Anda di halaman 1dari 16

RESUME KULIAH XIV

STRATEGIG MANAGEMENT

DISRUPTION ERA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Strategic Management”

Dosen Pengampu:

Prof Dr. H. Hapzi Ali, M.M., CMA.

Oleh:

Rame Priyanto
NIM 55117120122

Program Studi Magister Manajemen


Universitas Mercu Buana
2018
RESUME PERKULIAHAN STRATEGIC MANAGEMENT

DISRUPTION ERA

A. Perkembangan Bisnis di Era Disruption

Disruption adalah singkatan Disruptive Innovation. Diistilahkan disruptive (menganggu)


karena adanya pergesaran model bisnis dari era analog ke era digital dengan inovasi-inovasi
digital yang membuat segalanya menjadi mudah. Disruptif adalah salah satu kata yang paling
sering digunakan di dunia bisnis. Hal ini terkait dengan hal-hal yang mengganggu pada sebuah
bisnis. Istilah “disruption” dicetuskan oleh Clayton Christensen 1997, The Innovator’s
Dilemma. Di dalamnya, Christensen memperkenalkan gagasan “disruptif innovation” di dalam
dunia bisnis. Ia menggunakan ungkapan ini sebagai cara untuk memikirkan perusahaan yang
sukses tidak hanya memenuhi kebutuhan pelanggan saat ini, namun mengantisipasi kebutuhan
mereka di masa depan. Teorinya menjelaskan bagaimana perusahaan kecil dengan sumber daya
yang minim mampu memasuki pasar dan menggantikan sistem yang sudah mapan. Saat Era
keemasaan Nokia tiba-tiba di disruptive oleh Innovasi Blackberry. Nokia pun tumbang. Dan
benar saja Nokia tidak mengalami kesalahan apapun, hanya saja brand mereka terdisruptive
oleh brand yang telah berinovasi, sedangkan Nokia hanya bertahan pada zona nyamannya tidak
melakukan Disruption untuk melawan Innovasi perusahaan pesaingnya. Taksi konvensional,
telah didisruptive oleh Si Hijau yaitu Go-Jek bahkan nyaris tanpa warna khas (Go-Car). Ketika
dulu jika kita hendak mencari barang belanjaan kita harus ke pasar tradisonal atau perkulakan,
sekarang kita hanya menggunakan jari saja. Dan pasar-pasar mulai terganggu dan
bertumbangan.

Digitalisasi adalah akibat dari evolusi teknologi (terutama informasi) yang mengubah
hampir semua tatanan kehidupan, termasuk tatanan dalam berusaha. Sebagian pihak
mengatakan bahwa disrupsi adalah sebuah ancaman. Namun banyak pihak pula mengatakan
kondisi saat ini adalah peluang. Era disrupsi ini merupakan fenomena ketika masyarakat
menggeser aktivitas-aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata, ke dunia maya.
Fenomena ini berkembang pada perubahan pola dunia bisnis. Kemunculan transportasi daring
adalah salah satu dampaknya yang paling populer di Indonesia.
B. Inilah yang dinamakan Era Disruption

Perusahaan Startup sekarang memegang pangsa pasar hampir di semua lini dengan
pendanaan yang luar biasa dan dengan valuasi nilai perusahaan yang luar biasa pula. Garuda
Indonesia yang memiliki lebih dari 1500an armada pesawat beserta manajemennya di seluruh
dunia bervaluasi sebersar 17 Triliun rupiah. Sedangkan Go-Jek yang tidak memiliki 1
armadapun yang menjadi milik perusahaan bervaluasi sebesar 51 Triliun. Go-Jek hanya
memiliki Aplikasi mampu memiliki valuasi sebesar itu. Inilah era digital atau yang lebih
dikenal dengan Era Disruption.

Apa yang terjadi dengan dunia bisnis 20 tahun mendatang? Mari kita persiapkan diri
kita, dan bisnis kita untuk mengahadapi era digital kedepan ini dengan bekal ilmu pengetahuan
dan tidak ketingglan teknologi. Dunia akan berubah begitu cepatnya saat teknologi menjadi
bertambah canggih. Ketika mengamati para millennial, ada beberapa pola yang menarik untuk
diamati. Ambil digitalisasi umum yang memastikan generasi ini terbiasa memiliki manfaat
teknologi di berbagai titik kontak telekomunikasi, musik, perjalanan, ritel, dan buku - dan
mereka mengharapkan inovasi, kecepatan, keandalan, dan akses yang sama dari interaksi apa
pun dengan penyedia produk dan layanan.

Sebuah laporan oleh Goldman Sachs mengatakan kita bergerak cepat menuju 'ekonomi
berbagi'. Para Millenium percaya bahwa mereka akan lebih bahagia daripada orang tua mereka
dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di Eropa dan Jepang. Ini adalah indikasi yang jelas
dari optimisme umum tentang skenario ekonomi di dunia.

C. Hal Penting Dalam Disrupsi

Rhenald Kasali dalam Kompas.com mengungkapkan bahwa terdapat 5 (lima) hal


penting dalam disrupsi yaitu:

- Disrupsi berakibat terhadap penghematan banyak biaya melalui proses bisnis yang
menjadi lebih simpel.
- Disrupsi membuat kualitas apapun yang dihasilkannya lebih baik daripada sebelumnya.
- Disrupsi berpotensi menciptakan pasar baru, atau membuat mereka yang selama ini ter-
eksklusi menjadi ter-inklusi. Membuat pasar yang selama ini tertutup menjadi terbuka.
- Produk/jasa hasil disrupsi ini harus lebih mudah diakses atau dijangkau oleh para
penggunanya. Seperti juga layanan ojek atau taksi online, atau layanan perbankan dan
termasuk financial technology, semua kini tersedia di dalam genggaman, dalam
smartphone.
- Disrupsi membuat segala sesuatu kini menjadi serba smart. Lebih pintar, lebih menghemat
waktu dan lebih akurat.

Dalam ilmu strategic management, sebenarnya disrupsi adalah hal yang biasa dalam dunia
bisnis. Pada dasarnya disrupsi adalah perubahan yang terjadi pada lingkungan bisnis yang
secara alami memang selalu berubah dan dinamis. Dari zaman dahulu disrupsi sudah terjadi,
dan kejadiannya biasanya dikarenakan oleh terciptanya teknologi yang membuat proses bisnis
lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan proses sebelumnya.

D. Perubahan dalam era disrupsi

Sebagian besar orang akan mengatakan, disrupsi tengah terjadi. Perubahannya tidak
terasa di awal. Bahkan sudah terlanjur terlambat untuk menyadarinya. Tentu, akan ada pihak
yang panik karena semuanya terjadi secara tiba-tiba. Bersifat kejutan (surprise). Namun,
meskipun begitu, tetap saja tidak menyadari bahwa disrupsi juga menandakan adanya hal-hal
yang berubah. Hal-hal yang tidak sama lagi dengan sebelumnya sehingga membutuhkan cara-
cara baru untuk dapat menakkukannya. Minimal, ada 3 hal yang harus dipahami telah berubah:

- Pasar yang baru. Disruption pada akhirnya mencptakan suatu dunia baru: digital
marketplace.
- Nasib yang berbeda. Dalam menghadapi pertarungan yang kompetitif, akan selalu ada akhir
yang berbeda bagi masing-masing pemain, inovasi yang berkelanjutan adalah kunci.
- Bersaing dengan business model. Ada yang berubah dalam melakukan pemasaran ketika
sudah memasuki era disrupsi. Kini, pertarungannya pun tidak sesederhana hanya sekadar
produk. Melainkan mencakup pada model bisnis (business model).

Cara Menghadapi Era Disrupsi Disruption menjadi berat karena banyak orang, termasuk
wirausaha dan regulator, tidak tahu apa yang tengah terjadi. Semua orang berpikir bahwa
mereka telah melakukan cara-cara terbaik. Tak hanya langkah-langkah manajerial yang
sistematis, prinsip-prinsip strong brand dan inovasi pun telah diterapkan.

Berikut adalah 7 (tujuh) cara yang dapat dilakukan oleh bisnis dalam menghadapi era
disrupsi ini agar bisnis tidak kehilangan pelanggannya atau bahkan mati:
1) Trend Watching. Cara menghadapi era disrupsi yang pertama adalah melakukan Trend
watching yaitu kegiatan dalam memantau perubahan trend dalam lingkungan bisnis.
Komponen-komponen yang harus dipantau yaitu trend teknologi, ekonomi, budaya,
politik, dan lingkungan alam. Informasi dari trend watching dapat digunakan untuk
melakukan adaptasi dan antisipasi, sehingga efek dari disrupsi dapat diminimalisir, atau
bahkan dapat menjadi agent of disruption, yaitu pelaku bisnis yang menjadi pionir dalam
disrupsi.
2) Research. Dengan riset informasi yang didapat dapat dipertanggungjawabkan mengenai
kesahihan dan keabsahannya, karena dilakukan secara ilmiah. Oleh karena itu bisnis di era
ini harus memiliki fungsi riset, yang biasa dinamakan R&D (research & development).
3) Risk Management. Lingkungan yang terdisrupsi pada dasarnya akan menjadi pemicu dari
resiko bisnis. Risk management disini dapat difokuskan kepada disruption management
mengenai bagaimana disrupsi diidentifikasi, dianalisis dan dievaluasi, sehingga bisnis
dapat memiliki ruang dan waktu untuk mengantisipasi gejala disrupsi yang akan terjadi.
4) Inovation. Dengan membuat terobosan-terobosan baru atau penyesuaian-penyesuaian
pada bisnis yang lama agar lebih sesuai dengan era dimana masa disrupsi terjadi.
5) Switching. Cara ini dapat dilakukan jika bisnis yang ada tidak dapat lagi dimodifikasi,
maka solusinya adalah harus berani memutar haluan atau mematikan produk yang sudah
dimiliki.
6) Partnership. Era disrupsi pada masa ini membuat bisnis sulit untuk bertempur sendiri
karena persaingan sudah sangat kompleks dan proses bisnis sudah ter-inklusi. Oleh karena
itu solusinya adalah dengan melakukan kolaborasi dan aliansi-aliansi strategis mulai dari
sisi input sampai output dalam supply chain agar bisnis menjadi lebih efektif dan efisien.
7) Change Management. Hal ini dapat dilakukan untuk merubah pola pikir dan kesadaran
dari elemen sumber daya manusia dalam organisasi bisnis agar dapat bahu-membahu
melakukan perubahan.

Disruption mengubah banyak hal sedemikian rupa, sehingga cara-cara bisnis lama
menjadi obsolete. Menjadi usang atau ketinggalan zaman. Disruption bukan sekedar fenomena
hari ini (today), melainkan fenomena "hari esok" (the future) yang dibawa oleh para pembaharu
ke saat ini, hari ini (the present). Pemahaman seperti ini menjadi penting karena sekarang kita
tengah berada dalam sebuah peradaban baru. Kita baru saja melewati gelombang tren yang
amat panjang, yang tiba-tiba terputus begitu saja (a trend break). Bahayanya adalah semakin
"berpengalaman" dan "merasa pintar" seseorang, dia akan semakin sulit untuk "membaca"
fenomena ini. Ia akan amat mungkin mengalami "the past trap" atau "success trap". Apalagi
untuk mencerna dan berselancar di atas gelombang disrupsi. Itu akan sulit sekali diterima oleh
orang yang pintar dan berpengalaman tadi. Mengapa? Sederhana saja, yakni karena pikiran
tersebut amat kental logika masa lalunya. Disruption sesungguhnya terjadi secara meluas.
Mulai dari pemerintahan, ekonomi, hukum, politik, sampai penataan kota, konstruksi,
pelayanan kesehatan, pendidikan, kompetisi bisnis dan juga hubungan-hubungan sosial.

Saat ini kita menyaksikan banyak perusahaan sedang susah akibat gempuran
perusahaan-perusahaan yang berbasis digital, bukan berarti perusahaan konvensional tak akan
mengalaminya. Perusahaan dari segala jenjang dan industri perlu menerapkan teknologi baru
guna menciptakan model-model bisnis canggih yang mampu menghadirkan nilai yang lebih
besar bagi para pelanggan mereka karena ada lawan-lawan yang tidak terlihat yang berusaha
untuk menggeser kedudukan mereka. Lawan-lawan tersebut tidak memiliki bentuk fisik yang
sama dengan perusahaanperusahaan yang besar, tetapi dapat menyaingi mereka. Dengan
meluasnya gaya hidup digital, para konsumen kini dimanjakan dengan beragai pilihan dan
memiliki ekspektasi yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Di era disrupsi kita harus
mempunyai pilihan, membentuk ulang (reshape) atau menciptakan yang baru (create). Jika kita
memutuskan untuk reshape, maka kita bisa melakukan inovasi dari produk atau layanan yang
sudah dimiliki. Sedangkan jika ingin membuat yang baru, kita harus berani memiliki inovasi
yang sesuai dengan kebiasaan konsumen.

Pakar manajemen Rhenaldi Kasali menyarankan agar manajemen BUMN


memperbanyak jumlah pegawai usia muda untuk menghadapi tantangan era disrupsi. Karena
orang muda itu yang biasanya menguasai teknologi terkini, tahan banting, kerjanya sampai
malam dan masih semangat mengejar impian,” kata Rhenaldi. Generasi muda harus siap
menghadapi era disrupsi dengan memiliki etos kerja, sikap terbuka, serta mampu menjadi
problem solving untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang semakin kompleks dan berubah
dengan cepat karena di tangan generasi muda terletak kunci keberhasilan Indonesia.

E. Inovasi disruptif

Inovasi disruptif (disruptive innovation) adalah inovasi yang membantu menciptakan


pasar baru, mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada, dan pada akhirnya menggantikan
teknologi terdahulu tersebut. Inovasi disruptif mengembangkan suatu produk atau layanan
dengan cara yang tak diduga pasar, umumnya dengan menciptakan jenis konsumen berbeda
pada pasar yang baru dan menurunkan harga pada pasar yang lama. Istilah disruptive
innovation dicetuskan pertama kali oleh Clayton M. Christensen dan Joseph Bower pada artikel
"Disruptive Technologies: Catching the Wave" di jurnal Harvard Business Review (1995).
Artikel tersebut sebenarnya ditujukan untuk para eksekutif yang menentukan pendanaan dan
pembelian disuatu perusahaan berkaitan dengan pendapatan perusahaan dimasa depan.
Kemudian pada bukunya "The Innovator's Dilemma", Christensen memperkenalkan model
Disruptive Inovasi (The Disruptive Innovation Model). Dimana kemampuan pelanggan untuk
memanfaatkan sesuatu yang baru dalam satu lini. Dimana lini terendah adalah pelanggan yang
cepat puas dan yang tertinggi digambarkan sebagai pelanggan yang menuntut. Wikipedia
merupakan salah satu contoh inovasi disruptif yang merusak pasar ensiklopedia tradisional
(cetak). Makanya disebut "disruptif" atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai
"mengganggu".

Berbagai Pemahaman tentang Disruptive Innovation

Disruptive Innovation memperkenalkan proposisi nilai yang sangat berbeda ke dalam pasar.
Teknologi yang mengganggu dapat berkinerja buruk di pasar mainstream dengan produk yang
ada. Namun, mereka memiliki atribut lain yang umumnya dinilai oleh pelanggan baru
(Christensen & Raynor 2003). Ketika teknologi yang mengganggu muncul, banyak perusahaan
terkemuka yang telah berhasil unggul dalam mempertahankan inovasi, menemukan diri
mereka berada di ambang persaingan baru dan keras yang tidak mereka kenal. Markides (1997)
yang memperkenalkan pendekatan inovasi strategis pada literatur, menemukan bahwa
perusahaan-perusahaan tersebut berhasil di sebagian besar industri, namun itu dilakukan tanpa
bantuan inovasi teknologi radikal. Keberhasilan disebut sebagai inovasi strategis yang
memungkinkan perusahaan untuk mengubah aturan permainan di mana mereka terlibat.
Mereka sukses bukan karena mereka memainkan permainan lebih baik daripada pesaing
mereka, tetapi karena mereka mengidentifikasi celah di industri, yang mereka isi dan berubah
menjadi pasar massal baru. Seperti yang dinyatakan oleh Markides & Geroski (2005) inovasi
teknologi yang mengganggu adalah contoh-contoh dari sekedar mengubah ceruk pasar menjadi
proses pasar massal. Proses ini memberikan peluang bagi pendatang baru yang menyerbu pasar
dan menawarkan produk dari ceruk pasar ke pasar massal. Schmidt & Druehl (2008)
menyarankan kerangka kerja pelengkap dan menggunakan istilah "perambahan" untuk
mendefinisikan situasi di mana produk baru mengambil penjualan dari yang sudah ada.
Perambahan kelas bawah dijelaskan dengan cara ketika suatu produk baru pertama kali
menggeser produk yang sudah ada di bagian bawah pasar produk lama dan kemudian
menembus ke atas. Di sisi lain, perambahan kelas atas dimulai dari pasar kelas atas produk
lama. Di pasar low-end, pelanggan paling tidak mau membayar, sedangkan pelanggan pasar
kelas atas adalah yang paling bersedia. Perambahan kelas atas konsisten dengan
mempertahankan kegiatan inovasi yang bertentangan dengan perambahan kelas bawah.
Diuraikan bahwa gangguan pasar baru dan gangguan low-end, sebagaimana didefinisikan oleh
Christensen, menghasilkan pola yang sesuai untuk proses difusi perambahan kelas bawah.
Produk baru menghilangkan penjualan dari produk lama baik yang mengacu pada gangguan
low-end atau setelah membuka pasar baru yang mengacu pada gangguan pasar baru. Teori
perambahan tingkat rendah konsisten dengan Teori Inovasi Mengganggu dalam hal
menggambarkan cara alternatif dari fenomena ini.

Di sisi lain, Tellis (2006) mengedepankan kepemimpinan visioner sebagai penentu


utama untuk kelangsungan hidup, kesuksesan dan pertumbuhan perusahaan, bukan kekuatan
teknologi eksternal. Pemimpin visioner adalah pemimpin yang fokus pada potensi masa depan
dengan mengorbankan kanibal aset mereka saat ini. Keberhasilan dan kegagalan adalah hasil
dari aspek budaya internal perusahaan. Misalnya faktor-faktor seperti efektivitas
kepemimpinan dan etika (Elçi, Şener, Aksoy, & Alpkan, 2012), iklim kewirausahaan
perusahaan (Bulut, Ç. & Alpkan, L., 2006; Ergun, E., Bulut Ç., Alpkan, L . & Demircan, N.,
2004), pendekatan perencanaan strategis berbasis inovasi (Eren, E., Aren, S. & Alpkan, L.,
2000) dll berkontribusi untuk meningkatkan loyalitas karyawan dan kinerja inovatif.
Pandangan Tellis bertentangan dengan aliran evolusi teknologi yang merupakan pola yang
berbeda dan menyajikan manifestasinya sebagai S-Curves. Tellis (2006) mengemukakan
bahwa teknologi mengikuti proses multistep yang berkembang secara acak yang didahului oleh
periode dormansi yang lama. Jalur perubahan teknologi sangat sulit diprediksi. Di sisi lain, ia
menemukan bahwa meskipun teknologi didasarkan pada kinerja yang lebih rendah sebagai fitur
utama, itu bisa lebih unggul dengan cara lain. Namun, ia menyatakan bahwa karakteristik yang
terakhir mungkin tidak terpengaruh oleh harga, ukuran, kenyamanan atau kesederhanaan
seperti yang dinyatakan oleh Disruptive Innovation Theory. Tripsas & Gavetti (2000)
menyelidiki adaptasi perusahaan mapan terhadap perubahan teknologi radikal dari sudut
pandang yang berbeda. Mereka menemukan bahwa kognisi manajerial mempengaruhi
pengembangan kemampuan baik melalui membatasi atau mengarahkan kegiatan
pengembangan teknologi dan akhirnya mempengaruhi adaptasi organisasi dalam perusahaan.
Sekali lagi konsisten dengan definisi asli Christensen tentang, Govindarajan & Kopalle (2006)
meminta perhatian pada inovasi yang mengganggu yang memperkenalkan serangkaian fitur
dan kinerja yang berbeda dibandingkan dengan produk yang ada yang ditawarkan dengan harga
lebih rendah. Mereka menekankan margin yang lebih rendah di mana harga terkait.

Jalan Menanggapi Disruptive Innovation

Henderson (2006) berpendapat bahwa kompetensi organisasi dapat menjadi pusat dalam
menjelaskan kegagalan perusahaan mapan untuk mengejar ketinggalan dengan inovasi yang
mengganggu. Kunci untuk memahami dan menjelaskan kesulitan dalam menanggapi inovasi
yang mengganggu tertanam dalam kompetensi inti organisasi yang dapat dievaluasi juga
sebagai kekakuan inti. Rutinitas yang ada untuk memberikan solusi yang memuaskan kepada
pelanggan saat ini mencegah organisasi dari memulai perubahan (Tsai, 2006). Rekonstruksi
organisasi untuk mengambil keuntungan dari peluang baru dan investasi dalam inovasi yang
mengganggu sangat sulit dan memerlukan perubahan perilaku besar (Danneels 2002). Banyak
perusahaan menemukan upaya ini tidak rasional dan terus mencari peluang dalam pasar yang
ada (Henderson 2006). Langkah-langkah yang mengganggu dari para pemain baru mengubah
status quo dengan menyerang aturan-aturan permainan yang ditetapkan oleh perusahaan-
perusahaan yang sudah mapan, dan memaksa yang terakhir untuk mengakui perlunya mencoba
merespons serangan ini. Charitou & Markides (2003) menyatakan bahwa respons terhadap
inovasi yang mengganggu dapat bervariasi dari industri ke industri atau dari pasar ke pasar dan
menentukan lima cara untuk merespons:

1. Tanggapan pertama menyarankan untuk berkonsentrasi pada bisnis tradisional. Gagasan


utama di balik respons ini adalah bahwa cara baru dalam berbisnis tidak harus menangkap
seluruh pasar. Oleh karena itu, meningkatkan proposisi nilai untuk pasar yang sudah
ditargetkan dapat menjadi cara terbaik untuk menanggapi inovasi yang mengganggu.
2. Cara kedua untuk merespons adalah mengabaikan inovasi yang mengganggu karena
memiliki proposisi nilai yang berbeda dan menargetkan segmen pelanggan yang berbeda.
Respons ini mewakili pemahaman yang meremehkan ancaman yang mungkin terkait
dengan gangguan ini.
3. Respons ketiga mengusulkan untuk bertukar peran untuk mengganggu pengganggu melalui
memainkan permainan yang sama sekali berbeda. Tanggapan ini menekankan atribut
produk yang masih berbeda dari atribut pengganggu.
4. Cara keempat untuk merespons adalah merangkul dan meningkatkan gangguan hanya
dengan mengorbankan cara lama berbisnis. Dalam pilihan strategis ini, pengganggu asli
tidak terganggu oleh jenis baru gangguan tetapi menghadapi tantangan persaingan yang
semakin ketat di pasar baru.
5. Tanggapan kelima adalah untuk mengadopsi gangguan sementara pada saat yang sama
berusaha untuk menjaga bisnis tradisional apa adanya. Respons ini perlu untuk memegang
dua posisi yang saling bertentangan atau yang tampaknya saling bertentangan, secara
bersamaan. Dalam konteks ini, menetapkan unit organisasi terpisah yang otonom adalah
pendekatan umum.

Sebagai turunan dari cara respons kelima, unit strategis yang sepenuhnya otonom dapat
dibentuk untuk mengatasi gangguan sementara organisasi yang ada melanjutkan cara
tradisionalnya sendiri. Christensen & Raynor (2003) mengemukakan bahwa pembentukan
spin-off diperlukan ketika struktur pendapatan dan biaya organisasi arus utama berbeda dari
yang baru. Di sisi lain, Porter (1996) sebelumnya berpendapat bahwa beroperasi di pasar yang
sama dengan dua strategi yang berbeda (atau bahkan saling bertentangan) tidak layak karena
penentuan posisi strategis membutuhkan pertukaran agar tidak terjebak di tengah. Jika tidak,
perusahaan dapat menemukan diri mereka mengeluarkan biaya yang sangat besar yang dapat
mengakibatkan berkurangnya nilai struktur mereka saat ini. Pertanyaan utama, apakah ini dapat
dicapai untuk mengelola kegiatan yang tidak kompatibel dalam perusahaan yang mapan
berusaha dijawab oleh para sarjana yang berbeda. Markides & Charitou (2004), dalam studi
mereka berkenaan dengan bersaing dengan strategi ganda (atau gabungan), menemukan bahwa
persaingan dalam dua posisi strategis yang berlawanan dalam industri yang sama
dimungkinkan bahkan tanpa adanya divisi terpisah (ambidexterity). Untuk mengelola posisi
atau opsi yang tampaknya saling bertentangan, penemuan saling melengkapi dalam dualitas
adalah suatu keharusan (analisis, Alpkan, Aren, Sezen & Ayden, 2013; Alpkan & Aren, 2009).
Perhatian utama harus dapat berkonsentrasi pada dimensi yang berbeda dari suatu produk atau
fitur layanan yang pada gilirannya, menarik kebutuhan pelanggan yang berbeda, Maka, penting
untuk menentukan konflik antara dua bisnis dan bagaimana mereka secara strategis serupa.
satu sama lain, setelah ini dilakukan, pemisahan bisa menjadi pilihan. Namun, juga ditemukan
bahwa divisi terpisah tidak selalu menjamin atau menjamin kesuksesan terutama ketika struktur
dan rutinitas mekanistik dan kaku dari cara tradisional berbisnis direplikasi. Kunci keberhasilan
adalah untuk dapat meluncurkan model bisnis baru secara kreatif.

Berikut contoh dari Inovasi Disruptif (disruptif innovation) dan Pasar Terganggu Oleh
Inovasi (market disrupted by innovation) adalah:
- Ensiklopedia cetak, pasar terganggu oleh inovasi Wikipedia
- Telegrafi, pasar terganggu oleh inovasi Telepon
- Mainframes, pasar terganggu oleh inovasi Minicomputers
- Minicomputers, pasar terganggu oleh inovasi Komputer Pribadi (PC)
- Floppy Disk, pasar terganggu oleh inovasi CD dan USB
- CRT, pasar terganggu oleh inovasi LCD
- Logam & Kayu, pasar terganggu oleh inovasi Plastik
- Radiografi (Pencitraan X-Ray), pasar terganggu oleh inovasi Ultrasound (USG)
- CD & DVD, pasar terganggu oleh inovasi Digital Media (i-Tunes, Amazone, dll)
- Kamera Film, pasar terganggu oleh inovasi Kamera Digital
- Cetak Offset, pasar terganggu oleh inovasi Printer Komputer
- Penerbitan Tradisional, pasar terganggu oleh inovasi Desktop Publishing (PC)
- Kuda& Kereta Api, pasar terganggu oleh inovasi Mobil.

Reviu Jurnal Internasional

An Application Of Disruptive Innovation Theory To Create A Competitive Strategy In


Turkish Air Transportation Industry

Oleh: Evrim Gemicia, Lutfihak Alpkanb

Teori disruptive innovation didasarkan pada fakta bahwa alasan yang berkontribusi
terhadap kesuksesan perusahaan juga dapat memainkan peran penting dalam kegagalannya.
Konsep inovasi yang mengganggu menjelaskan kegagalan perusahaan yang mapan ketika
mereka menghadapi perubahan tertentu di pasar. Ketika teknologi dan pasar mengalami
perubahan, terbentuk perusahaan selalu unggul dalam industrinya dalam memimpin inovasi
inkremental dan radikal yang menjawab kebutuhan masa depan pelanggan mereka yang ada.
Namun, perusahaan yang sama juga bisa gagal dalam pengenalan teknologi baru yang tidak
memenuhi kebutuhan pelanggan mereka (Christensen, 1997). Perubahan teknologi ini awalnya
terjadi di pasar kecil dan berkembang. Mereka biasanya menawarkan fitur berbeda yang tidak
dihargai oleh pelanggan saat ini dari perusahaan mapan.
Karakteristik umum dari disruptive technology adalah lebih murah, lebih sederhana,
lebih kecil dan memberikan kemudahan penggunaan (Danneels, 2004). Namun, atribut kinerja
dari teknologi baru terus meningkat dan akhirnya menyerang pasar yang sudah mapan
(Christensen & Bower, 1996). Mendefinisikan inovasi sebagai inkremental atau radikal adalah
cara yang berlaku dalam klasifikasi kegiatan inovasi. Namun demikian, Christensen dan
Raynor (2003) berpendapat bahwa inovasi semacam ini mempertahankan karakter yang sama.
Alasan yang mendasari kegagalan perusahaan-perusahaan mapan berkisar pada tiga faktor
utama; perbedaan metodologis dalam mengejar teknologi yang berkelanjutan dan
mengganggu, kemajuan teknologi tumbuh pada tingkat yang lebih cepat daripada apa yang
dituntut pasar dan yang terakhir dan yang tak kalah penting adalah struktur pendapatan dan
biaya perusahaan-perusahaan mapan yang menargetkan margin keuntungan yang menarik dan
peluang pertumbuhan yang cepat.

Disruptive innovation melibatkan produk, layanan atau pendekatan yang mengubah


pasar yang ada atau menciptakan yang baru dengan menukar kinerja mentah demi
kesederhanaan, kenyamanan, keterjangkauan dan aksesibilitas. Tujuan utama dari inovasi yang
mengganggu adalah bukan untuk membawa kinerja, produk atau layanan terbaik kepada
pelanggan saat ini, tetapi, adalah untuk membawa produk atau layanan dengan kinerja lebih
rendah ke pasar dengan memperkenalkan manfaat lainnya.

Teori disruptive innovation didasarkan pada model awal berbiaya rendah tetapi pada
saat yang sama dengan fitur kinerja yang lebih rendah (Yu & Hang, 2009). Dalam kerangka
inovasi yang mengganggu, studi ini berfokus pada penerapan model bisnis berbiaya rendah
melalui perusahaan yang didirikan di Turki.

Diskontinuitas teknologi merupakan seperangkat aturan baru dalam industri tertentu


atau menciptakan yang sama sekali baru. Ini mendapat perhatian khusus karena menjelaskan
efek perubahan dan inovasi yang terputus pada organisasi, industri dan lingkungan kompetitif
sebelum munculnya Teori Disruption Innovation. Disarankan bahwa periode perubahan
inkremental terganggu oleh perubahan terputus yang dibagi menjadi dua kategori sebagai
peningkatan peningkatan kompetensi dan perubahan penghancuran kompetensi. Inovasi yang
meningkatkan kompetensi dibangun di atas pengetahuan perusahaan yang ada dan memperkuat
posisi perusahaan yang sudah mapan, sedangkan inovasi yang menghancurkan kompetensi
membuat pengetahuan terkini menjadi usang dan umumnya diprakarsai oleh perusahaan baru
dan dihadapkan pada perlawanan besar oleh perusahaan mapan (Tushman & Anderson, 1986).
Kemudian, Henderson & Clark (1990) menyelidiki alasan mengapa beberapa petahana gagal
mengembangkan sesuatu seperti yang terlihat langsung. Akibatnya, inovasi arsitektur
memaksa pengenalan pengetahuan tentang keterkaitan antara komponen. Dalam jenis inovasi
ini, pemahaman tentang komponen tetap sama sementara keterkaitan komponen dapat berubah.
Perusahaan-perusahaan yang mengabaikan pengetahuan arsitektur hanya gagal meskipun
kompeten dalam teknologi komponen. Namun, semua perubahan teknologi yang berkelanjutan
melakukan perusahaan untuk meningkatkan tingkat peningkatan kinerja bersama dengan
harapan pelanggan. Teknologi yang berkelanjutan mencari peningkatan kinerja pada saat yang
sama, memuaskan kebutuhan pelanggan arus utama di pasar yang ada (Christensen & Bower,
1996). Di sisi lain, Adner (2002) menjelaskan bahwa seiring peningkatan teknologi dan
kebutuhan konsumen terpenuhi dan, dilampaui, kesediaan konsumen untuk membayar setiap
peningkatan menurun dan teknologi yang mengganggu mulai menangkap konsumen yang
sama. Inti dari teknologi yang mengganggu adalah untuk mengubah metrik kinerja di mana
perusahaan bersaing (Danneels, 2004). Karena teknologi yang mengganggu memperkenalkan
fitur-fitur produk yang berbeda yang nilainya tidak atau sedikit sebelumnya, maka mereka
mengubah dasar persaingan. Gangguan terjadi ketika lintasan kinerja teknologi disruptive
berpotongan dengan kinerja di pasar mainstream (Christensen & Raynor 2003).

Tujuan penelitian ini adalah untuk menyelidiki faktor-faktor yang mempengaruhi


proses pengambilan keputusan dari pemimpin industri yang mapan mengenai respons terhadap
inovasi yang mengganggu. Sebuah studi terhadap Turkish Airlines dapat dianggap sebagai
contoh yang cukup besar tentang bagaimana inovasi yang mengganggu dalam bentuk maskapai
berbiaya rendah memiliki efek yang kuat dalam transformasi bisnisnya. Model low cost carrier
(LCC) dianggap sebagai salah satu contoh yang paling ilustratif dari fenomena gangguan akibat
perubahan wajah persaingan. LCC berfungsi sebagai proposisi nilai yang berbeda dari operator
layanan penuh dan menarik banyak penumpang yang ada sambil menciptakan permintaan baru
untuk perjalanan udara. Operator berbiaya rendah telah mengubah pasar transportasi udara dan
telah membantu merangsang pertumbuhan penumpang domestik di Turki sejak deregulasi.
Khususnya, meningkatnya permintaan konsumen dan penurunan harga tiket yang disediakan
oleh maskapai berbiaya rendah telah memungkinkan pertumbuhan pesat industri transportasi
udara domestik. Akibatnya, bagian terbesar dari lalu lintas telah diangkut oleh operator
berbiaya rendah. Literatur mendukung bahwa gangguan low-end mendorong perusahaan lain
untuk mengambil tindakan segera (Christensen & Raynor 2003). Terlepas dari kenyataan
bahwa Turkish Airlines telah mengakui ancaman yang ditimbulkan oleh maskapai berbiaya
rendah pada titik awal setelah deregulasi pasar transportasi udara Turki, maskapai itu
menghadapi beberapa kesulitan dalam merespons karena memegang posisi terdepan di pasar.

Teori ketergantungan sumber daya tampaknya memberikan penjelasan lain mengapa


respons seperti itu terlambat. Teori ini menjelaskan bahwa organisasi membutuhkan sumber
daya alternative yang kritis untuk bertahan hidup. Pelanggan dan investor memiliki kekuatan
untuk mengendalikan bagaimana dan di mana sumber daya harus dialokasikan dalam inovasi
(Pfeffer & Salancik 1978). Pelanggan dan investor selalu mengarahkan perusahaan ke investasi
yang memuaskan kebutuhan mereka sendiri. Karena itu, sangat sulit untuk berinvestasi dalam
teknologi yang memenuhi kebutuhan hari ini hari ini. Di sisi lain, menurunkan pasar
bertentangan dengan perspektif ini. Kegagalan terbesar perusahaan besar adalah keyakinan
bahwa pasar kecil tidak mampu memenuhi kebutuhan perusahaan yang terus meningkat.
Kemudian, Turkish Airlines memutuskan untuk terlibat dalam model bisnis baru dengan
berusaha mengelola dua posisi yang saling bertentangan. Christensen & Raynor (2003)
mengemukakan bahwa penetapan spin-off diperlukan ketika struktur pendapatan dan biaya dari
organisasi arus utama berbeda dari yang baru. Namun demikian, meskipun upaya sebelumnya
oleh Turkish Airlines adalah untuk mendirikan perusahaan spin-off, Anadolu Jet telah
beroperasi di bawah Turkish Airlines Inc. Namun sebagai divisi independen. Konsekuensi dari
keputusan ini akan terasa di masa depan. Faktor-faktor yang menyebabkan Turkish Airlines
merespons disruptive innovation dapat dibagi menjadi dua kategori; ancaman mengganggu di
pasar Turki dan faktor-faktor ekonomi makro yang akan membuat investasi model bisnis baru
menarik di Turki. Faktor-faktor ekonomi makro yang mendorong Turkish Airlines ke
keputusan ini adalah kapasitas pertumbuhan pasar transportasi udara Turki, pertumbuhan
populasi dan peningkatan tingkat pendapatan. Di sisi lain, penampilan dan kinerja LCC dan
peningkatan pangsa pasar mereka mendorong Turkish Airlines untuk mengambil tindakan.
Masing-masing, Turkish Airlines mendirikan sub-merek dan memicu permintaan dengan
melebarkan sayapnya ke Anatolia dengan maskapai berbiaya rendah. Turkish Airlines telah
mulai mengejar strategi ekspansi sebagai pembawa transit antara Eropa dan Asia dan telah
memutuskan untuk mendominasi pasar domestik dengan Anadolu Jet. Salah satu harapan dari
teori inovasi yang mengganggu adalah bahwa atribut produk atau layanan dengan kinerja lebih
rendah akan meningkat. Sehubungan dengan LCC lain yang beroperasi di pasar Transportasi
Udara Turki, banyak dari mereka mencoba untuk meningkatkan standar kualitas mereka dan
dengan demikian, menargetkan pasar secara keseluruhan. Oleh karena itu, dampak dari atribut
kinerja yang lebih rendah dari produk atau layanan yang mengganggu akan meningkat dan
pada gilirannya, bersinggungan dengan kebutuhan basis pelanggan arus utama akan berlaku.
Meskipun struktur kemitraan negara dari Turkish Airlines pada awalnya dianggap sebagai
kerugian, Turkish Airlines berhasil menanggapi inovasi yang mengganggu, secara efektif
dengan strategi berbiaya rendah. Didirikan pada tahun 2008, Anadolu Jet tampaknya telah
membuktikan diri melalui strategi menumbuhkan kue di pasar Transportasi Udara Turki. Tentu
saja, nama merek kuat Turkish Airlines adalah salah satu aset terbesar Anadolu Jet.

Terkait dengan strategi maskapai penerbangan yang mengeluarkan produk berbiaya


rendah (Low Cost Carrier, LCC) juga dilakukan oleh beberapa maskapai yang beroperasi di
Indonesia, seperti Lion Air, AirAsia, CitiLink. Inovasi yang dilakukan oleh Turkish Airline
dengan membuat maskapai berbiaya rendah (LCC) Anadolu Jet yang dibahas dalam penelitian
tersebut mirip dengan yang dilakukan oleh Garuda Indonesia dengan membuat anak usaha
CitiLink. Saat ini Citilink mempunyai kontribusi yang positif bagi perusahaan induknya,
Garuda Indonesia yang saat ini mempunyai kinerja kurang memuaskan.

Menurut Yowanda dan Mawardi (2017), Penerаpаn konsep LCC pаdа PT. Gаrudа
Indonesiа Citilink merupаkаn sаlаh sаtu strаtegi pemаsаrаn yаng digunаkаn untuk
mempertаhаnkаn pаsаr dаn memperluаs pаngsа pаsаr. Meskipun bаnyаk pengurаngаn hаrgа
pаdа biаyа operаsionаl, tetаpi PT. Gаrudа Indonesiа Citilink tetаp memperhаtikаn dаn
meningkаtkаn kuаlitаs pelаyаnаn, ketepаtаn wаktu, kepercаyааn pelаnggаn, fаsilitаs yаng
nyаmаn, dаn kemudаhаn bаgi konsumen untuk mendаpаtkаn informаsi yаng terkаit аkаn
sаngаt berpengаruh pаdа proses pengаmbilаn keputusаn untuk menggunаkаn jаsа yаng
bersаngkutаn. Hаrgа tiket yаng murаh menjаdi dаyа tаrik kuаt bаgi perusаhааn untuk merаih
pelаnggаn, mengingаt hаrgа tiket аlаt trаnsportаsi lаin yаng sering kаli lebih mаhаl dengаn
wаktu tempuh lebih lаmа. Kemudаhаn, kecepаtаn dаn hаrgа yаng terjаngkаu menjаdi strаtegi
perusаhааn LCC dаlаm memenаngkаn pаsаr trаnsportаsi udаrа. Implementаsi konsep LCC di
Indonesiа memberikаn bаnyаk dаmpаk positif, yаng sаngаr bermаnfааt diаntаrаnyа:

a) Mаmpu memberikаn kontribusi bаgi perekonomiаn nаsionаl. Perekonomiаn nаsionаl


sаngаt terbаntu dikаrenаkаn kerugiаn аkibаt biаyа dаn lаmаnyа trаnsportаsi, dаpаt
diminimаlisir dengаn konsep LCC yаng menаwаrkаn tаrif lebih rendаh, dаn lebih murаh
dаri hаrgа normаl. Oleh kаrenа itu LCC bаik bаgi pergerаkаn sector trаnsportаsi di
Indonesiа yаng аkhirnyа jugа sаngаt memberikаn kontribusi ekonomi secаrа nаsionаl,
b) Pesаtnyа perkembаngаn penerbаngаn LCC menyebаbkаn аlаt trаnsportаsi udаrа tidаk
hаnyа dinikmаti oleh mаsyаrаkаt kаlаngаn аtаs. Pаdа sааt ini mаsyаrаkаt menengаh
kebаwаh dаpаt ikut menikmаti аlаt trаnsportаsi udаrа kаrenа biаyа yаng dаpаt dijаngkаu

Referensi:

David, Fred R (2012). Strategic Management Concept and Cases. 14th Edition. Prentice Hall.
New York.
Hapzi Ali, 2018. Modul Manajeen Strategic, UMB Jakarta.
Hitt, M.A et, al. (H), Strategic Management; Competitiveness and Globalization, West
Publishing Company, St. Paul, 2009 4. Thompson, A. A & Strickland, A.J (TS), Strategic
Management; Concepts and Cases, 11th edition, Irwin Mc Graw-Hill Inc., Singapore,
2008
Pearce, J. A & Robinson, R.B (PR), Strategic Management; Formulation, Implementation and
Control, Irwin Mc Graw-Hill Inc., Singapore, 2013
Thomas L. Wheelen & J.David Hunger, (2010) Strategy Management and Business Policy,
Twelfth Edition
Gemicia, Evrim. Lutfihak Alpkanb.2015. An Application of Disruptive Innovation Theory to
Create a Competitive Strategy in Turkish Air Transportation Industry. Procedia - Social
and Behavioral Sciences 207 (2015) 797 – 806
Yowanda, Hawa Bunga dan M. Kholid Mawardi. 2017. Strategi Pemasaran Penerbangan Berkonsep
Low Cost Carrier (Lcc) Dan Daya Saing Perusahaan (Studi Pada Maskapai Penerbangan PT.
Garuda Indonesia Citilink). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)|Vol. 51 No. 2 Oktober 2017

https://pemasaranpariwisata.com/2018/03/09/cara-menghadapi-era-disrupsi/
https://id.wikipedia.org/wiki/Inovasi_disruptif
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/05/05/073000626/meluruskan.pemahaman.soal.disru
ption.
https://www.kabar-banten.com/generasi-era-disrupsi/

Anda mungkin juga menyukai