Anda di halaman 1dari 15

KESADARAN DIRI SEBAGAI DASAR KEMAMPUAN BERSELANCAR

MENUJU SECOND CURVE

MAKALAH

diajukan untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Paradigma dan Manajemen Pendidikan.

Dosen pengampu :
Dr. Yosal Iriantara.

DISUSUN OLEH :
IQBAL ABDUL RAHMAN 410381032000012
MUHAMAD KAMAL FAUZI 410381032000002

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur sebesar-besarnya kepada Allah SWT yang memberikan kenikmatan dan
kesempatan untuk belajar serta berkarya melalui pembuatan makalah yang terselesaikan. Ucapan
terima kasih ditujukan kepada dosen pembimbing Dr. Yosal Iriantara dan teman-teman
mahasiswa Pascasarjana manajemen pendidikan atas bimbingan dan dukungan moril untuk
menyelesaikan tugas ini dengan segala keterbatasan.
Pembuatan tugas ini didasari sebagai kewajiban mahasiswa selama menempuh mata
kuliah paradigma dan manajemen pendidikan. Pada kesempatan ini tugas yang diberikan adalah
membuat makalah dengan tema ‘Kesadaran Diri Sebagai Dasar Kemampuan Berselancar
Menuju Second Curve’’ menyadari banyaknya kekurangan dalam makalah ini kami mohon
maaf, namun kami akan terus berusaha memperbaikinya.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati diharapkan saran dan kritik membangun demi
pembelajaran yang lebih baik. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua serta dapat
menambah wawasan dan pengetahuan tentang paradigma dan manajemen pendidikan.

Bandung, November 2020

Penyusun

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebermaknaan hidup secara fungsional pada dasarnya menganut asas perubahan
mengikuti hukum pertumbuhan dan perkembangan. Seperti dikatakan Taufik, M, Ali
(2004:5), bumi siap untuk diinvestasikan, artinya kata “bumi” merujuk pada fungsi-
fungsi manusia dan segala isinya yang mengikuti hukum perubahan tersebut. Paradigma
social, ekonomi, politik, pendidikan, hukum, dan ilmu pengetahuan (science) harus lebih
baik dan beradab. Perubahan bagi manusia sejatinya adalah tuntutan sebab manusia
senantiasa tidak pernah merasa cukup dan puas hasil berfikirnya akan selalu menjadi
gagasan-gagasan baru untuk memenuhi rasa penasaranya tentang bagaimana cara untuk
memenuhi ketidak puasanya.
Hakikatnya perubahan hanya akan terjadi sesuai dengan berjalanya waktu,
perubahan bisa terjadi sesuai keteraturan yang ada dimasyarakat dan mengikuti keadaan
sosial, budaya, ekonomi dan politik. Namun, nyatanya itu utopia semata sebab perubahan
lebih condong porsinya pada ketidak teraturan dan melampaui batas-batas kewajaran
pada kehidupan manusia yang kemudian melahirkan keadaan yang semerawut (Chaos)
dan kerumitan (complexity) sehinggaa hal tersebut menyebabkan kondisi yang stagnasi
bahkan keterasingan.
Pandangan-pandangan tentang perubahan tersebut kemudian dapat dikerucutkan
bahwa perubahan itu bernilai positif manakala berjalan menurut keteraturan sesuai
proporsinya (sarat-etik). Faktanya, perubahan bergerak tidak lagi proporsional bahkan
menjadi berlebihan (netral etik). Jujur saja, siapa yang tidak setuju dengan kemajuan dan
modernisasi. Mobil sebagai alat tranfortasi, telepon dan televisi sebagai media informasi,
makanan, pakaian, dan rumah sebagai kebutuhan pokok, bahkan  akhir-akhir ini
berkembang teknologi informasi dan komunikasi dengan jaringan yang lebih canggih
lagi. Perubahan paradigma akhir-akhir ini sangat mencengangkan bahkan sebagian ada
yang dikagetkan. Sebab kenyataanya hasil dari perubahan ini telah menghasilkan kondisi
manusia yang seolah terkerdilkan dengan adanya eksistensi hasil perubahan yang bersifat
menggelobal.

2
Diperlukan kesadaran (consciousness) kesadaran diri (self-Consciousness),
kesadaran koliektif (colective-Consciousness) , dan kesadaran satu dan lainnya mutlak.
Sadar-sesadarnya; sebagai dasar kemampuan untuk mampu berselancar (surfing on
chaos) diantaranya, agar tidak terbenam dalam kompleksitas, chaos, apalagi deep chaos.
Setelahnya, upaya membangun paradigma baru masa depan dengan membangun
integritas pendidikan, terutama pembangunan kecerdasan jamak (multiple
inteligences) dan kecerdasan qalbiah.
Kesadaran adalah keadaan seseorang di mana ia tahu atau mengerti dengan jelas
apa yang ada dalam pikirannya. Sedangkan pikiran bisa diartikan dalam banyak makna,
seperti ingatan, hasil berpikir, akal, gagasan ataupun maksud atau niat. Tujuan dari
kesadaran diri ini diharapkan seseorang bisa sadar sesadarnya  untuk memperdalam dan
mengokohkan kesadaran dirinya (self-conscicousnes) sehingga bisa berlanjut menuju ke
kesadaran kolektif (collcetive consciousnes) dan kesadaran akan sistem nilai. Sehingga
sadar akan pentingnya nilai Teologis (Ketuhanan) yang membuat seseorang sadar akan
kewajibannya terhadap sang pencipta, sadar akan hal-hal yang di sunnahkan dan
diharamkan serta dimakruhkan oleh Allah SWT. Selain nilai Teologis diperlukan pula
kita sadar akan Nilai fisiologis yang bisa memaksimalkan diri dan menjaga fisik kita
dalam menjalani kehidupan dan beribadah kepada-Nya.
Nilai Logis diperlukan agar kita mampu berfikir, memahami dan mengingat
sebagai dasar untuk berbuat, dan bertindak. Nilai Etis membantu kita dalam berperilaku
dengan akhlak yang sekarang sudah banyak yang meninggalkannya. Nilai estetis
diperlukan untuk menganyam ketidakteraturan kesemrawutan dalam hidup menuju
sesuatu yang indah, harmonis dan teratur untuk menjauhkan diri dan menghadang
kompleksitas kesemrawutan dan chaos. Yang terakhir adalah nilai Teleologis yang
berguna agar kita memiliki nilai manfaat bagi diri kita dan orang lain bahkan mahluk
yang lain serta lingkungannya.
 Untuk bisa berselancar dalam kehidpuan yang cenderung kompleks menuju
chaos agar bisa mengendalikan gelombang sehingga menuju paradigma baru yang lebih
baik pada second curve maka diperlukan tools yakni melalui proses belajar yang mana
inti dari belajar itu adalah berfikir, sehingga memahami berbagai gaya berfikir dalam

3
belajar sangat diperlukan untuk dikuasai agar bisa menyatukan  antara berfikir
rasional/intelektual, emosional, dan spiritual.

B. Rumusan Masalah
1. apa yang dimaksud dengan kesadaran diri?
2. Apa yang menjadi keterkaitan antara kesadaran diri dengan perubahan?
3. Mengapa kesadaran sangat penting untuk menghadapi Second Curve?

C. Tujuan Makalah
1. Dapat mendefinisikan dan mendeskrifsikan pengertian kesadaran diri secara teoritis.
2. Dapat memahami bagaimana pentingnya kesadaran diri dalam menghadapai
perubahan yang terjadi.
3. Dapat mendefrisikan dan mendeskripsikan bagaimana kesadaran memiliki peranan
yang sangat penting dalam menghadapi gelombang perubahan terutama di era Second
Curve.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kesadaran : Kesadaran Pribadi, Kesadaran Bersama dan Ketidaksadaran


Kesadaran adalah keadaan seseorang di mana ia tahu atau mengerti dengan jelas
apa yang ada dalam pikirannya. Sedangkan pikiran bisa diartikan dalam banyak makna,
seperti ingatan, hasil berpikir, akal, gagasan ataupun maksud atau niat. Goleman
mengatakan ‘Kesadaran diri merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan untuk
memantau emosi dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi
dan pemahaman diri. Seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi akan berusaha
menyadari emosinya ketika emosi itu menguasai dirinya. Namun kesadaran diri ini tidak
berarti bahwa seseorang itu hanyut terbawa dalam arus emosinya tersebut sehingga
suasana hati itu menguasai dirinya sepenuhnya. Sebaliknya kesadaran diri adalah keadaan
ketika seseorang dapat menyadari emosi yang sedang menghinggapi pikirannya akibat
permasalahan-permasalahan yang dihadapi untuk selanjutnya ia dapat menguasainya.
Orang yang mempunyai keyakinan lebih tentang emosinya diibaratkan pilot yang handal
bagi kehidupannya.’(1996 : 58)
Stein dan Howard memiliki gagasan sendiri terkait kesadaran, dia mengatakan
bahwa “Kesadaran diri adalah kemampuan untuk mengenali perasaan dan mengapa
seseorang merasakannya seperti itu dan pengaruh perilaku seseorang terhadap orang lain.
Kemampuan tersebut diantaranya; kemampuan menyampaikan secara jelas pikiran dan
perasaan seseorang, membela diri dan mempertahankan pendapat (sikap asertif),
kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri dan berdiri dengan kaki sendiri
(kemandirian), kemampuan untuk mengenali kekuatan dan kelemahan orang dan
menyenangi diri sendiri meskipun seseorang memiliki kelemahan (penghargaan diri),
serta kemampuan mewujudkan potensi yang seseorang miliki dan merasa senang (puas)
dengan potensi yang seseorang raih di tempat kerja maupun dalam kehidupan pribadi
(aktualisasi).” (2003 : 39)
Binswanger dan Boss dalam Koeswara menggambarkan kesadaran-diri adalah
salah satu ciri yang unik dan mendasar pada manusia, yang membedakan manusia dari
makhluk lainnya. Pendek kata dalam pandangan mereka, kesadaran-diri adalah kapasitas

5
yang memungkinkan manusia bisa hidup sebagai pribadi yang utuh dan penuh. Mereka
akan menolak istilah kepribadian apabila istilah tersebut menunjuk kepada sekumpulan
trait atau sifat-sifat yang tetap pada diri manusia. Mereka mengembangkan konsep ada-
dalam-dunia yaitu; dunia fisikal atau dunia biologis (Umlet), dunia manusia atau dunia
sosial (Mitwelt), dunia diri sendiri termasuk kebutuhan manusia (Eigenwelt). Mereka
percaya bahwa kepribadian setiap individu adalah unik dan dapat dibedakan dari caranya
mengada di dalam atau berelasi dengan ketiga taraf dunia itu. Yang dimaksud “dunia”
menurut pandangan Husserl, sebenarnya bukan dunia sebagaimana dipahami atau
diinterpretasikan oleh teori-teori ilmiah. Dunia yang secara langsung dan tanpa perantara,
dialami oleh setiap individu didalam kehidupan sehari-hari. Tidak lain adalah gejala atau
fenomena murni. Inilah dunia yang dihidupi, dihayati, atau dialami oleh manusia. (1987 :
31)
Sedangkan gagasan tentang perkembangan keberadaan dengan bertumpu pada
konsep pemenjadian (becoming) dan konsep yang mereka kembangkan sendiri, yakni
konsep ada-di-luar-dunia, berikut kebebasan dan tanggung jawab. Konsep pemenjadian
menerangkan bahwa keberadaan adalah dinamis dan selalu berproses menjadi sesuatu
yang lain dari sebelumnya. Artinya bahwa manusia terdapat kesanggupan untuk
mentransendensikan dirinya di dalam dunia (pengalaman) baru yang ditujukan kepada
realisasi kemungkinan-kemungkinan (potentialities) dari keberadaannya.
Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kesadarandiri (self
conciousness) adalah salah satu ciri yang unik dan mendasar pada manusia, di mana
manusia tersebut mempunyai kesadaran meng-adadalam-dunia (umwelt, mitwelt,
eigenwelt). Juga kesadaran meng-ada-diluar-dunia (becoming = pemenjadian) yaitu
kebebasan yang tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab.
Kesadaran (consciousness), diartikan kondisi sesadar-sadarnya secara lahir lahir
dan batin meliputi kesadaran diri (self-consciousness), kesadaran bersama (collective-
consciousness), dan kesadaran satu dan lain.
1. Kesadaran diri tentang siapa aku, apa dan berapa besar potensiku, apa
kewajibanku, apa kemampuanku, apa kekuranganku, apa kesalahanku, apa
tanggungjawabku, apa pilihanku yang lebih baik selanjutnya, apa dan kapan akhir
hidupku, bersama apa dan siapa.

6
2. Kesadaran bersama tentang siapa kami dan kita, apa dan berapa besar potensi
kami dan kita, apa kewajiban kami dan kita, apa kemampuan kami dan kita, apa
kekurangan kami dan kita, apa kesalahan kami dan kita, apa tanggungjawab kami
dan kita, apa pilihan kami dan kita yang lebih baik selanjutnya, apa dan kapan
akhir hidup kami dan kita, bersama apa dan siapa.
3. Kesadaran satu dan lain tentang makna kesadaran-kesadaran itu dalam konteks
lingkungan alam dan lingkungan social, ekonomi, politik, sains, teknologi,
budaya, dihadapan Alloh swt. Al-wujud, al-‘Alim, al-Khobir, al-Syahadah, al-
Rohman, ar-Rohim.
Definisi di atas murujuk pada sesuatu yang konprehensif mengenai hakikat
kesadaran baik menyangkut diri, masyarakat, dan lingkungan. Menandakan bahwa untuk
menuju pada tatanan dunia baru dengan paradigma yang lebih mapan, menawarkan
konsep yang sarat-nilai dimulai dengan kesadaran.
Kesadaran dijelaskan oleh beberapa ahli dari berbagai aspek salah satu cabang
pemahaman teori kesadaran tersebut adalah teori psikoanalisis. Teori psikoanalisis adalah
teori yang berusaha menjelaskan hakikat dan perkembangan kepribadian. Unsur-unsur
yang diutamakan dalam teori ini adalah motivasi, emosi dan aspek-aspek internal lainnya.
Teori ini mengasumsikan bahwa kepribadian berkembang ketika terjadi konflik-konflik
dari aspek-aspek psikologis tersebut, yang pada umumnya terjadi pada anak-anak atau
usia dini (2005).
Pemikiran Freud timbul dipengaruhi Descrates yang berpangkal pada semboyan
cogito ergo sum menetapkan objek psikologi adalah kesadaran (Suryabrata, 1988:141).
Psikoanalisis memberikan gagasan yang mendasar bahwa semua pikiran dan tindakan
sadar adalah proses yang tidak disadari yang diringkas dalam frase pikiran yang tidak
sadar. Perilaku dalam kehidupan sehari-hari merupakan perilaku sadar dalam
ketidaksadaran, karena dalam perilaku sadar terpendam perilaku yang tidak disadari yang
akhirnya mempengaruhi perilaku sadar.
Psikoanalisi kemudia banyak dibayangkan sebagai keseluruhan dari aspek
perkembangan kehidupan manusia dari sisi rasional dan bebas menuju pemikiran yang
lebih ilmiah. Menurut Carl G. Jung mengatakan bahwa Psikoanalisis adalah teori yang

7
menegaskan bahwa seluruh aspek kepribadian individu mengalami perkembangan yang
holistik. Sederhananya, kepribadian setiap orang sejatinya mengalami proses evolusi.
Jung melandasi teorinya pada gagasan bahwa terdapat dua level dalam psyche,
yakni kesadaran dan ketidaksadaran. Kesadaran merupakan pengalaman yang bersifat
personal sedangkan ketidaksadaran berkaitan dengan keberadaan masa lalu. Di titik ini,
Jung sampai pada kesimpulan bahwa psyche andil membentuk dan mengubah
kepribadian dan kepribadian tercipta melalui sebuah proses evolusi psyche yang
kompleks dan mutual. Oleh karena itu, di dalam proses evolusi psyche terdapat beberapa
tingkatan yang terdiri dari :
1. Kesadaran
Kesadaran merupakan proses yang melibatkan ego. Cakupan ego
adalah nalar, logika, perasaan, dan ingatan. Ego adalah kesadaran individu atas diri
sendiri dan ego mengontrol normalitas harian individu. Ego bekerja dalam cara-cara
yang terukur dalam kesadaran yang terwujud melalui ekses rangsangan (2013).
Lebih lanjut Jung mengkategorikan ego ke dalam dua jenis sikap, yakni introvert dan
extravert yang saling mempengaruhi dan membentuk kepribadian individu. Introvert
memuncak pada pikiran dan perasaan sendiri, sedangkan extravert melibatkan dunia
luar dan orang lain. Setiap individu memiliki kecenderungan atas kedua sikap itu,
namun tetap ada dominasi yang tampak melalui ekses rangsangan masing-masing.
2. Ketidaksadaran Pribadi
Ketidaksadaran pribadi merupakan proses yang melibatkan pengalaman. Terdiri dari
semua pengalaman yang dilupakan, yang kehilangan intensinya karena beberapa
faktor, utamanya hal-hal yang tidak menyenangkan. Jung menyebut Kompleks
(Complex) sebagai kumpulan pengalaman (emosional, perpetual, sensual) yang
tersimpan dalam ketidaksadaran tersebut dan punya pengaruh besar terhadap ego
sehingga membentuk pola perilaku spontan.
3. Ketidaksadaran Kolektif
Ketidaksadaran kolektif merupakan kebalikan dari ketidaksadaran pribadi yang
penekanannya ada pada pengalaman individual. Cakupan dari ketidaksadaran
kolektif ini adalah ingatan terpendam individu dan leluhurnya yang berupa arketip
dan insting sehingga mengontrol pola perilaku. Cakupan tersebut berkembang dan

8
secara aktif mempengaruhi pikiran, emosi, dan tindakan individu. Ketidaksadaran
kolektif inilah juga yang mengatur pikiran, emosi dan tindakan individu terhadap
kepercayaan agama, mitos, serta legenda. Di dalam ketidaksadaran kolektif juga
terdapat persona, shadow, anima/animus dan self  yang merupakan arketip yang
membentuk pola perilaku individu di tengah masyarakat.

B. Kecerdasan dan Kesadaran


kecerdasan (intelegences) sebagai potensi istimewa manusia atau disebut juga oleh
sebagian para ahli dengan Brain Power menurut Sanusi. Beliau kenalkan pula dengan
istilah al-Mudghoh. Di dalamnya memiliki unsur-unsur keceardasan yang sama seperti
diperkenalkan oleh para akhli  lainya. Di dalamnya ada: phisikal and
kinetetical intelegences, intelectual intelegences dan intelectual quotiens (II atau IQ),
emotionali intelegences/quotiens (EI atau EQ), spiritual
intelegences/quotiens (SI atau SQ) dan beliau sebut pula dengan istilah al-qolbu.
Daniel Goleman dalam Mujib dan Mudzakir (2002) mengungkapkan istilah kecerdasan
jamak (multiple intelegences), terdiri atas: kecerdasan emosional (emotional intelegence),
kecerdasan intelelektual (intelectual intelegence), kecerdasan moral (moralL intelegence),
dan kecerdasan spiritual (spitual intelegence).
1. Kecerdasan Intelelektual (intelectual intelegence)
Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan proses kognitif
seperti berfikir, daya menghubungkan, dan menilai atau mempertimbangkan sesuatu.
Atau kecerdsan yang berhubungan dengan strategi pemecahan masalah engan
menggunakan logika. Thornstone dengan teori multi-faktornya menentukan 30 faktor
yang menentukan kecerdasan intelektual, tujuh diantaranya yang paling utama untuk
ebilitas-ebilitan mental, yaitu: (1)  mudah mempergunakan bilangan; (2) baik ingatan;
(3) mudah menangkap hubungan-hubungan percakapan; (4) tajam penglihatan; (5)
mudah menarik kesimpulan dari data yang ada; (6) cepat mengamati; (7) cakap dalam
memecahkan berbagai problem. Kecerdasan ini disebt juga kecerdasan rasional
(rational integences), sebab menggunakan potensi rasio dalam memecahkan masalah.
Melalui tes IQ , tingkat kecerdasan intelektual seseorang dapat dibandingkan dengan
orang lain.

9
2. Kecerdasan Emosional (emotional intelegence)
Kecerdasan emosional awalnya diperkenalkan oleh Peter Solovey dari Havard
University dan John Mayer dari New Hampshire University. Istiah itu kemudian
dipopulerkan oleh Daniel Goleman dalam karya manumentalnya Emotional
Integences, Why It Can Matter More than IQ. Goleman mendefinisikan emosi dengan
perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis dan
serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi juga merupakan reaksi kompleks
yaqng mengait satu tingkat tinggi kegiatan dan perubahan-perubahan secara
mendalam serta dibarengi dengan perasaan (feeling) yang kuat disertai keadaan
efektif. Perasaan merupakan pengalaman disadari yang diaktifkan baik oleh
perangsang eksternal maupun internal. Emosi kadang-kadang dibangkitkan oleh
motivasi, sehingga antara emosi dan motivasi terjadi hubungan interaktif.
3. Kecerdasan Moral (moral intelegence)
Coles secara tegas tidak pernah mendefinisikan term moral secara khusus dalam
karyanya, namun dikemukakannya bahwa kecerdasan moral seolah-olah bidang
ketiga dari kegiatan otak selain dua kecerdasan sebelumnya yang berhubungan
dengan kemampuan yang tumbuh dan perlahan-lahan untuk merenungkan mana yang
benar dan mana yang salah, dengan menggunakan sumber intelektual dan emosional
manusia. Indikatornya adalah bagaimana seseorang memiliki pengetahuan tentang
moral yang benar dan yang buruk, kemudian mampu di diinternalisasikan dalam
kehidupan nyata, dan menghindarkan dari moral yang buruk. Kecerdasan moral tidak
dicapai melalui pembelajarn di kelas saja, terutama bagaimana konteks interaksi
dengan lingkungan luar; wujud nyatanya berupa sikap sopan, penuh belas kasih,
adanya atensi, tidak sombong, egois atau mementingkan diri sendiri, dan sejumah
sikap lainnya.
4.   Kecerdasan Spiritual (spitual intelegence)
Mendakwakan kecerdasan spiritual sebagai puncak kecerdasan setelah tiga
kecerdasan sebelumnya meskipun ada benang merah diantara keempatnya.
Kecerdasan spiritual bukanlah doktrin agama, melainkan sebuah konsep yang
berhubungan dengan bagaimana seseorang “cerdas” dalam mengelola dan
mendayagunakan makna-makna, niai-nilai, dan kualitas-kualitas kehidupan

10
spritualnya. Kehidupan spiritual di sini meliputi hasrat hidup bermakna (to will to
meaning) yang memotivasi kehidupan manusia untuk lmencari makna hidup (to
meaning of life)  dan mendambakan hidup bermakna (the meaningfull life).
Kecerdasan adalah hasil berfikir dan hasil berfikir menjadi bukti ketersadaran
manusia bahwa dari arah perubahan membawa mereka harus mampu berlayar diatas arus
perubahan zaman. Kecerdasan menimbulkan terbangunya kesadaran sekaligus upaya
membangkitkan sinkronasi antara alam sadar dan impian mereka. Kesadaran yang
dibagun oleh sebuah kecerdasan melahirkan kepatuhan dan itu pun bergantung pada
motivasi dan kepribadian. Oleh karnanya kepatuhan menjadi bertingkat, ada pun
tingkatannya adalah: (1) kepatuhan authority oriented; patuh/sadar pada orang karena
kekuasaan; (2) kepatuhan good boy-nice girls; patuh karena ingin mendapatkan
pujian/ingin dipuji; (3) kepatuhan contrac legality; kepatuhan karena kiprah
umum/masyarakat; (4) kepatuhan law in order oriented; kepatuhan atas dasar aturan dan
hokum serta ketertiban; (5) kepatuhan utility headonis; kepatuhan atau taat atas dasar
keuntungan atau kepentingan; (6) kepatuhan karena hal yang memuaskan baginya; dan
(7) kepatuhan universal etnic principle; patuh dan taat karena dasar prinsip etis yang
layak dan universal.
Kesadaran diri mengandung manfaat, ada beberapa hakikat manfaat yang
ditimbulkannya, yakni: (1) untuk memahami diri dalam relasi dengan orang lain; (2)
untuk menyusun tujuan hidup dan karier; (3) untuk membangun relasi dengan orang lain;
(4) untuk memahami nilai-nilai keberagaman; (5) untuk memimpin orang lain secara
efektif; (6) untuk meningkatkan produktivitas; dan (7) untuk meningkatkan kontribusi
pada perusahaan, masyarakat, dan keluarga.

C. Konsep Kesadaran dan Paradigma Islam


Dalam bahasa Arab, kata sadara berasal dari kata Sadrun yang artinya pangkal
atau pokok. Dalam arti organis biologis sadrun berarti bagian tubuh yaitu dada. Dari
pengertian ini muncul anggapan bahwa penentu kesadaran manusia adalah hati yang
terletak di dalam dada manusia, bukan di kepala. Kata sadrun di dalam al-Quran kaitan
eratnya dengan manusia. Faktor yang membedakan antara manusia dengan makhluk
lainnya adalah faktor kalbu. Kalbu, seperti dinyatakan dalam al-Quran berperan sebagai

11
organ manusia berkaitan dengan keilmuan. Manusia yang tidak mendayagunakan
kalbunya untuk memahami ilmu yang diajarkan oleh Allah diibaratkan binatang. Dengan
demikian maka kalbu identik dengan akal. Pendidikan kesadaran berarti pendidikan
intelektual atau penalaran yang mengacu kepada kreativitas berpikir dalam berbagai
lingkupnya.
Ayat pertama kali yang diturunkan dalam al Qurán adalah perintah membaca.
Dengan membaca maka orang akan menjadi tahu terhadap apa yang dibacanya. Perintah
membaca dalam al Qurán tersebut dipertegas, ialah membaca dengan mengatas namakan
Tuhan yang telah menciptakan. Sebutan Tuhan dan Penciptaan rasanya menjadi sangat
penting dalam kontek ini. Apalagi, ayat itu selanjutnya dirangkai dengan ayat tentang
penciptaan diri manusia itu sendiri. Kholaqo al-insaana min al-alaq. Rupanya, ayat-ayat
pendek yang turun pada fase awal ini Allah bermaksud menyadarkan manusia tentang
awal kejadian dan juga jati diri manusia yang sesungguhnya. Aktivitas membaca itulah
yang selanjutnya akan melahirkan kesadaran yang sebenarnya, kesadaran akan tugas dan
fungsinya sebagai abdillah dan khalifatillah. Kesadaran itulah kemudian akan melahirkan
kebangkitan karena sadar akan posisi dirinya. Kebangkitan ini akan melahirkan strategi
untuk meraih kesuksesan dan keberhasilan dalam hidup.
Kesadaran seseorang dibentuk oleh pengaruh yang diamatinya. Jika stimulan yang
diamati dari hari ke hari hanya alam materi atau dunia kebendaan, maka kesadaran yang
terbentuk adalah kesadaran materialis, dan jika yang memperngaruhinya lebih didominasi
oleh faktor intuisi maka kesadaran yang terbentuk adalah kesadaran idealis. Kesadaran
yang diharapkan tumbuh dan berkembang di dalam pendidikan Islam adalah kesadaran
Ilmiah yang Islami, bukan kesadaran alamiah yang materialis, atau kesadaran batiniah
yang idealis. Kesadaaran Islami aka tumbuh dan berkembang jika seeorang memahami
makna dasar-dasar, ajaran-ajaran dan nilainilai agama Islam. Disamping itu, refleksi
kesadaran seeorang akan berwujud menjadi sikap dan tingkah lakunya. Perlakuan
terhadap dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan lingkungan alam yang ada di
sekitarnya, merupakan respon dari kesadaran seeorang. Informasi tentang dirinya,
keluarga, dan masyarakatnya serta lingkungan alam yang ada di sekitarnya, merupakan
bahan dalam membina dan menata diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan alam.
Disamping itu, kesadaran akan memunculkan nilai responsibilitas (syu'ur bil

12
mas'uliyyah) yang tertanam dalam hati nurani manusia dan memberikan pengaruh
penting dalam pembinaan pribadi individu dan masyarakat atau membentuk kesalehan
individu dan sosial.
BAB IV
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Kesadaran adalah keadaan seseorang di mana ia tahu atau mengerti dengan jelas
apa yang ada dalam pikirannya. Sedangkan pikiran bisa diartikan dalam banyak makna,
seperti ingatan, hasil berpikir, akal, gagasan ataupun maksud atau niat. Tujuan dari
kesadaran diri ini diharapkan seseorang bisa sadar sesadarnya  untuk memperdalam dan
mengokohkan kesadaran dirinya (self-conscicousnes) sehingga bisa berlanjut menuju ke
kesadaran kolektif (collcetive consciousnes) dan kesadaran akan sistem nilai. Sehingga
sadar akan pentingnya nilai Teologis (Ketuhanan) yang membuat seseorang sadar akan
kewajibannya terhadap sang pencipta, sadar akan hal-hal yang di sunnahkan dan
diharamkan serta dimakruhkan oleh Allah SWT.
Diperlukan kesadaran (consciousness) kesadaran diri (self-Consciousness),
kesadaran koliektif (colective-Consciousness) , dan kesadaran satu dan lainnya mutlak.
Sadar-sesadarnya; sebagai dasar kemampuan untuk mampu berselancar (surfing on
chaos) diantaranya, agar tidak terbenam dalam kompleksitas, chaos, apalagi deep chaos.
Setelahnya, upaya membangun paradigma baru masa depan dengan membangun
integritas pendidikan, terutama pembangunan kecerdasan jamak (multiple
inteligences) dan kecerdasan qalbiah.

13
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Taufaik, Ali, Muhammaad. 2004. Praktik Manajemen Berbasis Al-Quran. Jakarta: Gema Insani

Daniel Goleman, Emotional Intelligence Why it Can Matter More Than IQ, Bantam Books, New
York, 1996, hlm. 58

Steven J. Stein, and Book, Howard E, Ledakan EQ : 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional
Meraih Sukses, hlm.75

Matthew Olson dan B. Hergenhahn. 2013. Pengantar Teori-Teori Kepribadian. Yogyakarta :


Pustaka Pelajar. Hal. 25-40. ISBN : 978-979-498-07-29

Freud, Sigmund. 1983. Sekelumit Sejarah Psikoanalisis, diterjemahkan oleh K. Bartens. Jakarta:
PT. Gramedia.

E. Koeswara, Psikologi Eksistensial Suatu Pengantar, PT Eresco, Bandung, 1987, hlm. 31

JURNAL

Sarkowi, Membangun Kesadaran Kolektif Jurnal Qolamuna, Volume 1 Nomor 1 Juli 2015.

Ahmad Zaenuri. HARMONIA: JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI Estetika


Ketidaksadaran: Konsep Seni menurut Psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939). Vol. VI
No. 3/September-Desember 2005

14

Anda mungkin juga menyukai