DOSEN PENGAMPU
I Wayan Sukadana,S.E.,M.S.E.
Mata Kuliah:
EKI212 - Sejarah Pemikiran Ekonomi
Oleh:
KELOMPOK 5
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya kepada penulis. Sehingga dapat menyelesaikan makalah yang bertujuan untuk memenuhi
salah satu tugas kelompok mata kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi mengenai “Sosialisme
Marx (Marxisme)”.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menambah ilmu pengetahuan.
Kritik dan saran sangat kami harapkan kepada pembaca dalam pengembangan makalah
kedepannya.
Penulis
3
ABSTRAK
Perkembangan faham mengenai kehidupan manusia menurut teori sejarah dimulai pada
zaman yunani kuno, dan mengalami perkembangan yang pesat sekitar abad XV sampai abad XIX.
Pada masa itu muncul beberapa tokoh fulsuf yang terkemuka sebagai pengembang filsuf-filsuf
kuno, tokoh-tokoh tersebut antara lain Karl Max, Hegel, Montesque, dll. Tokoh-tokoh ini masing-
masing membawa sebuah pemikiran yang besar sehingga menjadi sebuah faham atau aliran, salah
satunya adalah faham Marxisme faham ini sangat erat kaitannya dengan faham-faham lainnya
dikarenakan tiap-tiap filsuf yang mendukung sebuah teori maka cenderung ingin
mengembangkannya menjadi faham dengan aliran yang baru. Aliran faham marxsisme sangat
menarik untuk dibahas karena pandangan dari masyarakat umum yang berpendapat bahwa
Sosialisme, Marxsisme, dan Komunisme merupakan satu kesatuan yang tak dapat terpisahkan.
Banyak yang beranggapan bahwa kajian budaya merupakan bagian dari Marxisme namun
sebenarnya dasar-dasar kajian budaya lah yang bersumber dari faham Marxisme. Studi budaya
pasca Marxis diinformasikan bahwa orang membuat budaya popular dari daftar komoditas yang
disediakan oleh industry budaya. Kajian budaya tidak bisa direduksi menjadi kajian budaya
popular.Ideologi Marxisme tidak bisa dilepaskan dari tokoh utamanya yakni Karl Marx. Berawal
dari abad ke-19 dimana keadaan buruh di Eropa Barat yang menyedihkan dimana pada saat itu
kemajuan industri berkembang dengan pesat menimbulkan keadaan sosial yang sangat merugikan
bagi kaum buruh. Pemikiran ini bukan saja menjadi inspirasi dasar “Marxisme” sebagai ideologi
perjuangan kaum buruh, bukan saja menjadi komponen inti dalam ideologi komunisme (Magnis
dan Suseno, 2003: 3). Berlandaskan masalah tersebut Karl Marx menyusun suatu teori sosial yang
menurutnya didasari hukum-hukum ilmiah karena itu pasti terlaksana.
4
BAB I
PENDAHULUAN
Ibunya, Heinrietta Marx ikut dibaptis setelah sang ayah wafat. Sang ayah, Heinrich
merupakan seorang pengacara yang cukup sukses di Prusia. Ia pun merupakan seorang aktivis
reformasi pada masanya. Keputusan Heinrich untuk memeluk agama Kristen ini pun tak lepas
dari peraturan pada tahun 1815 yang melarang orang Yahudi menduduki posisi krusial di
masyarakat. Karl Marx sendiri baru dibaptis pada usia enam tahun, beserta saudara-saudaranya.
Meskipun Trier merupakan kota Katolik, tetapi pengaruh gagasan liberal lebih mudah masuk
karena letaknya yang berbatasan dengan Prancis. Sampai usia 12 tahun, Marx belajar di rumah
alias home school. Kemudian melanjutkan lagi selama 5 tahun di sekolah Jesuit, Firdrich-
Wilhelm Gymnasuium, Trier. Kepala sekolahnya merupakan teman sang ayah yang juga
berpandangan liberal.
Sejak masuk kampus-lah, Marx mulai menonjolkan sikap rebel-nya. Oktober 1835, Marx
memulai sekolahnya di Universitas Bonn, Jerman. Ia termasuk aktif dalam kehidupan akademis
di kampusnya dan dikenal juga sebagai pemberontak. Selama dua semester di Bonn, Marx
menghabiskan hari-harinya untuk membuat onar, mabuk-mabukan, hingga berkelahi. Pada
akhirnya, sang ayah memaksa Marx untuk mendaftar di sekolah lain yang lebih serius, yakni
Universitas Berlin jurusan ilmu filsafat dan hukum.
Di sinilah Marx dikenalkan dengan ilmu filsafat dari GWF Hegel, seorang guru besar di
Berlin. Meski awalnya tak begitu terpikat dengan teori Hegel, Marx banyak terlibat dengan
kelompok pemuda Hegelian yang adalah kumpulan mahasiswa radikal. Mereka biasanya
5
mengkritik kemapanan politik dan agama kala itu. Pada tahun 1836, Marx makin menekuni ilmu
politik. Ia bahkan bertunangan diam-diam dengan Jenny von Westphalen, seorang putri keluarga
kelas atas di Trier. Karena sikapnya yang makin radikal, sang ayah pun jadi khawatir. Heinrich
bahkan menyurati anaknya bahkan meminta Marx menghentikan pernikahannya dengan Jenny.
Namun pada tahun 1843, Marx pun jadi menikahi Jenny. Mereka mempunyai enam orang
anak, tetapi karena kemiskinan yang amat parah, hanya tiga anak yang bergender perempuan yang
bertahan sampai dewasa. Anak-anaknya pun saat dewasa terlibat aktif dalam kegiatan politik.
Wafatnnya Karl Marx Pada sebagian besar hidupnya, tak banyak orang yang tahu bahwa
sesungguhnya Marx punya banyak masalah kesehatan. Masalah itu berkaitan dengan jantung,
rematik, sakit kepala, sakit gigi, bahkan insomnia. Marx pun meninggal di London pada 14 Maret
1883 karena penyakit radang selaput dada. Ia dimakamkan di London dan hanya ditandai batu
sederhana. Kemudian pada tahun 1954, Partai Komunis Inggris mendirikan monumen besar yang
dihiasi patung Marx.
Ideologi Marxisme tidak bisa dilepaskan dari tokoh utamanya yakni Karl Marx. Berawal dari
abad ke-19 dimana keadaan buruh di Eropa Barat yang menyedihkan dimana pada saat itu
kemajuan industri berkembang dengan pesat menimbulkan keadaan sosial yang sangat merugikan
bagi kaum buruh. Pemikiran ini bukan saja menjadi inspirasi dasar “Marxisme” sebagai ideologi
perjuangan kaum buruh, bukan saja menjadi komponen inti dalam ideologi komunisme (Magnis
dan Suseno, 2003: 3). Berlandaskan masalah tersebut Karl Marx menyusun suatu teori sosial yang
menurutnya didasari hukum-hukum ilmiah karena itu pasti terlaksana.
Berbicara tentang sosialisme tidak bisa kita lepaskan fase peradaban masyarakat di Eropa,
karena embrio sosialisme merupakan hasil dari pergolakan masyarakat di Eropa secara umum dan
khususnya di negara-negara yang mengalami fase transisi dari masyarakat feodalisme menuju
kapitalisme. Sebut saja Prancis dan Inggris, dua negara ini merupakan contoh dari beberapa
negara di Eropa yang mengalami fase transisi dari masyarakat feodalisme ke kapitalisme. Jauh
sebelum revolusi Amerika 1776, revolusi Prancis tahun 1789 dan revolusi di Rusia tahun 1917,
di Inggris sudah terjadi pergolakan antara raja dengan rakyat yang menghasilkan piagam Magna
Charta tahun 1215.
Kisaran abad 16 kembali terjadi perang saudara di Inggris yang membawa pada kekalahan
6
kerajaan dan berakhir pada pemenggalan raja Charles I. Revolusi Inggris merupakan sebuah
penanda akan adanya kebangkrutan awal feodalisme di Eropa yang kemudian berlanjut pada
revolusi Prancis 1789 dan revolusi serentak di negeri-negeri Eropa pada tahun 1848 dimana
perkembangan masyarakat ke arah yang lebih maju ini tidak dapat dicapai dengan struktur
masyarakat lama. Revolusi Inggris, revolusi Prancis, revolusi Amerika, dan revolusi Rusia
merupakan kristalisasi dari sebuah ideologi politik yang berkembang sampai hari ini. Sosialisme
secara etimologi atau asal usul kata berasal dari bahasa latin “socius” yang artinya teman. Tetapi
secara terminologi sosialisme tidak secara sederhana diartikan sebuah pertemanan atau
persahabatan dua orang atau lebih, melainkan sebuah gerakan ekonomi politik dimana
kepemilikan atas alat-alat produksi dikontrol oleh negara.Sosialisme menjadi sebuah gerakan
kelas buruh sudah ada sebelum Marx dan Engels, hanya saja sosialisme pada era sebelum Marx
belum mampu merangkum kontradiksi pokok dalam masyarakat kapitalis dan masih bersifat
utopis. Ini yang kemudian menjadi sasaran kritik Marx yang kemudian ditulisnya dalam bentuk
sebelas tesis Feuerbach “semua filsuf hanya mendefinisikan tentang bagaimana dunia, tetapi
yang terpenting adalah mengubahnya”. Marx menyatakan bahwa sosialime-nya berbeda dengan
sosialisme sebelumnya, perbedaan ini tidak hanya pada nama dan terminologinya saja, bahkan
sampai pada tahapan praktek. Sosialisme Marx ialah “sosialisme ilmiah”. Corak ilmiahnya dapat
dilihat dalam rumusan bahwa sosialisme akan menggantikan kapitalisme adalah hasil
perkembangan masyarakat dalam sejarah dengan mengacu pada pengaruh dialektik.3 Paling
tidak perbedaan ini dapat disimpulkan pada beberapa aspek khusus, antara lain: Marx
memandang bahwa kelas-kelas dalam masyarakat lahir karena konsentrasi alat produksi pada
segelintir orang atau oligarkhi kapital, terkonsentrasinya alat-alat produksi ini menghasilkan
kontradiksi antara kelas pemilik (borjuis) dan kelas terhisap (proletar). Kontradiksi dalam
masyarakat ini memiliki pola hubungan yang eksploitatif-antagonistik, penyelesaian
hubungan eksploitatif ini hanya mampu dijalankan dengan revolusi kekerasan. Pandangan
revolusioner sosialisme ilmiah berbanding terbalik dengan pandangan kaum “sosialisme
utopis” yang lebih menekankan perubahan secara evolusioner dan lebih memilih menyesuaikan
kondisi perbaikan-perbaikan kelas buruh.
Untuk memahami sosialisme ilmiah Marx dan selanjutnya Lenin, maka kita perlu menelaah
kembali teori-teori Marx tentang materialisme dialektik dan materialisme historis. Filsafat
Materialisme Dialektik dan Materialisme Historis berakar pada dua tokoh terkemuka saat itu,
yaitu George Wilhem Frederick Hegel dan Ludwig Andreas Feuerbach. Unsur dialektika berakar
pada filsafat Hegel, sedangkan unsur Materialisme-nya berakar pada filsafat Feuerbach yang
kemudian menjadi satu kesatuan dengan bentuk yang baru sebagai landasan filsafat Marx.
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan beberapa masalah seperti berikut :
7
2. Apa itu teori pertentangan kelas?
8.
1.3 Tujuan
8
BAB II
PEMBAHASAN
9
uang menjadi komoditas dan berubah lagi menjadi uang, di kenal dengan pola M – C – M.3
Nilai lebih yang diambil oleh kaum kapitalis dari kaum buruh pada dasarnya adalah sebuah
tindakan pencurian terhadap hak-hak kaum buruh yang di sebut Karl Marx sebagai tindakan
eksploitasi. Modal atau kapital dapat diibaratkan seperti uang yang dipergunakan untuk
memperoleh lebih banyak uang (Kambali, 2020). Modal adalah uang yang tidak digunakan untuk
membeli barang- barang kebutuhan ataupun barang-barang yang diinginkan individu. Modal
adalah uang yang ditanam supaya tumbuh dan menghasilkan lebih banyak uang (hendrawan,
2014).
Pandangan sistem ekonomi kapitalis mengatakan bahwa menyamakan antara kebutuhan dan
keinginan adalah hal yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan fakta (Sholahuddin, 2007). Karya-
karya awal Marx berbicara mengenai hubungan antara kerja dan hakikat manusia. Marx meyakini
bahwa sistem produksi kapitalis membuat kerja manusia menjadi tidak sesuai dengan hakikat
kemanusiaannya. Ketidak sesuaian antara hakikat kemanusiaan dan kerja tersbut disebut alienasi
(Hendrawan, 2014). Dalam hal ini, manusia yang terlibat dalam proses produksi adalah
sebagaimana struktur pengorganisasian sosial produksi yang terdiri atas kaum pemilik modal dan
kaum pekerja. Hubungan-hubungan produksi selalu mengambil bentuk hubungan hak milik dalam
masyarakat dan hubungan sosial sesuai apa yang telah diatur masyarakat tentang kondisi dan
kekuatan produksi serta menyalurkan hasil produksi kepada anggota masyarakat.
10
perubahan sosial. Kelas buruh cenderung progresif dan revolusioner, sementara kelas pemilik
modal cenderung bersikap mempertahankan status quo menentang segala bentuk perubahan dalam
struktur kekuasaan. (3) setiap kemajuan dalam masyarakat hanya akan dapat dicapai melalui
gerakan revolusioner. Semua itu pemikiran Karl Marx bermuara pada tujuan akhir yang dicita-
citakannya, yakni “masayarakat tanpa kelas”.
Menurut Marx, setiap masyarakat ditandai standar oleh infrastruktur dan superstruktur.
Infrastruktur dalam masyarakat berwujud struktur ekonomi. Superstruktur meliputi ideology,
hukum, pemerintahan, keluarga, agama, budaya dan juga standar moralitasnya. Menurutnya,
bahwa hubungan antara infrastruktur ekonomi dan superstruktur budaya dan struktur sosial yang
dibangun atas dasar itu merupakan akibat langsung yang wajar dari kedudukan meterialisme
historis. Adaptasi manusia terhadap lingkungan materiilnya selalu melalui hubungan-hubungan
ekonomi tertentu, dan hubungan ini sangatlah dekat, sehingga semua hubungan-hubungan sosial
lainnya juga dibentuk oleh hubungan ekonomi.
Struktur ekonomi merupakan landasan tempat membangun semua basis kekuatan lainnya,
dengan demikian perubahan cara produksi menyebabkan perubahan dalam semua hubungan sosial
manusia. Proses produksi yang dilakukan manusia dalam perkembangan masyarakat industri
melibatkan dua kelas yang saling bertentangan, yaitu kelas borjuis dan kelas proletar. Marx
membahas secara detail berkaitan dengan teori kelas dalam buku yang ditulisnya bersama
Friedrich Engels yang berjudul The Communist Manifesto. Dua kelas ini memiliki posisi yang
sangat berbeda. Kelas borjuis di sini dikenal sebagai kelas pemilik modal (wong sugih), sedangkan
kelas proletar merupakan kelas pekerja (buruh/wong cilik) yang mempunyai ketergantungan sangat
tinggi terhadap kelas borjuis. Dalam praktiknya kedua kelas tersebut sering terjadi pertentangan,
karena kelas borjuis sering melakukan penindasan pada tenaga maupun pikiran dari kelas proletar.
Kelas borjuis dianggap menikmati kenikmatan bahwa sejarah masyarakat manusia merupakan
sejarah perjuangan kelas. Menurut Marx, perkembangan pembagian kerja dalam kapitalisme
menumbuhkan dua kelas yang berbeda: yaitu, kelas yang mengusai alat produksi yang dikenal
dengan kelas borjuis dan kelas yang tidak memiliki alat produksi yaitu proletar. Sedangkan dalam
kapitalis ada tiga kelas, yaitu, pertama, kaum buruh yaitu mereka yang hidup dari upah. Kedua,
kaum pemilik modal (hidup dari laba), dan ketiga, tuan tanah (yang hidup dari rente tanah). atas
penderitaan kelas proletar, sehingga kelas proletar berada dalam posisi yang tidak menguntungkan
serta mengalami kondisi hidup dalam kemiskinan serta keterasingan (alienasi) yang semakin
meningkat. Menurut Marx, bahwa kelas-kelas akan timbul apabila hubungan-hubungan produksi
melibatkan suatu pembagian tenaga kerja yang beraneka ragam, yang memungkinkan terjadinya
penumpukan suplus produksi.
Marx dalam bukunya “The German Ideology” yang ditulisnya bersama Engels, menjelaskan
beberapa tahap perubahan-perubahan utama pada kondisi material dan cara-cara produksi di
satu pihak dan hubungan-hubungan sosial serta norma-norma pemilikan di lain pihak. Dari sinilah
11
muncul pandangan, bahwa semua sejarah adalah sejarah perjuangan kelas. Bagi marx muda,
perjuangan kelas adalah porosnya, sedangkan bagi Marx akhir, adalah struktur kelas, kerja, dan
modal yang menjadi kategori- kategori formalnya. Di sini Marx mengembangkan model dua kelas
yang menjadi konsep sentral dalam kapital. Sejarah tidak hanya sekedar kelas-kelas yang berjuang,
namun sejarah modern adalah peperangan besar antara dua kelas fundamental: borjuis dan proletar.
Marx berpandangan, bahwa suatu saat kaum proletar akan menyadari akan kepentingan bersama
mereka, sehingga akan membangun kekuatan untuk memberontak pada kelas borjuis.
Dari situasi konflik antar kelas, maka sistem kapitalis tidak hanya menciptakan penghalang
antara buruh dengan pekerjaannya serta dari lingkungan sosial sekitarnya. Selain itu, kapitalisme
juga telah memisahkan individu dari dirinya sendiri. Para buruh kehilangan kebebasan individual
karena telah dirampas oleh sistem yang telah melingkupinya. Mereka tidak memiliki waktu,
tenaga, serta keinginan sendiri karena dipenjara oleh sistem yang diterimanya sebagai sebuah
kenyataan. Padahal menurut Marx sistem kapitalisme dapat dicegah. Dengan demikian akan terjadi
konflik antar kelas tersebut, demi mempertahankan kelas masing-masing, dan menurut Marx, pada
saat inilah kelas borjuis akan dikalahkan dan hancur. Setelah itu, menurut Marx kelas proletar akan
mendirikan suatu masyarakat tanpa kelas, di mana kerja dan upahnya akan dibagi secara adil dan
saat itu juga tidak ada orang yang dieksploitasi dan tidak adanya penderitaan dalam kemiskinan.
Meskipun ramalan Marx tidak pernah terwujud, namun pandangan Marx berkaitan dengan
stratifikasi sosial tetap berpengaruh bagi pemikiran sejumlah ilmuan. Pemikiran Marx berpengaruh
besar terhadap perubahan sosial besar yang melanda Eropa barat sebagai dampak perkembangan
pembagian kerja, khususnya yang berkaitan dengan kapitalisme.
12
mendapatkan surplus value dengan cara meningkatkan beban kerja. Peningkatan beban kerja ini
bisa berupa pekerjaan yang bertambah atau pekerjaan yang berat berbanding terbalik dengan
jumlah upah yang dibayarkan agar mendapatkan keuntungan, hal ini dilakukan agar modal bisa
teralihkah untuk hasil produksi.
13
seorang buruh pabrik. Semuanya adalah efek dari konfigurasi aktivitas manusia yang tertentu.
Sikap kritis yang menolak untuk memandang realitas secara natural dan mengakui adanya
intervensi subyektif yang justru mengkonstitusi kenyataan sehari-hari inilah yang disebut Njoto
sebagai konsepsi materialis.
Dialektika
Kita juga tahu bukan Marx yang pertama kali berbicara mengenai dialektika. Sejak Platon,
pemikiran filosofis senantiasa dicirikan dengan sifat dialektis. Sokrates, junjungan Platon, sendiri
berfilsafat dengan dialektika, dengan dialog (ingat: asal kata Yunani dari dialektika adalah
dialegesthai yang artinya “dialog”). Namun dari Hegel lah Marx menimba pelajaran mengenai
dialektika. Pengandaian dasar dialektika Hegel adalah relasionalisme internal, yakni pengertian
bahwa keseluruhan kenyataan, dipahami sebagai manifestasi-diri Roh, senantiasi terhubung satu
sama lain dalam jejalin yang tak putus. Secara logis, term A hanya bisa dimengerti sejauh ada juga
term non-A yang darinya A ditentukan sifatnya. Secara ontologis, Ada dapat dimengerti sejauh ia
koeksis dengan Ketiadaan: Ketiadaan internal dalam definisi Ada dan Ada internal dalam definisi
Ketiadaan. Relasionalisme internal segala hal-ikhwal inilah yang memungkinkan terwujudnya
determinasi resiprokal antar elemen dari realitas. Dengan berlandaskan pengertian Spinoza bahwa
“omnis determinatio est negatio” (semua determinasi adalah negasi), bagi Hegel, relasi determinasi
resiprokal ini adalah pula relasi negasi resiprokal: afirmasi (A), negasi (non-A) dan afirmasi pada
tataran yang lebih tinggi atau “negasi atas negasi” (non-non-A yang mencakup intisari A dan non-
A). Inilah yang biasanya kita kenal sebagai dialektika antara tesis-antitesis- sintesis. Dialektika
inilah yang dimengerti Hegel sebagai dinamika internal dari realitas dan pikiran.
Lantas bagaimana posisi Marx pada fase penggarapan Kapital terhadap dialektika Hegel itu?
Pertanyaan ini sulit dijawab. Marx sendiri hanya mengomentari hal ini secara eksplisit satu
kali, yakni dalam Kata Pengantar untuk Edisi Kedua dari Das Kapital jilid satu. Konteksnya adalah
tuduhan yang dilayangkan peresensi Jerman dan Russia atas buku Kapital. Dalam resensinya
mereka menyebut bahwa traktat tersebut dipenuhi oleh “sofisme Hegelian”. Terhadap tuduhan ini,
Marx menjawab:
Metode dialektis saya, pada fondasinya, tidak hanya berbeda dari kaum Hegelian melainkan
tepatnya beroposisi dengannya. Bagi Hegel, proses pemikiran, yang ia transformasikan menjadi
subyek independen di bawah nama ‘Idea’, merupakan pencipta dunia riil, dan dunia riil hanyalah
penampakan eksternal dari idea. Dengan saya, kebalikannya menjadi benar: yang-ideal tidak lain
dari dunia material yang direfleksikan dalam pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam
bentuk pemikiran.
Dari pernyataan ini, seolah Marx sepenuhnya memisahkan pengertian dialektikanya dari
pengertian Hegel atasnya. Namun ini tidak sejelas yang kita kira. Dalam paragraf selanjutnya,
Marx mendeklarasikan bahwa—berhadapan dengan fakta bahwa banyak intelektual Jerman pada
14
masanya yang memperlakukan Hegel ibarat Moses Mendelssohn memperlakukan Spinoza sebagai
“anjing mati”—ia sendiri merupakan murid dari “pemikir besar itu”. Namun deklarasi kesetiaan ini
kembali dilanjutkan dengan distansiasi kritis. Mistifikasi yang diderita dialektika di tangan Hegel
tidak membatalkan Hegel sebagai yang pertama yang mempresentasikan bentuk gerakan umumnya
dalam cara yang komprehensif dan sadar. Dengannya dialektika berjalan pada kepalanya. Ia mesti
dibalik, untuk menyingkapkan inti rasional dalam cangkang mistis.
Dalam bentuk mistisnya, dialektika digemari di Jerman sebab ia seolah mentransfigurasi dan
mengagung-agungkan apa yang eksis. Dalam bentuknya yang rasional, ia merupakan skandal dan
ancaman bagi borjuasi dan para jurubicaranya sebab ia mengikutsertakan dalam pemahaman
positifnya tentang apa yang eksis sebuah pengakuan secara bersamaan akan negasinya, akan
kehancurannya yang tak terelakkan, sebab ia memandang segala bentuk perkembangan historis
sebagai apa yang ada dalam kondisi cair, dalam gerakan, dan karenanya memandang aspek
kesementaraannya pula, dan sebab ia tak membiarkan dirinya dikesankan oleh apapun, [sehingga]
pada esensinya bersifat kritis dan revolusioner.
Dalam pernyataan tersebut dikatakan bahwa dialektika Marx adalah saripati rasional dari
cangkang mistis dialektika Hegel. Bagaimana deskripsi metaforis ini diterangkan? Dari pernyataan
itu pula dijelaskan bahwa ia menolak dialektika Hegel sejauh itu dipahami sebagai glorifikasi atas
apa yang eksis, alias suatu justifikasi atas status quo. Dengan demikian, selama dialektika Hegel
masih dipahami dalam pengertian bahwa segala yang riil (situasi penghisapan, sistem yang
merepresentasi rakyat dalam parlemen borjuis) niscaya rasional dan dengannya menjadi sah untuk
eksis dan terus eksis, maka dialektika Marx bukanlah dialektika Hegel. Namun, dari penjelasan
Marx ini saja, tidak ada pengertian yang lengkap tentang relasi dialektika Marx dan Hegel. Para
komentator Marx sendiri tak pernah memberikan jawaban yang seragam atas problem ini.
Komentator seperti Magnis-Suseno, mengikuti tafsiran Jean-Yves Calvez SJ., cenderung
menekankan kontinyuitas pemikiran Marx. Implikasinya, tak ada distingsi yang ketat atau patahan
dalam pemikiran Marx “muda” yang masih Hegelian dan Marx pada fase lanjut (termasuk fase
penggarapan Kapital). Sebaliknya, komentator seperti Louis Althusser justru menekankan adanya
patahan (coupure) radikal yang mengantarai pemikiran Marx muda yang masih Hegelian dan
pemikiran Marx lanjut yang samasekali non-Hegelian.
Oleh karena kerumitan ini, maka dalam kurikulum ini kita tidak akan memastikan makna yang
tepat dari relasi Marx-Hegel. Biarlah problematika ini kita kupas bersama lewat diskusi-diskusi
yang intens. Di sini cukup dimengerti bahwa Marx berhutang budi pada pemikiran Hegel tentang
dialektika sebab dengannya realitas dapat dilihat sebagai sesuatu yang senantiasa berubah, cair dan
bergerak terus menerus. Realitas, dengan demikian, adalah efek dari aktivitas subyektif yang, pada
gilirannya, mendeterminasi aktivitas subyektif itu sendiri. Gerak determinasi resiprokal atau gerak
dialektis inilah yang juga ditekankan oleh Marx. Dialektika, sesuai dengan pendapat Njoto,
merupakan metode dari materialisme Marxis. Artinya, filsafat Marx yang bertumpu pada konsepsi
15
materialis—bahwa yang terselubung pada jantung realitas sesungguhnya tak lain adalah praxis
subyektif yang jadi material—hanya dapat diekspresikan oleh satu-satunya metode yang cocok
dengan karakter materialis ini, yakni metode dialektika—sebuah modus di mana bendanya itu
sendiri tidak hadir dalam stabilitas yang diam, melainkan telah selalu dalam gerak determinasi
bolak-balik yang tak berkesudahan.
2. Historisitas
Kesejarahan merupakan tema sentral dalam diskursus Marx. Kita sering mendengar tentang
ramalan Marx mengenai tatanan komunis dunia sebagai hasil evolusi dialektika sejarah. Seolah-
olah Malaikat Sejarah yang bekerja dari balik layar realitas tengah merancang suatu
Penyelenggaraan Ilahi bagi kaum proletar sedunia. Seolah-oleh sejarah akan berpuncak pada suatu
konflagrasi final antara yang-Baik dan yang-Jahat, antara proletar dan borjuasi, dan akan berakhir
dalam suatu surga dunia komunis. Pandangan inilah yang dikenal sebagai historisisme, atau
pengertian bahwa sejarah dipimpin oleh suatu teleologi internal. Ada komentator yang menyatakan
bahwa historisisme Marx ini merupakan ekses dari ketergantungannya pada filsafat Hegel.
Memang kita dapat menafsirkan filsafat sejarah Hegel sebagai konsepsi sejarah yang dipimpin oleh
suatu teleologi internal sebab sejarah, bagi Hegel, pada dasarnya merupakan evolusi-diri Roh
menuju pada kesadarannya yang paripurna. Inilah salah satu alasan mengapa Althusser bersusah
payah membersihkan pemikiran Marx lanjut dari pengaruh Hegel. Althusser adalah alah seorang
dari komentator kontemporer yang menekankan segi anti-historisis dari pemikiran Marx. Baginya
tafsiran historisis atas Marx merupakan pembacaan yang bersifat voluntaristik, yakni pemahaman
humanis tentang proletar sebagai “misionaris esensi manusia” (missionary of the human essence).
Padahal, bagi Althusser, jika kita baca sungguh-sungguh Kapital dan bahkan karya-karya awal
Marx, kita akan mengerti bahwa historisisme adalah problem yang asing terhadap filsafat Marxl.
Memang benar bahwa konsepsi materialis Marx yang bersifat subyektif, atau menekankan
pada
praxis, dapat mengarah pada pengertian bahwa sejarah pun merupakan hasil bentukan manusia
dan, oleh karenanya, Marx terjatuh dalam historisisme. Apalagi skema Marx yang terkenal tentang
infrastruktur (Unterbau) dan suprastruktur (Überbau) dapat menjurus pada historisisme: karena
infrastruktur ekonomis mendeterminasi suprastruktur ideologis, maka perkembangan realitas
ekonomi lah yang menentukan pembebasan politik dari kelas proletar yang terhisap. Pada
akhirnya, tafsiran semacam ini akan berujung pada suatu iman pada “keniscayaan historis” bahwa
kapitalisme akan tumbang dengan sendirinya karena kontradiksi internalnya seperti dianalisis
Marx dan kelas proletar akan menjadi satu-satunya kelas sosial dunia. Namun pembacaan seperti
ini abai terhadap relasi determinasi resiprokal yang menstruktur relasi antara subyek dan sejarah
dunia yang melingkupinya. Pembacaan historisis itu berpegang pada sebaris frase kunci yang tidak
berasal dari Marx melainkan dari Engels, yakni “determinasi pada pokok terakhir”. Artinya,
determinasi pada pokok terakhir ada pada infrastruktur ekonomi. Terhadap tafsiran historisis ini,
16
Althusser juga mengajukan sanggahan. Ini dilancarkannya melalui elaborasi konsep
overdeterminasi (surdétermination), yakni relasi determinasi resiprokal di mana pokok yang
mendeterminasi ikut terdeterminasi oleh apa yang ia determinasikan sendiri. Relasi
overdeterminasi inilah yang bagi Althusser dimengerti Marx dalam konteks relasi antara
infrastruktur dan suprastruktur. Itulah sebabnya Althusser dapat menulis: “Dari momen pertama
hingga terakhir, jam sepi ‘pokok terakhir’ tak pernah datang [the lonely hour of the ‘last instance’
never comes].” Dengan demikian, tak ada historisisme yang esensial dalam pemikiran Marx .
Setelah kita mencapai pengertian tentang materialisme, dialektika dan historisitas dalam
pemikiran Marx, kini kita dapat beranjak menuju pemahaman akan materialisme dialektis dan
historis—atau apa yang kerap disebut sebagai MDH. Kita akan mulai dengan uraian tentang asal-
usul term. Tentang materialisme dialektis, term ini sendiri tidak ada dalam corpus Marx-Engels:
Marx hanya bicara tentang “metode dialektis” sementara Engels tentang “dialektika materialis”.
Ekspresi “materialisme dialektis” pertama kali dipakai oleh Joseph Dietzgen di tahun 1887, salah
seorang kawan koresponden Marx. Lenin lah yang mempergunakan term ini secara sistematis—
sesuatu yang, dalam Materialism and Empirio-Criticism (1908), ia elaborasi dari karya-karya
Engels. Sesudah Lenin, wacana Marxisme Soviet terbagi oleh dua orientasi pemikiran: “dialektis”
(Deborin) dan “mekanis” (Bukharin). Untuk mengatasi perdebatan yang tak kunjung selesai di
antara kedua kubu ini, Sekretaris Jendral Partai Stalin mengeluarkan dekrit di tahun 1931 yang
memutuskan bahwa materialisme dialektis adalah sama dengan Marxisme-Leninisme. Lantas,
pada tahun 1938, Stalin menjalankan kodifikasi atas ajaran tersebut secara lebih lanjut di dalam
pamfletnya, Dialectical and Historical Materialism. Kodifikasi Stalin inilah yang dikenal sebagai
sistem diamat (singkatan dari dialectical materialism) dan diterapkan di sebagian besar negara
Komunis. Koreksi penting atas kodifikasi Stalin ini datang dari Mao Tse-Tung. Dalam esainya
dari tahun 1937, On Contradiction, Mao menolak ide Stalin tentang “hukum-hukum dialektika”
dan justru memberikan penekanan pada kompleksitas kontradiksi. Kontradiksi, dalam pandangan
Mao, tidak tunggal melainkan memiliki struktur ganda: di satu sisi terdapat kontradiksi pokok,
yakni kontradiksi yang tak dapat diperdamaikan (misalnya, kontradiksi antara borjuis dengan
proletar), dan di sisi lain terdapat kontradiksi tidak pokok yang dapat diselesaikan dengan
negosiasi (misalnya, kontradiksi antara buruh dan petani). Dari penafsiran Mao atas kontradiksi
inilah nantinya Althusser mengelaborasi konsep overdeterminasi yang tadi telah kita bahas secara
singkat sebagai kritik atas pembacaan historisis tentang Marx.
Apapun penafsiran para komentator tentang materialisme dialektis dan historis, ada satu
yang tetap, yakni bahwa semuanya mengakui bahwa materialisme dialektis dan materialisme
historis merupakan ajaran yang internal dalam pemikiran Marx sendiri walaupun Marx tak
pernah menggunakan term-term tersebut secara sistematis. Oleh karena pembahasan mengenai
17
materialisme dialektis dan historis ini mengandaikan rekonstruksi atas keseluruhan teks Marx,
maka kami di sini hanya akan membatasi pada pengertian tentang kedua term tersebut berangkat
dari klarifikasi yang telah kita lakukan atas term materialisme, dialektika dan historisitas.
Materialisme dialektis merupakan cara berpikir Marx tentang realitas, yakni pengertian bahwa
realitas tersusun oleh materi yang memiliki relasi langsung dengan subyektivitas dan relasi ini
pun bergerak dalam untaian determinasi resiprokal. Dalam pengertian yang lebih sederhana,
realitas adalah efek dari mekanisme perjuangan kelas. Jika, mengikuti Njoto, materialisme
historis merupakan penerapan materialisme dialektis kepada kenyataan yang menyejarah, maka
materialisme historis dapat kita mengerti sebagai gugus pemahaman tentang sejarah sebagai
ikhwal yang tersusun oleh determinasi resiprokal antar subyek dan antara subyek dengan materi
obyektif. Atau dalam arti yang dipermudah, sejarah adalah efek perjuangan kelas sebuah efek
yang bergerak dalam arah ganda, kepada sejarah dan kepada kelas itu sendiri
Menurut Karl Marx, historis masyarakat manusia adalah historis berbagai macam sistem
produktif yang berbasis eksploitasi kelas. Karl Marx mengatakan kita dapat membagi historis
setiap masyarakat kedalam setiap masa, dan setiap masa itu didominasi oleh model produksi
(cara-cara memproduksi) tertentu dengan hubungan ciri khas kelas itu sendiri.
1. Komunisme Primitif (Masyarakat Persukuan)
18
bagi negara untuk mengontrol penduduk yang tinggal di bagian-bagian jajahan yang jauh,
sehingga perbudakan sebagai model produksi lambat laun menghilang karena tidak lagi
relevan.
3. Feodalisme
19
pekerja hanya diperlukan waktu 4 jam, maka semakin lama pekerja itu berkerja melebihi
waktu 4 jam tadi, maka semakin besar pulalah surplus yang diperoleh kaum kapitalisme.
Oleh karena itu, Karl Marx sangat membenci kapitalisme dan memberikan solusi untuk
menghancurkan kapitalisme dengan sosialisme dan komunisme.
5. Sosialisme
20
kekuatan dan kekuasaan untuk merombak institusi yang bergerak lamban tersebut.
Terciptanya kelas baru tentu sesuai dengan kemauan dan keinginan para perombaknya,
yaitu mereka yang menguasai kekuasaan. Adanya kelas baru yang tercipta, maka untuk
sementara keadaan kehidupan penguasa akan membaik, meskipun para pekerja menderita,
mau tidak mau mereka tunduk kepada penguasa demi kelangsungan hidup. Akan tetapi,
kemudian teknologi kembali bergerak lebih cepat melebihi gerak institusi yang ada.
Contoh, ketika fase feodalisme dimana awalnya para pekerja dengan mudah mendapatkan
tanah yang disewakan dari tuan tanah, namun pada akhirnya sangat sulit untuk
mendapatkan tanah dari tuan tanah, dikarenakan pada saat itu juga teknologi berkembang.
Akibat dari kecepatan teknologi bergerak, maka timbul lagi kelas masyarakat baru, yang
pada gilirannya akan melakukan perombakan terhadap institusi yang ada, sesuai yang
mereka inginkan. Proses seperti ini akan berjalan terus- menerus. Menurut Karl Marx,
gerak dari proses ini pasti, niscaya, tidak dapat ditahan, sehingga akhirnya sampai pada
tahap atau fase paling tinggi yang disebutnya komunisme penuh.
3. Pembagian pendapatan
Dalam fase sosialisme, produktivitas masih rendah dan kebutuhan maateri belum
terpenuhi secara cukup. Sementara itu, dalam fase komunisme penuh produktivitas sudah
tinggi sehingga semua kebutuhan materi sudah diproduksi secara cukup. Dengan begitu,
perekonomian dapat memenuhi kebutuhan semua anggota masyarakat secara
berkelimpahan. Tentang hakikat manusia sebagai produsen, dalam fase sosialisme manusia
belum cukup menyesuaikan diri sehingga menjadikan kerja sebagai hakikat dan masih
mementingkan insentif materi untuk bekerja. Pada tahap komunisme penuh, kerja sudah
menjadi hakikat. Manusia bekerja dengan penuh kegembiraan, sukacita. Semua pekerjaan
dilakukan secara sukarela, dengan efisien, tanpa terlalu mengharapkan insentif langsung
seperti upah, yang merupakan produk sampingan dari kerja. Tentang pembagian atau
distribusi pendapatan, dalam fase sosialisme berlaku prinsip “from each according to his
ability, to each according to his needs”.
Kesimpulannya, masalah-masalah seperti kelangkaan (scarcity) dan insentif pribadi
dengan sendirinya akan hilang jika masyarakat sudah samapi pada tahap komunisme penuh.
Bahkan, uang tidak perlu lagi digunakan. Dalam tahap komunnisme penuh tidak ada lagi
21
soal kelangkaan, juga tidak ada lagi kelas-kelas masyarakat, pengisapan dari suatu
kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lainnya. Bahkan, Negara dengan
sendirinya juga hilang.
1. Leninisme
Leninisme adalah teori politik dan praktek kediktatoran proletariat. Leninisme terdiri
dari teori politik & ekonomi sosialis yang dikembangkan dari Marxisme. Pendirinya
Vladimir Ilich Lenin (1870-1924) adalah bapak revolusi Rusia. Karya tulisnya yang
cukup penting adalah The Development of Capitalism in Rusia (1956) dan Imperialism,
the Highest Stage of Capitalism (1933). Lenin berkeinginan membentuk negara komunis
pertama di Rusia melalui beberapa teori yang dikemukakannya sebagai kritikan terhadap
kapitalisme diantaranya:
a. Kapitalisme Monopoli dan Imperialisme
Teori ini adalah batu loncatan analisis Lenin tentang lokus (tempat
22
kejadian) revolusi proletariat. Menurut Lenin, pertumbuhan tidak sama di tiap
negara termasuk di negara-negara kapitalis. Konflik militer dan peperangan akan
memperlemah negara-negara imperialis. Dengan melemahnya kekuatan negara-
negara imperialis maka masyarakat di negara-negara jajahan bangkit melawan
negara-negara agresor. Menurut lenin revolusi proletariar pertama kali muncul di
negara terlemah di antara negara kapitalis yaitu di Rusia. Berdasarkan argumentasi itu
Lenin kemudian melancarkan revolusi Bolshevik tahun 1917 di Rusia dan berhasil
mendirikan negara sosialis/komunis pertama di dunia. Kemudian Rusia berubah
menjadi Uni Soviet dan berhasil melakukan pembangunan melalui perencanaan
terpusat.
2. Revisionisme
mengatakan bahwa teori Marx tentang krisis dan kejatuhan kapitalisme keliru. Menurut
Tugan-Baranovsky, sekelompok masyarakat tidak akan mendapatkan sosialisme sebagai
hadiah buta dari kejatuhan elementer ekonomi begitu saja. Masyarakat tersebut harus
bekerja pelan-pelan melalui tahapan-tahapan terencana bagi pengadopsian sosialisme
tanpa melalui jalan kekerasan. Karl Kautsky (1854-1938) pada awalnya adalah penganut
Marxisme ortodoks. Pada tahun 1902 ia memformulasikan pandangannya bahwa suatu
depresi yang kronis akan mendorong kaum pekerja memilih alternatif sosialisme dan
bahwa reformasi sosial tidak akan menghentikan antagonisme kelas-kelas masyarakat.
Rosa Luxemburg (1871-1919) adalah seorang ahli teori Marxis, filsulf, ekonom dan
aktivis yahudi Polandia. Ia percaya bahwa hanya melalui revolusi sosialis di Jerman,
Austria, dan Rusia sebuah Polandia independen bisa ada. Dia menyatakan bahwa
perjuangan harus melawan kapitalisme , dan bukan hanya untuk Polandia independen.
Posisinya yang menyangkal hak nasional penentuan nasib sendiri di bawah sosialisme
23
memprovokasi ketegangan filosofis dengan Vladimir Lenin.
Aliran kiri baru mulai bangkit dan diterima di Amerika Serikat serta negara-negara
Eropa Barat pada pertengahan tahun 60-an. Gerakan ini dipengaruhi oleh berbagai
aliran sosialis yang sangat berbeda. Mulai dari pendiri aliran Marxisme ortodoks sampai
kaum radikal yang sering mengkritik kapitalisme bahkan penulis-penulis non-Marxis.
Secara sederhana aliran Kiri Baru dapat diartikan sebagai kombinasi dari Marxisme-
Leninisme ortodoks dengan pemikiran radikal baru. Perhatian terhadap Marxisme
muncul lagi setelah diterbitkanya buku Monopoli Capital oleh Paul Baran dan Paul
Sweezy tahun 1966.
Buku ini sangat memfokuskan perhatian pada aspek monopolistik perusahaan-
perusahaan raksasa dalam perekonomian modern. Analisis ekonomi Baran dan Sweezy
ini paralel dengan tulisan-tulisan pakar non-marxis J.K Galbraith yang sering mengecam
kebobrokan perusahaan-perusahaan kolomerat di Amerika. C. Wright Mills (1916-1962)
adalah ahli sosiologi dari Columbia University. Tahun 1956 ia menulis sebuah buku The
Power Elite yang mengungkapkan bahwa negara kapitalis Amerika Serikat semakin
dikuasai oleh kelompok elit yang terdiri atas perusahaan-perusahaan besar dan pemilik
modal yang berkolaborasi dengan pemerintah dan pimpinan-pimpinan serikat buruh.
Negara Amerika semakin dikuasai oleh oligarki dari pada demokrasi seperti yang
diagungkannya selama ini. Ernest Mandel tahun 1968 menulis sebuah buku berjudul
Marxist Economic Theory. Buku ini mereview dan membuat penjelasan-penjelasan yang
lebih sederhana sehingga teori-teori Marxis mudah dibaca maysrakat awam. Mandel juga
membuat analisis bagaimana perekonomian negara-negara barat bisa dialihkan dari
kapitalisme ke sosialisme.
Jika diperhatikan, terdapat persamaan dan perbedaan antara kubu Kiri Baru dengan
kubu Marxis ortodoks. Kesamaannya adalah kedua kubu setuju bahwa sistem kapitalis
tidak harmonis dan karenanya ditransformasikan menjadi suatu masyarakat sosialis
baru. Kedua kubu tidak tertarik dengan revolusi sosial dan berbeda pendapat dengan
kaum revisionis yang merasa reformasi sosial akan menyingkirkan keingina untuk
revolusi. Sedangkan perbedaan yang paling mencolok antara kedua kubu adalah
tentang tidak terelaknya sosialisme. Kaum Kiri Baru setuju dengan kaum revisionis
bahwa kejatuhan kapitalisme bukan tidak terelakkan. Bahkan mereka menganggap
bahwa kejatuhan tersebut tidak perlu harus terjadi. Mereka beranggapan demikian karena
kelas pekerja di negara-negara kapitalis sudah terintegrasi ke dalam masyarakat
kapitalis dan tidak bisa diharapkan untuk melaksanakan reformasi radikal.
Kaum Kiri Baru membuat kecaman yang mirip kecaman Marx terhadap
kapitalisme modern. Yang paling tidak mereka sukai terhadap kapitalisme modern
adalah ketidak seimbangan distribusi kekuatan ekonomi dan politik dalam masyarakat
24
kapitalis. Bagi kaum Kiri Baru terdapat hubungan sangat erat antara status ekonomi
dengan kekuatan politik. Selain itu aliran Kiri Baru juga percaya bahwa para buruh akan
tetap beralienasi walau kaum buruh di negara-negara kapitalis maju lebih makmur. Hal ini
dikarenakan para buruh dipisahkan dari kontrol atas pekerjaan mereka, dan kontrol tersebut
dipegang oleh mereka yang menguasai kapital dan teknologi. Mereka diisolasi dari
pengambilan keputusan sehingga kebebasan memilih di pasar tenaga kerja di batasi oleh
statifikasi sosial.
Runtuhnya Marxisme
25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Marxisme bercita – cita keadilan. Membebaskan umat manusia dari sistim penindasan.
Membangun sistim sosial yang baru di dunia. Sistem baru yang mau dibangun adalah sosialisme
dan komunisme. Menghapuskan sistem penindasan, berarti melenyapkan sang penindas. Hal ini
berhadapan dengan musuh raksasa, yaitu kaum yang tak rela dilenyapkan. Maka semenjak
lahirnya, musuh – musuh Marxisme sudah berbuat segala cara untuk menyelamatkan diri. Mati
matian berjuang melenyapkan Marxisme. Namun, pada dasarnya sangat mustahil untuk dapat
menghilangkan kelas – kelas sosial hanya bisa dihilngkan adalah kebiasaan menindas dan
memanusiakan manusia sebagaimana mestinya. Anggapan bahwa terjadi polarisasi dan
penyengsaraan sampai timbulnya protariat. Ini tidak terjadi secara dialektika. Kita harus mengerti
bahwa berapa lemahnya kaum buruh. Jika, dikaji akan mengadakan reaksi. Reaksi ini adalah inti
dari reaksi dialektika. Sehingga, hasilnya buruh melawan seluruk masyarakat juga melawan.
Bukan proletariat yang terjadi justru kebalikannya.
3.2 Saran
Jika terdapat saran maupun kritik yang bersifat membangun dari pembaca dalam rangka
menjuadikan makalah ini menjadi lebih baik.
26
DAFTAR PUSTAKA
27