Anda di halaman 1dari 48

DEPOSISI LAPISAN TiO2 PADA SUBSTRAT POLYETHILENE

TEREPHTHALATE (PET) DENGAN METODE SPRAY COATING UNTUK


APLIKASI DEKOMPOSISI POLUTAN LIMBAH LAUNDRY

Proposal Penelitian

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana (S-1)

DisusunOleh :

Muliati Arif

F1B1 18 021

PROGRAM STUDI FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SubhanaWata’ala, atas

limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis selalu dalam keadaan

sehat wal’afiat dalam penyusunan proposal penelitian ini. Shalawat dan salam

tidak lupa penulis haturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, para

sahabat dan keluarga yang telah berjuang membawa kita menuju alam yang lebih

baik. Tidaklah suatu kejadian terjadi tanpa seizin Allah, begitu pula dengan

penelitian proposal yang berjudul “DEPOSISI LAPISAN TiO2 PADA

SUBSTRAT POLYETHILENE TEREPHTHALATE (PET) DENGAN METODE

SPRAY COATING UNTUK APLIKASI DEKOMPOSISI POLUTAN LIMBAH

LAUNDRY ”. Penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

studi di Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Halu Oleo dengan harapan

penelitian ini dapat member manfaat dalam pengembangan fisika material.

Semoga Allah selalu melindungi, melimpahkan rahmat dan menempatkan

kita semua ke dalam surga-Nya di Akhirat nanti. Aamiin.

Kendari, februari 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL........................................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... iii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iv
I. PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 3
C. Tujuan.......................................................................................................... 3
D. Manfaat........................................................................................................ 4
II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................. 5
A. Titanium Dioksida (TiO2) ........................................................................... 5
B. Polyethylene Terephthalate (PET) .............................................................. 9
C. Metode Spray Coating............................................................................... 12
D. Polutan....................................................................................................... 14
E. Deterjen ..................................................................................................... 17
F. Fotokatalisis .............................................................................................. 19
G. XRD .......................................................................................................... 22
H. SEM........................................................................................................... 25
I. Spektrofotometer UV-Vis ......................................................................... 27
III. METODE PENELITIAN............................................................................................ 32
A. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................... 32
B. Jenis Penelitian.......................................................................................... 32
C. Alat dan Bahan Penelitian ......................................................................... 32
D. Prosedur Penelitian.................................................................................... 34
E. Diagram Alir Penelitian ............................................................................ 40
F. Tabel Data Pengamatan............................................................................. 41
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 42

iv
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Globalisasi telah memberikan dampak yang sangat besar bagi masyarakat

saat ini. Salah satunya yaitu gaya hidup masyarakat yang serba praktis dan instan.

Dapat dilihat dari cara mencuci pakaian, masyarakat saat ini sudah mulai

meninggalkan cara mencuci pakaian dengan tangan dan beralih ke teknologi

menggunakan mesin cuci. Namun mesin cuci yang memiliki harga relatif mahal

membuat sebagian masyarakat tak mampu membelinya. Hal inilah yang

mendasari maraknya jasa laundry saat ini. Jasa laundry bukan hanya sekedar

tempat mencuci melainkan sebagai tempat perawatan pakaian agar lebih bersih

dan awet. Faktor serba instan dan praktis inipun akhirnya menjadi trend bagi

masyarakat saat ini (Rosyi dkk., 2020). Sampai saat ini jasa laundry sudah

semakin banyak tersebar di setiap daerah karena pengguna jasa laundry semakin

meningkat, mulai dari kalangan mahasiswa, karyawan, maupun ibu rumah tangga.

Industri laundry merupakan industri rumah tangga yang menggunakan air

dan deterjen dalam melaksanakan aktivitasnya. Deterjen mengandung surfaktan,

buildel, filler, dan zat aditif yang menyebabkan tingginya kadar total materi padat

tersuspensi (Total Suspended Solid, TSS), kebutuhan oksigen biologi (Biological

Oxygen Demand, BOD) dan fosfat dalam air limbah laundry sehingga ketika

dibuang langsung ke lingkungan dapat menimbulkan pencemaran ekosistem

perairan (Wimbaningrum dkk., 2020). Dalam hal ini diperlukan adanya

pengolahan limbah air dari industri laundry sebelum dibuang ke lingkungan.

1
2

Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan mendegradasi polutan limbah

laundry tersebut.

Salah satu bahan yang dapat digunakan untuk dekomposisi polutan dalam

air yaitu Titamium Dioksida (TiO2) yang dideposisi pada substrat Polyethilene

Terephthalate (PET). TiO2 merupakan bahan semikonduktor yang banyak

digunakan untuk memecahkan berbagai masalah lingkungan, antara lain

pemurnian air dan udara, destruksi mikroorganisme seperti bakteri dan virus

dalam aktivasi sel kanker, degradasi zat warna dan senyawa kimia beracun serta

pembuatan gas hidrogen dari air (Jahiding dkk., 2018). PET adalah termoplas

yang diproduksi secara industri dari bahan baku fosil sejak tahun 1940-an, saat ini

banyak digunakan dalam kemasan botol dan tekstil. Meskipun ada proses industri

yang mapan untuk daur ulang PET, sejumlah besar PET masih berakhir di

lingkungan sebagai pencemar baik di lingkungan tanah maupun di lingkungan air

(Moog et al., 2019).

Proses fotokatalisis terjadi ketika permukaan TiO2 diiluminasi dengan

sinar Ultra Violet (UV) yang memiliki energi sama atau lebih besar dari energi

celah pitanya. Oleh karena itu, akan terbentuk photoelectron (e-) yang tereksitasi

ke pita konduksi sehingga pada pita valensi akan terbentuk photohole (h+).

Interaksi (h+) dengan molekul air menghasilkan radikal hidroksil (OH), sedangkan

interaksi (e-) dengan molekul oksigen akhirnya akan membentuk (OH). Radikal

OH yang terbentuk dapat berperan sebagai pendegradasi untuk polutan organik

sehingga dapat mengurangi cemaran dalam air dengan hasil akhir yang ramah

lingkungan yaitu CO2 dan H2O (Pratiwi dkk., 2020).


3

Penelitian penggunaan TiO2 dengan bantuan sinar matahari untuk

mendekomposisi polutan limbah laundry diharapkan dapat mengurangi

pencemaran ekosistem air, dimana sekarang ini usaha laundry semakin banyak

ditemukan, dan air limbahnya yang tidak diolah dengan baik dapat menyebabkan

eutrofikasi ataupun dapat meningkatkan kelangkaan air besih. Alasan inilah yang

mendasari diadakannya penelitian tentang deposisi lapisan TiO2 pada permukaan

substrat PET dengan metode spray coating untuk aplikasi dekomposisi polutan

limbah laundry.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dalam penelitian ini

dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh ukuran partikel Titanium Dioksida (TiO2) terhadap

perubahan konsentrasi polutan dalam air ?

2. Bagaimana pengaruh waktu kontak sinar-UV (Matahari) dengan Titanium

Dioksida (TiO2) terhadap perubahan konsentrasi polutan dalam air ?

3. Bagaimana kinerja lapisan Titanium Dioksida (TiO2) yang terdeposisi pada

substrat Polyethilene Terephthalate (PET) dengan menginteraksikannya

dengan Sinar-UV (Matahari) dalam mendegradasi polutan atau pencemar

dari limbah laundry ?

C. Tujuan

Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui pengaruh ukuran partikel Titanium Dioksida (TiO2) terhadap

perubahan konsentrasi polutan dalam air.


4

2. Mengetahui pengaruh waktu kontak sinar-UV (Matahari) dengan Titanium

Dioksida (TiO2) terhadap perubahan konsentrasi polutan dalam air.

3. Mengetahui kinerja lapisan Titanium Dioksida (TiO2) yang terdeposisi

pada substrat Polyethilene Terephthalate (PET) dengan

menginteraksikannya dengan Sinar-UV (Matahari) dalam mendegradasi

polutan atau pencemar dari limbah laundry.

D. Manfaat

Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan lapisan tipis TiO2

yang berkualitas tinggi sehingga dapat diaplikasikan untuk mendekomposisi

polutan limbah laundry sehingga sisa air buangan laundry aman untuk

dibuang ke lingkungan.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Titanium Dioksida (TiO2)

Titanium dioksida (TiO2) merupakan bahan semikonduktor yang banyak

digunakan untuk memecahkan berbagai masalah lingkungan, antara lain untuk

pemurnian air dan udara, destruksi mikroorganisme seperti bakteri dan virus

dalam aktivasi sel kanker, degradasi zat warna dan senyawa kimia beracun serta

pembuatan gas hydrogen dari air. Struktur kristal TiO2 terdiri dari tiga macam

yaitu rutile, anatase, dan brookite. Namun yang biasa digunakan untuk katalis

fotodegradasi adalah rutile dan anatase, karena anatase memiliki daerah aktivasi

yang lebih luas dibandingkan rutile, sehingga kristal tersebut menjadi lebih reaktif

terhadap cahaya dibandingkan rutile. Ukuran sudut kontak air dengan lapisan

TiO2 mengalami penurunan apabila mendapat penyinaran matahari sehingga

lapisan bersifat hidrofilik (suka air) dan ukuran sudut kontak tersebut meningkat

ketika tidak mendapat penyinaran lagi maka lapisan bersifat hidrofobik (anti air),

sehingga material yang diberi lapisan TiO2 akan terlihat selalu bersih dengan

sendirinya (Jahiding dkk., 2018).

Berdasarkan fasa kristalnya, TiO2 dibagi 3 yaitu anatase, brookite dan

rutile. Struktur dari ketiga fasa TiO2 dapat dilihat pada Gambar 2.1. TiO2 adalah

material yang telah banyak dikembangkan sebagai material semikonduktor

fotoanoda DSSC karena harganya yang tidak mahal, tidak beracun, jumlahnya

melimpah, dan stabil di bawah cuaca ekstrim serta banyak diaplikasikan ke bidang

lainnya. TiO2 juga merupakan bahan semikonduktor yang bersifat inert, stabil

terhadap fotokorosi dan korosi oleh bahan kimia.

5
6

Gambar 2.1. Struktur Fasa TiO2

Anatase dan rutile adalah fase dari TiO2 yang relatif stabil dibandingkan

dengan fasa brookite. Pada fasa anatase TiO2 umumnya stabil pada ukuran

partikel kurang dari 11 nm, fasa brookite pada ukuran partikel 11 – 35 nm dan

fasa rutile diatas 35 nm. Struktur kisi kristal TiO2 yang berbeda-beda pada setiap

fasa kristal menyebabkan sifat fisik dan kimianya berbeda pula. Untuk aplikasi

DSSC, TiO2 yang digunakan umumnya berfasa anatase karena memiliki

kemampuan fotoaktif yang tinggi.

TiO2 juga memiliki struktur nanopori. Ukuran pori dalam skala nano akan

menaikkan kinerja sistem karena struktur nanopori mempunyai karakteristik luas

permukaan per volume yang tinggi sehingga akan menaikkan jumlah dye yang

terserap sehingga akan menaikkan jumlah cahaya yang terserap (Warman, 2020).

Aktivitas fotokatalisis TiO2 dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang

menentukan aktivitas fotokatalis TiO2 adalah morfologi permukaan, luas

permukaan, fasa kristal, kristalinitas dan ukuran kristal terutama dalam skala
7

nano. Dalam bentuk mikroskopis, TiO2 mempunyai dua bentuk utama yaitu kristal

dan amorf. Bentuk amorf artinya bahan tidak memiliki keteraturan susunan atom

sehingga tidak memiliki keteraturan pita konduksi dan pita valensi, akan tetapi

TiO2 amorf juga dikenal memiliki kemampuan untuk mendegradasi polutan dalam

waktu yang tidak singkat. Hal ini disebabkan TiO2 amorf tidak memiliki defek

oksigen dan tidak bersifat semikonduktor, sehingga tidak mempunyai kemampuan

fotokatalisis. Struktur kristal TiO2 yang berada di alam secara umum yaitu

anatase, rutile dan brookite. Perbedaan struktur Kristal TiO2 ini mengakibatkan

perbedaan massa jenis (3,9 g/cc untuk anatase dan 4,2 g/cc untuk rutile). Selain

itu, perbedaan struktur Kristal mengakibatkan perbedaan tingkat energi struktur

pita elektroniknya. Besarnya energy gap (Eg) antara anatase dan rutile akan

berbeda bila susunan atom Ti dan O dalam kristal TiO2 berbeda. Pada struktur

anatase memiliki energy gap sebesar 3,2 eV dan rutile memiliki energy gap

sebesar 3,0 eV. Berdasarkan perbedaan energy gap pada sruktur tersebut maka

anatase memiliki aktivitas fotokatalis yang baik (Supriyanto dkk., 2014).

a) b)

Gambar 2.2. a) TiO2 b) Bentuk Kristal TiO2


8

Struktur kristal TiO2 dibagi menjadi tiga fase yaitu rutile, anatase, dan

brookite. Anatase memiliki struktur tetragonal dengan densitas sebesar 3830

kg/m3. Rutile memiliki struktur tetragonal dengan densitas sebesar 4240 kg/m 3,

sedangkan brookite memiliki struktur orthorhombic dengan densitas sebesar 4170

kg/m3. Pembentukan ketiga fase tersebut bergantung pada jenis oktahedral

kompleks penyusunnya, sesuai dengan tingkat keasaman dan konsentrasi Cl-

dalam larutan. Fase TiO2 anatase lebih fotoaktif dibandingkan dengan fase rutile,

hal ini dikarenakan luas permukaan anatase lebih besar dari pada rutile sehingga

sisi aktif anatase lebih besar. Sedangkan fase brookite merupakan fase yang

paling tidak stabil. Dari ketiga fase anatase, rutile dan brookite, rutile adalah fase

yang paling stabil. Fase rutile merupakan fase hasil sintesis mineral ilmenite

dengan proses becher. Pada proses tersebut, oksida besi yang terkandung dalam

ilmenite dipisahkan dengan bantuan gas sulfat pada temperatur yang tinggi,

sehingga menghasilkan struktur rutile dengan kemurnian 91-93 %. Sedangkan

anatase dan brookite merupakan fase metastabil polymorph. Kedua fase, anatase

dan brookite dapat menjadi rutile saat mencapai suhu diatas 700 oC, dalam

keadaan murni, tidak ada aditif yang ditambahkan. Beberapa penelitian

menyatakan bahwa pada suhu 500 oC, anatase sudah bisa bertransformasi menjadi

rutile dengan adanya perlakuan panas. Anatase stabil pada ukuran partikel kurang

dari 4,9 nm, rutile stabil pada ukuran partikel lebih dari 30 nm, sedangkan

brookite stabil pada ukuran partikel 4,9 nm -30 nm (Uyun, 2015).

Fasa rutil secara termodinamik lebih stabil daripada anatase, struktur

rutile terlihat menjadi stabil secara termodinamik di bawah kondisi pellet,


9

walaupun dalam eksperimen termodinamik menunjukkan bahwa anatase dapat

menjadi lebih stabil daripada rutile ketika kristalnya hanya beberapa nanometer.

Fasa anatase adalah bentuk metastabil, apabila diberi perlakuan pemanasan dapat

bertransformasi menjadi rutile. Pada tekanan dan temperatur ruangan untuk sistem

makrokristalin, fasa rutile secara termodinamik lebih stabil apabila dibandingkan

dengan anatase dan brookite, tetapi kestabilan termodinamik bergantung pada

ukuran partikel yang berkonstribusi terhadap energi bebas permukaan (Kiswanti

dan Suminar, 2014).

Tabel 2.1. Parameter kisi Kristal Anatase, Rutile, dan Brookite

Sifat Rutile Anatase Brookite


Bentuk Kristal Tetragonal Tetragonal Ortogonal
a (Å) 4.58 3.78 9.18
b (Å) - - 5.45
c (Å) 2.95 9.5 5.14
Berat Jenis 4.27 3.89 4.12
Volume Molar 18.69 20.16 19.38
Kekerasan 6.0-7.0 5.5-6.0 6.0-6.5
Berubah menjadi Beru bah menjadi
Titik Didih 1855˚C rutile pada suhu rutile pada suhu
915˚C 750˚C

B. Polyethylene Terephthalate (PET)

Polyethylene terephthalate (PET) adalah bahan plastik yang banyak

digunakan untuk pengemasan cairan (botol) / makanan dan untuk produksi serat

tekstil sintetik. Dihasilkan dari sumber daya minyak mentah (asam tereftalat dan

etilen glikol) dengan tingkat yang sangat meningkat diperkirakan melebihi lebih

dari 70 juta ton per tahun pada tahun 2020. Seperti banyak plastik lainnya,

permintaan PET yang terus meningkat membutuhkan sistem manufaktur dan


10

pengelolaan limbah global yang efisien dan komprehensif dengan tujuan

mencegah kerusakan dari alam. Meskipun proses yang efisien untuk PET industri

sintesis dan daur ulang telah ditetapkan, sebagian besar limbah PET masih

dibakar, ditimbun atau berakhir di lingkungan sebagai partikel makro, meso,

mikro, dan nano karena partikel yang tidak tepat. Polyethylene Terephthalate

(PET) adalah termoplas yang diproduksi secara industri dari bahan baku fosil

sejak tahun 1940-an, saat ini banyak digunakan dalam kemasan botol dan tekstil.

Meskipun ada proses industri yang mapan untuk daur ulang PET, sejumlah besar

PET masih berakhir di lingkungan sebagai pencemar baik di lingkungan tanah

maupun di lingkungan air (Moog et al., 2019).

Plastik PET memiliki kekuatan mekanik yang tinggi, transparan, bersifat

tidak beracun, dan tidak pengaruh pada rasa dan permeabilitas yang dapat

diabaikan untuk karbondioksida. Plastik PET memiliki kekuatan tarik dan

kekuatan impak yang sangat baik, begitu juga dengan ketahanan kimia, clarity,

processability, kemampuan warna dan stabilitas termalnya. Berdasarkan

ketahanan plastik terhadap perubahan suhu, maka plastik dibagi menjadi dua,

yaitu :

1. Thermoplastic

Jenis plastik ini meleleh pada suhu tertentu, melekat mengikuti

perubahan suhu, bersifat reversible (dapat kembali kebentuk semula atau

mengeras bila didinginkan). contoh : Polyethylene (PE), Polypropylene

(PP), Polyethylene Terephthalate (PET), Poliviniclorida (PVC),

Polistirena (PS).
11

2. Thermoset atau thermodursisabel

jenis plastik ini tidak dapat mengikuti perubahan suhu (tidak

reversible) sehingga bila pengerasan telah terjadi maka bahan tidak dapat

dilunakkan kembali. Pemanasan dengan suhu tinggi tidak akan

melunakkan jenis plastik ini melainkan akan membentuk arang dan terurai.

Karena sifat thermoset yang demikian maka bahan ini banyak digunakan

sebagai tutup ketel (Okatama, 2016).

Nurminah (2002) menjelaskan Polyethylene merupakan film yang lunak,

transparan dan fleksibel, mempunyai kekuatan benturan serta kekuatan sobek

yang baik. Apabila dilakukan pemanasan, polyethylene akan menjadi lunak dan

mencair pada suhu 110°C. PET mempunyai kombinasi sifat-sifat: kekuatan

(strength) yang tinggi, kaku (stiffness), dimensinya stabil, tahan bahan kimia dan

panas, serta mempunyai sifat elektrikal yang baik. PET memiliki daya serap uap

air yang rendah, demikian juga daya serap terhadap air. PET dapat diproses

dengan proses ekstrusi pada suhu tinggi 518-608°F, selain itu juga dapat diproses

dengan teknik cetak injeksi maupun cetak tiup. Sebelum dicetak sebaiknya resin

PET dikeringkan lebih dahulu (maksimum kandungan uap air 0,02 %) untuk

mencegah terjadinya proses hidrolisa selama pencetakan. Penggunaan PET sangat

luas yaitu digunakan sebagai bahan pembuat botol-botol untuk air mineral, soft

drink, kemasan sirup, saus, selai, dan minyak makan. Menurut Surdia dan Saito

(2005), sifat khas polimer sangat berubah oleh perubahan temperatur. Hal ini

disebabkan apabila temperatur berubah, pergerakan molekul karena termal akan


12

mengubah molekul atau merubah struktur (terutama struktur yang berdimensi

besar) (Sasmitha, 2017).

Gambar 2.3. Contoh jenis plastik PET

C. Metode Spray Coating

Berbagai macam metode penumbuhan lapisan tipis yang telah

dikembangkan untuk mendukung perkembangan teknologi material salah satunya

adalah metode dip coating. Metode dip coating merupakan proses dimana sebuah

substrat yang dicelupkan ke dalam larutan kemudian diangkat secara vertikal

dengan kecepatan yang konstan. Larutan precursor yang melengket pada substrat

dan membentuk lapisan tipis karena pelarutnya akan menguap dan sebagian

larutan akan turun karena adanya gaya gravitasi. Ketebalan larutan dapat diatur

sesuai dengan kecepatan penarikan substrat. Metode ini telah sukses digunakan

untuk membuat suatu lapisan tipis material ferroelektrik dan semikonduktor

elektronik. Metode ini banyak diminati karena prosesnya yang sederhana dan

tidak memerlukan biaya yang mahal, selain itu juga tidak merusak lingkungan dan

peralatan yang digunakan tidak begitu kompleks Salah satu kendala yang

dihadapi dalam pengembangan penelitian pada bidang keahlian material adalah


13

harga peralatan dip coating di pasaran cukup mahal, mengingat kebutuhan

peralatan ini terutama dalam melakukan penelitian ataupun dalam pelaksanaan

praktikum pembuatan lapisan tipis sebagai aplikasi teknologi material mendorong

untuk dilakukan pengadaan alat dip coating secara mandiri. Faktor yang

diperhitungkan ketika menentukan keadaan akhir lapisan tipis ketika mencelupkan

lapisan substrat. Diantara faktor-faktor tersebut, yang mempengaruhi proses

adalah waktu perendaman, kecepatan penarikan, jumlah siklus pencelupan, jenis

substrat, konsentrasi dan suhu serta kelembaban lingkungan (Mukhsinin

dkk., 2019).

Spin Coating merupakan salah satu metode pembuatan lapisan tipis

dengan menggunakan putaran. Metode spin coating cukup sederhana, dapat

dilakukan pada suhu kamar, dan efektif untuk pembuatan lapisan tipis. Pada

penelitian ini larutan di aging selama 48 jam. Aging adalah penyimpanan larutan

dalam kurun waktu tertentu yang bertujuan untuk mendapatkan kondisi optimal

dari larutan sebelum dideposisikan pada substrat (Arista dkk., 2016).

Spray coating adalah metode yang murah untuk produksi lapisan tipis

(contoh umum adalah pemolesan mobil) yang dapat diterapkan dengan berbagai

cara: manual, termal, plasma, kinetic, dll. Lapisan katalis murni dibuat dari tinta

prekusor garam logam hanya membutuhkan perlakuan pasca-panas untuk

menstabilkan lapisan pembentuk pada permukaan substrat (Nanai et al., 2019).

Prawara mengatakan bahwa keuntungan dari spray-coating dibandingkan dengan

proses yang lain seperti PVD (Physical Vapour Deposition), CVD (Chemical

Vapor Deposition), Brazing, Cladding, dan elektroplating adalah laju deposisi


14

yang tinggi, dapat dilakukan pada kondisi atmosfer, beragam jenis bahan dapat

dideposisikan dengan mudah sesuai dengan aplikasi yang diinginkan, dan lebih

ramah lingkungan, yaitu tidak memiliki limbah buangan yang berbahaya pada

lingkungan (2006 dalam Rahmawati, 2010).

Gambar 2.4. Ilustrasi metode spray coating

D. Polutan

Bahan pencemar yang masuk ke dalam lingkungan, yang disebut sebagai

pollutant. waktu terjadinya pencemaran itu, adalah saat dimana pollutant

bercampur dengan komponen alamiah, dan disebut dengan pollution (pencemaran

lingkungan). Sumber pencemar (poluter) adalah kegiatan industri, perilaku

masyarakat yang masih belum berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)

sehingga masalah sampah domestik menjadi momok dalam kehidupan sehari-hari,

aktivitas pasar, rumah sakit dan perkantoran dan lain sebagainya adalah sumber

terjadinya pencemaran lingkungan. Limbah adalah bahan yang tidak diperlukan

oleh manusia dalam suatu aktivitas tertentu, sehingga disebut sisa. sisa itu pun
15

digolongkan menurut wujudnya. ada yang berwujud cair (liquid waste), padat

(solid waste) yang dalam sehari disebut sebagai sampah, serta wujud gas dan

partikel (gas and particle waste) (Dewata dan Yun, 2018).

Pencemaran atau polusi adalah suatu kondisi yang telah berubah dari

bentuk asal pada keadaan yang lebih buruk. Pergeseran bentuk tatanan dari

kondisi asal pada kondisi yang buruk ini dapat terjadi sebagai akibat masukan dari

bahan-bahan pencemar atau polutan. Bahan polutan tersebut pada umumnya

mempunyai sifat racun (toxic) yang berbahaya bagi organisme hidup. Toksisitas

atau daya racun dari polutan itulah yang kemudian menjadi pemicu terjadinya

pencemaran. Salah satu bahan pencemar yang sangat tinggi daya racunnya adalah

merkuri (Hg).

Odum (1971) mengatakan bahwa pencemaran perairan adalah suatu

perubahan fisika, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada ekosistem

perairan yang akan menimbulkan kerugian pada sumber kehidupan, kondisi

kehidupan dan proses industri. Pencemaran perairan pesisir didefinisikan sebagai

dampak negatif, pengaruh yang membahayakan terhadap kehidupan biota, sumber

daya dan kenyamanan ekosistem perairan serta kesehatan manusia dan nilai guna

lainnya dari ekosistem perairan yang disebabkan secara langsung oleh

pembuangan bahan-bahan atau limbah ke dalam perairan yang berasal dari

kegiatan manusia (Ainuddin dan Widyawati, 2017).

Pencemaran merupakan sebuah peristiwa masuknya suatu zat atau

senyawa yang berasal dari luar lingkungan ke dalam suatu lingkungan secara

sengaja maupun tidak sengaja. Pencemaran di air dapat menyebabkan kondisi air
16

yang tadinya normal menjadi tidak normal, sehingga perubahan fisik, kimia

maupun biologi ini dapat membahayakan kehidupan bagi makhluk hidup. Sumber

pencemaran di perairan dapat berasal dari limbah domestik. Limbah domestik

adalah limbah yang berasal dari kegiatan sehari-hari rumah tangga, seperti

kegiatan mencuci yang menggunakan deterjen dan pewangi. Limbah domestik

dapat dibagi menjadi dua, yaitu limbah organik seperti sisa sayuran dan makanan

serta limbah anorganik seperti plastik, bahan-bahan kimia yang berasal dari

penggunaan deterjen, sampo maupun sabun. Limbah dari kegiatan laundry yang

mengandung deterjen perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu sebelum

dibuang, contohnya dengan menggunakan biofilter berupa tanaman air. Biofilter

yang digunakan merupakan tanaman kelompok mikroorganisme rhizosfer yang

mampu melakukan penguraian terhadap benda-benda organik atau anorganik yang

terdapat pada limbah. Apabila limbah dari kegiatan laundry yang mengandung

deterjen tidak diolah terlebih dahulu, deterjen akan memasuki sungai dan

terakumulasi di laut dan menyebabkan pencemaran. Surfaktan pada deterjen

dalam jumlah tertentu dapat menimbulkan busa yang mengganggu pemandangan

serta menutupi permukaan perairan dan berdampak pada proses difusi oksigen

dari udara yang menjadi lambat, sehingga kadar oksigen yang terlarut pada air

menjadi sedikit dan mengganggu kehidupan organisme perairan, terutama pada

organ ikan, seperti yang terjadi di Perairan Depapre, Provinsi Papua yang

merupakan daerah pariwisata, pemukiman dan pelabuhan. Selain berasal dari

limbah domestik, pencemaran di perairan dapat berasal dari limbah non domestik.

(Larasati dkk., 2021).


17

E. Deterjen

Deterjen merupakan salah satu bahan pembersih yang umum digunakan

oleh masyarakat, baik oleh rumah tangga, industri, perhotelan, rumah makan, dan

lain-lain. Berdasarkan bentuknya, deterjen yang beredar di pasaran dapat berupa

deterjen cair, deterjen krim, dan deterjen serbuk. Pada umumnya ketiga jenis

deterjen ini memiliki fungsi yang sama. Hal yang membedakan keduanya adalah

bentuknya. Pada awalnya deterjen cair lebih banyak digunakan dalam pembersih

alat-alat dapur. Namun seiring dengan perkembangan zaman, deterjen cair juga

banyak diaplikasikan untuk kebutuhan industri serta pembersih pakaian. Hal ini

dikarenakan deterjen cair lebih mudah cara menanganinya dan lebih praktis dalam

penggunaannya. Bahan utama deterjen ialah garam natrium yaitu asam organik

yang dinamakan asam sulfonic. Asam sulfonic yang digunakan dalam pembuatan

deterjen merupakan molekul berantai panjang yang mengandungi 12 hingga 18

atom karbon per molekul. Deterjen pertama disintesis pada tahun 1940-an, yaitu

garam natrium dari alkylhydrogen sulfat. Alkohol berantai panjang dibuat dengan

cara penghidrogenan lemak dan minyak. Alkohol berantai panjang ini direaksikan

dengan asam sulfat menghasilkan alkilhydrogen sulfat yang kemudian dinetralkan

dengan basa (Supriyadi dkk., 2021).

Deterjen merupakan produk pembersih yang merupakan penyempurnaan

dari sabun. Kelebihan deterjen dibandingkan sabun adalah kemampuannya dalam

mengatasi air sadah dan larutan asam. Deterjen sering disebut dengan istilah

deterjen sintetis yang dibuat dari bahan-bahan sintetis. Umumnya deterjen

tersusun atas tiga komponen yaitu, surfaktan (sebagai bahan dasar deterjen)
18

sebesar 20-30%, builders (senyawa fosfat) sebesar 70-80 %, dan bahan aditif

(pemutih dan pewangi) yang relatif sedikit yaitu 2-8%. Surface Active Agent

(surfaktan) pada deterjen digunakan untuk proses pembasahan dan pengikat

kotoran, sehingga sifat dari deterjen dapat berbeda tergantung jenis surfaktannya.

Deterjen adalah racun yang kuat untuk biota akuatik dan mencemari lingkungan

perairan baik dari segi keperluan hidup dan kehidupan biota akuatik maupun

manusia (Handayani, 2020).

Deterjen mengandung surfaktan, builder, filler dan zat aditif yang

menyebabkan kadar materi padat tersuspensi total (total suspensed solid, TSS),

kebutuhan oksigen biologi (biological oxygen demand, BOD) dan fosfat dalam air

limbah laundry tinggi. Busa yang ditimbulkan oleh surfaktan dapat menghambat

oksigen dari udara untuk masuk ke dalam air. Air limbah industry laundry yang

keruh mengandung TSS yang tinggi. Kekeruhan air dapat menghambat penetrasi

cahaya matahari ke dalam air sungai sehingga menggangu proses fotosintesis

organisme akuatik autotrof (Wimbaningrum dkk., 2020).

Senyawa fosfat dalam deterjen di perairan dapat menyebabkan eutrofikasi,

karena dapat menyebabkan tanaman perairan menjadi subur dan pertumbuhan

alga menjadi lebih tinggi, yang apabila melebihi batas dapat menyebabkan

blooming. Selain berasal dari limbah domestik, pencemaran di perairan dapat

berasal dari limbah non domestik. Deterjen sintetis memiliki sifat yang dapat

membersihkan dengan baik dan tidak membentuk endapan dengan ion-ion.

Namun, deterjen memiliki bahan aktif yang disebut dengan surfaktan yaitu bahan

aktif dari deterjen yang dapat menurunkan kualitas air (Larasati dkk., 2021).
19

Gambar 2.5. Deterjen

F. Fotokatalisis

Fotokatalis merupakan suatu gabungan antara proses fotokimia dan katalis.

Proses fotokimia merupakan suatu proses transformasi kimia dengan bantuan

cahaya sebagai pemicunya. Sedangkan katalis merupakan suatu substansi yang

dapat mempercepat laju reaksi hal ini disebabkan katalis memiliki kemampuan

untuk mengadakan interaksi dengan minimal satu molekul reaktan untuk

menghasilkan senyawa antara yang lebih reaktif. Selama proses reaksi

berlangsung katalis akan ikut bereaksi dan pada akhir reaksi katalis dihasilkan

kembali. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa material yang

digunakan sebagai katalis dalam suatu reaksi kimia dengan kemampuannya dalam

menyerap foton sebagai pemicu aktivitas disebut dengan material fotokatalis.

Sedangkan proses reaksi yang melibatkan material fotokatalis disebut dengan

reaksi fotokatalisis.
20

Gambar 2.6. Proses fotokatalitik pada permukaan nanopartikel TiO2

Fenomena fotokatalisis pada permukaan katalis logam Oksida pada

gambar 2.6 dapat dijelaskan sebagai berikut. Ketika TiO2 dikenai Sinar-UV, maka

elektron (e-) pada pita valensi (vb) akan memiliki energi yang cukup besar untuk

dapat berpindah atau tereksitasi ke pita konduksi (cb) dan meninggalkan lubang

positif (h+) pada pita valensi (pers 1)

TiO2 + hv→e-cb +h+vb (1)

Pasangan hole (h+) dan elektron (e-) dapat bergabung kembali atau bereaksi

seperti oksigen, dapat bereaksi dengan elektron menjadi produk ion superoksida

(O2-•) dan menyebabkan reaksi redoks. Proses tersebut bertujuan untuk

menghindari proses recombination (Pers 2)

e-+ O2 → O2-• (2)

Sifat oksidator kuat yang dimiliki oleh semikonduktor akan memiliki sejumlah

besar hole (h+) yang akan menyerang air (H2O) yang melekat pada permukaan

semikonduktor sehingga mengarah pada pembentukan radikal hidroksil (OH•)

(Pers 3)
21

h+vb + H2O → OH• + H+ (3)

Ion superoksida (O2-•) bereaksi dengan hidrogen (H+) membentuk produk oksidasi

radikal hidroperoksil (HO2 •) (Pers 4)

O2-• + H+→ HO2 • (4)

Radikal hidroksil (OH•) dan radikal hidroperoksil (HO2•) merupakan

pengoksidasi kuat yang dapat mengoksidasi zat organik menjadi air, asam

mineral, dan karbon dioksida.

OH• + Bahan Organik → CO2 + H2O (5)

HO2 • + Bahan Organik → CO + H O (6)

Pada proses fotokatalis yang mempengaruhi proses dari fotokatalis itu

sendiri yaitu bergantung kepada daya lampu yang digunakan, daya lampu yang

digunakan dapat mempengaruhi proses dikarenakan semakin besar proses

penyinaran yang dihasilkan, hal tersebut dapat meningkatkan persentase degradasi

senyawa LAS dan TDS. Selanjutnya yaitu waktu paparan, semakin lama waktu

paparan maka proses fotokatalis akan semakin baik hal tersebut dikarenakan

proses penyinaran yang semakin lama akan membentuk radikal OH, radikal OH

tersebut yang semakin banyak akan meningkatkan proses degradasi. Kemudian

adanya pemilihan katalis itu sendiri. Pada proses fotokatalis, katalis berfungsi

sebagai mempercepat laju reaksi. Pemilihan katalis yang baik bisa dilihat dari

celah atau selisih energi foton yang ada (band gap) dan sifat dari katalis itu sendiri

(Darmawan dan Tuhu , 2020).


22

G. XRD

Difraksi sinar-X atau X-Ray Diffraction (XRD) merupakan metode yang

digunakan untuk mengetahui struktur kristal, perubahan fase dan derajat

kristalinitas. Difraksi sinar-X oleh atom-atom yang tersusun di dalam kristal, akan

mengahasilkan pola yang berbeda tergantung pada konfigurasi yang dibentuk oleh

atom-atom dalam kristal. XRD dapat memberikan informasi secara umum baik

secara kuantitatif maupun kualitatif tentang komposisi fase-fase dalam kristal

(Alfarisa, 2018).

Analisa XRD merupakan contoh Analisa yang digunakan untuk

mengidentifikasi keberadaan suatu senyawa dengan mengamati pola pembiasan

cahaya sebagai akibat dari berkas cahaya yang dibiaskan oleh material yang

memiliki susunan atom pada kisi kristalnya. Secara sederhana, prinsip kerja dari

XRD dapat dijelaskan sebagai berikut. Setiap senyawa terdiri dari susunan atom-

atom yang membentuk bidang tertentu. Jika sebuah bidang memiliki bentuk yang

tertentu, maka partikel cahaya (foton) yang datang dengan sudut tertentu hanya

akan menghasilkan pola pantulan maupun pembiasan yang khas. Dengan kata

lain, tidak mungkin foton yang datang dengan sudut tertentu pada sebuah bidang

dengan bentuk tertentu akan menghasilkan pola pantulan ataupun pembiasan yang

bermacam-macam. Sebagai gambaran, bayangan sebuah objek akan membentuk

pola yang sama seandainya cahaya berasal dari sudut datang yang sama.

Kekhasan pola difraksi yang tercipta inilah yang dijadikan landasan dalam

Analisa kualitatif untuk membedakan suatu senyawa dengan senyawa yang lain

menggunakan instrument XRD. Pola unik yang terbentuk untuk setiap difraksi
23

cahaya pada suatu material seperti halnya fingerprint (sidik jari) yang digunakan

untuk mengidentifikasi senyawa yang berbeda (Setiabudi dkk., 2012).

Difraksi adalah suatu metode eksperimen hamburan elastis, dimana proses

transfer/perubahan energi dapat diabaikan dalam proses hamburan tersebut.

Informasi yang diperoleh dari metode difraksi ini yakni data koordinat atom-atom

dalam kristal yang mendasari sifat dan karakteristik bahan pada umumnya. XRD

digunakan untuk analisis komposisi fasa atau senyawa pada material dan juga

karakterisasi kristal. Prinsip dasar XRD adalah mendifraksi cahaya yang melalui

celah kristal. Difraksi cahaya oleh kisi-kisi atau Kristal ini dapat terjadi apa bila

difraksi tersebut berasal dari radius yang memiliki Panjang gelombang yang setara

dengan jarak antar atom, yaitu sekitar 1 Angstrom. Radiasi yang digunakan

berupa radiasi sinar-X, electron, dan neutron. Sinar-X merupakan foton dengan

energi tinggi yang memiliki Panjang gelombang berkisar antara 0.5 sampai 2.5

Angstrom. Ketika berkas sinar-X berinteraksi dengan suatu material, maka

Sebagian berkas akan diabsorbsi, distransmisikan, dan Sebagian lagi dihamburkan

terdifraksi. Hamburan terdifraksi inilah yang dideteksi oleh XRD. Berkas sinar-X

yang dihamburkan tersebut ada yang saling menghilang karena fasanya berbeda

dan ada juga yang saling menguatkan karena fasanya sama. Berkas sinar-X yang

saling menguatkan itulah yang disebut sebagai berkas difraksi. Hukum Bragg

merumuskan tentang persyaratan yang harus dipenuhi agar berkas sinar-X yang

dihamburkan tersebut merupakan berkas difraksi. Ilustrasi difraksi sinar-X pada

XRD dapat dilihat pada gambar berikut :


24

Gambar 2.7. Difraksi Sinar-X pada XRD

Gambar 2.8. Ilustrasi difraksi sinar-X

Dari gambar 2.8 dapat dideskripsikan sebagai berikut. Sinar datang yang

menumbuk pada titik pada bidang pertama dihamburkan oleh atom P. Sinar

datang yang kedua menumbuk bidang berikutnya dan dihamburkan oleh atom Q,

sinar ini menempuh jarak SQ + QT bila dua sinar tersebut parallel dan satu fasa

(saling menguatkan). Jarak tempuh ini merupakan kelipatan (n) panjang

gelombang (λ), sehingga persamaan menjadi.

nλ = 2 sin
25

dimana

λ = Panjang gelombang sinar-X (1 Cu = 1,540562 Å)

θ = sudut difraksi yang menggambarkan posisi puncak.

= jarak antar bidang yang menggambarkan sistem, ukuran sel satuan

dan indeks militer bidang tersebut.

Analisa struktur material diperlukan untuk mengidentifikasi material tersebut dan

sebagai tindak lanjut untuk pemanfaatannya (Hakim dkk., 2019)

H. SEM

Scanning Electron Microscope (SEM) adalah salah satu jenis mikroskop

elektron yang menggambar spesimen dengan memindainya menggunakan sinar

elektron berenergi tinggi dalam scan pola raster. Elektron memiliki resolusi yang

lebih tinggi daripada cahaya. Cahaya hanya mampu mencapai 200 nm sedangkan

elektron bisa mencapai resolusi sampai 0,1 – 0,2 nm. Elektron berinteraksi dengan

atom-atom sehingga spesimen menghasilkan sinyal yang mengandung informasi

tentang topografi permukaan spesimen, komposisi, dan karakteristik lainnya

seperti konduktivitas listrik. Perbandingan hasil gambar mikroskop cahaya dengan

elektron, akan ditunjukkan pada gambar 2.9.

Gambar 2.9. Hasil mikroskop cahaya dan elektron


26

Peralatan utama yang terdapat pada mikroskop elektron atau SEM diantaranya

adalah:

1. Pistol elektron, umumnya berupa filamen yang terbuat dari unsur yang

mudah untuk melepaskan elektron misal tungsten.

2. Lensa untuk elektron, berupa lensa bersifat magnetis karena elektron yang

bermuatan negatif dapat dibelokkan oleh medan magnet.

3. Sistem vakum, karena elektron sangat kecil dan ringan maka jika ada

molekul udara yang lain elektron yang berjalan menuju sasaran akan

terpencar oleh tumbukan sebelum mengenai sasaran sehingga

menghilangkan molekul udara menjadi sangat penting.

Prinsip kerja SEM adalah sebagai berikut:

1. Sebuah pistol elektron memproduksi sinar elektron dan dipercepat dengan

anoda.

2. Lensa magnetik memfokuskan elektron menuju ke sampel.

3. Sinar elektron yang terfokus memindai keseluruhan sampel dengan

diarahkan oleh koil pemindai.

4. Ketika elektron mengenai sampel maka sampel akan mengeluarkan

elektron baru yang akan diterima oleh detektor dan dikirim ke monitor

(CRT). Ada beberapa sinyal yang penting yang dihasilkan oleh SEM. Dari

pantulan inelastis didapatkan sinyal elektron sekunder dan karakteristik

sinar X sedangkan dari pantulan elastis didapatkan sinyal backscattered

electron. Sinyal-sinyal tersebut dijelaskan pada Gambar 2.10 (Wijayanto

dan Bayuseno, 2014).


27

Gambar 2.10. Deteksi sinyal yang dihasilkan SEM akibat dari


pemantulan electron

I. Spektrofotometer UV-Vis

Interaksi senyawa organik dengan sinar ultraviolet dan sinar tampak,

dapat digunakan untuk menentukan struktur molekul senyawa organik. Bagian

dari molekul yang paling cepat bereaksi dengan sinar tersebut adalah elektron-

elektron ikatan dan elektron-elektron nonikatan (elektron bebas). Sinar

ultralembayung dan sinar tampak merupakan energi, yang bila mengenai elektron-

elektron tersebut, maka elektron akan tereksitasi dari keadaan dasar ke tingkat

energi yang lebih tinggi, eksitasi elektron-elektron ini, direkam dalam bentuk

spektrum yang dinyatakan sebagai panjang gelombang dan absorbansi, sesuai

dengan jenis elektron-elektron yang terdapat dalam molekul yang dianalisis.

Makin mudah elektron-elektron bereksitasi makin besar panjang gelombang yang

diabsorbsi, makin banyak elektron yang bereksitasi makin tinggi absorban. Pada

spektrofotometri UV-Vis ada beberapa istilah yang digunakan terkait dengan

molekul, yaitu kromofor, auksokrom, efek batokromik atau pergeseran merah,

efek hipokromik atau pergeseran biru, hipsokromik, dan hipokromik. Kromofor

adalah molekul atau bagian molekul yang mengabsorbsi sinar dengan kuat di

daerah UV-Vis, misalnya heksana, aseton, asetilen, benzena, karbonil,

karbondioksida, karbonmonooksida, gas nitrogen. Auksokrom adalah gugus


28

fungsi yang mengandung pasangan elektron bebas berikatan kovalen tunggal,

yang terikat pada kromofor yang mengintensifkan absorbsi Sinar-UV pada

kromofor tersebut, baik panjang gelombang maupun intensitasnya, misalnya

gugus hidroksi, amina, halida, alkoksi.

Tipe-tipe Spektrofotometer UV-Vis

Pada umumnya terdapat dua tipe instrumen spektrofotometer, yaitu single-

beam dan double-beam.

a. Single-beam instrument (Gambar 2.11), dapat digunakan untuk

kuantitatif dengan mengukur absorbansi pada panjang gelombang

tunggal. Single-beam instrument mempunyai beberapa keuntungan

yaitu sederhana, harganya murah, dan mengurangi biaya yang ada

merupakan keuntungan yang nyata. Beberapa instrumen menghasilkan

single-beam instrument untuk pengukuran sinar ultra violet dan sinar

tampak. Panjang gelombang paling rendah adalah 190 sampai 210 nm

dan paling tinggi adalah 800 sampai 1000 nm (Skoog, DA, 1996).

Gambar 2.11. Diagram alat spectrometer UV-Vis (single beam)


29

b. Double-beam instrument (Gambar 2.12). Double-beam dibuat untuk

digunakan pada panjang gelombang 190 sampai 750 nm, mempunyai

dua sinar yang dibentuk oleh potongan cermin yang berbentuk V yang

disebut pemecah sinar. Sinar pertama melewati larutan blanko dan

sinar kedua secara serentak melewati sampel (Skoog, DA, 1996).

Gambar 2.12. Skema spektrofotometer UV-Vis (Double-beam)

Sumber sinar polikromatis, untuk sinar UV adalah lampu

deuterium, sedangkan sinar Visibel atau sinar tampak adalah lampu

wolfram. Monokromator pada spektrometer UV-Vis digunakaan lensa

prisma dan filter optik. Sel sampel berupa kuvet yang terbuat dari kuarsa

atau gelas dengan lebar yang bervariasi. Detektor berupa detektor foto atau

detektor panas atau detektor dioda foto, berfungsi menangkap cahaya yang

diteruskan dari sampel dan mengubahnya menjadi arus listrik. Diagram

spektrofotometer UV-Vis (Double-beam) dapat dilihat pada Gambar 2.12

(Suhartati, 2013).

Prinsip kerja Spektrofotometer UV-Vis yaitu apabila cahaya

monokromatik melalui suatu media (larutan), maka sebagian cahaya tersebut


30

diserap, sebagian dipantulkan (lr), dan sebagian lagi dipancarkan (It). Aplikasi

rumus tersebut dalam pengukuran kuantitatif dilaksanakan dengan cara

komparatif menggunakan kurva kalibrasi dari hubungan konsentrasi deret larutan

alat untuk analisa suatu unsur yang berkadar rendah baik secara kuantitatif

maupun secara kualitatif, pada penentuan secara kualitatif berdasarkan puncak-

puncak yang dihasilkan spektrum dari suatu unsur tertentu pada panjang

gelombang tertentu, sedangkan penentuan secara kuantitatif berdasarkan nilai

absorbansi yang dihasilkan dari spektrum dengan adanya senyawa pengompleks

sesuai unsur yang dianalisisnya. Adapun yang melandasi pengukuran

spektrofotometer ini dalam penggunaannya adalah hukum Lambert-Beer yaitu

bila suatu cahaya monokromatis dilewatkan melalui suatu media yang transparan,

maka intensitas cahaya yang ditransmisikan sebanding dengan tebal dan kepekaan

media larutan yang digunakan berdasarkan persamaan berikut (Yanlinastuti dan

Fatimah, 2016). :

A = log I/Io atau A = a.b.c

Dimana :

A = absorbansi

a = koefisien serapan molar

b = tebal media cuplikan yang dilewati sinar

c = konsentrasi unsur dalam larutan cuplikan

Io = intensitas sinar mula-mula

I = intensitas sinar yang diteruskan

Untuk menentukan nilai absorbansi digunakan persamaan berikut :


31

Y = ax – b

Dimana:

Y = absorbansi

a = konstanta

x = konsentrasi

b = kemiringan/slope
III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan februari sampai selesai,

bertempat di:

1. Laboratorium Fisika Material dan Energi, FMIPA, Universitas

Halu Oleo, Kendari, untuk preparasi sampel, pembuatan koloid

TiO2, dan proses pengaplikasian lapisan TiO2 pada larutan sampel

uji deterjen.

2. Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Halu

Oleo, Kendari, untuk analisis UV-Vis.

3. Laboratorium Mineral dan Material Maju, FMIPA, Universitas

Negeri Malang, untuk analisis XRD dan SEM.

B. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen dalam bidang

material yang berjudul “Deposisi Lapisan TiO2 pada Substrat Polyethilene

Terephtalate (PET) Dengan Metode Spray Coating untuk Aplikasi

Dekomposisi Polutan Limbah Laundry” dengan menggunakan metode

eksperimen.

C. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.1

Tabel 3.1. Alat yang digunakan dalam penelitian


No Alat Fungsi
1 Mortir dan Stamper Untuk menghaluskan TiO2

32
33

Ayakan 100, 200


2 Untuk menyaring TiO2 yang telah dihaluskan
dan 300 Mesh
Peralatan Gelas 1 Sebagai wadah pembuatan koloid dan
3
Set pembuatan larutan sampel uji deterjen
Untuk mengaduk/mencampur PVA, aquades,
4 Magnetic Stirrer
TiO2 , dan lem.
Spray Gun Untuk menyemprotkan koloid TiO2 pada
5
permukaan substrat PET
Sebagai pasangan magnetic stirrer untuk
6 Hot Plate mengaduk koloid dan juga untuk
memanaskan.
Spektrofotometer Untuk mengukur nilai absorbansi larutan
7
UV-Vis sampel deterjen.
Untuk melihat struktur kristal lapisan TiO2
8 XRD
yang terbentuk pada susbstrat PET.
Untuk melihat ketebalan lapisan TiO2 yang
9 SEM
terdeposisi pada substrat PET.

2. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada tabel 3.2

Tabel 3.2. Bahan yang digunakan dalam penelitian


No Bahan Fungsi
Sebagai bahan utama penetilian yang akan
1 TiO2
digunkan sebagai katalis
Sebagai bahan campuran pembuatan koloid
2 Aquades
dan pembuatan larutan sampel uji.
3 Deterjen Sebagai bahan sampel uji coba
4 Plastic PET Sebagai substrat
Sebagai salah satu bahan perekat koloid pada
5 Lem Fox
substrat PET
34

Polyvinyl Alcohol
6 Sebagai bahan adhesive atau perekat
(PVA)
Sebagai salah satu bahan campuran pembuat
7 Methylen Blue
larutan sampel uji

D. Prosedur Penelitian

1. Preparasi Sampel

Sebelum pembuatan koloid, terlebih dahulu kita menggerus TiO2

menggunakan mortir dan stamper, kemudian mengayaknya menggunakan

ayakan dengan ukuran 100, 200 dan 300 mesh.

Membersihkan plastik PET dengan larutan deterjen untuk

menghilangkan kotoran yang menempel, kemudian membilasnya dengan

aquades dan dikeringkan. Sampel PET tersebut kemudian dipotong

berbentuk persegi berukuran 20 x 20 cm yang akan digunakan sebagai

substrat.

2. Pembuatan Koloid TiO2

Pembuatan koloid TiO2 dilakukan dengan cara melarutkan 1 gr

polyvinyl alcohol (PVA) ke dalam 100 mL aquades selama 70 menit pada

suhu 145°C-150°C dengan kecepatan putar magnetic stirrer 320 rpm.

Selanjutnya menambahkan 10 gr TiO2 yang telah diayak sebelumnya dan

diaduk selama 50 menit dengan suhu yang sama kemudian tambahkan

dengan 5 gr lem fox, lalu diaduk kembali selama 30 menit hingga

berbentuk koloid. Lakukan prosedur yang sama untuk semua variasi

ukuran partikel TiO2 (100, 200 dan 300 mesh).


35

3. Spray Koloid TiO2 pada Permukaan Substrat PET

Pelapisan TiO2 pada permukaan substrat PET, menggunakan

metode spray coating. Pertama memasukkan koloid TiO2 ke dalam alat

spray gun lalu disemprotkan ke permukaan PET secara merata.

Mendiamkannnya sampai kering, kemudian disintering selama 5-10 menit.

Selanjutnya memotong lapisan TiO2 dengan ukuran 0,5 x 0,5 cm yang

akan digunakan untuk uji coba pada larutan sampel uji deterjen dibawah

paparan Sinar-UV.

4. Pembuatan Larutan Sampel Uji Deterjen (Sampel Limbah)

Pembuatan larutan sampel uji deterjen dilakukan dengan

mencampurkan larutan standar methilen blue dan larutan deterjen dengan

perbandingan 1:1.

Pembuatan larutan Methilen Blue

Pembuatan Larutan Induk 1000 Ppm

Pembuatan larutan induk dilakukan dengan cara mengambil 1

gr Metilen Blue kemudian dilarutkan menggunakan aquades hingga

volume 1 liter dan dihomogenkan.

Pembuatan Larutan Baku 100 ppm

Pembuatan larutan baku 100 ppm dilakukan dengan cara

mengambil 100 mL larutan induk 1000 ppm kemudian dilarutkan

dalam aquades hingga volume 1 liter dan dihomogenkan.


36

Pembuatan Larutan Standar 20, 10, 9, 7, 5, 3, 1, dan 0.5 ppm

Pembuatan larutan standar 20, 10, 9, 7, 5, 3, 1, dan 0.5 ppm

dilakukan dengan cara mengambil 100 mL larutan baku 100 ppm

kemudian dilarutkan dalam aquades hingga volume 1 liter dan

dihomogenkan.

Pembuatan Larutan Detergen

Pembuatan Larutan Detergen 100 ppm

Pembuatan larutan Deterjen 100 ppm dilakukan dengan cara

mengambil 0,1 gr deterjen kemudian dilarutkan dalam aquades hingga

volume 1 liter dan dihomogenkan.

Pembuatan Larutan Detergen 20 ppm

Pembuatan larutan detergen 20 ppm dilakukan dengan cara

mengambil 100 mL larutan detergen kemudian dilarutkan dalam

aquades hingga volume 1 liter dan dihomogenkan.

5. Aplikasi Lapisan TiO2 pada Larutan Sampel Uji Deterjen

Sebanyak 3 gr lapisan TiO2 yang telah dipotong dengan ukuran

0.5 x 0.5 cm dimasukkan ke dalam wadah yang berisi 150 mL larutan

sampel uji. Dalam wadah terdapat jaring yang menahan lapisan TiO2 agar

tidak jatuh ke dasar. Larutan sampel uji yang digunakan yaitu campuran

larutan deterjen dan larutan metilen blue dengan perbandingan 1:1

masing-masing konsentarasinya 20 ppm. Uji coba dilakukan dengan

variasi waktu kontak 6, 8 dan 10 jam.


37

Proses yang terjadi antara lapisan TiO2 dengan sinar matahari (UV)

yaitu fotokatalisis. Ketika TiO2 dikenai Sinar-UV, maka elektron (e-) pada

pita valensi (vb) akan memiliki energi yang cukup besar untuk dapat

berpindah atau tereksitasi ke pita konduksi (cb) dan meninggalkan lubang

positif (h+) pada pita valensi (pers 1)

TiO2 + hv→e-cb +h+vb (1)

Pasangan hole (h+) dan elektron (e-) dapat bergabung kembali atau

bereaksi seperti oksigen, dapat bereaksi dengan elektron menjadi produk

ion superoksida (O2-•) dan menyebabkan reaksi redoks. Proses tersebut

bertujuan untuk menghindari proses recombination (Pers 2)

e-+ O2 → O2-• (2)

Sifat oksidator kuat yang dimiliki oleh semikonduktor akan memiliki

sejumlah besar hole (h+) yang akan menyerang air (H2O) yang melekat

pada permukaan semikonduktor sehingga mengarah pada pembentukan

radikal hidroksil (OH•) (Pers 3)

h+vb + H2O → OH• + H+ (3)

Ion superoksida (O2-•) bereaksi dengan hidrogen (H+) membentuk produk

oksidasi radikal hidroperoksil (HO2 •) (Pers 4)

O2-• + H+→ HO2 • (4)

Radikal hidroksil (OH•) dan radikal hidroperoksil (HO2•) merupakan

pengoksidasi kuat yang dapat mengoksidasi zat organik menjadi air, asam

mineral, dan karbon dioksida.

OH• + Bahan Organik → CO2 + H2O (5)


38

HO2 • + Bahan Organik → CO + H O (6)

6. Analisis UV-Vis

Setelah uji coba, larutan sampel uji yang telah diaplikasikan dengan

lapisan TiO2 dianalisis menggunakan spektrofotometer UV-Vis untuk

mengetahui besar absorbansi dari katalis tersebut dengan panjang

gelombang 650 Nm.

Pembuatan Kurva Standar

Kurva standar diperoleh dengan cara memplotkan absorbansi

versus konsentrasi larutan standar sehingga menghasilkan grafik sebagai

berikut:
A
y = ax + b

Gambar 1 Grafik hubungan antara konsentrasi (C) dan


absorbans (A)
dari kurva standar di atas diperoleh persamaan garis regresi linear :

y = ax + b

Keterangan :

a = intersept

b = slope

x = konsentrasi

y = absorban sampel
39

7. Karakterisasi Lapisan TiO2 yang Terdeposisi pada Substrat PET

Karakterisasi sampel yang dilakukan antara lain: (1) Scanning

Microscope Electron (SEM), untuk melihat ketebalan lapisan TiO2 yang

terdeposisi pada substrat PET. (2) Difraksi sinar-X (XRD), untuk melihat

struktur kristal lapisan TiO2 yang terbentuk pada substrat PET.


40

E. Diagram Alir Penelitian

Persiapan Alat dan Bahan

Preparasi Sampel dengan ukuran partikel TiO2 100, 200 dan 300 mesh

Pembuatan Koloid TiO2

Spray Koloid TiO2 pada Permukaan Substrat PET

Pembuatan larutan sampel Karakterisasi Lapisan TiO2


uji deterjen yang Terdeposisi pada Substrat
PET

Aplikasi Lapisan TiO2 pada


larutan sampel uji deterjen
SEM XRD

6 Jam 8 Jam 10 Jam

Analisis UV-Vis

Hasil Penelitian

Gambar 3.1. Diagram Alur Penelitian.


41

F. Tabel Data Pengamatan

Tabel 3.3. Hasil Analisis UV-Vis


Ukuran partikel
Waktu (Jam) Absorbansi
TiO2 (Mesh)
6
100 8
10
6
200 8
10
6
300 8
10
DAFTAR PUSTAKA

Ainuddin dan Widyawati. 2017. Studi Pencemaran Logam Berat Merkuri (Hg) di
Perairan Sungai Tabobo Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera
Utara. Jurnal Ecosystem. 17(1) : 653-654.

Alfarisa, S., Dwi, A.R., dan Parmain, L.T. 2018. Studi Difraksi Sinar-X Struktur
Nano Seng Oksida (ZnO). Risalah Fisika. 2(2): 53-57.

Arista, A., Dahyunir, D., dan Syukri. 2016. Sintesis Lapisan TiO2 pada Substrat
ITO Menggunakan Metode Elektrodeposisi dan Spin Coating. Jurnal
Ilmu Fisika. 8(1) : 18.

Darmawan, M.D., dan Tuhu, A. R. 2020. Penyisihan Linear Alkylbenzene


Sulfonate (LAS) dan Total Disolved Solid (TDS) Menggunakan Proses
Fotokatalis dengan Kombinasi Katalis TiO2 – ZnO. Jurnal Envirotek.
12(1) : 37-38.

Dewata, I dan Yun, H. D. 2018. Pencemaran Lingkungan. Raja Grafindo Persada,


Depok.

Hakim, L., Made, D., dan Muhammad, N. 2019. Karakterisasi Struktur Material
Pasir Bongkahan Galian Golongan C dengan Menggunakan X-Ray
Difraction (XRD) di Kota Palangkaraya. Jurnal Jejaring Matematika dan
Sains. 1(1): 44-51.

Handayani, L. 2020. Pengaruh Kandungan Deterjen pada Limbah Rumah Tangga


Terhadap Kelangsungan Hidup Udang Galah (Macrobracium
Rosenbergii). Journal of Acuaculture and Fish Health. 1(2) : 75-76.

Jahiding, M., Mashuni, W, Ilmawati, S, Dewy, I.S. 2018. Deposisi Lapisan TiO 2
pada Nilon Menggunakan Metode Dipcoating untuk Aplikasi
Dekomposisi Polutan dalam Air. Jurnal Aplikasi Fisika. 18(2) : 1.

Kiswanti, E. A. D., dan Suminar, P. 2014. Sintesis Titanium Dioksida (TiO2)


Menggunakan Metode Logam-Terlarut Asam. Jurnal Sains dan Seni
POMITS. 3(2) : 18.

Larasati, N. N., Sri, Y. W., Lilik, M., Muhammad, Z., dan Kunarso. 2021.
Kandungan Pencemar De terjen dan Kualitas Air di Perairan Muara
Sungai Tapak, Semarang. Indonesian Journal of Oceanography. 3(1) : 2.

Moog, D., Johanna, S., Jana, S., Jan, Z., Karl, H. R., Uwe, L., Tobias, E., dan
Uwe, G. M. 2019. Using a Marine Microalga as a Chassis for
Polyethylene Terephtalate (PET) Degradation. 18(171) : 2.

42
43

Mukhsinin, A., Nehru., dan M. F. Afrianto. 2019. Rancang Bangun Alat Pembuat
Lapisan Tipis Metode Dip Coating Berbasis Arduino Uno. Jurnal Ilmu
Fisika dan Pembelajarannya. 3(2) : 76-77.

Nanai, L., Anna, S., Tamas, G., Judit, B., dan Klara, H. 2019. Manual Spray
Coating: A Cheap and Effective Method to Build Catalyst Layers for
Carbon Nanotube Forest Growth. Thin Solid Film. 689 : 1.

Okatama, I. 2016. Analisa Peleburan Limbah Plastik Jenis Polyethylene


Terphtalate (PET) Menjadi Biji Plastik Melalui Pengujian Alat Pelebur
Plastik. Jurnal Teknik Mesin. 05(3) : 109.

Pratiwi, E., Harlia., dan Anthoni, B. A. 2020. Sintesis TiO2 Terdoping Fe3+ untuk
Degradasi Rhodamin B Secara Fotokatalisis dengan Bantuan Sinar
Tampak. Positron. 10(1) : 57.

Rahwatai, Z. 2010. “Deposisi Lapisan Tipis Titanium Dioxide (TiO2) di Atas


Substrat Gelas dengan Metode Spray-Coating untuk Aplikasi
Penjernihan Air Polder Tawang”. Skripsi. Universitas Diponegoro,
Semarang.

Rosyi, A., Reko, S.H., dan Fajar, E. 2020. Perancangan Sistem Informasi Jasa
Laundry pada Green Lab Laundry Berbasis Android. Journal of
Information System, Applied, Management, Accounting and Research.
4(4) : 174.

Sasmitha, D. 2017. “Pemanfaatan Sampah Plastik Polyethylene Terephtalate


(PET) Sebagai Media pada Unit Pre-Filter”. Thesis. Institut Teknologi
Sepuluh November, Surabaya.

Setiabudi, A., Rifan, H., Ahmad, M. 2012. Karakrerisasi Material; Prinsip dan
Aplikasi dalam Penelitian Kimia. Bandung. UPI PRESS.

Suhartati, Tati. 2013. Dasar-Dasar Spektrofotometri UV-Vis dan Spektrometri


Massa untuk Penentuan Struktur Senyawa Organik. Aura CV. Anugrah
Utama Raharja, Bandar Lampung.

Supriyadi, E., Rully, N. D., Muhammad, S., dan Estiningsih, T. H. 2021.


Penyuluhan dan Pelatihan Pembuatan Detergen Cair Pakaian di
Sawangan Depok. Adibrata Jurnal. 1(1) : 1-2.

Supriyanto, E., Ashanal, H., dan Suwardiyanto. 2014. Pengaruh Thermal


Annealing Terhadap Struktur Kristal dan Morfologi Bubuk Titanium
Dioksida (TiO2). Jurnal Ilmu Dasar. 15(1) : 38.
44

Uyun, M. 2015. “Sintesis Nanopartikel TiO2 Rutile dengan Prekursor TiCl3


(Proses Hidrolisis dan Mineralisasi) dan Prekursor TiCl4”. Thesis. Institut
Teknologi Sepuluh November, Surabaya.

Warman, J.F. 2020. “Sintesis Lapisan Titanium Dioxide dengan Doping Ganda
Copper-Silver untuk Aplikasi Fotoanoda Dye Sensitized Solar Cell”.
Skripsi. Univesitas Andalas, Padang.

Wijayanto, S. O dan A. P. Bayuseno. 2014. Analisis Kegagalan Material Pipa


Ferrule Nickel Alloy N06025 pada Waste Heat Boiler Akibat Suhu
Tinggi Berdasarkan Pengujian : Mikrografi dan Kekerasan. Jurnal Teknik
Mesin S-1. 2(1): 34-35.

Wimbaningrum, R., Indriana, A., dan Hari, S. 2020. Efektivitas Tanaman


Lembang ( Thypa angustifolia L.) di Lahan Basah Buatan dalam
Penurunan Kadar TSS, BOD dan Fosfat pada Air Limbah Industri
Laundry. Berkala Sainstek. VIII(1) : 25.

Yanlinastuti dan Syamsul, F. 2016. Pengaruh Konsentrasi Pelarut untuk


Menentukan Kadar Zirkonium dalam Paduan U-Zr dengan Menggunakan
Metode Spektrofotometri UV-Vis. ISSN 1979-2409 (17) : 23-24.

Anda mungkin juga menyukai