Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan karakter khususnya karakter religius merupakan

salah satu peran lembaga Gereja untuk membina generasi muda bangsa yang

adalah juga generasi muda Gereja agar berperilaku baik dan benar sesuai

dengan norma yang berlaku dalam masyarakat sesuai dengan ajaran agama

yang dianutnya. Untuk menghasilkan generasi muda berkarakter religius

sebagaimana dicita-citakan bersama maka peran lembaga Gereja bagi anak

usia dini sangat penting sebagai peletak dasar pembentukan diri. Sebagian

besar pendidik baik guru maupun orang tua kurang menyadari alasan

mendasar dari pendidikan karakter khususnya pendidikan karakter religius

usia dini yang juga disebut sebagai usia emas (the golden age).

Gereja khususnya Gereja Katolik dalam Kitab Hukum Kanonik

795, mendefenisikan bahwa pendidikan terutama pendidikan iman adalah

pendidikan yang sejati harus meliputi pembentukan pribadi manusia

seutuhnya, yang memperhatikan tujuan akhir dari manusia dan sekaligus

pula kesejahteraan umum dari masyarakat maka anak – anak dan kaum

muda hendaknya dibina sedemikian sehingga dapat mengembangkan bakat

– bakat fisik, moral dan intelektual mereka secara harmonis , agar mereka

memperoleh rasa tanggung jawab yang lebih sempurna dan dapat

menggunakan kebebasan mereka dengan benar dan terbina pula

1
untuk berperan secara aktif dalam kehidupan sosial. Melihat dari

definisi ini maka jelas tercantum mengenai hakikat pendidikan karakter

yang diharapkan oleh Gereja dimana setiap keluarga dan lembaga Gereja

bertanggung jawab secara aktif dan penuh untuk melaksanakan pendidikan

bagi anak – anak dan kaum muda.

Gereja Katolik memandang dengan serius pendidikan karakter

bagi anak usia dini. Berbagai wadah dibentuk guna mendukung

berlangsungnya pendidikan karakter terutama pendidikan karkater religius.

Salah satu wadah yang ada dalam Gereja Katolik adalah Serikat Kepausan

Anak Misioner atau yang disingkat Sekami. Dalam wadah ini anak – anak

diajarkan berbagai ajaran Gereja dan juga pendidikan karakter. Berbagai

prasarana disiapkan Gereja demi membantu para pembina dalam

membimbing, mendidik dan mengarahkan anak usia dini guna mencapai

tujuan dari pembinaan tersebut.

Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan pendidikan berbasis

karakter sejak dini untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas dalam

berpikir dan berperilaku. Hal itu tercantum dalam Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional No. 58 tahun 2009 tentang Standar Pendidikan Anak

Usia Dini dan sudah memasukkan nilai-nilai pembentuk karakter yang

menjadi prioritas. Pemberlakuan kebijakan pendidikan dalam kurikulum

berbasis karakter didasari oleh penghayatan bahwa pendidikan karakter

perlu diberikan di semua jenjang pendidikan. Situasi lain yang juga turut

mendorong pemberlakuan kurikulum berbasis karakter ialah adanya

2
degradasi moral bangsa dimulai dari perilaku para pemimpin bangsa, para

wakil rakyat sampai ke lapisan masyarakat.

Semua ini dilakukan oleh Gereja dengan pertimbangan bahwa

usia dini adalah usia emas (the golden age) yang dapat menyerap dan

menyimpan banyak potensi dan pengetahuan. Jika apa yang diterima dan

disimpan itu baik maka suatu saat anak akan memunculkan perilaku baik

dari hati dan pikirannya yang baik, sebaliknya jika anak pada usia dini

mengalami dan menyimpan pengetahuan dan pengalaman yang buruk maka

hal itu pula yang akan dilakukannya kelak ketika anak telah menjadi orang

dewasa. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Martinis, dkk (2010)

bahwa pendidikan anak usia dini adalah periode yang sangat menentukan

perkembangan dan arah masa depan seorang anak sebab pendidikan yang

dimulai dari usia dini akan membekas dengan baik jika pada masa

perkembangannya dilalui dengan suasana yang baik, harmonis, serasi, dan

menyenangkan.

Penyelenggaraan Sekami harus lebih berorientasi pada

pembinaan yang berbasis karakter. Proses pembinaan yang ada harus

semakin banyak melibatkan anak melalui aktivitas bermain dan interaksi

lain yang memiliki nilai pengembangan karakteristik. Metode bermain juga

dapat membantu para pembina menyampaikan pesan-pesan moral dan

membentuk karakter anak misalnya pembiasaan budaya antre, jujur, siap

menerima kekalahan, dan mental sportivitas, yang sangat efektif bagi

perkembangan anak. Hal terpenting adalah guru / pembina harus merancang

3
pembelajaran bagi anak usia dini dengan model bermain, sesuai dengan

taraf perkembangannya. Melalui bermain anak diajak untuk bereskplorasi,

menemukan, memanfaatkan, dan mengambil kesimpulan mengenai benda di

sekitarnya (Wiyani & Barnawi, 2012). Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi,

maka ada satu tahap perkembangan yang berfungsi kurang baik dan ini tidak

akan terlihat secara nyata segera, melainkan baru kelak bila ia sudah

menjadi remaja (Semiawan, dkk. 2007.

Selain metode bermain, Maria Montessori salah seorang

penggagas pendidikan anak usia dini, mengembangkan bentuk pendidikan

usia dini yang membangun anak berdasarkan karakter anak yang unik.

Konsep pendidikan anak usia dini menurut Montessori, ialah bahwa anaklah

yang membangun orang dewasa dan bukan orang dewasa yang membangun

anak. Hal ini menunjukkan bahwa bimbingan yang baik dari orang dewasa

akan mengembangkan aspek kepribadian anak secara menyeluruh. Anak

tidak boleh dipaksa berdasarkan kehendak pendidik, namun pendidik perlu

mengetahui bagaimana kebutuhan anak usia dini. Seorang pembina yang

telah mengetahui kebutuhan anak, akan mampu mengembangkan metode

pendidikan yang tepat dalam membangun kepribadian anak.

Para Pembina Sekami harus menjadi model yang dapat ditiru

anak untuk pengembangan karakter anak. Hal ini penting sebab otak anak-

anak pada usia ini bersifat penghisap, mente assobente, yang sangat lahap

menyedot model perilaku orang dewasa. Salah satu cara dalam mendidik

anak usia dini adalah keteladanan dari para pembina. Tanpa keteladanan

4
maka sebuah ajaran akan kehilangan otoritasnya sehingga kita dicemooh

oleh anak dan dianggap munafik. Tanpa keteladanan anak akan kecewa,

kehilangan figur, atau anak akan melakukan yang bukan diajarkan, tetapi

apa yang kita lakukan sebab anak adalah peniru ulung.

Keteladanan adalah proses mendidik anak yang sangat

sederhana, namun efektif karena mudah dimengerti. Pembina yang baik

mengajar dan mendidik dengan ilmu dan teladan hidup baik yang

diyakininya. Seorang pembina akan memiliki pengaruh kuat apabila nilai

dan keyakinan yang dianutnya dapat digunakan sebagai kekuatan moral

dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik (Furqon, 2009). Zaman

sekarang orang tua semakin sibuk bekerja sehingga pendidikan karakter dan

teladan dari orangtua semakin sulit didapatkan anak, maka peran guru

sebagai model pendidik karakter bagi anak semakin vital. Wijanarko (2005)

menyatakan bahwa “kebutuhan akan guru teladan itu semakin kuat, jikalau

anak-anak tidak menemukan keteladanan dari orangtuanya”.

Pendidikan karakter bukanlah berisi slogan dan ajaran semata

melainkan harus aplikatif dalam tindakan nyata. Dalam pendidikan karakter,

orang tua dan guru merupakan contoh paling konkret untuk mengajarkan

nilai karakter bagi anak. Ketika pendidikan karakter dijalankan di sekolah

maka guru harus benar-benar menjadi cermin bagaimana anak didik belajar

berkarakter yang baik dan benar. Selanjutnya peran orang tua adalah

menjalin kerja sama yang baik dengan guru sehingga tercapai kesamaan

pola dalam pembentukan karakter anak.

5
Pendidikan karakter membutuhkan guru/ pembina yang

berkepribadian baik sehingga mampu memberi teladan bagi anak. Dalam

perkataan dan tindakannya anak dapat mencontoh dan memberi penguatan

kepada anak untuk berperilaku baik dan benar. Anak sangat membutuhkan

guru yang memiliki relasi hangat dan bersahabat serta mampu memberi

teladan perilaku dalam pengajaran dan cara hidup seorang guru. Intinya

adalah melalui pengajaran dan perilaku hidup guru, anak dapat belajar

berkarakter secara baik dan benar.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan penulis terhadap

karakter religius anak dalam Kub – KUB yang terdapat dalam wilayah

XIV, sebagian besar masih berperilaku yang belum sesuai dengan ajaran

iman Katolik. Anak – anak masih sering mengucapkan kata – kata kotor,

tidak hadir dalam doa – doa mingguan dalam KUB, malas ke Gereja,

melakukan perundungan kepada teman sebaya seperti meledek jika teman

berbuat salah, dan lain sebagainya. Berdasarkan kenyataan ini, maka penulis

tergugah untuk melakukan peneltian bagaimana mengimplementasikan

pendidikan karakter religius melalui kegiatan Sekami, sehingga dapat

membantu anak dan orang tua agar dapat meminimalisir sikap – sikap yang

tidak sesuai dengan karakter religius. Dan pada akhirnya dapat

menghasilkan anak yang memiliki karakter religius yang handal.

6
1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka

fokus permasalahan yang akan diteliti adalah cara mengimplementasikan

pendidikan karakter religius bagi anak – anak melalui kegiatan Sekami di

wilayah XIV.

1.3 Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini

adalah : “Bagaimana cara mengimplementasikan pendidikan karakter

religius melalui kegiatan Sekami di Wilayah XIV Paroki Santa Maria

Materdolorosa SoE?”.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk

menjelaskan cara mengimplementasikan pendidikan karakter religius

melalui kegiatan Sekami.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah terdiri dari manfaat teoritis dan

manfaat praktis :

a. Manfaat Teoritis

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka hasil penelitian ini

diharapkan berguna sebagai berikut :

Sebagai bentuk sumbangan bagi pengembangan mata kuliah

Pendidikan Agama Kristen dan Perubahan Sosial di Institut Agama

Kristen Negeri Kupang.

7
b. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian mengenai pendidikan karakter religius

anak usia dini adalah:

1. Bagi Gereja di wilayah Keuskupan Agung Kupang, para imam

dan pembina Sekami agar mendapatkan gambaran mengenai

pelaksanaan pendidikan karakter religius anak usia dini di

Wilayah XIV, serta menemukan upaya yang tepat untuk

pengembangan dan pendidikan karakter anak usia dini.

8
BAB II

LANDASAN TEORITIS

2.1 Kajian Pustaka

Kiki Yuniar dalam penelitian yang berjudul Manajemen

Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Islam (Studi Kasus Di Smp Daar En

Nisa Islamic School), yang dikutip dari lib.unnes.ac.id, mengatakan bahwa

pendidikan karakter melalui manajemen pendidikan karakter berbasis nilai

Islam secara perencanaan, pelaksanaan dan efektifitas belum sepenuhnya

berhasil karena keterbatasan waktu penelitian.

Ridwan dalam penelitiannya yang berjudul Pembentukan

Karakter Religius Berbasis Pendidikan Agama di SMK Negeri 2 Malang

yang dikutip dari eprints.umm.ac.id mengatakan bahwa karakter religius

siswa sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh faktor keluarga, dimana

masih terdapatnya siswa yang memiliki karakter religius yang rendah.

Eny Wahyu Suryanti dan Febi Dwi Widayanti dalam

penlitiannya dengan judul Penguatan Pendidikan Karakter Berbasis

Religius, yang dikutip dari www.researchgate.net, mengatakan bahwa peran

guru dalam kegiatan pembiasaan di sekolah belum berjalan dengan baik

karena guru belum menjadi model yang dapat ditiru oleh siswa dalam hal

karakter religius.

9
2.2 Konsep

Pendidikan karakter religius kepada anak adalah satu bentuk

usaha yang dilakukan terus menerus guna menghasilkan generasi muda

yang yang unggul dan berkepribadian sesuai dengan tujuan hidup manusia.

Pendidikan karakter religius harus dimulai sejak usia dini. Pendidikan

karakter hendaknya dilakukan di rumah, sekolah maupun Gereja. Semua

pihak harus terlibat dalam usaha pendidikan karakter kepada anak.

2.3 Kerangka Teoritis

2.3.1 Pentingnya Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter merupakan salah satu upaya untuk

mewujudkan tujuan pendidikan nasional. UU No. 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3, menegaskan bahwa

pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional

bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi

warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Disadari bahwa pendidikan karakter merupakan salah satu

tanggung jawab sekolah dalam membentuk generasi penerus bangsa

pada masa yang akan datang. Sekolah tidak hanya mencetak generasi

10
cerdas secara kognitif namun perlu juga mengembangkan aspek

afektif dan psikomotor. Aspek kognitif menyangkut pemikiran yang

rasional mengenai pengetahuan, aspek afektif menyangkut perasaan

atau emosional dan aspek psikomotor adalah menyangkut pola

perilaku sebagai perwujudan dari suatu pengetahuan dan pengalaman

tertentu.

Pendidikan karakter harus dimulai dari usia dini sebab masa

yang paling baik membentuk kepribadian seseorang adalah pada usia

dini (0 – 6 tahun). Pada usia ini kecerdasan anak sudah mulai

berkembang dan anak dapat menerima berbagai macam pengaruh

yang terjadi dari luar dirinya. Jika pengaruh itu baik maka akan

berdampak baik pada perilaku namun apabila pengaruh itu buruk

maka akan berdampak buruk pada perilaku anak. Bahkan perilaku itu

dapat terpola dan sulit untuk dibentuk kembali jika telah menjadi

sebuah kebiasaan dalam diri anak sejak usia dini. Wiyani & Barnawi

(2012), menyebutkan bahwa pengalaman yang tidak menyenangkan

pada masa balita dapat mengganggu perkembangan pada masa-masa

berikutnya.

Pada dasarnya setiap individu anak yang lahir, membawa

sejumlah potensi dasar yang perlu dikembangkan. Potensi untuk

menganut salah satu agama, berelasi, berpikir, berkreativitas,

berkomunikasi dan sejumlah potensi lainnya. Dalam kaitannya dengan

pendidikan karakter religius, peran Sekami dapat membantu anak usia

11
dini mengembangkan potensi-potensi dasar tersebut. Pengembangan

karakter religius dapat dimulai ketika seseorang anak mulai mampu

memahami dan berelasi dengan lingkungan dan orang-orang terdekat.

Sekami sebagai wadah dapat menjadi salah satu agen peletak

pendidikan karakter yang menentukan masa depan seorang anak.

2.3.2 Definisi Pendidikan Karakter

Pembahasan mengenai pendidikan karakter tidak terlepas dari

istilah karakter. Karakter melekat dalam pribadi seseorang dan

berpengaruh dalam relasi seseorang terhadap Tuhan, diri sendiri

maupun sesama. Berikut ini akan diuraikan mengenai definisi karakter

dan pendidikan karakter. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau

kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai

kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan

untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan

terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani

bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain (Pusat

Kurikulum, 2010).

Menurut Ratna Megawangi (Kesuma, dkk, 2011) pendidikan

karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat

mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam

kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi

yang positif kepada lingkungannya. Sementara itu Shofwan (2011)

menjelaskan bahwa pendidikan karakter adalah suatu istilah yang

12
menjelaskan berbagai aspek pengajaran dan pembelajaran bagi

perkembangan personal. Pendidikan karakter meliputi beberapa area,

seperti : “penalaran moral/pengembangan kognitif”, pembelajaran

sosial dan emosional”, “pendidikan/kebajikan moral”, “pendidikan

keterampilan hidup”, “pendidikan kesehatan”, “pencegahan

kekerasan”, “resolusi konflik”, dan “filsafat etik/moral”.

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dikatakan bahwa

watak, tabiat, akhlak atau kepribadian seseorang dapat terbentuk

melalui cara pandang, cara pikir dan sikap yang telah terinternalisasi

dalam diri seseorang. Proses internalisasi itu terjadi oleh karena

lingkungan sosial dan budaya tertentu yang membentuk pribadi

seseorang. Dengan demikian perilaku seseorang sangat ditentukan

oleh perilaku sosial masyarakat dan budaya di mana seseorang berada.

Pendidikan karakter merupakan tindakan sosial yang berarti

berkaitan dengan kehidupan bersama, tidak hanya terkait dengan

individu-individu saja. Sebagai tindakan sosial, pendidikan karakter

harus dilakukan secara terus-menerus dan dikembangkan dalam

berbagai aspek kehidupan tidak terbatas hanya pada beberapa aspek

saja. Pendidikan harus membantu dan mengembangkan potensi diri

siswa agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Sumaryati, 2011).

2.3.3 Hakikat Pendidikan Karakter

13
Mengacu pada pokok-pokok pikiran mengenai pendidikan

karakter dalam UU Sistem Pendidik Nasional No 20 Tahun 2003

maka pada dasarnya pendidikan karakter itu menyangkut pola pikir,

pola rasa dan pola perilaku yang tercermin dari suatu bangsa. Sebagai

bangsa Indonesia maka karakter sebagai warga negara yang baik harus

berlandas pada jiwa Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Untuk

mendukung penghayatan dan perwujudan cita-cita pembangunan

karakter sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan

UUD 1945 serta mengatasi permasalahan bangsa saat ini, maka

Pemerintah menjadikan pendidikan karakter sebagai salah satu

program prioritas pembangunan nasional.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

(RPJPN) tahun 2005-2015, pendidikan karakter ditempatkan sebagai

landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu

“mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika,

berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila” (Pedoman

Pendidikan Karakter, 2011).

Untuk mewujudkan visi tersebut maka sistem pendidikan

nasional semakin gencar mensosialisasikan pelaksanaan pendidikan

karakter mulai dari lembaga pendidikan anak usia dini sampai ke

jenjang Perguruan Tinggi. Lembaga swadaya masyarakat, instansi

pemerintah dan Gereja juga turut membantu mensukseskan

pelaksanaan pendidikan karakter meski masih dalam proses ke arah

14
pembentukan karakter bangsa. Perlu disadari bahwa perwujudan

bangsa yang berkarakter bukanlah sebuah perkara mudah untuk

mewujudkannya. Membentuk budaya karakter bangsa yang ber-

Bhineka Tunggal Ika dan berjiwa Pancasila membutuhkan proses

yang lama untuk menjadikannya sebagai bagian budaya hidup

masyarakat. Pendidikan karakter bukan sekedar mana yang benar dan

mana yang salah melainkan lebih daripada itu, pendidikan karakter

harus menanamkan pemahaman yang benar kepada anak usia dini dan

masyarakat umum agar dapat mengerti, merasakan dan melaksanakan

nilai dan keutamaan yang terkandung dari sebuah tindakannya.

Diharapkan bahwa perilaku itu harus dipahami dengan baik dan benar

agar memiliki dasar yang kuat. Sangat penting memahami sebuah

tindakan dalam pendidikan karakter sebab bagaimanapun baiknya

perilaku seseorang, namun apabila tidak didasari oleh pemahaman

yang benar, maka perilaku tersebut tidak mempunyai dasar yang kuat.

Sebaliknya, justru dari pemahaman yang baik seseorang akan

terdorong untuk mempunyai perilaku yang baik pula (Azzet, 2011).

2.3.4 Tujuan, Fungsi dan Media Pendidikan Karakter

Mendidik bangsa yang berkarakter sebagaimana dicita-citakan

dalam tujuan pendidikan karakter merupakan dambaan seluruh warga

bangsa Indonesia yang juga warga Gereja. Hal ini menjadi penting

sebab pengaruh modernisasi dan globalisasi membawa dampak dalam

berbagai aspek hidup manusia. Penghayatan iman sebagai masyarakat

15
yang beragama pun kadang kala hanya terbatas formalitas belaka.

Iman tidak menjadi nyata dalam hidup sehari - hari namun masih

sebatas teori dan pengetahuan saja. Pendidikan karakter diharapkan

dapat mengikis budaya-budaya yang kurang mendukung

pengembangan karakter terutama karakter religius. Hidup beriman dan

bertoleransi dengan orang lain dapat menciptakan suatu kehidupan

yang rukun dan harmonis sehingga tercipta suatu masyarakat dan

bangsa yang rukun dan damai sebagaimana cita-cita bangsa yang

terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Menurut Kesuma, dkk (2011), tujuan dari pelaksanaan

pendidikan karakter adalah :

a) Memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu

sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik ketika proses

sekolah maupun setelah proses sekolah (setelah lulus dari

sekolah).

b) Mengkoreksi perilaku yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai

yang dikembangkan oleh sekolah.

c) Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan

masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan

karakter secara bersama.

Fungsi pendidikan karakter adalah :

a) Mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik,

dan berperilaku baik

16
Pada dasarnya tiap pribadi memiliki potensi untuk menjadi

pribadi yang baik. Proses pembentukan diri dan lingkungan ikut

mempengaruhi perilaku seseorang. Tanggung jawab pendidikan

adalah mengolah dan mengembangkan potensi dasar yang ada

agar mencapai pribadi yang berhati baik, berpikiran baik, dan

berperilaku baik melalui olah hati (spiritual and emotional

development), olah pikir (intellectual development), olah raga dan

kinestik (physical dan kinestic development), olah rasa dan karsa

(affective and creativity development) (Akhmad, 2010).

b) Memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultural

Bangsa Indonesia terdiri dari aneka ragam budaya, suku, agama

dan golongan. Anak perlu menyadari bahwa ia hidup di tengah

masyarakat yang multikultur. Anak akan berjumpa dengan

berbagai macam pola perilaku dalam masyarakat. Oleh karena itu

proses pendidikan karakter yang baik akan memperkuat dan

membangun perilaku bangsa yang multikultur. Anak perlu

dipersiapkan untuk menerima perubahan dan perbedaan yang ada

untuk memperkaya kultur yang ada dalam lingkungannya. Inilah

salah satu peran pendidikan karakter dalam membangun perilaku

yang siap menerima dan menghargai perbedaan kultur budaya,

agama dan suku yang ada dalam masyarakat.

c) Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam

pergaulan dunia

17
Kemajuan dunia saat ini ditandai pula dengan meningkatnya

berbagai kompetisi dalam berbagai macam bidang kehidupan.

Pendidikan karakter berupaya membentuk pribadi yang tangguh,

siap menghadapi perubahan dalam situasi baru, tidak mudah

putus asa, bahkan anak harus siap untuk menghadapi pengaruh

dari pergaulan dengan dunia luar.

Media pendidikan karakter dapat dilakukan melalui a) keluarga; b)

satuan pendidikan; c) masyarakat. Keluarga, sekolah dan masyarakat

dalam hal ini Gerejaa tau Tripusat pendidikan dapat menjadi wahana

untuk menyemaikan dan menumbuhkembangkan karakter seseorang.

Peran ketiga lembaga pendidikan ini saling membantu dan saling

menyempurnakan dalam melaksanakan dan mendidik karakter anak.

a) Keluarga

Keluarga adalah unit sosial terkecil di masyarakat yang terbentuk

atas dasar komitmen untuk mewujudkan kasih dan saling

membangun. Keluarga merupakan tempat pendidikan yang

pertama dan utama. Pendidikan yang terjadi dalam keluarga

berlangsung secara alamiah dan wajar serta disebut pendidikan

informal. Keluarga menjadi media pendidikan karakter yang tepat

bagi anak dalam mengembangkan diri. Peran keluarga dibutuhkan

dalam rangka mengembangkan intelektual dan kepribadian anak.

Berkaitan dengan intelektual, anak dapat dibantu melalui cara

berpikir kritis atas situasi yang dialami dalam keluarga,

18
sedangkan untuk mengembangkan kepribadian anak dibutuhkan

keteladanan melalui tingkah laku yang dapat ditiru anak. Ibu dan

ayah adalah guru pertama anak-anak. Mereka adalah orang

pertama terdekat yang dikenal oleh anak. Segala ucapan dan

tindakan mereka diamati dan dipelajari oleh anak.

Keluarga yang baik memberi kesempatan kepada anak untuk

berkembang dalam pengalaman dan perasaan. Anak mengalami

suasana yang terbuka, dihargai, aturan keluarga yang jelas, maka

ia akan melakukan hal-hal baik yang disenanginya. Bahasa tubuh

anak dapat menjadi petunjuk untuk mengetahui mana hal yang

disukai anak dan mana yang tidak disukai. Dengan demikian

tanggung jawab orang tua dan keluarga adalah mendidik dan

mengarahkan anak agar melakukan sesuatu yang baik dan bernilai

baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.

Menurut Unik (2011) bila orang tua berperan dalam pendidikan,

anak akan menunjukkan peningkatan prestasi belajar, dikuti

perubahan sikap, stabilitas sosio-emosional, kedisiplinan, serta

aspirasi anak-anak untuk belajar sampai ke jenjang paling

tinggi, bahkan akan membantu anak ketika ia telah bekerja dan

berkeluarga. Pendidikan dalam keluarga sesungguhnya memiliki

kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan.

Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7

jam per hari, atau kurang dari 30 %. Selebihnya (70 %), peserta

19
didik (anak) berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya.

Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah atau

dalam masyarakat berkontribusi hanya sebesar 30 % terhadap

hasil pendidikan peserta didik (Sudrajat, 2010).

b) Satuan Pendidikan (Sekolah)

Sekolah berfungsi dan bertujuan untuk memfasilitasi proses

perkembangan anak secara menyeluruh sehingga dapat

berkembang secara optimal sesuai dengan harapan dan norma-

norma yang berlaku dalam masyarakat. Pendidikan di sekolah

adalah pendidikan yang sengaja dirancang dan dilaksanakan

dengan aturan-aturan ketat, berjenjang dan berkesinambungan

dan disebut pendidikan formal. Sekolah adalah lembaga pendidik

formal untuk mendidik karakter anak. Pengembangan kurikulum

dan pembinaan lain dari sekolah hendaknya mengarah kepada

pembentukan karakter anak. Sekolah tidak hanya mengajarkan

teori dan evaluasi pelajaran tetapi perlu juga memperhatikan

pembinaan yang bertujuan untuk membentuk perilaku

berkarakter.

Berkaitan dengan pembentukan karakter, maka guru sebagai

pendidik formal di sekolah hendaknya dapat menjadi teladan.

Guru yang baik tidak hanya mengajarkan karakter namun guru

harus mampu menempa dirinya agar berkarakter. Prinsip pertama

bagi pengembangan keberadaan guru sebagai pendidik karakter

20
adalah kemampuannya dalam menghidupi visi dan inspirasi yang

menjadi jiwa bagi kinerja kerja profesional mereka (Koesoema,

2009). Siswa bukan barang mati yang dapat diperdaya dengan

berbagai contoh baik, tetapi guru tidak melakukan hal itu.

Dibutuhkan keterampilan dan karakteristik pribadi pendidik yang

baik sebab unsur-unsur pribadi tersebut akan menjadi sarana yang

secara integratif akan memfasilitasi terjadinya proses

pembelajaran dan perkembangan karakter pada diri anak. Sekolah

harus menunjukkan peran dan kewibawaannya dalam mendidik

anak yang dipercayakan kepadanya.

Sekolah melakukan pembinaan pendidikan untuk peserta didiknya

didasarkan atas kepercayaan dan tuntutan lingkungan keluarga

dan masyarakat yang tidak mampu atau mempunyai kesempatan

untuk mengembangkan pendidikan di lingkungan masing-masing,

mengingat berbagai keterbatasan yang dipunyai oleh orang tua

anak (Ihsan, 2005).

Hal ini menunjukkan bahwa peran sekolah adalah membantu

keluarga dalam pendidikan karakter anak. Sekolah harus

memahami peran tersebut dan membina kerja sama dengan orang

tua atau keluarga bagi pendidikan karakter anak.

c) Masyarakat (Gereja)

Masyarakat dalam hal ini Gereja dapat membantu perkembangan

karakter anak terutama karakter religiusnya. Gereja yang berpikir

21
maju akan mendukung sekolah yang ada sehingga anak didik

yang bersekolah mendapatkan pengaruh baik dari masyarakat

dalam hal ini orang tua, warga sekitar sekolah, aparat dan instansi

yang ada. Dukungan Gereja terhadap sekolah akan nampak

melalui program kerja sama yang berkaitan dengan pembinaan

dan aktivitas lain yang sifatnya tetap maupun temporal untuk

mengembangkan bakat, kreatifitas maupun kepribadian anak.

Tugas masyarakat atau Gereja berkaitan dengan pendidikan

karakter adalah mengawasi berlakunya peraturan-peraturan di

masyarakat.

Masyarakat bertugas melaporkan penyelewengan-penyelewengan

yang terjadi di berbagai instansi baik negeri atau swasta kepada

penegak hukum. Masyarakat harus bekerjasama menciptakan

suasana yang kondusif, suasana yang memungkinkan anggota

masyarakat menjalankan hak dan kewajibannya dengan baik.

(Muhtar, 2011).

Ihsan (2005), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan

pendidik dalam masyarakat adalah orang dewasa yang

bertanggung jawab terhadap pendewasaan anggotanya melalui

sosialisasi lanjutan yang diletakkan dasar-dasar oleh keluarga dan

juga oleh sekolah sebelum mereka masuk ke dalam masyarakat.

Melalui sosialisasi lanjutan ini, kedewasaan sosial para

anggotanya akan terbentuk.

22
2.3.5 Nilai-nilai Pendidikan Karakter Anak

Megawangi, pencetus pendidikan karakter di Indonesia telah

menyusun 9 pilar karakter mulia yang selayaknya dijadikan acuan

dalam pendidikan karakter, baik di sekolah, maupun di luar sekolah

(Mulyasa, 2011). Adapun nilai pendidikan karakter anak yang harus

dikembangkan yaitu :

a) Karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya

Pilar ini adalah yang paling penting dalam kehidupan manusia.

Apabila seseorang bisa mencintai Tuhannya, kehidupannya akan

penuh kebaikan. Apalagi cinta kepada Tuhan itu juga

disempurnakan dengan mencintai ciptaan-Nya. Pendidikan

karakter dimulai dengan penanaman rasa hormat, kagum dan

cinta kepada ciptaan Tuhan. Hal ini dapat dilakukan dalam

aktivitas doa syukur, nyanyian, bertamasya, untuk mengalami

kebesaran dan keagungan Sang Pencipta. Dengan cara ini anak

diharapkan mampu memahami cinta Tuhan dan bersyukur atas

segenap ciptaan-Nya.

b) Kemandirian dan tanggung jawab

Setelah seseorang mencintai Tuhan dan ciptaan-Nya, karakter

mulia yang harus dibangun adalah kemandirian dan tanggung

jawab. Hal ini dapat dilakukan dengan membiasakan anak

menolong diri sendiri. Dapat dilakukan dengan cara-cara

sederhana misalnya memakai sepatu sendiri, makan sendiri,

23
mengembalikan buku atau alat tulis ke tempat semula.

Pembiasaan ini harus terus-menerus dilakukan dan diawasi guru

agar tidak hanya berlangsung beberapa saat saja. Dengan

melakukannya terus-menerus anak akan mengerti bahwa hal ini

penting bagi dirinya dan harus dilakukan. Perilaku kemandirian

dan tanggung jawab yang dilatih akan menjadikan seseorang

menggunakan akal sehatnya secara baik dan sempurna.

c) Kejujuran atau amanah, diplomatis

Kejujuran adalah sesuatu yang sangat bernilai dalam hidup

bersama sebab menjadi kunci sukses untuk menjalin hubungan

dengan sesama. Kejujuran berkaitan dengan nilai dari sebuah

kepercayaan. Perlu latihan dan bimbingan bagi anak untuk jujur

mengatakan sesuatu ketika ditanya oleh guru, orang tua maupun

teman. Anak harus diberi pengertian bahwa jujur membawa

banyak keuntungan dalam hidupnya. Guru harus memuji anak

yang berkata jujur dan memberi reward atas sikapnya. Anak perlu

disadarkan pada kenyataan bahwa banyak pejabat negara yang

diputuskan bersalah dan menjalani hukuman karena tidak jujur

dan tidak menjalankan amanah yang dipercayakan kepadanya.

d) Hormat dan santun

Pembiasaan sikap hormat dan santun dapat dimulai dengan

tindakan sederhana misalnya berjabat tangan, mengucapkan salam

kepada bapak/ibu guru, tidak menang sendiri, menghargai teman,

24
mengucapkan terima kasih saat menerima sesuatu dan minta maaf

jika telah berbuat salah. Sikap hormat dan santun yang dipelihara

dengan baik akan membantu manusia dalam menjalin kerja sama

dalam kehidupan yang damai dan menyenangkan.

e) Dermawan, suka tolong-menolong dan gotong-royong

Karakter dermawan dan suka menolong adalah kemuliaan yang

ada dalam diri manusia. Hanya orang-orang yang berjiwa besar

yang mempunyai sifat bisa dermawan dan suka menolong. Sifat

dermawan adalah suatu tindakan mau memberi kepada orang lain

yang membutuhkan tanpa prasyarat apapun. Hal ini dapat

dilakukan dengan tindakan menolong korban bencana alam,

mengadakan aksi solidaritas menjelang hari raya keagamaan,

kerja bakti di sekolah, makan bersama, dan lain-lain. Perilaku

yang mau memberi namun ada prasyarat tertentu yang harus

dipenuhi maka itu bukan dermawan dan suka menolong yang

sesungguhnya.

f) Percaya diri dan pekerja keras

Nilai luhur ini sangat penting bagi seseorang agar dapat

memperoleh apa yang diinginkan, mencapai segala sesuatu yang

diimpikan, atau meraih cita-cita mulia dalam kehidupan ini.

Tanpa mempunyai kepercayaan diri yang kuat seseorang akan

mudah ragu-ragu dalam melangkah. Beberapa cara dapat

dilakukan untuk melatih rasa percaya diri anak misalnya

25
membiasakan anak berani tampil di depan kelas, memuji hasil

karya anak, tidak menghina atau mematikan kreativitas anak. Hal

ini akan sangat membantu anak menjadi percaya diri dan pekerja

keras dan tidak mudah menyerah. Agar kepercayaan diri yang

dimiliki oleh anak didik semakin memperkuat karakter sebagai

insan yang sukses, perlu dibangun bersamaan dengan karakter

pribadi yang pekerja keras.

g) Kepemimpinan dan keadilan

Setiap manusia pasti akan menjadi pemimpin baik bagi

keluarganya, anak-anaknya, lingkungan, organisasi bahkan

pemimpin bagi dirinya sendiri. Kepemimpinan dapat dibentuk

melalui latihan sederhana sejak usia dini, misalnya anak dilatih

memimpin baris-berbaris, tertib saat berbaris atau budaya antre.

Berhubungan dengan keadilan, anak dilatih untuk memberi

kepada orang lain apa yang menjadi hak milik orang lain.

Pemimpin yang baik tentu juga harus mempunyai karakter yang

bersikap adil. Negara membutuhkan para pemimpin yang

berkarakter memimpin dengan adil.

h) Baik dan rendah hati

Sikap baik dan rendah hati perlu dimiliki oleh setiap orang yang

terdidik. Perilaku ini dapat dilatih melalui latihan-latihan

sederhana misalnya berani mengakui kesalahan dan minta maaf.

Sikap ini perlu ditumbuhkan dalam diri anak agar memiliki hati

26
yang baik dan rendah hati, tidak sombong dan mau bergaul

dengan siapa saja. Hilangnya karakter rendah hati akan

melahirkan orang-orang yang pongah atau sombong. Pendidikan

hendaknya mendidik manusia yang tidak hanya cerdas secara

intelektual. Pendidikan perlu mendidik manusia untuk berperilaku

baik dan rendah hati kepada orang lain.

i) Karakter toleransi, damai dan kesatuan

Toleransi adalah sikap dasar yang menjiwai hidup dalam sebuah

masyarakat yang heterogen. Karakter ini penting dalam menjalin

kehidupan bersama yang damai dan menyenangkan. Dalam hal

ini diperlukan sikap toleransi dalam rangka membina

persaudaraan dan kesatuan. Oleh karena itu anak dibiasakan

menghargai perbedaan suku, agama, golongan, yang berbeda

dengan dirinya. Pendidikan bertanggung jawab untuk bisa

membangun pilar karakter toleransi, kesatuan dan damai dalam

diri setiap anak didiknya.

Untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai moral pada

anak usia dini maka ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan.

Berikut pendekatan yang dimaksud antara lain : a) indoktrinasi; b)

klarifikasi nilai; c) teladan; d) pembiasaan dalam perilaku

(Fakhruddin, 2010).

a) Indoktrinasi

27
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa guru memiliki sejumlah

keutamaan yang dapat ditularkan kepada anak didik. Hal ini dapat

dilakukan oleh guru dengan secara tegas dan terus-menerus

meminta anak melakukan apa yang baik tersebut. Jika anak

melanggar, maka ia dikenai sanksi tetapi bukan dengan

kekerasan.

b) Klarifikasi nilai

Dalam pendekatan klarifikasi nilai, anak diminta untuk

memberikan tanggapannya terhadap suatu perbuatan apakah

perbuatan itu baik atau buruk. Anak diminta berpendapat terhadap

isu-isu moral. Karena anak mulai berada pada usia transisi maka

mereka perlu dilatih untuk melakukan penalaran dan ketrampilan

bertindak secara moral sesuai dengan pilihan-pilihannya.

c) Teladan

Anak usia dini mempunyai kemampuan menonjol dalam hal

meniru. Oleh karena itu seorang guru pendidik anak usia dini

hendaknya dapat menjadi teladan atau contoh dalam bidang

moral. Untuk menjadi tokoh teladan dalam bidang moral, guru

seyogyanya telah menghidupi nilai-nilai moral tersebut dalam

dirinya. Sebagaimana dikatakan oleh Kohlberg dalam Asef

(2010), bahwa tugas utama guru adalah memberi kontribusi

terhadap proses perkembangan moral anak. Tugas guru di sini

28
adalah mengembangkan kemampuan peserta didik dalam

berpikir, mempertimbangkan, dan mengambil keputusan.

d) Pembiasaan dalam perilaku

Penanaman moral yang baik dilakukan pada usia dini. Penanaman

moral dapat dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan sederhana

misalnya jabat tangan, mengucapkan salam, merapikan alat tulis

setelah dipakai, meletakkan sepatu pada rak, berdoa sebelum dan

sesudah kegiatan, dan lain-lain. Guru harus segera memberi

peringatan apabila anak telah melanggar. Hal ini akan mendidik

anak berkarakter dan bermoral baik sejak usia dini dan tetap

berlaku sepanjang hidupnya.

Kesembilan pilar ini hendaknya dapat menjadi dasar pendidikan

karakter sejak usia taman kana-kanak sebagai usia emas (golden age).

Banyak penelitian membuktikan bahwa pada usia dini sangat

menentukan kemampuan dalam mengembangkan potensi yang

dimilikinya secara optimal. Azzet (2011) menyebutkan bahwa hasil

penelitian menunjukkan sekitar 50 % variabilitas kecerdasan orang

dewasa sudah terjadi ketika anak berusia empat tahun. 30 % terjadi

pada usia delapan tahun dan 20 % terjadi pada usia dewasa. Hal ini

menuntut peran keluarga, sekolah dan masyarakat untuk memberi

pengaruh baik bagi pendidikan karakter anak. Peran dan tanggung

jawab keluarga, sekolah dan masyarakat sangat penting dalam

29
menanamkan nilai-nilai, membangun kesadaran, dan mengembangkan

kecerdasannya.

Usia dini merupakan masa yang penting sebagai landasan untuk

perkembangan pada masa-masa berikutnya. Landasan yang kuat dan

kokoh akan menentukan perkembangan pada usia-usia selanjutnya.

Menurut Freud dalam Pratisti (2008), masa usia dini harus diberi

landasan yang kuat agar terhindar dari gangguan kepribadian atau pun

emosi. Lebih lanjut Freud menjelaskan bahwa gangguan-gangguan

yang dialami pada masa dewasa dapat ditelusuri penyebabnya dengan

melihat kehidupan pada masa anak-anaknya. Pengalaman dan salah

asuh pada usia dini, dapat menjadi akumulasi perilaku yang terjadi

ketika seorang anak telah menjadi dewasa.

Sejumlah ahli psikologi menyatakan bahwa tahun-tahun awal

perkembangan dapat dikatakan sebagai dasar pembentuk kepribadian

seseorang. Apabila masa ini sudah memperoleh rangsangan yang tepat

untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi, maka masa-

masa berikutnya tinggal memodifikasi struktur dan fungsi dari

kepribadian itu sehingga terbentuk kepribadian yang sesuai dengan

harapan.

2.4 Serikat Kepausan Anak Misioner (Sekami)

2.4.1 Sejarah Sekami

Seperti dikutip dari Tim Karya Kepausan Indonesia, Serikat

Kepausan Anak dan remaja Misioner (Sekami) merupakan salah satu

30
dari empat serikat kepausan Gereja yang berada di bawah naungan

Kongregasi Propaganda Fidei. Keempat serikat tersebut adalah :

Pertama, Serikat Kepausan untuk Pengembangan Iman (The

Pontifical Society for the Propagation of Faith), yang didirikan oleh

Pauline Marie Jaricot (1799-1862) pada tanggal 3 Mei 1922. Kedua,

Serikat Kepausan St. Petrus Rasul untuk Pengembangan Panggilan

(Pontifical Mision Society of St. Peter The Apostle). Serikat ini

didirikan oleh seorang ibu bernama Stephanie Bigard dan putrinya

Jeanne Bigard di Caen, Prancis pada tahun 1889. Ketiga, Serikat

Kepausan Persekutuan Misioner untuk Imam, Religius dan Awam

(The Pontifical Missionary Union for Priest, Religious, and Laity),

serikat kepausan ini didirikan oleh Beato Paolo Manna yang

menerima status kepausan pada tanggal 28 Oktober 1956. Keempat,

Serikat Kepausan Anak atau Remaja Misioner (The Pontifical Society

of The Holy Childhood).

Terbentuknya Serikat Kepausan Anak dan Remaja Misioner ini

berawal dari keprihatinan seorang uskup bernama Mgr. Charles de

Forbin Janson, uskup dari Nancy Perancis, pada tahun 1843.

Keprihatinannya tersebut bermula dari persoalan yang menimpa anak-

anak di China. Anak-anak tersebut mengalami keterpurukan yang

dahsyat, kelaparan, penyakit, tidak memperoleh pendidikan, kerja

paksa, dan hidup tanpa cinta dan perhatian. Hal ini menumbuhkan rasa

kepedulian serta membangkitkan semangat misi Mgr. Charles.

31
Semangat misioner dalam batinnya terus menggema dan

memanggilnya untuk peduli terhadap anak-anak yang menderita dan

yang haus akan kasih sayang serta perhatian. Baginya, anak adalah

karunia dari Tuhan yang perlu dipelihara dan diselamatkan. Anak-

anak bukanlah objek yang dapat diperlakukan secara wenang-wenang.

Ia selalu memimpikan hidup sebagai misionaris yang mempunyai

semangat merasul untuk menuntun anak-anak kepada Yesus. Segala

persoalan dan masalah yang melanda anak-anak di China mendorong

Mgr. Charles untuk mengumpulkan anak-anak.

Pada tanggal 19 Mei 1843 dalam sidang keuskupan, secara

resmi Mgr. Charles mendirikan serikat kanak-kanak suci dengan

tujuan agar anak-anak dapat membantu anak-anak (Children Helping

Children). Sejak awal, serikat ini memadukan empat tujuan utama

yakni membela hak asasi anak, pewartaan, doa dan semangat misioner

anak-anak untuk peduli, solider, dan bela rasa dengan teman-

temannya yang tidak beruntung. Mereka dikumpulkan untuk berdoa

dan mengumpulkan derma dan membaca serta melaksanakan pesan

Kitab Suci.

Kiprah misioner anak-anak Mgr. Charles telah berhasil

meyakinkan Gereja dan dunia. Secara perlahan namun pasti

perkumpulan misionaris cilik ini berkembang dan mulai dikenal

dunia. Pada tanggal 3 Mei 1922, Paus Pius XI mengesahkannya

sebagai Serikat Kepausan Anak-Anak Suci (The Pontifical Society of

32
the Holy Childhood). Status kepausan yang diberikan ini bertujuan

agar perkumpulan misioner ini menjadi perkumpulan dunia. Serikat

ini berkedudukan di Roma.

2.4.2 Visi dan Misi Sekami

Mgr. Charles de Forbin Janson amat peka dengan situasi anak-

anak. Atas dasar cinta yang tulus dan rasa berbelaskasih, Mgr.

Charles memperjuangkan nasib, membebaskan dan memberdayakan

anak-anak. Segala usaha mulia yang dilakukannya didorong oleh

panggilannya untuk mencintai anak-anak, karena baginya anak-anak

adalah generasi penerus Gereja. Ia juga menaburkan benih iman dan

kasih akan Tuhan Yesus dalam diri anak-anak sejak usia dini. Hal ini

memungkinkan anak-anak belajar menjadi sahabat Yesus dan

bersahabat dengan semua anak lain di dunia. Ia memiliki visi bahwa

serikat ini menjadi sebuah wadah pembinaan iman yang

mengembangkan keakraban anak dengan Yesus, melalui doa, derma,

kurban dan kesaksian.

Visi dan misi Sekami ini merupakan pokok landasan

keterlibatan Gereja dalam mendampingi dan membimbing anak-anak

dalam pembinaan iman mereka, agar anak-anak peka terhadap sesama

dan menjadi terang bagi sesama dalam mewartakan cinta kasih. Hal

ini juga dimaksudkan agar anak-anak bertumbuh dalam kasih Allah,

sehingga anak-anak menumbuhkan semangat mereka dalam doa,

derma, kurban dan kesaksian di seluruh dunia.

33
2.4.3 Tujuan dan Sasaran

Adapun tujuan utama dari Sekami adalah

a. Membangun hubungan pribadi penuh persahabatan dengan Yesus

dan sesama. Kegiatan Sekami menjadi sebuah wadah yang

memperkenalkan Yesus dan kepribadian-Nya kepada anak dan

remaja.

b. Membangun kesadaran misioner anak dalam hati dan budi anak-

anak Sekami. Hal ini sangat berorientasi untuk memberikan

kepercayaan diri, agar mereka menyadari dan menanamkan

dalam diri mereka bahwa mereka juga dipanggil menjadi

misionaris dan memberi kesaksian kepada dunia.

c. Membangun persekutuan misioner di kalangan anak dan remaja.

Melalui persekutuan ini anak dan remaja misioner dihantar dan

dibimbing kepada Allah.

d. Membangun rasa tanggung jawab kerja sama misioner sejak dini.

Melalui kegiatan misioner, anak-anak dan remaja belajar untuk

bekerja sama dalam segala kegiatan yang dijalankan dan berani

bertanggung jawab atas segala tugas yang diberikan kepada

mereka.

e. Membangun kepedulian misioner lewat doa, derma, kurban dan

kesaksian agar anak-anak bisa menjadi kader misioner Gereja di

masa depan. Keenam, mempersiapkan kader misioner dari

kalangan anak

34
Sasaran penting yang ingin dicapai Sekami.

a. menciptakan dalam diri anak suatu keinginan, hasrat bahkan

pilihan untuk rela dan bersedia untuk mengimani Yesus Kristus.

Anak-anak Sekami adalah misionaris, garam, terang dan cahaya

dunia sehingga mereka juga mengambil bagian dalam perutusan

Gereja.

b. Menciptakan dalam diri anak suatu keinginan, hasrat bahkan

pilihan untuk rela dan sedia membagi miliknya meskipun sedikit

dengan anak-anak yang kurang mampu. Kesadaran misioner

menghasilkan kerelaan untuk berbagi, secara nyata dalam hal

material (derma) kepada sesama yang berkekurangan dan

memberikan kegembiraan serta kebahagiaan bagi yang lain.

Kerelaan berbagi terungkap juga dalam sikap saling menerima

kehadiran di antara mereka, meskipun dengan latar belakang

budaya, bakat dan kemampuan yang berbeda.

Serikat Kepausan Anak Misioner bertujuan membantu anak-

anak agar mengenal hidup beriman dan mengenal Allah, membantu anak-

anak yang sangat berkekurangan, menderita rohani maupun jasmani,

membantu agar anak-anak bukan hanya menjadi obyek binaan tetapi mereka

pun dapat menjadi subyek bina. Mereka bisa menolong diri sendiri dan

orang lain, bahkan agar mereka menjadi rasul kecil, misionaris cilik bagi

sesama anak. Secara sederhana hal itu mereka lakukan lewat kegiatan Doa,

Derma, Kurban dan Kesaksian.

35
Dengan demikian melalui kegiatan Sekami, Gereja sudah

melaksanakan tugasnya yakni mendidik anak sejak dini dalam membantu

perkembangan anak dalam pendidikan karakter terutama karakter religius.

Dan tetap harus disadari bahwa tugas pokok dan utama pendidikan karakter

anak ada dalam keluarga. Keluarga yang adalah seminari kecil atau gereja

mini menjadi ladang untuk anak berkembang secara jasmani dan rohani.

Peran pembina Sekami adalah membantu orang tua (keluarga) untuk

mengembangkan karakter religius anak sesuai harapan Gereja.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini hendak mengkaji pelaksanaan pendidikan karakter

bagi anak usia dini serta problematika yang terjadi. Berdasarkan analisa

yang akan dibahas maka penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif

kualitatif. Disebut pendekatan deskriptif kualitatif sebab peneliti akan

menganalisa pelaksanaan pendidikan karakter dan menghasilkan penemuan

penelitian dan mendeskripsikan dalam bentuk kata-kata.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

36
Peneltian ini dilakukan dengan mengambil lokasi di KUB Santa Anna

dan KUB Santo Maximus dalam Wilayah XIV Paroki Santa Maria

Materdolorosa SoE. Adapun alasan pemilihan lokasi ini adalah :

1) Di KUB Santa Anna dan KUB Santo Maximus dalam wilayah

XIV, belum pernah dilakukan penelitian serupa sedangkan dalam

KUB-KUB ini ada kegiatan Sekami yang telah dijalankan. Para

pembina yang melaksanakan Kegiatan Sekami adalah pembina

yang memiliki kualifikasi pendidikan Sarjana Strata satu dibidang

agama Katolik.

2) Sebagian besar orang tua dalam KUB-KUB ini adalah orang yang

tingkat pendidikannya bervariasi dan pekerjaan yang dijalani

mereka tidak terbatas dengan waktu sehingga kepedulian terhadap

pendidikan karakter religius anak sangat kurang. Maka hasil

penelitian ini diharapkan dapat memberi penyadaran kepada

orang tua anak agar dapat menghayati perannya sebagai pendidik

pertama dan utama bagi anak. Orang tua adalah guru dan teladan

karakter iman dan moral bagi anak.

3) Tempat penelitian ada disekitar tempat tinggal peneliti sehingga

dapat mempermudah peneliti mengamati perkembangan anak,

mengamati proses berlangsungnya kegiatan Sekami.

4) Waktu Penelitian

37
Waktu yang dipakai untuk penelitian berlangsung selama 2 bulan

yakni bulan Maret sampai dengan bulan April tahun 2023, sejak

surat ijin diperoleh peneliti.

3.3 Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland sebagaimana yang telah dikutip

oleh Lexy. J. Moleong dalam bukunya yang berjudul Metodologi Penelitian

Kualitatif, mengemukakan bahwa sumber data utama dalam penelitian

kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya berupa data tambahan

seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal itu pada bagian ini jelas

datanya dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis dan

dokumentasi.

Sedangkan yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah

subyek dari mana data dapat diperoleh. Apabila menggunakan wawancara

dalam mengumpulkan datanya maka sumber datanya disebut informan,

yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan baik

secara tertulis maupun lisan. Apabila menggunakan observasi maka sumber

datanya adalah berupa benda, gerak, atau proses sesuatu. Apabila

menggunakan dokumentasi, maka dokumen atau catatanlah yang menjadi

sumber datanya.

Dalam penelitian ini sumber data primer berupa kata-kata

diperoleh dari wawancara dengan para informan yang telah ditentukan yang

meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan Sekami

bagi anak – anak di KUB Santa Anna dan KUB Maximus. Sedangkan

38
sumber data sekunder dalam penelitian ini berupa data hasil wawancara,dan

foto-foto kegiatan Sekami.

3.4 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman

wawancara yang disusun oleh peneliti untuk menggali informasi dari para

narasumber. Adapun pedoman wawancara adalah sebagai berikut:

3.4.1 Pembina :

1. Bagaimana pendapat Ibu mengenai kebijakan pendidikan karakter

religius bagi anak?

2. Bagaimana cara atau pedoman penyusunan bahan pembinaan

yang berbasis karakter?

3. Bagaimana pelaksanaan pendidikan karakter anak di dalam

kegiatan Sekami?

4. Bagaimana evaluasi pelaksanaan pendidikan karakter dalam

kegiatan Sekami?

5. Bagaimana upaya pembina dalam melibatkan kerja sama dengan

orang tua anak dalam mendidik karakter anak?

6. Bagaimana upaya kerja sama pembina dengan Ketua KUB dalam

mendidik karakter anak?

7. Bagaimana sikap pembina dalam menerima teguran dan

pembinaan dari Ketua KUB?

39
8. Apa tindak lanjut pembina dalam meningkatkan kompetensi

kepribadian setelah mendapat teguran, nasihat dan pembinaan

dari Ketua KUB maupun orang tua anak?

9. Faktor-faktor apa saja yang mendukung pelaksanaan pendidikan

karakter anak melalui Kegiatan Sekami di KUB?

10. Faktor-faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan pendidikan

karakter anak melalui Kegiatan Sekami di KUB?

3.4.2 Orang Tua :

1. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai kebijakan pendidikan

karakter religius anak melalui Kegiatan Sekami di KUB?

2. Bagaimana pelaksanaan pendidikan karakter religius anak di

rumah?

3. Bagaimana penilaian Bapak/Ibu mengenai pendidikan karakter

religius anak melalui Kegiatan Sekami di KUB?

4. Bagaimana peran serta Bapak/Ibu dalam pendidikan karakter

religius anak melalui kegiatan Sekami di KUB?

5. Bagaimana Bapak/Ibu menilai pembina sebagai model

pembelajaran bagi pendidikan karakter religius anak?

6. Bagaimana relasi pembina dengan orang tua anak dalam

mendidik karakter religius anak?

7. Bagaimana tindak lanjut pembina setelah mendapatkan informasi

atau keluhan dari orang tua anak?

40
8. Bagaimana pengaruh pendidikan karakter religius dari pembina

bagi anak?

9. Faktor-faktor apa saja yang mendukung pelaksanaan pendidikan

karakter anak melalui Kegiatan Sekami di KUB?

10. Faktor-faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan pendidikan

karakter anak melalui Kegiatan Sekami di KUB?

3.4.3 Ketua KUB :

1. Apa saja program dan upaya KUB dalam mengimplementasikan

pendidikan karakter religius bagi anak di KUB?

2. Bagaimana praktek pendidikan karakter religius bagi anak KUB?

3. Bagaimana penyusunan program pembina dalam

mengimplementasikan pendidikan karakter religius anak di KUB?

4. Bagaimana pelibatan dalam kerja sama dengan pihak lain untuk

pendidikan karakter religius anak?

5. Apa bentuk konkrit upaya Ketua KUB dalam membina

kompetensi kepribadian pembina?

6. Bagaimana pengawasan Ketua KUB dalam penyusunan persiapan

pembinaan dan praktek pendampingan pembina terhadap anak?

7. Kapan biasanya diadakan pembinaan untuk pembina Sekami di

KUB?

8. Bagaimana solusi dalam menghadapi pembina yang sulit

menerima pembinaan dari Ketua KUB?

41
9. Faktor-faktor apa saja yang mendukung pelaksanaan pendidikan

karakter anak melalui Kegiatan Sekami di KUB?

10. Faktor-faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan pendidikan

karakter anak melalui Kegiatan Sekami di KUB?

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk

memperoleh informasi sesuai dengan rumusan masalah yakni wawancara,

observasi, dan analisis dokumen. Wawancara sebagai teknik pengumpulan

data utama dilakukan untuk mengumpulkan data tentang pelaksanaan

pendidikan karakter dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Observasi

dilakukan untuk memperoleh informasi pendukung tentang bentuk dan

pelaksanaan kegiatan pengembangan pendidikan karakter terutama karakter

religius.

Tabel 3.1 Teknik Pengumpulan Data

No Metode Data yang Diperoleh Sumber Data

. Pengumpulan Data

1 Wawancara 1. Wawancara mengenai Data diperoleh dari

pelaksanaan pendidikan Ketua KUB, pembina,

karakter anak usia dini dan orang tua anak

melalui Kegiatan Sekami. mengenai proses dan

2. Wawancara mengenai aktivitas yang berkaitan

42
pengembangan kepribadian dengan kegiatan

pembina sebagai pendidik Sekami yang

karakter anak usia dini. dilaksanakan.

3. Wawancara mengenai

faktor pendukung dan

penghambat dalam

pelaksanaan Kegiatan

Sekami di KUB dalam

wilayah XIV

2 Observasi Peneliti mengamati Pembina yang

kehadiran pembina dan dibuktikan melalui :

anak pada kegiatan Sekami, persiapan bahan

proses penyambutan pembinaan, rencana

pembina kepada anak, pola tindakan yang berkaitan

interaksi yang terbentuk dengan pendidikan

dalam aktivitas Sekami dan karakter anak usia dini.

saat anak pulang.

3 Dokumentasi Catatan hasil telaah Pembina dengan

dokumen dapat berupa arsip menunjukkan :

dokumen partisipasi anak 1. Hasil/bukti aksi

dalam aksi keagamaan, keagamaan

sumbangan kasih,

partisipasi di gereja

43
3.5.1 Wawancara

Wawancara dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pelaksanaan pendidikan karakter. Penelitian dengan menggunakan

metode wawancara ini dilakukan kepada para Ketua KUB, pembina,

wakil orang tua anak. Dalam metode wawancara ini juga peneliti akan

mentriangulasi (triangulate) sumber-sumber data yang berbeda

dengan memeriksa bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber

tersebut dan menggunakannnya untuk membangun justifikasi tema-

tema secara koheren. Tema-tema yang dibangun berdasarkan sejumlah

sumber data atau perspektif dari partisipan akan menambah validitas

penelitian (Creswell, 2010). Peneliti akan menggali informasi dari satu

persoalan yang sama melalui beberapa informan. Hal ini akan

menambah kevalidan data. Wawancara pertama dilakukan terhadap

para Ketua KUB seabanyak 2 (dua) orang yakni Ketua KUB Santa

Anna dan Ketua KUB Santo Maximus, kemudian terhadap para

pembina sebanyak 2 (dua) orang, dan terakhir terhadap perwakilan

orang tua sebanyak 4 (empat) orang.

3.5.2 Observasi

Selain menggunakan metode wawancara, peneliti juga

menggunakan metode observasi untuk menguatkan data yang

diperoleh. Observasi dilakukan dengan pengamatan langsung, melalui

kehadiran peneliti serta berusaha melibatkan diri dalam aktifitas orang

44
yang diteliti dan mencatat secara sistematis terhadap objek penelitian

untuk mengumpulkan data tentang berbagai hal yang berupa perilaku

subjek, kondisi sekitar yang diamati peneliti, fakta sosial atau

gabungan dari ketiganya (Mulyana, 2004).

Dalam metode observasi ini, peneliti akan mengamati proses

aktifitas siswa dan guru pendamping anak, proses belajar mengajar

yang mengarah kepada pendidikan karakter anak usia dini. Dalam

proses observasi ini peneliti melakukan observasi terus terang yang

diketahui langsung oleh yang diteliti dan kadang dirahasiakan oleh

peneliti.

3.5.3 Dokumentasi

Dokumentasi sebagai sumber data dapat digunakan untuk

menguji, menafsirkan, dan untuk meramalkan (Moleong, 2005).

Peneliti menggunakan analisis dokumen untuk memperoleh data

pendukung untuk keperluan triangulasi data tentang kegiatan pembina

dan anak, untuk melihat nilai-nilai pendidikan karakter anak usia dini

Kub Santa Anna dan KUB Santo Maximus dalam Wilayah XIV.

3.5.4 Teknik Analisa Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa kalimat

deskriptif. Oleh karena itu, data akan dianalisis menggunakan metode

analisis isi, yaitu suatu teknik yang sistematis untuk menganalisis

makna pesan dan cara mengungkapkan interaktif model dari Miles

dan Huberman (dalam Moleong, 2005). Langkah yang dilakukan

45
peneliti dalam penelitian ini mempunyai empat komponen yang saling

berkaitan, yaitu :

1. Pengumpulan data dengan metode wawancara, studi dokumen, dan

pengamatan/observasi.

2. Reduksi atau penyederhanaan data.

Reduksi data dilakukan dengan cara mengabstraksi data, yaitu

membuat catatan-catatan inti, proses dan pernyataan-pernyataan

yang sangat penting untuk dijaga. Langkah berikutnya,

menyusunnya dalam satuan-satuan, kemudian mengklasifikasikan

sambil memberi kode. Data dalam penelitian ini akan diberi kode

yang terdiri dari empat digit. Digit pertama yaitu kode rumusan

masalah, digit kedua submasalah, digit ketiga metode

pengumpulan data, dan digit keempat merupakan kode dari

subjek penelitian.

3. Penyajian data atau data display.

Langkah penyajian data diperlukan karena data yang diperoleh

cukup banyak dengan tujuan agar peneliti tetap dapat menguasai

dengan baik sebanyak apapun data yang diperoleh.

4. Penarikan dan verifikasi simpulan

Langkah penarikan dan verifikasi simpulan dilakukan dengan

membuat uraian pokok sesuai dengan rumusan masalah.

46
DAFTAR PUSTAKA

Agus Wiboo (2012), Pendidikan Karakter Usia Dini, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Akhmad Muhaimin Azzet (2011), Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia,
Jojgakarta: Ar-Ruzz Media
Andi Muhtar (2011) Pentingnya Pendidikan Karakter Bangsa, disampaikan
dalam Seminar Nasional, Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa
Berbasis Kearifan Lokal, UMM, 30 April 2011
Conny R.Semiawan, dkk. (2007). Belajar dan Pembelajaran Prasekolah dan
Sekolah Dasar, Jakarta: Indeks
Danar Santi, (2009). Pendidikan Anak Usia Dini Antara Teori dan Praktek,
Jakarta: Indeks

47
Departemen Pendidikan Nasional, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
No. 20 Tahun 2003
Kesuma, dkk (2011), Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah,
Bandung: Rosda
Doni Koesoema, (2009), Pendidikan Karakter di Zaman Keblinger, Jakarta:
Grasindo
Fuad Ihsan. (2005), Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta
Furqon Hidayatullah, (2009), Guru Sejati Membangun Insan Berkarakter Kuat,
Surakarta: Yuma Pustaka
Gede Raka, dkk (2011), Pendidikan Karakter di Sekolah: dari Gagasan ke
Tindakan, Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Hamidi. (2005), Metode Penelitian Kualitatif, Aplikasi Praktis Pembuatan
Proposal dan Laporan Penelitian. Malang: UMM Press
Jarot Wijanarko, (2005), Mendidik Anak Untuk Meningkatkan Kecerdasan
Emosional dan Spiritual, Jakarta: Gramedia
John W. Creswell (2010), Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
dan Mixed,Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Konferensi Wali Gereja Indonesia (2012), Educare: Pentingnya Pendidikan Anak
Usia Dini, Jakarta: Komdik KWI
Lembaga Alkitab Indonesia (2001), Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia
Mahmud Al-khal’awi & Mahmud Said Mursi (2007), Mendidik Anak Dengan
Cerdas, Solo: Insan Kamil
Masnur Muslich (2011), Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional, Jakarta: Bumi Aksara
Moh. Shofwan (2011), makalah di seminar Sosialisasi Living Values UMM,
Malang, 31 Maret 2011
Moleong. (2005), Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya
Muhamad Nurdin (2004), Kiat Menjadi Guru Profesional, Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media
Mulyasa (2011), Manajemen Pendidikan Karakter, Jakarta: PT Bumi Aksara
Oemar Hamalik (2003), Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi,
Bandung: PT Bumi Aksara

48
Pemerintah Republik Indonesia. (2010). Kebijakan Nasional Pembangunan
Karakter Bangsa 2010-2025.
Puskurbuk (2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta : Cipta
Jaya
Sam M. Chan & Emzir (2010) Isu-Isu Kritis Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Daerah, Bogor: Ghalia Indonesia
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (2007)
Bandung: Grasindo
Ridwan (20018). (http://eprints.umm.ac.id/diakses tanggal, 2023/02/04, 22.30
WITA
Suryanti, Eny Wahyu, Febi Dwi Widayanti. (2012)
(http://www.researchgate.net/diakses tanggal. 2023/02/04. 22.00
WITA
Unik M. S. (2011). (http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/01/tripusat-
pendidikan/Diakses tanggal, 2023/02/013, 22.00 WIB
Wiwien D. Pratisti. (2008). Psikologi Anak Usia Dini, Jakarta: Indeks
Yeni Rachmawati & Euis Kurniati (2010). Strategi Pengembangan Kreativitas
Pada Anak Usia Taman Kanak-Kanak, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group
Yuliani Nurani (2009). Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol, 15, No. 4, Juli
Yuniar Kiki (2020). (http://lib.unnes.ac.id./diakses tanggal 2023/02/04, 21.10
WITA

49

Anda mungkin juga menyukai