STRATEGIG MANAGEMENT
DISRUPTION ERA
Dosen Pengampu:
Oleh:
Rame Priyanto
NIM 55117120122
DISRUPTION ERA
Digitalisasi adalah akibat dari evolusi teknologi (terutama informasi) yang mengubah
hampir semua tatanan kehidupan, termasuk tatanan dalam berusaha. Sebagian pihak
mengatakan bahwa disrupsi adalah sebuah ancaman. Namun banyak pihak pula mengatakan
kondisi saat ini adalah peluang. Era disrupsi ini merupakan fenomena ketika masyarakat
menggeser aktivitas-aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata, ke dunia maya.
Fenomena ini berkembang pada perubahan pola dunia bisnis. Kemunculan transportasi daring
adalah salah satu dampaknya yang paling populer di Indonesia.
B. Inilah yang dinamakan Era Disruption
Perusahaan Startup sekarang memegang pangsa pasar hampir di semua lini dengan
pendanaan yang luar biasa dan dengan valuasi nilai perusahaan yang luar biasa pula. Garuda
Indonesia yang memiliki lebih dari 1500an armada pesawat beserta manajemennya di seluruh
dunia bervaluasi sebersar 17 Triliun rupiah. Sedangkan Go-Jek yang tidak memiliki 1
armadapun yang menjadi milik perusahaan bervaluasi sebesar 51 Triliun. Go-Jek hanya
memiliki Aplikasi mampu memiliki valuasi sebesar itu. Inilah era digital atau yang lebih
dikenal dengan Era Disruption.
Apa yang terjadi dengan dunia bisnis 20 tahun mendatang? Mari kita persiapkan diri
kita, dan bisnis kita untuk mengahadapi era digital kedepan ini dengan bekal ilmu pengetahuan
dan tidak ketingglan teknologi. Dunia akan berubah begitu cepatnya saat teknologi menjadi
bertambah canggih. Ketika mengamati para millennial, ada beberapa pola yang menarik untuk
diamati. Ambil digitalisasi umum yang memastikan generasi ini terbiasa memiliki manfaat
teknologi di berbagai titik kontak telekomunikasi, musik, perjalanan, ritel, dan buku - dan
mereka mengharapkan inovasi, kecepatan, keandalan, dan akses yang sama dari interaksi apa
pun dengan penyedia produk dan layanan.
Sebuah laporan oleh Goldman Sachs mengatakan kita bergerak cepat menuju 'ekonomi
berbagi'. Para Millenium percaya bahwa mereka akan lebih bahagia daripada orang tua mereka
dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di Eropa dan Jepang. Ini adalah indikasi yang jelas
dari optimisme umum tentang skenario ekonomi di dunia.
- Disrupsi berakibat terhadap penghematan banyak biaya melalui proses bisnis yang
menjadi lebih simpel.
- Disrupsi membuat kualitas apapun yang dihasilkannya lebih baik daripada sebelumnya.
- Disrupsi berpotensi menciptakan pasar baru, atau membuat mereka yang selama ini ter-
eksklusi menjadi ter-inklusi. Membuat pasar yang selama ini tertutup menjadi terbuka.
- Produk/jasa hasil disrupsi ini harus lebih mudah diakses atau dijangkau oleh para
penggunanya. Seperti juga layanan ojek atau taksi online, atau layanan perbankan dan
termasuk financial technology, semua kini tersedia di dalam genggaman, dalam
smartphone.
- Disrupsi membuat segala sesuatu kini menjadi serba smart. Lebih pintar, lebih menghemat
waktu dan lebih akurat.
Dalam ilmu strategic management, sebenarnya disrupsi adalah hal yang biasa dalam dunia
bisnis. Pada dasarnya disrupsi adalah perubahan yang terjadi pada lingkungan bisnis yang
secara alami memang selalu berubah dan dinamis. Dari zaman dahulu disrupsi sudah terjadi,
dan kejadiannya biasanya dikarenakan oleh terciptanya teknologi yang membuat proses bisnis
lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan proses sebelumnya.
Sebagian besar orang akan mengatakan, disrupsi tengah terjadi. Perubahannya tidak
terasa di awal. Bahkan sudah terlanjur terlambat untuk menyadarinya. Tentu, akan ada pihak
yang panik karena semuanya terjadi secara tiba-tiba. Bersifat kejutan (surprise). Namun,
meskipun begitu, tetap saja tidak menyadari bahwa disrupsi juga menandakan adanya hal-hal
yang berubah. Hal-hal yang tidak sama lagi dengan sebelumnya sehingga membutuhkan cara-
cara baru untuk dapat menakkukannya. Minimal, ada 3 hal yang harus dipahami telah berubah:
- Pasar yang baru. Disruption pada akhirnya mencptakan suatu dunia baru: digital
marketplace.
- Nasib yang berbeda. Dalam menghadapi pertarungan yang kompetitif, akan selalu ada akhir
yang berbeda bagi masing-masing pemain, inovasi yang berkelanjutan adalah kunci.
- Bersaing dengan business model. Ada yang berubah dalam melakukan pemasaran ketika
sudah memasuki era disrupsi. Kini, pertarungannya pun tidak sesederhana hanya sekadar
produk. Melainkan mencakup pada model bisnis (business model).
Cara Menghadapi Era Disrupsi Disruption menjadi berat karena banyak orang, termasuk
wirausaha dan regulator, tidak tahu apa yang tengah terjadi. Semua orang berpikir bahwa
mereka telah melakukan cara-cara terbaik. Tak hanya langkah-langkah manajerial yang
sistematis, prinsip-prinsip strong brand dan inovasi pun telah diterapkan.
Berikut adalah 7 (tujuh) cara yang dapat dilakukan oleh bisnis dalam menghadapi era
disrupsi ini agar bisnis tidak kehilangan pelanggannya atau bahkan mati:
1) Trend Watching. Cara menghadapi era disrupsi yang pertama adalah melakukan Trend
watching yaitu kegiatan dalam memantau perubahan trend dalam lingkungan bisnis.
Komponen-komponen yang harus dipantau yaitu trend teknologi, ekonomi, budaya,
politik, dan lingkungan alam. Informasi dari trend watching dapat digunakan untuk
melakukan adaptasi dan antisipasi, sehingga efek dari disrupsi dapat diminimalisir, atau
bahkan dapat menjadi agent of disruption, yaitu pelaku bisnis yang menjadi pionir dalam
disrupsi.
2) Research. Dengan riset informasi yang didapat dapat dipertanggungjawabkan mengenai
kesahihan dan keabsahannya, karena dilakukan secara ilmiah. Oleh karena itu bisnis di era
ini harus memiliki fungsi riset, yang biasa dinamakan R&D (research & development).
3) Risk Management. Lingkungan yang terdisrupsi pada dasarnya akan menjadi pemicu dari
resiko bisnis. Risk management disini dapat difokuskan kepada disruption management
mengenai bagaimana disrupsi diidentifikasi, dianalisis dan dievaluasi, sehingga bisnis
dapat memiliki ruang dan waktu untuk mengantisipasi gejala disrupsi yang akan terjadi.
4) Inovation. Dengan membuat terobosan-terobosan baru atau penyesuaian-penyesuaian
pada bisnis yang lama agar lebih sesuai dengan era dimana masa disrupsi terjadi.
5) Switching. Cara ini dapat dilakukan jika bisnis yang ada tidak dapat lagi dimodifikasi,
maka solusinya adalah harus berani memutar haluan atau mematikan produk yang sudah
dimiliki.
6) Partnership. Era disrupsi pada masa ini membuat bisnis sulit untuk bertempur sendiri
karena persaingan sudah sangat kompleks dan proses bisnis sudah ter-inklusi. Oleh karena
itu solusinya adalah dengan melakukan kolaborasi dan aliansi-aliansi strategis mulai dari
sisi input sampai output dalam supply chain agar bisnis menjadi lebih efektif dan efisien.
7) Change Management. Hal ini dapat dilakukan untuk merubah pola pikir dan kesadaran
dari elemen sumber daya manusia dalam organisasi bisnis agar dapat bahu-membahu
melakukan perubahan.
Disruption mengubah banyak hal sedemikian rupa, sehingga cara-cara bisnis lama
menjadi obsolete. Menjadi usang atau ketinggalan zaman. Disruption bukan sekedar fenomena
hari ini (today), melainkan fenomena "hari esok" (the future) yang dibawa oleh para pembaharu
ke saat ini, hari ini (the present). Pemahaman seperti ini menjadi penting karena sekarang kita
tengah berada dalam sebuah peradaban baru. Kita baru saja melewati gelombang tren yang
amat panjang, yang tiba-tiba terputus begitu saja (a trend break). Bahayanya adalah semakin
"berpengalaman" dan "merasa pintar" seseorang, dia akan semakin sulit untuk "membaca"
fenomena ini. Ia akan amat mungkin mengalami "the past trap" atau "success trap". Apalagi
untuk mencerna dan berselancar di atas gelombang disrupsi. Itu akan sulit sekali diterima oleh
orang yang pintar dan berpengalaman tadi. Mengapa? Sederhana saja, yakni karena pikiran
tersebut amat kental logika masa lalunya. Disruption sesungguhnya terjadi secara meluas.
Mulai dari pemerintahan, ekonomi, hukum, politik, sampai penataan kota, konstruksi,
pelayanan kesehatan, pendidikan, kompetisi bisnis dan juga hubungan-hubungan sosial.
Saat ini kita menyaksikan banyak perusahaan sedang susah akibat gempuran
perusahaan-perusahaan yang berbasis digital, bukan berarti perusahaan konvensional tak akan
mengalaminya. Perusahaan dari segala jenjang dan industri perlu menerapkan teknologi baru
guna menciptakan model-model bisnis canggih yang mampu menghadirkan nilai yang lebih
besar bagi para pelanggan mereka karena ada lawan-lawan yang tidak terlihat yang berusaha
untuk menggeser kedudukan mereka. Lawan-lawan tersebut tidak memiliki bentuk fisik yang
sama dengan perusahaanperusahaan yang besar, tetapi dapat menyaingi mereka. Dengan
meluasnya gaya hidup digital, para konsumen kini dimanjakan dengan beragai pilihan dan
memiliki ekspektasi yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Di era disrupsi kita harus
mempunyai pilihan, membentuk ulang (reshape) atau menciptakan yang baru (create). Jika kita
memutuskan untuk reshape, maka kita bisa melakukan inovasi dari produk atau layanan yang
sudah dimiliki. Sedangkan jika ingin membuat yang baru, kita harus berani memiliki inovasi
yang sesuai dengan kebiasaan konsumen.
E. Inovasi disruptif
Disruptive Innovation memperkenalkan proposisi nilai yang sangat berbeda ke dalam pasar.
Teknologi yang mengganggu dapat berkinerja buruk di pasar mainstream dengan produk yang
ada. Namun, mereka memiliki atribut lain yang umumnya dinilai oleh pelanggan baru
(Christensen & Raynor 2003). Ketika teknologi yang mengganggu muncul, banyak perusahaan
terkemuka yang telah berhasil unggul dalam mempertahankan inovasi, menemukan diri
mereka berada di ambang persaingan baru dan keras yang tidak mereka kenal. Markides (1997)
yang memperkenalkan pendekatan inovasi strategis pada literatur, menemukan bahwa
perusahaan-perusahaan tersebut berhasil di sebagian besar industri, namun itu dilakukan tanpa
bantuan inovasi teknologi radikal. Keberhasilan disebut sebagai inovasi strategis yang
memungkinkan perusahaan untuk mengubah aturan permainan di mana mereka terlibat.
Mereka sukses bukan karena mereka memainkan permainan lebih baik daripada pesaing
mereka, tetapi karena mereka mengidentifikasi celah di industri, yang mereka isi dan berubah
menjadi pasar massal baru. Seperti yang dinyatakan oleh Markides & Geroski (2005) inovasi
teknologi yang mengganggu adalah contoh-contoh dari sekedar mengubah ceruk pasar menjadi
proses pasar massal. Proses ini memberikan peluang bagi pendatang baru yang menyerbu pasar
dan menawarkan produk dari ceruk pasar ke pasar massal. Schmidt & Druehl (2008)
menyarankan kerangka kerja pelengkap dan menggunakan istilah "perambahan" untuk
mendefinisikan situasi di mana produk baru mengambil penjualan dari yang sudah ada.
Perambahan kelas bawah dijelaskan dengan cara ketika suatu produk baru pertama kali
menggeser produk yang sudah ada di bagian bawah pasar produk lama dan kemudian
menembus ke atas. Di sisi lain, perambahan kelas atas dimulai dari pasar kelas atas produk
lama. Di pasar low-end, pelanggan paling tidak mau membayar, sedangkan pelanggan pasar
kelas atas adalah yang paling bersedia. Perambahan kelas atas konsisten dengan
mempertahankan kegiatan inovasi yang bertentangan dengan perambahan kelas bawah.
Diuraikan bahwa gangguan pasar baru dan gangguan low-end, sebagaimana didefinisikan oleh
Christensen, menghasilkan pola yang sesuai untuk proses difusi perambahan kelas bawah.
Produk baru menghilangkan penjualan dari produk lama baik yang mengacu pada gangguan
low-end atau setelah membuka pasar baru yang mengacu pada gangguan pasar baru. Teori
perambahan tingkat rendah konsisten dengan Teori Inovasi Mengganggu dalam hal
menggambarkan cara alternatif dari fenomena ini.
Henderson (2006) berpendapat bahwa kompetensi organisasi dapat menjadi pusat dalam
menjelaskan kegagalan perusahaan mapan untuk mengejar ketinggalan dengan inovasi yang
mengganggu. Kunci untuk memahami dan menjelaskan kesulitan dalam menanggapi inovasi
yang mengganggu tertanam dalam kompetensi inti organisasi yang dapat dievaluasi juga
sebagai kekakuan inti. Rutinitas yang ada untuk memberikan solusi yang memuaskan kepada
pelanggan saat ini mencegah organisasi dari memulai perubahan (Tsai, 2006). Rekonstruksi
organisasi untuk mengambil keuntungan dari peluang baru dan investasi dalam inovasi yang
mengganggu sangat sulit dan memerlukan perubahan perilaku besar (Danneels 2002). Banyak
perusahaan menemukan upaya ini tidak rasional dan terus mencari peluang dalam pasar yang
ada (Henderson 2006). Langkah-langkah yang mengganggu dari para pemain baru mengubah
status quo dengan menyerang aturan-aturan permainan yang ditetapkan oleh perusahaan-
perusahaan yang sudah mapan, dan memaksa yang terakhir untuk mengakui perlunya mencoba
merespons serangan ini. Charitou & Markides (2003) menyatakan bahwa respons terhadap
inovasi yang mengganggu dapat bervariasi dari industri ke industri atau dari pasar ke pasar dan
menentukan lima cara untuk merespons:
Sebagai turunan dari cara respons kelima, unit strategis yang sepenuhnya otonom dapat
dibentuk untuk mengatasi gangguan sementara organisasi yang ada melanjutkan cara
tradisionalnya sendiri. Christensen & Raynor (2003) mengemukakan bahwa pembentukan
spin-off diperlukan ketika struktur pendapatan dan biaya organisasi arus utama berbeda dari
yang baru. Di sisi lain, Porter (1996) sebelumnya berpendapat bahwa beroperasi di pasar yang
sama dengan dua strategi yang berbeda (atau bahkan saling bertentangan) tidak layak karena
penentuan posisi strategis membutuhkan pertukaran agar tidak terjebak di tengah. Jika tidak,
perusahaan dapat menemukan diri mereka mengeluarkan biaya yang sangat besar yang dapat
mengakibatkan berkurangnya nilai struktur mereka saat ini. Pertanyaan utama, apakah ini dapat
dicapai untuk mengelola kegiatan yang tidak kompatibel dalam perusahaan yang mapan
berusaha dijawab oleh para sarjana yang berbeda. Markides & Charitou (2004), dalam studi
mereka berkenaan dengan bersaing dengan strategi ganda (atau gabungan), menemukan bahwa
persaingan dalam dua posisi strategis yang berlawanan dalam industri yang sama
dimungkinkan bahkan tanpa adanya divisi terpisah (ambidexterity). Untuk mengelola posisi
atau opsi yang tampaknya saling bertentangan, penemuan saling melengkapi dalam dualitas
adalah suatu keharusan (analisis, Alpkan, Aren, Sezen & Ayden, 2013; Alpkan & Aren, 2009).
Perhatian utama harus dapat berkonsentrasi pada dimensi yang berbeda dari suatu produk atau
fitur layanan yang pada gilirannya, menarik kebutuhan pelanggan yang berbeda, Maka, penting
untuk menentukan konflik antara dua bisnis dan bagaimana mereka secara strategis serupa.
satu sama lain, setelah ini dilakukan, pemisahan bisa menjadi pilihan. Namun, juga ditemukan
bahwa divisi terpisah tidak selalu menjamin atau menjamin kesuksesan terutama ketika struktur
dan rutinitas mekanistik dan kaku dari cara tradisional berbisnis direplikasi. Kunci keberhasilan
adalah untuk dapat meluncurkan model bisnis baru secara kreatif.
Berikut contoh dari Inovasi Disruptif (disruptif innovation) dan Pasar Terganggu Oleh
Inovasi (market disrupted by innovation) adalah:
- Ensiklopedia cetak, pasar terganggu oleh inovasi Wikipedia
- Telegrafi, pasar terganggu oleh inovasi Telepon
- Mainframes, pasar terganggu oleh inovasi Minicomputers
- Minicomputers, pasar terganggu oleh inovasi Komputer Pribadi (PC)
- Floppy Disk, pasar terganggu oleh inovasi CD dan USB
- CRT, pasar terganggu oleh inovasi LCD
- Logam & Kayu, pasar terganggu oleh inovasi Plastik
- Radiografi (Pencitraan X-Ray), pasar terganggu oleh inovasi Ultrasound (USG)
- CD & DVD, pasar terganggu oleh inovasi Digital Media (i-Tunes, Amazone, dll)
- Kamera Film, pasar terganggu oleh inovasi Kamera Digital
- Cetak Offset, pasar terganggu oleh inovasi Printer Komputer
- Penerbitan Tradisional, pasar terganggu oleh inovasi Desktop Publishing (PC)
- Kuda& Kereta Api, pasar terganggu oleh inovasi Mobil.
Teori disruptive innovation didasarkan pada fakta bahwa alasan yang berkontribusi
terhadap kesuksesan perusahaan juga dapat memainkan peran penting dalam kegagalannya.
Konsep inovasi yang mengganggu menjelaskan kegagalan perusahaan yang mapan ketika
mereka menghadapi perubahan tertentu di pasar. Ketika teknologi dan pasar mengalami
perubahan, terbentuk perusahaan selalu unggul dalam industrinya dalam memimpin inovasi
inkremental dan radikal yang menjawab kebutuhan masa depan pelanggan mereka yang ada.
Namun, perusahaan yang sama juga bisa gagal dalam pengenalan teknologi baru yang tidak
memenuhi kebutuhan pelanggan mereka (Christensen, 1997). Perubahan teknologi ini awalnya
terjadi di pasar kecil dan berkembang. Mereka biasanya menawarkan fitur berbeda yang tidak
dihargai oleh pelanggan saat ini dari perusahaan mapan.
Karakteristik umum dari disruptive technology adalah lebih murah, lebih sederhana,
lebih kecil dan memberikan kemudahan penggunaan (Danneels, 2004). Namun, atribut kinerja
dari teknologi baru terus meningkat dan akhirnya menyerang pasar yang sudah mapan
(Christensen & Bower, 1996). Mendefinisikan inovasi sebagai inkremental atau radikal adalah
cara yang berlaku dalam klasifikasi kegiatan inovasi. Namun demikian, Christensen dan
Raynor (2003) berpendapat bahwa inovasi semacam ini mempertahankan karakter yang sama.
Alasan yang mendasari kegagalan perusahaan-perusahaan mapan berkisar pada tiga faktor
utama; perbedaan metodologis dalam mengejar teknologi yang berkelanjutan dan
mengganggu, kemajuan teknologi tumbuh pada tingkat yang lebih cepat daripada apa yang
dituntut pasar dan yang terakhir dan yang tak kalah penting adalah struktur pendapatan dan
biaya perusahaan-perusahaan mapan yang menargetkan margin keuntungan yang menarik dan
peluang pertumbuhan yang cepat.
Teori disruptive innovation didasarkan pada model awal berbiaya rendah tetapi pada
saat yang sama dengan fitur kinerja yang lebih rendah (Yu & Hang, 2009). Dalam kerangka
inovasi yang mengganggu, studi ini berfokus pada penerapan model bisnis berbiaya rendah
melalui perusahaan yang didirikan di Turki.
Menurut Yowanda dan Mawardi (2017), Penerаpаn konsep LCC pаdа PT. Gаrudа
Indonesiа Citilink merupаkаn sаlаh sаtu strаtegi pemаsаrаn yаng digunаkаn untuk
mempertаhаnkаn pаsаr dаn memperluаs pаngsа pаsаr. Meskipun bаnyаk pengurаngаn hаrgа
pаdа biаyа operаsionаl, tetаpi PT. Gаrudа Indonesiа Citilink tetаp memperhаtikаn dаn
meningkаtkаn kuаlitаs pelаyаnаn, ketepаtаn wаktu, kepercаyааn pelаnggаn, fаsilitаs yаng
nyаmаn, dаn kemudаhаn bаgi konsumen untuk mendаpаtkаn informаsi yаng terkаit аkаn
sаngаt berpengаruh pаdа proses pengаmbilаn keputusаn untuk menggunаkаn jаsа yаng
bersаngkutаn. Hаrgа tiket yаng murаh menjаdi dаyа tаrik kuаt bаgi perusаhааn untuk merаih
pelаnggаn, mengingаt hаrgа tiket аlаt trаnsportаsi lаin yаng sering kаli lebih mаhаl dengаn
wаktu tempuh lebih lаmа. Kemudаhаn, kecepаtаn dаn hаrgа yаng terjаngkаu menjаdi strаtegi
perusаhааn LCC dаlаm memenаngkаn pаsаr trаnsportаsi udаrа. Implementаsi konsep LCC di
Indonesiа memberikаn bаnyаk dаmpаk positif, yаng sаngаr bermаnfааt diаntаrаnyа:
Referensi:
David, Fred R (2012). Strategic Management Concept and Cases. 14th Edition. Prentice Hall.
New York.
Hapzi Ali, 2018. Modul Manajeen Strategic, UMB Jakarta.
Hitt, M.A et, al. (H), Strategic Management; Competitiveness and Globalization, West
Publishing Company, St. Paul, 2009 4. Thompson, A. A & Strickland, A.J (TS), Strategic
Management; Concepts and Cases, 11th edition, Irwin Mc Graw-Hill Inc., Singapore,
2008
Pearce, J. A & Robinson, R.B (PR), Strategic Management; Formulation, Implementation and
Control, Irwin Mc Graw-Hill Inc., Singapore, 2013
Thomas L. Wheelen & J.David Hunger, (2010) Strategy Management and Business Policy,
Twelfth Edition
Gemicia, Evrim. Lutfihak Alpkanb.2015. An Application of Disruptive Innovation Theory to
Create a Competitive Strategy in Turkish Air Transportation Industry. Procedia - Social
and Behavioral Sciences 207 (2015) 797 – 806
Yowanda, Hawa Bunga dan M. Kholid Mawardi. 2017. Strategi Pemasaran Penerbangan Berkonsep
Low Cost Carrier (Lcc) Dan Daya Saing Perusahaan (Studi Pada Maskapai Penerbangan PT.
Garuda Indonesia Citilink). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)|Vol. 51 No. 2 Oktober 2017
https://pemasaranpariwisata.com/2018/03/09/cara-menghadapi-era-disrupsi/
https://id.wikipedia.org/wiki/Inovasi_disruptif
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/05/05/073000626/meluruskan.pemahaman.soal.disru
ption.
https://www.kabar-banten.com/generasi-era-disrupsi/