Anda di halaman 1dari 6

Perkembangan Peradaban Cina pada Periode Tiongkok Klasik

Oleh: Gilang Risma Aprilianti (1906149)

Cina merupakan salah satu negara di kawasan Asia Timur dengan jumlah
penduduk terbanyak di dunia. Negara ini termasuk kedalam negara maju dengan basis
perekonomiannya yang cukup kuat. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya
produk buatan negeri Cina yang tersebar dibelahan dunia, termasuk salah satunya
Indonesia. Mulai dari barang elektronik sampai barang yang sederhana. Jika kita
melihat negara Cina sekarang, maka tentunya tidak terlepas dari adanya suatu proses
yang cukup panjang untuk dapat membangun sebuah negara dan menjadikannya
negara maju. Sejarah panjang negeri ini mencatat bahwa kebudayaan dan peradaban
Cina merupakan salah satu kebudayaan tertua di dunia yang bukti keberadaanya
masih ada hingga saat ini.

Berbicara mengenai peradaban awal umat manusia, keberadaan sungai menjadi


sangat penting sebagai sumber utama kehidupan. Dimana suatu peradaban mulai
terbentuk dari adanya aktivitas manusia di pinggiran sungai yang mencoba
memanfaatkan sungai tersebut hingga menghasilkan sebuah kebudayaan. Cina sendiri
memiliki dua peradaban sungai besar yang menjadi urat nadi kehidupan bangsa
Tiongkok sekaligus cikal bakal tumbuhnya peradaban Cina. Kedua sungai besar
tersebut adalah Lembah Sungai Huang Ho di dataran tinggi Cina utara dan Sungai
Yangtse di selatan. Keduanya berhulu di Pegunungan Kuen Lun dengan Lembah
Sungai Hwang Ho bermuara di laut Kuning, sedangkan Lembah Sungai Yang Tse
bermuara di Laut Tiongkok timur. Kedua aliran sungai ini mampu menjadikan daerah
disekitarnya subur, ditambah dengan kondisi alam berupa pegunungan tinggi dan
gurun dengan berbagai bentang lahan yang mampu menghasilkan berbagai jenis
tanaman dan lain sebagainya, sehingga mampu mempengaruhi perkembangan suatu
kebudayaan.
Perkembangan kebudayaan yang terbentuk secara dinamis tersebut kemudian
menciptakan suatu kesatuan politis pertama yang disebut Dinasti Hsia. Dapat
dikatakan bahwa Dinasti Hsia terbentuk dari beberapa gabungan komunitas suku
yang ada pada saat itu. Dinasti ini berkuasa dari tahun 2100-1600 SM di daerah barat
dari Propinsi Henan dan bagian selatan dari Propinsi Shanxi sekarang. Adapun tokoh
yang disebut sebagai pendiri dinasti ini ialah Yu Agung yang telah berhasil mengatasi
permasalahan banjir akibat meluapnya Sungai Huang Ho dengan mengeruk dasar
sungai dan menyalurkan air untuk mengalir ke laut. Dari sini dapat diidentifikasi
bahwa saat itu, seseorang yang dipilih menjadi peguasa diukur dan ditentukan
berdasarkan kemampuan serta pencapaiannya.

Bukti sejarah mengenai perkembangan Dinasti Hsia lainnya dapat diketahui dari
sebagian besar mata pencaharian masyarakatnya yang berprofesi sebagai petani. Hal
ini didukung oleh kondisi alam dan tanah yang subur karena terletak di pinggiran
sungai. Pada saat itu alat yang digunakannya pun masih sederhana, yaitu
menggunakan perkakas yang terbuat dari batu dan tulang. Beberapa bukti
peninggalan lain dari dinasti ini dapat diketahui dari hasil ekskavasi yang dilakukan
oleh para arkeolog pada sekitar tahun 1970-an yang mengatakan bahwa telah ada
situs perkotaan utama di Erlitou, provinsi Henan sejak 2000 SM. Erlitou sendiri
merupakan situs budaya terbesar berupa bangunan istana dan bengkel peleburan
perunggu. Selain itu, ditemukan juga artefak, kulit kerang, serta pecahan tembikar
dari T'ao-ssu di Hsiang-fen yang menunjukkan bukti keberadaan Hsia.

Kaisar terakhir Dinasti Hsia yang bernama Jie, berhasil digulingkan oleh kaisar
Tang dalam pertempuran Mingtiao dan dimulailah era dinasti baru yang dikenal
dengan Dinasti Shang yang memerintah dari 1600-1046 SM. Dinasti ini memerintah
di Cina bagian utara dan tengah dengan An-Yang sebagai ibukotanya. Bukti sejarah
berkembangnya Dinasti Shang dapat dilihat dari ditemukannya tulisan di An-Yang
dan Cheng-chou yang ditulis pada cangkang penyu. Hal inilah yang menjadi alasan
Dinasti Shang menjadi awal peradaban yang mengukir sejarah sekaligus mengakhiri
zaman prasejarah di Cina. Penemuan hasil kebudayaan tersebut menunjukkan bahwa
masyarakat di masa pemerintahan Dinasti Shang ini telah mengusung peradaban yang
tinggi.

Sebagian besar masyarakat yang hidup di masa ini mayoritas mata


pencahariannya adalah bertani dan beternak. Dari aktivitas pertanian inilah, dapat
diketahui bahwa pada masa ini masyarakat telah mengenal sistem penanggalan yang
bertujuan untuk mengetahui gejala perubahan musim. Sistem penanggalan ini dikenal
dengan sebutan feng shui, yakni dimensi waktu yang didasarkan dari konsep ilmu
astronomi tiongkok purba dan mengacu pengaruh peredaran Matahari dan Bulan
terhadap Bumi (Rohmah, 2018, hlm. 36). Dalam perkembangan sistem
kemasyarakatan Dinasti Shang sendiri telah mengenal adanya sistem perbudakan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa pada masa ini telah terbentuk adanya kelas sosial.

Aristokrasi sudah mulai dikenal pada jaman Shang , dimana seorang raja
memimpin atas para penguasa militer. Di bawah kaum militer ini terdapat kaum
pendeta, yang tugasnya mencatat administrasi pemerintahan sekaligus
bertanggungjawab untuk masalah religi. Religi saat itu berdasarkan pada pemujaan
leluhur serta para dewa. Dewa yang utama adalah Shangdi, yaitu Penguasa di Atas
Langit (Waworuntu, 2016, hlm. 140). Dengan begitu, corak pemerintahan Dinasti
Shang ini dititik beratkan pada bidang militer. Prajuritnya ahli dalam berperang
dengan menggunakan kereta berkuda. Hal ini didukung oleh beberapa penemuan
berupa alat persenjataan perang yang berbahan dasar dari perunggu.

Bagian terakhir dari Dinasti Shang, dari masa pemerintahan kaisar Pangeng dan
seterusnya pada sekitar 1300 SM, disebut dengan Dinasti Yin. Temuan arkeologi
memberikan bukti keberadaan Dinasti Shang sekitar 1600-1046 SM, yang terbagi
menjadi dua periode. Bukti keberadaan Dinasti Shang periode awal (1600-1300 SM)
berasal dari hasil ekskavasi yang dilakukan di Erlitou, Zhengzhou dan Shangcheng.
Sedangkan bukti keberadaan Dinasti Shang periode kedua (1300–1046 SM) atau
periode Yin berasal dari kumpulan besar tulisan pada tulang orakel. Adapun
kebudayaan yang dihasilkan oleh para pengrajin Dinasti Shang ini banyak
menciptakan karya perunggu canggih, keramik, peralatan rumah tangga, ornamen dan
pernak-pernik atau patung batu giok berupa manusia dan hewan dengan ukiran
melingkar. Selain itu, ditemukan juga tembikar, termasuk piring dan mangkuk yang
digunakan untuk keperluan upacara dan ritual.

Cina di masa kuno ini terus diperintah oleh berbagai dinasti secara bergiliran.
Selanjutnya, tampuk pemerintahan Cina kuno dipegang oleh Dinasti Chou yang
berkuasa 1046-256 SM setelah sebelumnya berhasil mengambil alih kekuasaan dari
raja terakhir Dinasti Shang dalam Pertempuran Muye dengan pemimpinnya Wu
Wang. Dinasti Chou merupakan dinasti terlama yang berkuasa dalam sejarah
Tiongkok. Dalam sejarahnya, dinasti ini juga dibagi menjadi dua bagian, yakni Chou
Barat dan Chou Timur. Periode ini juga dikenal sebagai periode “feodal” karena masa
awal pemerintahan Chou memiliki persamaan dengan pemerintahan abad
pertengahan di Eropa, yaitu sistem pemerintahan yang bersifat sentralisasi
(Waworuntu, 2016, hlm. 140). Dengan begitu, pemerintah pusat memberikan hak
otonomi kepada para penguasa feodal dengan tetap berada dibawah pengawasan
pusat.

Dalam perkembangan sistem kemasyarakatannya, puncak kelas sosial ditempati


oleh raja dengan segala kekuasaannya. Pada masa ini mulailah dikenal konsep
"Mandat Langit" sebagai legitimasi pergantian kekuasaan, dimana apabila seorang
penguasa digulingkan dari jabatannya, maka hal tersebut merupakan indikasi bahwa
seseorang itu tidak layak dan akan kehilangan mandatnya sebagai penguasa. Konsep
ini memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pergantian dinasti Tiongkok
selanjutnya. Kepercayaan umum masyarakatnya yang didasarkan pada kepercayaan
Tian juga meyakini bahwa segala bentuk bencana alam merupakan tanda
ketidaksenangan surga terhadap penguasa. Dari sini dapat terlihat bahwa ajaran
politik dan kegamaan Tiongkok pada saat itu berjalan selaras, dan raja-raja Dinasti
Chou bukan lagi dianggap manusia, melainkan setengah dewa yang layak dihormati
sekaligus dipuja (Septianingrum, 2019, hlm. 127).

Raja terakhir Dinasti Chou Barat ini ialah Yu Wang, pada masa inilah Chou
Barat mengalami keruntuhan. Setelah Raja Yu Wang, muncullah Raja P’ing yang
kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke timur, maka mulailah masa Chou
Timur (Agung, 2012, hlm. 15). Dimasa inilah terjadi banyak perubahan bagi
kehidupan masyarakat Cina. Dengan ditemukannya besi, maka terjadi perubahan
dalam bidang teknologi pembuataan alat-alat, khususnya alat pertanian. Teknologi
pertanian yang semakin maju menjadikan hasil produksi pertanian meningkat dan
mulai membentuk golongan baru di masyarakat, yaitu pedagang. Dengan begitu,
keberadaan sistem feodalisme kian menipis. Bukti dari adanya aktivitas dagang
tersebut adalah dengan ditemukannya pisau unik dan mata uang sekop.

Selain dalam bidang ekonomi, dimasa ini juga muncul tokoh-tokoh filsafat
seperti Kung Fu Tzu yang melahirkan Konfusianisme, Mo Ti dengan Moshisme-nya,
Lao Tze yang mengembangkan Taoisme, Meng Tze dan lain sebagainya. Para filsuf
Cina lebih memusatkan perhatian kepada persoalan politik, negara dan etika moral.
Adapun kebudayaan yang dihasilkan Dinasti Zhou ini pada dasarnya merupakan
kelanjutan dari kebudayaan Dinasti Shang. Selain kebudayaan perunggu dan sastra,
bukti peninggalan lainnya dapat terlihat dari ditemukannya bangunan besar di sisa-
sisa ibukota feodal. Akhir kekuasaan Dinasti Zhou ditandai dengan banyaknya negara
bagian kecil yang bertikai. Periode ini dikenal dengan sebutan “Periode Negara
Berperang” yang terjadi pada 475–221 SM, ketika negara-negara kecil dikonsolidasi
menjadi beberapa unit yang lebih besar, yang berjuang satu sama lain untuk meraih
penguasaan. Akhirnya, salah satu kerajaan kecil bernama Qin berhasil menaklukkan
negara bagian lainnya dan mendirikan Dinasti Qin (221-207 SM ).

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas, maka jelas terlihat bahwa Cina
memiliki sejarah yang sangat panjang dan dinamis dengan pemerintahan yang secara
estafet dalam bentuk kekaisaran dinasti. Maka dari itu kebudayaan awal, baik itu
nilai, tradisi dan lain sebagainya yang terbentuk dari peradaban sungai ini terus
berkembang dan terpelihara dari generasi ke generasi bahkan hingga saat ini. Dinasti
Hsia, Shang dan Zhou menjadi dinasti awal periode Tiongkok klasik yang sangat
besar pengaruhnya terhadap perkembangan kekaisaran dinasti selanjutnya.
Referensi:

Agung, L. (2012). Sejarah Asia Timur 1. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Encyclopaedia Britannica. (2020). Zhou Dynasty: Chinese History. [Online]. Diakses


dari https://www.britannica.com/topic/Zhou-dynasty

Romlah I.E. (2018). Kalender Cina dalam Tinjauan Historis dan Astronomis. Al-
Marshad: Jurnal Astronomi Islam dan Ilmu-ilmu Berkaitan, 4(1), 31-45. doi:
https://doi.org/10.30596/jam.v4i1.1934

Septianingrum, A. (2019). Sejarah Ringkas Terbaik Asia Timur. Yogyakarta: Unicorn


Publishing.

Waworuntu, Adrianus. (2016). Shenshi atau Gentry Cina: Sekilas Sejarah dan Profil
Kaum Aristokrat Cina pada Zaman Kekaisaran. Paradigma:Jurnal Kajian
Budaya, 2(2), 137-155 Diakses dari paradigma.ui.ac.id

Anda mungkin juga menyukai