Anda di halaman 1dari 2

I’tikaf dan Keutamaannya

‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,


‫ِخ ِم‬ ‫ِك‬ ‫ِه‬
‫ َّمُث اْعَتَك َف َأْز َو اُج ُه‬،‫َأَّن الَّنَّيِب َص َّلى اُهلل َعَلْي َو َس َّلَم َك اَن َيْع َت ُف يِف اْلَعْش ِر اَألَو ا ِر ْن َرَم َض اَن َح ىَّت َتَو َّفاُه اُهلل‬
‫ِم ِدِه‬
‫ْن َبْع‬
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa i’tikaf di 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan
sampai beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau pun i’tikaf melanjutkan kebiasaan beliau. (HR
Bukhari dan Muslim)
Pendengar, i’tikaf adalah tinggal di masjid dengan niat tertentu untuk menaati Allah ta’ala. I’tikaf
hukumnya adalah sunnah berdasarkan kesepakatan para ulama. Imam Ahmad rahimahullah berkata,
“Aku tidak mengetahui dari seorang ulama pun kecuali i’tikaf itu hukumnya adalah sunnah.”
Az-Zuhri rahimahullah berkata, “Sungguh heran umat Islam ini! Mereka meninggalkan i’tikaf padahal
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya sejak beliau tinggal di Madinah
sampai beliau wafat.”
Pendengar yang dirahmati oleh Allah, ketahuilah bahwa setiap ibadah itu memiliki rahasia yang tidak
dimiliki oleh ibadah yang lain. Semua ini berangkat dari pemahaman bahwa inti segala amal perbuatan
itu berpusat pada hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya
di dalam jasad itu ada segumpal daging. Apabila daging itu baik maka baik seluruh jasad dan apabila
daging itu buruk maka buruk seluruh jasad. Ketahuilah, itu adalah hati.” (HR Bukhari dan Muslim)
Pendengar, yang paling banyak merusak hati adalah perkara-perkara yang melalaikan dan kesibukan-
kesibukan yang memalingkan seseorang dari menghadap Allah ‘azza wa jalla, baik itu berupa syahwat
makanan, minuman, jima’, ucapan berlebihan, tidur berlebihan, interaksi sosial berlebihan, dan
perbuatan-perbuatan lain yang merusak tekad hati dalam menaati Allah subhanahu wata’ala. Karena
itulah, Allah menetapkan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada Allah dalam rangka menjaga
hati dari penyimpangan-penyimpangan, seperti ibadah puasa contohnya. Ibadah puasa menghalangi
seseorang dari makan, minum, dan jima’ di siang hari. Dengan demikian diharapkan hal itu bisa
mencegah hati dari menikmati perkara-perkara yang halal tersebut secara berlebihan, akibatnya hati
akan semakin kuat dalam perjalanannya menuju Allah dan terlepas dari belenggu-belenggu syahwat
yang memalingkan seseorang dari negeri akhirat.
Pendengar, jika puasa menjaga hati dari syahwat makan, minum, dan jima’ maka i’tikaf menjaga
seseorang dari dampak-dampak buruk interaksi sosial yang berlebihan dan menjaga hati dari ucapan
yang berlebihan, karena secara umum seseorang yang i’tikaf tinggal sendiri di dalam masjid, sehingga
dia bisa memfokuskan diri menghadap Allah ta’ala dengan shalat, tilawah Al-Qur’an, dzikir, doa, dan
amal-amal shalih lainnya..
I’tikaf juga menjaga seseorang dari terlalu banyak tidur, karena tujuan seseorang yang i’tikaf di masjid
adalah menyibukkan diri untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan berbagai macam
ibadah. Tentu, dia tidak tinggal di masjid hanya untuk tidur saja!
Pendengar, jika demikian besar keutamaan i’tikaf untuk keselamatan hidup kita di dunia dan di akhirat,
masihkah kita akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini dengan lebih memilih sibuk dengan urusan
dunia yang melalaikan? Atau kalau pun i’tikaf, masihkah kita akan menyia-nyiakan waktu i’tikaf
dengan banyak bersenda gurau, melakukan perkara-perkara yang tidak bermanfaat, dan banyak tidur?
‫ِد‬
‫َيا ُمَق ِّلَب اْلُقُلوِب َثِّبْت ُقُلْو َبَنا َعَلى يِنَك‬
Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu. (HR Ahmad,
Tirmidzi, dan Baihaqi dan dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)

Anda mungkin juga menyukai