Anda di halaman 1dari 51

BAB 2

HASIL PEMBANGUNAN DALAM


PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG
PERTAMA
BAB 2

HASIL PEMBANGUNAN DALAM


PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG
PERTAMA

I. PENDAHULUAN

Sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 sampai dengan


tahun 1965, bangsa Indonesia mengalami gelombang pertentangan
politik dan rentetan pergolakan yang terus-menerus sehingga usaha
memperbaiki kehidupan sosial ekonomi belum tertangani dengan
baik. Hal itu telah mengakibatkan keadaan ekonomi mengalami
kemerosotan yang sangat memberatkan dan menyebabkan
penderitaan rakyat banyak.

Mulai tahun 1966, Orde Baru dengan perjuangan yang


sungguh-sungguh telah berhasil menciptakan stabilitas nasional,
baik di bidang ekonomi, politik maupun di bidang keamanan, dan
telah melakukan serangkaian pembangunan nasional secara terus-
menerus, terarah dan terpadu, bertahap dan berencana, serta
konstitusional.

79
Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun Pertama (PJP I),
yang telah dimulai sejak tahun 1969, dilaksanakan dalam rangkaian
pembangunan jangka lima tahun, yaitu mulai dari Rencana
Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I) sampai Repelita V.
Pembangunan dalam setiap repelita dilaksanakan berlandaskan
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang ditetapkan
Majelis Permusyawaratan Rakyat setiap lima tahun, sesuai dengan
amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan,
"Oleh karena Majelis Permusyawaratan Rakyat memegang
kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas, mengingat
dinamika masyarakat, sekali dalam 5 tahun Majelis memperhatikan
segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu dan
menentukan haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk
kemudian hari. " Setiap repelita pada dasarnya bertujuan untuk
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat serta
meletakkan landasan yang kuat bagi pembangunan tahap
berikutnya.

Sasaran utama PJP I adalah terciptanya landasan yang kuat


bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas
kekuatan sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila. Dalam pelaksanaannya, titik berat
pembangunan diletakkan pada bidang ekonomi dengan sasaran
utama untuk mencapai keseimbangan antara bidang pertanian dan
bidang industri, serta terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat.

Tujuan, sasaran, dan titik berat pembangunan tersebut di atas


telah mempertegas pengertian bahwa sebagian besar usaha
pembangunan dalam PJP I diarahkan kepada pembangunan
ekonomi. Sementara itu, pembangunan di luar bidang ekonomi
dilaksanakan secara seirama dan serasi dengan kemajuan yang
dicapai dalam bidang ekonomi.

Untuk mencapai sasaran utama PJP I, serta sejalan dengan


titik berat pembangunan dalam PJP I, telah ditetapkan sasaran tiap-
tiap bidang pembangunan. Sasaran tersebut pada pokoknya adalah
sebagai berikut.

80
(1) Bidang ekonomi: terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dan
tercapainya struktur ekonomi yang seimbang, yaitu
kemampuan dan kekuatan industri yang maju didukung oleh
kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh. Struktur
ekonomi yang seimbang ini akan dicapai secara bertahap
melalui Repelita I sampai Repelita V.

(2) Bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha


Esa dan sosial-budaya: terciptanya kehidupan manusia dan
masyarakat Indonesia yang selaras baik dalam hubungannya
dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama maupun
dengan alam sekitarnya serta memiliki kemantapan
keseimbangan dalam kehidupan lahiriah dan batiniah serta
mempunyai jiwa yang dinamis dan semangat gotong royong
yang berkembang sehingga sanggup serta mampu melanjutkan
perjuangan bangsa dalam mencapai tujuan nasional dengan
memanfaatkan landasan ekonomi yang seimbang.

(3) Bidang politik dalam negeri: mantapnya kesadaran kehidupan


politik dan kenegaraan berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 bagi setiap warga negara sehingga dapat
terjamin kelancaran usaha mencapai tujuan nasional,
sedangkan pelaksanaan politik luar negeri yang bebas aktif
diusahakan agar Indonesia dapat terus meningkatkan
peranannya dalam memberikan sumbangannya untuk turut
serta menciptakan perdamaian dunia yang abadi, adil, dan
sejahtera.

(4) Bidang pertahanan keamanan: terciptanya sistem pertahanan


keamanan rakyat semesta yang mampu menyukseskan dan
mengamankan perjuangan nasional pada umumnya,
pembangunan nasional pada khususnya, dari setiap ancaman
baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

81
Pembangunan jangka panjang tahap pertama ini
berakhir pada tahun 1993/94 dengan hasil yang secara garis
besar akan diuraikan pada bagian-bagian selanjutnya.

Selama 25 tahun pelaksanaan pembangunan dalam PJP


I, pembangunan telah dilaksanakan secara terus-menerus,
makin meningkat, meluas, mendalam, dan makin merata
dalam kerangka Trilogi Pembangunan, yaitu perpaduan
untuk mewujudkan pemerataan, mendorong pertumbuhan
ekonomi, dan menciptakan stabilitas nasional yang dinamis.
Pembangunan dalam PJP I telah berhasil mengatasi berbagai
masalah mendasar dan telah memberikan hasil yang berupa
peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan serta
membangun landasan yang kuat bagi tahap pembangunan
berikutnya. Pembangunan dalam PJP I telah berhasil
menciptakan kestabilan ekonomi yang mantap dan
mengembangkan lembaga ekonomi yang mampu mendukung
pembangunan sehingga tercipta landasan yang kuat bagi
bangsa Indonesia untuk memasuki proses tinggal landas
dalam PJP II.

II. PEMBANGUNAN DI BIDANG EKONOMI

Pembangunan selama 25 tahun di bidang ekonomi telah


dengan pesat mengubah struktur ekonomi Indonesia dari
ekonomi terpimpin menjadi ekonomi yang terbuka dan
dengan demikian dengan berbagai prinsip ekonomi yang
mendasar yang telah diterapkan seperti prinsip anggaran
berimbang dan dinamis, sistem devisa bebas, mendorong
penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri,
serta kebijaksanaan ekonomi makro yang berhati-hati telah
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan yang memungkinkan upaya pemerataan.
Struktur ekonomi juga telah berkembang dari ekonomi
82
agraris tradisional menjadi ekonomi yang lebih maju, dengan
struktur yang lebih kukuh, yaitu ekonomi yang didukung
oleh industri yang makin kuat dan pertanian yang makin
tangguh sehingga kebutuhan pokok rakyat telah makin
terpenuhi secara makin merata.
1. Pertumbuhan Ekonomi

Selama 25 tahun pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai


rata-rata 6,8 persen per tahun. Pertumbuhan ekonomi ini telah
diiringi dengan keberhasilan untuk menurunkan laju pertumbuhan
penduduk sehingga secara rata-rata taraf kehidupan rakyat
Indonesia terus meningkat. Pendapatan per kapita yang pada tahun
1969 baru mencapai US$70 telah meningkat menjadi sekitar
US$700 menjelang akhir PJP I.

Pertumbuhan ekonomi secara nasional juga didukung dengan


peningkatan produk domestik regional bruto (PDRB) yang cukup
tinggi di seluruh propinsi. Peningkatan tiap propinsi bervariasi dari
yang terendah sebesar 13 kali dan yang tertinggi sebesar 26 kali
dari tahun 1975 sampai tahun 1990, dan secara rata-rata PDRB
meningkat sebesar 17 kali. Perlu pula dicatat bahwa peningkatan
yang tertinggi justru terjadi di propinsi yang bukan berada di Pulau
Jawa, yaitu Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Riau.

2. Penanggulangan Kemiskinan

Laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat tersebut juga


disertai penyebaran manfaatnya. Hal ini ditunjukkan antara lain
dengan penurunan secara tajam jumlah penduduk miskin. Pada
tahun 1970, jumlah penduduk Indonesia yang tergolong miskin
masih sekitar 70 juta orang atau 60 persen dari seluruh penduduk.
Pada tahun 1976 telah turun menjadi 54,2 juta atau sekitar 40,1
persen, dan pada tahun 1990, jumlah penduduk miskin telah
menurun lagi menjadi 27,2 juta orang atau sekitar 15 persen dari
seluruh penduduk.

3. Pengendalian Laju Inflasi

Laju inflasi yang sebelumnya merupakan masalah besar telah


mampu dikendalikan sehingga tercipta stabilitas ekonomi yang

83
mantap. Laju inflasi yang pada tahun 1966 mencapai 650
persen, pada tahun 1970-an telah dapat diturunkan menjadi
rata-rata 17,2 persen per tahun. Pada tahun 1980-an laju
inflasi ini telah jauh menurun menjadi rata-rata 8,7 persen per
tahun. Pada tahun 1990 dan 1991, laju inflasi agak naik, yaitu
rata-rata 9,5 persen per tahun karena memanasnya
perekonomian Indonesia sebagai akibat peningkatan kegiatan
investasi yang luar biasa pada tahun-tahun tersebut. Namun,
melalui berbagai kebijaksanaan, tingkat inflasi telah dapat
dikendalikan di bawah 5 persen pada tahun 1992. Pada tahun
1993 laju inflasi tetap dipertahankan pada tingkat satu angka.

4. Struktur Ekonomi Nasional

Pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh stabilitas


ekonomi yang mantap juga telah diiringi dengan pergeseran
pada struktur ekonomi Indonesia ke arah yang makin kukuh
dan seimbang. Peranan sektor industri dalam produksi
nasional terus meningkat, dan sejak tahun 1991 sumbangan
sektor industri sudah melampaui sumbangan sektor pertanian,
yaitu dengan perbandingan 20,8 persen dan 19,6 persen.
Ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap minyak
bumi dan gas juga makin berkurang. Apabila pada tahun 1981
sumbangan sektor migas dalam produksi nasional mencapai 24
persen, pada tahun 1992 sumbangan sektor migas telah turun
menjadi 13 persen. Struktur perolehan devisa Indonesia juga
makin kukuh dengan makin berkurangnya ketergantungan
pada minyak bumi dan gas.

5. Struktur Penerimaan Dalam Negeri dan Peran


Sumber Pembiayaan Dalam Negeri

Penerimaan dalam negeri pemerintah dari tahun ke tahun


mengalami peningkatan yang pesat diikuti dengan perubahan
struktur yang makin kukuh. Penerimaan dalam negeri
84
pemerintah yang hanya berjumlah Rp149,7 miliar dalam
tahun 1968 diperkirakan mencapai Rp52,8 triliun dalam tahun
1993/94 dengan peranan penerimaan nonmigas mencakup
71,3 persen, yang
meningkat dari 29,4 persen pada tahun 1981/82. Peningkatan
penerimaan nonmigas tersebut terutama berasal dari penerimaan
pajak, khususnya pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai.

Peningkatan penerimaan dalam negeri bahkan lebih cepat


dibandingkan dengan peningkatan penerimaan pembangunan atau
bantuan luar negeri. Dalam tahun 1968, seluruh dana
pembangunan masih berasal dari bantuan luar negeri. Dalam tahun
1993/94 peranan bantuan luar negeri diperkirakan hanya 15,3
persen dari total penerimaan, yang sebagian besar dalam bentuk
bantuan bersyarat lunak. Kemampuan pemerintah yang makin
meningkat itu memungkinkan ditingkatkannya kesejahteraan
pegawai secara terus menerus, baik dalam bentuk gaji maupun
dalam bentuk lainnya seperti pelayanan kesehatan.

Meskipun pengeluaran rutin terus meningkat, tabungan


pemerintah juga terus meningkat, dari Rp 27,2 miliar dalam tahun
1969/70 diperkirakan menjadi Rp 15,7 triliun pada tahun 1993/94.
Dengan meningkatnya tabungan pemerintah, dana pembangunan
meningkat pula dengan pesat dari Rp 57,9 miliar pada tahun 1968
diperkirakan menjadi Rp 25,2 triliun dalam tahun 1993/94. Dilihat
dari sumber pembiayaannya, sumbangan tabungan pemerintah
dalam dana pembangunan meningkat dari tidak ada sama sekali
pada tahun 1968 diperkirakan menjadi 62,1 persen pada tahun
1993/94 yang menunjukkan meningkatnya kemandirian dalam
pembiayaan pembangunan.

6. Lembaga Keuangan

Bidang keuangan dan moneter selama 25 tahun, khususnya


selama dasawarsa terakhir, telah mengalami banyak kemajuan.
Kemampuan sektor keuangan untuk menghimpun dan menyalurkan
dana masyarakat sangat meningkat. Jumlah dana yang berhasil
dihimpun melalui perbankan meningkat dari hanya Rp 76,6 miliar
pada tahun 1968 menjadi Rp 141,9 triliun pada tahun 1993. Upaya
penghimpunan dana masyarakat untuk pembangunan ini terutama

85
sangat pesat perkembangannya sejak kebijaksanaan deregulasi
pada tahun 1983, yang telah memberi peluang lebih besar
bagi bank untuk menentukan tingkat suku bunga deposito
yang menarik. Pengerahan dana masyarakat oleh perbankan
meningkat lebih pesat lagi setelah deregulasi bulan Oktober
1988, yang mempermudah dibukanya bank baru dan kantor
cabang sehingga jangkauan jaringan bank makin luas. Sejalan
dengan perkembangan tersebut, penyaluran dana melalui kredit
perbankan juga meningkat pesat. Jumlah kredit yang
disalurkan telah sangat meningkat dari sebesar Rp 126 miliar
dalam tahun 1968 menjadi Rp 148, 3 triliun dalam tahun
1993. Jumlah ini telah termasuk kredit yang diperuntukkan
bagi usaha golongan ekonomi lemah atau pengusaha kecil
melalui berbagai macam kredit dalam rangka meningkatkan
usahanya. Kredit yang telah disalurkan untuk pengusaha
golongan ekonomi lemah hingga pertengahan tahun 1993
mencapai sekitar 27 persen dari total kredit perbankan.

Perkembangan pesat juga terjadi pada lembaga keuangan


di luar perbankan, yang mencakup usaha perasuransian,
lembaga pembiayaan, lembaga keuangan bukan bank dan
dana pensiun. Selain itu, pasar modal yang sudah mulai
dirintis pada tahun 1972 dengan berdirinya Badan Pembina
Pasar Uang dan Modal, yang selanjutnya diikuti dengan
berbagai deregulasi sampai dialihkannya penyelenggaraan
bursa efek Jakarta kepada badan swasta pada tahun 1993,
telah mendorong peningkatan investasi saham dan obligasi di
pasar modal. Pada tahun 1993 investasi saham dan obligasi
telah mencapai Rp74,9 triliun.

7. Neraca Pembayaran Internasional

Selama 25 tahun pembangunan, sektor perdagangan luar


negeri Indonesia meningkat pesat. Nilai keseluruhan ekspor
meningkat menjadi sekitar 43 kali, yaitu dari US$872 juta
86
pada tahun 1968 diperkirakan menjadi US$37,2 miliar pada
tahun 1993/94. Peningkatan pesat ini terutama berasal dari
ekspor nonmigas yang terjadi terutama sejak pertengahan
tahun 1980-an
setelah langkah deregulasi di berbagai bidang menunjukkan
dampaknya. Nilai ekspor nonmigas menjadi makin penting dan
meningkat menjadi sekitar 50 kali, yakni dari US$569 juta pada
tahun 1968 diperkirakan menjadi US$28,2 miliar pada tahun
1993/94, dan peranannya mencapai 75,8 persen dari nilai seluruh
ekspor. Peningkatan nilai ekspor yang pesat ini diikuti pula dengan
perubahan komposisi barang dan pasar ekspor yang lebih luas.

Seiring dengan perkembangan ekonomi di dalam negeri,


perdagangan impor juga mengalami peningkatan. Secara
keseluruhan nilai impor meningkat menjadi sekitar 35 kali, yaitu
dari US$831 juta pada tahun 1968 diperkirakan menjadi US$29,2
miliar pada tahun 1993/94. Impor dari bahan baku dan penolong
serta barang modal yang dibutuhkan, terutama oleh sektor industri,
peranannya makin penting dalam komposisi impor.

Di bidang jasa, penerimaan devisa dari pariwisata mengalami


peningkatan yang sangat tinggi. Dalam tahun 1968 penerimaan
devisa dari pariwisata masih sangat kecil, tetapi sejak dasawarsa
1980-an peningkatannya sangat pesat sehingga diperkirakan
mencapai US$3,8 miliar pada tahun 1993/94.

Sebagai negara berkembang yang membutuhkan dana


pembangunan yang besar, transaksi berjalan Indonesia selama PJP
I secara umum menunjukkan defisit kecuali pada tahun 1979/80
dan tahun 1980/81, pada waktu terjadi kenaikan harga minyak
bumi dan harga ekspor komoditas lainnya. Namun, defisit transaksi
berjalan selalu dapat terkendali dalam batas yang aman.

Dalam PJP I pinjaman luar negeri pemerintah meningkat dari


US$266 juta pada tahun 1968 diperkirakan menjadi US$5,9 miliar
pada tahun 1993/94. Sebagian besar pinjaman tersebut tetap dalam
bentuk bantuan bersyarat lunak. Pemasukan modal (neto) swasta
meningkat dari US$65 juta pada tahun 1968 diperkirakan menjadi
US$6,7 miliar pada tahun 1993/94, dan penanaman modal asing
(neto) meningkat dari US$10 juta pada tahun 1968 diperkirakan
menjadi US$2,0 miliar pada tahun 1993/94.
87
Cadangan devisa selama PJP I berhasil dipelihara pada tingkat
yang memadai untuk menciptakan iklim yang aman bagi kebutuhan
transaksi luar negeri dan kebutuhan pembangunan nasional. Jumlah
cadangan devisa pada tahun 1993/94 diperkirakan cukup untuk
membiayai impor (c. & f.) selama 5,5 bulan.

8. Pertanian, Industri, dan Pertambangan

Dalam PJP I, pembangunan pertanian mendapat prioritas utama


dalam pembangunan bidang ekonomi, sasaran pokoknya adalah
swasembada beras. Swasembada beras dapat dicapai pada tahun
1984, dan dapat dipertahankan sampai sekarang. Keberhasilan ini
telah mengubah posisi Indonesia dari negara pengimpor beras
terbesar di dunia dalam tahun 1970-an menjadi negara yang
berswasembada. Swasembada beras terwujud dengan berbagai
kebijaksanaan yang terpadu sehingga laju peningkatan produksi padi
melebihi laju, pertumbuhan penduduk.

Sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992 berbagai hasil


pertanian penting juga mengalami peningkatan produksi.
Kesemuanya telah membuat meningkatnya pendapatan petani, dan
berperan besar dalam menurunkan kemiskinan. Peningkatan
produksi pertanian dapat terwujud antara lain karena dukungan
prasarana pengairan yang makin luas. Pembangunan prasarana
pengairan mendapatkan prioritas yang tinggi dalam PJP I seiring
dengan prioritas yang diberikan pada pembangunan pertanian.

Dengan peningkatan produksi basil pertanian, sektor pertanian


mengalami pertumbuhan rata-rata 3,6 persen per tahun.

Penyerapan tenaga kerja di sektor ini meningkat dari 24,9 juta


orang pada tahun 1969 menjadi 36,5 juta orang pada tahun 1993.
Pertumbuhan sektor pertanian yang cukup tinggi telah disertai
peningkatan produktivitas dan luas areal pertanian sehingga
meningkatkan kesejahteraan petani. Hal ini dicerminkan oleh

88
meningkatnya pendapatan dan kemampuan daya beli petani,
termasuk nelayan. Produk domestik bruto rill per tenaga kerja
per tahun di sektor pertanian meningkat dari sekitar
Rp427.000 pada tahun 1971 menjadi Rp625.000 pada tahun
1990. Pembangunan pertanian juga telah berperan dalam
mengentaskan penduduk dari kemiskinan. Jumlah penduduk
miskin di perdesaan telah menurun dari 44,2 juta jiwa pada
tahun 1976 menjadi 17,8 juta jiwa pada tahun 1990.

Sementara itu, selama 25 tahun terakhir sektor industri


mengalami perkembangan yang sangat pesat. Antara tahun
1969 dan tahun 1992, produksi sektor industri telah tumbuh
dengan rata-rata sekitar 12 persen per tahun. Pertumbuhan
yang cepat ini telah meningkatkan sumbangannya dalam
produk domestik bruto (PDB) dari 9,2 persen dalam tahun
1969 menjadi 21 persen dalam tahun 1992. Sementara itu,
meskipun produksi pertanian juga terus meningkat,
sumbangan sektor pertanian dalam produksi nasional telah
menurun dari 49,3 persen dalam tahun 1969 menjadi 19,2
persen dalam tahun 1992. Perkembangan ini menunjukkan
prestasi yang sangat berarti dan telah memperkukuh struktur
ekonomi nasional.

Selama PJP I, industri telah dapat menghasilkan berbagai


kebutuhan pokok masyarakat seperti pangan, sandang, dan
bahan bangunan, serta menghasilkan sarana dan peralatan
untuk keperluan peningkatan produksi dan pengolahan hasil
pertanian. Pada repelita yang terakhir, industri lebih
berkembang sehingga mampu meningkatkan barang-barang
modal yang canggih serta rancang bangun dan perekayasaan.
Pengembangan industri telah berhasil mendorong
perkembangan pesat dalam ekspor. Ekspor nonmigas dalam
lima tahun terakhir telah tumbuh dengan rata-rata sekitar 19,1
persen per tahun, dan khususnya industri pengolahan mening -
kat sekitar 21,1 persen. Sementara itu, industri kecil dan
menengah juga berkembang. Industri ini menyerap tenaga
kerja yang banyak dan juga merupakan penghasil devisa.
89
Keberhasilan di sektor pertanian dan industri telah pula diikuti
keberhasilan pembangunan di sektor pertambangan. Produksi
berbagai hasil pertambangan antara tahun 1968 dan 1992/93
meningkat pesat sehingga telah meningkatkan kemampuan dalam
menyediakan bahan baku bagi industri dalam negeri, serta
meningkatkan ekspor dan penerimaan negara.

9. Prasarana

Pembangunan di berbagai sektor produksi tersebut di atas dan


sektor lainnya dimungkinkan karena pembangunan berbagai macam
prasarana yang mendukung. Jaringan prasarana listrik telah
meningkat dan meluas serta makin merata di seluruh penjuru tanah
air. Pembangunan tenaga listrik telah meningkatkan kapasitas
penyediaan tenaga listrik dari 661,6 megawatt pada tahun 1968
menjadi 21.598 megawatt pada akhir PJP I. Selain itu, desa yang
menikmati aliran listrik yang jumlahnya sedikit sekali pada awal
Orde Baru telah meningkat menjadi 2,2 ribu desa pada tahun
1978/79, pada saat program listrik perdesaan dimulai dan sekarang
pada akhir. Repelita V telah menjangkau 30,4 ribu desa atau
mencakup 49 persen dari jumlah seluruh desa. Konsumsi energi
secara menyeluruh telah meningkat dari 50,1 juta setara barel
minyak (SBM) pada tahun 1969/70 menjadi 449,1 juta SBM pada
akhir Repelita V, yang mencerminkan peningkatan kegiatan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Kemajuan ekonomi nasional juga didukung oleh dan tercermin


pada peningkatan dan perluasan jaringan pelayanan prasarana
perhubungan seperti jalan, pelabuhan, dan telekomunikasi.
Pembangunan seperempat abad ini telah mengubah situasi
perekonomian Indonesia dari perekonomian yang memiliki jaringan
infrastruktur yang serba kurang dan sangat ketinggalan pada akhir
dasawarsa 1960-an menjadi perekonomian yang didukung oleh
jaringan infrastruktur yang makin baik. Ini merupakan faktor
kemajuan yang penting karena tersedianya prasarana dasar yang
cukup merupakan salah satu ciri dari, dan sekaligus landasan bagi,
perekonomian yang modern dan dinamis.

90
Pembangunan di sektor transportasi telah berhasil
memperlancar arus manusia, barang, dan jasa serta informasi ke
seluruh penjuru tanah air sehingga dapat mendukung dan
mempercepat pencapaian sasaran pembangunan serta
memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dan ketahanan
nasional. Panjang jalan secara keseluruhan pada akhir PJP I adalah
244.170 kilometer, dan kondisi jaringan jalan arteri dan jalan
kolektor mencapai kondisi 85 persen mantap. Panjang jalan kereta
api adalah 5.051 kilometer dengan kondisi 54 persen mantap.
Dalam rangka mendorong ekspor nonmigas telah dibangun
pelabuhan peti kemas di Belawan, Tanjung Priok, dan Tanjung
Perak, serta telah dibuka 127 pelabuhan laut untuk meningkatkan
perdagangan luar negeri. Jaringan pelayanan penerbangan telah
mencakup 240 rute yang menjangkau seluruh propinsi dan
beberapa kawasan dunia. Di samping itu, telah pula ditingkatkan
19 bandar udara yang berfungsi sebagai pintu masuk bagi
penerbangan internasional.

Di samping kemajuan di sektor transportasi, pengembangan


jasa pos dan giro telah memperluas cakupannya sehingga
menjangkau seluruh wilayah tanah air. Sampai dengan tahun
1992/93 pelayanan pos dan giro telah dapat menjangkau 3.715
ibukota kecamatan dan 932 lokasi transmigrasi. Sementara itu,
jaringan prasarana telekomunikasi sebagai sarana penting dalam
pembangunan telah berkembang pesat pula. Apabila pada awal PJP
I hanya ada telepon sekitar 172 ribu satuan sambungan dengan
teknologi lama, maka pada tahun 1992/93 telah terpasang lebih
dari 2,3 juta satuan sambungan dengan teknologi baru dan jaringan
distribusi yang menjangkau pelosok di wilayah tanah air. Jaringan
sentral telepon otomat telah dapat menjangkau seluruh ibukota
daerah tingkat II. Kemajuan dalam pembangunan fasilitas
pelayanan pos dan giro, dan jaringan telekomunikasi tersebut telah
berhasil meningkatkan arus lalu lintas surat dan informasi
antardaerah dan ke seluruh pelosok tanah air serta dari atau ke luar
negeri.

91
10. Perdagangan, Dunia Usaha, dan Koperasi

Upaya pembangunan di sektor perdagangan telah dapat


menyumbangkan sistem tata niaga dan distribusi nasional yang
makin efisien dan efektif. Sejalan dengan pertumbuhan dan
perubahan struktur ekonomi, peran perdagangan telah meningkat.
Dalam tahun 1969 nilai tambah pada harga berlaku yang dihasilkan
oleh sektor perdagangan (termasuk hotel dan restoran) masih
Rp476 miliar, dan pada tahun 1992 nilai tambah tersebut telah
mencapai Rp42,6 triliun.

Kemajuan itu didukung oleh pembangunan prasarana fisik


perdagangan berupa pasar, pertokoan, dan pusat perbelanjaan,
serta pergudangan, baik oleh Pemerintah maupun oleh swasta;
pengembangan prasarana kelembagaan perdagangan, yang
ditujukan untuk terciptanya tertib niaga, kepastian berusaha serta
perlindungan konsumen; upaya peningkatan peranan pedagang
nasional termasuk pedagang kecil dan menengah golongan
ekonomi lemah dengan memberikan prioritas pembinaan iklim
berusaha termasuk fasilitas perkreditan, bimbingan, pelatihan, dan
konsultasi, serta pelayanan informasi pasar, dan peningkatan
promosi pemasaran hasil produksi dalam negeri.

Keberhasilan dalam memajukan sektor perdagangan


bersamaan dengan keberhasilan dalam memajukan dunia usaha.
Pada akhir PJP I peranan dunia usaha dalam pembangunan sudah
sangat meningkat tercermin antara lain dari peningkatan investasi,
peningkatan ekspor nonmigas serta peningkatan penerimaan pajak
yang sebagian besar berasal dari dunia usaha.

Peningkatan investasi ditunjukkan oleh peningkatan yang


sangat pesat dalam jumlah dan nilai persetujuan penanaman modal.
Jika pada tahun 1967/68 disetujui 45 proyek penanaman modal
asing (PMA) dengan nilai investasi sebesar US$471,3 juta, sampai
dengan tahun 1992/93 jumlah kumulatif proyek yang disetujui

92
adalah 55 kali lipat, yaitu 2.486 proyek dengan nilai investasi 116
kali lipat, yaitu US$54,9 miliar. Pada tahun 1968 hanya ada
persetujuan 26 proyek penanaman modal dalam negeri (PMDN)
dengan nilai investasi Rp37 miliar. Sampai dengan tahun 1992/93
jumlah kumulatif proyek PMDN adalah 320 kali lipat menjadi
8.321 proyek, sedangkan nilai investasi meningkat menjadi
Rp215,4 triliun atau menjadi 5.821 kali lipat.

Selama PJP I sebagian besar investasi PMDN dan PMA masih


terpusat di Jawa, tetapi secara bertahap menyebar ke seluruh
wilayah Nusantara. Pada Repelita I, nilai PMDN yang disetujui di
Jawa mencapai 76 persen, dan pada Repelita V turun menjadi 63,8
persen dari nilai investasi dalam periode yang bersangkutan. Nilai
PMA yang disetujui di Jawa pada Repelita I mencapai 85,6 persen,
dan pada Repelita V turun menjadi 72,1 persen. Hal tersebut
menunjukkan adanya peningkatan nilai investasi di luar Jawa.

Dunia usaha juga telah disemarakkan oleh perkembangan


BUMN yang mantap selama PJP I. Hal ini ditunjukkan oleh makin
mampunyai BUMN mengemban fungsinya, baik sebagai sumber
penerimaan negara maupun sebagai perintis berbagai kegiatan
usaha, dan sebagai badan usaha yang turut menjaga stabilitas harga
barang dan jasa yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak.
Keberhasilan BUMN sebagai perintis usaha itu memberikan
dampak berupa lebih terbukanya kesempatan bagi koperasi dan
swasta untuk memasuki usaha baru.

Sementara itu, pengembangan usaha kecil, informal dan


tradisional selama PJP I telah meningkatkan kemampuan
pengusaha kecil, informal dan tradisional untuk berperan serta
dalam pembangunan. Peningkatan kemampuan itu antara lain
tercipta melalui berbagai pembinaan usaha untuk mengembangkan
kewiraswastaan melalui kegiatan pendidikan, pelatihan,
pembimbingan, dan penyuluhan, serta dengan kemitraan bersama
usaha besar dalam hubungan bapak angkat. Selain itu, untuk
meningkatkan kemampuan usaha disediakan pula berbag ai

93
kemudahan kredit dan permodalan seperti kredit usaha perdesaan
(kupedes), serta bantuan untuk tempat berusaha, bimbingan
teknologi, informasi pasar, dan pemasaran.

Kupedes yang telah disalurkan sampai dengan tahun 1992/93


berjumlah Rp1,7 triliun. Apabila dibandingkan dengan penyaluran
kupedes sampai dengan akhir Repelita IV sebesar Rp606,5 miliar,
berarti meningkat 180,3 persen. Jumlah nasabah penerima kupedes
juga menunjukkan peningkatan. Sampai dengan tahun terakhir
Repelita IV, yaitu tahun 1988/89 ada sekitar 1,4 juta nasabah.
Sampai dengan tahun 1992/93 menjadi sekitar 1,7 juta nasabah,
berarti meningkat sekitar 21,4 persen. Sementara itu, simpanan
perdesaan (simpedes) yang terhimpun sampai dengan tahun
1992/93 berjumlah Rpl,7 triliun dengan jumlah penyimpan seba-
nyak 5,3 juta orang.

Sementara itu, pembangunan koperasi sebagai badan usaha


sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat dan sebagai salah satu
unsur dunia usaha nasional telah makin meluas dan meningkat.
Pembangunan koperasi dilakukan melalui Program pembinaan
kelembagaan koperasi dan pengembangan usaha koperasi. Program
tersebut yang meliputi kegiatan pendidikan dan pelatihan, magang,
penyuluhan dan penerangan, bimbingan dan konsultasi, serta
ditunjang pula dengan berbagai kegiatan penelitian perkoperasian
dan kebijaksanaan makro, baik di bidang fiskal moneter maupun
sektor riil, berupa perkreditan, subsidi ataupun proteksi, telah
memberikan berbagai hasil. Hasil tersebut antara lain adalah
berupa peningkatan jumlah dan ragam koperasi, peningkatan
jumlah anggota koperasi, penganekaragaman jenis usaha koperasi,
serta peningkatan jumlah simpanan anggota, jumlah modal usaha,
dan jumlah nilai usaha koperasi.

Koperasi pada akhir Repelita I hanya berjumlah 19.975 buah.


Pada tahun keempat Repelita V jumlahnya mencapai 39.031 buah,
yang terdiri atas 8.749 buah koperasi unit desa (KUD) dan
30.282 buah koperasi non-KUD. Sebanyak 4.140 buah KUD

94
telah memenuhi kriteria sebagai KUD Mandiri. Sementara itu,
jumlah anggota koperasi pada tahun keempat Repelita V telah
mencapai sekitar 34 juta orang atau mencapai lebih dari sebelas
kali lipat dari jumlahnya pada akhir Repelita I. Dewasa ini lingkup
bidang usaha koperasi mencakup, baik usaha pertanian maupun
usaha nonpertanian, seperti industri pengolahan dan jasa.
Sumbangan koperasi dalam pengadaan pangan nasionalpun terus
meningkat dan telah mencapai lebih dari 90 persen. Sementara itu,
sumbangan koperasi dalam penyaluran pupuk telah mencapai lebih
dari 75 persen dan koperasi susu telah memasok sekitar 55 persen
dari kebutuhan susu nasional.

11. Tenaga Kerja

Kegiatan pembangunan yang meningkat selama PJP I telah


menciptakan lapangan kerja dalam jumlah yang besar dan mutu
yang makin meningkat sehingga sebagian besar angkatan kerja
baru dapat diserap dalam lapangan kerja produktif. Antara tahun
1980 dan 1990 angkatan kerja bertambah sebesar 21,5 juta orang
dan lapangan kerja tercipta bagi 20 juta orang.

Struktur lapangan kerja bergeser dari sektor produksi agraris


ke sektor produksi nonagraris dan jasa dengan muatan teknologi
yang lebih besar. Pada tahun 1980, sektor pertanian masih
menampung 55,9 persen dari seluruh pekerja (angkatan kerja yang
bekerja), dan sisanya bekerja di sektor industri dan sektor lainnya.
Pada tahun 1990, pekerja di sektor pertanian menurun menjadi
49,9 persen, sedangkan di sektor industri dan jasa meningkat
menjadi 50,1 persen. Pergeseran struktur tenaga kerja juga terjadi
dari pekerja sektor informal ke sektor formal. Pekerja di sektor
informal menurun dari sebesar 69,9 persen pada tahun 1980
menjadi 63,6 persen pada tahun 1990, sebaliknya pekerja di sektor
formal meningkat dari 30,1 persen menjadi 36,4 persen.

Peningkatan lapangan kerja dengan pergeseran struktur tenaga


kerja dari sektor pertanian ke sektor lainnya tersebut diiringi pula

95
dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja dan peningkatan
mutu produksi barang dan jasa yang dihasilkan. Dalam satu
dasawarsa terakhir, produktivitas rata-rata per tenaga kerja
meningkat sekitar 24,1 persen.

12. Transmigrasi

Segala upaya dalam pembangunan untuk memperluas lapangan


kerja dan mengendalikan laju pertumbuhan penduduk telah
dilaksanakan seiring dengan upaya pemerataan penyebarannya.
Upaya ini antara lain dilaksanakan melalui program transmigrasi
yang diarahkan pada penyebaran penduduk dan angkatan kerja
yang lebih seimbang di berbagai daerah melalui pendayagunaan
tenaga kerja yang berlebih di suatu daerah untuk kegiatan
pembangunan di daerah yang kekurangan tenaga kerja. Jumlah
kumulatif penduduk yang dipindahkan melalui program
transmigrasi umum dan swakarsa selama PJP I mencapai sekitar
1,5 juta kepala keluarga atau mendekati 8 juta jiwa dan membentuk
1931 desa baru di luar Jawa dan Bali. Program transmigrasi juga
telah membangun 55 ribu kilometer jalan dan 69 ribu meter
jembatan yang menghubungkan permukiman transmigrasi yang
pada umumnya terpencil dengan jalan kabupaten dan jalan
propinsi, telah membuka 0,9 juta hektare lahan pertanian pangan
dan 0,8 juta hektare lahan pertanian komoditas lainnya sehingga
dapat membantu mendukung swasembada pangan dan
meningkatkan komoditas ekspor hasil pertanian. Selain itu,
program transmigrasi juga telah dapat membantu menyelesaikan
masalah kependudukan di daerah yang terkena bencana alam serta
yang terkena proyek pembangunan, seperti Waduk Gajah
Mungkur, Waduk Karang Kates, dan Waduk Kedung Ombo.

Upaya pembangunan transmigrasi selama ini telah berhasil


mendorong persebaran penduduk yang lebih seimbang. Apabila
pada tahun 1971, 65,6 persen penduduk Indonesia berada di Jawa
dan Bali, pada tahun 1990 persentase ini turun menjadi 61,5
persen.

96
13. Pembangunan Daerah

Pembangunan daerah dalam PJP I telah menghasilkan


peningkatan kesejahteraan rakyat di seluruh daerah yang tercermin
antara lain dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat. Tingkat
kesejahteraan penduduk di daerah, yang ditunjukkan oleh beberapa
indikator seperti tingkat melek huruf, angka kematian bayi, dan
angka harapan hidup, menunjukkan makin baiknya kualitas hidup
fisik di seluruh daerah sejalan dengan makin baiknya tingkat
pendapatan dan pemerataan pendapatan masyarakat.

Kemampuan keuangan pemerintah daerah, sebagai salah satu


indikator keberhasilan ekonomi daerah, telah meningkat dengan
pesat seperti yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penerimaan
daerah dari PBB sebesar 262 persen dalam periode 1986/87-
1992/93. Sementara itu, pendapatan asli daerah (PAD) telah pula
berkembang pesat. Pertumbuhan rata-rata per tahun bagi PAD
pemerintah daerah tingkat I dan II masing-masing adalah 21,4
persen dan 19,2 persen dalam kurun waktu 1986/87-1991/92.
Kedua hal ini menunjukkan meningkatnya kemampuan pemerintah
daerah dalam pembiayaan pembangunan di daerahnya dan dengan
demikian meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam
mewujudkan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan
bertanggung jawab.

Dalam pelaksanaan pembangunan yang menjadi tugas


Pemerintah Daerah Tingkat I, selama PJP I telah terjadi berbagai
perkembangan. Sebelum PJP I, keterbatasan kemampuan keuangan
pemerintah daerah menyebabkan sangat terbatasnya kegiatan
pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Bantuan
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diberikan melalui
berbagai program antara lain program-program Inpres yang terus
meningkat sejak Repelita I. Bantuan ini dimaksudkan untuk lebih
memeratakan pelaksanaan pembangunan di daerah, dan
mempercepat pertumbuhan daerah-daerah yang terbelakang. Dalam

97
PJP I bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam
bentuk bantuan Inpres adalah Inpres Dati I, Inpres Dati II, Inpres
Desa, Inpres Peningkatan Jalan Propinsi, Inpres Peningkatan Jalan
Kabupaten, Inpres Pasar, Inpres SD, Inpres Penghijauan dan
Reboisasi, dan Inpres Sarana Kesehatan.

Kemampuan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan


makin berkembang pula dengan berkembangnya berbagai lembaga
kemasyarakatan, kelembagaan adat, lembaga dan bank perkreditan
rakyat, koperasi desa, dan organisasi kemasyarakatan dalam bidang
kebudayaan, pendidikan, dan keagamaan. Sementara itu,
kemampuan aparatur dan perangkat pemerintah daerah telah makin
mantap sehingga lebih mampu menjalankan otonomi daerah.

Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas


pelaksanaan pembangunan daerah dan administrasi pemerintah
daerah, telah dilaksanakan penataan batas wilayah, pemindahan
ibukota kabupaten, pemekaran dan penyesuaian status daerah.
Pemekaran dan penyesuaian status daerah dilakukan dengan
mengukuhkan 5 kota administratif menjadi kotamadya, dan
membentuk 397 kecamatan baru, 41 kota administratif baru, 18
kabupaten baru, dan 1 propinsi baru, yaitu Propinsi Timor Timur
sejak 1976. Secara keseluruhan pada tahun keempat Repelita V
terdapat 27 propinsi, 243 kabupaten, 58 kotamadya, 38 kota
administratif, 3.837 kecamatan dan 63.920 desa/kelurahan.

Dalam pelaksanaan asas desentralisasi telah diserahkan kepada


daerah sebagian dari urusan pemerintahan yang meliputi: pertanian
rakyat, perternakan/kehewanan, perikanan darat, pendidikan dan
kebudayaan, kesehatan, pekerjaan umum, perindustrian kecil,
kehutanan, perikanan laut, karet rakyat, bimbingan dan perbaikan
sosial, perumahan rakyat, kesejahteraan buruh, lalu lintas jalan,
pemerintahan umum, perusahaan dan proyek negara, pertam-
bangan di luar mijnwet, perkebunan besar dan pariwisata, yang
pelaksanaannya bervariasi sesuai dengan kemampuan masing-
masing daerah. Urusan tersebut diselenggarakan oleh dinas daerah,

98
baik di tingkat I maupun tingkat II. Untuk menunjang keserasian
perencanaan pembangunan, pada tahun 1974 di daerah tingkat I
dibentuk Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
tingkat I, dan mulai tahun 1980 dibentuk Bappeda tingkat II. Pada
akhir PJP I seluruh daerah tingkat I dan II telah memiliki Bappeda.
Di samping makin lengkapnya perangkat penyelenggaraan
pemerintah daerah, fungsi pemerintah daerah juga makin
meningkat dengan berfungsinya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Tingkat I dan II sesuai dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1974.
Dengan demikian, daerah memiliki hak dan kewajiban yang makin
besar dan luas dalam melaksanakan pemerintahan umum dan
melaksanakan pembangunan di daerah secara efektif dan efisien
sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah.

14. Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

Pembangunan dilaksanakan bersamaan dengan upaya


pelestarian sumber daya alam. Pada awal pelaksanaan PJP I, untuk
menghimpun modal dan kemampuan bagi pelaksanaan
pembangunan, pemanfaatan sumber daya alam dalam jumlah yang
besar tidak dapat dihindari. Namun, pemanfaatan sumber daya
alam tersebut telah diimbangi dengan upaya meningkatkan dan
memperluas kesadaran masyarakat dan dunia usaha terhadap
pelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber alam.

Untuk mempertahankan mutu lingkungan hidup terhadap


dampak negatif aktivitas pembangunan, dilaksanakan berbagai
kegiatan seperti pengembangan analisis mengenai dampak
lingkungan (amdal), penyempurnaan peraturan perundang-
undangan dan institusi pengendalian pencemaran lingkungan,
penguasaan teknologi bersih lingkungan, dan pengembangan daur
ulang. Selain itu, dilaksanakan pula pengembangan keahlian,
sarana dan prasarana pengendalian pencemaran, pemantauan
pencemaran lingkungan hidup, penegakan hukum, rehabilitasi
lingkungan rusak, dan pengembangan sistem informasi dalam
pengendalian pencemaran lingkungan hidup. Sejak tahun 1985/86,

99
komisi amdal telah dibentuk, baik di tingkat pusat maupun daerah
sehingga cakupan wilayah penganalisisan telah dapat diperluas.
Upaya tersebut didukung dengan pengembangan laboratorium
pemantau pencemaran di berbagai tempat dan pengembangan
kegiatan yang lebih terpadu. Selanjutnya, peran serta masyarakat
dalam memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup juga makin
meningkat dengan digalakkannya pembimbingan dan penyuluhan
serta pemberian penghargaan Kalpataru dan Adipura.

III. PEMBANGUNAN DI BIDANG AGAMA,


KEPERCAYAAN TERHADAP
TUHAN YANG MAHA ESA, DAN SOSIAL BUDAYA

1. Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang


Maha Esa

Upaya pembangunan dalam sektor agama, antara lain meliputi


pembangunan dan rehabilitasi tempat peribadatan dan pengadaan
kitab suci yang telah dilaksanakan dalam rangka meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat dalam kehidupan beragama,
peningkatan sarana dan mutu pendidikan agama, serta
meningkatkan dan menyempurnakan pelayanan ibadah haji.

Bantuan yang diberikan untuk pembangunan dan rehabilitasi


tempat peribadatan selama PJP I berdampak positif dalam
mendorong peran serta masyarakat untuk membangun tempat
peribadatan secara swadana. Jumlah tempat peribadatan yang pada
awal PJP I baru sekitar 380 ribu buah, pada tahun 1993/94
diperkirakan meningkat menjadi sekitar 653,6 ribu buah.

Selama PJP I, penyelenggaraan pendidikan agama dan


keagamaan makin membaik, dengan dilaksanakannya berbagai
kegiatan untuk meningkatkan mutu pendidikan agama dan
keagamaan. Hal tersebut dilakukan antara lain melalui
pembangunan dan rehabilitasi ruang belajar, penataran guru,
pengadaan buku pelajaran, dan buku pedoman bagi guru.

100
Untuk meningkatkan dan menyempurnakan pelayanan ibadah
haji dan terbinanya jemaah haji yang mabrur, pembinaan dan
pembangunan serta rehabilitasi asrama haji telah ditingkatkan
terutama di kota pelabuhan laut. Jumlah jemaah yang menunaikan
ibadah haji dari tahun ke tahun terus meningkat. Apabila selama
Repelita I jemaah haji rata-rata berjumlah sekitar 20,5 ribu orang
per tahun, pada tahun 1993/94 diperkirakan mencapai sekitar 120
ribu orang atau meningkat menjadi enam kali lipat.

2. Pendidikan, Olahraga, dan Kebudayaan

Berbagai program pembinaan pendidikan yang dilaksanakan


sejak Repelita I telah berhasil meningkatkan kesempatan
pendidikan, dan menghasilkan rakyat Indonesia yang makin tinggi
taraf kecerdasan dan tingkat pendidikannya.

Di tingkat pendidikan dasar, angka partisipasi murni (APM)


sekolah dasar (SD) atau rasio jumlah murid SD termasuk madrasah
ibtidaiyah (SD-MI) usia 7-12 tahun dengan jumlah penduduk
kelompok usia tersebut meningkat dari 41,4 persen pada tahun
1968/69 diperkirakan menjadi 93,5 persen pada tahun 1993/94.
Angka partisipasi kasar (APK), yaitu rasio murid SDMI terhadap
penduduk kelompok usia 7-12 tahun dalam kurun waktu yang
lama meningkat dari 68 persen menjadi 109,9 persen. Keberhasil-
an tersebut dimungkinkan terutama berkat dilancarkannya program
Inpres SD sejak tahun 1973/74 yang kemudian diikuti dengan
pencanangan Wajib Belajar Enam Tahun pada tahun 1984. Dengan
meningkatnya lulusan SD, tuntutan untuk memperoleh kesempatan
belajar pada tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) juga
meningkat.

Sejalan dengan itu, angka partisipasi kasar SLTP termasuk


madrasah tsanawiyah (MTs) meningkat dari 16,9 persen pada
tahun 1968/69 diperkirakan menjadi sekitar 53 persen pada tahun
1993/94. Dalam kurun waktu tersebut, jumlah murid SLTP

101
termasuk MTs meningkat dari sekitar 1,2 juta siswa menjadi
hampir 7 juta siswa. Pada akhir Repelita V (1993/94) jumlah
murid sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) diperkirakan mencapai
4,1 juta orang dari sekitar 482 ribu pada tahun 1968 yang meliputi
pendidikan SLTA umum, kejuruan, serta madrasah aliyah (MA).
Angka partisipasi kasar tingkat SLTA meningkat dari 8,6 persen
menjadi 33,2 persen.

Di tingkat pendidikan tinggi, termasuk perguruan tinggi agama


(PTA), jumlah mahasiswa meningkat pesat dari 156 ribu pada
tahun 1968 diperkirakan menjadi lebih dari 2,2 juta orang pada
tahun 1993/94, dengan angka partisipasi kasar meningkat dari 1,6
persen menjadi 10,5 persen. Jumlah lulusannya mencapai 217,6
ribu orang atau meningkat lebih dari 28 kali lipat dibanding jumlah
lulusan pada akhir Repelita I.

Selain melalui jenjang pendidikan, peningkatan pendidikan


juga dilakukan melalui program pendidikan masyarakat (PPM).
Peningkatan jangkauan program PPM tersebut bersama-sama
dengan pendidikan melalui berbagai jenjang telah menurunkan
jumlah penduduk berusia di atas 10 tahun yang buta aksara dari
39,1 persen pada awal PJP I menjadi 15,8 persen pada tahun 1990.

Sementara itu, pembangunan olahraga dalam PJP I telah


makin meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya
olahraga sebagai satu kebutuhan hidup dan bagi peningkatan
derajat kesehatan. Olahraga telah dapat pula dikembangkan sebagai
gerakan nasional yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat yang
tercermin dalam berbagai kegiatan olahraga massal.

Prestasi para atlet Indonesia terus meningkat. Pemecahan


rekor nasional di berbagai cabang olahraga dalam berbagai
turnamen ataupun dalam beberapa Pekan Olahraga Nasional (PON)
makin sering terjadi. Di arena internasional antara lain menjadi
juara bulutangkis All England, Thomas Cup, dan Uber Cup,
serta menjadi juara umum Southeast Asian Games, dan
102
mencapai
peringkat 7 pada Asian Games tahun 1990 di Beijing, memperoleh
medali perak pada Olimpiade Ke-24 di Seoul pada tahun 1988
melalui cabang panahan, memperoleh berbagai medali termasuk 2
medali emas pada Olimpiade Ke-25 di Barcelona dari cabang
bulutangkis.

Dalam pada itu pembangunan kebudayaan dalam PJP I telah


berhasil meningkatkan dan mengembangkan keserasian,
keselarasan, serta keseimbangan kehidupan manusia dan
masyarakat Indonesia lahir batin. Hal ini tercermin dalam
kehidupan bermasyarakat, beragama, dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, makin berkembangnya kebudayaan
nasional yang dijiwai nilai-nilai luhur Pancasila, di samping
melembaganya budaya dan semangat membangun di kalangan
masyarakat.

3. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Penelitian, dan


Statistik

Keberhasilan pembangunan selama PJP I telah didukung oleh


kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Kemajuan ini sangat penting karena iptek memegang peranan yang
menentukan, terutama dalam menyiapkan bangsa Indonesia untuk
memasuki tahap industrialisasi lebih lanjut. Keberhasilan
pembangunan iptek tidak terlepas dari dukungan peneliti yang
berkualitas dan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai.
Upaya peningkatan kualitas peneliti dan pembangunan sarana dan
prasarana dan kelembagaan iptek sejak awal PJP I telah
memberikan hasil yang nyata di bidang iptek yang telah
mendukung program di berbagai sektor.

Pembangunan nasional telah dapat dilaksanakan secara


berhasil karena didukung oleh perencanaan yang andal.
Perencanaan pembangunan pada gilirannya dapat dijalankan
dengan dukungan statistik.

103
Kegiatan perstatistikan yang penting selama PJP I adalah
Sensus Penduduk 1971, 1980, dan 1990, Sensus Pertanian 1973,
1983, dan 1993, serta pelaksanaan Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas). Di samping itu, dilakukan berbagai survei yang
dimanfaatkan untuk perencanaan dan kebijaksanaan pembangunan.
Kegiatan tersebut meliputi: survei harga, penyusunan statistik
Pendapatan Nasional/ Regional, pengolahan data ekspor impor,
pengembangan Statistik Neraca Nasional dan Penyusunan Tabel
Input-Output, dan penyusunan Sistem Neraca Sosial Ekonomi
Nasional (SNSE).

Sejalan dengan makin meningkatnya kegiatan pembangunan,


kebutuhan pengembangan data statistik kesejahteraan rakyat terus
ditingkatkan bersama-sama dengan statistik di bidang ekonomi.

Sensus Ekonomi yang merupakan sensus terpadu dari semua


sektor ekonomi yang belum dicakup dalam Sensus Pertanian,
dilaksanakan untuk pertama kalinya tahun 1986. Dalam rangka
menyempurnakan diagram timbangan barang konsumsi yang
digunakan dalam perhitungan indeks harga konsumen dilaksanakan
Survei Biaya Hidup 1989 yang mencakup seluruh ibukota propinsi.
Sementara itu, bersamaan dengan pelaksanaan setiap sensus
penduduk, sensus pertanian, dan sensus ekonomi telah
dikumpulkan data potensi desa.

4. Kesehatan dan Gizi

Selama 25 tahun terakhir, berbagai program kesehatan dan


gizi telah berhasil meningkatkan kualitas hidup rakyat. Angka
harapan hidup yang pada awal PJP I adalah sekitar 45,7 tahun
meningkat menjadi 62,7 tahun pada akhir PJP I. Angka kematian
bayi per 1.000 kelahiran hidup menurun dari 145 pada tahun 1967
menjadi 58 pada akhir tahun 1993. Angka kematian ibu melahirkan
per 100.000 kelahiran hidup menurun dari 450 pada tahun 1986
menjadi 425 pada tahun 1992.

104
Sebelum Repelita I jumlah puskesmas adalah 1.227 buah.
Pada tahun 1992/93 meningkat menjadi 6.277 buah. Jika pada
tahun 1968 setiap puskesmas rata-rata melayani 96 ribu penduduk,
pada tahun 1992/93 setiap puskesmas rata-rata melayani 28 ribu
penduduk.

Dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit,


kegiatan imunisasi terus ditingkatkan sehingga pada tahun 1992/93
secara nasional cakupan imunisasi lengkap telah mencapai 89,9
persen, lebih tinggi dari pada sasaran yang ditetapkan World
Health Organization (WHO) secara internasional, yaitu 80 persen.

Pembangunan kesehatan berpengaruh pula terhadap


produktivitas dan peningkatan pendapatan rakyat sehingga juga
berpengaruh pada pengurangan kemiskinan. Peningkatan taraf
kehidupan masyarakat terlihat juga pada keadaan gizi masyarakat,
khususnya masyarakat miskin yang antara lain tercermin dari
adanya peningkatan konsumsi pangan yang bermutu dan makin
menurunnya angka prevalensi berbagai masalah gizi-kurang.
Prevalensi kurang energi protein (KEP) total pada anak balita
menurun dari 48,2 persen pada tahun 1978 menjadi 40 persen pada
tahun 1992. Kebutaan karena kekurangan vitamin A (KVA) pada
akhir PJP I sudah hampir tidak ditemukan lagi. Secara keselu-
ruhan, perbaikan gizi masyarakat juga meningkatkan produktivitas
kerja yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi.

5. Kependudukan dan Keluarga Berencana

Program Keluarga Berencana dan program lain yang terkait


telah berhasil menekan laju pertumbuhan penduduk Indonesia
secara nyata dari 2,32 persen per tahun selama periode 1971-1980
menjadi sekitar 1,66 persen pada akhir PJP I. Bersamaan dengan
penurunan laju pertumbuhan penduduk tersebut, tingkat
kesejahteraan rakyat terus membaik. Angka kematian kasar telah
turun dari 19,1 per seribu penduduk pada kurun waktu 1967-1970
menjadi 7,9 per seribu penduduk pada tahun 1993. Angka

105
kelahiran total per wanita juga menurun dari 5,6 anak dalam
kurun waktu 1967-1970 menjadi 2,87 anak pada akhir PJP I.
Perkembangan itu mencerminkan peningkatan derajat kesehatan
rakyat yang sekaligus mendorong bertambah panjangnya umur
rata-rata orang Indonesia.

6. Perumahan dan Permukiman

Pembangunan sektor perumahan dan permukiman


dilaksanakan melalui 3 program utama, yaitu program perumahan
rakyat, program penyediaan air bersih, dan program penyehatan
lingkungan permukiman. Pelaksanaan ketiga program tersebut
diupayakan secara terpadu yang melibatkan seluruh potensi
masyarakat dengan menyediakan prasarana dan sarana penunjang
yang dibutuhkan, memperlancar pemberian kredit pemilikan rumah
(KPR), dan kemudahan lainnya dalam bidang peraturan dan
perizinan.

Kegiatan dalam program perumahan rakyat dilaksanakan


melalui, antara lain penyediaan rumah sederhana, perbaikan
kampung, peremajaan kawasan perumahan kota, dan pemugaran
perumahan desa dengan tujuan untuk menghilangkan atau
mengurangi kelompok masyarakat yang menghuni kawasan
kumuh. Secara kumulatif, sejak Repelita II hingga tahun keempat
Repelita V telah dibangun oleh Perumnas sejumlah 216.210
rumah sederhana dan sangat sederhana dan sekitar 536 ribu rumah
sederhana lain dibangun oleh swasta.

Prioritas utama program penyediaan air bersih diberikan


kepada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, baik yang
tinggal di perkotaan maupun di perdesaan, dan sekaligus
menunjang kebutuhan air bersih bagi sektor lainnya, seperti
industri, perhubungan, perdagangan, dan pariwisata. Secara
kumulatif sejak Repelita II hingga tahun keempat Repelita V, air
bersih yang berhasil diproduksikan mencapai sekitar 62 ribu liter
per detik di daerah perkotaan dan kurang lebih 3.600 liter per detik
di daerah perdesaan.

106
Program penyehatan lingkungan permukiman yang sejak
Repelita IV diterapkan secara terpadu, khususnya untuk pengadaan
sistem pembuangan sampah, pembuangan air limbah, dan drainase,
telah meningkatkan mutu lingkungan dan permukiman.
Peningkatan mutu tersebut dicapai, antara lain melalui pengelolaan
sampah di 454 kota dengan volume sampah yang diangkut
mencapai 55 persen dari produksinya, dan penanganan limbah air
yang telah dilaksanakan di 337 kota.

7. Kesejahteraan Sosial

Di bidang kesejahteraan sosial pembangunan ditujukan,


terutama untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu dan tidak
beruntung karena belum sepenuhnya memperoleh manfaat hasil
pembangunan, yaitu anak terlantar, yatim piatu, penyandang cacat,
fakir miskin, para lanjut usia (lansia) yang tidak mampu, korban
bencana alam, masyarakat terasing, anak nakal dan korban
penyalahgunaan narkotika. Selama PJP I telah diberikan santunan
kepada sekitar 891 ribu anak terlantar, lebih dari 384 ribu para
penyandang cacat, dan kepada lebih dari 511 ribu orang lansia
tidak mampu.

Penanganan masyarakat terasing dilakukan melalui upaya


untuk meningkatkan taraf hidup mereka sehingga tidak terlalu jauh
berbeda dengan masyarakat sekelilingnya. Secara kumulatif sejak
awal PJP I sampai dengan tahun 1992/93 jumlah masyarakat
terasing yang telah mendapatkan pembinaan adalah sekitar 40 ribu
kepala keluarga.

8. Pembinaan Generasi Muda dan Peranan Wanita dalam


Pembangunan Bangsa

Pembinaan generasi muda telah diupayakan dalam PJP I untuk


meningkatkan kualitas generasi muda sebagai kader penerus dan
manusia pembangunan yang berjiwa Pancasila melalui pembinaan

107
kepramukaan, pertukaran pemuda antarpropinsi dan antarbangsa,
menapak tilas jejak pahlawan, dan pelatihan kepemimpinan serta
kemandirian. Selain itu, sejak Repelita V dilakukan pengerahan
sarjana baru dengan berbagai bidang keahlian melalui program
Sarjana Penggerak Pembangunan Perdesaan (SP3).

Peranan wanita dalam pembangunan mendapat perhatian


dalam PJP I. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan
peranan wanita, sebagai mitra sejajar pria dalam pembangunan.
Berbagai program peningkatan peranan wanita, seperti kegiatan
pelatihan dan penyuluhan, gerakan PKK, gerakan Bina Keluarga
Balita (BKB), program terpadu Peningkatan Peranan Wanita
Menuju Keluarga Sehat Sejahtera (P2WKSS) di samping kegiatan
lain yang diintegrasikan dalam berbagai sektor pembangunan, telah
memberikan kesempatan yang makin terbuka bagi wanita untuk
turut serta dalam kegiatan pembangunan.

Berbagai indikator menunjukkan bahwa selama PJP I banyak


kemajuan yang telah dicapai oleh wanita Indonesia. Kemajuan ini
antara lain ditunjukkan oleh menurunnya angka buta aksara
penduduk wanita usia 10 tahun ke atas dari 53,1 persen pada tahun
1971 menjadi 21,3 persen pada tahun 1990. Perubahan perilaku
reproduksi wanita ditunjukkan oleh meningkatnya usia kawin
pertama di kalangan wanita dari 20 tahun pada tahun 1980 menjadi
21,9 tahun pada tahun 1990. Selain itu, peningkatan peranan
wanita dalam pembangunan secara nyata tercermin dari
meningkatnya tingkat partisipasi tenaga kerja wanita dari 32,4
persen pada tahun 1980 menjadi 38,8 persen pada tahun 1990.

108
IV. PEMBANGUNAN DI BIDANG POLITIK, APARATUR
PEMERINTAH, HUKUM, PENERANGAN DAN MEDIA
MASSA, DAN HUBUNGAN LUAR NEGERI

1. Politik

Dalam PJP I pembangunan di bidang politik telah berhasil


mewujudkan landasan politik nasional berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945, yang intinya adalah demokrasi Pancasila, sebagai
landasan yang kuat bagi kemajuan dan kemandirian bangsa.

Orde Baru berhasil meletakkan dasar bagi pemurnian


pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 secara nyata,
konsekuen, dan dinamis, yang meliputi penataan suprastruktur
politik, pengembangan budaya politik dan mekanisme demokrasi
Pancasila. Upaya itu lebih dimantapkan dengan pelembagaan
Wawasan Nusantara. Kesadaran akan pentingnya pembangunan
politik bagi keberhasilan pembangunan nasional secara menyeluruh
mendorong dilakukannya kebijaksanaan yang menyangkut penataan
kehidupan politik.

Salah satu upaya penataan infrastruktur politik diwujudkan


melalui berfungsinya sejumlah partai politik menjadi dua partai
politik dan Golongan Karya serta penyederhanaan keormasan.

Sebagai upaya untuk mewujudkan cita-cita Orde Baru, pada


tahun 1978 MPR dengan Ketetapan Nomor II/MPR/1978 telah
menetapkan Eka Prasetya Pancakarsa sebagai Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Dengan demikian,
telah ada penuntun dan pegangan bagi sikap dan tingkah laku setiap
manusia Indonesia dalam penghayatan dan pengamalan Pancasila
dalam kehidupan bermasyarakat dan kehidupan bernegara.

Kemajuan dalam pembangunan politik yang amat mendasar


dalam PJP I adalah tercapainya kesepakatan politik untuk
menegaskan kembali dan menetapkan Pancasila sebagai ideologi
negara dan satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat,

109
berbangsa dan bernegara. Secara konstitusional kesepakatan
tersebut dituangkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor
II/MPR/1983. Kemudian melalui Undang-undang No. 3 Tahun
1985 Pancasila ditetapkan sebagai satu-satunya asas bagi partai
politik dan golongan karya. Selanjutnya, Undang-undang No. 8
Tahun 1985 telah menetapkan pula Pancasila sebagai satu-satunya
asas bagi organisasi kemasyarakatan dengan tidak menghilangkan
ciri dari masing-masing organisasi kemasyarakatan tersebut.

Pemilihan umum (pemilu) telah dilaksanakan lima kali secara


tepat waktu dan makin meningkat kualitasnya. Pelaksanaan Pemilu
yang diikuti oleh sembilan dari sepuluh rakyat yang berhak
memilih telah menggairahkan peran serta masyarakat dalam
pembangunan politik. Kualitas kampanye telah meningkat,
kampanye bersifat primordial secara bertahap telah berkurang dan
digantikan dengan kampanye yang lebih menonjolkan program
pembangunan organisasi peserta pemilu (OPP).

Dengan demikian, mekanisme pelaksanaan demokrasi


Pancasila telah makin jelas memperlihatkan wujudnya dan
mekanisme kepemimpinan nasional lima tahunan telah berjalan
makin mantap, teratur, dinamis, dan konstitusional.

Dwifungsi ABRI telah menjadi keyakinan dan milik bersama.


Keberadaan ABRI sebagai kekuatan sosial politik dalam sistem
politik Indonesia telah ikut menumbuhkembangkan demokrasi
Pancasila bersama kekuatan sosial politik lainnya.

Pembangunan politik selama kurun waktu PJP I telah dapat


mewujudkan tingkat stabilitas nasional yang mantap dan dinamis
sehingga memungkinkan pembangunan nasional yang
menghasilkan kesejahteraan rakyat yang makin baik. Pembangunan
politik telah mengembangkan pula iklim keterbukaan yang
bertanggung jawab dalam demokrasi Pancasila.

110
2. Aparatur Pemerintah

Keberhasilan pembangunan ditentukan oleh kemampuan


aparatur pemerintah dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan
umum dan pembangunan. Sejak awal PJP I, pendayagunaan
aparatur pemerintah ditempatkan sebagai bagian penting dari
strategi pembangunan nasional, meliputi upaya penempatan
kembali dan pemantapan lembaga tertinggi dan tinggi negara dalam
posisi dan fungsinya sebagaimana ditetapkan UUD 1945;
peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan penataan
kelembagaan, termasuk aspek organisasi dan ketatalaksanaan
aparatur pemerintah serta pelembagaan mekanisme kepemimpinan
nasional, sistem pengawasan serta penelitian dan pengembangan
administrasi pemerintahan dan pembangunan.

Dalam rangka pendayagunaan aparatur pemerintah pusat telah


diterbitkan Keppres No. 44 Tahun 1974 tentang Organisasi
Departemen sebagai Landasan bagi Penataan Organisasi
Departemen; dan dalam pendayagunaan aparatur pemerintah
daerah telah diterbitkan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, menggantikan Undang-
undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah yang
tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan
pembangunan.

Di samping itu, dalam upaya memperkuat aparatur pemerintah


daerah, telah dibentuk antara lain Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda) Tingkat I dan Tingkat II, Badan
Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD), Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), Badan Pertanahan
Nasional (BPN), dan dinas daerah. Selanjutnya, untuk
memantapkan penyelenggaraan dan perwujudan otonomi daerah
yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab dengan titik berat
otonomi pada daerah tingkat II sebagaimana ditetapkan dalam
Undang-undang No. 5 Tahun 1974, telah dibentuk Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah dengan Keppres No. 23 Tahun
1975. Kemudian, untuk lebih mendayagunakan pemerintahan desa

111
telah diterbitkan Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa.

Dalam rangka pendayagunaan manajemen pembangunan telah


dikembangkan sistem perencanaan yang muncul sebagai unsur
manajemen pembangunan yang penting dan tumbuh pula sebagai
instrumen kebijaksanaan ekonomi yang mantap, khususnya dalam
peningkatan efisiensi alokasi anggaran yang disesuaikan dengan
prioritas strategi pembangsunan. Melalui mekanisme perencanaan
tersebut, alokasi sumber yang terbatas diupayakan mencapai
sasaran secara optimal. Selain itu permasalahan yang diperkirakan
akan dihadapi pada masa depan diperhitungkan sebelumnya dan
berbagai potensi, kendala, ataupun peluang diidentifikasi secara
cermat. Selanjutnya, berbagai langkah kebijaksanaan untuk
mengatasi berbagai permasalahan dan untuk mencapai berbagai
tujuan nasional disiapkan lebih dini. Dalam rangka sistem
perencanaan pembangunan tersebut, dikembangkan pula "proses
perencanaan dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah" (bottom
up and top down planning), melalui musyawarah pembangunan
tingkat desa/kelurahan, temu karya pembangunan tingkat
kecamatan, rapat koordinasi pembangunan (rakorbang) daerah
tingkat II, rakorbang dati I, konsultasi regional pembangunan, dan
konsultasi nasional pembangunan. Dengan demikian, berbagai
program dan proyek pembangunan yang direncanakan telah sejauh
mungkin menampung aspirasi, kebutuhan, permasalahan, dan
spesifikasi daerah, dan dilaksanakan dengan mengupayakan peran
serta masyarakat di daerah. Kemudian, agar pelaksanaan proyek
pembangunan berjalan secara efisien dan efektif, telah
dikembangkan sistem pemantauan dan pengendalian pelaksanaan
proyek pembangunan.

Seiring dengan itu, pengawasan pembangunan terus


dikembangkan dan didayagunakan, meliputi pengawasan melekat
(waskat), pengawasan fungsional (wasnal), dan pengawasan
masyarakat (wasmas). Melalui Keppres No. 31 Tahun 1983,
wasnal lebih ditingkatkan lagi dengan pembentukan BPKP,
sedangkan waskat lebih ditingkatkan dengan pedoman pelaksanaan

112
yang ditetapkan melalui Inpres No. 1 Tahun 1989, dan wasmas
lebih didayagunakan terutama dengan dibukanya Tromol Pos 5000
pada Kantor Wakil Presiden pada bulan April 1988. Hasil-hasil
dari pemantapan dan pelaksanaan sistem pemantauan,
pengendalian, dan pengawasan tersebut terlihat antara lain dari
meningkatnya penyelesaian proyek sesuai dengan sasaran dan
tujuan yang telah ditetapkan, penghematan pengeluaran negara dan
penambahan penerimaan negara; meningkatnya disiplin aparatur
negara dan kelancaran pelayanan kepada masyarakat.

3. Hukum

Selama PJP I sampai dengan akhir Maret tahun 1993, telah


berhasil disusun berbagai perangkat peraturan perundang-
undangan, yang meliputi Undang-undang sebanyak 239 buah;
Peraturan Pemerintah sebanyak 1.060 buah; Keputusan Presiden
sebanyak 1.561 buah; Instruksi Presiden sebanyak 252 buah; dan
sejumlah penelitian hukum serta naskah akademis peraturan
perundang-undangan.

Untuk menunjang tugas penegakan hukum, sampai dengan


akhir PJP I telah dibentuk sebanyak 27 kejaksaan tinggi, 297
kejaksaan negeri, dan 143 cabang kejaksaan negeri. Di bidang
keimigrasian telah dibentuk 83 kantor imigrasi, 64 pos imigrasi,
dan 51 karantina imigrasi. Di bidang peradilan telah dibentuk pula
295 pengadilan negeri, 26 pengadilan tinggi, 399 tempat sidang
tetap, 4 pengadilan tinggi tata usaha negara, 14 pengadilan tata
usaha negara, 21 pengadilan tinggi agama, 305 pengadilan agama,
3 mahkamah militer tinggi, dan 23 mahkamah militer. Di samping
itu, lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan negara telah
berjumlah 375 buah yang tersebar di 27 propinsi, dan telah
dibangun sebuah rumah tempat penitipan benda-benda sitaan
negara (rupbasan).

Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat telah


dilaksanakan pemberian bantuan hukum, terutama bagi golongan
masyarakat yang kurang mampu, penyederhanaan tata laksana

113
pelayanan hukum, antara lain dalam hal pemberian
kewarganegaraan, perizinan, dan pengesahan badan hukum,
pelayanan bidang hak cipta, paten, dan merek serta pelayanan
keimigrasian.

4. Penerangan dan Media Massa

Di bidang penerangan dan media massa selama PJP I telah


dilaksanakan berbagai kegiatan pembangunan untuk memperluas
penyebaran informasi tentang kebijaksanaan dan hasil
pembangunan kepada masyarakat melalui media informasi, seperti
radio, televisi, film, pers, pameran, dan penerangan serta tatap
muka.

Penyebaran informasi melalui surat kabar telah meningkat


pesat. Apabila pada awal pelaksanaan PJP I jumlah tiras surat
kabar tercatat sekitar 1,05 juta eksemplar per hari dengan rasio
surat kabar per jumlah penduduk berusia 10 tahun ke atas 1:47,
pada tahun 1992/93 jumlah tiras surat kabar mencapai sekitar 5,38
juta eksemplar per hari dengan rasio 1:26. Demikian pula, stasiun
pemancar Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik
Indonesia (TVRI) telah meningkat dari 107 buah dan 7 buah pada
awal PJP I menjadi 398 buah dan 314 buah pada tahun 1992/93.

5. Hubungan Luar Negeri

Dalam PJP I Indonesia makin berhasil membuktikan dan


memantapkan posisinya sebagai negara yang aktif dalam membina
persahabatan dengan negara lain. Stabilitas sosial politik,
keamanan, dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah
memberikan momentum yang besar dalam pembangunan hubungan
luar negeri.

Penerapan prinsip politik luar negeri bebas aktif secara


konsekuen dalam hubungan internasional, memungkinkan
Indonesia berperan aktif dalam menggalang kerja sama luar negeri
secara bilateral dan melalui berbagai organisasi internasional. Hal

114
tersebut telah meningkatkan citra, wibawa, kedudukan, dan
peranan Indonesia dalam ikut serta menciptakan ketertiban dan
perdamaian dunia yang abadi, adil, dan sejahtera. Terbentuknya
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) pada tahun
1967, yang dalam hal ini Indonesia turut mengambil prakarsa,
merupakan tekad baik Indonesia untuk membina kerja sama dengan
para tetangganya di Asia Tenggara untuk membangun kawasan
yang damai, adil, dan sejahtera. Dalam memasuki usianya yang
ke-27, ASEAN telah menjadi organisasi regional yang secara
luas diakui amat penting, baik posisi maupun sumbangannya di
bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam di dunia saat
ini.

Selanjutnya, sikap politik luar negeri Indonesia yang bebas


aktif dan selalu diarahkan untuk mendukung terciptanya
perdamaian dunia telah menempatkan posisi Indonesia dalam posisi
dan peranan yang makin mantap dan dipercaya dalam percaturan
politik regional dan global. Di kelompok negara berkembang,
Indonesia telah berhasil membangun kepercayaan dan rasa
solidaritas yang mendalam antara negara yang tergabung dalam
Gerakan Nonblok (GNB). Hal ini mencapai puncaknya ketika
Indonesia dipilih sebagai ketua dan sekaligus menjadi tuan rumah
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-10 yang cakupannya tidak
saja bidang politik, tetapi juga bidang ekonomi dan bidang sosial
budaya.

Keberhasilan penting lainnya dalam bidang politik luar negeri


adalah diterimanya konsep negara kepulauan oleh dunia
internasional yang kemudian dituangkan dalam konvensi PBB
tentang hukum laut pada tahun 1982. Sejak itu telah disepakati
bahwa Zone Ekonomi Eksklusif berada hingga jarak 200 mil dari
garis pantai suatu negara kepulauan. Hal ini memberikan
sumbangan besar bagi pembangunan nasional, baik secara politis
maupun ekonomis.

115
V. PEMBANGUNAN DI BIDANG PERTAHANAN
KEAMANAN

Pembangunan hankam selama PJP I masih menitikberatkan


pada pembangunan komponen kekuatan inti, yaitu ABRI,
sedangkan komponen lainnya baru dimulai dengan penyusunan dan
pemantapan konsepsinya meskipun di masyarakat sendiri telah ada
unsur yang secara terbatas memiliki kemampuan sebagai ratih,
linmas, dan pendukung, yang dapat dimanfaatkan sebagai
pengganda kekuatan ABRI.

Terpeliharanya stabilitas keamanan nasional yang mantap dan


terkendali. selama PJP I menggambarkan keberhasilan
pembangunan bidang hankam sehingga pembangunan nasional
dapat dilaksanakan secara aman dan lancar. Keberhasilan ini
dicapai melalui serangkaian kebijaksanaan dan upaya yang
dilaksanakan secara terarah dan terpadu. Pada awal PJP I telah
dilaksanakan konsolidasi dan integrasi kekuatan ABRI sehingga
pada Repelita II dapat dimulai pemantapan kekuatan melalui
kegiatan penyatuan kembali kekuatan yang ada. Pemantapan
satuan-satuan ABRI mulai dilaksanakan pada Repelita III melalui
kegiatan peningkatan kualitas kekuatan, pembangunan dan
rehabilitasi pangkalan, serta penggantian peralatan yang sudah tua
dengan yang lebih baik. Pada Repelita IV telah dilaksanakan
reorganisasi hankam/ABRI dalam rangka ABRI kecil, efektif, dan
efisien, dan kemudian dilanjutkan perwujudannya pada Repelita V.
Dengan demikian, secara umum pembangunan hankam pada PJP I
telah dapat mencapai sasaran yang ditetapkan berdasarkan
kemampuan yang dimiliki oleh bangsa dan negara Republik
Indonesia.

VI. KESIMPULAN

Hasil-hasil pembangunan yang antara lain telah diuraikan


secara garis besar di atas telah dinilai oleh rakyat melalui wakilnya
dalam Sidang Umum MPR tahun 1993. Kesimpulan dari penilaian
tersebut dicantumkan dalam GBHN 1993 sebagai berikut.
116
Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah menghasilkan
kemajuan dalam segenap aspek kehidupan bangsa dan telah
meletakkan landasan yang cukup kuat bagi bangsa Indonesia untuk
memasuki Pembangunan Jangka Panjang Kedua sebagai awal bagi
kebangkitan nasional kedua dan proses tinggal landas.

Keberhasilan penyelenggaraan pembangunan dapat dicapai


berkat peran serta rakyat secara menyeluruh, mantapnya
pemerintahan dan kepemimpinan nasional yang didukung oleh
stabilitas nasional yang sehat dan dinamis yang meliputi stabilitas
ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan yang
tercermin dalam terwujudnya ketahanan nasional yang tangguh.

Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang


Pertama telah banyak mencapai kemajuan dan telah berhasil
meningkatkan taraf hidup serta harkat dan martabat rakyat
Indonesia. Sasaran pembangunan ekonomi pada Pembangunan
Jangka Panjang Pertama telah dapat diwujudkan, yaitu telah
terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dan struktur ekonomi yang
makin seimbang antara industri dan pertanian. Keberhasilan
pembangunan di bidang ekonomi telah memberikan dukungan dan
dorongan terhadap pembangunan di bidang lainnya sehingga
terciptalah landasan yang mantap bagi bangsa Indonesia untuk
memasuki tahap pembangunan berikutnya. Meskipun telah tercapai
banyak kemajuan, masih banyak pula tantangan atau masalah yang
belum sepenuhnya terpecahkan yang masih perlu dilanjutkan upaya
mengatasinya pada Pembangunan Jangka Panjang Kedua.

Pertumbuhan di berbagai sektor ekonomi, terutama di sektor


pertanian, antara lain telah mencapai swasembada pangan dan di
sektor industri telah mulai menjadi tumpuan ekonomi
menggantikan sektor yang menghasilkan minyak dan gas bumi,
didukung oleh berbagai kebijaksanaan ekonomi dan moneter yang
telah menciptakan kondisi stabilitas ekonomi serta memungkinkan
memanfaatkan peluang yang tercipta di pasar dunia dan di pasar

117
dalam negeri. Pertumbuhan ekonomi telah pula memungkinkan
terjadinya pemerataan pembangunan sehingga rakyat telah makin
menikmati hasilnya serta lebih aktif terlibat dalam upaya
pembangunan. Dalam Pembangunan Jangka Panjang Pertama,
pembangunan telah menyebar di seluruh penjuru tanah air dan
jumlah rakyat yang hidup di dalam kemiskinan telah sangat banyak
berkurang. Upaya untuk lebih memeratakan pembangunan serta
menanggulangi kemiskinan dan keterbelakangan masih perlu terus
dilanjutkan dan ditingkatkan. Dalam rangka ini, penataan peran
ketiga wadah kegiatan ekonomi dalam ekonomi nasional sesuai
dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 masih perlu terus
dilanjutkan, terutama peranan koperasi. Perhatian secara khusus
perlu diberikan kepada pembinaan usaha golongan masyarakat
yang berkemampuan lemah serta upaya untuk menciptakan
lapangan kerja guna menampung angkatan kerja yang terus
meningkat.

Dalam Pembangunan Jangka Panjang Pertama kesejahteraan


rakyat telah makin meningkat, tercermin dalam peningkatan
kualitas hidup bangsa Indonesia. Pendidikan telah diselenggarakan
merata dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, antara lain
dengan wajib belajar tingkat pendidikan dasar bagi setiap warga
negara. Pendidikan nasional, di samping menghasilkan kader
pembangunan, juga telah makin memperkukuh persatuan dan
kesatuan bangsa. Upaya pembangunan pendidikan masih perlu
terus dilanjutkan untuk meningkatkan mutu pendidikan sehingga
mampu menghasilkan manusia pembangunan yang berkualitas.
Pelayanan kesehatan telah pula meningkat dan telah mampu
menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan di
bidang kesehatan serta keluarga berencana telah berhasil
meningkatkan usia harapan hidup dan telah menekan laju
pertumbuhan penduduk yang didukung oleh perumahan dan
permukiman yang layak. Pembangunan kesehatan masih perlu
terus dilanjutkan, terutama guna meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan serta jangkauan pelayanan kesehatan terutama bagi
masyarakat yang berpenghasilan rendah dan yang hidup di daerah

118
terpencil. Laju pertumbuhan penduduk masih perlu terus ditekan
sehingga jumlah penduduk mencapai tingkat keseimbangan.
Pembangunan perumahan dan permukiman yang layak masih perlu
dilanjutkan.

Kerukunan hidup antar dan antara umat beragama dan


penganut Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, peran
serta umat beragama dalam pembangunan, dan kualitas kehidupan
beragama makin meningkat; tata nilai dan norma kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara makin mantap serta
pengaruh nilai baru yang positif menumbuhkan dan memperkukuh
sikap dan perilaku manusia Indonesia yang makin maju, mandiri,
dan berkepribadian luhur.

Pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berhasil


memajukan tingkat kecerdasan masyarakat, mengembangkan
kemampuan bangsa serta ikut mendorong proses pembaruan
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang makin pesat, persaingan
antarbangsa yang makin ketat, serta dampak arus globalisasi yang
makin meluas, menuntut pemanfaatan, pengembangan, dan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi secara lebih tepat,
cepat, dan cermat serta bertanggung jawab agar mampu memacu
pembangunan menuju terwujudnya masyarakat yang mandiri,
maju, dan sejahtera.

Pembangunan hukum dan perundang-undangan telah


menciptakan sistem hukum dan produk hukum yang mengayomi
dan memberikan landasan hukum bagi kegiatan masyarakat dan
pembangunan. Kesadaran hukum yang makin meningkat dan makin
lajunya pembangunan menuntut terbentuknya sistem hukum
nasional dan produk hukum yang mendukung dan bersumber pada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan hukum
selanjutnya masih perlu memperhatikan peningkatan pemasya-
rakatan hukum, peningkatan pelaksanaan penegakan hukum secara
konsisten dan konsekuen, peningkatan aparat hukum yang

119
berkualitas dan bertanggung jawab, serta penyediaan sarana dan
prasarana pendukung yang memadai.

Keberhasilan pembangunan politik telah makin memantapkan


tatanan kehidupan politik dan kenegaraan berdasarkan Demokrasi
Pancasila yang mendorong makin berfungsi dan berperannya
lembaga politik, mantapnya perkembangan organisasi kekuatan
sosial politik dan organisasi kemasyarakatan, serta mendorong
meningkatnya kesadaran politik masyarakat. Organisasi kekuatan
sosial politik makin dituntut untuk lebih berkualitas dan mandiri
sehingga lebih berperan dalam menampung dan memperjuangkan
aspirasi masyarakat. Aparatur negara sebagai abdi negara dan abdi
masyarakat makin dituntut untuk lebih terbuka dan peka dalam
menanggapi dinamika aspirasi masyarakat. Peranan penerangan,
komunikasi, dan media massa dalam pembangunan nasional makin
menumbuhkembangkan peran serta masyarakat. Keterbukaan yang
bertanggung jawab telah makin meningkat dan berkembang,
sementara arus komunikasi timbal balik dan penyaluran aspirasi
politik masih memerlukan perhatian.

Pembangunan daerah sebagai bagian integral pembangunan


nasional telah makin mendorong dan meningkatkan stabilitas,
pemerataan, pertumbuhan, dan pengembangan daerah serta peran
serta dan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan upaya
pembangunan daerah harus senantiasa didasarkan pada otonomi
yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab dalam rangka
lebih meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan,
dan mendorong pemerataan pembangunan dan hasilnya di seluruh
tanah air.

Perkembangan penyelenggaraan hubungan luar negeri


berdasarkan prinsip politik bebas aktif dan diabdikan bagi
kepentingan nasional, pada tingkat regional cenderung makin
positif. Namun, dalam menghadapi tantangan pada tingkat global
masih perlu terus ditingkatkan kewaspadaan, keteguhan sikap, dan
kemantapan ideologi dalam memelihara Ketahanan Nasional dan

120
menghadapi tantangan karena adanya kecenderungan dan gejala
dominasi negara adikuasa yang selalu memaksakan kehendaknya
yang berdampak negatif bagi kepentingan negara berkembang.

Pembangunan pertahanan keamanan negara selama


Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah berhasil meningkatkan
kesadaran bela negara dan mengembangkan kemampuan bangsa
untuk mengatasi segala tantangan yang dihadapi bangsa dan
negara, yang tercermin dalam terpeliharanya stabilitas nasional
yang dinamis sehingga pembangunan nasional dapat berlangsung
dengan lancar dan aman. Kebutuhan personel, alat utama, serta
sarana dan prasarana pendukungnya, baik jumlah maupun kualitas,
masih perlu ditingkatkan sesuai dengan tuntutan pengamanan
pembangunan mengingat luas, posisi wilayah negara, dan jumlah
penduduk yang besar, serta kemungkinan tantangan global yang
makin meningkat.

Dari uraian hasil pembangunan dan penilaian di atas secara


umum dapat disimpulkan bahwa pembangunan dalam PJP I telah
berhasil mencapai tujuannya, yaitu meningkatkan kesejahteraan
rakyat serta meletakkan landasan yang kuat bagi tahap
pembangunan selanjutnya. Namun, disadari pula bahwa masih
terdapat berbagai masalah yang sifatnya mendasar yang belum
terselesaikan sampai dengan akhir Repelita V yang sekaligus akhir
PJP I. Masih ada ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial
yang menuntut usaha sungguh-sungguh untuk mengatasinya agar
tidak berlanjut dan berkembang ke arah keangkuhan dan
kecemburuan sosial yang dapat menghambat pembangunan. Jumlah
penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan secara absolut
masih cukup tinggi. Pertambahan jumlah penduduk dan
persebaran penduduk yang masih belum merata menimbulkan
masalah pengembangan sumber daya manusia, khususnya masalah
peningkatan kualitas, penyediaan lapangan kerja, serta optimalisasi
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara
berkelanjutan. Mutu pendidikan masih perlu ditingkatkan.
Peningkatan mutu, pemerataan pelayanan kesehatan dan perbaikan

121
gizi masyarakat masih memerlukan perhatian lebih besar lagi.
Perhatian yang lebih besar masih perlu diberikan khususnya kepada
daerah terbelakang, daerah yang padat, dan daerah yang sangat
kurang penduduknya, daerah transmigrasi, daerah terpencil, dan
daerah perbatasan, serta daerah yang memiliki khas, seperti daerah
tertentu di kawasan timur Indonesia. Pemanfaatan dan pengelolaan
sumber daya lahan, air, dan hutan, serta pola tata ruang masih
belum sepenuhnya dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu
sehingga perlu terus diperhatikan bersamaan dengan pemeliharaan
kelestarian fungsi lingkungan hidup. Semuanya itu perlu
diupayakan pemecahannya dalam PJP II yang dimulai dengan
Repelita VI.

122

Anda mungkin juga menyukai