Analisa Rembesan Terhadap Terjadinya Piping Pada B
Analisa Rembesan Terhadap Terjadinya Piping Pada B
2 (2023) 151-164
© Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya
JTRESDA
Journal homepage: https://jtresda.ub.ac.id/
1. Pendahuluan
Bendungan diharapkan memiliki konstruksi yang aman dan kekuatan pondasi yang mumpuni agar
berfungsi sebagaimana mestinya. Keamanan bendungan terletak pada kemampuan tubuh bendungan
dan bangunan pelengkapnya untuk menahan air secara terencana tanpa mengakibatkan perubahan fisik
dan fungsi dari masing-masing bangunan tersebut [1]. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam
proses perencanaan bendungan yaitu terjadinya rembesan, hal itu akan selalu terjadi, namun efeknya
dapat diminimalisir. Aliran rembesan yang terjadi dapat menyebabkan erosi internal pada lapisan tanah
dibawah pondasi. Aliran tersebut dalam hal tertentu dapat diizinkan pada bendungan, namun pada
kondisi tertentu dapat menimbulkan terjadinya erosi internal yang menginisiasi terbentuknya piping [7].
Piping sering terjadi pada struktur tanah dan batuan yang longgar, artinya terdapat ruang kosong antar
partikel sehingga air yang mengalir menjadi lebih cepat [9]. Piping dapat menyebabkan bendungan
mengalami penurunan dari posisi awal sehingga dapat mengganggu dari stabilitas serta dapat
menyebabkan bendungan mengalami keruntuhan.
Pondasi bendungan sebagai penopang tubuh bendungan harus memenuhi persyaratan tertentu,
apabila pondasi bendungan tidak memenuhi persyaratan bisa dilakukan perbaikan pada pondasi
sepanjang perbaikan tersebut layak dari segi teknis dan ekonomis [2]. Potensi rembesan akan semakin
besar terjadi apabila terdapat lapisan tanah yang bervariasi atau tidak seragam artinya setiap lapisan
tanah tersebut memiliki nilai permeabilitas yang berbeda, sehingga kecepatan dan besaran aliran
rembesan tidak dapat dikontrol dengan baik. Perbaikan pondasi yang digunakan nantinya harus tepat
dalam melihat kondisi pada lapisan tanah tersebut. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan dalam
pengendalian rembesan seperti puritan (cut off), paritan Sebagian (partial cutoff), selimut kedap hulu
(upstream impervious blanket), berm rembesan hilir downstream seepage berm), dan grouting [6].
152
Fauzi, D. A., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 3 No. 2 (2023) p. 151-164
Bendungan Cijurey merupakan bendungan tipe beton padat gilas atau Roller Compacted Concrete
(RCC) yang memiliki kadar air yang rendah. Konstruksi bendungan RCC disusun oleh setiap
sambungan lapisan (lift joint) dengan ketebalan yang bervariasi antara 300-600 mm [5]. Bendungan
RCC tersusun atas lapisan horizontal yang dihamparkan, dimana bidang horizontal ini merupakan area
yang rawan untuk dilalui oleh air. Rembesan yang terjadi dapat dikendalikan dengan menggabungkan
desain khusus sesuai prosedur konstruksi sebagai contoh membuat sambungan konstraksi dengan
penahan air (waterstop) yang membuat permukaan hulu menjadi kedap air dan menyegel antarmuka
lapisan dari bendungan RCC [8].
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola aliran dan besarnya rembesan yang terjadi pada
Bendungan Cijurey ketika kondisi normal dan banjir serta mengetahui potensi terjadinya piping dengan
alternatif perbaikan pondasi yang diberikan. Analisa rembesan pada bendungan menggunakan software
Geostudio SEEP/W.
2. Bahan dan Metode
2.1 Bahan
Bendungan Cijurey direncanakan di Desa Sukadamai, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor,
bendungan tersebut terletak pada pertemuan Sungai Ciomas dan Sungai Cijurey. Secara geografis
terletak antara 6° 32’ 59.72” LS dan 107° 05’ 02.03” BT. Bendungan Cijurey ini digunakan sebagai
pengendali banjir pada daerah hilir Sungai Citarum dan multipurpose dam. Bendungan Cijurey ini
nantinya akan digunakan sebagai penyedia air irigasi untuk daerah irigasi Cihoe Cikumpeni dengan
total luas 2047 ha dan sebagai penyedia air baku domestik dan industry (lihat Gambar 1).
Bendungan Jatiluhur
Lokasi Rencana
Waduk Cirata
153
Fauzi, D. A., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 3 No. 2 (2023) p. 151-164
(El. +288,28 m). Perbaikan pondasi yang dilakukan pada bendungan digunakan untuk memperkuat
lapisan tanah bendungan serta meminimalisir terjadinya rembesan dan kemungkina terjadinya piping.
Hasil yang digunakan dari analisa dengan software Geostudio SEEP/W yaitu debit filtrasi dan nilai
gradien hidraulik. Untuk dapat dikatakan aman terhadap rembesan, syarat izin yang harus dimiliki
bendungan yaitu nilai rembesan yang terjadi harus kurang dari 1% debit rata-rata sungai dan faktor
keamanan piping yang terjadi yaitu harus kurang dari 4 [8].
2.3 Persamaan
Lapisan tanah pada bendungan memiliki nilai permeabilitas yang berbeda-beda, semakin kecil
ukuran partikel tanah maka semakin rendah keofisien permeabilitas (k) atau kelulusan airnya. Kriteria
permeabilitas tanah dapat dilihat pada
Tabel 1. Dari nilai permeabilitas nantinya akan diketauhi besar debit rembesan yang terjadi pada
bendungan.
Tabel 1: Permeabilitas Tanah
Jenis tanah Permeabilitas
Kerikil > 1 cm/s
Pasir campur kerikil 10-2 – 1 cm/s
Pasir halus, lanau, dan lanau lempung 10-5 – 10-7 cm/s
Lempung dan lanau lempung < 10-5 cm/s
Standar yang diizinkan untuk terjadinya rembesan pada bendungan yaitu [6]:
a. Banyaknya total air rembesan dari waduk yang melewati pondasi dan badan bendungan yang
terukur pada tempat penampungan rembesan (lokasinya di hilir ujung bendungan) tidak boleh
lebih dari 0,05% dari kapasitas air yang tertampung didalam waduk.
b. Banyaknya total air rembesan dari waduk yang melewati pondasi dan badan bendungan tidak
boleh lebih dari 1% rata-rata debit sungai yang masuk kedalam waduk.
Dalam menentukan rembesan pola rembesan dapat diketahui melalui garis aliran dan garis
ekipotensial. Garis aliran merupakan garis yang disebabkan oleh aliran rembesan, sedangkan garis
ekipotensial merupakan garis yang emnghubungkan titik tinggi potensial yang sama. Kedua garis ini
akan membentuk suatu bidang yang disebut flownet (lihat
154
Nf
Nd
Fauzi, D. A., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 3 No. 2 (2023) p. 151-164
155
Fauzi, D. A., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 3 No. 2 (2023) p. 151-164
156
Fauzi, D. A., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 3 No. 2 (2023) p. 151-164
Permodelan pada software Geostudio SEEP/W (lihat Gambar 4), dimana terdapat lapisan tanah
bendungan yaitu batulempung dan batupasir, dan pada bagian tubuh bendungan menggunakan material
RCC, serta terdapat timbunan tanah pada bendungan.
Dari analisa tersebut, diketahui flownet bendungan yang mengindikasikan rembesan yang terjadi
sesuai dengan skenario yaitu air mengalir dari hulu menuju hilir melalui lapisan tanah (lihat Gambar 5
dan Gambar 6). Nilai tinggi total tekan (total head) yang didapatkan ditandai dengan warna yang
berbeda pada bagian hulu dan hilir, nilai yang mengalami tegangan paling besar terjadi pada hulu,
sedangkan tegangan yang paling rendah terjadi pada hilir.
Sebagai contoh ketika kondisi muka air normal nilai tinggi tekan total (total head) yang paling
tinggi yaitu 291-297 m yang ditunjukkan dengan kontur berwarna merah (lihat Gambar 5) terdapat pada
bagian hulu. Sedangkan nilai tinggi tekan total (total head) yang paling rendah terdapat pada bagian
hilir bendungan yaitu 225-231 m yang ditunjukkan dengan warna biru (lihat Gambar 5)
Gambar 5: Tinggi Tekan Total (Total Head) Kondisi Muka Air Normal (El. +286 m)
157
Fauzi, D. A., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 3 No. 2 (2023) p. 151-164
Gambar 6: Tinggi Tekan Total (Total Head) Kondisi Muka Air Banjir (El. +288,28 m)
3.2.1 Debit Rembesan yang Terjadi
Material RCC pada Software Geostudio SEEP/W dianggap sebagai material impermeable karena
nilai permeabilitas yang dimiliki rendah, dapat dibuktikan pada Gambar 7 dimana dalam grafik
menunjukkan nilai rembesan mengarah ke nilai 0 artinya tidak terjadi rembesan.
Untuk rembesan yang terjadi pada bawah bendungan dengan kondisi muka air normal (El. +286
m) dengan debit filtrasi maksimal yang terjadi yaitu 2,90 x 10-6 m3/dt/m pada bagian kaki bendungan
(lihat Gambar 8). Sedangkan untuk kondisi muka air banjir (El. +288,28 m) debit filtrasi maksimal yang
terjadi yaitu 3,02 x 10-6 m3/dt/m yang terjadi pada kaki bendungan (lihat Gambar 9).
158
Fauzi, D. A., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 3 No. 2 (2023) p. 151-164
Untuk melakukan kontrol terhadap rembesan, maka nilai debit filtrasi dikalikan dengan panjang
bendungan untuk menyamakan satuan dan mendapatkan nilai yang sesuai dengan debit rembesan yang
diizinkan. Dari hasil diatas, dapat diketahui bahwa rembesan yang terjadi pada lapisan bawah pondasi
memiliki nilai yang diizinkan, artinya bendungan aman terhadap rembesan yang terjadi (lihat Tabel 3).
Tabel 3: Debit Rembesan Bendungan Cijurey
Kondisi muka Debit filtrasi (q) Panjang Bendungan Qrembesan Qizin Keterangan
air (m3/dt/m) (m) (m3/dt) (m3/dt)
Muka air normal 2,90 x 10-6 675 0,00196 0,0124 Aman
(elv. +286 m)
Muka air banjir 3,02 x 10-6 675 0,0020 0,0124 Aman
(elv. +288,28 m)
3.2.2 Kemanan Terhadap Piping
Dari analisa rembesan sebelumnya, terjadinya gradien hidraulik dari bendungan (iexit) (lihat
Gambar 10 dan Gambar 11), dimana dari gradien hidraulik hasil analisa dengan software Geostudio
SEEP/W dapat diketahui nilai yang maksimal (lihat
Tabel 4). Terjadinya piping dalam analisa tersebut pada kaki bendungan.
Tabel 4: Gradien hidraulik Bendungan
159
Fauzi, D. A., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 3 No. 2 (2023) p. 151-164
Gambar 10: Gradien Hidraulik Kondisi Muka Air Normal (El. +286 m)
Gambar 11: Gradien Hidraulik Kondisi Muka Air Banjir (El. +288,28 m)
Dari hasil diatas piping dinyatakan tidak aman, sehingga solusi untuk permasalahan ini yaitu
dengan menambah struktur tambahan pada area bawah bendungan, struktur ini nantinya juga berperan
sebagai komponen perkuatan pondasi. Sturktur yang digunakan pada bagian pondasi bendungan yaitu
dinding diafragma dengan kedalaman 42,5 m dan tebal 0,80 m. Dengan menggunakan dinding
diafragma ini nantinya akan memperpanjang aliran air pada bawah pondasi, sehingga debit rembesan
yang terjadi akan semakin kecil dan dapat mencegah terjadinya piping.
3.3 Analisa Rembesan dengan Dinding Diafragma
Permodelan yang digunakan pada analisa ini sama namun pada bagian hulu bendungan
ditambahkan struktur dinding diafragma dengan kedalaman 42,5 m dan ketebalan 0,80 m. material yang
digunakan pada dindig diafragma yaitu beton konvensional dengan nilai permeabilitas yaitu 1,7 x 10 -12
m/dt. (lihat Gambar 12).
160
Fauzi, D. A., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 3 No. 2 (2023) p. 151-164
Gambar 12: Sketsa Bendungan Cijurey pada Software Geostudio SEEP/W dengan Dinding
Diafragma
Dari hasil analisa didapatkan tinggi tekan total (total head) bendungan dengan dinding diafragma,
dan menampilkan flownet pada bendungan (lihat Gambar 13 dan Gambar 14). Flownet yang terjadi
pada bawah pondasi bendungan menunjukkan pola yang sesuai dengan arah rembesan. Kedua gambar
tersebut menunjukkan pola yang sama pada saat kondisi normal dan banjir. Sebagai contoh pada
Gambar 13, tegangan yang paling besar terjadi pada bagian hulu bendungan dengan dengan nilai yaitu
285-291 m. Sedangkan pada bagian hilir memiliki tegangan yang rendah yaitu 225-231 m.
Gambar 13: Water Total Head dengan Dinding Diafragma Kondisi Muka Air Normal (El. +286
m)
161
Fauzi, D. A., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 3 No. 2 (2023) p. 151-164
Gambar 14: Water Total Head dengan Dinding Diafragma Kondisi Muka Air Banjir (El.
+288,28 m)
3.3.1 Debit Rembesan
Untuk rembesan yang terjadi di bawah bendungan dengan dinding diafragma kondisi muka air
normal (El. +286 m) dapat dilihat pada Gambar 15 dan nilai debit filtrasi yang terjadi yaitu 1,07 x 10 -6
m3/dt/m. Untuk kondisi muka air banjir (El. +288,28 m) debit filtrasi yang terjadi yaitu 1,12 x 10-6
m3/dt/m (lihat Gambar 16). Pada analisa ini, debit yang terjadi menjadi lebih kecil dibandingkan dengan
sebelum menggunakan dinding diafragma, hal ini merupakan pengaruh dari dinding diafragma karena
lintasan aliran air semakin panjang dan aliran air tersebut menjadi lebih kecil.
Tabel 5: Debit Rembesan Bendungan Cijurey dengan Dinding Diafragma
Kondisi muka air Debit filtrasi (q) Panjang Bendungan Qrembesan Qizin Keterangan
(m3/dt/m) (m) (m3/dt) (m3/dt)
Muka air normal 1,07 x 10-6 675 0,00073 0,0124 Aman
(elv. +286 m)
Muka air banjir 1,12 x 10-6 675 0,00076 0,0124 Aman
(elv. +288,28 m)
Gambar 15: Rembesan Kondisi Muka Air Normal (El. +286 m) dengan Dinding Diafragma
Gambar 16: Rembesan Kondisi Muka Air Banjir (El. +288,28 m) dengan Dinding Diafragma
162
Fauzi, D. A., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 3 No. 2 (2023) p. 151-164
Gambar 17: Gradien Hidraulik Bendungan dengan Dinding Diafragma Kondisi Muka Air
Normal (El. +286 m)
Gambar 18 Gradien Hidraulik Bendungan dengan Dinding Diafragma Kondisi Muka Air
Banjir (El. +288,28 m)
163
Fauzi, D. A., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air Vol. 3 No. 2 (2023) p. 151-164
Pada Gambar 17 dan Gambar 18 nilai gradien hidraulik yang terjadi pada bendungan menjadi
lebih kecil dibandingkan dengan sebelumnya, sehingga akan mempengaruhi nilai keamanan piping
yang terjadi. Untuk kondisi muka air normal dan muka air banjir dengan dinding diafragma didapatkan
nilai piping sebagai berikut:
1. Kondisi muka air normal (Elv. + 286 m)
Maksimum gradien hidraulik yang keluar, i = 0,099
Faktor keamanan piping, icr/i = 1,065/0, 099= 10,75
Kesimpulan: bendungan aman terhadap terjadinya piping.
2. Kondisi muka air banjir (Elv. + 288,28 m)
Maksimum gradien hidraulik yang keluar, i = 0,103
Faktor keamanan piping, icr/i = 1,065/0,103 = 10,33
Kesimpulan: bendungan aman terhadap terjadinya piping.
3.4 Rekapitulasi Terjadinya Rembesan dan Piping pada Bendungan Cijurey
Tabel rekapitulasi dibawah ini untuk mengetahui pengaruh dinding diafragma pada Bendungan
untuk masing-masing kondisi (lihat Tabel 7 dan Tabel 8).
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa, debit rembesan yang terjadi pada bendungan untuk kondisi normal
sebesar 0,00196 m3/dt dan kondisi banjir sebesar 0,002 m3/dt, dengan Qizin yaitu 0,0124 m3/dt, maka
bendungan aman terhadap rembesan. Untuk analisa piping bendungan yaitu 1,065 untuk kondisi normal
dan 1,024 untuk kondisi muka air banjir, maka bendungan tidak aman terhadap terjadinya piping. Untuk
itu diperlukan struktur tambahan berupa dinding diafragma yang direncanakan dengan kedalaman 42,5
m dan ketebalan 0,80 m. Sehingga setelah dianalisa didapatkan niali rembesan yang lebih kecil yaitu
untuk kondisi normal 0,00073 m3/dt dan untuk kondisi banjir 0,00076 m3/dt. Nilai FK terhadap piping
yaitu untuk kondisi normal 10,75 dan untuk kondisi banjir yaitu 10,33 dengan nilai FKizin harus > 4
dan dapat disimpulkan bendungan aman terhadap terjadinya piping.
Daftar Pustaka
[1] Arisanto, P. (2020). Perbaikan Rembesan Dengan Dinding Halang Pada Tubuh Bendungan. Jurnal
Sipil Politeknik PU, 5(1), 384–393.
[2] Astuti, Y., Masrevaniah, A., & Marsudi, S. (2012). Analisa Rembesan Bendungan Bajulmati
terhadap Bahaya Piping untuk Perencanaan Perbaikan Pondasi. Jurnal Teknik Pengairan, 3(1),
164
Fauzi, D. A., Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Air Vol. 3 No. 2 (2023) p. 151-164
51–60.
[3] Bochnak, P. L. A., & Saracco, M. E. C. (2020). Design of RCC gravity dam and FEM modelling
in GeoStudio-Longtan dam. Tvvr20/5001. https://lup.lub.lu.se/student-papers/record/9005785
[4] Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. (2005). Pedoman Grouting Untuk Bendungan. Jakarta:
Departemen Pekerjaan Umum.
[5] Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. (2009). Pedoman Analisis Dinamik Bendungan Beton Gaya
Berat. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum.
[6] Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi. (2017). Modul Analisa Stabilitas
Bendungan: Perhitungan Rembesan. Kementerian PUPR: Bandung.
[7] Putra, R. A. M., Putra, A. D., & Wahono, E. P. (2022). Analisis Rembesan Terhadap Bahaya Piping
pada Bendungan Way Sekampung. Serambi Engineering, VII(3), 3454–3465.
[8] US Army Corps of Engineers. (1995). Gravity Dam Design. America: Department of The Army
U.S. Army Corps of Engineers.
[9] Wang, Y., Li, C., Zhou, X., & Wei, X. (2017). Seepage piping evolution characteristics in bimsoils-
An experimental study. Water (Switzerland), 9(7). https://doi.org/10.3390/w9070458
165