k3 - Permasalahan-Permasalahan Yang Muncul Dari Dampak Adhd
k3 - Permasalahan-Permasalahan Yang Muncul Dari Dampak Adhd
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Anak Hambatan
Perhatian dan Hiperaktif
Dosen Pengampu:
Dr. Setyo Wahyu Wibowo, M.Kes. dan Ana Fatimatuzzahra, S.S., M.Pd.
Disusun Oleh:
2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT kami panjatkan atas segala rahmat-Nya sehingga
Makalah Permasalahan-permasalahan yang Muncul Akibat dari Dampak ADHD ini dapat
tersusun tepat pada waktunya. Kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Setyo Wahyu
Wibowo, M. Kes. dan Ibu Ana Fatimatuzzahra, S.S., M.Pd. selaku dosen pengampu mata
kuliah Pendidikan Anak dengan Hambatan Perhatian dan Hiperaktif yang telah membimbing
dalam proses perkuliahan ini. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dengan berbagi pengalaman, pikiran maupun materinya.
Kami sangat berharap bahwa makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi pembaca
sehingga makalah ini dapat sebagai referensi bagi pembaca untuk mempraktikkan dalam
menghadapi persoalan yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan pada ADHD.
Kami sebagai tim penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan
2
BAB II
KAJIAN TEORI
1. Kurangnya Fokus
3. Perilaku Impulsif
4. Hiperaktivitas
Anak-anak dengan ADHD seringkali kesulitan dalam interaksi sosial yang dapat
menyebabkan isolasi atau konflik dengan teman sebaya.
3
6. Prestasi Belajar yang Rendah
Banyak anak dengan ADHD juga mengalami gangguan belajar spesifik, seperti
kesulitan dalam matematika, membaca, dan mengeja.
Anak-anak dengan ADHD cenderung memiliki rasa percaya diri yang rendah,
yang dapat mempengaruhi motivasi dan keterlibatan mereka dalam belajar.
Karena perilaku mereka yang berbeda, anak dengan ADHD membutuhkan cara
yang berbeda untuk belajar, yang seringkali memerlukan pendekatan
individualisasi dan modifikasi perilaku.
Anak dengan gangguan ADHD sering kali kurang dapat mengontrol diri atau
temperamennya, sehingga ia dapat melakukan agresi atau mengganggu orang lain. Lalu,
terjadilah siklus: orang lain menjadi marah, menghukum dan menolak anak; ketika anak
merasa ditolak, ia menjadi frustrasi dan melakukan agresi. Selain itu, anak dengan
gangguan ADHD cenderung kurang peka terhadap perasaan orang lain dan masalah
pada koordinasi tubuh juga menyebabkan anak kesulitan untuk turut serta dalam
permainan tertentu (Wender & Tomb, 2017).
4
Hyperactivity Disorder (ADHD) dilakukan melalui kontak sosial dan komunikasi.
Anak dengan ADHD cenderung mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan
memahami ujaran dengan baik, sering kali mengalami kesalahan pengucapan saat
berbicara.
5
Adapun Tantangan dan Pengasuhan yang berpengaruh pada ADHD:
2. Dukungan Sosial
6
Pendekatan pertama untuk menangani ADHD dan penyakit mental biasanya
melibatkan farmakoterapi (Meppelink et al., 2016); namun, meresepkan obat penstabil
suasana hati untuk kondisi seperti depresi dan kecemasan selain obat stimulan untuk
ADHD biasanya tidak direkomendasikan mengingat efek samping negatif dari interaksi
obat (Brown et al., 2018; Y. Kim et al. , 2021; Miklós dkk., 2019). Yang
mengkhawatirkan, 50% peserta ADHD melaporkan gejala depresi, kecemasan, atau
stres yang parah atau sangat parah, dan peserta dengan gejala ADHD yang lebih parah
lebih mengalami tekanan mental.
Hubungan dua arah antara ADHD dan kesehatan mental berarti keduanya dapat
memperburuk satu sama lain (Austerman, 2015). Penyakit mental seperti depresi dan
kecemasan dapat mengganggu konsentrasi dan menambah gejala kognitif dan perilaku
ADHD (Pan & Yeh, 2017). Meskipun benar bahwa masalah suasana hati dan emosi
dapat menjadi efek samping dari pengobatan ADHD (Tobaiqy et al., 2011), banyak
orang dengan ADHD melaporkan mengalami kecemasan dan depresi hanya karena
tindakan navigasi dunia yang dibatasi oleh neurotipikal masyarakat. Ekspektasi
(misalnya, ekspektasi bahwa seseorang harus mempertahankan fokus untuk jangka
waktu yang lama di tempat kerja atau sekolah) (Björk et al., 2018).
Perilaku eksternal dan norma-violasi yang terkait dengan ADHD dapat menjadi
sumber stigma yang mencakup stereotipe, diskriminasi, isolasi, dan penolakan sosial.
Misalnya, individu dengan ADHD sering dianggap sebagai orang yang tidak dapat
mengendalikan diri, yang dapat memicu persepsi negatif dari masyarakat. Studi
menunjukkan bahwa orang dewasa kurang mau memiliki kontak sosial dengan anak-
anak dan remaja dengan ADHD, dengan asumsi bahwa ADHD disebabkan oleh
ketidakmampuan dalam mengendalikan diri dan karakter yang buruk, yang merupakan
korelat yang signifikan dari jarak sosial. Dalam pengaturan akademik, anak-anak dan
remaja dengan ADHD sering dihindari dan dinilai negatif oleh rekan-rekan mereka,
serta dianggap lebih sering melakukan tindakan kekerasan dan perilaku anti-sosial
dibandingkan dengan anak-anak dan remaja tanpa kondisi tersebut, itu merupakan
stigma dan diskriminasi penilaian yang negatif.
Hal ini juga berisiko pada kesehatan jangka panjang sebagai berikut:
1. Penyalahgunaan zat: Anak-anak dengan ADHD memiliki risiko lebih tinggi untuk
menyalahgunakan zat terlarang dan alkohol. Remaja dengan ADHD mungkin lebih
mudah tergoda untuk mencoba narkoba atau alkohol sebagai cara untuk mengatasi stres
dan frustrasi mereka.
8
2. Kecelakaan: Anak-anak dengan ADHD memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami
kecelakaan. Anak dengan ADHD yang impulsif dan ceroboh mungkin lebih berisiko
mengalami kecelakaan, seperti terjatuh dari sepeda atau tertabrak mobil.
3. Kegemukan: Anak-anak dengan ADHD memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami
obesitas. Anak dengan ADHD mungkin lebih mudah makan berlebihan dan kurang
aktif secara fisik, sehingga mereka berisiko mengalami obesitas.
4. Depresi dan kecemasan: Anak-anak dengan ADHD memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami depresi dan kecemasan. Anak dengan ADHD yang sering mengalami
kegagalan dan penolakan mungkin lebih mudah merasa depresi dan cemas.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
10
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, L. (2021). Komunikasi Interpersonal pada Anak Dengan Gangguan Attention Deficit
Hyperactivity Disorder (ADHD). Psiko Edukasi, 19(1), 49-68.
Riany, Y. E., & Ihsana, A. (2021). Parenting stress, social support, self-compassion, and parenting
practices among mothers of children with ASD and ADHD. Psikohumaniora: Jurnal Penelitian
Psikologi, 6(1), 47-60.
Schoeman, R. & Voges, T. (2022). Attention-deficit hyperactivity disorder stigma: The silent
barrier to care. South African Journal of Psychiatry. ISSN: (Online) 2078-6786. doi:
https://doi.org/10.4102/sajpsychiatry.v28i0.1865.
Setyanisa, A. R., Setiawati, Y., Irwanto, I., Fithriyah, I., & Prabowo, S. A. (2022). Relationship between
Parenting Style and Risk of Attention Deficit Hyperactivity Disorder in Elementary School
Children. The Malaysian journal of medical sciences : MJMS, 29(4), 152–159.
https://doi.org/10.21315/mjms2022.29.4.14
Spender, K., Chen, Y. R., Wilkes-Gillan, S., Parsons, L., Cantrill, A., Simon, M., Garcia, A., & Cordier,
R. (2023). The friendships of children and youth with attention-deficit hyperactivity disorder:
A systematic review. PloS one, 18(8), e0289539.
Ogrodnik, M. Karsan, S. & Heisz, J, J. (2023). Mental Health in Adults With ADHD:
Examining the Relationship With Cardiorespiratory Fitness. Journal of Attention
Disorders, Vol. 27(7) 698-708. doi: journals.sagepub.com/home/jad.
Wender, P.H. & Tomb, D.A. (2017). ADHD: A guide to understanding symptoms, causes, diagnosis,
treatment, and changes over time in children, adolescents, and adult (5th Ed.). New York:
Oxford University Press.
11