Anda di halaman 1dari 5

Sound Governance Review

Happy Maulidia Putri (215120601111037)


Dosen Pengampu: Sinergy Aditya Airlangga, S.AP., MPA.

1. Jelaskan ruang lingkup kajian tentang Sound Governance

Jawab:
Pergerakan fenomena globalisasi yang semakin masif, menimbulkan perubahan peran
historis tradisional negara dan pemerintah. Hal tersebut turut mendorong adanya
perubahan sifat dan tata kelola pemerintahan dengan waktu yang cukup singkat. Dalam
dunia kontemporer, hal tersebut menjadi persoalan yang penting. Perubahan sifat dan
tata kelola pemerintahan tersebut berhasil merubah sifat governance dan proses
administrasi di seluruh dunia sehingga, terjadilah transformasi proses governance dan
administrasi publik ataupun pondasi institusional pemerintah di negara manapun
(Farazmand, 2017).
Perkembangan globalisasi yang cepat, menimbulkan gerakan grassroot dunia yang
kontra dalam globalisasi. Gerakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi fallout
globalisasi seperti penjarahan ekonomi, degradasi lingkungan, pekerja paksa,
kemisikanan, perbudakan, dan lain sebagainya. Adanya transformasi governance dan
administrasi publik sebagai bentuk penentangan dari proses, struktur, dan nilai dari
governance dan administrasi publik. Oleh karena itu, dibutuhkannya sebuah peningkatan
dan inovasi dalam kebijakan serta langkah konkret untuk menjawab tantangan globalisasi
dengan konsep governance yang jelas.
Konsep Sound Governance menjadi salah satu konsep governance yang memilki cara
pandang lebih luas dalam memaknai penyelenggaraan pemerintahan di era globalisasi.
Sound Governance menempatkan elemen global governance atau internasional ke dalam
elemen penting yang perlu dipertimbangkan. Konsep ini mempertimbangkan pandangan
yang lebih seimbang dalam proses tata kelola pemerintahan dengan memperhitungkan
sistem governance pribumi (lokal) yang mungkin bertentangan dengan struktur kekuatan
neo-kolonialis dominan. Sound Governance memberikan ruang bagi tradisi atau inovasi
lokal tentang bagaimana negara dan pemerintahan harus ditata sesuai dengan
kebiasaan, budaya, dan kearifan lokal. Hal ini jauh berbeda dengan konsep Good
Governance yang banyak berkembang sekarang, dimana konsep Good Governance hanya
berpaku kepada elemen masyarakat, negara, dan swasta.
Selanjutnya, konsep Sound Governance lebih memerhatikan nilai-nilai konstitusi dan
responsif terhadap norma dibandingkan dengan konsep Good Governance sehingga,
dapat dikatakan bahwa konsep ini memiliki karakteristik yang jelas secara teknis,
profesional, organisasional, manajerial, politik, dan ekonomi. Konsep “soundness” yang
dimiliki oleh Sound Governance menggambarkan sistem pemerintahan yang bukan hanya
jelas secara demokratik dan tanpa cacat secara ekonomi, politik, demokratik,
konstitusional, organisasi, administratif, manajerial, dan etika tetapi, juga jelas secara
internasional/global. Terutama dalam hal interaksi dengan negara-negara lain yang
diikuti dengan sifat dan cara yang mandiri serta independen (Domai, 2012). Sound
Governance mampu merefleksikan fungsi administratif dan governing dengan kinerja dan
manajerial yang jelas dengan melibatkan sifat antisipatif, responsif, korektif, akuntabel,
serta berorientasi strategis dan jangka panjang.
Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan, dapat dikatakan bahwa Sound
Governance merupakan bentuk respon dari kegagalan dan kekurangan konsep Good
Governance yang hanya melihat dan merestrukturasi pemerintah, masyarakat, dan
swasta secara domestik dan mengabaikan peran aktor internasional yang pada
kenyataannya mampu memengaruhi dan mendominasi politik, ekonomi, serta budaya
suatu negara terlebih pada negara berkembang. Oleh karena itu, hal tersebut menjadi
ruang lingkup kajian bagi konsep Sound Governance sebagai sebuah paradigma baru.

Sumber:
Domai, Tjahjanulin. (2011). Sound Governance. Universitas Brawijaya Press (UB Press)
Farazmand, Ali. (2004). Sound Governance: Policy and Administrative Innovations.
British Library. Sound-Governance-Policy-and-Administrative-Innovations.pdf
(booksfree.org)
Farazmand, Ali. (2017). Governance Reforms: the Good, the Bad, and the Ugly; and
the Sound: Examining the Past and Exploring the Future of Public
Organizations. Public Organization Review: A Global Journal, 17, 595-617.
tps://link.springer.com/article/10.1007/s11115-017-0398-y
Setyadiharja, Rendra., Kurniasih, D., Nursnaeny, P., & Nengsih, N. (2017). Good
Governance vs Sound Governance: Acomparative Theoritical Analysis.
Proceeding of the International Conference on Democracy, Acountability and
Governance (ICODAG 2017), Riau: 23-25 November 2017. Hal. 92-101

2. Sebutkan dan jelaskan Dimensi Sound Governance

Jawab:
Sound Governance memiliki beberapa dimensi yang saling berinteraksi secara dinamis
dan mempertimbangkan keragaman, kompleksitas dan intesitas internal, serta
menindaklanjuti tantangan, batasan, dan peluang eksternal. Adapun menurut Farazmand
(2004), terdapat 10 (sepuluh) dimensi dalam Sound Governance diantaranya,
a. Proses
Sound Governance berisikan sebuah proses dalam mengatur segala interaksi
antar stakeholder yang terlibat secara terstruktur. Hal ini berbeda dengan konsep
Good Governance yang dalam prosesnya melibatkan pihak internal dan eksternal
tanpa sebuah struktur. Dapat dikatakan bahwa, Sound Governance tidak hanya
berfokus pada bagaimana sebuah pemerintahan bekerja sendiri atau berinteraksi
dengan pihak luar tetapi, juga fokus kepada cara agar semua pihak yang terlibat
saling berinterkasi dalam kerangka yang terorganisir.
b. Struktur
Struktur merupakan sebuah elemen konstitutif, aktor, norma, regulasi, prosedur,
kerangka pembuatan keputusan dan sumber otoritatif dalam melegitimasi proses
pemerintahan. Jika dimensi proses menjelaskan bagaimana governance
dijalankan maka, struktur menjelaskan definisi dan arahan bagi dimensi proses.
Wujud strukturalnya dibentuk dan dijalankan secara vertical ataupun horizontal
dan dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor, kekuatan internal dan eksternal,
serta lokal dan internasional.
c. Kognisi dan Nilai
Dimensi kognisi dan nilai merepresentasikan sistem nilai unik dalam struktur atau
proses governance. Sound Governance melahirkan nilai sehat dan dinamis yang
menjadi dasar dari dimensi proses dan struktur. Nilai normatif, keadilan, ekuitas,
integritas, responsivitas, tanggung jawab, toleransi dan kesetaraan dihadapan
hukum bagi semua rakyat tanpa terkecuali menguatkan sistem Sound Governance
yang saling menjaga semua dimensi dan tetap saling berkaitan.
d. Konstitusi
Konstitusi dalam Sound Governance merujuk pada dokumen dasar yang menjadi
panduan utama dalam tata kelola yang efektif dan efisien. Adanya konstitusi yang
jelas dan kuat, tata kelola pemerintahan dapat berjalan sesuai prinsip. Konstitusi
yang baik akan membantu dalam menentukan struktur dan proses tata kelola
atau kebijakan sehingga, tanpa konstitusi yang kuat tata kelola akan kesulitan
untuk dapat berjalan dengan baik.
e. Organisasi dan Institusi
Dalam hal ini, dimensi tersebut merujuk pada komponen organisasi dan institusi
dalam tata kelola pemerintahan. Organisasi dan institusi pemerintah bekerja
secara koordinatif dengan institusi lainnya dan menentukan struktur, proses, dan
kebijakan agar dapat menjalankan tata kelola pemerintahan dengan baik.
f. Manajemen dan Kinerja
Kedua hal ini memiliki hubungan yang erat dalam Sound Governance. Manajemen
merupakan bagian dari keseluruhan sistem yang berperan sebagai penghubung
dalam mentransmisikan sistem untuk menghasilkan hasil yang diinginkan. Sama
halnya dalam kinerja, kualitas kinerja yang baik saja tidak cukup tetapi juga harus
mampu menghasilkan hasil yang diinginkan agar dapat diterjemahkan menjadi
legitimasi institusi dan sistem.
g. Kebijakan
Dimensi kebijakan dalam Sound Governance merujuk pada perumusan dan
implementasi kebijakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip serta mampu
menyesuaikan dengan kompleksitas global, tantangan, dan peluang yang
dihadapi oleh negara, pemerintah daerah, dan organisasi. Kebijakan yang dibuat
haruslah bersifat inovatif, efektif, dan efisien.
h. Sektor
Dalam Sound Governance, dimensi ini merujuk pada fitur sektoral yang
membentuk dimensi-dimensi lainnya. Dimensi sektoral difokuskan pada sektor-
sektor spesifik seperti industri, pertanian, perkotaan, ilmiah, penelitian, dan
pengembangan, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Tata kelola sektoral
memerlukan partisipasi langsung dari masyarakat, manajemen, serta
pengetahuan dan keahlian dalam kinerja organisasi publik.
i. Kekuatan Internasional
Kekuatan internasional dalam hal ini merujuk kepada pengakuan dan
responsivitas terhadap norma, aturan, dan rezim internasional. Dalam Sound
Governance penting untuk memerhatikan nilai-nilai konstitusi dan respon
terhadap norma internasional untuk mencapai tata kelola yang baik.
j. Etika, Akuntabilitas, dan Transparansi
Dimensi ini merujuk kepada prinsip-prinsip moral pertanggungjawaban dan
keterbukaan dalam tata kelola yang baik. Etika menekankan pentingnya perilaku
jujur, adil, dan bertanggungjawab dalam pengambilan keputusan dan
pelaksanaan kebijakan. Akuntabilitas mengacu pada kewajiban pemerintah untuk
bertanggungjawab atas Tindakan dan keputusan yang diambil, serta transparansi
menuntut agar proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan dapat
dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada public.
Sumber:
Domai, Tjahjanulin. (2011). Sound Governance. Universitas Brawijaya Press (UB Press)
Farazmand, Ali. (2004). Sound Governance: Policy and Administrative Innovations.
British Library. Sound-Governance-Policy-and-Administrative-Innovations.pdf
(booksfree.org)

3. Jelaskan kritik Sound Governance terhadap Good Governance

Jawab:
Kritik terhadap Good Governance pertama kali disuarakan oleh Presiden Tanzania,
Julius K. Nyerere melalui pidatonya di Konferensi PBB di Afrika pada tahun 1998. Good
Governance dikritik karena menjadi konsep yang imprealistik dan kolonialis. Kritik
tersebut mengilhami Ali Farazmand untuk menggagas konsep Sound Governance dan
membuka arah baru pembangunan global. Dalam penerapannya, Good Governance
menjadi konsep yang dipaksakan bagi negara-negara berkembang dengan
mengkerdilkan struktur negara-negara berkembang sementara kekuatan bisnis dunia
global semakin membesar. Pada kenyataannya, relasi antara negara, swasta, dan
masyarakat sebagai aktor Good Governance tidak serta menguatkan fundamen ekonomi
rakyat.
Selanjutnya, Sound Governance memandang istilah “Good” dalam Good Governance
menjadi sesuatu yang hegemonik dan seragam. Proses penyeragaman atas sesuatu yang
disebut “Good” juga sangat dipaksakan. Hal ini dapat dikatakan sebagai bagian dari
praktek penyesuaian struktural (Farazmand, 2004). Banyak program Good Governance
diberbagai belahan dunia yang diintrodusir oleh lembaga-lembaga donor internasional
seperti IMF, ADB, UNDP dan lain sebagainya. Selain itu, indikator akan sesuatu yang
disebut “Good” juga dibawa oleh Amerika Serikat dan Eropa yang kemudian diterapkan
dalam mengukur berbagai praktek di negara berkembang. Oleh karena itu, tidak ada
ruang lokalitas untuk memaknai “Good” menurut keyakinan dan keadaan yang dimiliki
masing-masing negara sehingga, dapat dikatakan bahwa terminologi “Good” dalam Good
Governance terlalu westernized.
Kritik Sound Governance terhadap Good Governance lainnya adalah gagalnya Good
Governance dalam memasukan arus globalisasi dalam analisisnya. Good Governance
hanya berfokus kepada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di
negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Good Governance
mengesampingkan kenyataan bahwa aktor global dalam dunia internasional merupakan
aktor besar dan berkuasa atas aktor-aktor Good Governance (negara, swasta, dan
masyarakat). Adanya hal ini menyebabkan beberapa variabel penting tidak
diperhitungkan. Konsep “Good” yang sangat westernized menghilangkan kehadiran
kearifan lokal dalam standar tata kelola governance.
Kendati demikian, tidak dipungkiri bahwa Good Governance berhasil menginklusifkan
hubungan si kaya dengan si miskin dalam tingkat nasional. Oleh karena itu, tahap
selanjutnya ialah menginklusifkan hubungan negara kaya dengan negara miskin melalui
agenda Sound Governance. Kehadiran Sound Governance bukan untuk menghilangkan
konsep Good Governance tetapi untuk melengkapi kekurangan lingkup Good
Governance.

Sumber:
Andhika, Lesmana Rian. (2017). Perbandingan Konsep Tata Kelola Pemerintah: Sound
Governance, Dynamic Governance, dan Open Government. Jurnal Ekonomi dan
Kebijakan Publik, 8(2), 87-102.
https://jurnal.dpr.go.id/index.php/ekp/article/view/867/564
Domai, Tjahjanulin. (2011). Sound Governance. Universitas Brawijaya Press (UB Press)
Fathurahman, Burhanudin Mukhamad. (2019). Pemikiran Kritis Sound Governance terhadap
Globalisasi: Pandangan dari Ali Farazmand. Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan,
11(2), 139-151. https://e-
jurnal.unisda.ac.id/index.php/MADANI/article/view/1604/1002
Farazmand, Ali. (2004). Sound Governance: Policy and Administrative Innovations. British
Library. Sound-Governance-Policy-and-Administrative-Innovations.pdf
(booksfree.org)
Farazmand, Ali. (2017). Governance Reforms: the Good, the Bad, and the Ugly; and the Sound:
Examining the Past and Exploring the Future of Public Organizations. Public
Organization Review: A Global Journal, 17, 595-617.
tps://link.springer.com/article/10.1007/s11115-017-0398-y
Setyadiharja, Rendra., Kurniasih, D., Nursnaeny, P., & Nengsih, N. (2017). Good Governance
vs Sound Governance: Acomparative Theoritical Analysis. Proceeding of the
International Conference on Democracy, Acountability and Governance (ICODAG
2017), Riau: 23-25 November 2017. Hal. 92-101

Anda mungkin juga menyukai