Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH TAXTATION

Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Taxtation

Dosen: Drs. Edi Sudiarto MM, AK, CA

DISUSUN OLEH:

1. Azizah Salsabilah (K.2022.5.35856)


2. Azza Alna Baiqhaq (K.2022.1.35645)
3. Enricko Hogi Santoso (K.2022.5.35754)
4. Kevin Arya Tani Jaya (K.2022.1.35652)
5. Mercidominick Fidelius C.M.P (K.2022.1.35637)

STIE MALANGKUÇEÇWARAMALANG
Maret 2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah Taxtation

Tidak lupa juga kami mengucapkan terimakasih kepada semua anggota kelompok yang telah
turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan bisa
maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan
maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati
menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi
untukpembaca.

Malang, 31 Maret 2024

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


PPH Pasal 4 Ayat 2 Tahun 2022
PPH Pasal 4 Ayat 2 adalah salah satu ketentuan dalam peraturan perpajakan
Indonesia yang mengatur tentang pengenaan pajak penghasilan terhadap penghasilan
yang diterima oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan badan usaha atau orang
pribadi. Pengenaan PPH Pasal 4 Ayat 2 umumnya berlaku untuk penghasilan berupa
royalti, bunga, sewa, honorarium, hadiah, dan sejenisnya. Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 2021 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2021 dikeluarkan
untuk mengatur lebih lanjut mengenai perpajakan di Indonesia. Dalam konteks PPH,
PP ini mungkin mengatur tarif pajak, prosedur administrasi, keringanan pajak, atau
hal-hal terkait lainnya yang berkaitan dengan penerimaan pajak penghasilan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 adalah undang-undang yang diterbitkan pada
tahun 2022 dan mungkin memiliki keterkaitan dengan sistem perpajakan secara
keseluruhan atau aspek-aspek tertentu dalam perpajakan. Undang-undang tersebut
bisa saja mengatur mengenai dasar hukum bagi peraturan perpajakan yang berlaku,
prinsip-prinsip umum perpajakan, atau perubahan signifikan dalam kebijakan
perpajakan.
Ketiga elemen di atas merupakan bagian dari kerangka hukum perpajakan di
Indonesia yang secara bersama-sama membentuk regulasi, prosedur, dan kewajiban
perpajakan bagi Wajib Pajak. Perubahan atau penambahan dalam ketentuan-
ketentuan tersebut dapat memengaruhi cara perhitungan, pembayaran, dan pelaporan
pajak penghasilan di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan dari isi PPH pasal 4 Ayat 2 Tahun 2022?
2. Apa saja isi dari PP NO. 10 tahun 2021?
3. Apa saja isi dari UU No.1 Tahun 2022?
1.3 Tujuan
1. Memaparkan isi dari pasal 4 Ayat 2 Tahun 2022
2. Memaparkan isi dari PP No. 10 tahun 2021
3. Memaparkan isi dari UU No.1 Tahun 2022
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Isi PPH Pasal 4 Ayat 2 Tahun 2022

A. Pengertian

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) merupakan pemotongan atas penghasilan yang
dibayarkan sehubungan dengan jasa dan sumber tertentu, seperti jasa konstruksi, sewa
tanah dan/atau bangunan, hadiah undian, dan lain sebagainya.

Ringkasnya, PPh Pasal 4 ayat (2) adalah pajak penghasilan atas jenis penghasilan tertentu
yang bersifat final dan tidak bisa dikreditkan dengan pajak penghasilan terutang. Maka dari
itu, PPh Pasal 4 ayat (2) ini dikenal juga sebagai PPh Final.

PPh Pasal 4 ayat (2) memiliki skema tarif khusus atas setiap jenis penghasilan, serta biaya
yang terkait atas penghasilan tersebut tidak bisa menjadi pengurang penghasilan bruto.
Pembayaran dan pemotongan/pemungutan PPh Pasal 4 ayat (2) bukan merupakan
pembayaran di muka atas PPh terutang, melainkan menjadi pelunasan. Dengan demikian,
Wajib Pajak yang telah dipotong atau menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) terutangnya,
maka sudah dianggap melunasi pajaknya.

B. Kategori PPH Pasal 4 Ayat (2)

Secara garis besar, kategori PPH Pasal 4 Ayat 2 dibagi menjadi 2 berdasarkan mekanisme
pengenaannya, yaitu:

1. Di Potong Pihak Lain:

Dalam hal ini, wajib pajak yang telah dipotong atau dipungut pajak penghasilannya
hanya akan menerima bukti pemotongan dari pihak pemotong.

2. Di Setor Sendiri:

Dalam hal ini, Wajib Pajak sebagai pihak pemotong/pemungut pajak dan harus
menyetorkannya ke kas negara.
C. Objek PPH Pasal 4 AYAT (2)

Objek PPh Pasal 4 ayat (2) dikenakan terhadap penghasilan atau pendapatan tertentu, yang
di antaranya berupa:

1. Bunga Deposito atau Obligasi


Objek PPh Pasal 4 ayat (2) dapat berupa penghasilan dari bunga deposito dan jenis-
jenis tabungan lainnya, bunga dari obligasi, surat utang negara, serta bunga dari
tabungan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.
2. Hadiah
Objek PPh Pasal 4 ayat (2) dapat berupa penghasilan dari hadiah berupa lotre atau
undian.
3. Transaksi Saham atau Surat Berharga
Objek PPh Pasal 4 ayat (2) dapat berupa penghasilan dari transaksi saham dan
sekuritas lainnya, transaksi derivatif perdagangan bursa, serta transaksi penjualan
atas saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang
diperoleh perusahaan modal ventura atau usaha.
4. Pengalihan Harta, Sewa Tanah, dan/atau Bangunan
Objek PPh Pasal 4 ayat (2) dapat berupa penghasilan dari transaksi atas pengalihan
harta dalam bentuk tanah dan/atau bangunan yang meliputi transaksi penjualan,
tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, penyerahan atau pelepasan hak, hibah,
waris, dan lelang. Kemudian, objek PPh Pasal 4 ayat (2) juga berupa persewaan
atas tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, gedung, toko, gudang, bangunan
industri, dan kondominium. Selain itu, objek PPh Pasal 4 ayat (2) juga untuk usaha
jasa konstruksi, usaha real estate, dan penghasilan dari perencanaan atau
pengawasan konstruksi.
5. Penghasilan Tertentu Lainnya
Objek PPh Pasal 4 ayat (2) dapat berupa penghasilan yang diterima oleh Wajib
Pajak yang mempunyai peredaran bruto tertentu, yakni tidak melebihi 4,8 miliar
dalam 1 (satu) tahun pajak. Serta, penghasilan tertentu lainnya yang telah diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
D. Tarif PPH Pasal 4 Ayat 2

Tarif PPh Pasal 4 ayat (2) yang dikenakan kepada Wajib Pajak baik orang pribadi
maupun badan akan merujuk pada sumber-sumber penghasilan yang diperolehnya. Berikut ini
tarif dari setiap objek pajak PPh Pasal 4 ayat (2):

1. Tarif sebesar 20% dikenakan atas bunga deposito/tabungan, diskonto Sertifikat


Bank Indonesia (SBI), serta jasa giro.

Contoh: Misalkan seseorang memiliki deposito di bank yang memberikan bunga


sebesar Rp 10.000.000 dalam satu tahun. Ketika bunga tersebut dibayarkan, bank
akan melakukan pemotongan pajak sebesar 20%, atau Rp 2.000.000, sehingga yang
diterima oleh pemilik deposito adalah Rp 8.000.000.

2. Tarif sebesar 10% dikenakan atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi

kepada para anggotanya (kecuali bunga dibawah Rp 240 ribu tidak dikenakan

pajak).

Contoh: Anggota sebuah koperasi menerima bunga simpanan sebesar Rp 300.000

dalam satu tahun. Dalam hal ini, bunga tersebut akan dikenakan pajak sebesar 10%.

Namun, karena ada batasan bahwa bunga di bawah Rp 240 ribu tidak dikenakan

pajak, bunga sebesar Rp 300.000 hanya akan dikenakan pajak atas selisihnya

dengan Rp 240 ribu, yaitu Rp 60.000. Jadi, jumlah pajak yang harus dibayarkan

adalah 10% dari Rp 60.000, atau Rp 6.000. Setelah pemotongan pajak sebesar Rp

6.000, anggota koperasi akan menerima jumlah bersih dari bunga simpanannya,

yaitu Rp 294.000.

3. Tarif sebesar 10% dikenakan atas dividen yang diterima oleh Wajib Pajak orang

pribadi dalam negeri yang tidak menginvestasikan dividennya di dalam negeri

dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak dividen diperoleh. Apabila diinvestasikan,

maka tidak dikenakan pajak


Contoh: Seorang individu menerima dividen sebesar Rp 10.000.000 dari investasi

sahamnya dalam satu tahun. Jika individu tersebut memilih untuk tidak

menginvestasikan dividen tersebut di dalam negeri, maka akan dikenakan pajak

sebesar 10%. Jadi, jumlah pajak yang harus dibayarkan adalah 10% dari Rp

10.000.000, atau Rp 1.000.000. Namun, jika individu tersebut memutuskan untuk

menginvestasikan dividen tersebut di dalam negeri, maka dividen tersebut tidak

akan dikenakan pajak.

4. Tarif sebesar 10% dikenatan terhadap persewaan atas tanah dan/atau bangunan.

Contoh: Misalkan seseorang memiliki sebuah rumah yang disewakan kepada

penyewa dengan harga sewa bulanan sebesar Rp 5.000.000. Dalam hal ini, pemilik

rumah akan dikenakan pajak sebesar 10% dari jumlah sewa yang diterima. Jadi,

jumlah pajak yang harus dibayarkan adalah 10% dari Rp 5.000.000, atau Rp

500.000. Pajak tersebut harus dilaporkan dan dibayarkan sesuai dengan ketentuan

perpajakan yang berlaku di negara tempat tanah atau bangunan tersebut berada.

Pemilik properti biasanya bertanggung jawab untuk menyampaikan laporan pajak

yang tepat dan membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan

perpajakan yang berlaku.

5. Tarif sebesar 0% — 20% dikenakan atas bunga obligasi (surat utang negara) dan

SUN lebih dari 12 bulan.

Contoh: Seorang investor yang memegang obligasi pemerintah dengan bunga

tahunan sebesar Rp 10.000.000. Tarif pajak yang dikenakan bisa bervariasi

berdasarkan tarif progresif yang mungkin berlaku.

Misalnya:

Jika tarif pajak adalah 0% untuk penghasilan hingga Rp 5.000.000, maka bunga

obligasi sebesar Rp 10.000.000 tidak akan dikenakan pajak.


Namun, jika tarif pajak adalah 10% untuk penghasilan hingga Rp 50.000.000, maka

individu tersebut akan dikenakan pajak sebesar 10% dari jumlah bunga obligasi,

yaitu Rp 1.000.000.

Jika tarif pajak adalah 20% untuk penghasilan di atas Rp 50.000.000, dan bunga

obligasi lebih dari itu, maka individu tersebut akan dikenakan pajak sesuai dengan

tarif tersebut. Pajak yang harus dibayarkan akan dihitung berdasarkan tarif yang

berlaku dan jumlah bunga yang diterima.

6. Tarif sebesar 25% dikenakan atas hadiah undian atau lotre. Ketentuan ini lebih

lanjut diatur dalam PP Nomor 132 Tahun 2000.

Contoh: Seseorang memenangkan hadiah undian sebesar Rp 100.000.000. Dalam

hal ini, penerima hadiah tersebut akan dikenakan pajak sebesar 25% dari jumlah

hadiah yang diterima. Jadi, jumlah pajak yang harus dibayarkan adalah 25% dari

Rp 100.000.000, atau Rp 25.000.000. Pajak tersebut akan dipotong langsung dari

nilai hadiah yang diterima oleh penerima hadiah undian atau lotere sebelum mereka

menerima pembayaran. Ini bertujuan untuk memastikan kewajiban pajak dipenuhi

secara tepat waktu.

7. Tarif sebesar 0,5% dikenakan atas transaksi penjualan saham pendiri dan tarif

sebesar 0,1% dikenakan atas transaksi saham bukan pendiri.

Contoh: Seorang pendiri perusahaan menjual sahamnya sebesar Rp 10.000.000.

Berdasarkan tarif yang berlaku:

Transaksi penjualan saham pendiri:

Tarif pajak: 0,5%

Jumlah pajak yang harus dibayarkan: 0,5% dari Rp 10.000.000 = Rp 50.000

Transaksi penjualan saham bukan pendiri:


Tarif pajak: 0,1%

Jumlah pajak yang harus dibayarkan: 0,1% dari Rp 10.000.000 = Rp 10.000

Dengan demikian, pendiri perusahaan akan dikenakan pajak sebesar Rp 50.000 atas

transaksi penjualan sahamnya, sedangkan pihak lain yang bukan pendiri perusahaan

akan dikenakan pajak sebesar Rp 10.000 atas transaksi penjualan saham mereka.

Pajak atas transaksi penjualan saham ini biasanya dipotong oleh pihak yang

mengelola transaksi, seperti perusahaan efek atau bursa efek, dan kemudian

disetorkan ke pihak berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang

berlaku.

8. Tarif sebesar 5% dikenakan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan,

termasuk usaha real estate. Sedangkan, tarif sebesar 1% dikenakan atas pengalihan

rumah sederhana dan rumah susun sederhana.

Contoh: Seseorang mengalihkan hak atas sebuah rumah dengan nilai Rp

1.000.000.000. Berdasarkan tarif yang berlaku:

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (termasuk usaha real estate):

Tarif pajak: 5%

Jumlah pajak yang harus dibayarkan: 5% dari Rp 1.000.000.000 = Rp 50.000.000

Pengalihan rumah sederhana dan rumah susun sederhana:

Tarif pajak: 1%

Jumlah pajak yang harus dibayarkan: 1% dari Rp 1.000.000.000 = Rp 10.000.000

Dengan demikian, jika seseorang mengalihkan hak atas rumah tersebut dan itu

termasuk dalam kategori rumah sederhana atau rumah susun sederhana, pajak yang

harus dibayarkan adalah Rp 10.000.000. Namun, jika itu bukan rumah sederhana

atau rumah susun sederhana, pajak yang harus dibayarkan adalah Rp 50.000.000.
9. Tarif sebesar 0,1% dikenakan atas transaksi penjualan saham atau pengalihan

penyerahan modal pada perusahaan pasangannya yang diperoleh perusahaan modal

ventura.

Contoh: Perusahaan modal ventura melakukan transaksi penjualan saham

perusahaan pasangan dengan nilai Rp 100.000.000. Berdasarkan tarif yang berlaku:

Tarif pajak: 0,1%

Jumlah pajak yang harus dibayarkan: 0,1% dari Rp 100.000.000 = Rp 100.000

Dengan demikian, perusahaan modal ventura akan dikenakan pajak sebesar Rp

100.000 atas transaksi penjualan saham atau pengalihan penyerahan modal pada

perusahaan pasangan sebesar Rp 100.000.000.

10. Tarif sebesar 2,5% dikenakan atas transaksi derivatif berjangka panjang yang sudah

diperdagangkan di bursa

Contoh: Seorang investor melakukan transaksi pembelian kontrak berjangka

panjang untuk suatu aset di bursa dengan nilai kontrak Rp 1.000.000.000.

Berdasarkan tarif yang berlaku:

Tarif pajak: 2,5%

Jumlah pajak yang harus dibayarkan: 2,5% dari Rp 1.000.000.000 = Rp 25.000.000

Dengan demikian, investor tersebut akan dikenakan pajak sebesar Rp 25.000.000

atas transaksi derivatif berjangka panjang senilai Rp 1.000.000.000 yang

dilakukannya di bursa.

11. Tarif sebesar 1,75% dikenakan terhadap pelaksana jasa konstruksi kecil dengan

sertifikasi;

Contoh: Seorang pelaksana jasa konstruksi kecil dengan sertifikasi melakukan

sebuah proyek konstruksi senilai Rp 1.000.000.000. Berdasarkan tarif yang berlaku:

Tarif pajak: 1,75%


Jumlah pajak yang harus dibayarkan: 1,75% dari Rp 1.000.000.000 = Rp

17.500.000 Dengan demikian, pelaksana jasa konstruksi kecil dengan sertifikasi

tersebut akan dikenakan pajak sebesar Rp 17.500.000 atas proyek konstruksi senilai

Rp 1.000.000.000 yang dilakukannya.

12. Tarif sebesar 4% dikenakan terhadap pelaksana jasa konstruksi tanpa sertifikasi;

Contoh: Seorang pelaksana jasa konstruksi tanpa sertifikasi melakukan sebuah

proyek konstruksi senilai Rp 1.000.000.000. Berdasarkan tarif yang berlaku:

Tarif pajak: 4%

Jumlah pajak yang harus dibayarkan: 4% dari Rp 1.000.000.000 = Rp 40.000.000

Dengan demikian, pelaksana jasa konstruksi tanpa sertifikasi tersebut akan

dikenakan pajak sebesar Rp 40.000.000 atas proyek konstruksi senilai Rp

1.000.000.000 yang dilakukannya.

13. Tarif sebesar 2,65% dikenakan terhadap pelaksana konstruksi menengah dan besar;

Contoh: seorang pelaksana konstruksi menengah dan besar melakukan sebuah

proyek konstruksi senilai Rp 1.000.000.000. Berdasarkan tarif yang berlaku:

Tarif pajak: 2,65%

Jumlah pajak yang harus dibayarkan: 2,65% dari Rp 1.000.000.000 = Rp

26.500.000. Dengan demikian, pelaksana konstruksi menengah dan besar tersebut

akan dikenakan pajak sebesar Rp 26.500.000 atas proyek konstruksi senilai Rp

1.000.000.000 yang dilakukannya.

14. Tarif sebesar 2,65% dikenakan atas penyedia jasa yang mempunyai sertifikasi

badan usaha;

Contoh: Seorang penyedia jasa yang telah memiliki sertifikasi badan usaha

melakukan sebuah proyek jasa senilai Rp 1.000.000.000. Berdasarkan tarif yang

berlaku:
Tarif pajak: 2,65%

Jumlah pajak yang harus dibayarkan: 2,65% dari Rp 1.000.000.000 = Rp

26.500.000. Dengan demikian, penyedia jasa yang memiliki sertifikasi badan usaha

tersebut akan dikenakan pajak sebesar Rp 26.500.000 atas proyek jasa senilai Rp

1.000.000.000 yang dilakukannya.

15. Tarif sebesar 4% dikenakan atas penyedia jasa yang mempunyai sertifikasi badan

usaha;

Contoh: Seorang penyedia jasa yang telah memiliki sertifikasi badan usaha

melakukan sebuah proyek jasa senilai Rp 1.000.000.000. Berdasarkan tarif yang

berlaku:

Tarif pajak: 4%

Jumlah pajak yang harus dibayarkan: 4% dari Rp 1.000.000.000 = Rp 40.000.000

Dengan demikian, penyedia jasa yang memiliki sertifikasi badan usaha tersebut

akan dikenakan pajak sebesar Rp 40.000.000 atas proyek jasa senilai Rp

1.000.000.000 yang dilakukannya.

16. Tarif sebesar 3,5% dikenakan terhadap perancang atau pengawas jasa konstruksi

oleh penyedia jasa konstruksi yang mempunyai sertifikasi usaha;

Contoh: Seorang perancang jasa konstruksi bekerja pada sebuah proyek yang

dijalankan oleh penyedia jasa konstruksi yang memiliki sertifikasi badan usaha, dan

nilai proyek tersebut adalah Rp 1.000.000.000. Berdasarkan tarif yang berlaku:

Tarif pajak: 3,5%

Jumlah pajak yang harus dibayarkan: 3,5% dari Rp 1.000.000.000 = Rp 35.000.000.

Dengan demikian, perancang atau pengawas jasa konstruksi tersebut akan

dikenakan pajak sebesar Rp 35.000.000 atas proyek jasa konstruksi senilai Rp


1.000.000.000 yang dijalankan oleh penyedia jasa konstruksi yang memiliki

sertifikasi badan usaha.

17. Tarif sebesar 6% dikenakan terhadap perancang atau pengawas jasa konstruksi oleh

penyedia jasa konstruksi yang tidak mempunyai sertifikasi usaha.

Contoh: Seorang perancang jasa konstruksi bekerja pada sebuah proyek yang

dijalankan oleh penyedia jasa konstruksi yang tidak memiliki sertifikasi badan

usaha, dan nilai proyek tersebut adalah Rp 1.000.000.000. Berdasarkan tarif yang

berlaku:

Tarif pajak: 6%

Jumlah pajak yang harus dibayarkan: 6% dari Rp 1.000.000.000 = Rp 60.000.000

Dengan demikian, perancang atau pengawas jasa konstruksi tersebut akan

dikenakan pajak sebesar Rp 60.000.000 atas proyek jasa konstruksi senilai Rp

1.000.000.000 yang dijalankan oleh penyedia jasa konstruksi tanpa sertifikasi badan

usaha.

2.2 Isi PP No. 10 Tahun 2021

Dalam Pasal 1

Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1 Pemerintah Pusat adalah

Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara

Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara

pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangan daerah otonom. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang

selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang

berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Peraturan


Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah

Perda provinsi dan Perda kabupaten/kota.

Pasal 2

(1) Pengaturan Peraturan Pemerintah ini bertujuan: a. memperkuat peran

Pemerintah Daerah dalam rangka mendukung Kebijakan Fiskal Nasional; dan

b. mendukung pelaksanaan penyederhanaan pertzinan dan kebijakan

kemudahan berusaha dan layanan daerah. (2) Untuk mencapai tujuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rLlang lingkup Peraturan Pemerintah ini

meliputi: a. penyesuaian tarif Pajak dan Retribusi; b. evaluasi rancangan Perda

dan Perda mengenai Pajak dan Retribusi; c. pengawasan Perda mengenai pajak

dan Retribusi; d. dukungan insentif pelaksanaan kemudahan berusaha; dan e.

sanksi administratif.

PENYESUAIAN TARIF PAJAK DAN RETRIBUSI Pasal 3

(1) Pemerintah Pusat sesuai dengan program prioritas nasional dapat melakukan

penyesuaian tarif pajak dan/atau Retribusi yang telah ditetapkan dalam Perda

mengenai Pajak dan/atau Retribusi. (2) Program prioritas nasional

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa proyek strategis nasional yang

ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan

perulndang-undangan. (3) Penyesuaian tarif Pajak dan/atau Retribusi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

Pasal 4

(1) Menteri/pimpinan lembaga selaku penanggung jawab proyek strategis nasional

mengajukan usulan penyesuaian tarif Pajak dan/atau Retribusi kepada Menteri


Keuangan. (2) Pengajuan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling

sedikit melampirkan: a. proyeksi beban biaya Pajak dan/atau Retribusi yang

harus ditanggung proyek strategis nasional; b. daftar jenis Pajak dan/atau

Retribusi yang akan dilakukan penyesuaian tarif; c. usulan besaran penyesuaian

tarif; dan d. studi kelayakan proyek.

Pasal 5

Kementerian Keuangan melakukan reviu atas usulan penyesuaian tarif Pajak

dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan

mempertimbangkan: a. penerimaan Pajak dan/atau Retribusi dalam 5 (lima) tahun

terakhir daerah yang bersangkutan; b. dampak terhadap fiskal nasional dan daerah;

c. urgensi penetapan tarif; d. kapasitas fiskal daerah; dan e. insentif fiskal yang

telah diterima.

2.3 Isi UU No. 1 Tahun 2022

Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Hubungan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem

penyelenggaraan keuangan yang mengatur hak dan kewajiban keuangan an:tara

pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang dilaksanakan secara adil,

transparan, akuntabel, dan selaras berdasarkan undang-undang.

Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik

Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia

yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimalsud dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Menteri adalah

menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.


4. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh

pemerintah daerah dan dewan perwakilan ralqrat daerah menurut asas otonomi dan

tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5. Pemerintah Daerah

adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang

memimpin petaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah

otonom. 6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD

adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur

penyelenggara Pemerintahan Daerah.

PERTANYAAN DARI PRESENTASI:

Bagiamana cara menuntukan penghasilan atau transaksi termasuk sebagai objek

pajak

Kenapa pph pasa 4 ayat 2 di anggap final dan bagimana perlakuan perpajakannya

JelasKan apakah pajak yang dipotong pihak lain berpengaruh kepada penghasilan

kita

Apakah ada penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak PPh Pasal 4 Ayat 2?

PEMBAHASAN DARI PERTANYAAN TERSEBUT:

1. Untuk menentukan apakah suatu penghasilan atau transaksi termasuk sebagai

objek pajak, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:

1. Identifikasi Jenis Penghasilan atau Transaksi

Langkah pertama adalah mengidentifikasi jenis penghasilan atau transaksi yang

dimaksud. Apakah penghasilan tersebut berasal dari gaji, usaha, investasi, atau
lainnya? Apakah transaksi tersebut merupakan penjualan barang, jasa, atau

aset?

2. Periksa Undang-Undang Pajak

Setelah mengetahui jenis penghasilan atau transaksi, langkah berikutnya adalah

merujuk pada Undang-Undang Pajak yang berlaku di Indonesia, khususnya

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).

Dalam UU PPh tersebut, terdapat penjelasan mengenai objek pajak, subjek

pajak, tarif pajak, dan tata cara penghitungan pajak.

3. Klasifikasikan Objek Pajak

Berdasarkan UU PPh, objek pajak diklasifikasikan menjadi beberapa kategori,

antara lain:

Penghasilan dari pekerjaan, usaha, dan jasa

Penghasilan dari modal

Penghasilan dari pengalihan harta

Penghasilan tertentu lainnya

4. Perhatikan Pengecualian

Perlu diingat bahwa tidak semua penghasilan atau transaksi dikenakan pajak.

UU PPh juga mengatur mengenai pengecualian objek pajak, seperti:

Bantuan atau sumbangan

Harta hibahan

Warisan

Penghasilan yang diterima dalam bentuk natura

Penghasilan yang tidak melampaui batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

5. Konsultasi dengan Ahli Pajak


Jika masih ragu atau terdapat kerumitan dalam menentukan objek pajak,

sebaiknya konsultasikan dengan ahli pajak atau Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Ahli pajak atau DJP dapat memberikan penjelasan dan panduan yang lebih

spesifik terkait dengan penghasilan atau transaksi yang dimaksud.

2. PPh Pasal 4 ayat 2 dianggap final karena beberapa alasan berikut:

1. Pemungutan Pajak yang Sederhana:

PPh Pasal 4 ayat 2 menggunakan sistem pemotongan langsung (withholding

tax) oleh pihak pembayar penghasilan kepada penerima penghasilan. Sistem ini

memudahkan proses pemungutan pajak dan mengurangi beban administrasi

bagi wajib pajak.

2. Kepastian Hukum:

Dengan sifatnya yang final, PPh Pasal 4 ayat 2 memberikan kepastian hukum

bagi wajib pajak. Wajib pajak tidak perlu lagi melakukan penghitungan dan

pembayaran pajak terutang secara self-assessment.

3. Efisiensi dan Efektivitas:

PPh Pasal 4 ayat 2 membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem

perpajakan. Hal ini karena proses pemungutan pajak menjadi lebih mudah dan

tingkat kepatuhan wajib pajak meningkat.

Perlakuan Perpajakan PPh Pasal 4 ayat 2:

Pemotongan Pajak:

Pihak pembayar penghasilan wajib memotong PPh Pasal 4 ayat 2 dari

penghasilan yang dibayarkan kepada penerima penghasilan. Tarif pajak yang

digunakan bervariasi tergantung jenis penghasilannya.

Penyetoran Pajak:
Pihak pembayar penghasilan wajib menyetorkan PPh Pasal 4 ayat 2 yang telah

dipotong ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan

pemotongan.

Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat 2:

Pihak pembayar penghasilan wajib melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat 2

secara online melalui DJP Online paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya

setelah bulan pemotongan.

3. Ya, pajak yang dipotong pihak lain (seperti PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh

Pasal 26) dapat memengaruhi penghasilan kita. Berikut penjelasannya:

1. Penghasilan Neto:

Pajak yang dipotong pihak lain akan mengurangi penghasilan bruto

(penghasilan sebelum pajak) kita, sehingga menghasilkan penghasilan neto

(penghasilan setelah pajak). Penghasilan neto inilah yang menjadi basis untuk

menghitung pajak penghasilan terutang dalam SPT Tahunan PPh.

2. SPT Tahunan PPh:

Ketika mengisi SPT Tahunan PPh, kita perlu memasukkan bukti potong pajak

yang menunjukkan berapa jumlah pajak yang telah dipotong oleh pihak lain.

Jumlah pajak yang dipotong ini akan dikreditkan dengan pajak penghasilan

terutang yang dihitung dalam SPT Tahunan.

3. Pengembalian Kelebihan Bayar Pajak:

Jika jumlah pajak yang dipotong pihak lain lebih besar daripada pajak

penghasilan terutang, maka kita berhak atas pengembalian kelebihan bayar

pajak. Pengembalian ini dapat diajukan melalui SPT Tahunan PPh.

4. Dampak pada Kemampuan Menabung dan Investasi:


Penghasilan neto yang lebih kecil akibat pemotongan pajak dapat memengaruhi

kemampuan menabung dan investasi kita.

Contoh:

Misalkan gaji bruto Anda Rp 10.000.000 per bulan dan PPh Pasal 21 yang

dipotong sebesar 10%. Maka, penghasilan neto Anda menjadi Rp 9.000.000 per

bulan. Penghasilan neto inilah yang menjadi basis untuk menghitung pajak

penghasilan terutang dalam SPT Tahunan PPh.

Kesimpulan:

Pajak yang dipotong pihak lain dapat memengaruhi penghasilan neto, SPT

Tahunan PPh, pengembalian kelebihan bayar pajak, dan kemampuan menabung

dan investasi kita.

4. Ya, ada pengecualian dari kewajiban pembayaran atau pemungutan PPh dalam

pasal 4 ayat (2) adalah:

1. Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak

Kena Pajak (PTKP) yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau

bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp 60.000.000 dan

bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah

2. Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari

pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah guna

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan

persyaratan khusus

3. Orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan

cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat.

Lalu, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,

koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil. Yang
mana ketentuannya diatur lebih lanjut dengan PMK. Sepanjang hibah tersebut

tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan

antara pihak-pihak yang bersangkutan

4. Badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara

hibah kepada badan keagamaan. Lalu badan pendidikan, badan sosial termasuk

yayasan koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil.

Di mana ketentuannya diatur lebih lanjut dengan PMK. Sepanjang hibah

tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau

penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan

5. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.

6. Termasuk yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan

PPh dalam pasal 4 ayat (2) ini adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau

bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan yang tidak termasuk

subjek pajak

7. pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan atas transaksi yang

dilakukan melalui Pihak Lain dalam Sistem Informasi Pengadaan, yang telah

dipungut PPh Pasal 22 oleh Pihak LainYa, terdapat beberapa penghasilan yang

dikecualikan dari objek pajak PPh Pasal 4 Ayat 2. Berikut adalah beberapa

contohnya:

Penghasilan yang bersifat final:

1. Gaji, upah, honorarium, bonus, dan gratifikasi yang diterima pegawai,

karyawan, dan pejabat negara

2. Penghasilan dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan

peredaran bruto tidak lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun


3. Penghasilan dari penjualan aset tetap, seperti tanah dan bangunan, yang

telah dimiliki lebih dari 2 tahun

4. Penghasilan dari hadiah undian dan penghargaan

5. Penghasilan yang bersifat non-komersial:

6. Hibah dan warisan

7. Bantuan sosial dan sumbangan

8. Penghasilan dari kegiatan keagamaan, sosial, dan budaya

Penghasilan lainnya:

1. Penghasilan yang diterima oleh koperasi dari anggotanya

2. Penghasilan dari dividen yang diterima oleh Wajib Pajak badan

3. Penghasilan dari bunga deposito dan obligasi yang diterima oleh Wajib

Pajak orang pribadi

Perlu diingat bahwa daftar ini tidak lengkap dan terdapat beberapa ketentuan

dan persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu penghasilan dapat dikecualikan

dari objek pajak PPh Pasal 4 Ayat 2. Untuk informasi lebih lengkap dan akurat,

Anda dapat merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti:

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Tata Cara

Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan

yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto

Tertentu. Anda juga dapat berkonsultasi dengan ahli pajak atau Direktorat

Jenderal Pajak (DJP) untuk mendapatkan penjelasan yang lebih spesifik terkait

dengan penghasilan Anda.


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Membahas mengenai Pajak Penghasilan (PPH), pajak yang dikenakan atas

penghasilan Wajib Pajak (WP) orang pribadi dan badan. Subjek pajak PPH adalah orang

pribadi dan badan yang memperoleh penghasilan. Objek pajak PPH adalah penghasilan yang

diterima WP, termasuk penghasilan dari pekerjaan, usaha, modal, dan hibah. Penghasilan

neto dihitung dengan mengurangkan biaya, penghasilan tidak kena pajak (PTKP), dan zakat

dari penghasilan bruto. Tarif pajak PPH progresif, artinya semakin besar penghasilan,

semakin besar tarif pajaknya. Tata cara penghitungan PPH berbeda-beda tergantung jenis

penghasilannya. PPH merupakan sumber pendapatan negara yang utama, dan WP wajib

mendaftarkan diri dan membayar pajak terutang. Pemerintah memberikan berbagai insentif

pajak untuk mendorong kegiatan ekonomi. WP wajib melaporkan SPT Masa PPH secara

berkala.
DAFTAR RUJUKAN

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2021. (Online). Di ambil 21 Maret 2024
https://peraturan.bpk.go.id/Details/161840/pp-no-10-tahun-2021

Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022. (Online). Di ambil 21 Maret 2024


https://peraturan.bpk.go.id/Details/195696/uu-no-1-tahun-2022

Anda mungkin juga menyukai