Anda di halaman 1dari 7

RINGKASAN BUKU “TOMORROW IS TODAY”

NAMA : SRIJEIN SALAMA

NIM : 210100453

MATA KULIAH : MANAGEMEN SUMBER DAYA MANUSIA

UNIVERSITAS CENDIKIA MITRA INDONESIA


FAKULTAS EKONOMI DAN PSIKOLOGI
BAB 3 “Enam Perangkap”

6 PERANGKAP

1. Success Trap atau Complacency Trap


adalah fenomena di mana keberhasilan masa lalu membuat suatu perusahaan atau organisasi merasa
nyaman, terlalu puas dengan prestasi yang telah dicapai, dan akhirnya kehilangan kemampuan untuk
mengidentifikasi serta menanggapi perubahan di pasar. Contoh nyata termasuk perusahaan terkenal
seperti Chrysler, Circuit City, PanAm, Borders, dan Blockbuster, yang semuanya pernah menjadi
pemimpin di industri masing-masing, namun kemudian terjebak dalam perangkap ini.
Keberhasilan masa lalu dapat mengubah mindset, menciptakan paradigma bahwa metode atau strategi
yang sukses sebelumnya akan terus menjamin kesuksesan di masa depan. Namun, realitasnya tak
demikian. Keberhasilan masa lalu bukan jaminan kesuksesan berkelanjutan, dan ketidakmampuan
untuk terus beradaptasi dengan perubahan dapat membawa dampak yang fatal.
Penting untuk menyadari bahwa sukses bisa menjadi perangkap. Ketenangan dan kenyamanan yang
muncul dari kesuksesan bisa membuat perusahaan kehilangan kepekaan terhadap sinyal-sinyal
perubahan di pasar. Akibatnya, perusahaan mungkin gagal menanggapi kompetisi yang semakin ketat
atau tren yang berkembang.
Lior Arussy, Pendiri Strativity Group, menyuarakan pandangan serupa dengan menyebut bagian paling
berbahaya dari bisnis adalah kesuksesan. Menurutnya, kesuksesan dapat menciptakan kepuasan yang
mengubah fokus dari produktif menjadi puas. Strativity Group sendiri merupakan contoh perusahaan
yang berhasil tumbuh pesat, tetapi peringatannya tetap relevan, menegaskan bahwa bahaya Success
Trap selalu mengintai di balik kesuksesan.
Menurut Vijay Govindarajan (2016), perangkap sukses ini bukan muncul dari kecenderungan
perusahaan yang abai pada banyak hal, tetapi lebih pada bayangan akan kehebatan pada masa lalu. Efek
paling kejam dari jebakan ini adalah korporasi merasa sudah paham dengan apa yang harus dilakukan
untuk menghadapi masa depan. Perusahaan-perusahaan yang “sok tahu” inilah yang kemudian
menghadapi bahaya yang sebenarnya. Organisasi atau perusahaan-sehebat apa pun- harus selalu belajar.
Tanpa itu, mereka akan mati.

Bergerak Lebih Ke Hulu


PT Pembangunan Perumahan (PP) Tbk menerapkan strategi berani dengan bergerak ke segmen bisnis
yang lebih tinggi risiko dan mengarah ke hulu. Pada tahun 2011, mereka berpindah dari sektor
konstruksi ke bisnis Engineering, Procurement & Constructions (EPC), dan kemudian berinvestasi.
Langkah ini diambil untuk menghindari jatuh ke dalam perangkap keberhasilan masa lalu (Success
Trap). PP tidak hanya melakukan diversifikasi bisnis, tetapi juga melakukan perubahan struktur
organisasi, seperti mengubah pembagian per wilayah menjadi berdasarkan spesialisasi, untuk lebih
responsif terhadap perubahan pasar konstruksi. Meskipun menghadapi tantangan dan penyesuaian
yang signifikan, upaya ini menunjukkan keberanian PP untuk terus belajar dan beradaptasi dengan
dinamika pasar.

2. Competency Trap
Membangun kompetensi itu tidak. mudah. Meminjam istilah Dan Brown dalam novelnya The Da
Vinci Code (2003), memiliki core competency itu ibarat punya Holy Grail atau Cawan Suci. Kata
Jeffrey Pfeffer, pakar perilaku organisasi dari Graduate School of Business, Standford University, AS,
kalau sebuah perusahaan memiliki core competency, artinya produk atau jasanya sudah terbukti
memberi banyak keuntungan bagi pelanggannya, sulit untuk ditiru oleh para kompetitor, dan
memungkinkan perusahaan untuk me-leverage beragam produk dan sasaran beragam pasar.
Beberapa perusahaan sukses seperti Carl Zeiss, Daikin, Boeing, dan Airbus telah berhasil menemukan
inti keunggulan (core competency) mereka, yang memberikan kontribusi signifikan terhadap
pertumbuhan dan keberhasilan bisnis mereka. Namun, menurut konsep yang diuraikan oleh Vijay
Govindarajan, ada potensi risiko yang dapat muncul, yaitu Competency Trap, ketika perusahaan terlalu
terfokus pada pengembangan dan penguasaan satu kompetensi tertentu.
Govindarajan menjelaskan bahwa ada tahap di mana perusahaan yang telah menemukan inti
keunggulan akan cenderung menyuntikkan seluruh perhatian dan sumber daya mereka ke dalam bisnis
tersebut. Meskipun hal ini dapat memberikan keberlanjutan untuk jangka waktu tertentu, namun jika
perusahaan tersebut lengah, ia dapat jatuh ke dalam Competency Trap. Hal ini terjadi ketika perusahaan
gagal mengalokasikan anggaran dan upaya untuk mengembangkan kompetensi yang baru, yang
mungkin lebih sesuai dengan tren dan tuntutan pasar yang terus berubah.
Competency Trap tidak hanya menjadi ancaman bagi perusahaan, tetapi juga dapat ditemui oleh
bangsa-bangsa yang terperangkap dalam ideologi tertentu. China dan Rusia, yang dulunya memiliki
fondasi dalam paham komunisme, juga harus menjalani proses pembelajaran yang panjang untuk
beralih dari kompetensi lama yang terpusat pada kekuasaan negara menjadi kekuatan pasar. Terlepas
dari skala, baik perusahaan besar maupun bangsa, Competency Trap menunjukkan bahwa tidak ada
yang abadi di dunia bisnis dan politik.
Sebagai contoh konkret, beberapa perusahaan besar seperti Kodak, Yahoo, Blockbuster, dan Chrysler
telah menjadi korban Competency Trap. Pfeffer mencatat bahwa keyakinan mereka terhadap
kompetensi yang sudah dimiliki dapat menjaga kinerja perusahaan hingga masa depan ternyata tidak
selalu benar. Perubahan terus mewarnai lingkungan bisnis, dan perusahaan yang tidak beradaptasi
dengan cepat dapat menemui kegagalan akibat ketidakrelevanan kompetensi lama mereka.
Kesimpulannya, baik perusahaan maupun bangsa, harus tetap mempertahankan ketangkasan dan
kesiapan untuk terus belajar dan beradaptasi guna menghindari Competency Trap.

Jebakan Kompetensi Menumbangkan Yahoo


Yahoo, perusahaan internet yang sukses pada 1990-an hingga 2000-an, terperangkap dalam jebakan
kompetensi dengan fokus utama pada iklan banner. Pada puncaknya, Yahoo menolak kesempatan untuk
mengakuisisi Google pada 2002, menyebabkan kejatuhan fatal. Google berkembang pesat, melampaui
Yahoo dalam valuasi dan jumlah pengunjung.
Yahoo cenderung mempertahankan kompetensinya yang sudah ada, mengabaikan perkembangan bisnis
digital baru. Meskipun mencoba akuisisi seperti Flickr pada 2006, Yahoo gagal memahami tren media
sosial dan tidak mengembangkan potensi bisnis yang diakuisisinya. Sikap ini mengakibatkan reaksi
yang terlambat terhadap perubahan industri.
Terjebak dalam kompetensi lamanya, Yahoo kehilangan relevansi dan nilai. Pada 2017, dijual ke
Verizon dengan valuasi yang jauh di bawah puncak bisnisnya. Kisah Yahoo menjadi peringatan tentang
bahaya jebakan kompetensi, di mana perusahaan yang terlalu fokus pada kemampuan yang sudah
dimilikinya gagal beradaptasi dengan perubahan pasar, menghasilkan respons yang tragis dan terlambat.

Kunci Divisi Riset


Lalu bagaimana agar perusahaan tidak masuk dalam perangkap kompetensi? Kita bisa menggali
inspirasi dari PP.
Langkah utama PP adalah membaca sinyal-sinyal ini dengan cermat, terutama hadirnya teknologi 3D
printing dari Apis Cor dan WinSun. PP menyadari bahwa metode konstruksi tradisional dapat
terdisrupsi dengan teknologi ini, dan perusahaan perlahan meninggalkan kompetensi lamanya. PP
memasuki ranah baru dengan membangun kompetensi dalam aplikasi Building Information Modelling
(BIM) dan mengintegrasikannya dengan teknologi 3D printing.
Kunci keberhasilan PP terletak pada divisi riset yang mereka miliki. Divisi riset memiliki tugas jelas
untuk menyiapkan bisnis masa depan, dan PP menempatkan individu pintar, termasuk dari kalangan
Gen Y, di dalamnya. Hal ini tidak hanya klise tetapi efektif, karena memiliki orang-orang yang tidak
hanya pintar secara teori tetapi juga menguasai aplikasi yang relevan.
Pentingnya struktur organisasi dan pengelolaan sumber daya manusia menjadi penekanan untuk
perusahaan lain yang ingin menghindari perangkap kompetensi. Memiliki divisi riset yang efektif
dengan orang-orang yang memiliki pemahaman praktis dapat menjadi kunci untuk membaca dan
merespons sinyal perubahan dengan serius, sehingga perusahaan dapat tetap adaptif dan relevan di
pasar yang terus berkembang.

Membangun Kompetensi di 3D Printing


Prof. Iswandi Imran dari ITB dan PT Pembangunan Perumahan (PP) melihat potensi besar penerapan
teknologi 3D printing dalam industri konstruksi, khususnya untuk memenuhi kebutuhan perumahan
yang meningkat. Mereka tengah menganalisis potensi penggunaan 3D printing dalam pembangunan
gedung dengan bekerja sama dengan Apis Cor, sebuah startup yang berhasil mencetak rumah
berukuran 38 meter persegi dalam waktu 24 jam. Mesin printer 3D ini menggunakan semen tahan cuaca
dingin dan dapat diaplikasikan pada berbagai bentuk bangunan. Prof. Iswandi menekankan perlunya
pengembangan teknologi ini untuk bangunan tahan gempa di Indonesia. PP juga diminta untuk
mengeksplorasi cara efektif mengombinasikan teknologi ini untuk pembangunan gedung tinggi, yang
membutuhkan riset yang komprehensif untuk sistem struktur bagian atasnya.

3.Sunk-Cost Trap
Apakah pernah Anda tetap menonton film di bioskop meskipun tidak menikmatinya? Apakah Anda
pernah terjebak kemacetan di jalan tol, tetapi enggan keluar dan memilih untuk tetap melanjutkan-
meskipun jalan arteri di luar tol terlihat lebih lancar?
Jika ya, alasannya kebanyakan sederhana. Anda sudah telanjur membeli tiketnya. Jadi, kalau tidak
dilanjutkan, rasanya rugi. Padahal, kalau Anda melanjutkan di jalan yang sama, ruginya malah bisa dua
kali. Rugi sudah membeli tiket, dan rugi waktu (lantaran filmnya begitu membosankan atau waktu
tempuh menjadi lebih lama akibat kemacetan). Anda juga bisa menambahkan, rugi biaya BBM. Macet
membuat konsumsi BBM di mobil Anda jadi meningkat.
Begitulah kalau Anda sudah terjebak dalam Sunk-Cost Trap atau jebakan biaya yang telah
dikeluarkan.
Anda mungkin pernah membaca kata-kata yang diucapkan Warren Buffet yang bunyinya begini:
“Kalau Anda terperosok ke dalam lubang, hal terbaik yang bisa Anda lakukan minimal berhenti
menggali tanahnya”. Kalimat ini begitu powerful, terutama untuk menjelaskan betapa banyak CEO
yang menggali lubang terus-menerus ketika berhadapan dengan masalah, dengan mendiamkannya.
Mendiamkan masalah dapat menjadikan masalah, bak bakteri pembusuk yang dapat menularkan
kerusakan. Menuruti Warren Buffett, tentu saja minimal kita harus bisa menghentikannya.
Tiga psikolog, Hammond, Kenney, dan Raiffa (2011), baru- baru ini melansir temuannya yang dalam
metode pengambilan keputusan dikenal sebagai sunk-cost trap. Anda yang pernah belajar akuntansi
mungkin familier dengan kata sunk-cost yang oleh sebagian penulis diterjemahkan (maaf, ini agak lucu
bunyinya) menjadi biaya tenggelam. Maksudnya, ya, biaya yang sudah dikeluarkan (dan begitu besar)
yang tak bisa diambil kembali. Dia hilang begitu saja. Disebut trap atau perangkap karena tidak lain,
para pemimpin sering kali berputar-putar menyesali biaya itu dengan membiarkannya ada, padahal
asetnya sudah hilang, tenggelam. Aset itu sudah tak relevan lagi dipertahankan.

Hilang, Lenyap, atau…?


Sunk-Cost Trap, yang sering terjadi dalam pengambilan keputusan, dapat terlihat dalam berbagai
konteks seperti perobohan gedung di China yang dipilih sebagai alternatif ekonomis dibanding
renovasi, dan kecenderungan manusia untuk terus berinvestasi dalam keputusan sunk-cost,
sebagaimana contohnya terlihat pada bankir yang terus memberikan kredit kepada nasabah bermasalah,
CEO yang enggan memberlakukan pensiun dini bagi karyawan yang bermasalah, dan pemimpin partai
politik yang mempertahankan eksekutif yang bermasalah, mencerminkan kesulitan dalam melihat
masalah dari berbagai perspektif dan menunjukkan bahwa Sunk-Cost Trap menjadi perangkap
psikologis bagi pengambil keputusan yang kurang mampu melihat multiperspektif, sementara contoh
korporasi seperti program jet Concorde yang melibatkan Inggris dan Prancis menunjukkan dampak
negatif dari terperangkap dalam Sunk-Cost Trap.

4.Blame Trap
Blame Trap. Perusahaan juga sering kali terjebak pada Blame Trap. Kalau ada masalah, yang pertama
dicari adalah siapa yang harus disalahkan atau yang bisa dijadikan “pesakitan”. There must be someone
to be blamed. Bukan membereskan masalahnya terlebih dahulu. Atau, bukannya melakukan evaluasi
diri, tetapi sibuk mencari-cari kesalahan pihak lain. Kalau tidak ketemu baru kemudian menyalahkan
kondisi ekonomi makro yang memang buruk. Pokoknya harus ada yang bisa ditunjuk di luar sana, di
luar dirinya.
Fenomena serupa terjadi di perusahaan taksi konvensional dan hampir semua yang konvensional di
negeri ini. Baik itu taksi, hotel, ritel, maupun universitas, bank, asuransi, rumah sakit, dan seterusnya.
Ketika hadir taksi berbasis aplikasi yang membuat penghasilan usaha taksi konvensional tergerus,
perusahaan- perusahaan taksi konvensional segera menuding taksi-taksi online sebagai penyebabnya
Mereka kemudian menggelar demo. Beberapa mencegat taksi-taksi online dan memaksa
penumpangnya untuk turun. Ada juga yang bekerja sama dengan Dinas Perhubungan dan kepolisian
untuk merazia taksi-taksi online.
Jadi, mereka sibuk mencari pihak yang bisa disalahkan. Mereka bukannya mencari cara agar bisnisnya
efisien sehingga sanggup bersaing dengan taksi-taksi online.
Blame Trap membuat korporasi menjadi malas berbenah. Regulator juga mereka perangkap untuk
mengikuti irama mereka. Padahal, di situlah akar masalahnya. Lalu, korporasi juga menjadi manja dan
cengeng. Kalau ada masalah, sibuk menuding sana-sini.
Untunglah kultur semacam ini tidak ada pada PP.

5.Cannibalization Trap
Di sini yang dimaksud dengan kanibalisasi adalah dampak negatif yang terjadi akibat perusahaan
menghadirkan produk baru, dan produk tersebut menggerus pasar produk existing milik sendiri yang
juga diproduksi oleh perusahaan yang sama. Itu sebabnya banyak perusahaan sedapat mungkin
menahan produk-produk barunya. Sayangnya, langkah ini sebagian malah membuat perusahaan
terdisrupsi.
Industri kamera digital menjadi contoh nyata betapa perusahaan-perusahaan yang menganggap inovasi
sebagai penganibalan bisnis existing malah akan tenggelam secara perlahan-lahan. Inilah fenomena
Canibalization Trap.
Di ranah media, terdapat kecaman dari pelaku industri di media cetak terhadap kehadiran media online,
meski keduanya tergabung dalam satu kelompok usaha. Kritik tersebut muncul karena mereka khawatir
bahwa media online memiliki potensi menjadi kanibal bagi bisnis media cetak. Sebaliknya, seharusnya
optimal alokasi sumber daya dilakukan untuk mendukung kedua platform tersebut. Historisnya,
industri media cetak telah menikmati bisnis dari penjualan oplah maupun iklan. Namun, saat media
online muncul, konsumen mendapatkan akses berita secara gratis dan instan, bahkan peristiwa yang
terjadi di belahan dunia dapat diketahui dalam hitungan menit. Di sisi lain, media cetak membutuhkan
waktu hingga esok hari untuk menyampaikan berita, membuatnya terkesan tertinggal. Selain itu,
konsumen harus membayar untuk mendapatkan berita dari media cetak, sementara media online
menyediakannya secara gratis.
Momentum ini menciptakan ketegangan di kalangan eksekutif media cetak. Sejumlah pelaku industri
mengakui bahwa rekan-rekan mereka yang memiliki gagasan untuk mendirikan media online pernah
menghadapi ketidaksetujuan dari yang lain. Alasan di baliknya adalah kekhawatiran bahwa langkah
tersebut akan mengganggu bisnis yang sudah ada. Namun, jika kita melihat kondisi saat ini, masyarakat
cenderung beralih ke media online, terutama melalui smartphone, menggeser kebiasaan membaca
koran cetak. Meskipun demikian, beberapa orang masih melihat nilai di koran cetak, terutama saat
mereka mencari referensi atau informasi yang tidak tersedia dalam media online.
Kasus serupa juga dialami oleh banyak akademisi di fakultasnya masing-masing, di mana jurusan yang
berkembang menjadi besar dan berpotensi untuk berdiri sendiri menghadapi tantangan. Misalnya,
jurusan komputer, yang awalnya merupakan bagian dari jurusan atau fakultas MIPA (Matematika dan
IPA), juga pernah dihadapkan pada penentangan untuk berdiri sendiri. Fenomena serupa dapat ditemui
dalam berbagai sektor industri, menunjukkan bagaimana inovasi baru sering kali dianggap sebagai
ancaman yang dapat menghancurkan bisnis yang sudah mapan. Contoh yang mencolok adalah kasus
Kodak yang enggan mengembangkan kamera digital karena khawatir akan mengganggu bisnis kamera
konvensionalnya. Paradoxalnya, bisnis Kodak kemudian terdisrupsi oleh kemajuan kamera digital yang
dikembangkan oleh perusahaan lain, padahal cikal bakal teknologi tersebut berasal dari Kodak pada
tahun 1974.
Sikap tertutup orang-orang yang enggan menerima perubahan seringkali menyebabkan inovasi
dianggap sebagai ancaman. Sebaliknya, individu yang berpikiran terbuka cenderung ingin memahami
perkembangan dan memberikan ruang bagi ide-ide inovatif.

Berdamai dengan Disruption


Di Indonesia, belum banyak eksekutif yang mampu melihat tren ke depan. Hanya perusahaan-
perusahaan yang memiliki visi tajamlah yang mampu mengidentifikasi hal-hal yang berpotensi
memunculkan disruption. PP, konstruksi,memiliki visi itu.
Sebagai perusahaan konstruksi, PP memperlihatkan keterbukaan terhadap inovasi, sebuah budaya yang
seringkali lebih terasosiasi dengan perusahaan-perusahaan di bidang teknologi. PP menyadari bahwa
teknologi terus berkembang dan menolaknya dapat menjadi ancaman serius terhadap kelangsungan
bisnis. Sebagai alternatif, PP memilih untuk berdamai dan bahkan merangkul perkembangan teknologi.
Komitmen ini tercermin dalam alokasi anggaran riset yang digunakan untuk mendukung
pengembangan bisnis ke depan. Melalui dana riset ini, PP dapat mengidentifikasi potensi disruptor dan
berada di garis depan dalam menghadapi perubahan industri. Saat ini, PP sedang menjajaki
penggunaan teknologi 3D printing untuk mencetak bangunan yang didesain dengan aplikasi Building
Information Modelling (BIM). Meskipun hal ini dapat menjadi "kanibal" bagi metode konstruksi
sebelumnya, PP menyadari bahwa menghadapi laju perkembangan teknologi adalah keniscayaan.
Kesediaan untuk terus belajar menjadi kunci bertahan dan berkembang dalam era transformasi ini.

6.Confirmation Trap
Ini adalah sebuah kondisi ketika korporasi berusaha untuk membenarkan sikap atau pilihan bisnisnya
dengan cara meminta konfirmasi pihak lain. Siapa pihak lain itu? Bisa siapa saja. PP pernah
melakukannya.
Untuk menguji apakah aplikasi Building Information Modelling (BIM) yang dikembangkan PP benar-
benar aplikasi yang mempunyai dampak positif, PP mengikutsertakannya dalam sebuah lomba. BIM
adalah aplikasi yang dipakai untuk mendesain sebuah bangunan. Kalau aplikasi desain biasanya hanya
3 dimensi (3D), BIM sampai 7 dimensi (7D).
Aplikasi BIM yang dimiliki oleh PP mencakup seluruh aspek dari konsep desain, detail, analisis,
sistem dokumentasi, perhitungan untuk fabrikasi, proses konstruksi, perhitungan logistik, sistem
operasi, pemeliharaan, hingga renovasi dalam BIM 7D. Kelebihan ini dirancang oleh PP sebagai solusi
untuk masalah umum dalam industri konstruksi, termasuk minimnya waktu desain, rendahnya kualitas
desain, dan masalah koordinasi yang selama ini terjadi secara manual, membuka peluang kesalahan
yang berpotensi membahayakan, terutama pada bangunan strategis. PP mengikuti lomba
pengembangan BIM sebagai Digital Development Corporate untuk menguji aplikasi BIM-nya dan
meraih juara I di kategori bergengsi BUMN Marketeers Award 2017, menegaskan keberhasilan strategi
konfirmasi yang diambil PP.
Namun, banyak perusahaan melakukan konfirmasi lantaran kurang percaya diri atau untuk tujuan-
tujuan yang lain. Misalnya, perusahaan mengundang konsultan atau peneliti yang tujuannya untuk
memberi “stempel” pembenaran atas kejadian negatif yang menimpa perusahaan. Penjualan turun,
pabrik salah urus, mesin salah beli, proses bisnis keliru dan seterusnya. Semua bisa dicari
pembenarannya.
Sesekali mungkin bisa saja. Namun, kalau untuk setiap langkah perusahaan selalu melakukan
konfirmasi, apalagi kalau langkahnya tak terlalu strategis. Saya menganggap perusahaan semacam ini
sudah masuk dalam perangkap konfirmasi atau Confirmation Trap. Mereka terjebak untuk sedikit-
sedikit bertanya. Tentu ini akan merepotkan, dan bisa menghabiskan banyak biaya.
PP memiliki kebiasaan unik yang membebaskannya dari jebakan Confirmation Trap. Perusahaan ini
mendorong pertumbuhan inovasi dengan menggelar ajang inovasi tahunan di tingkat korporat, di mana
setiap gagasan memiliki kesempatan untuk bersaing. PP juga aktif mengikutsertakan hasil inovasinya
dalam berbagai lomba dan merancang konferensi untuk mendapatkan masukan dan ide-ide baru.
Sebagai contoh, PP menggelar seminar internasional tentang 3D printing sebagai upaya untuk
memahami potensi disrupsi teknologi tersebut dalam industri konstruksi. Pendekatan ini juga berfungsi
sebagai sarana edukasi untuk pemangku kepentingan, memastikan dukungan dari pasar dan regulasi
saat ide-ide inovatif diterapkan. PP melakukan konfirmasi dengan bijak, tanpa terperangkap dalam
jebakan Confirmation Trap.

Anda mungkin juga menyukai