Anda di halaman 1dari 9

Jurnal Hikmah: Jurnal Pendidikan Islam E-ISSN 2450-5611

Vol. 10 No 2 Juli – Desember 2021 P-ISSN 2085-8663

KAJIAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIF IBNU SINA DAN FILSAFAT


PENDIDIKAN ISLAM

Agus Salim
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Syekh Abdul Halim Hasan Al-Ishlahiyah Binjai
Email: agusasahan40@gmail.com

ABSTRAK

Kajian tentang manusia sampai saat ini masih penting untuk dibahas. Berbagai disiplin ilmu
pengetahuan terus meneliti tentang manusia dan kehidupannya. Keunikan manusia terlihat
dari penyebutannya dalam Alquran yang bervariatif, yaitu insan, basyar, dan Bani Adam.
Manusia memiliki unsur jasad dan ruh. Unsur manusia ini telah dikaji secara proporsional dan
professional Ibnu Sina dalam bidang kedokteran dan filsafat. Menurutnya bahwa manusia
memiliki jiwa tiga tingkatan, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan (an-nafs an-Nabatiyah), jiwa
binatang (an-nafs al-Hayawaniyah), dan jiwa manusia (an-Nafs an-Nathiqah). Jiwa manusia
dengan dua daya, yaitu daya praktis dan daya teoritis. Daya praktis berhubungan dengan
badan dan daya teoritis berhubungan dengan hal-hal abstrak. Daya teoritis memiliki
tingkatan-tingkatan. Pertama, al’Aqlul Hayawani, yang memiliki potensi untuk berpikir dan
belum dilatih walaupun sedikit. Kedua, al-‘Aqlul bil Malakah, yaitu yang telah mulai dilatih
untuk berfikir tentang hal-hal abstrak . Ketiga, al-‘Aqlul bil Fi’li, yang telah dapat berpikir
tentang hal-hal abstrak. Keempat, al-‘Aqlul Mustafad, akal yang telah sanggup berpikir
tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya. Dalam kajian filsafat pendidikan
Islam, ketika ruh berkaitan dengan intelektual dan pemahaman maka ia disebut dengan intelek
atau 'aql. Ketika ruh mengatur tubuh maka ia disebut dengan jiwa (nafs). Ketika sedang
mengalami pencerahan maka disebut dengan hati (qalb). Dengan demikian ruh memiliki
peran sangat penting untuk menentukan dan mengarahkan manusia untuk memilih dan
menampilkan suatu perilaku atau tindakan. Dengan demikian jiwa merupakan satu kesatuan
yang terdapat dalam tubuh manusia yang memiliki fungsi dan kecenderungan yang beda.
Kecenderungan tersebut bisa mengarah kepada hal-hal baik juga sebaliknya kepada hal-hal
negatif.

Kata kunci: filsafat pendidikan Islam, manusia, Ibnu Sina

ABSTRACT

The study of humans is still important to discuss. Various disciplines of science continue to
research humans and their lives. The uniqueness of humans can be seen from its various
names in The Qur'an, namely insan, basyar, and Bani Adam. Humans have bodies and souls.
These elements have been studied proportionally and professionally by Ibn Sina in the fields
of medicine and philosophy. According to Ibn Sina, human has three soul stages, namely
plant soul (an-nafs an-Nabatiyah), animal soul (an-nafs al-Hayawaniyah), and human soul
(an-Nafs an-Nathiqah). The human soul has two intellects, namely practical intellect and
theoretical intellect. Practical intellect deals with bodies and theoretical intellect deal with
abstract things. Theoretical intellect has several stages. First, al’Aqlul Hayawani, shows
potential for thinking and has not been trained even a little. Second, al-‘Aqlul bil Malakah, at
this stage, someone starts for thinking about abstract things. Third, al-‘Aqlul bil Fi’li, at this
stage, someone masters to think about abstract things. Fourth, al-‘Aqlul Mustafad, mind or
intellect has been able to think about abstract things without having to work hard. In the study
Agus Salim- Kajian Manusia dalam perspektif Ibnu Sina dan Filsafat Pendidikan Islam Page 1
Jurnal Hikmah: Jurnal Pendidikan Islam E-ISSN 2450-5611
Vol. 10 No 2 Juli – Desember 2021 P-ISSN 2085-8663

of Islamic education philosophy, when the soul is related to the intellectual, it is called the
intellect or 'aql. When the soul governs the body it is called the soul (nafs). When
experiencing enlightenment it is called the heart (qalb). Thus the soul has a very important
role in determining and directing humans to choose and display behavior or action. Thus the
soul is a unity contained in the human body that has different functions and tendencies. This
tendency can lead to good things and vice versa to negative things.

Keywords: Islamic education philosophy, human, Ibnu Sina

A. PENDAHULUAN
Keberadaan manusia menjadi misteri bagi manusia itu sendiri. Ilmu pengetahuan yang
diperoleh manusia mencoba mengungkap dan mengkaji manusia dari berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Mulai dari psikologi, neorologi, sosiologi, sejarah, pendidikan, kesehatan,
hukum, ekonomi dan politik berpacu meneliti manusia. Semakin kencang pacuan penelitian
dilakukan semakin dahaga manusia tentang informasi yang diperolehnya. Menurut Mahfud
Junaedi, di dalam sejarah umat manusia, setelah kemampuan dan kemakmuran meningkat
tinggi maka tampillah manusia-manusia unggul merenung dan memikir, menganalisis,
membahas dan mengupas berbagai problema dan persoalan hidup dan kehidupan, sosial dan
kemasyarakatan, alam semesta dan jagat raya, serta memikirkan alam gaib, alam di balik
dunia yang nyata ini, alam metafisika. Dan manusia pun membangun pemikiran yang
kemudian disebut filsafat.1
Para penggiat atau pelaku filsafat yang disebut filosof berasal dari Barat dan Muslim.
Tindakan perenungan terhadap diri dan alam semesta yang dilakukan filosof telah didahului
filosof Yunani. Lalu pemikiran-pemikiran mereka diterjemahkan dan diadopsi ilmuan
Muslim. Berawal dari sinilah munculnya para filosof Muslim yang bukan hanya dikenal dunia
Islam juga diakui dunia Barat walaupun kegiatan dan tokoh filsafat diawali dari dunia luar
Islam. Dari zaman ke zaman para ahli dengan berbagai latar belakang intelektualitas dan
disiplin ilmu serta aliran filsafat dengan karakternya masing-masing melakukan penelitian dan
pengkajian tentang manusia.2 Manusia sungguh-sungguh adalah suatu makhluk yang
bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya sendiri dan dunia seluruhnya karena binatang
tidak memiliki kemampuan untuk melakukan demikian dan itulah salah satu alasan mengapa

1
Mahfud Junaedi, Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam, (Depok: Kencana, cet. I, 2017), hlm. 2.
2
Ahmad Nur Alam Bakhtiar, Manusia dalam Perspektif dalam Pendidikan Alquran (Yogyakarta: PT Nas
Media Indonesia, cet. Pertama, 2021), hlm. 2.
Agus Salim- Kajian Manusia dalam perspektif Ibnu Sina dan Filsafat Pendidikan Islam Page 2
Jurnal Hikmah: Jurnal Pendidikan Islam E-ISSN 2450-5611
Vol. 10 No 2 Juli – Desember 2021 P-ISSN 2085-8663

manusia memiliki kedudukan tinggi di atas binatang.3 Ketinggian kedudukan manusia tidak
terlepas keaktifan manusia menggunakan akal untuk berpikir tentang sekitar dirinya.
Kemampuan ini merupakan anugerah terbesar yang Allah swt. berikan kepada manusia.
Sebelum ada ditempatkan di bumi, Allah swt. menyampaikan keberadaan makhluk yang
akan menjadi khalifah kepada malaikat. Wajar malaikat mempertanyakan keberadaan
manusia sebelum diciptakan. Karena mereka belum mengetahui potensi yang bisa dan
dimiliki manusia:

                  

           
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya
aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (Qs. Al-Baqarah: 30)

Malaikat menduga bahwa khalifah ini akan merusak dan menumpahkan darah. Dugaan
itu mungkin berdasarkan pengalaman mereka melihat makhluk sebelum terciptanya manusia
berperilaku demikian atau bisa juga berdasarkan asumsi karena yang ditugaskan menjadi
khalifah bukan malaikat pasti makhluk itu akan berbeda dengan mereka yang selalu bertasbih
menyucikan Allah swt.4 Lalu kesangsian para malaikat terjawab dengan cara Allah swt.
mengajarkan kepada nabi Adam as. berbagai asma’ sebagaimana lanjutan ayat di atas:

               
Artinya: Dan Dia mengajarkan kepada Adam as. nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, “Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang
benar!” (QS. Al-Baqarah: 31)

Pengajaran yang diberikan Allah swt. kepada Adam as. adalah informasi yang bersifat
wahyu. Kebenaran dan pengetahuan yang langsung tanpa dipelajari dapat dimiliki manusia
pilihan, nabi dan rasul. Pengajaran-pengajaran yang dimiliki Adam as. lalu dikemukakan
kepada para malaikat dan menjadi bertambah ketakutan dan ketaatan mereka kepada Allah
swt. karena kekaguman mereka kepada Nabi Adam as.
3
P.A. Van der Weij, Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens dari Grote Filosofen Over de
mens, (Jakarta: PT Gramedia pustaka Utama, 2017), hlm. 9.
4
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 1, (Ciputat:
Lentera Hati, cet. II, 2009), hlm. 171-172.
Agus Salim- Kajian Manusia dalam perspektif Ibnu Sina dan Filsafat Pendidikan Islam Page 3
Jurnal Hikmah: Jurnal Pendidikan Islam E-ISSN 2450-5611
Vol. 10 No 2 Juli – Desember 2021 P-ISSN 2085-8663

Banyak informasi yang berasal dari wahyu telah menceritakan keberadaan manusia
bahkan menceritakan keberadaan manusia pertama, Nabi Adam as. Manusia terus menggali
informasi yang disampaikan kitab suci. Mereka menggunakan akal pikiran dengan maksimal
untuk memperoleh utuh tentang manusia. Untuk itu, makalah ini akan mengkaji manusia dari
sudut pandang filosof Muslim, Ibnu Sina. Untuk itu, dalam penelitian ini menguraikan secara
sederhana tentang teori manusia, pandangan Ibnu Sina tentang manusia dan implimentasi
dalam kajian Filsafat Pendidikan Islam.

B. METODOLOGI PENULISAN
Adapun penulisan jurnal ini menggunakan metodologi penelitian kajian pustaka atau
biasa disebut dengan library research. Data yang diperoleh dari berbagai referensi (buku)
dikumpulkan lalu dianalisis (content analisyst).

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Profil Ibnu Sina
Abu Ali Husein Ibn Abdillah Ibn Sina lahir pada tahun 980 M di Afsyana, daerah
dekat Bukhara. Orang tuanya berkedudukan sebagai pegawai tinggi pada pemerintahan
Dinasti Samani. Menurut muridnya yang bernama Jurjani, semenjak kecil Ibnu Sina telah
banyak mempelajari ilmu pengetahuan yang ada di zamannya, mulai dari fisika,
matematika, kedokteran, hukum dan lain-lain.5 Ibnu Sina lahir dekat Bukhara dalam
keluarga yang berhaluan Shi’a. Namanya logat Ibrani menjadi Aven Sina lalu diucapkan
menjadi Avicena.6
Pada usia 10 tahun Ibnu Sina sudah membaca seluruh sastra tradisional dan sudah
hafal Alquran. Ia belajar ilmu kedokteran dan menjadi tabib yang masyhur pada usia 16
tahun bahkan sampai mengobati sultan Bukhara. Ia juga mempelajarai filsafat dengan
membaca kita Metafisik karya Aristoteteles sebanyak 40 kali. Ketika membaca tafsir Al-
Farabi baru ia bisa memahami kitab Aristoteles.7 Setelah ayahnya meninggal ia pindah
ke Juzjan, suatu kota dekat laut Kaspia. Di sanalah ia mulai menulis ensiklopedia tentang
ilmu kedokteran yang kemudian terkenal dengan nama al-Qanun fi al-Thibb (The
Canon).

5
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 5.
6
JWM. Bakker, SY., Sejarah Filsafat dalam Islam, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, cet. Pertama, 1978),
hlm. 44.
7
Ibid.
Agus Salim- Kajian Manusia dalam perspektif Ibnu Sina dan Filsafat Pendidikan Islam Page 4
Jurnal Hikmah: Jurnal Pendidikan Islam E-ISSN 2450-5611
Vol. 10 No 2 Juli – Desember 2021 P-ISSN 2085-8663

Kemudian ia pindah ke Ray, suatu kota di sebelah selatan Teheran dan bekerja untuk
Ratu Sayyedah dan anaknya Majd al-Dawla. Lalu sultan Syams al-Dawlah yang berkuasa
di Hamdan (di bahagian Barat dari Iran) mengangkat Ibnu Sina menjadi menterinya.
Kemudian sekali ia pindah ke Ishfahan dan meninggal pada tahun 1037 M.8 Sejak kecil
bakat dan potensi telah terlihat dari dirinya. Di usia yang masih belia Ibnu Sina telah
mempelajari berbagai disiplin ilmu pengetahuan bahkan telah mengkhatamkan kitab suci
Alquran dan di usia 16 tahun telah menjadi tabib atau dokter yang terkenal.
Berkat ketekunan dan kecerdasan yang dimilikinya total karya ilmiah Ibnu Sina
berjumlah 267 yang meliputi berbagai cabang ilmu pengetahuan. Mulai dari fisika,
matematika, logika, metafisik, kedokteran dan lain-lain. Karya ilmiah ini ditulis dalam
bahasa Arab dan Iran. Terjemahan Latinnya dapat ditemukan di Syllabus Universitas
Eropa.9 Selain itu, terdapat karya-karya filsafat Ibnu Sina meliputi mahakarya
Peripatetiknya, Asy-Syifa’ (Penyembuhan), An-Najat (Pembebasan), ‘Uyun al-Hikmah
(Sumber-Sumber Kebijaksanaan) dan al-Isyarat wa at-Tanbihat (Petunjuk-petunjuk dan
Peringatan-peringatan).10
Ibnu Sina menulis banyak risalah tentang logika, psikologi, kosmologi, dan
metafisika. Juga ada karya-karya esoteric tentang filsafat timurnya, di antaranya adalah
Risalah fi al-‘Isyq (Risalah tentang Cinta), trilogy Hayy bin Yaqdzan (Hidup Putra
Kesadaran), Risalah ath-Thair (Risalah tentang Burung) dan Salaman wa Abshal (logika
Orang-orang Timur), yang merupakan bagian dari karya besar yang sekarang tidak
ditemukan lagi.11 Karya-karya di atas merupakan sebagian kecil dari banyaknya karya
yang telah ditulis semasa hidupnya. Dari banyaknya cabang ilmu pengetahuan yang ia
kuasai Ibnu Sina lebih dikenal dalam bidang kesehatan dan kajian tentang filsafatnya.
2. Konsep Manusia
Dalam Al-Quran manusia disebut menggunakan beberapa istilah dan banyak
dijumpai penyebutan manusia sesuai dengan peran yang dimainkannya. Jalaluddin
menuliskan kajian dan telaah keilmuan tentang manusia masih terganjal dengan
kemampuan rasio atau akal manusia. Konsep dan teori yang dihasilkan sudah cukup
banyak, namun belum satupun yang mengarah kepada pengakuan terhadap eksitensi
sebagai makhluk ciptaan. Melalui pendekatan filsafat pendekatan Islam meletakkan

8
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 34.
9
JWM. Bakker, SY., Sejarah., 45.
10
Seyyed Hossein Nasr, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam, pen. Ach. Maimun Syamsuddin dari Three
Muslim Sage: Avicema-Suhrawardi-Ibnu Arabi, (Yogyakarta: IRCiSod, cet. Pertama, 2020), hlm. 9.
11
Ibid.
Agus Salim- Kajian Manusia dalam perspektif Ibnu Sina dan Filsafat Pendidikan Islam Page 5
Jurnal Hikmah: Jurnal Pendidikan Islam E-ISSN 2450-5611
Vol. 10 No 2 Juli – Desember 2021 P-ISSN 2085-8663

posisi manusia sebagai makhluk ciptaan Allah swt.12 Akal dengan segala kelebihannya
ternyata memiliki keterbatasan untuk memperoleh pengetahuan dan hakikat sesuatu.
Untuk itu, akal tidak bisa berdiri sendiri, akal harus dibantu dengan informasi wahyu.
Sedangkan mengetahui keberadaan manusia melalui pendekatan wahyu maka juga harus
mengetahui istilah yang digunakan Alquran dalam menyebutkan manusia.
Untuk mengenal manusia dengan baik tidak cukup merujuk satu dua ayat.
Seharusnya merujuk semua ayat Alquran yang berbicara tentang masalah yang dibahas
dengan mempelajari konteksnya masing-masing dan mencari penguat-penguatnya baik
dari penjelasan Rasul maupun hakikat-hakikat ilmiah yang telah mapan.13 Setiap agama
wahyu mesti memuat informasi deskripsi tentang manusia sebagai ciptaan Tuhan. Filsafat
tentang manusia yang berorientasi pada agama dan ketuhanan digolongkan pada aliran
religious atau theosentrisme.14 Ada tiga kata yang digunakan Alquran tentang manusia,
yaitu:
a. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun, dan sin semacam insan, ins,
nas, atau unas.
b. Menggunakan kata basyar.
c. Menggunakan kata Bani Adam, dan zuriyat Adam.15
Kata basyar ditemukan sebanyak 36 kali dalam bentuk mufrad dan satu kali dalam
bentuk mutsanna. Kata ini menunjuk dari sudut lahiriah manusia serta persamaannya
dengan semua manusia.16 Kata insan berasal dari akar kata uns yang bermakna jinak,
harmonis dan tampak. Jika dilihat dari sudut pandang Alquran pendapat yang lebih tepat
kata insan berasal dari kata nasiya (lupa) atau nasa-yanusu yang bermakna berguncang.17
3. Manusia dalam Perspektif Ibnu Sina
Dalam sejarah agama dan kebudayaan Islam ada 5 abad (100-595 H/720-1198)
kegiatan filsafat yang menakjubkan. Dalam 5 kurun abad ini para ahli pikir Muslim
memikirkan kedudukan manusia dihadapan tuhan, alam semesta dan terhadap alam dunia
dengan bertitik tolak dari akal murni. Para pemikir Muslim mengkaji masalah zat dan
wujud hidup secara kritis dan sistematis.

12
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cet. 1, 2017), hlm. 74.
13
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: PT
Mizan Pustaka, ed. Kedua, 2013), hlm. 367.
14
Fuad Hassan, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1996), hlm. 114.
15
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: PT
Mizan Pustaka, ed. Kedua, 2013), hlm. 367.
16
Ibid., 367-368.
17
Ibid., 369.
Agus Salim- Kajian Manusia dalam perspektif Ibnu Sina dan Filsafat Pendidikan Islam Page 6
Jurnal Hikmah: Jurnal Pendidikan Islam E-ISSN 2450-5611
Vol. 10 No 2 Juli – Desember 2021 P-ISSN 2085-8663

Hasil pemikiran tersebut dikerjakan untuk menyusun sistem-sistem serasi yang dapat
dipertanggungjawabkan menurut akal budi. Kesimpulannya mereka memperoleh hikmah
serta menjadi hakim, tegasnya timbullah filsafat dan kaum sufi.18 Dalam kurun panjang
para filosof telah memikirkan dan mengkaji kedudukan manusia yaitu kedudukan dirinya
dihadapan Tuhan, alam semesta dan terhadap alam semesta. Semua hal ini bermula dari
akal pikiran yang digunakannya untuk memikiran hal tersebut.
Ibnu Sina membahas hal substansi dan organ penting yang dimiliki manusia, yaitu
akal. Menurutnya manusia memiliki 3 fungsi, yaitu: nabati, tujuannya adalah untuk
pertumbuhan dan pembiakan tubuh, haywani, yaitu untuk memperoleh tanggapan panca
indera dan untuk menggerakkan badan, dan aqli, fungsinya untuk pengetahuan. Jiwa
merupakan substansi lengkap yang secara aksidentil terikat pada tubuh yang sesuai
dengannya.19 Jadi akal itu bukan jisim (benda) dan bukan pula daya (tenaga) dalam tubuh.
Dalil yang menunjukkan bahwa manusia itu memiliki jiwa adalah manusia dapat
bergerak.20 Keberadaan manusia dikatakan hidup jika akal (ruh) dan jasad masih
menyatu. Ketika ruh sudah tidak menempati atau tidak bersama jasad maka manusia
dikatakan mati.
Menurut Harun Nasution, menurut sugesti yang ada dalam Alquran, manusia tidak
akan mengetahui hakikat ruh. Ruh adalah urusan Tuhan dan bukan urusan manusia.
Namun demikian para filosof Muslim membahas hal ini berdasarkan filsafat tentang yang
mereka jumpai dalam filsafat Yunani.21 Lebih eksplisit dijelaskan Harun, melalui ruhlah
manusia memperoleh pengetahuan dan melalui ruh lah manusia dapat hakikat wujud jika
ruh bersih dari segala dosa kematerian dan selalu berfikir tentang hakikat-hakikat
wujud.22 Sebagai Aristoteles, Ibnu Sina membagi jiwa 3 bagian, yaitu:
a. Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-nafs an-Nabatiyah)
b. Jiwa binatang (an-nafs al-Hayawaniyah)
c. Jiwa manusia (an-Nafs an-Nathiqah).
Jiwa manusia (an-Nafs an-Nathiqah), dengan dua daya yaitu: praktis, yang berkaitan
dengan badan dan teoritis, yang berkaitan dengan hal-hal abstrak. Daya ini memiliki
tingkatan:
a. Akal materi yang mempunyai potensi untuk berpikir dan belum walaupun sedikit.

18
JWM. Bakker, SY., Sejarah, hlm. 7.
19
Ibid., hlm. 50.
20
Muchtar Jahya, Pokok-Pokok Filsafat Yunani, (Jakarta: Widjaya, 1962), hlm. 75.
21
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 17.
22
Ibid., 17-18.
Agus Salim- Kajian Manusia dalam perspektif Ibnu Sina dan Filsafat Pendidikan Islam Page 7
Jurnal Hikmah: Jurnal Pendidikan Islam E-ISSN 2450-5611
Vol. 10 No 2 Juli – Desember 2021 P-ISSN 2085-8663

b. Inntellectus in habitu yang telah mulai dilatih berpikir tentang hal-hal abstrak
c. Akal aktuil yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
d. Akal mustafad yang telah sanggup berpikir tentang-tentang hal abstrak yang tak
memerlukan pada daya upaya. Akal yang telah terlatih sehingga hal-hal yang
abstrak selamanya ada dalam akal serupa ini. Akal serupa inilah yang sanggup
menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif (al-‘aql al-fa’al).23

Akal merupakan abstrak yang memiliki fungsi pertumbuhan dan perkembangan,


untuk tanggapan panca indera dan menggerakkan anggota tubuh dan untuk memperoleh
pengetahuan. Secara sederhana Al-Rasyidin menggambarkan ruh sebagai berikut, ketika
ruh berkaitan dengan intelektual dan pemahaman maka ia disebut dengan intelek atau
'aql. Ketika ruh mengatur tubuh maka ia disebut dengan jiwa (nafs). Ketika sedang
mengalami pencerahan maka disebut dengan hati (qalb); ketika ruh kembali ke dunianya
abstrak ia disebut ruh.
4. Implementasi dalam Pendidikan Islam
Dengan demikian implementasi akal dalam perspektif filsafat justru lebih luas/besar
dibandingkan dengan fungsi akal dalam perspektif yang lebih khusus, filsafat pendidikan
Islam. Dalam masyakat yang sedang berubah, di tengah kemajuan dan perkembangan
zaman di era globalisasi ini peran dan fungsi Filsafat Pendidikan Islam semakin penting,
karena filsafat ini menjadi landasan strategi dan kompas jalannya pendidikan Islam.24
Manusia merupakan unsur utama dalam filsafat pendidikan juga insan pendidik yang
menentukan dan memberikan pendidikan kepada anak didiknya. Selain itu, manusia
dengan segudang karunia yang dianugerahkan kepadanya mampu memecahkan persoalan
pendidikan. Hal ini menjadi bentuk alasan manusia bisa menjadi khalifah.

D. KESIMPULAN
Manusia merupakan makhluk mulia dan diciptakan Allah swt. dengan sebaik-baiknya.
Manusia merupakan makhluk yang terdiri dari akal (ruh) yang melekat di dalam tubuh.
Keberadaan menempati berbagai sisi dalam tubuh manusia yang memiliki peran sebagai ruh,
akal dan hati. Menurut Ibnu Sina bahwa akal manusia memiliki 3 tingkatan, yaitu nabati,
haywani, dan ‘aqli.

23
Ibid., 35-37.
24
Mahfud Junaedi, Paradigma, hlm. 5.
Agus Salim- Kajian Manusia dalam perspektif Ibnu Sina dan Filsafat Pendidikan Islam Page 8
Jurnal Hikmah: Jurnal Pendidikan Islam E-ISSN 2450-5611
Vol. 10 No 2 Juli – Desember 2021 P-ISSN 2085-8663

Masing-masing dari tingkatan akal ini memiliki fungsi di dalam tubuh manusia dan bisa
salah satunya mendominasi pada diri manusia. Sebagai manusia yang memiliki akal sebagai
anugerah terbesar yang diberikan Allah swt., maka potensi ini dapat digunakan untuk
memikirkan, menganalisis dan memperoleh pengetahuan. Akal dengan segala keutamaan dan
kelebihannya memiliki keterbatasan. Untuk itu, akal harus dibarengi dengan tuntunan wahyu.

DAFTAR PUSTAKA

Al Rasyidin. (2008). Filsafat Pendidikan Islami: Membangun Kerangka Ontologi,


Epistimologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan. Bandung: Citapustaka Media Perintis,
cet. Pertama.

Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy. (tanpa tahun). Falsafah Pendidikan Islam, Pen.
Hasan Langgulung dari Falsafatut Tarbiyah Al Islamiyah. Jakarta: Bulan Bintang.

Bakhtiar, Ahmad Nur Alam. (2021). Manusia dalam Perspektif dalam Pendidikan Alquran.
Yogyakarta: PT Nas Media Indonesia, cet. Pertama.

Hassan, Fuad. (1996). Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Jahya, Muchtar. Pokok-Pokok Filsafat Yunani. Jakarta: Widjaya.

Jalaluddin. (2017). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cet. 1.

Junaedi, Mahfud. (2017). Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam. Depok: Kencana, cet. I.

JWM. Bakker, SY. (1978). Sejarah Filsafat dalam Islam. Yogyakarta: Yayasan Kanisius, cet.
Pertama.

Nasr, Seyyed Hossein. (2020). Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam, pen. Ach. Maimun
Syamsuddin dari Three Muslim Sage: Avicema-Suhrawardi-Ibnu Arabi. Yogyakarta:
IRCiSod, cet. Pertama.

Nasution, Harun. (1973). Falsafah dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

P.A. Van der Weij. (2017). Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens dari Grote
Filosofen Over de mens. Jakarta: PT Gramedia pustaka Utama.

Shihab, M. Quraish. (2009). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Vol. 1. Ciputat: Lentera Hati, cet. II.

Shihab, M. Quraish. (2013). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan
Umat. Bandung: PT Mizan Pustaka, ed. Kedua.

Agus Salim- Kajian Manusia dalam perspektif Ibnu Sina dan Filsafat Pendidikan Islam Page 9

Anda mungkin juga menyukai