DOSEN PENGAMPU:
Hengki Purnomo, S. Sos., M. Si
Oleh Kelompok 1:
Siti Aisyah 3621058
Meisha Melta Cantiqa 3622039
Ela Widya Ningsih 3622029
Ahmad Alwi 3622051
Muhammad Fikri Habib 3622036
Penyusun
i
A. LATAR BELAKANG
Nabi Muhammad SAW juga berprofesi sebagai pedagang, prinsip
perdagangan beliau menjadi contoh yang nyata sekaligus menjadi pembelajaran
berharga dalam berdagang. Konsep bisnis Nabi Muhammad SAW seperti yang
pertama prinsip benar (shiddiq) yang memiliki nilai dasar integritas, nilai-nilai
dalam bisnisnya berupa jujur, ikhlas, terjamin dan keseimbangan emosisal. Kedua,
amanah berupa nilai yang terpercaya dan nilai dalam bisnisnya berupa adanya
kepercayaan, tanggung jawab, transparan dan tepat waktu. Ketiga, fathonah
dengan nilai dasar memiliki pengetahuan luas, nilai dalam bisnis ialah memiliki
visi, pemimpin yang cerdas, sadar produk dan jasa serta belajar berkelanjutan.
Keempat, tabligh dengan nilai dasarnya komunikatif sedangkan nilai bisnisnya
ialah supel, penjual yang cerdas, deskripsi tegas, delegasi wewenang, kerja tim,
koordinasi dan mempunyai kendali. Kelima, berani, dengan nilai bisnisnya
mampu mengambil keputusan, menganalisa data serta keputusan yang tepat dan
cepat tanggap. Sifatsifat dasar tersebut sangat mempengaruhi perilaku Nabi
Muhammad SAW dalam berbisnis, sehingga dapat membawa sukses dalam
berbisnis. Hal ini merupakan suri tauladan yang dapat di ikuti oleh ummatnya,
agar bisnis yang digeluti dapat berkembang dengan baik dan diridhoi oleh Allah
SWT.
Sesuai dengan yang diajarkan Nabi melalui sifat dasar Nabi Muhammad
SAW dalam berdagang sudah sepantasnya pengusaha muslim hakikatnya harus
mengutamakan prinsip-prinsip kelslaman yaitu harus berperilaku yang baik dan
simpatik (shidiq), bersikap melayani dan rendah hati (khidmah), menepati janji
dan tidak curang, jujur dan terpercaya, menjaga dan mempertahankan.
kepercayaan (amanah), berperilaku adil (al'adl) dalam berbisnis. Selain diridhoi
oleh Allah SWT dalam aktivitas berdagang, pedagang juga mengharapkan adanya
kesejahteraan. Kesejahteraan adalah orang yang beruntung dengan kecukupan
rezeki halal yang diterimanya, terpenuhinya kebutuhan spiritual bagi segenap
anggota keluarganya, merasa qana'ah dengan apa yang diterimanya dengan
terpenuhinya kebutuhan fisik dari rezeki yang halal, hidup sehat baik jasmani
maupun rohani, keberkahan rezeki yang diterimanya, keluarga yang sakinah
1
mawaddah wa rahmah, rasa cinta kasih sesama, riba dan qana ah dengan apa yang
diberikan Allah kepadanya serta merasa bahagia.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah
ini antara lain:
1. Apa yang dimaksud dengan Lapau dan apa fungsinya?
2. Apa yang dimaksud dengan Surau dan apa fungsinya?
3. Apa yang dimaksud dengan Balai (KAN) dan apa fungsinya?
4. Apa yang dimaksud dengan Tapian/Pincuran dan apa fungsinya?
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini
adalah:
1. Mengetahui Lapau dan fungsinya
2. Mengetahui Surau dan fungsinya
3. Mengetahui Balai (KAN) dan fungsinya
4. Mengetahui Tapian/Pincuran dan fungsinya
BAB II PEMBAHASAN
2
A. Lapau dan Fungsinya
Lapau selain tempat makan dan minum, bagi masyarakat Minangkabau
juga merupakan tempat bersosialisasi dan bersenda gurau. Bagi generasi muda,
lapau merupakan tempat belajar bidang pergaulan untuk tahap menuju
kedewasaan Sebelum adanya teknologi seperti radio, telepon genggam,dan
televisi, lapau juga menjadi salah satu sarana untuk memberikan Informasi kepada
masyarakat serta menjadi tempat pertukaran informasi antara pengunjung lapau
yang satu dengan yang lainnya. Orang-orang yang datang ke lapau sangat
beragam. Ada yang muda, tua, beda pekerjaan, dan beda jabatan. Di dalam lapau
disediakan meja, kursi untuk pelanggan yang datang untuk makan, minum, dan
sebagainya. Di dalam lapau juga terdapat katuak-katuak dan tong- tong. Katuak-
katuak/tong-tong akan dibunyikan oleh pemilik lapau, apabila terjadi kebakaran,
kematian, dan peristiwa lainnya. Maka, dalam hal ini lapau juga berfungsi untuk
memberikan informasi bagi masyarakat Minangkabau sebelum adanya teknologi
komunikasi seperti saat ini.
Mushra Dahrizal juga menambahkan, bahwa lapau juga menjadi tempat
untuk urang sumando mengenalkan diri kepada masyarakat/warga di sekitar
(rumah istrinya) agar dikenal oleh orang banyak. Lapau yang harus dikunjungi
oleh urang sumando biasanya direkomendasikan oleh niniak mamak si istri. Bagi
laki-laki di Minangkabau, tidak meluangkan waktu di lapau merupakan suatu hal
yang dianggap tabu dan sumbang, apalagi bagi laki-laki yang sudah mempunyai
istri. Laki-laki yang bergabung dengan istri, mertua, adik ipar, kakak ipar untuk
menonton siaran televisi di rumah istrinya dianggap tabu. Oleh sebab itu, lapau
menjadi tempat menghabiskan waktu dan menjadi ruang tempat bertemunya
sesama urang sumando (lelaki di rumah istri) menjelang mertua dan keluarga
istrinya terlelap tidur. Lapau adalah budaya yang identik dengan kaum ’laki-laki’,
karena jarang ditemukan ada kaum perempuan yang terlibat intens dalam aktivitas
di lapau. Kalau pun ada, paling-paling urang lapau (si pemilik lapau).
Fungsi lapau di Minangkabau secara umum yaitu lapau sebagai wadah dan
tempat berkomunikasi antarsesama dalam mendiskusikan segala macam
permasalahan termasuk dalam memutuskan suatu kesepakatan dan menyelesaikan
suatu permasalahan. Lapau bagi masyarakat Minangkabau adalah sebuah bentuk
media sosial dan sumber informasi yang paling cepat dan sudah ada sejak zaman
3
dahulu. Lapau adalah tempat belajar nonformal dan sumber informasi yang
kadangkadang lebih cepat dari media sosial yang ada saat ini. Sebagai tempat
diskusi, lapau menjadi arena demokratis yang mempertemukan orang-orang dari
berbagai latar belakang, status sosial dan sudut pandang. Di lapau jugalah bisa
melatih keterampilan seseorang dalam berbicara, berdialog, berdebat dan
berdiplomasi.
Di sini juga berlaku tata krama bicara masyarakat Minangkabau dengan
istilah Kato Nan Ampek yaitu kato mandaki, kato manurun, kato mandata dan
kato malereng.Karena yang duduk dilapau berasal dari berbagai latar belakang,
ada mamak, kemenakan, sumando, pemuda dan berbagai profesi dan tingkat usia
yang berbeda. Secara tidak langsung, ota di lapaulah yang mengajarkan
bagaimana cara berbicara dengan orang yang lebih kecil, yang setara, berbeda usia
maupun orang yang lebih tua. Bagi lelaki Minangkabau yang duduk di lapau
mereka semua setara, banyak tokoh hebat yang "lahir" dari sini. Ota lapau dapat
mengolah pikiran dan kematangan berpikir, jadi semua keterampilan dan keahlian
itu tidak hanya dapat di sekolah, madrasah dan di surau saja. Bahkan apapun
kegiatan dan keputusan bagi kepentingan nagari, semua diputuskan di lapau,
setelah matang barulah dibawa ke balai adat atau balairung rumah gadang,
kegiatan ini pun bisa berlangsung sampai tengah malam.
Di ranah Minang, hingar bingar politik hingga isu yang sedang
berkembang luas di tengah khalayak, selalu dibentangkan di tengah lapau. Mulai
dari politik hingga pilprespun dibedah dengan beragam sudut pandang, apalagi
yang duduk di lapau juga berasal dari berbagai latar belakang pendidikan dan
pengalaman.Setiap hari ada saja kaum waktu duduk di lapau sambil laki-laki yang
menghabiskan maota dan juga main domino atau main koa. Lapau saat itu pun
menjadi media yang begitu penting dalam menyebarluaskan informasi, ibaratkan
media social yang ada di zaman digital ini. Lapau bagi masayarakat Minangkabau
menjadi media social yang membahas semua hal.Tidak tahu dari mana asal
pembahaysana, karena topik yang hadir pun biasanya spontan saja dan bisa
berubah-ubah. Tergantung pada siapa yang menggiring paling vokal.Keberadaan
lapau juga dianggap sebagai wadah "kekuatan politik". Filosofi lapau juga
menyebut "Ota lapau itu bebas, cair dan dinamis". Tidak ada intimidasi dalam ota
lapau, semua boleh berpendapat tentang apa saja yang dipa haminya terhadap
4
topik yang dibahas. Lapau di zaman dahulu diibaratkan androidnya generasi
milenial hari ini. Semua infromasi ada di sana. Begitu hebatnya lapau bisa
menggiring pandangan dan pendapat seseorang terhadap sebuah kabar yang masih
samar-samar. Bagi masyarakat Minangkabau, merugilah lelaki yang tidak ke lapau
karena tidak akan mendapat informasi terbaru dan disebut tidak gaul. Sebagai
masyarakat Minangkabau kita patutlah bangga, karena jauh hari kita sudah
memiliki lembaga tidak resmi sebagai penyaring informasi yang bernama lapau.
Intensitas informasi di lapau mendahului televisi dan radio, apalagi internet.
lapau).1
Ensiklopedia Islam dinyatakan bahwa surau adalah suatu bangunan kecil tempat
shalat yang digunakan juga sebagai tempat mengaji Al-Qur’an dan belajar
dasardasar pengetahuan agama bagi anak-anak.3
5 Velly Farhana Azra, dkk, Kewenangan Kerapatan Adat Nagari (KAN) Dalam
Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Di Nagari Koto Baru Kabupaten Solok
Berdasarkan
Perda Sumatera Barat No. 6 Tahun 2008, Diponegoro Low Journal, Vol. 6, No. 2, hal. 5-6
7
menahan air dan mencegah banjir. Tapian juga dapat digunakan untuk
mengalirkan air ke saluran irigasi atau sawah.
2. Pincuran
Pincuran dalam bahasa Minangkabau biasanya mengacu pada sebuah
sumur atau sumber air yang terdapat di desa atau tempat-tempat lain.
Pincuran ini sering menjadi tempat berkumpulnya masyarakat setempat
dan menjadi sumber air bersih bagi keperluan sehari-hari.6
B. SARAN
Dalam makalah ini tentunya ada banyak sekali koreksi dari para pembaca,
karena kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Maka dari itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca yang
dengan itu semua kami harapkan makalah ini akan menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Syafputra, aandra. Pengalaman Empiris Menjadi Sebuah Ide Dalam Penciptaan
Musik”, Vol. 12, No. 1, (2017)
Abidin, Mas'oed. 2016. Surau Kito. aogyakarta: GrePublishing
Hasibuan, Zainal Efendi. 2013. Pendidikan Islam di Minangkabau: Pertumbuhan
Kelembagaan Surau Sejak Masa Awal Hingga Kebangkitan Perang Padri.
Dalam Samsul Nizar, Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual: Pendidikan
Islam di Nusantara. Jakarta: Kencana
Nizar, Samsul. 2005. Sejarah dan pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam. Potret
Timur Tengah Era Awal dan Indonesia. Jakarta: QuantumTeaching
9
Azra, Velly Farhana, dkk. Kewenangan Kerapatan Adat Nagari (KAN) Dalam
Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat di Nagari Koto Baru Kabupaten
Solok Berdasarkan Perda Sumatera Barat No. 6 Tahun 2008. Diponegoro
Low Journal, Vol. 6, No. 2, Tahun 2017
Djaelani, A. 1995. Sistem Budaya Nagari: Kajian tentang Adat dan Kebudayaan
Minangkabau, Penerbit: Kanisius
10