Materi Family Ghatering Poros Baru
Materi Family Ghatering Poros Baru
Metodologi
Jenis Penelitian Kualitatif
Jenis Data Primer dan Sekunder
Teknik Pengumpulan Data Focus Group Discussion (Diskusi dengan
Anggota Poros Baru)
Responden 1. PD IPM yang tergabung dengan Poros
Baru
2. Pimpinan PW IPM Jawa Tengah 2021-
2023 yang ikut membangun Poros Baru
BEDAH TEMA FAMILY GHATERING
Perubahan merupakan gejala sosial yang normal terjadi, dengan tempo yang sangat cepat
lewat medium-medium katalisatornya yang membuat cakupan daripadanya menjadi luas, dan
memaksa kelompok-kelompok lain untuk juga berubah dan menyesuaikan. Selaras dengan
perkataan Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens, “bahwa saat sedang dalam ancaman
adrenalin membanjiri lapisan luar otak, memompa denyut jantung dengan kuat, dan
memerintahkan otak untuk membuat keputusan paling purba dan paling naluriah dari semua
keputusan biologis lainnya, bertempur atau melarikan diri”. Dan sayangnya persis perkataan
Reynald Kasali bahwa perubahan itu bergerak secara eksponensial dan tidak ada yang bisa
menghentikannya, wahata perubahan itu akan berdampak kepada kehancuran. Dikutip dalam
bukunya Disruption.
Ikatan Pelajar Muhammadiyahpun juga tidak lepas dari yang namanya perubahan, dengan
terlaksananya Musyawarah Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Jawa Tengah XXV di
Wonosobo, 21-24 Desember 2023. Dengan terpilihnya Ipmawan Daei Aljanni yang lahir dan
tumbuh serta besar dari PD IPM Klaten—sebagai ketua umum, dan Syifa Yustiana—asli kader
Wonosobo—sebagai Sekretaris Umum.Tentu wajah baru ini akan membawa Ikatan Pelajar
Muhammadiyah Jawa Tengah untuk periode 2023-2025 (2 tahun) mendatang. Pertanyaannya, mau
dibawa kemana Ikatan Pelajar Muhammadiyah Jawa tengah?
Split Personality
Mengutip Hasan Hanafi, bahwa kepribadian ganda perihal keimanan teoretik dan keimanan
praktis melahirkan sinkretisme kepribadian. Sederhananya, ketidakcocokan antara pikiran dan
perbuatan itulah yang sedang terjadi di tubuh Ikatan Pelajar Muhammadiyah se-Jawa tengah.
Merujuk Farag Fouda dalam bukunya Kebenaran yang Hilang, dikatakan bahwa manusia secara
kejiwaan lebih condong untuk meminati aspek emosial yang membuat manusia itu merasa nyaman
dengan kebenaran yang dianggap mapan, dengan begitu sulit bagi banyak orang untuk menerima
kebenaran dengan versi lain, walaupun dikemudian hari versi lain ini terbukti lebih benar atau
mendekati kebenaran.
Dengan begitu kita sesungguhnya sedang berada dipersimpangan jalan, satu jalan mengarahkan
kita kepada disharmoni dan konflik akibat kelalaian dan sempitnya wawasan kita. Dan diatas
segalanya, ini adalah akibat dari tidak munculnya upaya-upaya pencerahan, sementara jalan lain
mempertemukannya kedalam dunia modern. Jalan ini sesungguhnya sangat ramah, dan rute satu-
satunya adalah dengan memperluas cakrawala kita.
Untuk menyelaraskan antara pikiran dan tindakan memang tidalah mudah, perlu sikap kedewasaan
untuk “mengakui” kebenaran pihak lain. Ingat kembali cerita saat nabi mengutus pasukan untuk
berangkat ke bani Khuraidzah, dengan pesan “Jangan shalat ashar di bani khuraidzah” kemudian
pecahlah pasukan, separoh adanya shalat ashar ditengah jalan karena sudah hampir masuk
maghrib, separuh shalat ashar di bani khuraidzah pada tengah malam, yang terjadi nabi hanya
tersenyum dan mengatakan bahwa semuanya benar”. Keberanian untuk mengakui itu adalah
semangat lahirnya poros baru.
Idealisme Semu
Idea dalam pandangan plato adalah dunia di dalam jiwa. Berangkat dari sana maka
kecenderungan idealisme adalah kritis, bahkan terkadang ekstrim. Tapi, Yah itu lah “Kita”. Kita
diajarkan nilai-nilai dalam ber-IPM. Tapi dalam Prosesnya, “Hasrat” justru membutakannya.
untuk mencapai kekuasaan tertinggi yang kita ciptakan sendiri, pada akhirnya “aku” menjadi tidak
bebas dalam Idealisme aku sendiri. Padahal, Kita adalah bagian dari aku namun aku "idealisme"
belum tentu dapat menjadi kita. Semakin menjadi “kita” seharusnya melebur. Namun sebaliknya,
paradoks itu semakin nampak dengan inkonsistensinya. Hanya ada dua pilihan, menghilangkan
esensi “kita” menjadi “aku” atau tetap menjadi aku yang terpenjarakan.
Dalam buku How Democracies Die tulisan Steven Levitksy dan Daniel Ziblat dikatakan bahwa
“Dalam konstelasi apapun, aturan dan wasit terbaik adalah aturan yang tidak tertulis yang bisa kita
sebut sebagai norma. Norma itulah yang nantinya akan berperan sebagai pagar lembut dalam
sebuah konstelasi, mencegah persaingan politik merosot menjadi konflik tanpa aturan”.
Dalam hal ini, poros baru memiliki idealisme sebagaimana dicantumkan dalam AD/ART IPM dan
dalam putusan-putusan sejarahnya. Namun, yang menjadi pembeda adalah poros baru ini tidak
akan terjebak dengan “Nafsu” yang kita sebut sebagai kepentingan sesaat sehingga menghalalkan
segalamacam cara untuk memberi makan nafsu tersebt.
Paradigma Gerakan Pelajar Berkemajuan (GPB) yang didalamnya tercantum tiga nilai:
Pembebasan, Pemberdayaan, dan Pencerdasan. Akan kami pegang teguh danbetul-betul
dilaksanakan oleh poros baru tersebut
Matinya Dialektika
Hegel dalam buku logika jilid 1, mengatakan dialektika adalah “gerakan pikiran, dimana yang
seolah-olah bercerai itu, sendirinya oleh sifat sendiri, yang satu memasuki yang lain, dan dengan
begitu membatalkan perceraian”.
Untuk menjelaskan tentang dialektika, kita bisa merujuk buku Madilog (Materialisme, Dialektika,
dan Logika)-nya Tan Malaka, disana dijelaskan dengan sangat apik. yang memadukan antara
dialektikanya Hegel dengan Marx dan Engels. Kira-kira begini, Hegel menganggap gerakan
pikiran adalah gerakan idea semata, sedangkan Marx dan Enggels menganggap otak itu seolah-
olah cermin yang membayangkan gerakan benda sebenarnya yang ada diluar otak kita.
Dalam perbedaan diantara kedua jenis dialektika, adalah pula persamaan, kedua pihak berdiri atas
gerakan, bukan pada ketetapan. Dua pikiran yang seolah tercerai itu, menurut Hegel oleh sifatnya
sendiri, yang satu memasuki yang lain, dan dengan begitu membatalkan perceraian.
Artinya adalah jika dialektika itu dibangun secara apik dengan selevelnya, maka akan memberikan
pengajarang yang sangat berharga untuk keduanya. Karena perbedaan level akan menjadikan salah
satu merasa tertindas dan dipaksa untuk menerima keputusan sepihak, dengan begitu dialektika
tidak pernah ada, dan “perceraian” dimulai dari situlah disulut.
Penutup
Sang Penguasa, ya! Itu adalah buku yang ditulis oleh Machiavelli mengatakan bahwa
“kamu boleh berbohong untuk meraih kemenangan karena itu bagian dari “game power” karena
dia bebas nilai dan tidak ada urusannya dengan benar atau salah”.
Ada satu hal, bahwa organisasi nirlaba yang namanya “Ikatan Pelajar Muhammadiyah” itu bukan
organisasi politik, tapi IPM adalah organisasi untuk belajar dan menempa diri. Bayangkan jika
pragmatisme Machiavellian itu sudah mendarah daging disetiap kader IPM dengan menghilangkan
nilai-nilai etika “tak tertulis” dan kemudian mereka menjadi pemimpin negeri ini dimasa depan,
kita hanya akan menemukan pemimpin yang “the banality of evil” yang karena kedangkalan
kejahatan dia ngak tau kalau sedang berbuat salah dan mementingkan kepentingan diri diatas
kepentingan bersama. Dan Poros hadir untuk menjadi antitesa dari semua itu.
Edward J. Lowell pernah bicara soal demokrasi dalam bukunya Sejarah Revolusi Prancis
bahwa pada tahun 1789 ditengah-tengah kota paris, raja bengis Louis XVI yang mengklaim bahwa
mahkotanya tidak mungkin copot dari kepalanya karena dipasangkan oleh Tuhan, diuji oleh
rakyat. Digiringlah ditengah Revolusi Prancis ditaruh lehernya didepan pisau guillotine dan “tek”
dalam dua detik, bukan sekedar mahkotanya yang copot dari kepalanya, tapi kepalanya yang copot
dari badannya, Itu penanda demokrasi pertama. Kita belajar dari peristiwa Revolusi Prancis itu
yang sekarang kita sebut sebagai “vox populi, vox dei” atau suara rakyat adalah suara tuhan,
dengan begitulah lahir Liberte(kebebasan), Egalite(kesetaraan), Fratenite(Persaudaraan).
Jika Revolusi Prancis adalah melahirkan demokrasi, maka Revitalisasi IPM Karesidenan Surakarta
/ Menyongsong Poros Baru IPM ini akan membangkitakan kembali dialektika.
KERANGKA KEBIJAKAN
Pimpinan Umum