Anda di halaman 1dari 2

Adat menjadi doktrin terhambatnya perkembangan kesetaraan gender

Permasalahan mengenai ketidakadilan gender dalam masyarakat cukup banyak di temukan


di Indonesia, terutama di desa Datar, kecamatan Dayeuhluhur, Jawa Tengah. Banyak dari kita
bahkan tidak menyadari adanya ketidakadilan gender yang telah terjadi
disekitar kita. Contoh sederhana terkait ketidakadilan ini dapat kita lihat
dalam kehidupan sehari hari seperti hanya laki-laki yang boleh shalat di
mesjid, banyaknua pernikahan dini, dan pendidikan masih dipandang
sebelah mata dan masih banyak lagi. Selain itu, perempuan seringkali
hanya dituntut mengerjakan pekerjaan rumah dan ranjang saja.
Pandangan masyarakat yang timpang terhadap perempuan membuat
perempuan semakin berada pada ambang ketidakadilan. Perempuan
dianggap sebagai seseorang yang harus bersikap lemah lembut dan
anggun. Pandangan yang telah melekat dalam fikiran masyarakat ini yang
kemudian berubah menjadi budaya yang diwariskan secara turun temurun
kepada penerusnya. Hal ini sesuai dengan pandangan Hasan (2019),
bahwa ketidakadilan gender terjadi akibat pandangan yang dibangun
masyarakat secara timpang terhadap peran perempuan baik dalam
keluarga maupun dilingkungan masyarakat. Tujuan pengambilan isu gender ini
adalah supaya pandangan masyarakat menjadi lebih terbuka dan peka isu isu gender yang
terjadi di lingkungan sekitarnya.
Pendidikan bukanlah suatu hal yang dianggap serius begitulah mindset yang sudah
menjadi kultur saat ini, karena banyak yang beranggapan bahwa untuk apa cape-cape sekolah
buang-buang duit ujung ujungnya juga kerja itu itu saja, terutama bagi anak perempuan,
banyak sekali anak perempuan yang tidak merasakan bangku pendidikan, karena orang-orang
disana beranggapan bahwa perempuan itu harus dinafkahi oleh laki-laki jadi buat apa sekolah
yang bakalan kerja juga laki laki. Jadi orang tua lebih memilih untuk memondokkan anaknya
di pesantren padahal kan perempuan juga ingin bersekolah tidak melulu harus mondok,
karena culture yang masih kental dengan agama, ditambah di daerah itu juga pernikahan dini
merupakan budaya yang dianggap wajar, bahkan teman-teman sebaya sayapun sudah banyak
yang berumah tangga. Nah itu semua terjadi karena kurangnya pengetahuan dan edukasi di
daerah itu.
Di desa Datar banyak yang beranggapan bahwa pekerjaan perempuan itu hanya di
dapur, ngurus rumah, ngurus anak, dan itu memang benar adanya di desa Datar adat seperti
itu masih sangat kental, adat seperti itu sudah mengakar sampai mendarah daging padahal
perempuan juga bisa bekerja mencari nafkah seperti laki-laki. Memang benar tugas
perempuan itu mengurus anak dan mendidik anak, tapi seperti yang dijelaskan di atas tadi
bahwa tingkat pendidikan di sana itu masih rendah jadi mereka hanya bisa mendidik anak
dengan budaya yang sudah mengakar tadi, jadi adat seperti itu terus berulang-ulang sampai
sekarang dan mungkin kedepannya juga akan diulang terus oleh anak cucunya.
Dalam hal peribadatan ada satu hal yang sedikit unik di daerah itu, yaitu wanita itu
tidak boleh shalat di mesjid bahkan di hari hari besar sekalipun bahkan juga tidak pernah
merasakan shalat seperti idul Fitri ataupun idul Adha. Dalam hal ibadah pun perempuan
masih belum merasakan kesetaraan, karena orang-orang masih beranggapan kalo perempuan
itu lebih baik dirumah saja, memang tidak ada yg salah dengan anggapan itu, tapi akan terasa
ketika ada pendatang dari jauh yg berkunjung. Pernah suatu keti ada seorang pendatang yang
mau shalat di mesjid dan bertanya kepada saya “dek ada mukena tidak” saya dengan
polosnya bilang tidak ada karena perempuan itu gk shalat di mesjid, lalu pendang itu ngomel-
ngomel kepada saya.
Dalam Islam, tawazun juga bisa diartikan sebagai keseimbangan dalam penggunaan
dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal dan pikiran rasional) serta dalil naqli (bersumber
dari Al-Quran dan hadits). Dalam kasus ini terdapat kesalahan penafsiran terkait hadist yang
menganjurkan perempuan untuk shalat dirumah, padahal nabi sendiri tidak melarang untuk
shalat di mesjid bahkan melarang kita untuk tidak melarang perempuan untuk shalat di
masjid.

Culture seperti ini memang sudah sangat melekat di tempat itu tapi bukan berarti tidak
bisa diubah, kita bisa memberikan penyuluhan dan edukasi tentang betapa pentingnya nilai
kesetaraan harus dibangun. Ketimpangan gender ini bisa diatasi jika masyarakat turut aktif
dalam menjalankan program-program yang sudah dijalankan oleh pemerintah seperti
pemberdayaan perempuan untuk kesetaraan gender dan lain sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai