Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

ILMU DAN TEKNOLOGI DAGING DAN HASIL IKUTAN TERNAK

OLEH:

KELAS : 5 C2
ROBY FEBRIAN PRATAMA (B1D021287)

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2023
DAFTAR ISI
COVER…………………………………………………………………………………
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………………………………...
A. Latar Belakang………………………………………………………………….
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………...
BAB II
PERMASALAHAN……………………………………………………………………
1. Efek Penyamakan…………………………………………………………………
2. Penyamakan dengan Penyamak Nabati dan DHN pada Kulit Domba………..
3. Penyamakan Kombinasi Menggunakan Penyamak Nabati atau DHN dan
Oksazolidin pada Tepung Kulit…………………………………………………..
4. Penyamakan Kombinasi Menggunakan Penyamak Nabati atau DHN dan
Oksazolidin pada Kulit Domba…………………………………………………...
5. Penentuan Pengikatan Tannin pada Kulit
Samak……………………………….
BAB III
PEMBAHASAN………………………………………………………………………..
1. Kulit……………………………………………………………………………..
2. Sentra Produksi………………………………………………………………...
3. Penyamakan ……………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan teknologi, industri-industri di Indonesia
semakin bersaing untuk memproduksi dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Salah
satu dari industri yang memiliki nilai ekonomi tinggi adalah industri penyamakan
kulit. Kulit samak merupakan kulit yang dihasilkan dari proses penyamakan dan
berbahan baku dari kulit mentah. Kulit mentah yang digunakan dalam proses
penyamakan berasal dari kulit hewan seperti sapi, kambing, domba, buaya, ular, dan
hewanhewan lainya. Dalam makalah ini difokuskan pada pembahasan mengenai kulit
kambing, domba, dan kulit sapi.
Fungsi kulit pada hewan adalah untuk melindungi jaringan-jaringan
dibawahnya, alat perasa, dan tempat penyimpanan cadangan energi. Namun, ketika
hewan itu telah dipotong, kulit akan kehilangan fungsinya dan kualitasnya menjadi
menurun. Oleh karena itu, diperlukan pengolahan kulit lebih lanjut, yaitu proses
penyamakan. Proses penyamakan kulit pada dasarnya adalah proses pengubahan
struktur kulit mentah yang mudah rusak karena aktifitas mikroorganisme menjadi kulit
samak yang tahan lama. Prinsip dalam proses penyamakan adalah pemasukan bahan-
bahan tertentu ke dalam jalinan serat kulit sehingga terjadi ikatan kimia antara kulit
dan bahan penyamak.
Kulit samak merupakan produk dengan nilai jual yang tinggi. Hal ini
dikarenakan hasil kulit samak memiliki sifat yang lebih kuat dan stabil terhadap
pengaruh fisik, biologis, dan kimia, sedangkan kulit mentah yang merupakan bahan
dasar kulit samak memiliki sifat yang mudah rusak dan membusuk. Kulit samak
banyak digunakan sebagai bahan baku tas, sepatu, jaket, dompet, ikat pinggang, dan
sebagainya.
Kulit sapi, daging, dan domba merupakan jenis kulit yang paling sering untuk
dilakukan proses penyamakan. Hal ini dikarenakan ketiga jenis hewan ini merupakan
hewan yang dagingnya sering dikonsumsi oleh manusia. Oleh karena itu, penyamakan
pada kulit sapi, domba, dan kambing merupakan proses penyamakan yang sangat baik
untuk dilakukan karena bahan baku kulit mentahnya mudah didapatkan.

Kulit samak yang berasal dari hewan mamalia seperti sapi, kambing dan
domba memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Pemanfaatan kulit mentah dalam
proses produksi kulit samak merupakan salah satu upaya memanfaatkan hasil samping
industri peternakan, sehingga dapat memberikan nilai tambah karena produk
olahannya memiliki nilai jual yang tinggi. Selain itu, pendirian industri kulit samak
akan meningkatkan pendapatan nasional, membuka peluang usaha yang dapat
menyerap tenaga kerja. Penyamakan kulit terdiri atas banyak proses yang saling
berurutan. Sebelum kulit mentah menjadi kulit samak, kulit mengalami proses
penyamakan yang secara umum dapat digolongkan menjadi tiga tahap, yaitu:
pengerjaan rumah basah (beam house operation), penyamakan (tanning), dan
penyelesaian (finishing).
B. Rumusan Masalah
1. Apakah kulit ternak bisa menghasilkan nilai ekonomi ?
2. Apakah kulit bisa bertahan lama jika diolah ?
3. Apa saja hasil dari pengolahan kulit ?
4. Apa yang dimaksud dengan penyamakan ?
5. Apa saja manfaat dari proses penyamakan ?
6. Bagaimana cara pemanfaatan hasil limbah kulit degan baik dan benar
BAB II
PERMASALAHAN
1. Efek penyamakan
Efek penyamakan diukur dengan penentuan suhu denaturasi atau suhu
pengerutan (Ts) dan energi (entalpi, ΔH) pengerutan kulit yang disamak tersebut. Ts
adalah suhu pada saat pengerutan mulai terjadi ketika tepung kulit dipanaskan
perlahan-lahan dalam kondisi basah (mengandung air). Kulit tanpa perlakuan
digunakan sebagai kontrol. Peningkatan suhu pengerutan (ΔTs), yakni perbedaan suhu
pengerutan antara perlakuan dan kontrol, menunjukkan kemampuan penyamakan
suatu bahan penyamak. Suhu pengerutan dan entalpi pengerutan diukur dengan
DSC822 Differential Scanning Calorimeter (Mettler Toledo, UK).

2. Penyamakan dengan Penyamak Nabati dan DHN pada Kulit Domba


Tiga lembar depickled pelt diletakkan di dalam sebuah botol gelas dengan
150% air dan 10% NaCl. pH campuran tersebut diatur menjadi 4,5 dengan 5% larutan
asam formiat, 25% setiap penyamak nabati atau DHN ditambahkan. Reaksi dijalankan
pada 35oC dengan penggoyangan pada kecepatan 150 rpm selama 20 jam. Setelah
reaksi selesai, cairan sisa reaksi (float) dibuang. Stabilitas hidrotermal kulit yang telah
disamak tersebut diukur menggunakan DSC. Penambahan bahan kimia dan air dalam
proses ini berdasarkan bobot kulit yang disamak (depickled pelt).

3. Penyamakan Kombinasi Menggunakan Penyamak Nabati atau DHN dan Oksazolidin


pada Tepung Kulit
Pada tahap awal penyamakan ini, digunakan prosedur penyamakan dengan
penyamakan nabati dan DHN. Setelah float dibuang, 10 ml air ditambahkan,
kemudian campuran tersebut diatur sampai pH 6 dengan larutan natrium bikarbonat
5%. Selanjutnya, 10% oksazolidin ditambahkan, kemudian digoyang pada kecepatan
150 rpm dan suhu 50oC selama 2 jam. Campuran tersebut diatur sampai pH 3,2-3,8
dengan penambahan larutan asam formiat 5%, kemudian digoyang lagi pada suhu
35oC selama satu jam. Setelah selesai, campuran tersebut disaring. DSC digunakan
untuk mengukur stabilitas hidrotermal tepung kulit yang sudah disamak tersebut.

4. Penyamakan Kombinasi Menggunakan Penyamak Nabati atau DHN dan Oksazolidin


pada Kulit Domba
Prosedur awal penyamakan sama dengan penyamakan yang digunakan pada
tepung kulit. Kemudian 150% air ditambahkan; campuran tersebut diatur sampai pH 6
dengan larutan natrium bikarbonat 5%. 10% Oksazolidin ditambahkan, kemudian
digoyang pada kecepatan 150 rpm dan suhu 50oC selama 2 jam. Campuran tersebut
diatur sampai pH 3,2-3,8 dengan penambahan larutan asam formiat 5%, kemudian
digoyang lagi pada suhu 35oC selama satu jam. Setelah selesai, float dibuang.
Stabilitas hidrotermal diukur menggunakan DSC. Penambahan bahan dalam proses ini
adalah berdasarkan bobot kulit yang disamak.
5. Penentuan Pengikatan Tannin pada Kulit Samak
Metode yang dideskripsikan oleh Covington dan Song (2003) digunakan
untuk menentukan pengikatan penyamak nabati atau DHN pada kulit samak. Tepung
kulit yang disamak dengan penyamak nabati atau DHN atau disamak kombinasi
dengan penyamak nabati atau DHN dan oksazolidin direndam dalam 50 ml larutan
aseton 50% (v/v) pada suhu 20oC selama 20 menit pada penggoyang-an cepat (200
rpm) dan dicuci dengan larutan yang sama. Jumlah tanin yang tercuci diukur dengan
menggunakan metode gravimetri. DSC digunakan untuk mengukur suhu pengerutan
tepung kulit samak yang telah dicuci tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Kulit
Kulit merupakan hasil samping atau sisa pemotongan ternak yang mudah
mengalami laju kerusakan. Kulit ternak masih dapat digunakan melalui beberapa
pengolahan menjadi produk lain yang bermanfaat, yaitu nonfood untuk kulit samak,
baik samak tanpa bulu maupun samak kulit berbulu serta untuk makanan, yaitu untuk
kerupuk rambak kulit dan gelatin (Amertaningtyas et al., 2008).
Kulit sapi mentah basah adalah kulit yang diperoleh dari hasil pemotongan
ternak sapi, dimana kulit tersebut telah dipisahkan dari seluruh bagian dagingnya, baik
yang segar maupun yang digarami (BSN, 1992). Menurut Hastutiningrum (2009) kulit
hewan terdiri atas protein, yang bila dihidrolisis dapat menghasilkan kolagen yang
sangat baik untuk bahan pembuatan gelatin.
Kulit segar mengandung kadar air sebesar 64%, protein 33%,lemak 2%,
mineral 0,5% dansenyawa lain sepertipigmen 0,05%, secara histologi kulit hewan
dapat dibagi atas tiga lapis yaitu: (1) lapisan epidermis yang sering disebut lapisan
tanduk dan sifatnya sebagai pelindung pada waktu masih hidup, (2) lapisan korium
atau cutis, lapisan ini terdiri atas jaringan serat kolagen, (3) lapisan subkutis, pada
hewan lapisan ini berfungsi sebagai batas antara tenunan kulit dan tenunan daging,
pada lapisan ini banyak terdapat tenunan lemak dan pembuluh darah. (Nurwantoro
dan Mulyani, 2003).

2. Sentra produksi
Salah satu sentra industri penyamakan kulit, yaitu terdapat di daerah
Sukaregang, Garut, Jawa Barat. Luas wilayah sentra adalah 79,75 Ha. Lahan kawasan
Sukaregang masih didominasi oleh penggunaan non terbangun seluas 42,36 Ha atau
sekitar 53,21 persen dari total luas kawasan Sukaregang. Sedangkan luas terbangun
yang terdiri dari pemukiman dan kegiatan industri seluas 37,41 Ha atau sekitar 46,79
persen dari luas kawasan Sukaregang. Lokasi industri penyamakan memiliki
kecenderungan untuk mendekat pada sungai-sungai yang melintasi kawasan
Sukaregang yaitu Sungai Ciwalen dan Cigalumpeng.
Sentra produksi kulit samak ini sudah berkembang dengan baik sejak jaman
penjajahan Belanda. Produk kulit hasil penyamakannya pun sudah cukup dikenal oleh
kalangan pelaku industri kerajinan kulit tidak hanya di wilayah Sukaregang dan
Kabupaten Garut, tetapi juga di kalangan pelaku industri kerajinan kulit di berbagai
daerah lainnya di Indonesia. Bahkan, sebagian kulit samak produksi sentra industri
penyamakan kulit Sukaregang, Garut juga diekspor ke berbagai negara untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku kalangan industri kulit di luar negeri.
Keterampilan dan keahlian dalam mengolah kulit hewan di kalangan
pengusaha industri penyamakan kulit di Sukaregang, Garut umumnya diperoleh secara
turun temurun dari orang tua mereka. Sebagian pengusaha lainnya mendapatkan
keterampilan atau keahlian tersebut melalui pengalaman kerja bertahun-tahun di
industri penyamakan kulit milik pengusaha lainnya. Keterampilan dan keahlian
menyamak kulit hingga kerajinan mengolah kulit hewan menjadi berbagai produk
kerajinan di Kecamatan Sukaregang, Garut seolah-olah sudah menjadi keterampilan
atau keahlian milik bersama seluruh anggota masyarakat. Karena sebagian besar
masyarakat Sukaregang, Garut kini menggantungkan kehidupannya dari kegiatan
industri penyamakan kulit dan industri kerajinan kulit lainnya. Saat ini setidaknya
terdapat 330 industri penyamakan kulit di Kecamatan Sukaregang, Garut.

3. Penyamakan
Penyamakan adalah proses konversi protein kulit mentah menjadi kulit samak
yang stabil, tidak mudah membusuk, dan cocok untuk beragam kegunaan.
Penyamakan biasanya dilakukan dengan garam basa krom trivalen. Reaksi garam-
garam krom dengan grup karboksilat dari protein kulit (kolagen) menjadikan kulit
tersebut memiliki stabilitas hidrotermal tinggi, yaitu memiliki suhu pengerutan (T)
lebih tinggi 100℃, dan tahan terhadap serangan mikroorganisme. Selama
penyamakan kolagen akan menferifikasi bahan penyamak pada situs-situs reaktifnya
(heidemann, 1993 dan Bossehe et al., 1997)
Dewasa ini, Sebagian besar kulit samak dunia disamak dengan krom
sulfat,yang merupakan konsekuensi dari kemudahan proses, keluasan kegunaan
produk, dan sangat memuaskannya karakteristik kulit samak yang di hasilkan. Namun
demikian, penyamakan mineral tersebut juga berkontribusi terhadap masalah
penyemaran lingkungan, khususnya di negara-negara berkembang. Dengan demikian,
diperlukan proses penyamakan non mineral yang ramah lingkungan dalam pembuatan
kulit samak.
Industri penyamakan kulit dapat digolongkan kedalam industri yang
mengeluarkan limbah dalam jumlah banyak, baik limbah cair maupun padat.
Penyamakan kulit basah yang dengan perlakuan penggaraman sebanyak satu ton,
diperlukan air kurang lebih 40 m3 , dan bahan kimia untuk proses 452 kg. Dari proses
tersebut dihasilkan kulit samak sebanyak 255 kg, limbah padat sebelum samak sebesar
350 kg (berupa kulit hasil trimming 100 kg dan fleshing 250 kg), limbah padat
sesudah samak (berupa split, shaving dan cutting) sebesar 330 kg, dan limbah bahan
kimia dari prosesing sebesar 380 kg (Paul, et al., 2013). Limbah tersebut belum
termasuk bulu dan kotoran lainnya serta limbah cair.
Limbah padat yang berupa kulit terutama yang belum disamak, masih memiliki
manfaat ekonomi yang cukup besar, karena dapat digunakan sebagai kerupuk kulit,
makanan ternak atau bahan baku gelatin yang dapat digunakan untuk berbagai
keperluan industri pangan maupun bukan pangan. Gelatin merupakan salah satu bahan
yang prospektif karena bersifat biodegradable dan biokompatibel dalam lingkungan
fisiologis yang dapat digunakan sebagai bahan biomaterial (Dian, dkk., 2012). Sebagai
biomaterial, gelatin telah digunakan secara luas untuk bahan pembalut luka, kapsul,
dan scaffold dalam rekayasa jaringan.
Nurhalimah (2010) menyatakan bahwa kulit limbah dapat diolah menjadi
gelatin melalui proses asam (hasil gelatin Tipe A) atau proses basa (hasil gelatin Tipe
B). Proses alkali menghasilkan rendemen lebih sedikit bila dibandingkan proses asam,
tetapi karakteristik (viskositas, berat molekul, dan kekuatan gel) lebih baik. Proses
asam meng- hasilkan rendemen 22,12% - 30,77%, sedangkan proses basa hanya
6,40% - 26,12%. Menurut Arthadana (2001) rende- men gelatin dari kulit sapi split
yang dipro- ses asam berkisar antara 26%– 41%, lebih tinggi dari yang dilaporkan
Nurhalimah (2010).
DAFTAR PUSTAKA

Arthadana, I. 2001. Kajian proses Gelatin Tipe A Berbahan Baku Kulit Sapi Dengan
Metode Perendaman Asam. Skripsi Jurusan Teknologi Industri Pertanian,
Fateta, IPB. Bogor.
Bossche V.V.D., G. Gavend dan M.J. Brun. 1997. Chromium Tanned Leather and Its
Environ-mental Impact. The Chromium File, 4, 1.
Dian P. P., Darmawan, Erizal, dan Tjahyono. 2012. Isolasi dan sintesis Gelatin Sisisk
Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer) Berikatan Silang Dengan Teknik
Induksi Iradiasi Gamma. Jurnal Sains Materi Indonesia. 14(1): 40-46.
Dinas Peternakan Sumatera Barat. 2014. “Populasi Ternak di Sumatera Barat”.
Padang.
Heidemann E. 1993. Fundamentals of Leather Manufacturing. Eduard Roether KG,
Darmstadt
Nurhalimah, E. 2010. Comparison of Gela tin Extraction Process of Bovine Hide Split
by Acid and base Process. http://repository.ipb.ac.id/handle/1234
56789/61883 [18 Juni 2013].
Paul, H.L. Phillips, P.S. Covington, A.D. Evans, P. And Antunes, A.P.M. 2013.
Dechroming Optimisation of Chrome Tanned Leather Waste As Potential
Poultry Feed Additive: A Waste to Resources. Proceding XXXII. Congres
of UILTCS. May 29th – 31th 2013. Istambul, Turkey.
Purnomo E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Yogyakarta:
Akademi Teknologi Kulit, Departemen Perindustrian.
Purnomo, E. 1984. Teknologi Penyamakan Kulit 1. Akademi Teknologi
Kulit,Yogyakarta.
Sharphouse, J.H, 1971. “Leather Technician’s Handbooks”, Leather Producer’s
Association, London.
Tancous, J.J, William T, Roddy Fred O’fiaherty. 1981. “Defek-Defek Pada Kulit
Mentah Dan Kulit Samak” (Terjemahan R.R. Judoamidjojo). Penerbit
Bhratana Karya Aksara, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai