Anda di halaman 1dari 27

SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI

“SOSIALISME MARX (MARXISME)”

DOSEN PENGAMPU
I Wayan Sukadana,S.E.,M.S.E.

Mata Kuliah:
EKI212 - Sejarah Pemikiran Ekonomi
Oleh:
KELOMPOK 5

Ni Kadek Intan Rahayu (2007511221)

I Made Bayu Pramana (2007511222)

Nyoman Aprilianita Harta Dewi (2007511241)

PRODI EKONOMI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................... 2

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 5

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 7

1.3 Tujuan ................................................................................................................. 8

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Kecaman Marx Terhadap Sistem Kapitalis ......................................................... 9

2.2. Teori Pertentangan Kelas .................................................................................. 10

2.3. Teori Surplus Value dan Penindasan Buruh ...................................................... 12

2.4. Dialektika Materialisme Historis ....................................................................... 13

2.5. Fase-Fase Perkembangan Masyarakat ............................................................... 18

2.6. Perbedaan Sosialisme dan Komunisme Menurut Marx ..................................... 21

2.7. Bagaimana Pembaharuan Terhadap Marxisme ................................................. 22

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan ....................................................................................................... 26

3.2. Saran ................................................................................................................. 26

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 27

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya kepada penulis. Sehingga dapat menyelesaikan makalah yang bertujuan untuk memenuhi
salah satu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi mengenai “Sosialisme
Marx (Marxisme)”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak I Wayan


Sukadana,S.E.,M.S.E. selaku Dosen Pengampu mata kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi
yang telah membimbing penulis dalam pembuatan makalah ini. Serta ucapan terima kasih
kepada segalapihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menambah ilmu pengetahuan.
Kritik dan saran sangat kami harapkan kepada pembaca dalam pengembangan makalah
kedepannya.

Denpasar, 10 Oktober 2021

Penulis

3
ABSTRAK
Perkembangan faham mengenai kehidupan manusia menurut teori sejarah dimulai pada
zaman yunani kuno, dan mengalami perkembangan yang pesat sekitar abad XV sampai abad XIX.
Pada masa itu muncul beberapa tokoh fulsuf yang terkemuka sebagai pengembang filsuf-filsuf
kuno, tokoh-tokoh tersebut antara lain Karl Max, Hegel, Montesque, dll. Tokoh-tokoh ini masing-
masing membawa sebuah pemikiran yang besar sehingga menjadi sebuah faham atau aliran, salah
satunya adalah faham Marxisme faham ini sangat erat kaitannya dengan faham-faham lainnya
dikarenakan tiap-tiap filsuf yang mendukung sebuah teori maka cenderung ingin
mengembangkannya menjadi faham dengan aliran yang baru. Aliran faham marxsisme sangat
menarik untuk dibahas karena pandangan dari masyarakat umum yang berpendapat bahwa
Sosialisme, Marxsisme, dan Komunisme merupakan satu kesatuan yang tak dapat terpisahkan.
Banyak yang beranggapan bahwa kajian budaya merupakan bagian dari Marxisme namun
sebenarnya dasar-dasar kajian budaya lah yang bersumber dari faham Marxisme. Studi budaya
pasca Marxis diinformasikan bahwa orang membuat budaya popular dari daftar komoditas yang
disediakan oleh industry budaya. Kajian budaya tidak bisa direduksi menjadi kajian budaya
popular.Ideologi Marxisme tidak bisa dilepaskan dari tokoh utamanya yakni Karl Marx. Berawal
dari abad ke-19 dimana keadaan buruh di Eropa Barat yang menyedihkan dimana pada saat itu
kemajuan industri berkembang dengan pesat menimbulkan keadaan sosial yang sangat merugikan
bagi kaum buruh. Pemikiran ini bukan saja menjadi inspirasi dasar “Marxisme” sebagai ideologi
perjuangan kaum buruh, bukan saja menjadi komponen inti dalam ideologi komunisme (Magnis
dan Suseno, 2003: 3). Berlandaskan masalah tersebut Karl Marx menyusun suatu teori sosial yang
menurutnya didasari hukum-hukum ilmiah karena itu pasti terlaksana.

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Karl Marx lahir pada 5 Mei 1818 di Kota Trier, wilayah tenggara Jerman, yang saat itu masih
menjadi bagian dari Provinsi Rhine Hilir, Kerajaan Prusia. Ia dilahirkan dalam kondisi keluarga
kelas menengah. Marx merupakan anak ketiga dari sembilan bersaudara. Meski berasal dari
keluarga turunan Yahudi, pada tahun 1816 sang ayah yang bernama Heinrich Marx memutuskan
untuk dibaptis menjadi seorang Kristen di usia 36 tahun.

Ibunya, Heinrietta Marx ikut dibaptis setelah sang ayah wafat. Sang ayah, Heinrich
merupakan seorang pengacara yang cukup sukses di Prusia. Ia pun merupakan seorang aktivis
reformasi pada masanya. Keputusan Heinrich untuk memeluk agama Kristen ini pun tak lepas
dari peraturan pada tahun 1815 yang melarang orang Yahudi menduduki posisi krusial di
masyarakat. Karl Marx sendiri baru dibaptis pada usia enam tahun, beserta saudara-saudaranya.
Meskipun Trier merupakan kota Katolik, tetapi pengaruh gagasan liberal lebih mudah masuk
karena letaknya yang berbatasan dengan Prancis. Sampai usia 12 tahun, Marx belajar di rumah
alias home school. Kemudian melanjutkan lagi selama 5 tahun di sekolah Jesuit, Firdrich-
Wilhelm Gymnasuium, Trier. Kepala sekolahnya merupakan teman sang ayah yang juga
berpandangan liberal.
Sejak masuk kampus-lah, Marx mulai menonjolkan sikap rebel-nya. Oktober 1835, Marx
memulai sekolahnya di Universitas Bonn, Jerman. Ia termasuk aktif dalam kehidupan akademis
di kampusnya dan dikenal juga sebagai pemberontak. Selama dua semester di Bonn, Marx
menghabiskan hari-harinya untuk membuat onar, mabuk-mabukan, hingga berkelahi. Pada
akhirnya, sang ayah memaksa Marx untuk mendaftar di sekolah lain yang lebih serius, yakni
Universitas Berlin jurusan ilmu filsafat dan hukum.
Di sinilah Marx dikenalkan dengan ilmu filsafat dari GWF Hegel, seorang guru besar di
Berlin. Meski awalnya tak begitu terpikat dengan teori Hegel, Marx banyak terlibat dengan
kelompok pemuda Hegelian yang adalah kumpulan mahasiswa radikal. Mereka biasanya

5
mengkritik kemapanan politik dan agama kala itu. Pada tahun 1836, Marx makin menekuni ilmu
politik. Ia bahkan bertunangan diam-diam dengan Jenny von Westphalen, seorang putri keluarga
kelas atas di Trier. Karena sikapnya yang makin radikal, sang ayah pun jadi khawatir. Heinrich
bahkan menyurati anaknya bahkan meminta Marx menghentikan pernikahannya dengan Jenny.
Namun pada tahun 1843, Marx pun jadi menikahi Jenny. Mereka mempunyai enam orang
anak, tetapi karena kemiskinan yang amat parah, hanya tiga anak yang bergender perempuan yang
bertahan sampai dewasa. Anak-anaknya pun saat dewasa terlibat aktif dalam kegiatan politik.
Wafatnnya Karl Marx Pada sebagian besar hidupnya, tak banyak orang yang tahu bahwa
sesungguhnya Marx punya banyak masalah kesehatan. Masalah itu berkaitan dengan jantung,
rematik, sakit kepala, sakit gigi, bahkan insomnia. Marx pun meninggal di London pada 14 Maret
1883 karena penyakit radang selaput dada. Ia dimakamkan di London dan hanya ditandai batu
sederhana. Kemudian pada tahun 1954, Partai Komunis Inggris mendirikan monumen besar yang
dihiasi patung Marx.

Ideologi Marxisme tidak bisa dilepaskan dari tokoh utamanya yakni Karl Marx. Berawal dari
abad ke-19 dimana keadaan buruh di Eropa Barat yang menyedihkan dimana pada saat itu
kemajuan industri berkembang dengan pesat menimbulkan keadaan sosial yang sangat merugikan
bagi kaum buruh. Pemikiran ini bukan saja menjadi inspirasi dasar “Marxisme” sebagai ideologi
perjuangan kaum buruh, bukan saja menjadi komponen inti dalam ideologi komunisme (Magnis
dan Suseno, 2003: 3). Berlandaskan masalah tersebut Karl Marx menyusun suatu teori sosial yang
menurutnya didasari hukum-hukum ilmiah karena itu pasti terlaksana.

Berbicara tentang sosialisme tidak bisa kita lepaskan fase peradaban masyarakat di Eropa,
karena embrio sosialisme merupakan hasil dari pergolakan masyarakat di Eropa secara umum dan
khususnya di negara-negara yang mengalami fase transisi dari masyarakat feodalisme menuju
kapitalisme. Sebut saja Prancis dan Inggris, dua negara ini merupakan contoh dari beberapa
negara di Eropa yang mengalami fase transisi dari masyarakat feodalisme ke kapitalisme. Jauh
sebelum revolusi Amerika 1776, revolusi Prancis tahun 1789 dan revolusi di Rusia tahun 1917,
di Inggris sudah terjadi pergolakan antara raja dengan rakyat yang menghasilkan piagam Magna
Charta tahun 1215.
Kisaran abad 16 kembali terjadi perang saudara di Inggris yang membawa pada kekalahan

6
kerajaan dan berakhir pada pemenggalan raja Charles I. Revolusi Inggris merupakan sebuah
penanda akan adanya kebangkrutan awal feodalisme di Eropa yang kemudian berlanjut pada
revolusi Prancis 1789 dan revolusi serentak di negeri-negeri Eropa pada tahun 1848 dimana
perkembangan masyarakat ke arah yang lebih maju ini tidak dapat dicapai dengan struktur
masyarakat lama. Revolusi Inggris, revolusi Prancis, revolusi Amerika, dan revolusi Rusia
merupakan kristalisasi dari sebuah ideologi politik yang berkembang sampai hari ini. Sosialisme
secara etimologi atau asal usul kata berasal dari bahasa latin “socius” yang artinya teman. Tetapi
secara terminologi sosialisme tidak secara sederhana diartikan sebuah pertemanan atau
persahabatan dua orang atau lebih, melainkan sebuah gerakan ekonomi politik dimana
kepemilikan atas alat-alat produksi dikontrol oleh negara.Sosialisme menjadi sebuah gerakan
kelas buruh sudah ada sebelum Marx dan Engels, hanya saja sosialisme pada era sebelum Marx
belum mampu merangkum kontradiksi pokok dalam masyarakat kapitalis dan masih bersifat
utopis. Ini yang kemudian menjadi sasaran kritik Marx yang kemudian ditulisnya dalam bentuk
sebelas tesis Feuerbach “semua filsuf hanya mendefinisikan tentang bagaimana dunia, tetapi
yang terpenting adalah mengubahnya”. Marx menyatakan bahwa sosialime-nya berbeda dengan
sosialisme sebelumnya, perbedaan ini tidak hanya pada nama dan terminologinya saja, bahkan
sampai pada tahapan praktek. Sosialisme Marx ialah “sosialisme ilmiah”. Corak ilmiahnya dapat
dilihat dalam rumusan bahwa sosialisme akan menggantikan kapitalisme adalah hasil
perkembangan masyarakat dalam sejarah dengan mengacu pada pengaruh dialektik.3 Paling
tidak perbedaan ini dapat disimpulkan pada beberapa aspek khusus, antara lain: Marx
memandang bahwa kelas-kelas dalam masyarakat lahir karena konsentrasi alat produksi pada
segelintir orang atau oligarkhi kapital, terkonsentrasinya alat-alat produksi ini menghasilkan
kontradiksi antara kelas pemilik (borjuis) dan kelas terhisap (proletar). Kontradiksi dalam
masyarakat ini memiliki pola hubungan yang eksploitatif-antagonistik, penyelesaian
hubungan eksploitatif ini hanya mampu dijalankan dengan revolusi kekerasan. Pandangan
revolusioner sosialisme ilmiah berbanding terbalik dengan pandangan kaum “sosialisme
utopis” yang lebih menekankan perubahan secara evolusioner dan lebih memilih menyesuaikan
kondisi perbaikan-perbaikan kelas buruh.
Untuk memahami sosialisme ilmiah Marx dan selanjutnya Lenin, maka kita perlu menelaah
kembali teori-teori Marx tentang materialisme dialektik dan materialisme historis. Filsafat
Materialisme Dialektik dan Materialisme Historis berakar pada dua tokoh terkemuka saat itu,
yaitu George Wilhem Frederick Hegel dan Ludwig Andreas Feuerbach. Unsur dialektika berakar
pada filsafat Hegel, sedangkan unsur Materialisme-nya berakar pada filsafat Feuerbach yang
kemudian menjadi satu kesatuan dengan bentuk yang baru sebagai landasan filsafat Marx.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan beberapa masalah seperti berikut :

1. Apa kecaman Marx terhadap sistem kapitalis?

7
2. Apa itu teori pertentangan kelas?

3. Apa itu teori surplus value dan penindasan buruh?

4. Bagaimana dialektika materialisme historis?

5. Apa saja fase-fase perkembangan masyarakat?

6. Apa perbedaan sosialisme dan komunisme menurut Marx?

7. Bagaimana pembaharuan terhadap Marxisme?

8.
1.3 Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Menjelaskan kecaman Marx terhadap sistem kapitalis.

2. Menjelaskan teori pertentangan kelas.

3. Menjelaskan teori surplus value dan penindasan buruh.

4. Menjelaskan dialektika materialisme historis.

5. Menjelaskan fase-fase perkembangan masyarakat.

6. Menjelaskan perbedaan sosialisme dan komunisme menurut Marx.

7. Menjelaskan pembaharuan terhadap Marxisme.

8
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kecaman Marx Terhadap Sistem Kapitalis


Perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi dalam masyarakat meliputi perubahan
struktur, sistem dan organisasi sosial sebagai akibat adanya modifikasi pola-pola kehidupan
manusia, yang dipengaruhi oleh adanya faktor kebutuhan intern dan ekstern masyarakat itu sendiri.
Masyarakat sebagai suatu sistem sudah tentu dalam perwujudannya, senantiasa mengalami
perubahan yang dapat berupa kemajuan atau kemunduran, luas atau terbatas, cepat atau lambat
(Afifuddin, 2015). Pembangunan ekonomi yang kapitalistik, menurut cara pandang Marxis
konvensional, bisa melalui dua jalan. Jalan pertama, yang dianggap ideal adalah jalan dari bawah
ditempuh melalui proses pembebasan para borjuasi dari kungkungan kelas-kelas sosial dominan di
pedesaan maupun di perkotan. Sedangkan jalan kedua, adalah model Prussia yang bersifat top
down. Jalan ini ditempuh ketika tidak terdapat kelas pemilik modal yang cukup kuat yang
memaksa negara mengambil alih peran utama dalam pembangunan dart industrialisasi (Hiariej,
2006).
Ernest Mandel dalam buku Bagong Suyanto yang berjudul “Sosiologi Ekonomi:Kapitalisme
dan Konsumsi di Era Masyarakat Post Modernisme” membahasa lebih perinci dan mengajukan
lima ciri pokok dari ekonomi kapitalisme. Pertama, ditingkat produksi, corak kapitalis adalah
produksi komoditas, untuk meraih keuntungan yang sebesarbesarnya. Kedua, produsksi dilandasi
kepemilikan pribadi. Ketiga, produksi dioperasinalkan dalam rangka meraih mengusai pasar yang
berada dibawah kendali persaingan. Keempat para kapitalis berupaya merauk keuntungan yang
sebesar- besarnya dengan cara melakukan. Kelima, Tujuan terakhir dari porduksi adalah akumulasi
kapital (Sirajuddin,and Tamsir, 2019).
Melihat sejarahnya, berbicara kapitalisme seolah tak mungkin untuk mengabaikan Weber dan
Adam Smith. Kedua nama tersebut akan dikutip dalam menengok sejarah kapitalisme. Menurut
Huntington, “ada tesis Weber yang menyatakan bahwa protestanisme mendorong usaha ekonomi,
perkembangan borjuasi, kapitalisme, dan kemakmuran ekonomi, sehingga memperlancar
munculnya lembaga-lembaga demokrasi”. Sedangkan Fakih menyatakan, Adam Smith merupakan
pemikir pertama yang mengembangkan pentingnya ‘akumulasi kapital’ dalam pengembangan
ekonomi. Teori Adam Smith tentang labour theory.
Karl Marx mempunyai nama lengkap Karl Heinrich Marx. Ia dilahirkan pada tanggal 5 Mei
1818 M di kota Trier–Prusia sebelah perbatasan barat Jerman. Ia dilahirkan ditengahtengah
keluarga Yahudi (Kambali, 2020). Bagi Karl Marx, esensi dari sistem kapitalisme adalah pelipat
gandaan kapital (uang). Dengan uang para kapitalis membeli tenaga kerja dan mesin produksi
untuk menghasilkan komoditas. Setelah komoditas dihasilkan para kapitalis menjualnya lagi untuk
mendapatkan uang yang lebih banyak lagi. Sirkulasi pertukaran barang dan perubahan

9
uang menjadi komoditas dan berubah lagi menjadi uang, di kenal dengan pola M – C – M.3
Nilai lebih yang diambil oleh kaum kapitalis dari kaum buruh pada dasarnya adalah sebuah
tindakan pencurian terhadap hak-hak kaum buruh yang di sebut Karl Marx sebagai tindakan
eksploitasi. Modal atau kapital dapat diibaratkan seperti uang yang dipergunakan untuk
memperoleh lebih banyak uang (Kambali, 2020). Modal adalah uang yang tidak digunakan untuk
membeli barang- barang kebutuhan ataupun barang-barang yang diinginkan individu. Modal
adalah uang yang ditanam supaya tumbuh dan menghasilkan lebih banyak uang (hendrawan,
2014).
Pandangan sistem ekonomi kapitalis mengatakan bahwa menyamakan antara kebutuhan dan
keinginan adalah hal yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan fakta (Sholahuddin, 2007). Karya-
karya awal Marx berbicara mengenai hubungan antara kerja dan hakikat manusia. Marx meyakini
bahwa sistem produksi kapitalis membuat kerja manusia menjadi tidak sesuai dengan hakikat
kemanusiaannya. Ketidak sesuaian antara hakikat kemanusiaan dan kerja tersbut disebut alienasi
(Hendrawan, 2014). Dalam hal ini, manusia yang terlibat dalam proses produksi adalah
sebagaimana struktur pengorganisasian sosial produksi yang terdiri atas kaum pemilik modal dan
kaum pekerja. Hubungan-hubungan produksi selalu mengambil bentuk hubungan hak milik dalam
masyarakat dan hubungan sosial sesuai apa yang telah diatur masyarakat tentang kondisi dan
kekuatan produksi serta menyalurkan hasil produksi kepada anggota masyarakat.

2.2 Teori Pertentangan Kelas


Teori perjuangan kelas, yaitu: konsep pemahamnnya berangkat dari pemikiran revolusi.
Revolusi merupakan suatu hal yang harus terjadi, sebagai akibat dari kondisi masyarakat itu
sendiri. Hal inilah yang pada akhirnya disebut dengan revolusi struktural, yang berusaha
membongkar ideologi dengan mengatakan bahwa sistem sosial tidak dapat diubah, padahal secara
realistis masyarakat dan strukturnya saling terkait. Pemikiran ini memberi wacana pandangan kritis
masyarakat yang tidak berdaya menghadapi kemapanan kekuasaan yang menindas kemanusiaan.
Kelas sosial menurut Marx merupakan gejala khas yang terdapat pada masyarakat
pascafeodal. Marx kemudian menyebut di dalam struktur kelas ada perbedaan, yakni kelas atas
(kaum pemilik dan alat-alat industri) dan kelas bawah (kaum proletar, buruh). Dalam masyarakat
kapitalis Marx menyebutkan ada tiga kelas sosial, yaitu: (1) kaum buruh, yaitu mereka yang hidup
dari upah (2) kaum pemilik modal (yang hidup dari laba) dan (3) para tuan tanah (yang hidup dari
rente tanah). Hubungan antar kelas ini menurut Marx ditandai oleh hubungan eksploitasi,
pengisapan, dan hubungan kekuasaan (antara yang berkuasa dan yang dikuasai).
Ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan dalam teori kelas, yaitu: (1) Besarnya peran
struktural dibanding kesadaran dan moralitas. Implikasinya bukan perubahan sikap yang
mengakhiri konflik, tetapi perubahan struktur ekonomi. (2) adanya pertentangan kepentingan kelas
pemilik dan kelas buruh. Implikasinya mereka mengambil sikap dasar yang berbeda dalam

10
perubahan sosial. Kelas buruh cenderung progresif dan revolusioner, sementara kelas pemilik
modal cenderung bersikap mempertahankan status quo menentang segala bentuk perubahan dalam
struktur kekuasaan. (3) setiap kemajuan dalam masyarakat hanya akan dapat dicapai melalui
gerakan revolusioner. Semua itu pemikiran Karl Marx bermuara pada tujuan akhir yang dicita-
citakannya, yakni “masayarakat tanpa kelas”.
Menurut Marx, setiap masyarakat ditandai standar oleh infrastruktur dan superstruktur.
Infrastruktur dalam masyarakat berwujud struktur ekonomi. Superstruktur meliputi ideology,
hukum, pemerintahan, keluarga, agama, budaya dan juga standar moralitasnya. Menurutnya,
bahwa hubungan antara infrastruktur ekonomi dan superstruktur budaya dan struktur sosial yang
dibangun atas dasar itu merupakan akibat langsung yang wajar dari kedudukan meterialisme
historis. Adaptasi manusia terhadap lingkungan materiilnya selalu melalui hubungan-hubungan
ekonomi tertentu, dan hubungan ini sangatlah dekat, sehingga semua hubungan-hubungan sosial
lainnya juga dibentuk oleh hubungan ekonomi.
Struktur ekonomi merupakan landasan tempat membangun semua basis kekuatan lainnya,
dengan demikian perubahan cara produksi menyebabkan perubahan dalam semua hubungan sosial
manusia. Proses produksi yang dilakukan manusia dalam perkembangan masyarakat industri
melibatkan dua kelas yang saling bertentangan, yaitu kelas borjuis dan kelas proletar. Marx
membahas secara detail berkaitan dengan teori kelas dalam buku yang ditulisnya bersama
Friedrich Engels yang berjudul The Communist Manifesto. Dua kelas ini memiliki posisi yang
sangat berbeda. Kelas borjuis di sini dikenal sebagai kelas pemilik modal (wong sugih), sedangkan
kelas proletar merupakan kelas pekerja (buruh/wong cilik) yang mempunyai ketergantungan sangat
tinggi terhadap kelas borjuis. Dalam praktiknya kedua kelas tersebut sering terjadi pertentangan,
karena kelas borjuis sering melakukan penindasan pada tenaga maupun pikiran dari kelas proletar.
Kelas borjuis dianggap menikmati kenikmatan bahwa sejarah masyarakat manusia merupakan
sejarah perjuangan kelas. Menurut Marx, perkembangan pembagian kerja dalam kapitalisme
menumbuhkan dua kelas yang berbeda: yaitu, kelas yang mengusai alat produksi yang dikenal
dengan kelas borjuis dan kelas yang tidak memiliki alat produksi yaitu proletar. Sedangkan dalam
kapitalis ada tiga kelas, yaitu, pertama, kaum buruh yaitu mereka yang hidup dari upah. Kedua,
kaum pemilik modal (hidup dari laba), dan ketiga, tuan tanah (yang hidup dari rente tanah). atas
penderitaan kelas proletar, sehingga kelas proletar berada dalam posisi yang tidak menguntungkan
serta mengalami kondisi hidup dalam kemiskinan serta keterasingan (alienasi) yang semakin
meningkat. Menurut Marx, bahwa kelas-kelas akan timbul apabila hubungan-hubungan produksi
melibatkan suatu pembagian tenaga kerja yang beraneka ragam, yang memungkinkan terjadinya
penumpukan suplus produksi.
Marx dalam bukunya “The German Ideology” yang ditulisnya bersama Engels, menjelaskan
beberapa tahap perubahan-perubahan utama pada kondisi material dan cara-cara produksi di
satu pihak dan hubungan-hubungan sosial serta norma-norma pemilikan di lain pihak. Dari sinilah

11
muncul pandangan, bahwa semua sejarah adalah sejarah perjuangan kelas. Bagi marx muda,
perjuangan kelas adalah porosnya, sedangkan bagi Marx akhir, adalah struktur kelas, kerja, dan
modal yang menjadi kategori- kategori formalnya. Di sini Marx mengembangkan model dua kelas
yang menjadi konsep sentral dalam kapital. Sejarah tidak hanya sekedar kelas-kelas yang berjuang,
namun sejarah modern adalah peperangan besar antara dua kelas fundamental: borjuis dan proletar.
Marx berpandangan, bahwa suatu saat kaum proletar akan menyadari akan kepentingan bersama
mereka, sehingga akan membangun kekuatan untuk memberontak pada kelas borjuis.
Dari situasi konflik antar kelas, maka sistem kapitalis tidak hanya menciptakan penghalang
antara buruh dengan pekerjaannya serta dari lingkungan sosial sekitarnya. Selain itu, kapitalisme
juga telah memisahkan individu dari dirinya sendiri. Para buruh kehilangan kebebasan individual
karena telah dirampas oleh sistem yang telah melingkupinya. Mereka tidak memiliki waktu,
tenaga, serta keinginan sendiri karena dipenjara oleh sistem yang diterimanya sebagai sebuah
kenyataan. Padahal menurut Marx sistem kapitalisme dapat dicegah. Dengan demikian akan terjadi
konflik antar kelas tersebut, demi mempertahankan kelas masing-masing, dan menurut Marx, pada
saat inilah kelas borjuis akan dikalahkan dan hancur. Setelah itu, menurut Marx kelas proletar akan
mendirikan suatu masyarakat tanpa kelas, di mana kerja dan upahnya akan dibagi secara adil dan
saat itu juga tidak ada orang yang dieksploitasi dan tidak adanya penderitaan dalam kemiskinan.
Meskipun ramalan Marx tidak pernah terwujud, namun pandangan Marx berkaitan dengan
stratifikasi sosial tetap berpengaruh bagi pemikiran sejumlah ilmuan. Pemikiran Marx berpengaruh
besar terhadap perubahan sosial besar yang melanda Eropa barat sebagai dampak perkembangan
pembagian kerja, khususnya yang berkaitan dengan kapitalisme.

2.3 Teori Surplus Value dan Penindasan Buruh


Surplus value merupakan teori dari pemikiran Marx yang menyatakan tentang adanya
kelebihan nilai produksi seorang buruh berbanding dengan upah dalam suatu proses produksi.
Kelebihan nilai ini menciptakan keuntungan bagi para pemilik modal akibat kecilnya biaya
produksi berbanding dengan beban pekerjaannya. Marx menjelaskan bahwa setiap buruh diberi
upah berdasarkan lamanya mereka bekerja per hari. Upah yang diberikan kepada buruh seharusnya
dapat memenuhi kebutuhan buruh tersebut per harinya untuk menebus tenaga mereka pada saat
bekerja. Untuk mencapai keseimbangan dalam proses produksi, buruh harus mendapatkan
keuntungan dengan cara memberi upah lebih dari tenaga yang digunakan dalam bekerja. Ketika
buruh mendapatkan upah yang kurang untuk menebus tenaganya maka buruh tersebut telah
dirugikan. Sisa nilai upah yang seharusnya diberikan pada buruh agar mendapatkan keuntungan
inilah yang disebut nilai lebih atau surplus value. Secara tidak langsung pemilik produksi yang
mempunyai surplus value telah mencuri keuntungan berupa upah yang harusnya menguntungkan
buruh yang diperkerjakan. Oleh karena itu, tindakan mengambil untung dari surplus value adalah
tindakan exploitasi buruh. Kelas buruh ini tertindas dan tereksploitasi karena pemilik produksi

12
mendapatkan surplus value dengan cara meningkatkan beban kerja. Peningkatan beban kerja ini
bisa berupa pekerjaan yang bertambah atau pekerjaan yang berat berbanding terbalik dengan
jumlah upah yang dibayarkan agar mendapatkan keuntungan, hal ini dilakukan agar modal bisa
teralihkah untuk hasil produksi.

2.4 Dialektika Materialisme Historis

Materialisme adalah konsepsi filsafat Marxis, sedang dialektika adalah metode-nya


sedangkan materialisme historis adalah penerapan atau pengenaan materialisme dialektik ke alam
sejarah manusia. Melalui uraian atas pokok-pokok ini kita akan mengerti apa yang dimaksud
sebagai “berpikir dengan pendekatan materialisme dialektis dan historis”.
1. Materialisme
Seperti kita ketahui secara umum, materialisme pada mulanya merupakan gugus pengertian
bahwa materi (ikhwal indrawi) adalah hakikat dari realitas. Marx merubah pandangan umum ini.
Baginya, materialisme macam itu hanya benar untuk materialisme klasik hingga abad ke-18.
Dalam Tesis pertamanya tentang Feuerbach, Marx menunjukkan pengertian baru dari
materialisme:
Kekeliruan mendasar dari materialisme yang ada sampai saat ini termasuk juga Feuerbach
adalah bahwa benda [Gegenstand], realitas, keindrawian, dimengerti hanya dalam bentuk obyek
[Objekt] atau kontemplasi [Anschauung], tetapi tidak sebagai aktivitas indrawi manusia, praktik,
[atau dengan kata lain] tidak secara subyektif
Materialisme sebelum Marx hanya memahami materi sebagai obyek indrawi belaka.
Pengertian ini tak mampu menyadari bahwa obyek-obyek material itu adalah juga hasil dari
aktivitas subyektif manusia. Sentralitas pada obyek ini dibalikkan oleh Marx dengan menunjukkan
peran sentral subyek, manusia, dalam konstitusi materialitas hal-ikhwal. Dengan pendekatan yang
dapat disebut sebagai “materialisme subyektif” inilah Marx lantas dapat menunjukkan sesuatu,
selain obyek material, yang konstitutif terhadap realitas. Sesuatu itu tak lain adalah laku, kerja,
praxis. Pengertian Marx tentang materialisme ini merupakan sesuatu yang baru dalam sejarah
pemikiran. Pengertian ini pulalah yang, dalam tafsir Etienne Balibar, untuk pertama kalinya
mampu melepaskan materialisme dari idealisme. Selama materialisme hanya berhenti pada primasi
pada materi sebagai esensi realitas, maka materialisme itu tak akan lebih dari “idealisme
terselubung” (disguised idealism). Berdasarkan konseptualisasi Marx yang baru, kini materialisme
menjadi subyektif dan terekspresikan dalam praxis konkret. Pembaharuan ini juga, bagi Balibar,
menghasilkan konsepsi baru tentang subyek, yakni persamaan “subyek = praktik”. Materialisme
Marx adalah pengertian bahwa keseluruhan obyek yang menyusun realitas ini tak lain adalah efek
dari aktivitas subyek. Dipahami dalam kerangka ini, tak ada yang sepenuhnya natural dalam
realitas keseharian, tak ada nostalgia akan kemurnian azali. Kenaikan harga sembako tidaklah
alami, begitu juga hutan-hutan yang jadi gundul di Kalimantan, pemanasan global dan matinya

13
seorang buruh pabrik. Semuanya adalah efek dari konfigurasi aktivitas manusia yang tertentu.
Sikap kritis yang menolak untuk memandang realitas secara natural dan mengakui adanya
intervensi subyektif yang justru mengkonstitusi kenyataan sehari-hari inilah yang disebut Njoto
sebagai konsepsi materialis.

Dialektika
Kita juga tahu bukan Marx yang pertama kali berbicara mengenai dialektika. Sejak Platon,
pemikiran filosofis senantiasa dicirikan dengan sifat dialektis. Sokrates, junjungan Platon, sendiri
berfilsafat dengan dialektika, dengan dialog (ingat: asal kata Yunani dari dialektika adalah
dialegesthai yang artinya “dialog”). Namun dari Hegel lah Marx menimba pelajaran mengenai
dialektika. Pengandaian dasar dialektika Hegel adalah relasionalisme internal, yakni pengertian
bahwa keseluruhan kenyataan, dipahami sebagai manifestasi-diri Roh, senantiasi terhubung satu
sama lain dalam jejalin yang tak putus. Secara logis, term A hanya bisa dimengerti sejauh ada juga
term non-A yang darinya A ditentukan sifatnya. Secara ontologis, Ada dapat dimengerti sejauh ia
koeksis dengan Ketiadaan: Ketiadaan internal dalam definisi Ada dan Ada internal dalam definisi
Ketiadaan. Relasionalisme internal segala hal-ikhwal inilah yang memungkinkan terwujudnya
determinasi resiprokal antar elemen dari realitas. Dengan berlandaskan pengertian Spinoza bahwa
“omnis determinatio est negatio” (semua determinasi adalah negasi), bagi Hegel, relasi determinasi
resiprokal ini adalah pula relasi negasi resiprokal: afirmasi (A), negasi (non-A) dan afirmasi pada
tataran yang lebih tinggi atau “negasi atas negasi” (non-non-A yang mencakup intisari A dan non-
A). Inilah yang biasanya kita kenal sebagai dialektika antara tesis-antitesis- sintesis. Dialektika
inilah yang dimengerti Hegel sebagai dinamika internal dari realitas dan pikiran.
Lantas bagaimana posisi Marx pada fase penggarapan Kapital terhadap dialektika Hegel itu?
Pertanyaan ini sulit dijawab. Marx sendiri hanya mengomentari hal ini secara eksplisit satu
kali, yakni dalam Kata Pengantar untuk Edisi Kedua dari Das Kapital jilid satu. Konteksnya adalah
tuduhan yang dilayangkan peresensi Jerman dan Russia atas buku Kapital. Dalam resensinya
mereka menyebut bahwa traktat tersebut dipenuhi oleh “sofisme Hegelian”. Terhadap tuduhan ini,
Marx menjawab:
Metode dialektis saya, pada fondasinya, tidak hanya berbeda dari kaum Hegelian melainkan
tepatnya beroposisi dengannya. Bagi Hegel, proses pemikiran, yang ia transformasikan menjadi
subyek independen di bawah nama ‘Idea’, merupakan pencipta dunia riil, dan dunia riil hanyalah
penampakan eksternal dari idea. Dengan saya, kebalikannya menjadi benar: yang-ideal tidak lain
dari dunia material yang direfleksikan dalam pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam
bentuk pemikiran.
Dari pernyataan ini, seolah Marx sepenuhnya memisahkan pengertian dialektikanya dari
pengertian Hegel atasnya. Namun ini tidak sejelas yang kita kira. Dalam paragraf selanjutnya,
Marx mendeklarasikan bahwa—berhadapan dengan fakta bahwa banyak intelektual Jerman pada

14
masanya yang memperlakukan Hegel ibarat Moses Mendelssohn memperlakukan Spinoza sebagai
“anjing mati”—ia sendiri merupakan murid dari “pemikir besar itu”. Namun deklarasi kesetiaan ini
kembali dilanjutkan dengan distansiasi kritis. Mistifikasi yang diderita dialektika di tangan Hegel
tidak membatalkan Hegel sebagai yang pertama yang mempresentasikan bentuk gerakan umumnya
dalam cara yang komprehensif dan sadar. Dengannya dialektika berjalan pada kepalanya. Ia mesti
dibalik, untuk menyingkapkan inti rasional dalam cangkang mistis.
Dalam bentuk mistisnya, dialektika digemari di Jerman sebab ia seolah mentransfigurasi dan
mengagung-agungkan apa yang eksis. Dalam bentuknya yang rasional, ia merupakan skandal dan
ancaman bagi borjuasi dan para jurubicaranya sebab ia mengikutsertakan dalam pemahaman
positifnya tentang apa yang eksis sebuah pengakuan secara bersamaan akan negasinya, akan
kehancurannya yang tak terelakkan, sebab ia memandang segala bentuk perkembangan historis
sebagai apa yang ada dalam kondisi cair, dalam gerakan, dan karenanya memandang aspek
kesementaraannya pula, dan sebab ia tak membiarkan dirinya dikesankan oleh apapun, [sehingga]
pada esensinya bersifat kritis dan revolusioner.
Dalam pernyataan tersebut dikatakan bahwa dialektika Marx adalah saripati rasional dari
cangkang mistis dialektika Hegel. Bagaimana deskripsi metaforis ini diterangkan? Dari pernyataan
itu pula dijelaskan bahwa ia menolak dialektika Hegel sejauh itu dipahami sebagai glorifikasi atas
apa yang eksis, alias suatu justifikasi atas status quo. Dengan demikian, selama dialektika Hegel
masih dipahami dalam pengertian bahwa segala yang riil (situasi penghisapan, sistem yang
merepresentasi rakyat dalam parlemen borjuis) niscaya rasional dan dengannya menjadi sah untuk
eksis dan terus eksis, maka dialektika Marx bukanlah dialektika Hegel. Namun, dari penjelasan
Marx ini saja, tidak ada pengertian yang lengkap tentang relasi dialektika Marx dan Hegel. Para
komentator Marx sendiri tak pernah memberikan jawaban yang seragam atas problem ini.
Komentator seperti Magnis-Suseno, mengikuti tafsiran Jean-Yves Calvez SJ., cenderung
menekankan kontinyuitas pemikiran Marx. Implikasinya, tak ada distingsi yang ketat atau patahan
dalam pemikiran Marx “muda” yang masih Hegelian dan Marx pada fase lanjut (termasuk fase
penggarapan Kapital). Sebaliknya, komentator seperti Louis Althusser justru menekankan adanya
patahan (coupure) radikal yang mengantarai pemikiran Marx muda yang masih Hegelian dan
pemikiran Marx lanjut yang samasekali non-Hegelian.
Oleh karena kerumitan ini, maka dalam kurikulum ini kita tidak akan memastikan makna yang
tepat dari relasi Marx-Hegel. Biarlah problematika ini kita kupas bersama lewat diskusi-diskusi
yang intens. Di sini cukup dimengerti bahwa Marx berhutang budi pada pemikiran Hegel tentang
dialektika sebab dengannya realitas dapat dilihat sebagai sesuatu yang senantiasa berubah, cair dan
bergerak terus menerus. Realitas, dengan demikian, adalah efek dari aktivitas subyektif yang, pada
gilirannya, mendeterminasi aktivitas subyektif itu sendiri. Gerak determinasi resiprokal atau gerak
dialektis inilah yang juga ditekankan oleh Marx. Dialektika, sesuai dengan pendapat Njoto,
merupakan metode dari materialisme Marxis. Artinya, filsafat Marx yang bertumpu pada konsepsi

15
materialis—bahwa yang terselubung pada jantung realitas sesungguhnya tak lain adalah praxis
subyektif yang jadi material—hanya dapat diekspresikan oleh satu-satunya metode yang cocok
dengan karakter materialis ini, yakni metode dialektika—sebuah modus di mana bendanya itu
sendiri tidak hadir dalam stabilitas yang diam, melainkan telah selalu dalam gerak determinasi
bolak-balik yang tak berkesudahan.
2. Historisitas
Kesejarahan merupakan tema sentral dalam diskursus Marx. Kita sering mendengar tentang
ramalan Marx mengenai tatanan komunis dunia sebagai hasil evolusi dialektika sejarah. Seolah-
olah Malaikat Sejarah yang bekerja dari balik layar realitas tengah merancang suatu
Penyelenggaraan Ilahi bagi kaum proletar sedunia. Seolah-oleh sejarah akan berpuncak pada suatu
konflagrasi final antara yang-Baik dan yang-Jahat, antara proletar dan borjuasi, dan akan berakhir
dalam suatu surga dunia komunis. Pandangan inilah yang dikenal sebagai historisisme, atau
pengertian bahwa sejarah dipimpin oleh suatu teleologi internal. Ada komentator yang menyatakan
bahwa historisisme Marx ini merupakan ekses dari ketergantungannya pada filsafat Hegel.
Memang kita dapat menafsirkan filsafat sejarah Hegel sebagai konsepsi sejarah yang dipimpin oleh
suatu teleologi internal sebab sejarah, bagi Hegel, pada dasarnya merupakan evolusi-diri Roh
menuju pada kesadarannya yang paripurna. Inilah salah satu alasan mengapa Althusser bersusah
payah membersihkan pemikiran Marx lanjut dari pengaruh Hegel. Althusser adalah alah seorang
dari komentator kontemporer yang menekankan segi anti-historisis dari pemikiran Marx. Baginya
tafsiran historisis atas Marx merupakan pembacaan yang bersifat voluntaristik, yakni pemahaman
humanis tentang proletar sebagai “misionaris esensi manusia” (missionary of the human essence).
Padahal, bagi Althusser, jika kita baca sungguh-sungguh Kapital dan bahkan karya-karya awal
Marx, kita akan mengerti bahwa historisisme adalah problem yang asing terhadap filsafat Marxl.
Memang benar bahwa konsepsi materialis Marx yang bersifat subyektif, atau menekankan
pada
praxis, dapat mengarah pada pengertian bahwa sejarah pun merupakan hasil bentukan manusia
dan, oleh karenanya, Marx terjatuh dalam historisisme. Apalagi skema Marx yang terkenal tentang
infrastruktur (Unterbau) dan suprastruktur (Überbau) dapat menjurus pada historisisme: karena
infrastruktur ekonomis mendeterminasi suprastruktur ideologis, maka perkembangan realitas
ekonomi lah yang menentukan pembebasan politik dari kelas proletar yang terhisap. Pada
akhirnya, tafsiran semacam ini akan berujung pada suatu iman pada “keniscayaan historis” bahwa
kapitalisme akan tumbang dengan sendirinya karena kontradiksi internalnya seperti dianalisis
Marx dan kelas proletar akan menjadi satu-satunya kelas sosial dunia. Namun pembacaan seperti
ini abai terhadap relasi determinasi resiprokal yang menstruktur relasi antara subyek dan sejarah
dunia yang melingkupinya. Pembacaan historisis itu berpegang pada sebaris frase kunci yang tidak
berasal dari Marx melainkan dari Engels, yakni “determinasi pada pokok terakhir”. Artinya,
determinasi pada pokok terakhir ada pada infrastruktur ekonomi. Terhadap tafsiran historisis ini,

16
Althusser juga mengajukan sanggahan. Ini dilancarkannya melalui elaborasi konsep
overdeterminasi (surdétermination), yakni relasi determinasi resiprokal di mana pokok yang
mendeterminasi ikut terdeterminasi oleh apa yang ia determinasikan sendiri. Relasi
overdeterminasi inilah yang bagi Althusser dimengerti Marx dalam konteks relasi antara
infrastruktur dan suprastruktur. Itulah sebabnya Althusser dapat menulis: “Dari momen pertama
hingga terakhir, jam sepi ‘pokok terakhir’ tak pernah datang [the lonely hour of the ‘last instance’
never comes].” Dengan demikian, tak ada historisisme yang esensial dalam pemikiran Marx .

3. Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis

Setelah kita mencapai pengertian tentang materialisme, dialektika dan historisitas dalam
pemikiran Marx, kini kita dapat beranjak menuju pemahaman akan materialisme dialektis dan
historis—atau apa yang kerap disebut sebagai MDH. Kita akan mulai dengan uraian tentang asal-
usul term. Tentang materialisme dialektis, term ini sendiri tidak ada dalam corpus Marx-Engels:
Marx hanya bicara tentang “metode dialektis” sementara Engels tentang “dialektika materialis”.
Ekspresi “materialisme dialektis” pertama kali dipakai oleh Joseph Dietzgen di tahun 1887, salah
seorang kawan koresponden Marx. Lenin lah yang mempergunakan term ini secara sistematis—
sesuatu yang, dalam Materialism and Empirio-Criticism (1908), ia elaborasi dari karya-karya
Engels. Sesudah Lenin, wacana Marxisme Soviet terbagi oleh dua orientasi pemikiran: “dialektis”
(Deborin) dan “mekanis” (Bukharin). Untuk mengatasi perdebatan yang tak kunjung selesai di
antara kedua kubu ini, Sekretaris Jendral Partai Stalin mengeluarkan dekrit di tahun 1931 yang
memutuskan bahwa materialisme dialektis adalah sama dengan Marxisme-Leninisme. Lantas,
pada tahun 1938, Stalin menjalankan kodifikasi atas ajaran tersebut secara lebih lanjut di dalam
pamfletnya, Dialectical and Historical Materialism. Kodifikasi Stalin inilah yang dikenal sebagai
sistem diamat (singkatan dari dialectical materialism) dan diterapkan di sebagian besar negara
Komunis. Koreksi penting atas kodifikasi Stalin ini datang dari Mao Tse-Tung. Dalam esainya
dari tahun 1937, On Contradiction, Mao menolak ide Stalin tentang “hukum-hukum dialektika”
dan justru memberikan penekanan pada kompleksitas kontradiksi. Kontradiksi, dalam pandangan
Mao, tidak tunggal melainkan memiliki struktur ganda: di satu sisi terdapat kontradiksi pokok,
yakni kontradiksi yang tak dapat diperdamaikan (misalnya, kontradiksi antara borjuis dengan
proletar), dan di sisi lain terdapat kontradiksi tidak pokok yang dapat diselesaikan dengan
negosiasi (misalnya, kontradiksi antara buruh dan petani). Dari penafsiran Mao atas kontradiksi
inilah nantinya Althusser mengelaborasi konsep overdeterminasi yang tadi telah kita bahas secara
singkat sebagai kritik atas pembacaan historisis tentang Marx.
Apapun penafsiran para komentator tentang materialisme dialektis dan historis, ada satu
yang tetap, yakni bahwa semuanya mengakui bahwa materialisme dialektis dan materialisme
historis merupakan ajaran yang internal dalam pemikiran Marx sendiri walaupun Marx tak
pernah menggunakan term-term tersebut secara sistematis. Oleh karena pembahasan mengenai

17
materialisme dialektis dan historis ini mengandaikan rekonstruksi atas keseluruhan teks Marx,
maka kami di sini hanya akan membatasi pada pengertian tentang kedua term tersebut berangkat
dari klarifikasi yang telah kita lakukan atas term materialisme, dialektika dan historisitas.
Materialisme dialektis merupakan cara berpikir Marx tentang realitas, yakni pengertian bahwa
realitas tersusun oleh materi yang memiliki relasi langsung dengan subyektivitas dan relasi ini
pun bergerak dalam untaian determinasi resiprokal. Dalam pengertian yang lebih sederhana,
realitas adalah efek dari mekanisme perjuangan kelas. Jika, mengikuti Njoto, materialisme
historis merupakan penerapan materialisme dialektis kepada kenyataan yang menyejarah, maka
materialisme historis dapat kita mengerti sebagai gugus pemahaman tentang sejarah sebagai
ikhwal yang tersusun oleh determinasi resiprokal antar subyek dan antara subyek dengan materi
obyektif. Atau dalam arti yang dipermudah, sejarah adalah efek perjuangan kelas sebuah efek
yang bergerak dalam arah ganda, kepada sejarah dan kepada kelas itu sendiri

2.5 Fase – Fase Perkembangan Masyarakat

Menurut Karl Marx, historis masyarakat manusia adalah historis berbagai macam sistem
produktif yang berbasis eksploitasi kelas. Karl Marx mengatakan kita dapat membagi historis
setiap masyarakat kedalam setiap masa, dan setiap masa itu didominasi oleh model produksi
(cara-cara memproduksi) tertentu dengan hubungan ciri khas kelas itu sendiri.
1. Komunisme Primitif (Masyarakat Persukuan)

Masyarakat persukuan alat produksi belum berkembang, dan pekerjaan manusia


hanya berburu, memancing, beternak, dan pertanian. Pada masyarakat primitif tidak
memproduksi surplus (nilai lebih), karena biasanya lingkungan yang tidak bersahabat
dan kekurangan teknologi. Masyarakat primitif hanya memproduksi kebutuhan hidup
secukupnya dan setiap orang harus bekerja. Tahap ini tidak ada yang kaya, karena itu
tidak muncul kelas untuk mengeksploitasi orang lain. Masyarakat primitif lebih
mengutamakan kepentingan bersama dari pada kepentingan individu atau alat produksi
merupakan milik bersama, inilah kelebihan sosial masyarakat primitif.
2. Komunal Kuno (Perbudakan)
Masyarakat komunal kuno manusia dimiliki sebagai kekayaan oleh sebagian orang
yang lebih berkuasa. Pada masa ini terdapat kelas yang menguasai dan dikuasai, atau ada
majikan dan ada budak. Karena itu, produksi terjadi dengan menggunakan tenaga
manusia secara paksa, karena mereka dimiliki sebagai kekayaan oleh majikan. Pada masa
ini sepertiga penduduk adalah budak. Sebagian besar budak pada mulanya sebagai
tahanan perang, sebagai akibat dari imperialisme kedua kerajaan ini (Yunani kuno dan
Romawi) pada masa itu. Salah satu alasan utama mengapa model produksi kuno akhirnya
ambruk karena kekuasaan negara mengalami kemerosotan. Semakin lama semakin sukar

18
bagi negara untuk mengontrol penduduk yang tinggal di bagian-bagian jajahan yang jauh,
sehingga perbudakan sebagai model produksi lambat laun menghilang karena tidak lagi
relevan.
3. Feodalisme

Kehidupan masyarakat sistem feodalisme model produksi didasarkan pada


kemampuan para pejuang perang atau bangsawan yang mengendalikan wilayah-wilayah
lokal yang kecil dengan kekuatan senjata untuk menundukkan dan mengeksploitasi tenaga
kerja pertanian, sehingga mereka disebut sebagai tuan tanah. Model produksi feodalisme
terjadi dengan menggunakan tenaga kerja dan orang-orang bekerja dipandang hanya
bekerja agar mereka bertahan hidup. Karena tenaga kerja ini tidak memiliki tanah,
melainkan mereka menyewa tanah pada pemilik tanah (tuan tanah), dan para pekerja
diwajibkan untuk menyerahkan sebagian besar hasil dari pertanian mereka sebagai biaya
sewa kepada tuan tanah. Pada perkembangan sistem feodalisme selanjutnya sangat
menggegerkan para pekerja. Pada awalnya para pekerja dengan mudah mendapatkan tanah
dari tuan tanah dengan cara disewakan, namun akhirnya sulit untuk mendapatkan tanah,
karena para tuan tanah melarang digunakannya lahan kosong di sepanjang wilayah
kekuasaan mereka untuk pekerja. Lahan-lahan kosong ini kemudian digunakan oleh
penguasa (tuan tanah) untuk peternakan domba, pertanian intensif yang menggunakan
mesin dan tidak menggunakan tenaga manusia, sehingga para pekerja untuk mencari
nafkah kehidupan mereka tidak ada lagi, karena mereka tidak memiliki tanah sendiri dan
mereka akhirnya benar-benar menjadi miskin. Sebagaimana dikatakan Karl Marx dalam
karya capitalnya, yaitu “Domba memakan manusia”. Artinya, para pekerja tanpa memiliki
tanah dan tidak memiliki sarana subsistensi kecuali tenaga. Sehingga para pekerja terpaksa
untuk menjual tenaga mereka kepada majikan demi upah untuk kelangsungan hidup. Oleh
karena itu, dari sistem feodalisme tersebut muncullah sistem kehidupan yang masyarakat
baru, yaitu sistem kapitalisme.
4. Kapitalisme
Pada sistem masyarakat kapitalisme, kepemilikan produktif teruatama dalam bentuk
tanah, di mana kaum buruh bekerja dengan upah rendah mengelola tanah tersebut.
Kemudian dalam bentuk produktif industri yang mendorong munculnya investasi kapitalis
pada pabrik-pabrik dan mesin-mesin, sedangkan kaum buruh dengan upah rendah
tertinggal sebagai tenaga industri manual saja. Dalam sistem kapitalisme, kaum buruh
menjadi modal kekayaan para penguasa, karena mereka diupah dengan nilai rendah, dan
bahkan kaum buruh dipandang oleh kapitalisme, para pekerja diupah sekedar untuk hidup
saja. Kaum buruh seharusnya diupah sesuai dengan pekerjaannya, tetapi kapitalisme
mengupah dengan nilai rendah. Umpamanya, upah 10.000 perhari, tetapi hanya dibayar
3000 perharinya. Kemudian dalam bentuk jam kerja diperpanjang, jika bagi seorang

19
pekerja hanya diperlukan waktu 4 jam, maka semakin lama pekerja itu berkerja melebihi
waktu 4 jam tadi, maka semakin besar pulalah surplus yang diperoleh kaum kapitalisme.
Oleh karena itu, Karl Marx sangat membenci kapitalisme dan memberikan solusi untuk
menghancurkan kapitalisme dengan sosialisme dan komunisme.
5. Sosialisme

Sistem masyarakat sosialime, tidak ada ditemukan pengisapan terhadap


masyarakat, seperti halnya kapitalisme, feodalisme, dan alat berproduksi merupakan
milik bersama. Namun alat produktivitas masih rendah dan kebutuhan materi belum
terpenuhi secara cukup. Hakikat manusia sebagai produsen, dalam fase sosialisme
manusia belum cukup menyesuaikan diri sehingga menjadikan kerja sebagai hakikat dan
masih mementingkan intensif materi untuk bekerja.
6. Komunisme
Sistem produktivitas dalam masyarakat komunisme sudah sangat tinggi, sehingga
semua kebutuhan materi sudah diproduksi secara cukup. Oleh karena itu, perekonomian
dapat memenuhi kebutuhan semua anggota masyarakat secara berkelimpahan. Manusia
bekerja dengan penuh kegembiraan, suka cita, dan semua pekerjaan dilakukan secara
sukarela dengan efisien, tanpa terlalu mengharapkan intensif langsung, seperti upah.
Upah dipandang sebagai produk sampingan dari kerja. Ciri-ciri inti masyarakat
komunisme adalah penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi, penghapusan
adanya kelas-kelas sosial, penghapusan pembagian kerja. Kelas-kelas tidak dihapus
secara khusus sesudah kelas kapitalisme ditiadakan karena kapitalisme sendiri sudah
menghapus semua kelas, sehingga hanya tinggal kelas proletariat. Itulah sebabnya
revolusi sosial tidak akan menghasilkan masyarakat dengan kelas atas dan kelas bawah
lagi. Menurut Karl Marx, perubahan perkembangan masyarakat manusia dari satu fase ke
fase berikutnya yang lebih maju (seperti fase-fase di atas) terjadi karena kurang atau
Substantia tidak seimbangnya kemajuan dalam teknologi dengan kemajuan dalam
institusi. Teknologi merupakan suatu tenaga dinamis yang sangat penting dalam sejarah
umat manusia, yang secara pasti dan tidak bisa dielakkan lagi, selalu mengalami
perubahan dan perkembangan dari fase yang lebih rendah ke fase yang lebih tinggi.
Teknologi menentukan kekuatan produktif suatu kelompok masyarakat dan institusi
menentukan hubungan produksi. Dari hasil studi sejarah, Karl Marx mengamati bahwa
teknologi pada umumnya bergerak lebih cepat dari institusi. Pada tahap awal kemajuan,
teknologi yang menentukan kekuatan produksi dan bergerak selaras dengan kemajuan
institusi yang mengatur hubungan produk. Namun, kemudian teknologi bergerak lebih
cepat dan meninggalkan institusi yang bergerak lebih lambat. Kemajuan teknologi
membawa berbagai perubahan dan perkembangan dalam kehidupan manusia, dan bahkan
teknologi mampu menciptakan kelas baru dalam masyarakat. Teknologi memiliki

20
kekuatan dan kekuasaan untuk merombak institusi yang bergerak lamban tersebut.
Terciptanya kelas baru tentu sesuai dengan kemauan dan keinginan para perombaknya,
yaitu mereka yang menguasai kekuasaan. Adanya kelas baru yang tercipta, maka untuk
sementara keadaan kehidupan penguasa akan membaik, meskipun para pekerja menderita,
mau tidak mau mereka tunduk kepada penguasa demi kelangsungan hidup. Akan tetapi,
kemudian teknologi kembali bergerak lebih cepat melebihi gerak institusi yang ada.
Contoh, ketika fase feodalisme dimana awalnya para pekerja dengan mudah mendapatkan
tanah yang disewakan dari tuan tanah, namun pada akhirnya sangat sulit untuk
mendapatkan tanah dari tuan tanah, dikarenakan pada saat itu juga teknologi berkembang.
Akibat dari kecepatan teknologi bergerak, maka timbul lagi kelas masyarakat baru, yang
pada gilirannya akan melakukan perombakan terhadap institusi yang ada, sesuai yang
mereka inginkan. Proses seperti ini akan berjalan terus- menerus. Menurut Karl Marx,
gerak dari proses ini pasti, niscaya, tidak dapat ditahan, sehingga akhirnya sampai pada
tahap atau fase paling tinggi yang disebutnya komunisme penuh.

2.6 Perbedaan Sosialisme dan Komunisme menurut Marxsisme

Marx membedakan fase sosialisme dengan komunisme penuh atau lengkap.


Perbedaan diantara kedua fase tersebut dapat dilihat dari:
1. Produktivitas;

2. Hakikat manusia sebagai produsen; dan

3. Pembagian pendapatan
Dalam fase sosialisme, produktivitas masih rendah dan kebutuhan maateri belum
terpenuhi secara cukup. Sementara itu, dalam fase komunisme penuh produktivitas sudah
tinggi sehingga semua kebutuhan materi sudah diproduksi secara cukup. Dengan begitu,
perekonomian dapat memenuhi kebutuhan semua anggota masyarakat secara
berkelimpahan. Tentang hakikat manusia sebagai produsen, dalam fase sosialisme manusia
belum cukup menyesuaikan diri sehingga menjadikan kerja sebagai hakikat dan masih
mementingkan insentif materi untuk bekerja. Pada tahap komunisme penuh, kerja sudah
menjadi hakikat. Manusia bekerja dengan penuh kegembiraan, sukacita. Semua pekerjaan
dilakukan secara sukarela, dengan efisien, tanpa terlalu mengharapkan insentif langsung
seperti upah, yang merupakan produk sampingan dari kerja. Tentang pembagian atau
distribusi pendapatan, dalam fase sosialisme berlaku prinsip “from each according to his
ability, to each according to his needs”.
Kesimpulannya, masalah-masalah seperti kelangkaan (scarcity) dan insentif pribadi
dengan sendirinya akan hilang jika masyarakat sudah samapi pada tahap komunisme penuh.
Bahkan, uang tidak perlu lagi digunakan. Dalam tahap komunnisme penuh tidak ada lagi

21
soal kelangkaan, juga tidak ada lagi kelas-kelas masyarakat, pengisapan dari suatu
kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lainnya. Bahkan, Negara dengan
sendirinya juga hilang.

2.7 Pembaharuan Terhadap Marxsisme

Pembaharuan terhadap pemikiran-pemikiran Marx sudah banyak dilakukan. Tetapi pada


kesempatan ini hanya tiga diantaranya yang disoroti lebih khusus yaitu pemikiran-pemikiran
Lenin, kaum Revisionis dan Aliran Kiri Baru.

1. Leninisme

Leninisme adalah teori politik dan praktek kediktatoran proletariat. Leninisme terdiri
dari teori politik & ekonomi sosialis yang dikembangkan dari Marxisme. Pendirinya
Vladimir Ilich Lenin (1870-1924) adalah bapak revolusi Rusia. Karya tulisnya yang
cukup penting adalah The Development of Capitalism in Rusia (1956) dan Imperialism,
the Highest Stage of Capitalism (1933). Lenin berkeinginan membentuk negara komunis
pertama di Rusia melalui beberapa teori yang dikemukakannya sebagai kritikan terhadap
kapitalisme diantaranya:
a. Kapitalisme Monopoli dan Imperialisme

Lenin banyak mempelajari karya-karya Marx dan kemudian memodifikasinya


untuk membangun masyarakat sosialis di Rusia. Yang paling diminati Lenin adalah
Tahapan Kapitalisme Monopoli dan Imperialisme.
Lenin menguraikan beberapa karakteristik kapitalisme monopoli sebagai berikut:

• konsentrasi produksi ditangan industri yang semakin sedikit jumlahnya,

• merger finansial dan kapital industri, sewaktu bank-bank dan lembaga


finansial semakin menguasai kontrol atas alokasi sumber-sumber modal,
• bangkitnya ekspor kapital (dan bukannya komoditas) sebagai bentuk utama
pertukaran internasional,
• pembagian dunia dalam lingkungan ekonomi yang dipengaruhi dan dikontrol
oleh kapitalis monopoli,
• pembagian lebih lanjut (sub-divisi) dunia ke dalam lingkungan politik yang
dipengaruhi oleh pemerintahan negara-negara kapitalis mapan.
b. Teori Pembangunan yang Tak Imbang

Teori ini adalah batu loncatan analisis Lenin tentang lokus (tempat

22
kejadian) revolusi proletariat. Menurut Lenin, pertumbuhan tidak sama di tiap
negara termasuk di negara-negara kapitalis. Konflik militer dan peperangan akan
memperlemah negara-negara imperialis. Dengan melemahnya kekuatan negara-
negara imperialis maka masyarakat di negara-negara jajahan bangkit melawan
negara-negara agresor. Menurut lenin revolusi proletariar pertama kali muncul di
negara terlemah di antara negara kapitalis yaitu di Rusia. Berdasarkan argumentasi itu
Lenin kemudian melancarkan revolusi Bolshevik tahun 1917 di Rusia dan berhasil
mendirikan negara sosialis/komunis pertama di dunia. Kemudian Rusia berubah
menjadi Uni Soviet dan berhasil melakukan pembangunan melalui perencanaan
terpusat.

2. Revisionisme

Revisionisme adalah aliran yang berkembang di negara-negara Eropa yang


menganggap bahwa kejatuhan kapitalisme tidak harus melaui revolusi kekerasan seperti
yang dilakukan Marx ataupun Lenin. Gerkan revisionis sebetulnya sudah dimulai di
Jerman setelah Engels meninggal tahun 1895. Tujuan gerakan revisionis adalah untuk
merevisi pemikiran-pemikiran Marx dan Engels. Tokoh revisionis cukup banyak
diantaranya Bernstein, Tugan-Baranovsky, Kautsky dan Luxemburg. Edward Bernstein
(1850-1932) adalah seorang anggota gerakan sosial demokratik Jerman yang juga teman
dekat Engels. Menurutnya revolusi proletariat tidak diperlukan dan kemungkinan
terjadinya sangat kecil. Dengan melibatkan diri dengan serikat-serikat buruh maka
kondisi kaum buruh akan membaik. Dimana dalam jangka panjang masyarakat akan
lebih terdidik dan memilih sosialisme secara sukarela tanpa melalui jalan kekerasan.
Tokoh revisionis lainnya adalah Mikhail Tugan-Baranovsky (1865-1919). Mereka berani

mengatakan bahwa teori Marx tentang krisis dan kejatuhan kapitalisme keliru. Menurut
Tugan-Baranovsky, sekelompok masyarakat tidak akan mendapatkan sosialisme sebagai
hadiah buta dari kejatuhan elementer ekonomi begitu saja. Masyarakat tersebut harus
bekerja pelan-pelan melalui tahapan-tahapan terencana bagi pengadopsian sosialisme
tanpa melalui jalan kekerasan. Karl Kautsky (1854-1938) pada awalnya adalah penganut
Marxisme ortodoks. Pada tahun 1902 ia memformulasikan pandangannya bahwa suatu
depresi yang kronis akan mendorong kaum pekerja memilih alternatif sosialisme dan
bahwa reformasi sosial tidak akan menghentikan antagonisme kelas-kelas masyarakat.
Rosa Luxemburg (1871-1919) adalah seorang ahli teori Marxis, filsulf, ekonom dan
aktivis yahudi Polandia. Ia percaya bahwa hanya melalui revolusi sosialis di Jerman,
Austria, dan Rusia sebuah Polandia independen bisa ada. Dia menyatakan bahwa
perjuangan harus melawan kapitalisme , dan bukan hanya untuk Polandia independen.
Posisinya yang menyangkal hak nasional penentuan nasib sendiri di bawah sosialisme

23
memprovokasi ketegangan filosofis dengan Vladimir Lenin.

3. Aliran Kiri Baru

Aliran kiri baru mulai bangkit dan diterima di Amerika Serikat serta negara-negara
Eropa Barat pada pertengahan tahun 60-an. Gerakan ini dipengaruhi oleh berbagai
aliran sosialis yang sangat berbeda. Mulai dari pendiri aliran Marxisme ortodoks sampai
kaum radikal yang sering mengkritik kapitalisme bahkan penulis-penulis non-Marxis.
Secara sederhana aliran Kiri Baru dapat diartikan sebagai kombinasi dari Marxisme-
Leninisme ortodoks dengan pemikiran radikal baru. Perhatian terhadap Marxisme
muncul lagi setelah diterbitkanya buku Monopoli Capital oleh Paul Baran dan Paul
Sweezy tahun 1966.
Buku ini sangat memfokuskan perhatian pada aspek monopolistik perusahaan-
perusahaan raksasa dalam perekonomian modern. Analisis ekonomi Baran dan Sweezy
ini paralel dengan tulisan-tulisan pakar non-marxis J.K Galbraith yang sering mengecam
kebobrokan perusahaan-perusahaan kolomerat di Amerika. C. Wright Mills (1916-1962)
adalah ahli sosiologi dari Columbia University. Tahun 1956 ia menulis sebuah buku The
Power Elite yang mengungkapkan bahwa negara kapitalis Amerika Serikat semakin
dikuasai oleh kelompok elit yang terdiri atas perusahaan-perusahaan besar dan pemilik
modal yang berkolaborasi dengan pemerintah dan pimpinan-pimpinan serikat buruh.
Negara Amerika semakin dikuasai oleh oligarki dari pada demokrasi seperti yang
diagungkannya selama ini. Ernest Mandel tahun 1968 menulis sebuah buku berjudul
Marxist Economic Theory. Buku ini mereview dan membuat penjelasan-penjelasan yang
lebih sederhana sehingga teori-teori Marxis mudah dibaca maysrakat awam. Mandel juga
membuat analisis bagaimana perekonomian negara-negara barat bisa dialihkan dari
kapitalisme ke sosialisme.
Jika diperhatikan, terdapat persamaan dan perbedaan antara kubu Kiri Baru dengan
kubu Marxis ortodoks. Kesamaannya adalah kedua kubu setuju bahwa sistem kapitalis
tidak harmonis dan karenanya ditransformasikan menjadi suatu masyarakat sosialis
baru. Kedua kubu tidak tertarik dengan revolusi sosial dan berbeda pendapat dengan
kaum revisionis yang merasa reformasi sosial akan menyingkirkan keingina untuk
revolusi. Sedangkan perbedaan yang paling mencolok antara kedua kubu adalah
tentang tidak terelaknya sosialisme. Kaum Kiri Baru setuju dengan kaum revisionis
bahwa kejatuhan kapitalisme bukan tidak terelakkan. Bahkan mereka menganggap
bahwa kejatuhan tersebut tidak perlu harus terjadi. Mereka beranggapan demikian karena
kelas pekerja di negara-negara kapitalis sudah terintegrasi ke dalam masyarakat
kapitalis dan tidak bisa diharapkan untuk melaksanakan reformasi radikal.
Kaum Kiri Baru membuat kecaman yang mirip kecaman Marx terhadap
kapitalisme modern. Yang paling tidak mereka sukai terhadap kapitalisme modern
adalah ketidak seimbangan distribusi kekuatan ekonomi dan politik dalam masyarakat

24
kapitalis. Bagi kaum Kiri Baru terdapat hubungan sangat erat antara status ekonomi
dengan kekuatan politik. Selain itu aliran Kiri Baru juga percaya bahwa para buruh akan
tetap beralienasi walau kaum buruh di negara-negara kapitalis maju lebih makmur. Hal ini
dikarenakan para buruh dipisahkan dari kontrol atas pekerjaan mereka, dan kontrol tersebut
dipegang oleh mereka yang menguasai kapital dan teknologi. Mereka diisolasi dari
pengambilan keputusan sehingga kebebasan memilih di pasar tenaga kerja di batasi oleh
statifikasi sosial.

Runtuhnya Marxisme

Secara teoritis pemikiran-pemikiran Marx menarik tapi dalam pelaksanaannya


banyak mengalami perubahan/modifikasi. Ramalannya banyak yang keliru terutama
masalah keruntuhan kapitalisme. Keruntuhan negara-negara kapitalisme tidak pernah jadi
kenyataan.Dari berbagai aliran sosialisme, hanya pemikiran-pemikiran kaum reformis
yang mendekati “trak yang benar”. Sedangkan ramalan aliran-aliran lainnya banyak
yang tidak terbukti. Kurangnya bukti tentang teori-teori mereka dengan sendirinya
menghendaki dilakukannya revisi yang cukup substansial terhadap teori-teori
mereka.
Selain itu juga Marxisme ditinjau ulang oleh beberapa pakar yang menyebut
dirinya berhaluan Neo-Klasik. Para pakar tersebut berkesimpulan bahwa teori Marx
tentang teori nilai lebih tidak memberikan sumbangan apapun dalam perkembangan
teori ekonomi. Kesimpulan dari pakar tersebut telah meruntuhkan seluruh bangunan
teori sosialis yang di kembangkan Marx dan Engels, sekaligus telah menyelamatkan
sistem liberal/kapitalis dari krisis sebagaimana yang diramalkan Marx.

25
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Marxisme bercita – cita keadilan. Membebaskan umat manusia dari sistim penindasan.
Membangun sistim sosial yang baru di dunia. Sistem baru yang mau dibangun adalah sosialisme
dan komunisme. Menghapuskan sistem penindasan, berarti melenyapkan sang penindas. Hal ini
berhadapan dengan musuh raksasa, yaitu kaum yang tak rela dilenyapkan. Maka semenjak
lahirnya, musuh – musuh Marxisme sudah berbuat segala cara untuk menyelamatkan diri. Mati
matian berjuang melenyapkan Marxisme. Namun, pada dasarnya sangat mustahil untuk dapat
menghilangkan kelas – kelas sosial hanya bisa dihilngkan adalah kebiasaan menindas dan
memanusiakan manusia sebagaimana mestinya. Anggapan bahwa terjadi polarisasi dan
penyengsaraan sampai timbulnya protariat. Ini tidak terjadi secara dialektika. Kita harus mengerti
bahwa berapa lemahnya kaum buruh. Jika, dikaji akan mengadakan reaksi. Reaksi ini adalah inti
dari reaksi dialektika. Sehingga, hasilnya buruh melawan seluruk masyarakat juga melawan.
Bukan proletariat yang terjadi justru kebalikannya.

3.2 Saran

Jika terdapat saran maupun kritik yang bersifat membangun dari pembaca dalam rangka
menjuadikan makalah ini menjadi lebih baik.

26
DAFTAR PUSTAKA

Fuadi. (2015). METODE HISTORIS: SUATU KAJIAN FILSAFAT MATERIALISME


KARL MARX
http://ariantiyoulie.blogspot.com/2015/09/perbedaan-sosialisme-dan- komunisme.html

DUNIA BIRU LAUT: PEMBAHARUAN TERHADAP MARXISME


Diakses dari https://wartabulukumba.pikiran-rakyat.com/dunia/pr-871648908/memahami-
karl-marx-antara-teori-pertentangan-kelas-dan-pertentangan-teori-di-kepalanya-
sendiri?page=2

Farihah, Irzum. (2015). FILSAFAT MATERIALISME KARL MARX


Franz Magnis Suseno Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan
Revisionisme. Jakarta . PT. Gramedia Pustaka Utama, khususnya hal. 13-44
MARTIN SURYAJAYA. (2021). BERPIKIR DENGAN PENDEKATAN
MATERIALISME DIALEKTIS DAN HISTORIS

27

Anda mungkin juga menyukai