Anda di halaman 1dari 1

Pagi yang cerah kali ini, Kartini melakukan rutinitasnya untuk mengajar para anak-anak di desa.

Ia
melangkah dengan menikmati angin yang menerpa wajahnya.

“Arep teng pundi, Ndoro?” Tanya wanita pribumi itu dengan senyum ramahnya.

Kartini menghentikan langkahnya sejenak, “Ngajar bu,” ia masih berhenti di sana, “Kulo ngajar,
nggeh bu. Monggo,” ucapnya lalu melangkahkan kakinya kembali meninggalkan wanita paruh baya
tersebut.

“Ndoro ajeng!” Seru beberapa gadis pribumi itu serentak.

Kartini tersenyum sumringah, “Wes podo siap belajar toh,” kemudian, Kartini terduduk di tanah
tanpa alas tersebut.

Kartini mulai mengeluarkan buku-buku yang ia bawa, “Sinau saiki yo!”

“Nggih, ndoro..” ucap keempat anak perempuan itu dengan serentak.

Ditengah pelajaran itu berlangsung, terdengar suara lantang yang tak asing lagi bagi telinga pribumi.

“Hei!! Apa yang sedang koe lakukan!” londho itu berteriak.

Mendengar itu, kartini langsung menyembunyikan buku-buku yang ia keluarkan tersebut, “Dolanan-
dolanan!” perintah Kartini.

Dengan cepat, mereka berlima langsung berpura-pura seolah mereka tengah bermain.

Londho itu semakin mendekat, “Apa yang sedang koe lakukan!” ucap londho tersebut dengan nada
tinggi.

Kartini yang menunduk, langsung menjawab, “Dolanan, tuan,” ucapnya sembari terus
menundukkan kepalanya.

Londho itu terdiam sejenak. Pandangannya nampak meneliti barang² yang berada di sekitar Kartini
dan keempat muridnya tersebut, “Kalau saya tahu kalian belajar. Mati koe di tangan saya!” ucap
londho tersebut dengan penuh penekanan.

Tak lama kemudian, kelima londho tersebut mulai pergi dari hadapan mereka, “Oo, pancene londho
—“

Kartini menahan salah satu muridnya yang akan melempar londho itu dengan batu, “Uwes-uwes!
Kita lanjutkan belajarnya saja,”

Kartini tertawa pelan, “Mereka tidak tahu saja kalau kita sedang belajar,”

Kemudian, tawa itu disusul dengan keempat pribumi tersebut, dengan tawa yang keras.

Anda mungkin juga menyukai