Anda di halaman 1dari 46

“UPAYA GURU AQIDAH AKHLAK DALAM MEMBINA

PERILAKU KEAGAMAAN PESERTA DIDIK DI MTS NEGRI 2

PONTIANAK"

SKRIPSI

OLEH :

MUHAMMAD AS'AD

NIM: 11901323

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONTIANAK

2023 M/1444 H
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN............................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................1
1. Fokus Penelitian...................................................................................................11
2. Pertanyaan Penelitian...........................................................................................11
D. Manfaat Penelitian.................................................................................................11
BAB II.............................................................................................................................13
KAJIAN PUSTAKA......................................................................................................13
A. Penelitian Terdahulu.............................................................................................13
B. Upaya....................................................................................................................17
C. Guru PAI..............................................................................................................22
1. Pengertian guru.................................................................................................22
2. Pengertian Guru Pai..........................................................................................25
D. Perilaku Keagamaan.............................................................................................27
1 . Faktor-Faktor prilaku keagamaan...........................................................................29
BAB III...........................................................................................................................33
METODE PENELITIAN.............................................................................................33
A. Jenis Penelitian.....................................................................................................33
B. Lokasi dan Waktu Penelitian................................................................................34
C. Sumber data..........................................................................................................34
D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data...........................................................36
E. Teknik Instrumen Data.........................................................................................38
F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data..................................................................40
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan orang dewasa (pendidik)

dalam menyelenggarakan kegiatan pengembangan diri peserta didik agar

menjadi manusia yang paripurna sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan

sebelumnya. Pendidikan bisa membantu manusia mengangkat harkat dan

martabatnya dibandingkan manusia lainnya yang tidak berpendidikan (Kompri,

2017: 17). Dalam kaitannya dengan hal itu, maka kegiatan pendidikan

merupakan suatu proses untuk mengubah sikap manusia dari kondisi tertentu

terhadap kondisi lainnya.

Dengan kata lain, perubahan akan nampak dalam proses perubahan manusia,

dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari tidak mengetahui menjadi

menegetahui. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari segala upaya yang harus

dilakukan agar pendidikan yang ada di Negara Indonesia sesuai dengan tujuan

pendidikan nasional yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar

tahun 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan adanya pendidikan

ini pula diharapkan dapat dihasilkan manusia yang sesuai kreatif sesuan

kemajuan tuntutan zaman saat ini (Djzabidi, 2016 : 1).


Pendidikan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia, karena

prosesnya bersifat niscaya baik dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat

maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan sangatlah

penting untuk ditempuh seseorang agar tercipta kehidupan ke depan yang lebih

baik dan bisa bermanfaat terutama dalam bentuk penguasaan pengetahuan serta

pembentukan kepribadian dengan akhlak yang baik. Dengan adanya pendidikan,

seseorang dapat melaksanakan segala aktivitas sesuai dengan koridor tujuan

pribadi dan bersinggungan secara positif dengan sistem moral bersama di

masyarakat (Santoso, 1998 : 98).

Diantara bagian praktik pendidikan, terdapat dimensi berupa penanaman

kebiasaan-kebiasaan dan pengulangan kegiatan yang biasa dilakukan setiap hari

oleh siswa dari hari ke hari. Di dalam kegiatan dan kebiasaan yang dilakukan

secara rutin itu, terdapat nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi tolok ukur

tentang benar tidaknya atau efektif tidaknya pelaksanaannya oleh seseorang.

Norma-norma itu terhimpun menjadi aturan yang harus dipatuhi karena setiap

penyimpangan atau pelanggaran akan menimbulkan keresahan, keburukan dan

kehidupan pun berlangsung tidak efektif atau bahkan tidak efisien (Nawawi,

1990)
Anak didik sebagai generasi penerus bangsa, sejak dini wajib dikenalkan dengan nilai-
nilai yang mengatur kehidupan manusia, yang berguna bagi dirinya masing-masing,
agar berlangsung tertib, efektif dan efisien. Norma-norma itu sebagai ketentuan tata
tertib hidup harus dipatuhi atau ditaati. Pelanggaran atau penyimpangan dari tata tertib
itu akan merugikan dirinya dan bahkan dapat ditindak dengan mendapat sanksi atau
hukuman. Dengan kata lain setiap anak harus dibantu hidup secara berdisiplin, dalam
arti mau dan mampu mematuhi atau mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku di
lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya (Nawawi, 1999 : 230).
Pendidikan Akhlak sangat penting bagi perkembangan siswa dalam

menjalankan tata tertib kehidupan, tidak akan dirasa memberatkan bila

dilakukan dengan kesadaran akan penting dan krusialnya akhlak tersebut

(Nawawi, 1999). Dalam ajaran Islam, pentingnya penanaman akhlak sejak dini

agar terbentuk kesadaran tanggung jawab terhadap kewajiban demi

kemaslahatan diri tercermin dalam banyak ayat al-Qur’an dan Sunnah (Endang,

2019). Beberapa di antaranya adalah firman Allah dalam Surah Annisa ayat 59:

‫ۖ َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنٓو ۟ا َأِط يُعو۟ا ٱَهَّلل َو َأِط يُعو۟ا ٱلَّرُس وَل َو ُأ۟و ِلى ٱَأْلْمِر ِم نُك ْم‬

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! taatilah Allah dan taatilah Rasul

(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.


Firman Allah lainnya adalah yang termaktub dalam Surah Ali Imran ayat 31:

‫ُقۡل ِاۡن ُك ۡن ُتۡم ُتِح ُّبۡو َن َهّٰللا َفاَّتِبُعۡو ِنۡى ُيۡح ِبۡب ُك ُم ُهّٰللا َو َيۡغ ِفۡر َلـُك ۡم ُذ ُنۡو َبُك ؕۡم‬

Artinya: Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku,

niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.”

Selain itu, terdapat pula sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW yang di

riwayatkan oleh Abu Dawud dari Amr Bin Syu’aib dari ayahnya dan dari

kakeknya, dimana Rasul secara eksplisit menunjukkan metode pendidikan

akhlak anak khususnya dalam mendirikan Shalat:

‫م َأبَناُء َس بِع‬4‫َعْن َع ْم ر وْبن ُش َعْيِب َعْن َأِبيه َعْن َج َّده قَاَل َر ُس وُل هللا َص َّلى هَللا عَليِه وَس َّلَم ُم ُر وا َأْو َالَد ُك ْم ِبا لَّص الِة َو ُه‬

)‫َع َليَها َو ُهم َأبَناُء َعْش ٍر َو فِّر ُقوا َبيَنُهم ِفي الَم َض اَج ِع (أخرجه ابوداود في كتاب الصالة‬

Artinya: “dari ‘Amar Bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya ra, ia berkata:

Rasulullah SAW. Bersabda: “perintahlah anak-anakmu mengerjakan shalat

ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat bila

berumur sepuluh tahu, dan pisahlah tempat tidur mereka (laki-laki dan

perempuan)”. (HR. Abu Daud dalam kitab shalat)

Demikianlah seharusnya bagi proses pendidikan melalui akhlak, bahwa

setiap anak didik harus dikenalkan dengan tata tertib (termasuk perintah),

diusahakan untuk memahami manfaat atau kegunaannya, dilaksanakan dengan

tanpa atau dengan paksaan, termasuk juga usaha melakukan pengawasan

terhadap pelaksanananya, diperbaiki jika dilanggar atau tidak dipatuhi


termasuk juga diberikan sanksi atau hukuman jika diperlukan (Intansari,

2015: 2).

Contoh sederhana antara lain pendidikan akhlak berupa disiplin waktu. Anak

harus mematuhi waktu yang tepat untuk berangkat dan pulang sekolah,

belajar, menunaikan shalat lima waktu dan kegiatan rutin yang lain.

Apabila hal itu telah terbentuk maka akan terwujudlah pribadi yang kuat,

yang setelah dewasa akan diwujudkan pula dalam setiap aspek kehidupan, antara

lain dalam bentuk disiplin kerja, disiplin mengatur keuangan rumah tangga dan

disiplin dalam menunaikan perintah serta meninggalkan larangan Allah SWT.

Dalam keadaan disiplin itu mampu dilaksanakan oleh semua anggota

masyarakat atau warga negara, terutama berupa kepatuhan dan ketaatan terhadap

ketentuan-ketentuan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka

akan terwujud disiplin nasional.

Dengan kata lain disiplin masyarakat, disiplin nasional dan disiplin umat

Islam, bersumber dari disiplin pribadi warga negara dan pemeluknya kaum

muslimin, bersumber dari disiplin pribadi warga negara dan pemeluknya

(Nawawi, 1999 :232).

Misalnya, etika dalam pergaulan antara anak dengan orang tua, guru, cara

berpakaian dan berbagai sopan santun lainnya. Sedang penampilan sikap dan

tingkah laku seseorang dalam kehidupan, khususnya melalui pergaulan yang

menggambarkan mampu atau tidaknya berdisiplin, bersopan santun,


menerapkan norma-norma kehidupan yang mulia berdasarkan ajaran Islam

sering disebut dengan akhlak.


Pembentukan akhlak mulia sangat penting dalam pendidikan yang bertujuan untuk

menciptakan manusia yang dapat membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah,

taat dan tidak beriman, yang pada akhirnya bermuara pada beriman dan tidak beriman.

Maka pada kenyataannya, proses pelatihan melalui pendidikan akhlak membutuhkan

kekuatan dan kebijaksanaan. Ketegasan menuntut guru untuk menghukum setiap siswa

yang melanggar peraturan agar mereka tahu apa yang mereka lakukan tidak benar.

Kebijaksanaan menuntut agar pendidik bertindak adil dalam memberikan sanksi kepada

peserta didik yang melanggar aturan keagamaan yang dibebankan kepadanya, yang

pada akhirnya menyadarkan anak akan hak dan kewajibannya sebagai anggota

masyarakat. (Gade, 2019 :3).

Kemauan dan keinginan untuk mengikuti suatu berasal dari dalam diri

seseorang atau tanpa paksaan dari luar atau orang lain, khususnya pesrta didik

(siswa). Namun, dalam situasi di mana mereka tidak sadar mengikuti aturan,

yang sering mereka anggap memberatkan atau tidak menyadari kegunaan dan

manfaatnya, tindakan paksaan harus diambil dari luar atau oleh orang yang

bertanggung jawab. Dalam kehidupan anak muda seringkali terdapat keadaan

yang memerlukan pengawasan pendidik untuk mentaati perilaku kegamaan

dalam kehidupan, yang seringkali juga memerlukan sanksi atau hukuman atas

pelanggaran anak didik. (Nawawi,1999).


Darajat (1999:327) berpendapat bahwa salah satu sarana menanamkan

pendidikan akhlak pada generasi penerus bangsa adalah melalui sekolah atau

madrasah. Darajat juga berpendapat, sekolah atau madrasah Ia harus berusaha

menjadi ladang yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan spiritual dan

moral siswa, serta untuk pengembangan keterampilan dan kecerdasan. Dengan

kata lain, sekolah adalah lapangan sosial bagi siswa di mana pertumbuhan

intelektual, moral, sosial dan semua aspek kepribadian dapat berkembang.

Madrasah yang mengamalkan kedisiplinan menciptakan kondisi yang baik,

nyaman, tenang dan tertib (Drajat, 1999).

Menurut Hadianti (2017), masyarakat madrasah, khususnya pemimpin yang

“wajib” mewujudkan budaya disiplin bagi para siswanya, yaitu kepatuhan

terhadap aturan yang telah ditetapkan di madrasah. Selain itu, Tua et al. (2014)

menjelaskan bahwa kepatuhan di madrasah memerlukan kesadaran di antara

guru, siswa, dan pimpinan sekolah atau madrasah untuk menumbuhkan

kesadaran budaya disiplin.

Untuk memenuhi tugas, peranan dan tanggung jawab pelajar sebagai

generasi penerus, maka perlu diadakan pembinaan nilai-nilai keagamaan

khususnya dalam perilaku keagamaan, agar mereka senantiasa menjalankan

tugas, peranan dan tanggung jawabnya sebagai pelajar dengan selalu dijiwai

keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT dan tidak menyimpang dari nilai-

nilai ajaran agama (berperilaku sesuai dengan ajaran agama) serta dibentengi
dari hal-hal yang merusak moral dirinya. Upaya pembinaan pelajar tersebut

menjadi tanggung jawab bersama baik orang tua, keluarga maupun guru.

Madjid (2004:137) Disamping itu guru Akidah Akhlak berfungsi sebagai

upaya pencegahan yaitu menangkal hal-hal negatif dari lingkungan yang ada di

sekitar siswa atau budaya lain yang dapat membahayakan atau menghambat

perkembangan menuju manusia seutuhnya. Dengan demikian sekolah berfungsi

untuk menumbuh kembangkan diri anak melalui bimbingan pengajaran dan

pelatihan agar keimanan dan ketaqwaan tersebut dapat berkembang secara

optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Melihat fenomena yang terjadi seperti saat ini, maka ini menjadi tugas guru

akidah akhlak dalam membina, membimbing, dan meningkatkan perilaku

siswa agar siswa mempunyai perilaku yang baik sesuai dengan ajaran agama

Islam. Maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di MTs

Negeri 02 Pontianak dengan latar belakang di madrasah tersebut masih

ditemukan kurangnya kesadaran siswa dalam hal keagamaan. Seperti halnya

ketika waktu sholat telah tiba masih ditemukannya siswa yang tidak segera

melakukan sholat tetapi malah asyik mengunjungi kantin dan menunggu

perintah dari guru. Selain itu adanya pelanggaran kewajiban siswa dalam

mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan seperti halnya ketika ada

pembiasaan membaca yasin dan tahlil sebelum dimulainya pelajaran yang itu

sudah menjadi kewajiban bagi semua siswa di madrasah tersebut, dan

kenyataannya masih ditemukan siswa yang masih meremehkan dan tidak


mengikuti pembiasaan tersebut. Selain itu juga ditemukan anak yang

meremehkan dan tidak menghargai guru-guru yang masih muda, suka

menyakiti teman lainnya, dan berperilaku kurang sopan terhadap guru maupun

sesama.

Terkait dengan fenomena yang terjadi di lingkungan madrasah tersebut

dengan adanya sikap dan perilaku siswa yang masih perlu adanya pembianaan

dan arahan dari guru. Maka disini seorang guru agama khususnya guru akidah

akhlak mempunyai peran yang sangat penting dalam membina dan

mengarahkan perilaku siswa tersebut. Dimana pembelajaran akidah akhlak

yang ada di sekolah biasanya menyangkut dengan akhlak siswa, bagaimana

cara berperilaku yang baik, bagaimana cara berkeyakinan yang baik. Jadi sudah

menjadi kewajiban guru akidah akhlak untuk membentuk dan menumbuhkan

akhlak yang baik dengan meyakinkan agar siswa mempunyai keyakinan yang

benar yang sesuai syariat Islam.

Dari realita yang seperti itu penulis menginginkan keberhasilan guru

dalam berperan meningkatkan perilaku keagamaan siswa, terlebih dalam hal ini

adalah guru akidah akhlak. Dimana pendidikan akidah akhlak adalah sebagai

dasar bagi pembentukan perilaku keagamaan anak.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul: “UPAYA GURU AKIDAH AKHLAK DALAM

MEMBINA PRILAKU KEAGAMAAN PESERTA DIDIK DI MTS NEGRI 2

PONTIANAK TAHUN AJARAN 2022/2023”


B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian

1. Fokus Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, fokus penelitian ini adalah

Peran Guru Akidah Akhlak Dalam “UPAYA GURU AKIDAH AKHLAK

DALAM MEMBINA AKHLAK PEAERTA DIDIK DI MTS NEGRI 2

PONTIANAK.

2. Pertanyaan Penelitian

a. Bagaimana perilaku keagamaan peserta didik di MTSN 2 Pontianak?

b. Apa saja faktor pendukung dan penghambat yang dihadapi guru Aqidah

Akhlak dalam pembinaan perilaku keagamaan peserta didik?

C. Tujuan Penelitan

a. Untuk mendeskripsikan perilaku keagamaan peserta didik.

b. Menganalisis faktor-faktor yang mendukung dan faktor-faktor yang

menghambat guru Aqidah Akhlak dalam upayanya membina perilaku

keagamaan peserta didik.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan fokus dan tujuan penelitian di atas sudah sepatutnya bagi

setiap kegiatan penelitian didambakan dapat memberikan manfaat bagi setiap

kalangan. Sama halnya melalui penelitian ini memiliki beberapa manfaat

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis adalah hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi

bahan bacaan, dan kajian atau perbandingan serta menjadi refrensi ilmiah
tambahan sehingga diharapkan dapat memunculkan inspirasi baru untuk

mengembangkan penelitian dalam penelitian selanjutnya, khususnya

mengenai persoalan UPAYA GURU AKIDAH AKHLAK DALAM

MEMBINA AKHLAK SISWA

2. Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti, membuka wawasan berfikir dan pengalaman. serta

meningkatkan kualitas dalam melakukan penelitian.

b. Bagi pihak lain yang relevan dengan penelitian ini, dapat di jadikan

bahan bacaan yang sangat bermanfaat, yaitu sebagai bahan evaluasi

terhadap apa yang telah dilaksanakan, sehingga hal-hal yang

dianggap baik dapat pemecahannya agar tujuan pembelajaran

tersebut dapat tercapai dengan maksimal.

c. Bagi pihak IAIN Pontianak, diharapkan dapat berguna sebagai bahan

referensi ilmiah dan penambahan khazanah intelektual, juga dapat

dijadikan sebagai sumber dalam meningkatkan mutu ketarbiyahan.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu
a. Umi Lathifah (2018) Skrispsi, dengan penelitiannya yang berjudul "Upaya

Guru Fiqih Dalam Meningkatkan Prilaku keagamaan Siswa Di MTSN Filial

Pulutan, Nongosari, Boyolali Tahun Pelajaran 2017/2018". Hasil Penelitian

Umi Lathivah dapat disimpulkan antara lain: Pertama, dengan upaya

preventif melalui memantau siswa secara rutin saat siswa tiba di Madrasah,

pelaksanaan tadarus pagi, pelaksanaan upacara rutin hari Senin, pergantian

jam pelajaran, pelaksanaan sholat Dhuha berjamaah serta mengecek absensi

siswa. Melakukan kerja sama dengan berbagai pihak utamanya dengan

seluruh guru yang ada di MTSN Filial Pulutan mulai dari guru mapel, wali

kelas, guru piket, OSIS, serta alumni. Penegakan aturan yang bertujuan agar

siswa memiliki pedoman dalam berperilaku sehingga sikap disiplin dapat

terkondisikan, latihan yang selalu diterapkan dengan pembiasaan kepada

siswa ketika siswa tiba di madrasah dengan tepat waktu salah satunya,

memberikan motivasi kepada siswa yang dilakukan oleh para guru baik oleh

guru fiqih juga oleh para madrasah, serta memberikan teladan yang

dilakukan oleh seluruh guru dan staf karyawan MTSN Filial Pulutan.
Kemudian melalui upaya kuratif dengan penegakan hukuman. Hukuman

diberikan secara langsung bagi siswa yang melakukan pelanggaran yang

bertujuan untuk memberikan efek jera sehingga tidak mengurangi kembali.

Misalnya jika siswa terlambat didenda lima ribu rupiah.

Berdasarkan penelitian terdahulu diatas ada memiliki persamaan dan

perbedaan dengan judul yang peneliti lakukan. Persamaannya adalah sama-

sama meneliti penelitian tentang upaya bagaimana mendisiplinkan prilaku

keagamaan siswa atau peserta didik dan sumber informasinya sama yaitu

kepala sekolah dan guru BK. Perbedaannya adalah letak lokasi, waktu, dan

tempat selain itu juga bedanya jika penelitian Umi Lathifah itu diberikan

denda bagi peserta didik untuk efek jera sedangkan di sekolah MTs Al

Hikmah diberikan hukuman yang tergantung pada kategori pelanggaran.

b. Khusnul Khatimah (2019) Skripsi, dengan judul penelitian " Peran Guru

Pendidikan Agama Islam Dalam meningkatkan Prilaku keagamaan siswa

dlam melaksanakan Shalat berjamaah (Studi pada SMK N 1 Wonosegoro

Kabupaten Boyolali Tahun 2018)". Dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut:
1) Sholat berjamaah siswa di SMK N 1 Wonosegoro termasuk kategori

sekolah yang paling baik diantara SMK yang lainnya. Akan tetapi, masih

sedikit siswa yang memiliki kesadaran untuk melaksanakan shalat

berjamaah. II) Peran guru Pendidikan Agama Islam dalam meningkatkan

kedisiplinan siswa melaksanakan shalat berjamaah di SMK N 1 Wonosegoro

mempunyai peran yang banyak antara lain: sebagai pembimbing, sebagai

motivator, sebagai suri tauladan, dan sebagai evaluator. 3) Faktor pendukung

dan penghambat dalam meningkatkan kedisiplinan siswa melaksanakan

shalat berjamaah di SMK N 1 Wonosegoro.

Pertama, Peran guru Pendidikan Agama Islam dan guru yang lain, sudah

maksimal dalam membimbing, mengarahkan, memotivasi, mengevaluasi

dalam mendisiplinkan sholat berjamaah di sekolah, k tersediaan tempat

ibadah dan prasarana.

Kedua, Kondisi masjid yang kurang luas sehingga tidak mampu

menampung peserta didik untuk shalat berjamaah secara keseluruhan,

minimnya perhatian orang tua dalam hal ibadah putra-putrinya, belum

meratanya kesadaran peserta didik tentang pentingnya shalat berjamaah.

Adapun persamaan penelitian yang dilakukan oleh Khusnul Khatimah

dengan peneliti adalah subyek penelitian yang sama yaitu sekolah, dan sama-

sama menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif.

Sedangkan perbedaan penelitian Khusnul Khatimah dengan peneliti yaitu:

pertama, dari obyek penelitian, dari penelitian yang dilakukan Khusnul


Khotimah objek penelitiannya yaitu tentang Prilaku keagaman siswa saat

dalam melaksanakan shalat berjamaah sedangkan penelitian yang dilakukan

peneliti, obyek penelitiannya adalah tentang kedisiplinan siswa. Kedua, dari

tempat penelitian, penelitian yang dilakukan Khusnul Khatimah dilakukan di

SMKN 1 Wonosegoro sedangkan peneliti melakukan penelitian di MTs Al

Hikmah Kab. Landak.

c. Skripsi Kasmita (2009) berjudul “Upaya Guru Pendidikan Agama Islam

Dalam menanggulangi Kenakalan Siswa Kelas XI IPS di SMA

Muhammadiyah 2 Pontianak”. Menyimpulkan bahwa guru pendidikan

agama islam melakukan usaha-usaha untuk mencegah agar siswa tidak

melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama,misalnya berjudi,

meminum minuman keras dan mencuri serta mejelaskan hikmah yang

diperoleh dari melakukan perbuatan yang perbuatan yang tidak baik

(dilarang agama).

Penelitian sebelumnya yang dikemukakan di atas memiliki persamaan

dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaan penelitian dengan penelitian

sebelumnya yaitu sama-sama meneliti tentang disiplin. Sedangkan

perbedaanya ialah pada informannya yang terdiri dari guru Akidah Akhlak,

Fikih, Qur’an Hadist, sedangkan peneliti terletak pada kepala sekolah, guru

BK, dan siswa. Selain itu juga, terletak pada obyek penelitian yang

dilakukan kasmita di SMA 2 Muhammadiyah Pontianak, sedangkan peneliti

dilakukan di MTs Al –Hikmah Kab. Landak.


B. Upaya
a. Pengertian Upaya

Upaya Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia upaya di artikan

sebuah usaha, kegiatan yang mengarahkan tenaga, pikiran, untuk

mencapai suatu tujuan (Suharso dan Retnoningsih, 2005 : 650) Intinya

adalah upaya sadar untuk mencari jalan terbaik atau perubahan menjadi

lebih baik untuk mencapai tujuan. Menurut kelompok Penyusun

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, “Usaha adalah

usaha, sebab atau usaha untuk mencapai suatu tujuan, memecahkan suatu

masalah, mencari jalan keluar, dan sebagainya.”

Menurut (Baskoro, 2005:902) usaha adalah usaha atau keadaan untuk

menyampaikan sesuatu atau tujuan (penyebab, usaha). Selain itu juga

(Torsina, 1987: 4) berpendapat bahwa Upaya adalah tindakan untuk

mencapai tujuan yang diinginkan dan usaha untuk mencapai

sesuatu. Poerwadarmin mengatakan bahwa upaya adalah usaha untuk

mengkomunikasikan tujuan, alasan dan aspirasi. Peter Salim dan Yeni

Salim mengatakan upaya adalah bagian yang perankan oleh seorang guru

atau menjadi tugas pokok bagi seorang guru (Salim & Salim 2011:1187).
Sedangkan menurut Polya Pemecahan masalah adalah upaya mencari

jalan keluar dari suatu kesulitan dan untuk mencapai tujuan yang tidak

dapat dicapai dengan cara, mengupayakan ialah mengusahakan,

mengikhtiarkan, melakukan berbagai cara untuk menggunaka akal (jalan

keluar) dan yang relevan.

Berdasarkan penjabaran di atas dapat ditarik sebuah intisari bahwa

upaya adalah suatu usaha yang di kerjakan dengan misi tertentu guna

semua problem yang ada dapat terselesaikan dengan tepat dan dapat

mencapai tujuan yang di inginkan ( Indrawati. 2014 : 19 ). Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia kata upaya dapat Dimaknai sebuah usaha, kerja

keras, untuk meraih maksud tertentu. (Anonim kamus Bahasa Indonesia.

2002 : 331).

Jadi, upaya dapat dipahami suatu kegiatan atau aktivitas yang

dilakukan seseorang untuk mencapai tujuan yang tealah direncanakan.

Upaya madrasah dalam menerapkan kedisiplinan siswa dapat

meningkatkan kedisplinan siswa yang melakukan pelanggaran. Untuk

menerapkan dan menanamkan sikap disiplin, tentu perlu adanya upaya

sikap tersebut tertanam dalam diri sseseorang.

1) Upaya Preventif

Preventif diartikan sebagai “usaha mencegah atau mengantisipasi

supaya tidak terjadi”. Pada tahapan ini pencegahan dapat dilakukan

sebelumterjadinya penyimpangan terhadap norma dan nilai. Contohnya


penahanan dalam penjara untuk sementara, selama menantikan

kepetusan hakim (KBBI, 2005 : 546).

2) Upaya Reprentif

Upaya refresif diartikan sebagai “menekan, mengekang,

menahan”. Pada tahap ini merupakan suatu tindakan yang dilakukan

setelah terjadi pelanggaran dengan maksud untuk memulihkan keadaan

agar dapat berjalan seperti semula dengan menjatuhkan atau memberi

sanksi. Usaha ini bersifat mengekang atau menahan dan berfungsi

untuk mengembalikan keserasian yang terganggu karena adanya

pelanggaran norma perilaku yang menyimpang (KBBI, 2005 : 505)

Madrasah memiliki peran yang sangat penting untuk

mendisiplinkan siswa. Oleh karena itu, ada beberapa upaya yang

dilakukan sebagai berikut :

a) Keteladan

Madrasah merupakan tempat yang di pimpin oleh kepala sekolah,

dan memiliki staff pengajar lainnya yang dilihat setiap harinya oleh

siswa (Hamka, 2012 :220). Orang-orang yang bisa menjadi teladan

adalah orang yang kata-katanya sesuai dengan perbuatannya.

b) Pengawasan

Aturan-aturan yang berjalan dan ditaati dengan baik jika disertai

dengan pengawasan yang terus menerus.

c) Ganjaran
Ganjaran adalah sebagai alat untuk mendidik anak-anak supaya

anak dapat merasa senang karena atas perbuatan atau pekerjannya

mendapat penghargaan (Ngalim, 2011 :182).


C. Guru PAI
1. Pengertian guru
Guru merupakan pendidik dan pengajar bagi anak sewaktu berada di

lingkungan sekolah, sosok guru diibaratkan seperti orang tua ke dua yang

mengajarkan berbagai macam hal yang baru dan sebagai fasilitator anak

supaya dapat belajar dan mengembangkan potensi dasar dan

kemampuannya secara optimal. Guru merupakan sosok yang rela

mencurahkan sebagian waktunya untuk mengajar dan mendidik siswa,

sementara penghargaan dari sisi material, misalnya, sangat jauh dari

harapan. Gaji seorang guru rasanya terlalu jauh untuk mencapai

kesejahteraan hidup layak sebagai profesi yang lainnya. Hal itulah,

tampaknya yang menjadi salah satu alasan mengapa guru disebut sebagai

pahlawan tanpa tanda jasa.1

Pengertian guru secara terbatas adalah sebagai satu sosok individu

yang berada di depan kelas, dan dalam arti luas adalah seseorang yang

mempunyai tugas tanggung jawab untuk mendidik peserta didik dalam

mengembangkan kepribadiannya, baik yang berlangsung di sekolah

maupun di luar sekolah.

Guru merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem

kependidikan, karena gurulah yang akan mengantarkan anak didik pada

tujuan yang telah ditentukan.2 Menurut Zakiyah Daradjat dan kawan

2
kawan dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam menguraikan bahwa guru

adalah:

“Guru adalah pendidik profesional, karenanya secara implisit ia

telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung

jawab pendidikan yang terpikul di pundak para orang tua. Mereka

ini, tatkala menyerahkan anknya ke sekolah, sekaligus berarti

pelimpahan sebagian tanggung jawab pendidikan anaknya kepada

guru. Hal itupun menunjukkan pula bahwa orang tua tidak mungkin

menyerahkan anaknya kepada sembarang guru/sekolah karena

tidak sembarang orang dapat menjabat guru.”4

Sedangkan dalam Undang-Undang RI NO. 14 Tahun 2005 tentang

Guru dan Dosen menegaskan bahwa :

Guru adalah “pendidik professional dengan tugas utama mendidik,

mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan

mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur

pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.

Kemudian menurut Al-Ghazali dalam Ihya‟ Ulumuddin,

sebagaimana dikutip Khoiron Rosyadi mengatakan bahwa :

Guru adalah seseorang yang berilmu dan kemudian bekerja dengan

ilmunya itu. Dialah yang bekerja di bidang pendidikan.

Sesungguhnya ia telah memilih pekerjaan yang terhormat dan yang


sangat penting, maka hendaknya ia memelihara adab sopan santun

dalam tugasnya ini.6

Melihat pendapat tentang pengertian guru di atas dapat

disimpulkan guru adalah orang yang bertanggung jawab dalam

membimbing, melatih, mengarahkan dan membentuk kepribadian

anak didiknya dalam perkembangan sikap jasmani maupun rohani,

agar mencapai kedewasaan maupun melaksanakan tugasnya sebagai

makhluk Allah SWT, dan sebagai pengganti orang tua dalam

mendidik anak-anaknya sewaktu di luar rumah (sekolah).

Dengan demikian seorang guru tidak hanya pandai mengajarkan

ilmu-ilmu pengetahuan saja, tetapi juga hrus membentuk watak dan

pribadi anak didiknya dengan akhlak dan ajaran islam. Guru merupakan

orang yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Oleh

karena itu guru harus mampu membawa siswa siswinya kepada tujuan

yang ingin dicapai, guru haru mempunyai sikap kewibawaan dan harus

mempunyai kepribadian. Disamping punya kepribadian yang sesuai

dengan ajaran islam, sebagi guru agam Islam lebih dituntut lagi untuk

mempunyai kepribadian guru. Karena guru seharusnya disegani dan

dicintai oleh murid-muridnya.


2. Pengertian Guru Pai
Guru pai adalah seseorang yang bertugas di sekolah untuk

mengajarkan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam sekaligus

membimbing anak didik ke arah pencapaian kedewasaan serta

terbentuknya kepribadian anak didik yang Islami. Sehingga dapat

mencapai keseimbangan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Menurut Zuhairini dkk Guru PAI adalah sebagai murabbi,

mu‟allim dan muaddib sekaligus. Pengertian murabbi

mengisyaratkan bahwa guru agama harus orang yang memiliki

rabbani yaitu orang yang bijaksana, terpelajar dalam bidang

pengetahuan tentang ar-Rabb. Selain itu memiliki sikap tanggung

jawab, dan penuh kasih sayang. Murabbi berperan sebagai orang

yang menumbuhkan, mengarahkan membimbing dan mengayomi.

Pendidik bertindak dengan prinsip ing ngarso tung tolodu, berada di

depan siswa untuk memberi contoh, ing madya mangun karso,

berada di tengah sambil bergaul dan memotivasi, dan tutwuri

handayani, yakni berada di belakang melakukan pengamatan dan

supervisi atas berbagai aktivitas belajar.

Mu‟allim mengandung konsekuensi bahwa mereka harus

alimun yakni menguasai ilmu teoritik, memiliki kreativitas,

komitmen tinggi dalam mengembangkan ilmu, serta sikap hidup

yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah dalam kehidupan.

Mu‟allim berperan sebagai pemberi pengajaran yang bertumpu pada


pengembangan aspek kognitif manusia, pengayaan, dan wawasan

yang diarahkan kepada mengubah sikap dan mindset (pola pikir),

menuju kepada perubahan perbuatan dan cara kerja.

Sedangkan muaddib pengertiannya mencakup integrasi antara

ilmu dan amal. Secara harfiah adalah orang yang memiliki akhlak

dan sopan santun, dan secara lebih luas muaddib adalah orang yang

terdidik dan berbudaya sehingga ia memiliki hak moral dan daya

dorong untuk memperbaiki masyarakat. Ia berperan agar dapat

membina kader-kader pemimpin masa depan bangsa yang bermoral.

Mereka menampilkan citra diri yang ideal, contoh, dan teladan baik

bagi para muridnya.

Berdasarkan pengertian di atas jelaslah bahwa peran guru PAI

amat sangat besar, yang tidak saja melibatkan kemampuan kognitif

tetapi juga kemampuan afektif dan psikomotorik. Seorang guru PAI

dituntut mampu memainkan peranannya dalam menjalankan tugas

keguruan. Dalam hal pendidikan agama Islam, tujuan utama

pendidikan untuk menciptakan generasi mukmin yang

berkepribadian ulul albab dan insan kamil. Guru PAI tidak cukup

hanya mentrasfer pengetahuan agama kepada anak didiknya

(transfer of knowledge). Akan tetapi, guru juga harus mampu

membimbing, merencanakan, memimpin, mengasuh, dan menjadi

konsultan keagamaan siswanya (transfer of velue).


D. Perilaku Keagamaan

Secara etimologi perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap

rangsangan atau lingkungan. Sedangkan kata keagamaan berasal dari kata dasar

agama yang berarti sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran

kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Dengan

demikian perilaku keagamaan berarti segala tindakan itu perbuatan atau ucapan

yang dilakukan seseorang sedangkan perbuatan atau tindakan serta ucapan tadi

akan terkaitannya dengan agama, semuanya dilakukan karena adanya

kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran, kebaktian dan kewajiban-kewajiban

yang bertalian dengan kepercayaan.

Dalam psikologi dijelaskan bahwa behavior come with the transition for external

to internal authority and consists of conduct regulated from within. Artinya

perilaku muncul bersama dengan peralihan kekuasaan eksternal ke internal dan

terdiri atas tingkah laku yang diatur dari dalam, yang disertai perasaan tanggung

jawab pribadi untuk tindakan masing-masing. Menurut (Subyanto) perilaku

keagamaan adalah “segala bentuk amal perbuatan, ucapan, pikiran, dan

keikhlasan seseorang sebagai bentuk ibadah.

Pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan

berakhlak mulia. Peningkatan potensi spiritual yang dimaksud adalah mencakup

pengalaman, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta


pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual maupun kolektif

kemasyarakatan. Peningkatan potensi tersebut pada akhirnya bertujuan pada

optimalisasi sebagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya

mencerminkan harkat dan martabat sebagai makhluk tuhan yang berakhlak

mulia.

Dengan demikian dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan

bahwa perilaku keagamaan adalah segala aktifitas atau aspek perilaku yang

didasarkan pada nilai-nilai keagamaan, baik dari dimensi vertikal yakni

hubungan antara manusia dengan tuhannya ataupun dimensi horisontal yakni

hubungan antara manusia dengan sesama manusia dan lingkungan.

Pembinaan prilaku keagamaan

Pembinaan merupakan penataan kembali hal-hal yang pernah dipelajari untuk

membangun dan memantapkan diri dalam rangka menjadi lebih baik. Perilaku

keagamaan dalam kamus besar bahasa Indonesia, antara katalaku, perilaku, dan

tingkah laku ketiganya mempunyai pengertian yang sama.

Karena itu, dalam hal ini penulis cenderung menyamakan pengertian antara

ketiganya. Sehingga perilaku atau tingkah laku disini mempunyai pengertian

yaitu, perilaku atau tingkah laku yaitu perbuatan, gerak gerik, tindakan, cara

menjalankan atau berbuat. Sedangkan Mahfudz Shalahuddin secara luas

mengartikan perilaku atau tingkah laku adalah kegiatan yang tidak hanya

mencakup hal-hal motorik saja, seperti berbicara, berjalan, berlari-lari, berolah

raga, bergerak, dan lain-lain, akan tetapi juga membahas macam-macam fungsi
seperti melihat, mendengar, mengingat, berfkir, fantasi pengenalan kembali

emosi-emos i dalam bentuk tangis atausenyum dan seterusnya.

Sementara keagamaan itu sendiri berasal dari kata agama (Aldiin, religi Menurut

Harun Nasution yang dikutip oleh Salaluddin pengertian agama berdasarkan asal

kata yaitu ad-din, religi (relegere, religare), dan agama. ad-din (semit) berarti

undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa arab, kata ini mengandung

arti menguasai, menundukan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Sedangkan dari

kata religi (latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian

religare berarti mengikat. Adapun kata agama terdiri dari kata a = tidak gam =

pergi mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau di warisi turun temurun.

1 . Faktor-Faktor prilaku keagamaan

Terjadinya kenakalan prilaku keagamaan biasanya disebabkan oleh faktor

internal (faktor yang berasal dari anak itu sendiri) dan faktor eksternal (faktor

yang berasal dari luar).

a. Faktor Internal

Krisis identitas: Perubahan biologis dan sosiologis pada diri anak yang

memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan

akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Hal

ini terjadi karena anak gagal mencapai masa integrasi kedua.

Kontrol diri yang lemah: anak yang tidak bisa mempelajari dan membedakan

tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret

pada perilaku ‘nakal’. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan
dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk

bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya.

b. Faktor Eksternal

1. Lingkungan keluarga

Anak yang kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tua, rumah tangga

yang broken home dan adanya kematian salah satu dari orang tua anak sehingga

menjadi timbulnya faktor prilaku keagamaan pada anak.

Pegaruh dari lingkungan sekitar. Bergaul dengan teman sebaya yang kurang baik

dapat mempengaruhi perilaku dan watak anak ke dalam hal yang negatif.

Tempat pendidikan: anak yang sering terjadi di sekolah, sering membolos pada

saat jam pelajaran, sering melanggar peraturan sekolah.

Upaya Meningkatkan Disiplin Siswa

Menurut Gunarso bahwa upaya dapat dilakukan untuk mencegah atau

menanggulangi pelanggaran pelanggaran tata tertib yakni melalui tahapan

Preventif dan Reprentif (Kulsum, 2012 : 15).

E. Proses Pembentukan Perilaku keagamaan

Hidup beragam adalah suatu sifat yang asli pada manusia dan itu

adalah nalirah, gazilah, fitrah, kecenderungan yang telah menjadi pembawaan

dan bukan sesuatu yang dibuat-buat atau keinginan yang datang kemudian,

lantaran pengaruhnya dari luar.


Seperti halnya dengan keinginan makan, minum, memiliki harta

benda, berkuasa dan bergaul sesama manusia. Dengan demikian, maka manusia

itu pada dasarnya adalah makhluk yang religius yang sangat cenderung kepada

hidup beragama, itu adalah panggilan hati nuraninya. Sebab itu andai kata Tuhan

tidak mengutus para Rosul-rosul-Nya untuk menyampaikan agama-Nya kepada

manusia maka mereka akan berikhtiar sendiri mencari agama itu, seperti ia

berikhtiar untuk mencari makan dan minum saat ia lapar, dan sejarah manusia

telah membuktikan bahwa mereka telah berikhtiar sendiri telah dapat

menciptakan agama yang disebut agama arddhiyah.

Perkembangan perilaku keagamaan pada anak terjadi melalui pengalaman

sejak kecil, dalam keluarga, sekolah, dan dalam masyarakat. Semakin banyak

pengalaman yang bersifat agama (sesuai ajaran agama) akan semakin banyak

unsur agama, maka sikap, tindakan, kelakuan, dan caranya menghadapi hidup

sesuai dengan ajaran agama Perlakuan orang tua terhadap anak tertentu dan

terhadap semua anaknya sangat berpengaruh pada anak-anaknya sendiri,

perlakuan keras akan berakibat lain daripada perlakuan yang lemah lembut

dalam pribadi anak.

Hubungan yang serasi dan penuh kasih sayang dan pengertian akan

membawa pribadi yang tenang, terbuka dan mudah dididik dan diarahkan karena

ia mendapat kesempatan yang cukup dan baik untuk tumbuh dan berkembang

dalam fikirannya, dan sebaliknya hubungan orang tua yang tidak serasi akan

membawa anak pad pertumbuhan pribadi yang sukar dan tidak mudah dibentuk
dan diarahkan, karna ia tidak mendapat suasana yang baik untuk berkembang

dalam berfikir.

Selain di atas banyak sekali faktor-faktor tidak langsung dalam keluarga

yang mempengaruhi terbentuknya perilaku keagamaan anak. Di samping itu

tentunya nilai pendidikan yang mengarah kepada perilaku keagamaan baginya,

yaitu pembinaan-pembinaan tertentu yang dilakukan orang tua terhadap anak,

baik melalui latihan-latihan, perbuatan sehari-hari, misalnya seperti makan,

minum, mandi, tidur, berpakaian dan lain sebagainya.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Pendekatan yang peneliti menggunakan pendekatan kualitatif.

Maksud dari penelitian kualitatif adalah “tradisi tertentu dalam ilmu

pengetahuan sosial yang secara fudamental bergantung pada pengamatan

terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan

orang-orang tersebut. Dan dengan penelitian kualitatif ini akan

menghasilkan data deskriptif.

Jenis penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan

metode deskriptif. Penelitian kualitatif merupakan cara meneliti yang dapat

menghasilkan data deskriptif atau gambaran lengkap seperti kata tertulis

atau lisan dari narasumber atau perilaku yang dapat diamati

(Sugiyono,2011). Metode penelitian kualitatif adalah penelitian yang

digunakan untuk meneliti pada kondisi yang alamiah dan lebih

menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap

permasalahan.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di MTS Al Hikmah Kab.

Landak, Kalimantan Barat. Kegiatan ini dilakukan pada tahun ajaran

2022/2023. Alasan mengambil tempat penelitian ini karena peneliti ingin

mendeskripsikan bagaimana upaya madrasah dalam meningkatkan

kedisiplinan siswa. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan

manfaat bagi sekolah, guru maupun siswa dengan baik

C. Sumber data

Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data dapat

diperoleh. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, data diartikan sebagai

kenyataan yang ada yang berfungsi sebagai bahan sumber untuk menyusun

suatu pendapat, keterangan yang benar, dan keterangan atau bahan yang

dipakai untuk penalaran dan penyelidikan. Yang dimaksud dengan sumber

data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Dalam

penelitian ini, peneliti akan menggunakan dua sumber data yaitu:

a. Data Primer

Data primer adalah data yang berasal dari sumber asal. Artinya data

primer ini harus melakukan tahapan yaitu mencari narasumber untuk

dijadikan sarana mendapatkan data. Data primer dalam penelitian ini

adalah guru, peserta didik dan pihak terkait permasalahan peserta didik

(dalam artikel Nuning Indah Pratiwi, 2017).


b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu sumber data yang tidak langsung memberikan data

kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat

dokumen. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder

adalah sesuai dengan UndangUndang Ketenagakerjaan, buku, jurnal,

artikel yang berkaitan dengan topik penelitian mengenai sistem

pengendalian internal atas sistem dan prosedur penggajian dalam usaha

mendukung efisiensi biaya tenaga kerja (Sugiyono, 2018:456).

D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan/ pengambilan data kualitatif pada dasarnya

bersifat tentatif karena penggunaannya ditentukan oleh konteks

permasalahan dan gambaran data yang mau diperoleh. Dalam melakukan

sebuah penelitian biasnya menggunakan alat untuk memperoleh dan

mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitiannya. Alat

pengumpulan data merupakan alat bantu yang dipilih dan digunakan

peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data sehingga kegiatan tersebut

menjadi sistematis dan dipermudah olehnya (Arikunto, 2013: 134).


Oleh karena itu alat dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Hal

ini dikarenakan peneliti dapat melihat masalah yang terjadi dilapangan

secara langsung. Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, peneliti

menggunakan 3 teknik yaitu: (1) pengumpulan data dengan observasi, (2)

pengumpulan data dengan wawancara (3) pengumpulan data dengan

dokumentasi.

1) Observasi

Observasi adalah alat pengumpulan data yang dilakukan oleh

peneliti dengan cara mencatat seta mengamati lingkungan yang sedang

diselidiki. Peneliti menggunakan observasi tak berstruktur karena fokus

penelitian pada saat observasi bisa berkembang selama kegiatan

observasi. Creswell (2015:422) "Observasi merupakan proses

pengumpulan informasi open-ended (terbuka) tangan pertama dengan

mengobservasi/mengamati orang dan tempat disuatu lokasi penelitian".

Alat yang digunakan dalam melakukan observasi adalah buku catatan

kecil

2) Wawancara

Teknik wawancara adalah teknik pengumpulan data melalui

pengajuan sejumlah pertanyaan secara lisan kepada subjek yang

diwawancarai. Teknik wawancara dapat pula diartikan sebagai cara

yang dipergunakan untuk mendapatkan data dengan bertanya langsung

secara bertatap muka dengan responden atau informan yang menjadi


subjek penelitian. Menurut Yusuf (2014:372) Wawancara adalah suatu

kejadian atau proses interaksi antara pewawancara dan sumber

informasi atau orang yang diwawancarai melalui komunikasi secara

langsung atau bertanya secara langsung mengenai suatu objek yang

diteliti. Wawancara yang dipilih oleh peneliti adalah wawancara bebas

terpimpin.

3) Dokumentasi

Menurut Sugiyono (2017:82) "dokumentasi merupakan catatan

peristiwa yang sudah berlalu". Dokumentasi melihat arsip, gambar dan

catatan- catatan kecil yang diperoleh dalam proses penelitian. Teknik

dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data penelitian melalui

sejumlah dokumen (informasi yang didokumentasikan) berupa

dokumen tertulis maupun dokumen terekam. Dokumen tertulis dapat

berupa arsip, catatan harian, autobiografi, memorial, kumpulan surat

pribadi, kliping, dan 38 sebagainya. Sementara dokumen terekam dapat

berupa film, kaset rekaman, mikrofilm, foto dan sebagainya (Sugiyono,

2017:82).

E. Teknik Instrumen Data

Analisis data kualitatif menurut Miles dan Huberman (dalam

Sugiyono, 2019: 321) menyebutkan bahwa aktivitas dalam analisis data

kualitatif dapat dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus

menerut sampai tuntas, sehingga datanya sudah terpenuhi. Terdapat tiga


alur kegiatan dalam menganalisis data menurut Miles dan Huberman,

yaitu:

a. Reduksi Data

Reduksi data adalah proses merangkum, memilih hal-

hal yang pokok, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,

memfokuskan pada hal yang paling penting, serta mencari tema

dan polanya. Dengan demikian, data yang sudah direduksi akan

memberikan gambaran yang pasti.

b. Display Data

(Penyajian Data) Dilakukannya penyajian data adalah

untuk mempermudah dalam melihat gambaran dalam

penelitian, baik secara menyeluruh maupun bagian-baguan

tertentu. Penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk gambar,

bagan atau narasi. Dengan mendisplay data, maka akan

mempermudahkan dalam memahami apa yang terjadi,

merencanakan kerja berikutnya yang berdasar pada apa yang

telah dipahami yang berdasar pada apa yang telah dipahami.

c. Verifikasi

Langkah selanjutnya dalam analisis data kualitatif

adalah verifikasi dan penarikan kesimpulan. Kesimpulan awal

yang dikemukakan masih bersifat sementara dan dapat berubah

apabila tidak dapat ditemukan bukti-bukti yang kuat yang


mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Namun,

jika kesimpulan yang dikemukan pada tahap awal didukung

oleh bukti-bukti yang valid, maka kesimpulan yang

dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Setelah data penelitian dikumpulkan, maka dilakukan pengujian

keabsahan data untuk mengukur apakah data dan proses pencariannya

sudah benar. Adapun unsur-unsur yang dinilai adalah lama penelitian,

41 proses observasi yang berlangsung, serta proses pelagaan data yang

kita peroleh dari berbagai informan penelitian yang kita sebut dengan

triangulasi data. Sugiyono (2011: 361) keabsahan data adalah ketetapan

antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang

dilaporkan oleh peneliti. Hal ini dikarenakan, seharusnya data yang

valid adalah data yang tidak berbeda dengan data yang dilaporkan oleh

peneliti.

Menurut Sugiyono (2015:83) Triangulasi diartikan sebagai teknik

pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik

pengumpulan data dan sumber yang telah ada. Dalam penelitian ini

keabsahan data yang digunakan adalah triangulasi yang biasa dikenal

dengan istilah cek dan ricek yaitu pengecekan data menggunakan

beragam sumber, teknik, dan waktu. Beragam sumber maksudnya


digunakan lebih dari satu sumber untuk memastikan apakah datanya

benar atau tidak.


DAFTAR PUSTAKA

Kompri. 2017. MANAJEMEN PENDIDIKAN.Yogyakarta Ar –Ruzz Media

Djabidi Faisal. 2016. Manajemen Pengelolaan Kelas. Malang : Madani

Slamet Imam Santoso.1987. Pendidikan di Indonesia Dari Masa Ke Masa. Jakarta : CV

Masagung

Nawawi Hadari, 1999. Ilmu Pendidikan Islam. Surabaya : Al – Ikhlas

H.Endang Komara. 2019. Disiplin Menurut Islam, (Online),

(http://endangkomarasblog.blogspot.com/2009/03/disiplin-menurut-islam-oleh-

h-endang.html, di akses 29 Januari 2023)

Hadiyanti, L.S. (2017). Pengaruh Pelaksanaan Tata Tertib Madrasah Terhadap

Kedisiplinan Belajar Siswa (Penelitian Deskriptif Analisis di SDN Sukakarya II

Kecamatan Semarang kabupaten garut). Jurnal pendidikan UNIGA, 2 (1), 1-8).

Agustya Intansari. 2015. Peningkatan Budaya Disiplin Siswa Di Sekolah Dasar Negeri

Selotapak No.424 Trawas Mojokerto.Malang : UIN Maulana Malik Ibrahim

H. Syahbullah Gade. 2019. Membumikan Akhlak Mulia Anak Usa Dini. Aceh : PT

NASKAH ACEH NUSANTARA

Tu’u. T (2004). Peran disiplin pada perilaku dan prestasi siswa. Grasindo
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: BALAI PUSTAKA 2002

Thomas Lickona. 2012. Character Matters Persoalan Karakter, Jakarta:PT

Bumi Aksara, 2012


Sri Minarti. 2016. Manajemen Sekolah Mengelola Lembaga Pendidikan secara

Mandiri. Jojakarta: AR-RUZZ MEDIA

Novyan Ardi Wiyani. 2013. Manajemen Kelas Teori dan Aplikasi Untuk

Menciptakan Kelas Yang Kondusif. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Ali Imron. 2012. Manajemen Peserta Didik Berbasis Sekolah. Jakarta: PT

Bumi Aksara

SyilviaRimm. 2003. Mendidik dan Menerapkan Disiplin Pada Anak

Prasekolah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Mulyadi Seto. 2006. Membantu Anak Balita Mengelola Amarahnya, Jakarta:

Erlangga

Anda mungkin juga menyukai