Anda di halaman 1dari 6

Habitus Aquatica

Journal of Aquatic Resources and Fisheries Management

Journal homepage:
http://journal.ipb.ac.id/index.php/habitusaquatica

Pengukuran Kecernaan Pakan Secara In Vitro


Beauty Keren1,*

Received 23 oktober 2023 Received in revised 23 Oktober 2023 Accepted 23 Oktober 2023

ABSTRAK

Pencernaan terdiri dari serangkaian proses kompleks dengan tujuan keseluruhan untuk
memaksimalkan penyerapan nutrisi makanan. In Vitro adalah proses pengukuran kecernaan bahan
makanan yang dilakukan diluar tubuh suatu organisme dengan meniru proses pencernaan yang
terjadi didalam tubuh ikan. Enzim paling baik untuk menghidrolisis protein adalah enzim pepsin
non-aktif. Enzim paling baik dalam mengemulsikan lemak adalah enzim hepatopanlreas non-aktif.
Laju katalisis enzim dipengaruhi oleh suhu dan pH.

Kata kunci: enzim, in vitro, pakan, pencernaan,

ABSTRACT
Digestion consists of a complex series of processes with the overall goal of maximizing the absorption of food nutrients.
In Vitro is the process of measuring the digestibility of food ingredients carried out outside the body of an organism
by imitating the digestive process that occurs inside the fish's body. The best enzyme for hydrolyzing protein is the
inactive pepsin enzyme. The best enzyme for emulsifying fat is the non-active hepatopancreatic enzyme. The rate of
enzyme catalysis is influenced by temperature and pH.

Keywords: digestion, enzymes, feed, in vitro

*Corresponding author This work is licensed under a Creative Commons


E-mail address: yourmail@ac.id Attribution-ShareAlike 4.0 International License
1. Pendahuluan
Pakan adalah sumber energi untuk meningkatkan pertumbuhan dan mempertahankan
kelansungan hidup ikan (Asma et al. 2016). Pencernaan terdiri dari serangkaian proses
kompleks dengan tujuan keseluruhan untuk memaksimalkan penyerapan nutrisi makanan.
Setelah dicerna, makanan didegradasi oleh enzim pencernaan dan sampai batas tertentu secara
mekanis oleh gerakan otot saluran pencernaan. Enzim memiliki bentuk yang berbeda-beda
antar spesies, bergantung pada makanannya. Sifat enzim pencernaan bermacam-macam
tergantung pada habitat/iklim tempat ikan hidup. Enzim pencernaan dari ikan yang
beradaptasi dengan lingkungan dingin, seperti ikan cod memiliki katalis yang lebih efisien
pada suhu rendah dan sedang, dibandingkan dengan ikan yang hidup di daerah yang lebih
hangat suhunya (Volkoff dan Rønnestad 2020).
In Vitro adalah proses pengukuran kecernaan bahan makanan yang dilakukan diluar
tubuh suatu organisme dengan meniru proses pencernaan yang terjadi didalam tubunya
(Yasumaru dan Lemos 2014). Keuntungan metode in vitro adalah proses simulasi
pencernaannya relatif sederhana dan cepat dibandingkan dengan pencernaan in vivo. Namun,
metode in vitro tidak bisa meniru kondisi pH dan suhu yang benar-benar nyata di dalam sistem
pencernaan (Yi et al. 2016). Lemak, protein, dan karbohidrat merupakan kandungan nutrisi
yang digunakan untuk menghitung nilai energi yang dibutuhkan dalam simulasi lambung
pencernaan (Harahap et al. 2022). Daya cerna protein umumnya kriteria paling penting yang
menentukan nilai gizi dari bahan pakan (Tibbetts et al. 2017). Tujuan dari praktikum ini
adalah untuk mengetahui enzim mana yang paling mampu menghidrolisa protein dan
emulsifikator mana yang paling baik dalam mengemulsikan lemak.

2. Metodologi
2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada hari Kamis, 19 Oktober 2023 di Laboratorium Fisiologi Hewan
Air Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor pada pukul 13.00 WIB s.d 16.00 WIB.
2.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu gelas ukur, mortar, turbidimeter, alat bedah, erlenmeyer,
kertas pH, kertas saring, pipet, corong, botol semprot, tissue, akuades, HCL, NaOH, minyak
goreng, daging ikan mas, lambung ikan mas, cairan empedu, nanas, pepaya, kuning telur, dan
pankreas ayam.
2.3 Metode Penelitian
2.3.1 Pencernaan protein secara in vitro
Percobaan ini menggunakan 10 tabung reaksi. Setiap tabung reaksi ditambahkan 3 potong
daging ikan mas dan 3 ml akuades. Tahap selanjutnya adalah menambahkan perlakuan yang
berbeda terhadap setiap tabung. Tabung pertama tambahkan 1,5 ml pepsin aktif dan 5 tetes HCL,
tabung kedua tambahkan 1,5 ml pepsin non aktif dan 5 tetes HCL, tabung ketiga tambahkan 1,5
ml papain aktif, tabung keempat tam`bahkan 1,5 ml papain non aktif, tabung kelima tambahkan
1,5 ml brolin aktif, tabung keenam tambahkan 1,5 ml brolin non aktif, tabung ketujuh tambahkan
1,5 ml pankreas aktif dan 5 tetes NaOH, tabung kedelapan tambahkan 1,5 ml pankreas non aktif
dan 5 tetes NaOH, tabung kesembilan tambahkan 1,5 ml pankreas aktif dan 5 tetes HCL, serta
tabung kesepuluh tambahkan 1,5 ml pankreas non aktif dan 5 tetes HCL. Homogenkan setiap
tabung, lalu amati setiap 15 menit tingkat kekeruhannya selama 1 jam. Setelah 1 jam, saring air
pada setiap tabung dan pindahkan ke tabung reaksi bersih. Amati tingkat kekeruhan hasil saringan
menggunakan turbiditimeter.
2.3.2 Pencernaan lemak secara in vitro
Siapkan 10 tabung reaksi, lalu pada setiap tabung reaksi ditambahkan 5 ml akuades dan 2 ml
minyak. Tahap selanjutnya adalah menambahkan perlakuan yang berbeda terhadap setiap tabung.
Tabung pertama ditambahkan 1 ml cairan empedu dan ekstrak hepatopankreas aktif, tabung kedua
ditambahkan 1 ml cairan empedu dan ekstrak hepatopankreas non aktif, tabung ketiga
ditambahkan 1 ml kuning telur dan ekstrak pankreas aktif, tabung keempat ditambahkan 1 ml
kuning telur dan ekstrak pankreas non aktif, tabung kelima ditambahkan 1 ml cairan empedu dan
ekstrak pankreas ayam aktif, tabung keenam ditambahkan 1 ml cairan empedu dan ekstrak
pankreas ayam non aktif, tabung ketujuh ditambahkan 1 ml kuning telur dan ekstrak pankreas
ayam aktif, tabung kedelapan ditambahkan 1 ml kuning telur dan ekstrak pankreas ayam non aktif,
tabung kesembilan ditambahkan 1 ml cairan empedu, serta tabung kesepuluh ditambahkan 1 ml
kuning telur. Homogenkan setiap tabung, lalu amati setiap 15 menit tingkat kekeruhannya selama
1 jam. Setelah 1 jam amati tingkat kekeruhan hasil saringan menggunakan turbiditimeter.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1. Hasil

Tabel 1. Nilai visual kekeruhan protein


Waktu
Kelompok Perlakuan
15 30 45 60
Sangat Keruh Sangat Keruh Sangat Keruh
Pepsin Aktif Keruh (+++)
(++++) (++++) (++++)
1 Sangat Keruh Sangat Keruh Sangat Keruh Sangat Keruh
Pepsin Non-Aktif
(++++) (++++) (++++) (++++)
Papain Aktif Keruh (+++) Keruh (+++) Agak Keruh (++) Agak Keruh (++)
Papain Non-Aktif Agak keruh (++) Agak Keruh (++) Keruh (+++) Keruh (+++)
2 Brolin Aktif Keruh (+++) Keruh (+++) Keruh (+++) Keruh (+++)
Brolin Non-Aktif Bening (-) Bening (-) Agak Keruh (++) Keruh (+++)
Pankreas Aktif Agak Keruh (++) Agak Keruh (++) Agak Keruh (++) Agak Keruh (++)
3 Pankreas Non-
Keruh (+++) Agak Keruh (++) Agak Keruh (++) Agak Keruh (++)
Aktif
Pankreas Aktif Agak Keruh (++) Keruh (+++) Keruh (+++) Keruh (+++)
4 Pankreas Non- Sangat Keruh Sangat Keruh Sangat Keruh Sangat Keruh
Aktif (++++) (++++) (++++) (++++)

Tabel 1 menyajikan nilai visual kekeruhan protein pada 10 tabung dengan perlakuan yang berbeda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai visual sangat keruh selama 60 menit pengamatan terjadi
pada tabung yang diberi perlakuan pepsin non-aktif, dan pancreas non-aktif. Nilai visual keruh terjadi
pada tabung yang diberi perlakuan pepsin aktif, papain non-aktif, brolin aktif, brolin non-aktif, dan
pankreas aktif. Nilai visual agak keruh terjadi pada tabung yang diberi perlakuan papain aktif,
pankreas aktif, dan pankreas non-aktif,

Tabel 2. Nilai visual kekeruhan lemak


Waktu
Kelompok Perlakuan
15 30 45 60
Cairan Empedu +
Ekstrak
Agak Keruh(++) Keruh(+++) Keruh(+++) Keruh(+++)
hepatopankreas
aktif
Cairan Empedu +
5
Ekstrak
Agak Keruh(++) Agak Keruh(++) Keruh(+++) Keruh(+++)
hepatopankreas
Non-aktif
Kuning telur +
Agak Keruh(++) Agak Keruh(++) Keruh(+++) Keruh(+++)
Ekstrak
hepatopankreas
aktif
Kuning telur +
Ekstrak Sangat Keruh Sangat Keruh Sangat Keruh Sangat Keruh
hepatopankreas (++++) (++++) (++++) (++++)
non-aktif
Cairan Empedu +
6
Ekstrak pankreas Agak Keruh(++) Agak keruh (++) Agak keruh (++) Agak keruh (++)
ayam aktif
Cairan Empedu +
Ekstrak pankreas Bening (-) agak keruh (++) Keruh (+++) Keruh (+++)
ayam non-aktif
Kuning telur +
Agak Keruh
Ekstrak pankreas Agak Keruh(++) Agak Keruh (++) Agak keruh (++)
(++)
ayam aktif
7
Kuning telur +
Sangat Keruh
Ekstrak pankreas Keruh (+++) Keruh (+++) Keruh (+++)
(++++)
ayam non-aktif
Agak keruh Sangat keruh
Cairan Empedu Agak keruh (++) Keruh (+++)
(++) (+++)
8
Agak keruh Sangat keruh
Kuning Telur Keruh (+++) Keruh (+++)
(++) (+++)

Tabel 2 menyajikan nilai visual kekeruhan lemak pada 10 perlakuan yang berbeda. Hasil akhir
percobaan setelah 60 menit pengamatan menunjukkan bahwa nilai visual sangat keruh terjadi pada
tabung yang diberi perlakuan kuning telur yang ditambah hepatopankreas non-aktif, tabung perlakuan
cairan empedu, dan tabung perlakuan kuning telur. Nilai agak keruh terjadi pada tabung dengan
perlakuan cairan empedu yang ditambah ekstrak pankreas ayam aktif, dan pada tabung perlakuan
kuning telur yang ditambah ekstrak pankreas ayam aktif. Tabung dengan perlakuan lainnya
menghasilkan nilai visual keruh.

2500

2000

1500

1000

500

0
Tabung 1 Tabung 2 Tabung 3 Tabung 4 Tabung 5 Tabung 6 Tabung 7 Tabung 8 Tabung 9 Tabung 10
Protein Protein Protein Protein Protein Protein Protein Protein Protein Protein
-500

Grafik 1. Rata-rata tingkat kekeruhan protein

Grafik 1 menggambarkan rata-rata tingkat kekeruhan protein pada 10 tabung yang diberi
perlakuan berbeda. Tingkat kekeruhan tertinggi terjadi pada tabung 2 yang diberi perlakuan pepsin
non-aktif dengan nilai rata-rata kekurahan sebesar 1782 NTU. Tingkat kekeruhan terendah terjadi
pada tabung 5 yang diberi perlakuan brolin aktif dengan nilai rata-rata kekeruhan 29 NTU.
1800

1600

1400

1200

1000

800

600

400

200

0
Tabung 1 Tabung 2 Tabung 3 Tabung 4 Tabung 5 Tabung 6 Tabung 7 Tabung 8 Tabung 9 Tabung 10
Lemak Lemak Lemak Lemak Lemak Lemak Lemak Lemak Lemak Lemak

Grafik 2. Rata-rata tingkat kekeruhan lemak

Grafik 2 menggambarkan rata-rata tingkat kekeruhan lemak pada 10 tabung yang diberi
perlakuan berbeda. Tingkat kekeruhan tertinggi terjadi pada tabung 4 yang diberi perlakuan kuning
telur yang ditambah ekstrak hepatopankreas non-aktif dengan nilai rata-rata kekurahan sebesar 1320
NTU. Tingkat kekeruhan terendah terjadi pada tabung 10 yang diberi perlakuan kuning telur dengan
nilai rata-rata kekeruhan 671 NTU.

3.2. Pembahasan
Hasil percobaan menunjukkan bahwa enzim yang paling efektif dalam menghidrolisis protein
adalah enzim pepsin non-aktif. Pada perlakuan ini, tingkat kekeruhannya paling tinggi dibandingkan
perlakuan pada tabung lain. Enzim pepsin merupakan protease pada asam yang penting dan banyak
digunakan dalam hidrolisis protein (Zhou et al. 2011). Enzim lainnya yang efektif dalam
menghidrolisis protein adalah enzim papain dan brolin. Kedua enzim tersebut termasuk enzim
protease. Enzim protease adalah enzim yang berperan dalam proses pencernaan protein dalam tubuh.
Didalam sistem pencernaan ikan, protein dari pakan tidak langsung diserap namun didegradasi
terlebih dahulu oleh enzim protease menjadi asam amino atau peptida kemudian diserap oleh tubuh.
(Saifulloh et al. 2019).
Hasil pada analisis pencernaan lemak menunjukkan bahwa tabung dengan perlakuan kuning telur
yang ditambah ekstrak hepatopanlreas non-aktif menghasilkan nilai kekeruhan tertinggi, sehinnga
pada perlakuan ini paling efektif dalam mengemulsikan lemak. Emulsifikator merupakan zat
tambahan yang digunakan dalam berbagai produk makanan dan farmasi yang berfungsi untuk
menajaga stabilitas emulsi (McClements dan Jafari 2018). Hepatopancreas merupakan enzim didalam
tubuh ikan yang berperan dalam memproduksi enzim pencernaan dan menyimpan hasil perncernaan
termasuk mineral dan bahan-bahan organik (Tawa et al. 2019). Laju katalisis enzim dipengaruhi oleh
parameter kimia seperti seperti suhu dan pH.
4. Kesimpulan
Enzim paling baik untuk menghidrolisis protein adalah enzim pepsin non-aktif. Enzim paling
baik dalam mengemulsikan lemak adalah enzim hepatopanlreas non-aktif. Laju katalisis enzim
dipengaruhi oleh suhu dan pH.

Ucapan Terima Kasih


Terimakasih kepada Dosen penanggung jawab praktikum dan asisten praktikum Fisiologi Hewan
Air 2023 dan yang telah membimbing praktikan selama praktikum dan dalam penyusunan laporan.

Daftar Pustaka

Asma, N. Muchlisin, Z.A. dan Hasri I. 2016. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Ikan. 1
April:1–11.

Harahap IA, Sobral MMC, Casal S, Pinho SCM, Faria MA, Suliburska J, Ferreira IMPLVO. 2022.
Fat Oxidation of Fatty Fish vs. Meat Meal Diets Under in vitro Standardized Semi-Dynamic
Gastric Digestion. Frontiers in Nutrition. 9 June:1–13. doi:10.3389/fnut.2022.901006.

Saifulloh A, Santanumurti MB, Lamid M, Lokapirnasari WP. 2019. Combination of papain enzyme
and phytase enzyme in commercial feed and the protein and energy retention of tilapia
Oreochromis niloticus. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. 236(1).
doi:10.1088/1755-1315/236/1/012069.

Tawa DA, Afriyansyah B, Ihsan M, Nugraha MA. 2019. Biokonsentrasi Timbal (Pb) pada
Hepatopankreas, Insang dan Daging Penaeus merguiensis di Teluk Kelabat Bagian Luar. Jurnal
Kelautan Tropis. 22(2):109. doi:10.14710/jkt.v22i2.4493.

Tibbetts SM, Yasumaru F, Lemos D. 2017. In vitro prediction of digestible protein content of marine
microalgae (Nannochloropsis granulata) meals for Pacific white shrimp (Litopenaeus vannamei)
and rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Algal Research. 21:76–80.
doi:10.1016/j.algal.2016.11.010.

Volkoff H, Rønnestad I. 2020. Effects of temperature on feeding and digestive processes in fish.
Temperature. 7(4):307–320. doi:10.1080/23328940.2020.1765950.

Yasumaru F, Lemos D. 2014. Species specific in vitro protein digestion (pH-stat) for fish: Method
development and application for juvenile rainbow trout (Oncorhynchus mykiss), cobia
(Rachycentron canadum), and Nile tilapia (Oreochromis niloticus). Aquaculture. 426–427:74–
84. doi:10.1016/j.aquaculture.2014.01.012.

Yi L, Van Boekel MAJS, Boeren S, Lakemond CMM. 2016. Protein identification and in vitro
digestion of fractions from Tenebrio molitor. European Food Research and Technology.
242(8):1285–1297. doi:10.1007/s00217-015-2632-6.

Zhou L, Budge SM, Ghaly AE, Brooks MS, Dave D. 2011. Extraction, purification and
characterization of fish chymotrypsin: A review. American Journal of Biochemistry and
Biotechnology. 7(3):104–125. doi:10.3844/ajbbsp.2011.104.125.

Anda mungkin juga menyukai