Anda di halaman 1dari 20

Hukum Wanita Haid

BERDIAM DIRI
DI MASJID
KH. M. SHIDDIQ AL-JAWI, S.Si, MSI
[Founder Institut Mu’amalah Indonesia]
PERTANYAAN :

Apakah kalau wanita haid sudah


pakai pembalut, boleh berdiam
di masjid? Lalu apa batasan
masjid? Apakah teras masjid
termasuk masjid?
JAWABAN PERTANYAAN (RINGKAS)

Hukum Wanita Haid Berdiam Diri Di Masjid

Pendapat jumhur ulama’ dan pendapat yang


rajih (lebih kuat) adalah tidak boleh wanita
haid berdiam diri di dalam Masjid.

Batasan Area Masjid

Batasan area masjid adalah tempat


dilaksanakan sholat lima waktu, sehingga tidak
boleh wanita yang sedang haid diam atau
duduk di area itu.
01.
Hukum Wanita Haid
Berdiam Diri Di Masjid
Pendapat Jumhur Ulama’ dan
Pendapat yang rajih tentang boleh
atau tidaknya wanita Haid berdiam
diri di dalam Masjid.
Jumhur ulama, di antaranya imam madzhab yang empat, sepakat
bahwa wanita yang haid tidak boleh berdiam (al-lubts) di dalam
masjid, karena ada hadits Nabi SAW yang mengharamkannya. Imam
Dawud Azh-Zhahiri membolehkan wanita haid dan orang junub
berdiam di masjid. Namun pendapat yang kuat (rājih) adalah
pendapat jumhur yang mengharamkannya. Dalilnya adalah sabda
Rasulullah Saw:

ٍ ‫فَإِ ِني ََل أ ُ ِح َّل ال َم ْس ِج َد ِل َحا ِئ‬


ٍ ُ‫ض َو ََل ُجن‬
‫ب‬
“Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan
orang junub.”
[HR. Abu Dawud, no. 201, hadits shahih atau hasan]
Yang dimaksud berdiam (Arab: al-lubtsu, atau al-muktsu) artinya
berdiam atau tinggal di masjid, misalnya duduk untuk mengisi atau
mendengarkan pengajian, atau tidur di dalam masjid. Tidak ada
bedanya apakah dia duduk atau berdiri. Berjalan mondar-mandir (at-
taraddud) di dalam masjid, juga tidak dibolehkan bagi wanita haid.

Adapun jika seorang wanita haid sekedar lewat atau melintas (al-
murūr) di dalam masjid karena suatu keperluan, maka itu tidak apa-
apa. Dengan catatan wanita itu tidak merasa khawatir akan
mengotori masjid. Dalilnya, Nabi SAW pernah memerintah ‘Aisyah RA
untuk membawa khumrah (semacam sajadah) yang ada di masjid.
Lalu ‘Aisyah RA berkata sebagaimana dalam riwayat berikut ini :
’Aisyah RA berkata :
َ ‫ض قَا َل إن َح ْي‬
َ ‫ضت َ ِّك لَ ْي‬
‫س ْت‬ ٌ ِّ‫قُ ْلتُ إنِّ ْي َحائ‬
‫فِّ ْي يَ ِّد ِّك‬

“ Sesungguhnya aku sedang


haid” Rasulullah SAW
bersabda, “Sesungguhnya
haidhmu itu bukan berada

di tanganmu”
HR Muslim, no 299
Selain itu, ada riwayat lain dari
Maimunah RA yang berkata :
‫ّللا صلى ّللاُ علَي ِّه وسل َم يض ُع‬
ِّ ‫كان َرسو ُل‬ َ
‫ي‬ َ ُ‫ فَيتلو الق‬، ‫جر إحدانا‬
َ ‫رآن َوه‬ ِّ ‫سهُ في ِّح‬ َ ‫رأ‬
‫ وتقو ُم ِّإحدانا بال ُخمر ِّة إلى‬، ‫حائض‬ ٌ
‫ض‬
ٌ ‫ي حائ‬ ُ ‫س‬
َ ‫ َوه‬، ‫طها‬ ُ ‫ فتب‬، ‫المسج ِّد‬
ِّ


Bahwa Rasulullah SAW meletakkan
kepalanya di pangkuan salah satu
dari kami (istri-istri beliau), lalu
beliau membaca Al-Qur`an sedang
istrinya itu sedang haid. Salah
seorang dari kami pernah membawa
sajadah ke “ masjid
membentangkannya, padahal dia
lalu

sedang haidh. HR An Nasa’i, no. 272


 Berdasarkan penjelasan di atas, sesungguhnya hukum syara’ yang rājih
dalam masalah ini telah jelas, yaitu wanita haid haram hukumnya berdiam
di masjid. Adapun jika sekedar lewat atau melintas, hukumnya boleh
dengan syarat tidak ada kekhawatiran akan mengotori masjid.

 Sebagian ulama memang ada yang membolehkan wanita haid berdiam di


masjid asalkan ia merasa aman (tidak khawatir) akan dapat mengotori
masjid, misalnya dengan memakai pembalut. Dalam kitab Hasyiyah Al-
Bajuri Juz I hlm. 474-475 dikatakan, bahwa kalau wanita haid tidak khawatir
akan mengotori masjid, atau bahkan merasa aman, maka pada saat itu
tidak diharamkan baginya masuk masjid, tetapi hanya makruh saja.
 Dalam kitab Hāsyiyah Al-Bājūrī Juz I hal. 474-475 dijelaskan oleh penulisnya
Syekh Al-Bājūrī sebagai berikut :

‫ بَ ْل يُ ْك َرهُ لَ َها ِحينَ ِئ ٍذ‬، ‫َف ت َ ْلويثَهُ بَ ْل أ َ ِمنَتْهُ لَ ْم يَ ْح ُر ْم‬


ْ ‫فَإِ ْن لَ ْم تَخ‬

 “Jika wanita yang haid tidak khawatir mengotori masjid, bahkan dia
merasa aman [dari mengotori masjid], tidak haram [wanita haid itu
berdiam di dalam masjid], melainkan hanya dimakruhkan saja bagi wanita
haid itu pada saat itu.”

 (Ibrāhīm bin Muhammad bin Ahmad Al-Bājūrī, Hāsyiyah Al-Bājūrī, Beirut :


Dārul Minhāj, 2012, Juz I, hlm. 473-475)
 Menurut pemahaman kami, pendapat itu tidak dapat diterima. Sebab pendapat
tersebut tidak mempunyai landasan syar’i yang kuat. Pendapat tersebut menjadikan
“kekhawatiran mengotori masjid”, sebagai illat (alasan penetapan hukum) bagi
haramnya wanita berdiam di masjid.
 Jadi, jika kekhawatiran itu sudah lenyap (dengan memakai pembalut), maka
hukumnya tidak haram lagi. Padahal, hadits yang ada tidak menunjukkan adanya illat
bagi haramnya wanita haid untuk berdiam di masjid.
 Jadi tidak dapat dikatakan bahwa keharamannya dikarenakan ada kekhawatiran
akan menajiskan masjid. Sehingga jika kekhawatiran itu lenyap (dengan memakai
pembalut) maka hukumnya tidak haram. Tidak bisa dikatakan demikian, karena nash
yang ada tidak menunjukkan adanya illat itu. Nabi SAW hanya mengatakan :
‫ب‬ ٍ ِ‫فَإِنِي ََل أ ُ ِح َّل ال َم ْس ِج َد ِل َحائ‬
ٍ ُ‫ض َو ََل ُجن‬
 “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang
junub.” (HR Abu Dawud). Nash ini jelas tidak menunjukkan adanya illat apa pun, baik
illat secara sharahah (jelas), dalalah (penunjukan), istinbath (penggalian), atau secara
qiyas.
 Lagi pula nash tersebut bersifat mutlak, bukan muqayyad. Jadi yang diharamkan
berdiam di masjid adalah wanita haid, secara mutlak. Baik wanita haid itu akan dapat
mengotori masjid, atau tidak akan mengotori masjid.
 Memakai pembalut atau tidak memakai pembalut. Jadi, selama tidak ada dalil yang
memberikan taqyid (batasan atau sifat tertentu) —misalnya yang diharamkan hanya
wanita haid yang dapat mengotori masjid— maka dalil hadits tersebut tetap berlaku
untuk setiap wanita haid secara mutlak. Hal ini sesuai kaidah ushul fiqh:

‫َلى ِّإ ْطالَ ِّق ِّه َما لَ ْم يَ ِّر ْد َد ِّل ْي ُل الت ْق ِّي ْي ِّد‬ ُ َ‫ا َ ْل ُم ْطل‬
َ ‫ق يَ ْج ِّر ْي ع‬
Al-muthlaqu yajriy ‘ala ithlaaqihi maa lam yarid daliil at-taqyiid
“(Lafazh) mutlak tetap berlaku dalam kemutlakannya selama tidak ada dalil yang
menunjukkan adanya taqyid (pemberian batasan/sifat tertentu).”
(M. Shidqi Al-Burnu, Al-Wajīz fī Ῑdhāh Qawā’id Al-Fiqh Al-Kulliyyah, hlm. 324)
02.
Batasan Area Masjid
Batasan Area Masjid sehingga Ada fiqih
Khusus untuk wanita yang sedang haid
beraktivitas di dalamnya.
BATASAN AREA MASJID
 Setelah jelas wanita haid tidak boleh berdiam di masjid, maka pertanyaan
berikutnya adalah, apa batasan (definisi) masjid itu? Masjid adalah tempat yang telah
diwakafkan untuk mendirikan shalat jamaah bagi orang umum.
 Yang dimaksud shalat jamaah, terutama adalah shalat jamaah lima waktu dan shalat
Jumat. Namun termasuk juga shalat jamaah sunnah seperti shalat Tarawih dan shalat
Idul Fitri atau Idul adha.
 Di Indonesia, jika hanya untuk berjamaah lima waktu tetapi tidak digunakan shalat
Jumat, tempat itu biasanya tidak disebut masjid, tapi disebut musholla, atau nama
yang semisalnya, yaitu langgar (Jawa), surau (Sumatera Barat), atau meunasah
(Aceh).
 Sedang istilah masjid atau masjid jami, biasanya digunakan untuk tempat yang
dipakai shalat Jumat. Sebenarnya, semua itu termasuk kategori masjid, menurut
definisi di atas. Karena yang penting tempat itu digunakan shalat berjamaah untuk
orang umum.
BATASAN AREA MASJID
 Maka, terhadap musholla, atau langgar, surau, atau meunasah, diberlakukan juga
hukum-hukum untuk masjid, misalnya wanita haid tidak boleh berdiam di dalamnya.
 Walaupun tidak dinamakan masjid. Adapun jika sebuah tempat disiapkan untuk
shalat jamaah, tapi hanya untuk orang tertentu (misal penghuni suatu rumah), maka
tempat itu tidak dinamakan masjid, dan tidak diterapkan hukum-hukum masjid
padanya.
 Demikian pula jika sebuah tempat hanya digunakan untuk shalat secara sendiri,
bukan untuk shalat jamaah, maka itu juga bukan dinamakan masjid.
 Demikian pula jika suatu tempat belum diwakafkan untuk umum, yakni masih
menjadi inventaris kantor atau perusahaan, maka itu juga belum dapat dinamakan
masjid menurut syara’.
 Definisi di atas adalah definisi umum, yaitu untuk membedakan masjid dengan
bangunan yang bukan masjid.
 Ada definisi khusus, yaitu masjid dalam pengertian tempat-tempat yang digunakan
untuk shalat (mawadhi’ ash-shalat), atau tempat-tempat yang digunakan untuk sujud
(mawdhi’ as-sujud).
BATASAN AREA MASJID
 Definisi khusus ini untuk membedakan berlakunya hukum mesjid bagi sebuah
kompleks bangunan masjid yang luas dan terdiri dari beberapa bangunan atau ruang
untuk berbagai keperluan.
 Sebab adakalanya sebuah kompleks masjid itu memiliki banyak ruangan, atau
mungkin mempunyai dua lantai, mempunyai kamar khusus untuk penjaga masjid,
mempunyai ruang sidang/rapat, toko, teras, tempat parkir, dan sebagainya.
 Bahkan ada masjid yang lantai dasarnya kadang digunakan untuk acara resepsi
pernikahan, pameran, dan sebagainya.
 Apakah semua ruangan itu disebut masjid dan berlaku hukum-hukum masjid?
Menurut pemahaman kami, jawabnya tidak. Dalam keadaan ini, berlakulah definisi
khusus masjid, yaitu masjid sebagai mawadhi ash-sholat (tempat-tempat sholat).
 Maka dari itu, teras masjid bukanlah masjid, jika teras itu memang tidak digunakan
untuk shalat jamaah. Jika digunakan shalat jamaah, termasuk masjid. Semuanya
bukan masjid jika tidak digunakan untuk shalat jamaah
BATASAN AREA MASJID
 Ringkasnya, semua tempat atau ruang yang tidak digunakan shalat jamaah, tidak
dinamakan masjid, meski pun merupakan bagian dari keseluruhan bangunan masjid.
 Bagaimana andaikata suatu tempat di masjid (misalkan teras) kadang digunakan
shalat jamaah dan kadang tidak? Jawabannya adalah sebagai berikut.
 Yang menjadi patokan adalah apakah suatu tempat itu lebih sering dipakai shalat
jamaah, atau lebih sering tidak dipakai untuk shalat jamaah. Jika lebih sering dipakai
shalat jamaah, maka dihukumi masjid. Jika lebih sering tidak dipakai, maka tidak
dianggap masjid.
 Yang demikian itu bertolak dari suatu prinsip bahwa hukum syara’ itu didasarkan
pada dugaan kuat (ghalabatuzh zhann). Dan dugaan kuat itu dapat disimpulkan dari
kenyataan yang lebih banyak/dominan (aghlabiyah).
 Ini sebagaimana metode para fuqaha ketika menetapkan pensyariatan Musaqah
(akad menyirami pohon) —bukan Muzara’ah (akad bagi hasil pertanian)— di tanah
Khaybar.
BATASAN AREA MASJID
 Mengapa? Karena tanah di Khaybar (sekitar 50 km sebelah utara Madinah) pada
masa Nabi SAW sebagian besarnya adalah tanah-tanah yang berpohon kurma.
Sedang di sela-sela pohon kurma itu, yang luasnya lebih sedikit, ada tanah-tanah
kosong yang bisa ditanami jewawut atau gandum.

 Hal ini bisa diketahui dari riwayat Ibnu Umar RA sbb :


َ ‫ فَك‬، ‫ج ِّم ْن ث َ َمر أ َ ْو َز ْرع‬
‫َان‬ ُ ‫ش ْط ِّر َما يَ ْخ ُر‬ َ ‫علَ ْيهُ َو‬
َ ‫سل َم َخ ْيبَ َر ِّب‬ َ ُ‫صلى ّللا‬ ِّ ‫ « أ َ ْع َطى َرسو ُل‬: ‫ قَا َل‬، ‫ع َم َر‬
َ ‫ّللا‬ ُ ‫ ع َْن ا ْب ِّن‬
» ‫سقًا ِّم ْن شَعير‬ ْ ‫ين َو‬َ ‫ َو ِّعش ِّْر‬، ‫سقًا ِّم ْن ت َ ُمر‬
ْ ‫ين َو‬ ْ ‫سنَة ِّمائَةَ َو‬
َ ‫ ث َ َما ِّن‬، ‫سق‬ َ ‫يُ ْعطي أ َ ْز َوا َجهُ كُل‬
 Dari Ibnu Umar RA, bahwa hasil pertanian Khaybar yang diberikan Rasulullah SAW
kepada para isteri beliau setiap tahunnya, jumlahnya 100 wasaq, terdiri 80 wasaq
buah kurma dan 20 wasaq jewawut. [HR. Muslim, no. 2805]. Karena yang lebih
banyak adalah hasil kurma, bukan jewawut, maka akad yang ada di Khaybar
sesungguhnya adalah Musaqah, bukan Muzara`ah. ( Catatan: 1 wasaq = 130,560 kg
gandum ).
Kesimpulan
Penjelasan di atas menunjukkan contoh kasus bahwa hukum syara’ itu
dapat didasarkan pada kenyataan yang lebih banyak (aghlabiyah).
Maka dari itu, ketika kita menghadapi fakta adanya teras masjid yang
kadang dipakai shalat dan kadang tidak dipakai shalat jamaah, kita harus
melihat dulu, manakah yang aghlabiyah (yang lebih banyak/sering).
Jika lebih sering dipakai shalat jamaah, maka teras itu dihukumi masjid.
Dan jika lebih sering tidak dipakai shalat jamaah, maka teras itu
dianggap bukan masjid.

Wallāhu a’lam
KH. M. SHIDDIQ AL JAWI, S.Si, MSI
FOUNDER INSTITUT MUAMALAH INDONESIA

@ustadz_shiddiqaljawi Fissilmi-Kaffah.com Shiddiqaljawi.id admin@shiddiqaljawi.id Shiddiqaljawi id

Anda mungkin juga menyukai