Abstrak
Kepemimpinan dalam Masyarakat muslim sejak paska meninggalnya Nabi
Muhammad SAW menjadi polemik tersendiri baik dalam ranah teologi,
sosio-politik, fiqh, hingga isu antara sunni-syiah. Dalam akidah syiah, peran
imamah memiliki tempat yang strategis mengingat kesetiaan kepada
sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin utama. Dan hal ini
menjadikan perkara imamah masuk dalam ranah pokok-pokok agama
disamping pengakuan pada tauhid, kenabian dan rasul Muhammad SAW,
serta keadilan dengan gaya penafsiran khusus meliputi nilai-nilai ;
Mistisme, logika, fiqh, hingga pada kalam.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan studi
Pustaka sebagai sumber kasus.
Pendahuluan
Sosok Sayyidina Ali dimata kaum syiah memiliki keistimewaan nya
tersendiri mengingat kaum syiah sangat loyal terhadap sosok Ahlulbait
sebagai jalan itijhad mereka. Dalam hal ini, kaum muslim syiah memandang
bahwa sosok Ali merupakan symbol keadilan dan sekaligus pusat dari ilmu
para Nabi. Sumber utama kaum muslim syiah dalam menetapkan akidah
keimamahan dapat dilacak pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas bahwasanya Nabi Muhammad SAW pernah bersabda : “Wahai
Manusia, bukankah kalian bersaksi bahwa Allah SWT Rabb kalian?, orang-
orang berkata;’Benar’. Bukankah kalian bersaksi bahwa Allah SWT dan
Rasul-Nya lebih berhak atas kalian melebihi diri kalian sendiri dan Allah
SWT serta Rasul-Nya adalah mawla bagi kalian?. Orang-orang berkata ;
‘Benar’. Beliau SAW berkata ; ‘Maka barangsiapa menjadikan aku Mawla,
maka aku jadikan Ali sebagai Mawla kalian.Sungguh telah aku tinggalkan
bagi kalian yang jika kalian berpegang teguh padanya, maka kalian tidak
akan tersesat, yaitu KItabullah yang berada di tangan kalian dan Ahlulbait
ku.”
Dalam hadits telah diterangkan dengn jelas bahwasanya Ali telah berhak
terpilih menjadi pemimpin kaum muslimin melalui pengumuman secara
langsung dan disaksikan 120,000 lebih para sahabat ketika haji wada
berlangsung.
Namun dalam konsep nya, kaum syiah menghadapi banyak persoalan akan
kriteria pemaknaan imamah sehingga dalam sejarahnya, kaum syiah
melahirkan banyak sekte sempalan yang bervariasi, ada yang bersifat
moderat, netral, hingga sisi ekstrem yang dinamakan sebagai Ghulat. Sekte
ghulat ini dicetuskan oleh Abdullah bin Saba, seorang mualaf yahudi yang
menggandrungi ide-ide mistis messianisme yahudi klasik. Beliau
menganggap bahwasanya Ali adalah sosok juru selamat yang akan
membawa bangsa Yahudi Kembali kepada masa kejayaan speperti di masa
bait suci kedua. Hal ini menjadi kemarahan tatkala Sayyidina Ali
mendengarnya dan memerintahkan agar Saba ditangkap dan dihukum
dengan cara dibakar.2
1
Ali Syariati, Islam madzhab Pemikiran dan Aksi, Mizan, Bandung, hlm, 67
2
Qasim Al-Samarai, Sayf ibn Umar and Abdullah ibn Saba, A New Approach, hlm, 58.
SYIAH ITSNA ASYARIYAH
Dalam kitab yang berjudul Ushul al-Kahfi jilid 1, hlm, 155, Syaikh al-
Kulayni menerangkan tentang dalil-dalil keutamaan dalam permasalahan
imamah yang disampaikan langsung dari periwayat Imam-imam maksum
as. Hal ini kemudian di perjelas oleh Sayyid Murtadha dalam kitab al-Syafi
Fi al-Imamah dan kitab al-Dzakhirah fi Ilm al-Kalam, beliau menjelaskan ;
“Kita tahu bahwa ada banyak sekali tugas menjawab logika bagi manusia
dan kita juga tahu bahwa orang-orang yang mukallaf itu tidak maksum.
Dengan memperhatikan dua poin ini, maka dalil imamah adalah sebagai
berikut, bahwa setiap orang yang berakal yang mengenal dan tahu tentang
uruf dan sirah uqala(sikap praksis orang yang berakal) dia telah
mengetahui bahwa dimana saja, dalam system Masyarakat terdapat
seorang pemimpin yang layak dan benar-benar mumpuni dalam mencegah
kezaliman dan kebathilan serta berdiri menegakkan kebenaran dan keadilan
terhadap nilai-nilai kemanusiaan, maka kondisi Masyarakat akan lebih siap
untuk pengembangan keutamaan dan nilai luhur yang tidak lain adalah
sebuah karunia, karena karunia adalah sebuah motivasi yang mendorong
para mukallaf menuju ketaatan dan kebaikan serta menjauhi hal yang buruk
lagi menjerumuskan. Oleh karena itu, imamah adalah sebuah karunia bagi
para mukallaf.”
Dari penjelasan ini, Sayyid Murtadha membela akidah imamah syiah dalam
penalaran logika untuk mengkritik sikap dari beberapa ulama yang menolak
dalil imamah, hal ini menjadi sebuah keniscayaan yang bersifat dinamis
karena wujud imamah tersebut memiliki perspektif khusus karena
keberadaan umat manusia yang selalu dalam kefakiran dan kesepian selalu
akan menunggu sosok pembaharu dan penyelamat bagi bangsa atau agama.
Maka imamah adalah jalan solusi yang diberikan Rasulullah SAW dalam
mendamaikan umat muslim agar tidak jatuh dalam jurang perang saudara.
Melalui Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan kedua puteranya, Sayyidina
Hassan dan Sayyidina Hussein, kaum syiah dapat berpijak kepada jalan
menegakkan keadilan. Menurut kepercayaan syiah, khususnya para pengikut
jalur dua belas imam, mereka percaya bahwasanya imam hadir sebagai
penjaga warisan syariat Nabi Muhammad SAW. Dan hal ini akan menjaga
agama terpecah kedalam isu tahrif dan penyimpangan tafsiran yang sesat.
Dalam hal ini terdapat sebuah klaim yang dapat kita asumsikan sebagai
takhta yang apostolik jika menggunakan istilah dari system gereja katolik.
Namun, tentu berbeda jika dikomparasikan karena system pemilihan secara
menunjuk langsung tidak ada dalam Sejarah gereja. Terkecuali dalam kasus
Petrus yang di tunjuk langsung oleh Yesus. Sedangkan dalam syiah
imamiyah, proses pemilihan imamah bersifat ditunjuk langsung dan
biasanya ditunjuknya Putera sulung dari semua anak-anak imam. Namun
dalam masa imam Ja’far Ash-Shaddiq as, klaim imamah menjadi konflik
fraksionis antara masing-masing pendukung putra imam. Dimulai dengan
klaim imamah antara Abdullah al-Aftah yang merupakan putra sulung
dengan sang adik yakni Ismail. Keduanya merupakan anak dari istri imam
ja’far yang pertama. Namun keduanya saling berkonflik dalam takhta
imamah. Konflik ini pun berakhir dengan kalahnya Abdullah akibat
kekurangan klaim dukungan dan kurangnya wawasan keilmuwan Abdullah.
Alhasil beberapa pengikut Abdullah memutuskan untuk mengikuti sang adik
dan ada juga yang mengikuti Imam Musa Al-Kazhim as karena luasnya ilmu
dan kompetensi akademis yang layak diperhitungkan.
Dari hadits ini, kaum syiah imamiyah memandang bahwa para imam
memiliki nilai kesucian yang dianggap ma’shum. Kema’shuman ini lah yang
menjadi alasan utama yang dijadikan landasan keimanan dan kesetiaan pada
imam.4 Bahkan dalam kitab Aqaid al-Imamiyah, dijelaskan status
kedudukan imamah sebagai pondasi yang lurus dengan kenabian. Hal ini
3
Bukhari, Shahih Bukhari, jilid 8, hlm, 127.
4
Muhammad Baqir al-Majilisi, Biharul al-Anwar, Juz 25, Beirut, hal. 191
dimaksudkan sebagai legistimasi yang historis dalam menunjukkan nilai
falsafah konstruksionism. Mengingat para imam memiliki Riwayat silsilah
yang jelas.
Hal utama yang menjadi dasar imamah selain kema’shuman adalah masalah
Mahdiyyah dan Raj’ah. Keduanya sama-sama saling melengkapi karena
imam al-Mahdi akan hadir memimpin barisan berbagai kelompok nabi-nabi
dan Rasul terdahulu.
Isu Mahdiisme dalam syiah menjadi tema yang memang tak lekang dalam
ruang waktu yang banyak menimbulkan berbagai pandangan tertentu karena
imamiyah mengambil sikap yang keras dalam perkara imamah terutama
dalam mengaitkan masalah keadilan Ilahi. Dalam memetakannya, keadilan
Ilahi dan mahdiisme saling terkait karena sesuai dalam Riwayat hadits,
Allah SWT tidak akan salah dalam menentukan kriteria kepemimpinan
kaum muslimin. Oleh karena itu, unsur keadilan Ilahi meliputi dalam
perkara; Takdir Qadha dan Qadar, Sahabat, hari akhir, dan kenabian, serta
kaidah ushuliyah.
5
Thusi, Nashiruddin, Ar-Rasa’il Al-A’syr. hlm, 96.
Namun, sebagai makhluk social, umat manusia membutuhkan validasi atas
kepemimpinan baik dalam urusan spiritual maupun kebutuhan duniawi.
Menurut Ja’far Subhani, di dalam menegakkan keadilan pada umat islam,
ada dua ide pokok; pertama, apabila didalam suatu pekerjaan, target yang
harus di capai demi mencapai kesempurnaan akan bergantung pada
sistematika dari tugas khusus yang memberikan gambaran rincian, maka
tugas khusus tersebut telah ada dalam rancangan dasar-Nya. Kedua, suatu
rancangan dasar tidak akan memberikan sebuah tugas pada masing-masing
bagian selama hal itu tidak dirasa rasional dan diluar kemampuan manusia
itu sendiri.6
Selain mampu memiliki nilai kepemimpinan dan silsilah nasab yang jelas,
kaum syiah imamiyah mempercayai bahwasanya seorang imam merupakan
sosok yang telah menguasai ilmu Ladunni. Karena beberapa tafsir dan
takwil para imam al-maksum dinilai memiliki beberapa ide-ide kebatinan
rahasia dari Allah SWT yang ingin disampaikan kepada umat melalui qaul
imam. Diperkuat dengan hadirnya beberapa dinasti-dinasti yang menjadikan
madzhab Syiah sebagai ajaran resmi membuat beberapa penafsiran yang
lebih tersistematis.
Oleh karena itu, agar dapat memeratakan spiritual dan system yang kuat,
maka dilahirkannya system Bernama Wilayatul al-Faqih. Bukan hanya
sekedar system yang menggabungkan demokrasi dan teokrasi, namun
sebagai wujud mempersiapkan jalan untuk menanti kedatangan sang imam
Al-Mahdillah as yang kelak memimpin kaum muslimin agar Kembali
menuju jalan akidah yang lurus. Dengan menunggu hadir nya sosok Imam
keduabelas, kaum syiah mulai menyebarkan ide-ide Lembaga profit maupun
non profit seperti komunitas pemuda maupun aksi solidaritas untuk
menjangkau kaum syiah yang berbeda negara hingga Benua, semua karena
memiliki tujuan dan akidah yang sama, yaitu menjadikan hujjah Al-Mahdi
sebagai dasar keimanan dalam syariat islam dan menunaikan keadilan Ilahi
yang relevan dalam permasalahan di era Kontemporer saat ini.
6
Subhani, Muhadharat fi Al-Ilahiyyat, hlm. 160.
SYIAH ISMAILIYAH
Dalam hal ini, mayoritas Kaum Waqifi sepakat dan mempercayai silsilah
keimamahan utama mereka sebagai berikut8 :
7
Daftary, Farhad (1995). The Ismailis: Their History and Doctrines. Cambridge
University Press.
8
Kathryn, Babayan (2002): Mystics, Monarchs, and Messiahs: Cultural Landscapes of
early Modern Iran. Cambridge University Press.
2. Imam Hassan bin Ali as
3. Imam Hussain bin Ali as
4. Imam Ali Zainal Abidin bin Hussain as
5. Imam Muhammad Al-Baqir bin Ali as
6. Imam Ja’far Ash-Shaddiq bin Muhammad as
7. Imam Ismail bin Ja’far as
Pergerakan Wafi berpusat pada kota Salamiyah. Di kota ini kaum ismaili
mulai mendirikan majelis dan beberapa pusat komunitas Jemaah. Dalam
dakwah kemudian mereka membentuk system Dai-Dai yang bertugas
menjadi missionaris ke seluruh wilayah.
Konflik suksesi mulai terjadi di masa Musta’li dengan pengikut Nizar, sang
kakak sehingga terjadi perpecahan diantara para dai. Alhasil kedua sisi
mengambil posisi saling bersitegang dan bahkan dikalangan Mus’tali
Kembali terpecah antara Tayyibi dengan Hafizi. Keduanya berbeda dalam
urutan imam setelahnya.
Sedangkan Nizari berlanjut pada imamah Nizar yang wafat dan dilanjutkan
oleh sang putra dengan diselundupkan ke benteng alamaut. Hal ini
kemudian komunitas Nizari berubah menjadi nama Hashashin yang
dipimpin oleh dai Hassan I Sabbah. Sebuah kelompok yang akan meneror
Kerajaan islam dengan akidah kalam yang mereka percaya bahwasanya
umat muslim telah mengalami bidaah secara bear-besaran dan wajib
dimurnikan.
Karena hal itu, mereka mulai membentuk keimamahan baru yang secara
urutan sebagai berikut :
27. Rukn al-Din Hasan Khurshah bin Ala al-Din Muhammad 1255–1256
36. Murad Mirza , 1509–1574, dieksekusi pada 1574 oleh Shah Tahmasp I
dari Iran .
45. Shah Khalil Allah III , di Kahak, kemudian sejak 1815 di Yazd , 1792–
1817, dibunuh pada 1817.
46. Hasan Ali Shah Aga Khan I atau Shah Hasan Ali (hidup 1804–1881;
memerintah 1817–1881)
47. Aqa Ali Shah Aga Khan II atau Shah Ali Shah (hidup 1830–1885;
memerintah 1881–1885)
48. Sultan Muhammad Shah Aga Khan III (hidup 1877–1957; memerintah
1885–1957)
49. Shah Karim al-Husayni Aga Khan IV (lahir 1936; memerintah sejak
1957)
Kaum Syiah Nizari saat ini menjadi komunitas Syiah Ismaili terbesar dan
mayoritas dalam rumpun keluarga ismaili. Lalu ada kelompok Dawoodi
Bohra dan turunan sub sekte bohra lainnnya dan bahkan seringkali bersaing
dengan komunitas syiah Itsyna-Asyariyah.
KESIMPULAN.
Makarem, Sami n., ed. (1977). The Political Doctrine of the Ismailis: The
Imamate. An edition and translation with introduction and notes of Abu’l
Fawaris Ahmad ibn Ya’Qubs ‘ar-Risala fi I-Imama’. New York: Caravan
Books.
Sayyid Morteza Askari, Welayat-e-Ali in the Holy Quran and the Sunnah of
the Prophet. Munir Cultural Publishing Center.
Ayoub, Mahmoud (1984). The Qur'an and Its Interpreters, Volume 1. SUNY
Press.