Anda di halaman 1dari 20

PERANAN BRAND TRUST DAN BRAND LOVE

DALAM MEMBANGUN BRAND EVANGELISM PADA


MC DONALDS DENGAN VALUE CONGRUITY
SEBAGAI VARIABEL MEDIASI

Oleh:
TITA NURHAYATI
NPM 12042020007

PROPOSAL TESIS

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian


Guna Memperoleh Gelar Magister Sains Manajemen
Program Pendidikan Magister Program Studi Ilmu Manajemen
Konsentrasi Manajemen Pemasaran

UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
TAHUN 2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan berupa

keragaman budaya yang secara otomatis berpengaruh terhadap keberagaman

kuliner di nusantara. Literatur kuliner Indonesia dari masa ke masa menunjukkan

perkembangannya, baik sejak masa kolonial, setelah kemerdekaan, hingga masa

kontemporer. Hal ini menjadi dasar hubungan antara budaya dan makanan yang

terus menghasilkan cita rasa serta keberagaman yang dapat kita nikmati hingga

saat ini (Rahman, 2019).

Meskipun demikian, keberagaman jenis kuliner yang ada di Indonesia tidak

lepas dari pengaruh budaya dan globalisasi kuliner yang berasal dari negara

lainnya, seperti Amerika, Tiongkok, India dan Eropa. Pengaruh-pengaruh tersebut

terjadi melalui beragam cara, diantaranya program kerja sama dan investasi

negara-negara luar dengan Indonesia. Hal ini ditandai dari maraknya ritel-ritel

maupun perusahaan multinasional yang bergerak dibidang kuliner dan fastfood

serta memperkenalkan kuliner yang mengarah ke pola Western Food, kemudian

cita rasanya disesuaikan dengan cita rasa nasional Indonesia. Berikut daftar ritel

fastfood yang berkembang pesat di Indonesia :


Tabel 1.1
10 restoran fast food popular di Indonesia
JUMLAH
TAHUN
N NEGARA GERAI DI
NAMA BERDIRI DI
O ASAL INDONESIA
INDONESIA
(2022)
1 Kentucky Fried Chicken Amerika 1979 727
2 Hoka-Hoka Bento Jepang 1985 170
3 Dunkin’ Donuts Amerika 1985 200
4 McDonald’s Amerika 1991 227
5 Starbucks Amerika 2002 362
6 Pizza Hut Amerika 1987 200
7 J.CO Indonesia 2005 262
8 A&W Amerika 1985 230
9 Burger King Amerika 1986 147
10 Recheese Indonesia 2011 162
Sumber : Detik Finance (2022), CNBC (2023), LPM Opini Online, 2021; Tribun
Travel, 2021

Dengan melihat restoran-restoran fastfood yang tertera pada tabel 1.1, maka

dapat dibayangkan bahwa persaingan antar restoran fastfood tersebut berpotensi

terjadi sangat ketat, sehingga masing-masing brand harus mampu

mempertahankan citra dan kedudukannya dimata konsumen. Perubahan dinamis

yang sangat cepat pada perilaku konsumen, mendorong unit bisnis kuliner

berlomba-lomba untuk bisa lebih dari sekedar dikenali oleh konsumen. Berbagai

cara dilakukan agar mereknya diingat dan diminati dalam jangka waktu yang tak

terbatas. Perubahan lingkungan yang dipicu oleh kekuatan internal maupun

eksternal perusahaan, memaksa para pengusaha untuk menjalankan bisnisnya

dengan tidak hanya terfokus pada peningkatan profit, namun ada faktor lain selain

profit yang justru dapat menjadi modal kuat bagi perusahaan untuk bisa terus

survive di tengah persaingan bisnis tersebut (Li-Chun Hsu; 2018). Perkembangan

yang terjadi kemudian turut memberikan berbagai tantangan baru bagi para
pemasar, mulai dari semakin kompetitifnya persaingan dalam mendapatkan

konsumen baru hingga menjaga kesetiaan pelanggan lama.

Dalam kaitannya dengan aspek bisnis, sebuah perusahaan memiliki prioritas

utama untuk membentuk sikap konsumen yang setia atau loyal terhadap merek.

Hal tersebut disebabkan karena sikap loyalitas merek merupakan alat dalam

mewujudkan keunggulan bersaing yang berkelanjutan (Latif, Islam, dan Noor,

2014). Aturan tradisional marketing telah berubah. Perkembangan teknologi

menjadi seperti mata pisau bagi pihak perusahaan, di satu sisi arus informasi dapat

bergerak menjangkau cakupan pasar yang lebih luas dan cepat, namun di sisi lain

tingkat kompleksitas informasi yang diterima konsumen juga menjadi tidak

terbatas, sehingga perusahaan harus memikirkan cara yang sangat efektif untuk

bisa menyentuh indera publik dan mendapatkan perhatian.

Saat ini dengan menggunakan iklan massal, perusahaan akan mengeluarkan

cost yang relatif besar namun tingkat respon yang terjadi cenderung lebih rendah

(Anggarini, 2018). Sebagai penyeimbang, Word of Mouth dipandang 10 kali lebih

kuat dan efektif dalam menghasilkan respon positif publik untuk produk

disamping dengan pemanfaatan internet sebagai teknologi yang mendasari lini

kehidupan saat ini. Terutama dengan menculnya Pandemic Covid-19 yang

mencapai puncaknya di Indonesia pada tahun 2020, dimana dunia dipercepat dan

dipaksa untuk masuk pada era revolusi industri 4.0 serta nyaris seluruh aspek

kehidupan digiring untuk menggunakan digital. Sehingga hal ini dapat

dimanifestasikan sebagai kemungkinan penting bagi pemasar untuk memperkuat


hubungan konsumen-merek dengan segmen-segmen yang berpengaruh tersebut

(Casalo et al., 2018).

Kesuksesan sebuah merek sering kali dinilai dari popularitas yang

didapatkan. Semakin popular sebuah merek maka semakin terbuka lebar peluang

yang didapatkan perusahaan guna memperoleh keuntungan jangka panjang.

Merek atau brand merupakan asset penting bagi perusahaan. Brand adalah

jembatan yang dapat menghubungkan segala sesuatu yang berkaitan dengan

produk dan konsumen. Pentingnya brand bahkan mampu menjadi penentu

terbentuknya hubungan emosional antara konsumen dan produk (Riorini, 2018).

Merek yang telah menjadi brand akan menjadi kuat, unik, menyenangkan, juga

mampu menciptakan kepercayaan konsumen serta dapat mengurangi level

ketidakpastian maupun resiko, sehingga akan memberi keuntungan jangka

panjang untuk perusahaan (Riorini & Widayati, 2015; Crosby, Evans & Cowles,

1990; Chauduri & Holbrook, 2001; Keller, 2012).

Branding menjadi strategi jangka panjang yang mencakup serangkaian

aktivitas mulai dari inovasi produk hingga komunikasi pemasaran (Mamesah,

Tumbuan, & Tielung, 2020). Dalam proses branding, interaksi antara konsumen

atau pelanggan juga sangat penting untuk membangun kepercayaan agar

konsumen kembali menggunakan produk atau jasa, bahkan lebih dari itu

konsumen harus dibentuk menjadi fanatik terhadap merek tersebut. Membangun

perilaku konsumen yang secara sukarela melakukan apapun untuk merek yang

disukainya. Memberikan pujian dan/atau memberikan pembelaan pada sebuah

merek diistilahkan dengan Brand Evangelism (Pornsrimate & Khamwon, 2021).


Riorini dan Widayati (2016) memaparkan bahwa Brand Evangelism adalah

bentuk pengembangan dari Word Of Mouth di mana perusahaan didukung oleh

konsumen yang sangat percaya pada produk, dan mereka mencoba meyakinkan

orang lain untuk membeli dan menggunakan produk atau layanan yang sama.

Ketika Brand Evangelism bertindak secara independen, konsumen (Evangelist)

menjadi sesuatu yang paling berpengaruh untuk memberikan “kabar positif” dan

menjadi rujukan, baik bagi calon konsumen baru atau konsumen lama agar terus

menggunakan produk atau layanan bahkan menjadi Evangelist berikutnya. Brand

evangelist adalah satu dari banyak faktor penting yang bisa membuat

sebuah brand bisa lebih dikenal dan memiliki citra yang positif (Nurdianasari,

2017).

Perbedaan yang mendasar dari Word of Mouth dengan Brand Evangelism

adalah bahwa seorang Evangelist tidak hanya sebatas menyebarkan “kabar

positif” namun seorang Evangelist bisa menjadi seorang yang berbahaya bagi

pesaing, karena konsumen yang telah menjadi Evangelist akan menjadi pembela

yang kuat bagi brand yang dia pilih, dan tentu saja tidak akan ragu untuk

menyebarkan hal-hal negatif mengenai brand pesaing (Riivits-Arkonsuo et al.,

2015). Sehingga sangat jelas perusahaan harus mampu membentuk Evangelist

tersebut sebagai benteng yang kuat bagi brandnya.

Brand Evangelist berbeda dengan loyalitas dimana keterlibatan konsumen

dalam loyalitasnya terhadap brand hanya sekedar mengulang pembelian, namun

pada saat seseorang menjadi seorang Evangelist maka konsumen tersebut

memiliki hubungan emosional dengan suatu brand dan rela melakukan apa pun
untuknya, seperti berdedikasi mengajak orang lain ikut menggunakan brand yang

sama, bahkan memprovokasi konsumen lain untuk meninggalkan brand

kompetitor dan berpindah pada brand yang dia rekomendasikan (Lee and Hsieh,

2016). Maka dalam hal ini perusahaan akan memiliki keuntungan apabila

membentuk Brand Evangelism karena semakin banyak konsumennya yang

menjadi Evangelist, maka sustainability perusahaan akan terjamin, selain itu

Brand Evangelism juga akan berdampak terhadap minimasi cost karena para

Evangelist akan mempromosikan produk secara sukarela tanpa menuntut apapun.

Hubungan emosional yang mendalam seperti Brand Evangelism terhadap

sebuah merek akan terjadi ketika mereka memiliki keterikatan dengan merek

(Becerra & Badrinarayanan, 2013). Sementara keterikatan dengan merek terjadi

ketika konsumen memiliki kepercayaan (trust) terhadap brand yang dicapai

setelah konsumen melakukan identifikasi terhadap merek yang diyakini mampu

memenuhi harapannya serta mampu merepresentasikan karakter konsumen.

Brand Trust berarti ketergantungan pada suatu merek, berdasarkan pada

keyakinan tertentu meskipun terdapat risiko atau ketidakpastian terkait merek

tersebut (Pugara, 2017). Memiliki rasa percaya terhadap merek senantiasa

membentuk prinsip bahwa sebuah merek akan selalu memberikan yang terbaik

serta memenuhi harapan-harapan yang tidak ditawarkan dari merek lain.

Suatu unit bisnis perlu memastikan agar konsumen memiliki keyakinan

bahwa merek dari perusahaan tersebut merupakan satu-satunya yang akan mampu

mewujudkan harapannya terhadap apa yang ditawarkan. Konsumen perlu

memiliki kepercayaan dan keyakinan bahwa merek tersebut mampu memenuhi


nilai yang dijanjikan, serta mampu mengutamakan kepentingan konsumen

tersebut. Becerra dan Badrinarayanan (2013) mengemukakan bahwa Brand Trust

dapat dikembangkan untuk membangun Brand Evangelist. Perusahaan dapat

dipercaya oleh konsumen apabila perusahaan dapat memberikan rasa aman,

tanggung jawab dan bukti bahwa perusahaan dapat diandalkan. Kepercayaan juga

menjadi tolak ukur kualitas, sekaligus integritas suatu merek. Dengan demikian,

Brand Trust memiliki peran penting dalam membentuk suatu jalinan hubungan

jangka panjang (Kang, Kwun & Hahm, 2020).

Selain Brand Trust, hal lain yang menarik untuk dilihat sebagai bagian dari

perjalanan terbentuknya Brand Evangelism yaitu Brand Love. Penelitian

menunjukkan Brand Love memiliki dampak positif pada tersampaikannya hal-hal

baik mengenai suatu produk (Agrawal dan Rahman, 2019; Harrigan dan Roy,

2020, Wajid et al., 2019). Kehandalan sebuah merek ditunjukkan dari seberapa

besar keterlibatan pelanggan terhadap merek tersebut yang cenderung akan

memperkuat persepsi konsumen terhadap merek sehingga memunculkan timbal

balik yang mengarah pada perilaku Evangelism (Junaid et al., 2020). Pelanggan

yang mendukung suatu merek akan bersedia menjadi advokat untuk merek

tersebut serta akan mendiskreditkan merek pesaing.

Perasaan cinta mendorong persepsi yang bias terhadap merek, yang bahkan

akan membuat konsumen mentoleransi berbagai kesalahan yang mungkin

dilakukan oleh merek tersebut (Burnasheva, Suh & Moron, 2018). Keterikatan

antara merek dan konsumen sebagai bagian dari Brand Love, merupakan

anteseden untuk advokasi serta merupakan perilaku Brand Evangelism (Sweeney


et al.,2020). Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut maka Brand Love yang

terbentuk dalam diri konsumen menjadi potensi yang sangat besar untuk

mendorong perilaku Brand Evangelism.

Faktanya, konsumen memiliki kepercayaan terhadap suatu Brand (Brand

Trust), kemudian berkembang menjadi mencintai Brand tersebut (Brand Love)

sehingga membentuk keterikatan dan semakin menguat serta berubah menjadi

Brand Evangelism, ditentukan oleh suatu proses identifikasi. Konsumen akan

melihat sejauh mana Brand yang dipilih dapat merepresentasikan karakteristik

dirinya, memenuhi harapannya, menggambarkan status sosialnya, dan “worth it”

untuk kemudian dipilih serta dijadikan kebanggaan yang juga akan disebarluaskan

kepada pihak lain. Posisi tersebut menunjukkan adanya kesesuaian nilai (Value

Congruity) antara merek dengan konsumen.

Value Congruity merupakan salah satu alasan munculnya keputusan seorang

konsumen untuk Trust, Love dan Evangelist terhadap suatu Brand. Seperti temuan

penelitian Balıkçıoğlu dan Oflazoğlu (2015) yang menemukan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan dan positif antara Brand Evangelism, dan Self Brand

Congruity. Juga penelitian Hsu (2018) dengan hasil bahwa Value Congruity dapat

mempengaruhi terbentuknya Brand Evangelism, sementara Evangelism terjadi

atas adanya relationship yang kuat, juga deklarasi konsumen sebagai pecinta

Brand yang sangat fanatik. Knoll (2016), Phua and Kim (2018) dalam temuan

penelitiannya menjelaskan bahwa seorang konsumen yang mempertimbangkan

detail merek berpotensi memunculkan komitmen untuk terus menerus memilih

merek tersebut dapat menyebabkan kecocokan psikologis yang relatif tinggi.


Selain dengan merek, identifikasi juga dilakukan konsumen dengan

didasarkan pada pertimbangan dari informasi yang tersebar mengenai merek

tersebut. Lingkungan, orang-orang terdekat yang memiliki sudut pandang yang

sama akan menjadi salah satu pertimbangan konsumen untuk melakukan

identifikasi. Maka dari itu Value Congruity menjadi jembatan terjadinya Brand

Evangelist seseorang, dengan cara aktif dan tegas menyebarkan ide-ide positif dan

meyakinkan orang lain untuk mengembangkan interaksi dengan merek yang sama

(Yang, Isa, Wu, Ramayah & Jermsittiparsert, 2020). Hal ini terjadi karena

konsumen yang menjadi Evangelist merasa perlu berbagi hasrat dan emosi mereka

tentang merek dengan orang lain (Rather, Najar & Jaziri (2020). Hal ini diartikan

bahwa selain pengidentifikasian merek dengan karakteristik pribadi konsumen,

Value Congruity juga dapat terjadi antara konsumen dengan lingkungan maupun

komunitasnya, sehingga satu sama lain berkembang menjadi Evangelist untuk

konsumen lain.

Gencarnya aktivitas branding guna membangun Brand Trust, Brand Love

serta diharapkan dapat berkembang menjadi Brand Evangelism yang dinilai

penting untuk dilakukan perusahaan, juga dirasakan oleh salah satu restoran

fastfood terkenal di Indonesia serta menduduki posisi sebagai Second Top Brand

dalam Top Brand Award 2023 yaitu McDonalds (Top Brand Award, 2023). Pada

tanggal 9 Juni 2021 McDonalds melakukan lounching special edition product

yaitu BTS Meal di 50 negara di Dunia, yang dinilai berhasil menarik perhatian

dunia marketing, terutama melalui strateginya yang melakukan kolaborasi dengan

salah satu Boy Band terkenal asal Korea Selatan yaitu Beyond The Scene (BTS),
dimana diketahui BTS memiliki jutaan fans fanatik hampir di seluruh dunia.

Secara otomatis dengan diluncurkannya produk BTS Meal tersebut menggugah

antusiasme para fans BTS sehingga pembelian produk BTS Meal tersebut dinilai

cukup berhasil mendongkrak penjualan McDonalds. McDonalds juga menjadi

pembicaraan banyak pihak hampir di seluruh dunia tanpa terkecuali di Indonesia.

Dalam proses distribusinya, McDonald’s memanfaatkan strategi

Tormenting the Customer dengan membatasi availability BTS Meal tersebut

dengan hanya membuka 3 channels order yaitu drive-thru, order delivery, dan

online delivery. Event ini juga melibatkan para pengemudi online khususnya ojek

online. Namun selain dampak positif yang diperoleh McDonald’s, perusahaan ini

juga mengalami dampak negatif. Diinformasikan dalam sejumlah berita bahwa 32

outlet McDonalds ditutup di sejumlah kota, serta dikenakannya denda sebagai

sanksi pada pihak McDonald’s karena dinilai melanggar prokes dengan

menyebabkan kerumunan (Sindonews.com, 10 Juni 2021). Namun dengan

dampak negatif itu pula menjadikan McDonalds dikenal publik karena menjadi

pembicaraan di dunia, sehingga mengangkat nama McDonalds.

Tujuan akhir McDonalds merilis menu BTS Meal bukanlah untuk

mendongkrak penjualan produk melainkan menciptakan ikatan atau bonding

brand yang lebih erat dengan konsumennya. Hal ini dilakukan McDonalds

sebagai Brand Building perusahaan dimasa pandemi yang mendorong banyaknya

pilihan produk maupun kemudahan oleh teknologi digital, sehingga konsumen

sangat mudah dialihkan kepada brand pesaing. Sedangkan bonding adalah

keadaan terikat yang terbentuk oleh emosi, sebagai strategi McDonalds untuk
membangun relationship dengan konsumen agar tidak beralih ke brand pesaing

(Sindonews.com, 10 Juni 2021)

Sebelumnya McDonalds pernah meluncurkan varian baru dengan

melakukan kolaborasi dengan rapper Amerika yaitu Travis Scott yang dilakukan

pada bulan September 2020, namun pada saat bersamaan justru McDonalsd

mendapatkan penjualan global terburuk dalam 15 tahun (CNN Philiphine, 15 Juni

2021). Disisi lain saat McDonald memutuskan berkolaborasi dengan BTS, hal ini

dapat menghasilkan hal baik terhadap brand McDonalds sendiri sehingga

“kembali dilihat” dunia.

Meskipun demikian, keberhasilan McDonalds dalam brand building ini

dinilai masih belum maksimal apabila dibandingkan dengan pesaingnya yaitu

Kentucky Fried Chicken (KFC). Disatu sisi McDonalds terlihat gencar melakukan

berbagai aktivitas promosi dan branding dalam kurun waktu 3 tahun terakhir,

sementara KFC tidak terlihat melakukan aktivitas tersebut, namun berhasil

menduduki posisi Top Brand selama 7 tahun berturut-turut, sementara McDonalds

berada pada posisi kedua. Adapun penilaian Top Brand Award ini didasarkan

pada 3 parameter yaitu Top of Mind Share, Top of Market Share dan Top of

Commitment Share. Berikut posisi 5 urutan teratas Top Brand Award kategori

restoran fastfood 7 tahun terakhir:


Tabel 1.2
Top Brand Restoran Fastfood Indonesia dalam 7 Tahun Terakhir

RESTORAN FASTFOOD
BRAND TBI 2017 BRAND TBI 2018 BRAND TBI 2019 BRAND TBI 2020 BRAND TBI 2021 BRAND TBI 2022 BRAND TBI 2023
KFC 60.40% KFC 42.70% KFC 26.20% KFC 26.40% KFC 27.20% KFC 27.20% KFC 27.20%
MC MC MC MC MC MC MC
19.00% 24.30% 22.40% 22.80% 26.00% 26.20% 25.40%
Donald’s Donald’s Donald’s Donald’s Donald’s Donald’s Donald’s
Hoka- Hoka- Hoka- Hoka- Hoka-
Hoka 3.70% A&W 6.30% A&W 5.40% Hoka 6.50% Hoka 8.50% Hoka 9.40% Hoka 8.50%
Bento Bento Bento Bento Bento
Hoka- Hoka-
A&W 2.90% Hoka 5.80% Hoka 5.40% A&W 5.90% A&W 7.90% A&W 7.60% A&W 8.20%
Bento Bento
Richeese Richeese Richeese Richeese Richeese Richeese
CFC 2.70% 2.70% 4.30% 4.90% 5.90% 4.70% 3.70%
Factory Factory Factory Factory Factory Factory

Sumber : Top Brand Award 2017 sampai dengan 2021

Selain Top Brand Award yang menunjukkan indikasi akan perlunya

McDonalds meningkatkan Brand Evangelism melalui Brand Love dan Brand

Trust, pentingnya hal tersebut juga terlihat melalui informasi yang diperoleh dari

hasil observasi. Outlet McDonalds memang tidak sepi pengunjung, namun dengan

posisi McDonalds yang berada pada posisi second Top Brand, maka pihak

McDonalds menilai bahwa ada indikasi McDonalds bukan menjadi pilihan

pertama di mata konsumen ketika mereka menginginkan fastfood. Hal ini juga

mengindikasikan jika konsumen belum meyakini bahwa McDonalds adalah brand

yang ada dalam prioritas mereka ketika melakukan pembelian fastfood. Selain itu,

McDonalds menyediakan banyak merchandise dan mengadakan banyak event,

dimana konsumen antusias pada saat event dilaksanakan, namun setelah event

berakhir maka antusiasme konsumen untuk membeli produk McDonalds kembali

biasa saja. Hal ini memunculkan dugaan bahwa Brand Love konsumen pada

McDonalds belum cukup terbentuk. Berdasarkan hasil tersebut, maka diduga


bahwa apa yang dilakukan oleh McDonalds dalam rangka brand building masih

perlu diupayakan suntuk membangun Brand Trust, dan Brand Love konsumen

sehingga dapat berkembang menjadi Brand Evangelist.

Hal-hal yang dipaparkan tersebut telah dijelaskan dan didukung oleh banyak

penelitian, diantaranya penelitian yang dilakukan Riorini dan Widayati (2015)

yang menjelaskan mengenai pengaruh dari Brand Relationship, Brand Trust,

Brand Identification, Brand Involvement, dan Brand Commitment terhadap Brand

Evangelism pada bank umum. Hasil yang didapat adalah seseorang dengan

relationship, trust, identification, involvement, dan commitment yang kuat untuk

suatu merek bank umum, akan semakin memiliki niat untuk menjadi nasabah

bank tersebut. Selanjutnya mereka akan mereferensikan bank pilihannya pada

pihak lain serta memberikan contradictory references untuk bank lain atau disebut

dengan Brand Evangelist. Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh Hsu

(2018) dengan temuan bahwa Value Congruity memiliki pengaruh pada

terbentuknya Brand Evangelism baik secara langsung maupun tidak langsung.

Hsu (2018) juga menemukan bahwa secara parsial, brand purchase intentions

memiliki pengaruh positif pada positive brand referrals yang lebih tinggi daripada

pada oppositional brand referrals. Adapun penelitian yang dilakukan Kang,

Kwun dan Hahm (2020) semakin mempertegas pentingnya Brand Evangelist yang

terbukti dapat menjadi strategi efektif untuk pemasaran, dengan cara kerjanya

yang membangun hubungan jangka panjang antara konsumen dengan merek serta

mampu membentuk kelompok tertentu dengan antusiasme yang sama terhadap

suatu merek.
Berdasarkan paparan latar belakang, maka penelitian ini bermaksud

menganalisa “Peranan Brand Trust dan Brand Love dalam membangun

Brand Evangelist pada McDonalds, dengan Value Congruity sebagai variabel

mediasi.”

1.2 Identifikasi Masalah

Saat ini Brand Evangelism menjadi trend yang diupayakan oleh para

pengusaha karena dipandang sebagai aktivitas perilaku konsumen yang dibangun

dari rasa puas, keyakinan yang mendalam, rasa memiliki, dan sebagainya.

Sehingga menjadikan konsumen tersebut bukan hanya sekedar pembeli yang

berkali-kali membeli produk karena kebutuhan, namun lebih dari itu, konsumen

tersebut menganggap bahwa produk tersebut adalah bagian dari dirinya dan tidak

bisa lepas. Selanjutnya ketergantungan tersebut menyebabkan konsumen ini

melakukan aktivitas pemasaran secara sukarela. Dalam konsep Evangelist,

kegiatan pemasaran yang pada awalnya menjadi tanggung jawab perusahaan,

dengan adanya seorang Evangelist maka aktivitas tersebut diwakilkan oleh

konsumen Evangelist tersebut. Sehingga hal ini dipandang penting dan

menguntungkan bagi sebuah unit bisnis.

McDonalds sebagai salah satu perusahaan senior dalam sektor fastfood di

Indonesia, sering kali melakukan aktivitas sebagai bentuk Brand Building serta

mengupayakan hal tersebut bisa bermuara pada Brand Evangelism. Namun

merujuk pada hasil Top Brand Award yang merupakan event bergengsi yang

memuat penilaian konsumen terhadap suatu brand dengan 3 parameter penting


yaitu Top of Mind Share, Top of Market Share dan Top of Commitment Share,

McDonalds masih berada pada posisi kedua setelah KFC dan berlangsung

selama 7 tahun berturut-turut.

1.3 Rumusan Masalah

Guna memperluas penelitian serta kembali melakukan pengujian untuk

membandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya maka dirumuskan masalah

di dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana Brand Trust, Brand Love, Value Congruity dan Brand

Evangelism konsumen pada McDonalds?

2. Apakah terdapat hubungan Brand Trust dengan Brand Love?

3. Apakah terdapat pengaruh Positif Brand Trust terhadap Value Congruity?

4. Apakah terdapat pengaruh Positif Brand Love terhadap Value Congruity?

5. Apakah terdapat pengaruh Positif Value Congruity terhadap Brand

Evangelism?

6. Apakah terdapat pengaruh Positif Brand Trust terhadap Brand Evamgelism?

7. Apakah terdapat pengaruh Positif Brand Love terhadap Brand Evangelism?

8. Apakah terdapat pengaruh Positif Brand Trust terhadap Brand Evangelism

dengan dimediasi oleh Value Congruity?

9. Apakah terdapat pengaruh Positif Brand Love terhadap Brand Evangelism

dengan dimediasi oleh Value Congruity?


1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum digunakan untuk menguji apakah Brand Trust

dan Brand Love dapat membentuk Brand Evangelist yang dimediasi oleh Value

Congruity. Berikut tujuan penelitian yang dirumuskan:

1. Untuk mengetahui Brand Trust, Brand Love, Value Congruity dan Brand

Evangelism konsumen pada McDonalds?

2. Untuk mengetahui hubungan Brand Trust dengan Brand Love?

3. Untuk mengetahui pengaruh Positif Brand Trust terhadap Value Congruity?

4. Untuk mengetahui pengaruh Positif Brand Love terhadap Value Congruity?

5. Untuk mengetahui pengaruh Positif Value Congruity terhadap Brand

Evangelism?

6. Untuk mengetahui pengaruh Positif Brand Trust terhadap Brand

Evamgelism?

7. Untuk mengetahui pengaruh Positif Brand Love terhadap Brand

Evangelism?

8. Untuk mengetahui pengaruh Positif Brand Trust terhadap Brand

Evangelism dengan dimediasi oleh Value Congruity?

9. Untuk mengetahui pengaruh Positif Brand Love terhadap Brand Evangelism

dengan dimediasi oleh Value Congruity?

1.2.1 Kegunaan Penelitian


Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat pada aspek teoritis dan aspek

praktis sebagai berikut:

1. Aspek Teoritis

Kontribusi teoritis pada penelitian ini menggunakan 4 variabel yang diamati

berdasarkan fakta dan secara teoritis telah dikonfirmasi dengan penelitian

sebelumnya, lalu keempat variabel yang diamati tersebut membentuk hubungan

kausalitas dan diharapkan mampu menjelaskan Brand Trust, Brand Love dalam

membentuk Brand Evangelist serta dimediasi oleh Value Congruity.

Selain itu dengan desain penelitian ini diharapkan menghasilkan penelitian

dasar yang memberikan peluang bagi penelitian yang akan datang (future

research), dengan mempertimbangkan Brand Trust dan Brand Love pada sektor

kuliner khususnya fast food dapat memberikan efek pada terjadinya Brand

Evangelism terhadap suatu brand, serta Value Congruity juga dipertimbangkan

sebagai faktor yang memediasi pengaruh tersebut.

2. Aspek Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi bidang keilmuan yaitu

menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang ilmu marketing dan branding,

dengan mengupayakan terwujudnya Brand Evangelism sebagai suatu konsep

keberlangsungan aktivitas pemasaran.

Selain itu diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi

manajemen perusahaan terkait dengan pentingnya Brand Trust, Brand Love


dengan memperhatikan Value Congruity konsumen sehingga diharapkan menjadi

pertimbangan bagi pimpinan perusahaan dalam menyusun kebijakan atau strategi

dalam rangka membangun Brand Evangelism tersebut.

Anda mungkin juga menyukai