Anda di halaman 1dari 15

BAB II

KAJIAN TEORI
2.1 Definisi Konseptual
2.1.1 Adult Attachment
Adult Attachment Menurut Bowlby dalam (Rholes, dkk 2001: 421) Attachment

theory is “proposes that interactions with caregivers in infancy, childhood, and

adolescence give rise to internal working models of the self and significant others that

guide behavior and perception in relationships. Most attachment research to date has

investigated either infantcaregiver relationships”.

Beberapa penelitian terhadap dunia orang dewasa dan hubungan yang dijalin pada

masa itu, sehingga keterikatan emosional yang menjadi topik disebut adult attachment.

Pola adult attachment merupakan replikasi dari pola-pola yang terbentuk semasa bayi,

namun adult attachment dan infant-parent attachment bukanlah hal yang sama. Relasi

orang tua terhadap anak berupa caregiving (memberi), sementara relasi anak pada orang

tua adalah attachment (meminta), masing-masing sifatnya satu arah. Sedangkan pada

pasangan suami isteri relasinya adalah dua arah yaitu caregiving dan attachment, dan

masing-masing individu memiliki peran sebagai figur attachment yang memberi dan

membutuhkan kedekatan dan responsivitas dari pasangannya.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Adult attachment merupakan kelekatan pada orang

dewasa yang ditandai dengan adanya kasih sayang antar pasangan tanpa batas untuk

mengikat satu sama lain dalam menyelesaikan masalah bersama dengan pasangan baik

itu dalam merasa, berfikir dan bertindak untuk membuat keputusan. Pola adult

attachment ini merupakan replikasi dari pola-pola semasa bayi.


Menurut Myers dalam (Iriani & Ninawati, 2005: 48) dari penelitian Ainsworth,

Blehar, Waters, & Wall menemukan tiga pola utama dari attachment yaitu secure,

avoidant, dan ambivalent atau resistant.

Secure attachment, gaya kelekatan ini merupakan bentuk dari keintiman. Individu

dengan kelekatan yang aman lebih mudah menjadi dekat dengan seseorang, mandiri dan

tidak resah. Sebagai pasangan mereka menikmati hubungannya, memiliki kepercayaan

terhadap pasangannya, sehingga terjadi permasalahan dalam kehidupan pernikahannya

sudah terbiasa mendiskusikannya secara bersama-sama dan mengatasi masalah dengan

penuh kebijakan.

a) Avoidant attachment, individu dewasa dengan pola attachment seperti ini

memiliki kepercayaan terhadap dirinya, namun sulit ketika mempercayai

pasangannya, sehingga ketika terjadi permasalahan dalam hubungan terutama

ketika mempersiapkan untuk berperan menjadi orang tua mereka cenderung

saling menutup diri dan sulit untuk terbuka dengan pasangannya, bahkan

hanya menyelesaikan masalahnya sendiri dan merasa tertekan.

b) Ambivalent attachment individu dewasa tersebut mudah mengalami perasaan

cinta, namun tidak mampu untuk mempertahankan hubungannya. Hal ini

karena individu merasa meyakini bahwa pasangannya tidak menerima

seutuhnya, dan merasa tidak pantas ketika terjadi suatu permasalahan.

Menurut Judith A. Feeney (2008), berdasarkan pada temuan yang dilakukan oleh

Carnelley, Pietromonaco dan Jaffe (1996), berikut adalah aspek-aspek utama pada

hubungan romantis yang berkaitan dengan dimensi attachment, yaitu:


a) Anxiety atau kecemasan

Anxiety atau kecemasan terdiri dari aspek ketidakpuasan dalam

hubungan, ketidakpercayaan pada pasangan, kecemburuan, konflik yang

berat, distress dan tersakiti dalam menghadapi konflik yang meliputi taktik

konflik yang memaksa dan mendominasi, pengungkapan diri atau self-

disclosure yang rendah termasuk fleksibilitas dan timbal-baliknya, atribusi

maladaptif yaitu mempertahankan kesusahan pada perilaku negatif pasangan,

kecenderungan memaafkan yang rendah, kompetensi interpersonal yang

rendah, menghindar sebagai motif untuk berkorban dan regulasi hubungan

yang rendah.

Secara umum, kecemasan adalah suatu keadaan psikologis dan

fisiologis yang dicirikan oleh komponen-komponen somatik, emosi dan

perilaku. Komponen-komponen ini berpadu untuk menciptakan suatu

perasaan yang tidak enak biasanya berkatitan dengan kegelisahan,

kekhawatiran atau ketakutan. Kecemasan tidak selamanya merugikan, karena

pada dasarnya rasa cemas berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap diri

untuk tetap waspada terhadap apa yang akan terjadi. Namun, jika level

kecemasan sudah tidak terkontrol sehingga telah menggangu aktivitas tubuh,

maka hal itu jelas akan sangat menggagu dan dapat merugikan. Kecemasan

dalam bahasa Inggris adalah anxiety. Dalam kegiatan olahraga, kecemasan

selalu ada dalam berbagai hal termasuk dalam diri setiap atlet. Misalnya atlet

merasa takut kalau tidak memenuhi harapan atau tuntutan pelatih, tim

manager, teman satu regu, penonton dan pihak yang bersangkutan. Evans
(1976) dalam (Pratama 2014:8) mengatakan bahwa: ‟Anxiety sebagai suatu

keadaan stres tanpa penyebab yang jelas dan hampir selalu disertai gangguan

pada susunan saraf otonom dan gangguan pada pencernaan.‟ Lebih lanjut

Greist et al (1986) dalam (Pratama 2014:8) mengatakan bahwa:

Anxiety sebagai suatu ketegangan mental yang biasanya disertai


dengan gangguan tubuh yang menyebabkan individu yang
bersangkutan merasa tidak berdaya dan mengalami kelelahan karena
senantiasa harus berada dalam keadaan waspada terhadap ancaman
bahaya yang tidak jelas.

Kecemasan yang dialami oleh seseorang dapat dikategorikan menjadi dua

jenis, dalam membagi kecemasan menjadi dua, yaitu State Anxiety dan Trait

Anxiety.

1. State anxiety atau biasa disebut sebagai A-state. A-State ini adalah

kondisi cemas berdasarkan situasi dan peristiwa yang dihadapi.

Artinya situasi dan kondisi lingkunganlah yang menyebabkan

tinggi rendahnya kecemasan yang dihadapi. Sebagai contoh,

seorang atlet akan merasa sangat tegang dalam sebuah perebutan

gelar juara dunia. Sebaliknya, tidak begitu tegang saat menjalani

pertandingan dalam kejuaran nasional.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa

state anxiety merupakan kecemasan yang bersifat sementara dan

berubah-ubah tergantung pada besar kecilnya tekanan yang

dihadapi seseorang atau atlet, juga bergantung pada tingkat trait

anxiety yang dimilikinya.


2. Trait anxiety atau biasa disebut dengan A-trait. Trait anxiety

adalah level kecemasan yang secara alamiah dimiliki oleh

seseorang. Masing-masing orang mempunyai potensi kecemasan

yang berbeda-beda. Dalam A-trait ini tingkat kecemasan yang

menjadi dari bagian kepribadian masing-masing atlet. Ada atlet

yang mempunyai kepribadian yang peragu begitupun sebaliknya.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan

bahwa trait anxiety bersifat bawaan dan menetap karena sudah

menjadi kepribadian seseorang. Kadar anxiety bawaan ini akan

semakin tinggi jika lingkungan sekitar individu atau situasi

pertandingan memberikan tekanan yang relatif besar, karena tanpa

pengaruh luar pun atlet sudah berada dalam kondisi cemas. Jika

atlet tersebut mempunyai trait anxiety yang tinggi, maka atlet

tersebut akan lebih mudah merasa cemas dibandingkan dengan

atlet yang mempunyai trait anxiety yang rendah.

b) Avoidance atau penghindaran (tidak nyaman dalam kedekatan)

Avoidance atau penghindaran terdiri dari ketidakpuasan dalam hubungan,

ketidakpercayaan pada pasangan, komitmen yang rendah, kedekatan,

kebergantungan satu sama lain dan koneksi yang rendah, dukungan yang

rendah atau kurang pada pasangan yang meliputi ekspresi emosional yang

rendah, pengungkapan diri atau self-disclosure yang rendah termasuk

fleksibilitas dan timbal-baliknya, kecenderungan memaafkan yang rendah,


kurang dalam kegiatan keluarga (makan bersama, bercengkrama, dll), dan

regulasi hubungan yang rendah.

Pendapat dari tokoh lain yang membuat konsep mengenai attachment style pada

dewasa adalah Bartholomew. Berbeda dari penelitian sebelumnya pada attachment style

membaginya menjadi 4 menurut Baron & Byrne dalam (Yauma, 2016: 29)

a) Gaya kelekatan aman Memiliki self esteem yang tinggi dan positif terhadap

orang lain, sehingga ia mencari kedekatan interpersonal dan mereka nyaman

dalam hubungan. Contohnya ketika orang dewasa merasa aman

mengekspresikan kepercayaan pada pasangan mereka dan bekerja sama

untuk memiliki hubungan yang hangat dan menyelesaikan masalah bersama.

b) Gaya kelekatan takut menghindar Suatu gaya yang memiliki karakteristik

self esteem dan kepercayaan interpersonal yang rendah. Gaya ini termasuk

gaya kelekatan yang paling tidak aman dan kurang adaptif.

c) Gaya kelekatan ter-preokupasi Suatu gaya yang memiliki self esteem yang

rendah dan kepercayaan interpersonal yang tinggi dan biasanya dijelaskan

sebagai gaya yang mengandung pertentangan dan tidak aman individu ini

benar-benar mengharap suatu hubungan dekat, tetapi merasa bahwa ia tidak

layak untuk pasangannya dan rentan mendapat penolakan.

d) Gaya kelekatan menolak Suatu gaya yang memiliki self esteem yang tinggi

dan kepercayaan interpersonal yang rendah . gaya ini digambarkan sebagai

gaya yang memiliki konflik dan agak tidak aman dimana individu merasa dia

“layak memperoleh” 31 hubungan yang akrab namun tidak mempercayai

calon pasangan yang potensial. Akibatnya kecenderungan untuk menolak


orang lain pada hubungannya guna menghindari supaya tidak menjadi

seseorang yang ditolak.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam penelitian ini menggunakan

attachment style yang di konsepkan menurut Myers dalam (Iriani & Ninawati, 2005: 48)

dari penelitian Ainsworth, Blehar, Waters, & Wall yang menemukan tiga pola utama dari

attachment yaitu secure, avoidant, dan ambivalent atau resistant.

Adut attachment terbentuk pada awal masa perkembangan. Apabila kebutuhan

psikologis anak terpenuhi dengan cepat dan konsisten, maka berkembang model positif

pada diri dan positif pada orang lain orang lain (secure attachment), sehingga individu

tersebut akan menunjukan fleksibilitas, keseimbangan dan dapat mengatasi pengala man

yang menyakitkan serta tetap terhubung dalam sebuah hubungan (Bowlby, 1973).

Namun, jika respon pada anak tidak tanggap dan tidak konsisten maka akan mengarah

pada pengembangan model negatif terhadap diri mereka sendiri (anxious attachment)

yang ditandai dengan harga diri rendah, tidak layak mendapatkan kasih sayang dan takut

di tinggalkan. Jika kebutuhan anak diabaikan maka anak dapat mengembangkan model

kerja negatif terhadap orang lain (avoindance attachment) yang dapat mengakibatkan

kemandirian yang obsesif, ketidakpercayaan pada orang lain dan ketidaknyamanan

dengan kedekatan (Bowlby dalam Damariyanti: 2020).

Secure attachment dapat dikaitkan dengan kesejahteraan yang lebih tinggi

(Karreman & Vingerhoets, 2012), sedangkan anxious dan avoidance attachment, ber

hubungan dengan kesejahteraan yang lebih rendah (Kafetsios & Sideridis, 2006; Landen

& Wang, 2010; Lavy & Littman-Ovadia, 2011). Individu dengan secure attachment
memiliki hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, dan

penerimaan diri (Mikulincer & Shaver 2007).

Hal ini berhubungan dengan emosi positif dan memiliki tingkat kepuasan yang

lebih tinggi dalam hubungan romantik. (Collins & Feeney 2004; Gleeson & Fitzgerald

2014). Oleh karena itu, mereka dapat terlibat dalam hubungan yang mendalam dan masih

merasa nyaman dengan hubungan yang saling ketergantungan (Bartholomew & Horowitz

1991; Mikulincer & Shaver 2007). Sedang kan, individu yang menunjukkan avoidance

attachment akan mengalami kesulitan dalam hubungan dengan orang lain, mengelola

lingkungan secara tepat, dan menunjukkan tingkat penerimaan diri yang rendah

(Quevedo, Hernandez & Cabrera, 2018), individu yang memiliki anxious attachment juga

menunjukan otonomi penerimaan diri rendah (Bartholomew & Horowitz, 1991; Collins

& Read 1990; Mikulincer & Shaver, 2007). Variabel berikutnya yang diduga memiliki

keterkaitan dengan kesejahteraan psikologis adalah adalah pemaafan. McCollugh,

Worthington dan Rachal (1997) mendefinisikan pemaafan sebagai perubahan

motivasional, menurunnya motivasi untuk balas dendam dan motivasi untuk menghindar

orang yang telah menyakiti, yang cenderung mencegah seseorang berespon yang

destruktif dalam interaksi sosial dan mendorong seseorang untuk menunjukan perilaku

yang konstruktif terhadap orang yang telah menyakitinya.

2.1.2 Penyintas

Penyintas merupakan seseorang yang sedang ebrjuang dan mampu bertahan hidup

dari tindakan kekerasan (Nurfaizah 2019). Orang yang sedang ebrjuang tersebut

merupakan seorang korban kekerasan yang memebranikan diri untuk terbuka di ruang

publik dan mengikuti jalanannya proses pemulihan. Penyintas bukan korban pasif
namun seorang yang mempunyai daya dan kekuatan untuk bertahan menjalankan hidup

dari pengalaman buruk yang tejadi. Dapat dikatakan penyintas apabila orang tersebut

sudah berjuang dari dampak kekerasan yang dialami. Oleh karena itu, penyintas dapat

keluar dari situasi yang mengguncang dirinya melalui pemulihan terhadap rasa trauma

yang diraskan (Nurfaizah 2019). Pemulihan dilakukan untuk membantu penyitas

mendapatkan respon yang tepat dalam kondisi traumatik. Dari pemulihan tersebut, maka

penyintas dapat mengambil tindakan dan memahami dampak yang akan diterima atas

tindakannya sendiri (Nurfaizah 2019). Hal tersebut kemudian akan membantu proses

pemulihan pada penyintas kekerasan dalam rumah tangga.

2.1.3 Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Isu kekerasan perempuan dalam rumah tangga di Indonesia masih dipandang

biasa, dan menganggap itu sebuah dinamika kehidupan yang harus dijalani. Sehingga

banyak perempuan rumah tangga yang tidak berani untuk melaporkan kekerasan yang

dialaminya karena beranggapan itu sebuah aib dalam keluarga yang tidak seharusnya

orang lain mengetahuinya. Fenomena kekerasan tersebut seoalah seperti gunung es.

Artinya bahwa kasus yang terungkap (publik) hanyalah sebagaian kecil dari bentuk

kekerasan pada perempuan dalam rumah tangga yang belum terekspose kepermukaan.

Tentu ini menjadi tugas semua pihak bahwa segala bentuk kekerasan harus dihilangkan,

khususnya pada perempuan. Adapun bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga,

yakni:

1. Kekerasan Fisik, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,

atau luka berat. Kekerasan fisik dapat dicontohkan seperti menendang,

menampar, memukul, menabrak, mengigit dan lain sebagainya. Perbuatan yang


mengakibatkan rasa sakit tersebut tentu harus mendapatkan penanganan medis

sesuai kekerasan yang dialaminya.

2. Kekerasan Psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya

rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,

dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Dapat dicontohkan seperti

perilaku mengancam, mengintimidasi, mencaci maki/ penghinaan, bullying dan

lain sebagainya. Kekerasan psikis ini apabila terjadi pada anak tentu akan

berdampak pada perkembangan dan psikis anak, sehingga cenderung

mengalami trauma berkepanjangan. Hal ini juga dapat terjadi pada perempuan.

3. Kekerasan Seksual, yakni setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan

seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak

disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial

dan/atau tujuan tertentu, yang meliputi: (a) pemaksaan hubungan seksual yang

dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;

(b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah

tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Bentuk kekerasan seksual inilah yang biasa banyak terjadi pada perempuan,

karena perempuan tergolong rentan.

4. Penelantaran Rumah Tangga, yakni perbuatan menelantarkan orang dalam

lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku bagi yang

bersangkutan atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan

kehidupan, perawatan, serta pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran

juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi


dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam

atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Dilihat dari penjelasan pasal tersebut, penelantaran rumah tangga tidak hanya

disebut sebagai kekerasan ekomoni, namun juga sebagai kekerasan kompleks.

Artinya bahwa bukan hanya penelantaran secara finansial (tidak memberi

nafkah, tidak mencukupi kebutuhan, dll) melainkan penelantaran yang sifatnya

umum yang menyangkut hidup rumah tangga (pembatasan pelayanan kesehatan

dan pendidikan, tidak memberikan kasih sayang, kontrol yang berlebihan, dll).

Sedikitnya ada dua faktor penyebab kekerasan KDRT adalah Pertama, faktor

internal akibat melemahnya kemampuan adaptasi setiap anggota keluarga

diantara sesamanya, sehingga cenderung bertindak diskriminatif dan eksploitatif

terhadap anggota keluarga yang lemah. Kedua, faktor eksternal akibat dari

intervensi lingkungan di luar keluarga yang secara langsung atau tidak langsung

mempengaruhi sikap anggota keluarga, yang terwujud dalam sikap eksploitatif

terhadap anggota keluarga lain, khususnya terjadi terhadap perempuan dan

anak.

Selain itu Rocmat Wahab menyimpulkan bahwa KDRT ternyata bukan sekedar

masalah ketimpangan gender. Hal tersebut acapkali terjadi karena kurangnya komunikasi,

ketidakharmonisan, alasan ekonomi, ketidakmampuan mengendalikan emosi,

ketidakmampuan mencari solusi masalah rumah tangga apapun, serta kondisi mabuk

karena minuman keras dan narkoba. Dalam banyak kasus terkadang pula suami

melakukan kekerasan terhadap isterinya karena merasa frustasi tidak bisa melakukan

sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya.Halini biasanya terjadi pada


pasangan yang belum siap kawin (nikah muda), suami belum memiliki pekerjaan dan

penghasilan tetap untuk mencukupi kebutuhan, dan keterbatasan kebebasan karena masih

menumpang pada orangtua/ mertua. Dari kondisi tersebut, sering sekali suami/ laki-laki

mencari pelarian dengan hal-hal negatif (mabuk, judi, narkoba, seks) sehingga berujung

pada pelampiasan terhadap isteri dengan berbagai bentuk, baik kekerasan fisik, psikis,

seksual bahkan penelantaran.

Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa penyebab KDRT terhadap perempuan bisa

terjadi banyak faktor. Faktor diatas bukanlah satu-satunya penyebab, melainkan salah

satu pemicu KDRT terhadap perempuan yang selama terus meningkat. Namun demikian,

terlepas dari apapun penyebabnya, bahwa segala bentuk kekerasan baik yang terjadi

terhadap perempuan merupakan kejahatan berat kemanusiaan. Hal ini apabila dibiarkan

dan berlangsung secara terus menerus dapat mengakibatkan berbagai permasalahan baru

dikemudian hari.

2.2 Dimensi Penelitian

Dimensi penelitian adalah operasionalisasi variabel atau faktor-faktor yang akan

dikaji dalam penelitian dan digunakan untuk memberikan arahan bagi pengukurannya.

Kegiatan penelitian terpusat pada upaya memahami, mengukur, dan menilai keterkaitan

antar variabel. Tentang hal ini perlu diperhatikan bahwa variabel penelitian bukanlah

dikembangkan atau dirumuskan berdasarkan angan- angan atau intuisi peneliti, tetapi

haruslah ditetapkan berdasarkan penelitian pendahuluan.

Pada penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Creswell,

J (Nasution,1998, hal. 23 dalam Moha & sudrajat, 2019) menjelaskan bahwa pendekatan

kualitatif diperuntukan menemukan dan memahami makna tersirat yang tersembunyi


dibalik fenomena. Penelitian yang hasilnya tidak diperoleh melalui prosedur-prosedur

statistik. Dari pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa penelitian kualitatif merupakan

penelitian yang dilakukan secara menyeluruh dengan dideskripsikan kata-kata.

Pendekatan kualitatif dipilih dalam kajian penelitian ini karena mengangkat tentang

upaya perempuan KDRT yang mampu bangkit ketika mengalami keterpurukan

(kekerasan) dan mampu untuk mempertahankan keutuhan keluarga ditengah keadaan

yang dialaminya yang mengharuskan dan membutuhkan data-data berbentuk teks

deskripsi berupa pemaparan langsung dari informan sehingga sulit jika diukur secara

sistematis melalui sistem pengukuran, selain itu pendekatan kualitatif digunakan karena

dirasa bersifat adaptif dengan kondisi masyarakat masa kini, agar pada saat melakukan

penelitian mendapatkan hasil yang maksimal, mendalam dan terperinci.

Dalam penelitian ini variabel-variabel yang akan dikaji adalah: (1) Adult

Attachment, (2) Kekerasan Dalam Rumah Tangga,

1. Variabel Adult Attachment

Variabel Adult attachment dikonseptualisasikan sebagai model kerja internal

(internal working models) pada diri dan hubungannya dengan orang lain yang

berkembang seiring waktu melalui pengalaman dengan orang lain yang signifikan

yang dapat memengaruhi perasaan dan perilaku serta cara memandang dan

menafsirkan dunia dan hubungan.

Terdapat dua kerangka besar yaitu secure attachment dan insecure attachment.

Secure attachment ditandai dengan model kerja internal yang positif dari diri dan

orang lain, sedangkan insecure attachment ditandai dengan model kerja yang negatif

dari diri dan atau orang lain.


Attachment telah dikonseptualisasikan berdasarkan pada dua dimensi ortogonal:

anxious attachment, di mana individu mencari kedekatan, kemauan, dan perhatian dari

seseorang yang signifikan; dan avoidant attachment, di mana individu menunjukkan

kesulitan menjadi tergantung pada orang lain dan meninggalkan pencarian kedekatan

(Ainsworth et al. 1978; Fraley dan Roisman 2014; Fraley dan Waller 1998). Dimensi

tersebut mengarah pada orientasi attachment yang berbeda, yaitu (a) secure

attachment ketika kedua dimensi tersebuat berada pada level rendah, (b) anxious

attachment tingkat anxious tinggi dan tingkat avoidance yang rendah, dan (c)

avoidance attachment saat rendahnya anxious dan avoidance tinggi

Berdasarkan pengertian Adult Attachment, penelitian ini mengkaji tentang

bagaimana gambaran Adult Attachment pada penyintas kekerasan dalam rumah

tangga. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran Adult Attachment yang

ada pada diri seorang penyintas kekerasan dalam rumah tangga.

2. Variabel Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Isu kekerasan perempuan dalam rumah tangga di Indonesia masih dipandang

biasa, dan menganggap itu sebuah dinamika kehidupan yang harus dijalani. Sehingga

banyak perempuan rumah tangga yang tidak berani untuk melaporkan kekerasan yang

dialaminya karena beranggapan itu sebuah aib dalam keluarga yang tidak seharusnya

orang lain mengetahuinya. Fenomena kekerasan tersebut seoalah seperti gunung es.

Artinya bahwa kasus yang terungkap (publik) hanyalah sebagaian kecil dari bentuk

kekerasan pada perempuan dalam rumah tangga yang belum terekspose kepermukaan.

Tentu ini menjadi tugas semua pihak bahwa segala bentuk kekerasan harus dihilangkan,
khususnya pada perempuan. Penelitian ini memberikan gambaran bagaiaman konsep

Adult Attachment pada penyintas kekerasan dalam rumah tangga.

DAFTAR PUSTAKA

Rholes, W. S., Simpson J. A., Lorne. C., & Jami, G. 2001. Adult Attachment and the Transitions

to Parenthood. Journal of Personality and Social Psychology. Vol 81. No 3. 421-435.

Iriani, Fransisca. dan Ninawati. 2005. Gambaran kesejahteraan Psikologis Pada Dewasa Muda

ditinjau dari Pola Attachment. Jurnal Psikologi. Vol 2, No 1. 44-64.

Feeney, J.A. (2008). Adult Romantic Attachment: Developments in the Study of Couple

Relationships. In J. Cassidy & P.R. Shaver (Eds.), Handbook of Attachment: Theory,

Research, and Clinical Applications (p.456-481). New York: The Guilford Press.

Fraley, R. C., & Shaver, P.R. (2000). Adult Romantic Attachment: Theoretical Developments,

Emerging Controversies, and Unanswered Questions. Review of General Psychology,

4(2), 132-154.

Anda mungkin juga menyukai