Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN PAI DISEKOLAH UMUM


PADA ERA MILENIAL

Dosen Pengampu:
Saepuddin Mashuri S.Pd., M.Pd

Disusun Oleh Kelompok IV:


1. Silvia Atma 211010074
2. Nurul Fikriana 211010075
3. Muh Najib 211010083
4. Rifliadi S djula 211010087

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI DATOKARAMA PALU
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan yang maha Esa atas rahmat-Nya
sehingga makalah yang berjudul “problematika pembelajaran PAI disekolah umam
pada era milenial” ini dapat terselesaikan. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan materi maupun pikiran.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik. Karena keterbatasan pengetahuan
maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini,
oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Atas perhatiannya kami ucapkan banyak
terimakasih.

Sigi, 15 April 2024

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
A. Latar Belakang ...................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..............................................................................................1
C. Tujuan Makalah..................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................2
A. Tantangan Pendidikan Agama Islam Di era Milenial .......................................2
B. Problem Pendidikan Agama Islam Dan Penyebabnya .......................................6
BAB III PENUTUP .............................................................................................11
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi serta komunikasi semakin mempercepat
proses globalisasi di muka bumi bersamaan dengan itu, muncul masa atau zaman baru
pasca adanya globalisasi, yaitu era millenial. Secara tidak langsung, munculnya era
millenial menjadi sebentuk tantangan sekaligus menjadi sebuah harapan bagi semua
orang. Pada satu sisi, era millenial memunculkan generasi yang hidup tanpa jarak, ruang
dan waktu yang menghalanginya. Dalam satu genggaman; ruang, jarak dan waktu dapat
dilampaui secara singkat. Jika tidak memiliki filter dan kontrol yang kuat terhadap
perkembangan era millenial, bukan tidak mungkin generasi ini akan terpapar millenial
effect, yakni dengan berbasiskan kecanggihan teknologi membuat sesuatu yang
menyenangkan, mengagunkan dan lain sebaginya. Pada kondisi yang demikian, Nata
memprediksikan jika manusia akan cenderung berbuat bebas dengan mengesam-
pingkan landasan spiritual, moral dan agama

B. Rumusan Masalah
1. Apa tantangan pendidikan agama islam diera milenial?
2. Apa problem pendidikan agama islam dan penyebabnya?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui tantangan pendidikan agama islam di era milenial!
2. Untuk mengetahui problem pendidikan agama islam dan penyebabnya!

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tantangan Pendidikan Agama Islam Diera Milenial


Dalam kontek Indonesia, era millenial merupakan tantangan zaman yang harus
dipecahkan keberadaannya, dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, maka munculnya
era ini secara tidak langsung membawa dampak tersendiri bagi keberlangsungan proses
pendidikan Islam. Munculnya ruang nirbatas akibat perkembangan dan kemajuan teknologi
informasi mengapuskan sekat-sekat yang ada. Tidak adalagi batas antar negara, antar bangsa,
dan antar kelas. Fenomena dan dinamika ini telah masuk ke ruang-ruang sempit sekalipun.
Adapun proses penting dari globalisasi adalah melahirkan genarasi gedget, istilah yang sering
digunakan untuk menandai lahirnya generasi millennial.
Fenomena millenial menjadi sangat menarik jika dihadapkan dengan kondisi
pendidikan Islam di Indonesia. Di satu sisi, pendidikan Islam memiliki target dan orientasi
menciptakan insan kamil. Namun di sisi lain, secara sekaligus pendidikan Islam harus mampu
mengembangkan skill, kemampuan, potensi dan tingkah laku umatnya dalam menjawab
tantangan internal maupun tantangan dunia global yang telah terbuka lebar dihadapan kita.
“Benturan keras” akan semakin terasa dan tidak mudah untuk meredamnya, ketika pendidikan
Islam harus berjibaku dan bergumul dengan dunia era millenial. Ketika bersinggungan dengan
millenial, ada beberapa problematika yang sudah menghadang di depan dunia pendidikan
Islam, yaitu:
1. pendidikan yang berorientasikan pada kebutuhan pragmatis, kebutuhan pasar, peluang
kerja, sehingga ruh pendidikan Islam sebagai pondasi budaya, moral dan gerakan sosial
(social movement) terabaikan atau bahkan hilang.
2. munculnya kurikulum yang sarat akan muatan, sehingga peserta didik banyak terbebani
mata pelajaran.
3. masih banyak guru dan tenaga kependidikan yang berdampak pada kekurang mampuan
guru dan tenaga pendidikan dalam menyajikan dan menyelenggaran yang benar-benar
berkualitas.
Dalam perspektif pendidikan Islam, beberapa problematika yang nampak merupakan
kondisi riil yang saat ini sedang dihadapi umat Islam sehingga mau tidak mau, siap dan tidak
siap persoalan tersebut memberikan implikasi yang signifikan. Kecenderungan manusia pada
dunia global dan gandrungnya generasi muda pada era millenial mendorong umat Islam untuk
terus meningkatkan skill, kompetensi dalam dunia persaingan yang semakin kompetitif.
2
Problematika tersebut akan semakin komplek ketika ditambah dengan karakteristik serta ciri-
ciri dari masyarakat millenial itu sendiri. Menurut Lyons dalam Putra, ada ciri khas tersendiri
dari generasi Y atau Millenial, yaitu:
a. karakter pada setiap individu memiliki perbedaan, bergantung pada tempat dimana ia
dibesarkan, perbedaan strata ekonomi serta kondisi sosial keluarganya,
b. memiliki pola atau model komunikasi yang berbeda jika dibandingkan dengan generasi
yang sebelumnya
c. fanatik memakai media sosial (sosmed) dan keterpengaruhan hidupnya terhadap
perkembangan teknologi
d. memiliki pandangan dan sikap yang lebih terbuka terhadap dunia politik dan ekonomi,
sehingga lebih bersikap reaktif terhadap perubahan lingkungan yang ada di sekelilingnya,
e. sikap dan perhatian yang berlebihan terhadap kekayaan.
Munculnya generasi millenial dengan karakteristik dan ciri khasnya, berdampak pada
banyaknya pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Paling tidak, pendidikan Islam
harus mampu menciptakan dan melahirkan formulasi, kiat atau pun cara-cara yang strategis
untuk dapat berkompetisi di tengah-tengah masyarakat millenial dengan segala kompleksitas
karakternya yang ada. Sebagai contohnya, apa yang mesti ditawarkan oleh pendidikan Islam
ketika melihat generasi millennial yang lebih gemar menggunakan teknologi, hiburan, musik
dan internet. Bahkan hal-hal tersebut bagi generasi millenial telah menjadi kebutuhan
pokoknya.
Menyikapi tantangan era millenial yang semakin berkembang, idealnya proses
pendidikan Islam harus mampu menawarkan pokok-pokok pengembangan kemampuan dalam
berkompetisi, kemampuan mengelola kerja sama, kemampuan mengaktualisasikan sikap yang
inovatif serta meningkatkan kualitas personalnya dalam menghadapi kehidupan global. Jika
mengacu pada hal ini, maka arah baru atau paradigma pendidikan Islam perlu dikaji ulang.
Strategi dan kebijakan pendidikan Islam perlu ditata kembali untuk kemudian diletakkan sesuai
proporsinya, sehingga dapat menangkap dan semaksimal mungkin dapat memanfaatkan
peluang-peluang yang ada.
Tantangan persaingan global dan era millenial harus menyusun berbagai strategi.
Adapun untuk mengkonstruk kiat atau strategi dalam mengantisipasi dan menjawab beragam
tantangan yang muncul, maka perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini, yaitu:
1) Diupayakan Pendidikan Islam lebih berorientasi atau “lebih menekankan pada upaya
proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching)”.
2) Mengorganisir struktur Pendidikan Islam yang lebih fleksibel.
3
3) Pendidikan Islam dapat “memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki
karakteristik khusus dan mandiri”
4) Pendidikan Islam “merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa
berinteraksi dengan lingkungan”.
Empat hal yang dikemukakan Zamroni tersebut merupakan salah satu merupakan
tantangan pendidikan adapun harapan dari adanya tantangan ini adalah adanya pendidikan yang
bersifat double tracks, maksudnya suatu proses pendidikan yang tidak dapat dinamika
perkembangan masyarakat yang ada. Akan menjadi suatu kelaziman jika proses ataupun
pelaksanaan pendidikan senantiasa dikaitpautkan dengan kebutuhan masyarakat pada
umumnya dan bidang dunia kerja pada khusunya. Integrasi ini mengandung makna, jika siswa
atau pun murid tidak hanya bergantung atau ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan pada
lingkungan sekolah, namun juga ditentukan atau dipengaruhi oleh apa yang mereka kerjakan
di dunia kerja dan di tengah-tengah masyarakat pada umumnya. Dibutuhkannya suatu arah
baru atau tantangan pendidikan Islam, juga dilatar belakangi oleh adanya akselerasi aliran ilmu
pengetahuan yang mendobrak sistem pendidikan jadul (baca; jaman dulu) ataupun
konvensional. Diantara hal itu adalah ilmu pengetahuan tidak lagi bersumber dan terpusat pada
lembaga atau institusi pendidikan yang bersifat formal seperti; SD, SMP, SMU, PT yang
konvensional. Namun, sumber ilmu pengetahuan tersebut akan tersebar dari dan dimana-mana,
dan setiap orang akan mudah mengakses atau mendapatkan pegetahuan itu tanpa harus kerja
keras dan kesulitan.
Untuk mengantisipasi hal tersebut di atas, setidaknya pendidikan Islam harus
dikembangkan dan direformulasi kembali sesuai dengan paradigmanya yang berorientasi pada:
a) Filsafat teocentris dan antropocentris dapat dijadikan salah satu dasar paradigma baru
pendidikan Islam. Titik tekan dari paradigma ini adalah mengembangkan pendidikan yang
terintegrasi, yaitu menghilangkan dikhotomi antara ilmu dengan agama; ilmu tidak lagi
bebas nilai, namun ilmu itu bebas dinilai. Kemudian, agama diajarkan dengan bahasa ilmu
pengetahuan; tidak hanya sisi tradisional yang diajarkan, namun include dengan sisi
rasionalnya.
b) Pendidikan Islam diarahkan pada pembangunan keilmuan yang terintegrasi, yaitu antara
nilai spiritual, moral dan meterial menjadi satu kesatuan yang maju bagi kehidupan umat
manusia.
c) Dalam mempersiapkan kehidupan yang kebih baik, pendidikan Islam diarahkan pada
pembangunan manusia yang kompetitif, demokratis, inovatif, berlandaskan pada nilai-nilai
Islam.
4
d) Kontruksi pendidikan Islam didasarkan pada situasi, kondisi dan lingkungan masyarakat;
sekarang dan akan datang. Perubahan situasi dan kondisi menjadi sebuah tantangan dan
peluang yang harus direspon secara cepat dan tepat. Pada sisi lain, munculnya perubahan
mendorong juga pada pengembangan konstruks pendidikan Islam yang berorientasi pada
lingkungan. Pendekatan masa lalu, hanya cocok dan sesuai dengan masanya, dan akan tidak
kompetibel jika diterapkan pada kondisi berbeda, bahkan sering kali menimbulkan problem
dan troubel yang membuat mundur dunia pendidikan.
e) Pemberdayaan potensi umat yang sesuai dengan kebutuhan kehidupan masyarakat madani
menjadi proyeksi lanjutan dari pendidikan Islam. Sistem pendidikan Islam hendaknya
dikembangkan sesuai dengan karakteristik masyarakat yang demokratis, memiliki tingkat
partisipasi sosial, taat dan menhargai supremasi hukum, menghargai HAM, menghormati
dan menghargai perbedaan (pluralisme), memiliki skill yang kompetitif dan inovatif.
f) Perubahan orientasi Pendidikan Islam, dari yang sentralistik kepada pendidikan
demokratis. Tata kelola dan manajemen penysusunan kurikulum di selaraskan dengan
tuntutan pendidikan yang demokratis lagi desentralistik. Pada posisi ini pendidikan Islam
mestinya dapat berpartisipasi pada dunia kerja dengan mengembangkan sikap dan inovasi
serta meningkatkan kualitas manusianya.
g) Pada proses pembelajaran, orientasi pendidikan Islam lebih dititiktekankan pada upaya-
upaya mengorganisir struktur yang lebih fleksibel atau luwes, menumbuhkan sikap salimg
menghargai dan memberlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki potensi
untuk berkembang dan senantiasa mengupayakan proses yang berkisinambungan dan
berinteraksi dengan lingkungannya.
Sudah menjadi suatu keniscayaan di era global dan millenial jika pendidikan Islam
merubah “tampilan” paradigmanya yang competeble dengan era tersebut. Pendidikan Islam
harus segera berbenah dan menyiapkan diri untuk terlibat dan aktif di dalam era millenial ini.
Keterlibatan dan keaktifan ini dimaksudkan untuk melindungi umat Islam dari berbagai
dampak yang muncul dari fenomena millenial. Lain dari pada itu, sebenarnya banyak peluang-
peluang yang bisa ditawarkan oleh pendidikan Islam melalui generasi millenial. Peluang-
peluang tersebut pada dasarnya dapat menjadi modal dan kesempatan yang berharga bagi dunia
pendidikan Islam untuk dapat menampilkan nilai-nilai Islamiayahnya sebagai suatu
keunggulan di tengah-tengah peradaban tersebut. Selain peluang, era millenial juga
menyelipkan tantangan bagi dunia pendidikan Islam, yaitu mencari pijakan yang kokoh dalam
mengeksplorasi kelebihan yang dimiliki oleh pendidikan Islam, sekaligus juga mengevaluasi
berbagai kekurangan atau kelemahan yang selama ini menghinggapi dunia pendidikan Islam.
5
B. Problematika PAI dan Penyebanya.

Munculnya sebuah permasalahan dalam PAI terutama yang berkenaan dengan proses
pembelajaran, tidak lepas dari tiga sebab yang mendasar. Pertama, selama ini, banyak
pendidikan agama yang lebih banyak berorientasi pada aspek kognitif saja. Padahal pendidikan
agama seharusnya lebih berorientasi secara praktisi, maka tidak heran ketika banyak dijumpai
anak yang menadapat niai bagus dalam mata pelajaran agama akan tetapi dalam penerapan dan
prilaku keseharian cenderung menyimpang dari norma ajaran yang islami, sebagaimana
disebutkan oleh penulis di pendahuluan. Kedua, sistem pendidikan agama yang berkembang di
sekolah kurang sistematis dan kurang terpadu untuk anak didik. Ketiga, eveluasi yang
dilakukan untuk pendidikan agama disamakan dengan pelajaran-pelajaran yang lain, yaitu
hanya aspek kognitif saja. Pada hakikatnya evaluasi PAI idealnya tidak hanya dalam hal
kognitif saja, akan tetapi lebih menekankan pada praktisi, supaya ajaran agama yang telah
siswa pelajari bisa terlihat langsung dalam berprilaku sehari-hari.
Dalam mengkaji problematika pendidikan agama islam (PAI) yang berkembang baik
di lembaga pendidikan Islam maupun di lembaga yang tidak berlatar belakang Islam selalu
menjadi hal yang menarik. Karena masalah yang muncul dalam pendidikan agama islam(PAI
)seakan tidak pernah ada habisnya. Secara garis besar problematika yang dihadapi dalam proses
pendidikan agama Islam bisa digolongkan menjadi dua. Pertama, permasalahan yang
bersumber dari internal. Maksudnya adalah permasalahan yang muncul dari materi pendidikan
agama Islam itu sendiri, karena materi dalam pendidikan agama Islam mayoritas berupa
sesuatu yang abstrak. 28 Kedua, permasalahan yang bersumber dari ekternal. Eksternal disini
mencakup lingkungan, guru, keadaan ekonomi siswa, politik dan orang tua. Problematika yang
muncul dari internal siswa cenderung lebih mudah untuk ditangani. Karena guru bisa memilah
dan memilih materi apa yang tepat diajarkan kepada peserta didik di level belajar tertentu.
Kurikulum juga termasuk dalam problematika yang bersumber dari internal, kurikulum
dianggap sebagai pedoman dalam setiap proses belajar mengajar. Kuriulum PAI yang
digunakan di Sekolah Umum cenderung memiliki kompetensi yang tidak terlalu luas, lebih-
lebih lagi guru PAI seringkali terpaku pada kurikulum yang tidak terlalu komprehensif tersebut.
Selain itu, kurikulum PAI lebih cenderung menjelaskan persoalan-persoalan teoretis agama
yang bersifat kognitif dan amalan-amalan ibadah praktis. Padahal PAI seharusnya
diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Kurikulum adalah salah satu komponen
operasional pendidikan agama islam sabagai sistem materi atau disebut juga sebagai
kurikulum. Jika demikian, maka materi yang disampaikan oleh pendidikan (khususnya

6
pendidik agama islam) hendaknya mampu menjabarkan seluruh materi yang terdapat di dalam
buku dan tentunya juga harus ditunjang oleh buku pegangan pendidik lainnya agar pengetahuan
anak didik tidak sempit. Di samping itu materi yang diberikan harus sesuai dengan tingkat
perkembangan anak didik dan tujuan pembelajaran. Sesuai dengan pernyataan Nur Uhbiyati
mengenai definisi kurikulum, bahwa kurikulum adalah sejumlah pengalaman pembelajaran,
kebudayaan sosial, olah raga dan kesenian yang tersedia di sekolah bagi anak didik dan tujuan
didik di dalam dan di luar sekolah dengan maksud menolongnya untuk perkembangan
menyeluruh dalam segala segi dan merubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan
pembelajaran. Namun dalam merealisasikan kurikulum yang ada di suatu lembaga pendidikan
bukanlah suatu hal yang mudah, sedangkan alokasi waktu untuk pembelajaran pendidikan
agama islam (PAI) sangat sedikit. Dengan demikian dapat menjadi problem dalam
pembelajaran pandidikan agama islam. Permasalahan yang bersumber dari eksternal cenderung
lebih kompleks dan menuntut banyak kerja keras untuk bisa menyelesaikanya. Faktor ekternal
dalam problematika pendidikan PAI dalam paradigma pendidikan islam, peserta didik
merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang
masih perlu dikembangkan. Di sisi lain, pendidikan itu berfungsi membentuk kepribadian anak,
mengembangkan agar mereka percaya diri dan menggapai kemerdekaan kepribadian,
pendidikan itu bergerak untuk mewujudkan perkembangan yang sempurna dan
mempersiapkannya dalam kehidupan, membantu untuk berinteraksi sosial yang positif di
masyarakat, menumbuhkan kekuatan dan kemampuan dan memberikan sesuatu yang
dimilikinya semaksimal mungkin. Juga menimbulkan kekuatan atau ruh kreativitas,
pencerahan dan transparansi serta pembahasan atau analisis di dalamnya. Beberapa factor yang
berkaiatan dengan problemtaika pendidikan agama islam (PAI) adalah di antaranya berkaiatan
dengan:
1. Peserta Didik Peserta didik merupakan ukuran dari keberhasilan suatu pendidikan.
Masyarakat selalu menilai keberhasilan pendidikan adalah output yang berasal dari
siswa. Problematika yang muncul drai peserta didik adalah umumnya siswa yang telah
belajar selama 12 tahun (SD, SMP, dan SMA), yang mana mata pelajaran agama hanya
diajarkan dua jam saja dalam satu minggu, masih banyak yang belum bisa membaca
Al-Qur’an dengan baik dan benar, tidak menjalankan kewajiban sholat secra rutin, tidak
beribadah puasa di bulan Ramadhan, dan yang paling penting adalah kurang bisa
berprilaku secara benar. Peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan tentu berasal
dari latar belakang kehidupan beragama yang berbeda-beda. Ada siswa yang berasal
dari keluarga yang taat beragama, namun ada juga yang berasal dari keluarga yang
7
kurang taat beragama, dan bahkan ada yang berasal dari keluarga yang tidak peduli
dengan agama. Bagi anak didik yang berasal dari keluarga yang kurang taat atau tidak
peduli terhadap agama, perlu perhatian yang serius. Sebab jika tidak, maka anak didik
tidak akan peduli terhadap pendidikan agama, lebih parah lagi mereka menganggap
remeh pendidikan agama. Sikap ini akan sangat berbahaya, meskipun demikian, tentu
ada faktor-faktor yang mempengaruhi peserta didik seperti; minat belajar, keluarga,
lingkungan, dan lain sebagainya. Di antara problematika pendidikan agama islam (PAI)
yang berhubungan dengan peserta didik adalah :
a) rendahnya minat peserta didik untuk memahami ilmu-ilmu agama Islam,
b) rendahnya minat dan kemampuan peserta didik untuk bisa membaca dan
memahami Al-Qur’an
c) peserta didik belum memiliki dasar keimanan dan ketakwaan yang kuat,
sehingga mudah untuk terbawa arus
d) semakin banyak peserta didik yang berprilaku menyimpang dari moral agama,
pergaulan bebas semakin meningkat
e) peserta didik terbiasa dengan narkoba, kekerasan, dan tindak anarkis. Masalah
yang paling memprihatinkan adalah tentang etika dan akhlaq siswa. Karena
berdasarkan penelitian yang dilakukan dari Swiss, yang telah melakukan
penelitian di sebelas negara tentang faktor-faktor yang meletarbelakangi
menurunya ekonomi bangsa. menurutnya, di antara faktor yang paling
mempengaruhinya adalah akhlaq. Akhlaq seakan-akan menjadi acuan
keberhasilan pendidikan agama Islam, terutama pendidikan di tingkat SD/MI.
Pendidikan dasar akan sangat berimplikasi pada masa depan seseorang, maka
dari itu, tidak mengejutkan ketika Gunar Mirdal menyimpulkan sebagaimana di
atas. Sebagai contoh, anak yang sejak kecil dibiasakan untuk diberi imbalan
ketika melakukan kebaikan, maka hal ini akan terus dia amalkan, sehigga
semakin banyak usianya, maka semakin banyak imbalan yang dia minta, hal ini
yang menyebabkan korupsi semakin tumbuh segar.
2. Guru / Pendidik Peran guru sangat penting dalam proses pendidikan. Bahkan ada
lelucon yang mengatakan andaikan pak Mendiknas dan Kabid Mapenda tidak masuk
kantor, sedangkan guru tetap masuk dan mengajar, maka pendidikan akan tetap
berjalan, akan tetapi ketika pak Mendiknas dan Kabid Mapenda masuk kantor sedangak
guru tidak masuk, maka KBM tidak berjalan dengan baik. Meskipun guru memegang
peranan yang sangat sentral dalam pendidikan, guru juga bisa menjadi sumber problem
8
pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam. Problematika tersebut mencakup pola
prilaku guru agama yang kadang kurang bisa mencerminkan agama. Selain itu, seorang
guru juga bisa menimbulkan permasalahan, sebagaimana penulis kutip dari jurnal
Islamic Studies And Islamic Education In Contemporary Southeast Asia : Other
problems have to do with teacher competence, curriculum, instructional materials and
infrastructure. Beberapa guru memang dalam praktisnya tidak terlalu menguasai materi
yang diajarkan, terutama di sekolah-sekolah swasta di daerah, hal ini tetntu akan
menimbulkan persoalan, karena pendidikan agama idealnya dipegang oleh ahli
dibidangnya. Hal senada juga dikemukakan oleh Muhaimin dan Suti’ah yang mengutip
pendapat Towaf. Bahwa guru juga memiliki andil dalam munculnya problematika.
Yakni metode yang digunakan cenderung monoton, sehingga siswa kurang antusias
dalam belajar PAI.
3. Keluarga dan lingkungan Situasi dan kondisi di dalam keluarga dan lingkungan sosial
sedikit banyak pasti berimbas pada siswa yang kemudian banyak memunculkan
permasalahan. Keluarga menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan
keberhasilan dan kegagalan siswa di semua aspek kehidupan seseorang, termasuk pada
permasalahan pendidikan. PAI akan semakin bermasalah ketika sering dijumpainya
orang tua yang kurang memperhatikan pendidikan agama anaknya, hal ini tidak hanya
terjadi di perkotaan saja, di pedesaan juga banyak ditemukan orang tua yang kurang
memberi perhatian serta tidah memberikan contoh bagaimana PAI dalam aplikasinya
sehari-hari. Banyaknya orang tua yang kurang memperhatikan perkembangan
pendidikan agama Islam ankanya karena beberapa faktor, diantaranya adalah karena
orang tua disibukkan dengan bekerja. Sehingga orang tua tidak ada waktu untuk
mengontrol sholat serta akhlaq anak ketika di rumah. Padahal idealnya adalah guru
mengajarkan materi keagamaan di sekolah, seperti tata cara sholat, kepada siswa,
kemudian aplikasinya adalah setiap hari siswa melaksanakan sholat minimal lima kali
dalam satu hari, akan tetapi masih ada beberapa orang tua yang tidak memperhatikan
sholat anaknya karena faktor berkerja sebagaimana ditulis oleh pemakalah sebelumnya.
Lingkungan hidup siswa juga sangat brengaruh terhadap siswa. Ketika lingkungan
sosialnya merupakan lingkungan yang tingkat religiusnya tinggi, maka siswa akan lebih
memahami aplikasi PAI yang sesungguhnya, akan tetapi ketika lingkunga sosialnya
kurang memberi perhatian pada agama, maka secara otomatis anak didik hanya akan
menganggapa PAI hanya sekedar mata pelajaran di sekolah sebagaimana mata
pelajaran lain seperti IPA, IPS dan Bahasa Indonesia.
9
4. Politik Kondisi politik juga sangat berpengaruh terhadap munculnya problematika
pendidikan PAI. Ketika pemegang kekuasaan memutuskan sebuah kebijakan yang
mengamini bahwa pendidikan agama merupakan hal yang sangat penting, maka
kurikulum yang diberlakukan akan memandang agama sebagai faktor yang
dipertimbangkan dalam merumuskan kurikulum, akan tetapi ketika pemegang
kekuasaan lebih fokus kepada pendidikan yang beorientasi pada materi eksakta saja,
maka pendidikan agama dianak tirikan dan kurang mendapat perhatian. Politik juga
memegang peranan dalam hal menyelesaiakan dan menemukan solusi dalam dunia
pendidikan, tidak hanya pendidikan agama, akan tetapi semua aspek dan problematika
pendidikan. Keadaan politik yang stabil maka akan berimplikasi bai disemua aspek
kehidupan. Probematika pendidikan PAI bisa muncul di segala aspek eksternal lainya,
seperti, metode mengajar, fasilitas belajar, sarana dan prasarana. Akan tetapi
permasalahan yang mungkin muncul di semua aspek tersebut bisa ditutupi dengan guru
yang senantiasa bisa memanage sebaik mungkin. Aspek-aspek tersebut bisa menjadi
masalah jika seorang guru tidak berhasil untuk menyembunyikan kekurangan dimana-
mana dengan kesempurnaaan performa seorang guru.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pendidikan Islam di era millenial menjadi tantangan global yang setiap saat akan
mengalami perkembangan. Banyak efek dan dampak yang muncul akibat dari era
millenial tersebut. Secara bersamaan, hadirnya era millenial membuka harapan dan
tantangan bagi umat Islam. Pesatnya perkembangan, kecanggihan teknologi, sistem
informasi dan komunikasi membuka peluang-peluang baru bagi masyarakat.
Namun disisi lain, kecanggihan teknologi, komunikasi dan informasi khusus bagi
generasi muslim berdampak pada melencengnya perilaku dan sikap generasi
millenial dari nilai-nilai Islam. Proses pendidikan Islam idealnya dapat menawarkan
pokok pokok pengembangan kemampuan dalam berkompetisi, kemampuan
mengelola kerja sama, kemampuan mengaktualisasikan sikap yang inovatif serta
meningkatkan kualitas personalnya dalam menghadapi kehidupan global. Jika
mengacu pada hal ini, maka arah baru atau paradigma pendidikan Islam perlu dikaji
ulang. Strategi dan kebijakan pendidikan Islam perlu ditata kembali untuk
kemudian diletakkan sesuai proporsinya, sehingga dapat menangkap dan
semaksimal mungkin dapat memanfaatkan peluang-peluang yang ada.
2. Munculnya sebuah permasalahan dalam PAI terutama yang berkenaan dengan
proses pembelajaran, tidak lepas dari tiga sebab yang mendasar. Pertama, selama
ini, banyak pendidikan agama yang lebih banyak berorientasi pada aspek kognitif
saja. Padahal pendidikan agama seharusnya lebih berorientasi secara praktisi, maka
tidak heran ketika banyak dijumpai anak yang menadapat niai bagus dalam mata
pelajaran agama akan tetapi dalam penerapan dan prilaku keseharian cenderung
menyimpang dari norma ajaran yang islami, sebagaimana disebutkan oleh penulis
di pendahuluan. Kedua, sistem pendidikan agama yang berkembang di sekolah
kurang sistematis dan kurang terpadu untuk anak didik. Ketiga, eveluasi yang
dilakukan untuk pendidikan agama disamakan dengan pelajaran-pelajaran yang
lain, yaitu hanya aspek kognitif saja. Pada hakikatnya evaluasi PAI idealnya tidak
hanya dalam hal kognitif saja, akan tetapi lebih menekankan pada praktisi, supaya
ajaran agama yang telah siswa pelajari bisa terlihat langsung dalam berprilaku
sehari-hari.

11
DAFTAR PUSTAKA

H. Rumbang Sirojudin Probelmatika Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Umum Dan


Solusinya Cv. Hesthetic Redaksi September 2022
Wiwik Indriani & Firdian Tantangan Pendidikan Islam Di Era Milenial ANWARUL : Jurnal
Pendidikan Dan Dakwah Volume 1, Nomor 1, Desember 2021; 89-101

12

Anda mungkin juga menyukai