Anda di halaman 1dari 15

IMAMAH DALAM SUDUT PANDANG MISTISME SYIAH

IMAMIYAH DAN ISMAILIYAH


Doni Dwi Putra Suhendar

Abstrak
Kepemimpinan dalam Masyarakat muslim sejak paska meninggalnya Nabi
Muhammad SAW menjadi polemik tersendiri baik dalam ranah teologi,
sosio-politik, fiqh, hingga isu antara sunni-syiah. Dalam akidah syiah, peran
imamah memiliki tempat yang strategis mengingat kesetiaan kepada
sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin utama. Dan hal ini
menjadikan perkara imamah masuk dalam ranah pokok-pokok agama
disamping pengakuan pada tauhid, kenabian dan rasul Muhammad SAW,
serta keadilan dengan gaya penafsiran khusus meliputi nilai-nilai ;
Mistisme, logika, fiqh, hingga pada kalam.

Kata Kunci : Imamah, Syiah, Kalam, Madzhab.

Metode
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan studi
Pustaka sebagai sumber kasus.

Pendahuluan
Sosok Sayyidina Ali dimata kaum syiah memiliki keistimewaan nya
tersendiri mengingat kaum syiah sangat loyal terhadap sosok Ahlulbait
sebagai jalan itijhad mereka. Dalam hal ini, kaum muslim syiah memandang
bahwa sosok Ali merupakan symbol keadilan dan sekaligus pusat dari ilmu
para Nabi. Sumber utama kaum muslim syiah dalam menetapkan akidah
keimamahan dapat dilacak pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas bahwasanya Nabi Muhammad SAW pernah bersabda : “Wahai
Manusia, bukankah kalian bersaksi bahwa Allah SWT Rabb kalian?, orang-
orang berkata;’Benar’. Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah SWT dan
Rasul-Nya lebih berhak atas kalian melebihi diri kalian sendiri dan Allah
SWT serta Rasul-Nya adalah mawla bagi kalian?. Orang-orang berkata ;
‘Benar’. Beliau SAW berkata ; ‘Maka barangsiapa menjadikan aku Mawla,
maka aku jadikan Ali sebagai Mawla kalian.Sungguh telah aku tinggalkan
bagi kalian yang jika kalian berpegang teguh padanya, maka kalian tidak
akan tersesat, yaitu KItabullah yang berada di tangan kalian dan Ahlulbait
ku.”

Dalam hadits telah diterangkan dengn jelas bahwasanya Ali telah berhak
terpilih menjadi pemimpin kaum muslimin melalui pengumuman secara
langsung dan disaksikan 120,000 lebih para sahabat ketika haji wada
berlangsung.

Imamah menjadikan kaum muslimin syiah bergerak dalam system hierarkis


yang sentral. Dalam hal ini guna membimbing kaum muslimin agar tidak
terjatuh dalam jalan yang menyimpang dalam syariat dan ushuluddin.
Seorang imam menjalankan 2 beban yang ditanggung secara langsung baik
dalam perkara dunia maupun akhirat. Karena itulah kaum syiah sangat
menghormati dengan tulus akan system keimamahan.1

Namun dalam konsep nya, kaum syiah menghadapi banyak persoalan akan
kriteria pemaknaan imamah sehingga dalam sejarahnya, kaum syiah
melahirkan banyak sekte sempalan yang bervariasi, ada yang bersifat
moderat, netral, hingga sisi ekstrem yang dinamakan sebagai Ghulat. Sekte
ghulat ini dicetuskan oleh Abdullah bin Saba, seorang mualaf yahudi yang
menggandrungi ide-ide mistis messianisme yahudi klasik. Beliau
menganggap bahwasanya Ali adalah sosok juru selamat yang akan
membawa bangsa Yahudi Kembali kepada masa kejayaan speperti di masa
bait suci kedua. Hal ini menjadi kemarahan tatkala Sayyidina Ali
mendengarnya dan memerintahkan agar Saba ditangkap dan dihukum
dengan cara dibakar.2

1
Ali Syariati, Islam madzhab Pemikiran dan Aksi, Mizan, Bandung, hlm, 67
2
Qasim Al-Samarai, Sayf ibn Umar and Abdullah ibn Saba, A New Approach, hlm, 58.
SYIAH ITSNA ASYARIYAH

Dalam kitab yang berjudul Ushul al-Kahfi jilid 1, hlm, 155, Syaikh al-
Kulayni menerangkan tentang dalil-dalil keutamaan dalam permasalahan
imamah yang disampaikan langsung dari periwayat Imam-imam maksum
as. Hal ini kemudian di perjelas oleh Sayyid Murtadha dalam kitab al-Syafi
Fi al-Imamah dan kitab al-Dzakhirah fi Ilm al-Kalam, beliau menjelaskan ;
“Kita tahu bahwa ada banyak sekali tugas menjawab logika bagi manusia
dan kita juga tahu bahwa orang-orang yang mukallaf itu tidak maksum.
Dengan memperhatikan dua poin ini, maka dalil imamah adalah sebagai
berikut, bahwa setiap orang yang berakal yang mengenal dan tahu tentang
uruf dan sirah uqala(sikap praksis orang yang berakal) dia telah
mengetahui bahwa dimana saja, dalam system Masyarakat terdapat
seorang pemimpin yang layak dan benar-benar mumpuni dalam mencegah
kezaliman dan kebathilan serta berdiri menegakkan kebenaran dan keadilan
terhadap nilai-nilai kemanusiaan, maka kondisi Masyarakat akan lebih siap
untuk pengembangan keutamaan dan nilai luhur yang tidak lain adalah
sebuah karunia, karena karunia adalah sebuah motivasi yang mendorong
para mukallaf menuju ketaatan dan kebaikan serta menjauhi hal yang buruk
lagi menjerumuskan. Oleh karena itu, imamah adalah sebuah karunia bagi
para mukallaf.”

Dari penjelasan ini, Sayyid Murtadha membela akidah imamah syiah dalam
penalaran logika untuk mengkritik sikap dari beberapa ulama yang menolak
dalil imamah, hal ini menjadi sebuah keniscayaan yang bersifat dinamis
karena wujud imamah tersebut memiliki perspektif khusus karena
keberadaan umat manusia yang selalu dalam kefakiran dan kesepian selalu
akan menunggu sosok pembaharu dan penyelamat bagi bangsa atau agama.
Maka imamah adalah jalan solusi yang diberikan Rasulullah SAW dalam
mendamaikan umat muslim agar tidak jatuh dalam jurang perang saudara.

Melalui Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan kedua puteranya, Sayyidina
Hassan dan Sayyidina Hussein, kaum syiah dapat berpijak kepada jalan
menegakkan keadilan. Menurut kepercayaan syiah, khususnya para pengikut
jalur dua belas imam, mereka percaya bahwasanya imam hadir sebagai
penjaga warisan syariat Nabi Muhammad SAW. Dan hal ini akan menjaga
agama terpecah kedalam isu tahrif dan penyimpangan tafsiran yang sesat.
Dalam hal ini terdapat sebuah klaim yang dapat kita asumsikan sebagai
takhta yang apostolik jika menggunakan istilah dari system gereja katolik.
Namun, tentu berbeda jika dikomparasikan karena system pemilihan secara
menunjuk langsung tidak ada dalam Sejarah gereja. Terkecuali dalam kasus
Petrus yang di tunjuk langsung oleh Yesus. Sedangkan dalam syiah
imamiyah, proses pemilihan imamah bersifat ditunjuk langsung dan
biasanya ditunjuknya Putera sulung dari semua anak-anak imam. Namun
dalam masa imam Ja’far Ash-Shaddiq as, klaim imamah menjadi konflik
fraksionis antara masing-masing pendukung putra imam. Dimulai dengan
klaim imamah antara Abdullah al-Aftah yang merupakan putra sulung
dengan sang adik yakni Ismail. Keduanya merupakan anak dari istri imam
ja’far yang pertama. Namun keduanya saling berkonflik dalam takhta
imamah. Konflik ini pun berakhir dengan kalahnya Abdullah akibat
kekurangan klaim dukungan dan kurangnya wawasan keilmuwan Abdullah.
Alhasil beberapa pengikut Abdullah memutuskan untuk mengikuti sang adik
dan ada juga yang mengikuti Imam Musa Al-Kazhim as karena luasnya ilmu
dan kompetensi akademis yang layak diperhitungkan.

Kaum Syiah imamiyah menyatakan bahwasanya Imam Musa merupakan


seorang faqih yang berkompeten serta memiliki kondisi Kesehatan yang
sangat subur dibandingkan dengan Ismail yang notabane seorang remaja
yang hidup dalam kondisi memendam penyakit bawaan sehingga tidak bisa
menampakkan dirinya secara langsung dalam setiap kegiatan madrasah.
Alhasil Ismail wafat dalam kondisi ditengah kemajuan komunitas syiah.

Sedangkan mayoritas pengikut kemudian melanjutkan kepemimpinan pada


Imam Musa. jadi dalam syiah imamiyah, terdapat 12 imam yang menjadi
pegangan wajib yang harus di taati sosok nya yaitu;

1. Sayyidina Ali bin Abi Thalib as


2. Sayyidina Hassan bin Ali as
3. Sayyidina Hussein bin Ali as
4. Sayyidina Ali Zainal Abidin bin Hussein as
5. Sayyidina Muhammad al Baqir bin Ali as
6. Sayyidina Ja’far bin Muhammad as
7. Sayyidina Musa bin Ja’far as
8. Sayyidina Ali bin Musa as
9. Sayyidina Muhammad Jawad bin Ali as
10. Sayyidina Ali al-hadi bin Muhammad as
11. Sayyidina Hassan al-Ashkari bin Ali as
12. Sayyidina Muhammad al Mahdi bin Hassan as.

Pada masing-masing masa imam, kasus diskriminasi mulai Kembali


menyerang komunitas syiah secara beruntun dan menyebabkan para imam
harus syahid. Untuk mengantisipasi hal ini, kaum syiah mengonsolidasi
Gerakan dengan lebih mengarah pada esoteris dan mendapat dukungan
keluarga Barmaki dan dinasti Buwaihi, agenda penyebaran ide Mahdiisme
mulai di gaungkan dengan klaim imamah mengarah pada ranah theology-
politik yang merujuk pada sebuah hadits dalam kitab Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim bahwasanya diriwayatkan dari Jabir bin Samurrah dan dari
Nabi Muhammad SAW, Jabir berkata;

“Aku mendengar bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘islam akan Berjaya


sampai ada dua belas Khalifah yang berkuasa atas kaum muslimin.’
Kemudian Nabi mengatakan sesuatu yang sulit dimengerti . aku berkata
pada ayahku, Nabi Muhammad SAW menyampaikan apa?, ayah ku
berkata, ‘semuanya berasal dari Quraisy.”3

Dari hadits ini, kaum syiah imamiyah memandang bahwa para imam
memiliki nilai kesucian yang dianggap ma’shum. Kema’shuman ini lah yang
menjadi alasan utama yang dijadikan landasan keimanan dan kesetiaan pada
imam.4 Bahkan dalam kitab Aqaid al-Imamiyah, dijelaskan status
kedudukan imamah sebagai pondasi yang lurus dengan kenabian. Hal ini

3
Bukhari, Shahih Bukhari, jilid 8, hlm, 127.
4
Muhammad Baqir al-Majilisi, Biharul al-Anwar, Juz 25, Beirut, hal. 191
dimaksudkan sebagai legistimasi yang historis dalam menunjukkan nilai
falsafah konstruksionism. Mengingat para imam memiliki Riwayat silsilah
yang jelas.

Hal utama yang menjadi dasar imamah selain kema’shuman adalah masalah
Mahdiyyah dan Raj’ah. Keduanya sama-sama saling melengkapi karena
imam al-Mahdi akan hadir memimpin barisan berbagai kelompok nabi-nabi
dan Rasul terdahulu.

Isu Mahdiisme dalam syiah menjadi tema yang memang tak lekang dalam
ruang waktu yang banyak menimbulkan berbagai pandangan tertentu karena
imamiyah mengambil sikap yang keras dalam perkara imamah terutama
dalam mengaitkan masalah keadilan Ilahi. Dalam memetakannya, keadilan
Ilahi dan mahdiisme saling terkait karena sesuai dalam Riwayat hadits,
Allah SWT tidak akan salah dalam menentukan kriteria kepemimpinan
kaum muslimin. Oleh karena itu, unsur keadilan Ilahi meliputi dalam
perkara; Takdir Qadha dan Qadar, Sahabat, hari akhir, dan kenabian, serta
kaidah ushuliyah.

Syekh Tusi berpendapat, Keadilan Ilahi berasaskan pada analogi bahwa,


jika melakukan perbuatan buruk adalah sifat kekurangan pada kuasa Allah,
maka hal itu menandakan bahwa Allah telah di keruvutkan menjadi sebuah
fenomologi antropomorfisme. Hal ini jelas menjadi sebuah masalah krusial
yang telah melanggar kaidah ushuliyah islam. Maka dari itu, sesuai dengan
penjelasan dalil surah Al-Ikhlas dan hadits shahih, ketetapan mutlak Allah
SWT secara rasional disatukan dalam pemahaman bernama Keadilan Ilahi.5

Dalam kasus keadilan Ilahi, terdapat esensi Esoterisme dan Eksoterisme.


Hal ini karena kaum Syiah percaya, untuk menegakkan tauhid, umat islam
wajib memenuhi system perundang-undangan yang mencakup masalah
muamalah,furuiyah, dan sebagainya. Tentunya hal ini berkaitan dengan
kesempurnaan manusia sebagai khalifah di bumi, sebagai seorang yang
telah menjadi ciptaan terbaik Tuhan dengan segala kekurangannya.

5
Thusi, Nashiruddin, Ar-Rasa’il Al-A’syr. hlm, 96.
Namun, sebagai makhluk social, umat manusia membutuhkan validasi atas
kepemimpinan baik dalam urusan spiritual maupun kebutuhan duniawi.
Menurut Ja’far Subhani, di dalam menegakkan keadilan pada umat islam,
ada dua ide pokok; pertama, apabila didalam suatu pekerjaan, target yang
harus di capai demi mencapai kesempurnaan akan bergantung pada
sistematika dari tugas khusus yang memberikan gambaran rincian, maka
tugas khusus tersebut telah ada dalam rancangan dasar-Nya. Kedua, suatu
rancangan dasar tidak akan memberikan sebuah tugas pada masing-masing
bagian selama hal itu tidak dirasa rasional dan diluar kemampuan manusia
itu sendiri.6

Selain mampu memiliki nilai kepemimpinan dan silsilah nasab yang jelas,
kaum syiah imamiyah mempercayai bahwasanya seorang imam merupakan
sosok yang telah menguasai ilmu Ladunni. Karena beberapa tafsir dan
takwil para imam al-maksum dinilai memiliki beberapa ide-ide kebatinan
rahasia dari Allah SWT yang ingin disampaikan kepada umat melalui qaul
imam. Diperkuat dengan hadirnya beberapa dinasti-dinasti yang menjadikan
madzhab Syiah sebagai ajaran resmi membuat beberapa penafsiran yang
lebih tersistematis.

Oleh karena itu, agar dapat memeratakan spiritual dan system yang kuat,
maka dilahirkannya system Bernama Wilayatul al-Faqih. Bukan hanya
sekedar system yang menggabungkan demokrasi dan teokrasi, namun
sebagai wujud mempersiapkan jalan untuk menanti kedatangan sang imam
Al-Mahdillah as yang kelak memimpin kaum muslimin agar Kembali
menuju jalan akidah yang lurus. Dengan menunggu hadir nya sosok Imam
keduabelas, kaum syiah mulai menyebarkan ide-ide Lembaga profit maupun
non profit seperti komunitas pemuda maupun aksi solidaritas untuk
menjangkau kaum syiah yang berbeda negara hingga Benua, semua karena
memiliki tujuan dan akidah yang sama, yaitu menjadikan hujjah Al-Mahdi
sebagai dasar keimanan dalam syariat islam dan menunaikan keadilan Ilahi
yang relevan dalam permasalahan di era Kontemporer saat ini.

6
Subhani, Muhadharat fi Al-Ilahiyyat, hlm. 160.
SYIAH ISMAILIYAH

Kematian sayyid Ismail bin Ja’far ash-Shaddiq menimbulkan problematika


diantara kalangan pengikut ismail. Menurut kelompok Qaramithah, Ismail
telah mewasiatkan bahwasanya Putera tertua, Muhammad akan menjadi
imam terakhir. Namun, hal ini ditentang oleh beberapa kelompok ismaili
lainnya hingga pada akhirnya masing-masing kubu mulai mengambil jalan
berbeda.

Secara mayoritas, kaum Ismaili sangat meyakini akan kehadiran sosok


imamah yang memiliki sifat supra-rasional dan percaya bahwasanya semua
sosok imam mereka telah dihadirkan ketika awal mula penciptaan dunia
berlangsung. Dikatakan bahwasanya pada setiap era para Rasul awal,
mereka selalu didampingi oleh Wasi atau dikenal sebagai Imam, karena
sejatinya seorang pemimpin wajib mewariskan pemahamannya pada
generasi selanjutnya. Bahkan, kaum Qaramithah melangkah lebih ekstrem
dalam menafsirkan makna kebatinan para Nabi dengan mengubah urutan
Dimana Adam berada di posisi kedua. Sedangkan posisi pertama ditempati
oleh Muhammad dan Ali sebagai wujud kesatuan yang berdasar pada akidah
Nur Muhammad.7

Untuk mengetahui proses berjalannya Teologi dalam syiah Ismaili, kita


perlu Kembali mengetahui kejadian kronologis masing-masing pecahan
sekte ini. Dimulai tatkala perselisahan antara kelompok Waqifi dan
Qaramithah, keduanya berselisih akan permasalahan posisi bagaimana
Ismail dan Putera sebagai kandidat terlayak yang akan mengisi posisi
sebagai imam ketujuh secara shahih.

Dalam hal ini, mayoritas Kaum Waqifi sepakat dan mempercayai silsilah
keimamahan utama mereka sebagai berikut8 :

1. Imam Ali Bin Abi Thalib as

7
Daftary, Farhad (1995). The Ismailis: Their History and Doctrines. Cambridge
University Press.
8
Kathryn, Babayan (2002): Mystics, Monarchs, and Messiahs: Cultural Landscapes of
early Modern Iran. Cambridge University Press.
2. Imam Hassan bin Ali as
3. Imam Hussain bin Ali as
4. Imam Ali Zainal Abidin bin Hussain as
5. Imam Muhammad Al-Baqir bin Ali as
6. Imam Ja’far Ash-Shaddiq bin Muhammad as
7. Imam Ismail bin Ja’far as

Dalam urutan tersebut, kaum Waqifi mempercayai bahwa imam Ismail


telah menuliskan wasiat dan tafsir pemahaman batin akan kedatangan Al-
Qaim atau Al-Mahdi sebagai sosok utama penyelamat umat muslim. Hal ini
menimbulkan pertanyaan terkait sosok wujud Al-Mahdi tersebut. Kaum
Waqifi menjelaskan bahwasanya sang Putera, Muhammad akan menjadi
sosok al-Qaim tersebut kelak sebagai imam yang disembunyikan Allah.
Namun hal itu juga mendapat beberapa penafsiran yang skeptis sehingga
peran kemahdiyyahan tidak termasuk bagian ushuluddin karena mereka
cukupkan pada peran imam Ismail sebagai petunjuk hidup.

Sedangkan pada kaum Qaramithah, mereka lebih berpandangan cukup


ekstrim dalam memaknai imamah secara batiniyah. Dalam esoterisme
mereka, sosok Al-Mahdi merupakan bagian kehendak Tuhan secara mutlak.
Hal ini kemudian membuat kelompok Qaramithah membentuk kelompok
dan bahkan mendirikan negara proto-komunisme.

Dalam urutan silsilah imamah, Kaum Qaramithah bersepakat bahwasanya


posisi Ismail tidak dapat menjadi landasan hujjah imamah yang sah akibat
wafatnya Ismail di usia yang masih muda. Alhasil, mereka menitikberatkan
pada sosok Putera tersembunyi beliau yang akan menjadi mahdi sekaligus
Rasul. Secara silsilah sebagai berikut ;

1. Imam Ali bin Abi Thalib as


2. Imam Hassan bin Ali as
3. Imam Hussein bin Ali as
4. Imam Ali Zainal Abidin bin Hussein as
5. Imam Muhammad Baqir bin Ali as
6. Imam Ja’far ash-Shaddiq bin Muhammad as
7. Imam Al-Qaim al-Mahdillah Muhammad afs.

Namun, kematian Muhammad menyebabkan adanya masalah baru


sehingga terjadi skisma yang menyebabkan kaum ismaili terbagi akan dua
pendapat. Pendapat pertama, mereka meyakini bahwasanya status kematian
Muhammad hanyalah propaganda untuk menyembunyikan fakta dari
cengkraman pasukan dinasti Abbasiyah. Sedangkan menurut pendapat
kedua, kematian Muhammad menurunkan wasiat berupa warisan imamah
jatuh ke sang Putera, yang Bernama Ahmad al-Wafi. Status keimamahan
Wafi bersifat tersembunyi.

Pergerakan Wafi berpusat pada kota Salamiyah. Di kota ini kaum ismaili
mulai mendirikan majelis dan beberapa pusat komunitas Jemaah. Dalam
dakwah kemudian mereka membentuk system Dai-Dai yang bertugas
menjadi missionaris ke seluruh wilayah.

Hingga mereka kemudian dikenal sebagai kelompok Fatimiyah setelah cicit


al-Wafi menyatakan dirinya sebagai al-Mahdi. Namun klaim nya tersebut
mendapat pertentangan. , Abdullah al-Syi’i mulai merasa bahwa sosok Al-
Mahdi mulai mengecewakan dirinya setelah Abdallah secara terbuka
memproklamirkan dirinya sebagai khalifah dengan nama pemerintahan al-
Mahdī , dan menghadiahkan putra dan ahli warisnya, dengan nama
pemerintahan al-Qa'im. Hal ini menyebabkan hubungan keduanya semakin
merenggang dan keduanya mulai berbeda paham. Al-mahdi sendiri tidak
membawa pusing dan tetap melanjutkan ekspansi militernya ke sisa-sisa
wilayah aghlabiyah dan mulai merencanakan untuk menginvasi Mesir.
Rencana ini dimulai pada tahun 909 namun gagal. Kemudian pada tahun
930 M, Khalifah Al-Qaim bin Amrillah menghadapi persoalan baru berupa
pemberontakan Abu Yazid, seorang Khawarij dengan melakukan serangan
besar-besaran. Akibat hal ini, Fatimiyyah hamper mengalami keruntuhan.

Kemudian pada tahun 960 m, suasana geopolitik di Abbasiyah semakin


terguncang dan beberapa dinasti kecil mulai berdiri serta tekanan
pemberontakan mulai berani secara terang-terangan untuk melancarkan
serangan.
Karena hal ini, secara arus modern, kaum ismaili mulai memindahkan
segala aktivitas dakwah ke wilayah Mesir. Kekhalifahan Fatimiyah mulai
dianggap sebagai wujud sah dari keimamahan.Namun negara Qaramithah
menentang klaim tersebut karena dianggap bidah.

Dalam hal ini, kaum Fatimid menyatakan bahwasanya imamah berlanjut


yang di urutkan sebagai berikut :

1. Ali Bin Abi Thalib


2. Hussain
3. Ali Zainal Abidin
4. Muhammad Baqir
5. Ja'far ash Shaddiq
6. Ismail bin Ja'far
7. Muhammad bin Ismail
8. Abd Allah ibn Muhammad (Ahmad al-Wafi) , meninggal 829,
"Imam tersembunyi", putra Muhammad ibn Ismail menurut tradisi
Fatimiyah Isma'ili
9. Ahmad ibn Abd Allah (Muhammad at-Taqi) , meninggal 840, "Imam
tersembunyi"
10. Husain ibn Ahmad (Abd Allah al-Radi) , meninggal 881, "Imam
tersembunyi"
11. Abd Allah al-Mahdi Billah , meninggal 934, secara terbuka
menyatakan dirinya sebagai Imam, Khalifah Fatimiyah ke-1
12. Al-Qa'im bi-Amr Allah , wafat 946, Khalifah Fatimiyah ke-2
13. Al-Mansur bi-Nasr Allah , wafat 953, Khalifah Fatimiyah ke-3
14. Al-Mu'izz li-Din Allah , wafat 975, Khalifah Fatimiyah ke-4
15. Abu Mansur Nizar al-Aziz Billah , wafat 996, Khalifah Fatimiyah
ke-5
16. Al-Hakim bi-Amr Allah , Khalifah Fatimiyah ke-6, menghilang
tahun 1021. Druze percaya pada ketuhanan semua Imam dan
berpisah setelah al-Hakim menghilang, diyakini oleh mereka sebagai
okultasi Mahdi .
17. Al-Zahir li-I'zaz Din Allah , wafat 1036, Khalifah Fatimiyah ke-7
18. .Al-Mustansir Billah , wafat 1094, Khalifah Fatimiyah ke-8.

Konflik suksesi mulai terjadi di masa Musta’li dengan pengikut Nizar, sang
kakak sehingga terjadi perpecahan diantara para dai. Alhasil kedua sisi
mengambil posisi saling bersitegang dan bahkan dikalangan Mus’tali
Kembali terpecah antara Tayyibi dengan Hafizi. Keduanya berbeda dalam
urutan imam setelahnya.

Dalam hal ini, Imam Tayyibi melanjutkan pada Imam ke :

19. Imam Ahmad al-Musta’li Billah


20. Imam Al-Amir bi-Ahkam Billah
21. Imam at-Tayyib Abu’l-Qasim

Sedangkan kaum Hafizi mengikut pada kelanjutan imamah Fatimiyah yang


dilanjut pada :

21. Imam Al-Hafiz li-Din-Allah


22. Imam Al-Zafir bi-Amr Allah
23. Imam Al-faiz bi Nasrallah
24. Imam Al-Adid li Din-Allah
25. Imam Dawud al-Hamid li-‘Illah
26. Imam Sulayman Badr al-Din

Kejatuhan Fatimiyyah kemudian mengakhiri secara perlahan kekuatan


kelompok Hafizi akibat hilangnya kepemimpinan imam. Alhasil, para
mantan pengikut hafizi memutuskan untuk pindah madzhab ataupun memilh
untuk Kembali ke kelompok Tayyibi.

Sedangkan Nizari berlanjut pada imamah Nizar yang wafat dan dilanjutkan
oleh sang putra dengan diselundupkan ke benteng alamaut. Hal ini
kemudian komunitas Nizari berubah menjadi nama Hashashin yang
dipimpin oleh dai Hassan I Sabbah. Sebuah kelompok yang akan meneror
Kerajaan islam dengan akidah kalam yang mereka percaya bahwasanya
umat muslim telah mengalami bidaah secara bear-besaran dan wajib
dimurnikan.
Karena hal itu, mereka mulai membentuk keimamahan baru yang secara
urutan sebagai berikut :

19. Nizar al-Mustafa li-Din Allah bin al-Mustansir Billah 1095–1097

20. Ali al-Hadi bin Nizar al-Mustafa li-Din Allah ( "tersembunyi" )

21. Muhammad Al Muhtadi bin Ali Al Hadi

22. Hassan Al Qahir bin Muhammad

23. Hassan ala Zikhrihis Salam bin Hassan

24. Nur Al Din Muhammad

25. Jalaluddin Hassan.

26.Alauddin al-Din Muhammad bin Jalal al-Din Hasan 1210–1221

27. Rukn al-Din Hasan Khurshah bin Ala al-Din Muhammad 1255–1256

28. Syams al-Din Muhammad ibn Rukn al-Din Hasan Khurshah

29.Qasim Shah ( tersembunyi ), putra bungsu Syams al-Din Muhammad.


1310–1368

30. Islam shah ( tersembunyi ) memantapkan dirinya di Anjudan. 1368–


1424

31. Muhammad ibn Islam Shah ( tersembunyi ) 1424–1464

32. Ali Shah al-Mustansir Billah II (Shah Qalandar), mendirikan Imamah


publik -di bawah praktik sufi taqiyya di Anjudan , 1464–1480

33. Abd al-Salam Shah , di Anjudan, 1480–1494.

34. Gharib Mirza (al-Mustansir Billah III), dalam Anjudan, 1494–1498.

35. Abu Dzar Ali , di Anjudan, 1498–1509.

36. Murad Mirza , 1509–1574, dieksekusi pada 1574 oleh Shah Tahmasp I
dari Iran .

37. Khalil Allah I (Dhu'l-Faqar Ali), di Anjudan, 1574–1634.


38. Nur al-Dahr Ali , dalam Anjudan, 1634–1671.

39. Khalil Allah II Ali , imam terakhir Anjudan, 1671–1680.

40. Shah Nizar II , mendirikan imamah di Kahak , 1680–1722.

41. Sayyid Ali , dalam Kahak, 1722–1736.

42. Sayyid Hasan Ali , mendirikan imamah di Shahr-e Babak , Kerman ,


1736-1747, Imam pertama yang meninggalkan praktek taqiyya .

43. Qasim Ali (Sayyid Ja'far), dalam Kerman, 1747-1756

44. Abu'l-Hasan Ali (Baqir Shah), 1756–1792.

45. Shah Khalil Allah III , di Kahak, kemudian sejak 1815 di Yazd , 1792–
1817, dibunuh pada 1817.

46. Hasan Ali Shah Aga Khan I atau Shah Hasan Ali (hidup 1804–1881;
memerintah 1817–1881)

47. Aqa Ali Shah Aga Khan II atau Shah Ali Shah (hidup 1830–1885;
memerintah 1881–1885)

48. Sultan Muhammad Shah Aga Khan III (hidup 1877–1957; memerintah
1885–1957)

49. Shah Karim al-Husayni Aga Khan IV (lahir 1936; memerintah sejak
1957)

Kaum Syiah Nizari saat ini menjadi komunitas Syiah Ismaili terbesar dan
mayoritas dalam rumpun keluarga ismaili. Lalu ada kelompok Dawoodi
Bohra dan turunan sub sekte bohra lainnnya dan bahkan seringkali bersaing
dengan komunitas syiah Itsyna-Asyariyah.

KESIMPULAN.

Perjalanan kaum syiah di masa lampau memiliki irisan-irisan yang saling


terhubung dalam fakta historis, kaum syiah secara theology juga berbagi
unsur dalam perkara Ushuluddin karena semua bermuara pada sosok Imam
Ja’far ash-Shaddiq sebagai imam tertinggi sekaligus datuk nya para imam.
DAFTAR PUSTAKA.

Saunders, J. J. A History Halm, Heinz (1996). Kekaisaran Mahdi:


Kebangkitan Dinasti Fatimiyah. Diterjemahkan oleh Bonner,

Brett, Michael (2017). The Fatimid Empire. Edinburgh University Press

Makarem, Sami n., ed. (1977). The Political Doctrine of the Ismailis: The
Imamate. An edition and translation with introduction and notes of Abu’l
Fawaris Ahmad ibn Ya’Qubs ‘ar-Risala fi I-Imama’. New York: Caravan
Books.

Sayyid Morteza Askari, Welayat-e-Ali in the Holy Quran and the Sunnah of
the Prophet. Munir Cultural Publishing Center.

Amir,-Moezzi, Mohammad Ali. The Spirituallity of Shi’I islam: belief and


practice. Bloomsbury Academic, 2011

Amir-Moezzi, Mohammad Ali (27 September 1994). The Divine Guide in


Early Shi'ism: The Sources of Esotericism in Islam.

Ayoub, Mahmoud (1984). The Qur'an and Its Interpreters, Volume 1. SUNY
Press.

Anda mungkin juga menyukai