NIM : 210100453
6 PERANGKAP
2. Competency Trap
Membangun kompetensi itu tidak. mudah. Meminjam istilah Dan Brown dalam novelnya The Da
Vinci Code (2003), memiliki core competency itu ibarat punya Holy Grail atau Cawan Suci. Kata
Jeffrey Pfeffer, pakar perilaku organisasi dari Graduate School of Business, Standford University, AS,
kalau sebuah perusahaan memiliki core competency, artinya produk atau jasanya sudah terbukti
memberi banyak keuntungan bagi pelanggannya, sulit untuk ditiru oleh para kompetitor, dan
memungkinkan perusahaan untuk me-leverage beragam produk dan sasaran beragam pasar.
Beberapa perusahaan sukses seperti Carl Zeiss, Daikin, Boeing, dan Airbus telah berhasil menemukan
inti keunggulan (core competency) mereka, yang memberikan kontribusi signifikan terhadap
pertumbuhan dan keberhasilan bisnis mereka. Namun, menurut konsep yang diuraikan oleh Vijay
Govindarajan, ada potensi risiko yang dapat muncul, yaitu Competency Trap, ketika perusahaan terlalu
terfokus pada pengembangan dan penguasaan satu kompetensi tertentu.
Govindarajan menjelaskan bahwa ada tahap di mana perusahaan yang telah menemukan inti
keunggulan akan cenderung menyuntikkan seluruh perhatian dan sumber daya mereka ke dalam bisnis
tersebut. Meskipun hal ini dapat memberikan keberlanjutan untuk jangka waktu tertentu, namun jika
perusahaan tersebut lengah, ia dapat jatuh ke dalam Competency Trap. Hal ini terjadi ketika perusahaan
gagal mengalokasikan anggaran dan upaya untuk mengembangkan kompetensi yang baru, yang
mungkin lebih sesuai dengan tren dan tuntutan pasar yang terus berubah.
Competency Trap tidak hanya menjadi ancaman bagi perusahaan, tetapi juga dapat ditemui oleh
bangsa-bangsa yang terperangkap dalam ideologi tertentu. China dan Rusia, yang dulunya memiliki
fondasi dalam paham komunisme, juga harus menjalani proses pembelajaran yang panjang untuk
beralih dari kompetensi lama yang terpusat pada kekuasaan negara menjadi kekuatan pasar. Terlepas
dari skala, baik perusahaan besar maupun bangsa, Competency Trap menunjukkan bahwa tidak ada
yang abadi di dunia bisnis dan politik.
Sebagai contoh konkret, beberapa perusahaan besar seperti Kodak, Yahoo, Blockbuster, dan Chrysler
telah menjadi korban Competency Trap. Pfeffer mencatat bahwa keyakinan mereka terhadap
kompetensi yang sudah dimiliki dapat menjaga kinerja perusahaan hingga masa depan ternyata tidak
selalu benar. Perubahan terus mewarnai lingkungan bisnis, dan perusahaan yang tidak beradaptasi
dengan cepat dapat menemui kegagalan akibat ketidakrelevanan kompetensi lama mereka.
Kesimpulannya, baik perusahaan maupun bangsa, harus tetap mempertahankan ketangkasan dan
kesiapan untuk terus belajar dan beradaptasi guna menghindari Competency Trap.
3.Sunk-Cost Trap
Apakah pernah Anda tetap menonton film di bioskop meskipun tidak menikmatinya? Apakah Anda
pernah terjebak kemacetan di jalan tol, tetapi enggan keluar dan memilih untuk tetap melanjutkan-
meskipun jalan arteri di luar tol terlihat lebih lancar?
Jika ya, alasannya kebanyakan sederhana. Anda sudah telanjur membeli tiketnya. Jadi, kalau tidak
dilanjutkan, rasanya rugi. Padahal, kalau Anda melanjutkan di jalan yang sama, ruginya malah bisa dua
kali. Rugi sudah membeli tiket, dan rugi waktu (lantaran filmnya begitu membosankan atau waktu
tempuh menjadi lebih lama akibat kemacetan). Anda juga bisa menambahkan, rugi biaya BBM. Macet
membuat konsumsi BBM di mobil Anda jadi meningkat.
Begitulah kalau Anda sudah terjebak dalam Sunk-Cost Trap atau jebakan biaya yang telah
dikeluarkan.
Anda mungkin pernah membaca kata-kata yang diucapkan Warren Buffet yang bunyinya begini:
“Kalau Anda terperosok ke dalam lubang, hal terbaik yang bisa Anda lakukan minimal berhenti
menggali tanahnya”. Kalimat ini begitu powerful, terutama untuk menjelaskan betapa banyak CEO
yang menggali lubang terus-menerus ketika berhadapan dengan masalah, dengan mendiamkannya.
Mendiamkan masalah dapat menjadikan masalah, bak bakteri pembusuk yang dapat menularkan
kerusakan. Menuruti Warren Buffett, tentu saja minimal kita harus bisa menghentikannya.
Tiga psikolog, Hammond, Kenney, dan Raiffa (2011), baru- baru ini melansir temuannya yang dalam
metode pengambilan keputusan dikenal sebagai sunk-cost trap. Anda yang pernah belajar akuntansi
mungkin familier dengan kata sunk-cost yang oleh sebagian penulis diterjemahkan (maaf, ini agak lucu
bunyinya) menjadi biaya tenggelam. Maksudnya, ya, biaya yang sudah dikeluarkan (dan begitu besar)
yang tak bisa diambil kembali. Dia hilang begitu saja. Disebut trap atau perangkap karena tidak lain,
para pemimpin sering kali berputar-putar menyesali biaya itu dengan membiarkannya ada, padahal
asetnya sudah hilang, tenggelam. Aset itu sudah tak relevan lagi dipertahankan.
4.Blame Trap
Blame Trap. Perusahaan juga sering kali terjebak pada Blame Trap. Kalau ada masalah, yang pertama
dicari adalah siapa yang harus disalahkan atau yang bisa dijadikan “pesakitan”. There must be someone
to be blamed. Bukan membereskan masalahnya terlebih dahulu. Atau, bukannya melakukan evaluasi
diri, tetapi sibuk mencari-cari kesalahan pihak lain. Kalau tidak ketemu baru kemudian menyalahkan
kondisi ekonomi makro yang memang buruk. Pokoknya harus ada yang bisa ditunjuk di luar sana, di
luar dirinya.
Fenomena serupa terjadi di perusahaan taksi konvensional dan hampir semua yang konvensional di
negeri ini. Baik itu taksi, hotel, ritel, maupun universitas, bank, asuransi, rumah sakit, dan seterusnya.
Ketika hadir taksi berbasis aplikasi yang membuat penghasilan usaha taksi konvensional tergerus,
perusahaan- perusahaan taksi konvensional segera menuding taksi-taksi online sebagai penyebabnya
Mereka kemudian menggelar demo. Beberapa mencegat taksi-taksi online dan memaksa
penumpangnya untuk turun. Ada juga yang bekerja sama dengan Dinas Perhubungan dan kepolisian
untuk merazia taksi-taksi online.
Jadi, mereka sibuk mencari pihak yang bisa disalahkan. Mereka bukannya mencari cara agar bisnisnya
efisien sehingga sanggup bersaing dengan taksi-taksi online.
Blame Trap membuat korporasi menjadi malas berbenah. Regulator juga mereka perangkap untuk
mengikuti irama mereka. Padahal, di situlah akar masalahnya. Lalu, korporasi juga menjadi manja dan
cengeng. Kalau ada masalah, sibuk menuding sana-sini.
Untunglah kultur semacam ini tidak ada pada PP.
5.Cannibalization Trap
Di sini yang dimaksud dengan kanibalisasi adalah dampak negatif yang terjadi akibat perusahaan
menghadirkan produk baru, dan produk tersebut menggerus pasar produk existing milik sendiri yang
juga diproduksi oleh perusahaan yang sama. Itu sebabnya banyak perusahaan sedapat mungkin
menahan produk-produk barunya. Sayangnya, langkah ini sebagian malah membuat perusahaan
terdisrupsi.
Industri kamera digital menjadi contoh nyata betapa perusahaan-perusahaan yang menganggap inovasi
sebagai penganibalan bisnis existing malah akan tenggelam secara perlahan-lahan. Inilah fenomena
Canibalization Trap.
Di ranah media, terdapat kecaman dari pelaku industri di media cetak terhadap kehadiran media online,
meski keduanya tergabung dalam satu kelompok usaha. Kritik tersebut muncul karena mereka khawatir
bahwa media online memiliki potensi menjadi kanibal bagi bisnis media cetak. Sebaliknya, seharusnya
optimal alokasi sumber daya dilakukan untuk mendukung kedua platform tersebut. Historisnya,
industri media cetak telah menikmati bisnis dari penjualan oplah maupun iklan. Namun, saat media
online muncul, konsumen mendapatkan akses berita secara gratis dan instan, bahkan peristiwa yang
terjadi di belahan dunia dapat diketahui dalam hitungan menit. Di sisi lain, media cetak membutuhkan
waktu hingga esok hari untuk menyampaikan berita, membuatnya terkesan tertinggal. Selain itu,
konsumen harus membayar untuk mendapatkan berita dari media cetak, sementara media online
menyediakannya secara gratis.
Momentum ini menciptakan ketegangan di kalangan eksekutif media cetak. Sejumlah pelaku industri
mengakui bahwa rekan-rekan mereka yang memiliki gagasan untuk mendirikan media online pernah
menghadapi ketidaksetujuan dari yang lain. Alasan di baliknya adalah kekhawatiran bahwa langkah
tersebut akan mengganggu bisnis yang sudah ada. Namun, jika kita melihat kondisi saat ini, masyarakat
cenderung beralih ke media online, terutama melalui smartphone, menggeser kebiasaan membaca
koran cetak. Meskipun demikian, beberapa orang masih melihat nilai di koran cetak, terutama saat
mereka mencari referensi atau informasi yang tidak tersedia dalam media online.
Kasus serupa juga dialami oleh banyak akademisi di fakultasnya masing-masing, di mana jurusan yang
berkembang menjadi besar dan berpotensi untuk berdiri sendiri menghadapi tantangan. Misalnya,
jurusan komputer, yang awalnya merupakan bagian dari jurusan atau fakultas MIPA (Matematika dan
IPA), juga pernah dihadapkan pada penentangan untuk berdiri sendiri. Fenomena serupa dapat ditemui
dalam berbagai sektor industri, menunjukkan bagaimana inovasi baru sering kali dianggap sebagai
ancaman yang dapat menghancurkan bisnis yang sudah mapan. Contoh yang mencolok adalah kasus
Kodak yang enggan mengembangkan kamera digital karena khawatir akan mengganggu bisnis kamera
konvensionalnya. Paradoxalnya, bisnis Kodak kemudian terdisrupsi oleh kemajuan kamera digital yang
dikembangkan oleh perusahaan lain, padahal cikal bakal teknologi tersebut berasal dari Kodak pada
tahun 1974.
Sikap tertutup orang-orang yang enggan menerima perubahan seringkali menyebabkan inovasi
dianggap sebagai ancaman. Sebaliknya, individu yang berpikiran terbuka cenderung ingin memahami
perkembangan dan memberikan ruang bagi ide-ide inovatif.
6.Confirmation Trap
Ini adalah sebuah kondisi ketika korporasi berusaha untuk membenarkan sikap atau pilihan bisnisnya
dengan cara meminta konfirmasi pihak lain. Siapa pihak lain itu? Bisa siapa saja. PP pernah
melakukannya.
Untuk menguji apakah aplikasi Building Information Modelling (BIM) yang dikembangkan PP benar-
benar aplikasi yang mempunyai dampak positif, PP mengikutsertakannya dalam sebuah lomba. BIM
adalah aplikasi yang dipakai untuk mendesain sebuah bangunan. Kalau aplikasi desain biasanya hanya
3 dimensi (3D), BIM sampai 7 dimensi (7D).
Aplikasi BIM yang dimiliki oleh PP mencakup seluruh aspek dari konsep desain, detail, analisis,
sistem dokumentasi, perhitungan untuk fabrikasi, proses konstruksi, perhitungan logistik, sistem
operasi, pemeliharaan, hingga renovasi dalam BIM 7D. Kelebihan ini dirancang oleh PP sebagai solusi
untuk masalah umum dalam industri konstruksi, termasuk minimnya waktu desain, rendahnya kualitas
desain, dan masalah koordinasi yang selama ini terjadi secara manual, membuka peluang kesalahan
yang berpotensi membahayakan, terutama pada bangunan strategis. PP mengikuti lomba
pengembangan BIM sebagai Digital Development Corporate untuk menguji aplikasi BIM-nya dan
meraih juara I di kategori bergengsi BUMN Marketeers Award 2017, menegaskan keberhasilan strategi
konfirmasi yang diambil PP.
Namun, banyak perusahaan melakukan konfirmasi lantaran kurang percaya diri atau untuk tujuan-
tujuan yang lain. Misalnya, perusahaan mengundang konsultan atau peneliti yang tujuannya untuk
memberi “stempel” pembenaran atas kejadian negatif yang menimpa perusahaan. Penjualan turun,
pabrik salah urus, mesin salah beli, proses bisnis keliru dan seterusnya. Semua bisa dicari
pembenarannya.
Sesekali mungkin bisa saja. Namun, kalau untuk setiap langkah perusahaan selalu melakukan
konfirmasi, apalagi kalau langkahnya tak terlalu strategis. Saya menganggap perusahaan semacam ini
sudah masuk dalam perangkap konfirmasi atau Confirmation Trap. Mereka terjebak untuk sedikit-
sedikit bertanya. Tentu ini akan merepotkan, dan bisa menghabiskan banyak biaya.
PP memiliki kebiasaan unik yang membebaskannya dari jebakan Confirmation Trap. Perusahaan ini
mendorong pertumbuhan inovasi dengan menggelar ajang inovasi tahunan di tingkat korporat, di mana
setiap gagasan memiliki kesempatan untuk bersaing. PP juga aktif mengikutsertakan hasil inovasinya
dalam berbagai lomba dan merancang konferensi untuk mendapatkan masukan dan ide-ide baru.
Sebagai contoh, PP menggelar seminar internasional tentang 3D printing sebagai upaya untuk
memahami potensi disrupsi teknologi tersebut dalam industri konstruksi. Pendekatan ini juga berfungsi
sebagai sarana edukasi untuk pemangku kepentingan, memastikan dukungan dari pasar dan regulasi
saat ide-ide inovatif diterapkan. PP melakukan konfirmasi dengan bijak, tanpa terperangkap dalam
jebakan Confirmation Trap.