Anda di halaman 1dari 3

Judul : wastu citra, pengantar ke ilmu budaya bentuk arsitektur, sendi-sendifilsafatnya,

beserta contoh-contoh praktis.

Pengarang : Dipl. lng. Y. B. Mangunwijaya

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit : 1988

Jumlah halaman : 469 halaman

BAHASA UNGKAPAN

Yang saya dapatkan dari bab kedua buku wastu citra ini dari semua karya arsitektur kita dapat
membangun suatu bangunan yang dalam arti memiliki konteks ruang serta dapat berdiri dan dipakai.
Ruang yang ekspresif meliputi penghayatan arsitektural, penghayatan ruang, beserta pembatas dan
pelengkap ruang-ruang, yakni gatra-gatra atau volume-volume, secara manusia berbudaya. Bila kita
berarsitektur, artinya berbahasa dengan ruang dan gatra, dengan garis dan bidang, dengan bahan
material dan suasana tempat, sudah sewajarnyalah kita berarsitektur secara budayawan; dengan
Nurani dan tanggung jawab penggunaan Bahasa arsitektural yang baik.

Hal lainnya adalah sebuah tubuh manusia. Tubuh manusialah yang menghubungkan yang serba
dalam batin dengan alam semesta yang berada diluar dari diri kita, khususnya yang berciri materi.
Sehingga apabila fungsi-fungsi fisik dan biologic manusia Bersatu alam dan Bersatu hukum dengan
dunia semesta fisik di sekelilingnya, bahkan dengan seluruh dunia materi angkasa raya juga, maka
dengan begini manusia melihat, mendengar, berpikir, bercitrarasa secara manusiawi dan semakin
manusiawi.

Apakah arti itu semua bagi karya arsitektur? Dalam segenap karya pembangunan, kita dapat
membangun asal saja bangunan tersebut dapat berdiri dan dapat dipakai. Tetapi binatang sekaipun
tidak seperti hal yang kita ketahui tersebut. Seperti contoh binatang ataupun hewan seperti kupu-
kupu, tanduk rusa raja, bulu-bulu cendrawasih, sisik ikan, bahkan sikap perangai dan ulah kelakuan
lumba-lumba atau anjing pun tidak cuma berbiologi belaka, menjalankan kelangsungan diri dan
mempertahankan diri fisik belaka. Ada unsur-unsur yang lebih dari asal berguna.

Arsitektur yang baik tidak harus dengan biaya yang mahal ataupun mngikuti mode mutakhir, gaya
yang sedang laku, dan sebagainya. Dapat juga diselaraskan bahwa dalam arsitektur, sesuatu yang
indah adalah suatu kegembiraan yang tidak dilihat, namun dapat dirasakan sesuka hati. Sesuatu yang
indah adalah kegembiraan tanpa batas ataupun tanpa henti dalam rancangan suatu bangunann yang
indah. Maka salah satu hal yang sangat terampil dan indah dapat mencerminkan suatu warna yang
ada tanpa suatu batasan serta melampau suatu pemikiran dan juga ekspektasi.

Dalam penggunaaan Bahasa ungkapan membuat kita sadar bahwa dalam lingkungan sekitar juga
dapat mempengaruhi kita dalam memikiran suatu bahasan pokok arsitektur seperti bangunan
tradisional, daerah berpasir, lingkungan hijau, dan lain sebagainnya.
GUNA DAN CITRA

Buku wastu citra merupakan buku yang dibuat oleh Y. B. Mangunwijaya, seorang rohaniwan
budayawan arsitek , dan penulis berkebangsaan Indonesia. Buku ini memberikan pengetahuan
berupa aspek kebudayaan dan filosofis untuk desain aritektural. Yang ingin saya ringkas dari buku
ini adalah pada bagian bab III yaitu guna dan citra.

Seperti benda lainnya yang sering kita pakai sehari-hari, bahkan rumah bisa juga menjadi “citra”
pemiliknya. Kita dapat mengambil kesimpulan mengenai sikap/watak ataupun kaya/miskinnya
seseorang dari caranya berpakaian. Hal tersebut juga bisa disimpulkan dari rumah yang dimilikinya.
Maka dalam membangun bangunan lain, masalah yang perlu kita perhatikan adalah lingkup masalah
“guna” dan lingkup masalah “citra”. Jangankan rumah, bahkan tiap bagian dari sebuah lumbung padi
juga memiliki “guna” (fungsi) dan “citar” (kesan) tersendiri, atapnya (karena disini yang menjadi
contoh adalah lumbung padi dari minang) yang memiliki kemiringan terjal untuk membuat air hujan
cepat mengalir kebawah mencegah air masuk ke lumbung, juga memiliki kesanselaras dengan alam
sekitar yang bergunung-gunung. Bentuk tiang-tiangnya yang melebarke atas selain berfungsi untuk
meningkatkan kekakuan (stiffness) sambungan tiang (dengan balok-balok horizontal) terhadap
kekuatan angin dari sampingdan beban juga memiliki pencitraan mengenai manusia minang yang
tidak berbudi rendah (melainkan bagaikan asap gunungberapi atau pepohonan semakin melebar ke
atas)dan berdiri diatas menguasai alam tapi juga selaras dengan lingkungan sekitar. Bisa dilihat
bahwa lumbung padi itu bukanlah hanya sekedar alat atau budak belaka, tapi sebuah bangunan kecil
yang dibuat se-elegan mungkinuntuk mencerminkan jiwa manusia minang.

Dari ringkasan tersebut, bisa diambil kata “guna” tidak hanya berarti bermanfaat ataupun untung
materiil belaka, namun memiliki “daya” untuk meningkatkan kualitas hidup kita dari berbagai aspek.
Contohnya pada sebuah rumah bagian dalamnya tetap sejuk walaupun di luar yang panas, sehingga
berguna untuk meningkatkan gairah (mood) untuk bekerja, bergaul, dan sebagainya. Begitu juga di
malam hari, dimana udara diluar terasa dingin, di dalam rumah tetap terasa hangat sehingga nyaman
untuk kita tidur. Begitu juga pada bagian dapurnya apabila efisien kegunaanya, maka makanan akan
terasa lebih lezat karena kerja di dalam dapurnya lebih menyenangkan.

Semua hal tersebut berkaitan erat dengan citra rumah tersebut. Citra sebetulnya hanyalah gambaran
atau suatu kesan ataupun arti yang ditangkap oleh orang tersebut. Contohnya citra dari Gedung istana
yang besar merupakan citra kewibawaan dari kepala negaranya ataupun dari gubug sederhana yang
menggambarkan kesederhanaan pemilik gubug tersebut. Citra tidak jauh berbeda dari guna namun
citra lebing mengarah ke pandangan spiritual, lebih menyangkut derajat dan martabat si pemilik.
Citra lebih merujuk pada tingkat kebudayaan, sedangkan guna lebih mengarah ke segi keterampilan
atau kemampuan. Seperti sebuah mobil yang memiliki fungsi sama seperti kuda tapi dengan
kecepatan dan jarak tempuh yang berlipat ganda, sebuah rumah juga bisa menjadi alat untuk
meningkatkan kualitas hidup pemilik dari berbagai aspek, misalnya prestasi, produksi, dll. Tapi
semua itu belum menunjukan sesuatu yang paling menjadi ciri kemanusiawian manusia yang tinggal
di dalam rumah tersebut, yaitu segi kebudayaan dan segi spiritualnya. Rumah tidak hanya menjadi
alat penggandaan produksi, tetapi juga menjadi citra cahaya pantulan jiwa dan cita-cita kita. Dua hal
itu merupakan simbol yang membahasakan segala hal yang manusiawi, indah, dan agung dari
pemilik rumah tersebut. Sebuah rumah bisa menonjolkan sisi kemegahan, kesederhanaan, ataupun
keteguhan pembangunannya. Dan Kembali lagi ke pernyataan awal; tidak hanya rumah, semua, dan
juga demikian.

Salah satu hal yang saya tangkap dari bab ini adalah bahwa baik dari penilaian segi guna maupun
segi citra bisa bersifat objektif dan subjektif. Awalnya saya hanya berpikir bahwa penilaian segi guna
selalu bersifat objektif, sedangkan penilaian citra selalu bersifat subjektif. Suatu bagian bangunan
memiliki fungsi yang sudah ditentukan sesuai standar ataupun hasil menyontek dari studi preseden
bangunan lain.

Suatu bangunan juga boleh memiliki fungsi untuk misalkan mempererat rasa persatuan masyarakat
sekitarnya. Apabila suatu bangunan juga memiliki fungsi mendukung kebudayaan di daerahnya, itu
akan menjadi nilai plus yang besar. Kita juga tahu bahwa tiap bangunan mengeluarkan kesan-
kesannya sendiri, karena adanya susunan bentuk dan material yang digunakan, sehingga
memancarkan suatu ekspresi. Kesan suatu bangunann yang dikeluarkan hendaknya mengeluarkan
kesan yang bermakna filosofis dan sejajar dengan adat istiadat sekitar disetiap susunan bentuk,
komponen, dan bahan material yang digunakan dalam suatu bangunan. selain kesan yang bermakna
filosofis, suatu bangunan rancangan hendaknya juga serasi dengan lingkungan sekitar, terutama
dengan alam sekitar. Karena, apabila kesan yang dikeluarkan suatu bangunan berbeda jauh dengan
suasana alam disekitarnya, maka pengguna yang berada disekitar dan didalam bangunan tersebut
akan berkesan bahwa bangunan ini terasa asing dan mencurigakan untuk berdiri di wilayah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai