Anda di halaman 1dari 69

MAKALAH

PENGELOLAAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PEDIATRIK


KEGAWATAN DAN KEDARURATAN
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan gawat Darurat II

Dosen Pengampu : Asmarawanti S.Kep., Ners., M.Kep

Disusun oleh :

Kelompok 2

Aditia Abdul C1AA21007 M Faisal M C1AA21085


Ana Nurlaila S C1AA21016 M.sidik C1AA21067
Ari Pradina C1AA21019 Putri Haura C1AA21109
Ajeng Putri C1AA21012 Raihan f C1AA21112
Indri Apriliani C1AA21052 Rifa Muhaimin C1AA21121
Syahran M C1AA21167 Siti Luthfiah C1AA21157
Suci Indah C1AA21163

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUKABUMI

2024
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat
dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Asuhan
keperawatan pada pediatric dengan Kegawatan,Kedaruratan” ini tepat pada
waktunya. Adapun tujuan dari penulis dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Ibu Asmarawanti, S.Kep.,Ners.,M.Kep. Pada mata kuliah Keperawatan
Gawat Darurat II. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang “ Asuhan Keperawatan Pada pediatric dengan Kegawat Daruratan”. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Asmarawanti, S.Kep.,Ners.,M.Kep selaku dosen
mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat II yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang kami tekuni. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari cara penulisan maupun isinya. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan kritikan dan saransaran yang dapat membangun demi
kesempurnaan makalah ini.

Sukabumi, 28 Februari 2024

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah............................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Kegawatdaruratan Pediatrik .................................................... 3


B. Jenis Kegawatdaruratan Pediatrik ............................................................. 4
C. Konsep Asuhan Kegawatdaruratan Pediatrik Dengan Kegawatdaruratan. 16
D. Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Kejang Pada Anak ................... 31
E. Prinsip Dasar Penanganan Gawat Darurat ................................................ 43
F. Prinsip Umum Penanganan Gawat Darurat .............................................. 45
G. Fungsi Advokasi Dan Komunikasi Dalam Kegawatdaruratan Pediatrik .. 52
H. Evidance Based Pratice Dalam Kegawatdaruratan Pediatrik ................... 54

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................... 64
B. Saran ......................................................................................................... 65

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegawatdaruratan merupakan kejadian yang tidak terduga yang
dapat terjadi secara tiba-tiba, tidak jarang menjadi kejadian yang dapat
membahayakan. Penderita atau pasien gawat darurat adalah seseorang yang
perlu mendapatkan pertolongan cepat, cermat, dan tepat untuk mencegah
terjadinya hal yang tidak diinginkan yaitu kematian hingga kecacatan. Anak
merupakan kelompok yang unik pada pelayanan gawat darurat. Kelompok
anak memiliki permasalahan kegawatdaruratan yang berbeda dari kelompok
orang dewasa karena ukuran fisiologis dan peralatan yang akan digunakan
dalam proses penanganan berbeda. Perbedaan ukuran dan fisiologi yang
membuat diperlukannya pedekatan dan tatalaksana yang berbeda. Di
Amerika kasus kegawatdaruratan yang terjadi pada anak mencapai 30%.
dari seluruh kunjungan ke Instalasi Gawat darurat/ IGD sebanyak 17% dari
seluruh anak berkunjung ke IGD 1 kali setahun dengan alasan yang
bervariasi tergantung kelompok usia, alasan terbanyak adalah gangguan
pernafasan, trauma, dan keracunan (Kimberly W, Mc Dermmott, Carol
Stocks, 2018). Menurut data dari BPJS Kesehatan (2019) kegawatdaruratan
pada anak yang terjadi di Indonesia yang paling bayi/anak yaitu gawat
napas, syok, kejang, dan penurunan kesadaran. Kondisi gawat darurat bisa
terjadi kapan saja dan pada siapa saja, tidak terkecuali pada anak. Dalam
menghadapi situasi darurat pada anak, terjadi kesulitan menentukan kondisi
anak karena biasanya anak belum dapat menyampaikan keluhan yang
dirasakan kepada orang tua. Melihat permasalahan diatas, kami mahasiswa
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sukabumi melakukan diskusi mengenai
Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Pada Pediatri.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kegawat dan daruratan pediatruk?
2. Apa saja jenis kegawatdaruratan pediatrik?

1
3. Bagaimana Konsep asuhan keperawatan pediatrik dalam
kegawatdaruratan?
4. Apa saja Prinsip dasar penanganan gawat darurat?
5. Bagaimana prinsip umum penanganan gawat darurat?
6. Bagaimana fungsi advokasi dan komunikasi dalam kegawatdaruratan
pediatrik?
7. Bagaimana penatalaksanaan Evidance Based Practice dalam
kegawatdaruratan pediatrik?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Apa pengertian kegawat dan daruratan pediatruk
2. Mengetahui Apa saja jenis kegawatdaruratan pediatrik
3. Mengetahui Konsep asuhan keperawatan pediatrik dalam
kegawatdaruratan
4. Mengetahui Prinsip dasar penanganan gawat darurat
5. Mengetahui prinsip umum penanganan gawat darurat
6. Mengetahui Bagaimana fungsi advokasi dan komunikasi dalam
kegawatdaruratan pediatrik
7. Mengetahui Bagaimana penatalaksanaan Evidance Based Practice
dalam kegawatdaruratan pediatrik

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian kegawat dan daruratan pediatrik


Definisi Pediatri Gawat Darurat Pediatri gawat darurat (PGD)
adalah subspesialisasi ilmu kesehatan anak di Indonesia. Subspesialisasi ini
mencakup ranah keilmuan dan profesi yang meliputi kedaruratan pediatri
(pediatric emergency), tata laksana intensif (pediatric intensive care), dan
transportasi anak dengan kegawatan (pediatric transportation medicine). Di
manca negara, subspesialisasi ini termasuk dalam ranah pediatric critical
care medicine.

Ilmu pediatric critical care telah mengalami kemajuan dramatis


dalam beberapa dekade terakhir, khususnya pediatric intensive care. Pada
tahun 1993, Committee on Hospital Care and Pediatric Section of the
Society of Critical Care Medicine menerbitkan pedoman yang membagi
Pediatric Intensive Care Unit (PICU) menjadi level I dan II. Pedoman ini
juga mencakup ruang lingkup dan pelayanan pediatric critical care, struktur
organisasi, fasilitas rumah sakit, staf medis, obat-obatan dan peralatan,
pemantauan, pelatihan dan pembelajaran berkelanjutan.

Pediatric Intensive Care Unit merupakan unit dari rumah sakit,


dengan staf dan perlengkapan khusus, yang ditujukan untuk observasi,
perawatan dan terapi pasien anak berusia 0-18 tahun (selain neonatus) yang
menderita sakit kritis, cedera, atau penyakit-penyakit yang mengancam jiwa
atau potensial mengancam jiwa dengan prognosis dubia. PICU harus
mampu menyediakan sarana dan prasarana serta peralatan khusus untuk
menunjang fungsi-fungsi vital. PICU harus memiliki staf medis, Pediatri
Gawat Darurat,Menyongsong Masa DepanAbdul Latief, Antonius Pudjiadi,
Imral Chair, Yogi Prawira perawat dan staf lain yang berpengalaman dalam
pengelolaan kondisi tersebut.

3
Tujuan utama pengelolaan pasien di PICU adalah untuk
menyelamatkan jiwa pasien yang mengalami sakit kritis, namun masih
dapat disembuhkan (recoverable and reversible). Dengan demikian, apabila
penyakit dasar pasien tidak mungkin untuk disembuhkan (terminal stage)
maka pasien tersebut tidak akan mendapat manfaat dari perawatan di PICU.
Hal ini perlu menjadi perhatian, karena sumber daya manusia, sarana dan
prasarana PICU yang sangat terbatas, dengan biaya perawatan yang mahal.

Pada tahun 2004, dilakukan revisi terhadap pedoman awal dengan


tetap membagi PICU menjadi dua level. PICU level I harus mampu
menyediakan layanan definitif bagi pasien anak(kecuali neonatus) yang
mengalami gangguan medis, bedah ataupun trauma yang kompleks,
progresif dan dinamis. Unit ini sebaiknya berada dalam pusat layanan
kesehatan besar atau di dalam rumah sakit khusus anak. Dalam kondisi
tertentu, misalnya keterbatasan tenaga pediatric intensivist, kondisi
geografis dan keterbatasan transportasi, maka PICU level II dapat menjadi
alternatif untuk stabilisasi pasien anak sakit kritis sebelum
dirujuk ke level I.

B. Jenis kegawatdaruratan pediatrik


1. Demam Anak
Demam adalah masalah utama yang paling sering dikeluhkan
pasien anak dan jumlahnya sebanyak 20% sampai 25% kunjungan
pasien anak di IGD.13 Demam didefinisikan pada neonatus adalah
38°C (100,4°F).14 Penyebab hipertemia bervariasi, paling sering
adalah infeksi, tetapi juga dapat diakibatkan karena keracunan,
dehidrasi, terpajan panas, gangguan metabolik, atau penyakit kolagen
vaskular. Adanya demam di awal, atau demam dilaporkan dari rumah,
mungkin mempengaruhi triase dan pengambilan keputusan pada
pasien anak yang berisiko tinggi terjadi sepsis atau penyakit serius lain
(contoh., neonatus, penurunan imunitas).

Tanda dan gejala

• Nadi cepat
4
• Kulit kemerahan
• Takipnea
• Agitasi
• Diaforesis
Intervensi Terapeutik
• Berikan cairan (oral, subkutan atau intravena) berdasarkan
kebutuhan anak.
• Berikan pakaian yang minimal dan ringan
• Berikan obat antipiretik sesuai indikasi:
- Awali dengan paracetamol 15 mg/kg pada awalnya
- Ibuprofen 10 mg/kg (hindari ibuprofen pada bayi kurang dari 6
bulan dan anak yang mengalami muntah)
- Jangan berikan aspirin pada anak kurang dari 12 tahun
• Mandikan pasien dengan air hangat atau shower
• Identifikasi dan obati penyebab peningkatan suhu
• Demam yang tidak diketahui penyebabnya pada bayi kurang dari
3 bulan dibutuhkan tindakan septik termasuk kultur darah dan
urine kultur (urine harus diambil melalui kateter). Lumbal pungsi
juga dilakukan pada sebagian besar bayi demam kurang dari 2
sampai 3 bulan tanpa identifikasi sumber demamnya.

2. Obstruksi Jalan Napas


Penyebab utama distress pernapasan pada pasien anak adalah
obstruksi jalan napas. Jika pasien pada kondisi distress tetapi masih bisa
mendapatkan udara, coba untuk mengidentifikasi penyebab obstruksi.
Pertimbangkan obstruksi jalan napas pada beberapa serangan mendadak
distress jalan napas. Lakukan pengkajian cepat, cek berikut ini:

• Tingkat kesadaran; waspada, iritabel, letargia


• Tanda-tanda kulit: warna, suhu, kelembapan
• Tanda hipoksia: sianosis
• Tanda hipoksia: sianosis sebagian atau keseluruhan, pernapasan
cepat

5
• Obstruksi saluran napas bagian atas: stridor, ada objek di mulut,
edema oropharyngeal
• Hidung tersumbat (bayi)
• Penggunaan otot bantu pernapasan: retraksi, penggunaan otot
abdominal, pernapasan cuping hidung
• Bau napas yang tidak semestinya: keton, kimia, ethanol
• Penurunan gerakan udara
• Suara paru abnormal: wheezing, stridor, crackles, tidak ada suara
• Tanda-tanda vital (yakinkan termasuk suhu dan pengkajian nyeri)
• Bukti adanya dehidrasi: turgor kulit jelek, mukosa kering, air mata
berkurang, fontanel cekung
• Tanda-tanda trauma: dada, leher, wajah dan kepala
Obstruksi Nasofaring
Obstruksi kemungkinan disebabkan oleh hal-hal berikut ini:
• Benda asing: manik-manik, kacang, makanan, bagian mainan yang
kecil
• Dampak cairan hidung (terutama pada bayi)
• Edema: trauma, infeksi, adenoid bengkak
Tanda dan gejala
• Obstruksi hidung: pada bayi diwajibkan bernapas dengan hidung
sampai usia 6 bulan. Obstruksi dapat mengancam kehidupan
• Distress pernapasan
• Sianosis
Intervensi Terapeutik
• Berikan oksigen aliran tinggi dengan cara apapun hingga pasien
tolerans
• Membantu mengeluarkan benda asing dan menyedot hidung
• Gunakan tambahan jalan napas sesuai indikasi, didasarkan pada
tingkat kesadaran dan tingkat distress (jalan napas oral atau
endotracheal tube)

6
Obstruksi Oropharing

Obstruksi dapat disebabkan oleh sebagai berikut:

• Trauma wajah
• Bengkak di mulut (anafilaksis)
• Luka bakar
• Aspirasi benda asing

Tanda dan gejala

• Pernapasan terdengar berisik: gargling (berkumur), mengorok,


stridor
• Sedikit atau tidak ada pergerakan udara atau distress pernapasan
• Posisi tripod: berbaring lurus dengan leher dan dagu
• ekstensi
• Keinginan untuk posisi duduk
• Sianosis
• Kesulitan berbicara atau serak
• Dysphagia, tanpa kontrol meneteskan air liur

Intervensi Terapeutik

• Berikan tekanan tinggi udara lembap dengan cara apapun hingga


pasien toleran.
• Pertahankan pasien dan pengasuh tetap tenang.
• Jika pasien bisa menghirup udara, anjurkan pasien untuk batuk
tetapi jangan mencoba mengeluarkan benda asing dan jangan
terlalu mendorong pasien untuk mengubah posisi.
• Jika tidak dapat menghirup udara pada pasien yang diketahui
obstruksi benda asing, lakukan manuver sebagai berikut:
• Bayi: tahan pasien pada posisi tengkurap, dengan kepala lebih
rendah dari tubuh; berikan lima pukulan punggung/back blows
diikuti dengan lima kali tolakan dada/chest thrusts (hentikan jika
objek telah keluar).

7
• Anak: berikan serial dengan lima kali tolakan pada subdiagframa
abdominal/subdiaphragmatic abdominal thrusts (Heimlich
Maneuver).
• Beri ventilasi pasien.
• Ulangi tahapan diatas sampai benda asing lepas atau siapkan
tindakan untuk melepas benda asing dengan metode invasi (contoh,
laryngoscopy langsung) atau cricothyrotomy.

3. Kejang Demam
Penyebab yang sering terjadi dari kejang pada anak kecil
adalah demam. Kejang demam biasanya terjadi antara usia 6 bulan
sampai 3 tahun, dengan puncak kejadian usia 18 bulan. Kejang ini
berhubungan dengan demam yang paling sering disebabkan virus.
Namun demikian, penyebab kejang tidak bisa ditentukan sebelum
diagnosa pasti dibuat. Penyebab kejang tmeliputi hipoglikemi,
hypoksia, infeksi sistem saraf pusat, racun, epilepsi, gangguan
metabolik, cacat perkembangan, trauma kepala. Selanjutnya, kejang
pada populasi anak biasanya idiopatik. Merujuk pada Bab 25, untuk
informasi lanjut pada gangguan kejang.

"Kejang demam" bukan merupakan gangguan kejang,


walaupun 30% sampai 40% anak-anak yang memiliki pengalaman
kejang demam akan memiliki gangguan lain.

Tanda dan Gejala


• Riwayat penyakit dahulu dengan peningkatan suhu cepat
• Keterbatasan diri, menyeluruh, aktivitas gerakan tonic- klonik
• Durasi kurang dari 15 menit, biasanya diikuti periode postictal
• Tingkat kesadaran kembali normal setelah periode postictal
Prosedur Diagnostik
• Kadar gula darah.
• Pertimbangkan panel kimia, darah lengkap dengan diferensial,
kultur darah.

8
• Lumbal pungsi diindikasikan jika penyebab kejang tidak jelas,
pasien dengan gejala yang berat, atau dicurigai infeksi sistem saraf
pusat.
• Kirim cairan cerebrospinalis (CSF) ke laboratorium untuk
menghitung jumlah sel, gram stain, kultur, protein dan glukosa.
Intervensi Terapeutik
Umumnya, pasien dengan kejang demam akan pulih
bersamaan dengan waktu tiba di IGD. Adanya kejang lanjutan atau
periode postictal lama kemungkinan bukan karena demam.
Pengobatan simtomatik luas dan fokus pada jalan napas, pernapasan,
sirkulasi dan kontrol kejang.
Intervensi meliputi hal berikut:
• Lindungi pasien kejang atau postictal dari injuri
• Ketika memungkinkan, tempatkan pasien pada posisi lateral
dekubitus.
• Suction lendir jika dibutuhkan untuk kepatenan jalan napas.
Nasopharyngeal airway dapat dipasang bahkan pada pasien dengan
rahang terkatup.
• Berikan oksigen 100% dengan mask atau blow-by selama kejang
dan periode postictal untuk menjaga saturasi.
• Siapkan ventilasi jika diindikasikan
• Jika kejang lama, segera pasang akses vaskular untuk infus
anticonvulsant. Pertimbangkan pemberian intraosseous.
• Antikonvulsan dapat diberikan secara intramuskular dan rektal,
tetapi absorpsi lambat dan tidak bisa diandalkan.
• Siapkan intubasi endotracheal jika ada keterlambatan
pengembalian pernapasan spontan. Segera lakukan intubasi jika
pasien masih kejang (lihat bab 15, untuk informasi lebih lanjut).

9
Disposisi
• Pertimbangkan rawat inap pada anak-anak kurang dari usia 1 tahun.
• Pastikan kembali orang tua dan berikan edukasi adalah sangat
penting untuk meningkatkan persiapan pulang dari IGD.
• Izinkan pasien pulang ketika kejang demam stabil dan tidak ada
penyebab infeksi serius.
• Rawat pasien dengan gejala sisa dan hal itu merupakan kejang
pertama kali dari penyebab yang meragukan.
• Berikan antipiretik dan antibiotik sesuai instruksi.
• Dukung pasien anak untuk tindak lanjut ke pusat pelayanan primer
dalam 2 sampai 5 hari.
• Instruksikan pengasuh dalam cara mengatasi kejang di rumah.

4. Muntah dan Diare


Berbagai macam kondisi menyebabkan muntah dan diare pada
anak-anak, paling sering terjadi akibat virus gastroenteritis. Muntah
hebat terjadi pada peningkatan tekanan. intrakranial, sindrom Reye's,
refluks gastroesophageal, stenosis pylorus, keracunan, atau obstruksi
usus.

Diare didefinisikan sebagai buang air besar tiga kali atau lebih
dalam sehari. Virus, bakteri, parasit, racun, perdarahan
gastrointestinal, obat-obatan, sindrom malabsorbsi, beberapa diet,
gangguan usus dapat menyebabkan diare. Mengabaikan dari
penyebab, diare umumnya berhenti dalam satu minggu. Episode serius
dikarakteristikkan dengan banyaknya buang air besar, diare berdarah,
bersamaan muntah. Dekompensasi dapat berkembang dengan cepat.
Walaupun sebagian besar kasus muntah dan diare adalah ringan dan
terbatas, gastroenteritis menjadi penyebab kematian anak di negara
sedang berkembang.

10
Etiologi
▪ Infeksi karena viral, bakteri, atau parasit
▪ Transmisi oleh rute oral-fecal atau orang ke orang
▪ Insiden gastroenteritis viral adalah yang tertinggi selama musim dingin
▪ Gastroenteritis bakterial sering terjadi pada musim panas.
▪ Penyebab noninfeksius adalah racun, perdarahan gastrointestinal,
sindrom malabsorpsi, beberapa diet, gangguan usus, keracunan obat
peluntur, dan obat- obatan (contoh., antibiotik)
Tanda dan Gejala
• Nyeri abdominal, sering kram
• Demam
• Dehidrasi
• Membram mukosa kering
• Air mata berkurang
• Penurunan pengeluaran urine
• Fontanel anterior cekung
• Mata cekung
• Penurunan berat badan
• Haus
• Turgor kulit jelek
• Lesu
• Capillary refill memanjang
• Syok hipovolemik
Prosedur Diagnostik
• Ruang lingkup dan perkembangan tes diagnostik pada anak dengan
muntah dan diare tergantung pada durasi dan beratnya gejala dan
kemungkinan penyebabnya.
Tes tersebut meliputi berikut ini:
─ Darah lengkap dan diferential
─ Panel kimia
─ Urinalisis

11
─ Kultur feses, ova dan parasit tes, Escherichia coli dan Clostridium
difficile
Pada anak anak dengan muntah dan diare, hindari minum gula dan sup
asin. Dorong untuk melanjutkan pemberian ASI pada bayi.
Intervensi Terapeutik
• Berikan ondansentron intravena atau tablet larut oral sesuai indikasi
untuk muntah.
• Siapkan rehidrasi oral pada pasien yang mampu minum.
• Berikan cairan rehidrasi oral (Pedialyte, Rehydralite,Infalyte, Ricelyte)
setiap jam atau setiap selesai buang air besar encer (Tabel 49-10).26
Berikan semua isi cairan dalam jumlah kecil (seteguk 1 sampai 2
sendok teh) untuk memfasilitasi absorbsi dan mencegah muntah.
• Pertimbangkan hypodermoclysis, atau rehidrasi subkutan. Tambahkan
hyaluronidase meningkatkan absorbsi cairan
• Pada kondisi dehidrasi sedang atau berat (lebih dari 10%), pasang akses
vaskular.
• Berikan bolus cairan isotonik kristaloid (20 mL/kg); kaji kembali dan
berikan bolus lain jika diperlukan. Beberapa bolus mungkin diperlukan.
• Berikut rehidrasi, pengurangan pemberian cairan IV untuk tingkat
pemeliharaan (lihat Tabel 45-5)
• Monitor ketat pemasukan dan pengeluaran.

Disposisi

• Pasien dengan dehidrasi ringan sampai sedang yang telah berhasil


dilakukan rehidrasi di IGD mungkin direncanakan pulang dibawah
tanggung jawab pengasuh. Pastikan mereka telah jelas mengenai
pengganti terapi oral untuk dilanjutkan di rumah dan ketika membawa
kembali pasien ke IGD (tanda dan gejala indikasi membutuhkan
rehidrasi segera).
• Tindak lanjuti ke pemberi pelayanan primer jika dibutuhkan dalam 1
sampai 2 hari.

12
• Dehidrasi berat sering membutuhkan rawat inap pada unit anak dan
melanjutkan pemberian infus intravena.

5. Pasien anak tidak sadar


Evaluasi segera pasien anak dengan perubahan tingkat
kesadaran berat, sistematik, dan menyeluruh. Menentukan penyebab
adalah hal penting tetapi prioritas segera adalah dengan memberikan
bantuan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi.

Kemungkinan Penyebab

Sistem saraf pusat Kardiovaskuler Pernafasan


Trauma Gagal jantung Gg pernafasan akut,
Infeksi Penyakit jantung obstruksi, atau hipoksia
Kejang konginetal Trauma
infeksi Alergi
Infeksi
Syok Gastro Metabolik
Sepsis Muntah dan diare Ketoasidosis
Hypovolemic Hipoglekimia
Neurogenic Endokrin Terpajan racun
Cardiogenic Krisis adison Sindrom reye
Anaphylatic DM Gagal ginjal atau hepar
.

Tanda dan gejala

• Tonus otot lemah


• Penurunan tngkat berespon
• Penurunan kontrol kandung kemih atau usus (pada anak dpada toilet
training)
• Kurang kesadaran pada sekitar; interaksi dengan lingkungan kurang
• Pucat, berbintik-bintik, sianosis
• Capillary refill memendek
• Tachypnea, apnea

13
• Bradikardi, takikardia
• Hipotermia, hipertermia

Prosedur Diagnostik

• Darah lengkap dengan diferensial


• Panel kimia
• Kadar gula darah sewaktu
• Tingkat amonia
• Periksa toxicology, kadar ethanol
• AGD
• Lumbal punksi
• Computed tomography (CT) scan otak
• Foto dada

Intervensi Terapeutik

• Awali dengan memonitor jantung-paru.


• Dapatkan akses intravaskular.
• Monitor saturasi oksigen, berikan oksigen jika perlu, dan
pertimbangkan intubasi endotracheal.
• Pastikan glukosa darah. Atasi hipoglikemia dengan dextrose.
• Ukur suhu.
• Lakukan pemeriksaan neurologi, meliputi serial pengukuran
Glasgow Coma Scale anak

Glasgow Coma Scale Pediatrik/Skala Koma Glasgow Anak

Membuka mata 0-1 Tahun


4: Spontan
3: Mengikuti perintah
2: Terhadap nyeri
1: Tidak ada Respons
>1 tahun
4: Spontan

14
3: Mengikuti perintah
2: Terhadap nyeri
1: Tidak ada respon

Respons motorik 0-1 tahun


terbaik 5: Melokalisasi nyeri
4: Fleksi menarik
3: Fleksi abnormal (decorticate rigidity)
2:Ekstensi (decerebrate rigidity)
1: Tidak ada respon
>1 tahun
6: Mematuhi
5: Melokalisasi nyeri
4: Fleksi menarik
3: Fleksi abnormal (decorticate rigidity)
2:Ekstensi (decerebrate rigidity)
1: Tidak ada respon

Respons verbal terbaik 0-2 tahun


5: Menangis biasa, tersenyum,dan mengoceh
4: Menangis
3: Menangis tidak jelas/berteriak
2: Mendengkur
1: Tidak ada respon
2-5 tahun
5: Kata dan kalimat tepat
4: Kata-kata tidak jelas
3: Menangis atau berteriak
2: Mendengkur
1: Tidak ada respon
>5 tahun
5: Orientasi dan berbicara

15
4: Disorientasi dan berbicara
3: Kalimat tidak jelas
2: Suara tidak dapat dimengerti
1: Tidak ada respon

Catatan : Skor adalah jumlah skor individu dari membuka mata, respons terbaik
motorik, respons verbal motorik, menggunakan kriteria usia yang spesifik. Skor
13-15 mengindikasikan disfungsi neurologi ringan; 9-18 mengindikasikan
disfungsi neurologi sedang; dan 8 atau kurang mengindikasikan disfungsi
neurologi berat

• Dapatkan riwayat dan penjelasan kejadian


• pengasuh atau personel prehospital.
• Pasang gastrik tube dan dekompresi perut.
• Pasang kateter urine
• Pertahankan suhu tubuh normal: penghangat atau pendingin jika
dibutuhkan
• Terapi definitif tergantung pada penyebab dari tidak sadar

C. Konsep asuhan keperawatan pediatrik dengan kegawatdaruratan


Pasien anak adalah tantangan unik untuk perawat gawat darurat
karena anatomi dan fisiologinya berbeda dan pertumbuhan dan karakteristik
perkembangannya spesifik pada populasi ini. Tabel 49-1 menyediakan
inforniak tentang karakteristik fisik dan psikososial dari pertumbuhan anak
sesuai pedoman pengkajian perawat. Sebagai tambahan, keyakinan bahwa
peran keluarga sangat penting dalam pengalaman merawat kesehatan anak.

Triase anak (prioritas perawatan)

Ada empat komponen pada triase anak (atau perawatan prioritas):


segitiga pengkajian pediatrik/pediatric assessment triangle (PAT),
pengkajian fokus (informasi objektif), riwayat fokus anak (informasi
subjektif), dan tugas dari ketajaman pengambilan keputusan.

1. Pediatric assessment triangle (segitiga pengkajian pediatrik)

16
PAT adalah alat observasi yang sederhana untuk tindakan cepat,
visual, pengkajian lintas ruangan pada anak ke IGD terlepas dengan
adanya keluhan. Isi PAT terdiri dari tiga komponen berikut:
a. Appearance (penampilan): tonus otot, keutuhan, gerakan spontan,
bicara atau menangis, tingkat distress.
b. Breathing: distress pernapasan, suara napas abnormal.
c. Sirkulasi: warna kulit, seperti pucat, burik/bintik-bintik, sianosis,
atau kemerahan.

Izinkan pengasuh untuk tetap bersama pasien sesuaikebutuhan.


Lihat pengkajian isyarat tambahan untuk memprioritaskan perawatan
setiap pasien, sebagai berikut:

• Tahap perkembangan pasien apakah perilaku saat ini sesuai dengan


jenis perilakunya.
• Keterlambatan perkembangan yang signifikan.
• Penyakit dan cedera yang terjadi pada usia perkembangan yang
berbeda.
• Faktor risiko untuk tindakan penganiayaan.
• Mekanisme kompensasi pada pasien anak yang mungkin menutupi
penyakit serius atau cedera.
• Tingkat risiko untuk penurunan secara cepat.

Rasional untuk riwayat tambahan mungkin termasuk berikut ini:

• Pengasuh peka dan berpendapat: menangis dan rewel adalah tanda


yang samar.
• Kemerahan pada wajah mungkin menjadi perhatian untuk
kemungkinan penyakit menular.
• Keterlambatan pada perawatan definitif dan tidak menggunakan
pelayanan medis gawat darurat karenakemampuan berpindah anak.
• Menggunakan cara adat kebiasaan untuk penanganan di rumah
sebelum tiba di IGD.

17
• Kekurangan penyedia pelayanan primer atau kekurangan perawatan
untuk pencegahan (status imunisasi).
2. Pengkajian fokus dan riwayat

Setelah melihat dengan pada ruangan pengkajian, langkah


selanjutnya adalah triase yaitu pengkajian fokus, yang meliputi
pengkajian primer dan sekunder. Merujuk pada Bab 43 untuk
informasi lanjut. Secara sistematik dapatkan riwayat, yang dapat
dilakukan dengan menggunakan singkatan CIAMPEDS (Tabel 49-2)

a. Tanda-Tanda Vital
Untuk pasien anak, dapatkan satu set penuh tanda-tanda
vital, termasuk berat badan dalam kilogram; gunakan pengukur
berat badan ketika dimungkinkan. Jika lingkungan tidak
memungkinkan. mengukur berat badan dengan timbangan atau
panjang dasar pita resusitasi, berat badan mungkin diperkirakan
menggunakan rumus berikut:
Berat badan dalam kilogram = (3 x umur) +7.3 Perawat
harus menyadari tanda vital normal pada pasien anak dan
mengenali ketika tanda vital menyimpang dari normal. Heart
rate dan pernapasan normal diterangkan pada Tabel 49-3.
b. Suhu
Dapatkan suhu melalui cara yang benar dengan
mempertimbangkan usia anak dan kondisinya.Hindari
mengukur suhu melalui rektal pada pasien gangguan imunitas.

3. Pengkajian dalam kegawatdaruratan pediatrik

Tahapan pengkajian primer meliputi : A: Airway, mengecek


jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai kontrol
servikal; B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan
mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat; C: Circulation,
mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan; D: Disability,

18
mengecek status neurologis; E: Exposure, control lingkungan (Holder,
2002).

Pengkajian primer bertujuan mengetahui dengan segera


kondisi yang mengancam nyawa pasien. Pengkajian primer dilakukan
secara sekuensial sesuai dengan prioritas. Tetapi dalam prakteknya
dilakukan secara bersamaan dalam tempo waktu yang singkat (kurang
dari 10 detik) difokuskan pada Airway Breathing Circulation (ABC).
Karena kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian
yang cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem
pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem
tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh
dengan cepat ke dalam kondisi gawat darurat sehingga memerlukan
pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit
akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih dari 10 menit akan
menyebabkan kematian. Oleh karena itu pengkajian primer pada
penderita gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien
(Mancini, 2011).

Pengkajian sekunder membahas mengenai proses anamnesis


riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu, riwayat
kesehatan keluarga dan pemeriksaan fisik head to toe untuk menilai
perubahan bentuk, luka dan cedera yang dialami pasien anak.
Pengkajian ini hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil,
dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai
membaik.

1. Pengkajian umum
Segitiga penilaian pediatrik (PAT: Pediatric Assessmen
Triangle) Teknik penilaian ini dilakukan tanpa memegang anak.
Dengan melihat dan mendengar, pemeriksa dapat mendapatkan
kesan akan kegawatan anak. Tiga komponen PAT adalah:
a. Penampilan anak
Penampilan anak seringkali merupakan cerminan

19
kecukupan ventilasi dan oksigenasi otak. Namun
demikian beberapa keadaan lain dapat pula
mempengaruhi penampilan anak seperti hipoglikemi,
keracunan, infeksi otak, perdarahan atau edema otak atau
juga penyakit kronik pada susunan saraf pusat. Penampilan
anak dapat dinilai dengan berbagai skala. Metoda
'TICLES" meliputi penilaian tonus (T= tone), interaktisi
(I= interactiveness), konsolabilitas (C= consolability),
cara melihat (L= look/gaze) dan berbicara atau menangis
(S= speech/cry).

Karakteristik Hal yang dinilai


Tone Apakah anak bergerak aktif atau
menolak pemeriksaan dengan kuat? Apakah
tonus ototnya
baik atau lumpuh?
Interactiveness Bagaimana kesadarannya? Apakah suara
mempengaruhinya? Apakah ia mau bermain
dengan mainan atau alat pemeriksaan? Apakah
anak tidak bersemangat saat berinteraksi
dengan orang
tua/ pengasuh?
Consolabillity Apakah ia dapat ditenangkan orang tua atau
pengasuh atau pemeriksa? Apakah anak
menangis terus atau tampak agitasi
sekalipun dilakukan
pendekatan yang lembut?
Look/Gaze Apakah ia dapat memfokuskan
penglihatan?
Apakah pandangannya kosong?

20
b. Upaya Nafas
Upaya napas merefleksikan usaha anak mengatasi
gangguan oksigenasi dan ventilasi. Karakteristik hal yang
dinilai adalah :
• Suara napas yang tidak normal

• Posisi tubuh yang khas

• Retraksi

• Cuping hidung

Karakteristik Hal yang dinilai


Suara napas yang Mengorok,parau,stridor,merintih,menangis
tidak

normal
Posisi tubuh yang khas Seniffing,tripoding,menolak berbaring,head

bobbing
Retraksi Supraklavikula,intercosta, supternal
Cuping hidung Napas cuping hidung

c. Sirkulasi kulit

Sirkulasi kulit mencerminkan kecukupan curah


jantung dan perfusi ke organ vital:

• Pucat

• Mottling

• Sianosis
karakteristik Hal yang dapat dinilai
Pucat Kulit atau mukosa tampak
kurang merah karena

kurangnya aliran darah kedarah

21
tersebut

Mottling Kulit berbecak kebiruan akibat


vasokontriksi
Sianosis Kulit dan mukosa tampak biru

Metode ‘’ABCDE’’

Teknik ini dilakukan dengan pemeriksaan fisik pada anak.


Komponen pemeriksaan:
1. Airway (jalan nafas)

Sekalipun dengan teknik 'PAT' telah diketahui adanya


obstruksi jalan napas, namun derajat obstruksi perlu lebih
terinci, antara lain untuk tindakan resusitasi. Menilai jalan napas
(airway) pada anak dengan kesadaran menurun dilakukan
dengan teknik look, listen, feel' yaitu membuka jalan napas
dengan posisi sniffing, lalu melihat pengembangan dada sambil
mendengar suara napas dan merasakan udara yang keluar dari
hidung/mulut (gambar 2).
Penilaian jalan napas diekspresikan sebagai:

• Jalan napas bebas

• Jalan napas masih dapat dipertahankan

• Jalan napas harus dipertahankan dengan intubasi

• Obstruksi total jalan napas


2. Breathing (kinerja napas)

Kinerja napas dinilai dengan menghitung frekuensi


napas, menilai upaya napas dan penampilan anak. Sesuai
tingkat tumbuh kembang anak, frekuensi normal berbeda-
beda dengan perubahan usia (tabel 4). Frekuensi napas juga
dipengaruhi oleh berbagai keadaan. Pernapasan yang cepat
dapat terjadi pada demam, nyeri, ketakutan / kecemasan, atau
22
emosi yang meningkat. Pernapasan yang lambat dapat terjadi
pada anak yang kelelahan akibat gawat napas yang tidak
segera ditolong. Karena itu dalam menilai upaya napas perlu
diperhatikan nilai ekstrim. Frekuensi napas di atas 60
kali/menit untuk semua usia, apalagi disertai retraksi dan
kesadaran menurun sangat mungkin menandakan gagal
napas. Freksuensi napas kurang dari 20 kali/menit untuk anak
di bawah 6 tahun dan 15 kali/menit untuk anak kurang dari 15
tahun juga harus mendapat perhatian khusus.

Usia Rentang Normal Rata-rata Normal

(x/mnt) (x/mnt)
Bayi baru lahir 30-50 40
1 tahun 20-40 30
3 tahun 20-30 25
6 tahun 16-22 19
14 tahun 14-20 17
Dewasa 12-20 18

Penilaian upaya napas dilakukan dengan melihat, mendengar, juga


menggunakan stetoskop dan alat pulse-oxymetry bila ada. Interpretasi suara
napas abnormal dapat dilihat dalam table

Suara Penyebab Contoh Diagnosis


Stridor Obstruksi jalan Croup, benda asing,
napas
abses restrofarings
atas
Meningitis Obstruksi jalan Asthma, benda asing,
napas
bronkiotisis
bawah

23
Merintih Oksigenasi tidak Kontusi paru, pneumonia,
(grunting) pada adekuat tenggelam,
ekspirasi IRDS
Ronkhi basah pada Cairan lender Pneumonia, kontusi paru
inspirasi atau darah dalam
jalan
napas
Suara napas tidak ada Obstruksi jalan Benda asing asthma berat,
dengan upaya napas napas total pneumotoraks, hemotoraks,
yang meningkat Gangguan Efusi
transmisi suara pleura,pneumonia
Pulseoxymetry merupakan alat sederhana untuk menilai
kinerja napas. Pembacaan di atas saturasi 94% secara kasar dapat
menunjukkan kecukupan oksigenasi. Pembacaan di bawah 90%
pada anak dengan oksigen 100% dapat menunjukkan bahwa anak
memerlukan ventilator. Interpretasi pulseoxymetry harus dilakukan
bersama dengan penilaian upaya napas, frekuensi napas dan
penampilan anak. Anak dengan gangguan napas kadang-kadang
masih dapat mempertahankan kadar oksigen darah dengan work of
breathing yang meningkat. Sementara anak dengan kelainan
jantung bawaan biru dapat menunjukkan saaturasi yang rendah
tanpa distress napas.
3. Circulation (sirkulasi)
Penilaian sirkulasi dilakukan dengan menghitung denyut
jantung, perfusi organ dan tekanan darah. Denyut jantung normal
sesuai usia dapat dilihat dalam tabel 6. Takikardi dapat merupakan
tanda awal hipoksia atau perfusi yang buruk. Namun dapat juga
terjadi pada demam, nyeri, ketakutan, dn emosi yang meningkat.
Bradikardi dapat memerikan indikasi hipoksia atau iskemia.

Perfusi organ dapat dinilai dengan menilai denyut nadi


perifer, capillary refill time dan tingkat kesadaran. Produksi urine
juga merupakan indikator yang baik, namun biasanya kurang

24
diperhatikan orang tua. Perhatikan kualitas nadi. Bila nadi brakial
kuat, biasanya anak tidak mengalami hipotensi. Bila denyut nadi
perifer tidak teraba, cobalah meraba di femoral atau karotis. Tidak
adanya denyut nadi sentral merupakan indikasi untuk segera
dilakukan tindakan pijat jantung. Capillary refill time normal
kurang dari 2-3 detik. Namun demikian capillary refill time
dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan, misalnya suhu udara
yang dingin.

Usia Frekuensi Denyut Nadi Per Menit


Bayi (0-1 tahun) 120-160
Toddler (1-4 tahun) 90-140
Prasekolah (5-<6 tahun) 80-110
Usia Sekolah (6-<18 tahun) 75-100
Remaja (10-18 tahun) 60-90
Dewasa (>18 tahun) 60-100
Tekanan darah dipengaruhi ukuran manset. Lebar manset yang
benar adalah dua pertiga panjang lengan atas. Pemeriksaan
tekanan darah membutuhkan kooperasi anak. Tekanan darah
tinggi pada anak yang tidak berkooperasi baik mungkin dapat
menyesatkan. Namun tekanan darah rendah menandakan syok.
Formula tekanan darah sistolik terendah:

Tekanan sistolik minimal 70+2 x umur ( dalam tahun )


4. Disability (status neurologik)
Evaluasi neurologik meliputi fungsi korteks dan batang
otak. Fungsi korteks dinilai dengan skala 'AVPU' (tabel 7). Anak
dengan penurunan skala AVPU pasti disertai kelainan penampilan
pada skala PAT. Anak dengan sakit atau cedera sedang dapat
mengalami gangguan penampilan pada skala PAT, namun
mempunyai skala AVPU pada tingkat A (A= Alert).

25
Kategori Rangsang Tipe respon Reaksi
‘ Alert ‘ Lingkungan Sesuai Interaksi normal untuk

normal tingkat usia


‘ Verbal ‘ Perintah • Sesuai • Bereaksi
sederhana atau terhadap nama
• Tidak
rangsang suara
sesuai • Tidak

spesifik/bingung
‘ Pain ‘ Nyeri • Sesuai • Menghindar
rangsang
• Tidak
mengeluarkan
sesuai
suara tanpa
• Patologis
tujuan atau dapat
melokasi- sasi
nyeri
• posture
‘Unresponsive’ Tak ada respon yang dapat dilihat terhadap semua rangsang

Kala lain yang banyak digunakan untuk menilai fungsi


korteks adalah skala koma Glasgow. Penggunaan skala koma
Glasgow untuk pasien gawat di lapangan seringkali di anggap tidak
praktis dan kontroversial.
Untuk mengevaluasi fungsi batang otak dilakukan
pemeriksaan pola napas sentral, postur tubuh
(dekortikasi/deserebrasi/flacid), pupil dan reaksinya terhadap
cahaya serta evaluasi syaraf kranial lain. Refleks pupil dapat
menjadi tidak normal akibat hipoksia, obat-obatan, kejang atau
herniasi batang otak.
Penilaian lebih lanjut dilakukan atas gerakan motorik.
Perhatikan gerakan- gerakan asimetrik, kejang, posture atau
flasiditas. Pemeriksaan neurologis lebih lengkap dilakukan pada

26
tahap pemeriksaan tambahan.

5. Exposure (paparan)

a. Untuk melengkapi perlu juga dinilai hal lain yang dapat


langsung terlihat, contoh: ruam akibat morbili, hematoma
akibat trauma, dan sebagainya. Ketika melakukan
pemeriksaan jagalah agar anak (terutama bayi) tidak
kedinginan.
b. Memutuskan untuk tindakan selanjutnya
Setelah melengkapi tahap 'PAT' dan 'ABCDE', sekaligus
resusitasi bila dibutuhkan, petugas medis harus
memutuskan tindakan selanjutnya yang meliputi:

• Meneruskan resusitasi
• Melakukan pemeriksaan / pemantauan lebih lanjut
• Merujuk
Proses ini amat tergantung pada kemampuan
petugas, fasilitas yang ada dan sistim penanggulangan
kegawatan medis setempat. Bila fasilitas terbatas, lebih
baik untuk cepat melakukan rujukan untuk anak berisiko,
antara lain:
• Cedera berat
• Riwayat penyakit berat (contoh: serangan asma yang
berat yang tidak memberikan respon adekuat terhadap
pengobatan)
• Kelainan fisiologi yang terdekteksi pada pengamatan
awal
• Kelainan anatomis yang dapat memberikan akibat fatal
• Nyeri hebat
2. Pengkajian sekunder
Berikut ini merupakan pengkajian kegawatdaruratan pada
pediatric :

27
a. Identitas
Meliputi nama, usia, jenis kelamin, agama, alamat, tanggal
masuk rumah sakit, no. RM, serta diagnose medis.
b. Keluhan utama, meliputi keluhan yang sedang dialami
pasien
3. Pengkajian primer

Pada pengkajian primer membahas mengenai proses


evaluasi awal yang sistematis untuk mengidentifikasi dan
memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam
kehidupan pada pasien yang mengalami kondisi gawat darurat,
yang meliputi Airway maintenance dengan cervical spine
protection, Breathing dan oxygenation, Circulation dan kontrol
perdarahan eksternal, Disability-pemeriksaan neurologis
singkat dan Exposure dengan kontrol lingkungan.

Setiap langkah dalam melakukan pengkajian primer


harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah
berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah
sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat
melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan
anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway,
circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari
mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka
(American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu
terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal
manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah
penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian
intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui
pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).

Berikut ini merupakan algoritme pengkajian primer


menurut Advanced Trauma Life Support:
• Airway maintenance with C-spine protection

28
(mempertahankan jalan napas sambil melindungi tulang
servikal
• Breathing and ventilation (pernapasan dan ventilasi)
• Circulation with hemorrage control (sirkulasi dan
pengendalian perdarahan)
a. Jalan napas
Nilai dan bebaskan jalan napas sambil melakukan imobilisasi
tulang servikal jika diperlukan
1) Gunakan metode jaw thrust tanpa head tilt jika dicurigai
terdapat cedera tulang servikal
2) Siapkan alat pengisap setiap saat
3) Tentukan perlu-tidaknya pemasangan jalannapas definitif
(intubasi)
4) Indikasi pemasangan intubasi:
• Tidak mampu mempertahankan jalan napas
• Memerlukan ventilasi tekanan positif
• Luka bakar pada jalan napas atau cedera inhalasi
• Cedera kepala berat GCS <8
• Trauma maksilofasial mayor
b. Pernapasan
Cari penyebab gagal napas :
• Hipoventilasi akibat cedera otak
• Pneumothoraks atau tension pneumothoraks
• Hematotoraks
• Dada gail (fail chest)
• Kontusio paru
• Kebanyakan cedera otak dapat di diagnosis melalui
anamnesis, pemeriksaan, dan rontgen toraks
• Pneumotoraks terbuka
c. Sirkulasi
Cari tanda syok, tentukan penyebab, dan laksanakan terapi :

29
• Nilai adanya perdarahan, cari perdarahan aktif luar
dan dalam (terjadi pada cedera organ dalam yang
padat)
• Pasagang akses pembuluh darah dengan dua akses IV
berdiameter besar dan lakukan resusitasi volume
• Cari adanya ketidakstabilan hemodinamik, yang dapat
tetap ada eskipun sudah dilakukan resusitasi volume;
perimbangkan adanya perdarahan yang tidak terlihat
serta syok spinal.
• Cegah atau segera atasi penyebb potensial cedera otak
sekunder,seperti hipovolemia, hipetensi, dan hipoksia
d. Disabilitas
Lakukan penilaian neurologik secara cepat
untuk mengetahui kondisi yang memerlukan
intervensi segera:
1. Terapkan skala respons AVPU:
• Alert-awas
• Verbal - responsi terhadap rangsangan verbal
• Painful responsiif terhadap rangsangan nyeri
• Unresponse
• Pikirkan indikasi
2. Tentukan skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale,
GCS)
3. Periksalah pupil lihat adakah perbedaan ukuran, diatasi,
atau respons yang ambat terhadap cahaya.

e. Pemeriksaan daerah yang tertutup pakaian dan pengendalian


lingkungan luar

a. Lepas semua baju, cari adanya cedera, ukur suhu inti


tubuh, dan pertahankan lingungan dalam suhuh netral.
b. Cegah dan atasi
hipotermia yang

30
signifikan.
Resusitasi awal:
1. Bebaskan dan pertahankn jalan napas
2. Tangani masalah pernapasan/toraks akut
3. Pasang dua akses IV berkaliber besar
4. Jika perfusi sistemik tidak adekuat, ganti volume
secara cepat
5. Jika frekuensi denyut jantung, tingkat kesadaran,
pengisisan kapiler kembali, dan tanda perfusi
sistemik lainnya tidak membaik, segera beri bolus
kedua NS atau RL 20 ml/kg
6. Jika perfusi sistemik tidak berespins terhadap
pemberian kristaloid 60ml/kg, pertimbangakan
transusi PRBC 10-15 ml/kg

4. Pengkajian tambahan

Membahas mengenai proses anamnesis riwayat


kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu, riwayat
kesehatan keluarga dan pemeriksaan fisik head to toe untuk
menilai perubahan bentuk, luka dan cedera yang dialami
pasien dewasa.

D. Asuhan Keperawatan kegawatdaruratan kejang demam pada anak


1. Pengkajian
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien dengan kejang demam menurut
Greenberg (1980 : 122 – 128), Paula Krisanty (2008 : 223) :
1) Riwayat Kesehatan :
a. Saat terjadinya demam : keluhan sakit kepala, sering menangis,
muntah atau diare, nyeri batuk, sulit mengeluarkan dahak, sulit
makan, tidak tidur nyenyak. Tanyakan intake atau output cairan,
suhu tubuh meningkat, obat yang dikonsumsi
b. Adanya riwayat kejang demam pada pasien dan keluarga

31
c. Adanya riwayat infeksi seperti saluran pernafasan atis, OMA,
pneumonia, gastroenteriks, Faringiks, brontrope, umoria,
morbilivarisela dan campak.
d. Adanya riwayat trauma kepala

2) Pengkajian Fisik
Pada kasus kejang demam yang biasanya dikaji adalah :
a. A : Airway ( jalan nafas )
Karena pada kasus kejang demam Inpuls-inpuls
radang dihantarkan ke hipotalamus yang merupakan pusat
pengatur suhu tubuh Hipotalamus menginterpretasikan
impuls menjadi demam Demam yang terlalu tinggi
merangsang kerja syaraf jaringan otak secara berlebihan ,
sehingga jaringan otak tidak dapat lagi mengkoordinasi
persyarafan-persyarafan pada anggota gerak tubuh. wajah
yang membiru, lengan dan kakinya tesentak-sentak tak
terkendali selama beberapa waktu. Gejala ini hanya
berlangsung beberapa detik, tetapi akibat yang
ditimbulkannya dapat membahayakan keselamatan anak
balita. Akibat langsung yang timbul apabila terjadi kejang
demam adalah gerakan mulut dan lidah tidak terkontrol. Lidah
dapat seketika tergigit, dan atau berbalik arah lalu menyumbat
saluran pernapasan.
Tindakan yang dilakukan :
• Semua pakaian ketat dibuka
• Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi
isi lambung
• Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin
kebutuhan oksigen
• Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan
diberikan oksigen. Evaluasi :
• Inefektifan jalan nafas tidak terjadi

32
• Jalan nafas bersih dari sumbatan
• RR dalam batas normal
• Suara nafas vesikuler

b. B : Breathing (pola nafas)


karena pada kejang yang berlangsung lama misalnya lebih 15
menit biasanya disertai apnea, Na meningkat, kebutuhan O2
dan energi meningkat untuk kontraksi otot skeletal yang
akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya
asidosis.
Tindakan yang dilakukan :
• Mengatasi kejang secepat mungkin
• Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih
dalam keadaan kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih
terdapat kejang diulangi suntikan kedua dengan dosis yang
sama juga secara intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2
masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis yang sama
tetapi melalui intramuskuler, diharapkan kejang akan berhenti.
Bila belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau
paraldehid 4 % secara intravena.
• Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan
oksigen
Evaluasi :
• RR dalam batas normal
• Tidak terjadi asfiksia
• Tidak terjadi hipoxia

c. C : Circulation
Karena gangguan peredaran darah mengakibatkan
hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan
timbul edema otak yang mngakibatkan kerusakan sel
neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang

33
berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian hari
sehingga terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu
kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan
kelainan anatomis diotak hingga terjadi epilepsi.
Tindakan yang dilakukan :

▪ Mengatasi kejang secepat mungkin

▪ Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih


dalam keadaan kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih
terdapat kejang diulangi suntikan kedua dengan dosis yang
sama juga secara intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2
masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis yang
sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan kejang akan
berhenti. Bila belum juga berhenti dapat diberikan
fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah :
• Semua pakaian ketat dibuka
• Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi
lambung
• Usahakan agar jalan napas bebasuntuk menjamin
kebutuhan oksigen
• Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan
diberikan oksigen
Evaluasi :
• Tidak terjadi gangguan peredaran darah
• Tidak terjadi hipoxia
• Tidak terjadi kejang
• RR dalam batas normal

Selain ABC, yang biasa dikaji antara lain :

a. Tanda-tanda vital

b. Status hidrasi

34
c. Aktivitas yang masih dapat dilakukan

d. Adanya peningkatan : suhu tubuh, nadi, dan pernafasan, kulit


teraba hangat

e. Ditemukan adanya anoreksia, mual, muntah dan penurunan


berat badan

f. Adanya kelemahan dan keletihan

g. Adanya kejang

h. Pada pemeriksaan laboratorium darah ditemukan adanya


peningkatan kalium, jumlah cairan cerebrospiral meningkat
dan berwarna kuning

3) Riwayat Psikososial atau Perkembangan


a. Tingkat perkembangan anak terganggu

b. Adanya kekerasan penggunaan obat – obatan seperti obat


penurun panas

c. Akibat hospitalisasi

d. Penerimaan klien dan keluarga terhadap penyakit

e. Hubungan dengan teman sebaya

4) Pengetahuan Keluarga
b. Tingkatkan pengetahuan keluarga yang kurang

c. Keluarga kurang mengetahui tanda dan gejala kejang demam

d. Ketidakmampuan keluarga dalam mengontrol suhu tubuh

e. Keterbatasan menerima keadaan penyakitnya

5) Pemeriksaan Penunjang (yang dilakukan) :


a. Fungsi lumbal
b. Laboratorium : pemeriksaan darah rutin, kultur urin dan kultur
darah
c. Bila perlu : CT-scan dan EEG

35
2. Diagnosa
a. Kejang deman b.d hipetermi
b. Resiko kejang berulang b.d peningkatan suhu tubuh
c. Resiko cedera b.d kurangnya kesadaran, gerakan tonik atau klonik
d. Kurangnya pengetahuan keluarga b.d keterbatasan informasi

36
3. Intervensi Keperawatan

NO DX KEP TUJUAN INTERVENSI KEP RASIONAL


1. Kejang demam Setelah di berikan asuhan Observasi - pemantaun ttv yang
b.d hipetermi keperawatan selama 3x24 ─ Identifikas penyebab teratur dapat
jam diharapkan : hipertermia (mis. menentukan
─ Mengigil menurun Dehidrasi,terpapar perkembangan
─ Kulit merah menurun lingkungan keperawatan selanjutnya
─ Kejang menurun panas,penggunaan - Suhu tubuh dipengaruhi
─ Takikardia menurun incubator). oleh tingkat aktivitas dan
─ Takipnea menurun ─ Monitor suhu tubuh suhu lingkungan saat
─ Suhu tubuh membaik ─ Monitor pengeluaran demam kebutuhan cairan
─ Suhu kulit membaik urin meningkat
Terapeutik
─ Sediakan linkungan
yang dingin.
─ Longgarkan atau
lepaskan pakaian.

37
─ Berikan cairan oral.
─ Basahi dan kipasi
permukaan tubuh.
─ Lakukan pendinginan
─ eksternal (Selimut
hipotermia atau Tepid
sponge atau kompres
hangat pada dahi, leher,
dada,abdomen,aksilla.
Edukasi
─ Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
- Kolaborasikan
pemberian cairan dan
elektrolit intravena, jika
perlu

38
2. Resiko kejang Setelah dilakukan tindakan - Longgarkan pakaian, - Proses konveksi akan
berulang b.d keperawatan, klien tidak berikan pakaian yang terhalang oleh pakaian
peningkatan mengalami kejang selama tipis yang mudah yang ketat dan tidak
suhu tubuh berhubungan dengan menyerap keringat. menyerap keringat
hipertermi. - Berikan kompres air - Perpindahan suhu secara
Kriteria hasil: hangat konduksi.
- Tidak terjadi serangan - Berikan ekstra cairan - Saat demam kebutuhan
kejang ulan sesuai indikasi. cairan tubuh meningkat.
- TTV dalam batas - Observasi kejang dan - Pemantauan yang teratur
normal. tanda vital tiap 4 jam. menentukan tindakan
- Batasi aktivitas selama yang akan di lakukan
anak panas
3. Risiko cedera Setelah dilakukan tindakan - Kaji sifat dan - untuk mengetahui
b.d kurangnya keperawatan tidak terjadi penyebab timbulnya faktor-faktor resiko
kesadaran, cedera atau komplikasi kejang kejang
gerakan tonik Kriteria hasil : - Pasang side rail tempat - klien terbebas dari cedera
atau klonik - Terbebas dari tidur - klien dapat tidur dengan
cedera - Sediakan tempat tidur nyaman agar klien aman
- Tidak ada yang nyaman dan dan terjaga

39
perlukaan, kesadaran bersih
composmentis - Anjurka keluarga
- Klien mampu untuk menemani
menjelaskan pasien
cara/metode untuk
mencegah
injury/cedera
4. Kurangnya Setelah dilakukan keperawatan - Kaji tingkat - Mengetahui sejauh mana
pengetahuan 4x24 jam dapat teratasi dengan pengetahuan keluarga pengetahuan yang
keluarga ktiteria hasil: - Beri penjelasan kepada dimiliki keluarga dan
berhubungan - keluarga tidak sering keluarga sebab dan kebenaran informasi yang
dengan bertanya tentang penyakit akibat demam kejang didapat
keterbatasan anaknya - Jelaskan setiap - Penjelasan tentang
informasi - keluarga mampu ikut serta tindakan yang akan kondisi yang dialami
dalam proses keperawatan dilakukan dapat membantu
- keluarga dapat menaati - Berikan health menambah wawasan
setiap proses keperawatan education tentang cara keluarga
menolong anak kejang - Agar keluarga
dan mencegah kejang mengetahui tujuan setiap

40
demam tindakan perawatan yang
- Berikan health dilakukan
education agar selalu
sedia obat penurun
panas dirumah

41
4. Implementasi
Implementasi adalah tahap ke empat dari proses
keperawatan . tahap ini muncul jika perencanaan yang dibuat di
aplikasikan pada klien. Tindakan yang dilakukan mungkin sama
mungkin juga berbeda dengan urutan yang telah di buat pada
perencanaan. Implementasi keperawatan membutuhkan
fleksibelitas dan kreatifits perawat. Sebelum melakukan suatu
tindakan, perawat harus mengetahui tindakan keperawatan yang
dilakukan sesuai dengan tindakan yang sudah direncanakan,
dilakukan dengan rencana yang tepat,aman,serta sesuai dengan
kondisi pasien (Ode Debora, 2013).

5. Evaluasi
Merupakan fase akhir dari proses keperawatan adalah
evaluasi terhadap asuhan keperawatan yang diberikan (Gaffar, 1997).
Evaluasi asuhan keperawatan adalah tahap akhir proses keperawatan
yang bertujuan untuk menilai hasil akhir dari keseluruhan tindakan
keperawatan yang dilakukan.
Hasil akhir yang diinginkan dari perawatan pasien Kejang
Demam meliputi pola pernafasan kembali efektif, suhu tubuh
kembali normal, anak menunjukkan rasa nymannya secara verbal
maupun non verbal, kebutuhan cairan terpenuhi seimbang, tidak
terjadi injury selama dan sesudah kejang dan pengatahuan orang tua
bertambah.
Evaluasi ini bersifat formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan
secara terus menerus untuk menilai hasil tindakan yang dilakukan
disebut juga evaluasi tujuan jangka pendek. Dapat pula bersifat
sumatif yaitu evaluasi yang dilakukan sekaligus pada akhir dari semua
tindakan yang pencapaian tujuan jangka panjang.
Komponen tahapan evaluasi :

42
a. Pencapaian kriteria hasi
b. Pencapaian dengan target tunggal merupakan meteran untuk
pengukuran. Bila kriteria hasil telah dicapai, kata “ Sudah
Teratasi “ dan datanya ditulis di rencana asuhan keperawatan.
Jika kriteria hasil belum tercapai, perawat mengkaji kembali
klien dan merevisi rencana asuhan keperawatan.
c. Keefektifan tahap – tahap proses keperawatan
d. Faktor – faktor yang mempengaruhi pencapaian kriteria hasil
dapat terjadi di seluruh proses keperawatan.
e. Kesenjangan informasi yang terjadi dalam pengkajian tahap
satu.
f. Diagnosa keperawatan yang salah diidentifikasi pada tahap
dua
g. Instruksi perawatan tidak selaras dengan kriteria hasil pada
tahap tiga
h. Kegagalan mengimplementasikan rencana asuhan
keperawatan tahap empat.
i. Kegagalan mengevaluasi kemajuan klien pada tahap ke lima.

E. Prinsip Dasar Penanganan Gawat Darurat


Dalam menangani kasus gawatdarurat, penentuan masalah
utama(diagnosis) dan tindakan pertolongannya harus dilakukan dengan
cepat, tepat,dan tenang (tidak panik), walaupun suasana keluarga pasien
ataupunpengantarnya mungkin dalam kepanikan. Semuanya dilakukan
dengancepat,cermat, dan terarah.Walaupun prosedur pemeriksaan dan
pertolongandilakukan dengan cepat, prinsip komunikasi dan hubungan
antara petugaskesehatan pasien dalam menerima dan menanganipasien
harus tetap diperhatikan.

1. Menghormati pasien
a. Setiap pasien harus di perlakukan dengan rasa hormat, tanpa
memandang status sosial dan ekonominya.
b. Dalam hal ini petugas juga harus memahami dan peka bahwa
dalam situasi dan kondisi gawatdarurat perasaan cemas,

43
ketakutan, dan keprihatinan adalah wajar bagi setiap manusia
dan keluarga yang mengalaminya. Kelembutan
c. Dalam melakukan penegakan diagnosis, setiap langkah harus
dilakukan dengan penuh kelembutan.
d. Dalam hal ini, termasuk dalam menjelaskan kepada pasien
bahwa rasa sakit atau kurang enak tidak dapat di hindari sewaktu
melakukan pemeriksaan atau memberikan pengobatan, tetapi
prosedur itu akan dilakukan selembut mungkin sehingga
perasaan kurang enak itu di upayakan sedikit mungkin.
2. Komunikatif
a. Petugas kesehatan harus memiliki keterampilan dalam
berkomunikasi, tentunya dalam bahasa dan kalimat yang mudah
di mengerti, mudah di pahami, dan memperhatikan nilai norma
kebudayaan setempat.
b. Dalam melakukan pemeriksaan petugas kesehatan harus
menjelaskan kepada pasien yang di periksa apa yang sedang
dilakukan dan apa yang di harapkan.
c. Apabila hasil pemeriksaan normal atau kondisi pasien sudah
stabil, upaya memastikan hal itu harus dilakukan
d. Menjelaskan kondisi yang sebenarnya pada pasien sangatlah
penting
3. Hak Pasien
a. Hak-hak pasien harus di hormati, seperti penjelasan dalam
pemberian form persetujuan tindakan (inform consent)
b. Hak pasien tersebut dapat berupa hak untuk menolak
pengobatan yang di berikan dan kerahasiaan status medik
pasien.
4. Dukungan Keluarga
a. Dukungan keluarga menjadi sangat penting bagi pasien.
b. Oleh karena itu, petugas kesehatan harus mengupayakan hal itu
antara lain dengan senantiasa memberikan penjelasan kepada
keluarga pasien tentang kondisi ter akhir pasien, peka akan

44
masalah keluarga yang berkaitan dengan keterbatasan
keuangan (finansial), keterbatasan transportasi, dan sebagainya.
c. Dalam kondisi tertentu, prinsip-prinsip tersebut dapat di
nomorduakan, misalnya apabila pasien dalam keadaan syok dan
petugas kesehatan kebetulan hanya sendirian, maka tidak
mungkin untuk meminta inform consent ke pada keluarga
pasiem
d. Prosedur untuk menyelamatkan jiwa pasien (live-saving) harus
dilakukan walaupun keluarga pasien belum di beri informasi

F. Prinsip umum penanganan gawat darurat


Resusitasi jantung paru pada bayi dan anak

RJP terdiri dari Bantuan Hidup Dasar (tanpa/ alat yang terbatas) dan
Bantuan Hidup Lanjut (dengan alat dan obat resusitasi).

Bantuan Hidup Dasar

Yakinkan bahwa penolong dan korban telah berada pada tempat yang aman,
dipindahkan hanya jika tempat tersebut membahayakan korban.

1. Periksa Kesadaran
Panggil korban dengan suara keras dan jelas atau panggil nama korban,
lihat apakah korban bergerak atau memberikan respons. jika tidak
bergerak berikan stimulasi dengan menggerakkan bahu korban. Pada
korban yang sadar, dia akan menjawab dan bergerak. Selanjutnya
cepat lakukan pemeriksaan untuk mencari kemungkinan cedera dan
pengobatan yang diperlukan, namun jika tidak ada respons, artinya
korban tidak sadar, maka segera panggil bantuan (aktifkan Emergency
Medical Services).
2. Posisi Korban
Pada penderita yang tidak sadar Tempatkan korban pada tempat yang datar
dan keras dengan posisi terlentang, pada tanah, lantai atau meja yang
keras. Jika harus membalikkan posisi, maka lakukan seminimal
mungkin gerakan pada leher dan kepala (posisi stabil miring).

45
3. Evaluasi jalan napas
Pada penderita yang tidak sadar sering terjadi obstruksi
akibat lidah jatuh ke belakang. Oleh karena itu penolong
harus segera membebaskan jalan napas dengan beberapa
teknik berikut:
─ Bila korban tidak sadar dan tidak dicurigai adanya
trauma, buka jalan napas dengan teknik Head Tilt–
Chin lift Maneuver akan tetapi jangan menekan
jaringan lunak dibawah dagu karena akan
menyebabkan sumbatan.
▪ Caranya adalah satu tangan diletakkan pada
bagian dahi untuk menengadahkan kepala, dan
secara simultan jari-jari tangan lainnya
diletakkan pada tulang dagu sehingga jalan
napas terbuka.
─ Korban yang dicurigai mengalami trauma leher
gunakan teknik Jaw- Thrust Maneuver untuk
membuka jalan napas, yaitu dengan cara meletakkan
2 atau 3 jari di bawah angulus mandibula kemudian
angkat dan arahkan keluar, jika terdapat dua
penolong maka yang satu harus melakukan imobilisasi
tulang servikal.
Mengeluarkan benda asing

Obstruksi karena aspirasi benda asing dapat menyebabkan


sumbatan ringan atau berat, jika sumbatannya ringan maka korban masih
dapat bersuara dan batuk, sedangkan jika sumbatannya sangat berat maka
korban tidak dapat bersuara ataupun batuk. Jika terdapat sumbatan
karena benda asing maka pada bayi <1 tahun dapat dilakukan teknik 5
kali back blows (back slaps) di interskapula, namun jika tidak berhasil
dengan teknik tersebut dapat dilakukan teknik 5 kali chest thrust di
sternum, 1 jari di bawah garis imajiner intermamae (seperti melakukan

46
kompresi jantung luar untuk bayi usia <1 tahun). Pada anak > 1 tahun
yang masih sadar dapat dilakukan teknik Heimlich maneuver yaitu korban di
depan penolong kemudian lakukan hentakan sebanyak 5 kali dengan
menggunakan 2 kepalan tangan di antara prosesus xifoideus dan umbilikus
hingga benda yang menyumbat dapat dikeluarkan, sedangkan pada anak
yang tidak sadar dilakukan teknik Abdominal thrusts dengan posisi korban
terlentang lakukan 5 kali hentakan dengan menggunakan 2 tangan di tempat
seperti melakukan teknik Heimlich maneuver . Kemudian buka mulut
korban, lakukan cross finger maneuver untuk melihat adanya obstruksi dan
finger sweeps maneuver untuk mengeluarkan benda asing yang tampak
pada mulut korban, namun jangan melakukan teknik tersebut pada anak yang
sadar karena dapat merangsang “gag reflex” dan menyebabkan muntah

Chest thrust

CROSS FINGER SWEEPING

4. Periksa napas
Jika obstruksi telah dikeluarkan maka periksa apakah korban bernapas
atau tidak, lakukan dalam waktu < 10 detik, dengan cara :
• Lihat gerakan dinding dada dan perut (look)
• Dengarkan suara napas pada hidung dan mulut korban (listen)

47
• Rasakan hembusan udara pada pipi (Feel)

Heimlich maneveur

5. Berikan Bantuan Napas


Lakukan 5 kali bantuan napas untuk mendapatkan 2 kali
napas efektif. Hal itu dapat dilihat dengan adanya pengembangan dinding
dada. Bila dada tidak mengembang reposisi kepala korban agar jalan
napas dalam keadaan terbuka. Teknik bantuan napas pada bayi dan anak
berbeda, hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan bag valve mask
ventilation atau tanpa alat yaitu: pada bayi dilakukan teknik: mouth-to-mouth-
and-nose, sedangkan pada anak menggunakan teknik mouth-to-mouth.

Look-Listen-Feel dengan manuver Abdominal thrush


Head-Tilt Chin-Lift

6. Periksa Nadi
Selanjutnya periksa nadi, pada bayi pemeriksaan dilakukan pada arteri

48
brakhialis sedangkan pada anak dapat dilakukan pada arteri karotis
ataupun femoralis. Pemeriksaan nadi ini ≤ 10 detik. Jika nadi >60
kali/menit namun tidak ada napas spontan atau napas tidak efektif,
maka lakukan pemberian napas sebanyak 12-20 kali napas/menit,
sekali napas buatan 3-5 detik hingga korban bernapas dengan spontan,
napas yang efektif akan tampak dada korban akan mengembang.

Ventilasi tekanan positif

7. Kompresi jantung luar


Jika nadi < 60 kali/menit dan tidak ada napas atau napas tidak
adekuat, maka lakukan kompresi jantung luar. Pada bayi dan anak
terdapat perbedaan teknik yaitu pada bayi dapat dilakukan teknik
kompresi di sternum dengan dua jari (two-finger chest compression
technique) Satu jari di bawah garis imajiner intermamae atau two
thumb-encircling hands technique yang direkomendasikan jika
didapatkan dua penolong.
Pada anak kompresi jantung luar dilakukan dengan teknik
kompresi pada setengah bagian bawah sternum dengan satu atau
kedua telapak tangan tapi tidak menekan prosesus xypoid ataupun sela
iga. Kompresi dilakukan harus dengan baik yaitu:

49
• “Pushhard”: Kedalaman kompresiberkisar 1/3 - 1/2 diameter
anteroposterior dada
• “Push fast”: Kecepatan kompresi 100 kali/menit
• ”Release completely”: Lepaskan tekanan hingga dada dapat
mengembang penuh
• Minimalisasi interupsi pada saat melakukan kompresi dada

Resusitasi jantung paru pada anak yang dilakukan oleh satu


penolong dilakukan 5 siklus selama 2 menit, setiap siklusnya terdiri
dari 30 kali kompresi jantung luar dan 2 kali bantuan napas, sedangkan
jika terdapat dua penolong maka kompresi jantung luar dilakukan 15
kali dan 2 kali bantuan napas. Kemudian evaluasi tindakan setelah dua
menit atau 5 siklus resusitasi jantung paru, Nilai kembali kondisi korban.
Evaluasi nadi, jika nadi tidak ada atau < 60 x/menit, maka resusitasi
jantung paru dilanjutkan. Jika nadi > 60 x/menit, evaluasi napas, jika
napas tidak ada atau tidak adekuat lakukan napas buatan lanjutan sebanyak
12-20 x/ menit. Selain itu evaluasi juga kesadaran, warna kulit, dan
pupil. Lakukan resusitasi jantung paru tersebut hingga bantuan hidup lanjut
diberikan.

Rjp pada bayi

50
Rjp pada anak

Pada bulan November tahun 2010, AHA mempublikasikan petunjuk


terbaru mengenai resusitasi dan kegawatan kardiovaskular dalam American
Heart Association (AHA) guidelines 2010. Bantuan hidup dasar merupakan
tindakan yang dilakukan dengan asumsi saat kejadian hanya terdapat satu
penolong. Kesulitan yang biasa didapatkan adalah keterlambatan dalam
melakukan resusitasi jantung paru dikarenakan terlalu lama dalam menilai
kesadaran dan pernapasan penderita. Oleh karena itu langkah BHD
mengalami perubahan sebagai berikut: ketika melihat korban megap-megap
atau tampak tidak bernapas, lakukan evaluasi nadi. Bila nadi tidak teraba
atau < 60 x/menit, lakukan resusitasi jantung paru selama 5 siklus atau 2
menit. Namun demikian evaluasi setelah melakukan RJP sama seperti AHA,
2005.

Untuk mencapai keberhasilan tindakan resusitasi tersebut


diperlukan hal-hal di bawah ini:

1. Kompresi dada harus segera dilakukan oleh satu penolong, sementara


penolong kedua menyiapkan peralatan untuk ventilasi. Ventilasi
sangat penting untuk pasien anak- anak karena pada anak-anak mudah
terjadi henti napas, tetapi untuk memberikan ventilasi memerlukan
waktu untuk menyiapkan alat, sehingga kompresi dada harus segera
dilakukan tanpa menunggu pemberian ventilasi.
2. Efektivitas Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang baik, yaitu: jumlah
kompresi dada yang mencukupi (paling sedikit 100x/m), kedalaman

51
kompresi yang adekuat ≥ 1/3 diameter Anteroposterior dada atau
sekitar 4 cm pada bayi dan 5 cm pada anak, memberikan recoil
komplit dada setelah kompresi, interupsi minimal saat kompresi dan
menghindari pemberian ventilasi berlebihan.
3. Saat satu penolong melakukan kompresi dada dan penolong kedua
melakukan ventilasi, penolong yang lain menyiapkan
monitor/defibrillator, mencari akses perifer dan menyiapkan obat-
obatan.
4. Perbaikan sirkulasi setelah tindakan resusitasi dapat dipantau
menggunakan Tekanan end-tidal CO2 (PETCO2). Alat ini juga dapat
digunakan untuk mengevaluasi kualitas kompresi dada.

G. Fungsi advokasi dan komunikasi dalam kegawatdaruratan pediatri


1. Komunikasi efektif-Advokasi
a. Jelas ( clear )
b. Benar ( correct )
c. Konkret ( concrete )
d. Lengkap ( complete )
e. Ringkas ( concise )
f. Meyakinkan ( Convince )
g. Konstekstual ( contexual )
h. Berani ( courage )
i. Hati –hati ( coutious )
j. Sopan ( courteous )
2. Advokasi dalam Praktek Keperawatan
Melindungi klien atau masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan
keselamatan praktik tidak sah yang tidak kompeten dan melanggar
etika yang dilakukan oleh siapa pun.
3. Sebagai advokat klien
Penghubung antara klien dengan tim kesehatan lain alam upaya
pemenuhan kebutuhan klien, membela kepentingan klien dan
membantu klien memahami semua informasi dan upaya kesehatan

52
yang diberikan oleh tim kesehatan dengan pendekatan tradisional
maupun professional.
4. Sebagai advokat klien
a. Perawat bertindak sebagai nara sumber dan fasilitator dalam
tahap pengambilan keputusan terhadap upaya kesehatan yang
harus dijalani
b. Mempertahankan dan melindungi hak-hak klien, klien.
5. Tanggung jawab perawat advokat
a. Sebagai pendukung pasien dalam proses pembuatan
keputusanSebagai mediator (penghubung) antara pasien dan
orang- orang disekeliling pasien
b. Sebagai orang yang bertindak atas nama pasien
6. Sikap perawat dalam advokasi
a. Bersikap asertifMengakui bahwa hak-hak dan kepentingan pasien
dan keluarga lebih utama
b. Sadar bahwa konflik dapat terjadi sehingga membutuhkan
c. konsultasi, konfrontasi atau negosiasi
d. Dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain
e. Tahu bahwa peran advokat membutuhkan tindakan yang
f. politis

53
H. Evidance Based Pratcitice Dalam Kegawatdaruratan Pediatrik
PENATALAKSANAAN KEJANG DEMAM MELALUI KOMPRES HANGAT
NO TOPIK PENELITI TAHUN METODE POPULASI HASIL KESIMPULAN
/SAMPLE
1. Efektifitas Dwi Gina 2023 Quasi Sampel dalam Hasil diketahui Responden berusia 1-2
Penurunan Suhu Vita 1 , Indah Experiment penelitian ini anak menunjukkan Ada tahun yaitu 15 orang
Tubuh Subfebris Purnama Sari al (Pre Post dengan kejang efektifitas penurunan (65,2%). Jenis kelamin
Pada Anak Kejang 2 , Yulianti Test demam di Ruang suhu tubuh subfebris responden pada
Demam Dengan Wulandari 3 Design) Rawat Inap pada anak kejang umumnya berjenis
Menggunakan Gardenia RSUD demam dengan kelamin laki-laki yaitu
Kompres Hangat M.Sani yang menggunakan kompres 18 orang (78,39%). Berat
Di Ruang Rawat berjumlah 23 hangat Di Ruang Rawat badan responden
Inap Gardenia orang Inap Gardenia RSUD sebagian besar 10-15 kg
RSUD M.Sani M.Sani dengan nilai p- yaitu 16 orang (69,6%).
value 0,00. Penelitian 2. Penurunan suhu tubuh
ini disarankan untuk responden sebelum
perawat rumah sakit diberikan kompres
untuk tetap hangat rata-rata suhu
melaksanakan kegiatan tubuh 37,00C. Suhu

54
kompres hangat untuk tubuh tinggi dikarenakan
membantu menurunkan pelepasan muatan listrik
demam pada balita sehingga dapat meluas
dengan kejang demam ke seluruh sel maupun ke
dan dijadikan membran sel sekitarnya
penatalaksanaan dengan bantuan
keperawatan yang “neutransmitter 3.
wajib di Rumah Sakit Penurunan suhu tubuh
dalam menagani anak responden sesudah
demam. diiberikan kompres
hangat rata-rata suhu
tubuh 36,5. Pemberian
kompres hangat dapat
menurunkan suhu tubuh
pada anak yang
mengalami kejang
demam

55
2. Penerapan Nova Ari 2020 Desain 2 orang pasien setelah dilakukan Pemberian kompres
Kompres Hangat Pangesti 1 , penelitian anak dan pemberian kompres hangat merupakan
Dalam Bayu Seto ini adalah keluarganya yang hangat pada partisipan tindakan yang efektif
Menurunkan Rindi Atmojo deskriptif, mengalami kejang 1 dan partisipan 2 untuk menurunkan suhu
Hipertermia Pada 2 Kiki A dalam demam selama 3 hari pada partisipan yang
Anak Yang bentuk studi menunjukkan bahwa mengalami hipertermi.
Mengalami Kejang kasus suhu partisipan 1
Demam Sederhana menurun dari 38.5°C
menjadi dari 36.3°C
dan partisipan 2 juga
menurun dari 38.2°C
menjadi 37.0°C.
3. Pengaruh Mun Aminal, 2019 Quasy 20 Responden Ada pengaruh Berdasarkan hasil Uji
Pemberian Nurul eksperiment efektivitas rata – rata paired t-test dapat
Kompres Hangat Kodiyah dengan pre dan post pemberian disimpulkan bahwa ada
Pada Anak Umur rancangan kompres hangat pengaruh pemberian
1-5 Tahun Yang penelitian terhadap penurunan kompres hangat terhadap
Mengalami Kejang pre test and suhu pada anak umur 1- penurunan suhu tubuh
Demam post test 5 tahun yang pada pasien kejang

56
Di Rs Permata mengalami kejang Demam di RS Permata
Bundapurwodadi demam dengan nilai t Bunda Purwodadi.
hitung (2.013) ≥ t tabel Dilihat dari nilai rata –
(2.101) dengan rata (mean) kompres air
demikian ada hangat 0.88.
perbedaan efektivitas
yang bermakna
pemberian kompres
hangat dengan p –value
(0,000)<(0,05)
4. Penerapan Tepid Sri Hartati 2023 Studi kasus 2 pasien yang setelah dilakukan penerapan tepid sponge
Sponge Sebagai , Eni Folendra mengalami kejang pemberian Tepid dapat mencegah
Upaya Pencegahan Rosa, demam di Ruang Sponge pada klien 1 berulangnya kejang
Kejadian Kejang Kamesyworo Anak RSUD dan klien 2 selama 3 demam pada anak.
Demam pada Lahat pada 26 Mei hari menunjukkan Manajemen kejang
Balita yang sampai dengan 29 bahwa suhu partisipan dengan penerapan tepid
Mengalami Juni 2023. 1 menurun dari 38.5°C sponge dapat dijadikan
Hipertermi menjadi dari 36.3°C sebagai bagian
dan partisipan 2 juga

57
menurun dari 38.2°C asuhan keperawatan
menjadi 37.0°C. pada anak hipertermi
5. Penerapan Nopianti, 2023 Deskriptif An. A berusia 2 Implementasi pada Implementasi
Kompres Hangat Septi Viantri analitik tahun jenis pasien An. A yang keperawatan pada pasien
Untuk Kurdaningsih, dengan kelamin Laki-laki mengalami An. A yang mengalami
Menurunkan Widya pendekatan dengan masalah Hipertermia dilakukan kejang demam dilakukan
Hipertemia Pada Arisandy studi kasus Kejang demam dengan penerapan selama 3 hari dan telah
Anak Yang yang kompres hangat selama diterapkan oleh peneliti
Mengalami Kejang berhubungan 3 hari, pada hari 1 dari yaitu melaksanakan
Demam dengan 39,3°C menjadi 39,3°C asuhan keperawatan
Hipertermia. pada hari ke 2 38,5°C pada pasien An.A dan
menjadi 37,6°C dan berfokus pada tindakan
hari ke 3 37°C menjadi Penerapan kompres
36,9°C evaluasi hangat. Hasil evaluasi
sebelum dilakukan didapatkan 1 masalah
kompres hangat 39,3°C teratasi sebagian. Pada
setelah dilakukan evaluasi secara
kompres hangat operasional, maka dapat
disimpulkan bahwa

58
menurun menjadi semua masalah
36,9°C kejang keperawatan belum bisa
menurun. dicapai sesuai tujuan dan
respon pasien
dikarenakan banyaknya
rencana kolaborasi
seperti obat-obatan yang
belum bisa dilakukan
selama proses
perawatan.

59
LITERATUR REVIEW
A. Kejang Demam
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering terjadi
pada anak, 1 dari 25 anak akan mengalami satu kali kejang demam. Hal ini
dikarenakan, anak yang masih berusia dibawah 5 tahun sangat rentan terhadap
berbagai penyakit disebabkan sistem kekebalan tubuh belum terbangun secara
sempurna apabila anak sering kejang, akan semakin banyak sel otak yang rusak dan
mempunyai Risiko menyebabkan perkembangan, retardasi mental, kelumpuhan
dan juga 2-10% dapat berkembang menjadi epilepsi (Windawati & alfiyanti, 2020).

Kejang Demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu diatas 38°C,
dengan metode pengukuran suhu apapun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial tanpa adanya gangguan elektrolit atau metabolik lainnya dan riwayat
kejang tanpa demam sebelumnya.

Demam adalah salah satu faktor risiko utama penyebab kejang demam.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering terjadi pada
anak, 1 dari 25 anak akan mengalami satu kali kejang demam. Hal ini dikarenakan,
anak yang masih berusia dibawah 5 tahun sangat rentan terhadap berbagai penyakit
disebabkan sistem kekebalan tubuh belum terbangun secara sempurna (Windawati
and Alfiyanti, 2020).

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa hasil studi yang


dilakukan pada 400 anak usia 1 bulan –13 tahun dengan riwayat kejang, paling
banyak anak menderita kejang demam 77%. Di Indonesia dilaporkan pada tahun
2012 –2013 angka kejadian kejang demam 3-4% dari anak yang berusia 6 bulan –
5 tahun (Wibisono,2015).
Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki dari pada anak
perempuan dengan perbandingan 1,6-1%, dikarenakan pada perempuan maturasi
serebral lebih cepat dibanding pada laki-laki (Rosa, 2020). World Health
Organisation (WHO) menyatakan lebih dari 21,65 juta jiwa anak di dunia
mengalami kejang demam sementara 216 ribu anak meninggal dunia (Solikah dan
Waluyo, 2020).

60
Kejang demam banyak terjadi ketika anak berusia 3 bulan sampai kurang
lebih usia 5 tahun. Adapun faktor-faktor yang berhubungan dalam risiko kejang
demam diantaranya, demam, usia, riwayat prenatal (usia saat hamil anak tersebut),
dan riwayat perinatal (asfiksia, usia kehamilan, dan bayi dengan berat lahir yang
rendah/ BBLR) (Wijayahadi, 2019). Faktor utama pemicu kejang demam adalah
kerena demam itu sendiri. Demam yang terinfeksi oleh apa saja dapat memicu
timbulnya kejang demam (Fauziyah, 2019).
Kejang demam dibagi menjadi dua yaitu kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks. Anak-anak yang mengalami kejang demam sederhana
tidak memiliki peningkatan resiko kematian. Pada kejang demam kompleks yang
terjadi sebelum usia 1 tahun, atau dipicu oleh kenaikan suhu < 39ºC dikaitkan
dengan angka kematian 2 kali lipat selama 2 tahun pertama setelah terjadinya
kejang (Wulandari & Erawati, 2016).
Menurut Riyadi, (2013) kondisi yang menyebabkan kejang demam
antara lain: infeksi yang mengenai jaringan ektrakranial seperti tonsilitis, ototis
media akut, bronkitis. Adapun menurut IDAI, (2013) penyebab terjadinya
kejang demam, antara lain: obat obatan, ketidakseimbangan kimiawi seperti
hiperkalemia, hipoglikemia dan asidosis, demam, patologis otak, eklampsia
(ibu yang mengalami hipertensi prenatal toksimea gravidarum). Sejalan
menurut Airlangga Universty Press (AUP), (2015) dimana kejang demam (febris
convulsion/stuip/step) yaitu kejang yang timbul pada waktu demam yang tidak
disebabkan oleh proses di dalam kepala (otak: seperti meningitis atau radang
selaput otak, ensifilitis atau radang otak) tetapi diluar kepala misalnya karena
ada nya infeksi di saluran pernapasan, telinga atau infeksi di saluran
pencernaan. Biasanya dialami anak usia 6 bulan sampai 5 tahun.
B. Penatalaksanaan Kejang Demam Dengan Kompres Hangat
Penanganan demam supaya tidak menimbulkan kejang bisa dilakukan
dengan cara non farmakologis yang sangatlah mudah dan sudah familiar, bisa
dilakukan untuk mengatasi demam salah satunya adalah memberikan kompres
hangat (Aryanti. dkk, 2018). Kompres merupakan salah satu cara yang efektif untuk
menurunkan suhu tubuh anak saat anak demam. Dalam buku ajar praktikum
keperawatan dasar Diploma Tiga Fakultas Ilmu Kesehatan Unissula (2018)

61
menjelaskan ada beberapa jenis kompres yang bisa digunakan untuk
menurunkan suhu diantarnya kompres hangat dan kompres dingin. Sedangkan
dalam pembagiannya ada dua macam jenis kompres hangat yaitu kompres basah
dan kompres kering.
Kompres hangat adalah tindakan dengan menggunakan kain atau handuk
yang telah dicelupkan pada air hangat, yang ditempelkan pada bagian tubuh tertentu
sehingga dapat memberikan rasa nyaman dan menurunkan suhu tubuh
(Masruroh,Hartini, & Astuti, 2017).
Menurut Kozier dalam Suprapti (2018) mengatakan bahwa panas
mempunyai efek yang berbeda dalam tubuh, efek tersebut juga tergantung dari
lamanya pemberian panas. Pemberian panas 15 – 20 menit memiliki efek
vasodilatasi pembuluh darah sehingga terjadi peningkatan aliran darah.
Peningkatan aliran darah akan menurunkan viskositas darah dan metabolisme lokal
karena aliran darah membawa oksigen ke jaringan. Kompres hangat dengan cairan
atau alat yang menimbulkan suhu hangat yang bertujuan untuk memperlancar
sirkulasi darah. Pemberian kompres hangat ada anak dalam menangani demam
dapat dilakukan yaitu di daerah frontal, axilla, leher dan lipatan di paha karena area-
area tersebut akan menginterprestasikan suhu diluaran sangat panas, akhirnya tubuh
akan menurunkan kontrol pengatur suhu ke otak supaya tidak meningkatkan
suhu pengatur tubuh (Potter dan Perry, 2018).
Kompres air hangat dapat menurunkan suhu tubuh melalui proses evaporasi,
dengan kompres air hangat menyebabkan suhu tubuh di luar akan hangat
sehingga tubuh akan menginterpretasikan bahwa suhu di luar cukup panas,
akhirnya tubuh akan menurunkan kontrol pengatur suhu di otak supaya tidak
meningkatkan suhu pengatur tubuh. Suhu di luar hangat akan membuat pembuluh
darah tepi di kulit melebar dan mengalami vasodilatasi sehingga pori-pori kulit
akan membuka dan mempermudah pengeluaran panas sehingga akan terjadi
penurunan suhu tubuh (Dewi, 2019).
Pada anak yang panas perawat sering melakukan kegiatan untuk
penurunan panas tersebut salah satunya dengan kompres (Sri P, dkk,2008). Sri
dan Winarsih (2008) yang melaporkan penelitian Swardana, dkk (1998)
menyatakan bahwa menggunakan air dapat memelihara suhu tubuh sesuai

62
dengan fluktuasi suhu tubuh pasien. Kompres hangat dapat menurunkan suhu
tubuh melalui proses evaporasi. Hasil penelitiaannya Swardana, dkk (1998) yang
berjudul pengaruh kompres hangat terhadap perubahan suhu tubuh
menunjukkan adanya perbedaan efektifitas kompres dingin dan kompres
hangat dalam menurunkan suhu tubuh.

63
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ilmu Pediatric Critical Care telah mengalami kemajuan drastis
dalam beberapa dekade terakhir, khususnya Pediatric Intensive Care. Pada
tahun 1993, Committee on Hospital Care and Pediatric Section of the
Society of Critical Care Medicine menerbitkan pedoman yang membagi
Pediatric Intensive Care Unit (PICU) menjadi level I dan II. Pedoman ini
juga mencakup ruang lingkup dan pelayanan pediatric critical care, struktur
organisasi, fasilitas rumah sakit, staf medis, obat-obatan dan peralatan,
pemantauan, pelatihan dan pembelajaran berkelanjutan.
Pengkajian keperawatan merupakan tahap awal proses keperawatan
dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari
berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan klien. Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi
dua, yaitu: pengkajian primer dan pengkajian sekunder.
Pada pengkajian primer membahas mengenai proses evaluasi awal
yang sistematis untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera
masalah yang mengancam kehidupan pada pasien yang mengalami kondisi
gawat darurat, yang meliputi airway maintenance dengan cervical spine
protection, breathing dan oxygenation, circulation dan kontrol perdarahan
eksternal, disability-pemeriksaan neurologis singkat dan exposure dengan
kontrol lingkungan.
Pengkajian sekunder membahas mengenai proses anamnesis riwayat
kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu, riwayat kesehatan keluarga
dan pemeriksaan fisik head to toe untuk menilai perubahan bentuk, luka dan
cedera yang dialami pasien anak.

A. Saran
Terkait ilmu kegawat daruratan dalam pediatrik , khususnya kita
sebagai calon tenaga kesehatan harus lebih waspada dan awwernes dalam
mengkaji kegawatdaruratan pada neonatus-anak. Dengan kata lain

64
pertolongan yang bisa kita lakukan , maka lakukan lah dengan prinsip
yang seharusnya baik di pre ataupun in hospital.

65
DAFTAR PUSTAKA

Debora, Oda.2017.Proses Keperawatan danPemeriksaan Fisik Edisi 2. Jakarta:


Salemba Medika
https://id.scribd.com/document/387523260/25-30-Asuhan-Keperawatan-
Kegawatdaruratan- Pediatri-doc
Amelia, trisyani, siwi. 2018.keperawatan gawat darurat dan bencana sheehy edisi
1.singapore: elsevier

Aminah, M., & Kodiyah, N. (2019). PENGARUH PEMBERIAN KOMPRES


HANGAT PADA ANAK UMUR 1-5 TAHUN YANG
MENGALAMI KEJANG DEMAM DI RS PERMATA
BUNDAPURWODADI. THE SHINE CAHAYA DUNIA
KEBIDANAN, 4(1).

Antonius, Latief, Budiwardhana.2011.Buku ajar Pediatri Gawat Darurat.Badan


Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Nopianti, N., Kurdaningsih, S. V., & Arisandy, W. (2023). PENERAPAN KOMPRES HANGAT
UNTUK MENURUNKAN HIPERTEMIA PADA ANAK YANG
MENGALAMI KEJANG DEMAM. Babul Ilmi Jurnal Ilmiah Multi Science
Kesehatan, 15(2). Pangesti, N. A., & Atmojo, B. S. R. (2020). Penerapan Kompres
Hangat Dalam Menurunkan Hipertermia Pada Anak Yang Mengalami Kejang
Demam Sederhana. Nursing Science Journal (NSJ), 1(1), 29-35.

Rosa, E. F., Hartati, S., & Kamesyworo, K. (2023). Penerapan Tepid Sponge Sebagai Upaya
Pencegahan Kejadian Kejang Demam pada Balita yang Mengalami
Hipertermi. NURSING UPDATE: Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan P-ISSN:
2085-5931 e-ISSN: 2623-2871, 14(4), 29-35.

Vita, D. G., Sari, I. P., & Wulandari, Y. (2023). Efektifitas Penurunan Suhu Tubuh Subfebris Pada
Anak Kejang Demam Dengan Menggunakan Kompres Hangat Di Ruang Rawat
Inap Gardenia RSUD M. Sani. Jurnal Medika Husada, 3(2), 50-66.

Anda mungkin juga menyukai