Anda di halaman 1dari 2

Beauty Standard: Proses Mempertahankan Kualitas Diri Berdasarkan Eksekusi

Pribadi atau Massal?


Oleh: Ud’Hiyata Zahbi

Kecantikan merupakan suatu relativitas di mana dapat diputuskan berdasarkan


penilaian subjektif siapa saja yang melihatnya. Namun, bagaimana jadinya jika
kecantikan memiliki standard berdasarkan kesepakatan tak tertulis oleh warga internet.
Di Indonesia sendiri narasi cantik yang ideal acap kali dipatok berdasarkan kulit putih
mulus, wajah tirus, rambut lurus, badan ramping dan lain sebagainya. Hal itu
mengakibatkan siapapun yang ingin dianggap cantik, harus mengikuti beauty standard
yang terbentuk di media massa.
Mengapa pada akhirnya banyak perempuan yang mengikuti budaya massal yang
diciptakan oleh media massa dalam menentukan standard cantik pada dirinya?
Selayaknya manusia yang memiliki jiwa ke-aku-an, tak dapat dipungkiri memang
membutuhkan pengakuan dari orang lain. Termasuk anggapan cantik atau tidaknya
seseorang. Sehingga untuk mendapatkan label cantik, para perempuan berbondong-
bondong menggunakan patokan yang terbentuk secara massal di media massa.
Penyimpangan relativitas standard kecantikan menjadi pandangan universal
mengakibatkan banyak perempuan kehilangan dirinya sendiri. Terlalu ingin mengikuti
budaya populer yang semakin ke sini semakin mendarah daging di tengah masyarakat.
Hal itu tak luput dari peran orang lain yang seakan mendukung bahwa cantik memang
harus putih, ramping, dan lain sebagainya. Contohnya saja, perilaku body shaming
yang sering dilakukan masyarakat terhadap perempuan baik secara langsung maupun
dilontarkan melalui unggahan media massa. Betapa banyak perilaku orang lain, bahkan
mungkin kita salah satunya yang telah meruntuhkan kepercayaan seseorang terhadap
dirinya sendiri. Tak jarang sebagai sesama perempuan juga melakukan tindakan
meremehkan perempuan lainnya.
Media massa menjadi arus paling deras dalam mengubah sudut pandang dan
perilaku masyarakat. Postingan foto perempuan yang putih, tirus, alis tebal mudah
sekali mendapatkan like maupun komentar positif dari warga net. Sebaliknya,
postingan perempuan yang tidak memenuhi beauty standard langsung kena serang
komentar pedas para netizen. Oleh karena itu, keinginan untuk diakui bahwa seseorang
juga merupakan perempuan cantik menjadikannya berlomba-lomba untuk merias diri
sesuai dengan beauty standard media sosial.
Tuntutan menjadi perempuan memang tidak mudah, apalagi jika dihadapkan
problematika yang sudah meraup hingga sekarang. Namun, hendaknya mulai saat ini
kita kembalikan lagi kepada fitrahnya. Bahwa siapapun orangnya, bagaimanapun
bentuk wajah dan postur tubuhnya, tetaplah cantik. Karena sejatinya kecantikan adalah
relatitivitas yang siapapun berhak menamatkan label cantik berdasarkan penilainnya
sendiri. Entah cantik rupa, perilaku atau hatinya. Bahwa cantik tak hanya dari segi fisik.
Percuma jika punya wajah rupawan tapi hatinya bak penjahat tak berperasaan.
Sudah saatnya setiap perempuan kembali tegak berdikari beralaskan kakinya
sendiri. Menjadi cantik tak melulu mengikuti penilaian orang lain, sebab sejatinya
cantik bisa berasal dari manapun seorang perempuan membawa diri. Menghindari rasa
tidak percaya diri dan iri kepada perempuan-perempuan yang selalu dipuja puji.
Mempercayai bahwa menjadi cantik adalah hak bagi setiap insan yang terlahir sebagai
perempuan.
Maka dari itu, kita tidak perlu lagi memenuhi beauty standard yang ditetapkan
di media sosial. Dengan menjadi diri sendiri perempuan sudah memancarkan kecantikan
yang ada pada dirinya sendiri. Jika tak ada orang lain yang menghargai kecantikan itu,
jadilah satu-satunya yang menghargai adanya dirimu dengan segala kecantikanmu.

Anda mungkin juga menyukai