WHERE IS
GOD
IN A
CORONAVIRUS
W O R L D?
(DI MANA ALLAH DALAM DUNIA
DENGAN VIRUS CORONA?)
“Sebuah pengingat mengenai kebenaran kekal pada masa yang
tepat. Menulis dengan kehangatan hati, penuh perhatian dan wa-
wasan mendalam, John Lennox mengulas beberapa pertanyaan
dan kegentaran kita semua yang sedang bergelut saat ini.”
Michael Ramsden, Presiden, Ravi Zacharias International
Ministries (RZIM)
“Tidak ada suara di dunia Barat yang lebih jelas dan bijak dari-
pada John Lennox. Bagi semua yang ingin berhenti sejenak un-
tuk merenung, inilah buku yang patut dibaca.”
Os Guinness, penulis, Unspeakable dan Fool’s Talk
“Bagaimana kita bisa berpikir dengan akal sehat atas ancaman
pandemi global yang sudah menyebabkan seluruh kehidupan
berhenti di tempat? Di mana Allah? Bagaimana mungkin Ia
mengizinkan semua ini terjadi? Profesor Lennox menginte-
grasikan pengertian mendalam atas sains dan vitalitas iman
Kristiani, untuk merefleksikan situasi sulit yang menakutkan ki-
ta. Buku yang mendalam tetapi mudah diakses ini tidak sesum-
bar memiliki semua jawaban tetapi mengulas pertanyaan-per-
tanyaan penting dan akan menolong Anda memandang tantangan
yang kita hadapi bersama dengan akal sehat.”
Dr. Peter Sounders, CEO, International Christian
Medical and Dental Association (ICMDA)
John C. Lennox
WHERE IS
GOD
IN A
CORONAVIRUS
WORLD?
Bekerjasama dengan:
Schola Reformata
(Departemen Literatur Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia)
Kemang Utara IX/10,Warung Buncit, Jakarta Selatan 12760
Telp. (021) 7982819, 7990357; Faks. (021) 7987437
www.reformedindonesia.ac.id
ISBN: 978-602-1302-88-0
Cetakan Pertama: April 2020
Hak cipta di tangan penerbit. Seluruh atau sebagian dari isi buku ini tidak boleh diperbanyak, disimpan
dalam bentuk yang dapat dikutip, atau ditransmisi dalam bentuk apa pun seperti elektronik, mekanik,
fotokopi, rekaman, dlsb. tanpa izin dari penerbit.
DAFTAR ISI
Ucapan Terima Kasih............................................................... 8
Pendahuluan............................................................................ 9
5 Bukti Kasih................................................................... 55
Catatan Tambahan........................................................................ 77
SERI APOLOGETIKA
UC APAN TERIMA KASIH
JCL
PENDAHULUAN
K ita hidup melalui periode unik dan sebuah era yang me-
nentukan. Banyak sekali kepastian hidup masa lampau
yang raib, tak peduli apa pandangan kita atas dunia ini dan
apa kepercayaan kita. Apakah Anda seorang Kristen atau bu-
kan, pandemi akibat virus corona sangatlah membingungkan
dan mengguncangkan kita semua. Bagaimana kita mulai me-
mikirkan hal ini dengan saksama dan menghadapinya?
Buku ini berisi refleksi pribadi saya atas apa yang sedang ki-
ta alami sekarang. Saya menulisnya sejak minggu-minggu be-
lakangan ini, tapi banyak hal sudah berubah sejak saat itu, dan
tak perlu diragukan lagi bahwa perubahan akan terus terjadi.
Pandangan yang saya ungkapkan di sini adalah pandangan
saya pribadi, dan tidak perlu dikaitkan dengan universitas atau
organisasi di mana saya berafiliasi. Tentu saja tak terhindarkan,
Anda akan menemukan bagian-bagian yang agak mentah dan
kurang memadai. Untuk itu, saya minta maaf.
Saya mau mengundang Anda, para pembaca, untuk me-
mandang buku ini dengan gambaran demikian: saya sedang
10 WHER E IS G OD IN A COR ONAVIRUS WORLD?
1
Laporan dari Misi Gabungan WHO-Tiongkok atas Penyakit Virus Coro-
na 2019 (Covid-19) (Feb. 2020).
MER AS A K A N K ER A P UHA N DIR I 13
2
Direktur NIH: ‘Kita menghadapi Kurva Eksponensial’” dalam The Atlantic,
17 Mar. 2020.
MER AS A K A N K ER A P UHA N DIR I 15
kan bagi kita semua yang bisa berdoa, pandanglah hal terse-
but sebagai sesuatu yang mutlak untuk dilakukan mulai hari
ini.”4
Tetapi zaman sekarang, makin sedikit orang yang memiliki
dimensi Ilahi dalam kehidupan mereka. Sejak gereja-gereja
di seluruh dunia ditutup untuk mencegah penyebaran, banyak
orang yang mempertanyakan keberadaan Allah—yakni, apa
Allah benar-benar ada. Apakah Allah sedang melakukan
karantina mandiri sehingga tidak bisa diakses? Dari mana
atau dari siapa kita dapat memperoleh penghiburan atau
pengharapan yang sesungguhnya?
citizen.co.za/news/south-africa/courts/2256298/pray-in-groups-of-no-
4
D alam masa krisis, harapan adalah hal yang kita cari. Da-
lam sebuah artikel di New York Times pada tanggal 10
Maret 2020, Mattia Ferraresi seorang jurnalis Italia menulis:
“Tuhan vs. Virus Corona” di The New York Times, 10 Mar. 2020.
1
B ER BAG A I K AT ED R A L DA N CA R A PA NDA N G K EHIDUPA N 19
terkena infeksi.
Tidak diragukan lagi bahwa akan ada berbagai tudingan
dan klarifikasi balik, atas reaksi setiap negara terhadap isu
virus corona ini. Namun, semua itu tidak akan pernah me-
nolong dalam mengatasi krisis ini, atau pun memberi tahu
kita bagaimana seharusnya merespons secara pribadi.
Bagaimana kita merespons tentu akan sangat bergantung
pada seberapa luas perspektif kita. Bagaimana gambaran
kengerian virus corona di mata seorang wanita tua yang ter-
infeksi olehnya, dan berada antara hidup dan mati dalam
perawatan intensif, akan sangat berbeda dari bagaimana virus
ini tampak di mata dokter yang merawat wanita tua itu, atau
di mata keluarga yang tidak bisa mengunjunginya, atau pun
bagi pendeta yang berusaha untuk menolongnya. Hal lain
yang menjadi perhatian sebagian besar dari kita adalah, apa-
kah kita akan mengidap virus tersebut atau telah mengidap-
nya; dan apakah kita akan menularkannya kepada orang lain
atau jangan-jangan sudah menularkannya kepada orang lain.
Setiap kita perlu memahami masalah virus corona ini
melalui tiga cara berbeda: secara intelektual, emosional dan
spiritual.
Kita semua ingin memiliki kejelasan pengetahuan. Banyak
orang akan menghabiskan waktu berjam-jam menyaksikan
program-program berita dan menjelajah internet dengan
harapan bisa memperoleh informasi baru yang mungkin me-
nolong mereka memahami apa yang sedang terjadi. Namun,
analisa intelektual tidak dapat dengan mudah meredakan
kepedihan. Bagaimana seseorang dapat memperoleh pema-
haman—atau jika tidak, mungkin lebih kepada berharap—
dalam situasi yang menghancurkan dan tak mungkin diubah
B ER BAG A I K AT ED R A L DA N CA R A PA NDA N G K EHIDUPA N 23
1
Karma (dalam agama Hindu dan Budha) adalah totalitas perbuatan ma-
nusia dalam satu masa bentuk eksistensi, yang dipandang sebagai penentu
nasib mereka di kehidupan berikutnya.
DA PAT K A H AT EI S M E MEN OLON G ? 31
2
Ayub 42:7-9.
3
Ayub 1:13-19.
4
Baca, sebagai contoh Yoh 9:1-3.
32 WHER E IS G OD IN A COR ONAVIRUS WORLD?
NATUR VIRUS
Untuk membantu kita berpikir mengenai virus-virus, beri-
kut ini adalah cuplikan dari artikel yang instruktif dari World
Economic Forum yang ditulis oleh Peter Pollard, seorang
professor madya di Australian Rivers Institute, Universitas
Griffith. Pollard berkata:
1
weforum.org/agenda/2015/11/are-viruses-actually-vital-for-our-existence
(diakses tanggal 20 Maret 2020).
2
Rare Earth (Springer, 2000).
44 WHER E IS G OD IN A COR ONAVIRUS WORLD?
NATUR KEMANUSIAAN
Pertanyaan terakhir dari daftar di atas, mungkin lebih bisa
dijawab daripada yang lainnya. Jawabannya tentu saja, Ya.
Sesungguhnya, Allah sudah menciptakan segala sesuatu yang
tidak pernah melakukan kesalahan moral. Binatang, sebagai
contoh, bukanlah mahkluk moral. Jika singa menerkam pen-
jaga kebun binatang, singa itu tidak diadili dengan tuduhan
pembunuhan. Singa bukanlah mahkluk moral.
Allah bisa saja menciptakan dunia robotik yang secara
otomatis akan mengikuti program yang terpasang. Tetapi
dunia itu tidak akan berisi manusia seperti kita. Pada kenyata-
annya, manusia yang berharap untuk hidup dalam dunia
tanpa kemungkinan adanya kejahatan, sedang mengharap-
kan bahwa dirinya tidak ada sama sekali. Alasannya adalah
bahwa salah satu karunia terbesar yang Allah berikan kepada
kita adalah kehendak bebas. Kita bisa memilih ya atau tidak,
dan kapasitas tersebut membuka hal-hal yang menakjubkan
bagi kita: cinta, rasa percaya, dan relasi yang tulus dengan
Allah dan sesama. Sayangnya, kapasitas yang menakjubkan
dan baik itu, juga menjadikan kita mampu melakukan yang
jahat, meski kapasitas itu sendiri tidak memberi izin bagi kita
untuk melakukan kejahatan.
Ini adalah prinsip penting, yang telah diulas oleh para
Another random document with
no related content on Scribd:
III
Enquête sur la représentation des Femmes au
Parlement
M. Thomas.
«Oui, cent fois oui, les femmes doivent voter; plus elles
prendront conscience de leur responsabilité sociale et de
l’équivalence de leurs droits et de leurs devoirs, mieux elles
contribueront à édifier la Cité future.»
M. Jénouvrier dit:
«Il est des femmes qui sont de vrais chefs de famille, qui
supportent allègrement une responsabilité qui paraîtrait lourde à
certains d’entre nous. Pourquoi les priver du droit qui appartient au
jeune homme de 21 ans.»
M. Dejeante est d’avis que dès que les femmes pourront exercer leurs
droits, leur éducation sera plus rapidement faite que celle des hommes.
Dès 1884, M. G. Roche présentant un amendement pour faire obtenir
aux commerçantes l’électorat consulaire disait:
Hubertine Auclert.
Pour être écouté des députés il faut avoir pour soi les électeurs. La
puissance de ceux qui confèrent des mandats est même pour les
mandataires qui n’en tiennent point compte, tellement grande, que les
ministres eux-mêmes font consulter, par les préfets, les électeurs sur une
réforme avant de vouloir exprimer leur opinion sur cette réforme et de faire
adopter ou repousser les projets de loi qui sont, à son sujet, présentés. A
l’exemple des maîtres du pouvoir, ces spoliées du droit politique, les
femmes, ont voulu demander aux électeurs de recommander aux députés
leurs revendications.
Des déléguées de la société «Le Suffrage des Femmes» sont allées à
la Bourse du Travail faire appuyer, par une élite électorale, cette pétition
réclamant la représentation de la nation:
Les suffragistes, aussitôt, ont été comprises par les hommes très
avertis qui constituent l’important syndicat des moyens de transports. En
dépit du manque de plumes et d’encriers, des centaines de noms et
d’adresses furent en peu de temps recueillies. Des citoyens voulaient tous
à la fois apposer leur signature sur les feuilles réclamant le vote des
femmes.
Les syndiqués qui trouvent tout naturel que les femmes qui luttent, qui
peinent, qui mangent aient les mêmes droits que les hommes, ne se sont
pas contentés d’appuyer nos revendications; ils nous ont indiqué des
voies et moyens pour faire aboutir plus vite notre campagne.
La corporation des ferblantiers a fait aux suffragistes bon accueil; le
bureau recommanda notre pétition qui fut de suite signée.
Les Français présents à la réunion des couturières et tailleurs
étrangers appuyèrent aussi de leur signature nos réclamations.
Partout on nous encouragea à persévérer, on nous invita à revenir.
Chez les syndiqués, il n’est pas nécessaire que notre cause soit
plaidée, elle est gagnée d’avance; car, les laborieux, intelligents, savent
qu’ils seront plus forts, quand leurs compagnes posséderont cet
instrument émancipateur, le bulletin de vote.
Ce sont seulement ceux que l’égoïsme aveugle qui ne voient pas que
l’asservissement de la femme arrête l’évolution des citoyens, attendu qu’à
la chaîne de la paria française est rivé le boulet qui empêche l’humanité
de s’élever.
Les hommes qui pensent et qui observent, croient qu’en annihilant les
femmes, on se prive d’un élément précieux pour la diffusion du progrès.
Les Françaises assureraient à leur pays l’aisance. En restreignant le
gaspillage des fonds publics, elles procureraient le moyen d’organiser le
travail de manière que plus aucun Français courageux ne puisse manquer
de pain.
C’est au détriment général que les gouvernants s’obstinent à tenir hors
la loi les femmes. Ils oublient qu’il faut aussi du cœur pour résoudre
certaines questions, et qu’en tout on obtiendrait plus de résultats si le
sentiment agissant de la femme s’alliait à l’indifférentisme de l’homme.
On trouve qu’il est anormal de ne point faire voter les officiers quand
les politiciens votent, n’est-ce pas encore plus anormal de ne pas faire
voter les femmes quand les hommes votent?
Tous les êtres, qu’ils soient d’un sexe ou de l’autre, étant en la société
également, doivent avoir leur part de souveraineté afin de pouvoir
pareillement s’ingénier pour se créer dans un milieu plus harmonique un
meilleur sort.
Il y a un fait important qui va, maintenant chez nous, faire envisager le
suffrage des femmes d’une tout autre manière par les députés. Jusqu’ici le
vote des femmes avait été demandé par les femmes, afin qu’elles
puissent au moyen de cet instrument d’émancipation changer leur sort;
mais voilà que le vote des femmes est aujourd’hui réclamé... par les
hommes!
Le vote des femmes est demandé par des hommes, dans leur propre
intérêt...
Des orateurs mâles disent: «Pendant que la femme ne vote pas, elle
arrête l’émancipation de l’homme... elle contraint l’homme à se
désintéresser... elle l’empêche de se syndiquer... parce que étant écartée
de tout, elle ne comprend rien. En votant, la femme s’éclairera, elle
apprendra à servir nos communs intérêts».
L’approbation d’électeurs d’élite, la façon sympathique, dont en
appuyant de leur signature notre requête électorale, ils disent: «J’en suis!»
excite l’allégresse des suffragistes. Les feuilles qu’elles présentent aux
Sociétés savantes, à l’Ecole des hautes études, dans les associations,
corporations et dans la rue même, comme à Toulouse, où l’éloquente Mlle
Arria Ly et sa mère ont recueilli quinze cents signatures.
Sur nos pétitions les noms de savants, d’artistes, de commerçants
voisinent avec ceux d’intelligents travailleurs.
Hormis les anarchistes il y a peu d’hommes hostiles au vote des
femmes. Pour beaucoup, il ne peut y avoir de masculin ni de féminin
lorsqu’il s’agit d’imposer des remaniements sociaux nécessaires. Tous
hommes et femmes doivent voter des réformes.
L’empressement des antisuffragistes à se muer en suffragistes, décèle
autant que le succès de notre pétition, les progrès accomplis dans
l’opinion par la question du vote des femmes.
Aussitôt que les députés ont commencé à s’occuper des projets de loi
sur la réforme électorale nous avons pensé qu’il était urgent d’attirer leur
attention sur les revendications des Françaises mises hors le droit
commun politique.
Le 25 octobre 1909 la Société «Le suffrage des Femmes» a envoyé à
la Chambre une délégation de cinq de ses membres pour prier M. Louis
Marin, le distingué député de Nancy, de déposer sur le bureau de la
Chambre la pétition signée par plus de trois mille personnes.
M. Louis Marin accepta de rendre à la société «Le suffrage des
Femmes» le service qu’elle demandait; mais en attendant le
renouvellement de la commission des pétitions, où il s’efforcerait de faire
introduire des députés féministes, il nous engagea à recueillir d’autres
signatures.
Trois semaines après, nous remettions à M. Louis Marin de
nombreuses nouvelles feuilles de notre pétition, qui se trouvait ainsi
couverte de plus de quatre mille signatures.
Le député de Meurthe-et-Moselle portant sous le bras, attaché par un
ruban vert, notre volumineux dossier qu’il allait déposer sur le bureau de
la Chambre, était radieux, disent des journalistes.
Motifs de la commission.