Anda di halaman 1dari 2

Tinjauan “Introduction: Surplus Violence” dalam Violence and Democracy oleh Keane

(2004: 1-14)

Pembahasan mengenai kekerasan tidak terlepas dari pembahasan mengenai


demokrasi. Kekerasan dinyatakan sebagai campur tangan secara fisik yang tidak diinginkan
dengan pihak lainnya sehingga menyebabkan penderitaan fisik maupun mental hingga
kematian. Berlawanan dengan hal tersebut, demokrasi merupakan sistem maupun nilai-nilai
berbasis nirkekerasan untuk mengawasi proses pembagian kekuasaan serta menjamin
kebebasan pihak-pihak di dalamnya yang berbeda-beda tetapi setara. Demokrasi
memungkinkan pembagian kekuasaan yang sah dimana pihak-pihak di dalamnya menyadari
bahaya kekerasan. Akan tetapi, keterbukaan demokrasi dapat menjadi bumerang bagi
demokrasi dengan melegalkan kekerasan. Seiring dengan perubahan politik internasional,
terutama dengan berakhirnya Perang Dingin, kekerasan dianggap sebagai sifat alamiah
manusia karena peningkatan berbagai kekerasan hingga kematian di berbagai belahan dunia
sehingga demokrasi dianggap semakin tidak relevan. Akan tetapi, menurut Keanu, kekerasan
dapat didenaturalisasi sehingga tidak menjadi sentral kehidupan yang menghasilkan surplus
kekerasan – di bawah subordinasi institusi dan cara hidup demokratis.
Salah satu gagasan penulis dalam tulisan ini yang cukup menarik adalah pertanyaan
penulis mengenai kemungkinan denaturalisasi kekerasan dan sejauh apa kekerasan dapat
didenaturalisasi. Ia tidak menyatakan bahwa kekerasan secara mutlak tidak dapat digantikan
dari posisinya sebagai sentralitas kehidupan manusia. Secara implisit, penulis menyatakan
bahwa kekerasan dapat digantikan dari sentralitas kehidupan manusia melalui aspek-aspek
demokrasi yang berbasis nirkekerasan.
Yang kemudian menjadi salah satu kritik terhadap tulisan ini adalah penulis
memahami kekerasan secara sempit dan cenderung abai terhadap keberadaan relasi kuasa.
Dalam tulisan ini, penulis menyatakan kekerasan sebagai hal-hal yang mengancam fisik dan
demokrasi mengindikasikan bahwa setiap pihak yang berada di dalamnya berada dalam
posisi yang setara meskipun berbeda-beda. Akan tetapi, kekerasan juga dapat mengacu pada
hal-hal immaterial, seperti sistem dan budaya, yang menghalangi individu tertentu untuk
memperoleh haknya. Masih terdapat berbagai kekerasan yang dialami kelompok-kelompok
tertentu dalam sistem yang dikatakan demokratis dan sifatnya struktural. Jika melihat
contohnya di Indonesia, perempuan dan masyarakat adat masih sering mendapatkan
perlakuan diskriminatif dan kehilangan berbagai hak yang seharusnya dapat diperoleh dari
negara. Jika negara memang mengakui mereka sebagai kelompok yang setara meskipun
berbeda, mereka idealnya akan memperoleh hak yang sama pula dengan individu-individu
lainnya.
Contoh lainnya yang mengacu pada dunia internasional adalah pemberian berbagai
bantuan kemanusiaan, seperti R2P dan bantuan logistik negara-negara maju. R2P ditujukan
untuk mengatasi berbagai permasalahan kemanusiaan, terutama dalam situasi konflik dan
perang. Akan tetapi, beberapa negara secara tidak langsung menjadi subordinasi negara
pemberi bantuan. R2P juga malah menjadi kepentingan pihak-pihak tertentu di dalam negara
yang dibantu, seperti penggulingan rezim Gaddafi di Libya. Berbagai penyimpangan dalam
dunia internasional yang dikatakan menjunjung demokrasi sesungguhnya tidak terlepas dari
ketimpangan relasi kuasa yang kemudian melegitimasi kekerasan terhadap negara tertentu.
Jika penulis ingin mengaitkan kekerasan dengan demokrasi, pertanyaan yang lebih
relevan adalah bagaimana demokrasi dapat mengatasi atau setidaknya meminimalisasi
ketimpangan relasi kuasa dan memberikan perlindungan yang proporsional bagi setiap orang.
Ketika demokrasi dapat memberikan solusi terhadap dua aspek ini, kekerasan dapat diatasi
atau setidaknya diminimalisasi. Ini juga akan memberikan basis yang kuat bagi
penyelenggaraan demokrasi secara berkelanjutan.

Referensi

Keane, John. 2004. “Introduction: Surplus Violence”. Dalam Violence and Democracy.
Cambridge: Cambridge University Press.
Rahmawati, Ayu Diasti. 2019. “Pengakuan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia”.
Perkuliahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.

Anda mungkin juga menyukai