Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

AKUNTANSI ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN PERKEBUNAN

DI SUSUN OLEH:

KELOMPOK 5

MUHAMMAD ACHSAN MAULANA

REZEKIA NUR MULIA

IMAM FADHILAH

A.MUH.FAZLURRAHMAN

PRODI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2025
PEMBAHASAN

A. DEFINISI ZAKAT PERTANIAN DAN PERKEBUNAN


Berikut adalah penjelasan mengenai zakat pertanian dan zakat perkebunan, seperti
sebagai berikut:
a. Zakat Pertanian
Pertanian sendiri merupakan kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang
dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau
sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan
pemanfaatan sumber daya hayati sendiri biasa dipahami orang sebagai budidaya
tanaman atau bercocok tanam.5 Sehingga zakat pertanian merupakan suatu zakat
yang dikeluarkan dari hasil pertanian yang diusahakan oleh petani, dari hasil
menggarap ladang ataupun kebun mereka.6 Adapun hasil pertanian tersebut
adalah semua yang ditanam dengan menggunakan biji-bijian, yang hasilnya dapat
dimakan oleh manusia dan hewan (berguna bagi pertumbuhan suatu populasi),
Objeknya sendiri meliputi jenis tanaman yang ditanam musiman.

b. Zakat Perkebunan
Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada
tanah atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan
memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Perkebunan sendiri
lebih berfokus dalam pembudidayaan tanaman pangan dan mengembangkan
sarana, dimana kualitas tanaman dapat ditingkatkan lagi. Jadi dapat dikatakan
bahwa zakat perkebunan merupakan zakat yang berasal dari hasil penanaman
tanaman, yang mana membutuhkan penelitian dan eksperimen terlebih dahulu.
Adapun untuk objeknya sendiri meliputi jenis tanaman yang ditanam tahunan.

B. LANDASAN HUKUM ZAKAT PERTANIAN DAN PERKEBUNAN


Dalam penentuan hukum untuk berzakat pertanian dan perkebunan telah teruang
kedalam al-qur’an dan hadits, seperti sebagai berikut:

a. Landasan Hukum dari AL QURAN


Hukum zakat pertanian dan perkebunan telah tertuang dalam surah al-Baqarah
ayat 267:

Adapun untuk asbabun nuzul surah al baqarah ayat 276 adalah sebagai berikut,
yakni Abu Dawud, an-Nasa’I, dan al-Hakim meriwayatkan dari Sahl bin Hanif,
dia berkata, “Dulu orang-orang memilih kurma yang jelek dari kebunnya untuk
disedekahkan.”. Lalu ada juga dari Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu
Abbas, dia berkata, “Dulu para sahabat membeli bahan makanan yang murah, lalu
mereka menyedekahkannya.” Dari sebab-sebab itulah maka Allah SWT
menurunkan ayat ini, untuk memberi peringatan kepada mereka.

Dari surah al-baqarah ayat 267 ini, dapat diambil sebuah kandungan/manfaat bagi
kita agar senantiasa ingat untuk menyedekahkan harta yang dari perolehan usaha
kita. Dan perlu diperhatikan juga dalam pemberian atau zakat senantiasa
diambilkan dari yang baik-baik, jangan sampai sengaja dengan memilih yang
buruk-buruk, supaya tidak menjadi perbuatan yang sia-sia. Ayat ini juga
mengingatkan para pemberi/penyedekah agar menempatkan diri pada tempat
orang yang menerima, bukankah kita sendiri tidak mau mengambil sesuatu yang
buruk juga. Pada akhir ayat mengingatkan kita juga bahwa Allah Maha Kaya, dia
tidak butuh kepada sedekah, baik pemberian untuk-Nya maupun kepada makhluk-
Nya. Allah dapat dengan sendirimya memberi mereka secara langsung. Namun
Allah memerintahkan kepada manusia agar memberikan sedekahnya kepada yang
butuh, karena untuk kepentingan dan kemaslahatan si pemberi sendiri. Dan
ditutup dengan kata Allah Maha Terpuji, yang antara lain karena dia tetap akan
memberi ganjaran terhadap hamba-hamba-Nya yang patuh dan mau bersedekah.
Adapun surah yang lain, yaitu Q.S al-An’am ayat 141:

Adapun dari surah al-an’am ayat 141 memiliki asbabun nuzul kenapa surah ini
diturunkan, yaitu diriwayatkan dari Ibnu Jarir dari Abi Aliyah bahwa surah ini
diturunkan sebagai perintah kepada mereka(manusia) untuk mengeluarkan zakat
dari hasil panennya, serta larangan hidup berfoya-foya atau hidup secara berlebih-
lebihan, yang menghambur-hamburkan harta kekayaan yang tidak berguna dan
tidak bermanfaat, karena hal seperti ini sangatlah dibenci oleh Allah SWT. Dari
surah ini dapat diambil kandungan bahwasanya Dialah(Allah) yang telah
menciptakan beraneka ragam tanaman dan tumbuhan untuk mereka(hambanya)
konsumsi secara gratis. Allah juga maha bijaksana kepada hambanya, yang mana
senantiasa menghargai serta memperhatikan setiap jerih payah mereka, dengan
mengizinkan mereka untuk mencicipi/menikmati hasil tanaman yang mereka
tanam, meskipun semua itu karenanya. Oleh sebab telah diberikan kenikmatan
yang banyak, diakhir ayat Allah Swt memerintahkkan untuk mengeluarkan zakat
tatkala waktu panen tanaman telah tiba, dan tidak lupa kita diperintah juga agar
tidak berlebih-lebihan dalam segala perkara. Baik dalam hal memakai dan
memberikan hasil tanaman tersebut, sesungguhnya Allah sangat tidak menyukai
orang yang berlebih-lebihan karena dapat merugikan dirinya sendiri dan
sekitarnya.

b. Landasan Hukum dari Hadist


Adapun hadits yang menyebutkakn akan zakat pertanian berasal dari Abdullâh bin
Umar r.a bahwa Nabi SAW, bersabda:

Dari hadits tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa perhitungan zakat pertanian
yang bilamana pengairannya berasal dari hujan/pemberian Allah sebesar 10%,
sedangkan bila pengairannya berasal dari pembelian irigasi sebesar 5%.

C. ZAKAT PERTANIAN DAN PERKEBUNAN MENURUT MADZAHIBUL


ARBA’AH

Wahbah al-Zuhaili menjelaskan pendapat dari para empat imam madzhab,


diantaranya:

1. Mazhab Syafi’i
Menurut para ahli madzhab Syafi’i, hasil bumi yang dizakati hanya makanan
pokok dan tahan disimpan lama. Madzhab Syafi‟i menetapkan bahwa zakat
sepersepuluh hanya dikhususkan untuk makanan yang mengenyangkan, yakni dari
buah-buahan, buah kurma, dan anggur kering. Sedangkan tanaman yang wajib
dikeluarkan zakatnya dari biji-bijian adalah biji gandum, beras, kacang adas, dan
semua makanan yang mengenyangkan, seperti kacang kedelai, kacang tanah,
jagung, julbanah, karsanah, hulbah, khasykhasy dan simsim.

2. Mazhab Maliki
Dalam hal ini Imam Maliki juga sependapat, mereka beralasan bahwa kewajiban
zakat itu dikaitkan pada illat yaitu keadaan hasil bumi itu dapat dijadikan sebagai
makanan pokok. Oleh karena itu, semua yang bersifat demikian wajib dizakati.
Madzhab Maliki berpendapat bahwa zakat sepersepuluh diwajibkan pada 20 (dua
puluh) macam tanaman. Tujuh belas macam dari biji-bijian, yaitu kacang kedelai,
kacang tanah, kacang pendek, kacang adas, pohon kayu yang pahit, julban
(tumbuhan rumput yang ditanam bijinya dan bunganya berwarna-warni), basilah,
gandum, sult (sejenis gandum tanpa kulit), alas, jagung, tembakau, beras, zaitun,
simsim (tumbuh-tumbuhan penghasil minyak nabati), qirthim dan lobak merah.
Sedangkan biji lobak putih tidak wajib dizakati karena tanaman ini tidak
mengandung minyak. Adapun tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya dari
buah-buahan ada 3 (tiga) jenis, yaitu kurma, anggur kering, dan zaitun.

3. Mazhab Hanafi
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah bahwa zakat itu wajib atas setiap hasil bumi
baik sedikit atau banyak. Kecuali kayu bakar, rerumputan, bambu parsi yang biasa
dipergunakan sebagai pana, pelepah pohon kurma, tangki pohon dan segala
tanaman yang tumbuhnya tidak disengaja. Dengan alasan-alasan bahwa dalil-dalil,
hadits dan ayat, yang berkenaan dengan zakat bersifat umum, sedangkan
pengecualian di atas didasarkan atas adanya ijma’ bahwa itu tidak wajib dizakati.
Lebih lanjut ia juga berpendapat bahwa zakat hasil bumi itu tidak terkait dengan
nisab. Jadi setiap hasil pertanian wajib dizakati, baik sedikit ataupun banyak.

4. Mazhab Hanbali
Madzhab Hanbali berpendapat bahwa zakat sepersepuluh wajib dikeluarkan
zakatnya dari setiap biji-bijian dan buah-buahan yang memiliki sifat kering(tidak
ada kewajiban zakat pada sayur-sayuran dan buah-buahan berair), bisa ditakar dan
bisa disimpan, lalu yang dapat mengenyangkan. Misalnya seperti hunthah, syair,
sult, jagung, quthniyah. simsim, biji-bijian, tembakau, beras, julbanah, karsanah,
hulbah, khasykhasy, simsim, adas dan sebagainya.

D. NISHAB DAN HAUL ZAKAT PERTANIAN DAN PERKEBUNAN


Berikut adalah penjelasan terkait Nishab dan Haul dalam Zakat Pertanian juga
Perkebunan:

1. Nishab Zakat Pertanian dan Perkebunan


Nishab adalah batas jumlah minimal sebuah harta zakat sehingga jatuh kewajiban
zakat atas harta tersebut. Sesuai dengan Nash, Jumhur Fukaha menetapkan nishab
zakat pertanian adalah 5 ausuq, ausuq sendiri merupakan jamak dari kata wasaq.

Para ulama sepakat bahwa satu wasaq adalah enam puluh sha’, sehingga jika
dijumlahkan lima wasaq adalah 300 sha’. Sedangkan satu sha’ sendiri pada masa
Rasulullah Saw, sama dengan 4 mud yaitu takaran dua telapak penuh orang
dewasa. Sehingga dapat dikatakan 1 sha’ tersebut sama dengan 2,176 kg. Dengan
demikian nishab wajib zakat hasil pertaniannya adalah 5 (wasaq) x 60 (sha’) x
2,176 (4 mud) = 652,8 atau jika dibulatkan sebesar 653kg. Untuk Volume zakat
pertanian dan perkebunan sendiri ditentukan dari sistem pengairan yang
diterapkan/digunakan, seperti sebagai berikut:

a. Apabila lahan yang irigasinya ditentukan dengan curah hujan, sungai-sungai,


mata air, atau lainnya (lahan tadah hujan) yang diperoleh tanpa mengalami
kesulitan, maka presentase zakatnya 10% (1/10) dari hasil pertanian.
b. Adapun zakat yang irigasinya menggunakan alat yang beragam (bendungan
irigasi), maka presentase zakatnya adalah 5% (1/20), karena kewajiban
petani/tanggungan untuk biaya pengairan dapat mempengaruhi tingkat nilai
kekayaan dari aset yang berkembang

Dengan demikian, syariat Islam memberi batasan volume zakat untuk hasil
pertanian dan perkebunan berkisar 5% atau 10% menurut cara pengairannya. Di
Indonesia sendiri, Kemenag RI mengeluarkan model perhitungan zakat pertanian
dengan mewajibkan zakat pada semua jenis tanaman namun bukan
keseluruhannya dimasukkan dalam kategori zakat pertanian. Lebih mudahnya,
model tersebut bisa dilihat dalam tabel berikut:
NO JENIS TANAMAN NIZHAB KADARNYA KETERANGAN

Dari model tersebut bisa disimpulkan Kementerian RI berusaha mempersatukan


perbedaan dari pendapat para Ulama tentang hasil pertanian/perkebunan yang
wajib dizakati. Hal ini bisa dilihat dari tabel diatas, bahwasanya mereka
mengambil pendapat Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanabilah untuk kewajiban zakat
dari jenis tanaman makanan pokok. Juga memperhatikan pendapat Hanafiyah
untuk kewajiban zakat pada semua jenis tanaman, namun dikategorikan dalam
zakat perdagangan. Dengan demikian tidak terjadi pengabaian dalam menentukan
kewajiban zakat.
2. Haul Zakat pertanian dan Perkebunan
Haul bermaksud harta wajib zakat yang telah sampai nishab ditunggu berjalan
selama setahun baru ditunaikan zakatnya. Dalam zakat, haul merupakan syarat
wajib zakat pada hewan, emas dan perak, perdagangan dan uang. Konsep haul
akan memastikan sebuah aset zakat sudah berkembang menjadi lebih (produktif)
pada akhir tahun. Namun dalam zakat pertanian/perkebunan, hal ini tidak berlaku.
Karena produktifnya hasil pertanian adalah ketika selesai berlangsungnya panen.
Maka dari itu zakat pertanian dikeluarkan setiap kali selesai panen, tanpa
menunggu berjalan setahun seperti zakat harta lainnya. Ini juga diperkuat
berdasarkan firman Allah SWT pada Surah Al-An‘am ayat 141. Ibn ‘Abbas
berpendapat bahwasanya lafal “ ‫َاَح‬NNN‫ ٖٓهِد ص‬O ‫ْو‬O” , dalam ayat tersebut hanya
diperuntukkan untuk zakat al-mafrudhah (zakat wajib) pada saat dipetik hasilnya,
serta ditakar atau ditimbang. Maka dari itu Zakat dari hasil pertanian/perkebunan
dibayarkan ketika panen saja, meskipun masa panen itu terjadi beberapa kali
dalam setahun. Menurut mazhab Hanafi, harta jenis ini tidak wajib untuk
mencapai nisab, sedangkan menurut mayoritas ulama tidak ada kewajiban
membayar zakat pertanian kecuali setelah panen.

E. Cara Penghitungan Zakat Pertanian


Kasus 1
Seorang petani telah berhasil memanen padi dengan total akhir gabah kering seberat 2
ton. Pengairan padinya menggunakan irigasi berbayar. Pertanyaan:
1. Berapakah zakat yang harus dikeluarkan?
2. Bagaimana bila irigasinya berasal dari tadah hujan atau air irigrasi tidak berbayar?
Jawab:
Jenis pengairan = irigasi (5%)
Total panenan gabah kering = 2 Ton = 2000 kg, lebih besar dari nishab padi 1,631 ton
gabah atau 1,323 ton gabah padi kretek
Zakat yang harus dikeluarkan = 5% x 2000 kg gabah kering = 100 kg gabah kering =
1 kuintal
Jika irigasi sawah berasal dari pengairan gratis, maka zakat yang harus dikeluarkan
adalah sebesar 10%. Sehingga zakat yang harus dikeluarkan, adalah: 10% x 2000 kg
gabah kering = 200 kg gabah kering = 2 kuintal

Kasus 2
Seorang petani telah panen padi dengan total akhir beras kering yang didapat adalah
seberat 1,5 ton. Pengairan padinya menggunakan irigasi berbayar.
Pertanyaan:
1. Berapakah zakat yang harus dikeluarkan?
2. Bagaimana bila irigasinya berasal dari tadah hujan atau air irigrasi tidak berbayar?
Jawab:
Jenis pengairan = irigasi (5%)
Total panenan dalam bentuk beras putih kering = 1,5 Ton = 1500 kg, lebih besar dari
nishab beras putih 815,758 kg beras.
Zakat yang harus dikeluarkan = 5% x 1500 kg gabah kering = 75 kg beras = 0,75
kuintal beras

Jika irigasi sawah berasal dari pengairan gratis, maka zakat yang harus dikeluarkan
adalah sebesar 10%. Sehingga zakat yang harus dikeluarkan, adalah: 10% x 1500 kg
beras = 150 kg beras = 1,5 kuintal beras.

Anda mungkin juga menyukai