tersebut terjadi antara atom O pada senyawa AK
C dengan atom H yang terikat langsung dengan atom C pada residu asam amino
Ile119. Residu asam amino Leu115, Lys118, Val26, Phe52, Ala98, Ile54, dan
Ile119 membentuk interaksi hidrofobik berupa ikatan alkil dan π-alkil. Atom Cl
pada senyawa AK C membentuk ikatan alkil dengan residu asam amino Leu115
dan Val26.
Interaksi antara atom Cl dengan cincin aromatis residu asam amino
Phe52, Leu115, dan Ala98 membentuk ikatan π-alkil. Ikatan π-alkil lainnya
dihasilkan dari interaksi antara cincin aromatis senyawa AK C dengan residu
asam amino Ile54, Ile119, dan Lys118. Atom C cincin sikloheksanon pada
36

senyawa AK C juga memberikan interaksi berupa ikatan alkil dengan residu asam
amino Ile119 dan Ile54. Residu asam amino Phe100, Glu122, Asp53, Gly27,
Ile123, dan Tyr85 memberikan kontribusi berupa interaksi van der Waals dengan
senyawa AK C. Interaksi hidrofobik pada residu asam amino Val26, Phe52, Ile54,
Ala98, dan Ile119 yang dihasilkan oleh senyawa AK C memiliki kesamaan
interaksi dengan ligan asli CLQ. Hal ini memberikan informasi bahwa senyawa
AK C berinteraksi dengan protein PfLDH pada sisi aktif dan berperan sebagai
inhibitor kompetitif.

Interaksi:

Gambar IV.7 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK D dengan protein


PfLDH

Interaksi senyawa AK D divisualisasikan secara 3D dan 2D pada


Gambar IV.7. Berdasarkan Gambar IV.7 senyawa AK D berikatan dengan protein
PfLDH membentuk interaksi hidrofobik dan van der Waals menghasilkan nilai
afinitas ikatan -7,97 kkal/mol. Cincin aromatis senyawa AK D memiliki
kontribusi membentuk ikatan π-sigma dengan atom H residu asam amino Lys118,
Ala98, dan Ile54 serta ikatan π-alkil dengan residu asam amino Ile119. Ikatan π-
alkil lainnya terjadi antara cincin aromatis residu asam amino Phe52 dengan atom
Cl pada senyawa AK D. Selain memberikan pengaruh terhadap ikatan π-alkil,
atom Cl juga memberikan interaksi berupa ikatan alkil dengan residu asam amino
Val26, Ala98, dan Lys118. Interaksi van der Waals pada senyawa AK D
37

disumbangkan oleh residu asam amino Phe100, Asp53, Gly27, dan Ile123.
Adanya kesamaan interaksi hidrofobik antara senyawa AK D dengan ligan alami
CLQ pada residu asam amino Val26, Phe52, Ile54, Ala98, dan Ile119
menunjukkan senyawa AK D berinteraksi pada sisi aktif protein PfLDH dan
berperan sebagai inhibitor kompetitif.

Interaksi:

Gambar IV.8 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK E dengan protein


PfLDH

Interaksi senyawa AK E divisualisasikan secara 3D dan 2D pada Gambar


IV.8. Interaksi yang dihasilkan berupa ikatan hidrogen berupa carbon hydrogen
bond, interaksi hidrofobik dan van der Waals dengan nilai afinitas ikatan -7,98
kkal/mol. Carbon hydrogen bond terjadi akibat adanya interaksi oleh atom O pada
senyawa AK E dengan atom H yang melekat pada rantai karbon residu asam
amino Ile119. Interaksi hidrofobik yang terbentuk berupa ikatan alkil, π-alkil, dan
π-sigma. Atom Cl pada senyawa AK E berinteraksi dengan residu asam amino
Leu115, Val26, dan Ala98 membentuk ikatan alkil, serta berikatan dengan residu
asam amino Phe52 membentuk ikatan π-alkil.
Cincin aromatis senyawa AK E berinteraksi dengan residu asam amino
Leu115, Lys118, Ala98, dan Ile119 membentuk ikatan π-alkil, selain itu cincin
aromatis memberikan pengaruh berupa ikatan π-sigma dengan atom H residu
asam amino Ile54 dan terdapat pengaruh interaksi van der Waals antara senyawa
AK E dengan residu asam amino Phe100, Glu122, Asp53, Gly27, Ile123, dan
38

Tyr85. Adanya kesamaan interaksi hidrofobik berupa residu asam amino Val26,
Phe52, Ile54, Ala98, dan Ile119 memberikan informasi bahwa senyawa AK E
berinteraksi pada sisi aktif yang sama dengan hasil redocking ligan alami CLQ
dan berperan sebagai inhibitor kompetitif.

Interaksi:

Gambar IV.9 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK F dengan protein


PfLDH

Hasil visualisasi 3D dan 2D penambatan senyawa AK F dengan protein


PfLDH pada Gambar IV.9 menghasilkan nilai afinitas ikatan -9,37 kkal/mol.
Atom O pada residu asam amino Glu112 berinteraksi dengan atom H yang terikat
dengan rantai karbon (–CH) membentuk ikatan hidrogen lemah berupa carbon
hydrogen bond. Cincin aromatis senyawa AK F berikatan dengan atom H dari
gugus amina sekunder pada residu asam amino Gly99 membentuk ikatan π-donor
hidrogen. Interaksi hidrofobik berupa ikatan π-alkil terjadi antara cincin aromatis
senyawa AK F dengan residu asam amino Ala98, Ile54, Ile119, Val26, dan
Lys118.
Interaksi hidrofobik lainnya yaitu adanya ikatan π-π-T-shaped antara
cincin aromatis senyawa AK F dengan cincin aromatis residu asam amino Phe100
dan Phe52. Interaksi lainnya berupa interaksi van der Waals yang melibatkan
residu asam amino Ile123, Tyr85, Ile121, Asp53, dan Gly27. Interaksi hidrofobik
39

pada residu asam amino Val26, Phe52, Ile119, Ile54, dan Ala98 yang dihasilkan
oleh senyawa AK F memiliki kesamaan interaksi dengan ligan asli CLQ. Hal ini
memberikan informasi bahwa senyawa AK F berinteraksi dengan protein PfLDH
pada sisi aktif dan berperan sebagai inhibitor kompetitif.

Interaksi:

Gambar IV.10 Visualisasi 3D dan 2D interaksi kurkumin dengan protein PfLDH

Berdasarkan hasil visualisasi 3D dan 2D pada Gambar IV.10 penambatan


kurkumin dengan protein PfLDH menghasilkan interaksi berupa ikatan hidrogen
berupa carbon hydrogen bond, interaksi hidrofobik, dan van der Waals dengan
nilai afinitas -5,89 kkal/mol. Atom O pada residu asam amino Lys118 berinteraksi
dengan atom H pada gugus metoksi membentuk carbon hydrogen bond. Interaksi
hidrofobik berupa π-alkil terjadi antara cincin aromatis pada kurkumin dengan
residu asam amino Ile119, Ile54, dan Ala98. Gugus metoksi pada kurkumin
membentuk interaksi hidrofobik berupa ikatan alkil dengan residu asam amino
Ile119, selain itu atom H pada gugus metoksi membentuk ikatan π-sigma dengan
cincin aromatis residu asam amino Phe100.
Residu asam amino Ile123, Glu122, Tyr85, Asp53, Gly99, Val26, Gly27,
dan Phe52 memberikan pengaruh berupa interaksi van der Waals. Adanya
kesamaan interaksi hidrofobik berupa residu asam amino Ile54, Ala98, dan Ile119
memberikan informasi bahwa kurkumin masih berinteraksi pada sisi aktif yang
sama dengan hasil redocking ligan alami CLQ. Hasil penambatan senyawa AK A-
40

F dan kurkumin dengan protein PfLDH berupa interaksi dengan residu asam
amino pada sisi aktif dan nilai afinitas ikatan dirangkum pada Tabel IV.2.

Tabel IV.2 Data interaksi dan nilai afinitas ikatan hasil penambatan molekul
senyawa analog kurkumin dengan protein PfLDH
Interaksi Afinitas
Senyawa Ikatan Interaksi ikatan
van der Waals
hidrogen hidrofobik (kkal/mol)
AK A - Ile54, Ala98, Ile119, Ile123, Glu122, -6,98
Phe52, Val26, Lys118, Tyr85, Asp53,
Phe100, Leu115 Gly27

AK B - Ile54, Ala98, Ile119, Phe100, Glu122, -7,22


Phe52, Val26, Lys118 Asp53, Gly27,
Ile123, Tyr85,
Ile121

AK C Ile119** Ile54, Ala98, Ile119, Phe100, Ile119, -8,34


Phe52, Val26, Lys118, Glu122, Asp53,
Leu115 Gly27, Ile123,
Tyr85

AK D - Ile54, Ala98, Ile119, Phe100, Asp53, -7,97


Phe52, Val26, Lys118 Gly27, Ile123

AK E Ile119** Ile54, Ala98, Ile119, Phe100, Glu122, -7,98


Phe52, Val26, Lys118, Asp53, Gly27,
Leu115 Ile123, Tyr85

AK F Glu122**, Ile54, Ala98, Ile119, Ile123, Tyr85, -9,37


Gly99*** Phe52, Val26, Lys118, Ile121, Asp53,
Phe100, Glu122 Gly27

Kurkumin Lys118** Ile54, Ala98, Ile119, Ile123, Glu122, -5,89


Phe100 Tyr85, Asp53,
Gly99, Val26,
Gly27, Phe52

CLQ Glu122* Ile54, Ala98, Ile119, Ile123, Tyr85, -6,13


(ligan alami) Phe52, Val26, Lys118, Asp53, Gly27
Phe100, Glu122
* : Conventional hydrogen bond
** : Carbon hydrogen bond
*** : π-donor hydrogen bond
41

Berdasarkan Tabel IV.2 senyawa AK F memiliki afinitas ikatan yang


paling rendah atau lebih negatif dibandingkan kelima senyawa analog kurkumin
lainnya bahkan dengan senyawa induknya sendiri yaitu kurkumin. Semakin
negatif nilai afinitas ikatan yang dihasilkan dari hasil penambatan molekul maka
semakin stabil konformasi yang dihasilkan. Senyawa AK F memiliki kestabilan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa AK A-E, kurkumin, dan ligan
alami CLQ dikarenakan senyawa AK F menghasilkan interaksi yang lebih banyak
dengan residu asam amino pada sisi aktif protein PfLDH dibandingkan dengan
senyawa analog kurkumin lainnya. Perbedaan kerangka dan subtituen yang
melekat pada senyawa AK A-F dengan ligan alami CLQ serta interaksi yang
dihasilkan menjadi alasan lain terjadinya perbedaan nilai afinitas ikatan.
Afinitas ikatan yang lebih tinggi dihasilkan oleh kurkumin, hal ini
disebabkan hilangnya interaksi hidrofobik antara residu asam amino Val26 dan
Phe52 dengan substituen kloro. Kedua residu asam amino ini membentuk
interaksi van der Waals dikarenakan kurkumin tidak memiliki substituen kloro
seperti yang dimiliki oleh ligan alami CLQ dan senyawa analog kurkumin.
Terlihat bahwa penambahan substituen kloro yang merupakan gugus penarik
elektron pada posisi 4 (para) pada kedua cincin fenil analog kurkumin dapat
meningkatkan afinitas ikatan.

IV.3 Penambatan Molekul Senyawa Analog Kurkumin dengan PfENR


Struktur 3D protein PfENR diunduh melalui situs web Protein Data Bank
(www.rcsb.org) dengan kode PDB ID: 1NHG. Protein PfENR memiliki ligan
alami berupa triclosan (TCL) sehingga harus dipisahkan menggunakan Chimera.
Hasil pemisahan ditunjukkan pada Gambar IV.6. Proses redocking dilakukan
setelah ligan alami TCL dipisahkan dengan protein PfENR, ukuran grid box diatur
sebesar 54 x 54 x 54 Å agar melingkupi seluruh struktur ligan alami TCL.
Visualisasi kemiripan ligan alami TCL dengan ligan alami hasil kristalografi
setelah dilakukan redocking ditunjukkan pada Gambar IV.11.
42

(a) (b)

Gambar IV.11 (a) Protein PfENR dengan ligan alami TLC (b) Protein PfENR
tanpa ligan alami TCL

Kemiripan Ligan TCL sebelum (warna hijau) dan sesudah (warna biru)
dilakukan redocking dengan protein PfENR ditunjukkan pada Gambar IV.12.
Hasil redocking antara ligan alami TCL dengan protein PfENR menghasilkan
nilai RMSD sebesar 1,40 Å, dengan nilai afinitas ikatan -6,16 kkal/mol. Nilai
RMSD yang dihasilkan telah memenuhi kriteria validitas yaitu ≤ 2,0 Å.

Gambar IV.12 Ligan TCL sebelum (warna hijau) dan sesudah (warna biru)
dilakukan redocking dengan protein PfENR
43

Interaksi:

Gambar IV.13 Visualisasi 3D dan 2D interaksi ligan alami TCL dengan protein
PfENR

Interaksi antara ligan alami TCL dengan sisi aktif protein PfENR
divisualisasikan secara 3D dan 2D pada Gambar IV.13. Interaksi 3D
menunjukkan ligan alami TCL berada pada binding pocket protein PfENR. Secara
2D interaksi yang dihasilkan berupa ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik,
interaksi van der Waals, dan ikatan π-sulfur. Atom H17 ligan alami TCL
membentuk ikatan hidrogen dengan atom O residu asam amino Tyr277 yang
berupa conventional hydrogen bond. Interaksi hidrofobik berupa ikatan alkil/π-
alkil terbentuk dari residu asam amino Val222, Ala219, Ala319, Ile323, Ala217,
Ala320, Ile369, Phe368, Pro314, dan Ala372. Ikatan alkil terjadi antara atom Cl
ligan alami TCL dengan residu asam amino Ala271, Ala219, Ala327, Pro314,
Ile369, Val222, dan Met281. Cincin aromatis ligan alami TCL membentuk ikatan
π-alkil dengan residu asam amino Ala320, Ala217, Ala319, dan Ile323. Atom Cl
ligan alami TCL juga membentuk ikatan π-alkil dengan cincin aromatis residu
asam amino Tyr267 dan Phe368. Ikatan π-π-T-shaped terbentuk dari residu asam
amino Tyr267 dan Tyr277 yang berikatan dengan cincin aromatis ligan alami
TCL. Ligan alami TCL membentuk interaksi van der Waals dengan melibatkan
dua residu asam amino yakni Asn218 dan Lys285. Interaksi lainnya berupa ikatan
π-sulfur yang terjadi antara atom sulfur dari residu asam amino Met281 dengan
cincin aromatis ligan alami TCL. Tahapan berikutnya yaitu melakukan
44

penambatan molekul antara enam analog kurkumin dan kurkumin dengan protein
PfENR, ukuran grid box disamakan dengan proses redocking yaitu 54 x 54 x 54
Å.

Interaksi:

Gambar IV.14 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK A dengan protein


PfENR

Interaksi senyawa AK A divisualisasikan secara 3D dan 2D pada Gambar


IV.14. Senyawa AK A berinteraksi dengan protein PfENR membentuk ikatan
hidrogen, interaksi hidrofobik dan van der Waals dengan nilai afinitas ikatan -8,34
kkal/mol. Atom O pada senyawa AK A berikatan dengan atom H dari gugus
amina sekunder pada residu asam amino Tyr111 membentuk ikatan hidrogen
berupa conventional hydrogen bond dimana atom O bertindak sebagai akseptor
hidrogen dari Tyr111. Interaksi berupa carbon hydrogen bond terjadi antara atom
O pada senyawa AK A dengan atom H pada residu asam amino Gly110. Ikatan
hidrogen lainnya yakni ikatan π-donor hidrogen antara cincin aromatis senyawa
AK A dengan atom H dari gugus amina sekunder pada residu asam amino
Leu115. Intraksi hidrofobik meliputi ikatan alkil, π-alkil, π-π-T-shaped, dan π-
sigma. Ikatan alkil terjadi antara atom Cl dengan residu asam amino Leu265,
Ile369, Leu265, dan Ala372. Ikatan π-alkil terjadi antara cincin aromatis senyawa
AK A dengan residu asam amino Ala217, Leu265, dan Ala320, serta antara atom
Cl dengan cincin aromatis residu asam amino His215, Phe368, dan Tyr267. Ikatan
π-π-T-shaped terbentuk akibat adanya interaksi antara cincin aromatis senyawa
45

AK A dengan cincin aromatis residu asam amino Tyr267. Interaksi hidrofobik


lainnya berupa ikatan π-sigma yang terjadi antara cincin aromatis senyawa AK A
dengan atom H residu asam amino Pro314. Interaksi van der Waals disumbangkan
oleh residu asam amino Lys285, Ser215, Ser264, Gly313, Ala312, Ser317, dan
Leu216.

Interaksi:

Gambar IV.15 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK B dengan protein


PfENR

Interaksi senyawa AK B divisualisasikan secara 3D dan 2D pada Gambar


IV.15. Senyawa AK B berikatan dengan protein PfENR menghasilkan interaksi
berupa ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, dan van der Waals. Ikatan hidrogen
yang terbentuk merupakan conventional hydrogen bond antara atom O senyawa
AK B dengan atom H pada residu asam amino Tyr111. Ikatan π-donor hidrogen
yang terjadi antara atom H dari gugus amina sekunder pada residu asam amino
Leu315 dengan cincin aromatis senyawa AK B. Interaksi hidrofobik yang
dihasilkan berupa ikatan alkil, π-alkil, π-π-T-shaped. Atom Cl berinteraksi dengan
residu asam amino Pro314 dan Leu216 membentuk ikatan alkil. Ikatan alkil
lainnya yakni terjadi pada residu asam amino Ala319 dengan atom C cincin
siklopentanon pada senyawa AK B. Ikatan π-alkil terbentuk dari hasil interaksi
antara atom Cl dengan cincin aromatis residu asam amino Tyr267 dan Phe368,
serta antara cincin aromatis senyawa AK B dengan residu asam amino Pro314 dan
Ala320. Interaksi hidrofobik lainnya berupa ikatan π-π-T-shaped yang terjadi
46

akibat adanya interaksi antara cincin aromatis senyawa AK B dengan cincin


aromatis residu asam amino Tyr267. Interaksi berupa van der Waals terbentuk
melalui residu asam amino Lys285, Ser215, Ser264, Gly313, Ala312, Ser317,
Ile369, dan Leu216.

Interaksi:

Gambar IV.16 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK C dengan protein


PfENR

Penambatan molekul senyawa AK C dengan protein PfENR yang


divisualisasikan secara 3D dan 2D pada Gambar IV.16 menghasilkan ikatan
hidrogen, interaksi elektrostatik, hidrofobik dan van der Waals dengan nilai
afinitas ikatan -8,95 kkal/mol. Atom H residu asam amino Tyr111 berikatan
dengan atom O senyawa AK C yang merupakan akseptor donor hidrogen. Ikatan
π-donor hidrogen terbentuk antara cincin aromatis senyawa AK C dengan residu
asam amino Leu315. Interaksi elektrostatik berupa ikatan π-anion terjadi pada
atom O yang bermuatan negatif dengan cincin aromatis senyawa AK C.
Interaksi hidrofobik yang terjadi berupa alkil, π-alkil, π-π-T-shaped, dan π-
sigma. Atom Cl berikatan dengan residu asam amino Pro314 membentuk ikatan
alkil. Ikatan alkil lainnya terbentuk karena adanya interaksi residu asam amino
Ala319 dengan atom C cincin sikloheksanon. Cincin aromatis senyawa AK C
berinteraksi dengan residu asam amino Arg318, Ala319, dan Ala320 membentuk
ikatan π-alkil. Residu asam amino Tyr2767 membentuk ikatan π-π-T-shaped dan
ikatan π-sigma sekaligus. Interaksi van der Waals dihasilkan oleh residu asam
47

amino Ile105, Gly106, Gly313, Ala312, Ser317, Val134, Gly104, Gly110,


Phe368, dan Ile369 terhadap senyawa AK C.

Interaksi:

Gambar IV.17 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK D dengan protein


PfENR

Interaksi senyawa AK D divisualisasikan secara 3D dan 2D pada Gambar


IV.17. Senyawa AK D berinteraksi dengan protein PfENR membentuk ikatan
hidrogen, interaksi hidrofobik dan van der Waals menghasilkan nilai afinitas
ikatan -8,03 kkal/mol. Ikatan hidrogen berupa conventional hydrogen bond
terbentuk antara atom O pada senyawa AK D dengan atom H dari gugus amina
sekunder pada residu asam amino Tyr111, selain itu cincin aromatis berkontribusi
membentuk ikatan π-donor hidrogen dengan residu asam amino Leu315.
Interaksi hidrofobik meliputi ikatan alkil, π-alkil, dan π-π-T-shaped. Atom
Cl berinteraksi dengan residu asam amino Pro314 membentuk ikatan alkil dan
berinteraksi dengan cincin aromatis residu asam amino Tyr267 dan Phe368
membentuk ikatan π-alkil. Interaksi hidrofobik lainnya yaitu ikatan π-π-T-shaped
yang terbentuk antara cincin aromatis senyawa AK D dengan cincin aromatis
residu asam amino Tyr267. Residu asam amino Gly104, Gly106, Ile105, Trp131,
Gly313, Ser317, Ser215, Gly112,Gly110, Leu216, Ala319, Ala217, dan Ile369
memberikan kontribusi berupa interaksi van der Waals.
48

Interaksi:

Gambar IV.18 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK E dengan protein


PfENR

Interaksi senyawa AK E divisualisasikan secara 3D dan 2D pada Gambar


IV.18. Senyawa AK E berikatan dengan protein PfENR membentuk interaksi
berupa ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik dan van der Waals yang ditunjukkan
pada Gambar IV.18. Atom H dari gugus amina sekunder residu asam amino
Tyr111 membentuk ikatan hidrogen berupa conventional hydrogen bond dengan
atom O pada senyawa AK E. Ikatan π-donor hidrogen terbentuk akibat adanya
interaksi antara cincin aromatis senyawa AK E dengan residu asam amino
Leu315.
Interaksi hidrofobik terdiri dari ikatan alkil, π-alkil, dan π-π-T-shaped.
Atom Cl berikatan dengan residu asam amino Pro314 membentuk ikatan alkil,
serta berikatan dengan residu asam amino Tyr267 dan Phe368 membentuk ikatan
π-alkil. Cincin aromatis residu asam amino Tyr265 berinteraksi dengan cincin
aromatis senyawa AK E membentuk ikatan π-π-T-shaped. Interaksi lainnya
berupa interaksi van der Waals terbentuk dari residu asam amino Gly104, Gly106,
Ile105, Gly313, Ser317, Ser215, Gly112, Gly110, Ala217, Ala319, Leu216, dan
Ile369.
49

Interaksi:

Gambar IV.19 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK F dengan protein


PfENR

Hasil penambatan senyawa AK F dengan protein PfENR yang


divisualisasikan secara 3D dan 2D pada Gambar IV.19 menghasilkan interaksi
berupa ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik dan van der Waals dengan nilai
afinitas ikatan -9,76 kkal/mol. Ikatan hidrogen berupa conventional hydrogen
bond terbentuk dari interaksi antara atom H dari gugus amina sekunder pada
residu asam amino Tyr111 dengan atom O senyawa AK F. Ikatan π-donor
hidrogen dihasilkan dari interaksi antara cincin aromatis senyawa AK F dengan
atom H dari gugus amina sekunder pada residu asam amino Leu315.
Interaksi hidrofobik yang terjadi antara AK F dengan protein PfENR
meliputi ikatan alkil, π-alkil, dan π-sigma. Atom Cl berinteraksi dengan cincin
aromatis residu asam amino Tyr267 membentuk ikatan π-sigma, dan berikatan
dengan cincin aromatis residu asam amino Phe368 membentuk ikatan π-alkil,
selain itu atom Cl juga berikatan dengan residu asam amino Pro314 membentuk
ikatan alkil. Cincin aromatis senyawa AK F berinteraksi dengan residu asam
amino Ala217 dan Ala320 membentuk ikatan π-alkil, serta berinteraksi dengan
atom H residu asam amino Leu265 membentuk ikatan π-sigma. Residu asam
amino Ile105, Gly106, Gly112, Gly104, Ser215, His214, Gly110, Ser317, Ala319,
50

Leu216, Lys285, Gly313, dan Ile369 berkontribusi membentuk interaksi van der
Waals.

Interaksi:

Gambar IV.20 Visualisasi 3D dan 2D interaksi kurkumin dengan protein PfENR

Interaksi kurkumin divisualisasikan secara 3D dan 2D pada Gambar IV.20.


Kurkumin berikatan dengan protein PfENR menghasilkan nilai afinitas ikatan
-7,45 kkal/mol dengan interaksi berupa ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik dan
van der Waals. Terdapat tiga ikatan hidrogen berupa conventional hydrogen bond
yang dihasilkan dari hasil penambatan, yaitu: (1) atom O pada kurkumin berikatan
dengan atom H dari gugus amina sekunder (-NH) pada residu asam amino
Leu315; (2) atom O pada residu asam amino Ser215 berikatan dengan atom H
pada gugus hidroksi pada kurkumin; dan (3) atom O dari gugus metoksi pada
kurkumin berikatan dengan atom H dari gugus amina sekunder pada residu asam
amino Tyr111. Interaksi hidrofobik yang dihasilkan yakni ikatan alkil, π-alkil, dan
π-π-T-shaped. Ikatan alkil dihasilkan dari interaksi antara gugus metoksi dengan
residu asam amino Ala322, Val222, dan Ile323. Cincin aromatis pada kurkumin
berinteraksi dengan residu asam amino Ala217, Met281, Ala319, dan Leu265
membentuk ikatan π-alkil. Interaksi hidrofobik lainnya yakni ikatan π-π-T-shaped
yang terbentuk dari interaksi antara cincin aromatis residu asam amino Tyr111
dengan cincin aromatis dari kurkumin. Interaksi van der Waals dihasilkan dari
51

residu asam amino Ser317, Pro314, Ala320, Tyr277, Tyr267, Ala219, Gly112,
Gly110, Phe368, dan Ile369.

Tabel IV.3 Data interaksi dan nilai afinitas ikatan hasil penambatan molekul
senyawa analog kurkumin dengan protein PfENR
Interaksi Afinitas
Senyawa Ikatan Interaksi ikatan
van der Waals
hidrogen hidrofobik (kkal/mol)
AK A Tyr111* Tyr267, Ala320, Pro314, Lys285, Ser215, Ser264, -8,34
Gly110** Leu265, Ala217, His214, Gly313, Ala312, Ser317,
Leu315*** Ala372, Ile369, Phe368 Leu216

AK B Tyr111* Tyr267, Ala320, Ala319, Ala217, Ser215, Gly104, -8,31


Leu315*** Leu216, Pro314, Phe268 Gly313, Gly110, Ser317,
Gly112, Ile369

AK C Tyr111* Tyr267, Ala320, Pro314, Ile105, Gly106, Gly313, -8,95


Leu315*** Ala319, Arg318 Ala312, Ser317, Val134,
Gly104, Gly110, Phe368,
Ile369

AK D Tyr111* Tyr267, Ala320, Pro314, Gly104, Gly106, Ile105, -8,03


Leu315*** Phe368 Trp131, Gly313, Ser317,
Ser215, Gly112, Gly110,
Leu216, Ala319, Ala217,
Ile369

AK E Tyr111* Tyr267, Ala320, Pro314, Gly104, Gly106, Ile105, -8,23


Leu315*** Phe368 Gly313, Ser317, Ser215,
Gly112, Gly110, Ala217,
Ala319, Leu216, Ile369

AK F Tyr111* Tyr267, Ala320, Leu265, Ile105, Gly106, Gly112, -9,76


Leu315*** Ala217, Pro314, Phe368 Gly104, Ser215, His214,
Gly110, Ser317, Ala319,
Leu216, Lys285, Gly313,
Ile369

Kurkumin Tyr111* Leu265, Ala319, Ala217, Ser317, Pro314, Ala320, -7,43


Leu315* Met281, Ala322, Ile323, Tyr277, Tyr267, Ala219,
Ser215* Val222, Tyr111 Gly112, Gly110, Phe368,
Ser215*** Ile369
Asn218***

TCL Tyr277* Ala319, Ile323, Met281, Lys285, Asn218 -6,16


(ligan alami) Ala217, Ala320, Ile369,
Phe368, Tyr267, Val222,
Ala219, Pro314, Ala372,
Tyr277
* : Conventional hydrogen bond
** : Carbon hydrogen bond
*** : π-donor hydrogen bond
52

Uraian data interaksi dan nilai afinitas ikatan senyawa AK A-F dan
kurkumin ditunjukkan pada Tabel IV.3. Menurut Perozzo dkk. (2002) terdapat
enam residu asam amino yang berperan dalam mekanisme katalitik protein
PfENR yakni Tyr277, Tyr267, Pro314, Phe368, Ile369, dan Lys285. Lima dari
enam residu asam amino spesifik ini masing-masing berinteraksi dengan AK A
dan F. Senyawa AK A berinteraksi dengan residu asam amino Tyr267, Pro314,
Phe368, dan Ile369 membentuk interaksi hidrofobik, serta dengan residu asam
amino Lys285 membentuk interaksi van der Waals. Senyawa AK F berinteraksi
dengan residu asam amino Tyr267, Pro314, dan Phe368 membentuk interaksi
hidrofobik, serta dengan residu asam amino Lys285 dan Ile369 membentuk
interaksi van der Waals. Senyawa AK B, D, dan E masing-masing berinteraksi
dengan residu asam amino Tyr267, Pro314, dan Phe368 membentuk interaksi
hidrofobik, serta dengan residu asam amino Ile369 membentuk interaksi van der
Waals. Interaksi hidrofobik pada senyawa AK C terjadi dengan residu asam
amino Tyr267 dan Pro314, serta membentuk interaksi van der Waals dengan
residu asam amino Phe368 dan Ile369. Berdasarkan uraian tersebut senyawa AK
A-F memiliki interaksi yang hampir sama dengan ligan alami TCL dan kurkumin.
Freundlich dkk. (2007) menyatakan bahwa ligan alami TCL memiliki potensi
menghambat parasit P. falciparum secara in vitro. Artinya senyawa AK A-F
masih berinteraksi dengan residu asam amino spesifik pada sisi aktif protein
PfENR dan diharapkan berpotensi menghambat aktivitas parasit P. falciparum.
Struktur senyawa AK F memiliki tiga cincin aromatis. Resonansi yang
lebih dimungkinkan terjadi pada senyawa AK F menjadikan senyawa AK F
menjadi analog kurkumin yang paling stabil. Hal ini didukung dengan hasil
penambatan bahwa nilai afinitas ikatan senyawa AK F merupakan yang paling
rendah dibandingkan senyawa AK A-E, ligan alami TCL, dan kurkumin kontrol.
Nilai afinitas ikatan yang rendah mengindikasikan senyawa AK F memiliki
kestabilan yang tinggi saat berinteraksi dengan sisi aktif protein PfENR. Nilai
afinitas ikatan kurkumin yang lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa AK A-F
disebabkan pada kerangka kurkumin terdapat gugus metilen aktif pada β-diketon
53

yang menyebabkan kurkumin menjadi kurang stabil berikatan pada sisi aktif
protein PfENR.

IV.4 Penambatan Molekul Senyawa Analog Kurkumin dengan PfATP6


Reseptor protein PfATP6 diunduh melalui situs web Protein Data Bank
(www.rcsb.org) dalam bentuk struktur 3D dengan kode PDB ID: 1U5N. Protein
PfATP6 merupakan protein yang tidak memiliki ligan alami (native ligand)
sehingga proses validasi tidak menggunakan proses redocking melainkan
langsung dilakukan proses docking dengan merujuk pada residu asam amino di
area situs pengikatan protein PfATP6, ukuran dan posisi grid box. Residu asam
amino Leu263, Phe264, Gln267, Ile977, Ile981, Ala985, Asn1039, Leu1040,
Ile1041 dan Asn1042 dipilih dengan mengacu pada penelitian yang telah
dilakukan oleh Dohutia dkk. (2017) terkait interaksi residu asam amino ini dengan
artemisinin, dan kurkumin. Besaran ukuran grid box yang diatur saat proses
penambatan senyawa usulan adalah 90 x 90 x 90 Å pada koordinat X, Y, dan Z
masing-masing adalah 52,27; 16,45; 11,48. Hasil penambatan senyawa AK A-F
dan kurkumin divisualisasikan dalam bentuk 3D dan 2D menggunakan perangkat
lunak Discovery Studio Visualizer (DSV).

Interaksi:

Gambar IV.21 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK A dengan protein


PfATP6
54

Interaksi senyawa AK A divisualisasikan secara 3D dan 2D pada Gambar


IV.21. Senyawa AK A berikatan dengan protein PfATP6 membentuk interaksi
hidrofobik dan van der Waals dengan nilai afinitas ikatan -7,36 kkal/mol. Interaksi
hidrofobik yang dihasilkan berupa ikatan alkil, π-alkil, dan π-π-T-shaped. Atom
Cl pada senyawa AK A berinteraksi dengan residu asam amino Ala313
membentuk ikatan alkil. Cincin aromatis senyawa AK A membentuk ikatan π-
alkil dengan atom Cresidu asam amino Leu268, Ile977, Ile981 dan Ile1041.
Interaksi hidrofobik lainnya berupa ikatan π-π-T-shaped yang terbentuk antara
cincin aromatis senyawa AK A dengan cincin aromatis residu asam amino
Phe264. Interaksi van der Waals disumbangkan oleh residu asam amino Gln267,
Ile271, Asn980, Ile272, Asn1039, dan Leu1040.

Interaksi:

Gambar IV.22 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK B dengan protein


PfATP6

Penambatan senyawa AK B dengan protein PfATP6 menghasilkan nilai


afinitas ikatan -7,61 kkal/mol dengan membentuk interaksi hidrofobik dan van der
Waals yang divisualisasikan secara 3D dan 2D pada Gambar IV.22. Interaksi
hidrofobik yang terjadi meliputi ikatan alkil, π-alkil, π-sigma, dan π-π-T-shaped.
Ikatan alkil terjadi antara atom Cl dengan residu asam amino Ala313, Ile272,
55

Ile275, dan Val984. Selain itu, atom C cincin siklopentanon senyawa AK B


berikatan dengan residu asam amino Leu268 dan Ile271 juga membentuk ikatan
alkil. Ikatan π-alkil terjadi antara cincin aromatis senyawa AK B dengan residu
asam amino Ile1041, Ile272, Ala313, Ile981, dan Val984.
Cincin aromatis residu asam amino Phe264 juga membentuk ikatan π-alkil
dengan atom C cincin sikloheksanon senyawa AK B. Ikatan π-sigma terjadi antara
cincin aromatis senyawa AK B dengan atom H residu asam amino Ile271.
Interaksi hidrofobik lainnya yaitu berupa ikatan π-π-T-shaped yang terjadi antara
cincin aromatis senyawa AK B dengan cincin aromatis residu asam amino
Phe264. Interaksi van der Waals terjadi dengan residu asam amino Gln267,
Tyr1049, Leu263, Cys276, Leu1046, dan Ile977.

Interaksi:

Gambar IV.23 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK C dengan protein


PfATP6

Interaksi senyawa AK C divisualisasikan secara 3D dan 2D pada Gambar


IV.23. Senyawa AK C berikatan dengan protein PfATP6 membentuk interaksi
hidrofobik dan van der Waals dengan nilai afinitas ikatan -8,67 kkal/mol. Interaksi
hidrofobik yang terjadi berupa ikatan alkil, π-alkil, dan π-π-T-shaped. Cincin
56

aromatis senyawa AK C berinteraksi dengan residu asam amino Ile1041, Ile977,


dan Ile981 membentuk ikatan π-alkil. Ikatan π-alkil lainnya yakni terjadi antara
cincin aromatis residu asam amino Phe264 dengan atom C cincin sikloheksanon.
Atom Cl pada senyawa AK C berinteraksi dengan residu asam amino Ala313,
Val984, Ile272, dan Leu263 membentuk ikatan alkil. Residu asam amino Ile271
dan Leu268 membentuk ikatan alkil dengan atom C cincin sikloheksanon. Cincin
aromatis residu Phe264 berinteraksi dengan cincin aromatis senyawa AK C
membentuk ikatan π-π-T-shaped. Interaksi van der Waals dihasilkan dari residu
asam amino Gln267, Leu1046, Ile275, dan Asn980.

Interaksi:

Gambar IV.24 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK D dengan protein


PfATP6

Senyawa AK D berikatan dengan protein PfATP6 menghasilkan nilai


afinitas ikatan -7,63 kkal/mol dengan membentuk interaksi hidrofobik dan van der
Waals yang divisualisasikan secara 3D dan 2D pada Gambar IV.24. Interaksi
hidrofobik yang dihasilkan berupa ikatan alkil, π-alkil. Ikatan alkil terjadi antara
antara atom Cl senyawa AK D dengan residu asam amino Ala313, Val984, dan
Ile272. Ikatan π-alkil terjadi antara cincin aromatis senyawa AK D dengan residu
asam amino Ile271, Ile272, Ile981, Ile1041, dan Leu1046. Interaksi van der Waals
57

terjadi dengan residu asam amino Leu268, Ile275, Ile977, Tyr1049, Asn1039,
Phe264, dan Gln267.

Interaksi:

Gambar IV.25 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK E dengan protein


PfATP6

Hasil penambatan senyawa AK E dengan protein PfATP6 yang


divisualisasikan secara 2D pada Gambar IV.25. Interaksi senyawa AK E dengan
protein PfATP6 menghasilkan interaksi hidrofobik dan van der Waals dengan
nilai afinitas ikatan -7,84 kkal/mol. Interaksi hidrofobik yang dihasilkan berupa
ikatan alkil dan π-alkil. Ikatan alkil terjadi antara atom Cl senyawa AK E dengan
residu asam amino Ala313, Ile272, dan Val984.
Interaksi hidrofobik lainnya berupa ikatan π-alkil. Ikatan π-alkil yang
dihasilkan berasal dari interaksi antara cincin aromatis senyawa AK E dengan
residu asam amino Leu268, Ile271, Ile272, Ile977, Ile981, Ile1041, dan Leu1046.
Interaksi van der Waals terjadi dengan residu asam amino Gln267, Tyr1049,
Ile275, Phe264, dan Asn1039.
58

Interaksi:

Gambar IV.26 Visualisasi 3D dan 2D interaksi senyawa AK F dengan protein


PfATP6

Hasil penambatan senyawa AK F dengan protein PfATP6 divisualisasikan


secara 3D dan 2D pada Gambar IV.26. Interaksi senyawa AK F dengan protein
PfATP6 membentuk interaksi hidrofobik dan van der Waals dengan nilai afinitas
ikatan -9,02 kkal/mol. Interaksi hidrofobik yang terjadi meliputi ikatan alkil, π-
alkil, dan π-sigma. Atom Cl pada senyawa AK F berinteraksi dengan residu asam
amino Ala985, Ile989, dan Leu268 membentuk ikatan alkil. Ikatan π-alkil terjadi
antara atom Cl senyawa AK F dengan cincin aromatis residu asam amino Phe988
dan Phe264.
Terdapat pula ikatan π-alkil antara cincin aromatis senyawa AK F dengan
residu asam amino Leu268, Ala313, Ile981, Ile272, Ala985, dan Val284. Interaksi
hidrofobik lainnya berupa ikatan π-sigma. Ikatan π-sigma terjadi antara cincin
aromatis senyawa AK F dengan atom H residu asam amino Ile271. Interaksi
lainnya berupa Interaksi van der Waals yang dihasilkan oleh residu asam amino
Gln267, Ile1050, Leu1046, Ile275, dan Asn980.
59

Interaksi:

Gambar IV.27 Visualisasi 3D dan 2D interaksi kurkumin dengan protein PfATP6

Hasil penambagan kurkumin dengan protein PfATP6 menghasilkan


interaksi hidrofobik dan van der Waals seperti yang divisualisasikan secara 3D
dan 2D pada Gambar IV.27. Interaksi hidrofobik yang dihasilkan berupa ikatan
alkil, π-alkil, π-sigma, dan π-π-T-shaped. Ikatan alkil terjadi antara atom C
kurkumin dengan residu asam amino Ile271 dan Ile275. Ikatan π-alkil terbentuk
dari interaksi antara cincin aromatis kurkumin dengan residu asam amino Leu268,
Ile977, Ile275, dan Ala985. Ikatan π-sigma terbentuk dari interaksi antara cincin
aromatis kurkumin dengan atom H residu asam amino Val984, selain itu juga
terjadi antara atom C kurkumin dengan cincin aromatis residu asam amino
Phe988.
Ikatan π-π-T-shaped terjadi antara cincin aromatis kurkumin dengan cincin
aromatis Phe264. Ikatan van der Waals terbentuk dari residu asam amino Ile989,
Gln267, Ile981, Ile272, Ala313, Asn980, Tyr1049, Leu1046, dan Ile1041. Hasil
penambatan senyawa AK A-F dan kurkumin dengan protein PfATP6 berupa
interaksi dengan residu asam amino pada sisi aktif dan nilai afinitas ikatan
dirangkum pada Tabel IV.4.
60

Tabel IV.4 Data interaksi dan nilai afinitas ikatan hasil penambatan molekul
senyawa analog kurkumin dengan protein PfATP6
Interaksi Afinitas
Senyawa Interaksi ikatan
van der Waals
hidrofobik (kkal/mol)
AK A Leu268, Phe264, Ile977, Gln267, Ile271, Asn980, -7,36
Ile981, Ala313, Ile1041 Ile272, Asn1039,
Leu1040

AK B Leu268, Val984, Ile272, Gln267, Tyr1049, -7,61


Ala313, Ile271, Phe264, Leu263, Cys276,
Ile981, Ile275, Ile1041 Leu1046, Ile977

AK C Leu268, Val984, Ile272, Gln267, Leu1046, -8,67


Ile981, Ala313, Ile271, Ile275, Asn980
Phe264, Leu263, Ile977,
Ile1041

AK D Val984, Ile272, Ala313, Leu268, Ile275, Ile977, -7,63


Ile981, Ile271, Leu1046, Tyr1049, Asn1039,
Ile1041 Phe264, Gln267

AK E Leu268, Val984, Ile272, Gln267, Tyr1049, Ile275, -7,84


Ile981, Ala313, Ile271, Phe264, Asn1039
Ile977, Leu1046, Ile1041

AK F Leu268, Phe264, Ile272, Gln267, Ile1050, -9,02


Ile981, Ala313, Ile271, Leu1046, Ile275, Asn980
Ala985, Phe988, Val984,
Ile989

Kurkumin Leu268, Ile977, Phe264, Ile989, Gln267, Ile981, -6,17


Ala985, Ile275, Val984, Ile272, Ala313, Asn980,
Phe988, Ile271 Tyr1049, Leu1046,
Ile1041

Berdasarkan Tabel IV.4 proses penambatan senyawa AK A, B, C, E, F


serta kurkumin terhadap protein PfATP6 menunjukkan adanya interaksi
hidrofobik pada sisi aktif dengan residu asam amino spesifik yaitu Leu268 kecuali
senyawa AK D yang menghasilkan interaksi van der Waals. Menurut Dohutia
dkk. (2017) analog kurkumin yang memiliki interaksi hidrofobik dengan residu
asam amino Leu268 pada protein PfATP6 memiliki korelasi terhadap aktivitas
61

antimalaria secara in vitro. Nilai afinitas ikatan yang dihasilkan oleh senyawa AK
A-F dan kurkumin terhadap protein PfATP6 berturut-turut adalah -7,36; -7,61;
-8,67; -7,63; -7,84; -9,02; dan -6,17 kkal/mol. Senyawa AK F memiliki nilai
afinitas yang paling rendah dibandingkan dengan kurkumin. Nilai afinitas ikatan
yang paling rendah mengindikasikan bahwa senyawa AK F lebih stabil berikatan
dengan protein PfATP6 dibandingkan senyawa AK A-E dan kurkumin.

IV.5 Senyawa Analog Kurkumin Terbaik Sebagai Kandidat Antimalaria


Studi penambatan molekul berhasil memodelkan interaksi yang dihasilkan
oleh enam senyawa analog kurkumin dengan masing-masing protein antimalaria.
Pemilihan senyawa analog kurkumin sebagai kandidat antimalaria didasarkan
pada interaksi yang dihasilkan dengan residu asam amino spesifik dan urutan nilai
afinitas ikatan dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Berdasarkan
hasil penambatan molekul senyawa AK A-F dengan protein PfLDH, PfENR, dan
PfATP6 dapat dilihat bahwa senyawa AK F, C, dan E memiliki interaksi dengan
residu asam amino spesifik dan kestabilan yang lebih tinggi serta berpotensi
memiliki aktivitas antimalaria yang lebih baik jika dibandingkan dengan tiga
analog kurkumin lainnya. Uraian data interaksi dengan residu asam amino spesifik
dan nilai afinitas ikatan senyawa analog kurkumin ditunjukkan pada Tabel IV.5
untuk protein PfLDH, Tabel IV.6 untuk protein PfENR, dan Tabel IV.7 untuk
protein PfATP6.

Tabel IV.5 Data interaksi senyawa analog kurkumin dengan residu asam amino
spesifik dan nilai afinitas ikatan terhadap protein PfLDH
Afinitas ikatan
Senyawa Residu asam amino spesifik
(kkal/mol)
AK F Ile54, Ala98, Ile119, Phe52, Val26 -9,37

AK C Ile54, Ala98, Ile119, Phe52, Val26 -8,34

AK E Ile54, Ala98, Ile119, Phe52, Val26 -7,98

AK D Ile54, Ala98, Ile119, Phe52, Val26 -7,97

AK B Ile54, Ala98, Ile119, Phe52, Val26 -7,22

AK A Ile54, Ala98, Ile119, Phe52, Val26 -6,98


62

Tabel IV.6 Data interaksi senyawa analog kurkumin dengan residu asam amino
spesifik dan nilai afinitas ikatan terhadap protein PfENR
Afinitas ikatan
Senyawa Residu asam amino spesifik
(kkal/mol)
AK F Tyr267, Pro314, Phe368, Ile369, -9,76
Lys285
AK A Tyr267, Pro314, Phe368, Ile369, -8,34
Lys285
AK C Tyr267, Pro314, Phe368, Ile369 -8,95

AK B Tyr267, Pro314, Phe368, Ile369 -8,31

AK E Tyr267, Pro314, Phe368, Ile369 -8,23

AK D Tyr267, Pro314, Phe368, Ile369 -8,03

Tabel IV.7 Data interaksi senyawa analog kurkumin dengan residu asam amino
spesifik dan nilai afinitas ikatan terhadap protein PfATP6
Afinitas ikatan
Senyawa Residu asam amino spesifik
(kkal/mol)
AK F Leu268 -9,02

AK C Leu268 -8,67

AK E Leu268 -7,84

AK B Leu268 -7,61

AK A Leu268 -7,36

AK D - -7,63

IV.6 Sintesis Senyawa Analog Kurkumin


IV.6.1 Sintesis (2E,6E)-2,6-bis(4-klorobenziliden)sikloheksanon (AK C)
Senyawa AK C disintesis melalui reaksi kondensasi aldol silang Claisen-
Schmidt dengan mereaksikan 4-klorobenzaldehida dan sikloheksanon
menggunakan perbandingan mol (2:1). Reaksi berlangsung dengan pengadukan
63

selama 5 jam dan menghasilkan kristal berwarna kuning sebanyak 0,9699 g


dengan rendemen sebesar 56,51% serta memiliki titik leleh 146,6-147,0 oC.
Kristal senyawa AK C dianalisis dengan KLT menggunakan eluen n-heksana dan
toluena dengan perbandingan 8:2. Hasil KLT ditunjukkan pada Gambar IV.28
didapatkan spot tunggal dengan nilai Rf sebesar 0,45, sedangkan nilai Rf reaktan
sebesar 0,50. Nilai retention factor (Rf) produk yang berbeda dengan reaktan
menunjukkan senyawa AK C telah terbentuk. Senyawa analog kurkumin
selanjutnya dikarakterisasi lebih lanjut menggunakan TLC scanner, FTIR,
MS/MS, 1H-NMR dan 13C-NMR.

Keterangan:
K: 4-klorobenzaldehida
C: senyawa AK C

Gambar IV.28 Hasil KLT senyawa AK C

Senyawa AK C berdasarkan hasil TLC scanner menunjukkan kemurnian


sebesar 100%. Kromatogram TLC scanner disajikan pada Lampiran 3.1. Analisis
selanjutnya yaitu menggunakan spektrofotometer FTIR yang bertujuan untuk
mengetahui gugus fungsi yang terdapat pada senyawa hasil sintesis. Terdapat
serapan khas pada bilangan gelombang 1665 cm-1 yang menunjukkan adanya
gugus C=O keton terkonjugasi, namun secara teoritis serapan gugus C=O karbonil
berada pada bilangan gelombang 1820-1660 cm-1. Bilangan gelombang yang lebih
rendah dibandingkan teoritis dikarenakan terbentuknya ikatan α,β-tak jenuh
sehingga menyebabkan vibrasi gugus C=O karbonil bergeser ke bilangan
gelombang yang lebih rendah (Pavia dkk., 2015). Bilangan gelombang 3062 dan
2937 cm-1 menunjukkan adanya Csp2-H dan Csp3-H. Serapan tajam pada bilangan
gelombang 1578 cm-1 menunjukkan gugus C=C yang merupakan karakteristik
64

senyawa aromatik. Bilangan gelombang 1083 cm-1 merupakan Ar-Cl yang


diperkuat dengan adanya serapan tajam pada bilangan gelombang 819 cm-1 yang
menunjukkan benzena di-substitusi pada posisi para. Hasil analisis
spektrofotometer FTIR senyawa AK C ditunjukkan pada Gambar IV.29 dan hasil
interpretasi spektra FTIR ditunjukkan pada Tabel IV.8.

3062

1665
2937

1578

1083
819

Gambar IV.29 Spektra FTIR senyawa AK C

Tabel IV.8 Hasil analisis spektra FTIR senyawa AK C


Bilangan gelombang (cm-1) Gugus fungsi
2
3062 Csp -H
2937 Csp3-H
1665 C=O
1578 C=C aromatik
1083 Ar-Cl
819 Benzena di-substitusi para

Senyawa AK C dianalisis lebih lanjut dengan MS/MS untuk mengetahui


kemungkinan massa molekul dan struktur yang terbentuk. Spektra massa senyawa
AK C ditunjukkan pada Gambar IV.30.
65

Gambar IV.30 Spektra massa senyawa AK C

Gambar IV.31 Pola fragmentasi senyawa AK C

Pola fragmentasi senyawa AK C ditunjukkan pada Gambar IV.31.


Senyawa AK C memiliki ion molekuler [M+] sesuai dengan berat molekul target
66

yaitu 343,25 g/mol. Ion molekuler [M+] muncul pada puncak dengan kelimpahan
100% pada m/z 343 (35Cl) sehingga puncak tersebut merupakan base peak dengan
membentuk fragmen yang paling stabil. Ion molekuler [M+] juga muncul pada
m/z 345 yang merupakan puncak isotop dari 37Cl. Ion molekuler senyawa AK C
mengalami pemutusan ikatan menghasilkan 3 jalur fragmentasi. Jalur fragmentasi
pertama yaitu lepasnya molekul CO dan atom H sehingga membentuk fragmen
dengan m/z 316 (37Cl). Jalur fragmentasi kedua ion molekuler melepaskan radikal
C12H10ClO sehingga membentuk fragmen pada m/z 127 (37Cl). Jalur fragmentasi
ketiga ion molekuler melepaskan radikal C13H11ClO sehingga membentuk
fragmen pada m/z 127 (37Cl). Spektra massa membuktikan bahwa senyawa
dengan berat molekul 343 g/mol adalah senyawa AK C.

Gambar IV.32 Spektra 1H-NMR senyawa AK C

Analisis selanjutnya dilakukan karakterisasi dengan 1H-NMR. Analisis


spektra 1H-NMR ditunjukkan pada Gambar IV.32 yang dihasilkan oleh senyawa
AK C terdapat 4 jenis proton dengan 4 lingkungan kimia yang berbeda. Senyawa
AK C merupakan senyawa simetris, puncak 1 merupakan proton milik karbon
alkana (-CH2-) muncul dengan kenampakan multiplet terintegrasi 2H pada
pergeseran kimia 1,77-1,82 ppm. Puncak 2 memiliki kenampakan triplet
67

terintegrasi 3H pada pergeseran kimia 2,88 ppm yang merupakan proton dari
karbon alkana dengan konstanta kopling J = 12,5 Hz. Puncak 3 pada pergeseran
kimia 7,35-7,39 ppm memiliki kenampakan multiplet yang terintegrasi 8H yang
merupakan proton aril pada cincin benzena. Senyawa AK C memiliki ciri khas
dengan munculnya puncak 4. Puncak 4 muncul pada pergeseran kimia 7,72 ppm
dengan kenampakan singlet terintegrasi 2H yang menandakan adanya proton
alkena pada ikatan α,β-tak jenuh. Proton 4 muncul pada daerah downfield karena
terikat pada karbon α,β-tak jenuh serta berada dekat dengan gugus karbonil (-
C=O). Gugus karbonil merupakan gugus penarik elektron yang kuat, densitas
elektron disekitar puncak 4 menjadi berkurang dan kurang terlindungi
(deshielded) akibat dari tarikan elektron gugus karbonil. Interpretasi data 1H-
NMR senyawa AK C ditunjukkan pada Tabel IV.9.

Tabel IV.9 Interpretasi data 1H-NMR senyawa AK C


Pergeseran Konstanta
Jumlah dan tipe
Puncak kimia Kenampakan kopling
proton
(δ, ppm) (J, Hz)
1 1,77-1,82 Multiplet - 2H, C-CH2-C
2 2,88 Triplet 12,5 4H, H2C-C-CH2
3 7,35-7,39 Multiplet - 8H, Ar-H
4 7,72 Singlet - 2H, -CH=
13
Kebenaran struktur senyawa AK C didukung dengan analisis C-NMR.
13
Spektra C-NMR menunjukkan adanya 9 puncak karbon dengan lingkungan
berbeda dari total 15 karbon yang dimiliki oleh senyawa AK C. Puncak 1
merupakan puncak karbon alkana (-CH2-) dari cincin sikloheksanon dengan
pergeseran kimia 22,90 ppm. Puncak 2 muncul pada pergeseran kimia 28,46 ppm
yang merupakan puncak karbon alkana (-CH2-). Puncak 3, 4, dan 5 merupakan
merupakan puncak karbon pada cincin aromatis dengan pergeseran kimia 128,78;
131,67; dan 134,41 ppm. Puncak 4 berada pada daerah downfield dan lebih
deshielding daripada puncak 3, puncak 4 lebih dekat dengan gugus karbonil
(-C=O) yang lebih elektronegatif daripada atom Cl. Puncak 6 muncul pada
pergeseran kimia 134,72 ppm merupakan karbon pada cincin aromatis yang
terikat dengan –Cl. Puncak 7 dan 8 merupakan ciri khas yang menandakan
terbentuknya senyawa AK C. Puncak 7 muncul pada pergeseran kimia 135,52
68

ppm yang merupakan puncak karbon alkena (-CH=CH-) yang berikatan dengan
benzena, sedangkan puncak 8 muncul pada pergeseran kimia 136,25 ppm yang
merupakan puncak karbon alkena (-CH=CH-) yang terikat langsung dengan gugus
karbonil (-C=O). Puncak 9 yang berada pada daerah downfield dengan pergeseran
kimia 189,97 ppm dan deshielded karena terikat langsung dengan atom oksigen
13
yang memiliki kerapatan elektron tinggi. Spektra C-NMR ditunjukkan pada
Gambar IV.33 dan interpretasi data pada Tabel IV.10.

Gambar IV.33 Spektra 13C-NMR senyawa AK C

Tabel IV.10 Interpretasi data 13C-NMR senyawa AK C


Pergeseran
Jumlah
Puncak kimia Tipe karbon
karbon
(δ, ppm)
1 22,90 1C -CH2-
2 28,46 2C -CH2-
3 128,78 4C Ar-C
4 131,67 4C Ar-C
5 134,41 2C Ar-C
6 134,72 2C Ar-C
7 135,52 2C -CH=C-
8 136,52 2C -CH=C-
9 189,97 1C C=O
69

Hasil elusidasi senyawa AK C menggunakan spektrofotometer FTIR,


MS/MS, 1H-NMR, dan 13C-NMR menunjukkan bahwa reaksi kondensasi Claisen-
Schmidt antara senyawa 4-klorobenzaldehida dengan sikloheksanon
(perbandingan mol 2:1) menggunakan katalis basa NaOH menghasilkan senyawa
(2E,6E)-2,6-bis(4-klorobenziliden)sikloheksanon. Hasil elusidasi ini didukung
oleh Carapina da Silva dkk. (2019) terkait sintesis senyawa (2E,6E)-2,6-bis(4-
klorobenziliden)sikloheksanon dengan titik leleh yang dilaporkan yaitu 147-148
o
C. Mekanisme reaksi senyawa AK C ditunjukkan pada Gambar IV.34.

Gambar IV.34 Mekanisme reaksi senyawa AK C

IV.6.2 Sintesis (3E,5E)-3,5-bis(4-klorobenziliden)-1-metil-piperidin-4-on (AK


E)
Senyawa AK E dihasilkan dengan mereaksikan 4-klorobenzaldehida
dengan n-metil-4-piperidon melalui reaksi kondensasi aldol Claisen-Schmidt
menggunakan perbandingan mol (2:1). Reaksi berlangsung dengan pengadukan
selama 5 jam dengan hasil sintesis berupa kristal berwarna kuning pucat sebanyak
1,01 g dengan rendemen sebanyak 56,52% serta titik leleh 173,6-175,3 oC. Kristal
senyawa AK E dianalisis dengan KLT menggunakan perbandingan eluen n-
70

heksana dan etil asetat (9:1). Hasil KLT berupa spot tunggal ditunjukkan pada
Gambar IV.35 dengan nilai Rf sebesar 0,35, sedangkan nilai Rf reaktan sebesar
0,70. Senyawa AK E yang dihasilkan dikarakterisasi lebih lanjut menggunakan
TLC scanner, FTIR, MS/MS, 1H-NMR dan 13C-NMR.

Keterangan:
K: 4-klorobenzaldehida
E: senyawa AK E

Gambar IV.35 Hasil KLT senyawa AK E

Kemurnian senyawa AK E yakni sebesar 100% berdasarkan hasil analisis


menggunakan TLC scanner. Kromatogram TLC scanner ditunjukkan pada
Lampiran 3.2. Analisis selanjutnya merupakan analisis dengan spektrofotometer
FTIR ditunjukkan pada Gambar IV.36. Hasil analisis senyawa AK E dengan
spektrofotometer FTIR terdapat serapan khas pada bilangan gelombang 1670 cm-1
yang menunjukkan adanya serapan gugus C=O keton. Ikatan –Csp2-H teramati
didaerah bilangan gelombang 3062 cm-1 dan –Csp3-H pada bilangan gelombang
2937 cm-1. Bilangan gelombang 1587 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=C yang
diidentifikasi adanya rantai alkena pada cincin aromatik. Terdapat serapan khas
pada bilangan gelombang 2772 cm-1 yang menunjukkan adanya ikatan N-C pada
cincin piperidina yang diperkuat dengan serapan pada panjang gelombang 1262
cm-1 yang menunjukkan C-N alifatik. Cincin piperidina yang tersubstitusi ataupun
tidak tersubstitusi memiliki serapan bilangan gelombang 2800-2600 cm-1
(Garraffo, 1994). Bilangan gelombang 1085 cm-1 merupakan Ar-Cl yang
diperkuat dengan serapan tajam pada bilangan gelombang 819 cm-1 yang
71

menunjukkan benzena di-subsitusi pada posisi para. Hasil interpretasi spektra


FTIR senyawa AK E ditunjukkan pada Tabel IV.11.

3062

1670
2937
2772

1587

1262
1085

819
Gambar IV.36 Spektra FTIR senyawa AK E

Tabel IV.11 Hasil analisis spektra FTIR senyawa AK E


Bilangan gelombang (cm-1) Gugus fungsi
3062 Csp2-H
2937 Csp3-H
2772 N-C piperidina
1670 C=O
1587 C=C aromatik
1262 C-N alifatik
1085 Ar-Cl
819 Benzena di-substitusi para

Setelah diketahui gugus fungsi yang dihasilkan dari analisis menggunakan


spektrofotometer FTIR, analisis selanjutnya dilakukan karakterisasi dengan
MS/MS dan spektra massa senyawa AK E ditunjukkan pada Gambar IV.37.
72

Gambar IV.37 Spektra massa senyawa AK E

Gambar IV.38 Pola fragmentasi senyawa AK E

Hasil pola fragmentasi senyawa AK E ditunjukkan pada Gambar IV.38.


Pola fragmentasi menunjukkan ion molekuler [M+] telah sesuai dengan berat
molekul senyawa AK E yaitu 358,26 g/mol. Ion molekuler [M+] muncul dengan
intensitas paling tinggi pada m/z 358 (35Cl) sehingga disebut base peak dengan
membentuk fragmen yang paling stabil. Ion molekuler [M+2] muncul pada m/z
37
360 yang merupakan puncak isotop dari Cl. Ion molekuler senyawa AK E
mengalami pemutusan ikatan sehingga menghasilkan 2 jalur fragmentasi. Jalur
fragmentasi pertama diawali dengan pelepasan radikal C12H11ClNO sehingga
membentuk fragmen dengan m/z 139 (37Cl), fragmen tersebut kemudian melepas
73

molekul HCl sehingga menghasilkan fragmen dengan m/z 101. Jalur fragmentasi
kedua ion molekuler melepaskan radikal -CH3 sehingga membentuk fragmen
dengan m/z 343. Spektra massa membuktikan bahwa senyawa dengan berat
molekul 358 g/mol adalah senyawa AK E.

Gambar IV.39 Spektra 1H-NMR senyawa AK E

Tabel IV.12 Interpretasi data 1H-NMR senyawa AK E


Pergeseran Konstanta
Jumlah dan tipe
Puncak kimia Kenampakan kopling
proton
(δ, ppm) (J, Hz)
1 2,45 Singlet - 3H, N-CH3
2 3,71 Singlet - 4H, N-CH2-C
3 7,31 Doublet 8,5 4H, Ar-H
4 7,38 Doublet 8,5 4H, Ar-H
5 7,73 Singlet - 2H, -CH=

Senyawa AK E dikarakterisasi lebih lanjut dengan 1H-NMR. Analisis


spektra 1H-NMR ditunjukkan pada Gambar IV.39 dan interpretasi data 1H-NMR
pada Tabel IV.12. Senyawa AK E memiliki 5 jenis proton dengan 5 lingkungan
74

kimia yang berbeda. Puncak 1 merupakan proton milik karbon metil yang berada
pada daerah upfield karena terikat langsung dengan atom nitrogen (-N-CH3),
muncul dengan kenampakan singlet terintegrasi 3H pada pergeseran kimia 2,45
ppm. Puncak 2 pada pergeseran kimia 3,71 ppm memiliki kenampakan singlet
terintegrasi 4H yang merupakan proton dari karbon pada cincin 4-piperidon.
Puncak 3 muncul pada pergeseran kimia 7,31 ppm merupakan proton aril pada
cincin benzena dengan kenampakan doublet terintegrasi 4H yang terkopling orto
oleh proton tetangga yaitu proton 4. Puncak 4 muncul pada pergeseran kimia 7,38
ppm memiliki kenampakan doublet terintegrasi 4H yang terkopling orto oleh
proton tetangga yaitu proton 3. Proton 3 dan 4 merupakan proton simetris saling
terkopling orto satu sama lain dengan konstanta kopling Jorto = 8,5 Hz. Konstanta
kopling orto berada pada rentang 6-10 Hz (Achmadi, 2003). Senyawa AK E
memiliki ciri khas dengan munculnya puncak 5. Puncak 5 merupakan proton
alkena (-CH=) muncul pada daerah downfield karena berada dekat dengan gugus
karbonil (-C=O).

Gambar IV.40 Spektra 13C-NMR senyawa AK E


13
Kebenaran struktur senyawa AK E didukung dengan analisis C-NMR
13
yang ditunjukkan pada Gambar IV.40. Spektra C-NMR menunjukkan adanya 9
75

puncak karbon dengan lingkungan berbeda dari total 20 karbon yang dimiliki oleh
senyawa AK E. Puncak 1 merupakan puncak karbon metil yang berada pada
daerah upfield karena terikat langsung dengan atom nitrogen (-N-CH3) dengan
pergeseran kimia 45,97 ppm. Puncak 2 muncul pada pergeseran kimia 57,06 ppm
yang merupakan puncak karbon alkana (-CH2-). Puncak 3, 4, dan 5 merupakan
merupakan puncak karbon pada cincin aromatis dengan pergeseran kimia 128,98;
131,67; dan 133,52 ppm. Puncak 6 muncul pada pergeseran kimia 133,70 ppm
merupakan karbon pada cincin aromatis yang terikat langsung dengan –Cl.
Puncak 7 dan 8 merupakan ciri khas yang menandakan terbentuknya senyawa AK
E. Puncak 7 muncul pada pergeseran kimia 135,23 ppm merupakan puncak
karbon alkena (-CH=C-) yang berikatan dengan cincin benzena, sedangkan
puncak 8 merupakan puncak karbon alkena (-CH=C-) yang terikat langsung
dengan gugus karbonil (-C=O) muncul pada pergeseran kimia 135,26 ppm.
Puncak 9 berada pada daerah downfield dengan pergeseran kimia 186,61 ppm.
Interpretasi data senyawa AK E ditunjukkan pada Tabel IV.13.

Tabel IV.13 Interpretasi data 13C-NMR senyawa AK E


Pergeseran
Jumlah
Puncak kimia Tipe karbon
karbon
(δ, ppm)
1 45,97 1C N-CH3
2 57,06 2C -CH2-
3 128,98 4C Ar-C
4 131,67 4C Ar-C
5 133,52 2C Ar-C
6 133,70 2C Ar-C
7 135,23 2C -CH=C-
8 135,26 2C -CH=C-
9 186,61 1C C=O

Hasil elusidasi senyawa AK E menggunakan spektrofotometer FTIR,


1 13
MS/MS, H-NMR, dan C-NMR menunjukkan bahwa reaksi kondensasi
Claisen-Schmidt antara senyawa 4-klorobenzaldehida dengan n-metil-4-
piperidon (perbandingan mol 2:1) menggunakan katalis NaOH menghasilkan
senyawa (3E,5E)-3,5-bis(4-klorobenziliden)-1-metil-piperidin-4-on. Kebenaran
struktur senyawa AK E didukung oleh Rahmania dkk. (2020) terkait sintesis
76

senyawa (3E,5E)-3,5-bis(4-klorobenziliden)-1-metil-piperidin-4-on dengan titik


leleh 170 oC. Mekanisme reaksi senyawa AK E ditunjukkan pada Gambar IV.41.

Gambar IV.41 Mekanisme reaksi senyawa AK E

IV.6.3 Sintesis (3E,5E)-3,5-bis(4-klorobenziliden)-1-benzil-piperidin-4-on


(AK F)
Senyawa AK F disintesis dengan mereaksikan 4-klorobenzaldehida dan
n-benzil-4-piperidon melalui reaksi kondensasi aldol silang Claisen-Schmidt
menggunakan perbandingan mol (2:1). Reaksi berlangsung dengan pengadukan
selama 5 jam dan menghasilkan kristal berwarna kuning gelap sebanyak 0,66 g
dengan rendemen sebesar 30,39% serta memiliki titik leleh 162,0-163,5 oC.
Kristal senyawa AK F dianalisis dengan KLT menggunakan eluen n-heksana dan
etil asetat dengan perbandingan 9:1. Hasil KLT senyawa AK F yang ditunjukkan
pada Gambar IV.42. Hasil KLT yang didapatkan berupa spot tunggal dengan nilai
Rf sebesar 0,55, sedangkan nilai Rf reaktan sebesar 0,70. Senyawa AK F
77

selanjutnya dikarakterisasi lebih lanjut menggunakan TLC scanner, FTIR,


MS/MS, 1H-NMR dan 13C-NMR.

Keterangan:
K: 4-klorobenzaldehida
F: senyawa AK F

Gambar IV.42 Hasil KLT senyawa AK F

Senyawa AK F berdasarkan hasil TLC scanner menunjukkan kemurnian


sebesar 98,75% yang ditunjukkan pada Lampiran 3.3. Analisis selanjutnya yaitu
menggunakan spektrofotometer FTIR untuk menentukan gugus fungsi yang
dihasilkan. Spektra FTIR senyawa AK F ditunjukkan pada Gambar IV.43.
1669
3039
2938

2746

1260
1580

1085
821

Gambar IV.43 Spektra FTIR senyawa AK F

Berdasarkan Gambar IV.43 hasil spektra FTIR senyawa AK F terdapat


serapan khas pada bilangan gelombang 1669 cm-1 yang menunjukkan adanya
78

serapan tajam gugus C=O keton terkonjugasi. Ikatan Csp2-H dan Csp3-H muncul
didaerah bilangan gelombang 3039 dan 2938 cm-1. Bilangan gelombang 2746
cm-1 merupakan ikatan N-C pada cincin piperidina yang diperkuat dengan adanya
ikatan C-N alifatik pada bilangan gelombang 1260 cm-1. Bilangan gelombang
1580 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=C yang diidentifikasi adanya rantai
alkena pada cincin aromatik. Bilangan gelombang 1085 cm-1 merupakan Ar-Cl
yang diperkuat dengan serapan tajam pada bilangan gelombang 821 cm-1 yang
menunjukkan benzena di-substitusi pada posisi para. Hasil interpretasi spektra
FTIR senyawa AK F ditunjukkan pada Tabel IV.14.

Tabel IV.14 Hasil analisis spektra FTIR senyawa AK F


Bilangan gelombang (cm-1) Gugus fungsi
3039 Csp2-H
2938 Csp3-H
2746 N-C piperidina
1669 C=O
1580 C=C aromatik
1260 C-N alifatik
1085 Ar-Cl
821 Benzena di-substitusi para

Analisis selanjutnya dilakukan karakterisasi dengan MS/MS. Spektra


massa yang dihasilkan oleh senyawa AK F ditunjukkan pada Gambar IV.44.

Gambar IV.44 Spektra massa senyawa AK F

Pola fragmentasi senyawa AK F terdapat ion molekuler [M+] sesuai


dengan berat molekul senyawa AK F yaitu 434,36 g/mol. Ion molekuler [M+]
muncul dengan intensitas paling tinggi pada m/z 434 (35Cl) yang merupakan base
peak, sedangkan Ion molekuler [M+2] muncul pada m/z 436 yang merupakan
37
puncak isotop dari Cl. Ion molekuler senyawa AK F mengalami pemutusan
ikatan menghasilkan 3 jalur fragmentasi. Jalur fragmentasi pertama ion molekuler
79

melepaskan radikal C19H15ClNO sehingga menghasilkan fragmen m/z 125 (35Cl)


dan 127 (37Cl). Jalur fragmentasi kedua molekul HCl lepas sehingga
menghasilkan fragmentasi dengan m/z 400. Jalur fragmentasi ketiga ion
molekuler melepaskan molekul CO dan kemudian melepaskan atom H sehingga
membentuk fragmen dengan m/z 405 (35Cl) dan 407 (37Cl). Spektra massa
membuktikan bahwa senyawa dengan berat molekul 434 g/mol adalah senyawa
AK F. Hasil pola fragmentasi senyawa AK F ditunjukkan pada Gambar IV.45.

Gambar IV.45 Pola fragmentasi senyawa AK F


80

Gambar IV.46 Spektra 1H-NMR senyawa AK F

Senyawa AK F dikarakterisasi lebih lanjut dengan 1H-NMR. Analisis


spektra 1H-NMR ditunjukkan pada Gambar IV.46. Senyawa AK F memiliki 5
jenis proton dengan 5 lingkungan kimia yang berbeda. Puncak 1 muncul dengan
kenampakan singlet terintegrasi 2H pada pergeseran kimia 3,69 ppm yang
merupakan proton milik karbon alkana yang terikat dengan atom nitrogen
(N-CH2-Ph). Puncak 2 pada pergeseran kimia 3,71 ppm memiliki kenampakan
singlet terintegrasi 4H yang merupakan proton dari karbon pada cincin
4-piperidon. Puncak proton 3 milik cincin benzena A bergeser ke arah downfield
dan mengalami overlapped dengan puncak proton 3 milik cincin benzena B
sehingga menghasilkan kenampakan multiplet terintegrasi 9H yang muncul pada
pergeseran kimia 7,19-7,26. Menurut Parlar (2019) pergeseran relatif ke arah yang
lebih downfield disebabkan adanya efek penarikan oleh gugus penarik elektron
yaitu Cl. Puncak 4 memiliki kenampakan doubet dengan nilai konstanta kopling
J = 10 Hz muncul pada pergeseran kimia 7,33 ppm yang terintegrasi 4H. Senyawa
AK F memiliki ciri khas dengan munculnya puncak 5. Puncak 5 muncul pada
pergeseran kimia 7,72 ppm dengan kenampakan singlet terintegrasi 2H
81

merupakan proton alkena (-CH=). Interpretasi data 1H-NMR senyawa AK F


dirangkum pada Tabel IV.15.

Tabel IV.15 Interpretasi data 1H-NMR senyawa AK F


Pergeseran Konstanta
Jumlah dan tipe
Puncak kimia Kenampakan kopling
proton
(δ, ppm) (J, Hz)
1 3,69 Singlet - 2H, N-CH2-Ph
2 3,71 Singlet - 4H, N-CH2-C
3 7,19-7,26 Multiplet - 9H, ArAB-H
4 7,33 Doublet 10 4H, ArA-H
5 7,72 Singlet - 2H, -CH=
13
Kebenaran struktur senyawa AK F didukung dengan analisis C-NMR
yang ditunjukkan pada Gambar IV.47. Spektra 13C-NMR menunjukkan adanya 13
puncak karbon dengan lingkungan berbeda dari total 26 karbon yang dimiliki oleh
senyawa AK F. Puncak 1 merupakan puncak karbon yang berada diantara atom
nitrogen dengan cincin benzena B (N-CH2-Ph) pada pergeseran kimia 61,53 ppm.
Puncak 2 muncul pada pergeseran kimia 54,33 ppm yang merupakan puncak
karbon alkana (-CH2-) pada cincin 4-piperidon. Puncak 3, 5, 6, dan 10 merupakan
puncak karbon pada cincin aromatis B dengan pergeseran kimia 127,61; 128,93;
129,02; dan 135,14 ppm. Puncak 4, 7, dan 8 muncul pada pergeseran kimia
128,51; 131,60 dan 133,67 ppm merupakan karbon pada cincin aromatis A.
Puncak 9 merupakan puncak karbon pada cincin aromatis A yang
berikatan dengan -Cl muncul pada pergeseran kimia 133,73 ppm. Puncak 11 dan
12 merupakan ciri khas yang menandakan terbentuknya senyawa AK F. Puncak
11 muncul pada pergeseran kimia 135,39 ppm merupakan puncak karbon alkena
(-CH=C-) yang berikatan dengan cincin benzena, sedangkan puncak 12
merupakan puncak karbon alkena (-CH=C-) yang terikat langsung dengan gugus
karbonil (-C=O) muncul pada pergeseran kimia 137,16 ppm. Puncak 13 berada
pada daerah downfield karena berikatan langsung dengan atom oksigen dengan
ektronegatifitas tinggi pergeseran kimia 187,46 ppm. Karbon pada puncak 10
lebih deshielded dan downfield dibandingkan dengan karbon pada puncak 3, 5,
13
dan 6 karena berikatan langsung dengan gugus alkana. Hasil interpretasi C-
NMR senyawa AK F ditunjukkan pada Tabel IV.16.
82

Gambar IV.47 Spektra 13C-NMR senyawa AK F

Tabel IV.16 Interpretasi data 13C-NMR senyawa AK F


Pergeseran
Jumlah
Puncak kimia Tipe karbon
karbon
(δ, ppm)
1 54,33 2C -CH2-
2 61,53 1C N-CH2-Ph
3 127,61 1C ArB-C
4 128,51 2C ArA-C
5 128,93 4C ArB-C
6 129,02 2C ArB-C
7 131,60 4C ArA-C
8 133,67 2C ArA-C
9 133,73 2C ArA-C
10 135,14 2C ArB-C
11 135,39 2C -CH=C-
12 137,16 1C -CH=C-
13 187,46 1C -C=O

Hasil elusidasi senyawa AK F menggunakan spektrometer FTIR,


MS/MS, 1H-NMR, dan 13
C-NMR menunjukkan reaksi kondensasi Claisen-
Schmidt antara senyawa 4-klorobenzaldehida dengan n-benzil-4-piperidon
83

(perbandingan mol 2:1) menggunakan katalis NaOH menghasilkan senyawa


(3E,5E)-3,5-bis(4-klorobenziliden)-1-benzil-piperidin-4-on. Kebenaran struktur
senyawa AK F didukung oleh Parlar (2019) terkait sintesis senyawa (3E,5E)-
o
3,5-bis(4-klorobenziliden)-1-benzil-piperidin-4-on dengan titik leleh 167 C.
Mekanisme reaksi senyawa AK F ditunjukkan pada Gambar IV.48.

Gambar IV.48 Mekanisme reaksi senyawa AK F

IV.7 Uji Aktivitas Antimalaria Senyawa Analog Kurkumin


Senyawa AK C, E, dan F hasil sintesis diuji aktivitasnya sebagai kandidat
antimalaria secara in vitro terhadap parasit P. falciparum strain 3D7 sensitif
klorokuin dan P. falciparum strain FCR3 resisten klorokuin. Evaluasi hasil
pengujian antimalaria secara in vitro dinyatakan dalam nilai IC50 yang
84

didefinisikan sebagai konsentrasi yang dibutuhkan senyawa antimalaria dalam


menghambat 50% pematangan skizon yang dapat dinyatakan dalam satuan μg/mL
atau μM. Hasil pengujian antimalaria senyawa analog kurkumin hasil sintesis
disajikan pada Tabel IV.17.

Tabel IV.17 Data penghambatan senyawa analog kurkumin hasil sintesis terhadap
P. falciparum strain FCR3 dan 3D7
FCR3 3D7
Konsentrasi
Senyawa IC50 IC50
(μg/mL) %Penghambatan %Penghambatan
(μM) ± SD (μM) ± SD
1 75,002 57,516
0,5 70,315 51,412
AK C 0,25 66,830 0,137 ± 0,020 49,909 0,924 ± 0,586
0,125 62,630 45,226
0,0625 49,106 38,308
1 74,664 49,873
0,5 66,736 48,040
AK E 0,25 55,314 0,447 ± 0,162 43,968 2,268 ± 0,667
0,125 51,869 40,802
0,0625 32,727 34,029
1 86,401 66,324
0,5 85,031 63,054
AK F 0,25 79,009 0,018 ± 0,013 56,457 0,336 ± 0,092
0,125 75,707 46,828
0,0625 67,714 42,284
1 61,172 44,798
0,5 55,503 44.560
Kurkumin
0,25 50,187 0,823 ± 0,051 36,715 3,902 ± 1,059
(kontrol)
0,125 40,682 31,022
0,0625 32,612 25,865

Berdasarkan Tabel IV.17 diketahui bahwa senyawa AK C, E, F, dan


kurkumin menghambat parasit P. falciparum strain FCR3 menggunakan
konsentrasi yang sama secara berturut-turut menghasilkan nilai IC50 sebesar 0,137
± 0,020; 0,447 ± 0,162; 0,018 ± 0,013; dan 0,823 ± 0,051 μM. Senyawa AK C, E,
F, dan kurkumin juga menghambat parasit P. falciparum strain 3D7
menggunakan konsentrasi yang sama secara berturut-turut menghasilkan nilai IC50
sebesar 0,924 ± 0,586; 2,268 ± 0,667; 0,336 ± 0,092; dan 3,902 ± 1,059 μM.
Batista dkk. (2009) mengklasifikasikan aktivitas antimalaria senyawa hasil
sintesis menjadi 5 kelompok, yaitu: sangat aktif (IC50 < 1 μM); aktif (IC50 1-20
μM); sedang (IC50 20-100 μM); rendah (IC50 100-200 μM); dan tidak aktif (IC50 >
85

200 μM). Aktivitas antimalaria senyawa AK C, E, dan F ditunjukkan pada Tabel


IV.18.

Tabel IV.18 Aktivitas antimalaria senyawa analog kurkumin hasil sintesis


terhadap P. falciparum strain FCR3 dan 3D7
FCR3 3D7
Senyawa IC50 Aktivitas Aktivitas
IC50 (μM)
(μM) antimalaria antimalaria
AK C 0,137 ± 0,020 Sangat aktif 0,924 ± 0,586 Sangat aktif
AK E 0,447 ± 0,162 Sangat aktif 2,268 ± 0,667 Aktif
AK F 0,018 ± 0,013 Sangat aktif 0,336 ± 0,092 Sangat aktif
Kurkumin 0,823 ± 0,051 Sangat aktif 3,902 ± 1,059 Aktif

Berdasarkan Tabel IV.18 senyawa AK C, E, dan F memiliki aktivitas


antimalaria yang sangat baik jika dibandingkan dengan kurkumin. Hal ini
dibuktikan dengan nilai IC50 ketiga senyawa analog kurkumin yang lebih rendah
daripada nilai IC50 kurkumin baik pada P. falciparum strain FCR3 maupun pada
P. falciparum strain 3D7. Adanya modifikasi struktur kurkumin yang memiliki β-
diketon menjadi senyawa analog kurkumin monoketon terbukti dapat
meningkatkan aktivitas antimalaria. Hasil pengujian aktivitas antimalaria selaras
dengan hasil penambatan molekul, adanya interaksi spesifik antara senyawa AK
C, E, dan F dengan protein PfLDH, PfENR, dan PfATP6 serta penambahan gugus
penarik elektron berupa kloro tersubstitusi posisi para pada kedua cincin fenil
dapat meningkatkan jumlah interaksi dan menghasilkan nilai afinitas ikatan yang
lebih rendah. Semakin banyak interaksi spesifik dan rendah nilai afinitas ikatan
yang dihasilkan antara senyawa analog kurkumin dengan protein target maka akan
semakin baik aktivitas antimalaria yang dihasilkan.
Indeks resistensi (RI) merupakan salah satu indikator penting dalam
pengembangan obat malaria, RI memberikan pengukuran kuantitatif aktivitas
antimalaria terhadap Chloroquine resistance (CQR) strain dan Chloroquine
resistance (CQS) strain. Semakin tinggi nilai RI maka akan semakin tinggi pula
tingkat resistensi suatu senyawa. Sebaliknya, nilai RI yang semakin rendah
menunjukkan senyawa antimalaria hampir terlepas dari kerentanan parasit
86

(Dambuza dkk., 2015; Ekoue-kovi dkk., 2009; Salas dkk., 2013). Nilai RI
senyawa analog kurkumin ditunjukkan pada Tabel IV.19.

Tabel IV.19 Nilai indeks resistensi senyawa analog kurkumin


Senyawa Indeks resistensi (RI)
AK C 0,148
AK E 0,197
AK F 0,053
Kurkumin 0,211

Berdasarkan Tabel IV.19 senyawa AK C, E, dan F memiliki nilai RI


berturut-turut sebesar 0,148; 0,197; dan 0,053. Ketiga senyawa analog kurkumin
ini memiliki nilai RI yang rendah jika dibandingkan dengan kurkumin kontrol
yaitu 0,211, bahkan lebih rendah dari obat antimalaria yang umum di pasaran
seperti klorokuin dengan nilai RI sebesar 7-11 (Mathebula dkk., 2019; Upegui
dkk., 2015; Zakiah dkk., 2021). Nilai RI senyawa AK C, E, dan F yang lebih
rendah dari klorokuin dan kurkumin mengindikasikan kemampuan senyawa AK
C, E, dan F untuk mengalami resistensi menjadi lebih kecil.

IV.8 Farmakokinetik Senyawa Analog Kurkumin


Senyawa yang memiliki potensi besar sebagai kandidat obat harus
mencapai target penghambatan di dalam tubuh pada konsentrasi yang cukup dan
tetap berada di situs penghambatan dalam jangka waktu tertentu dalam bentuk
aktivitas biologis agar peristiwa biologis yang diharapkan dapat terjadi. Selama
penemuan obat baru, aktivitas dan selektivitas harus dievaluasi lebih awal dan
dilanjutkan dengan evaluasi terhadap farmakokinetik (PK) dan toksisitas. Sifat
farmakokinetik (PK) yang tidak diinginkan atau tingkat toksisitas yang tidak dapat
ditoleransi merupakan penyebab utama kegagalan pengembangan kandidat obat
pada tahap uji klinis. Pengembangan kandidat obat perlu dievaluasi terhadap laju
absorpsi, distribusi, metabolisme, ekskresi, dan toksisitas (ADMET) agar
menghasilkan efikasi dan tingkat keamanan yang tinggi sebagai terapi (Daina
dkk., 2017; Jia dkk., 2019; dan Wu dkk., 2020).
Penelitian secara in vivo membutuhkan biaya dan waktu yang cukup lama,
sehingga pencarian sifat ADMET digunakan pendekatan berbasis website seperti
87

AdmetSAR (Cheng dkk., 2012); pkSCM (Pires dkk., 2015); dan ADMETLab 2,0
(Xiong dkk., 2021). Evaluasi sifat kandidat senyawa obat juga dilakukan analisis
terhadap sifat mirip obat atau drug-likeness melalui parameter aturan Lipinski
atau Rule of five. Menurut Lipinski (2001) karakteristik senyawa obat yang baik
diantaranya harus memiliki berat molekul < 500; LogP < 5; jumlah akseptor
ikatan hidrogen ≤ 10; dan jumlah donor ikatan hidrogen ≤ 5. Hasil analisis drug-
likeness senyawa analog kurkumin berdasarkan aturan Lipinski dapat dilihat pada
Tabel IV.20.

Tabel IV.20 Hasil analisis drug-likeness senyawa analog kurkumin berdasarkan


aturan Lipinski
Aturan Lipinski
Senyawa Berat molekul Akseptor ikatan Donor ikatan
LogP
(Da) hidrogen hidrogen
AK C 343,25 6,21 1 0
AK E 358,27 4,97 2 0
AK F 434,37 6,55 2 0
Kurkumin 368,39 3,37 6 2

Berdasarkan Tabel IV.20 senyawa AK C, E dan F memenuhi kriteria


sebagai kandidat senyawa obat berdasarkan aturan Lipinski walaupun terdapat
nilai LogP > 5 pada senyawa AK C dan F. Menurut Maliehe dkk. (2020) suatu
senyawa tidak diterima menjadi kandidat senyawa obat jika menunjukkan lebih
dari satu penyimpangan aturan Lipinski. LogP merupakan logaritma dari koefisien
partisi oktanol-air yang diterima secara luas sebagai ukuran lipofilisitas suatu
senyawa (Hongmao, 2016). Nilai lipofilisitas suatu senyawa yang terlalu rendah
menyebabkan senyawa sukar larut di dalam lemak. Hal ini sangat membatasi
kemampuannya untuk melewati membran biologis yang kaya akan lipida
(Shivanand dan Patel, 2010). Nilai lipofilisitas (LogP > 5) dapat meningkatkan
kemungkinan senyawa kandidat obat mengikat protein dengan interaksi
hidrofobik (Maliehe dkk., 2020). Hal ini sejalan dengan hasil penambatan molekul
bahwa senyawa AK C, E, dan F menghasilkan interaksi hidrofobik yang lebih
banyak dibandingkan kurkumin. Adanya gugus hidroksil pada struktur kurkumin
memberikan kontribusi terhadap nilai LogP yang lebih kecil. Kehadiran gugus
88

hidroksil cenderung meningkatkan ikatan hidrogen dengan air yang menyebabkan


penurunan lipofilisitas (Dufès, 2011).
Terdapat 14 parameter yang digunakan dalam evaluasi ADMET
diantaranya human intestinal absorption (HIA); blood brain barrier (BBB);
steady-state volume of distribution (VDss); CYP2D6 substrate; CYP3A4
substrate; CYP1A2 inhibitor; CYP2C19 inhibitor; CYP2C9 inhibitor; CYP2D6
inhibitor; CYP3A4 inhibitor; Clearance (klirens); AMES mutagenesis;
karsinogenisitas; dan toksisitas oral akut. Hasil prediksi ADMET dan parameter
ini ditunjukkan pada Tabel IV.21.

Tabel IV.21 Hasil prediksi ADMET senyawa analog kurkumin


Senyawa
Parameter
AK C AK E AK F Kurkumin
(A) Absorpsi
- HIA (%) 93,59 93,04 90,37 87,58
(D) Distribusi
- BBB (LogBB) 0,469 0,304 0,853 -0,511
- VDss (L/kg) 0,628 1,040 0,941 -0,117
(M) Metabolisme
- CYP2D6 substrate Tidak Tidak Tidak Tidak
- CYP3A4 substrate Ya Ya Ya Ya
- CYP1A2 inhibitor Ya Ya Tidak Ya
- CYP2C19 inhibitor Ya Ya Tidak Ya
- CYP2C9 inhibitor Ya Tidak Tidak Ya
- CYP2D6 inhibitor Tidak Ya Ya Ya
- CYP3A4 inhibitor Tidak Tidak Ya Ya
(E) Ekskresi
- Clearance
4,487 10,344 9,648 13,893
(mL/menit)
(T) Toksisitas
- AMES mutagenesis Non- Non- Non- Non-
mutagenik mutagenik mutagenik mutagenik
- Karsinogenisitas Non- Non- Non- Non-
karsinogenik karsinogenik karsinogenik karsinogenik
- Toksisitas oral akut Kategori III Kategori III Kategori III Kategori III

Penyerapan usus manusia (HIA) merupakan parameter paling penting dan


menjadi prasyarat bagi kemanjuran senyawa obat. Terlebih lagi HIA memiliki
hubungan erat dengan bioavailabilitas, sebagian besar bioavailabilitas senyawa
(64%) dikendalikan oleh HIA (Wang dkk., 2017). Nilai HIA dinyatakan dalam
89

%penyerapan, %penyerapan yang tinggi mengindikasikan senyawa obat diserap


dengan baik di dalam usus. Penyerapan senyawa obat dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu; buruk (HIA ≤ 30%); sedang (30% < HIA > 79%); dan tinggi
(HIA ≥ 80%) (Yan dkk., 2008). Berdasarkan Tabel IV.21 senyawa AK C, E, F,
dan kurkumin memiliki nilai HIA masing-masing 93,59; 93,04; 90,37; dan
87,58%. Nilai HIA ketiga senyawa analog kurkumin dan kurkumin berada pada
kelompok dengan penyerapan tinggi di usus, namun nilai HIA kurkumin masih
lebih rendah dibandingkan dengan ketiga senyawa analog kurkumin. Nilai HIA
memiliki keterkaitan dengan nilai LogP, semakin tinggi nilai LogP maka semakin
mudah suatu senyawa menembus membran usus halus. Berdasarkan prediksi nilai
HIA modifikasi kurkumin menjadi senyawa analog kurkumin monkoketon
berhasil meningkatkan absorpsi ketiga senyawa tersebut di dalam usus halus.
Kemampuan senyawa obat yang akan terabsorpsi ke dalam otak perlu
dipertimbangkan guna mengatasi efek samping yang terjadi. Sawar darah otak
(BBB) merupakan parameter lainnya dalam proses absorpsi senyawa obat ke
dalam otak. BBB merupakan penghalang biologis yang terdiri atas sel-sel endotel
mikrovaskular dari sistem saraf pusat (SSP). Sel-sel ini menyaring segala sesuatu
yang masuk dan keluar dari otak. Peran utama BBB yaitu untuk mempertahankan
homeostasis SSP dengan membatasi pengangkutan zat beracun dan mengeluarkan
metabolit dari otak (Zadorozhnii dkk., 2022). Senyawa dengan nilai logBB > 0,3
akan mudah melewati sawar darah otak; nilai logBB diantara 0,3 dan -1 senyawa
masih memiliki akses melewati sawar darah otak; dan nilai logBB < -1 senyawa
terdistribusi buruk di otak (Vilar dkk., 2010). Berdasarkan Tabel IV.21 senyawa
AK C, E, dan F memiliki nilai logBB > 0,3 dan lebih besar dari kurkumin,
sehingga ketiga senyawa analog kurkumin dengan mudah melewati BBB,
sedangkan kurkumin dengan nilai logB -0,511 masih memiliki akses untuk
melewati BBB. Senyawa dengan sifat lipofilik tinggi mampu bergerak melewati
BBB dengan cara difusi, sedangkan senyawa dengan sifat lipofilik yang rendah
akan melintasi BBB hanya melalui transpor aktif (Vilar dkk., 2010). Nilai logBB
memiliki korelasi dengan ukuran lipofilisitas suatu senyawa (LogP), kurkumin
yang memiliki nilai LogP rendah berdasarkan evaluasi sifat fisikokimia terbukti
90

memiliki nilai logBB yang rendah pula, begitupun sebaliknya untuk ketiga
senyawa analog kurkumin.
Volume distribusi dalam keadaan steady-state (VDss) didefinisikan sebagai
rasio jumlah total obat di dalam jaringan tubuh dengan konsentrasi total obat di
dalam plasma darah pada kondisi steady-state. Kondisi steady-state yaitu ketika
sistem dikenai obat dengan laju konstan ke dalam plasma darah, sehingga
konsentrasi distribusi obat di dalam jaringan tubuh menjadi tidak berubah.
Volume distribusi obat pada keadaan steady-state (dalam satuan L/kg)
diklasifikasikan menjadi 5 kategori yaitu; rendah < 0,6; sedang 0,6-5; tinggi 5-
100; dan sangat tinggi > 100 (Smith dkk., 2015). Berdasarkan Tabel IV.21 nilai
VDss senyawa AK C, E, dan F berturut-turut 0,628; 1,04; dan 0,941. Nilai VDss
senyawa AK E dan F lebih besar daripada senyawa AK C. Perbedaan volume
distribusi disebabkan adanya cincin piperidina yang melekat pada senyawa AK E
dan F. Hal ini sesuai dengan penelitian Zadorozhnii dkk. (2022) yang menyatakan
bahwa senyawa obat yang memiliki cincin piperidina memiliki volume distribusi
yang lebih besar. Perbedaan afinitas senyawa obat didalam jaringan tubuh dan
plasma darah menentukan besar kecilnya volume distribusi sehingga volume
distribusi tidak menggambarkan volume yang sebenarnya (volume imajiner).
Senyawa obat dengan sifat lipofilik tinggi umumnya lebih banyak terikat di
jaringan tubuh dibandingkan di dalam plasma darah, artinya konsentrasi obat akan
lebih sedikit di dalam plasma darah sehingga volume distribusi seolah-olah
menjadi lebih besar dan senyawa obat terlihat lebih banyak dilarutkan (Sani,
2003).
Nilai VDss ketiga senyawa analog kurkumin menunjukkan nilai VDss yang
lebih besar dibandingkan kurkumin yaitu -0,117 artinya senyawa AK C, E, dan F
akan terdistribusi lebih banyak di jaringan dan sedikit di darah daripada kurkumin.
Meskipun senyawa AK C, E, dan F terdistribusi lebih sedikit di dalam darah,
senyawa AK C, E, dan F berinteraksi lebih kuat dan stabil dengan reseptor. Hal
ini didukung dengan hasil penambatan molekul bahwa senyawa AK C, E, dan F
berinteraksi spesifik dan lebih stabil dibandingkan kurkumin yang dibuktikan
dengan data interaksi spesifik dan nilai afinitas ikatan yang dihasilkan. Aktivitas
91

sebagian besar senyawa obat ditentukan oleh kemampuan obat untuk berikatan
dengan reseptor spesifik. Semakin baik obat mengikat ke situs reseptor, maka
senyawa obat akan semakin aktif secara biologis (Nuryati, 2017).
Tujuan selanjutnya dalam penemuan obat baru adalah menghindari
terjadinya penghambatan enzim sitokrom P450 (CYP450) yang memiliki peran
dalam memetabolisme berbagai jenis obat. Penghambatan enzim CYP450 oleh
senyawa obat dapat menyebabkan metabolit menjadi terakumulasi di tubuh yang
memicu timbulnya efek samping. Pada vertebrata, hati merupakan sumber utama
dari CYP450. Selain di hati, CYP450 juga diekspresikan di paru-paru, ginjal,
kulit, mukosa hidung, saluran pencernaan, plasenta, kandung kemih, sistem saraf,
trombosit darah, dan di berbagai jaringan tubuh lainnya (McDonnell dan Dang,
2013; Hochleitner dkk., 2017; Goldwaser dkk., 2022). CYP450 diberi
nomenklatur khusus dan dikelompokkan ke dalam famili dengan subfamili yang
disebut isoenzim. Isoenzim dari enzim CYP450 yang paling penting dalam proses
metabolisme obat adalah CYP1A2, subfamili CYP2C, CYP2D6, dan CYP3A4.
Isoenzim-isoenzim ini mempunyai fungsi yang berbeda dalam hal
farmakogenetik, spesifisitas substrat, induksibilitas, dan kerentanannya terhadap
inhibisi oleh substrat yang bersaing (Gregg, 2004).
Tabel IV.21 menunjukkan bahwa senyawa AK C, E, F dan kurkumin
bukan merupakan substrat dari CYP2D6 namun merupakan substrat dari
CYP3A4. Senyawa AK C merupakan inhibitor dari CYP1A2, CYP2C19, dan
CYP2C9, namun bukan merupakan inhibitor dari CYP2D6 dan CYP3A4.
Senyawa AK E merupakan inhibitor dari CYP1A2, CYP2C19, dan CYP2D6,
namun bukan merupakan inhibitor dari CYP2C9 dan CYP3A4. Senyawa AK F
merupakan inhibitor dari CYP2D6 dan CYP3A4, namun bukan merupakan
inhibitor dari CYP1A2, CYP2C19, dan CYP2C9. Sedangkan kurkumin
merupakan inhibitor dari CYP1A2, CYP2C19, CYP2C9, CYP2D6, dan CYP3A4.
Ketiga senyawa analog kurkumin lebih sedikit dimetabolisme oleh isoenzim-
isoenzim dibandingkan dengan kurkumin, sehingga dapat dijelaskan bahwa
senyawa AK C, E, dan F akan terakumulasi di tubuh lebih sedikit daripada
kurkumin.
92

Clearance atau klirens merupakan salah satu parameter yang menunjukkan


bagaimana eliminasi obat setelah dilakukan proses metabolisme. Klirens
didefinisikan sebagai volume plasma yang dibersihkan dari suatu obat melalui
ekskresi per satuan waktu (mL/menit). Nilai klirens berhubungan dengan efisiensi
eliminasi, semakin tinggi nilai klirens maka akan semakin tinggi laju eliminasi
(Stevens dkk., 2010). Berdasarkan Tabel IV.21 senyawa AK C, E, dan F
memiliki nilai klirens berturut-turut 4,487; 10,344; dan 9,648 mL/menit/kg. Nilai
klirens ketiga senyawa analog kurkumin lebih rendah dari kurkumin sehingga
sehingga proses eliminasi ketiga senyawa analog kurkumin di dalam tubuh akan
lebih lama.
Toksisitas obat merupakan suatu parameter yang berguna dalam studi
praklinis. Tingkat toksisitas senyawa analog kurkumin dievaluasi melalui AMES
mutagenesis, karsinogenisitas, dan toksisitas oral akut. Tingkat toksisitas oral akut
diklasifikasikan menjadi empat kategori, yaitu: kategori I (sangat toksik) dengan
nilai LD50 ≤ 50 mg/kg; kategori II (toksik sedang) 50 < LD50 ≤ 500 mg/kg;
kategori III (toksik ringan) 500 < LD50 ≤ 5000 mg/kg); dan kategori IV (relatif
tidak toksik) dengan nilai LD50 > 5000 mg/kg (Gadaleta dkk., 2019). Secara
umum, nilai LD50 yang semakin rendah menunjukkan toksisitas senyawa yang
tinggi, sebaliknya nilai LD50 yang tinggi menunjukkan toksisitas senyawa yang
rendah. Berdasarkan Tabel IV.21 senyawa AK C, E, dan F menunjukkan sifat
non-mutagenik dan non-karsinogenik dengan toksisitas oral akut yang cukup
aman yaitu pada kategori III.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat
disimpulkan:
1. Penambatan molekul senyawa AK A-F terhadap protein PfLDH, PfENR,
dan PfATP6 menunjukkan bahwa senyawa AK C, E, dan F merupakan
senyawa analog kurkumin terbaik yang memiliki interaksi dengan residu
asam amino spesifik pada masing-masing protein dan memiliki nilai
afinitas ikatan yang paling rendah dibandingkan kurkumin.
2. Senyawa AK C, E, dan F hasil penambatan molekul berhasil disintesis
melalui reaksi kondensasi Claisen-Schmidt dari 4-klorobenzaldehida
dengan sikloheksanon, n-metil-4-piperidon, dan n-benzil-4-piperidon
menggunakan katalis NaOH dengan pengadukan selama 5 jam dengan
rendemen masing-masing 56,51%; 56,52%; dan 30,39%.
1. Senyawa AK C, E, dan F terbukti memiliki aktivitas antimalaria yang
sangat aktif dalam uji antimalaria secara in vitro terhadap P. falciparum
strain FCR3 dengan nilai IC50 berturut-turut 0,173; 0,447; dan 0,018 μM,
serta memiliki aktivitas antimalaria yang sangat aktif dan aktif terhadap P.
falciparum strain 3D7 dengan nilai IC50 berturut-turut 0,924; 2,268; dan
0,336 μM. Senyawa AK C, E, dan F memiliki nilai indeks resistensi yang
lebih rendah dan memiliki profil ADMET yang lebih baik dari kurkumin
sehingga berpotensi dikembangkan menjadi kandidat obat antimalaria.

V.2. Saran
Senyawa AK C, E, dan F perlu dilakukan studi in silico dengan simulasi
dinamika molekuler untuk melihat keadaan alaminya dalam suatu pelarut, serta
dilakukan uji in vitro terhadap sel normal untuk mengetahui tingkat toksisitasnya.

93
DAFTAR PUSTAKA

Abdalla, M., Eltayb, W. A., El-Arabey, A. A., Singh, K., & Jiang, X., 2022,
Molecular Dynamic Study of SARS-CoV-2 with Various S Protein
Mutations and Their Effect on Thermodynamic Properties, Comput. Biol.
Med., 141.
Aggarwal, B.B., Kumar, A. and Bharti, A.C., 2003, Anticancer Potential of
Curcumin: Preclinical and Clinical Studies, Anticancer Res., 23, 363-398.
Achmadi, S.S., 2003, Kimia Organik, Edisi 11, Erlangga, Jakarta. Terjemahan:
Organic Chemistry, Hart, H., L.E. Craine, D.J. Hart, 11th edition, Houghton
Mifflin Company.
Aher, R. B., Wanare, G., Kawathekar, N., Kumar, R. R., Kaushik, N. K., Sahal,
D., & Chauhan, V. S., 2011, Dibenzylideneacetone Analogues as Novel
Plasmodium Falciparum Inhibitors, Bioorg. Med. Chem. Lett., 21(10),
3034–3036.
Alencar, W.L.M., da Silva Arouche, T., Neto, A.F.G., 2022, Interactions of Co,
Cu, and Non-Metal Phthalocyanines with External Structures of SARS-
CoV-2 Using Docking and Molecular Dynamics, Sci. Rep., 12.
Ali, S., Mouton, C. D., Jabeen, S., Zeng, Q., Galloway, G., dan Mendelson, J.,
2013, Suicide, Depression, and CYP2D6: How Are They Linked?, Curr.
Psychiatry., 12(5), 16-19.
Andromeda, A., Ekawardhani, S., Berbudi, A., 2020, The Role of Curcumin as an
Antimalarial Agent, Sys. Rev. Pharm., 11 (7), 18-25.
Anonim, 2021, World Malaria Report 2021, World Health Organization.
Arnou, B., Montigny, C., Morth, J. P., Nissen, P., Jaxel, C., Møller, J. V., &
Maire, M. le., 2011, The Plasmodium falciparum Ca2+-ATPase PfATP6:
Insensitive to Artemisinin, but a Potential Drug Target, Biochem. Soc.
Trans., 39(3), 823–831.
Asih, P. B., Rogers, W. O., Susanti, A. I., Rahmat, A., Rozi, I. E.,
Kusumaningtyas, M. A., Syafruddin, 2009, Seasonal Distribution of Anti-
Malarial Drug Resistance Alleles on the Island of Sumba, Indonesia. Malar.
J., 8(1), 222.
Astuti, E., Raharjo, T. J., Boangmanalu, P. M., Putra, I. S. R., Waskitha, S. S. W.,
and Solin, J., 2021, Synthesis, Molecular Docking, and Evaluation of Some
New Curcumin Analogs as Antimalarial Agents, Indones. J. Chem., 21(2),
452-461.
Aykul, S., and Martinez-Hackert, E., 2016, Determination of Half-Maximal
Inhibitory Concentration Using Biosensor-Based Protein Interaction
Analysis, Anal. Biochem., 508, 97–103.

94
95

Azlin. E, 2004, Obat Antimalaria, Sari Pediatr., 5(4), 150 – 154.


Batista, R., De Jesus Silva Júnior, A., & De Oliveira, A., 2009, Plant-Derived
Antimalarial Agents: New Leads and Efficient Phytomedicines. Part II. Non-
Alkaloidal Natural Products, Molecules, 14(8), 3037–3072.
Becker, K. M., Rosa, L., Fernandes, M., de Carvalho, R. R., De-Oliveira, A.,
Moreira, D. L., & Paumgartten, F., 2021, Transplacental Transfer of
Primaquine and Neurobehavioral Development of Prenatally Exposed Rats.
J. Toxicol, 1-9.
Bhagat, R. T., Butle, S. R., Khobragade, D. S., Wankhede, S. B., Prasad, C. C.,
Mahure, D. S. and Armarkar, A. V., 2021, Molecular Docking in Drug
Discovery, J. Pharm. Res. Int., 33(30B), 46-58.
Bikadi, Z., & Hazai, E., 2009, Application of the PM6 Semi-Empirical Method to
Modeling Proteins Enhances Docking Accuracy of Autodock. Journal of
Cheminformatics, 1(1), 1-16.
Boittier, E. D., Tang, Y. Y., Buckley, M. E., Schuurs, Z. P., Richard, D. J., &
Gandhi, N. S., 2020, Assessing Molecular Docking Tools to Guide Targeted
Drug Discovery of CD38 Inhibitors, Int. J. Mol. Sci., 21(15), 1-19.
Budiarti, M., Maruzy, A., Mujahid, R., Sari, A. N., Jokopriyambodo, W., Widayat,
T., & Wahyono, S., 2020, The Use of Antimalarial Plants as Traditional
Treatment in Papua Island, Indonesia, Heliyon, 6(12, 1-10.
Carapina da Silva, C., Pacheco, B. S., das Neves, R. N., Dié Alves, M. S., Sena-
Lopes, Â., Moura, S., de Pereira, C. M. P., 2019, Antiparasitic Activity of
Synthetic Curcumin Monocarbonyl Analogues Against Trichomonas
Vaginalis. Biomed. Pharmacother., 111, 367–377.
Chainoglou, E., and Hadjipavlou-Litina, D., 2019, Curcumin Analogues and
Derivatives with Anti-Proliferative and Anti-Inflammatory Activity:
Structural Characteristics and Molecular Targets. Expert Opin. Drug Disc.,,
14(8), 821–842.
Cheng, A. L., Hsu, C. H., Lin, J. K., Hsu, M. M., Ho, Y. F., Shen, T. S., et al,
2001, Phase I Clinical Trial of Curcumin, A Chemopreventive Agent, in
Patients with High-Risk Or Pre-Malignant Lesions. Anticancer Res. 21,
2895–2900.
Cheng, F., Li, W., Zhou, Y., Shen, J., Wu, Z., Liu, G. Tang, Y., 2012, AdmetSAR:
A Comprehensive Source and Free Tool for Assessment of Chemical
ADMET Properties. J. Chem. Inf. Model., 52(11), 3099–3105.
Choudhary, M. I., Shaikh, M., tul-Wahab, A.-, & ur-Rahman, A., 2020, In Silico
Identification of Potential Inhibitors of Key SARS-CoV-2 3CL Hydrolase
(Mpro) Via Molecular Docking, MMGBSA Predictive Binding Energy
Calculations, and Molecular Dynamics Simulation, PLOS ONE, 15(7), 1-15.
96

Cui, L., Miao, J., & Cui, L., 2006, Cytotoxic Effect of Curcumin on Malaria
Parasite Plasmodium falciparum: Inhibition of Histone Acetylation and
Generation of Reactive Oxygen Species. Antimicrob. Agents Chemother.,
51(2), 488–494.
Cui, M., Ono, M., Kimura, H., Liu, B., & Saji, H., 2011, Synthesis and
Structure−Affinity Relationships of Novel Dibenzylideneacetone
Derivatives as Probes for β-Amyloid Plaques, J. Med. Chem., 54(7), 2225–
2240.
Daina, A., Michielin, O., & Zoete, V., 2017, SwissADME: A Free Web Tool to
Evaluate Pharmacokinetics, Drug-Likeness and Medicinal Chemistry
Friendliness of Small Molecules, Sci. Rep., 7(1), 1-13.
Dambuza, N. S., Smith, P., Evans, A., Norman, J., Taylor, D., Andayi, A.,
Wiesner, L., 2015, Antiplasmodial Activity, In Vivo Pharmacokinetics and
Anti-Malarial Efficacy Evaluation of Hydroxypyridinone Hybrids in a
Mouse Model. Malar. J., 14(1), 1-8.
Dimi, B., Adam, A., and Alim, A., 2020, Prevalensi Malaria, Jurnal Ilmiah
Kesehatan, 19, 4-9.
Dufès, C., 2011, Brain Delivery of Peptides and Proteins. In C. van der Walle
(Ed.), Peptide And Protein Delivery 1st ed., 1, 105-122.
Dohutia, C., Chetia, D., Gogoi, K., & Sarma, K., 2017, Design, In Silico and In
Vitro Evaluation of Curcumin Analogues Against Plasmodium falciparum,
Exp. Parasitol., 175, 51–58.
Dohutia, C., Chetia, D., Gogoi, K., Bhattacharyya, D. R., & Sarma, K., 2018,
Molecular Docking, Synthesis and In Vitro Antimalarial Evaluation of
Certain Novel Curcumin Analogues, Braz. J. Pharm. Sci, 53(4), 1-14.
Donald, J. E., Kulp, D. W., & DeGrado, W. F., 2011, Salt Bridges: Geometrically
Specific, Designable Interactions, Proteins, 79(3), 898–915.
Ekins, S., Mestres, J., and Testa, B., 2007, In Silicopharmacology for Drug
Discovery: Methods for Virtual Ligand Screening and Profiling, Br. J.
Pharmacol., 152(1), 9–20.
Ekoue-Kovi, K., Yearick, K., Iwaniuk, D. P., Natarajan, J. K., Alumasa, J., de
Dios, A. C., Wolf, C., 2009, Synthesis and Antimalarial Activity of New 4-
Amino-7-chloroquinolyl amides, Sulfonamides, Ureas and Thioureas,
Bioorg. Med. Chem., 17(1), 270–283.
Eryanti, Y., Hidayah, N., Herlina, T., and Zamri, A., 2013, Synthesis and
Cytotoxic Activity of Curcumin Analogues, Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu
Hayati dan Fisik, 15(3), 170 – 174.
Fei, D.Z., Huai-Huai, W. Yuan-Hua, W. Tian-Yi,, Y. Ze-Hao, Y. Fang, Z. Da-Zhi,
C. Ying-Ying and J. Yong-Sheng, 2017, Synthesis and Synergistic
Antifungal Effects of Monoketone Derivatives of Curcumin Against
Fluconazole Resistant Candida Spp, Med. Chem. Commun, 8, 1093-1102
97

Fidock, D. A., Nomura, T., Talley, A. K., Cooper, R. A., Dzekunov, S. M., Ferdig,
M. T., Wellems, T. E., 2000, Mutations in the P. Falciparum Digestive
Vacuole Transmembrane Protein pfCRT and Evidence for Their Role in
Chloroquine Resistance, Mol. Cell, 6(4), 861–871.
Freundlich, J. S., Wang, F., Tsai, H.-C., Kuo, M., Shieh, H.-M., Anderson, J. W.,
Sacchettini, J. C., 2007, X-ray Structural Analysis of Plasmodium
falciparum Enoyl Acyl Carrier Protein Reductase as a Pathway toward the
Optimization of Triclosan Antimalarial Efficacy, J. Biol. Chem., 282(35),
25436–25444.
Frengki, Saura, E.R., and Rinidar, 2013, Study Interactions Between
Sarcoendoplasmic Reticulum Ca2+ with Curcumin-Artemicyn Combination
and Several Analogues Compounds In Silico, Jurnal Medika Veterinaria, 7,
138–141.
Gadaleta, D., Vuković, K., Toma, C., Lavado, G. J., Karmaus, A. L., Mansouri,
K., Roncaglioni, A., 2019, SAR and QSAR Modeling of a Large Collection
of LD50 Rat Acute Oral Toxicity Data. J. Cheminform, 11(1), 1-16.
Garraffo, M. H., D. Simon, L., W. Daly, J., F. Spande, T., & H. Jones, T., 1994,
Cis- and Trans-Configurations of α,α′-Disubstituted Piperidines and
Pyrrolidines by GC-FTIR; Application to Decahydroquinoline
Stereochemistry, Tetrahedron, 50(39), 11329–11338.
Goldwaser, E., Laurent, C., Lagarde, N., Fabrega, S., Nay, L., Villoutreix, B. O.,
2022, Machine Learning-Driven Identification of Drugs Inhibiting
Cytochrome P450 2C9, PLoS Comput. Biol., 18(1), 1-21.
Gregg, C. R., 2004, Cytochrome P450, Encyclopedia of Gastroenterology, 542–
543.
Habibi, R., Herfindo, N., Hendra, R., Hilwan Y.T., Zamri, A., 2020, Synthesis and
Molecular Docking Study of 1-(3-Chloropropyl)-3,5-Bis((E)-4-methoxy-
benzylidene)piperidin-4-One as Dengue Virus Type 2 (DEN2) NS2B/NS3
Protease Inhibitor Candidate, Pharmacology and Clinical Pharmacy
Research, 5(1), 14-22.
Hakim, A., Junaidi, E., Sofia, B.F.D.R., Arian, Y., dan Anwar, S., 2010, Aktivitas
Antimalaria dan Skrining Fitokimia Metabolit Sekunder Kay Batang dan
Kulit Akar Artocarpus Camansi Blanko (Moraceaea), Jurnal Ilmu
Kefarmasian Indonesia, 8(2), 131-135.
Hochleitner, J., Akram, M., Ueberall, M., Davis, R. A., Waltenberger, B.,
Stuppner, H., Schuster, D., 2017, A Combinatorial Approach for the
Discovery of Cytochrome P450 2D6 Inhibitors from Nature, Sci. Rep., 7(1),
1-13.
Hongmao, S., 2016, Quantitative Structure–Property Relationships Models for
Lipophilicity and Aqueous Solubility. In Book: A Practical Guide to
Rational Drug Design, 193–223.
98

Jayaprakasha, G. K., Jaganmohan Rao, L., & Sakariah, K. K., 2006, Antioxidant
Activities of Curcumin, Demethoxycurcumin and Bisdemethoxycurcumin.
Food Chem., 98(4), 720–724.
Jenzen F., 2007, Introduction to Computational Chemistry, 2nd Ed, Odense,
Denmark: 415- 416.
Jia, C. Y., Li, J. Y., Hao, G. F., & Yang, G. F., 2019, A Drug-Likeness Toolbox
Facilitates ADMET Study in Drug Discovery, Drug Discov. Today, 25(1),
248-258.
Kimura, M., Yamaguchi, Y., Takada, S., & Tanabe, K. (1993). Cloning of a Ca2+-
ATPase Gene of Plasmodium falciparum and Comparison with Vertebrate
Ca2+-ATPases, J. Cell. Sci., 104, 1129–1136.
Kitchen, D., Decornez, H., Furr, J., & Bajorath, J., 2004, Docking and Scoring in
Virtual Screening for Drug Discovery: Method and Application, Nat. Rev.,
4, 935-949.
Kombonglangi, R.S., 2015, Manajemen terapi malaria falciparum yang resisten
terhadap klorokuin, J. Majority, 4(6).
Lengauer, T., and Rarey, M., 1996, Computational Methods for Biomolecular
Docking. Curr. Opin. Struct. Biol., 6(3), 402–406.
Lee Y.Q., Rajadurai P, Abas F, Othman I and Naidu R, 2021, Proteomic Analysis
on Anti-Proliferative and Apoptosis Effects of Curcumin Analog, 1,5-
bis(4Hydroxy-3-Methyoxyphenyl)-1,4Pentadiene-3-One Treated Human
Glioblastoma and Neuroblastoma Cells. Front. Mol. Biosci, 8, 645856.
Li, Q., Chen, J., Luo, S., Xu, J., Huang, Q., & Liu, T., 2015, Synthesis and
Assessment of The Antioxidant and Antitumor Properties of Asymmetric
Curcumin Analogues. Eur. J. Med. Chem., 93, 461–469.
Lipinski, C. A., Lombardo, F., Dominy, B. W., & Feeney, P. J., 2001,
Experimental and Computational Approaches to Estimate Solubility and
Permeability in Drug Discovery and Development Settings, Adv. Drug
Deliv. Rev., 46(1-3), 3–26.
Malau, N. D. and Azzahra S. T., 2018, Analysis Docking of Plasmodium
falciparum Enoyl Acyl Carrier Protein Reductase (PfENR) with Organic
Compunds from Virtual Screening of Herbal Database. J Applied Chem.
Sci., 5(2): 491-496.
Maliehe, T. S., Tsilo, P. H., Shandu, J. S., 2020, Computational Evaluation of
ADMET Properties and Bioactive Score of Compounds from Encephalartos
ferox, Pharmacognosy Journal, 12(6):1357-1362.
Mardiana, L., B. Ardiansah, A. Septiarti, R. Bakri, G. Kosamagi, 2017,
Ultrasound-Assisted Synthesis of Curcumin Analogs Promoted by Activated
Chicken Eggshells, AIP Conf. Proc.1862 030096, 1–6.
99

Mathebula, B., Butsi, K. R., van Zyl, R. L., Jansen van Vuuren, N. C., Carl Hoppe,
H., Michael, J. P., Rousseau, A. L., 2019, Preparation and Antiplasmodial
Activity of 3’,4’‐dihydro‐1’H‐spiro(indoline‐3,2’‐quinolin)‐2‐ones. Chem.
Biol. Drug Des., 94, 1849–1858.
McDonnell, A. M., Dang, C.H., 2013, Basic Review of the Cytochrome P450
System, J. Adv. Pract. Oncol., 4, 263–268.
Mishra, S., Karmodiya, K., Surolia, N., and Surolia, A., 2008, Synthesis and
Exploration of Novel Curcumin Analogues as Anti-Malarial Agents,
Bioorganic Med. Chem., 16, 2894–2902.
Murtihapsari dan Ekowati C., 2010, Potensi Penemuan Obat Antimalaria Baru
Dari Laut Indonesia. Squalen, 5(3), 86-91.
Narayanaswamy, R., Wai, L. K. and Ismail, I. S., 2017, Natural Compounds as
Inhibitors of Plasmodium Falciparum Enoyl-acyl Carrier Protein Reductase
(PfENR): An In silico Study, J. Chosun Natural Sci., 10(1), 1–6.
Nelson, K. M., Dahlin, J. L., Bisson, J., Graham, J., Pauli, G. F., & Walters, M. A.,
2017, The Essential Medicinal Chemistry of Curcumin. J. Med. Chem.,
60(5), 1620–1637.
Nilsson, S. K., Childs, L. M., Buckee, C., & Marti, M., 2015, Targeting Human
Transmission Biology for Malaria Elimination., PLOS Pathogens, 11(6).
Noureddin, S.A., El-Shishtawy, R.M., and Al-Footy, K.O., 2019, Curcumin
Analogues and Their Hybrid Molecules as Multifunctional Drugs, Eur. J.
Med. Chem., 182, 1-40.
Nugraha, A. R. A., 2014, Frekuensi Gametositemia pada Pasien Malaria
Falsiparum Hari Ketiga setelah Pemberian Primakuin Dosis Tunggal,
eJournal Kedokteran Indonesia, 2(2), 151-155.
Nuryati, 2017, Farmakologi, Jakarta: Indo.Kemkes.BPPSDM.
Obach, R.S dan Isoherranen, N., 2021, Pathways of Drug Metabolism, Atkinson's
Principles of Clinical Pharmacology (Fourth Edition), Academic Press.
Ocan, M., Akena, D., Nsobya, S., Kamya, M. R., Senono, R., Kinengyere, A. A.,
& Obuku, E. A., 2019, Persistence of Chloroquine Resistance Alleles in
Malaria Endemic Countries: A Systematic Review of Burden and Risk
Factors. Malar. J., 18(1), 1-15.
Parlar, S., 2019, Synthesis and Cholinesterase Inhibitory Activity Studies of Some
Piperidinone Derivatives, Org. Commun., 12(4), 202-209.
Penna-Coutinho, J., Cortopassi, W. A., Oliveira, A. A., França, T. C. C., & Krettli,
A. U., 2011, Antimalarial Activity of Potential Inhibitors of Plasmodium
falciparum Lactate Dehydrogenase Enzyme Selected by Docking Studies,
PLoS ONE, 6(7), 1-7.
100

Pavia, D. P., Lampman, G. M., Kriz, G. S., Vyvyan, J. R., 2009, Introduction to
spectroscopy (4th Ed.), United States of America: Brooks/Cole Cengage
Learning.
Perozzo, R., Kuo, M., Sidhu, A. bir S., Valiyaveettil, J. T., Bittman, R., Jacobs, W.
R., Sacchettini, J. C., 2002, Structural Elucidation of the Specificity of the
Antibacterial Agent Triclosan for Malarial Enoyl Acyl Carrier Protein
Reductase, J. Biol. Chem., 277(15), 13106–13114.
Pires, D. E. V., Blundell, T. L., & Ascher, D. B., 2015, pkCSM: Predicting Small-
Molecule Pharmacokinetic and Toxicity Properties Using Graph-Based
Signatures, J. Med. Chem., 58(9), 4066–4072.
Pranowo, H.D., 2011, Pengantar Kimia Komputasi, Bandung: Lubuk Agung
Press.
Priyadarsini, K., 2014, The Chemistry of Curcumin: From Extraction to
Therapeutic Agent, Molecules, 19(12), 20091–20112.
Rahmania, T.A., Ritmaleni, R., Setyowati, E.P., 2020, In Silico and In Vitro Assay
of Hexagamavunon-6 Analogs, Dibenzilyden-N-Methyl-4-Piperidone as
Antibacterial Agents. J. Appl. Pharm. Sci., 10(3), 39-43.
Reddy, R. C., Vatsala, P. G., Keshamouni, V. G., Padmanaban, G., & Rangarajan,
P. N., 2005, Curcumin for Malaria Therapy, Biochem. Biophys. Res.
Commun., 326(2), 472–474.
Rieckmann, K. H., Campbell, G. H., Sax, L. J., & Ema, J. E., 1978, Drug
Sensitivity of Plasmodium falciparum, The Lancet, 311(8054), 22–23.
Salas, P. F., Herrmann, C., Cawthray, J. F., Nimphius, C., Kenkel, A., Chen, J.,
Orvig, C., 2013, Structural Characteristics of Chloroquine-Bridged
Ferrocenophane Analogues of Ferroquine May Obviate Malaria Drug-
Resistance Mechanisms, J. Med. Chem., 56(4), 1596–1613.
Salentin, S., Haupt, V. J., Daminelli, S., & Schroeder, M., 2014,
Polypharmacology Rescored: Protein–Ligand Interaction Profiles for
Remote Binding Site Similarity Assessment, Prog. Biophys. Mol. Biol.,
116(2-3), 174–186.
Sani, A., 2003, Kliren dan Volume Distribusi. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia,
2(1), 78-81.
Sardjiman, 2000, Synthesis of Some New Series of Curcumin Analogues,
Antioxidative, Anti-inflammatory, Anti-bacterial Activity and Qualitative
Structure-Activity-Relationship, Disertasi, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Saxena, S., Durgam, L., & Guruprasad, L., 2018, Multiple e-Pharmacophore
Modelling Pooled with High-Throughput Virtual Screening, Docking And
Molecular Dynamics Simulations to Discover Potential Inhibitors of
Plasmodium Falciparum Lactate Dehydrogenase (PfLDH). J. Biomol.
Struct. Dyn., 1–17.
101

Sharifi-Rad, J., Rayess, Y. E., Rizk, A. A., Sadaka, C., Zgheib, R., Zam, W.,
Martins, N., 2020, Turmeric and Its Major Compound Curcumin on Health:
Bioactive Effects and Safety Profiles for Food, Pharmaceutical,
Biotechnological and Medicinal Applications, Front. Pharmacol., 11, 1-23.
Shibeshi, M. A., Kifle, Z. D., & Atnafie, S. A., 2020, Antimalarial Drug
Resistance and Novel Targets for Antimalarial Drug Discovery, Infect. Drug
Resist., 13, 4047–4060.
Shivanand, P., and Patel, K., 2010, Phytosomes: Technical Revolution in
Phytomedicine, Int. J. Pharm. Tech. Res., 2(1), 627-631.
Shukla, A., Singh, A., Singh, A., Pathak, L. P., Shrivastava, N., Tripathi, P. K.,
Singh, M. P., & Singh, K. (2012). Inhibition of P. falciparum PFATP6 by
Curcumin and its Derivatives: a Bioinformatic Study. Cell. Mol. Bio. (Noisy-
le-Grand, France), 58(1), 182–186.
Siviero, A., Gallo, E., Maggini, V., Gori, L., Mugelli, A., Firenzuoli, F., and
Vannacci, A., 2015, Curcumin, A Golden Spice with a Low Bioavailability,
J. Herb. Med., 5(2), 57-70.
Smith, D. A., Beaumont, K., Maurer, T. S., & Di, L., 2015, Volume of
Distribution in Drug Design, J. Med. Chem., 58(15), 5691–5698.
Stank, A., Kokh, D. B., Fuller, J. C., & Wade, R. C., 2016, Protein Binding Pocket
Dynamics, Acc. Chem. Res., 49(5), 809–815.
Stevens, L. A., Shastri, S., & Levey, A. S., 2010, Assessment of Renal Function.
In: Floege J, Johnson RJ, Feehally J, eds. Comprehensive Clinical
Nephrology, 4th edition. Missouri: Saunders, 31-38.
Suwandi, J.F., 2015, Gen PfATP6 dan Resistensi Plasmodium falciparum
Terhadap Golongan Artemisinin, Juke Unila, 9(5), 142-146.
Talapko, J., Škrlec, I., Alebi, T., Juki, M., and Vˇcev, A., 2019, Malaria: The Past
and the Present, Microorganisms, 7, 1-17.
Thu, A. M., Phyo, A. P., Landier, J., Parker, D. M., & Nosten, F. H, 2017,
Combating Multidrug-Resistant Plasmodium falciparum Malaria. FEBS J.,
284(16), 2569–2578.
Tomar, V., Mazumder, M., Chandra, R., Yang, J., and Sakharkar, M. K., 2018,
Small Molecule Drug Design, Encyclopedia of Bioinformatics and
Computational Biology: ABC of Bioinformatics, Vol. 1–3.
Tse, E. G., Korsik, M., & Todd, M. H., 2019, The Past, Present and Future of
Anti-Malarial Medicines. Malar. J., 18(1), 1-21.
Upegui, Y., Robledo, S. M., Gil Romero, J. F., Quiñones, W., Archbold, R.,
Torres, F., Echeverri, F., 2015, In vivo Antimalarial Activity of α-Mangostin
and the New Xanthone δ-Mangostin, Phytotherapy Res., 29(8), 1195–1201.
Vareed, S. K., Kakarala, M., Ruffi n, M. T., Crowell, J. A., Normolle, D. P.,
Djuric, Z., et al., 2008, Pharmacokinetics of Curcumin Conjugate
102

Metabolites in Healthy Human Subjects, Cancer Epidemiol, Biomarkers Pre,


17, 1411–1417.
Vilar, S., Chakrabarti, M., & Costanzi, S., 2010, Prediction of Passive Blood–
Brain Partitioning: Straightforward and Effective Classification Models
Based on in Silico Derived Physicochemical Descriptors, J. Mol. Graph.
Model., 28(8), 899–903.
Vyas. A., Dandawate. P., Padhye. S., Ahmad. A., Sarkar, F., 2013, Perspectives on
New Synthetic Curcumin Analogs and Their Potential Anticancer Properties,
Curr. Pharm. Des.,19(11), 2047-69.
Vyas, V. K., Bhati, S., Patel, S., & Ghate, M., 2021, Structure- and Ligand-Based
Drug Design Methods for the Modeling of Antimalarial Agents: A Review
Of Updates From 2012 Onwards, J. Biomol. Struct. Dyn., 1–26.
Wang, N. N., Huang, C., Dong, J., Yao, Z. J., Zhu, M. F., Deng, Z. K., Cao, D. S.,
2017, Predicting Human Intestinal Absorption with Modified Random
Forest Approach: a Comprehensive Evaluation of Molecular Representation,
RSC Adv., 7(31), 19007–19018.
Wei, X. C., Liu, Z. L., Zheng, X., & Huo, M. Y., 2012, Systhesis and
Spectroscopic Properties of Curcumin Analogues Combined with Chlorine,
Advanced Materials Research, 554-556, 1919–1924.
Wei, X., Du, Z.-Y., Zheng, X., Cui, X.-X., Conney, A. H., & Zhang, K, 2012,
Synthesis and Evaluation of Curcumin-Related Compounds for Anticancer
Activity, Eur. J. Med. Chem., 53, 235–245.
Wright, C. W., 2005, Plant Derived Antimalarial Agents: New Leads and
Challenges, Phytochem. Rev., 4(1), 55–61.
Wu, F., Zhou, Y., Li, L., Shen, X., Chen, G., Wang, X., Huang, Z., 2020,
Computational Approaches in Preclinical Studies on Drug Discovery and
Development, Front. Chem., 8, 726, 1-32.
Xiong, G., Wu, Z., Yi, J., Fu, L., Yang, Z., Hsieh, C., Cao, D., 2021, ADMETlab
2.0: an Integrated Online Platform for Accurate and Comprehensive
Predictions of ADMET Properties, Nucleic Acids Res., 49(W1), W5–W14.
Yan, A., Wang, Z., & Cai, Z., 2008, Prediction of Human Intestinal Absorption by
GA Feature Selection and Support Vector Machine Regression, Int. J. Mol.
Sci., 9(10), 1961–1976.
Yusuf, A. S., Sada, I., Hassan, Y., Olomola, T. O., Adeyemi, C. M., & Ajibade, S.
O., 2018, Synthesis, Antimalarial Activity, and Docking Studies of
Monocarbonyl Analogues of Curcumin, Ovidius University Annals of
Chemistry, 29(2), 92-96.
Zadorozhnii, P. V., Kiselev, V. V., Kharchenko, A. V., 2022, In Silico ADME
Profiling of Salubrinal and Its Analogues, Future Pharmacol., 2(2), 160-197.
103

Zakaria, N. H., Wai, L. K., Hassan, N. I., 2020, Molecular Docking Study of the
Interactions between Plasmodium falciparum Lactate Dehydrogenase and 4-
Aminoquinoline Hybrids, Sains Malaysiana, 49, 1905-1913.
Zakiah, M., Syarif, R. A., Mustofa, M., Jumina, J., Fatmasari, N., & Sholikhah, E.
N., 2021, In Vitro Antiplasmodial, Heme Polymerization, and Cytotoxicity
of Hydroxyxanthone Derivatives, J. Trop. Med., 1-11.
LAMPIRAN

Lampiran 1 Tabel RMSD hasil redocking ligan alami


1.1 Ligan alami CLQ dengan protein PfLDH

104
105

Lampiran 1 Lanjutan

1.1 Ligan alami TCL dengan protein PfENR


106

Lampiran 1.2 Lanjutan


107

Lampiran 2 Hasil optimasi senyawa analog kurkumin


• Senyawa AK A

• Senyawa AK B

• Senyawa AK C

• Senyawa AK D
108

Lampiran 2 Lanjutan
• Senyawa AK E

• Senyawa AK F

• Kurkumin
109

Lampiran 3 Perhitungan rendemen senyawa hasil sintesis


3. 1 Rendemen senyawa AK C

m 0,010 mol 0,0050 mol


r 0,010 mol 0,0050 mol 0,0050 mol
s - - 0,0050 mol

Massa teoritis = 0,0050 mol x 343,25 g/mol


= 1,7163 g
Massa hasil sintesis = 0,9699 g
0,9699 g
Rendemen = x 100%
1,7163 g

= 56,51%
110

Lampiran 3 Lanjutan
3. 2 Rendemen senyawa AK E

m 0,010 mol 0,0050 mol


r 0,010 mol 0,0050 mol 0,0050 mol
s - - 0,0050 mol

Massa teoritis = 0,0050 mol x 358,28 g/mol


= 1,7914 g
Massa hasil sintesis = 1,0125 g
1,0125 g
Rendemen = x 100%
1,7914 g

= 56,52 %
111

Lampiran 3 Lanjutan
3. 3 Rendemen senyawa AK F

m 0,010 mol 0,0050 mol


r 0,010 mol 0,0050 mol 0,0050 mol
s - - 0,0050 mol

Massa teoritis = 0,0050 mol x 434,36 g/mol


= 2,1718 g
Massa hasil sintesis = 0,66 g
0,66 g
Rendemen = x 100%
2,1718 g

= 30,39 %
112

Lampiran 4 Hasil TLC scanner senyawa analog kurkumin


4.1 Hasil TLC scanner senyawa AK C
113

Lampiran 4 Lanjutan
4.2 Hasil TLC scanner senyawa AK E
114

Lampiran 4 Lanjutan
4.3 Hasil TLC scanner senyawa AK F
115

Lampiran 5 Perhitungan uji antimalaria P. falciparum strain FCR3


5.1 Kontrol negatif
Senyawa
Sel Sel Rerata
[Konsentrasi Pengulangan %parasitemia
terinfeksi ditemukan %parasitemia
μg/mL]
DMSO [1] 1 33 1093 3,019
2 39 1123 3,4723 3,298
3 37 1088 3,401

5.2 Senyawa AK C
Rerata
Konsentrasi Sel Sel %Penghambatan IC50
%Parasitemia %parasitemia
[μg/mL] terinfeksi ditemukan ± SD (μg/mL) ± SD
± SD
9 1186 0,759
1 8 1015 0,788 0,824 ± 0,073 75,002 ± 2,209
11 1188 0,926
11 1109 0,992
0,5 9 1130 0,796 0,979 ± 0,144 70,315 ± 4,365
12 1045 1,148
12 1043 1,151
0,25 10 1156 0,865 1,094 ± 0,168 66,830 ± 5,109 0,047 ± 0,007
14 1106 1,266
12 1187 1,011
0,125 14 1169 1,198 1,232 ± 0,196 62,630 ± 5,957
16 1075 1,488
19 1123 1,692
0,0625 19 1085 1,751 1,678 ± 0,066 49,106 ± 1,995
17 1068 1,592
116

Lampiran 5 Lanjutan
5.3 Senyawa AK E
Konsentrasi Sel Sel Rerata IC50
%Parasitemia %Penghambatan
[μg/mL] terinfeksi ditemukan %parasitemia (μg/mL)
9 1002 0,898
1 9 1118 0,805 0,835 ± 0,044 74,664 ± 1,345
10 1245 0,803
11 1047 1,051
0,5 12 1212 0,990 1,097 ± 0,111 66,736 ± 3,367
14 1120 1,250
14 1064 1,316
0,25 16 1208 1,325 1,474 ± 0,217 55,314 ± 6,581 0,160 ± 0,058
18 1011 1,780
18 1203 1,496
0,125 18 1228 1,466 1,587 ± 0,151 51,869 ± 4,568
21 1167 1,799
29 1272 2,280
0,0625 24 1273 1,885 2,218 ± 0,251 32,727 ± 7,062
25 1004 2,490

5.4 Senyawa AK F
Konsentrasi Sel Sel Rerata IC50
%Parasitemia %Penghambatan
[μg/mL] terinfeksi ditemukan %parasitemia (μg/mL)
5 1115 0,448
1 5 1093 0,457 0,448 ± 0,008 86,421 ± 0,248
5 1143 0,437
7 1118 0,626
0,5 4 1218 0,328 0,494 ± 0,124 85,031 ± 3,752
6 1140 0,526
9 1186 0,759
0,25 8 1042 0,768 0,692 ± 0,101 79,009 ± 3,052 0,008 ± 0,006
6 1091 0,550
11 1119 0,983
0,125 9 1068 0,843 0,801 ± 0,168 75,707 ± 5,098
7 1212 0,578
14 1167 1,200
0,0625 11 1088 1,011 1,065 ± 0,096 67,714 ± 2,915
10 1017 0,983
117

Lampiran 5 Lanjutan
5.5 Kurkumin
Konsentrasi Sel Sel Rerata IC50
%Parasitemia %Penghambatan
[μg/mL] terinfeksi ditemukan %parasitemia (μg/mL)
12 1077 1,114
1 15 1062 1,412 1,280 ± 0,124 61,172 ± 3,764
14 1065 1,315
12 1008 1,190
0,5 18 1085 1,659 1,467 ± 0,201 55,503 ± 6,081
17 1095 1,553
15 1062 1,412
0,25 19 1090 1,743 1,643 ± 0,163 50,187 ± 4,950 0,303 ± 0,019
19 1072 1,772
24 1035 2,319
0,125 20 1103 1,813 1,956 ± 0,258 40,682 ± 7,837
20 1152 1,736
29 1048 2,767
0,0625 23 1257 1,830 2,222 ± 0,398 32,612 ± 12,058
22 1063 2,070
118

Lampiran 6 Perhitungan uji antimalaria P. falciparum strain 3D7


6.1 Kontrol negatif
Senyawa
Sel Sel Rerata
[Konsentrasi Pengulangan %parasitemia
terinfeksi ditemukan %parasitemia
μg/mL]
DMSO [1] 1 108 1049 10,296
2 104 1077 9,656 10,372
3 115 1030 11,165

6.2 Senyawa AK C
Konsentrasi Sel Sel Rerata IC50
%Parasitemia %Penghambatan
[μg/mL] terinfeksi ditemukan %parasitemia (μg/mL)
44 1039 4,235
1 51 1020 5,000 4,407 ± 0,432 57,516 ± 4,164
42 1054 3,985
51 1034 4,932
0,5 55 1021 5,387 5,040 ± 0,251 51,412 ± 2,423
48 1000 4,800
57 1046 5,449
0,25 60 1082 5,545 5,196 ± 0,428 49,909 ± 4,130 0,317 ± 0,201
49 1067 4,592
55 1110 4,955
0,125 63 1016 6,201 5,681 ± 0,529 45,226 ± 5,102
59 1002 5,888
67 1102 6,080
0,0625 69 1040 6,635 6,399 ± 0,234 38,308 ± 2,256
68 1049 6,482
119

Lampiran 6 Lanjutan
6.3 Senyawa AK E
Konsentrasi Sel Sel Rerata IC50
%Parasitemia %Penghambatan
[μg/mL] terinfeksi ditemukan %parasitemia (μg/mL)
51 1050 4,857
1 54 1006 5,368 5,199 ± 0,242 49,873 ± 2,333
54 1005 5,373
55 1043 5,273
0,5 58 1040 5,577 5,389 ± 0,134 48,040 ± 1,290
56 1053 5,318
59 1022 5,773
0,25 63 1036 6,081 5,812 ± 0,206 43,968 ± 1,984 0,812 ± 0,239
60 1075 5,581
62 1081 5,735
0,125 65 1039 6,256 6,140 ± 0,295 40,802 ± 2,843
65 1011 6,429
68 1093 6,221
0,0625 72 1007 7,150 6,843 ± 0,439 34,029 ± 4,236
73 1020 7,157

6.4 Senyawa AK F
Konsentrasi Sel Sel Rerata IC50
%Parasitemia %Penghambatan
[μg/mL] terinfeksi ditemukan %parasitemia (μg/mL)
36 1026 3,509
1 32 1066 3,002 3,493 ± 0,395 66,324 ± 3,805
40 1008 3,968
41 1052 3,897
0,5 37 1069 3,461 3,832 ± 0,280 63,054 ± 2,700
42 1015 4,138
46 1014 4,536
0,25 44 1003 4,387 4,516 ± 0,099 56,457 ± 0,951 0,146 ± 0,040
47 1016 4,626
57 1067 5,342
0,125 55 1006 5,467 5,515 ± 0,164 46,828 ± 1,585
60 1046 5,736
62 1011 6,133
0,0625 57 1061 5,372 5,987 ± 0,454 42,284 ± 4,375
65 1007 6,455
120

Lampiran 6 Lanjutan
6.5 Kurkumin
Konsentrasi Sel Sel Rerata IC50
%Parasitemia %Penghambatan
[μg/mL] terinfeksi ditemukan %parasitemia (μg/mL)
58 1042 5,566
1 60 1001 5,994 5,726 ± 0,191 44,798 ± 1,840
61 1086 5,617
60 1107 5,420
0,5 62 1089 5,693 5,750 ± 0,296 44,560 ± 2,852
65 1059 6,138
67 1003 6,680
0,25 67 1058 6,333 6,564 ± 0,164 36,715 ± 1,578 1,436 ± 0,390
68 1018 6,680
73 1079 6,766
0,125 77 1021 7,542 7,155 ± 0,317 31,022 ± 3,055
74 1034 7,157
84 1043 8,054
0,0625 80 1085 7,373 7,689 ± 0,280 25,865 ± 2,698
81 1060 7,642
121

Lampiran 7 Perhitungan IC50 dengan analisis probit (P. falciparum strain


FCR3)
7.1 Senyawa AK C
122

Lampiran 7 Lanjutan
7.2 Senyawa AK E
123

Lampiran 7 Lanjutan
7.3 Senyawa AK F
124

Lampiran 7 Lanjutan
7.4 Kurkumin
125

Lampiran 8 Perhitungan IC50 dengan analisis probit (P. falciparum strain


3D7)
8.1 Senyawa AK C
126

Lampiran 8 Lanjutan
8.2 Senyawa AK E
127

Lampiran 8 Lanjutan
8.3 Senyawa AK F
128

Lampiran 8 Lanjutan
8.4 Kurkumin
129

Lampiran 9 Perhitungan nilai indeks resistensi

Berdasarkan data nilai IC50 senyawa analog kurkumin, diperoleh data


sebagai berikut:

Nilai IC50 (μM)


Senyawa
FCR3 3D7
AK C 0,137 0,924
AK E 0,447 2,268
AK F 0,018 0,336
Kurkumin 0,823 3,902

Nilai IC50 P. falciparum strain FCR3 dan IC50 P. falciparum strain 3D7
digunakan untuk menghitung nilai indeks resistensi (RI) dengan persamaan:

𝐈𝐂𝟓𝟎 𝒓𝒆𝒔𝒊𝒔𝒕𝒂𝒏𝒕 𝒔𝒕𝒓𝒂𝒊𝒏 (𝑷.𝒇𝒂𝒍𝒄𝒊𝒑𝒂𝒓𝒖𝒎 𝒔𝒕𝒓𝒂𝒊𝒏 𝐅𝐂𝐑𝟑)


RI =
𝐈𝐂𝟓𝟎 𝒔𝒆𝒏𝒔𝒊𝒕𝒊𝒗𝒆 𝒔𝒕𝒓𝒂𝒊𝒏 (𝑷.𝒇𝒂𝒍𝒄𝒊𝒑𝒂𝒓𝒖𝒎 𝒔𝒕𝒓𝒂𝒊𝒏 𝟑𝐃𝟕)

Hasi perhitungan indeks resistensi diperoleh hasil sebagai berikut:

Senyawa Nilai indeks resistensi


AK C 0,148
AK E 0,197
AK F 0,053
Kurkumin 0,211
130

Lampiran 10 Dokumentasi uji aktivitas antimalaria secara in vitro

Tahap pipetting Sampel dan suspensi parasit P. falciparum

Tahap inkubasi didalam inkubator Tahap pewarnaan dengan giemsa 20%


selama 72 jam selama 10 menit

Sel terinfeksi

Sel terinfeksi

Sel normal Sel normal

Perbesaran 1000x penghambatan Perbesaran 1000x penghambatan


senyawa analog kurkumin terhadap senyawa analog kurkumin terhadap
P. falciparum strain FCR3 P. falciparum strain 3D7

Anda mungkin juga menyukai