FILSAFAT OLAHRAGA
ALIRAN FILSAFAT EKSISTENSIALISME DALAM PENDIDIKAN
Oleh :
KELAS K
KELOMPOK 2 :
FITRA RHAMADANI (210301501212)
YURLIN PALINGGI (210301500096)
MUHAMMAD TAUFIQ EDRY (210301500094)
MUHAMMAD NAUFAL SHADIQ (210301501217)
MUH. RAKA PRATAMA (210301501219)
ANDI FAJRIN RANGGA RAMADAN (210301501221)
MUHAMMAD AYYUB (210301501223)
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................................................
BAB I...............................................................................................................................................
PENDAHULUAN...........................................................................................................................
A. Latar Belakang......................................................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................
C. Tujuan Penelitian..................................................................................................................
BAB 2..............................................................................................................................................
PEMBAHASAN..............................................................................................................................
A. Munculnya Esistensialisme..................................................................................................
B. Pendapat Para Tokoh Filsafat Eksistensialisme...................................................................
C. Eksistensialisme Dalam Pendidikan….…………………………………………………7
BAB 3..............................................................................................................................................
PENUTUP.......................................................................................................................................
A. Kesimpulan...........................................................................................................................
B. Saran.....................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengkajian secara filsafat terhadap pendidikan mutlak diperlukan karena dapat membantu
menyelesaikan masalah pendidikan. Masalah pendidikan tidak dapat dipecahkan dengan
menggunakan metode ilmiah semata. Karena diantara masalah pendidikan itu terdapat
masalah filosofis, yang harus dipecahkan dengan menggunakan pendekatan filosofis. Analisa
filsafat terhadap masalah pendidikan tersebut dengan berbagai cara pendekatannya akan
dapat menghasilkan pandangan tertentu mengenai masalah-masalah pendidikan tersebut, dan
atas dasar itu bisa disusun secara sistematis teori pendidikan membantu dalam memberikan
informasi tentang hakekat manusia sebagai dirinya sendiri. Disisi lain, kajian filsafati
memberikan informasi yang berkaitan dengan pengetahuan, sumber pengetahuan, nilai, dan
bagaimanakah pengetahuan itu diperoleh, bagaimana manusia dapat memperoleh nilai
tersebut. Dengan nilai tersebut apakah pendidikan layak untuk diterapkan dan lebih jauh akan
membantu untuk menentukan bagaimana seharusnya pendidikan itu dilaksanakan.
Pendidikan disisi lain tidak bisa melepaskan tujuan untuk membentuk peserta didik yang
memiliki nilai-nilai mulai spritual, agama, kepribadian dan kecerdasan.
Pendidikan kita tidak sekedar menempatkan manusia sebagai alat produksi. Manusia harus
dipandang sebagai sumber daya yang utuh. Pendidikan tidak boleh terjebak pada teori-teori
neoklasik, suatu teori yang menempatkan manusia sebagai alat-alat produksi.
Salah satu prinsip psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak begitu saja memberikan
pengetahuan kepada siswa, tetapi siswalah yang harus aktif membangun pengetahuan dalam
pikiran mereka sendiri. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep, atau
kaidah yang siap untuk diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan dan
memberi makna melalui pangalaman nyata. Dalam eksistensialisme bahwa yang nyata adalah
yang dapat kita alami.
Berdasarkan gambaran tersebut, perlu dibahas lebih lanjut tentang eksistensialisme dengan
Subjektivitas pengalamannya dalam pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, ada beberapa rumusan masalah yang dideskripsikan
sebagai berikut
1. Bagaimanakah latar belakang munculnya filsafat Eksistensialisme ?
2. Jelaskan pendapat para tokoh eksistensialisme?
3. Bagaimanakan penerapan Filsafat eksistensialisme dalam pendidikan?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui latar belakang munculnya filsafat eksistesnsialisme
2. Mengetahui pendapat para ahli eksestensialisme
3. Mengetahui penerapan filsafat dalam pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Munculnya Eksistensialisme
Konsep eksistensialisme dikembangkan oleh ahli filsafat asal Jerman, Martin Heidegger,
merupakan bagian filsafat dan akar metodologinya berasal dari metodologi fenomenologi
yang dikembangkan oleh hussel. Kemunculan eksistensialisme berawal dari ahli filsafat
Soren Kierkegaard dan Nietzche. Soren Kierkegaard ingin menjawab pertanyaan
“bagaimanakah aku menjadi seorang diri ?”, dasar pertanyaan tersebut mengemukakan
bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu system yang umum tetapi berada dalam
eksistensi individu yang konkret.
Pandangan tersebut tentunya bukan suatu yang muncul dengan sendirinya, melainkan sesuatu
yang lahir ketika dunia mengalami krisis eksistensial, ketika manusia melupakan sifat
individualisnya. Kierkegaard berusaha untuk menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut
manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan
komitmen pribadi dalam kehidupan.
Sebagai pandangan baru, filsafat eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus
mendeskripsikan eksistensial dan pengalaman manusia dengan metodologi fenomenologi
atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap materialism dan
idealisme. Pendapat materialism terhadap manusia adalah manusia merupakan benda dunia,
manusia adalah materi, manusia adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi subyek. Pandangan
manusia menurut idealisme : manusia hanya sebagai subyek atau hanya sebagai suatu
kesadaran. Eksistesialisme berkeyakinan situasi manusia selalu berpangkalkan eksistensi
sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang konkret.
Disini bagi eksistensialisme, individu bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa
memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya,
bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang
eksistensialisme dasar bahwa kebenaran bersifat relative, karenanya masing-masing individu
bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Namun, menjadi eksistensialis bukan melulu harus menjadi seseorang yang lain daripada
yang lain, sebaliknya menjadi sadar betapa keberadaan dunia selalu menjadi sesuatu yang
berada di luar kendali manusia. Meski hal itu bukan berarti membuat sesuatu yang unik
ataupun yang baru yang menjadi esensi eksistensialisme.
Adapun secara umum, eksistensialisme membagi problem filsafat menjadi empat masalah
filosofis : eksistensi manusia, bagaimana bereksistensi secara aktif, eksistensi manusia adalah
eksistensi yang terbuka dan belum selesai, serta pengalaman eksistensial. Seadngkan Sartre
membagi eksistensialisme ke dalam dua cabang, yaitu eksistensialisme kreistiani dan
eksistensialisme ateis.
Singkatnya, eksistensialisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang berupa untuk agar
manusia menjadi dirinya, mengalami individualitasnya. Eksistensi berarti berdiri sendiri
sebagai diri sendiri. Menurut Heideggard manusia sadar dengan tempatnya.
2. Nilai.
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan.
Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan
suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun
menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar.
Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut
sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan melahirkan
kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu
sendiri, dan mungkin juga untuk suatu tujuan. Seseorang harus berkemampuan untuk
menciptakan tujuannya sendiri. Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau
masyarakat, maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya, sebagai
tujuan sendiri, yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh dalam situasi.
3. Pendidikan.
Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri
secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia
bertanggung jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun
Pribadi (1971) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan
pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah
yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan anatar manusia, hakikat kepribadian, dan
kebebasan. Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia, sedangkan
pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
a. Tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan
semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap indivudu memiliki kebutuhan dan perhatian
yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum
tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum.
b. Kurikulum.
Kaum eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi
pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suiatu tingkatan kepekaaan personal
yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum yang
memberikan para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk
mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan
menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih
penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat
menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi
tuntutan di ats adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni. Bagi beberapa
anak, pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah IPA, namun bagi
yang lainnya mungkin saja bisa sejarah, filsafat, sastra, dan sebagainya.
Dengan mata-mata pelajaran tersebut, siswa akan berkenalan dengan pandangan dan
wawasan para penulis dan pemikir termasyur, memahami hakikat manusia di dunia,
memahami kebenaran dan kesalahan, kekuasaaan, konflik, penderitaan, dan mati.
Kesemuanya itu merupakan tema-tema yang akan melibatkan siswa baik intelektual maupun
emosional. Sebagai contoh kaum eksistensialisme melihat sejarah sebagai suatu perjuangan
manusia mencapai kebebasan. Siswa harus melibatkan dirinya dalam periode apapun yang
sedang ia pelajari dan menyatukan dirinya dalam masalah-masalah kepribadian yang sedang
dipelajarinya. Sejarah yang ia pelajari harus dapat membangkitkan pikiran dan perasaannya
serta menjadi bagian dari dirinya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni.
Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan instrospeksi dan
mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan
yang dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan
yang diharapkan. Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh karena itu,
sekolah harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
Selanjutnya buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan
seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan merupakan
perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya dianggap
sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari transfer
tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan
produk dri pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk
menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan
yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu
sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan
pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan suatu yang diberikan kepada
siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya
sendiri.
d. Peranan guru.
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta
berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun demikian
dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri pada
penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene
(Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada
eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika
kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”. Urusan manusia yang paling berharga
yang mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna
merupakan proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada
siswa memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka
menemukan makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan
banyak orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.
Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu
dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain,
kemudian membimbing siswa untuk memilih alternative-alternatif, sehingga siswa akan
melihat bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih
dari itu, siswa harus menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus
belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa
mampu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak
mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas
agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan metode
utama dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi
guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog
dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam
pemenuhan dirinya.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Filsafat eksistensialisme lebih menfokuskan pada pengalaman-pengalaman
manusia. Dengan mengatakan bahwa yang nyata adalah yang dialaminya bukan diluar
kita. Jika manusia mampu menginterpretasikan semuanya terbangun atas
pengalamannya. Tujuan pendidikan adalah memberi pengalaman yang luas dan
kebebasan namun memiliki aturan-aturan. Peranan guru adalah melindungi dan
memelihara kebebasan akademik namun disisi lain guru sebagai motivator dan
fasilitator.
Adapun implikasi filsafat eksistensialisme terhadap pendidikan adalah tujuan
pendidikan harus didesain untuk memberi bekal pengalaman yang luas dan
komprehensif dalam semua bentuk kehidupan kepada siswa. Kurikulum yang
diutamakan adalah kurikulum liberal akan tetapi diimbangi dengan materi pendidikan
sosial, untuk mengajar respek (rasa hormat) terhadap kebebasan untuk semua.
2. Saran
Hakekat pendidikan menurut eksistensialisme dalam pendidikan adalah menghendaki
agar pendidikan selalu melibatkan peseta didik dalam mencari pilihan untuk
memenuhi kebutuhannya masing masing dan menemukan jati dirinya.
DAFTAR PUSTAKA