Anda di halaman 1dari 2

Nama: Ahmad Mushawwir Alfikri

Kelas: Perencanaan Sistem Tenaga Listrik (C)

Meninjau Kembali Potensi “Windmill” sebagai penghasil listrik di Indonesia

Penyediaan Tenaga Listrik dari penyerapan Energi Angin menjadi salah satu metode yang
dilirik di era sekarang. Negara-negara maju dan berkembang sudah mulai membangun Pembangkit
Listrik Tenaga Bayu (Angin) sesuai potensi energi angin dimasing-masing lokasi, bahkan ada negara
yang mengalihkan porsi sumber energi utama penghasil listrik dan berfokus pada penyediaan tenaga
listrik yang bersumber dari tenaga angin. Berdasarkan data tahun 2017 dari Global Wind Energy
Council (GWEC), total kapasitas terpasang PLTB di seluruh dunia mencapai 539 GW. Negara China
unggul dengan total kapasitas terpasang sebesar 188 GW, lalu disusul oleh USA dengan total kapasitas
terpasang 89 GW, kemudian Jerman dengan total kapasitas terpasang sebesar 56 GW. Deretan teratas
lainnya terdapat negara India (32 GW), Inggris (18 GW), Prancis (13 GW), Brasil (12 GW). Negara-
negara tersebut sudah mampu memproduksi energi listrik dari sumber energi angin pada tingkat
GigaWatt.

Contoh negara yang melakukan transisi sumber energi penghasil energi listrik adalah
Denmark. Pada tahun 2016, PLTB berkontribusi sebesar 37% sebagai penghasil energi listrik.
Sedangkan pada tahun 2020, PLTB berkontribusi sebesar 54% sebagai penghasil energi listrik.
Tentunya hal ini didukung oleh Potensi Energi Angin yang tinggi di Denmark. Denmark memiliki target
“100% Renewable Energy Using” untuk menghasilkan tenaga listrik pada tahun 2030.

Sementara itu, Potensi energi angin di Indonesia diidentifikasi sekitar 978 MW. Tidak sampai
1 GW. Notosudjono (2017) menjelaskan bahwa Potensi tenaga angin di darat kekuatannya terbatas,
dengan kecepatan angin rata – rata antara 3 m/s dan 7 m/s. Teknologi turbin angin skala besar dapat
bekerja dengan baik pada kecepatan antara 5 – 20 m/s. Kurang dari 5 m/s lebih sesuai untuk diubah
menjadi energi mekanik atau pembangkit listrik tenaga angin skala kecil, sehingga untuk daerah-
daerah yang memiliki kecepatan angin dibawah 5 m/s lebih cocok untuk menggunakan turbin angin
poros vertikal agar menghasilkan listrik yang baik.

Potensi energi angin Indonesia terbesar ada di wilayah Sidrap dan Jeneponto, Sulawesi
Selatan, dengan potensi penghasilan energi listrik hingga lebih dari 200 MW. Saat ini, di Jeneponto
telah dibangun PLTB berkapasitas 72 MW, sedangkan di Sidrap dibangun PLTB dengan kapasitas 75
MW. PLTB Sidrap dengan total 30 turbin angin yang memiliki ketinggian 80 m dan baling-baling
sepanjang 57 m, menempatkan Indonesia sebagai negara pemilik PLTB terbesar se-Asia Tenggara.

Selain Jeneponto dan Sidrap, wilayah lain juga memiliki potensi sumber energi angin cukup
besar. Berdasarkan analisis potensi energi angin dan pemetaan potensi energi angin yang telah
dilakukan, wilayah dengan potensi cukup besar antara lain Sukabumi (170 MW), Garut, Lebak, dan
Pandeglang (masing-masing 150 MW), serta Lombok (100 MW). Selain wilayah tersebut di atas,
wilayah lain yang memiliki potensi energi angin di bawah 100 MW antara lain, Belitung Timur (10 MW),
Gunung Kidul (10 MW), Bantul (50 MW), Tanah Laut (90 MW), Buton (15 MW), Kupang (20 MW), Timur
Tengah Selatan (20 MW), Sumba Timur (3 MW), Selayar (5 MW), Ambon (15 MW), Kei Kecil (5 MW),
dan Saumlaki (5 MW) di Ambon. (Notosudjono, 2017).

Ketersediaan peta potensi energi angin yang akurat di seluruh wilayah Indonesia sangat
diperlukan sebagai langkah awal dalam penentuan lokasi proyek energi angin serta pemilihan
teknologi turbin yang tepat. Peta tersebut memberikan informasi mengenai karakteristik angin di
berbagai wilayah seperti kecepatan angin rata-rata, kecepatan maksimum dan minimum yang dapat
dikonversi menjadi peta rapat daya (Wind Power Density/WPD) dan peta energi tahunan (Annual
Energy Production/AEP) dalam satuan kWh/ atau W/m2.

Berdasarkan hasil pemetaan distribusi kecepatan angin, didapat kecepatan angin yang tinggi
(6 - 8 m/s) di onshore terjadi di pesisir selatan pulau Jawa, Sulawesi Selatan, Maluku, dan NTT.
Sementara kecepatan angin di daerah offshore menunjukkan angka lebih dari 8 m/s terjadi di Offshore
Banten, offshore Sukabumi, offshore Kupang, offshore Pulau Wetar, dan offshore Kab Jeneponto, dan
offshore Kab Kepulauan Tanimbar. WPD di lokasi Sukabumi, Pandeglang, Yogyakarta bagian selatan,
Kupang, Sulawesi Selatan, Maluku, mencapai 400–500 watt/m2 termasuk dalam kelas “good”. Adapun
WPD untuk Offshore Banten, offshore Sukabumi, offshore Kupang, offshore Pulau Wetar, dan offshore
Kab Jeneponto, dan offshore Kab Kepulauan Tanimbar memiliki kelas “excellent” (500 – 600 watt/m2).
AEP untuk wilayah onshore Sukabumi, Pandeglang, Yogyakarta bagian selatan, Kupang, Alor, dan
Maluku dengan turbin Bonus 1 MW menghasilkan 4 – 5 GWh/year. Area dengan AEP 5 - 6 GWh/year
terdapat di wilayah offshore Pandeglang, offshore Kabupaten Sukabumi, offshore Kabupaten
Jeneponto, offshore Kupang, offshore Pulau Wetar, dan offshore Kabupaten Kepulauan Tanimbar.

Perlu untuk diketahui bahwa Kecepatan angin maksimum terjadi pada periode Juni, Juli,
Agustus (JJA) saat terjadi monsun Australia sedangkan minimum terjadi pada periode Maret, April,
dan Maret (MAM) saat peralihan monsun Asia ke monsun Australia. Pemaparan diatas memberikan
harapan yang besar untuk investasi penyediaan tenaga listrik yang bersumber dari tenaga gerak angin.

Namun perlu diingat kembali bahwa potensi energi angin Indonesia tidak mencapai 1 GW,
yaitu sekitar 978 MW. Nilai ini adalah angka yang wajar menurut penulis, dibandingkan angka yang
terukur pada negara seperti China, USA, ataupun India. Hal ini disebabkan karena Indonesia
merupakan negara kepulauan, sedangkan ketiga negara tersebut (China, USA, dan India) merupakan
negara dengan daratan luas. 978 MW hanyalah angka yang diteliti pada daratan-daratan Indonesia
yang jika keseluruhan luas darat Indonesia dijumlahkan, nilai tersebut tidak sebanding dengan luas
daratan negara China, USA, atau India. Nilai 1 GW merupakan kontribusi yang kecil untuk bauran
energi Indonesia jika Indonesia merupakan Negara yang Maju. Indonesia bisa saja akan mengungguli
ketika negara maju tersebut dengan membangun PLTB apung di wilayah perairan Indonesia.
Tantangan terbesarnya adalah bagaimana meneliti potensi energi angin di wilayah perairan Indonesia,
memastikan keberlangsungan potensi tersebut, serta bagaimana merancang konstruksi PLTB yang
tahan terhadap medan berat di wilayah perairan Indonesia, yang tentunya akan memerlukan banyak
SDM/tenaga ahli, pengembangan teknologi dan infrastruktur, serta penyusunan anggaran yang
matang.

Anda mungkin juga menyukai