Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KEPEMIMPINAN WANITA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kepemimpinan


Dosen Pengampu : Dr. Nasir Mangngasing M.Si

Di Susun Oleh :
Kelompok 2
Hendra Kadang B10122002 Suci Dwi Vany B10122015

Ni Komang Ayu Kristina B10122004 Hasti Nabila Putri Anggita B10122017


Reginda Aprilia B10122006 Ratni B10122026
Nur Safira Eflin B10122007 Erick Linardy B10122028
Wulandari B10122009 Putri Adiliya B10122029
Rizkita Kurniyanti B10122011 Nurfahira B10122030
Vidya Putri Ramadani B10122012 Al Munawarah B10122021
Novera J Batalipu B10122014 Moh. Zendris Fauzan B10122158

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TADULAKO
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “Kepemimpinan Wanita” ini guna memenuhi tugas
kelompok mata kuliah “Kepemimpinan”dengan dosen pengampu yang terhormat
bapak Dr. Nasir Mangngasing, M.Si.
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak
akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak. Sebagai
penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu,
kami mengaharap bagi siapa yang membaca makalah ini, untuk memberikan kritik
dan saran yang membangun kepada kelompok kami, sehingga di lain waktu kami
bisa membuat dan menyusun makalah lebih baik dari hari ini.
Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat
dan menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam perkembangan ilmu
pendidikan.

Palu, 3 Maret 2024

Kelompok 4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3

2.1 Sejarah Kepemimpinan Wanita......................................................................3

2.2 Perbedaan Kepemimpinan Pria dan Kepemimpinan Wanita..........................4

2.3 Tantangan yang dihadapi oleh Pemimpin Wanita..........................................8

2.4 Kelebihan Kepemimpinan Wanita................................................................11

2.5 Studi Kasus Terkait Kepemimpinan Wanita.................................................13

2.6 Strategi untuk Mendorong Kepemimpinan Wanita......................................16

BAB II PENUTUP...............................................................................................19

3.1 Kesimpulan...................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................20
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kepemimpinan perempuan telah ada sejak abad ke-15, tetapi sejak isu hak
asasi manusia disebar oleh aktivisme feminisme, kepemimpinan perempuan
semakin banyak diperbincangkan. Perempuan merupakan sumber daya potensial
yang apabila diberikan kesempatan dan peluang untuk maju, maka akan maju dan
meningkatkan kualitasnya secara mandiri, menjadi penggerak dalam dimensi
kehidupan serta pembangunan bangsa.Kepemimpinan perempuan memiliki gaya
yang berbeda dengan pemimpin laki-laki, seperti lebih demokratis dan
partisipatif.Perempuan juga memiliki kepemimpinan yang lebih transformasional,
yakni yang inspirasional.Gaya kepemimpinan perempuan dapat dijadikan
pedoman yang baik dalam keberhasilan suatu organisasi.Tidak hanya itu,
kepemimpinan perempuan juga memiliki tantangan, seperti cara melayani
masyarakat yang semakin maju dengan mobilitas yang tinggi.Pemimpin
perempuan harus mampu mempengaruhi bawahannya dan mencapai tujuan yang
disetujui. Kepemimpinan perempuan secara normatif memiliki legitimasi yang
sangat kuat, baik secara teologis, filosofis, maupun hukum.
Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang telah disetujui oleh
negara-negara anggota PBB, termasuk oleh Indonesia, menyebutkan sejumlah
pasal yang memberikan kebebasan kepada perempuan untuk memilih pemimpin
maupun menjadi pemimpin. Begitu juga dalam Konvensi Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang disahkan melalui Undang-
Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 7 Tahun 1984 dan dalam Deklarasi
Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan, telah memberikan jaminan bahwa
perempuan terbebas dari tindakan diskriminasi dalam bentuk apapun. UU RI
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah menjamin keterwakilan
perempuan baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif (pasal 46). Selain itu,
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarus Utamaan
Gender dalam Pembangunan Nasional yang mengharuskan seluruh kebijakan dan
Program Pembangunan Nasional dirancang dengan perspektif gender.
Kami memilih judul "Kepemimpinan Wanita" karena percaya bahwa
penelitian dan eksplorasi peran wanita dalam kepemimpinan adalah penting dan
relevan dalam konteks saat ini. Kepemimpinan wanita telah menjadi fokus
perhatian yang semakin besar di berbagai bidang dan sektor, dengan semakin
banyaknya wanita yang memegang posisi-posisi penting dalam organisasi, politik,
dan masyarakat. Kepemimpinan Wanita" juga merupakan langkah untuk
mendukung kesetaraan gender dan memperkuat kesadaran akan pentingnya
memperkuat peran wanita dalam kepemimpinan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan kepemimpinan wanita?

2. Bagaimana representasi wanita dalam posisi kepemimpinan?

3. Apa saja tantangan utama yang dihadapi wanita dalam mencapai dan
mempertahankan posisi kepemimpinan, dan bagaimana cara mengatasinya?

4. Apa perbedaan dan persamaan antara gaya kepemimpinan wanita dan pria, dan
bagaimana hal ini mempengaruhi dinamika kepemimpinan?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka rumusan
masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis peran wanita dalam kepemimpinan.
2. Mempelajari dampak representasi wanita dalam kepemimpinan terhadap
organisasi atau masyarakat.
3. Membandingkan gaya kepemimpinan wanita dengan pria dan
implikasinya.
4. Menyoroti tantangan dan hambatan yang dihadapi wanita dalam mencapai
posisi kepemimpinan dan cara mengatasinya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Kepemimpinan Wanita


Sejarah kepemimpinan wanita dimulai sejak zaman kuno. Di banyak
masyarakat kuno, wanita memainkan peran penting dalam kepemimpinan politik,
agama, dan budaya. Misalnya, di Mesir kuno, Cleopatra VII memerintah sebagai
firaun pada abad ke-1 SM. Di Cina kuno, Wu Zetian menjadi satu-satunya kaisar
wanita selama Dinasti Tang pada abad ke-7. Selama Abad Pertengahan di Eropa,
wanita seperti Ratu Elizabeth I dari Inggris dan Ratu Isabella I dari Spanyol
memegang kekuasaan yang besar. Namun, dominasi patriarki sering kali
membatasi peran wanita dalam kepemimpinan formal. Pada abad ke-19 dan ke-
20, gerakan feminis membawa perubahan signifikan dalam persepsi terhadap
perempuan dalam kepemimpinan. Misalnya, pada tahun 1893, Selandia Baru
menjadi negara pertama yang memberikan hak pilih kepada wanita. Pada abad ke-
20, wanita mulai memperoleh hak politik dan kesempatan untuk mengejar karir
politik di seluruh dunia.
Hingga saat ini, kita telah melihat peningkatan jumlah wanita yang
memegang jabatan politik tinggi, termasuk kepala negara dan kepala
pemerintahan. Namun, tantangan seperti diskriminasi gender dan stereotip masih
ada, dan perjuangan untuk kesetaraan gender terus berlanjut di banyak bagian
dunia. Sering dikaitkan dengan hanya kaum laki-laki saja yang dapat menjadi
pemimpin, karena pada zaman dahulu perempuan memiliki kemampuan minim
wawasan dan pengalaman yang relatif rendah.
Jika dibenturkan pada kenyataan bahwa masih ada beberapa pemikiran kolot,
yang beranggapan bahwa jika perempuan yang memimpin akan “berbeda” karena
pengaruh dari emosional, sifat alamiah serta budaya, sehingga diangggap tidak
bisa menjadi pemimpin yang tegas, lebih bertanggung jawab, lebih cerdas dan
berkarakter dalam memimpin. Kiprah wanita dalam organisasi seperti dua sisi
mata uang yang sangat dilematis. Di satu sisi wanita berjuang sedemikian rupa
untuk merealisasikan dan memaksimalkan kapasitas, sehingga hak dan pengakuan
mampu didapatkan. Di sisi lain, terdapat banyak pihak yang masih
memperdebatkan terlebih menyudutkan posisi perempuan. Menurut Carli (1999),
wanita kurang kompeten sebagai pemimpin karena wanita memiliki gaya
kepemimpinan tradisional dan gaya kepemimpinannya banyak mencontoh pria
dalam memimpin, sehingga kepemimpinan wanita diragukan.
Sementara Pierce dan Newstrom (1999) menyebutkan pemimpin perempuan
dalam mengambil keputusan lebih berorientasi pada intuisi dan empati.Perdebatan
ini sangat berbeda dengan kenyataannya, walaupun pemimpin wanita berusaha
untuk berkiprah kedalam dan keluar tetap dipersepsikan negatif yang
menimbulkan ketidakpercayaan dan keragu-raguan. Namun seiring perkembangan
zaman, sudah banyak perempuan turut serta dalam membangun peradaban dunia,
bahkan tidak sedikit pula yang tercatat berjaya di panggung politik dengan
menduduki jabatan sebagai menteri, kepala daerah, wakil presiden hingga menjadi
presiden di suatu negara (rahim, 2016), sehingga muncul pertanyaan “Kenapa
perempuan dapat bersaing dengan kaum laki-laki?”.
Pada dasarnya untuk melihat kemampuan seseorang tidak bisa kita nilai dari
“gender” saja. Karena etos kerja dan komitmen dari pribadi masing-masinglah
yang akan menjadi tolak ukur dari kesuksesan seseorang. Beranjak dari
perjuangan pahlawan R.A Kartini, bangsa indonesia khususnya kaum perempuan
merasakan dampak baik dari kata “emansipasi wanita” ini, Terbukti dengan
adanya perempuan-perempuan hebat indonesia yang ikut serta dalam kepentingan
kemaslahatan bersama dengan terjun langsung di dunia politik, menjadi menteri,
menjadi kepala daerah, wakil presiden bahkan menjadi presiden

2.2 Perbedaan Kepemimpinan Pria dan Kepemimpinan Wanita


Peran wanita dalam kehidupan bermasyarakat dalam pembangunan bukan
hanya sebagai proses pembangunan, tapi juga sebagai fondasi yang berstruktur
kuat. Perjuangan akan figur R.A. Kartini dapat dirasakan dengan adanya
pergerakkan emansipasi wanita. Keberadaan peran wanita sebagai pimpinan kini
mulai dihargai dan disetarakan. Sejalan dengan gerakan emansipasi dan gerakan
kesetaraan gender yang intinya berusaha menuntut adanya persamaan hak wanita
dalam berbagai bidang kehidupan, maka setahap demi setahap telah terjadi
pergeseran dalam mempersepsi tentang sosok wanita. Mereka tidak dipandang
lagi sebagai sosok lemah yang selalu berada pada garis belakang, namun mereka
bisa tampil di garis depan sebagai pemimpin yang sukses dalam berbagai sektor
kehidupan, yang selama ini justru dikuasai oleh kaum laki-laki.
Wanita memiliki kemampuan yang sama untuk berada di posisi puncak dalam
karier,” ujar perusahaan sumber daya manusia internasional, Caliper. Faktanya,
dalam berbagai organisasi saat ini, saat gaya kepemimpinan yang keras dan kaku
tidak lagi sesuai untuk karyawan, gaya kepemimpinan wanita yang komprehensif
serta nilai-nilai positif lainnya membuat mereka lebih cocok untuk menduduki
posisi puncak. Wanita dapat menjadi pemimpin bila dididik dengan cara berbeda
dan tidak melulu menganggap diri mereka sebagai wanita melainkan bagian dari
sesama manusia. Dewasa ini, makin banyak wanita yang bekerja di bidang
pekerjaan laki-laki. Mereka tidak saja bisa bertahan, namun juga sukses menjadi
pemimpin. Kaum wanita pun bisa menunjukkan dirinya sebagai makhluk yang
luar biasa kuat dan berani, dan tidak kalah dari kaum pria. Secara esensial dalam
manajemen dan kepemimpinan pun pada dasarnya tidak akan jauh berbeda
dengan kaum pria. Beberapa tokoh perempuan yang berhasil menjadi pemimpin,
Margareth Tatcher di Inggris yang dijuluki sebagai “Si Wanita Besi”, Indira
Gandhi di India, Cory Aquino di Philipina, Megawati di Indonesia dan Sri
Mulyani, Miranda Goeltom, Mari Elka Pangestu, Linda Amalia Sari, Felia Salim,
Eva Riyanti Hutapea, Karen Agustiawan, dan banyak lagi wanita sukses
Indonesia.
Kepemimpinan Pria Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian
yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah ialah yang ta’at
kepada Allah lagi memelihara diri (maksudnya tidak berlaku serong ataupun
curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya) ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara “(mereka; maksudnya, Allah telah
mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik). (QS An-
Nisaa’/ 4:34). Ayat ini menegaskan tentang kaum lelaki adalah pemimpin atas
kaum wanita. Pria cenderung memiliki emosi yang lebih stabil dalam beberapa
keadaan dan bisa berfikir jernih dalam suasana keruh. Harus di akui pula bahwa
pria memiliki kecendrungan untuk mempengaruhi ketimbang dipengaruhi. Oleh
karena itu, laki-laki menjadi syarat utama seorang pemimpin.
Karen bagaimanapun juga laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.
perbedaan antara kepemimpinan pria dan wanita. Pria senantiasa mengkaitkan
citra diri mereka dengan karya dan prestasi, wanita cenderung mengasosiasikan
citra diri mereka dengan relasi atau hubungan pribadi. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa gaya kepemimpinan kaum wanita yang bersifat interaktif merupakan
kepanjangan dari naluri interaksi atau relasi yang sudah mengakar dalam
kepribadian mereka. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, gaya kepemimpinan
seperti ini sudah tentu berpotensi menciptakan iklim kebersamaan. Dalam hal-hal
tertentu terdapat per Perempuan di Indonesia” menyampaikan bahwa banyak
perempuan yang telah menduduki jabatan sebagai pemimpin, akan tetapi untuk
tampil sebagai pemimpin ada hambatan yang seolah-olah tidak terlihat tetapi
dalam kenyataannya merintangi akses dalam menuju kepemimpinan puncak,
antara lain isu gender dan ketidakadilan yang sifatnya melekat dan dikonstruksi
secara sosial maupun kultural”.
Namun pada kenyataannya menurut para ahli dalam penelitiannya ada
terdapat perbedaan dalam
kepemimpinan pria dan wanita diantaranya adalah:
1. Pria cenderung memandang pekerjaannya dari sudut transaksi, yakni
transaksi antara dia dengan bawahannya Sedangkan wanita lebih suka
menggunakan pendekatan partisipasi di mana para bawahan didorong
untuk memberikan sumbangsih demi kepentingan organisasi. ( Rosener,
1990)
2. Dalam hal kuasa, pria pun cenderung mengunakan kuasa yang berasal
dari otoritas formalnya atau dari posisinya di dalam organisasi tersebut.
Tidak demikian halnya dengan wanita sebab mereka lebih siap membagi
kuasa dan informasi yang dimilikinya kepada bawahan.
3. Pria senantiasa mengkaitkan citra diri mereka dengan karya dan prestasi,
wanita cenderung mengasosiasikan citra diri mereka dengan relasi atau
hubungan pribadi.
4. Gaya kepemimpinan kaum wanita yang bersifat interaktif merupakan
kepanjangan dari naluri interaksi atau relasi yang sudah mengakar dalam
kepribadian mereka. pemimpin lelaki lebih cenderung ke arah
kepemimpinan “tendency“.
Dengan cara ini mereka lebih terarah untuk tetap terjaga dan berkelakuan
secara “asertif“. Jika keadaan ini terjadi, maka mereka lebih banyak mengunakan
otoritas dari segi tradisional dengan kecenderungan memberi arahan dan nasehat
yang lebih banyak.
Berdasarkan uraian di atas, kepemimpinan pria dan wanita sama saja asalkan
memiliki beberapa implikasi, antara lain :
1. Kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para
karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus
memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun
demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, tidak akan ada pimpinan.
2. Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan
kekuasaannya (his or herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk
mencapai kinerja yang memuaskan. Para pemimpin dapat menggunakan
bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk
mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.

3. Kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity),


sikap bertanggung jawab yang tulus (compassion), pengetahuan
(cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan
(commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence)
dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam
membangun organisasi.
Pria dan wanita sebenarnya memiliki kemampuan yang sama menjadi seorang
pemimpin yang efektif. Perbedaan jender tidaklah menjadi masalah, karena yang
paling penting adalah memiliki efektifitas dan kredibilitas dalam memimpin
sehingga dapat mencapai tujuan organisasi. Walaupun ada sedikit perbedaan
potensi kepemimpinan di antara pria dan wanita, namun keunggulan dan
kelemahan potensi kepemimpinan wanita dan pria merupakan hal yang saling
mengisi. Pentingnya wanita mengubah mindset dengan cara lebih menyadari
bahwa dirinya memiliki kesempatan yang sama untuk bisa menjadi seorang
pemimpin di tempat bekerja.

2.3 Tantangan yang dihadapi oleh Pemimpin Wanita


Kesenjangan gender merupakan salah satu isu lama yang saat ini masih
dihadapi oleh masyarakat modern. Kentalnya budaya patriarki yang sudah sejak
dahulu ada di masyarakat menempatkan laki-laki untuk memiliki kontrol yang
lebih besar daripada perempuan, sehingga laki-laki cenderung memiliki porsi
yang lebih banyak dan mendominasi daripada perempuan.Meskipun kemudian
muncul kelonggaran-kelonggaran yang diberikan kepada kaum perempuan dalam
hak bersosial, namun pada akhirnya hak laki-laki yang menjadi lebih dominan
dimana perempuan selalu dianggap sebagai golongan kedua.
Berdasarkan Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender tahun 2019,
Indeks Pembangunan Gender (IPG) di Indonesia masih terolong rendah dan
dibawah rata-rata dunia, dimana pada level ASEAN, IPG di Indonesia berada di
peringkat 9 dari sepuluh negara ASEAN. Hal tersebut menunjukkan bahwa
Indonesia masih belum memenuhi standar rata-rata Indeks Pembangunan Gender
dunia. Sedangkan Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Indonesia pada level
ASEAN berada di peringkat 4 tertinggi, dimana semakin tinggi nilai IKG maka
semakin besar ketimpangan gender atau semakin rendahnya kesetaraan gender di
suatu negara.
Hal tersebut kemudian yang menjelaskan mengapa budaya patriarki dan
ketimpangan gender masih merupakan masalah yang harus dihadapi oleh
Indonesia. Dalam disertasi oleh Hartati (2019:5-6) didalamnya Corner (1997)
menyatakan bahwa perlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di ruang
politik masih jauh dari harapan. Sannonmatsu melanjutkan bahwa isu-isu penting
terkait perempuan akan lebih mungkin terakomodir oleh legislator perempuan
daripada legislator laki-laki, karena perempuan cenderung melihat diri mereka
sebagai wakil perempuan daripada laki-laki. Tercatat 431.471 kasus kekerasan
telah terjadi terhadap perempuan. Dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan
terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%) artinya kekerasan
terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun terakhir meningkat hampir 8
kali lipat (Komnas Perempuan, 2020). Meningkatnya kasus kekerasan
menguatkan alasan mengapa kaum perempuan memerlukan adanya wakil yang
dapat melihat dari kacamata seorang perempuan, yakni perempuan itu sendiri
sehingga perwujudan dari hal-hal yang diharapkan akan lebih mungkin tercapai.
Tantangan yang dihadapi wanita saat menjadi pemimpin dapat mencakup:
- Bias Gender: Wanita sering menghadapi prasangka atau stereotip bahwa
mereka kurang cocok untuk peran kepemimpinan dibandingkan dengan pria.
- Persepsi Stereotip: Terkadang, wanita pemimpin dianggap sebagai kurang
kompeten atau terlalu emosional, bahkan ketika mereka menunjukkan kualitas
kepemimpinan yang sama dengan rekan pria mereka.
- Ekspektasi Ganda: Wanita sering diharapkan untuk menunjukkan kualitas
kepemimpinan yang lebih tinggi atau harus bekerja lebih keras untuk
membuktikan diri mereka dibandingkan dengan rekan pria mereka.
- Kesulitan Mendapatkan Dukungan: Wanita pemimpin mungkin mengalami
kesulitan dalam mendapatkan dukungan yang sama dari atasan, rekan kerja, atau
bawahan mereka, terutama dalam lingkungan yang didominasi oleh pria.
- Keseimbangan Kehidupan Pribadi dan Profesional: Wanita pemimpin sering
menghadapi tekanan untuk menjaga keseimbangan antara karier dan kehidupan
pribadi, yang dapat menjadi lebih rumit karena ekspektasi sosial yang berbeda
terhadap peran gender.
- Kurangnya Representasi: Kurangnya wanita dalam posisi kepemimpinan
dapat membuatnya sulit bagi wanita untuk merasa didukung atau mampu meniti
karier kepemimpinan.Meskipun tantangan ini nyata, banyak wanita pemimpin
yang berhasil mengatasinya dengan ketekunan, kecerdasan, dan dukungan yang
tepat.
Selain itu, ada beberapa tantangan yang juga dihadapi pemimpin wanita yaitu:
1. Lingkungan yang didominasi laki-laki : Tantangan pertama yang dilalui
seorang perempuan saat menjadi pimpinan adalah sebagian besar
pekerjanya adalah laki-laki. Namun kesempatan ini dapat perempuan
gunakan untuk menciptakan peluang bagi diri sendiri. Selain itu,
perempuan juga dapat menunjukkan kesan yang kuat dan menonjol pada
mereka.
2. Dipertanyakan tingkat keprofesionalitasannya : Meskipun didominasi oleh
laki-laki, perempuan tetap dapat berlaku profesional. Kesempatan ini bisa
perempuan gunakan untuk membangun koneksi secara profesional antara
perempuan dan laki-laki. Bahkan, rekan-rekan di ranah profesional ini bisa
dijadikan mentor untuk membantu perkembangan karier seorang
perempuan.
3. Banyaknya peran yang dilakoni : Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan
memiliki banyak peran. Banyaknya peran perempuan ini tak
jarang membuat perempuan kesulitan dalam membagi waktu. Tak hanya
memiliki kesibukan di dalam kantor, perempuan juga disibukan oleh
urusan rumah tangga seperti pada pasangan dan anak-anaknya. Meski sulit
untuk mengerjakannya secara bersamaan tetapi seiring berjalannya waktu
semua dapat tertata dengan rapi dan seimbang.
4. Sering kali diabaikan kepemimpinannya : Ada beberapa orang yang
mungkin sering mengabaikan kepemimpinan seorang perempuan.
Mungkin mereka beranggapan jika pemimpin perempuan tidak cukup
kompeten untuk mencapai tujuan perusahaan. Namun tak perlu khawatir,
pada akhirnya perempuan selalu bisa tetap fokus untuk mencapai bahkan
melampaui tujuan.
5. Dipertanyakan kemampuan mengambil keputusan : Hal yang paling sering
diremehkan dari seorang perempuan adalah sikap emosional. Perempuan
sering kali dianggap lebih emosional dalam mengambil keputusan
dibanding laki-laki. Padahal perempuan tidak bisa diremehkan hanya
karena sikap emosional. Sebab pada dasarnya perempuan membawa
pengalaman fisik, mental, dan emosional yang lebih beragam dalam
mengambil keputusan.
Budaya masyarakat yang bersumber dari tradisi telah berlangsung
secara turun temurun menempatkan peran perempuan di sektor domestik, dan
laki-laki di sektor publik, mengakibatkan akses dan partisipasi perempuan dalam
dunia politik sangat rendah. Konsekuensi yang terjadi kemudian sangat logis
kalau ranah politik hingga saat ini masih patriarkhis, laki-laki mendominasi
secara luas arena politik, termasuk di dalamnya memformulasikan aturan-
aturan dan standar permainan politik yang menihilkan kepentinganperempuan.
Perempuan yang terjun ke dunia politik harus menerima kenyataan diperlakukan
sebagai kelompok minoritas yang dihadapkan pada banyaknya undang-
undang atau kebijakan yang tidak memiliki perspektif perempuan. Begitu juga
budaya masyarakat yang bersumber dari pemahaman agama, khususnya di tingkat
lokal, turut menjadi faktor yang menghambat lajunya kepemimpinan
perempuan. Selain itu, faktor yang menghambat kemajuan perempuan adalah
kurangnya kebijakan dalam organisasi yang mendukung keseimbangan antara
keluarga dan pekerjaan, khususnya bagi perempuan yang memiliki keluarga.

2.4 Kelebihan Kepemimpinan Wanita


Beberapa kelebihan kepemimpinan wanita dalam bidang empati dan
kepekaan sosial:
1. Kemampuan Membangun Hubungan dan Rasa Percaya : Wanita umumnya
lebih pandai membangun hubungan dan menciptakan rasa saling percaya
di antara anggota tim. Hal ini memungkinkan mereka untuk memahami
kebutuhan dan perasaan orang lain dengan lebih baik, sehingga mereka
dapat mengambil keputusan yang lebih tepat dan adil.
2. Kemampuan Membaca Situasi dan Emosi : Wanita umumnya lebih teliti
dan pandai membaca situasi dan memahami emosi orang lain.
Kemampuan ini membantu mereka untuk lebih sensitif terhadap kebutuhan
dan perasaan orang lain, sehingga mereka dapat memberikan solusi yang
lebih tepat dan manusiawi.
3. Pendekatan yang Lebih Kolaboratif : Wanita umumnya lebih suka
menggunakan pendekatan kolaboratif dalam menyelesaikan masalah.
Mereka lebih terbuka untuk mendengarkan pendapat dan ide orang lain,
sehingga mereka dapat menghasilkan solusi yang lebih kreatif dan efektif.
4. Kemampuan Komunikasi yang Baik: Wanita umumnya memiliki
kemampuan komunikasi yang baik, yang memungkinkan mereka untuk
menyampaikan pesan dengan jelas dan efektif. Hal ini membantu mereka
untuk membangun hubungan yang kuat dengan orang lain dan
mendapatkan dukungan mereka.
5. Kepekaan Terhadap Kesejahteraan:
Wanita umumnya lebih peduli terhadap kesejahteraan anggota timnya.
Mereka lebih cenderung menciptakan lingkungan kerja yang mendukung
dan membantu anggota timnya untuk mencapai potensi terbaik mereka.
6. Keinginan untuk Membantu : Wanita umumnya memiliki keinginan yang
kuat untuk membantu orang lain. Hal ini mendorong mereka untuk lebih
peduli terhadap masalah sosial dan mencari solusi yang dapat membantu
orang lain.
7. Intuisi yang Kuat : Wanita umumnya memiliki intuisi yang kuat, yang
dapat membantu mereka dalam membuat keputusan. Intuisi ini sering kali
membantu mereka untuk memahami situasi dengan lebih baik dan
mengambil keputusan yang tepat.
8. Kesadaran Sosial yang Tinggi : Wanita umumnya memiliki kesadaran
sosial yang tinggi dan lebih peka terhadap isu-isu sosial. Hal ini
mendorong mereka untuk lebih aktif dalam kegiatan sosial dan membantu
orang lain.
Berikut beberapa kelebihan kepemimpinan wanita dalam bidang kemampuan
multitasking dan manajemen konflik:
a) Kemampuan Multitasking : Wanita umumnya memiliki kemampuan
multitasking yang baik, yaitu kemampuan untuk mengerjakan beberapa tugas
secara bersamaan. Hal ini memungkinkan mereka untuk menyelesaikan banyak
pekerjaan dalam waktu singkat dan tetap fokus pada tujuan utama. Wanita mampu
menyeimbangkan berbagai tanggung jawab dan menyelesaikan tugas dengan
efisien.
b) Manajemen Konflik : Wanita umumnya memiliki kemampuan komunikasi
yang baik dan lebih pandai dalam membangun hubungan. Hal ini membantu
mereka dalam menyelesaikan konflik dengan lebih efektif dan damai. Wanita
lebih cenderung menggunakan pendekatan kolaboratif dalam menyelesaikan
masalah dan mencari solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.
Kelebihan lain:
- Kemampuan Beradaptasi: Wanita umumnya lebih fleksibel dan mampu
beradaptasi dengan perubahan dengan cepat.
- Ketelitian : Wanita umumnya lebih teliti dan detail dalam menyelesaikan
pekerjaan.
- Intuisi yang Kuat: Wanita umumnya memiliki intuisi yang kuat, yang dapat
membantu mereka dalam membuat keputusan.
- Semangat Juang: Wanita memiliki semangat juang yang tinggi dan tidak
mudah menyerah.
Contoh:
- Angela Merkel: Kanselir Jerman, terkenal dengan kemampuannya dalam
multitasking dan menyelesaikan berbagai krisis.
- Jacinda Ardern: Perdana Menteri Selandia Baru, terkenal dengan
kemampuannya dalam menyelesaikan konflik dengan damai dan membangun
hubungan yang kuat dengan masyarakat.

2.5 Studi Kasus Terkait Kepemimpinan Wanita


“Susi Pudjiastuti Sebagai Pemimpin dalam Kementrian Kelautan dan
Perikanan”
Pro dan kontra mengenai kepemimpinan merupakan permasalahan yang terus
terjadi di Indonesia. Masyarakat Indonesia cenderung belum bisa menerima jika
seorang perempuan menempati jabatan tinggi di instansi publik (Mewengkang,
Mandey, & Ruru, 2016). Namun dalam implementasinya kepemimpinan
perempuan pun dapat menjadi aset sosial bagi pembangunan bangsa. Selama masa
kepemimpinannya, Susi Pudjiastuti dikenal memiliki sifat yang tegas, berani dan
cenderung menghasilkan kebijakan yang out of the box. Salah satu kebijakan
tersebut adalah penenggelaman kapal nelayan illegal yang mencuri ikan di
perairan Indonesia.
Dalam masa kepemimpinannya Susi Pudjiastuti mendapatkan penghargaan
atas kinerjanya. Beberapa penghargaan tersebut diantaranya adalah menjadi
Leaders for a Living Planet Awards yang diberikan dari World Wide Fund for
Nature (WWF) Internasional pada tahun 2016 atas dasar individu yang
memberikan kontribusi yang besar terhadap konservasi alam dan pembangunan
berkelanjutan (wwf.or.id, Susi Pudjiastuti Terima Penghargaan WWF Leaders for
a Living Planet, 2016), kemudian menjadi bagian dari 100 Pemikir Terbaik Dunia
versi majalah Foreign Policy. Hal tersebut dikarenakan keberanian Susi
Pudjiastuti dalam memerangi pencurian ikan. Selain itu, Susi Pudjiastuti juga
menerima penghargaan Peter Benchley Ocean Awards atas dasar visi dan
kebijakan pembangunan ekonomi dan konservasi laut di Indonesia (Said, 2019).
Dalam masa kepemimpinannya, Susi Pudjiastuti cenderung menggunakan
gaya kepemimpinan transformasional. Hal ini dapat dilihat dalam masa
kepemimpinannya, Susi Pudjiastuti cenderung bersifat sebagai penggerak, dan
memiliki jiwa yang maskulinitas (Nurchayati & Hariyanti, 2017). Susi Pudjiastuti
cenderung menggunakan cara baru dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
ada seperti penanggulangan illegal fishing yaitu dengan cara penenggelaman
kapal serta larangan transshipment di tengah laut seperti yang termuat dalam
Peraturan Presiden Nomor 115 tahun 2015 tentang Satuan Tugas Pemberantasan
Illegal Fishing (Isnurhadi, 2017). Hal ini dilakukan untuk memberikan efek jera
kepada kapal asing yang masuk ke Indonesia tanpa izin. Namun, sebelum kapal
tersebut ditenggelamkan kapal tersebut sudah dibersihkan, mesin dan bahan bakar
sudah dipisahkan, sehingga penenggelaman kapal tidak mencemari laut karena
kapal-kapal yang ditenggelamkan nantinya akan menjadi tempat bagi ikan dan
diving site baru (Wijaya & Marta, 2019).
Dalam masa kepemimpinannya, Susi Pudjiatuti cenderung mengeluarkan
tindakan yang lebih seperti yang temuat dalam misinya. Salah satu misi Susi
Pudjiastuti sebagai menteri adalah mensejahterakan para nelayan dan memajukan
kesejahteraan rakyat Indonesia (Hadi, Syarifudin, & Alfath, 2018). Salah satu cara
yang ditempuh untuk mewujudkan visi tersebut adalah dengan cara memberikan
gajinya selama menjabat menjadi meteri kepada nelayan tua, panti jompo, dan
pembuatan asuransi bagi para nelayan (Kristiadi, 2014). Hal tersebut dilakukan
karena menurut Susi Pudjiastuti masih banyak nelayan yang memiliki kehidupan
yang kurang layak dan berada di bawah garis kemiskinan (Widodo, 2009).
Sehingga beliau spontan melakukan tindakan tersebut setelah menerima keluhan
dari para nelayan.
“Gaya kepemimpinan Sri Mulyani sebagai Pemimpinan Transformasional.”
Kepemimpinan Sri Mulyani dinilai sangat tegas, tulus, displin, dan rasional.
Orang-orang yang pernah bekerja bersama beliau mengakui hal ini. Sri Mulyani
adalah seorang pemimpin yang berkarakter, berintegritas kuat, dan memegang
teguh etika kerjanya. Sri Mulyani juga dikenal sebagai seorang pemimpin yang
bebas dari KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme).
Hal ini ditunjukkan dengan bukti kerja nyata yang dilakukan oleh Sri
Mulyani. Sri Mulyani berani mengambil risiko, melawan arus birokrasi yang ada
yang sudah berjalan bertahun-tahun yaitu dengan cara melakukan pembaharuan
dan reformasi proses bikrokrasi di Departemen Keuangan dan departemen terkait
lainnya.
Sri Mulyani juga menerapkan sistem reward dan punishment untuk memacu
proses reformasi birokrasi yaitu dengan cara menaikan pendapatan pegawai
Departemen Keuangan tetapi menekankan transparasi dan akuntabilitas pegawai,
mendorong setiap daerah agar menerapkan desentralisasi fiskal tetapi juga
bersikap tegas ketika ada daerah yang terlambat membelanjakan anggaran.
Kelebihan dari Jenis dan Gaya Kepemimpinan Sri Mulyani Indrawati sebagai
Menteri Keuangan Republik Indonesia Kepemimpinan transformasional
berdampak pada kinerja karyawan, dan model kepemimpinan ini sangat efektif
pada perusahaan yang ingin berkembang. Perusahaan yang menerapkan
kepemimpinan transformasional adalah perusahaan yang memiliki motivasi, visi
dan misi yang jelas untuk meningkatkan kinerja.
Gaya kepemimpinan transformasional yang digunakan Sri Mulyani dapat
dilihat dari beberapa kebijakan beliau yang membawa perubahan positif. Dengan
gaya kepemimpinannya, beliau berhasil menstabilkan ekonomi makro,
mempertahankan kebijakan fiskal yang prudent, menurunkan biaya pinjaman dan
mengelola utang serta memberi kepercayaan pada investor. Reformasi
Kementerian Keuangan dikelola dengan baik sehingga banyak terjadi perubahan
fundamental di Kementerian Keuangan.Selain itu, Sri Mulyani sangat tegas dalam
memimpin, beliau dianggap memahami reformasi pajak karena pernah menduduki
posisi sebagai Menteri Keuangan. Sri Mulyani memiliki tingkat kepercayaan
publik yang tinggi sehingga akan lebih menimbulkan sentimen positif. Hal ini
sangat bermanfaat terutama dalam repatriasi tax amnesty.
Sri Mulyani juga dinobatkan sebagai Menteri Keuangan terbaik di Asia dan
mendapatkan beberapa penghargaan internasional lainnya yang sangat
membanggakan bangsa Indonesia.

2.6 Strategi untuk Mendorong Kepemimpinan Wanita


Untuk mendorong kepemimpinan wanita melalui program-program
pengembangan kepemimpinan khusus, beberapa strategi efektif meliputi:
- Peningkatan Kesadaran
Mengadakan seminar, lokakarya, atau konferensi tentang pentingnya
kepemimpinan wanita. Menyediakan literatur dan sumber daya yang mendukung
kesadaran akan peran wanita dalam kepemimpinan.
- Mentoring dan Coaching
Menyediakan program mentoring dan coaching khusus untuk wanita yang
ingin mengembangkan keterampilan kepemimpinan mereka. Menghubungkan
wanita dengan mentor yang berpengalaman dalam bidang kepemimpinan.
- Pelatihan Kepemimpinan
Menyelenggarakan pelatihan kepemimpinan yang fokus pada keterampilan
seperti komunikasi, negosiasi, dan pengambilan keputusan. Memastikan program
pelatihan mencakup isu-isu yang unik bagi wanita dalam lingkungan kerja.
- Jaringan dan Komunitas
Membangun jaringan dan komunitas yang mendukung pertumbuhan dan
pengembangan kepemimpinan wanita. Mengadakan acara networking untuk
memfasilitasi pertukaran pengalaman dan dukungan antar wanita pemimpin.
- Kesetaraan Gender
Mendorong kebijakan organisasi yang mendukung kesetaraan gender dalam
kesempatan karir dan promosi. Memastikan adanya transparansi dalam proses
seleksi dan promosi untuk mencegah bias gender.
Ketika sebuah organisasi memupuk lingkungan inklusif di tempat kerja,
karyawan akan merasakan kolaborasi dan keadilan yang membantu kesejahteraan
dan kemampuan mereka untuk memanfaatkan potensi mereka sepenuhnya.
Tenaga kerja jenis ini lebih inovatif, terdorong untuk tetap bertahan di perusahaan,
dan pada akhirnya meningkatkan keuntungan bisnis. Suasana tempat kerja yang
inklusif memungkinkan setiap orang merasa dihormati, didengarkan, aman, dan
diterima. Setiap karyawan merasa bahwa mereka diterima dan didukung,
meskipun terdapat perbedaan karakteristik gender, usia, etnis, budaya, agama,
orientasi seksual, kemampuan fisik, dll.
Karyawan percaya bahwa lingkungan mereka memberdayakan mereka
untuk berkembang, sehingga mereka menghasilkan kinerja terbaik. Karyawan
yang merasa dilibatkan bebas menyuarakan pendapat dan kekhawatirannya tanpa
takut diasingkan atau menjadi korban. Mereka yakin bahwa mereka tidak hanya
akan didengarkan namun sudut pandang mereka akan diterima.
Kebijakan itu sendiri tidak menciptakan lingkungan yang inklusif. Sebuah
survei yang dilakukan oleh Harvard Business Review menemukan bahwa 75%
responden tidak merasakan dampak kebijakan keberagaman tanpa komitmen dari
pimpinan untuk melakukan perubahan.
Kepemimpinan dianggap inklusif ketika manajer mendengarkan dan
memberikan dukungan terhadap karyawannya dengan penuh empati. Manajer
inklusif memandang timnya sebagai individu yang berharga, bukan hanya
karyawan. Mereka tidak memihak tetapi memperlakukan semua orang dengan
sopan santun yang sama, dan mereka berkomitmen untuk menerapkan praktik
non-diskriminatif.

Langkah-Langkah Organisasi untuk Menciptakan Lingkungan Kerja yang


Inklusif:
- Membuat Kebijakan Anti-Diskriminasi: Terapkan kebijakan yang
melarang diskriminasi berdasarkan gender, ras, agama, dan lainnya.
- Menerapkan Kesetaraan Gaji : Pastikan wanita dan pria mendapatkan gaji
yang sama untuk pekerjaan yang sama.
- Memberikan Kesempatan yang Sama : Berikan kesempatan yang sama
kepada wanita dan pria untuk promosi dan pengembangan karir.
- Mendorong Fleksibilitas Kerja : Berikan fleksibilitas kerja bagi wanita,
seperti jam kerja yang fleksibel dan cuti hamil/melahirkan.
- Menyediakan Fasilitas dan Layanan yang Ramah Wanita : Sediakan
fasilitas dan layanan yang dibutuhkan wanita, seperti toilet wanita dan ruang
menyusui.
- Mendidik Karyawan tentang Kesetaraan Gender : Lakukan edukasi dan
pelatihan bagi karyawan tentang pentingnya kesetaraan gender dan cara untuk
menciptakan lingkungan kerja yang inklusif.
BAB III

PENUTUP
3.1Kesimpulan
Perempuan sebagai pemimpin memiliki hak yang sama dengan laki-laki.
Perempuan tidak lagi dipandang sebagai sosok yang lemah lembut akan tetapi
memiliki fondasi penting dalam kehidupan keluarga, organisasi maupun di
lingkungan bermasyarakat. Sejalan dengan reformasi dan konsep gender
menempatkan perempuan pada posisi yang sama di semua bidang kehidupan tak
terkecuali sebagai pepimpin.
Permasalahan gender menunjukkan tidak banyak perbedaan gender dalam
hal organisasi. Namun jika gender dihubungkan dengan gaya kepemimpinan
terlihat adanya gaya tertentu khas perempuan. Bukan karena perbedaan jenis
kelamin tapi lebih pada faktor karakteristik pekerjaan. Karakteristik pekerjaan
tersebut berkaitan dengan gaya kepemimpinan perempuan didapati bahwa gaya
kepemimpinan perempuan terbagi dua yaitu gaya kepemimpinan feminism dan
gaya kepemimpinan transformasional.
Kompleknya permasalahan yang di hadapi perempuan saat ini
membutuhkan strategi mendasar yang mampu mengubah pandangan masyarakat
terhadap mereka. gerakan pemberdayaan perempuan adalah salah satunya denagn
pemberdayaan perempuan di harapkan mampu meningkatkan kualitas perempuan
itu sendiri sehingga perempuan tidak lagi di anggap sebagai makhluk skunder
setelah laki-laki. Salah satunya yaitu wanita menjadi seorang pemimpin dalam
memimpin wanita memerlukan kompetensi dan profesionalisme yang tinggi di
samping itu dia juga harus mempunyai kecapakan untuk bersosialisasi dengan
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Anshor, M. U. (2008). Tantangan Kepemimpinan Perempuan di Tingkat Lokal.


Yinyang: Jurnal Studi Islam Gender dan Anak, 3(1), 81-88.
Artisa, R. A. (2017). Perempuan dalam Birokrasi Hambatan Kepemimpinan
Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY. Jurnal Pembangunan
dan Kebijakan Publik, 5(1), 16-23.
Balkis, A. H. (2020). Gaya Kepemimpinan Perempuan Dalam Instansi Publik:
Studi Kasus Susi Pudjiastuti. Jurnal Ilmu Administrasi Negara (JUAN), 8(1),
79-88.
Fitriana, A., & Cenni, C. (2021). Perempuan dan kepemimpinan. In Prosiding
Seminar Nasional IAHN-TP Palangka Raya (No. 1, pp. 247-256).
Rohmah, N. R. (2021). Karakteristik Kepemimpinan Perempuan. Jurnal Pikir:
Jurnal Studi Pendidikan dan Hukum Islam, 7(2), 28-40.
Sasmita, J., & Raihan, S. A. A. (2014). kepemimpinan pria dan wanita.

Anda mungkin juga menyukai