Anda di halaman 1dari 16

PEMAKNAAN KARYA “SASTRA WANGI” DI KALANGAN PEMBACA PEREMPUAN

DI SURABAYA

Oleh:
Lilis Rusmiawati

ABSTRAK

Aktivitas membaca saat ini telah berkembang menjadi suatu kegemaran yang tidak dapat
dilepaskan dari kehidupan sebagian orang, salah satunya pembaca perempuan. Bacaan-bacaan
yang dipilih oleh masing-masing individu untuk dibaca ketika waktu luang (leisure time) tentunya
berbeda-beda dan dipengaruhi oleh banyak hal. Berbagai jenis bacaan terus ditawarkan oleh
industri budaya, salah satunya karya “sastra wangi”. Kehadiran karya-karya sastra yang
menampilkan persoalan-persoalan tubuh, seksualitas dan masalah-masalah sosial yang ditulis oleh
para penulis perempuan mendapatkan respon luar biasa dari para pembaca. Di tengah antusiasme
pembaca dalam menyambut karya “sastra wangi”, di sisi lain kehadiran sastra dengan tema seputar
seksualitas nyatanya masih ditolak oleh sebagian orang yang menganggap karya “sastra wangi”
tersebut hanya memperburuk moral dan menenggelamkan budaya Ketimuran yang santun dan
bermartabat. Perbedaan yang dirasakan ini berkaitan dengan makna yang dhasilkan melalui proses
pemaknaan ketika membaca. Studi kualitatif ini berusaha untuk mengungkap ketertarikan dan
pemaknaan yang dilakukan oleh pembaca perempuan di Surabaya. Studi ini menggunakan metode
analisis resepsi (reception analysis) dengan pendekatan perspektif cultural studies. Dengan
dibantu teori Encoding-Decoding Stuart Hall dan konsep Reading for Pleasure dari perspektif
Cultural Studies studi ini mengungkap bahwa pemaknaan yang dilakukan oleh pembaca
perempuan dipengaruhi oleh selera pembaca yang menjadi awal ketertarikan untuk membaca
karya “sastra wangi” salah satunya imajinasi penulis dimana perempuan digambarkan berbeda
dengan kehidupan pembaca yang masih merasakan ketidaksetaraan gender dalam realitas sosial.
Pemaknaan yang dilakukan menghasilkan dua makna yaitu, representasi kesetaraan gender sebagai
dominant meaning dan secondary meaning yang merujuk pada sejauh mana perjuangan kesetaraan
gender terinternalisasikan dalam kehidupannya. Studi ini menghasilkan tiga tipe pembaca yakni,
incorporation reader, hyper incorporation reader dan mediatory reader.

Kata Kunci: membaca karya “sastra wangi”, pemaknaan, pembaca perempuan, cultural studies,
reception analysis

ABSTRACT

Reading activity has transformed into a favorite activity that can’t be released from the life of the
most people right now, one of them is women reader. Literatures that be chosen by each individual
to read when leisure time certainly different and influenced by many things. Various type of
literature produced and offered by the culture industry, one of literary is “sastra wangi”. The
presence of “sastra wangi” featuring the problem of the body, sexuality and social issues written
by the female writers get incredible response from the reader. In the middle of the enthusiasm of
the readers, on the other side of the presence of literature with the sexuality themes, in fact was
rejected by some people that think “sastra wangi” literature is only worsen morality and drown
“ketimuran” culture that well-mannered and dignified. The difference is associated with the
meaning of the resulting through the process of production meaning when they read the literature.
This kind of study is qualitative research to uncover interest and meaning carried out by the women
reader in Surabaya. This study using the analysis reception with the approach cultural studies
perspective. This study helped by Encoding-Decoding Stuart Hall’s theory and reading for
pleasure concept from cultural studies perspective, this study revealed that production meaning
carried out by the women reader influenced by the taste of the reader that be the beginning of
interest to read “sastra wangi” literature, one of them is the author’s imagination where the women
are portrayed differently with the lives of readers who still feel the gender inequality in the social
reality. Production meaning results two meaning, that is the representation of gender equality as
the dominant meaning and secondary meaning which refers to how far have the struggle of gender
equality internalized in her life. This study result 3 type reader, they are incorporation reader, hyper
incorporation reader and mediatory reader.

Key word: reading “sastra wangi” literature, meaning production, woman reader, cultural studies,
reception analysis

1. Pendahuluan karya sastra. Meskipun menghadirkan


permasalahan yang bersifat tabu dan
Aktivitas membaca saat ini telah kontroversial, karya-karya tersebut justru
berkembang menjadi suatu kegemaran yang mendapatkan respon luar biasa dari pembaca
tidak dapat dilepaskan dari kehidupan di Indonesia.
sebagian orang, salah satunya pembaca
perempuan. Kegiatan membaca sebagai suatu Lebih lanjut penelitian ini ingin mengkaji
kegemaran ini umumnya berkaitan dengan pemaknaan dalam aktivitas membaca karya
tujuan untuk memperoleh hiburan atau “sastra wangi” yang dilakukan oleh pembaca
kesenangan dari cerita-cerita yang ada dalam perempuan di Surabaya. Berbeda dengan
buku-buku bacaan. Bacaan-bacaan yang penelitian sebelumnya yang banyak
dipilih oleh masing-masing individu untuk mengkaji aktivitas membaca di kalangan
dibaca ketika waktu luang (leisure time) penggemar bacaan populer yang mengangkat
tentunya berbeda-beda dan dipengaruhi oleh tema-tema umum dan tidak banyak
banyak hal. Misalnya seperti fenomena menimbulkan kontroversi di masyarakat.
pemilihan “sastra wangi” sebagai salah satu Studi ini mencoba untuk melihat bagaimana
bacaan pengisi waktu luang yang dilakukan kalangan pembaca perempuan di kota
oleh pembaca perempuan di Surabaya. Surabaya memaknai karya “sastra wangi”
Ketertarikan pada buku bacaan yang yang menuai pro dan kontra karena
cenderung berbeda dari pembaca pada keberaniannya dalam membicarakan tema-
umumnya ini dikarenakan karya “sastra tema yang dianggap tabu dalam budaya
wangi” menampilkan persoalan-persoalan Indonesia hingga menjadi bacaan yang
tubuh, seksualitas dan masalah-masalah bermakna dalam kehidupan pembaca
sosial yang ditulis oleh para penulis perempuan. Kota Surabaya sebagai wilayah
perempuan dalam rangka memperjuangkan urban yang terdiri dari golongan masyarakat
kesetaraan gender bagi perempuan melalui multietnis (berbagai suku, ras, agama, dan
lain-lain) yang tentunya memiliki budaya umumnya ini terlihat ketika kehadiran karya-
beragam menjadikan proses pemaknaan karya sastra yang mengangkat tema-tema
karya “sastra wangi” yang dilakukan oleh yang bersifat kontroversial berhasil
pembaca perempuan berbeda-beda sesuai mendapat animo yang sangat tinggi dari
latar belakang dari masing-masing pembaca. masyarakat. Salah satu contohnya adalah
Aktivitas membaca bagi perempuan novel Saman yang dikarang oleh penulis
menjadi pilihan kegiatan yang dilakukan perempuan Ayu Utami. Saman yang
untuk mengisi dan menghabiskan waktu mengangkat permasalahan agama dan
luang (leisure time). Tepper (1998) seksualitas berhasil menarik animo
mengungkapkan bahwa perempuan masyarakat Indonesia hingga masyarakat
membaca fiksi lebih banyak daripada laki- dunia, terbukti sejak dicetak tahun 1997
laki karena sosialisasi untuk membaca yang sampai saat ini telah mencapai cetak ulang
dilakukan oleh orang tua ketika masa kanak- sebanyak 24 kali serta diterjemahkan ke
kanak, lebih ditekankan untuk anak dalam bahasa Inggris dan Belanda.
perempuan dibandingkan anak laki-laki. Fenomena serupa juga dialami Dewi Dee
Lebih lanjut hasil penelitian tersebut Lestari dengan novelnya yang berjudul
menunjukkan bahwa adanya perbedaan Supernova yang menampilan karakter utama
dalam bidang pekerjaan dimana 61,2% laki- sepasang gay dan seorang wanita pelacur,
laki merupakan full-time worker sementara dalam kurun 4 bulan (Februari-Mei 2006)
perempuan hanya 39,5%, sehingga terjual sebanyak 32.000 eksemplar
perempuan yang memiliki lebih banyak (Wahyudi, 2005: 97).
waktu luang akan melakukan aktivitas
Fenomena lain yang membuat penelitian
membaca fiksi yang lebih intensif
ini berbeda dengan penelitian-penelitian
dibandingkan laki-laki. Menurut Tepper, hal
sebelumnya dan menarik untuk dilakukan
ini terjadi merujuk pada adanya
adalah para pembaca yang justru tertarik
permasalahan ketimpangan gender dan
pada bacaan-bacaan karya sastra yang
sistem patriarki, dimana masih terdapat
dilabeli dengan istilah “sastra wangi” yang
pembagian peran kerja domestik dan publik,
menyingkap hal-hal yang selama ini
dimana membaca yang dianggap sebagai
dianggap tabu untuk dibicarakan. Karya
aktivitas domestik masih sangat lekat dengan
“sastra wangi” sangat bebas dalam
perempuan (Tepper, 1998: 2). Bacaan yang
mendiskusikan seksualitas dengan segala
dipilih oleh pembaca seringkali adalah
aspeknya, sehingga keberadaan “sastra
bacaan ringan dan penuh fantasi yang bersifat
wangi” ini cenderung menimbulkan
menghibur seperti halnya novel, komik, dan
kontroversi. Sebagai contoh, penggunaan
bacaan-bacaan populer lainnya (Sugihartati,
kata-kata vulgar seperti “penis”, “vagina”,
2010; Laorena, 2012; Istiviani, 2015;
“orgasme”, “kontol” serta kata sejenis
Mawarni, 2016). Pemilihan bacaan yang
lainnya secara berulang-ulang. Di tengah
berbeda dikarenakan pembaca memiliki
antusiasme pembaca dalam menyambut
tujuan serta ketertarikan pada bacaan yang
karya “sastra wangi” yang dianggap sebagai
bersifat pribadi, dimana individu satu dengan
salah satu bentuk representasi dari
yang lain tidak akan pernah sama.
permasalahan ketidakadilan gender pada
Fenomena pemilihan buku bacaan yang perempuan., di sisi lain kehadiran sastra
cenderung berbeda dari pembaca pada dengan tema seputar seksualitas nyatanya
masih ditolak oleh sebagian orang yang budaya yang telah mereka dapatkan untuk
menganggap karya “sastra wangi” tersebut dikemukakan dalam teks sehingga audien
hanya memperburuk moral dan yang terbentuk dengan cara yang berbeda
menenggelamkan budaya Ketimuran yang akan melakukan pemaknaan yang berlainan
santun dan bermartabat. (Barker, 2004: 34). Perspektif cultural
studies dipilih untuk digunakan dalam
Ketertarikan para pembaca terhadap
penelitian ini karena karya “sastra wangi”
karya “sastra wangi” salah satunya memang
sebagai teks budaya menyampaikan makna
karena adanya kontroversi terhadap karya
serta pesan yang didalamnya mengandung
tersebut, tetapi lebih jauh lagi ada banyak
unsur ideologi dan hegemoni yang menjadi
motif yang melatarbelakangi ketertarikan
konsep sentral dalam cultural studies.
pembaca terhadap suatu bacaan. Begitu pula
Sedangkan objek penelitian ini adalah
penerimaan terhadap nilai-nilai yang
pembaca perempuan dengan teknik
disodorkan oleh karya ‘sastra wangi” ini
penentuan informan menggunakan purposive
tentunya bergantung pada proses pemaknaan
sampling, di mana perempuan yang dijadikan
yang dilakukan oleh pembaca. Apakah pesan
informan harus memiliki kriteria tertentu
yang disampaikan oleh penulis “sastra
yang telah ditentukan sebelumnya oleh
wangi” akan dimaknai atau di-decode-kan
peneliti, kriteria tersebut antara lain: 1)
sesuai dengan keinginan penulis ataukah
Mereka merupakan perempuan yang saat ini
pembaca akan menciptakan berbagai macam
tinggal di kota Surabaya. Karena latar
makna dengan proses decoding yang
belakang lingkungan sosial turut
bervariatif sesuai dengan situasi sosial,
mempengaruhi bagaimana pemaknaan yang
selera, kondisi ekonomi, dan berbagai
terjadi pada pembaca. 2) Perempuan yang
wacana yang melatarbelakangi pembaca
telah membaca minimal tiga judul karya
karya “sastra wangi”. Fenomena inilah yang
“sastra wangi” khususnya novel Saman karya
menarik peneliti untuk melihat apa yang
Ayu Utami yang dianggap sebagai gerbang
terjadi pada beberapa pembaca “sastra
pembuka penulis karya “sastra wangi” lain
wangi” khususnya pembaca perempuan di
untuk memunculkan karya dengan tema
Surabaya. Bagaimana ketertarikan pembaca
sejenis. Dengan membaca minimal tiga judul
perempuan di Surabaya terhadap karya
karya “sastra wangi” maka informan akan
“sastra wangi”? dan bagaimana pemaknaan
benar-benar memahami apa yang dibacanya
pembaca perempuan di Surabaya terhadap
dan lebih mudah untuk mengungkapkan
karya “sastra wangi”?.
pendapat mengenai karya “sastra wangi”. 3)
2. Metode Penelitian Aktivitas membaca tersebut haruslah
dilakukan untuk mengisi waktu luang, bukan
Sesuai dengan judul penelitian maka tipe untuk kebutuhan akademik atau tugas
penelitian yang digunakan adalah tipe tertentu, sehingga aktivitas membaca
penelitian kualitatif dengan metode analisis memang dilakukan untuk memperoleh
resepsi (reception analysis) dan pendekatan kesenangan (reading for pleasure).
perspektif cultural studies. Barker
menyebutkan bahwa cultural studies resepsi
memandang audien atau pencipta aktif
makna dalam teks membawa kompetensi
3. Kajian Teoritik keinginan untuk bersosialisasi dengan yang
lainnya (Collison, 2009:66). Membaca buku,
Perempuan dan Aktivitas Membaca
novel, komik, majalah ataupun bacaan lain
sebagai Kesenangan Menurut Pandangan
adalah sebuah perilaku sosial sekaligus
Cultural Studies
bagian dari gaya hidup yang melibatkan
Membeli dan membaca buku, dalam berbagai relasi sosial, psikologi, bahasa,
perspektif Cultural Studies seperti juga simbolik, ekonomi, politik dan kultural
kegiatan konsumsi yang lain, dipahami lebih (Sugihartati, 2012: 140). Sehingga, seorang
dari sekadar aktivitas ekonomi: perempuan yang memilih untuk membaca
mengkonsumsi produk atau menggunakan karya “sastra wangi” tidak hanya dapat
komoditas untuk memuaskan kebutuhan- diartikan bahwa ia memang ingin membaca
kebutuhan material, tetapi lebih dari itu karya tersebut, tetapi bisa saja aktivitas
aktivitas membaca untuk kesenangan juga membaca “sastra wangi” merupakan cara
berhubungan dengan mimpi, hasrat, identitas perempuan untuk merepresentasikan dirinya
dan komunikasi (Storey, 2007). Seperti yang sebagai seorang individu yang memiliki
diungkapkan oleh Hirschman & Holbrook kesadaran gender sebagai bagian dari proses
(1982) bahwa salah satu sebab yang pencitraan. Pengaruh dari kelas sosial di
membuat individu memutuskan untuk mana perempuan berada dapat menjadi sebab
mengkonsumsi sebuah novel (seperti produk mengapa seorang perempuan tertarik untuk
hedonis lainnya) berasal dari kapasitasnya memilih “sastra wangi” sebagai bahan
untuk “melemparkan” pembaca ke dalam bacaan di waktu luang dan bukan memilih
realitas yang lebih menyenangkan dan/atau teenlit ataupun novel fantasi.
membantu mengatasi dilema emosional yang
Membaca selain menghasilkan suatu
tidak menyenangkan yang sedang dialami
hiburan ataupun escape (pelarian), dalam
oleh pembaca. Efek dari pengalaman
aktivitas ini pembaca juga mendapatkan
membaca itulah yang menjadikan
informasi yang dapat diaplikasikan dalam
kesempatan untuk memilih bacaan diluar
kehidupan sehari-hari. Sebab menurut Danesi
bacaan-bacaan akademis menjadi sesuatu
(2010) keberadaan novel sebagai teks naratif
yang ditunggu-tunggu dan menjadi kegiatan
yang merepresentasikan suatu situasi yang
yang menyenangkan disela-sela rutinitas dan
dianggap mencerminkan kehidupan nyata
kewajiban. Maka dapat dikatakan bahwa
dan alat untuk merangsang imajinasi dapat
pembaca perempuan pada awalnya
menjadi salah satu media yang efektif untuk
melakukan aktivitas membaca sebagai cara
merefleksikan isu permasalahan yang terjadi
untuk mencari hiburan atau melepas penat
dalam kehidupan masyarakat (Danesi, 2010:
dari rutinitas yang padat dan cenderung
75). Membaca sama dengan kegiatan di mana
membosankan seperti, sekolah, kuliah,
manusia berusaha untuk memahami tanda-
bekerja, dan lainnya.
tanda yang mengelilinginya dalam upaya
Collison mengungkapkan sesuatu yang memahami dunianya. Sembari mereka
berbeda dari pemaparan di atas, memang menikmati cerita, sesungguhnya mereka juga
membaca merupakan kegiatan personal yang mendapatkan informasi-informasi baru
bersifat privat, tetapi hal tersebut tidak dalam rangka memahami realitas di
menutup kemungkinan adanya suatu bentuk sekelilingnya. Bacaan dan aktivitas membaca
dalam Cultural Studies, dengan demikian
adalah sebuah teks yang melibatkan proses populer. Seperti halnya novel roman dalam
pembentukan makna yang menarik untuk penelitian Radway (1983) yang dipandang
dikaji lebih dalam. sebagai budaya populer selain memang
karena merupakan produk praktik penerbitan
Membaca Karya “Sastra Wangi” sebagai tetapi sesungguhnya hal tersebut lebih
Aktivitas Budaya disebabkan karena pembaca roman telah
melakukan suatu praktik kebudayaan, yaitu
Sugihartati (2010) mengungkapkan
membaca novel roman yang menghasilkan
bahwa membaca dari perspektif cultural
berbagai makna.
studies adalah salah satu wujud dan bagian
dari budaya, terutama budaya populer. Ketika
Pemaknaan dalam Aktivitas Membaca
seseorang melakukan aktivitas membaca ia
menurut Cultural Studies
tidak hanya melibatkan unsur budaya fisik
(material culture), tetapi ia juga melibatkan
Membaca dalam perspektif Cultural
unsur budaya nonfisik (nonmaterial culture).
Studies adalah sebuah aktivitas sosial yang
Stuart Hall (dalam Storey, 2007: 3),
dikonstruksi, tetapi sekaligus juga
menggambarkan budaya pop, sebagai sebuah
berkembang sebagai bagian dari proses
arena konsensus dan resistensi. Budaya pop
dialektika. Cultural Studies yang berorientasi
merupakan tempat di mana hegemoni muncul
kepada konsumsi berpendapat bahwa
sekaligus berlangsung. Misalnya,
meskipun produksi produk industri budaya
kemunculan karya “sastra wangi” yang
seperti teks bacaan, musik pop, film, televisi,
mengusung tema seputar seksualitas, tubuh
dan pakaian ada di tangan perusahaan
dan semangat perempuan untuk bebas dari
kapitalis trans-nasional, makna selalu
penjara patriarki dapat dipahami sebagai
diproduksi, diubah dan diatur pada level
sebuah “tindakan politis” yang memiliki
konsumsi oleh orang yang merupakan
tendensi tertentu. Keberanian penulis karya
produsen aktif makna (Barker, 2004: 48).
“sastra wangi” dalam melawan ideologi
Makna yang berbeda bisa diletakkan pada
patriarki sebagai ideologi dominan di
teks atau praktik atau peristiwa yang sama,
masyarakat tercermin salah satunya dalam
maka makna senantiasa merupakan tempat
penggunaan istilah-istilah yang dianggap
potensial terhadap konflik. Sehingga,
tabu untuk digunakan oleh masyarakat yang
wilayah budaya menurut cultural studies
terbiasa terjaga sopan santunnya. Kebebasan
merupakan tempat pergumulan ideologis
dalam membicarakan tubuh dan seksualitas
yang utama; sebuah ranah ‘inkorporasi’ dan
dalam karya “sastra wangi” tersebut yang
‘resistensi’; salah satu tempat di mana
kemudian menciptakan ranah konflik dan
hegemoni dimenangkan atau kalah, ranah
pergumulan salah satunya bagi ideologi
tempat berlangsungnya pertarungan terus-
feminisme dalam teks tersebut dan hegemoni
menerus atas makna, di mana kelompok-
patriarki dalam masyarakat.
kelompok subordinat mencoba menentang
John Fiske (1995) mengatakan bahwa
penimpaan makna yang sarat akan
budaya populer memang terikat pada produk
kepentingan kelompok-kelompok dominan
dan teknologi budaya massa, namun
(Storey, 2007: 5).
sesungguhnya aktivitas kreatif budaya
Teori mengenai pemaknaan audiens
populer terletak dalam cara-cara
terhadap teks yang diciptakan oleh media
penggunaannya, bukan pada teknologi dan
telah banyak dihasilkan, salah satunya adalah
proses produksinya. Artinya proses
teori Encoding-Decoding Stuart Hall. Stuart
pemaknaan oleh konsumenlah yang akan
Hall (1973) dalam publikasinya yang
menentukan kelahiran sebuah produk budaya
berjudul Encoding and Decoding in The pendidikan atau setiap persilangan faktor-
Televisual Discourse menuliskan tentang faktor itu. Karena itulah masih sering ditemui
teori Encoding-Decoding sebagai proses permasalahan-permasalahan yang menimpa
khalayak mengkonsumsi dan memproduksi dan merugikan perempuan karena konstruksi
makna dalam proses penerimaan atas konten tersebut.
media massa yang diterimanya. Selanjutnya Teori ketidaksetaraan gender
Hall mengungkapkan bahwa sirkulasi makna mengasumsikan bahwa baik perempuan
dalam wacana televisual sebagai teks budaya maupun laki-laki akan merespons dengan
seperti halnya bacaan, musik pop, film, dan agak mudah dan secara alamiah terhadap
teks budaya lainnya melewati tiga momen struktur-struktur dan situasi-situasi sosial
yang berbeda. Pertama encoding atau yang lebih egaliter. Dengan kata lain, mereka
struktur produksi, momen kedua dimana mengukuhkan bahwa situasi dimana
makna dan pesan berada pada wacana yang perempuan kurang berdaya dibanding laki-
bermakna yang “bebas dikendalikan” dan laki untuk mewujudkan kebutuhan untuk
terbuka dan ketiga momen decoding yang aktulalisasi diri itu mungkin diubah dan tidak
dilakukan oleh khalayak, serangkaian cara langgeng (Ritzer, 2012: 794). Bagi
lain dalam melihat dunia (ideologi) bisa feminisme liberal, susunan gender yang ideal
dengan bebas dilakukan (Storey, 2007: 13). adalah ketika setiap individu bertindak
Proses decoding atau pemaknaan ini sebagai agen moral yang bebas dan
memungkinkan pembaca dalam tiga posisi bertanggung jawab yang memilih gaya hidup
yaitu menerima (dominant-hegemonic sesuai apa yang dianggapnya cocok dengan
reading), menerima sebagian dan dirinya dan memiliki pilihan yang diterima
memadukan dengan pemikiran mereka sesuai dan dihargai.
situasi sosial-budaya (negotiated reading),
dan menolak (oppositional reading). 4. Hasil
Aktivitas Membaca dan Ketertarikan
Ketidaksetaraan Gender dan Feminisme Pembaca Perempuan terhadap Karya
Liberal “Sastra Wangi”
Teori ketidaksetaraan gender berangkat
dari situasi dimana perempuan dan laki-laki Aktivitas membaca yang dilakukan oleh
diposisikan di dalam masyarakat bukan pembaca perempuan di Surabaya menjadi
hanya dengan cara yang berbeda tetapi juga salah satu rutinitas yang tidak dapat
dengan cara yang tidak setara (Ritzer, 2012: dilepaskan dari kehidupannya. Di sela-sela
794). Ketidaksetaraan tersebut bukan karena jadwal yang padat dan rutinitas kerja ataupun
perbedaan dari sisi biologis namun dari kuliah para perempuan ini memilih
pengorganisasian di masyarakat. Sebagai menjadikan aktivitas membaca sebagai
akibat dari pengorganisasian yang kegiatan pengisi waktu luang (leisure time).
dikonstruksi oleh masyarakat tersebut
Aktivitas tersebut merujuk pada aktivitas
perempuan menjadi pihak yang dirugikan
karena mendapat sumber daya material, membaca sebagai kesenangan (pleasure
status sosial, kekuasaan dan peluang-peluang reading) yang bertujuan untuk memperoleh
untuk mengaktualisasikan diri yang lebih hiburan atau kesenangan dari cerita-cerita
sedikit dari para pria walau mereka berada yang ada dalam buku-buku bacaan. Salah
pada lokasi sosial yang sama. Ritzer (2012) satu bacaan yang digemari oleh perempuan di
menambahkan lokasi sosial ini didasarkan Surabaya adalah karya “sastra wangi”.
pada kelas, ras, pekerjaan, etnisitas, agama, Kegemaran membaca karya “sastra wangi”
merupakan suatu fenomena yang unik dan apa yang ada dalam realita kehidupan
menarik. Pasalnya, karya-karya “sastra (second reality). Ketika imajinasi penulis
wangi” dilabeli sebagai karya-karya yang diproduksi ke dalam karya “sastra wangi”
membongkar persoalan seksualitas yang sesungguhnya simulasilah yang ditawarkan
selama ini dianggap tabu untuk oleh penulis, realitas kedua (second reality)
diperbincangkan secara terang-terangan, dimana perempuan digambarkan memiliki
karena bertentangan dengan budaya peran yang sama dengan laki-laki. Penulis
Ketimuran yang santun dan bermartabat. “sastra wangi” mengandaikan bagaimana
Kegemaran pembaca perempuan terhadap jika perempuan yang selama ini dituntut
karya “sastra wangi” tersebut berawal dari untuk bersikap lembut dan sopan kemudian
ketertarikan yang berbeda-beda. Ketertarikan membicarakan seksualitas yang selama ini
pembaca perempuan terhadap karya “sastra tabu untuk dibicarakan. Penulis perempuan
wangi” karena ekspansi dari kegemaran memiliki keinginan untuk menghadirkan
membaca yang memang sudah lebih dulu persoalan gender untuk memberontak atas
tumbuh sebelum “sastra wangi” muncul. dominasi laki-laki terhadap diri mereka
Kegemaran membaca tersebut tumbuh dari sehingga mereka dengan sengaja
lingkungan keluarga. Ketertarikan terhadap memvisualisasikan seksualitas dengan
“sastra wangi” juga berawal dari kebutuhan gamblang untuk menyampaikan pesan
akademis, namun sebelumnya pembaca telah gender tersebut (Irmayani, Asfar, & Fuad,
memiliki kegemaran pada bacaan lain. 2005: 35). Hal tersebutlah yang kemudian
menjadi salah satu ketertarikan perempuan
Selain dari lingkungan keluarga dan
untuk membaca karya “sastra wangi”.
lingkungan akademis, kegemaran membaca
Ketertarikan terhadap “sastra wangi”
dan ketertarikan membaca “sastra wangi”
awalnya juga tumbuh dari kesamaan gender
dipengaruhi oleh individu lain dalam peer-
yang kemudian berkembang menjadi
groupnya, karena memang interaksi yang
ketertarikan pada ideologi yang ada pada
terjalin antar teman merupakan sumber
utama pengetahuan tentang bacaan (Collison, “sastra wangi” sebagai bagian dari proses
pengembangan pribadi (self-identification,
2009: 66). Aktivitas membaca “sastra wangi”
self-construction dan self-awareness) demi
mencerminkan gaya hidup yang digunakan
menemukan nilai dan keyakinan diri.
untuk menjalin relasi sosial dengan orang
Kemudian ketertarikan dikarenakan adanya
lain. Gaya hidup ini sebagai upaya
mengaktualisasikan citra (image) keren, kesamaan agama atau keyakinan yang ada
dalam novel dengan agama yang dianutnya.
intelek, pintar, tidak terlihat bodoh, dan
Ketertarikan membaca “sastra wangi” yang
memiliki pandangan atau wawasan yang
berbeda-beda menunjukkan bahwa
luas. Sehingga bagi pembaca membeli dan
sesungguhnya aktivitas membaca memang
membaca “sastra wangi” bukan lagi suatu
bukan sekedar aktivitas konsumsi sederhana.
transaksi ekonomi sederhana, melainkan
Proses pemilihan bacaan “sastra wangi”
lebih merupakan interaksi simbolis dimana
hingga menjadi bacaan yang disenangi
individu membeli dan mengkonsumsi kesan.
dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial yang
Ketertarikan terhadap “sastra wangi” mengelilingi informan, yang kemudian
juga dikarenakan imajinasi penulis yang menjadikan aktivitas membaca sebagai
menggambarkan perempuan berbeda dengan sebuah aktivitas budaya yang memiliki
makna tersendiri, dibentuk oleh industri kesopanan. Seksualitas dalam “sastra wangi”
budaya, namun sekaligus juga bersifat menurut pembaca perempuan juga tercermin
individual atau personal (Sugihartati, 2012: dalam penggambaran keperawanan yang
142). dianggap hanya mitos sebagai upaya
perempuan untuk mendobrak stigma
Pemaknaan Karya “Sastra Wangi” yang masyarakat yang menilai perawan atau
Dilakukan oleh Pembaca Perempuan di tidaknya perempuan melalui selaput dara,
Surabaya sementara laki-laki tidak pernah
Studi ini mengungkap bahwa diperlakukan demikian. Hal inilah yang
pemaknaan yang dilakukan oleh pembaca dimaknai oleh informan sebagai gambaran
perempuan menghasilkan dua makna yaitu, realitas sosial yang menempatkan perempuan
representasi kesetaraan gender sebagai dalam posisi yang terbatasi oleh konstruksi
dominant meaning dan secondary meaning sosial, yang pada akhirnya memunculkan
yang merujuk pada sejauh mana perjuangan perjuangan kesetaraan gender.
kesetaraan gender terinternalisasikan dalam Selama ini perempuan dalam realitas
kehidupannya. sosial selalu dianggap sebagai objek seksual
bukan sebagai subjek, namun “sastra wangi”
Representasi Kesetaraan Gender sebagai menggambarkan sebaliknya. Gambaran
Dominant Meaning dalam Karya “Sastra perempuan dalam “sastra wangi” yang
Wangi” ditempatkan bukan lagi sebagai objek seksual
Karya “sastra wangi” sebagai teks melainkan sebagai subjek seksual dimaknai
budaya menyampaikan makna serta pesan oleh informan sebagai gambaran perempuan
yang didalamnya mengandung unsur yang memiliki harga diri dan karenanya
ideologi dan hegemoni. Wacana yang seorang perempuan tidak lagi berada dalam
dimulai oleh penulis “sastra wangi” dominasi laki-laki. Tentu saja hal ini
mengandung makna-makna dan ide-ide yang berbanding dengan realitas sosial yang masih
diproduksi oleh penulis karya “sastra wangi” banyak menempatkan perempuan sebagai
sebagai bagian dari proses encoding atau objek. Persoalan ini bersumber pada dua hal,
momen produksi. Makna yang dilekatkan pertama karena adanya mitos kecantikan
penulis “sastra wangi” sesungguhnya yang merekat pada diri perempuan yang
memang berangkat dari realitas sosial dimana menempatkan mereka pada posisi
perempuan belum berada pada posisi yang tereksploitasi. Kedua, adanya objektivitas
setara dengan laki-laki. Makna tersebut perempuan dalam hal seks atau dijadikannya
dilekatkan penulis pada teks karya “sastra sebagai objek pelecehan seksual oleh kaum
wangi” melalui penggambaran tokoh, alur laki-laki (Sugihastuti, dan Soeharto, 2002:
cerita dan unsur-unsur intrinsik lainnya yang 74).
kemudian menjadi kode acuan ketika Perbedaan gender yang berkembang di
pembaca melakukan decoding. masyarakat sesungguhnya melalui proses
Kode acuan mengenai penggambaran yang sangat panjang dan berhubungan
kesetaraan gender yang berhasil ditangkap dengan banyak hal. Salah satu perbedaan
oleh informan salah satunya tercermin dalam gender yang ada dalam masyarakat adalah
Penggambaran seksualitas yang bebas, laki-laki yang dikonstruksi harus bersifat
membongkar ketabuan, vulgar dan gamblang kuat dan agresif yaitu secara fisik lebih kuat,
yang dimaknai sebagai upaya perempuan lebih besar dan menjadi the first class.
untuk menunjukkan eksistensinya yang tentu Sebaliknya, kaum perempuan dikonstruksi
saja keluar dari realitas sosial dimana harus lemah lembut, selalu mengalah, tunduk
perempuan terkungkung dalam norma
dan patuh dalam kekuasaan patriarki serta kehidupan. Sementara baik penulis sendiri
menjadi the second class (Fakih, 2006: 9). juga memproduksi makna ketika proses
Namun, dalam “sastra wangi” konstruksi encoding, yaitu makna kesetaraan gender
tersebut diruntuhkan. Peran laki-laki dan dalam rangka melepaskan perempuan dari
perempuan yang digambarkan dalam “sastra belenggu patriarki, yang memang berangkat
wangi” dimaknai oleh informan sebagai dari realitas sosial dimana perempuan belum
sebuah penentangan khususnya pada peran berada pada posisi yang setara dengan laki-
laki-laki yang selama ini dikonstruksi tidak laki. Sehingga dapat disimpulkan bahwa baik
hanya untuk memiliki fisik yang kuat, tetapi bagi penulis maupun pembaca karya “sastra
juga mental yang kuat. Laki-laki dalam wangi” sesungguhnya seperti yang dikatakan
konstruksi sosial tidak diperbolehkan untuk oleh Storey (2007) aktivitas membaca “sastra
menunjukkan kelemahannya, karena laki- wangi” merupakan sebuah elemen protes
laki identik dengan stereotipe maskulin yang utopis, sebuah kerinduan akan dunia yang
dicirikan dengan keberanian, kemandirian lebih baik.
dan ketegasan. Representasi kesetaraan
Secondary Meaning dalam Karya “Sastra
gender menurut pembaca juga tercermin
Wangi”
ketika perempuan digambarkan memiliki
keberanian yang merujuk pada maskulinitas Dalam penelitian ini menghasilkan
yang dimiliki laki-laki dan ketika penulis temuan bahwa pembaca perempuan
“sastra wangi” menggambarkan perempuan menerima makna-makna dominan yang ada
turut berperan dalam ranah publik, bahkan dalam karya “sastra wangi”, namun menurut
perempuan digambarkan berkuasa dan
Morley (dalam Storey, 2007: 17) aktivitas
memiliki kedudukan tinggi, yang umumnya
selama ini selalu dipegang oleh laki-laki. “memetik makna” dari pesan merupakan
Penulis “sastra wangi” turut praktik yang problematis, betapapun
membicarakan konsep pernikahan dalam transparan dan natural tampaknya aktivitas
karya yang dikarangnya, namun penulis itu. Pesan meng-encoding satu cara bisa
menggambarkan pernikahan yang senantiasa dibaca dengan cara yang berbeda.
berlawanan dengan pemahaman masyarakat. Ketika informan dalam penelitian ini
Konsep pernikahan digambarkan sebagai kemudian dibenturkan dengan berbagai
sebuah kebutuhan bukan keharusan yang konteks dan konstruksi sosial tertentu yang
kemudian dimaknai oleh pembaca sebagai berkembang di benak pembaca perempuan,
upaya pelepasan dari mindset yang hal tersebut kemudian mendorong praktik
mengkonstruksi pernikahan sebagai salah pemaknaan yang menghasilkan makna
satu tujuan hidup perempuan, dan stigma
sekunder. Nilai merupakan makna sekunder
pernikahan bukanlah halangan perempuan
dalam teks. Secondary meaning merujuk
untuk berhenti mengexplore kemampuan
dirinya. pada nilai yang berhasil dimaknai dan sejauh
Pembaca perempuan mengkonsumsi mana nilai terinternalisasi dalam kehidupan
makna sebagaimana yang dikehendaki oleh pembaca sehingga menentukan penerimaan
penulis “sastra wangi” berkaitan dengan pembaca perempuan terhadap dominant
ketertarikan pembaca perempuan yang meaning yang sebelumnya telah dimaknai.
awalnya berangkat dari satu pintu
ketertarikan yang sama, yaitu imajinasi Penyingkapan makna sekunder yang
penulis yang menggambarkan perempuan dilakukan oleh pembaca perempuan terhadap
berbeda dengan apa yang ada dalam realita karya “sastra wangi” yang dibacanya
membagi tipe pembaca menjadi tiga tipe :
yakni incorporation reader, hyper telah terinternalisasi sebelumnya. Pembaca
incorporation reader, dan mediatory reader. kemudian membuat kerangka acuan
alternatif yang dianggap lebih realistis dalam
Incorporation reader meyakini bahwa menggambarkan seksualitas yang adil
karya “sastra wangi” merupakan refleksi menurut pengalamannya, agar kehadiran
suatu realitas, yaitu realitas perempuan karya “sastra wangi” ini dianggap dapat
belum berada pada posisi yang setara dengan memberikan manfaat bagi perempuan. Bagi
laki-laki, dan mempraktikkan dominant tipe pembaca hyper corporation reader yang
meaning, yaitu serangkaian upaya kesetaraan seharusnya digambarkan oleh penulis dalam
gender dalam rangka melepaskan perempuan “sastra wangi” bukanlah imajinasi-imajinasi
dari belenggu patriarki dalam kehidupan tentang seksualitas yang digambarkan puitis
sehari-hari. Pembaca yang men-decoding dan indah yang nantinya akan membebankan
sesuai dengan apa yang diinginkan oleh perempuan yang membaca karya tersebut
penulis “sastra wangi” menangkap makna karena berekspetasi bahwa seksualitas
yang sama dengan apa yang diproduksi oleh haruslah seperti yang digambarkan di dalam
penulis karena adanya hasrat dan pengalaman “sastra wangi”, namun baginya
yang sama dengan apa yang dialami oleh penggambaran seksualitas yang adil bagi
penulis, karena itulah terjadi inkorporasi perempuan dan disampaikan dengan cara
antara pembaca dengan ideologi kesetaraan yang realistis tanpa permainan bahasa yang
gender dalam karya “sastra wangi”. “Sastra hiperbola itulah yang seharusnya
wangi” bagi incorporation reader diperhatikan oleh penulis “sastra wangi”
merupakan sebuah bacaan yang menjadi yang berkeinginan untuk menyampaikan
gerbang pembuka pemahaman pembaca yang ideologi kesetaraan gender kepada pembaca.
sebelumnya masih merasa awam dengan Lebih lanjut informan menyampaikan bahwa
permasalahan-permasalahan kesetaraan yang utama dalam penciptaan “sastra wangi”
gender bagi perempuan dan laki-laki, bukanlah menarik tidaknya sebuah “sastra
sehingga makna yang diartikulasikan dalam wangi” untuk dijual namun bagaimana
sebuah praktik perjuangan kesetaraan gender ideologi kesetaraan gender disampaikan
pada incorporation reader masih dalam dalam sebuah teks dapat terinternalisasi
tataran atau lingkup yang masih kecil, di dalam benak pembaca yang mengkonsumsi
antaranya untuk dirinya sendiri dan teman- “sastra wangi”, sehingga “sastra wangi” tidak
teman di sekitarnya. terancam sebagai permainan bahasa tanpa
Hyper incorporation reader adalah makna. Hyper incorporation reader sangat
pembaca yang memiliki banyak frame of jeli dalam memandang penciptaan “sastra
reference untuk membedah “sastra wangi” wangi” karena pembaca benar-benar
yang menjadikannya lebih kritis. Hyper menginternalisasikan nilai-nilai kesetaraan
incorporation reader menangkap bahwa gender dalam kehidupannya, misalnya
dominant meaning dalam teks yang dengan menjadi penulis dan editor dalam
dilekatkan oleh penulis “sastra wangi” “Merah Muda Memudar”, sebuah media
sebagai upaya kesetaraan gender memang pergerakan yang mengajak perempuan untuk
diperlukan untuk mendobrak budaya mengeksplorasi diri dan memberikan
patriarki yang membelenggu perempuan, kontribusi terhadap gerakan perempuan
namun claim “sastra wangi” yang dianggap Indonesia. Pembaca tidak hanya
membebaskan perempuan bagi pembaca mengedukasi dirinya untuk terus mencapai
justru bermakna merendahkan perempuan kesetaraan gender namun juga berusaha
karena tidak sesuai dengan pemahaman dan mengedukasi masyarakat dengan
praktik perjuangan kesetaraan gender yang
memproduksi konten-konten bacaan yang keperawanan, isu lesbianisme dan seks bebas
mengusung ideologi feminisme. Selain itu diyakini hanya dapat dipraktikkan dalam
pembaca juga aktif dalam kegiatan ranah fiksi. Pembaca perempuan dalam
perjuangan kaum-kaum yang termarginalkan posisi mediatory sesungguhnya diliputi
misalnya, perjuangan kaum buruh, dan kontradiksi-kontradiksi, di satu sisi mereka
upaya-upaya lain untuk melepaskan menginginkan kesetaraan gender seperti
perempuan dari kungkungan patriarki. ideologi dominan yang dilekatkan oleh
Mediatory reader memang menangkap penulis “sastra wangi”, namun di sisi lain
makna karya “sastra wangi” sebagai suatu mereka menolak penggunaan bahasa yang
motivasi untuk turut memperjuangkan vulgar ketika menggambarkan seksualitas,
kesetaraan gender, namun pada level isu keperawanan, isu lesbianisme dan seks
terbatas, situasional atau terkondisikan. bebas sebagai bagian dari upaya kesetaraan
Dalam artian, tidak seluruh bentuk gender. Sehingga penerimaan ideologi
kesetaraan gender yang telah penulis “sastra kesetaraan gender tidak sepenuhnya
wangi” representasikan di dalam teks dapat terinternalisasikan dalam kehidupan nyata
diartikulasikan ke dalam sebuah praktik pembaca, hal ini juga menunjukkan bahwa
dalam kehidupan sehari-hari sehingga makna konstruksi sosial yang telah berkembang di
tidak memberikan efek karena tidak masyarakat masih belum dapat diruntuhkan
dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Bentuk oleh perempuan yang menjadi korban dari
kesetaraan gender yang diantaranya adalah kungkungan sistem tersebut.
penggunaan bahasa yang vulgar ketika
menggambarkan seksualitas, isu

Tabel Perbedaan Incorporation Reader, Hyper Incorporation Reader dan Mediatory Reader.
Aspek Incorporation Reader Hyper Incorporation Mediatory Reader
Reader
Ketertarikan Aktivitas membaca Aktivitas membaca Aktivitas membaca
Membaca karya “sastra wangi” “sastra wangi” berawal “sastra wangi” yang
berawal dari faktor dari kondisi objektif mereka lakukan adalah
eksternal (pengaruh lingkungan yang sangat bentuk ekspansi dari
teman, dll). concern pada bacaan-bacaan yang
permasalahan sebelumnya sudah
perempuan, yang secara pernah dibaca.
aktif menuntut informan
untuk memahami
permasalahan-
permasalahan tersebut,
yaitu institusi pendidikan
dan komunitas feminis.
Menjadikan aktivitas Tidak menjadikan Menjadikan aktivitas
membaca “sastra wangi” aktivitas membaca “sastra membaca “sastra wangi”
menjadi suatu wangi” sebagai prioritas. menjadi suatu
kegemaran membaca kegemaran membaca
dan “sastra wangi” berdampingan dengan
sebagai genre favorit. genre lain.
Ketertarikan pada Ketertarikan pada claim Ketarikan pada
penggambaran “sastra wangi” yang penggambaran
kesetaraan gender dan membebaskan kesetaraan gender dan
menerima perempuan namun tidak tidak menerima secara
penggambaran tersebut berhasil menemukan keseluruhan
dalam kehidupan yang claim tersebut. Justru penggambaran tersebut
dijalani, sehingga penggambarannya karena tidak semua dapat
terbentuk citra positif dianggap tidak adil bagi diterima oleh norma
terhadap bacaan. perempuan, sehingga kesopanan dan adat
membentuk citra negatif istiadat di
pada bacaan. lingkungannya.
Ketertarikan untuk Ketertarikan untuk Ketertarikan untuk
membaca berasal dari membaca berasal dari membaca berasal dari
hasrat dalam kehidupan hasrat dalam kehidupan hasrat dalam kehidupan
nyata yang kemudian nyata yang tidak ditemui nyata yang kemudian
menjadi semakin meskipun telah membaca menjadi semakin
menguat setelah “sastra wangi”. menguat setelah
membaca “sastra membaca “sastra
wangi”. wangi”, namun di saat
yang sama terbatasi oleh
kondisi objektif
lingkungan (norma, adat
istiadat, stigma dll).
Pemaknaan Memaknai “sastra Memaknai “sastra wangi” Memaknai “sastra
terhadap wangi” sebagai realitas sebagai upaya wangi” sebagai realitas
karya perempuan yang belum penggambaran kesetaraan perempuan yang belum
“sastra berada pada posisi yang gender yang belum berada pada posisi yang
wangi” setara dengan laki-laki membebaskan setara dengan laki-laki,
dan “sastra wangi” perempuan dan justru meskipun upaya penulis
berusaha melepaskan terkesan merendahkan untuk menggambarkan
perempuan dari perempuan. kesetaraan gender tidak
ketidaksetaraan tersebut. seluruhnya sesuai
dengan norma, adat
istiadat, stigma, dll
dalam lingkungan
objektifnya.
Mempraktikkan apa Makna dipraktikan Mempraktikkan apa
yang dimaknai dari berdasarkan kerangka yang dimaknai dari
“sastra wangi” yaitu alternative yang dianggap “sastra wangi” dalam
upaya kesetaraan gender lebih mencerminkan kehidupan sehari-hari,
dalam kehidupan sehari- kesetaraan gender. namun di saat yang sama
hari dan tidak juga menentukan batasan
memperdulikan stigma yang masih berhubungan
masyarakat. dengan norma di
masyarakat.
Memaknai berdasarkan Memaknai secara kritis Memaknai berdasarkan
pengalamannya dan dari lingkungan objektif pengalaman dan dibatasi
menyetujui ideologi yang concern terhadap dengan kondisi objektif
yang dibawa oleh penulis permasalahan perempuan lingkungannya. Ideologi
dan ideologi kesetaraan serta memiliki ideologi kesetaraan gender yang
gender yang kesetaraan gender yang diartikulasikan masih
diperjuangkannya masih benar-benar dalam lingkup dirinya
dalam lingkup kecil, terinternalisasi dalam sendiri karena masih
misalnya di lingkungan kehidupannya namun merasa terbatasi dengan
teman-teman ideologi kesetaraan norma dan adat istiadat
terdekatnya. gender tersebut berbeda yang berkembang di
dengan yang masyarakat.
digambarkan dalam
“sastra wangi”. Ideologi
kesetaraan gender yang
diperjuangkannya dalam
tataran masyarakat luas,
misalnya dengan
mengedukasi masyarakat
melalui bacaan-bacaan
feminis, dll.

karya “sastra wangi” yang dalam dunia sastra


5. Penutup Indonesia diliputi pro dan kontra.
Berdasarkan teori yang dikemukakan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Stuart Hall mengenai Encoding- oleh peneliti mengenai pemaknaan “sastra
Decoding pada suatu teks budaya bahwa wangi” yang berkaitan dengan rumusan
ketika pembaca melakukan momen decoding penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa
atau pemaknaan, pembaca dihadapkan pada ketertarikan membaca “sastra wangi” yang
serangkaian cara lain dalam melihat dunia berbeda-beda menunjukkan bahwa
(ideologi), yang bisa dengan bebas sesungguhnya aktivitas membaca memang
dilakukan. Karena pembaca tidak pernah bukan sekedar aktivitas konsumsi sederhana.
dianggap sebagai khalayak pembaca yang Proses pemilihan bacaan “sastra wangi”
sangat pasif (cultural dopes—istilah untuk hingga menjadi bacaan yang disenangi
orang awam yang dianggap bodoh, tidak tahu dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial yang
apa-apa dan hanya mengekor orang lain yang mengelilingi informan, yang kemudian
dianggap berpengetahuan lebih baik.) menjadikan aktivitas membaca sebagai
sehingga teks tidak akan didekodekan sama sebuah aktivitas budaya yang memiliki
oleh setiap pembaca. Karena itulah makna makna tersendiri, dibentuk oleh industri
selalu bergantung pada interpretasi pembaca budaya, namun sekaligus juga bersifat
yang membawa berbagai wacana berbeda, individual atau personal. Karya “sastra
sehingga setiap pembaca akan melakukan wangi” sebagai bacaan yang digemari
pemaknaan yang berbeda satu dengan merupakan representasi dari selera para
lainnya. Penelitian ini dilakukan untuk pembaca perempuan yang kemudian menjadi
mengetahui bagaimana pemaknaan yang frame of reference dari proses pemaknaan
dilakukan pembaca perempuan terhadap yang akan dilakukan oleh pembaca
perempuan “sastra wangi” selanjutnya dan berbeda dengan apa yang ada dalam realita
menentukan level-level pemaknaan masing- kehidupan. Namun, ketika informan dalam
masing pembaca sesuai dengan nilai yang penelitian ini kemudian dibenturkan dengan
berhasil diinterpretasikan oleh pembaca berbagai konteks dan konstruksi sosial
perempuan selama proses pemaknaan. Dari tertentu yang berkembang di benak pembaca
penuturan-penuturan informan akhirnya perempuan, hal tersebut kemudian
dapat disimpulkan bahwa makna dominan mendorong praktik pemaknaan yang
(dominant meaning) yang berhasil dimaknai menghasilkan makna sekunder. Nilai
oleh pembaca sesuai dengan apa yang di- merupakan makna sekunder dalam teks.
encoding atau diproduksi oleh penulis karya Secondary meaning merujuk pada nilai yang
“sastra wangi” yaitu “sastra wangi” sebagai berhasil dimaknai dan sejauh mana nilai
representasi upaya kesetaraan gender. terinternalisasi dalam kehidupan pembaca
Pembaca perempuan yang mendecoding sehingga menentukan penerimaan pembaca
karya “sastra wangi” secara penuh dan apa perempuan terhadap dominant meaning yang
adanya, sesuai dengan kode acuan dimana ia sebelumnya telah dimaknai. Penyingkapan
di-encoding, dapat dikatakan sedang berada makna sekunder yang dilakukan oleh
dalam posisi pembaca yang beroperasi di pembaca perempuan terhadap karya “sastra
dalam kode dominan (Storey, 2008: 15). Hal wangi” yang dibacanya membagi tipe
ini berkaitan dengan ketertarikan pembaca pembaca menjadi tiga tipe: yakni
perempuan yang awalnya berangkat dari satu incorporation reader, hyper incorporation
pintu ketertarikan yang sama, yaitu imajinasi reader, dan mediatory reader.
penulis yang menggambarkan perempuan

Daftar Pustaka Hirschman, E. C., & Holbrook, M. B. 1982.


Hedonic Consumption: Emerging
Concepts, Methods and Propositions.
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori Journal of Marketing, Vol. 46, No. 3,
& Praktik. Yogyakarta: Kreasi 92-101.
Wacana.
Hollows, Joanne. 2010. Feminisme,
Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Cultural Feminitas, dan Budaya Populer. Yogyakarta:
Theory. Yogyakarta: Niagara. Jalasutra.
Collison, Ian. 2009. Everyday Readers: Irmayani, Asfar, D. A., & Fuad, K. (2005).
Reading and Popular Culture. Feminisme dalam Saman,
London: Equnox Publishing. Imipramine, dan Jangan Main-Main
Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Dengan Kelaminmu. Kalimantan
Semiotika Media. Yogyakarta: Barat: Balai Bahasa Provinsi
Jalasutra. Kalimantan Barat.
Fakih, M. 2001. Analisis Gender & Radway, J. A. 1983. Women Read the
Transformasi Sosial. Yogyakarta: Romance: The Interaction of Text and
Pustaka Pelajar. Context. Feminist Studies, Vol. 9, No.
1, 53-78.
Fiske, John. 1990. Cultural and
Communication Studies: Sebuah Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi: Dari
Pengantar Paling Komprehensif. Sosiologi Klasik Sampai
Yogyakarta: Jalasutra. Perkembangan Terakhir
Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Sugihastuti, dan Suharto. 2002. Kritik Sastra
Pelajar. Feminis: Teori dan Aplikasinya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Storey, John. 2007. Cultural Studies dan
Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Tepper, Steven J. 1998. Why Do More
Jalasutra. Women Read Fiction?. New Jersey:
Center for Arts and Cultural Policy
Sugihartati, Rahma. 2010. Membaca, Gaya
Studies Princeton University.
Hidup dan Kapitalisme.Yogyakarta: Graha
Ilmu. Wahyudi, Ibnu. 2005. Kiprah Perempuan
Pengarah di Indonesia Pasca-Saman,.
Sugihartati, Rahma. 2012. Buku Ajar
Srinthil!, hal. 8.
Masalah Minat Baca. Surabaya:
Revka Petra Media.

Anda mungkin juga menyukai