Anda di halaman 1dari 3

BAB II

APLIKASI DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH


SAAT INI
Bentuk umum dari usaha bagi hasil adalah musyarakah (syirkah atau syarikah).
Secara spesifik bentuk konstribusi dari pihak yang bekerja sama dapat berupa dana, barang
dagangan (tranding aset), kewiraswastaan (entrepreneurship), kepandaian (skill),
kepemilikan (property), peralatan (equipment) atau intangible asset (seperti hak paten
goodwill), kepercayaan/reputasi (credit/worthiness) dan barang-barang lainya yang dapat
dinilai dengan uang. Seperti aplikasi dalam perbankan berikut:

II.1. APLIKASI PRAKTEK PEMBIAYAAN AL-MUSYARAKAH

a. Pembiayaan Proyek

Al-Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana nasabah


dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu
selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk
bank.
Contoh :
Pak Usman adalah seorang pengusaha yang akan melaksanakan suatu proyek. Usaha
tersebut membutuhkan modal sejumlah Rp. 100.000.000,-. Ternyata, setelah dihitung, Pak
Usman hanya memiliki Rp. 50.000.000,- atau 50% dari modal yang diperlukan. Pak Usman
kemudian datang ke sebuah bank syariah untuk mengajukan pembiayaan dengan skema
musyarakah. Dalam hal ini, kebutuhan terhadap modal sejumlah Rp. 100.000.000,- dipenuhi
50% dari nasabah dan 50% dari bank. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana
tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
Seandainya keuntungan dari proyek tersebut adalah Rp. 20.000.000,- dan nisbah atau
porsi bagi hasil yang disepakati adalah 50:50 (50% untuk nasabah dan 50% untuk bank),
pada akhir proyek Pak Usman harus mengembalikan dana sebesar Rp. 50.000.000,- (dana
pinjaman dari bank) ditambah Rp. 10.000.000,- (50% keuntungan untuk bank).

b. Modal Ventura

Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam


kepemilikn perusahaan , al-Musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman
modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau
menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.

c. Musyarakah Mutanaqishah

Nasabah dan bank berkongsi dalam pengadaan suatu barang (biasanya rumah atau
kendaraan), misalnya 30% dari nasabah dan 70% dari bank. Untuk memiliki barang tersebut,
nasabah harus membayar kepada bank sebesar porsi yang dimiliki oleh bank. Karena
pembayaran dilakukan secara angsuran, pemilikan porsi modal pun berkurang secara
proposional sesuai dengan besaran angsuran. Barang yang telah dibeli secara kongsi tadi baru
akan menjadi milik nasabah setelah porsi nasabah menjadi 100% dan porsi bank 0%.
Contoh:
Jika kita mengambil rumah, misalnya harga rumah RP. 100.000.000,-. Bank
berkonstribusi Rp. 70.000.000,- dan nasabah Rp. 30.000.000,-. Karena kedua belah pihak
(bank dan nasabah) telah berkongsi, bank memiliki 70% saham rumah, sedangkan nasabah
memiliki 30% kepemilikan rumah. Dalam syariah Islam, barang milik perkongsian bisa
disewakan kepada siapa pun, termasuk kepada anggota perkonsian itu sendiri, dalam hal ini
adalah nasabah.
Seandainya sewa yang dibayarkan penyewa (nasabah) adalah rp. 1.000.000,- per
bulan, pada realisasinya Rp. 700.000,- akan menjadi milik bank dan Rp. 300.000.,-
merupakan bagian nasabah. Akan tetapi, karena nasabah pada hakikatnya ingin memiliki
rumah itu, uang sejumlah Rp. 300.000,- itu dijadikan sebagai pembelian saham dari porsi
bank. Dengan demikian, saham nasabah setiap bulan akan semakin besar dan saham bank
semakin kecil. Pada akhirnya, nasabah akan memiliki 100% saham dan bank tidak lagi
memiliki saham atas rumah tersebut. Itulah yang disebut dengan pengkosian yang mengecil
atau musyarakah muntanaqishah atau disebut juga dengan decreasing participation dari
pihak bank.[4]
II.2. MANFAAT PRAKTEK PEMBIAYAAN AL-MUSYARAKAH
Manfaat al-Muyarakah dalam pengaplikasianya pada bank:
1. Bank menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah
meningkat.
2. Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara
tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan mengalami
negative spread.
3. Pengembalian pokok pembiayaan disesuiakan dengan cash flow/arus kasusaha nasabah,
sehingga tidak memberatkan nasabah.
4. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar halal, aman dan
menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang rill dan benar-benar terjadi itulah yang akan
dibagikan.
5. Prinsip bagi hasil dalam musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap di mana bank
akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun
keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai